KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Ilahi Rabby, Tuhan Seru Sekalian Alam, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tanpa hambatan yang berarti. Shalawat dan salam sejahtera semoga tercurah kepada Nabi akhir zaman, penuntun umat, pemberi syafa’at, Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan segenap sahabatsahabat setianya hingga akhir zaman. Skripsi ini berjudul “Penyelesaian Perkara Waris Beda Agama di Pengadilan Agama (Analisis Penetapan No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg)”, ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy.), dan juga sebagai bentuk nyata dari perjuangan penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini terselesaikan berkat bantuan berbagai pihak. Untuk itu, melalui tulisan ini, izinkan penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, dan Bapak Arip Purkon M.A, Ketua Prodi dan Sekretaris Prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
iv
3. Ibu Dr. Hj. Azizah, MA, sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya selama membimbing penulis. 4. Bapak Dr. H. Yayan Sofyan, S. H, M. Ag, sebagai dosen pembimbing akademik, yang telah memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 5. Orang Tua saya Bapak Muntadi dan Ibu Sumarni, yang telah memberikan support kepada saya berupa doa’ serta dukungan moral dan materiil, dengan segenap kerendahan hati saya, saya mengucapkan beribu-ribu terima kasih. 6. Segenap Civitas Akademik Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan. 7. Pimpinan Perpustakaan Umum dan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staff yang telah memberikan penulis fasilitas untuk menggandakan studi perpustakaan. 8. Segenap Hakim dan Staff Pengadilan Agama Badung Provinsi Bali yang memberikan data dan informasi yang penulis butuhkan. 9. Semua kawan-kawan Peradilan Agama 2010, Adib, Ahmadi, Syauqi, Irfan serta semua kawan-kawan saya yang telah memberikan waktu dan tenaganya untuk kelancaran skripsi saya ini. 10. Semua kawan-kawan Darunnajah Angkatan 31, IBM Andhika, Reza Ramadhan, Ibnu Tsani, Akhirul Rasyimi, Sadad Anugrah, Nurul Fachri, v
serta semua kawan-kawan yang telah memberikan waktu dan tenaganya untuk kelancaran skripsi saya ini. Penulis berdoa semoga sumbangsih yang telah mereka berikan menjadi catatan pahala di sisi Allah Swt. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, Amiin.
Ciputat, 8 Muharram 1437 21 Oktober 2015
Penulis
Muhdi Abdul Aziz
vi
ABSTRAK Muhdi Abdul Aziz. NIM. 1110044100068. “Penyelesaian Perkara Waris Beda Agama di Pengadilan Agama Badung (Analisis Penetapan No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg)” Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H./2015 M. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pandangan hukum Islam dan hukum positif tentang waris beda agama dan analisis pertimbangan penetapan hakim dalam menetapkan perkara penetapan No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis Normatif. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dokumen penetapan perkara No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.. dan wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Badung Provinsi Bali. Sedangkan sumber data sekundernya adalah peraturan perundang-undangan waris beda agama. Sedangkan teknik penulisannya berdasarkan Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa dalam hukum Islam, Ulama Madzhab (Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’I dan Imam Hambali pada dasarnya tidak membolehkan waris beda agama, akan tetapi ada 2 orang murid Abu Hanifah yang membolehkan pewarisnya seorang murtad seperti yang akan dibahas dalam skrisi ini. Mereka berpedoman kepada atsar sahabat. Sedangkan menurut Hukum Positif, Intruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dan juga didalamnya diatur hukum Kewarisan seperti halnya yang akan dibahas dalam skripsi ini. Kompilasi Hukum Islam tidak hanya mengatur Waris bagi sesama umat Islam saja akan tetapi juga waris yang berbeda agama dalam pasal 171 huruf (c)“Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris” Dalam penetapan Pengadilan Agama Badung Provinsi Bali perkara Nomor:4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. Bahwa hakim dengan reinterpretasi/ijtihadnya berpendapat lain yang berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam dan Ulama Madzhab akan tetapi mengambil pendapat minoritas yaitu, pendapat dua orang murid Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad. Menurut Hakim, hakim melihat ada manfaat yang lebih besar yang akan di dapatkan oleh pihak. Karena seorang hakim harus mentransfer sebanyak mungkin rasa keadilan.
Pembimbing
: Dr. Hj. Azizah, MA.
Daftar Pustaka
: Tahun 1980 s.d. 2014
vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk paling sempurna diberikan akal oleh Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa agar digunakan dengan sebaik-baiknya. Manusia juga merupakan makhluk sosial yang selalu ingin berinteraksi dengan sesamanya sehingga terjadilah suatu kelompok masyarakat, suku, bangsa, dan negara. Segi kehidupan yang diatur oleh Allah tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan lahir manusia dengan Allah penciptanya. Aturan tentang hal ini disebut hukum ibadah yang tujuannya untuk menjaga hubungan antara Allah dan hamba-Nya yang lazim disebut dengan hablun min Allah. Kedua, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antara manusia satu dengan manusia lainnya dan alam sekitarnya. Aturan tentang hal ini disebut hukum Muamalat. Hukum waris Islam di Indonesia didasarkan kepada hukum waris Islam yaitu Fiqh Mawaris atau cabang ilmu dari ilmu faraidh. Secara terminologis, ilmu faraidh adalah pengetahuan tentang tata cara menghitung yang terkait dengan pembagian harta waris dan pengetahuan tentang bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak waris.1 Dengan demikian, ilmu faraidh mencakup tiga unsur penting di dalamnya, yaitu:
1
Komite Fakultas Syariah, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), hal. 13
1
2
1) Pengetahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris. 2) Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris. 3) Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan pembagian harta waris.2 Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan berbeda agama adalah kafir. Adapun orang kafir boleh saja saling mewarisi di antara mereka sebagaimana realitas yang berlaku. Dalam hal ini tidak ada yang berpendapat dengan keumuman hadits selain al-Auza’i yang berpendapat “Orang Yahudi tidak dapat mewarisi orang Nasrani dan sebaliknya”. Demikian juga untuk seluruh penganut agama. Namun indikasi tekstual hadits ini berpihak kepada pendapat al-Auza’i.3 Semua orang di luar Islam dianggap satu, tidak dibedakan antara ahli kitab dengan non ahli kitab. Oleh karena itu ahli waris yang beragama Kristen, Yahudi, Hindu dan Budha tidak bisa mewarisi dari orang Islam, begitu juga sebaliknya.
ب ع َْه َعلِ ًِّ ْب ِه ُح َس ٍْ ٍه ع َْه َع ْم ِرو ْب ِه ٍ ْج ع َْه ا ْب ِه ِشهَا ِ َح َّدثَنَا أَبُى عَا ٍ ٌص ٍم ع َْه اب ِْه ُج َر َّ صلَّى َّ ًَ ض َّللاُ َعلَ ٍْ ِو َو َسلَّ َم قَا َل ََل َ ً َّ َّللاُ َع ْنهُ َما أَ َّن النَّ ِب ِ ُع ْث َمانَ ع َْه أ ُ َسا َمةَ ب ِْه َز ٌْ ٍد َر 4
2
ُ ٌَ ِر )ث ْال ُم ْسلِ ُم ْال َكافِ َر َو ََل ْال َكافِ ُر ْال ُم ْسلِ َم (رواه البخاري
Komite Fakultas Syariah, Hukum waris. Hal 3-4
3
Abu Umar Basyir, Belajar Mudah Hukum Waris Sesuai Syari‟at Islam , (Solo: Rumah Dzikir, 2006). hlm. 68 4
784.
M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hal
3
Telah menceritakan kepada kami Abu Ashim dari Ibnu Juraih dari Ali Ibnu Shihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah bin Zaid radiallahu „anhuma, Nabi Shallallahu „alaihi wasalam bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim” Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara mendapatkannya. Aturan mengenai hal tersebut ditetapkan oleh Allah melalui firman-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an terutama pada surah An-Nisa ayat 7,8,11,12, dan 176. Pada dasarnya ketentuan Allah yang berkenaan dengan warisan telah jelas, maksud arah dan tujuannya. Hal-hal yang memerlukan penjelasan, baik yang sifatnya menegaskan maupun merinci, telah disampaikan oleh Rasulullah SAW melalui haditsnya. Aturan tersebut yang kemudian diabadikan dalam lembaran kitab fiqh serta menjadi pedoman bagi umat Muslim dalam menyelesaikan permasalahan tentang kewarisan.5 Permasalahan mengenai kewarisan Islam di Indonesia di atur dalam Buku II Kompilasi Hukum Islam yang cakupannya berupa: Ketentuan Umum, Ahli Waris, Besarnya Bahagian, Aul dan Rad, Wasiat, dan Hibah. Waris mewaris yang disebabkan karena hubungan pernikahan biasanya menimbulkan berbagai macam masalah, salah satunya ialah masalah waris dari suatu perkawinan beda agama,
5
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (Sebagai Pembaruan Hukum Hukum di Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 2.
4
mengingat banyaknya agama yang ada di Indonesia maka tidak dapat dipungkiri bahwa bisa saja terjadi suatu perkawinan antara dua orang yang memiliki keyakinan berbeda. Dalam perkawinan beda agama, apabila seorang istri atau suami meninggal dunia maka hukum yang digunakan dalam pengaturan pewarisannya adalah hukum dari si pewaris (yang meninggal dunia). Hal ini dikuatkan dengan adanya Yurisprudensi MARI No.172/K/Sip/1974 yang menyatakan “Bahwa dalam sebuah sengketa waris, hukum waris yang dipakai adalah hukum si pewaris”. Ketentuan tentang waris beda agama juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 ayat b dan c yaitu: a. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. (pasal 171 ayat b) b. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. (pasal 171 ayat c).6 Pengadilan Agama Badung adalah Pengadilan Agama yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam. Sudah semestinya dalam memutuskan perkara bersikap hati-hati dan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan dan hukum, wajib memberikan putusan yang seadil-adilnya, sehingga berbagai kepentingan dari berbagai pihak yang berperkara dapat terpenuhi. Termasuk
6
Kompilasi Hukum Islam Ketentuan Umum waris pasal 171.
5
perkara waris yang berbeda agama. Namun demikian, dalam perkara ini Pengadilan Agama Badung telah memutuskan waris berbeda agama antara pewaris dan ahli waris adalah diperbolehkan. Penyusun memilih mengadakan penelitian di Pengadilan Agama Badung karena Pengadilan Agama ini telah menerima dan memproses perkara waris berbeda agama. Terlepas dari beberapa kaidah normatif yang mengatakan bahwa waris berbeda agama adalah tidak diperbolehkan. Adapun permasalahan yang akan dikemukakan dalam skripsi ini adalah bagaimana penyelesaian perkara waris beda agama dalam sistem hukum di Indonesia. Dalam hal ini sang anak yang beragama Islam mendapatkan harta warisan dari ibunya yang beragama Hindu yang terjadi di Badung Provinsi dan sang anak yang beragama Islam tersebut mengajukan perkaranya di Pengadilan Agama Badung. Beranjak dari latar belakang masalah di atas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat sebuah judul “Penyelesaian Perkara Waris Beda Agama di Pengadilan Agama: (Studi Putusan No.: 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.)”. B. Identifikasi Masalah Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dengan berbagai macam suku dan agama. Secara resmi Indonesia hanya mengakui enam agama, yakni: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu tetapi mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, dengan demikian maka secara otomatis hukum yang berlaku di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh
6
Hukum Islam. Hukum Islam melingkupi seluruh segi kehidupan manusia, baik untuk mewujudkan kebahagiaan di atas dunia maupun di akhirat kelak. Hubungan dan interaksi sosial antara manusia tersebut salah satunya dapat terwujud melalui suatu perkawinan. Keluarga mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan masyarakat kecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu, dan anak.7 Perkawinan merupakan salah satu sebab timbulnya hubungan waris mewarisi. Hubungan ini lahir ketika ada salah satu pihak yang meninggal dunia. Orang yang meninggal dunia ini biasanya meninggalkan harta, baik berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun yang menjadi hak dan kewajibannya. Harta tersebut dikenal dengan istilah harta warisan. Di Indonesia perkawinan tidak hanya dilakukan dengan orang yang seagama tapi tidak menutup kemungkinan perkawinan terjadi dengan orang yang berbeda agama. Perkawinan antara orang yang berbeda agama menurut hukum di Indonesia adalah dilarang. Akan tetapi, sering terjadi penyelundupan hukum, yang mengakibatkan terjadinya perkawinan beda agama. Sehingga ketika salah satu pihak meninggal dunia ataupun terjadi perceraian menimbulkan masalah hukum baru, yaitu kewarisan berbeda agama. Salah satu pembahasan dalam ilmu mawaris adalah pembahasan tentang penyebab kewarisan dan penghalangnya. Penyebab seseorang berhak menerima
7
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga System Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hal. 7
7
warisan adalah adanya hubungan perkawinan, kekerabatan, dan memerdekakan budak. Sedangkan penghalang kewarisan salah satunya adalah perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan. Dengan kata lain, penghalang-penghalang untuk mewarisi merupakan tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan setelah adanya sebab-sebab untuk mewarisi.8 Perbedaan agama yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila pewaris dan ahli waris salah satunya beragama Islam dan yang lain bukan Islam. Perbedaan agama sebagai penghalang kewarisan diperhitungkan pada saat muwaris meninggal, karena pada saat itulah hak kewarisan untuk ahli waris mulai berlaku. Jumhur ulama bersepakat menetapkan bahwa orang kafir tidak dapat mewarisi seorang Muslim lantaran lebih rendah statusnya dari pada orang Islam.9 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Batasan masalah Agar terhindar dari kesalahpahaman serta ketidakjelasan masalah yang diambil oleh penulis, maka penulis mebatasi masalah terkait penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Badung yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama Badung mengabulkan permohonan 8
Ahmad Azhar Bazhar Basyir, Hukum Waris Islam (Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia, 1990), hlm. 16 9
Al-Qardawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, terjemah Hadyu al-Islam Fatawi Mu‟asirah, Jilid ke-3 (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 850.
8
untuk perkara waris beda agama. Hambatan hak mewaris anak yang lahir dari perkawinan beda agama adalah belum adanya unifikasi yang mengatur tentang waris karena dalam kenyataannya masih terdapat pluralisme hukum waris, sehingga dalam menyelesaikan masalah hak waris anak yang lahir dari perkawinan beda agama masing-masing pihak tunduk pada hukum yang berbeda yaitu berdasarkan hukum agama atau adat. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan pada uraian tersebut diatas, rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimana hukum kewarisan beda agama dalam perspektif ulama madzhab? b. Bagaimana hukum kewarisan beda agama menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia? c. Apakah perkara No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg terhadap waris beda agama sesuai dengan Hukum Waris Islam dan Hukum Positif? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui hukum kewarisan beda agama dalam perspektif ulama madzhab. b. Untuk mengetahui hukum kewarisan beda agama menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia.
9
c. Untuk mengetahui perkara No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg terhadap waris beda agama telah sesuai dengan Hukum Waris Islam dan Hukum Positif. 2. Manfaat penelitian ini adalah: a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka menambah khazanah ilmu pengetahuan hukum, terutama pembahasan hukum mengenai waris beda agama. b. Agar masyarakat mengetahui pengaturan hak waris beda agama serta akibat hukum yang berlaku di Indonesia. E. Studi Pustaka Terdahulu Dalam review studi terdahulu penulis meringkas skripsi yang ada kaitannya dengan penelitian yang dilakukan penulis sebelumnya. No Nama Penulis dan Judul 1.
Yatmi
Substansi
Wulansari, Dalam
Pembeda Skripsi
Peradilan Agama tahun membahas 2009
Penolakan
waris
menurut
Islam dan KUHP
ini Perbedaan
tentang skripsi penulis adalah
ahli takharuj
atau skripsi ini membahas
Hukum mengundurkan menjadi
dengan
waris
untuk
takharuj dapat terjadi mendapatkan
harta
karena pertama,
ahli
diri tentang hak penolakan waris, ahli
beberapa
hal waris dari si pewaris
karena yaitu
hak
untuk
keridhoan diri sendiri menolak menjadi ahli
10
dan tanpa turut campur waris
sedangkan
dari pihak lain. Kedua, skripsi yang diangkat mengundurkan karena
diri penulis
tentang
mendapatkan penyelesaian
jabatan yang diberikan harta
perkara
waris
yang
dari pihak lain (suap). berbeda
agama
Sebenarnya
adalah
walaupun persamaannya
ahli
waris masih
mengundurkan sedangkan masih
berhubungan
diri dengan perkara waris. pewaris
meninggalkan
hutang, maka ahli waris wajib melunasi hutang pewaris terlebih dahulu. Namun yang demikian harus ada kesepakatan dari pihak lain. 2.
