PERCERAIAN AKIBAT KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA "(Studi Kasus Putusan Hakim Dalam Perkara Perceraian Nomor: 214/Pdt. G/PA. Bgr.)”
Di Ajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Disusun Oleh : M. ANDY RAIHAN NIM: 208044100004
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M / 1435 H
PERCERAIAN AKIBAT KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA "(Studi Kasus Putusan Hakim Dalam Perkara Perceraian Nomor: 214/Pdt. G/PA. Bgr.)" Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh : M. Andy Raihan NIM: 208044100004
Di Bawah Bimbingan:
Ismail Hasani, SH, MH. 197712172007101002
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M / 1435 H
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 15 Desember 2014
M. Andy Raihan 208044100004
ABSTRAK
Perkawinan adalah ikatan suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, namun kendatipun perkawinan adalah suatu ikatan suci, adakalnya ditengah perjalanan biduk rumah tangga perkawinan harus berakhir di meja persidangan. Data badilag Mahkamah Agung RI menyebutkan tentang prosentase cerai gugat dan cerai talak pada tahun 2009 menunjukkan bahwa secara nasional, perkara yang masuk untuk cerai gugat 143, 747 (65%), berbanding perkara untuk cerai talak 77, 773 (35%). Adapun faktor penyebab gugat cerai adalah faktor kekerasan dalam rumah tangga, dimana seorang isteri tidak tahan lagi akibat perbuatan kasar suami terhadap isterinya. Dalam hal ini Hakim Pengadilan Agama Bogor dalam kasus cerai gugat akibat kekerasan dalam rumah tangga mencoba dan mengkombinasikan beberapa Undang-Undang yang terkait dengan perkara tersebut. Penelitian ini menggunakan beberapa metode penelitian diantaranya: metode penelitian hukum normatif yang salah satu tujuannya adalah mendapatkan hukum objektif (norma hukum), dan mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban), metode penelitian hukum sosiologis yang salah satu tujuannya adalah mendaptkan data primer, dan menemukan kebenaran dengan menggunakan metode berfikir induktif dan kriterium kebenaran koresponden serta fakta yang digunakan melakukan proses induksi dan pengujian kebenaran secara korespondenadalah fakta yang mutakhir.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Dzat yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan banyak nikmat dan senantiasa memberikan hidayahnya kepada setiap makhluk ciptaan-NYA. Sehingga dengan izinnya akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan Salam selalu tercurahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya minadzulumati illa nur, dan kesejahteraan semoga selalu tercurahkan kepada keluarga besar beliau, sahabat-sahabatnya, tabi’intabi’uttabiin, dan kita sebagai umatnya semoga mendapatkan syafaatnya kelak. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan baik dalam proses maupun isinya. Namun berkat bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, Alhamdulillah skripsi ini dapat terselesaikan sesuai dengan target yang diharapkan. Dengan penuh kerendahan hati dan kesadaran diri, penulis sadar bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materil, sudah sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan demi terselesaikannya penulis skripsi ini. Maka penulis berterima kasih kepada:
i
1. Bapak Prof. Dr. Drs. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM, selaku mantan dekan Fakultas Syariah dan Hukum. 2. Bapak Dr. Phil. H. JM. Muslimin, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, dan beserta staf-staf nya. 3. Ketua Program Studi Al-Akhwal Syakhsiyyah Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH, sekaligus sebagai dosen pembimbing akademik yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan arahan serta dorongan motivasi kepada penulis. 4. Kepada Dosen Pembimbing skripsi Bapak Ismail Hasani, SH, MH yang dengan sangat sabar dan telaten membimbing dalam pembuatan skripsi ini, semoga Allah SWT membalas semua jasa-jasa bapak dan selalu diberikan kesehatan, kesuksesan beserta rizki yang berlimpah. 5. Kepada Ketua Pengadilan Agama Bogor Kelas IB Bapak Drs. H. Mohamad Yamin, SH, MH beserta staf-stafnya yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pemikirannya untuk melakukan wawancara dan observasi, sehingga terselesaikannya skripsi ini. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat untuk Pengadilan Agama khususnya Pengadilan Agama Bogor Kelas IB dikemudian hari kelak. 6. Kepada ibunda tercinta, Eti Nurbaiti yang sangat berperan penting dalam mendidik penulis, dengan penuh kesabaran dan pengertian dan tiada henti memberikan dukungan baik secara moril maupun secara materil, semoga Allah SWT selalu melindungi dan memberkahi dengan nikmat rohani dan kesehatan jasmani.
ii
7. Untuk abangku beserta isterinya, Irvan Nova Udayana dan Rose yang selalu memberikan support sehingga terselesaikannya skripsi ini. 8. Untuk kakak Mufidah, SH.I sebagai salah satu staff di Fakultas Syariah dan Hukum
yang
selalu
memberikan
dukungan
dan
bantuan
sehingga
terselesaikannya skripsi ini. 9. Seluruh Dosen dan staff pengajar Fakultas Syariah dan Hukum yang telah banyak memberikan banyak ilmu pengetahuan dan kesabaran dalam mendidik penulis selama penulis melakukan studi di Fakultas Syariah dan Hukum. 10. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu memberikan kelancaran kepada penulis dalam proses kemahasiswaan, serta pimpinan dan segenap karyawan perpustakaan umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya perpustakaan FSH, terima kasih atas penyediaan buku-buku penunjang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 11. Arsy Dhea Ryzkya sebagai wanita yang selalu mendampingi penulis dan tidak pernah berhenti berdoa dan memberikan support dalam pembuatan skripsi ini. 12. Dan tidak lupa kepada sahabat-sahabat penulis; Bangkit Erlangga S.Sy, Hanafi, M. Ibnu Rahman, S.Hi, MM, Raod Kamaluddin, S.Pdi, Mahfud, S.Pdi, Rama Mahardika, M. Subki, Deni Abdul Hakim, Teguh Hamanda Lubis, Harianto, M. Rizki Romdhon, Leo, Altof, Galih, Riskana Dewi, team Futsal MP yang selalu memberikan banyak senyuman dan inspirasi. 13. Dan bagi seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, tanpa mengurangi rasa hormat dan terima kasih banyak yang sebesar-besarnya atas support baik moril maupun materil. iii
Demikianlah beberapa pihak yang mendukung skripsi ini, terima kasih penulis ucapkan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat besar bagi keperluan pengembangan ilmu syariah dan hukum khususnya Peradilan Agama.
Ciputat, 15 Desember 2014
M. Andy Raihan
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................i DAFTAR ISI........................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ........................................................................................1 B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ....................................................15 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..............................................................17 D. Metode Penelitian ..................................................................................19 E. Kerangka Pemikiran................................................................................ 25 F. Kajian Terdahulu (Review)..................................................................... 26 G. Sistematika Penulisan ............................................................................27
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERCERAIAN AKIBAT KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) ............................................................29 A. Tinjauan umum Tentang Perceraian .......................................................29 1. Pengertian Perceraian..........................................................................29 2. Dasar Hukum Perceraian ....................................................................36 3. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian ...................................................39 B. Tinjauan Umum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga .................43 1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga.................................... 43 2. Faktor-Faktor Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga............ 47 3. Perlindungan Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.............................................................................................. 51
v
BAB III DESKRIPSI PENGADILAN AGAMA BOGOR.............................................54 A. Konteks Sejarah Pengadilan Agama Bogor ............................................54 1. Letak Geografis Pengadilan Agama Bogor........................................ 56 2. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Bogor................................... 57 B. Dasar-Dasar Putusan Hakim Pengadilan Agama Bogor Dalam Kasus Cerai Gugat ............................................................................................59 C. Persepsi Hakim Tentang Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Memutuskan Perkara Cerai Gugat.............................. 63 BAB IV Putusan Pengadilan Agama Bogor Dalam Perkara Cerai Gugat No. 214/Pdt.G/PA. Bgr...............................................................................................65 A. Posisi Kasus ............................................................................................54 1. Masalah Yang Timbul.........................................................................56 2. Putusan............................................................................................... 66 B. Analisis Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Putusan Hakim Dengan Nomor Perkara 214/Pdt.G/PA.Bgr di Pengadilan Agama Bogor .........................................................................................72 C. Akibat Hukum Disebabkan Oleh Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Pengadilan Agama Bogor ...................................................78
BAB V PENUTUP............................................................................................................80 A. Kesimpulan .............................................................................................80 B. Saran .......................................................................................................82 C. Daftar Pustaka ........................................................................................84 D. Lampiran ................................................................................................88
vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan menurut Hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.1 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan nrumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Perkawinan juga ‘aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.2 Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: “Maka bolehlah kamu menikahi perempuan yang kamu pandang baik untuk kamu, dua atau tiga atau empat, jika kiranya kamu takut tidak dapat
1
A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Qalbun Salim, 2005). 2 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1976), cet. Ke-17, h. 355.
1
2
berlaku adil diantara mereka itu, hendaklah kamu kawini seorang saja”. (Q.S. An-nisa: 3) Tujuan dari sebuah perkawinan adalah terbentuknya keluarga yang bahagia, kekal dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini dapat terwujud jika suami isteri saling memahami serta melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing sebagai upaya membangun sebuah keluarga. Kewajiban antara suami dan isteri harus dimaknai secara timbal balik yang artinya bahwa kewajiban suami adalah merupakan hak isteri dan sebaliknya yang menjadi kewajiban bagi isteri merupakan hak dari pada suami. 3 Keluarga harmonis dan tentram tidak akan terwujud jika terjadi kelalaian atau kesengajaan baik dari pihak suami maupun isteri, dengan tidak menunaikan kewajiban ini akan berakibat terlantarnya salah satu pihak atau keduanya. Suami isteri harus saling bertanggung jawab untuk saling memenuhi kebutuhan pasangannya untuk membangun keluarga harmonis dan tentram. 4 Kehidupan rumah tangga bertujuan menuju ridho Allah SWT. Suami dan isteri harus saling melengkapi dan bekerja sama dalam membangun rumah tangga yang harmonis menuju derajat takwa. Allah SWT berfirman di dalam surat At-Taubah: 3
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), cet. Ke-2, h. 96. 4 Muhammad Thalib, 20 Rahasia Ikatan Kejiwaan Suami Isteri, (Bandung: Irsyad Baitus Sala, 2001), cet. Ke-1, h. 46.
3
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain”. (Q.S. At-taubah: 71). Dan firman Allah SWT di dalam surat An-nisa ayat 19:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (Q.S. An-nisa: 19). Ayat di atas merupakan seruan kepada para suami agar mereka mempergauli isteri-isteri mereka secara ma’ruf. Menurut At-Tabari, ma’ruf adalah bersikap adil dalam giliran dan nafkah; memperbagus ucapan dan perbuatan. Ayat ini juga memerintahkan menjaga keutuhan keluarga. Jika ada
4
sesuatu yang tidak disukai pada diri isterinya, selain zina dan nusyuz, suami diminta bersabar dan tidak terburu-buru menceraikannya. Sebab, bisa jadi pada perkara yang tidak disukai, terdapat sisi-sisi kebaikan.5 Islam sebagai agama yang mengatur urusan vertikal dan horizontal telah mengatur urusan perkawinan dengan seksama. Urusan perkawinan ini merupakan suatu urusan yang tentu secara ilmiah dibutuhkan oleh manusia. Sebagai agama yang memberi rahmat maka Islam harus responsif dengan kebutuhan manusia. Allah Yang Maha Indah sengaja menciptakan manusia secara berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan sebagai salah satu bagian dari romantika kehidupan. Supaya romantika kehidupan ini semakin indah dan agar hubungan laki-laki dan perempuan mampu menyuburkan ketentraman, cinta dan kasih sayang serta kedamaian maka Allah menetapkan suatu ikatan suci yaitu perkawinan.6 Perkawinan adalah suatu ikatan yang suci, ia merupakan suatu persatuan jiwa dan hati, dan harus padu dan aman. Kata cerai harus dibuang jauhjauh dari kamus masyarakat. Seorang suami dan seorang isteri yang terikat dalam
5
Farid Ma’ruf. 2007, Pandangan Islam Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga. (http//baitijannati.wordpress.com), diakses 29 November 2014. 6 Didik Abdullah, Bila Hati Rindu Menikah, (Yogyakarta: Pro U Media, 2005), h. 23.
5
suatu perkawinan harus meyakini bahwa mautlah yang akan memisahkan mereka.7 Dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, merumuskan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal dan berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Perkawinan dalam hukum perdata diartikan sebagai pertalian yang dilakukan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang cukup lama. 8 Dari rumusan perkawinan tersebut di atas jelaslah bahwa perkawinan itu tidak hanya ikatan lahir atau ikatan batin saja akan tetapi kedua-duanya. Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama-sama sebagai suami isteri. Ikatan lahir ini merupakan hubungan formal yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengingatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sedangkan perkawinan sebagai ikatan batin merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama sebagai suami isteri, ikatan batin ini tercemin dari adanya kerukunan suami isteri yang bersangkutan. Terjalinnya ikatan lahir dan batin ini merupakan dasar dalam membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal.9
7
M. Muhyidin, Perceraian Yang Indah: Membongkar Fenomena Kawin Cerai Selebritis, (Yogyakarta: Matahari, 2005), h. 42. 8 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1983), cet. Ke-1, h. 23. 9 Riduan Syaharani, Perkawinan dan Perceraian, (Jakarta: Media Sarana Putra, 1987), h. 12.
