PERMOHONAN SITA MARITAL (MARITAL BESLAG) TERHADAP HARTA BERSAMA DI LUAR GUGATAN PERCERAIAN (Analisis Putusan Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: WARDHATUL JANNAH NIM : 1110044100009
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
r,
PERMOHONAN SITA MARITAL (MARITAL BESI.AqTERIIADAP HARTA BERSAMA DI LUAR GUGATAN PERCERAIAN (Analisis Putusan Nomor 549/Pdt G t2007 tp A.Jp)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.SV)
Oleh:
Wardhatul Jannah NIM : I110044100009
t9720224t99803 I 003
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STIIDI HUKTIM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKTJM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA t435Ht20t4M; i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul "PERMOHONAN SITA
MARITAL (MAilITAL
BESLAG)
TERHADAP HARTA BERSAMA DI LUAR GUGATAN PERCERAIAN (Analisis Putusan Nomor 549lPdt.Gl2007lPA.JP)" telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 09 MEI
2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana strata Satu (Sl) pada Program Studi Ahwal al Syakhshiyah (peradilan Agama).
Jakarta,12Mei2014 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
. 196808121999031014
PANITIA UJIAN MUNAQASAH ,Ketua
Drs. H.A. Basiq Dialil. SH. MA NIP. I 9500306197603 1001
Sekretaris
Dra.Hi.Rosdiana. MA NrP. 1 9690 6102003 12200r
Pembimbing
H.Kamarusdiana. S.Ag. MH NIP. 1 9720224t99803t003
Penguji I
Sri Hidayati. M.Ae NIP. 1 97 1 02t 51997 032002
Penguji
II
Dr. H.M Nurul Irfan. M.Ae NrP. 197308082003 121001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 01 April 2014
Wardhatul Jannah
iii
1110044100009 ABSTRAK
Wardhatul Jannah. NIM 1110044100009. Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) Terhadap Harta Bersama di Luar Gugatan Perceraian (Analisis Putusan Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP). Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H / 2014 M. Ix + 75 halaman + 120 halaman lampiran. Skripsi yang berjudul Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) Terhadap Harta Bersama di Luar Gugatan Perceraian (Analisis Putusan Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP) ini merupakan hasil penelitian yang menggambarkan ketentuan yang berhubungan dengan putusan hakim dalam mengabulkan gugatan harta bersama di luar gugatan perceraian. Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode Yuridis Empiris. Pendekatan yuridis karena penelitian ini bertitik tolak dengan menggunakan kaedah hukum dan peraturan yang terkait dengan harta bersama dan sita marital dalam gugatan harta bersama di luar gugatan perceraian. Empiris karena pendekatan bertujuan memperoleh data mengenai putusan hakim dalam mengabulkan gugatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang permohonan sita marital yang diajukan terhadap harta bersama di luar gugatan perceraian yang dikabulkan oleh Majelis Hakim melalui Putusan 549/Pdt.G/2007/PA.JP apakah sesuai dengan hukum yang berlaku serta bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara ini. Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa permohonan Sita Marital dapat diajukan di luar gugatan perceraian . Majelis hakim berpendapat untuk mengabulkan permohonan Sita Marital itu berdasarkan Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu apabila salah satu pihak dapat melakukan perbuatan yang merugikan atau membahayakan harta bersama. Kata Kunci : Permohonan Sita Marital,Di Luar Gugatan Perceraian, HartaBersama.
Pembimbing Daftar Pustaka
: H. Kamarusdiana, S.Ag., MH : Tahun 1984 s.d Tahun 2010
iv
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, pembawa Syariahnya yang universal bagi semua umat manusia dalam setiap waktu dan tempat hingga akhir zaman. Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda Nizomudin dan Ibunda Ernawati yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis temukan, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya, kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir skripsi ini dapat terselesaikan.Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1.
Bapak Dr. H. J.M Muslimin, MA., Ph.D selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
2.
Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., dan Ibu Hj. Rosdiana, M.A., selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program StudiAhwal al SyakhshiyahFakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Bapak H. Kamarusdiana, S.Ag, MH., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.
4.
Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program studiAhwalus Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif
Hidayatullah
Jakarta
yang
telah
memberikan
ilmu
pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan. 5.
Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
6.
Ibu Dra. Hj. Rokhanah, S.H., M.H., selaku Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam mencari data-data sebagai bahan rujukan skripsi.
7.
Ibu Dra. Hj. Erni Zurnilah, MH., selaku Hakim yang memutus perkara yang telah penulis teliti dan telah senatiasa memberikan wejangan dan bimbingan pada penulis selama penulis melakukan wawancara.
8.
Bapak Ruslan, S.H., selaku Panitera Muda Hukum di Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang senantiasa membantu penulis selama mencari data dan membimbing penulis. vi
9.
Doa dan harapan penulis panjatkan kepada adinda Ahmad Rizki dan Ahmad Azi Akbar yang senantiasa memberikan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
10. Sahabat sahabat seperjuangan penulis : Nisa Oktafiani, Dede Umu Kulsum, Defi Uswatun Hasanah, Restia Gustiana, Nurul Hikmah. 11. Teman-teman kajian Peradilan Agama : Arini Zidna, Eka Dita Martiana, Erwin Hikmatiar, Irfan Zidni, Sopriyanto, M. Fauzan, Arif Rahman Hakim, dan Rusdi Rizki Lubis. Dan Teman-teman Kosan : Rizky Amalia, Intan Balqis Al Aydrus, Agnis Afryani, Riah Elsa Fitri, dan Trisni Asih. 12. Semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda pula. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini. Ciputat, 01 April 2014
Penulis vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv ABSTRAK .......................................................................................................... v KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1 B. Pembatasan & Perumusan Masalah ................................................... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 10 D. Metode Penelitian.............................................................................. 11 E. Review Studi Terdahulu .................................................................... 15 F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 16 BAB IITINJAUAN UMUM TENTANG HARTA BERSAMA A. Pengertian Harta Bersama ................................................................. 18 B. Pengaturan Harta Bersama dalam Perkawinan ................................. 25 C. Ruang Lingkup Harta Bersama ......................................................... 28 D. Terbentuknya Harta Bersama ............................................................ 32
viii
E. Pembagian Harta Bersama ................................................................ 34 BABIII SITA MARITAL (MARITAL BESLAAG) DI PENGADILAN AGAMA DAN KEDUDUKAN SITA MARITAL TERHADAP HARTA BERSAMA A. Pengertian dan Tujuan Sita Marital .................................................. 38 B. Ruang Lingkup Penerapan Sita Marital ............................................ 44 C. Permohonan Sita Marital................................................................... 47 D. Tata Cara Pelaksanaan Penyelesaian Sita Marital ............................ 50 E. Akibat Hukum Sita Marital terhadap Harta Bersama ....................... 51 BAB IV ANALISIS PUTUSAN NOMOR 549/Pdt.G/2007/PA.JP TENTANG PERMOHONAN SITA MARITAL (Marital Beslag) TERHADAP HARTA BERSAMA DI LUAR GUGATAN PERCERAIAN A. Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) Terhadap Harta Bersama Di Luar Gugatan Perceraian ................................................................................. 53 B. Analisis Pertimbangan & Dasar Putusan Hakim .................................... 62 C. Analisis Penulis ....................................................................................... 66 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................. 70 B. Saran-saran .............................................................................................. 71 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 73
ix
LAMPIRAN 1. Surat Mohon Kesediaan Pembimbing Skripsi 2. Surat Keterangan Permohonan Data/Wawancara 3. Surat Keterangan Telah Mengambil Data/Wawancara 4. Hasil Wawancara Skripsi 5. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara No. 549/Pdt.G/2007/PA.JP
x
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan
dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan
masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan (suami-istri), mereka saling berhubungan
agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi.
Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut dengan “ keluarga”.1 Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu bangsa, keluarga yang dicita-citakan dalam ikatan perkawinan
yang sah adalah keluarga
sejahtera dan bahagia yang selalu mendapat ridha Allah swt.2 Tujuan dari perkawinan menurut agama Islam sendiri ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga; Sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin karna terpenuhinya kebutuhan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbulah kebahagiaan yakni kasih sayang antar anggota keluarga.3 1
Abdul Manan, Aneka MasalahHukumPerdata Islam di Indonesia, (Jakarta: KencanaPrenada Media Group, 2006), h.1. 2
Ibid.
3
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010),h. 22.
1
2
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang Perkawinan, Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengertian perkawinan dan tujuannya dinyatakan dalam Pasal 2 dan 3. Di dalam Pasal 2, Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat
atau
mitsaqan
ghalizan
untuk
mentaati
perintah
Allah
dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Dan di dalam Pasal 3 disebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.4 Pada saat perkawinan terjadi, maka suami isteripun terikat dalam sebuah keluarga. Seiring dengan hal tersebut maka munculah apa yang dinamakan dengan harta kekayaan dalam keluarga (harta bersama).5 Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 35 menyatakan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
4
Ibid., h. 10.
5
Ibid.
3
lain.Maka pada saat terjadinya perkawinan, berlakulah persatuan harta kekayaan dalam perkawinan antara suami istri. Tidak menutup kemungkinan harta kekayaan dalam perkawinan terdapat harta milik pribadi masing-masing suami istri. Sedangkan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 85 disebutkan, adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masingmasing suami dan istri. dan dalam Pasal 86 KHI disebutkan, pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri. Harta istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai sepenuhnya oleh istri, begitu juga sebaliknya.6 Dalam Pasal 88 KHI disebutkan apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.7 Islam tidak mengenal adanya percampuran harta bersama suami istri akibat adanya perkawinan, tetapi mengenal adanya perkongsian antara suami istri dalam bentuk syirkah.8 Karena suami istri bekerjasama dalam memperoleh dan memanfaatkan harta kekayaan dalam perkawinan. Harta
6
Abdul Manan. Aneka MasalahHukumPerdata Islam di Indonesia, h. 100.
7
Ibid.
8
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : UII Press, 2007, Cet.
Kesebelas ), h. 2.
4
yang diperoleh bersama-sama suami istri dikelola dan dimanfaatkan bersamasama suami istri. Harta bersama yang diperoleh pada saat perkawinan berlangsung jika perkawinan tersebut putus, maka harta bersama dibagi antara suami istri. Kecuali jika ada ketentuan lain pada perjanjian sebelum perkawinan terikat. dengan putusnya perkawinan, maka akan menimbulkan akibat hukum yang menjadi konsekuesi antara suami maupun istri. Akibat hukum yang ditimbulkan salah satunya adalah pembagian harta bersama (harta gono-gini) antara suami istri.9 Hukum harta bersama itu sendiri seringkali kurang mendapatkan perhatian yang seksama dari para ahli hukum, terutama praktisi hukum yang semestinya memperhatikan hal ini secara lebih serius, karena masalah harta bersama merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami istri apabila ia telah bercerai. dan dalam kitab fiqh klasik dan kontemporerpun tidak ditemukan pembahasannya secara tegas masalah pembagian harta bersama ini, hal ini mungkin disebabkan karena munculnya harta bersama ini biasanya apabila sudah terjadi perceraian antara suami istri, atau pada saat proses perceraian sedang berlangsung di Pengadilan Agama,
9
Moch. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dari
Segi Perkawinan Islam, (Jakarta : IND-HIIILCO, 1985), h. 212-213.