Istiarini
Cahyaningsih, Skripsi ini Menganalisa Penulis
106044101408,
tentang
Konsentrasi Perbandingan hukum
pertimbangan menemukan hakim
Madzhab Fiqih Program memutuskan Studi
Perbandingan No.
dalam maupun perkara yang 318/Pdt. pembahasan
tidak bahasan penelitian menjadi pada
11
Madzhab Hukum, Analisa G/2006/Pa.Dpk tentang skripsi
ini,
yaitu
Putusan
waris
beda
Agama
Pengadilan perkara Depok
Tentang yang
gugat diputus
waris tentang
secara agama yang diputus di
Ahli Waris Beda Agama ultra petita (pengadilan pengadian dan Perkara yang Diputus tidak Secara
Ultra
Perkara
No.
G/2006/Pa.Dpk).
agama.
dibenarkan Penulis lebih terfokus
Petita memutuskan
para kepada penelitian waris
318/Pdt. penggugat melebihi apa beda
agama
yang diminta didalam diputus
yang
secara
ultra
surat gugatannnya) dan petita
(pengadilan
penetapan
dibenarkan
beda
ahli
agama
waris tidak
serta memutuskan
hukum syara terhadap penggugat ahli waris beda agama apa dan
murtad.
skripsi
ini
yang
para melebihi diminta
Dalam didalam
surat
penulis gugatannnya)
bukan
menitik beratkan kepada pada waris beda agama waris beda agama yang yang diputus petita.
secara
diputus
ultra pengadian agama.
di
12
F. Kerangka Teori 1. Terdapat bermacam-macam pengertian Hukum Waris, antara lain adalah: a. Hukum yang mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia.10 b. Kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai harta kekayaan, karena wafatnya seseorang: yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibatnya, dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperoleh baik dalam hubungan antara mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.11 2. Ada 2 (dua) macam pewarisan menurut KUH Perdata, yaitu:12 a. Pewarisan menurut Undang-Undang atau karena kematian atau Ab Intestato atau tanpa wasiat. b. Pewarisan dengan surat warisan atau testamentair. 3. Syarat dan rukun kewarisan:13 a. Harus ada muwarris (pewaris) yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan (warisan) merupakan condittio sine quanon (syarat mutlak/syarat yang harus ada).
10
Soebekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, Hal. 25
11
Mulyadi, Hukum Waris Tanpa Wasiat, (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2008), Hal. 2 12
Mulyadi, Hukum Waris Tanpa Wasiat, (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2008), Hal. 6 13
M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam Cet. I, hal. 38
13
b. Pewarisan hanya berlangsung karena kematian. c. Harus ada warits (ahli waris). 4. Penghalang Kewarisan Ada bermacam-macam penghalang seseorang menerima warisan antara lain : 1. Karena Perbudakan. 2. Karena Pembunuhan. 3. Karena berlainan agama. 4. Karena murtad. Selama ini, perbedaan agama dipandang sebagai salah satu faktor yang menghambat seseorang mendapatkan waris dari orang tuanya. Tetapi pandangan itu tampaknya mulai ditinggalkan. Pengadilan telah membuat putusan progresif. Masyarakat Indonesia yang majemuk berpengaruh pada pola pembentukan keluarga. Seringkali ditemukan dalam satu keluarga, sesama saudara kandung memeluk agama yang berbeda. Mereka hidup rukun tanpa terusik oleh perbedaan keyakinan itu. Namun dalam praktik, kerukunan itu sering terganggu oleh masalah pembagian harta warisan. Perbedaan agama telah menjadi penghalang. Menurut ajaran Islam, salah satu hijab (penghalang) hak waris adalah perbedaan agama. Seorang anak yang menganut agama lain di luar agama orang tuanya yang Muslim dengan sendirinya terhalang untuk mendapatkan waris.14
14
G. Metode Penelitian Dalam upaya medapatkan data-data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian Adapun metode dan Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum Normatif. Yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.15 Penelitian Hukum Normatif mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang.16 Jenis penelitian ini digunakan dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian ini adalah analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia dalam hal ini yang berhubungan dengan waris beda agama. 2. Teknik Pengumpulan data Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis melakukan pengumpulan data berupa data primer dan data sekunder.
14
M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam Cet. I, hal. 38- 40
15
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2007), hal. 19 16
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hal.
15
a. Data Primer, penulis dapatkan dari hasil wawancara langsung hakim, petugas atau pegawai Pengadilan Agama Badung. b. Data Sekunder, penulis dapatkan dari dari buku-buku, artikel atau tulisan serta putusan perkara waris beda agama di Pengadilan Agama Badung. 3. Teknik Analisis data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis yurisprudensi yang dilakukan yaitu studi putusan tentang perkara waris beda agama di Pengadilan Agama Badung pada tahun 2013, sehingga didapatkan suatu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki penulis dalam penulisan proposal skripsi ini. H. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini akan dibagi menjadi lima bab, dengan pokok pembahasan sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan Pada bab ini memuat beberapa sub-bab, diantaranya adalah: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi pustaka terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II : Waris Beda Agama Menurut Ulama Pada bab ini mengurai tentang landasan teoritis mengenai waris yang menyangkut tentang: pengertian waris, waris beda agama menurut Islam,
16
waris beda agama menurut ulama madzhab fiqh : Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i, Madzhab Hambali, serta menurut Yusuf Qardhawi. Bab III : Waris Beda Agama di Indonesia Pada bab ini mengurai tentang: waris beda agama menurut KHI, waris menurut KUHP, dan waris menurut Hukum Adat. Bab IV : Penetapan Pengadilan Agama Badung No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg dan Analisis Penulis Pada bab ini penulis menjelaskan tentang analisis penetapan No.4/Pdt.P/2013/PA.Bdg menurut hakim, pejabat pengadilan yang berwenang serta analisis penulis. Bab V : Penutup Pada bab ini merupakan kesimpulan dari keseluruhan bab terdahulu yang mana didalamnya juga dikemukakan saran-saran sebagai jalan pemikiran penulis dalam rangka membantu mengemukakan jalan keluar dari permasalahan yang ditemukan dalam penulisan skripsi ini.
BAB II WARIS BEDA AGAMA MENURUT ULAMA A. Kewarisan menurut Ulama 4 Madzhab Pengertian hukum kewarisan ialah himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan seseorang yang mati meninggalkan harta peninggalan. Bagaimana kedudukan masing-masing ahli waris serta bagaimana/berapa perolehan masing-masing ahli waris secara adil dan sempurna.1 Waris di dalam Al-quran terdapat dalam surat An-nisa: 11
َّ ِن,ص ٍْ ُك ُى هللاُ فِى أَْ نَ ِد ُك ْى )١١:(انُساء....,ٍِ ٍْ ٍَ َهر َك ِس ِي ْث ُم َحظِّ ْاْلُ َْث ِ ٌُْٕ Artinya : “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu.
Yaitu
bagian
anak
laki-laki
sama
dengan
anak
perempuan…”(Q.S. An-Nisaa‟: 11) 1. Rukun Kewarisan Warisan mempunyai 3 rukun yaitu: a. Orang yang mewariskan (muwarrits), yakni orang mati yang meninggalkan harta waris atau hak. b. Orang yang mewarisi (warits), yakni orang yang berhak mendapatkan warisan.
1
Ramulyo Idris, “Hukum Kewarisan Islam [Studi Kasus, Perbandingan Ajaran Syafi‟i/patrilinial dan praktek Hazairin/Bilateral dan praktek di Pengadilan Agama]” (Jakarta: Ind Hill-CO, 1987), hal. 49
17
18
c. Yang diwarisi (al-Mauruts), yakni peninggalan/harta peninggalan. Almauruts dinamakan juga miraats dan irts, yaitu harta yang ditinggalkan oleh orang yang mewariskan atau hak-hak yang mungkin diwariskan.2 2. Syarat-syarat kewarisan : a. Harus ada Muwarrits (pewaris) yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan (warisan) merupakan conditio sine quo-non (baru ada masalah kewarisan apabila ada seseorang yang meninggal dunia). Bilamana tidak ada yang meninggal dunia maka belum disebut masalah kewarisan. b. Pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Yang mati (meninggal) itu dapat bermacam-macam pula bentuknya, antara lain: 1) Mati haqiqi (mati sejati), ialah hilangnya nyawa seseorang dari jasadnya, yang dapat dibuktikan oleh panca indra atau pembuktian menurut ilmu kedokteran. 2) Mati
hukmi
(mati
yang
dinyatakan
menurut
keputusan
hakim/pengadilan). Pada hakikatnya orang itu masih hidup, atau dua kemungkinan antara hidup dan mati menurut hukum dianggap telah mati.
2
Ramulyo Idris, “Hukum Kewarisan Islam [Studi Kasus, Perbandingan Ajaran Syafi‟i/patrilinial dan praktek Hazairin/Bilateral dan praktek di Pengadilan Agama]” (Jakarta: Ind Hill-CO, 1987), hal. 50-51.
19
3) Mati takdiri ialah kematian bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi pemerkosaan, misalnya: a) Kematian seorang bayi akibat pemukulan terhadap perut ibunya b) Atau pemaksaan ibunya meminum racun, dan tidak langsung terhadap bayi yang mati.3 3. Adapun sebab-sebab warisan yang disepakati ada tiga yakni : a. Kekerabatan atau nasab hakiki, Hanafiyyah menyebutkan ar-Rahim, yang dimaksudkan adalah kekerabatan hakiki. Yakni, setiap hubungan yang penyebabnya adalah kelahiran. Ini mencakup (keturunan) si mayit dan asal-usulnya juga anak dari asal-usul si mayyit. b. Hubungan suami istri atau nikah yang sah, yang dimaksudkan adalah akad yang sah, baik disertai menggauli istri atau tidak. Ini mencakup suami dan istri. c. Wala‟ adalah kekerabatan secara hukum yang dibentuk oleh syar’i karena memerdekakan budak. d. Syafi’iyyah dan Malikiyah menambahkan sebab keempat yaitu representasi Islam. Representasi Islam (Muslim) mendapatkan warisan seperti nasab. Peninggalan orang Muslim atau sisa peninggalan diberikan kepada Baitul Mal sebagai warisan kepada orang-orang
3
Ramulyo Idris, “Hukum Kewarisan Islam [Studi Kasus, Perbandingan Ajaran Syafi‟i/patrilinial dan praktek Hazairin/Bilateral dan praktek di Pengadilan Agama]” (Jakarta: Ind Hill-CO, 1987), hal. 51-52
20
Muslim dalam bentuk ashabah, bukan karena kemaslahatan, jika tidak ada mewarisi karena tiga sebab di atas.4 4. Penghalang-penghalang warisan (mawaani‟ al-Irts) Sebab-sebab adanya hak kewarisan yaitu adanya hubungan kekerabatan dan hubungan perkawinan. Tetapi, adanya hubungan kewarisan itu belum menjamin secara pasti hak kewarisan. Kata al-Mawani‟ beberapa penghalang adalah bentuk jamak dari Mani‟ Menurut Bahasa Mani‟ berarti penghalang diantara dua hal (menghalangi). Sedangkan menurut istilah, Mani‟ berarti sesuatu yang mengharuskan ketiadaan sesuatu yang lain. Tentu saja ketiadaan sesuatu yang lain itu, tidak serta merta bermakna secara substansial. Kata yang mempunyai kesamaan arti dengan penghalang adalah kata halangan, yaitu menjadi sebab tidak terlaksananya suatu rencana (maksud) atau terhentinya pekerjaan.5 Para fuqaha menyepakati tiga penghalang warisan yakni budak, membunuh,
perbedaan
agama.
Hanafiyyah
menyebutkan
empat
penghalang warisan yakni budak, membunuh, perbedaan agama dan perbedaan
negara.
Dua
penyebab
yang
pertama
menghalangi
penyandangnya dari mewarisi yang lain dan dua penyebab terakhir menghalangi waris mewarisi 2 arah.
4
Wahbah zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu (terjemah jilid 10), (Jakarta: Gema Insani, 2011), Hal. 346-348. 5
A. Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Queen, 2009), hal. 70
21
1. Pengahalang Pertama : Budak Budak menurut bahasa berarti pengabdian, sedangkan menurut istilah adalah ketidakmapuan secara hukum yang menetap pada diri manusia. Penyebabnya pada asalnya adalah kafir. Kafir adalah penghalang warisan secara mutlak, baik status budak itu utuh atau tidak menurut pendapat Hanafiyyah dan Malikiyyah. Oleh karena itu, antara orang yang merdeka dan budak tidak bisa saling mewarisi. 2. Penghalang kedua : Membunuh Fuqaha bersepakat bahwa membunuh adalah penghalang warisan. Sebab, dia mempercepat warisan sebelum waktunya dengan perbuatan yang dilarang oleh karena itu, dia di hukum karena melanggar apa yang dimaksudkan, supaya dia takut dengan apa yang dilakukannya.6 Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai macammacam pembunuhan yang menghalangi warisan : Pendapat Hanafiyyah : adalah pembunuhan yang haram. Yakni pembunuhan yang terkait dengan kewajiban qishas dan kafarat. Mencakup pembunuhan sengaja, semi sengaja dan pembunuhan karena salah juga yang semacam pembunuhan salah. Pendapat Malikiyyah : adalah pembunuhan sengaja karena amarah, baik langsung maupun karena sebab tertentu. Mencakup orang yang memerintah, orang yang menganjurkan, orang yang memberi 6
Wahbah zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu (terjemah jilid 10), (Jakarta: Gema Insani, 2011), Hal. 354.
22
fasilitas, orang yang bersama-sama membunuh, orang yang menaruh racun dalam makanan dan minuman, orang yang mengintai tempat saat terjadi pembunuhan, saksi palsu dan orang yang memaksa dengan sungguh-sungguh untuk orang yang terjaga darahnya. Adapun pembunuhan karena salah tidak menghalangi warisan harta namun menghalangi warisan diyat. Pendapat Syafi‟iyyah : orang yang membunuh tidak mewarisi orang yang dibunuh secara mutlak, baik langsung ataupun karena sebab, terpaksa ataupun tidak, hak atau tidak, orang yang mukallaf atau bukan mukallaf. Ini adalah pendapat yang paling luas. Pendapat Hanabilah bahwa pembunuhan yang menghalangi warisan adalah pembunuhan karena tidak hak. Yaitu, pembunuhan, yang dijamin dengan qishash, diyat atau kafarat. Oleh karena, itu hal ini mencakup pembunuhan sengaja, semi sengaja dan pembunuhan karena salah. 3. Penghalang Ketiga : Perbedaan Agama Berlainan Agama adalah berbeda agama yang menjadi kepercayaan antara orang yang diwarisi dengan orang yang mewariskan.7 Perbedaan agama antara Muwarrits dan orang yang mewarisi karena Islam dan lainnya menghalangi warisan sebagaimana kesepakatan ulama madzhab empat. Semua ulama mengkelompokkan orang selain muslim adalah kafir. Orang kafir disini adalah pemeluk 7
Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 74
23
selain beragama Islam, baik beragama samawi atau beragama ardhi atau tidak beragama sekalipun (atheis). Bahwa mereka adalah orangorang yang menentang Nabi Muhammad SAW.8 Orang Muslim tidak bisa mewarisi orang kafir, orang kafir tidak bisa mewarisi orang muslim, baik disebabkan kekerabatan atau hubungan suami istri karena sabda Nabi Muhammad SAW:
ٍٍْ ٍب ع ٍَْ َعهِ ًِّ ْب ٍِ ُح َس ٍ ْج ع ٍَْ ا ْب ٍِ ِشَٓا ِ َح َّدثََُا أَبُٕ عَا ٍ ٌص ٍى ع ٍَْ ا ْب ٍِ ج َُس َّ ًَ ض ً َّ هللاُ َع ُُْٓ ًَا أَ ٌَّ انَُّ ِب ِ ع ٍَْ َع ًْ ِسٔ ْب ٍِ ُع ْث ًَاٌَ ع ٍَْ أ ُ َسا َيتَ ْب ٍِ َش ٌْ ٍد َز َّ صهَّى ُ هللاُ َعهَ ٍْ ِّ َٔ َسهَّ َى قَا َل َْل ٌَ ِس ِث ْان ًُ ْسهِ ُى ْان َكافِ َس َٔ َْل ْان َكافِ ُس ْان ًُ ْسهِ َى (زٔا َ 9
)انبخازي
Telah menceritakan kepada kami Abu Ashim dari Ibnu Juraih dari Ali Ibnu Shihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah bin Zaid radiallahu „anhuma, Nabi Shallallahu „alaihi wasalam bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim” Petunjuk yang pasti dalam Al-qur’an tentang hak kewarisan antara orang yang berbeda agama memang tidak ada. Tetapi hubungan perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim ahli kitab ada dijelaskan dalam Al-Qur’an. Mengingat bahwa antara 8
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al Faraidh: Deskripsi Hukum Islam Praktis dan Terapan, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005), hal. 40 9
784.