6
Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk selamanya sampai wafatnya salah seorang suami isteri, inilah sebenarnya yang dikehendaki dalam Islam. Salah satu azas perkawinan adalah monogami (tawahhud al-zawj). Perkawinan dilakukan atas prinsip kerelaan (al-taraadli), kesetaraan (almusaawah), keadilan (al-adaalah), kemaslahatan (al-maslahat), pluralisme (alta’addudiyyah), dan demokratis (al-diimuqrathiyyah).10 Namun dalam keadaan tertentu terdapat hak-hak yang menghendaki putusnya perkawinan, dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan akan menimbulkan ke mudharatan yang akan terjadi.11 Dalam azas perkawinan yang ada juga ditekankan untuk mempersulit terjadinya perceraian artinya mempertahankan rumah tangga dengan cara yang baik, apabila terpaksa melepaskannya dengan cara yang baik pula sebagaimana Firman Allah SWT:
Artinya: Jika mereka bercita-cita hendak menceraikannya maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah: 227).
10
Tim Pengarustamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaruan Hukum Islam, (Jakarta, 2004), h. 36. 11 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cet. Ke-I, h. 124.
7
Meski diperbolehkan untuk bercerai, tetapi hal itu suatu perbuatan yang paling dibenci oleh Islam karena akan menghilangkan kemaslahatan antara suami isteri.12 Saat masalah yang sudah ada tidak dapat diselesaikan dengan upaya perdamaian maka Islam memberikan solusi dengan dibolehkannya perceraian. Cerai atau putusnya perkawinan dapat terjadi atas kehendak suami ataupun kehendak isteri. Hal ini karena karakteristik hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian, sehingga proses perceraiannya pun berbeda. 13 Perceraian atas kehendak suami disebut cerai thalaq, dan perceraian atas kehendak isteri disebut cerai gugat. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang ada pada akhirnya dapat terjadi kekerasan
dalam
rumah
tangga
sehingga
timbul
ketidakamanan
atau
ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.14 Kekerasan adalah tindakan dan serangan terhadap seseorang yang kemungkinan dapat melukai fisik, psikis, dan mental, serta menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan.15
12
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Beirut: Dar al-Kitab al-Farabi, 1973), cet. Ke-2, h. 9. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), cet. Ke-I h. 206 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Visimedia, 2007), cet. I, h. 68-69. 15 Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Pembaharuan Dalam Islam, h. 35. 13
8
Salah satu masalah yang terjadi adalah masih berkembangnya budaya kekerasan yang terdapat dalam kehidupan rumah tangga (KDRT) kebanyakan dilakukan oleh suami dan sebagai korbannya isteri. Allah SWT berfirman:
Artinya: “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.(Q.S. An-Nisa:34).
9
Dalam surat An-nisa ayat 34 diatas, Allah menjelaskan tentang kedudukan suami sebagai pemimpin keluarga dan juga menjelaskan tentang kewajiban isteri untuk mentaati suami. Jika ternyata dalam relaita terjadi nusuz dari pihak isteri terhadap suami dengan tidak mengindahkan kewajibankewajiban yang harus dipenuhinya, maka Islam mengajarkan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh suami sebagai pemimpin untuk mengarahkan isteri kembali ke jalan yang benar. Kata dorb dalam surat An-Nisa ayat 34 tidak bisa dijadikan rujukan dan diterjemahkan secara harfiah dengan memukul, tetapi harus diterjemahkan sesuai dengan penjelasan ayat dan hadist secara komprehensif sesuai norma syariah. Karena dalam persepsi Islam, maksud dari institusi perkawinan dalam bentuk rumah tangga sangatlah mulia. Selain mengikuti Sunnah Nabi dan mengembangbiakkan keturunan, juga untuk membina keluarga sakinah, mawaddah, rahmah, mahabbah, dan harmonis. Maka dari itu, menghina, menganiaya atau memukul isteri bukan hanya kontraproduktif dengan tujuan perkawinan, tetapi juga melanggar prinsip dasar HAM.16 UU 7/1998 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, UU No. 23/2002 tentang perlindungan anak, UU No. 23/2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 21/2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang
16
Sofjan S Siregar, Fikih Mawaddah, Dosen Islamic University of Europe Rotterdam, Ketua ICMI orwil Eropa.
10
adalah bukti perubahan konstruktif bagi penghapusan KDRT. Penghapusan KDRT dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan pada umumnya selanjutnya menuntut jaminan implementasi dan operasionalisasi yang lebih konkrit sehingga deretan pasal dalam berbagai perundang-undangan tersebut tidak menjadi pasal bisu yang tidak mampu melimpahkan keadilan bagi perempuan. Tugas aparat penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, advokat, dan pendamping adalah memastikan bahwa perundang-undangan itu bisa dijalankan.17 Idealnya sebuah kehidupan berumah tangga adalah untuk hidup rukun bahagia dan tentram, namun sebuah perjalanan hidup tidak selamanya mulus sesuai dengan apa yang diharapkan, terkadang aral datang lebih pagi untuk menghantam keyakinan diri dan goyahkan dinding baja nurani sehingga muncullah perbedaan pandangan dalam memahami kehidupan dan pertengkaran diantara suami isteri yang merasa tidak nyamanan tentram lagi dengan perkawinan mereka. Pada hakikatnya, seseorang yang melakukan akad pernikahan adalah saling berjanji serta berkomitmen untuk saling membantu, menghargai dan menghormati pasangannya, sehingga tercapailah kebahagiaan dan cita-cita yang diinginkan. Tujuan pernikahan tertera pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.18 Kasus gugatan cerai yang diajukan ke Pengadilan Agama akibat pelaku melakukan KDRT terus menerus juga menjadi salah satu kasus yang 17
Faqihuddin Abdul Kodir, Ummu Azizah Mukarnawati, “Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, (Jakarta, Komnas Perempuan), h. 2. 18 Amir Syarifuddin, “Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Serta Kompilasi Hukum Islam”, (Jakarta: Departemen Agama RI: Dirjen, Bimas dan Penyelenggara Haji).
11
didokumentasikan oleh Komnas Perempuan. Beberapa tahun belakangan ini, dorongan terhadap Pengadilan Agama agar lebih sensitif terhadap gugatan cerai dengan alasan KDRT yang terus menerus terjadi semakin menguat (Komnas Perempuan 2008). Adapun gugatan cerai yang diajukan oleh seorang perempuan korban KDRT dalam kasus terdokumentasi, tidak cukup membuat majelis hakim tergugah untuk melihat lebih jauh gugatan tersebut. Persoalan tambah lainnya adalah hak-hak perempuan atau mantan isteri dan hak-hak anak pasca perceraian tidak memiliki daya paksa untuk menekan mantan suami agar menunaikan kewajiban hukum mereka.19 Adapun alasan-alasan perceraian yang dibenarkan diatur pada pasal 19 PP No. 9 Tahun 1974 tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam pasal 116.20 Bila hubungan pernikahan itu tidak dapat lagi dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi kemudaratan, maka Islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian. Dengan demikian, pada dasarnya perceraian atau thalaq itu adalah sesuatu yang tidak disenangi yang dalam istilah Ushul Fiqh disebut makruh.21 Ikatan perkawinan harus
19
http://www.komnasperempuan.or.id diakses pada tanggal 24 Januari 2012. Amir Syarifuddin, “Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Serta Kompilasi Hukum Islam”, (Jakarta: Departemen Agama RI: Dirjen, Bimas dan Penyelenggara Haji). 20
21
199.
Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”, (Jakarta: Kencana 2006), h.
12
dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, bisa bertahan dengan bahagia sampai ajal menjelang dan bisa juga putus di tengah jalan. 22 Pengadilan agama adalah salah satu institusi penegak hukum yang sangat berhubungan dengan penegak berbagai perundang-undangan di atas. Meskipun untuk kategori kejahatan atau tindak pidana tetap menjadi kewenangan pengadilan negeri, tetapi laporan tahunan komnas perempuan yang salah satunya dihimpun dari pengadilan agama, menunjukkan bahwa pengadilan agama pintu pertama terkuaknya berbagai kekerasan dalam rumah tangga yang sebelumnya tertutup rapi di tengah rumah tangga. Karena itu, meskipun tidak langsung mengadili tindak pidananya, pengadilan agama memiliki peranan strategis dalam menguak peristiwa kekerasan yang terjadi.23 Institusi Peradilan Agama sebagai bagian dari sistem hukum nasional memiliki kontribusi penting dalam mempengaruhi dan membentuk praktik dan kebiasaan yang terjadi dalam hubungan antar laki-laki dan perempuan. Hal ini karena hampir semua kompleksitas persoalan relasi antar laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami isteri adalah bagian pokok dari kompetensi Peradilan Agama.24 Peradilan Agama menyelenggarakan guna menegakkan tugas pokok
22
Aiumur Naruddin, Azhari Akmal Tarigan, “Hukum Perdata Islam di Indonesia”, (Jakarta, Kencana 2004), h. 208. 23 Faqihuddin Abdul Kodir, Ummu Azizah Mukarnawati, “Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, (Jakarta, Komnas Perempuan), h. 2. 24 Arskal Salim, Euis Nurlaelawati, Lies Marcoes Natsir, Wahdi Sayuti, “Demi Keadilan Dan Kesetaraan”, (Jakarta: PUSKUMHAM), h. 5.
13
untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya berdasarkan peraturan perundangan. 25 Hal utama yang juga menjadi kewajiban hakim adalah mandat legalnya sebagai pihak yang bertugas memutus perkara. Hakim tidak bisa semata-mata mengacu secara rigid perundang-undangan yang memiliki keterbatasan dalam menangkap setiap spektrum peristiwa KDRT yang kompleks, tapi juga dituntut untuk berkreasi, menelaah, dan terampil membangun argumen yang holistik (menyeluruh dan meluas) dari berbagai perundang-undangan nasional yang tersedia. Meskipun kasus yang disidangkannya merupakan kasus perdata, perceraian misalnya, dalam rangka memenuhi keadilan perempuan, hakim semestinya menelisik setiap kemungkinan tindak pidana, selanjutnya proses pidana dapat dimulai dari sini. Dengan demikian, kualitas putusan hakim tidak hanya memenuhi standar penyelesaian perdatanya saja tapi juga mendorong dan membuka keadilan baru bagi perempuan korban KDRT.26 Data badilag Mahkamah Agung RI menyebutkan tentang prosentase cerai gugat dan cerai talak pada tahun 2009 menunjukkan bahwa secara nasional, perkara yang masuk untuk cerai gugat 143, 747 (65%), berbanding perkara untuk cerai talak 77, 773 (35%). 27
25
Basiq Djalil, “Peradilan Agama Di Indonesia”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group),
h. 14. 26
Faqihuddin Abdul Kodir, Ummu Azizah Mukarnawati, “Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, (Jakarta: Komnas Perempuan), h. 3. 27 www.badilag.net Statistik Perkara, diakses pada tanggal 24 Januari 2012.
14
Perceraian merupakan perkara yang mendominasi ruang sidang pengadilan agama di Indonesia. Peraturan perundang-undangan menyebutkan bahwa perceraian hanya dilakukan melalui pengadilan agama.28 Sebenarnya yang menarik dari perkembangan hukum perceraian adalah, di mana undang-undang dalam kasus perceraian apakah melalui talak maupun cerai gugat telah menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang setara sama-sama dapat mengajukan permohonan cerai, dan pengadilan adalah pihak yang menentukan dapat atau tidaknya sebuah perceraian itu terjadi.29 Dari uraian diatas, maka penulis bermaksud untuk melakukan pengkajian dan melakukan penelitian lebih mendalam dalam permasalahan ini yaitu mengenai gugatan cerai yang diakibatkan oleh Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), maka dalam hal ini penulis memilih Pengadilan Agama Bogor yang untuk ditelusuri, maka penulis akan memberi judul: “PERCERAIAN AKIBAT KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA” (Studi Analisis Putusan Hakim Dalam Perkara Gugat Cerai No. 214/Pdt.G/PA. Bgr).
28
Arskal Salim, Euis Nurlaelawati, Lies Marcoes Natsir, Wahdi Sayuti, “Demi Keadilan Dan Kesetaraan”, (Jakarta: PUSKUMHAM), h. 59. 29 Aiumur Naruddin, Azhari Akmal Tarigan, “Hukum Perdata Islam di Indonesia”, (Jakarta, Kencana 2004), h. 238.