5
sehingga timbul berbagai masalah hukum yang kadang-kadang dalam penyelesaiannya menyimpang dari perundang-undangan yang berlaku.10 Pada umumnya perselisihan harta bersama ini baru muncul ketika suami isteri akan memutuskan ikatan perkawinan (bercerai). dan dalam hal ini apabila suami atau isteri menginginkan agar semua masalah yang berkaitan dengan perceraian (salah satunya pembagian harta bersama) sekaligus tuntas. Maka Pengadilan Agama memperbolehkan suami atau isteri tersebut untuk menggabungkan tuntutan perceraian dengan tuntutan pembagian harta bersama tersebut dalam satu surat gugatan. Ditinjau dari segi berperkara, tata cara seperti ini paling efisien dan tidak banyak membuang waktu, karena pada saat penggugat mengajukan gugatan, sekaligus mencakup gugatan pokok (gugatan perceraian) dengan gugatan pembagian harta bersama. Di Pengadilan Agama sendiri penyelesaian perkara perceraian bersamaan dengan gugatan harta bersama, sudah diterapkan dengan cara gugat pembagian harta bersama sebagai gugat assesoir terhadap gugatan perceraian. Cara assesoir-nya dapat ditetapkan dalam suatu acuan jika gugat perceraian ditolak otomatis gugat pembagian harta bersamapun dinyatakan tidak dapat diterima. Begitupun sebaliknya jika gugatan perceraian dikabulkan sembari terbuka kemungkinan untuk mengabulkan pembagian
10
Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 103.
6
harta bersama sepanjang barang-barang yang ada dapat dibuktikan sebagai harta bersama.11 Adapun kebolehan menggabungkan gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama ini, berdasar pada pasal 86 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun 1989 yaitu : “Gugatan soal penguasaan anak , nafkah isteri dan harta bersama suami isteri dapat mengajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap”. Berdasarkan pada pasal 86 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tersebut, pada pasal ini memberi pilihan bagi penggugat, apakah dia ingin menggabung gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama, atau akan menggugatnya tersendiri setelah perkara perceraian memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam kebebasan memilih tata cara dimaksud, sudah barang tentu lebih bermanfaat menggabung gugat perceraian dengan pembagian harta bersama, karena sekaligus dapat diselesaikan kedua permasalahan tersebut dengan tidak menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya. Sehingga suami isteri dapat lebih cepat menikmati harta bersama tersebut. Namun seiring dalam pelaksanaannya, terdapat sebuah perselisihan mengenai permasalahan harta bersama yakni adanya pengajuan permohonan 11
M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2001, Cet. Pertama), h. 267.
7
dalam perkara sita marital yang diajukan oleh istri sebagai Pemohon kepada suaminya sebagai Termohon, yang masih dalam status perkawinan yang terdapat di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Permohonan ini diajukan oleh istri kepada suami yang telah mengajukan permohonan talak terhadap istrinya akan tetapi masih di proses dalam persidangan yang belum mencapai putusan. Tindakan pengajuan permohonan sita marital ini dilakukan sebagai upaya preventif terhadap keselamatan harta bersama karena Pemohon khawatir Termohon melakukan tindakan yang dapat merugikan harta bersama yakni pemborosan. Di dalam HIR, R.Bg. dan Rv tidak ditemukan istilah sita marital terhadap harta bersama.12, tetapi dengan tujuan
yang sama dengan sita
jaminan disebutkan dalam Pasal 215 ayat (1) KUH Perdata yaitu tidak mengurangi
keleluasaan
istri
untuk
mengamankan
haknya
dengan
mempergunakan upaya-upaya seperti yang diatur dalam hukum perdata. Sita marital (marital beslag) ialah sita yang diletakkan atas harta perkawinan. Sita marital ini diatur dalam Pasal 78 huruf c Undang-undang No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal 24 PP No. 9 Tahun 1975 dan dalam Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sita marital ini mempunyai sumber hukum formil yaitu pada Pasal 215 KUH Perdata dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. HIR sendiri tidak 12
Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009), h. 99.
8
mengenal adanya sita marital, dan di dalam praktek peradilan sekarang ini sita marital tidak banyak dimanfaatkan.13 Dalam pengajuan permohonan sita marital di Peradilan Agama yakni berdasarkan Pasal 95 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 186 KUH Perdata, istri sebagaiPemohon dapat mengajukan permohonan sita marital kepada Pengadilan Agama terhadap harta bersama, sekalipun di luar adanya permohonan gugatan cerai. Gunanya adalah untuk melindungi harta bersama dari perbuatan salah satu pihak yang merugikan, seperti mabuk, judi, boros, dan sebagainya. Permohonan sita marital ini tetap diajukan tanpa memutus ikatan perkawinan, tapi harta bersama bisa dijamin pemeliharaannya. Kemudian berangkat dari latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk membahas masalah permohonan sita marital (sita harta bersama) ini dan merumuskannya dalam sebuah karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul “PERMOHONAN SITA MARITAL (MARITAL BESLAG) TERHADAP
HARTA BERSAMA DI LUAR GUGATAN
PERCERAIAN(Analisis PutusanNomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP)”. B.
Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dari pembahasan latar belakang di atas, di dalam sengketa mengenai pembagian harta bersama terdapatpermasalahan sita marital 13
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 2006), h.
92.
9
(sita harta bersama) yang diajukan oleh istri sebagai Pemohon kepada suami sebagai Termohon di luar gugatan perceraian.Terkait dengan putusan
Majelis
Hakim
Pengadilan
Agama
Jakarta
Pusat
No.
549/Pdt.G/2007/PA.JP menarik untuk diteliti,namun perlu adanya pembatasanmasalah dalam skripsi ini sehingga nantinya tidak meluas atau keluar dari pokok bahasan yakni Apakah dalam praktiknya sendiri permohonan sita marital dapat dilakukan dengan secara mandiri atau permohonan sita marital ini harus dilakukan secara bersamaan dengan gugatan cerai. 2. Perumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini menilai tentang pelaksanaan sita marital apakah sudah berjalan dengan peraturan perundang-undangan karena di dalam HIR, R.Bg. dan Rv tidak ditemukan istilah sita marital terhadap harta bersama akan tetapi permohonan sita marital ini terdapat dalam Pasal 95 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 186 KUH Perdata. Di dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP sendiri menggambarkan tentang bagaimana proses berjalannya perkara permohonan sita marital yang diajukan tidak bersamaan dengan gugatan perceraian dan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara sita marital terhadap harta bersama. dan untuk lebih jelasnya penulis merumuskannya sebagai berikut;
10
1. Apakah pelaksanaan sita marital terhadap harta bersama yang diajukan di luar perkara pokok (gugatan perceraian) sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia ? 2. Apakah yang menjadi pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam memutus perkara sita marital terhadap harta bersama dalam putusan nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP ? C.
TujuandanManfaatPenelitian 1. Tujuan Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini penulis mempunyai tujuan sebagai berikut: a. Mengetahui apakah pelaksanaan sita marital terhadap harta bersama dalam praktiknya sendiri sudah berjalan sesuai peraturan perundangundangan. b. Mengetahui pertimbangan hakim di Pengadilan Agama tersebut dalam memberikan putusan mengenai sita marital terhadap harta bersama. 2. Manfaat Penelitian Selain tujuan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Penelitian ini juga diharapkan
dapat memberikan manfaat-manfaat baik secara
teoritis maupun praktis, antara lain: a. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi tambahan pengetahuan dan wawasan baru tentang problematika hukum Islam khususnya tetang sita marital terhadap harta bersama di luar gugatan
11
perceraian dan hasil penelitian ini juga dapat memberikan kontribusi terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan sita marital terhadap harta bersama terutama bagi para hakim di Pegadilan Agama dalam memecahkan masalah yang timbul akibat sita marital terhadap harta bersama. b. Secara praktis problematika yang ada saat ini, agar dapat memikirkan bagaimana proses Pengadilan Agama dalam memutuskan sita marital terhadap harta bersama. Dan diharapkan skripsi ini dalam manfaat praktisnya dapat menjadi bahan rujukan bagi para hakim, mahasiswa dan masyarakat yang ingin mengetahui permasalahan yang terkait dengan sita marital terhadap harta bersama. D.
MetodePenelitian 1. Metode Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan
yuridis empiris. Metode pendekatan
yuridis empiris
merupakan cara prosedur yang dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer di lapangan menyangkut permohonan perkara sita marital terhadap harta bersama di luar gugatan perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
12
2. Jenis Penelitian Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis yakni menggambarkan dan memaparkan secara sistematika tentang apa yang menjadi obyek penelitian dan kemudian dilakukan analisis. Metode deskriptif analisis yang dilakukan melalui pendekatan kualitatif, yakni menggambarkan berupa kata-kata, ungkapan, norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti.14 Cara tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis secara mendalam tentang “Permohonan Sita Marital (Marital Beslaag) Terhadap Harta Bersama di luar gugatan perceraian (Analisis Putusan Perkara Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP).” 3. Subjek dan Objek Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Adapun yang menjadi bahan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP tentang sita marital terhadap harta bersama. Sehubungan dengan hal tersebut maka yang menjadi respondennya adalah Majelis Hakim yang memutus perkara tersebut.
14
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2004),
h. 3.
13
4. Metode Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan Studi
kepustakaan
sebagai
referensi
untuk
menunjang
keberhasilan penelitian yakni meliputi; Data Primer dan Data Sekunder. Data
primer
adalah
data-
data
yang
didapatlangsungdarilapanganyaknidengancaramencarifakta- fakta yang ada di lapangantersebut, melakukanobservasi, mengumpulkan datadata sertamelihatlangsungobjek yang akandijadikantopicskripsi. Data sekunderadalah
data
yang diperolehdarilangsungdaribahan-
bahanpustaka.15Data- data sekunderdalampenelitianiniberupa UU No. 1 Tahun 1974 tentangperkawinan,
Inpres No 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam. serta artikel atau majalah-majalah yang ada kaitannya dengan masalah sita marital terhadap harta bersama dan bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia. b. Studi Lapangan Adapun studi lapangan ini dilakukan dengan dua tekhnik berikut; 1. Studi dokumen dengan mempelajari berkas yang berbentuk putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP yang
15
Soerjono Soekanto , Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UIP, 1984), h. 52.
14
telah berkekuatan hukum tetap tentang sita marital terhadap harta bersama. 2. Wawancara yang dilakukan kepada hakim yang menyelesaikan perkara tentang sita marital terhadap harta bersamadi Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Wawancara ini dilakukan dengan metode Wawancara tak terstruktur (open – ended) yaitu wawancara dengan pertanyaan yang bersifat terbuka dimana responden secara bebas menjawab pertanyaan tersebut.16 Wawancara ini digunakan untuk mengungkap perasaan- perasaan, dan pikiran dan alasan-alasan tingkah lakunya, atau disebut juga “ Informasi emic “17 5. Metode Analisis Data Data yang diperoleh baik dari penelitian kepustakaan maupun dari penelitian lapangan akan diolah berdasarkan analisis normatif kualitatif. Normatif karena peneliti bertitik tolak dari peraturan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan kualitatif yang dimaksud yaitu analisis yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas dan informasi yang bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus (sehingga tidak dapat disusun ke dalam suatu struktur klasifikatoris) dari responden. Memahami kebenaran yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pertanyaan kepada sejumlah
16
Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja RosdaKarya) h. 233.
17
Ibid.
15
responden baik secara lisan maupun secara tertulis selama dalam melakukan penelitian.18 E.
Studi Review Terdahulu Sebelum masuk lebih jauh mengenai pembahasan ini. Penulis menemukan ada beberapa penelitian terdahulu yang mengangkat pembahasan tentang harta bersama akan tetapi mempunyai sudut pandang yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, adapun penelitian tersebut dintaranya: 1. Penyelesaian Gugatan Harta Bersama Pasca Perceraian di Pengadilan Agama
Jakarta
Timur
991/Pdt.G/2005/PA.JT),
Jam’an
(Analisis
Putusan
Nurchotib
Nomor
Mansur,
NIM
204044103495 tahun 2008. Dalam skripsi ini hanya menganalisis putusan dan bagaimana proses pembagian harta bersama yang dikumulasi dengan adanya gugatan perceraian. Perbedaannya dengan skripsi ini adalah tentang permohonan sita marital terhadap harta bersama di luar gugatan perceraian yang mana tujuannya adalah untuk melindungi harta bersama tersebut yang tertuang dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 2. Kedudukan Perjanjian Pembagian Harta Bersama (Analisis Putusan Perkara
18
Nomor
1540/Pdt.G/2010/PA.JT),
Abdul
Munir
Koentjaraningrat, Metode- Metode Penelitian Masyarakat, ( Jakarta: 1997), h. 269.