M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hal
24
hak kewarisan dengan hak perkawianan dekat hubungannya, maka dalam menghadapi hadits Nabi yang melarang hak kewarisan muslim dari non-Muslim terdapat perbedan pendapat dikalangan ulama.10 Nabi SAW sendiri telah mempaktikkan pembagian warisan, dimana perbedaan agama dijadikan sebagai penghalang saling waris mewarisi. Ketika paman beliau, Abu Tholib orang yang cukup berjasa dalam perjuangan Nabi SAW meninggal sebelum masuk Islam, oleh nabi harta warisannya hanya dibagikan kepada anak-anaknya yang masih kafir, yaitu Uqail dan Thalib. Sementara anaknya yang telah masuk Islam, yaitu Ali dan Ja’far, oleh beliau tidak diberi bagian waris.11
ُ ة أَنَّو ٍ ِس ْي ِن ْت ِن َعلِ ِّي ْت ِن أَتِي طَال َ ب عَنْ َعلِ ِّي ْت ِن ُح ٍ ش َها ِ َو َح َّدثَنِي عَنْ َمالِك عَنْ ا ْت ِن صيثَنَا ٌ ِة َعقِي ٌل َوطَال ٍ ِأَ ْخثَ َزهُ إِنَّ َما َو ِر َث أَتَا طَال ِ َة َولَ ْم يَ ِز ْثوُ َعلِ ٌّي قَا َل فَلِ َذلِ َك تَ َز ْكنَا ن ١2
)ة (رواه المالك ِّ ِمنْ ال ِ ش ْع
Artinya : “Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Ibnu Syihab dari Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib bahwa ia mengabarkan kepadanya, bahwa 'Aqil dan Thalib telah mewarisi harta dari Abu Thalib, sedang Ali tidak mewarisi hartanya. Ali 10
Fathur Rachman, Ilmu Waris,(Bandung: Al-Maarif,1975), hal. 97
11
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 108
12
2005), 434
M. Ridwan Syarif Abdullah, Al-Muwaththa Imam Malik (Jakarta : Pustaka Azzam,
25
bin Husain berkata; "Maka dari itu, kami tidak mengambil bagian kami berupa tanah yang ada di lembah”. 4. Adapun warisan dari orang murtad, ada perbedaan pendapat: a. Abu Hanifah mengatakan, ahli waris muslim mewarisi laki-laki murtad, apa yang diperoleh pada saat dia masih Islam. Adapun yang diperoleh saat murtad maka menjadi fa‟i Baitul Mal (harta yang disimpan oleh kaum muslimin). Perempuan murtad semua peninggalannya untuk ahli waris yang muslim. b. Dua murid Abu Hanifah tidak membedakan antara laki-laki murtad dan perempuan murtad. Keduanya mengatakan bahwa semua peninggalannya pada saat Islam dan murtad menjadi hak ahli waris mereka yang muslim. c. Mayoritas
ulama
(Malikiyah,
Syafi’iyyah,
dan
Hanabilah)
mengatakan bahwa orang murtad tidak mewarisi juga tidak di warisi sebagaimana kafir asli. Hartanya menjadi fa‟i (rampasan) untuk Baitul mal, baik dia memperolehnya pada saat Islam atau pada saat murtad. Sebab, dengan kemurtadannya dia menjadi musuh umat Islam. Status hartanya seperti harta kafir harbi. Ini jika dia meninggal dalam keadaan murtad, kalau tidak maka hartanya diwakafkan. Oleh karena itu, jika dia kembali kepada Islam maka harta itu menjadi miliknya.13
13
Wahbah zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu (terjemah jilid 10), (Jakarta: Gema Insani, 2011), Hal. 354-360.
26
Adapun jika salah seorang suami murtad sebelum persetubuhan maka nikahnya menjadi batal seketika. Jika murtadnya setelah persetubuhan maka ada dua riwayat : 1. Dipercepat perpisahan keduanya. 2. Menunggu sampai selesai iddah. Adapun kafir zindiq, adalah orang yang menunjukkan keislaman sementara dia menyembunyikan kekafiran. Hukum zindiq menurut mayoritas ulama selain Malikiyyah adalah seperti orang murtad. Malikiyah mengatakan bahwa kafir zindiq diwarisi berbeda dengan orang murtad, Para ahli warisnya yang muslim juga mewarisinya, jika dia menunjukkan keislamannya.14 Kesimpulannya,
murtad
secara
umum
menghalangi
pewarisan. Sebagian ulama menghitungnya sebagai penghalang khusus berbeda dengan perbedaan agama. Sebab, murtad mempunyai hukum khusus. Orang murtad tidak mewarisi siapa pun selain orang murtad secara mutlak, juga tidak diwarisi menurut pendapat mayoritas ulama selain Hanafiyyah. Sedang menurut dua orang muridnya Abu Hanifah, bisa diwarisi secara mutlak. Hartanya yang diperoleh pada waktu Islam sajalah yang diwarisi menurut Abu Hanifah. B. Kewarisan Menurut Yusuf Qardhawi
14
Wahbah zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu (terjemah jilid 10), (Jakarta: Gema Insani, 2011), Hal. 360.
27
Seorang ulama kontemporer bernama Yusuf al-Qaraḍawi menjelaskan dalam bukunya Hadyu al-Islam Fatawi Mu’asirah bahwa orang Islam dapat mewarisi dari orang non-Islam sedangkan orang non-Islam itu sendiri tidak boleh mewarisi dari orang Islam. Menurutnya Islam tidak menghalangi dan tidak menolak jalan kebaikan yang bermanfaat bagi kepentingan umatnya. Terlebih lagi dengan harta peninggalan atau warisan yang dapat membantu
untuk
mentauhidkan Allah, taat kepada-Nya dan menolong menegakkan agama-Nya. Bahkan sebenarnya harta ditujukan sebagai sarana untuk taat kepada-Nya, bukan untuk bermaksiat kepada-Nya.15 Hal ini, didasarkan kepada surat Al-Maidah Ayat 5:
َ َٔ اب ِحم نَ ُك ْى َ َٔ اث ُ َْانٍَْٕ َو أ ُ ِح َّم نَ ُك ُى انطٍَِّّب ط َعا ُي ُك ْى ِحم نَُٓ ْى َ َط َعا ُو انَّ ِرٌٍَ أُٔتُٕا ْان ِكت ُ َُص ُ َُص اب ِي ٍْ قَ ْبهِ ُك ْى إِ َذا َ َاث ِيٍَ انَّ ِرٌٍَ أُٔتُٕا ْان ِكت َ ْث َٔ ْان ًُح َ َْٔ ْان ًُح ِ اث ِيٍَ ْان ًُ ْؤ ِيَُا ٌِ صٍٍَُِ َغٍ َْس ُي َسافِ ِحٍٍَ َْٔل ُيتَّ ِخ ِري أَ ْخدَا ٌٍ َٔ َي ٍْ ٌَ ْكفُسْ بِاإلٌ ًَا ِ ْآتَ ٍْتُ ًُُْٕ ٍَّ أُجُٕ َزُْ ٍَّ ُيح )٥: فَقَ ْد َح ِبطَ َع ًَهُُّ َُْٔ َٕ فًِ اَ ِخ َس ِة ِيٍَ ْان َخا ِس ِسٌٍَ (انًآىدة Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orangorang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar mas kawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barang siapa yang kafir setelah beriman maka sungguh, sia-sia amalan mereka dan di hari kiamat dia termasuk orang-orang yang rugi. (Q. S. Al-Maidah: 5) 15
Al-Qaraḍawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, terjemah Hadyu al-Islam Fatawi Mu’asirah, Jilid ke-3 (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 850.
28
Pada ayat di atas memperbolehkan menikahi wanita ahli kitab yang pada hakikatnya non muslim, yang nantinya ketika sang ahli kitab tersebut meninggal menimbulkan hukum baru yaitu kewarisan, pada hal ini kewarisan beda agama. Dengan perkataan lain kalau seorang laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan non-Muslim yang Ahli al-kitab, maka seorang Muslim dapat menjadi ahli waris dari seorang pewaris yang non-Muslim yang Ahli al-kitab. Istinbat hukum yang ditempuh oleh Yusuf al-Qaradawi dalam masalah waris beda agama adalah menafsiri hadits tentang larangan waris beda agama dengan menggunakan hasil ta’wil-an dari ulama mazhab Hanafi terhadap hadits tentang tidak dibunuhnya orang Islam disebabkan membunuh orang kafir harbi. Dimana, lafaz kafir pada ḥadis larangan waris beda agama adalah masih bersifat umum, sehingga perlu adanya pentakhsisan, yaitu diartikan dengan kafir harbi. Selain itu, Yusuf Qaraḍawi memandang akan adanya kemaslahatan yang besar ketika orang Islam bisa mewarisi harta peninggalan dari keluarganya yang kafir zimmi, di antaranya dapat menarik hati orang-orang kafir zimmi untuk masuk Islam. Dimana yang dimaksud kafir disini adalah kafir harbi, jadi seorang muslim tidak mewarisi kafir harbi (kaum yang memerangi umat Islam secara nyata) disebabkan terputusnya hubungan mereka.16
16
Al-Qaraḍawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, terjemah Hadyu al-Islam Fatawi Mu’asirah, Jilid ke-3 (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 856-860.
BAB III WARIS BEDA AGAMA DI INDONESIA A. Hukum Waris Beda Agama menurut KHI Dalam KHI, hukum kewarisan terdapat dalam Buku II yang terdiri dari 6 Bab dan 44 Pasal (dari pasal 171- 214) dengan rincian Bab I tentang Ketentuam Umum, Bab II tentang Ahli Waris, Bab III tentang Besarnya Bahagian, Bab IV tentang Aul dan Rad, Bab V tentang Wasiat, dan Bab VI tentang Hibah.1 Mengenai kewarisan beda agama, dalam Kompilasi Hukum Islam tidak ada penjelasan secara detail tentang perbedaan agama. Akan tetapi dalam KHI dijelaskan bahwa ahli waris harus beragama Islam. Sebagaimana terdapat dalam pasal 171 ayat (c), “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”. Berdasarkan pasal diatas, kewarisan bisa diperoleh dari perkawinan, dan persamaan keyakinan atau persamaan agama serta tidak terhalang oleh hukum. Mengacu pada pasal tersebut, perbedaan agama tidak bisa saling mewarisi. Dalam Kompilasi Hukum Islam, seseorang dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan dan kesaksian. Hal ini dijelaskan dalam pasal 172 yakni, “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang
1
Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hal. 98.
30
31
baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya” Secara umum dapat dikatakan bahwa ketentuan mengenai masalah hukum kewarisan yang diatur dalam KHI secara garis besar tetap berpedoman pada garisgaris hukum faraid. Warna alam pikiran asas qath’i masih agak dominan dalam perumusan. Sehingga hampir seluruhnya berpedoman pada garis rumusan nash yang terdapat dalam al-Qur’an. Buku II tentang hukum kewarisan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam hanyalah penjelasan yang berupa pokok-pokoknya saja. Ini disebabkan karena garis-garis hukum yang dihimpun dalam Kompilasi Hukum Islam hanyalah sebagai pedoman dalam menyelesaikan perkara-perkara hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Adapun untuk pengembangannya diserahkan kepada para hakim dengan memperhatikan nilai-nilai hukum dalam kehidupan masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan. Dengan demikian, dalam Kompilasi Hukum Islam tidak ada peraturan secara khusus tentang kewarisan beda agama. Kompilasi Hukum Islam (KHI) hanya saja menjelaskan secara garis besar tentang kewarisan. Penjelasan tentang kewarisan beda agama sudah tercakup dalam pasal 171 ayat (c), yaitu bahwasanya perbedaan agama tidak bisa saling mewarisi dan agama Islam merupakan syarat utama dalam memperoleh warisan.2
2
Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011, hal. 99-101.
32
B. Waris menurut KUHP Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) yang berlaku di Indonesia adalah berasal dari BURGELIJK WETBOEK yang terdiri dari 4 buku, yakni : 1. Buku kesatu tentang orang, 2. Buku kedua tentang kebendaan, 3. Buku ketiga tentang perikatan, dan 4. Buku keempat tentang pembuktian dan daluarsa.3 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) mengandung lima (5) asas sebagai berikut : 1. Asas Hak Eigendon (hak milik) yang bersifat individualistis tetapi berdasarkan undang-undang Pokok Agraria. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 dalam pasal 6 dikatakan bahwa hak milik adalah mempunyai fungsi sosial, 2. Asas kebebasan berkontrak (sesuai dengan pasal 1320 jo. Pasal 1338 KUH. Per, 3. Asas Netral dan tidak memihak, 4. Asas dalam lapangan Hukum Kekeluargaan yang bertindak dari wanita yang sudah bersuami, Suami dan istri mempunyai hak yang sama diatur dalam pasal 31 UU no. 1 Tahun 1974. 5. Asas Perkawinan Monogami (sesuai undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,4
3
Hal. 11
Sudarsono, “Hukum Waris dan Sistem Bilateral”, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,1990),
33
Adapun waris menurut KUHP diatur dalam buku kedua yang pertamatama disebut dalam pasal 830 yakni: “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Jelasnya menurut pasal ini rumusan/definisi hukum waris, mencakup masalah yang begitu luas. Pengertian yang dapat dipahami dari kalimat singkat tersebut ialah bahwa jika seseorang meninggal dunia, maka seluruh hak dan kewajibannya berpindah kepada ahli warisnya.5 Pada
dasarnya
pewarisan
merupakan
proses
berpindahnya
harta
peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Akan tetapi proses perpindahan tersebut tidak dapat terlaksana apabila unsur-unsurnya tidak lengkap. Menurut hukum perdata barat terdapat 3 unsur warisan, yakni: 1. Orang yang meninggalkan harta warisan, disebut: Erflater, 2. Harta warisan, disebut: Erfenis, 3. Ahli Waris, disebut: Erfgenaam.6 Asas Pewarisan dalam Hukum Perdata (BW) ialah asas kematian artinya pewarisan hanya karena kematian (pasal 830 KUH.Per), akan tetapi hukum perdata masih memiliki asas lain yaitu :
1. Asas Individual 4
Ramulyo Idris, “Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat” (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hal. 26 5
Sudarsono, “Hukum Waris dan Sistem Bilateral”, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,1990),
6
Sudarsono, “Hukum Waris dan Sistem Bilateral”, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,1990),
Hal. 11
Hal. 15
34
Asas individual (sistem pribadi) di mana yang menjadi ahli waris adalah perorangan (secara pribadi) bukan kelompok ahli waris dan bukan kelompok klan, suku, atau keluarga. Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 852 jo. 852a yang menentukan bahwa yang berhak menerima warisan adalah suami dan istri yang hidup terlama, anak beserta keturunannya. 2. Asas Bilateral Asas Bilateral artinya bahwa seseorang tidak hanya mewarisi dari bapak saja tetapi juga sebaliknya dari ibu, demikian juga saudara lakilaki
mewarisi
dari
saudara
laki-lakinya,
maupun
saudara
perempuannya, asas bilateral ini dapat dilihat dari pasal 850,853,856 yang mengatur bila anak-anak dan keturunannya serta suami atau istri hidup terlama tidak ada lagi maka harta peninggalan dari si meninggal diwarisi oleh Ibu dan Bapak serta saudara laki-laki maupun sudara perempuan.7 3. Asas Perderajatan Asas Perderajatan artinya ahli waris yang derajatnya dekat dengan si pewaris menutup ahli waris yang jauh derajatnya. Dalam KUHP ditetapkan ada orang-orang yang karena perbuatannya tidak patut (onwaardig) menerima warisan. Menurut pasal 838, karena putusan hakim telah :
7
Hadikusuma hilman, Hukum Waris Adat, (Tanjung karang: Alumni/1983/Bandung , 1983), hal. 14.