15
B. PERUMUSAN DAN PEMBATASAN MASALAH 1. Rumusan Masalah Ada 2 (dua) hal pokok sebagai dasar pemikiran yang digunakan dalam penyusunan rumusan masalah tentang kesetaraan gender yang selanjutnya akan menjadi ukuran atau standar dalam menemukan kesetaraan gender, yang diharapkan bahwa suatu peraturan dan pelaksanaannya pun akan menjadi adil baik terhadap perempuan, yakni30: a. Penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia, dan untuk hal itu perlu dikaji secara mendalam sumber hukum hak asasi manusia, yang terkandung dalam: 1. Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Republik Indonesia; 2. Ketetapan Majelis Permusyawarahan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan tanggal 13 November 1998; 3. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang didalamnya terkandung dalam 14 (empat belas) Rumpun Hak, dan dijabarkan dalam 40 (empat puluh) Hak Konstitusional setiap warga Negara Indonesia;
30
Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Kementrian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, “Parameter Kesetaraan Gender Dalam Pembentukan Peraturan PerundangUndangan”, h. 6
16
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Dikriminatif Terhadap
Wanita
(Convention
on
the
Elimination
of
All
Discrimination Against Women); 5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia; b. Pengintegrasian perspektif gender melalui pendekatan tentang Akses, Paartisipasi, Kontrol dan Manfaat yang setara dan adil dengan menggunakan analisis gender:31 1. Dasar pemikiran yang terkandung dalam prinsip-prinsip CEDAW, yakni: prinsip non diskriminatif, prinsip persamaan subtantif (kesetaraan yang adil), dan prinsip kewajiban negara; 2. Memperhitungkan dan mempertimbangkan aspek-aspek sosial budaya, khususnya masih kentalnya budaya patriakhi, yang selama ini merupakan faktor penghambat terkuat, terutama terhadapa perempuan, dalam pemenuhan dan penikmatan yang adil dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
31
Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Kementrian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, “Parameter Kesetaraan Gender Dalam Pembentukan Peraturan PerundangUndangan”, h. 7
17
Agar penelitian ini berjalan dengan sistematis, maka perlu dibuat perumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana dasar pertimbangan Hakim dalam memberikan putusan perkara No. 214/Pdt.G/PA.Bgr ? b. Faktor apa saja yang mempengaruhi dasar keputusan Hakim terkait atau terhadap putusan tersebut ? 2. Pembatasan Masalah Berdasarkan uraian permasalahan diatas, penulis memfokuskan penelitian ini pada Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Putusan Hakim Pengadilan Agama Bogor Dalam Kasus Cerai Gugat
Khususnya
pada
Putusan
Perkara
Perceraian
Nomor:
214/Pdt.G/2007/PA.Bgr. Terkait dengan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian Berkenaan dengan pokok permasalahan ini, maka tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Mengetahui dan mempelajari dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Bogor dalam memberikan Putusan Perkara cerai gugat.
18
b. Mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dasar keputusan Hakim Pengadilan Agama Bogor terkait Kekerasan Dalam rumah Tangga. 2. Manfaat Akademik Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu peradilan agama dalam memahami putusan hakim pengadilan agama terhadap kesetaraan dan keadilan perempuan di pengadilan agama dalam kasus perceraian dan dapat memberikan manfaat dari segi akademisi dan praktisi, yaitu: a. Secara Akademik yaitu: Untuk pengembangan hukum acara perdata, diharapkan penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi, dan peningkatan akademisi dalam bidang hukum kelembagaan peradilan agama. Dan untuk memperluas ilmu pengetahuan di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama Fakultas Syariah dan Hukum, khususnya untuk menambah referensi bagi kajian hukum perdata, di mana penulis sangat berharap agar penelitian skipsi ini memberikan gambaran dengan jelas mengenai peran kewenangan hakim pengadilan agama dalam menjatuhkan putusan perceraian cerai gugat tanpa adanya mendiskriminatifkan perempuan atas hak-haknya pasca jatuhnya putusan hakim di seluruh pengadilan agama di Indonesia.
19
b. Secara Praktis yaitu: Memberikan informasi bagi akademisi dan masyarakat luas mengenai Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Putusan Hakim Pengadilan Agama Dalam Kasus Cerai Gugat. c. Masyarakat Umum: Penulis skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan penjelasan bagi masyarakat umum tenang hal-hal
yang berhubungan dengan
Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Putusan Hakim Pengadilan Agama Dalam Kasus Cerai Gugat.
D. METODE PENELITIAN Mengingat dalam karya ilmiah, metode merupakan strategis yang utama dan mempunyai peran yang sangat penting, karena dalam penggunaan metode adalah upaya untuk memahami dan menjawab persoalan yang akan diteliti.32 Untuk itu penulis menggunakan metode sebagai berikut: a) Metode Penelitian Hukum Normatif Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, maka metode penelitian hukum normatif. metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
32
h. 27-28
Bambamg Sunggono, “Metode Penelitian Hukum”, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1997),
20
meneliti bahan pustaka yang ada.33 Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah peneliti yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).34 b) Metode Penelitian Hukum Sosiologis Penelitian hukum sosiologis atau empiris adalah metode penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data primer, dan menemukan kebenaran dengan menggunakan metode berfikir induktif dan kriterium kebenaran koresponden serta fakta yang digunakan melakukan
proses
induksi
dan
pengujian
kebenaran
secara
koresponden adalah fakta yang mutakhir. Cara kerja dari metode yuridis sosiologi dalam penelitian skripsi ini, yaitu dari hasil pengumpulan dan penemuan data serta informasi melalui studi kepustakaan terhadap asumsi atau anggapan dasar yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan pada penelitian skripsi ini, kemudian dilakukan pengujian secara induktif-verifikatif pada fakta metakhir yang terdapat di dalam masyarakat. Dengan demikian kebenaran
33
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke – 11. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 13–14. 34 Hardijan Rusli, “Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?”, Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V No. 3 Tahun 2006, h. 50.
21
dalam suatu penelitian telah dinyatakan reliable tanpa harus melalui proses rasionalisasi.35 c) Metode Pengumpulan Data 1. Studi Kepustakaan Penelitian ini juga melakukan studi kepustakaann, yakni penelitian keperpustakaan dengan cara mengumpulkan sumbersumber yang berkaitan dengan aspek-aspek permasalahan, mengambil data, meneliti dan mengkaji literatul, pendapat para ahli yang terdapat dalam buku-buku, surat kabar, majalah dan lain sebagainya yang dapat menunjang dan membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Atas dasar bahan-bahan hukum yang diuraikan diatas, maka dengan sendirinya peneliti peneliti secara sadar memilih dan menggunakan metode penelitian hukum normatif,36 atau disebut juga metode yuridis formal.37 Pembahasan akan dilakukan secara analitis, dengan demikian maka metode ini disebut juga normatif analitis.
35
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, h. 13-14. 36 Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahi, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta:Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Sinar Bakti, CetKelima, 1983). h.20. 37 Johnny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian hukum Normatif, (Malang:Bayumedia, CetKetiga, 2007), h. 299.
22
2. Wawancara Dalam metode pengumpulan data selain menggunakan studi kepustakaan, peneliti juga melakukan metode wawancara. Dari penjelasan
diatas
wawancara
merupakan
suatu
teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan tanya jawab secara lisan, baik langsung atau tidak langsung dengan sumber data. Wawancara langsung yaitu ditujukan langsung kepada orang yang
diperlukan
keterangan/datanya
dalam
penelitian.
Sedangkan wawancara tidak langsung, yaitu wawancara yang ditujukan kepada orang-orang lain yang dipandang dapat memberikan keterangan mengenai keadaan orang yang diperlukan datanya.38 3. Analisa Data Data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dapt dibedakan menjadi: 1) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yang dijadikan acuan adalah Peraturan Perundang-undangan yang erat hubungan dengan masalah yang akan diteliti yaitu: a. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
38
Raymond L. Gordon, Interviewing : Strategy, Techniques, and Tactics, Homewood, Illinois, 1975, P. 222.
23
b. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009. c. Rancangan
Undang-Undang
Tentang
Kesetaraan
Gender. d. Kompilasi Hukum Islam (KHI). e. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata. 2) Bahan Hukum Sekunder a. Literatul-literatul. b. Artikel-artikel yang berasal dari internet dan media cetak. 3) Bahan Hukum Tersier a. Kamus Hukum. b. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sumber data sekunder diporeleh dari hasil penelusuran pustaka dan dokumentasi di berbagai lembaga atau instansi. d) Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah:39 a. Observasi Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Peneliti mengawasi dengan cermat setiap perkembangan yang berkitan dengan penelitian. 39
Moh Nasir, Metode Penelitian, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988), h. 122
24
b. Dokumentasi Pada tahap dokumentasi, penilis mengumpulkan buku-buku, majalah, artikel dari internet maupun dari media cetak yang berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan gender perempuan terhadap putusan hakim pengadilan agama dalam kasus cerai gugat. Dokumentasi ini memudahkan penulis dalam mencari teori-teori yang berkaitan dengan judul skripsi. Analisis penulisan skripsi ini dilakukan dengan metode secara kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analisis, yakni apa yang dinyatakan secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, diteliti sebagai sesuatu yang utuh. Sehingga dengan menggunakan metode kualitatif, penulis diharapkan dalam melakukan penelitian bertujuan untuk mengerti dan memahami gejala yang ditelitinya.40 Adapun sebagai pedoman dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan buku pedoman peulis yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
40
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press), 2008), h. 32.
25
E. KERANGKA PEMIKIRAN Isteri
Perkawinan
Suami
Konflik Keluarga
Awal KDRT Isteri Sebagai Korban Konflik Keluarga dari Suami
Psikis
Sosiologis
Mental
Gugatan Perceraian
Replik Respon Hakim
Penggugat
Duplik Tergugat
Pertimbangan Hakim
Putusan Hakim
26
F. KAJIAN (REVIEW) STUDI TERDAHULU Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku, serta skripsiskripsi ataupun penelitian-penelitian yang pernah membahas seputar Kesetaraan dan Keadilan Gender di Pengadilan Agama. Buku-buku yang digunakan diantaranya “Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam Di NegaraNegara Muslim” karangan Dr. Hj. Djazimah Muqoddas, S.H., M.Hum. Adapun skripsi yang pernah membahas seputar Kesetaraan dan Keadilan Gender di Pengadilan agama: 1. Kesetaraan gender dan gugatan cerai di Pengadilan Agama Cilacap (Studi kasus perceraian di Pengadilan Agama Cilacap). Penulis Kasyono dari fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada skripsi ini penulis memaparkan Eksitensi Hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan proses perkara cerai gugat. 2. Penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga di luar pengadilan. Penulis
Marisa
Kurnianingsih
dari
fakultas
hukum
Universitas
Muhammadiyah Surakarta Jawa Tengah 2010, pada skripsi ini penulis memaparkan tentang kekerasan dalam rumah tangga yang diselesaikan di luar pengadilan yang lebih mementingkan untuk mengupayakan perdamaian terlebih dahulu adanya putusan hakim yang menjadi mediator dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa skripsi yang penulis ajukan tidak sama sekali sama dengan skripsi diatas. Pada skripsi ini penulis
27
meneliti tentang bagaimana putusan hakim pengadilan agama Bogor dalam memutuskan perkara cerai gugat tanpa harus menghilangkan hak-hak yang didapatnya dan tanpa harus mendikriminasikan kaum perempuan ketika terjadi perceraian yang diselesaikan di pengadilan agama Bogor.
G. SISTEMATIKA PENULISAN Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini lebih fokus dan sistematis, maka penulis mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I:
Pendahuluan yang memberikan gambaran secara umum dan menyeluruh tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode pembahasan serta sistematika penyusunan.
BAB II:
Merupakan bab yang membahas tentang konsepsi kesetaraan dan keadilan gender, yang menjelaskan tentang pengertian terdahulu, pengertian tentang kesetaraan gender, keadilan bagi gender perempuan, gender dalam pandangan Islam dan pandangan barat (western), gender dalam perundang-undangan di Indonesia. Bab ini agar dijadikan bekal bagi peneliti untuk menguji dan mengukur kebenaran teori dengan realitas di lapangan.
BAB III:
Bab ini membahas dan menguraikan tentang argumen kesetaraan dan keadilan gender dalam putusan pengadilan yang memuat
28
tentang konteks sejarah pengadilan agama bogor, dasar-dasar putusan hakim pengadilan agama Bogor dalam kasus cerai gugat, serta persepsi hakim tentang kesetaraan dan keadilan gender dalam memutuskan perkara cerai gugat. BAB IV:
Bab ini menguraikan dan menganalisis putusan hakim pengadilan agama bogor dalam Putusan Perkara Perceraian Nomor: 214/Pdt.G/2007/PA.Bgr, terhadap kesetaraan dan keadilan gender perempuan di pengadilan agama bogor dalam kasus cerai gugat. Dan memaparkan yang meliputi pandangan hakim pengadilan agama Bogor terhadap konsep kesetaraan dan keadilan gender perempuan dalam putusan majelis hakim pengadilan agama Bogor.