NIM
16
109044100051 tahun 2012. Dalam skripsi ini menganalisa kedudukan perjanjian pembagian harta bersama yang telah dilakukan sebelum adanya persidangan (di luar persidiangan) yang termuat dalam putusan di Pengadilan Agama Jakarta Timur sedangkan perbedaannya dalam skripsi ini adalah adanya pengajuan permohonan mengenai sita marital terhadap harta bersama di dalam persidangan selanjutnya menganalisa putusan dari Pengadilan Agama Jakarta Pusat. F.
Sistematika Penulisan Dalam penulisan penelitian skripsi ini berpedoman kepada
buku
“Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut : Bab Pertama,Terdiri dari pendahuluan yang meliputi dari Latar Belakang Masalah; Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah; Tujuan dan Manfaat Penelitian; Metode Penelitian; Review Studi Terdahulu; dan Sistematika Penulisan. Bab Kedua, memuat tentang Tinjauan Umum Tentang Harta Bersama yang terdiri dari Pengertian dan Dasar Hukum Harta Bersama dalam Perkawinan, Ruang Lingkup Harta Bersama, Terbentuknya Harta Bersama dan Ketentuan tentang Pembagian Harta Bersama. Bab Ketiga, Pada Bab ini Penulis akan menguraikan tentang Sita Marital (Marital Beslag) di Pengadilan Agama dan Kedudukan Sita Marital Terhadap
17
Harta Bersama yang terdiri dari Pengertian dan Tujuan Sita Marital,Ruang Lingkup Penerapan Sita Marital, Permohonan Sita Marital, Tata Cara Pelaksanaan Penyelesaan Sita Marital, dan Akibat Hukum Sita Marital terhadap Harta Bersama. Bab Keempat,Analisis Putusan Perkara Nomor 549/Pdt.G/2007/PA. Tentang Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) terhadap Harta Bersama di Luar Gugatan Perceraian. Yang terdiri dari Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) terhadap Harta Bersama di Luar Gugatan Perceraian, Analisis Pertimbangan & Dasar Putusan Hakim, serta Analisis Penulis. Bab Kelima,Merupakan kesimpulan dari hasil penelitian yang menjawab permasalahan penelitian dan juga berisi saran-saran untuk pengembangan penelitian berikutnya.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA BERSAMA A.
Pengertian Harta Bersama Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat mengenai pengertian harta bersama yakni ialah harta yang diperoleh secara bersamaan di dalam Perkawinan.1 Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diatur dalam Pasal 35 Ayat (1) bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh selama istri diikat dalam suatu perkawinan. 2 yang mana akibat dari perkawinan tersebut ialah terjadinya penyatuan harta kekayaan suami dan istri . Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal 1 Huruf f dirumuskan sebagai berikut : “Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.” Menurut KUH Perdata Pasal 119 tentang harta bersama, harta bersama itu diperoleh sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum
1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pusataka, 1988), h. 299. 2
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2008, Cet. Kedua ), h. 113.
18
19
yang terjadi harta bersama menyeluruh antara suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Dari rumusan di atas, dapat diketahui bahwa harta bersama yang dimaksud dalam KHI lebih memberikan kesempatan yang luas terhadap pengertian harta yang menjadi harta bersama dalam perkawinan, karena tidak harus harta itu dari hasil kerja suami atau hasil usaha bersama tetapi hasil usaha isteri juga melebur menjadi harta bersama asalkan selama perkawinan berlangsung.3 Harta bersama suami isteri atau yang biasa disebut dengan harta gonogini juga mengandung pengertian ialah harta yang di dapat setelah terjadinya akad nikah. Dalam hukum Islam sendiri harta bersama suami isteri ini tidak dikenal karena dalam hukum Islam tidak mengenal percampuran harta kekayaan antara suami isteri akibat terjadinya perkawinan. Harta kekayaan isteri tetap menjadi milik isteri dan dikuasai sepenuhnya oleh isteri, demikian juga dengan harta kekayaan suami tetap menjadi milik suami dan dikuasai sepenuhnya oleh suami.4
3
4
Hilma Hadi Kusumo, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung : Aditya Bakti,1999), h. 156.
A. Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1996 Cet. Kedelapan) h. 29-30.
20
Hal ini sejalan dengan firman Allah di dalam Q.S An Nisa’ (4) : 32
Artinya : ”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.(Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. Menurut Sayuti Thalib, harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah dan warisan. Dengan kata lain harta bersama itu ialah harta yang didapat atas usaha mereka (suami dan istri) selama masa ikatan perkawinan.5 Pengertian tersebut sejalan dengan Bab VII tentang Harta Benda dalam Perkawinan Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut: a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama. b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing si penerima para pihak tidak menentukan lain.
5
h.89.
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UI Press, 1986 Cet. Kelima),
21
Di dalam harta bersama, suami ataupun istri dapat bertindak untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu terkait dengan harta bersama tersebut, hal itu tentunya atas persetujuan kedua belah pihak. Dinyatakan pula bahwa suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama tersebut apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukum masingmasing. Abdul Kadir Muhammad, di dalam bukunya Hukum Harta Kekayaan menyatakan bahwa: “Konsep harta bersama yang merupakan harta kekayaan dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum, walaupun kedua segi tinjauan itu berbeda, keduanya ada hubungan satu sama lain. Tinjauan dari segi ekonomi menitikberatkan pada nilai kegunaan, sebaliknya tinjauan dari segi hukum menitikberatkan pada aturan hukum yang mengatur.”6 Di dalam al-Qur’an dan hadits tidak diatur tentang harta bersama dalam perkawinan. harta kekayaan isteri tetap menjadi milik istri atau dikuasai sepenuhnya olehnya demikian pula sebaliknya, harta suami tetap menjadi milik suami dan dikuasai sepenuhnya, bahkan dalam kitab-kitab fiqh sekalipun tidak ada yang membicarakan seolah-olah masalah harta bersama kosong dalam pembahasan dalam hukum Islam.
6
Abdul kadir, Hukum Kekeluargaan Indonesia, ( Bandung: PT. Citra Atitya, 1994), h. 9.
22
Hal tersebut juga diakui oleh Bustanul Arifin, di dalam bukunya bahwa tidak diakui adanya harta bersama dalam pembahasan kitab-kitab fiqh yang lama hal tersebut sesuai dengan pemahaman syari’at (fiqih) waktu kitabkitab fiqih tersebut ditulis dan sesuai dengan keadaan susunan masyarakat di waktu itu.7 namun di Indonesia sendiri harta bersama dikenal melalui hukum adatnya yang sampai sekarang ini masih hidup dan diterapkan, maka oleh karena itu hal ini tidak mungkin untuk disingkirkan dari pengamatan lembaga harta bersama karena lebih besar maslahatnya dari pada mudaratnya. Ismuha berpendapat di dalam bukunya bahwa dapat diambil kesimpulan perkongsian pada umumnya bukan saja sekedar boleh, melainkan dari itu, disukai asalkan tidak ada unsur tipu daya.8 Pembahasan mengenai syirkah sebenarnya terdapat dalam kitab dagang bukan dalam kitab nikah. Akan tetapi karena asal dari persoalan syirkah adalah menangani pengaturan persyarikatan atau perkongsian dalam perdagangan dan pemberian jasa, atau dengan kata lain cara menyatukan atau penggabungan harta kekayaan seseorang dengan harta orang lain, maka kemudian diterapkan pula pada masalah harta bersama suami/isteri dalam membicarakan hukum perkawinan.
7
Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah Hambatan dan Prosfeknya, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), h. 122. 8
Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri Ditinjau dari Sudut Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 dan Hukum Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1986, Cetakan Pertama ), h. 283.
23
Syirkah menurut bahasa adalah percampuran harta dengan harta lain sehingga tidak dapat dibedakan lagi satu dengan yang lain.9 Sedangkan menurut istilah hukum Islam syirkah ialah adanya hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu. Dalam bab muamalah, dikenal dengan beberapa macam syirkah yang diambil dari pendapat ulama madzhab, adalah sebagai berikut: a. Syirkah ‘Inan (Perkongsian terbatas), yaitu bentuk penggabungan harta dan usaha dengan pembagian keuntungan sesuatu dengan perjanjian. Para ulama 4 madzhab sepakat membolehkannya. b. Syirkah
Mufawadhah
(Perkongsian
tak
terbatas),
yaitu
bentuk
penggabungan harta dan usaha dengan pembagian keuntungan disesuaikan banyaknya modal. Bentuk syirkah ini dibolehkan oleh madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali, tetapi tidak dibolehkan oleh mazhab Syafi’i, karena dalam syirkah ini mengandung ghurur (ketidaktentuan, ketidaktahuan, dan penipuan).10 c. Syirkah Abdan (Perkongsian tenaga), yaitu syirkah dalam bidang pemberian jasa atau melakukan pekerjaan dengan keuntungan dibagi sesuai perjanjian. Madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali membolehkannya tetapi Syafi’i
9
Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), h. 46.
10
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h. 80.
24
membatalkannya. Karena dalam syirkah ini tidak ada penggabungan harta dan adanya ghurur.11 d. Syirkah Wujuh (Perkongsian kepercayaan), yaitu syirkah antara dua orang atau lebih berdasarkan kepercayaan untuk membeli barang dengan cara kredit dan menjualkannya untuk mendapatkan keuntungan. Hukumnya boleh menurut para imam madzhab kecuali Syafi’i, alasan tidak boleh karena tidak ada modal dalam syirkah ini. e. Syirkah Mudharabah (Perkongsian orang yang memiliki modal dan yang tidak), yaitu syirkah antara orang yang memiliki modal dengan yang tidak. Orang yang memiliki modal untuk berdagang. Madzhab Maliki da Hambali membolehkan syirkah ini, karena terdapat laba (keuntungan), tetapi mazhab Syafi’i dan Hanafi tidak boleh karena bentuk ini tidak termasuk syirkah.12 Dari beberapa macam syirkah tersebut di atas, terdapat perbedaan pendapat mengenai bentuk syirkah yang lebih mendekati kepada pengertian harta bersama. Menurut Ahmad Rofiq, dalam konteks konvensional, beban ekonomi keluarga adalah hasil pencaharian suami, sedangkan isteri sebagai manajer yang mengatur ekonomi rumah tangga. Sehingga lebih tepat disebut syirkah abdan, karena modal dari suami, isteri mempunyai andil jasa dan tenaganya. Tetapi sejalan dengan perkembangan zaman, isteri juga dapat
11
Ibid., h. 81.
12
Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri, h. 294-295.
25
melakukan pekerjaan yang mendatangkan kekayaan, sehingga masing-masing suami isteri mendatangkan modal dan dikelola bersama. Bentuk ini disebut syirkah ‘inan.13 Menurut Ismail Muhammad Syah, pencaharian bersama suami isteri lebih dekat kepada pengertian syirkah abdan dan syirkah mufawadhah. Dikatakan syirkah abdan karena pada umumnya suami isteri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja membanting tulang untuk mendapatkan nafkah hidup keluarga. Hanya saja terkadang pekerjaan isteri lebih ringan dari pekerjaan suami. Adapaun dikatakan syirkah mufawadhah karena memang perkongsian suami isteri itu tidak terbatas. Apa saja yang mereka hasilkan selama perkawinan termasuk harta bersama. Kecuali yang mereka terima sebagai warisan atau sebagai pemberian khusus untuk salah seorang diantara mereka berdua.14 B.