35
1. Dipersalahkan membunuh atau mencoba membunuh si yang meninggal, 2. Telah memfitnah atau mengajukan pengaduan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau lebih berat, 3. Dengan kekerasan telah mencegah si yang meninggal untuk membuat atau mencabut surat gugatan atau menghalang-halangi si meninggal, 4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si yang meninggal.8 Dalam KUHP perbedaan agama tidak menjadi suatu alasan seseorang tidak mendapatkan warisan karena selama masih
mempunyai nasab dengan
pewaris/keturunan, meskipun berbeda agama masih mempunyai hak waris tersebut. C. Hukum Waris Adat Hukum waris adat adalah sebagian dari ilmu pengetahuan tentang hukum adat yang berhubungan dengan kekeluargaan dan kebendaan. Sebagai ilmu pengetahuan ia memerlukan penguraian yang sistematis, yang tersusun bertautan antara satu dan yang lainnya.9 Prof. Soepomo merumuskan, hukum waris adat adalah hukum waris yang memuat peraturan-peraturan adat yang mengatur proses meneruskan serta
8
Ramulyo Idris, “Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat” (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hal. 32 9
Hadikusuma hilman, Hukum Waris Adat, (Tanjung karang: Alumni/1983/Bandung , 1983), hal. 14.
36
mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang tidak berwujud dari angkatan manusia kepada keturunannya.10 Hilman Hadikusumah dalam bukunya mengemukakan bahwa "warisan menunjukkan harta kekayaan dari orang yang telah meninggal, yang kemudian disebut pewaris, baik harta itu telah dibagi-bagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi".11 Masyarakat Indonesia menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda-beda, mempunyai sistem kekeluargaan yang berbeda-beda pula. Secara teoritis garis keturunan pada dasarnya dapat digolongkan menjadi tiga sistem kekeluargaan atau kekerabatan, yaitu sebagai berikut : a. Sistem Kekeluargaan Patrilineal Yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan menurut garis bapak, dimana menurut sistem ini kedudukan laki-laki lebih menonjol dibandingkan dengan kedudukan perempuan terutama dalam hal pewarisan. Contohnya : Masyarakat Batak, Bali, Nias, Sumba, dan lain-lain. b. Sistem Kekeluargaan Matrilineal Yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan menurut garis ibu, dimana menurut sistem ini kedudukan perempuan lebih menonjol dibandingkan dengan kedudukan laki-laki dalam hal pewarisan. Contoh : Masyarakat Minangkabau 10
11
Gultom Elfrida, Hukum Waris Adat di Indonesia (Jakarta : Literata, 2010), hal. 45
Athoilah, Fikih Waris, Metode Pembagian Waris Praktis, (Bandung: Yrama Widya, 2013), hlm. 2
37
c. Sistem kekeluargaan Parental atau Bilateral Yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan berdasarkan garis bapak dan ibu, di mana menurut sistem ini kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pewarisan adalah seimbang atau sama. Contoh : Masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Kalimantan, dan lain-lain.12 Menurut hukum Adat Bali yang berhak mewaris hanyalah keturunan pria dan pihak keluarga pria dan anak angkat lelaki. Hal ini berdasarkan Putusan Mahkamah Agung pada tanggal 3 Desember 1958 No. 200 K/Sip/1958. Menurut hukum adat Bali dalam membagi harta peninggalan itu lebih mengutamakan anak laki-laki, dalam agama Islam juga bagian laki-laki lebih besar daripada bagian perempuan yakni 2:1. Di Bali anak laki-laki yang tertua sering diwarisi harta warisan, tetapi dengan kewajiban wajib menghidupi adik-adiknya sampai mereka pada menikah.13 Namun dengan perkembangan zaman yang pesat dan banyaknya masyarakat yang menuntut ilmu di pesantren sedikit demi sedikit mulailah ajaranajaran Islam mulai berkembang contohnya dalam praktek pembagian warisan, mulai ada pergeseran dari mulai harta peninggalan yang seutuhnya di berikan kepada anak laki-laki mulai bergeser dengan adanya tata cara sistem kewarisan Islam yang membagi semua harta peninggalan dengan cara seadil-adilnya. 12
13
Gultom Elfrida, Hukum Waris Adat di Indonesia (Jakarta : Literata, 2010), hal. 35-36.
Oemarsalim. Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia. ( Jakarta: PT. Rineka Cipta), 2006, hal. 97
38
Walaupun terdapat banyak juga yang dalam pembagian harta waris tetap menggunakan pembagian waris adat patrilinial.14 Berikut ini yang menjadi dasar-dasar pembagian hukum adat: 1. Adanya persamaan hak para ahli waris. 2. Harta warisan tidak dapat dipaksakan untuk dibagi para ahli waris. 3. Pembagian warisan dapat ditunda ataupun dibagikan hanya sebagian saja. 4. Harta warisan tidak merupakan satu kesatuan, tetapi harus dilihat dari sifat, macam asal dan kedudukan hukum dari barang-barang warisan tersebut.15
14
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi V. (Jakarta : Rineka Cipta), 2002, Hal. 58 15
Gultom Elfrida, Hukum Waris Adat di Indonesia (Jakarta : Literata, 2010), hal. 45-46
BAB IV PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BADUNG NO.4/PDT.P/2013/PA.BDG DAN ANALISIS PENULIS A. Kronologis Perkara Para Pemohon (R. Agus Prabowo bin R. Soewarkoesno dan R. Mikro Sundoro bin R. Soewarkoesno) melalui Kuasa Para Pemohon mengajukan permohonan Penetapan Ahli Waris dari R. Soewarkoesno dan Ni Made Rai Ningsih, dengan alasan-alasan sebagai berikut : 1. Bahwa ayah para Pemohon yakni R. Soewarkoesno lahir di Cilacap tanggal 9 April 1937 telah menikah dengan ibu para Pemohon yang bernama Ni Made Rai Ningsih, lahir di Singaraja tanggal 4 Februari 1947. 2. Bahwa dari perkawinan tersebut di atas telah dilahirkan 4 (empat) orang anak sebagai berikut : a. Ni Luh Eksi Sundari (sudah meninggal), anak pertama, perempuan, lahir tanggal 23Maret 1963, agama Hindu, beralamat di Banyuning, Singaraja. b. R. Agus Prabowo, anak kedua, laki-laki, lahir 11 Agustus 1968, agama Islam, bertempat tinggal di Kuta, Badung. c. R. Endro Prakoso, anak ketiga, laki-laki, lahir tanggal 13 April 1970, agama Hindu, tempat tinggal di Kuta, Badung.
39
40
d. R. Mikro Sundoro,anak keempat, laki-laki, lahir tanggal 28 Juni 1972, agama Islam, alamat di Sidoharjo, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, kini tinggal di Kalimantan. 3. Bahwa kedua orang tua para Pemohon telah meninggal dunia, ibu kandung para Pemohon (Ni Made Rai Ningsih) meninggal lebih dahulu pada tanggal 29 Mei 2004 karena sakit, Surat Keterangan Kematian Nomor: 221/LT/SKK/IX/12 tanggal 17 September 2012, bapak kandung para Pemohon (R. Soewarkoesno) meninggal dunia pada tanggal 17 Februari 2010, Surat Keterangan Kematian Nomor: 221/LT/SKK/IX/12 tanggal 17 September 2012 dari Kelurahan Kuta, Kuta Utara. 4. Bahwa Ibu Pemohon yaitu, Ni Made Rai Ningsih meninggal dalam keadaan Hindu namun sebelumnya beragama Islam. 5. Bahwa ayah para Pemohon dan ibu para Pemohon semasa hidupnya tidak pernah membuat surat wasiat. 6. Bahwa semasa hidupnya, orang tua para Pemohon memiliki 2 bidang tanah yang kini disebut sebagai tanah/harta warisan, berupa : a. Tanah seluas 250 m2 (dua ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kuta, Badung, Sertifikat Hak Milik No.767, Gambar Situasi No. 1413/1978 tanggal 20 September 1978, atas nama Made Rai Ningsih, b. Tanah seluas 350 m2 (tiga ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kuta, Badung, Sertifikat Hak Milik No. 768, Gambar Situasi
41
No. 176/1978 tanggal 26 Februari 1979, atas nama R. Soewarkoesno. 7. Bahwa Ni Luh Eksi Sundari telah berpindah agama ke agama Hindu karena mengikuti agama suaminya, sehingga sesuai dengan ketentuan hukum Islam, maka Ni Luh Eksi Sundari tidak lagi menjadi ahli waris dari orang tuanya yang bernama R. Soewarkoesno dan Ni Made Rai Ningsih. 8. Bahwa demikian juga dengan R. Endro Prakoso, di depan persidangan perkara Nomor 20/Pdt.P/2012/PA.Bdg. menyatakan dengan tegas telah pindah agama dan kini beragama Hindu, dengan demikian pernyataan tersebut membuktikan bahwa R. Endro Prakoso tidak berhak lagi atas harta warisan dari orang tuanya yang bernama R. Soewarkoesno dan Ni Made Rai Ningsih. B. Pertimbangan Hakim Menimbang bahwa, Para Pemohon yang diwakili oleh Kuasanya mengajukan permohonan Penetapan Ahli waris dari Ni Made Rai Ningsih dalam hal mana di saat meninggal dunia beragama Hindu. Demikian juga para Pemohon mengajukan permohonan Penetapan Ahli waris dari R. Soewarkoesno yang juga telah meninggal dunia dalam keadaan beragama Islam. Dalam keterangannya di persidangan para Pemohon juga bermohon agar penetapan ini dapat digunakan sebagai alasan hak bagi ahli waris Ni Made Rai Ningsih dan ahli waris R. Soewarkoesno terhadap tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 767 tanggal 20
42
September 1979 atas nama Ni Made Rai Ningsih dan Sertifikat Hak Milik Nomor 768 tanggal 26 Februari 1979 atas nama R. Soewarkoesno. Menimbang, bahwa karena para Pemohon beragama Islam demikian juga dengan pewaris yang bernama R. Soewarkoesno beragama Islam, meskipun pewaris yang bernama Ni Made Rai Ningsih disebutkan beragama Hindu, Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara ini merupakan kewenangan absolute Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat 1 huruf (b) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Menimbang, bahwa Pemohon I sebagai pihak yang mengajukan perkara secara voluntair berdomisili di wilayah Kabupaten Badung, maka perkara ini secara relative menjadi kewenangan Pengadilan Agama Badung. Menimbang, bahwa perkara ini adalah permohonan penetapan ahli waris, maka yang perlu dibuktikan adalah apakah pewaris benar-benar telah meninggal dunia dan apakah meninggalkan ahli waris yang akan mewarisinya dan tidak terhalang secara syar’i untuk ditetapkan sebagai ahli waris. Menimbang, bahwa dari dalil permohonan Pemohon, bukti P6 dan keterangan para saksi, Ni Made Rai Ningsih telah meninggal dunia dalam keadaan beragama Hindu meski sebelumnya beragama Islam, hal mana menurut Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tahun 1991, seorang Pewaris pada saat meninggal dunia harus beragama Islam. Bilamana dihubungkan dengan Pasal
43
171 huruf c Kompilasi Hukum Islam, secara eksplisit Kompilasi Hukum Islam menganut sistem persamaan agama, yakni agama Islam untuk dapat saling mewarisi. Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur bagaimana sekiranya pewaris itu murtad (keluar dari Islam), apakah hartanya dapat diwarisi oleh muslim ataukah tidak. Sepanjang mengenai hal ini Majelis Hakim memberikan pendapat hukum sebagai berikut : Menimbang, bahwa menurut pendapat Majelis Hakim, sistem kewarisan Islam menganut sistem kekerabatan, baik secara nasabiyah maupun secara hukmiyah. Sistem kekerabatan ini lebih utama bila dibandingkan dengan perbedaan agama sebagai penghalang mewarisi, karena hukum kewarisan selain mengandung unsur ibadah, lebih banyak juga mengandung unsur muamalah. Kekerabatan antara seorang dengan seseorang tidak akan pernah terputus sekalipun agama mereka itu berbeda. Seorang anak tetap mengakui ibu kandungnya sekalipun ibu kandungnya itu tidak satu agama dengannya. Islam tidak mengajarkan permusuhan dengan memutuskan hubungan horizontal dengan non muslim, terlebih-lebih mereka itu ada pertalian darah. Menimbang, bahwa Majelis Hakim memandang penghalang kewarisan karena berbeda agama, haruslah dipahami secara cermat. Perbedaan agama itu ditujukan semata-mata kepada ahli waris. Bilamana seseorang ingin menjadi ahli waris untuk mendapatkan harta warisan dari pewaris, jangan sekali-kali berbeda agama dengan pewarisnya yang muslim. Sekiranya hal itu terjadi, maka non muslim tersebut tidak dapat menuntut agar dirinya menjadi ahli waris dan mendapatkan harta warisan dari pewaris menurut hukum Islam.
44
Menimbang, bahwa dalam perkara a quo, pewaris yang bernama Ni Made Rai Ningsih sebelumnya beragama Islam, lalu keluar dari Islam dan kemudian meninggal dunia dalam keadaan non muslim sementara kerabat terdekatnya tetap memeluk agama Islam, maka kerabat muslim tersebut tetap menjadi ahli waris, dalam hal ini Majelis Hakim sejalan dan mengambil alih pendapat Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah, Muhammad bin Ali dan Al Masruq Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.263), dan lebih spesifik Majelis Hakim mengambil alih pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan semua peninggalan wanita yang keluar dari Islam (murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam (Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.265). Menimbang, bahwa pertimbangan hukum di atas, tidak berarti Majelis Hakim menyalahi aturan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf b dab c, Majelis Hakim memandang Pasal
171 huruf b dan c tersebut di atas harus
dipahami sebagai aturan umum dalam kasus-kasus ideal, sementara perkara a quo adalah perkara yang bersifat insidental. Menimbang, bahwa oleh karena itu, dalam menyelesaikan perkara waris dalam kasus yang ideal di mana pewaris dan ahli warisnya beragama Islam, Majelis Hakim akan merujuk kepada pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, sementara itu, dalam halmana pewarisnya murtad (telah keluar dari Islam), Majelis Hakim akan merujuk kepada pendapat Hukum yang Majelis Hakim uraikan di atas.
45
Menimbang, bahwa dari keterangan saksi-saksi dan bukti P 6 diperoleh fakta hukum, ternyata Ni Made Rai Ningsih yang kemudian menjadi non muslim telah meninggal dunia dalam keadaan non muslim pada tanggal 29 September 2004 dengan meninggalkan seorang suami bernama R. Soewarkoesno yang beragama Islam, dan 4 (empat) orang anak yakni Ni Luh Eksi Sundari beragama Hindu, R. Agus Prabowo beragama Islam, R. Endro Prakoso beragama Hindu, dan R. Mikro Sundoro beragama Islam, oleh karena itu dengan menunjuk uraian pertimbangan hukum yang dikemukakan di atas, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa ahli waris dari Ni Made Rai Ningsih adalah R. Soewarkoesno, R. Agus Prabowo dan R. Mikro Sundoro. Menimbang, bahwa dalam kasus R. Soewarkoesno ini, Majelis Hakim menilai sebagai kasus yang ideal sehingga kembali merujuk kepada aturan umum yang terdapat dalam Pasal 171 huruf b dan c Kompilasi Hukum Islam. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, maka Majelis Hakim menyimpulkan bahwa ahli waris dari R. Soewarkoesno adalah, R. Agus Prabowo dan R. Mikro Sundoro. Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, maka diperoleh fakta hukum bahwa ahli waris dari Ni Made Rai Ningsih dan R. Soewarkoesno adalah R. Agus Prabowo dan R. Mikro Sundoro. Menimbang, bahwa meskipun demikian, karena hukum kewarisan Islam di Indonesia mengandung asas egaliter, maka kerabat yang beragama selain Islam yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris, dalam perkara a quo adalah Ni
46
Luh Eksi Sundari dan R. Endro Prakoso, tetap berhak mendapat bagian waris dengan jalan wasiat wajibah dengan tidak melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengannya Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon, maka penetapan ahli waris ini dapat digunakan untuk mengurus harta peninggalan dari Ni Made Rai Ningsih dan R. Soewarkoesno. Menimbang, bahwa karena yang mengajukan permohonan ini adalah para Pemohon secara voluntair, maka seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada pihak yang mengajukan perkara yaitu para Pemohon yang besarnya sebagaimana tersebut dalam amar penetapan ini. C. Penetapan Majlis Hakim Menetapkan: 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. 2. Menetapkan ahli waris dari Ni Made Rai Ningsih dan R. Soewarkoesno adalah R. Agus Prabowo dan R. Mikro Sundoro. 3. Membebankan biaya perkara ini kepada para Pemohon sebesar Rp 186.000,- (seratus delapan puluh enam ribu rupiah). D. Analisis Penulis Kasus ini adalah permohonan Penetapan Ahli Waris dari R. Soewarkoesno (almarhum) dan Ni Made Rai Ningsih (Almarhum) yang telah meninggal pada tanggal 29 Mei 2004 dan R. Sowarkoesno meninggal pada tanggal 10 Februari 2010. Perlu diketahui Pewaris selain meninggalkan ahli waris juga meninggalkan
47
harta berupa sebidang tanah seluas 250 m2 terletak di Desa Kuta, Kecamatan Kuta, Badung sertifikat hak milik Ni Made Rai Ningsih dan tanah seluas 350m2 terletak di Desa Kuta, Kecamatan Kuta, Badung sertifikat hak milik R. Soewarkoesno.