BAB V:
Merupakan bab terakhir yang berisi tentang penutup. Bab ini terdiri dari dua pembahasan yaitu kesimpulan dari hasil proses penelitian yang dilakukan mulai dari awal penelitian judul sampai penentuan akhir yaitu kesimpulan serta berisi tentang saran-saran konstruktif kepada pihak yang berkaitan dengan penelitian.
29
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERCERAIAN AKIBAT KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Tinjauan Umum Tentang Perceraian 1.
Pengertian Perceraian Perceraian merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada
perceraian tanpa diawali pernikahan terlebih dahulu. Pernikahan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang wanita yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhlak masyarakat dan pembentukan peradaban. 41 Allah SWT telah menetapkan dalam Al-Quran bahwa kedua pasangan suami isteri harus segera melakukan antisipasi apabila tiba-tiba timbul gejalagejala dapat diduga akan menimbulkan gangguan kehidupan rumah tangganya, yaitu dalam firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 34:
41
Rifyal Ka’bah, Permasalahan Perkawinan Dalam Majalah Varia Peradilan No. 271 Juni 2008, (Jakarta: IKAHI, 2008), h. 7.
30
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”. (Q.S. An-Nisa ayat: 34). Selanjutnya Allah SWT dalam firman-Nya, yaitu didalam surat AnNisa ayat 128:
31
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. An-Nisa: 128) Apabila usaha antisipasi melalui ayat-ayat tersebut tidak berhasil mempertahankan kerukunan dan kesatuan ikatan perkawinan dan tinggallah jalan satu-satunya terpaksa harus bercerai dan putusnya perkawinan, maka ketentuan yang berlaku adalah surat Al-Baqarah ayat 229:42
42
Mahmud Junus, Hukum Perkawinan Islam Menurut Mazhab: Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali, (Jakarta: Pustaka Mahmudiyah, 1989), h. 163-167.
32
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”. (Q.S. Al-Baqarah: 229).
33
Perceraian berasal dari kata dasar cerai, yang berarti pisah dan talak.43 Mendapat awalan “per” dan akhiran “an” yang mempunyai fungsi sebagai pembentuk kata benda abstrak, kemudian menjadi perceraian yang berarti hasil dari perbuatan cerai.44 Perceraian dalam istilah fiqih disebut talak atau furqah, kata talak berrati membuka ikatan, membatalkan perjanjian, sedangkan furqah berarti bercerai, kedua istilah tersebut oleh fiqih diartikan sebagai perceraian antara suami isteri.45 Menurut Dahlan Idhami, lafadz talak berarti melepaskan ikatan, yaitu putusnya ikatan perkawinan dengan ucapan lafadz yang khusus seperti talak dan kinayah (sindiran) dengan niat talak.46 Pengertian perceraian yang dijelaskan secara tegas dalam Pasal 117 KHI yang menyebutkan bahwa perceraian adalah ikrar suami dihadapkan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Berdasarkan uraian tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri yang sah dengan menggunakan lafadz talak atau semisalnya, selanjutnya dipertegas oleh ketentuan Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa perkawinan dapat putus disebabkan karena kematian, perceraian dan putusan 43
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dalam Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), cet. Ke-2, h. 81-83. 44 Gorys Keraf, Tata Bahasa Indonesia, (Jakarta: Nusa Indah, 1982), cet. Ke-9, h. 115. 45 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 156. 46 Dahlan Idhami, Asas-Asas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, t.t), h. 64).
34
pengadilan, yang mana akibat hukum yang ditimbulkan dari ketiga sebab tersebut berbeda-beda. Sedangkan menurut hukum Islam talak berarti: a. Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurai keterikatan dengan ucapan tertentu. b. Melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri. c. Melepaskan ikatan akad perkawinan dengan ucapan talak atau yang sepadan dengannya.47 Dalam peraturan di Indonesia dalam hal perceraian dikenal adanya cerai gugat dan cerai talak. Cerai talak adalah perceraian yang terjadi atas inisiatif dari pihak suami, sedangkan cerai gugat adalah perceraian atas inisiatif dari pihak isteri. Dengan demikina jelaslah bahwa makna perceraian di sini adalah perceraian atas inisiatif isteri.48 Perkawinan sebagai perjanjian atau kontrak (‘aqad), maka pihak-pihak yang terikat dengan perjanjian atau kontrak berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia lahir bathin dengan melahirkan anak cucu yang meneruskan cita-cita mereka. Bila ikatan lahir bathin tidak dapat diwujudkan dalam perkawinan, misalnya tidak lagi dapat melakukan hubungan seksual, atau tidak dapat melahirkan keturunan, atau, masing-masing sudah mempunyai 47
Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam Dan UU Perkawinan Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1976), h. 73. 48 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 203.
35
tujuan yang berbeda, maka perjanjian dapat dibatalkan melalui pemutusan perkawinan (perceraian) atau paling tidak ditinjau kembali melalui perkawinan kembali setelah terjadi perceraian “ruju”.49 Bagi orang Islam, perceraian lebih dikenal dengan istilah talak. Menurut Sayyid Sabiq, talak adalah ﺣﻞ راﺑﻄﺔ اﻟﺰواج واﻧﮭﺎء اﻟﻌﻼﻗﺔ اﻟﻮﺟﯿﺔ Artinya:
“Melepaskan
ikatan
perkawinan
atau
bubarnya
hubungan
perkawinan”.50 Menurut HA. Fuad Sa’is yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami isteri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya isteri atau suami dan setelah sebelumnya diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak.51
49
Rifyal Ka’bah, Permasalahan Perkawinan, Dalam Majalah Varia Peradilan, No. 271 Juni 2008, (Jakarta: IKAHI, 2008), h. 7. 50 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Darul Fikri), Jilid II, h. 206 tt. 51 Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina Dalam Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA, Jakarta, No. 52 Th XII 2001, h. 7.
36
2.
Dasar Hukum Perceraian Adapun dasar hukum perceraian adalah sebagai berikut: Di antara ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang perceraian adalah sebagai berikut:
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus
37
dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”. (Q.S. Al-Baqarah: 229). Ayat di atas menjelaskan bahwa talak yang boleh dirujuk itu 2 (dua) kali dan talak yang sesuai dengan syariat Islam adalah satu demi satu, tidak sekaligus. Apabila berkehendak merujuk isteri harus dengan cara yang ma’ruf dan apabila ingin menceraikan isteri dengan cara yang baik juga. 52 Lalu di jelaskan pula di dalam Firman Allah SWT di dalam surat AlBaqarah ayat 230:
Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
52
Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1987), h. 60.
38
Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah: 230). Ayat tersebut menjelaskan bahwa suami yang mentalak isterinya sampai tiga kali tidak boleh merujuk dan mengawininya kembali kecuali setelah bekas isteri kawin dengan laki-laki lain dan telah dicerai serta telah berakhir masa ‘iddah-nya53. Dan Allah SWT berfirman dalam surat At-Thalaq ayat 1:
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka 53
Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1987), h.
39
mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”. (Q.S. At-Thalaq:1). Dijelaskan pula di dalam hadist dari Abu Dawud dan Ibnu Majah: ( ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ اﺑﻌﺾ اﻟﺤﻼل إﻟﻰ اﷲ اﻟﻄﻼق )رواه اﺑﻮ داود:ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎل Artinya: “Dari ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: Sesuatu yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak”. (H.R. Abu Daud).54
3.
Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian Yang dimaksud dengan sebab-sebab terjadinya perceraian disini
adalah suatu kondisi dimana suami atau isteri mempergunakannya sebagai alasan untuk mengakhiri atau memutuskan tali perkawinan mereka. Pada dasarnya hukum Islam menetapkan bahwa alasan perceraian hanya satu
54
macam
saja,
yaitu
pertengkaran
yang
sangat
memuncak
Abi Daud Sulaiman bin As-As Sajastani, Sunan Abi Daud, (Daarul Fikr, 1994), h. 500.
dan
40
membahayakan keselamatan jiwa yang disbut dengan “syiqaq” sebagaimana firman Allah SWT dala Al-Quran surat An-Nisa ayat 35 yang berbunyi:
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. An-Nisa: 35). Sedangkan alasan perceraian menurut Hukum Perdata, hanya dapat terjadi berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan Undang-Undang dan harus dilakukan didepan sidang pengadilan. 55 Dalam kaitan ini ada dua pengertian yang perlu dipahami yaitu istilah “bubarnya perkawinan” dan “perceraian”.
55
Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan hukum Acara Pada Peradilan Agama, (Jakarta: Al-Hikmah, 1975), h. 133.
41
Alasan terjadinya perceraian berdasarkan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 adalah:56 a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak (suami isteri) meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun yang sah terkait dengan kewajiban memberikan nafkah lahir dan batin. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang dpat membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami isteri. f. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran, serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Disamping Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tersebut diatas, bagi yang beragama Islam sesuai dengan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam ada penambahan sebagai berikut: a. Suami melanggar taklik talak. 56
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (Pasal 19), kompilasi hukum Islam (Pasal 116), Wacana Intelektual, 2007), h. 205.
42
b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan, bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah satu pihak meninggal dunia, karena perceraian dan karena adanya putusan pengadilan. Kemudian dalam Pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan perceraian harus cukup alasan yaitu antara suami isteri tidak akan hidup sebagai suami isteri. Berdasarkan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, maka dapat disimpulkan bahwa perceraian tidak dapat dilakukan dengan sesuka hati. Dengan demikian perceraian hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi rumusan yang ditentukan dalam Psala 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dengan kata lain Pengaturan tersebut sesuai dengan asas dasar perkawinan yang mempersulit adanya perceraian.
43
B. Tinjauan Umum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1.
Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Secara etimologi kekerasan berasal dari kata “keras” yang berarti padat
dan tidak mudah pecah sedangkan kata “kekerasan” itu sendiri adalah perihal (yang bersifat dan berciri) keras, perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan fisik atau barang orang lain, serta paksaan.57 Secara terminologi yang dimaksud kekerasan atau “violence” pada dasarnya merupakan suatu konsep yang maksna iainya sangat bergantung kepada masyarakat sendiri, seperti dikatakan (Levi, 1994: 295-353).58 Kekerasan dalam Kamus Besar bahasa Indonesia berarti:59 a. Perihal yang bersifat, berciri keras; b. Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain; Dapat diartikan bahwa kata “kekerasan” pada umumnya dipahami hanya menyangkut serangan fisik belaka.60 Sebagaimana yang didefinisikan oleh Kandish Sanford bahwa:61
57
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-2, cet. VII, (Jakarta: balai Pustaka), h. 484-485. 58 Fathul Djannah, Dkk, Kekerasan Terhadap Isteri, (Yogyakarta: Lkis, 2003), h. 11. 59 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1998, h. 425.
44
“All type illegal behavior, or either threatened or actual that result in the damage or destruction of property or in the injury or death of on individual”. Senada dengan definisi dari Kandish Sanford, Encylopedia of Crime and Justice mendefinisikan “Violence” sebagai: 62 “...a general tern referring to all ytpe of behavior, either threatened or actual, that result in or are intended to result in the damage or destruction of property or the unjury or death of an individual”. Sedangkan pengertian kejahatan dengan kekerasan yang diberikan oleh B. Mardjono Reksodiputro sebagaimana dikutip oleh Sagung Putri,
dapat
diketahui bahwa dalam pengertian kejahatan kekerasan ada dua faktor penentu yaitu: 63 a. Adanya penggunaan kekerasan, dan b. Adanya tujuan untuk mencapai tujuan pribadi yang bertentangan dengan orang lain. Menurut para ahli kriminologis, kekerasan yang mengakibatkan terjadinya kekerasan fisik adalah kekerasan yang bertentangan dengan hukum.
60
Mansour Fakih, Perkosaan dan Kekerasan Perspektif Analisis Gender, (Perempuan Dalam Wacana Perkosaan), (Yogyakarta: PKBI, 1997), h. 6. 61 Kandish Sanford, Encylopedia of Criminal Justice, (Collier Macmilan, 1983), h. 1618. 62 Encyclopedia of Crime and Justice, 1983, Vol.4, The Free Press, A. Division of Macmillan Inc. 63 Sagung Putri M.E. Purwani, Viktimisasi Kriminal Terhadapa Perempuan, (Kerta Patrika, 2008), Vol. 33, No. 1, h. 3.