Pengaturan Harta Bersama Masalah harta bersama merupakan masalah Ijtihadiyah karena belum ada pada saat madzhab-madzhab terbentuk. Berbagai sikap dalam menghadapi tantangan ini telah dilontarkan. Satu pihak berpegang pada tradisi dan penafsiran ulama mujtahid terdahulu, sedang pihak lain berpegang pada penafsiran lama yang tidak cukup untuk menghadapi perubahan sosial yang
13
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. Ke-4 ), h.201. 14
Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri, h. 296.
26
ada. Sehingga masalah harta bersama ini perlu dibahas dalam KHI agar umat Islam di Indonesia mempunyai pedoman fiqh yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi, dan juga perlu dibahas di dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sehingga terjadi keseragaman dalam memutuskan perkara di Pengadilan. Pengadilan Agama dalam menetapkan putusan maupun fatwa tentang harta bersama mengutip langsung ketentuan hukum yang ada dalam Al-Qur’an karena tidak dikenal dalam referensi syafi’iyah. Lebih jauh lagi dalam menetapkan porsi harta bersama untuk suami isteri digunakan kebiasaan yang berlaku setempat, sehingga terdapat penetapan yang membagi dua harta bersama di samping terdapat pula penetapan yang membagi dengan perbandingan dua banding satu. Selain itu harta bersama seharusnya dibagi sesuai dengan fungsi harta itu untuk suami atau untuk isteri. Pada dasarnya, tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan antara suami dan istri (harta gono gini). Konsep harta gono-gini awalnya berasal dari adat istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian di dukung oleh hukum islam dan hukum positif yang berlaku di negara kita. Sehingga, dapat dikatakan ada kemungkinan telah terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri (alghele gemenschap van goerderen) dalam perkawinan mereka. Percampuran harta kekayaan (gono-gini) ini berlaku jika pasangan tersebut tidak menentukan hal lain dalam perjanjian perkawinan.
27
Dasar hukum tentang harta gono gini dapat ditelusuri melalui UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur tentang harta kekayaan antara lain dalam pasal: 1. Pasal 35 ayat (1) disebutkan bahwa yang di maksud dengan harta gono gini (harta bersama) adalah “harta benda yang diperoleh selama perkawinan” artinya, harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut harta gono-gini. 2. Pasal 35 Ayat (2) menyebutkan harta bawaan dari masing-masing suami atau istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. 3. Pasal 36 ayat (1) menyebutkan harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. 4. Pasal 37 ayat (1) yaitu bilamana perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Pengaturan mengenai harta bersama juga terdapat di dalam KUH Perdata pasal 119, disebutkan bahwa “ Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal ini tidak diadakan ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri.”
28
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga terdapat pengaturan tentang harta bersama ini, antara lain terdapat pada pasal : 1. Pasal 85 yang menyatakan harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri. 2. Pasal 86 ayat (2), harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. 3. Pasal 87 ayat (1), harta bawaan dari masing-masing suami dan istri yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian kawinnya. 4. Pasal 87 ayat (2), suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah sodakah atau lainnya. C.
Ruang Lingkup Harta Bersama Menurut hukum Islam, ruang lingkup harta bersama (syirkah) sebatas pada penghasilan yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Demikian juga dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta bersama. KHI juga menegaskan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh baik sendirisendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung
29
dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Dapat disimpulkan bahwa secara garis besarnya ruang lingkup harta bersama terbatas pada penghasilan suami isteri selama masa perkawinan berlangsung. Ini yang dipahami kebanyakan orang. Akan tetapi menurut Yahya Harahap, dalam menentukan objek harta bersama dalam perkawinan tidaklah sesederhana itu. Menurutnya berdasarkan pengembangan yuridiksi harta bersama, maka harta perkawinan yang termasuk dalam harta bersama adalah sebagai berikut15 : 1. Harta yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan berlangsung Setiap barang yang dibeli dalam suatu ikatan perkawinan secara otomatis menurut hukum, harta tersebut menjadi objek harta bersama suami-isteri, tanpa mempersoalkan siapa yang membeli, atas nama siapa, terdaftar atas nama siapa dan harta tersebut kelak dimana.16 Hal tersebut berdasarkan putusan Mahkamah Agung Tanggal 5 Mei 1971 No. 803 K/Sip/1970. Dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa harta yang dibeli oleh
15
Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara Di Lingkungan Peradilan Agama, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2008). h. 314. 16
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan no 1 Tahun 1974, (Yogyakarta : Liberti, 2004). h. 99.
30
suami atau isteri di tempat yang jauh dari tempat mereka adalah termasuk harta bersama suami isteri jika pembelian dilakukan selama perkawinan.17 Akan tetapi jika uang pembelian barang tersebut berasal dari harta pribadi suami/istri, maka barang tersebut tidak menjadi objek harta bersama melainkan menjadi milik pribadi. Hal ini dapat dilihat pada putusan MA yang tertuang dalam putusan No. 151 K/Sip/1974, tanggal 16 Desember 1975.18 2. Harta yang Dibeli dan Dibangun Pasca Perceraian yang dibiayai dari Harta Bersama Dalam menentukan suatu barang termasuk objek harta bersama dapat ditentukan dengan mengetahui asal usul uang biaya dalam pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang tersebut dibeli dan dibangun sesudah terjadi perceraian. Praktek ini sesuai dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Mei 1970 No. 803 K/Sip/1970 yakni apa saja yang dibeli, jika uang pembeliannya berasal dari harta bersama maka dalam barang tersebut melekat harta bersama meskipun telah merubah wujudnya.19
17
M. Yahya Harahap, Kedudukan dan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UndangUndanga No. 7 Tahun 1989), (Jakarta : Pustaka Kartini, 1997, Cet. Ke- 3, ) h. 303.
h. 316.
18
Ibid.
19
Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara Di Lingkungan Peradilan Agama.
31
3. Harta yang Dapat Dibuktikan Diperoleh Selama dalam Ikatan Perkawinan Apabila dalam sengketa mengenai harta bersama terdapat suatu perbedaan pendapat mengenai suatu harta tersebut, apakah termasuk dalam objek harta bersama ataupun bukan, maka dapat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan penggugat membuktikan bahwa harta-harta yang digugat benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung dan uang pembeliannya tidak berasal dari uang pribadi. Terkait dengan hal tersebut di atas, dalam sebuah Putusan Mahkamah Agung tertanggal 30 Juli 1974 No. 8088 K/Sip/1974 menentukan bahwa masalah atas nama siapa harta itu terdaftar , bukanlah faktor yang menggugurkan keabsahan suatu harta masuk yuridiksi harta bersama, sepanjang yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa harta tersebut diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan pembiayaannya berasal dari harta bersama. Bahkan bukan hanya harta yang terdaftar atas nama isteri/suami yang menjadi yuridiksi harta bersama, melainkan suatu harta yang terdaftar atas nama adik suami/isteri pun, tetap menjadi yuridiksi harta bersama, asalkan hal tersebut dapat dibuktikan bahwa itu diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung.20
20
Ibid.
32
4. Penghasilan Harta Bersama dan Harta Bawaan Penghasilan yang berasal dari harta bersama menjadi yuridiksi harta bersama. Ini adalah suatu hal yang logis adanya. Tetapi bukan hanya barang yang berasal dari harta bersama saja yang menjadi yuridiksi harta bersama, melainkan juga penghasilan dari harta pribadi suami atau isteri. Sekalipun hak dan kepemilikan harta pribadi mutlak berada di bawah kekuasaan pemiliknya, namun harta pribadi itu tidak lepas fungsinya dari kepentingan keluarga. Barang pokoknya memang tidak boleh diganggu gugat, tetapi hasil dari barang tersebut menjadi yuridiksi harta bersama. Ketentuan ini berlaku sepanjang suami-isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.21 5. Segala Penghasilan Pribadi Suami Isteri Segala hal yang menyangkut penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai, menjadi yuridiksi harta bersama suami isteri. Hal ini ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Tanggal 11 Maret 1971 No. 454 K/Sip/1970. Penggabungan penghasilan pribadi dengan sendirinya terjadi menurut hukum, sepanjang suami isteri tidak menentukan hal lainnya dalam perjanjian perkawinan.22
21
Ibid. h. 318.
22
Ibid.
33
D.
Terbentuknya Harta Bersama Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Artinya terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat tanggal terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan tersebut bubar.23 Dengan demikian, harta apapun yang diperoleh terhitung sejak saat dilangsungkan akad nikah sampai saat pernikahan bubar, baik karena salah satu pihak meninggal dunia atau karena perceraian, maka seluruh harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. Kecuali jika harta yang diperoleh berupa warisan atau hibah oleh salah satu pihak. Harta tersebut tidak termasuk di dalam harta bersama, tetapi termasuk dalam harta pribadi si penerima. Menurut Sayuti Thalib, harta bersama terbentuk pada saat terjadinya syirkah. Adapun syirkah dapat terjadi melalui cara-cara sebagai berikut : 1. Adanya perjanjian syirkah secara tertulis atau lisan yang diucapkan sebelum atau sesudah terjadinya akad nikah. 2. Adanya peraturan yang telah ditentukan oleh undang-undang atau peraturan perundang-undangan lain bahwa harta yang dimaksud adalah harta bersama suami isteri. 3. Syirkah yang diperoleh atas usaha selama masa perkawinan, dimana syirkah tersebut berjalan dengan sendirinya yang mana suami dan
23
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undang No. 7 Tahun 1989), (Jakarta : Pustaka Kartini, 1997, Cet. Ke- 3 ), h. 299.
34
isteri bersama-sama memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dalam mencari dan membiayai kebutuhan hidup mereka. Berdasarkan hal tersebut, untuk mengantisipasi terjadinya segala persoalan yang akan menimpa rumah tangga pasangan suami isteri dikemudian hari, upaya preventif perlu dilakukan oleh pasangan yang hendak menikah untuk membuat perjanjian perkawinan secara tertulis mengenai harta bersama dalam perkawinannya. Karena ada pendapat yang mengatakan bahwa dengan akad nikah saja tidak cukup menjadi patokan terbentuknya harta bersama, maka lebih baik harta bersama itu terbentuk pada saat dilakukan perjanjian (syirkah) dalam perkawinan. E.
Pembagian Harta Bersama Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam pasal 35 menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan harta bawaan dari masing-masing suami dan istri baik itu diperoleh dari hadiah atau warisan merupakan harta yang ada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak mennetukan lain. Berdasarkan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan harta bersama suami isteri, hanyalah meliputi harta-harta yang diperoleh suami isteri sepanjang perkawinan saja artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu, antara saat peresmian perkawinan, sampai perkawinan tersebut putus, baik putusnya karena kematian salah seorang diantara mereka (cerai mati),
35
maupun karena perceraian (cerai hidup). Dengan demikian harta yang telah dipunyai pada saat dibawa masuk ke dalam perkawinan terletak di luar harta bersama.24 Adanya pemisahan secara otomatis (demi hukum) antara harta pribadi dengan harta bersama, tanpa disertai kewajiban untuk mengadakan pencatatan pada saat perkawinan akan dilangsungkan (atau sebelumnya) dapat menimbulkan banyak masalah di kemudian hari dalam segi asal usul harta atau harta-harta tertentu pada waktu pembagian dan pemecahan
baik karena
perceraian maupun kematian. Adalah sangat menguntungkan , kalau dikemudian hari dalam peraturan pelaksanaan diadakan ketentuan yang mewajibkan adanya pencatatan harta bawaan masing-masing suami isteri . Persoalan mengenai pembagian harta bersama di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri terkait dengan pembagian harta bersama yang disebabkan oleh perceraian, poligami dan kematian oleh karena itu dalam penulisan ini hanya akan memberikan gambaran umum mengenai pembagian harta bersama dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam. Adapun ketentuan yang menyangkut pembagian harta bersama dalam sebagai berikut : 1. Pembagian dalam cerai hidup Dalam ketentuan KHI pembagian harta bersama yang disebabkan oleh cerai hidup telah diatur dalam pasal 96 dan 97. Secara
24
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undang No. 7 Tahun 1989), h. 188-189.