Para
pemohon
memohon
kepada
majlis
hakim
untuk
menetapkan/memutuskan bahwa R. Agus Prabowo bin R. Sowarkoesno umur 44 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Kuta, Kabupaten Badung dan R. Mikro Sundoro bin R. Sowarkoesno umur 40 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Sukoharjo, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah adalah ahli waris yang sah dari almarhum R. Sowarkoesno dan Ni Made Rai Ningsih. Setelah mengikuti duduk perkara dan pertimbangan-pertimbangan hukum hakim berdasarkan penetapan No.4/pdt.P/2013/PA.Bdg. di Pengadilan Agama Badung Provinsi Bali maka penulis akan memaparkan pandangan penulis terhadap kasus tersebut. Pada penetapan perkara ini diketahui bahwa sang pewaris/ibu pemohon bernama Ni Made Rai Ningsih adalah bukan beragama Islam, pewaris beragama Hindu
yang
dapat
dibuktikan
dengan
Keterangan
Kematian
Nomor
221/LT/SKK/IX/12 pada tanggal 17 September 2012 dan keterangan saksi-saksi. Menurut pendapat majelis hakim,
sistem kewarisan Islam menganut
sistem kekerabatan, baik secara nasabiyah maupun secara hukmiyah. Sistem kekerabatan ini lebih utama bila dibandingkan dengan perbedaan agama sebagai penghalang mewarisi, karena hukum kewarisan selain mengandung unsur ibadah, lebih banyak juga mengandung unsur muamalah. Kekerabatan antara seorang
48
dengan seseorang tidak akan pernah terputus sekalipun agama mereka itu berbeda. Seorang anak tetap mengakui ibu kandungnya sekalipun ibu kandungnya itu tidak satu
agama
dengannya.
Islam
tidak
mengajarkan
permusuhan
dengan
memutuskan hubungan horizontal dengan non muslim, terlebih-lebih mereka itu ada pertalian darah. Sedangkan menurut penulis sendiri mengenai perkara waris menurut hukum Islam faktor perbedaan agama, adalah sesuatu yang menjadi penghalang kewarisan/saling waris mewarisi dan bisa mendapatkan harta peninggalan dari ahli waris dengan jalan wasiat wajibah, bukan dengan jalan waris. Sesuai dengan Hadis Nabi SAW:
ب ع َْي َعلِ ًِّ ْت ِي ُح َسٍ ٍْي ٍ ْج ع َْي ا ْت ِي ِشَِا ِ َح َّذحٌََا أَتُْ عَا ٍ ٌص ٍن ع َْي ات ِْي ُج َش َّ ًَ ض ً َّ َِّللاُ َع ٌُِْ َوا أَ َّى الٌَّث ِ ع َْي َع ْو ِشّ ت ِْي ُع ْخ َواىَ ع َْي أ ُ َسا َهحَ ت ِْي َص ٌْ ٍذ َس َّ صلَّى ُ َّللاُ َعلَ ٍْ َِ َّ َسلَّ َن قَا َل ََل ٌَ ِش ث ْال ُو ْسلِ ُن ْال َكافِ َش َّ ََل ْال َكافِ ُش ْال ُو ْسلِ َن َ )(سّاٍ الثخاسي1 Telah menceritakan kepada kami Abu Ashim dari Ibnu Juraih dari Ali Ibnu Shihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah bin Zaid radiallahu „anhuma, Nabi Shallallahu „alaihi wasalam bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim”
1
784.
M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hal
49
Menurut pendapat Majlis Hakim, dalam perkara a quo, pewaris yang bernama Ni Made Rai Ningsih sebelumnya beragama Islam, lalu keluar dari Islam dan kemudian meninggal dunia dalam keadaan non muslim sementara kerabat terdekatnya tetap memeluk agama Islam, maka kerabat muslim tersebut tetap menjadi ahli waris, dalam hal ini Majelis Hakim sejalan dan mengambil alih pendapat Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah, Muhammad bin Ali dan Al Masruq (Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.263), dan lebih spesifik Majelis Hakim mengambil alih pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan semua peninggalan wanita yang keluar dari Islam (murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam (Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.265). Ada beberapa pendapat ulama fiqh tentang warisan orang murtad, yang di wariskan kepada : 1. Hartanya otomatis menjadi fa’i bagi baitul mal dan menjadi milik kaum muslimin. Ini pendapat Malik, Syafi’i, Ahmad dalam riwayat Ibnu Abbas RA, Rabiah, Abu Tsaur, dan Ibnu Mundzir.2 Mereka beralasan dengan dalil:
ب ع َْي َعلِ ًِّ ت ِْي ٍ ْج ع َْي ا ْت ِي ِشَِا ِ َح َّذحٌََا أَتُْ عَا ٍ ٌص ٍن ع َْي ا ْت ِي ُج َش َّ ًَ ض َُّللا ِ ُح َس ٍْ ٍي ع َْي َع ْو ِشّ ْت ِي ُع ْخ َواىَ ع َْي أ ُ َسا َهحَ ْت ِي َص ٌْ ٍذ َس
2
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah Lengkap (terjemah jilid 4), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), Hal. 288-290.
50
َّ صلَّى ُ َّللاُ َعلَ ٍْ َِ َّ َسلَّ َن قَا َل ََل ٌَ ِش ث ْال ُو ْسلِ ُن ْال َكافِ َش َ ً َّ َِع ٌُِْ َوا أَ َّى الٌَّث ) َّ ََل ْال َكافِ ُش ْال ُو ْسلِ َن (سّاٍ الثخاسي3 Telah menceritakan kepada kami Abu Ashim dari Ibnu Juraih dari Ali Ibnu Shihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah bin Zaid radiallahu „anhuma, Nabi Shallallahu „alaihi wasalam bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim” 2. Semua hartanya diberikan kepada para ahli warisnya yang muslim, baik harta yang dihasilkan sebelum murtad (semasa masih muslim) atau setelah murtad. Ini pendapat Abu Yusuf dan Muhammad, dua orang murid Abu Hanifah, riwayat kedua Ahmad, riwayat dari Abu Bakar, Ali, Ibnu Mas’ud RA, pendapat sekelompok orang salaf antara lain Al-Hasan, Umar Bin Abdul Aziz, Al-Auza’i, Ats-Tsauri. Mereka berpegang pada dalil :4 a. Riwayat dari Zaid bin Tsabit, dia mengatakan: Abu Bakar mengutusku setelah sekembalinya dari kalangan murtad agar aku membagikan harta-harta mereka pada para pewaris mereka yang masih muslim. Demikian disebutkan oleh Ibnu Qudamah. b. Mereka mengatakan: jika memang karena kemurtadannya seluruh harta bendanya berpindah tangan, maka ia hanya berpindah tangan 3
M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hal
784. 4
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah Lengkap (terjemah jilid 4), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), Hal. 288-290.
51
pada para ahli warisnya yang masih muslim, sebagaimana halnya jika ia meninggal dunia. 3. Harta orang murtad yang diperoleh sebelum kemurtadannya diberikan kepada ahli warisnya yang masih muslim. Ini adalah pendapat Abu hanifah dan Ishaq. Mereka melanjutkan: Sedangkan harta yang diperolehnya selama kemurtadannya menjadi harta fai’ untuk Baitul Mal. Alasan mereka kemukakan sama seperti argumentasi pengusung pendapat kedua. 4. Hartanya menjadi warisan bagi ahli warisnya yang mengikuti agama baru yang dianut orang yang murtad tersebut. Jika tidak ada, maka harta tersebut menjadi fai’. Ini adalah riwayat ketiga dari pendapat Ahmad, Daud Azh-Zhahiri, riwayat dari Alqamah dan Sa’id bin Abi Arubah. Mereka berpegang teguh pada alasan sebagai berikut : Orang yang murtad berstatus sama seperti kafir, sehingga pemeluk agamanyalah yang berhak menerima warisan, sebagaimana halnya kasus orang kafir harbi dan seluruh orang kafir.
Sabda Nabi SAW:
ب ع َْي َعلِ ًِّ ت ِْي ُح َس ٍْ ٍي ٍ ْج ع َْي ات ِْي ِشَِا ِ َح َّذحٌََا أَتُْ عَا ٍ ٌص ٍن ع َْي ا ْت ِي ُج َش َّ ًَ ض ً َّ َّللاُ َع ٌُِْ َوا أَ َّى الٌَّ ِث ِ ع َْي َع ْو ِشّ ْت ِي ُع ْخ َواىَ ع َْي أ ُ َسا َهحَ ْت ِي َص ٌْ ٍذ َس
52
َّ صلَّى ُ َّللاُ َعلَ ٍْ َِ َّ َسلَّ َن قَا َل ََل ٌَ ِش ٍث ْال ُو ْسلِ ُن ْال َكافِ َش َّ ََل ْال َكافِ ُش ْال ُو ْسلِ َن (سّا َ 5
)الثخاسي
“Telah menceritakan kepada kami Abu Ashim dari Ibnu Juraih dari Ali Ibnu Shihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah bin Zaid radiallahu „anhuma, Nabi Shallallahu „alaihi wasalam bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim” Berdasarkan uraian diatas hakim berpegang kepada pendapat Abu Yusuf dan Muhammad, dua orang murid Abu Hanifah. Dan ada beberapa pendapat Sahabat yang pada masa Abu Bakar, Abu Bakar mengambil harta orang-orang murtad dan memberikannya kepada ahli warisnya yang muslim. Pendapat ini bisa menjadi sebuah gagasan baru agar harta umat muslim terjaga dan harta warisan tersebut tidak jatuh ketangan non muslim yang nantinya, dikhawatirkan harta itu menjadi alat propaganda kaum non muslim, sedangkan jika jatuh ke muslim bisa menjadi alat perjuangan. Menurut hakim, tidak berarti Majelis Hakim menyalahi aturan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf b dan c, Majelis Hakim memandang Pasal 171 huruf b dan c tersebut di atas harus dipahami sebagai aturan umum dalam kasus-kasus ideal, sementara perkara a quo adalah perkara yang bersifat insidental. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan perkara waris dalam kasus yang ideal di mana pewaris dan ahli warisnya beragama Islam, Majelis Hakim akan merujuk kepada pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, sementara itu, dalam halmana
5
hal 784.
M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori, (Jakarta: Gema Insani, 2003),
53
pewarisnya murtad (telah keluar dari Islam), Majelis Hakim akan merujuk kepada pendapat Hukum yang Majelis Hakim uraikan di atas. Mengenai kewarisan beda agama, dalam Kompilasi Hukum Islam tidak ada penjelasan secara detail tentang perbedaan agama. Akan tetapi dalam KHI dijelaskan bahwa ahli waris harus beragama Islam. Sebagaimana terdapat dalam pasal 171 ayat c, “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.
Berdasarkan pasal diatas, kewarisan bisa diperoleh dari perkawinan, dan persamaan keyakinan atau persamaan agama serta tidak terhalang oleh hukum. Mengacu pada pasal tersebut, perbedaan agama tidak bisa saling mewarisi. Dalam Kompilasi Hukum Islam, seseorang dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan dan kesaksian. Hal ini dijelaskan dalam pasal 172 yakni, “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya”
Secara umum dapat dikatakan bahwa ketentuan mengenai masalah hukum kewarisan yang diatur dalam KHI secara garis besar tetap berpedoman pada garisgaris hukum faraid. Warna alam pikiran asas qath’i masih agak dominan dalam perumusan. Sehingga hampir seluruhnya berpedoman pada garis rumusan nash yang terdapat dalam al-Qur’an.
54
Berdasarkan uraian diatas Majelis Hakim dalam memutuskan perkara dituntut suatu keadilan dan untuk itu hakim melakukan ijtihad dan suatu penilaian terhadap peristiwa yang terjadi dan fakta yang benar-benar terjadi. Yang tetap berpedoman pada KHI Pasal 229. “Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilainilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.” Hakim itu adalah sumber hukum ketika dia harus memutus suatu perkara dimana dia harus menyimpangi dari kaidah dan tidak sesuai dengan maqashid syariah maka dia akan berpendapat atau berijtihad, misalnya hakim rasa tidak sesuai dengan rasa ketidakadilan dan kondisi masyarakat. Dengan melihat beberapa asas:6 1. Tauhidiyah 2. Adalah 3. Musawah Al-Ghazali merumuskan ijtihad dalam arti bahasa sebagai “pencurahan segala daya usaha dan penumpahan segala kekuatan untuk menghasilkan sesuatu yang berat dan sulit”. Ijtihad dalam struktur Islam diidentikan dengan Mujahadah.7 Seperti yang terdapat dalam surah Al-Ankabut ayat 69:
)٩٦ :َّالَّ ِز ٌْيَ َجاَُ ُذّا فِ ٌٍَْالٌََ ِْ ِذ ٌٌََُِّ ْن ُسثُلٌََا َّاًَِّاللَ لِ َو َع ْال ُوحْ ِسٌِ ٍْيَ (العٌكثْخ 6
7
Wawancara pribadi pada tanggal 12 Agustus 2015
Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khattab Studi Tentang Perubahan Hukum Islam, (Yogyakarta: Rajawali Pers, 1987), Hal. 52.
55
Artinya: “Dan orang-orang yang berusaha sungguh-sungguh (Mujahadah) untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut :69) Pembatalan hukum tidaklah identik dengan pembatalan dalam konsepsi hukum Islam. Walaupun pembatalan (naskh) terjadi antara syari’at, yang juga sering dikaitkan dengan alasan kemaslahatan, namun pembatalan semacam itu tidak berlaku lagi setelah berakhirnya wahyu. Hukum adalah pengamalan dan penerapan teks yang sudah ada, dengan mempertimbangkan situasi (zuruf) teks itu yang dikaitkan dengan kepentingan dan kemaslahatan yang sifatnya situasional. Dan bila terjadi perubahan kepentingan, maka berubah pulalah hukum yang diterapkan, tanpa perlu mengubah teks nya sendiri. Perbedaan lainnya adalah bahwa yang berhak membatalkan adalah syar’I (Allah) sesuai dengan tuntutan titah-Nya yang terbaru, sedangkan yang mengubah penerapan hukum adalah mujtahid, untuk disesuainkan dengan kemaslahatan yang telah berubah. 8 Dalam perkembangan pemikiran hukum islam, terutama yang dibahas oleh ahli-ahlli ushulfiqh (yurisprudensi) ada yang membedakan antara hikmah (tindakan kebijaksanaan dan illatt (alasan sebab). Dan sebagai kelanjutan dari pembedaan ini dikatakan bahwa hukum hanya bisa ditetapkan berdasarkan illatt tetapi tidak didasarkan kepada hikmah. Argumentasi yang sering dipergunkan
8
Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khattab Studi Tentang Perubahan Hukum Islam, (Yogyakarta: Rajawali Pers, 1987), Hal. 172.