45
Oleh karena itu, kekerasan merupakan kejahatan.64 Berdasarkan pengertian inilah sehingga kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dijaring dengan Pasal-Pasal KUHP tentang kejahatan. Sedangkan dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 Pasal 1 disebutkan:65 “Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancamana
untu
melakukan
perbuatan
pemaksaan
atau
perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.66 Undang-undang diatas menyebutkan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga adalah segala jenis kekerasan (baik fisik maupun psikis) yang dilakukan oleh anggota keluarga terhadap anggota keluarga yang lain (yang dapat dilakukan suami kepada isteri dan anknya, atau oleh ibu kepada anaknya, atau bahkan sebaliknya). Meskipun demikian korban yang dominan adalah kekerasan terhadap isteri dan anak oleh sang suami. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat menimpa siapa saja termasuk ibu, bapak, suami, isteri, anak atau pembantu rumah tangga. Namun secara umum pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga lebih dipersempit artinya 64
h. 55.
65
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: PT. Eresco, 1992),
Republik Indonesia, Undang-Undang nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (t.t: Lima Bintang, t.th), h. 3. 66 Lihat Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 dalam Pasal 1.
46
sebagai penganiayaan oleh suami terhadapa isteri, hal ini bisa dimengerti karena kebanyakan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah isteri. Sudah barang tentu pelakunya adalah suami “tercinta”. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan “suami” dapat pula sebagai korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga oleh isterinya. Sebagai bentuk perlindungan terhadapa perempuan sebagai korban kekerasan setelah meratifikasi Konveksi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap wanita melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1984, pemerintah membentuk Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PDKRT). Terhadap jenis-jenis kekerasan, dalam Undang-undang PDKRT lebih diperluas lagi. Jenis-jenis kekersana lain selain kekerasan fisik yang dilakukan terhadap perempuan, seperti kekerasan psikis, ekonomi, dan seksual dapat ditemui pada Pasal 1 sebagai berikut: “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, selsual, psikologis, dan/atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. 67
67
Lihat Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 dalam Pasal 1.
47
Disamping itu, bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga seperti pemukulan terhadap isteri oleh suami adalah hal yang sangat sulit diungkap, karena persoalannya dianggap sebagai urusan pribadi. Hal ini juga disebabkan adanya legitimasi keagamaan yang membenarkan bagi suami untuk “memukul” isterinya dengan istilah “isteri durhaka”, sehingga secara luas dikalangan umat Islam lahir keyakinan bahwa suami berhak memukul isterinya dan terkadang juga seorang suami tidak merasa melakukan tindak kekerasan bila ia membentak, main serong, atau ia tidak memberi uang belanja, sedang isteri merasa hal ini adalah suatu tindak kekerasan yaitu kekerasan psikologis atau kekerasan ekonomi.
2. Faktor-Faktor Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Terjadinya kekerasan dalam rumah tangga karena faktor gender dan patriaki, relasi kuasa yang timpang, dan role modelling (perilaku hasil meniru).68 Gender dan patriaki akan minumbulkan relasi kuasa yang tidak setara karena laki-laki dianggap lebih utama daripada perempuan berakibat pada kedudukan suami pun dianggap mempunyai kekusaan untuk mengatur rumah tanggnya termasuk isteri dan anak-anaknya. Anggapan bahwa isteri milik suami dan seoarang suami mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi
68
Rika Saraswati,Op,cit.,h. 20.
48
daripada anggota keluarga yang lain menjadikan laki-laki berpeluang melakukan kekerasan. Sementara itu Aina Rumiati Aziz menambahkan faktor cara pandang atau pemahaman terhadap agama yang dianut. Berikut faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan yang dikemukakan oleh Aina Rumiati Aziz69: a. Budaya patriaki yang mendudukan laki-laki sebagai makhluk superior dan perempuan sebagai makhluk interior. b. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama sehingga menganggap lakilaki boleh menguasi perempuan. c. Peniruan anak laki-laki yang hidup bersama ayah yang suka memukul, biasanya akan meniru perilaku ayahnya. Fathul Djannah lebih memerinci faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga70 sebagai berikut: a. Karena suami cemburu. b. Suami merasa berkuasa. c. Suami mempunyai selingkuhan dan kawin lagi tanpa ijin. d. Ikut campurnya pihak ketiga (mertua).
69
Aina Runiati Aziz, 2002, “Perempuan Korban Di Ranah Domestik”, (Jakarta: Prima Pusaka, 2002), h. 2. 70 Fathul Djannah, Kekerasan Terhadap Istri, (Yogyakarta: LKIS, 2002), h. 51.
49
e. Suami memang suka berlaku kasar (faktor keturunan). f. Karena suami suka berjudi. Dari
beberapa
faktor
penyebab
terjadinya
kekerasan
terhadap
perempuan seperti telah disebutkan di atas faktor yang paling dominan adalah budaya patriaki. Budaya patriaki ini mempengaruhi budaya hukum masyarakat. Selain itu kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi dewasa ini berupa kekerasan seksual yang dikenal dengan pelecehan seksual, menurut kriminolog, pada umumnya terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah: a. Pengaruh perkembangan budaya yang nakin tidak menghargai etika berpakaian yang menutup aurat, yanv dapat merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh dan jahat. b. Gaya hidup diantara laki-laki dan perempuan yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjain dengan yang dilarang dala hubungannya dengan kaidah akhlak hubungan laki-laki dengan perempuan sehingga terjadi seduktif rape. c. Rendahnya
pengalaman
dan
penghayatan
terhadap
norma-norma
keagamaan yang semakin terkikis dimasyarakat atau pola relasi horizontal yang cenderung semakin meniadakan seseorang berbuat jahat dan merugikan orang lain.
50
d. Tingkat kontrol masyarakat (sosial control) yang rendah, artinya berbagai perilaku diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamaan kurang mendapatkan respon dan pengawasan dari unsur-unsur masyarakat. e. Putusan hakim yang cenderung tidak adil, misalnya putusan yang cukup ringan dijatuhkan pada pelaku. Hal ini dimungkinkan mendorong anggota masyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi dengan sanksi hukum yang akan diterimanya. f. Ketidakmampuan
pelaku
untuk
mengendalikan
emosi
dan
nafsu
seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk dicari kompensasi pemuasnya. g. Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam terhadap sikap, ucapan dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikan sehingga menimbulkan anga rape.71
71
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Seksual: Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, (Bandung: Rafika Aditima), Cet. Ke-2, h. 72.
51
3. Perlindungan Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Selama berabad-abad kekerasan domestik seolah terkubur tanpa pernah tercatat sebagai bentuk kejahatan pada statistik kriminal dan dianggap tidak ada. UUPKDRT terlahir untuk menyelematkan para korban kejahatan dalam rumah tanga. Hal ini merupakan pertanda baik karena mereka korban kekerasan dalam rumah tangga dicerhakan karena dapat melakukan penuntutan dan dilindungi secara hukum. Namun, akankah undang-undang ini dapat menuju paradigma bahwa lingkup domestik dan publik sudah tidak mengenal dikotomi dalam hal pencapaian keadilan dan penyadaran akan pentingnya mengangkat isu domestik ke tingkat publik. Dikeluarkannya berbagai konvensi atau undang-undang berspektif gender untuk melindungin perempuan dari pelanggaran HAM belum dapat sepenuhnya menjamin perempuan dari pelanggaran HAM. CEDAW yang cukup revolusioner telah menjamin hak-hak perempuan atas pekerjaan, politik, pendidikan, perkawinan dan kesehatan. Oleh sebab itu, negara berperan sebagai penjaga HAM bagi warganya harus menjamin perolehan hak-hak secara de jure tetapi yang terpenting secara de facto. Sesungguhnya CEDAW merupakan senjata ampuh bagi perempuan menentang segala bentuk diskriminasi. Kejahatan dengan kekhususan korbannya perempuan, seperti yang dirimuskan di dalam Pasal 285, 286, 287, dan 297 dimasukkan ke dalam Bab
52
XIV di bawah judul Kejahatan terhadapa Kesusilaan atau Kejahatan terhadap Kesopanan.72 Dalam bab ini, pasal yang dirimuskan khusus bagi korban yang berjenis kelamin perempuan adalah Pasal 285 tentang perkosaan, Pasal 286 tentang persetubuhan dengan perempuan yang tidak berdaya atau pingsan, Pasal 287 tentang persetubuhan dengan perempuan di bawah umur, Pasal 288 tentang persetubuhan dengan isteri yang masih dibawah umur dan Pasal 297 tentang perdagangan perempuan dan anak laki-laki. Dalam kenyataannya, perempuan (dan anak perempuan) seringkali mendapatkan perlakuan tidak adil dan menjadi sasaran kekerasan. Padahal segala bentuk kekerasan merupakan pelanggran hak asasi manusia (UU No. 39/1999 tentang HAM). Perempuan bukanlah warga negara kelas dua, tetapi perempuan dan laki-laki adalah warga yang memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama (UUD 1945). Kekerasan terhadap perempuan terus berlangsung, bahkan negara dapat bertindak sebagai pelaku kekerasan tersebut. Hal ini serupa dengan pendapat Toeti Herarty Noerhadi yang mengatakan bahwa salah satu pelaku kekerasan terhadap perempuan adalah negara dalam bentuk kekerasan politik (kebijakan negara, produk hukum, pembakuan peran oleh negara, dan sebagainya) dan kekerasan dalam tahanan
72
Niken Savitri, 2008, Op.cit.,h. 68.
53
(militer/polisi). Termasuk pula kekerasan terhadap perempuan yang dibiarkan oleh negara tanpa ada upaya pencegahan dan pemulihan korban. 73
73
Toeti Herarti Noerhadi, Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan”. Kekerasan Negara terhadap Perempuan. Ed. Nur Iman Subono, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan dan Asia Foundation Indonesia, 2003), h. 31.
54
BAB III DESKRIPSI PENGADILAN AGAMA BOGOR A. Konteks Sejarah Pengadilan Agama Bogor Pengadilan Agama sebagai salah satu lingkungan yang di akui di Indonesia berfungsi melaksanakan “kekuasaan kehakiman” atau “ judical power” khususnya di lingkungan Pengadilan Agama yang secara yuridis telah diaatur dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang ke kekuatan-kekuatan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian dalam pasal 63 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ditegaskan kembali tentang fungsi serta lingkungan Pengadilan Agama dalam memeriksa mengadili sengketa perkara yang timbul dalam hukum kekeluargaan.74 Untuk menghapus segala anggapan dan susana dilematis tersebut perlu Undang-undang No. 7 Tahun 1989 menegaskan lagi kedudukan lingkungan Pengadilan Agama agar benar-benar berfungsi sebagai salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman. Penegasana yang terdapat dalan pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman maupun penegasan yang terdapt dalam pasal 63 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perlawinan serta penegasan ulang yang terdapat dalam pasal 44 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Keberadaan Lingkungan Peradilan Agama sebagai salah
74
45.
Jaih Mubarok, “Peradilan Agama di Indonesia”, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h.
55
satu pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman, rupanya dianggap pembuat Undangundang belum memadai. Maka, untuk lebih meratakan penyebaran kesadaran dan kepercayaan masyarakat tentang kedudukan Lingkungan Peradilan Agama yang sebenarnya, Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menganggap perlu mempertegasnya. Sekaligus dalam penegasan tersebut diatur susunan, kekuasaan, dan hukum acara yang berlaku dalam Lingkungan Peradilan Agama.75 Dalam pasal 10 Undang-undang No. 14 tahun 1974 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, secara tegas disebut lingkungan Pengadilan yang berfungsi melaksanakan Kekuasaan Kehakiman” atau “Judical Power” terdiri dari lingkungan: 1. Peradilan Umum 2. Peradilan Agama 3. Peradilan Militer 4. Peradilan Tata Usaha Negara.76 Hukum Acara Pengadilan Agama ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara mentaatinya hukum materiil dengan perantaraan hakim atau cara bagaimana bertindak di muka Pengadilan Agama dan sebagaimana cara hakim bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya.
75
Yahya Harahap, ”Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 10. 76 Yahya Harahap, ”Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989, Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 10.
56
Pasal 54 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama menyatakan, “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”. Perkara-perkara dalam bidang perkawinan berlaku hukum acara khusus dan sebaliknya berlaku hukum acara perdarta umumnya. Hukum acara ini meliputi kewenangan Relatif Pengadilan Agama, Pemanggilan, Pemeriksaan, pembuktian, dan Biaya Perkara serta Pelaksanaan Putusan. Hakim harus menguasai hukum acara (hukum formil) di samping hukum materiil. Menerapkan hukum materiil secara benar belum tentu menghasilkan putusan yang adil dan benar.77
1. Letak Geografis Pengadilan Agama Bogor Pengadilan Agama Bogor dibentuk berdasarkan Staatsblaad 1882 nomor 152 dengan nama Raad Agama Penghulu Landraad. Kemudian terjadi perubahan nama menjadi Pengadilan Agama dan perubahan wilayah hukum berdasarkan KEPPRES nomor 85 tahun 1996 Tanggal 1 November 1996. Letak pengadilan Agama Bogor berkantor di jalan Dadali II nomor 2 Kelurahan Tanah Sereal, Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor, menempati 77
Mukti Arto, “Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 9.