36
khusus, pasal 97 KHI mengatur tentang pembagian harta bersama dalam cerai hidup yang rumusnya sebagai berikut, baik itu janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. 2.
Pembagian dalam cerai mati Dalam pasal 96 KHI dijelaskan apabila terjadi cerai mati, maka setengah dari harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Hal itu dikarenakan hak untuk mewarisi antara suami isteri tercipta bukanlah dari hubungan nasab melainkan hubungan yang tercipta karena akibat dari suatu perkawinan.25 Pertimbangan rumusan pasal ini sama dengan pembagian harta bersama dalam cerai hidup. Yakni akad nikah menyerupai perkongsian muamalat, sehingga selama hidup berumah tangga, antara suami isteri membangun perekonomian keluarga secara bersama-sama. Oleh karena itu, masing-masing suami maupun isteri berhak mendapat setengah bagian dalam pembagian harta bersama yang dihasilkan selama perkawinanannya tersebut.
3.
Pembagian dalam perkawinan poligami Dalam pasal 94 ayat (1) dan (2) KHI dirumuskan mengenai bentuk harta bersama dalam perkawinan poligami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisahkan dan berdiri sendiri dua
25
M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Isam, Cetakan Ke-2, Jakarta :
Amzah, 2013. h. 18.
37
kepemilikan harta bersama dari perkawinan tersebut sebagaimana ayat (1) dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua,ketiga atau keempat. Dapat disimpulkan bahwa dalam hukum Islam atau Qur’an tidak ada memerintahkan dan tidak pula melarang harta bersama itu dipisahkan atau dipersatukan. Jadi, dalam hal ini hukum Islam memberikan kesempatan kepada masyarakat manusia itu sendiri untuk mengaturnya. Apakah peraturan itu akan berlaku untuk seluruh masyarakat atau hanya sebagai perjanjian saja antara dua orang bakal suami isteri sebelum diadakan perkawinan. tentu saja isi dan maksud peraturan atau perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan Qur’an dan Hadits.26 Masalah harta bersama ini merupakan masalah ijtihaiyah karena belum ada pada saat madzhab-madzhab terbentuk. Berbagai sikap dalam menghadapi tantangan ini dilontarkan. Satu pihak berpegang pada tradisi dan penafsiran ulama mujtahid terdahulu , sedang pihak lain berpegang pada penafsiran lama yang tidak cukup untuk menghadapi perubahan sosial yang ada sehingga masalah harta bersama ini perlu dibahas di dalam KHI agar umat Islam di Indonesia mempunyai pedoman fiqih yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi, dan di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sehingga terjadi keseragaman dalam memutuskan perkara di Pengadilan. 26
Abdorraoef, Al- Qur’an dan Ilmu Hukum Sebuah Studi Perbandingan (Jakarta : Bulan
Bintang, 1986), h. 113
BAB III SITA MARITAL (MARITAL BESLAG) DI PENGADILAN AGAMA DAN KEDUDUKAN SITA MARITAL TERHADAP HARTA BERSAMA A. Pengertian dan Tujuan Sita Marital (Marital Beslag) 1. Pengertian Sita Marital (Marital Beslag) Sita Marital atau Marital Beslag merupakan salah satu bentuk dari sita jaminan (conservatoir beslaag) yang bersifat khusus, sita marital hanya dapat ditetapkan terhadap harta perkawinan, yakni harta bersama apabila diantara suami dan istri terjadi perceraian. Timbulnya hak mengajukan yaitu apabila terjadi perkara perceraian berlangsung, maka para pihak berhak mengajukan permohonan sita atas harta perkawinan dan sita yang demikian disebut dengan Sita Marital.1 Arti sita marital (marital beslag) ialah sita yang diletakkan atas harta bersama suami istri baik yang berada ditangan suami maupun yang berada ditangan istri apabila terjadi sengketa perceraian, sita marital tidak boleh dijalankan secara partia (sebagian-sebagian).
Untuk menjaminnya
keutuhan harta bersama selama perkara perceraian masih dalam pemeriksaan Pengadilan Agama, maka para pihak yang berperkara tersebut berhak untuk mengajukan Permohonan Sita atau dalam lingkungan Peradilan Agama.
1
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata : Permasalahan dan Penerapan Conservatoir Beslag (Sita Jaminan), (Jakarta : Pustaka, 1987, Cet. Ke- 1 ), h. 145.
38
39
Adapun tujuan dari Sita Marital adalah untuk menjamin agar harta perkawinan tetap utuh dan terpelihara sampai perkara mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap.2 Penyitaan terhadap harta bersama, baik Penggugat atau Tergugat (suami-istri), dilarang memindahkannya kepada pihak lain dalam segala bentuk transaksi.3 Dan dengan adanya penyitaan tersebut, apabila terjadi tindakan tergugat untuk mengasingkan atau mengalihkan atau mengoper barang-barang yang disita adalah tidak sah, dan merupakan suatu tindakan pidana. Setiap sita mempunyai tujuan tertentu, dalam sita revindikasi bermaksud menuntut pengembalian barang yang bersangkutan kepada Penggugat sebagai pemilik, sedangkan sita jaminan (Conservatoir Beslag) bertujuan menjadikan barang yang disita sebagai pemenuhan pembayaran utang Tergugat. Tujuan sita marital berbeda dengan yang disebutkan diatas bukan untuk menjamin tagihan pembayaran kepada Penggugat (suami atau istri); Juga bukan untuk menuntut penyerahan hak milik (revindikasi); Akan tetapi tujuan utamanya untuk membekukan harta bersama suami istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara 2
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta : Kencana, 2006, Cet. Ke-4) h. 41. 3
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1999, Cet. Ke-2), h. 64.
40
perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung. dengan adanya penyitaan terhadap harta bersama, baik Penggugat atau Tergugat (suami istri), dilarang memindahkannya kepada pihak lain dalam segala bentuk transaksi.4 Adanya pembekuan harta bersama dibawah penyitaan, berfungsi untuk mengamankan atau melindungi keberadaan dan keutuhan harta bersama atas tindakan yang tidak bertanggung jawab dari Tergugat. Sehubungan dengan itu titik berat penilaian yang harus dipertimbangkan pengadilan atas permintaan sita marital adalah pengamanan atau perlindungan atas keberadaan harta bersama. Penilaian ini jangan terlampau dititikberatkan pada faktor dugaan atau persangkaan akan adanya upaya Tergugat untuk menggelapkan barang tersebut, tetapi lebih diarahkan pada masalah pengamanan dan perlindungan harta bersama. 2. Pengaturan Sita Marital Sita Marital tidak terdapat di dalam HIR atau RBg melainkan hanya dijumpai di dalam BW (Burgerlijk Wetboek) dan Rsv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering), akan tetapi Sita Marital ini berlaku di lingkungan Peradilan Umum sekarang ini.5 Pengaturan sita marital dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain yang terdapat dalam : 4
5
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, , h. 164.
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003, Cet. Ke 2), h. 208.
41
a. Pasal 190 KUH Perdata yang berbunyi : Sementara perkara berjalan dengan ijin Hakim, istri boleh mengadakan tindakan-tindakan untuk menjaga agar harta kekayaan persatuan tidak habis atau diboroskan.6 Ketentuan tersebut dulunya berlaku bagi golongan Eropa dan Tionghoa. Tetapi sejak UU No.1 tahun 1974 berlaku, Pasal 66 menegaskan segala ketentuan KUH Perdata mengenai Perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun demikian ketentuan Pasal 190 KUH Perdata tersebut, dapat dijadikan bahan orientasi sebagai kedudukan dalam hukum adat tertulis. b. Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975 Menurut pasal ini “Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat mengijinkan dan menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri“. c. Pasal 78 huruf c UU No. 7 tahun 1989 jo. UU No 3 Tahun 2006. Bunyi dalam pasal ini persis sama dengan Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975 atau dapat juga dikatakan bahwa isi dan ketentuannya ditransfer dari pasal PP yang dimaksud. 6
R. Subekti, R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Bandung: Pradnya Paramita, cet. 25), h. 60.
42
Berdasarkan Pasal 78 huruf c, lingkungan peradilan agama pun telah memiliki aturan positif lembaga sita marital. Bahkan sita marital tersebut dalam lingkungan peradilan agama, tidak hanya diatur dalam Pasal 78 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 , tetapi juga dalam Pasal 136 ayat (2) huruf b Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang sama bunyinya dengan Pasal 24 Ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 78 huruf c UU No. 7 tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 . Dengan demikian, landasan penerapan sita marital dalam lingkungan peradilan agama telah diatur dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. d. Pasal 823 Rv yang berbunyi : Tindakan-tindakan yang boleh dilakukan sehubungan dengan Pasal 190 KUH Perdata adalah penyegelan, pencatatan harta kekayaan dan penilaian barang-barang, penyitaan jaminan atas barang-barang bergerak bersama atau jaminan atas barangbarang tetap bersama. Pasal ini merupakan salah satu diantara beberapa pasal lainnya yang mengatur tentang sita marital. Ketentuannya mulai dari Pasal 823-830 Rv. Maka dapat dilihat bahwa pengaturan sita marital dalam Rv sangat luas. Sebaliknya dalam UU No.1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun1975 hanya terdiri dalam satu (1) pasal. Sedangkan dalam HIR dan RBG sama sekali tidak diatur mengenai sita marital.
43
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur hal yang berkaitan dengan sita marital, yaitu Pasal 95 Ayat (1) dan Ayat (2) yang menyatakan bahwa ; 1) Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 Ayat (2) Huruf (c), Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 Ayat (2), suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu
melakukan perbuatan
yang merugikan dan
membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk boros dan sebagainya. 2) Dalam Pasal 136 Ayat (2) Huruf (b) Kompilasi Hukum Islam juga mengatur mengenai sita marital, bahwa : selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat dan tergugat Pengadilan Agama dapat “Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-istri atau barangbarang yang menjadi hak istri”. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya sita marital adalah salah satu jenis sita jaminan (conservatoir beslag), oleh karena itu segala ketentuan yang berlaku pada sita jaminan, berlaku sepenuhnya pada sita marital.