56
dalam hal ini karena hikmah bersifat abstrak sedangkan illatt adalah sebab yang kongkrit. Perbedaan antara hikmah dan illatt hanyalah bersifat teoritis, karna setiap illatt yang menjadi landasan setiap tindakan harus mengandung hikmah. Dan jika tindakan tidak mengandung hikmah maka ia sama saja dengan kebodohan, yang tak mungkin terjadi pada peraturan-peraturan Tuhan Yang Maha Esa.9 Dalam reinterpretasi hukum maka hakim patut dihargai sebagai suatu ijtihad dalam upaya mengaktualisasikan nilai-nilai hukum kewarisan Islam guna terciptanya keadilan bagi para pencari keadilan. Benar atau salahnya seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara hukum tetap diberikan pahala oleh Allah SWT karena kebenaran semata-mata milik Allah SWT.
َّ َح َّذحٌََا َع ْث ُذ ْح َح َّذحًٌَِ ٌَ ِضٌ ُذ ت ُْي ُ َّللاِ ت ُْي ٌَ ِضٌ َذ ْال ُو ْق ِش ٍ ٌئ ْال َو ِّكً َح َّذحٌََا َح ٍْ َْجُ ت ُْي ُش َش ًْش ت ِْي َس ِعٍ ٍذ ع َْي أَ ِت ِ اس ِ َّ َع ْث ِذ ِ ث ع َْي تُس ِ َّللا ْت ِي ْالَِا ِد ع َْي ُه َح َّو ِذ ْت ِي إِ ْت َشا ٍُِ َن ت ِْي ْال َح َّ صلَّى َّ اص أًَََُّ َس ِو َع َسسُْ َل ُ َّللا َ َِّللا ٍ ٍْ َق ِ اص ع َْي َع ْو ِشّ ْت ِي ْال َع ِ س َهْْ لَى َع ْو ِشّ ْت ِي ْال َع اب فَلََُ أَجْ َشا ِى َّإِ َرا َح َك َن فَاجْ تََِ َذ حُ َّن َ ص َ ََعلَ ٍْ َِ َّ َسلَّ َن ٌَقُْ ُل إِ َرا َح َك َن ْال َحا ِك ُن فَاجْ تََِ َذ حُ َّن أ ُ أَ ْخطَأ َ فَلََُ أَجْ ش قَا َل فَ َح َّذ ْح ج أَتَا تَ ْك ِش ْتيَ َع ْو ِشّ ْت ِي َح ْض ٍم فَقَا َل َُ َك َزا ِ ٌد تَِِ َزا ْال َح ِذ ة ِ ٌِض ت ُْي ْال ُوطَّل ِ َح َّذحًٌَِ أَتُْ َسلَ َوحَ ت ُْي َع ْث ِذ الشَّحْ َو ِي ع َْي أَ ِتً ُُ َشٌ َْشجَ َّقَا َل َع ْث ُذ ْال َع ِض
9
Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khattab Studi Tentang Perubahan Hukum Islam, (Yogyakarta: Rajawali Pers, 1987), Hal. 173-174.
57
َّ صلَّى َّ ع َْي َع ْث ِذ ٍَّللاُ َعلَ ٍْ َِ َّ َسلَّ َن ِه ْخلََُ (سّا َ ًِّ َِّللاِ ْت ِي أَتًِ تَ ْك ٍش ع َْي أَتًِ َسلَ َوحَ ع َْي الٌَّث 10
)الثخاسي
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yazid Almuqri‟ Almakki telah menceritakan kepada kami Haiwa bin Syuraikh telah menceritakan kepadaku Yazid bin Abdullah bin Al-had dari Muhammad bin Ibrahim Al-Harits dari Busr bin Said dari Abu Qais mantan budak Amru bin Ash ia mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam bersabda: “Jika seorang hakim mengadili & berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, & jika seorang hakim berijtihad, lantas ijtihadnya salah (meleset), baginya satu pahala”. Kata Amru, Maka aku ceritakan hadis ini kepada Abu Bakar bin Amru bin Hazm dan Dia berkata, Beginilah Abu Salamah bin Abdurrahman mengabarkan kepadaku dari Abu Hurairah. Dan Abdul 'Aziz bin al Muththalib dari Abdullah bin Abu Bakar dari Abu Salamah dari Nabi ShallAllahu 'alaihi wa Salam Shallallahu'alaihiwa sallam semisalnya.” (HR. Bukhari).
10
hal 562.
M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori, (Jakarta: Gema Insani, 2003),
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari keseluruhan rangkaian pembahasan dalam skripsi ini, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Menurut Ulama Madzhab ada beberapa penghalang kewarisan dalam Islam: a. Budak b. Membunuh c. Perbedaan Agama, dan d. Perbedaan Negara : Ulama Madzhab (Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’I dan Imam Hambali pada dasarnya tidak membolehkan waris beda agama. Akan, tetapi ada 2 orang murid Abu Hanifah yang membolehkan pewarisnya seorang murtad seperti yang telah dibahas dalam skrisi ini. Mereka berpedoman kepada atsar sahabat. 2. Di Indonesia sendiri diatur hukum bagi umat yang beragama Islam dalam Intruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dan juga didalamnya diatur hukum Kewarisan seperti halnya yang telah dibahas dalam skripsi ini. Kompilasi Hukum Islam tidak hanya mengatur waris bagi sesama umat Islam saja akan tetapi juga waris yang berbeda agama dalam pasal 171 huruf (c) :
58
59
“Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”. 3. Hakim dengan reinterpretasi/ijtihadnya berpendapat lain yang berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam dan Ulama Madzhab akan tetapi mengambil pendapat minoritas yaitu, pendapat dua orang murid Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad. Menurut Hakim, hakim melihat ada manfaat yang lebih besar yang akan di dapatkan oleh pihak. Karena seorang hakim harus mentransfer sebanyak mungkin rasa keadilan. Salah satu alasan seseorang datang ke pengadilan adalah mendapatkan rasa keadilan dalam kasusnya di tengah-tengah masyarakat. Yang tetap berpedoman pada KHI Pasal 229. “Hakim dalam menyelesaikan perkaraperkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguhsungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.” B. Saran Setelah menelaah yang terdapat dalam tulisan ini, maka ada beberapa hal yang penulis rekomendasikan antara lain: 1. Kompilasi Hukum Islam seharusnya lebih merinci tentang peraturan pembagian waris beda agama. Peraturan waris beda agama seharusnya bukan hanya menjadi aturan umum saja tapi harus menjadi aturan khusus dengan penjelasan yang lebih merinci agar tidak terjadi salah penafsiran yang aturannya sudah sesuai dengan hukum Islam.
60
2. Perlu adanya pelaksanaan penyuluhan mengenai kewarisan berbeda agama dengan cara mensosisalisasikan melalu seminar, agar masyarakat lebih mengetahui tentang aturan hukum yang berlaku di Indonesia ataupun dalam Islam.
61
DAFTAR PUSTAKA. Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah Lengkap terjemah jilid 4. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007. Ahmad Azhar Bazhar Basyir, Hukum Waris Islam. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1990. Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001. Al-Hamdani, H.S, Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani, 1989. Al-Qaraḍawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, terjemah Hadyu al-Islām Fatāwī Mu’āsirah Jilid ke-3. Jakarta: Gema Insani Press, 2002. Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khattab Studi Tentang Perubahan Hukum Islam. Yogyakarta: Rajawali Pers, 1987. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi V. Jakarta : Rineka Cipta.Baymedia Publising, Cet. II, 2006. Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur. Ilmu Waris, Al Faraidh: Deskripsi Hukum Islam Praktis dan Terapan. Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005. Athoilah, Fikih Waris (Metode Pembagian Waris Praktis). Bandung: Yrama Widya, 2013. Fathur Rachman, Ilmu Waris,Bandung: Al-Maarif,1975. Gultom Elfrida, Hukum Waris Adat di Indonesia Jakarta : Literata, 2010. Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group, 2011. Hadikusuma hilman, Hukum Waris Adat. Tanjung karang: Alumni 1983 Bandung, 1983. Ibrahim, Jhony, Teori dan Metodologi Hukum Normatif, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004. M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam. Jakarta Cet. I. Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. M. Nashiruddin Al-albani, Ringkasan Shahih Bukhori. Jakarta: Gema Insani, 2003.
62
M. Ridwan Syarif Abdullah, Al-Muwaththa Imam Malik. Jakarta : Pustaka Azzam, 2005. Moleong, Lexy, J, 2005. Metedologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2005. Mughniyyah, Muhammad Jawad, Fikih Lima Mazhab. Penerjemah Masykur A.B. dkk, Jakarta: Lentra, 2006. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Mulyadi, Hukum Waris Tanpa Wasiat. UniversitasDiponegoro Semarang, 2008.
Semarang,
Badan
Penerbit
Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral dalam Kompilasi Hukum Islam. Solo:Balqis Queen, 2009 Oemarsalim. Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Ramulyo Idris, Hukum Kewarisan Islam [Studi Kasus, Perbandingan AjaranSyafi’i/Patrilinial dan Praktek Hazairin/Bilateral dan praktek di Pengadilan Agama]. Jakarta: Ind Hill-CO, 1987 Ramulyo Idris, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat. Jakarta: Sinar Grafika, 1993. Soebekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, Semarang. Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2004. Sudarsono, “Hukum Waris dan Sistem Bilateral”, Jakarta: PT. Rineka Cipta,1990. Wahbah zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu terjemah jilid 10. Jakarta:Gema Insani, 2011. Zaini, Muderis, 1992, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
HASIL WAWANCARA Hari/Tanggal
: Kamis, 20 Agustus 2015
Waktu
: 13.00 WIT
Tempat
: Musholla Pengadilan
Nama Narasumber
: Drs. H. KT. Madhuddin Djamal, SH. MM.
Jabatan
: Ketua Pengadilan Agama Badung tahun 2013
1. Apakah yang menjadi latar belakang masuknya perkara waris kewenangan Pengadilan Agama Khususnya di Pengadilan Agama Badung? -
Seluruh perkara-perkara yang di tangani Pengadilan Agama di Indonesia termasuk yang di tangani Pengadilan Agama Badung Provinsi Bali adalah perkara-perkara yang memang sudah di sebutkan kewenangannya dalam undang –undang. Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dan Undang-undang No. 1 tahun 1974, kewarisan adalah bidang perkara yang diterima diproses dan diputus di Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.
2. Apa landasan yuridis dalam menetapkan perkara waris beda agama ini? -
Landasan yuridisnya adalah di dalam hukum Islam banyak kita dapatkan dalildalil masalah waris khususnya waris beda agama diantaranya: Hadis :
ُ اَل يا ِر ث ْال ُم ْسلِ ُم ْال اكافِ ار او اَل ْال اكافِ ُر ْال ُم ْسلِ ام “Seorang muslim tidak mewariskan orang kafir dan orang kafir tidak mewariskan orang muslim” Jadi, salah satu halangan yang menjadi saling mewarisi dalam hal waris adalah beda agama selain itu ada pembunuhan, maka dalam konteks ini perbedaan agama
menjadi alasan seseorang terhijab dalam menerima warisan baik seseorang tersebut murtad(kembali ke agama lamanya) memang agama awal yang dianutnya. Kemudian dalam KHI jelas disebutkan bahwa perbedaan agama menyebabkan tidak bolehnya seseorang menerima harta warisan. Meskipun dalam kitab fiqih pernah terjadi zaman sahabat ayahnya non muslim tapi anaknya masuk Islam (Muallaf), bapaknya yang kufar ini meningggal sementara meninggalkan anak sudah masuk Islam, beberapa orang sahabat membolehkan anaknya tersebut menerima warisan dari sang ayah yang non muslim ketika anaknya muslim, karena ada beberapa alasan yang spesifik sahabat bias menympangi dari hadis tersebut. 3. Pertimbangan apa saja yang ,majlis Hakim ambil dalam perkara waris beda agama ini? Bukankah dalam hukum Islam faktor agama itu penting dalam penentuan hak waris, bagaimana menurut bapak? -
Pengadilan agama atau pengadilan apapun yang ada di Indonesia adalah sifatnya pasif dia tidak boleh mencari perkara atau memilih perkara yang masuk maka tidak ada alasan/tidak dibenarkan menolak dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur, jadi harus diterima. Alasan majlis hakim adalah karena memang di Undang-undang yang berlaku di Indonesia itu mau gak mau bertentangan atau tidak bertentangan dangan rasa keadilan memang harus diselesaikan/diputuskan. Meskipun hakim terkadang merasa tidak nyaman ketika seorang yang satu mendapat harta warisan akan tetapi yang satunya tidak, padahal masih satu keluarga atau adik kakak.
-
Hakim itu adalah sumber hukum ketika dia harus memutus suatu perkara dimana dia harus menyimpangi dari kaidah dan tidak sesuai dengan maqashid syariah
maka dia akan berpendapat atau berijtihad, misalnya hakim rasa tidak sesuai dengan rasa ketidakadilan dan kondisi masyarakat. Dengan melihat beberapa asas: a. Tauhidiyah b. Adalah c. Musawah Hakim dapat mempertimbangkan melalui 3 jalan itu. Dalam masalah ini sudah pernah di dapatkan asarnya. 4. Menurut bapak apakah penetapan ahli waris ini sudah adil? Dan sudah sesuai dengan hukum Islam? Menurut Saya, secara pribadi penetapan ahli waris ini sudah adil, apalagi para ahli waris yang mengajukan permohonannya mendapatkan hak waris. Seorang hakim tidak akan pernah melanggar hukum atau dalil yang sudah qat’i akan tetapi dengan beberapa pertimbangan lain atau jalan lain seperti wasiat wajibah, shodaqah, dll. 5. Mengapa hakim mengambil pendapat yang minoritas yaitu pendapat 2 murid Abu Hanifah bukan pendapat Jumhur?
-
Disitu hakim melihat ada manfaat yang lebih besar yang akan di dapatkan oleh pihak. Jika hakim mengambil pendapat yang mayoritas malah tidak dapat kan, jadi dimana rasa keadilan, karena seorang hakim harus mentransfer sebanyak mungkin rasa keadilan. Salah satu alasan seseorang datang ke pengadilan adalah mendapatkan rasa keadilan dalam kasusnya di tengah-tengah masyarakat. Maka, benteng terakhir seseorang mendapatkan keadilan yaitu di pengadilan dan hakim. Sementara hukum hakim dapat meyelesailkan perkara Dalil “hukmul hakim turfaul ikhtilaf”
6. Mengapa pendapat hakim seakan bertentangan dengan hukum islam dan hukum perundangan yang berlaku? Kenapa bertentangan. 1. Pertimbangan nya adalah kalau tidak kedia itu akan kemana harta itu. Padahal dialah yang berhak manurut nasabnya. 2. Dikhawatirkan harta itu menjadi alat propaganda kaum non muslim, sedangkan jika jatuh ke muslim bisa menjadi alat perjuangan . Dengan catatan : 1. Ada musyawarah. 2. Ada kerelaan dianatara ahli waris yang ada. 7. Apakah penetapan perkara waris ini bisa dibatalkan? Terjadi penyelundupan hukum PAW akan batal jika misalnya: -
Ahli waris ada 5 tapi dibilang nya cuma 4
-
Maka paw harus hadir semua
-
Bahkan ditanya apakah ada anak angkat
-
Atau sibapak nikah lagi
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia P EN ETA PA N Nomor:4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.