57
bekas kantor Departemen Tenaga Kerja kurang lebih seluas 600 m² yang berdiri diatas tanah seluas 1050 m². Adanya tuntutan perkotaan dengan perkembangan masyarakat Bogor yang semakin padat, maka dengan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 85 tahun 1996 Kabupaten Bogor ditingkatkan statusnya Kota Administratif Bogor yang meliputi 4 Kecamatan, 19 Kelurahan serta 7 Desa. Selanjutnya dengan adanya kebijakan konsep Botabek yang merupakan pelaksana INPRES Nomor 13 Tahun 1976 membawa pengaruh terhadap perkembangan Kota Bogor sebagai penyangga Ibukota Negara, maka Kota Bogor dan Kecamatan-kecamatan sekitarnya yang berada di wilayah kerja kabupaten Bogor mengalami pertumbuhan yang sangat pesat sehingga memerlukan peningkatan dan pengembangan serta sarana dan prasana sebagai pengelolaan. 78
2. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Bogor Ketua Pengadilan Agama Bogor
: Drs. H. Mohamad Yamin, S.H, M.H.
Wakil Ketua
: Drs. Udin Najmudin, S.H, M.H.
Para Hakim
: Dra. Ernawati B.R, M.H. Drs. Saprudin, S.H. Dra. Luluk Arifah, M.H. Dra. Euis Nurjanah
78
Panitera Pengadilan Agama Bogor, Data Yuridiksi Geografi dan Wilayah Hukum Pengadilan Agama Bogor.
58
Drs. M. Anshori, S.H, M.H. Dra. Yumidah, M.H. Panitera/Sekretaris
:-
Wakil Panitera
: Drs. H. Dedih Marjuki.
Panitera Muda Gigatan
: Maksum, S.Ag.
Panitera Muda Permohonan
: Iyus Mohamad Yusuf, S.Ag.
Panitera Muda Hukum
: Agus Yuspiain, S.Ag, M.H
Wakil Sekretaris
: Sumaryati, S.H.
Kasubag Kepegawaian
:-
Kasubag Umum
: Endang Purwaningsih, S.H.I
Kasubag Keuangan
: Ahmad Waskito, S.E.I
Juru Sita
: Dede Saripudin
Panitera Pengganti
: Raisul Wadhifuddin, S.H. Sumarni Siti Munawaroh, S.H.I.
Juru Sita Pengganti
: Ahmad Rifany, A.md. Arly Rizana A.S, S.H. Hj. Afifah Mia Erryana, A.md.79
79
Panitera Pengadilan Agama Bogor, Data Struktur Organisasi Pengadilan Agama Bogor.
59
B. Dasar-Dasar Putusan Hakim Pengadilan Agama Bogor Dalam Kasus Cerai Gugat. Dalam hal ini hakim mempergunakan landasan hukum dalam memeriksa dan membuat putusan, yakni: 1. Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa Penggugat dan Tergugat secara sah terikat dalam perkawinan. 2. Pasal 1 UU Perkawinan jo Pasal 3 KHI tentang keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah yang ternyata tidak terwujud akibat rentetatn kasus yang terjadi dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat. 3. Pasal 2 KHI yang menjelaskan bahwa perkawinan bukan sekedar perjanjian biasa untuk hidup bersama sebagai suami istri akan tetapi suatu mitsqan ghalidzan yang bernilai sakral, dengan demikian ikatan batiniah yang melahirkan rasa cinta dan sayang adalah hal yang sangat penting dalam membina suatu rumah tangga dan bahwasannya hal itu tidak terwujud dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat. 4. Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1874, pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 KHI yang menegaskan tentang alasan diperbolehkannya perceraian, bahwa antara suami istri tidak dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga oleh karena penganiayaan dan hal lainnya. Hal-hal tersebut di dalam rumah tangga penggugat dan tergugat.
60
5. Pasal 5 huruf (b) UU No. 23/2004 tentang KDRT menjelaskan tentang bentuk-bentuk KDRT sebagaimana telah dilakukan Tergugat terhadap Penggugat. 6. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 38 K/AG/1990 tanggal 22 Agustus 1991 menyatakan bahwa alasan perceraian sebagaimana dimaksud pasal 19 huruf (f) PP No. 9/1975 adalah semata-mata ditujukan pada pecahnya perkawinan itu sendiri, tanpa mempersoalkan siapa yang salah dan siapa yang benar dalam hal terjadinya perselisihan dan pertengkaran tersebut, sehingga dalam hal ini Majelis Hakim berpendapat bahwa karena perkawinan Penggugat dan Tergugat telah “pecah”, dengan demikian gugatan Penggugat telah terbukti memenuhi alasan perceraian sebagaimana dimaksud pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu gugatan Penggugat harus dikabulkan dengan menjatuhkan talak satu Bain Sughra Tergugat atas Penggugat. 7. Pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam, tentang pemeliharaan anak yang merupakan hak ibunya. 8. Pasal 89 (1) UU No. 7/1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 3/2006 tentang Peradilan Agama, tentang biaya yang dibebankan kepada Penggugat.80
80
Salinan Putusan Nomor: 214/Pdt.G/2007/PA.Bgr
61
Selain memeriksa perundang-undangan yang mengatur hal di atas, hakim mempunyai pertimbangan berdasarkan kasus posisi yang dijelaskan penggugat dan proses jawab-menjawab yang terjadi selama persidangan, sebagai berikut: “________Menimbang, bahwa mempertahankan rumah tangga yang sudah sedemikian rupa bentuknya akan menimbulkan kemadharatan bagi kedua belah pihak, maka untuk menghindar kemadharatan yang lebih besar lagi, perceraian merupakan jalan keluar untuk mengatasi permasalahan rumah tangga Penggugat dan Tergugat, hal mana sejalan dengan maksud kaidah Fiqhiyyah________”81 درو اﻟﻤﻔﺎﺳﺪ ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ Artinya: Menghindari kerusakan harus dilakukan dari pada menarik kemaslahatan. Demikian pula ungkapan kitab Ghayatul Murom Lis Syaehil Majdi yang menyatakan: اذا اﺷﺘﺪّ ﻋﺪم رﻏﺒﺔ اﻟﺰوﺟﺔ ﻟﺰوﺟﮭﺎ ﻃﻠﻖ ﻋﻠﯿﮫ اﻟﻘﺎﺿﻰ ﻃﻠﻘﺔ Artinya: Apabila isteri sudah sangat tidak senang (cinta) kepada suaminya, maka Hakim harus menjatuhkan thalaknya. Serta pendapat ahli hukum Islam yang tersebut dalam kitab Madariyah AlZaujain Juz I halaman 83, yaitu: و, وﻟﻢ ﺑﻌﺪ ﯾﻨﻔﻊ ﻓﯿﮭﺎ ﻧﺼﺢ و ﻻ ﺻﻼح,وﻗﺪ اﺧﺘﺎر اﻻءﺳﻼم ﻧﻈﺎم اﻟﻄﻼق ﺣﯿﻦ ﺗﻀﻄﺮب ﺣﯿﺎة اﻟﺰوﺟﯿﻦ ﻷنّ اﻻءﺳﺘﻤﺮار ﻣﻌﻨﺎه ان ﯾﺤﻜﻢ ﻋﻠﻰ أﺣﺪ زوﺟﯿﻦ,ﺣﯿﺚ ﺗﺼﺒﺢ رﺑﻄﺔ اﻟﺰوج ﺻﻮرة ﻣﻦ ﻏﯿﺮ روح 81
Salinan Putusan Nomor: 214/Pdt.G/2007/PA.Bgr
62
. وھﺬا ﺗﺄ ﺑﺎه روح اﻟﻌﺪﻟﺔ,ﺑﺎﻟﺴﺘﺠﻦ اﻟﻤﺆﺑﺪ Artinya: “Islam memilih lembaga thalaq/cerai ketika rumah tangga sudah dianggap
goncang
serta
sudah
dianggap
tidak
bermanfaat
lagi
nasehat/perdamaian dan hubungan suami isteri telah hampa, sebab meneruskan perkawinan berarti menghukum salah satu suami/isteri dengan penjara yang berkepanjangan. Ini adalah aniaya yang bertentangan dengan keadilan. 82 ___Menimbang, bahwa mempertahankan rumah tangga yang sudah sedemikian rupa bentuknya akan menimbulkan kemadharatan bagi kedu belah pihak, maka untuk menghindari kemadharatan yang lebih besar lagi, perceraian merupakan jalan keluar untuk mengatasi permasalahan rumah tangga Penggugat dan Tergugat,
hal
ini
mana
sejalan
dengan
maksud
kaidah
Fiqhiyyah:____________________________________________________83
82 83
Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Bogor Kelas IB Salinan Putusan Nomor: 214/Pdt.G/2007/PA.Bgr
63
C. Persepsi Hakim Tentang Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Memutuskan Perkara Cerai Gugat. Berdasarkan kasus cerai gugat yang bernomor: 214/Pdt.G/2007/PA.Bgr dapat dilihat bagaimana kearifan hakim dalam memutus perkara dengan tidak cenderung menempatkan korban sebagai pihak yang turut andil dalam terjadinya KDRT.84 Proses peradilan yang berpihak pada perempuan korban KDRT pada dasarnya merupakan bentuk aplikasi pemahaman holistik para hakim terhadap terhadap berbagai produk perundang-undangan nasional yang telah tersedia, dan memberikan jaminan hukum pada pemenuhan hak-hak perempuan dan penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Pemahaman holistik ini dipadu dengan empatik simpatik para hakim kepada perempuan korban sehingga mampu menghasilkan putusan atau penetapan yang adil gender.85 Memulai membangun prosedur yang adil gender dalam proses peradilan dilakukan dengan pertama-tama mengakui adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan. Berikutnya adalah pengakuan adanya pembedaan dan ketidakadilan gender. Mulai dari dua pengakuan inilah kemudian segenap kewenangan dan kreasi hakim di desain dalam rangka memahami secara holistik peristiwa yang dialami korban, mempermudah akses korban pada peradilan dan 84 85
Hasil Wawancara Dengan Hakim Pengadilan Agama Bogor. Hasil Wawancara Dengan Hakim Pengadilan Agama Bogor.
64
keadilan, dan menghimpun semua produk hukum yang kondusif bagi penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan sebagai basis argumentasi.86
86
Hasil Wawancara Dengan Hakim Pengadilan Agama Bogor.
65
BAB IV Putusan Pengadilan Agama Bogor Dalam Perkara Cerai Gugat No. 214/pdt.g/2007/PA.Bgr. A. Posisi Kasus Putusan
Pengadilan
Agama
Bogor
dengan
nomer
perkara
214/pdt.g/2007/PA.Bgr pada perkara gugat cerai yang diajukan penggugat pada tahun 2007 di Bogor. Gugatan ini dilakukan sebagai puncak dari kekerasan yang dilakukan suami (tergugat) terhadap korban (penggugat/perempuan) selama hampir 15 tahun kehidupan rumah tangga mereka. Kekerasan yang dialami berupa fisik, psikis, dan pelantaran ekonomi.87 1. Masalah Yang Timbul Masalah yang timbul dalam perkara cerai gugat ini dijelaskan dalam materi gugatan, sebagai berikut: 1. Tergugat tidak pernah melibatkan Penggugat dalam mengelola keuangan keluarga, tidak pernah diminta pendapat jika ingin membeli atau menjual sesuatu barang. 2. Tergugat berusaha mengisolir, memutusakn tali silaturahmi antara Penggugat dengan keluarga bahkan dengan orang tua Penggugat
87
Arsip Putusan Hakim Pengadilan Agama Bogor Dengan Nomer Perkara 214/ Pdt.G/2007/PA.Bgr.
66
sekalipun. Tergugat juga tidak segan untuk berkata kasar, memaki-maki orang tua Penggugat. 3. Tergugat tidak bertanggung jawab sebagai kepala keluarga dalam hal memberikan nafkah kepada istri dan anaknya. Tergugat selalu memberikan nafkah semau hatinya, padahal Tergugat secara finansial mempunyai kemampuan yang cukup. 4. Tergugat seringkali melakukan psikis terhadap Penggugat, antara lain: merendahkan Penggugat di depan teman Penggugat, memfitnah Penggugat telah berzina kepada anak-anak, memaki-maki Penggugat dengan kata-kata kasar, dan lain-lain. 5. Tergugat seringkali mengakhiri permasalahan, perselisihan yang terjadi dengan melakukan kekerasan fisik, antara lain: Penggugat pernah akan disiram bensin, Penggugat pernah disekap dengan bantal, Penggugat pernah di “tonjok”, Penggugat pernah dipukuli, dan lain-lain.88 2. Putusan Untuk menuntaskan kasus ini Penggugat mempergunakan dalil-dalil hukum dan positum untuk menjelaskan KDRT yang menimpa secara detail. Dalildalil hukum yang digunakan adalah: 1. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menjelaskan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia. Namun hal ini tidak terwujud karena kebahagian dalam perkawinan 88
Salinan Putusan Nomor: 214/Pdt.G/2007/PA.Bgr.