Mulai
dari
pengajuan
permohonan,
dan
tata
pelaksanaannya.7
7
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h. 288.
cara
44
Ketentuan yang terdapat di dalam HIR (Herziene Inlandsch Reglement), RBg (Rechtreglement Voor De Buitengwesten), B.Rv (Reglement Op De Burgerlijke Rechvordering), dan sumber hukum acara yang berlaku di Pengadilan Umum, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khususnya oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dapat digunakan pada sita marital yang diajukan kepada Pengadilan Agama, sesuai Pasal 54 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa ; “Hukum acara yang berlaku dalam Pengadilan Agama adalah hukum acara perdata pada Pengadilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”. B. Ruang Lingkup Penerapan Sita Marital 1. Pada Perkara Perceraian Penerapan sita marital yang paling utama pada perkara perceraian. Apabila terjadi perkara perceraian antara suami istri, maka hukum akan memberi perlindungan kepada suami atau istri atas keselamatan keutuhan harta bersama. Dengan cara meletakkan sita di atas seluruh harta bersama untuk mencegah perpindahan harta bersama kepada pihak ketiga. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 190 maupun Pasal 125 KUH Perdata, hak untuk mengajukan sita marital hanya diberikan kepada istri. Hal itu sesuai dengan latar belakang yang digariskan Pasal 105 KUH Perdata yang memberi kedudukan matriale macht (kepala persekutuan) kepada suami,
45
dan sekaligus memberi hak dan wewenang kepada suami untuk mengurus dan menguasai harta kekayaan bersama dan harta istri dalam perkawinan. Berarti dalam praktiknya, penguasaan harta bersama berada di tangan suami. Kalau begitu layak dan sejalan memberi hak kepada istri untuk meminta sita marital agar suami tidak leluasa menghabiskan harta bersama selama proses perkara masih berjalan. 2. Pada Perkara Pembagian Harta Bersama Pada dasarnya persoalan sita harta bersama diperlukan apabila terjadi perkara antara suami dan istri. Secara hukum perkara yang mungkin timbul diantara suami istri yang erat kaitannya dengan harta bersama bukan hanya pada perkara perceraian tetapi juga pada perkara pembagian harta bersama. Seperti seorang suami yang mengajukan gugatan perceraian tanpa dibarengi tuntutan pembagian harta bersama. Terhadap gugatan itu, istri (selaku Tergugat)
tidak mengajukan gugatan rekonvensi, menuntut
pembagian harta bersama, selanjutnya gugatan perceraian dikabulkan. Dalam keadaan seperti itu apabila mantan suami atau istri ingin membagi harta bersama hanya dapat dilakukan melalui gugatan tentang pembagian harta bersama. Dalam menjamin keutuhan dan keselamatan harta bersama selama proses perkara berlangsung, hanya dengan cara meletakkan proses sita marital diatasnya. Hal ini jika ditinjau dari segi penjaminan keberadaan harta bersama dalam pembagian harta bersama, sangat urgen meletakkan sita
46
marital selama proses pemeriksaan berlangsung. Oleh karena itu sangat relevan menerapkan sita marital dalam perkara pembagian harta bersama. 3. Pada Perbuatan yang Membahayakan Harta Bersama Sita marital yang dimaksudkan diatas diterapkan dalam perkara pembagian harta bersama. Jadi penerapannya bertitik tolak dari adanya perkara antara suami istri. Seolah-olah jika tidak terjadi perkara atau pembagian harta bersama, sita marital tidak berfungsi dan tidak dapat diterapkan dalam penegakkan hukum diantara suami istri. Hal ini benar jika semata-mata merujuk kepada Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975. Akan tetapi, jika berorientasi kepada ketentuan hukum yang ada maka : sita marital dapat diterapkan penegakkannya diluar proses perkara perceraian atau pembagian harta bersama; oleh karena itu dimungkinkan menerapkannya di luar proses perkara, apabila terjadi tindakan yang membahayakan keberadaan harta bersama. Penerapan yang demikian dapat berorientasi kepada ketentuan Pasal 186 KUH Perdata. Menurut Pasal 186 KUH Perdata tersebut : selama perkawinan berlangsung suami atau istri (aslinya hanya disebut istri), dapat mengajukan permintaan sita marital terhadap Hakim; namun permintaan itu harus berdasarkan alasan bahwa harta bersama berada dalam keadaan bahaya karena :
47
a.
Adanya tindakan atau perbuatan dari suami atau istri yang nyata-nyata memboroskan harta bersama serta dapat menimbulkan akibat bahaya keruntuhan keluarga dan rumah tangga;
b.
Tidak adanya ketertiban dalam mengelola dan mengurus harta bersama yang dilakukan suami atau istri yang dapat membahayakan eksistensi dan keutuhan harta bersama sebagaimana mestinya.
C. Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) 1. Alasan Pengajuan Sita Marital Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa sita marital itu merupakan salah satu jenis dari sita jaminan (conservatoir belslag) yang bersifat khusus, oleh karena itu segala ketentuan yang berlaku pada sita jaminan, berlaku sepenuhnya juga pada sita marital. Mulai dari pengajuan permohonan dalam surat gugatan maupun yang diajukan secara terpisah dari pokok perkaranya hingga dalam tata cara pelaksanaannya.8 Adapun yang dapat menjadi alasan untuk mengajukan sita marital pun adalah sama dengan alasan pengajuan sita jaminan (conservatoir beslag) yang mana hal tersebut diatur dala Pasal 227 Jo Pasal 197 HIR atau Pasal 261 Jo Pasal 206 Rbg. Alasan-alasan yang dimaksud adalah bahwa adanya
8
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan dan Acara Peradilan Agama, h. 288.
48
persangkaan yang beralasan bahwa Tergugat akan menggelapkan barangbarang sehingga hal itu akan merugikan Penggugat.9 Kemudian yang berwenang untuk menilai unsur persangkaan adalah hakim, bukan Penggugat dan batas minimal yang dianggap bernilai untuk mengesahkan alasan persangkaan adalah apabila ada fakta yang mendukung persangkaan
atau
sekurang-kurangnya
ada
petunjuk-petunjuk
yang
membenarkan persangkaan, dan fakta atau petunjuk tersebut dinilai harus masuk akal.10 2. Tata Cara Pengajuan Sita Marital a. Permohonan diajukan dalam surat gugatan Mengenai tata cara pengajuan permohonan sita marital, Penggugat mengajukan permohonan sita marital secara tertulis dalam surat gugatan, sekalipun bersamaan dengan pengajuan gugatan pokok kepada Pengadilan Agama. Pengajuan permohonan sita marital dalam bentuk ini, tidak dipisahkan dengan dalil gugatan atau gugatan pokok, keduanya bersatu dalam surat gugatan sekaligus jika permohonan sita marital disatukan bersamaan dengan surat gugatan.11
9
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Permasalahan dan Penerapan Conservatoir Beslag (Sita Jaminan), h. 36. 10
Ibid., h. 38.
11
Ibid., h. 24.
49
Dalam perumusan dalil gugatan yang merupakan landasan dari hal tersebut dapat diketahui layak atau tidaknya pengajuan permohonan sita marital. Hal itu dikarenakan dari perumusan dalil gugat serta uraian fakta dan peristiwa yang mendukung dalil gugat, maka permohonan sita marital serta alasan kepentingan akan lebih tepat dan lebih mudah dirumuskan permohonan sita serta alasan kepentingan penyitaan. di samping perumusan permohonan
sita marital di akhir posita gugat,
permohonan itu harus dipertegas lagi dalam petitum gugatan yang berisi permintaan kepada pengadlan, supaya sita marital yang diletakkan atas harta bersama dinyatakan sah dan berharga.12 b. Permohonan dapat diajukan secara terpisah dari pokok perkara Adapun bentuk pengajuan sita marital yang kedua dilakukan dalam bentuk “Tersendiri”, terpisah dari gugatan pokok perkara. Di samping gugatan perkara, Penggugat mengajukan permohonan sita marital dalam bentuk surat yang lain. Bahkan dimungkinkan dan dibolehkan melakukan pengajuan permohonan sita marital tersendiri secara lisan, meskipun bentuk permohonan sita marital secara lisan sering terjadi dalam praktek, namun kelangkaan praktek itu bukan berarti melenyapkan hak Penggugat untuk mengajukan permohonan sita marital secara lisan.13
12
Ibid., h. 25.
13
Ibid., h. 26.
50
D.
Tata Cara Pelaksanaan Penyelesaian Sita Marital Menurut M. Yahya Harahap mengenai tata cara pelaksanaan pelaksanaan sita marital sama dengan tata cara pelaksanaan sita eksekusi (Eksekutorial Beslag) dengan demikian tata cara pelaksanaan Conservatoir Beslag dengan sita eksekusi diatur dalam Pasal 197 Ayat 2 sampai Ayat 6 HIR atau Pasal 209 RBg. 14 Yakni adalah sebagai berikut : 1.
Pejabat yang berwenang untuk memerintahkan Conservatoir Beslag ialah Ketua Majelis atas nama Majelis Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan dengan cara permohonan conservatoir beslag diperiksa dalam persidangan insidentil dan diperiksa dan diputus mendahului pokok perkara.
2.
Berdasarkan hasil pemeriksaan insidentil dikeluarkan perintah kepada Panitera atau Juru Sita untuk melaksanakannya dan perintah tersebut dituangkan dalam bentuk “Surat Penetapan”.
3.
Pelaksanaan Conservatoir Beslag dilakukan di tempat letak barang yang dilaksanakan oleh Juru Sita dan dibantu oleh dua orang saksi.
4.
Juru Sita membuat “Berita Acara” Conservatoir Beslag yang mencantumkan secara rinci satu persatu barang yang diconsevatoir beslag, jenis & ukuran barang, kemudian membuat berita acara dihadapan tersita, apabila tersita tidak hadir maka berita acara diberitahukan kepadanya. Berita acara sita ditandatangani oleh juru sita
14
Ibid.
51
dan dua orang saksi. Pembuatan berita acara merupakan syarat formil keabsahan conservatoir beslag. 5.
Penjagaan conservatoir beslag diatur dalam Pasal 197 Ayat (9) HIR atau Pasal 212 RBg yakni: Penjagaan conservatoir beslag barang bergerak tetap di tangan tersita ditinggalkan untuk disimpan pihak tersita atau dibawa ke tempat penyimpanan yang patut. Penjagaan barang conservatoir beslag, tidak boleh diserahkan kepada pemohon sita.
E.
Akibat Hukum Sita Marital Terhadap Harta Bersama Sita marital merupakan salah satu jenis atau pengkhususan dari “Sita Jaminan” (conservatoir beslag). Oleh karena itu, segala ketentuan yang berlaku pada sita jaminan (conservatoir beslag) berlaku sepenuhnya pada sita marital.15 Terkait dengan pemeliharaan harta bersama untuk menjaga keutuhannya dalam kasus sita marital harus diartikan meliputi seluruh harta bersama. Tidak boleh diartikan hanya untuk sebagian atau harta tertentu saja, jadi sita marital diletakkan meliputi seluruh harta bersama yang dimiliki oleh kedua belah pihak yang berperkara. 16
15
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Permasalahan dan Penerapan Conservatoir Beslag (Sita Jaminan), h. 94. 16
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan dan Acara Peradilan Agama, h. 284.
52
Tujuan dari sita marital (sita harta bersama) itu sendiri antara lain untuk membekukan harta bersama suami istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perceraian/pembagian harta bersama berlangsung. Sedangkan fungsi dari dimohonkannya sita marital adalah untuk melindungi hak pemohon sita marital dengan menyimpan atau membekukan barang yang disita agar jangan sampai jatuh di tangan pihak ketiga.17. Kemudian apabila sita marital (marital beslag) mempunyai kekuatan hukum mengikat, diatur dalam Pasal 199 Ayat 1 HIR atau Pasal 214 Ayat 1 RBg., yaitu terhitung dari jam dan hari berita acara sita diumumkan, dan sejak saat itu dalam sita jaminan telah terkandung unsur akibat hukum. Yang mana bentuk dari akibat hukumnya ialah berwujud “batal demi hukum”, yaitu “larangan” berupa:
Memindahkan kepada pihak ketiga dengan kata lain dilarang untuk menjual, menghibahkan, atau menukar barang yang menjadi sita marital.
Dilarang untuk membebankannya kepada pihak ketiga yakni dalam bentuk agunan, hipotik, gadai, dan sewa.18
17
18
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia ,h. 92.
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Permasalahan dan Penerapan Conservatoir Beslag (Sita Jaminan), h. 94.
BAB IV ANALISIS PUTUSAN NOMOR 549/Pdt.G/2007/PA.JP TENTANG PERMOHONAN SITA MARITAL (Marital Beslag) TERHADAP HARTA BERSAMA DI LUAR GUGATAN PERCERAIAN A. Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) Terhadap Harta Bersama Di Luar Gugatan Perceraian 1.
Duduk Perkara Dalam duduk perkara mengenai putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 549/Pdt.g/2007/PA.JP merupakan putusan kasus permohonan sita marital yang diajukan oleh H Binti AK yang memberi kuasa berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 5 November 2007 kepada Dr. Todung Mulya Lubis SH,LLM, Lelyana Santosa, SH., Arin Tjahjadi Muljana, SH., Cyndy Panjaitan, SH., dan kawan-kawan yang mana masing-masing adalah advokat pada Lubis, Santosa & Maulana Law Office, selanjutnya disebut sebagai Pemohon/Istri yang mengajukan permohonan sita marital terhadap BT Bin SH yang memberi Kuasa berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 7 Januari 2008 kepada Juan Felix Tempubolon, SH, MH, Devi Selvana, SH, Wimboyono Seno Adji, SH,MH, Mundyah Titi Respati, SH dan kawankawan, masing-masing advokat dari Kantor Hukum Juan Felix Tampubolon & Partners dan Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH dan Rekan yang selanjutnya disebut sebagai Termohon/Suami.