ng
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
A gu
do
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Badung yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada
tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan dalam perkara Permohonan Penetapan Ahli
In
Waris yang diajukan oleh :
1. PEMOHON I, umur 44 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Kuta, Kabupaten
lik
ah
Badung, selanjutnya disebut PEMOHON I;
2. PEMOHON II, umur 40 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Sukoharjo, Kabupaten
ub
m
Sragen, Jawa Tengah, sekarang tinggal di Kalimantan, selanjutnya disebut sebagai PEMOHON II;
ep
ka
Pemohon I dan Pemohon II (selanjutnya disebut Para Pemohon) telah memberikan Kuasa Khusus kepada KUASA HUKUM I PEMOHON I DAN II., KUASA HUKUM II
ah
PEMOHON I DAN II dan KUASA HUKUM III PEMOHON I DAN II Para Advokat
si
R
dan Advokat yang berkantor di Kota Denpasar berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal X Februari 2013 yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Badung tanggal
ng
ne
XX Februari 2013;
Pengadilan Agama tersebut;
do
A gu
Setelah membaca berkas perkara;
Setelah mendengarkan keterangan pihak-pihak dan saksi-saksi;
In
Setelah memeriksa bukti-bukti di persidangan; TENTANG DUDUKNYA PERKARA
lik
permohonan Penetapan Ahli Waris dari BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON I DAN II, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
ub
1. Bahwa ayah para Pemohon yakni BAPAK PEMOHON I DAN II lahir di Cilacap tanggal X April 1937 telah menikah dengan ibu para Pemohon yang bernama IBU
ep
PEMOHON I DAN II, lahir di Singaraja tanggal X Februari 1947; 2. Bahwa dari perkawinan tersebut di atas telah dilahirkan 4 (empat) orang anak sebagai berikut;
R
a. SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II (sudah meninggal), anak pertama,
s ne
do
gu A
Page 1 of 14
In
Singaraja;
ng
perempuan, lahir tanggal XX Maret 1963, agama Hindu, beralamat di Banyuning,
M
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
ik
ah
ka m ah
Menimbang, bahwa Para Pemohon melalui Kuasa Para Pemohon mengajukan
Halaman 1
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia b. PEMOHON I , anak kedua, laki-laki, lahir XX Agustus 1968, agama Islam, bertempat tinggal di Kuta, Badung;
ng
c. SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, anak ketiga, laki-laki, lahir tanggal XX April 1970, agama Hindu, tempat tinggal di Kuta, Badung;
d. PEMOHON II, anak keempat, laki-laki, lahir tanggal XX Juni 1972, agama Islam,
A gu
do
alamat di Sidoharjo, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, kini tinggal di Kalimantan;
3. Bahwa mendiang SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II semasa hidup telah
In
menikah dengan SUAMI SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dan memiliki 3 orang anak yaitu;
3.1
ANAK KE I SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dengan SUAMI
lik
ah
SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II, perempuan, lahir tanggal X Mei 1986, agama Hindu;
ANAK KE II SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dengan SUAMI
ub
m
3.1
SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II, laki-laki, lahir XX Mei 1996, 3.2
ANAK KE III SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dengan SUAMI
ep
ka
agama Hindu;
ng
yaitu;
ANAK KE I PEMOHON I dengan ISTRI PEMOHON I, perempuan, agama Islam;
ANAK KE II PEMOHON I dengan ISTRI PEMOHON I, laki-laki, agama Islam;
4.3
ANAK KE III PEMOHON I dengan ISTRI PEMOHON I, perempuan, agama
A gu
do
4.2
In
Islam;
4.4
ANAK KE IV PEMOHON I dengan ISTRI PEMOHON I, perempuan, agama
Islam;
ANAK KE I PEMOHON V dengan ISTRI PEMOHON I, laki-laki, agama Islam;
lik
5.5
5. Bahwa SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II menikah dengan ISTRI 5.1.
ub
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, memiliki 3 orang anak:
ANAK KE I SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II dengan ISTRI
5.2.
ep
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, perempuan,umur 17 tahun; ANAK KE II SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II dengan ISTRI SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, laki-laki, umur 15 tahun; 5.3.
ANAK KE III SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II dengan ISTRI
R
ka m ah
ne
4. Bahwa PEMOHON I menikah dengan ISTRI PEMOHON I, memiliki 5 orang anak 4.1
ne In
do
ng gu A
s
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, laki-laki, umur 8 tahun;
M
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
ik
ah
si
agama Hindu;
R
ah
SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II, perempuan, lahir XX Mei 2004,
Halaman 2
R ep ub
ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
6. Bahwa PEMOHON II menikah dengan ISTRI PEMOHON II, memiliki 2 orang anak yaitu; 6.1
ANAK KE I PEMOHON II dengan ISTRI PEMOHON II, laki-laki, agama Islam;
6.2
ng
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ANAK KE II PEMOHON II dengan ISTRI PEMOHON II, laki-laki, agama
Islam;
A gu
do
7. Bahwa kedua orang tua para Pemohon telah meninggal dunia, ibu kandung para Pemohon meninggal lebih dahulu pada tanggal XX Mei 2004 karena sakit, Surat
In
Keterangan Kematian Nomor: XXX/XX/XXX/XX/XX tanggal XX September 2012, bapak kandung para Pemohon meninggal dunia pada tanggal XX Februari 2010, Surat
Keterangan Kematian Nomor: XXX/XX/XXX/XX/XX tanggal XX September 2012
lik
ah
dari Kelurahan Kuta, Kuta Utara;
8. Bahwa ayah para Pemohon dan ibu para Pemohon semasa hidupnya tidak pernah
ub
m
membuat surat wasiat;
ka
9. Bahwa semasa hidupnya, orang tua para Pemohon memiliki 2 bidang tanah yang kini 9.1
ep
disebut sebagai tanah/harta warisan, berupa:
tanah seluas 250 m2 (dua ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kuta,
ah
Badung, Sertifikat Hak Milik No.XXX, Gambar Situasi No. XXXX/XXXX
si
tanah seluas 350 m2 (tiga ratus lima puluh meter persegi) terletak di Kuta,
ng
Badung, Sertifikat Hak Milik No.XXX, Gambar Situasi No. XXX/XXXX tanggal XX Februari 1979, atas nama BAPAK PEMOHON I DAN II;
A gu
do
10. Bahwa SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II telah berpindah agama ke
ne
9.2
R
tanggal XX September 1978, atas nama IBU PEMOHON I DAN II;
agama Hindu karena mengikuti agama suaminya, sehingga sesuai dengan ketentuan
In
hukum Islam, maka SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II tidak lagi menjadi
ahli waris dari orang tuanya yang bernama BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU
lik
11. Bahwa demikian juga dengan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, di depan persidangan perkara Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Bdg. menyatakan dengan tegas telah
ub
pindah agama dan kini beragama Hindu, dengan demikian pernyataan tersebut membuktikan bahwa SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II tidak berhak lagi IBU PEMOHON I DAN II;
ep
atas harta warisan dari orang tuanya yang bernama BAPAK PEMOHON I DAN II dan 12. Bahwa di antara para Pemohon tidak ada permasalahan mengenai pembagian harta
ne
do
ng gu A
Page 3 of 14
In
dan merata;
s
R
peninggalan dan para Pemohon telah sepakat untuk membagi harta warisan secara adil
M
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
ik
ah
ka m ah
PEMOHON I DAN II;
Halaman 3
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia 13. Bahwa para Pemohon ingin membagi kedua bidang tanah warisan tersebut, sehingga untuk proses dan pengurusan atas pembagian kedua bidang tanah tersebut haruslah
ng
dipenuhi syarat-syaratnya yang salah satunya adalah ada penetapan ahli waris dari Pengadilan Agama;
Bahwa dari uraian-uraian di atas, para Pemohon bermohon agar kiranya Bapak Ketua
do
A gu
Pengadilan Agama Badung berkenan membuka suatu persidangan untuk keperluan itu,
memeriksa permohonan ini serta menetapkan/memutuskan sebagai berikut:
In
PRIMAIR
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menetapkan:
Badung;
ub
m
b. PEMOHON II, umur 40 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Sukoharjo, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah;
ep
Adalah ahli waris yang sah dari almarhum BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU
ka
PEMOHON I DAN II;
3. Membebankan biaya perkara yang timbul dari permohonan ini kepada para Pemohon;
seadil-adilnya;
ng
Apabila Bapak Ketua Pengadilan Agama Badung berpendapat lain, mohon putusan yang
A gu
do
Menimbang, bahwa para hari persidangan yang telah ditetapkan Pemohon I hadir di
ne
SUBSIDAIR
si
R
ah
lik
ah
a. PEMOHON I, umur 44 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Kuta, Kabupaten
persidangan secara inperson didampingi Kuasanya;
In
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah menjelaskan mengenai akibat penetapan ini
ahli waris bukan saja mewarisi harta warisan tapi juga mewarisi hutang pewaris, namun
lik
Menimbang, bahwa selanjutnya dibacakan surat permohonan Pemohon, atas
berikut:
ub
pertanyaan Majelis Hakim, Pemohon I memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai
Bahwa Pemohon I beragama Islam;
•
Bahwa ayah para Pemohon yang bernama BAPAK PEMOHON I DAN II beragama
ep
•
Islam;
Bahwa ibu para Pemohon yang bernama IBU PEMOHON I DAN II beragama Hindu;
•
Bahwa orang tua BAPAK PEMOHON I DAN II bernama XXXXXXX dan
s
R
•
do In
A
gu
ng
ne
XXXXXX sudah meninggal dunia lebih dahulu;
M
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
ik
ah
ka m ah
Pemohon I menyatakan tetap melanjutkan permohonannya;
Halaman 4
R ep ub
•
ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
Bahwa Pemohon I lupa nama orang tua Ni Made Rai Ningsih, namun keduanya sudah meninggal dunia lebih dahulu;
•
Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II tidak mempunyai isteri lain, dan tidak
ng
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
mempunyai anak angkat; •
Bahwa para Pemohon memerlukan penetapan ahli waris dari Pengadilan Agama untuk
A gu
do
mengurus penjualan harta peninggalan dari BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU
PEMOHON I DAN II, karena pihak Notaris tidak mau mengeluarkan akta jual beli
In
sebelum ada penetapan ahli waris dari Pengadilan Agama;
Menimbang, bahwa kemudian Pemohon I melalui Kuasanya mengajukan alat bukti
lik
ah
sebagai berikut :
1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk nomor XX.XXXX.XXXXXX.XXXX atas nama PEMOHON II dan Nomor:XXXXXXXXXXXXXXXX atas nama PEMOHON I,
ub
m
bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya (bukti P.1);
ep
ka
2. Fotokopi Kutipan Akta Nikah nomor: XXX/XX/XXX/2008 atas nama PEMOHON II dan ISTRI PEMOHON II, dikeluarkan oleh KUA Sidoharjo Kabupaten Sragen
ah
tanggal XX Desember 2008, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di
si
R
pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(bukti P.2);
ng
dan ISTRI PEMOHON I, dikeluarkan oleh KUA Kuta Kabupaten Badung tanggal XX Agustus 2008, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah
do
diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(bukti P.3);
ne
3. Fotokopi Kutipan Akta Nikah nomor XXX/XX/XXXX/2008 atas nama PEMOHON I
A gu
4. Fotokopi Kartu Keluarga nomor XXXXXXXXXXXXXXXX atas nama kepala keluarga PEMOHON II, dikeluarkan oleh Kadispenduk Capil Kabupaten Sragen
In
tanggal XX Juli 2011, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.4)
lik
keluarga PEMOHON I, dikeluarkan oleh Kadispenduk Capil Kabupaten Badung tanggal X Agustus 2011, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di
ub
pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.5);
6. Fotokopi Surat Keterangan Kematian Nomor XXX/XX/XXX/XX/XX atas nama IBU
ep
PEMOHON I DAN II, dikeluarkan oleh Kepala Lingkungan XXXXX, Kuta, Kabupaten Badung, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.6);
R
7. Fotokopi Surat Keterangan Kematian Nomor XXX/XX/XXX/XX/XX atas nama
ne
do In
ng gu A
Page 5 of 14
s
BAPAK PEMOHON I DAN II, dikeluarkan oleh Kepala Lingkungan XXXXX, Kuta,
M
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
ik
ah
ka m ah
5. Fotokopi Kartu Keluarga nomor XXXXXXXXXXXXXXXX atas nama kepala
Halaman 5
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Kabupaten Badung, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.7);
ng
8. Fotokopi Surat Pernyataan Waris tanggal X Oktober 2012 yang ditandatangani oleh
Pemohon I, Pemohon II, dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata
A gu
do
cocok dengan aslinya(P.8);
9. Fotokopi Surat Pernyataan Silsilah tanggal X Oktober 2012 yang ditandatangani oleh
In
Pemohon I, Pemohon II, dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.9);
lik
ah
10. Fotokopi Surat Pernyataan Pembagian Waris tanpa tanggal yang ditandatangani oleh Pemohon I, Pemohon II, dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, bermeterai
ub
m
pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.10);
ka
11. Fotokopi Sertipikat Hak Milik Nomor XXX, Kuta, Kabupaten Badung, tanggal XX
ep
September 1978, atas nama IBU PEMOHON I DAN II, bermeterai pos dan telah didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan
R
ah
aslinya(P.11);
si
12. Fotokopi Sertipikat Hak Milik Nomor XXX, Kuta, Kabupaten Badung, tanggal XX
ng
didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan aslinya(P.12);
BAPAK
do
A gu
13. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang atas nama wajib pajak
ne
Februari 1979, atas nama BAPAK PEMOHON I DAN II, bermeterai pos dan telah
PEMOHON I DAN II, Kuta, Kabupaten Badung, dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Badung tanggal X Januari 2012, bermeterai pos dan telah
In
didaftar sebagai bukti di pengadilan, telah diperlihatkan dan ternyata cocok dengan
lik
Menimbang, bahwa Kuasa Pemohon juga mengajukan saksi-saksi sebagai berikut; 1. SAKSI PERTAMA, umur 70 tahun, agama Hindu, pekerjaan ibu rumah tangga,
ub
tempat tinggal di Buleleng, Kabupaten Buleleng, di bawah sumpahnya menerangkan sebagai berikut; •
Bahwa saksi kenal dengan BAPAK PEMOHON I DAN II, yang merupakan suami
•
ep
dari saudara misan saksi yang bernama IBU PEMOHON I DAN II; Bahwa saksi menyaksikan pernikahan BAPAK PEMOHON I DAN II dengan IBU
Bahwa saksi pernah ikut tinggal bersama BAPAK PEMOHON I DAN II dengan IBU
do In
A
gu
ng
ne
PEMOHON I DAN II di Kuta, Badung;
s
•
R
PEMOHON I DAN II di Denpasar, menikahnya secara agama Islam;
M
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
ik
ah
ka m ah
aslinya(P.13);
Halaman 6
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id •
ne si a
Bahwa dari pernikahan BAPAK PEMOHON I DAN II dengan IBU PEMOHON I DAN II mendapat 4 orang anak, yaitu SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II,
•
ng
PEMOHON I, SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, dan PEMOHON II;
Bahwa SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, ikut suaminya;
•
Bahwa SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II beragama Hindu;
•
Bahwa PEMOHON II beragama Islam;
•
Bahwa IBU PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia tahun 2004 karena sakit;
•
Bahwa IBU PEMOHON I DAN II dikuburkan di pekuburan Hindu, namun
In
lik
ah
sebelumnya beragama Islam;
Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II juga telah meninggal dunia tahun 2010 karena
m
sakit, dalam keadaan beragama Islam;
ka
•
Bahwa IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II tidak pernah
ep
bercerai; •
Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II tidak mempunyai isteri lain, dan tidak
bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON I DAN II mempunyai 2
R
ah
mempunyai anak angkat; •
ub
•
do
Bahwa PEMOHON I beragama Islam;
A gu
•
ng
bahwa saksi mendengar rumah tersebut akan dijual;
2. SAKSI KEDUA, umur 68 tahun, agama Hindu, pekerjaan purnawirawan polisi,
do
A gu
tempat tinggal di Buleleng, Kabupaten Buleleng, di bawah sumpahnya menerangkan sebagai berikut; Bahwa saksi adalah kakak kandung IBU PEMOHON I DAN II;
•
Bahwa saksi menyaksikan pernikahan IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK
lik
Bahwa dari perkawinan IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I DAN II mendapat 4 orang anak, yaitu SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II,
•
ub
PEMOHON I, SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, dan PEMOHON II; Bahwa IBU PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia tahun 2004 dalam keadaan
Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia tahun 2010 dalam keadaan beragama Islam;
•
Bahwa anak-anak BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON I DAN II ada
s
•
ep
beragama Hindu dan dikuburkan di pekuburan Hindu;
R
ka m ah
•
In
•
PEMOHON I DAN II di KUA Denpasar;
ne
buah rumah di Kuta yang ditempati anak-anaknya; •
do In
ng gu A
Page 7 of 14
ne
yang beragama Islam yaitu PEMOHON I dan PEMOHON II, dan ada yang beragama
M
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
ik
ah
si
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 7
R ep ub
ne si a
Hindu yaitu SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II;
Bahwa IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II tidak pernah
ng
hk am
putusan.mahkamahagung.go.id
•
bercerai; •
Bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II tidak mempunyai isteri lain juga tidak
A gu
do
mempunyai anak angkat;
•
Bahwa setahu saksi BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON I DAN II
•
In
meninggalkan dua buah rumah di Kuta;
Bahwa setahu saksi BAPAK PEMOHON I DAN II dan IBU PEMOHON I DAN II
Bahwa orang tua BAPAK PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia lebih dahulu;
•
Bahwa orang tua IBU PEMOHON I DAN II sudah meninggal dunia lebih dahulu;
•
Bahwa setahu saksi pengajuan penetapan ahli waris ini untuk keperluan penjualan
ub
lik
•
ep
harta peninggalan tersebut oleh ahli warisnya;
Menimbang, bahwa selanjutnya Pemohon I memberikan kesimpulan secara lisan tetap pada dalil permohonannya dan mohon segera dijatuhkan penetapan;
si
R
Menimbang, bahwa seluruh jalannya persidangan, tercatat dalam Berita Acara penetapan ini;
ne
Persidangan ini dan merupakan satu kesatuan dari dan telah turut dipertimbangkan dalam
ng
ah
ka
m
ah
tidak meninggalkan hutang;
A gu
do
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon adalah
In
sebagaimana tersebut di atas;
Menimbang, bahwa para Pemohon yang diwakili oleh Kuasanya mengajukan
ka m ah
permohonan Penetapan Ahli waris dari IBU PEMOHON I DAN II dalam halmana di saat
lik
meninggal dunia beragama Hindu. Demikian juga para Pemohon mengajukan permohonan Penetapan Ahli waris dari BAPAK PEMOHON I DAN II yang juga telah meninggal dunia
ub
dalam keadaan beragama Islam. Dalam keterangannya di persidangan para Pemohon juga bermohon agar penetapan ini dapat digunakan sebagai alas hak bagi ahli waris IBU
PEMOHON I DAN II dan ahli waris BAPAK PEMOHON I DAN II terhadap tanah dengan
ep
Sertipikat Hak Milik Nomor XXX tanggal XX September 1979 atas nama IBU PEMOHON I PEMOHON I DAN II;
R
DAN II dan Sertipikat Hak Milik Nomor XXX tanggal XX Februari 1979 atas nama BAPAK
ne
do In
A
gu
ng
pewaris yang bernama BAPAK PEMOHON I DAN II beragama Islam, meskipun pewaris
s
Menimbang, bahwa karena para Pemohon beragama Islam demikian juga dengan
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 8
R ep ub
ne si a
hk am
putusan.mahkamahagung.go.id
yang bernama IBU PEMOHON I DAN II disebutkan beragama Hindu, Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara ini merupakan kewenangan absolute Pengadilan Agama
ng
sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat 1 huruf (b) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 yang telah diubah dengan Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
A gu
Agama;
do
2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Menimbang, bahwa Pemohon I sebagai pihak yang mengajukan perkara secara
In
voluntair berdomisili di wilayah Kabupaten Badung, maka perkara ini secara relative menjadi
lik
Menimbang, bahwa perkara ini adalah permohonan penetapan ahli waris, maka
ub
yang perlu dibuktikan adalah apakah pewaris benar-benar telah meninggal dunia dan apakah meninggalkan ahli waris yang akan mewarisinya dan tidak terhalang secara syar’i untuk ditetapkan sebagai ahli waris.