67
Penggugat dan Tergugat tidaklah berlangsung lama dan berubah menjadi keluarga yang penuh derita dan tekanan. 2. Pasal 33 UU Perkawinan yang menegaskan bahwa dalam perkawinan antara suami istri harus saling menghormati dan menghargai dan menjalankan lewajibannya. Namun yang terjadi pada Penggugat dan Tergugat justru sebaliknya. 3. Pasal 9 huruf (d) dan (f) Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1/1974 yang menjelaskan bahwa perceraian dapat dilakukan karena adanya penganiayaan, ketidakrukunan, dan perselisihan yang mempertegas kedua hal di atas. 4. Kepres No. 36 tahun 1990 tentang ratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) pada Mukadimah KHA disebutkan bahwa anak memerlukan lingkungan keluarga yang bahagia dan penuh kasih sayang umtuk dapat tumbuh kembang dengan baik. 5. Pasal 16 ayat (1) huruf (f) UU No. 1984 tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang menyatakan adanya hak dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian, pengasuhan dan pengangkatan anak. 6. Pasal 156 huruf (a) KHI menyatakan bila terjadi perceraian, maka anak yang belum mumayyiz mendapat hak pemeliharaan dan pendidikan anak,
68
dan bila bapak tidak mampu memenuhinya, maka ibu dapat turut memikul biaya tersebut.89 Sesuai dengan hukum acara perdata di lingkungan Peradilan Agama, pada sidang-sidang selanjutnya dilakukan proses jawab-menjawab hingga hakim merasa telah mendapatkan gambaran cukup tentang duduk perkaranya dan menjadi landasan pembuatan keputusan. Dalam hal ini hakim mempergunakan landasan hukum dalam memeriksa dan membuat putusan, yakni: 1. Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa Penggugat dan Tergugat secara sah terikat dalam perkawinan. 2. Pasal 1 UU Perkawinan jo Pasal 3 KHI tentang keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah yang ternyata tidak terwujud akibat rentetan kasus yang terjadi dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat. 3. Pasal 2 KHI yang menjelaskan bahwa perkawinan bukan sekedar perjanjian biasa untuk hidup bersama sebagai suami istri akan tetapi suatu mitsaqan ghalidzan yang bernilai sakral, dengan demikian ikatan batiniah yang melahirkan rasa cinta dan sayang (mawaddah warahmah) adalah hal yang sangat penting dalam membina suatu rumah tangga dan bahwasannya hal itu tidak terwujud dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat. 4. Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, Pasal 19 Peraturan Pemerintahan No. 9 tahun 1975 jo Pasal 116 KHI yang menegaskan tentang alasan diperbolehkannya perceraian, bahwa antara suami istri tidak dapat 89
Salinan Putusan Nomor: 214/Pdt.G/2007/PA.Bgr.
69
hidup rukun lagi dalam rumah tangga oleh karena penganiayaan dalam hal lainnya. Hal-hal tersebut terjadi di dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat. 5. Pasal 5 huruf (b) UU No. 23/2004 tentang PKDRT menjelaskan tentang bentuk-bentuk KDRT sebagaimana telah dilakukan Tergugat terhadap Penggugat. 6. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 38 K/AG/1990 tanggal 22 Agustus 1991 menyatakan bahwa alasan perceraian sebagaimana dimaksud pasal 19 huruf (f) PP No. 9/1975 adalah semata-mata ditujukan pada pecahnya perkawinan itu sendiri, tanpa mempersoalkan siapa yang salah dan siapa yang benar dalam hal terjadinya perselisihan dan pertengkaran tersebut, sehingga dalam hal ini Majelis Hakim berpendapat bahwa karena perkawinan Penggugat dan Tergugat telah “pecah”, dengan demikian gugatan Penggugat telah terbukti memenuhi alasan perceraian sebagaimana dimaksudkan pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintahan Nomor 9 tahun 1975 jo pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, oleh karena itu gugatan Penggugat harus dikabulkan dengan menjatuhkan talak satu Bain Sughra Tergugat atas Penggugat. 7. Pasal 105 huruf (a) Kompilasi hukum Islam, tentang pemeliharaan anak yang merupakan hak ibunya.
70
8. Pasal 89 (1) UU No. 7/1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 3/2006 tentang Peradilan Agama, tentang biaya yang dibebankan kepada Penggugat.90 Selain memeriksa perundang-undangan yang mengatur hal diatas, hakim mempunyai pertimbangan berdasarkan kasus posisi yang dijelaskan Penggugat dan proses jawab-menjawab yang terjadi selama persidangan, sebagai berikut: “________Menimbang, bahwa mempertahankan rumah tangga yang sudah sedemikian rupa bentuknya akan menimbulkan kemadharatan bagi kedua belah pihak, maka untuk menghindari kemadharatan yang lebih besar lagi, perceraian merupakan jalan keluar untuk mengatasi permasalahan rumah tangga Penggugat dan Tergugat, hal mana sejalan dengan maksud kaidah Fiqhiyyah:______________________91 درق اﻟﻤﻔﺎﺳﺪ ﻣﻘﺪم ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ Artinya: “Menghindari kerusakan harus didahulukan dari pada menarik kemaslahatan”.92 Demikian pula ungkapan kitab ghayatul Murom Lis Syaehil Majdi yang menyatakan: اٍذا اﺷﺘﺪ ﻋﺪم رﻏﺒﺔ اﻟﺰوﺟﺔ ﻟﺰوﺟﮭﺎ ﻃﻠﻖ ﻋﻠﯿﮫ اﻟﻘﺎﺿﻰ ﻃﻠﻘﺔ Artinya: “Apabila isteri sudah sangat tidak senang (cinta) kepada suaminya, maka Hakim harus menjatuhkan thalaqnya”.93 90
Salinan Putusan Nomor: 214/Pdt.G/2007/PA.Bgr. Salinan Putusan Nomor: 214/Pdt.G/2007/PA.Bgr. 92 Salinan Putusan Nomor: 214/Pdt.G/2007/PA.Bgr. 91
71
Serta pendapat ahli hukum Islam yang tersebut dalam kitab Madariyah Al-Zaujain juz I halaman 83, yaitu: , وﻟﻢ ﯾﻌﺪ ﯾﻨﻔﻊ ﻓﯿﮭﺎ ﻧﺼﺢ وﻻ ﺻﻼ,وﻗﺪ اﺧﺘﺎر اﻻﺳﻼم ﻧﻈﺎم اﻟﻄﻼق ﺣﯿﻦ ﺗﻀﻄﺮب ﺣﯿﺎة اﻟﺰوﺟﯿﻦ ﻷن اﻻﺳﺘﻤﺮار ﻣﻌﻨﺎه ان ﯾﺤﻜﻢ ﻋﻠﻰ,وﺣﯿﺚ ﺗﺼﺒﺢ رﺑﻄﺔ اﻟﺰوج ﺻﻮرة ﻣﻦ ﻏﯿﺮ روح . وھﺬا ﺗﺄﺑﺎه روح اﻟﻌﺪاﻟﺔ,أﺣﺪ زوﺧﯿﻦ ﺑﺎﻟﺴﺠﻦ اﻟﻤﺆﺑﺪ Artinya: “Islam memilih lembaga thalaq/cerai ketika rumah tangga sudah dianggap
goncang
serta
sudah
dianggap
tidak
bermanfaat
lagi
nasehat/perdamaian dan hubungan suami isteri telah hampa, sebab meneruskan perkawinan berarti menghukum salah satu suami/isteri dengan penjara yang berkepanjangan. Ini adalah aniaya yang bertentangan dengan keadilan. 94 ______Menimbang, bahwa mempertahankan rumah tangga yang sudah sedemikian rupa bentuknya akan menimbulkan kemadharatan bagi kedua belah pihak, maka untuk menghindari kemadharatan lebih besar lagi, perceraian merupakan jalan keluar untuk mengatasi permasalahan rumah tangga Penggugat dan Tergugat, hal mana sejalan dengan maksud kaidah fiqhiyyah____________________.95 Berdasarkan hal-hal diatas, maka hakim menetapkan putusan sebagai berikut: 1. Mengabulkan Gugatan Penggugat. 2. Menjatuhkan talak satu Bain Sughra Tergugat atas Penggugat. 3. Menetapkan anak yang bernama___hak asuh anak kepada ibu (Penggugat). 93
Salinan Putusan Nomor: 214/Pdt.G/2007/PA.Bgr. Salinan Putusan Nomor: 214/Pdt.G/2007/PA.Bgr. 95 Salinan Putusan Nomor: 214/Pdt.G/2007/PA.Bgr. 94
72
4. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 406.000.
B. Analisis Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Putusan Hakim Dengan Nomor Perkara 214/Pdt.G/2007/PA.Bgr. Di Pengadilan Agama Bogor. Menurut penulis apa yang termaktub dalam putusan tersebut, jelas bahwa yang menjadi alasan perceraian adalah tindak kekerasan dalam rumah tangga. Dalam putusan Nomor 214/Pst.G/PA.Bgr. hakim menyebutkan Pasal Nomor 5 huruf (b) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dalam landasan hukum untuk memeriksa maupun memberikan keputusan. Meskipun dalam putusan tersebut
yang menjadi alasan Penggugat
mengajukan gugatan perceraian adalah kekerasan dalam rumah tangga, namun Hakim melakukan pengembangan hukum demi terwujudnya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Dalam putusan tersebut Majelis Hakim menggunakan Pasal 1 ayat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, Yurisprudensi mahkamah Agung RI Nomor: 38 K/AG/1990 tanggal 22 Agustus 1991. Pengatruran tersebut sudah cukup manaungi alasan diperbolehkannya perceraian, karena antara suami isteri tidak dapat rukun lagi
73
dalam rumah tangga oleh karena penganiayaan maupun pertengkaran dan perselisihan yang terus menerus. Jika kita analisis, para korban kekerasan dalam rumah tangga cenderung menyelesaikan persoalan rumah tangganya langsung menentukan jalan pintas yaitu Pengadilan Agama untuk mengajukan gugatan perceraian. Dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008, maka setiap diajukan gugatan supaya Hakim selalu mengupayakan jalur mediasi. Dengan mediasi tersebut, diharapkan ketika hakim diserahi perkara perceraian wajib untuk mengupayakan perdamaian, dan apabila upaya tersebut tidak berhasil, maka dapat dilanjutkan ke persidangan. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Daalam Rumah Tangga (UU PKDRT) bukanlah hal yang baru sebagian Hakim Pengadilan Agama, karena dalam menyelesaikan perkara perceraian ada sebagian Hakim Pengadilan Agama yang mengintegrasikan atau memasukan UndangUndang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) ke dalam konsideran putusannya secara pribadi. Kekerasan dalam rumah tangga sering menjadi alasana seorang isteri mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. Apabila Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga dijadikan sebagai salah satu bahan untuk menganalisa putusan, maka seorang Hakim dalam memberikan pertimbangan hukum ketika memutuskan perkara, tentunya tidak melupakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
74
Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam yang merupakan rujukan pertama di Pengadilan Agama. Hakim Pengadilan Agama diharapkan mempunyai sensitivas gender, bahwa salah satu bukti bahwa seorang hakim telah memiliki sensitivitas gender adalah apabila ia telah memasukkan Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ke dalam putusannya. Hal itu merupakan salah satu bentuk sumbangsih Hakim dalam menekan laju angka kekerasan dalam rumah tangga. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diciptakan tidak hanya untuk Peradilan Umum saja, melainkan juga untuk Peradilan Agama. Ditegaskan dalam Pasal 54 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini”.96 Untuk itu, dalam penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga di lingkungan Peradilan Agama sebaiknya tidak dibatasi oleh kewenangan sebagai lembaga peradilan perdata keluarga saja. Karena Hukum Acara yang digunakan adalah Hukum
96
Undang-Undang Peradilan Agam, Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan UndangUndang RI Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Yistisia, 2006)
75
Acara Perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang. Berdasarkan uraian diatas dapat diambul kesimpulan, bagaimana kearifan Hakim dalam memutus perkara dengan tidak cenderung menempatkan korban sebagai pihak yang turut andil dalam terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Empati dan pemahaman Hakim benar-benar nampak atas situasi yang terjadi melalui kasus posisi yang dipaparkan. Hal ini semakin diperkuat dengan peraturan perundang-undangan dan Fiqh yang mempunyai legitimasi keagamaan. Pada kasus diatas pengunaan dalil gugatan dan pemeriksaan materi gugatan sudah dikombinasikan antara hukum yang lazim digunakan pada Peradilan Agama dengan hukum atau peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Misalnya penerapan Pasal 5 huruf (b) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa pelaku (tergugat) benar-benar melakukan berbagai tindakan kekerasan sebagaimana disebutkan putusan tersebut diatas. Hal ini, juga sesuai dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa salah satu alasan perceraian yang terjadi secara terus menerus. Penggunaan Undang-Undang tersebut menghasilkan putusan yang lebih memihak kepada yang berhak, lemah, rentan, dalam hal ini korban yang berjuang keras untuk mendapatkan haknya. Apa yang dilakukan oleh Majelis Hakim dalam kasus diatas tidaklah melanggar pedoman perilaku Hakim dan asa equality before the law karena
76
memenangkan gugatan penggugat yang menempatkan tergugat sebagai pihak yang dikalahkan. Akan tetpai para Hakim telah memberlakukan hukum yang berkeadilan
sesuai
dengan
prosedur
hukum
yang
ada,
dengan
mempertimbangkan berbagai asas yang menyangkut Peradilan Agama. Kekhawatiran bahwa telah terjadi pemihakan yang serta merta terhadapa satu pihak saja dapat dihindari dengan penggunaan dalil-dalil hukum yang berkaitan dengan Peradilan Agama maupun yang bersifat umum. Proses yang demikian ini dapat dijadilan landasan dan pegangan bagi Hakim lainnya untuk melakukan hal yang sama demi keadilan bagi yang berhak. Dan tidak berlebihan di sini jika dikatakan bahwa Hakim akan berdiri pada barisan tedepan di dalam upaya untuk memutus rantai kekerasan di dalam rumah tangga.97 Peradilan Agama akan menjadi salah satu Lembaga Hukum yang berperan secara positif dalam menghentikan kekerasan dalam rumah tangga dan tidak sekedar sebagai lembaga pemutus perkawinan. Proses peradilan yang berpihak pada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga pada dasarnya merupakan bentuk aplikasi pemahaman holistik para Hakim terhadap berbagai produk Perundang-undangan Nasioanl yang telah tersedia, dan memberikan jaminan hukum pada pemenuhan hak-hak perempuan dan penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Pemahaman holistik ini dipadu dengan empati simpatik para Hakim kepada perempuan
97
Siti Zumrotun, Membongkar Fiqh Patriakhis Refleksi Atas Ketergantungan Perempuan Dalam Rumah Tangga, (STAIN Press, 2006), Cet. Ke-I.