53
54
Pemohon dalam surat permohonannya tertanggal 2007 yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP, telah mengajukan permohonan Sita Marital (Marital Beslag) terhadapharta bersama yang diajukan kepada Termohon di luar gugatan perceraian yang didasarkan pada Pasal 95 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) jo. Pasal 186 KUHPerdata. Pemohon telah melangsungkan pernikahan yang sah menurut hukum dengan Termohon selama 26 tahun yang dilangsungkan pada tanggal 24 Oktober 1981, dan hingga saat perkara permohonan sita marital ini diajukan Pemohon dan Termohon masih terikat dalam suatu pernikahan yang sah, dan telah dikarunia 3 (tiga) orang anak kandung, yakni : GS (Perempuan, 25 Tahun), BP (Laki-laki, 21 Tahun), BA (Laki-laki, 17 Tahun). Meskipun Pemohon dan Termohon masih dalam terikat dalam perkawinan perlu dilakukan tindakan prevensi terhadap keselamatan harta bersama karena Pemohon khawatir Termohon melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama berupa pemborosan karena Termohon mempunyai hubungan gelap dengan wanita lain yang bernama MY, dan hubungan gelap tersebut sampai ke taraf nikah sirry dan telah dikarunia anak bersama SK. Ada persangkaan kuat bahwa Termohon telah memberikan ataupun melakukan pemborosan terhadap harta bersama dengan wanita lain tersebut bahkan sampai saat Pemohon mengajukan permohonan ini wanita lain serta anaknya tersebut diduga telah menempati rumah yang termasuk di
55
dalam harta bersama milik Pemohon dan Termohon, yang mana wanita lain tersebut telah dibolehkan oleh Termohon untuk menikmati harta milik Pemohon
dan
Termohon.
dengan
demikain
Pemohon
mengajukan
permohonan kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk dapat menetapkan sita marital atau meletakan sita terhadap harta bersama milik Pemohon dan Termohon agar Termohon tidak melakukan transaksi jual-beli, menggadaikan, menjaminkan, atau menerima sebagai jaminan atau transaksitransaksi lain yang bersifat mengalihkan kepemilikan terhadap harta-harta bersama demi menghindari adanya tuntutan hukum berupa pidana maupun penggelapan. Berdasarkan alasan-alasan, dalil-dalil serta fakta-fakta hukum di atas, Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk mengeluarkan penetapan yang isinya sebagai berikut : 1) Mengabulkan permohonan sita marital (maritale beslag) yang diajukan oleh Pemohon; 2) Menetapkan bahwa harta-harta kekayaan yang telah diuraikan dalam permohonan sita marital dinyatakan sebagai harta bersama; 3) Menyatakan sah permohonan sita marital (maritale beslag) yang diajukan oleh Pemohon. Ikatan perkawinan antara Pemohon dan Termohon masih dalam proses perceraian. Termohon memasukkan permohonan izin thalaq ke Pengadilan
Agama Jakarta Pusat pada tanggal
16 Januari 2005,
56
permohonannya tersebut dikabulkan dan Pemohon mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama, dan putusannya membatalkan izin thalak Termohon. prosesnya masih berjalan dan masih berujung pada Mahkamah Agung, Termohon masih bersikukuh untuk menceraikan Pemohon secara legal formal. Adapun harta bersama yang dimintakan
untuk diletakkan sita
marital kepada Pengadilan Agama berupa barang tidak bergerak meliputi beberapa bidang tanah; rumah, dan juga berupa barang bergerak meliputi kapal; kendaraan mobil; rekening bank; dan saham-saham. Jumlah harta bersama yang dimohonkan untuk ditetapkan sebagai harta bersama dan diletakkan sita marital berjumlah 119 harta. Dalam eksepsi jawaban kuasa hukum Termohon mengungkapkan bahwa Pemohon pernah mengajukan sita marital yang sama dan serupa dengan permohonan yang diajukan Pemohon saat ini, dalam permohona cerai thalak
yang
diajukan
pihak
Termohon
dengan
nomor
perkara
249/Pdt.G/2007/PA/JP. Pemohon mengajukan permohonan sita marital dalam rekonpensinya pada tahap replik duplik, yang pada akhirnya ditolak oleh Majelis Hakim untuk permohonan sita maritalnya. Permohonan cerai thalak Termohon masih belum berkekuatan hukum tetap (in kracht), sehingga jika Pemohon mengajukan permohonan sita marital yang terpisah sekalipun dapat mengakibatkan putusan Pengadilan yang saling bertentangan satu sama lain.
57
Kuasa Termohon juga menyatakan bahwa pengalihan atau pembebanan harta bersama antara Termohon dan Pemohon tidak mungkin dilakukan menurut hukum, pengalihan atau pembebanan atau segala sesuatu yang bersangkutan dengan harta bersama harus dengan persetujuan kedua belah pihak, sejak Termohon belum mengajukan permohonan cerai thalak pun Termohon sudah mengemukakan kesediaan membagi harta bersama, namun pembagian harta bersama baru bisa dilakukan setelah perkawinan tersebut putus. Dalam perkara Nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP ini juga dihadirkan saksi ahli yang mendukung dalil Pemohon yakni diantaranya adalah Yahya Harahap S.H; KH. Nazri Adlani, MA; dan Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki SH.,MH. Menurut pendapat Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, SH., MH. Sita marital dapat dilakukan dengan permohonan terpisah yang berdiri sendiri selama perkawinan berlangsung di luar dari perkara pokok atau adanya gugatan perceraian yang mana tujuan nya adalah untuk menyelamatkan harta bersama bila ada indikasi adanya perbuatan yang dapat merugikan dan membahayakan harta bersama. Permohonan sita marital yang diajukan oleh Pemohon berdasarkan Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam (KHI) sudah tepat dan benar. Pernyataan beliau pun dipertegas oleh pendapat M Yahya Harahap Menurutnya pengajuan sita marital yang satu rumpun dengan sita jaminan secara tersendiri dengan artian terlepas dari perkara cerai berdasarkan pasal 95 Kompilasi Hukum Islam diperbolehkan. Maksud dari Pasal 95 Kompilasi
58
Hukum Islam (KHI) sendiri menurutnya sebagai upaya untuk menyelamatkan harta bersama suami isteri supaya tidak berpindahtangan kepada pihak lain, menjamin harta bersama agar tidak mengalami kehancuran guna menjamin keselamatan obyek harta bersama. Beliau juga berpendapat mengenai eksepsi jawaban Termohon yang mengatakan akan ada pertentangan putusan Majelis Hakim terdahulu dengan putusan Majelis Hakim perkara ini mengenai sita marital. Menurut Yahya Harahap sendiri tidak akan terjadi pertentangan putusan Majelis Hakim hal ini dikarenakan jika putusan cerainya dikabulkan tetap saja putusan sita marital nya sah, begitu pula jika cerainya ditolak maka sita maritalnya pun tetap sah sehingga antara putusan Majelis Hakim justru saling menguatkan. Beliau juga mengemukakan bahwa diterima atau tidaknya permohonan sita marital memang sangat tergantung pada pembuktian dan bahwa meskipun sita marital jarang digunakan sekarang ini, bukan berarti upaya hukum tersebut tidak boleh dilakukan. Menurut pendapat Prof. Zulfa Djoko Basuki juga sita marital merupakan sita khusus yang diterapkan terhadap harta bersama suami isteri yang fungsinya melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di pengadilan berlangsung dengan menyimpan atau membekukan barang-barang yang disita agar tidak jatuh ke tangan pihak ketiga. Menurutnya, dengan adanya penyitaan terhadap harta bersama, baik suami maupun isteri dilarang memindahkannya kepada pihak ketiga dalam bentuk
59
apapun. Pendapat tersebut juga diperkuat dengan pendapat K.H Nazri, MA. Bahwa walaupun tanpa dikaitkan dengan perkara perceraian pada Pasal 95 KHI membolehkan mengajukan sita terhadap harta bersama secara tersendiri yang sifatnya untuk menyelamatkan harta bersama tersebut. Lain halnya dengan pernyataan saksi ahli yang diajukan oleh Termohon
Bernadette
M.
WaluyoMenurutnya
jika
telah
diajukan
permohonan cerai baik dalam bentuk permohonan thalak maupun dalam bentuk gugatan cerai, sita jaminan atas harta bersama dari pasal 95 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam tidak dapat diberlakukan. Selain itu saksi ahli lain yang diajukan oleh Termohon pun mementahkan Kompilasi Hukum Islam sebagai dasar hukum yang dapat digunakan oleh sistem hukum Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Abdul Djamali Menurutnya, Kompilasi Hukum Islam hanya merupakan himpunan atau kumpulan ketentuan-ketentuan hukum positif tertentu, digunakan sebagai pedoman dan acuan dalam beracara di Pengadilan Agama menjadi pelengkap dari dasar hukum positifnya, oleh karena itu ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam tidak dapat dijadikan dasar hukum yang berdiri sendiri dalam gugatan atau permohonan yang disampaikan ke Pengadilan Agama. 2.
Alasan Pengajuan Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) Alasan pokok pengajuan permohonan sita marital oleh Pemohon setidaknya ada dua alasan pokok yakni adanya Qorinah (persangkaan kuat Majelis Hakim) adanya hubungan antara Termohon tersendiri bahkan sudah
60
sampai ke tingkat nikah sirriy antara Termohon dengan MY yang dengan nya melahirkan seorang anak perempuan. Alasan kedua adanya keinginan Termohon menceraikan Pemohon secara legal formal. Dari kedua alasan pokok tersebut, Pemohon khawatir bahwasannya harta bersama antara Pemohon dan Termohon tidak aman dan tidak bisa diselamatkan karena jatuh kepada pihak ketiga yang mana akibatnya akan merugikan Pemohon dan anak-anaknya dikemudian hari. Bahkan Majelis Hakim sampai kepada tingkat muttawatir (tidak dapat disangkal lagi) karena Termohon menunjukkan hubungannya dengan istri sirrinya secara nyata di depan publik dan media massa telah memuat berita tersebut tanpa ada penyangkalan sebagai klarifikasi dari Termohon. Dengan demikian Majelis Hakim menetapkan adanya Qarinah berupa persangkaan kuat atas fakta-fakta tingkah laku antara Termohon dan Mayangsari. Pemohon dapat membuktikan alasan untuk diajukan sita marital atau yang disebut sita jaminan terhadap harta bersama, untuk itu Majelis Hakim mengabulkan Permohonan Sita Maritalnya. Dalam Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan modifikasi dari Pasal 186 KUH Perdata.1Salah satu dasar diajukannya permohonan sita marital adalah perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta kekayaan perkawinan 1
Wawancara dengan Hakim Anggota I Perkara No. 549/Pdt.G/2007/PA.JP, Ibu Drs. Hj.
ErniZurnilah, MH. Tanggal 14 April 2014.