ep
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil permohonannya para Pemohon telah mengajukan bukti-bukti tertulis (P1 sampai dengan P13) berupa fotokopi bermeterai cukup
si
R
serta telah dicocokkan dan ternyata sesuai dengan aslinya, maka majelis Hakim menilai alat bukti tersebut sah sebagai alat bukti berdasarkan pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 2000 tentang Perubahan tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan harga Nominal
do
Yang Dikenakan Bea Meterai jo Pasal 1888 KUH Perdata jo Pasal 301 RBG;
ne
Tahun 1985 tentang Bea Meterai dan pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun
ng
ah
ka
m
ah
kewenangan Pengadilan Agama Badung;
A gu
Menimbang, bahwa meskipun saksi-saksi yang dihadirkan Para pemohon berasal
dari kerabat semenda dengan para Pemohon, namun menurut Majelis Hakim tetap memenuhi
In
syarat formil karena keterangan yang diberikan saksi adalah mengenai kedudukan/status
keperdataan para Pemohon dengan pewaris, serta keterangan saksi tersebut diberikan di bawah
ka m ah
sumpah dan di persidangan (vide Pasal 171, 172 ayat 2 dan 175 RBG jo Pasal 1905, 1910 ayat
lik
2 dan Pasal 1911 KUH Perdata). Demikian pula secara materil keterangan para saksi tersebut dapat diterima karena para saksi memberikan keterangannya berdasarkan pengetahuan dan
ub
penglihatannya sendiri (vide Pasal 308 RBG jo Pasal 1907 ayat 1 KUH Perdata). Oleh karena itu apa yang diterangkan saksi-saksi menurut pendapat Majelis Hakim dapat meneguhkan dalil
ep
permohonan Para Pemohon;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon yang dikuatkan dengan
keterangan para saksi di bawah sumpahnya yang menerangkan melihat dan tahu perkawinan
R
IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I DAN II dilakukan secara Islam di
ne
do
Page 9 of 14
In
A
gu
ng
tidak pernah bercerai, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa sampai meninggalnya IBU
s
KUA Denpasar, dan antara IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I DAN II
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 9
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia PEMOHON I DAN II, antara IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I DAN II masih terikat dalam pernikahan;
ng
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon diperkuat dengan keterangan dua orang saksi serta bukti P4, P5, dan P9, diperoleh fakta hukum bahwa dari
perkawinan IBU PEMOHON I DAN II dengan BAPAK PEMOHON I DAN II diperoleh 4
A gu
do
(empat) orang anak yaitu SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II, PEMOHON I, SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, dan PEMOHON II;
In
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon diperkuat dengan
keterangan 2 orang saksi serta bukti P1, P2, P3, P4 dan P5, diperoleh fakta hukum bahwa
lik
Islam, SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, dan PEMOHON II
ub
beragama Islam;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan Pemohon, bukti P6 dan keterangan para saksi, IBU PEMOHON I DAN II telah meninggal dunia dalam keadaan beragama Hindu
ep
meski sebelumnya beragama Islam, halmana menurut Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tahun 1991, seorang Pewaris pada saat meninggal dunia harus beragama Islam. Bilamana dihubungkan dengan Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam, secara eksplisit Kompilasi Hukum Islam menganut sistem persamaan agama, yakni agama Islam
si
R
untuk dapat saling mewarisi. Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur bagaimana sekiranya
ng
pewaris itu murtad (keluar dari Islam), apakah hartanya dapat diwarisi oleh muslim ataukah
A gu
berikut;
do
tidak. Sepanjang mengenai hal ini Majelis Hakim memberikan pendapat hukum sebagai
ne
ah
ka
m
ah
SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, PEMOHON I beragama
Menimbang, bahwa menurut pendapat Majelis Hakim, sistem kewarisan Islam
In
menganut sistem kekerabatan, baik secara nasabiyah maupun secara hukmiyah. Sistem
kekerabatan ini lebih utama bila dibandingkan dengan perbedaan agama sebagai penghalang mewarisi, karena hukum kewarisan selain mengandung unsur ibadah, lebih banyak juga
lik
pernah terputus sekalipun agama mereka itu berbeda. Seorang anak tetap mengakui ibu
ub
kandungnya sekalipun ibu kandungnya itu tidak satu agama dengannya. Islam tidak mengajarkan permusuhan dengan memutuskan hubungan horizontal dengan non muslim,
ep
terlebih-lebih mereka itu ada pertalian darah;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim memandang penghalang kewarisan karena
berbeda agama, haruslah dipahami secara cermat. Perbedaan agama itu ditujukan semata-mata
R
kepada ahli waris. Bilamana seseorang ingin menjadi ahli waris untuk mendapatkan harta
ne In
do
ng gu A
s
warisan dari pewaris, jangan sekali-kali berbeda agama dengan pewarisnya yang muslim.
M
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
ik
ah
ka m ah
mengandung unsur muamalah. Kekerabatan antara seorang dengan seseorang tidak akan
Halaman 10
R ep ub
ne si a
hk am
putusan.mahkamahagung.go.id
Sekiranya hal itu terjadi, maka non muslim tersebut tidak dapat menuntut agar dirinya menjadi ahli waris dan mendapatkan harta warisan dari pewaris menurut hukum Islam;
ng
Menimbang, bahwa dalam perkara a quo, pewaris yang bernama IBU PEMOHON I DAN II sebelumnya beragama Islam, lalu keluar dari Islam dan kemudian meninggal dunia
dalam keadaan non muslim sementara kerabat terdekatnya tetap memeluk agama Islam, maka
A gu
do
kerabat muslim tersebut tetap menjadi ahli waris, dalam hal ini Majelis Hakim sejalan dan mengambil alih pendapat Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah,
In
Muhammad bin Ali dan Al Masruq yang bersandar pada hadits Nabi Muhammad Saw
(اﻹ ِﺳ ْﻼ َ م ُ ﻳ َﻌْﻠ ُ ﻮ وَﻻ ﻳ ُﻌْﻠ َ ﻰ ﻋﻠﻴﻪ )رواه اﻟﺪارﻗﻄﻨﻰ واﻟﺒﻴﻬﻘﻰ (Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul
lik
pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan semua peninggalan wanita yang keluar dari Islam (murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam (Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul
ub
Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.265);
Menimbang, bahwa pertimbangan hukum di atas, tidak berarti Majelis Hakim
ep
menyalahi aturan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf b dab c, Majelis Hakim memandang Pasal 171 huruf b dab c tersebut di atas harus dipahami sebagai aturan umum
R
dalam kasus-kasus ideal, sementara perkara a quo adalah perkara yang bersifat insidental;
si
Menimbang, bahwa oleh karena itu, dalam menyelesaikan perkara waris dalam merujuk kepada pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, sementara itu, dalam halmana pewarisnya murtad (telah keluar dari Islam), Majelis Hakim akan merujuk kepada pendapat Hukum yang
A gu
do
Majelis Hakim uraikan di atas;
ne
kasus yang ideal di mana pewaris dan ahli warisnya beragama Islam, Majelis Hakim akan
ng
ah
ka
m
ah
Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal.263), dan lebih spesifik Majelis Hakim mengambil alih
Menimbang, bahwa dari keterangan saksi-saksi dan bukti P6 diperoleh fakta hukum,
In
ternyata IBU PEMOHON I DAN II yang kemudian menjadi non muslim telah meninggal dunia dalam keadaan non muslim pada tanggal XX September 2004 dengan meninggalkan seorang suami bernama BAPAK PEMOHON I DAN II yang beragama Islam, dan 4
lik
(empat) orang anak yakni SAUDARA PERTAMA PEMOHON I DAN II beragama Hindu,
ka m ah
PEMOHON I beragama Islam, SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II beragama
ub
Hindu, dan PEMOHON II beragama Islam, oleh karena itu dengan menunjuk uraian
pertimbangan hukum yang dikemukakan di atas, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa ahli
ep
waris dari IBU PEMOHON I DAN II adalah BAPAK PEMOHON I DAN II, PEMOHN I dan PEMOHON II;
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon, diperkuat dengan
R
keterangan para saksi dan bukti P7, diperoleh fakta hukum bahwa BAPAK PEMOHON I
s ne
do
Page 11 of 14
In
A
gu
beragama Islam;
ng
DAN II telah meninggal dunia karena sakit pada tanggal XX Februari 2010 dalam keadaan
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 11
R ep ub
ne si a
hk am
putusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon diperkuat dengan bukti P9 dan keterangan 2 orang saksi yang menerangkan bahwa BAPAK PEMOHON I DAN II tidak
ng
mempunyai isteri lain dan tidak mempunyai anak angkat, dan kedua orang tuanya telah
meninggal dunia lebih dahulu, maka diperoleh fakta hukum bahwa BAPAK PEMOHON I
DAN II ketika meninggal dunia hanya meninggalkan 4 (empat) orang anak yakni SAUDARA
A gu
do
PERTAMA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, PEMOHON I beragama Islam,
SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II beragama Hindu, dan PEMOHON II beragama
In
Islam;
Menimbang, bahwa dalam kasus BAPAK PEMOHON I DAN II ini, Majelis Hakim
lik
terdapat dalam Pasal 171 huruf b dan c Kompilasi Hukum Islam;
ub
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, maka Majelis Hakim menyimpulkan bahwa ahli waris dari BAPAK PEMOHON I DAN II adalah PEMOHON I dan PEMOHON II;
ep
Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, maka diperoleh fakta hukum bahwa ahli waris dari IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II adalah PEMOHON I dan PEMOHON II;
si
R
Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan di atas, Majelis Hakim dikabulkan;
ng
berpendapat, permohonan Pemohon dalam perkara ini harus dinyatakan terbukti dan patut
A gu
do
Menimbang, bahwa meskipun demikian, karena hukum kewarisan Islam di
ne
ah
ka
m
ah
menilai sebagai kasus yang ideal sehingga kembali merujuk kepada aturan umum yang
Indonesia mengandung asas egaliter, maka kerabat yang beragama selain Islam yang
In
mempunyai hubungan darah dengan pewaris, dalam perkara a quo adalah SAUDARA
PERTAMA PEMOHON I DAN II dan SAUDARA KETIGA PEMOHON I DAN II, tetap berhak mendapat bagian waris dengan jalan wasiat wajibah dengan tidak melebihi bagian ahli
lik
waris yang sederajat dengannya (Yurisprudensi MARI dan Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas
ka m ah
dan Administrasi Peradilan Agama, Dirjen Badilag Mahkamah Agung RI Tahun 2011);
ub
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon, diperkuat dengan bukti
P11 dan P12, maka diperoleh fakta hukum bahwa IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK
ep
PEMOHON I DAN II meninggalkan harta warisan sebagaimana dalam bukti P11 dan P12 tersebut;
R
Menimbang, bahwa dari dalil permohonan para Pemohon dan keterangan Pemohon
s
I di persidangan diperkuat keterangan para saksi bahwa para Pemohon memerlukan Penetapan Ahli Waris dari Pengadilan Agama untuk mengurus penjualan harta peninggalan dari IBU
do In
A
gu
ng
ne
PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II;
ik
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 12
R ep ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne si a
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon, maka
penetapan ahli waris ini dapat digunakan untuk mengurus harta peninggalan dari IBU
ng
PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II;
Menimbang, bahwa karena yang mengajukan permohonan ini adalah para Pemohon secara voluntair, maka seluruh biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada pihak
A gu
do
yang mengajukan perkara yaitu para Pemohon yang besarnya sebagaimana tersebut dalam amar penetapan ini;
In
Mengingat segala peraturan perundang-undangan serta hukum syara’ yang
ah
MENETAPKAN
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
ub
m
2. Menetapkan ahli waris dari IBU PEMOHON I DAN II dan BAPAK PEMOHON I DAN II adalah PEMOHON I dan PEMOHON II;
ka
ep
3. Membebankan biaya perkara ini kepada para Pemohon sebesar Rp 186.000,- (seratus
si
R
delapan puluh enam ribu rupiah);
Demikian penetapan ini dijatuhkan dalam permusyawaratan Majelis Hakim pada
H oleh kami, HAKIM KETUA. sebagai Ketua Majelis, HAKIM ANGGOTA I dan
do
HAKIM ANGGOTA II., masing-masing sebagai Hakim Anggota, penetapan tersebut
ne
hari ini Kamis tanggal X Maret 2013 M bertepatan dengan tanggal XX Rabiul Akhir 1434
ng
ah
lik
berkenaan dengan perkara ini;
A gu
diucapkan pada hari itu juga oleh Ketua Majelis Hakim dalam persidangan terbuka untuk umum dengan dibantu oleh PANITERA PENGGANTI. sebagai Panitera Pengganti serta
lik
Ketua Majelis
ttd
ep
ub
ttd
s Page 13 of 14
ne
ttd
do
R A
gu
ng
M
Panitera Pengganti
In
ttd
ah
ka m ah
Hakim Anggota
In
dihadiri oleh Kuasa Para Pemohon;
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 13
R ep ub 30.000,50.000,95.000,5.000,6.000,186.000,-
s ne do In
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ub
lik
ka m ah
In
A gu
do
ng
ne
si
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
In
A gu
ng
Rincian biaya perkara : 1. Biaya administrasi Rp. 2. Biaya Proses Rp. 3. Biaya panggilan Rp. 4. Biaya redaksi Rp. 5. M e t e r a i Rp. Jumlah Rp. (seratus delapan puluh enam ribu rupiah)
ne si a
putusan.mahkamahagung.go.id
do
hk am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 14
Suasana didepan Pengadilan Agama Badung dan di depan ruang sidang Pengadilan Agama Badung
Wawancara dengan Drs. H. KT. Madhuddin Djamal, SH. MM. Beliau menjabat sebagai ketua Pengadilan Agama Badung