77
korban sehingga mampu menghasilkan putusan atau penetapan yang adil gender.98 Cara pandang Hakim tentang kekerasan dalam rumah tangga, korban dan pelakunya mengalami perkembangan kearah yang diharapkan. Perlakuan empati dalam persidangan, penerapan Pasal-pasal dari Peraturan Perundangan umum yang relevan, penguasaan kemampuan analisa psikososial, dan kesediaan para Hakim untuk menangkap setiap dinamika masyarakat merupakan hal yang sangat konstruktif bagi upaya penghapusan kekerasan dan diskriminasi. Oleh karenanya produk hukum yang dilahirkan dengan putusan-putusan yang berkeadilan gender patut untuk dijadikan teladan dan pijakan bagi para Hakim lainnya untuk melakukan hal yang serupa. Dari studi kasus tersebut, dapat penulis analisa, bahwa karena pihak semua yang sangat kasar, yang sebenarnya ada aset keluarga yang bisa di manfaatkan untuk menunjang perekonomian keluarga. Sehingga dengan kondisi ekonomi dan sosial keluarga sangat berkekurangan itulah yang menjadi penyebab terjadinya pertengkaran yang terus berkelanjutan. Hal itulah yang menjadi penyebab perceraian, karena itu perceraian yang timbul antara suami dan isteri melahirkan akibat hukum, diantaranya pembagian harta bersama dan pengasuhan terhadap anak. Untuk pembagian hak asuh anak dalam hal ini Penggugat dan Tergugat telah dikarunia seorang anak yang sudah
98
Mansour Fakih, Analisis Gender Dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 17.
78
mumayyiz, maka berdasarkan Pasal 105 huruf (b) pemeliharan anak tersebut diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya, dan karena anak tersebut telah memilih ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya, maka pemeliharaan anak tersebut adalah hak ibunya, oleh karenanya petitum Penggugat tentang pemeliharaan anak tersebut patut dikambulkan dengan menetapkan bahwa anak tersebut berada dalam asuhan atau hadnanah Penggugat.
C. Akibat Hukum Disebabkan Oleh tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Pengadilan Agama Bogor. Sesuai ketentuan Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bahwa suami isteri mempunyai kedudukan yang sama dlam hukum termasuk mengajukan gigatan cerai terhadap suami. Untuk melakukan perceraian harus ada bukti yang cukup dan alasan yang kuat, bahwa antara suami isteri sudah tidak dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Apabila telah tidak ada ketidakcocokan tersebut, maka sesuai ketentuan Pasal 39 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa perceraian dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan gugatan perceraian sesudah putusan perceraian mempunyai kekuatan hukum tetap.
79
Sehingga akibat hukum dari adanya perceraian secara umu adalah sebagai berikut:99 1. Putusnya jalinan hubungan pernikahan akibat putusan dari Hakim Pengadilan Agama, sehingga sudah tidak ada alagi hubungan suami isteri antara kedua belah pihak. 2. Adanya ketentuan siapa yang berhak untuk mengasuh anak yang lahir dari hubungan pernikahan tersebut. 3. Pembagian harta gono gini yaitu harta kekayaan yang diperoleh selama pernikahan mereka berlangsung. Dapat penulis simpulkan, bahwa akibat perceraian maka suami dan isteri hidup sendiri-sendiri, dan mereka dapat bebas untuk menikah lagi dengan orang lain setelah masa iddah berakhir serta perceraian juga membawa konsekwensi yuridis yang berhubungan dengan status suami atau isteri, status anak.
99
Idris Ramulyo. Op. Cit. h. 152.
80
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan serta diperkuat dengan datadata yang ditemukan dilapangan terhadap penelitian yang menyangkut masalah putusan hakim tentang perceraian akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam kasus cerai gugat dengan nomor perkara perceraian: 214/Pdt.G/PA.Bgr. Dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Berdasarkan paparan di atas dapat dilihat bagaimana dasar pertimbangan Majelis hakim dalam memutuskan perkara cerai gugat dengan nomor perkara 214/Pdt.G/PA.Bgr, yakni penggunaan dalil gugatan dan pemeriksaan materi gugatan sudah dikombinasikan antara hukum yang lazim digunakan pada Peradilan Agama dengan hukum atau peraturan perundangan yang bersifat umum. Misalnya penerapan Pasal 5 huruf (b) Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa pelaku (tergugat) benar-benar
melakukan
bernagai
tindak
kekerasan
sebagaimana
disebutkan putusan tersebut diatas. Hal ini, juga sesuai dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa salah satu alasan perceraian adalah karena penganiayaan maupun pertengkaran dan perselishan yang
81
terjadi secara terus menerus. Penggunaan Undang-Undang tersebut menghasilkan putusan yang lebih memihak kepada yang berhak, lemah, rentan, dalam hal ini korban berjuang keras untuk mendapatkan hakhaknya. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi dasar putusan Majelis Hakim terkait atau terhadapa putusan tersebut adalah dimana Majelis Hakim dalam hal ini menyisipkan Undang-Undang No 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga lalu di integrasikan dengan beberapa Pasal-Pasal yang dapat dijadikan putusan yang berkekuatan hukum, dan selain itu Majelis Hakim dalam memberikan putusannya di sisipkan beberapa dalildalil Fiqh yang di kombinasikan dengan Pasal-Pasal yang berlaku dengan Hukum Acara Perdata. 3. Proses peradilan yang berpihak pada perempuan korban KDRT pada dasarnya merupakan bentuk aplikasi pemahaman para hakim terhadap berbagai produk perundang-undangan nasional yang telah tersedia, dan memberikan jaminan hukum pada pemenuhan hak-hak perempuan dan penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.
82
B. Saran 1. Bagi hakim pengadilan agama, seyogyanya selalu memperhatikan dan melaksanakan prinsip kekuasaan kehakiman yang baik yaitu; aturan hukum, partisipasi, responsif, kesetaraan, efektif dan efisien, akuntabilitas demi terwujudnya putusan yang bersifat keadilan tanpa adanya diskriminiasi putusan. Serta meningkatkan terus pemahaman tentang hukum-hukum yang berlaku di indonesia baik itu produk hukum positif ataupun produk hukum islam agar seluruh hakim pengadilan agama dapat mengkomparasikan antara hukum positif dengan hukum islam yang berlaku di Indonesia dengan niatan agar terciptanya putusan yang berkelakuan
adil
tanpa
membeda-bedakan
gender
ataupun
mendiskriminasikan pihak Tergugat ataupun Penggugat. 2. Kepada masyarakat, diharapkan berperan aktif, memiliki perhatian lebih dan kesadaran tinggi dalam upaya mengontrol atau mengawasi kebijakan atau putusan hakim khususnya hakim pengadilan agama. Sehingga dapat menjalin kerja sama dengan pihak-pihak terkait dari Pengadilan agama demi terwujudnya putusan hakim yang bersifat berkeadilan. 3. Bagi para akademisi, diharapkan mampu memperbanyak karya ilmiah mengenai dinamika putusan hakim pengadilan agama dalam rangka meningkatkan kesadaran kepada masyarakat khususnya kepada hakim pengadilan agama. Sehingga mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat baik secara langsung mapun tidak langsung mengenai
83
pentingnya putusan hakim yang berkeadilan tanpa memihak kepada siapapun.
84
DAFTAR PUSTAKA Abdul Kadir Muhammad, 1993, hukum Perdata Indonesia, Citra Aditiya Bakti, Bandung Agus Purwadi, Islam dan Problem Gender, Aditya Media, Yogyakarta, 2000. Asshiddiqie, Jimly. Beberapa Persoalan Dalam Ilmu Hukum Kontemporer, Cet. I. Jakarta: Pusat Studi hukum Tata Negara UI, 2003 Bhasin, Kamal, Menggugat Patriarki. Yogyakarta: Bentang Budaya, 1996. Chiongson, Abada, Rea. Apakah Hukum Kita Meningkatkan Kesetaraan Gender, cet.I. Thailand: UN WOMEN East and Southeast Asia Regional Office, 2010 Djalil, Basiq. Peradilan Agama Di Indonesia, cet. II. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. Fakih, Mansour. Perkosaan dan Kekerasan Perspektif Analisis Gender. Dalam Eko Prasetyo
dan
Suparman
Marzuki
(Ed.).
Perempuan
dalam
Wacana
Perkosaan.Yogyakarta: PKBI. 1997 Ghazali, Moqsith, Abd, DKK. Standar Evaluasi Hakim Dalam Menerapkan Sensitivitas Jender Di Mahkamah Syar’iyah Aceh, cet. I. Aceh: Mahkamah Syar’iyah Aceh, 2009. http://www.komnasperempuan.or.id
85
Irwan Abdullah, Sangkan Paran Gender, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003. Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Kementrian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia. Parameter Kesetaraan Gender Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 2011 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kodir, Abdul, Faqihuddin, Mukarnawati Azizah Ummu, Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Komnas Perempuan dan IALDF, 2008 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Mahkamah Agung And AusAid 210, Memberi Keadilan Bagi Pencari Keadilan: Sebuah Laporan Penelitian Tentang Akses dan Kesetaraan Pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama di Indonesia tahun 2007-2009. Mernissi, Fatima. Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik. Terj. Oleh M. Masyhur Abadi. Surabaya: Dunia Ilmu. 1997 Nuruddin, Amiur. Tarigon, Akmal, Azhari. Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. I. Jakarta: Prenada Media, 2004
86
Rachman, Budhy Munawar. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Penerbit Paramadina. 2001 Rancangan Undang-Undang Tentang Kesetaraan Gender Saadawi, Nawal El. Perempuan Dalam Budaya Patriaki. Terj. Zulhilmi Yasri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001. Sachiko Murata, The Tao of Islam, Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Mizan, Bandung, 2004. Salim, Arskal, DKK. Demi Keadilan Dan Kesetaraan (Dokumentasi Program Sensitivitas
Jender
Hakim
Agama
Di
Indonesia),
cet.
I.
Jakarta:
PUSKUMHAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja sama dengan The Asia Fondation, 2009 Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. I. Jakarta: Kencana, 2006 Syarifuddin, Amir. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Serta Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Departemen Agama RI: Dirjen, Bimas dan Penyelenggara Haji, 2001 Thahir, Mursyidah. Kekerasan Rumah Tangga dan Konsep Nusyuz. Dalam Jurnal Pemikiaran Islam tentang Pemberdayaan Perempuan. Jakarta: Logos, 2000
87
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Vandana Shiva dan Maria Mies,Ecofeminisme, Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan, IRE Press, Yogyakarta, 2005. Wolf, Naomi. Gegar Gender: Kekuasaan Perempuan Menjelang Abad 21. Omi Intan Naomi (Ter.), Siti Ruhaini Dzhuhayatin, Irwan Abdullah, Mansour Fakih (Ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1997. www.badilag.net