61
seperti salah satu contohnya adanya pemborosan atau kelalaian lain dalam menjaga harta kekayaan perkawinan. Pemohon mengajukan sita marital didasari alasan adanya kekhawatiran yang beralasan terhadap keamanan harta bersama, walaupun ada
ketentuan
yang
mengatur
bahwa
harta
bersama
tidak
dapat
dipindahtangankan ke pihak lain tanpa adanya persetujuan kedua belah pihak hal ini tidak memberikan suatu jaminan harta bersama tidak berpindah tangan. Untuk itu Pemohon ingin mengamankan harta bersamanya dengan Termohon dijamin secara legal formal yaitu dengan meletakkan sita agar Pemohon dan anak-anaknya tidak dirugikan. Majelis Hakim menggunakan alat bukti persangkaan bahwa telah terjadi perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama yang mengacu pada Qorinah bahwa Termohon telah memiliki hubungan dengan wanita lain bahkan sampai ke tingkat nikah sirriy. Tentunya terdapat persangkaan Termohon dapat melakukan perbuatan yang membahayakan harta bersama yang akibatnya akan merugikan Pemohon dan anak-anak dari Pemohon dan Termohon. Dengan demikian Majelis Hakim atas alat bukti persangkaannya (qorinah) dapat membuktikan adanya perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama, sehingga Pengadilan Agama sesuai dengan Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat mengabulkan permohonan sita yang dimohonkan oleh Pemohon.
62
B. Analisis Pertimbangan & Dasar Putusan Hakim 1. Pertimbangan Majelis Hakim Pemohon megajukan permohonan sita marital dengan dasar hukum Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur mengenai sita jaminan atas harta bersama, bukan sita marital. Ketentuan mengenai sita marital diatur dalam Pasal 186 KUH Perdata yang suasana hukumnya masih menganggap kedudukan isteri di bawah kuasa suami atas harta bersamanya, dimana suasana hukum ini tidak sesuai lagi dengan kedudukan suami isteri yang sama. Termohon mengemukakan dalam jawabannya sita marital hanya berlaku bagi wanita yang tunduk pada KUH Perdata. Ada ketidakjelasan antara permohonan sita marital dengan sita jaminan atas harta bersama. Menurut pertimbangan Majelis Hakim penyebutan sita marital dengan sita jaminan dalam harta bersama tidak jadi masalah. Baik sita marital dalam Pasal 186 KUHPerdata maupun sita jaminan dalam Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mana objeknya adalah harta bersama, dengan demikian antara sita marital dengan sita jaminan dapat digolongkan dalam satu jenis.2 Dan hal ini juga dibenarkan oleh pendapat M. Yahya Harahap yang mana disebutkan bahwa sita jaminan yang langsung dikaitkan dengan harta bersama suami isteri seperti yang dimaksud dalam Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam (KHI) lazim disebut sebagai sita marital. 2
Wawancara dengan Hakim Anggota I Perkara No. 549/Pdt.G/2007/PA.JP, Ibu Drs. Hj.
ErniZurnilah, MH. Tanggal 14 April 2014.
63
Majelis Hakim menimbang bahwa, Pemohon dalam perkara nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP hanya mendalilkan alasan permohonan Sita Marital (marital beslag) semata-mata karena ada kekhawatiran yang beralasan terhadap keamanan harta bersama dengan Termohon, agar harta bersama itu terjamin secara legal formal, agar Pemohon tidak dirugikan dengan adanya berita-berita media masa, dan pihak Termohon tidak membantah berita-berita media massa itu, dan Majelis Hakim membenarkan kekhawatiran Pemohon dijadikan alasan permohonan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) tersebut, dan dinilai cukup beralasan. Menurut pertimbangkan Majelis Hakim bahwa, dasar permohonan Sita Marital (Marital Beslag) Pemohon kepada Termohon karena adanya kekhawatiran Pemohon yang beralasan bahwa Termohon telah memiliki hubungan tersendiri dengan seorang wanita lain yang bernama MY, bahkan ada “Qorinah” Termohon telah melangsungkan pernikahan sirry dengan perempuan tersebut, dan telah dikaruniai seorang anak yang bernama SK, dan sebagai bukti alasan kekhawatiran Pemohon tersebut. Majelis Hakim juga menimbang bahwa, alasan kedua Pemohon mengajukan permohonan Sita Marital (marital beslag) ini adalah keinginan Termohon untuk menceraikan Pemohon secara legal formal, dengan mengajukan perkara izin thalak ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan Nomor : 249/Pdt.G/2007/PA.JP dan sudah dikabulkan oleh Pengadilan
64
Agama Jakarta Pusat dan masih dalam proses banding sebagaimana telah diuraikan di atas. Dapat disimpulkan bahwa menurut Majelis Hakim setidak-tidaknya ada dua alasan pokok permohonan sita marital ini, yaitu yang pertama adanya “Qarinah” (persangkaan kuat Majelis Hakim) adanya hubungan antara Termohon tersendiri bahkan sudah sampai ke tingkat nikah sirriy antara Termohon dengan MY yang dengan nya melahirkan seorang anak perempuan. Alasan kedua adanya keinginan Termohon menceraikan Pemohon secara legal formal, sehingga kedua alasan tersebut mengakibatkan Pemohon punya kekhawatiran yg beralasan terhadap keselamatan dan keamanan harta bersama dengan Termohon, dan sangat khawatir hal itu akan merugikan dirinya dan anak-anaknya dikemudian hari, dan Majelis Hakim menerima alasan sita marital seperti itu, sehingga permohonan sita maritalnya dapat dikabulkan. 2. Putusan Majelis Hakim Dalam
putusan
Majelis
Hakim
dalam
perkara
Nomor
549/Pdt.G/2007/PA.JP mengenai pengajuan permohonan sita marital terhadap harta bersama yang mana suami isteri tersebut masih terikat dalam perkawinan yang sah berdasarkan pasal 95 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam ini tidak berakibat kepada pembagian harta bersama di antara suami isteri itu, namun berdasarkan pasal 95 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam pada keadaan tertentu memang diperlukan izin dari Pengadilan Agama untuk melakukan
65
perbuatan hukum terhadap harta bersama yang telah diletakkan sita itu, karena dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 95 itu ialah untuk menjamin keamanan harta bersama agar salah satu pihak tidak dapat melaksanakan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama itu. Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim pada perkara No 549/Pdt.G/2007/PA.JP dalam pokok perkara nya Majelis Hakim memutuskan mengabulkan permohonan Pemohon sebagian; menetapkan telah diletakkan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) atas harta bersama Pemohon (H Binti AK) dengan Termohon (BT Bin S) yang mana dari 119 harta yang diajukan Pemohon untuk diletakkan sita, Majelis Hakim hanya mengabulkan delapan saja; menyatakan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) tersebut sah dan berharga; menyatakan permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya tidak dapat diterima (NO= Niet Onvantkelijke Verklaard) dan membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara yang hingga kini sebesar Rp. 12.898.000 (Dua belas juta delapan ratus sembilan puluh delapan ribu rupiah). C. Analisis Penulis Menurut hemat penulis sita marital yang disebut di dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai (sita jaminan atas harta bersama) hanya diatur secara tegas dalam Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sifat sita yang diatur dalam Pasal
66
95 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak selalu bersifat assesoir, sehingga dalam pengajuan nya dapat berdiri sendiri. Tujuan dari adanya sita marital itu sendiri antara lain adalah untuk membekukan harta bersama suami isteri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perceraian/pembagian harta bersama berlangsung.3 Sedangkan fungsi dimohonkannya sita marital adalah untuk melindungi, hak pemohon sita marital dengan menyimpan atau membekukan barang yang disita agar jangan sampai jatuh di tangan pihak ketiga.4 Permohonan sita marital terhadap harta bersama yang diajukan ke Pengadilan sendiri dapat dimintakan bersama-sama dengan gugatan perceraian dan dapat pula permohonan sita marital terhadap harta bersama diajukan di luar gugatan perceraian.5 Berdasarkan hukum acara yang berlaku pun, tidak ada pengaturan khusus bahwa pengajuan sita harus selalu assesoir dengan gugatan pokok. Dalam praktik yang berlaku umum, permohonan sita selalu diajukan dalam bentuk assesoir, namun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 95 mengatur secara khusus, yang mana pengajuan permohonan sita marital dapat dilakukan secara berdiri sendiri di luar adanya permohonan gugatan cerai, karena 3
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Permasalahan dan Penerapan Conservatoir
Beslag (Sita Jaminan), h. 369. 4
Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 92.
5
Wawancara dengan Hakim Anggota I Perkara No. 549/Pdt.G/2007/PA.JP, Ibu Drs. Hj. ErniZurnilah, MH. Tanggal 14 April 2014.
67
dalam hal ini tujuan pokok dari sita marital adalah menyelematkan keutuhan harta bersama tanpa merusak ikatan perkawinan. Permohonan sita marital yang diajukan berdasatkan Pasal 95 KHI, sifatnya jelas tidak assesoir karena tidak tergantung apakah terjadi perceraian atau tidak. Sita tetap dapat dilaksanakan karena tujuannya adalah untuk melindungi harta bersama saat perkawinan masih berlangsung dan apabila sekalipun terjadi perceraian, harta tersebut tetap dapat aman terbagi, karena pada saat perkawinan putus, maka baik suami ataupun istri berhak atas seperdua dari harta bersama, berdasarkan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI), kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Terkait dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada perkara nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP dapat dilihat bahwa alasan pengajuan Sita Marital terhadap harta bersama yang diajukan oleh Pemohon (Istri) kepada Termohon (suami) cukup dengan adanya indikasi bahwa harta bersama tersebut dapat hilang dan berpindah kepada pihak lain yang akan merugikan Pemohon dan anak-anak Pemohon di kemudian hari, dan Majelis Hakim menerima alasan sita marital (Marital Beslag), sehingga permohonan sita maritalnya (Marital Beslag) dapat dikabulkan. Jika ditinjau dari segi hukum Islam, tujuan dari adanya permohonan sita marital terhadap harta bersama sesuai dengan tujuan maqashid syariah yang ditegaskan oleh Abdul Wahab al-Khallaf yang mana sebagai alat bantu untuk memahami redaksi al-Quran dan sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan, dan yang sangat penting adalah untuk menetapkan hukum terhadap
68
kasus yang tidak tertampung dalam al-Quran dan sunnah secara kajian kebahasaan.6
yakni menjaga dan memelihara harta (hifzul maal). Memelihara
harta dapat dibedakan menjadi tiga tingkat yakni: memelihara harta dalam tingkat dharuriyah seperti syariat tentang tata cara kepemilikan harta dan larangan mengambil harta orang dengan cara yang tidak syah, memelihara harta dalam tingkat hajiyat yakni syariat tentang jual belitentang jual beli salam, dan memelihara harta tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari pengecohan dan penipuan.7 Berkaitan dengan kaidah ushul fiqh yakni metode penetapan hukum melalui konsep sadd adz dzari’ah, bahwa dikabulkannya permohonan sita marital terhadap harta bersama yang diajukan oleh istri sebagai pemohon kepada suami sebagai termohon, dinilai sangat relevan. Hal itu dikarenakan permohonan sita marital terhadap harta bersama merupakan salah satu cara untuk menghindari berpindahnya harta bersama kepada pihak lain, dan agar terlindungi kepentingan istri sebagai pemohondan anak-anak dari pemohon dan termohon dari itikad buruk suami yakni dengan memindahkan harta bersama kepada pihak lain, sehingga pada saat putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, gugatan tersebut tidak hampa (illusoir). Serta sekaligus menghindari perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan yakni jika tidak dilakukan sita marital terhadap harta bersama maka akan menyebabkan harta bersama tersebut berpindah tangan kepada pihak lain. 6
7
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta : Prenada Media, 2005), h. 237.
Ibid. h, 131.
69
Rasio dari penerapan sita marital terhadap harta bersama yang telah dikemukakan di atas, bertujuan untuk melindungi eksistensi keutuhan harta bersama dalam perkawinan secara keseluruhan. Sebab harta bersama adalah milik bersama suami istri yang diperuntukkan untuk keperluan dan kesejahteraan masing-masing dalam menjaga harmonisasi dan keutuhan rumah tangga. Selain itu, untuk menjamin keutuhan dan keselamatan harta bersama selama proses perkara perceraian / adanya tuntutan pembagian harta bersama.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan skripsi penulis yang berjudul permohonan sita marital (marital beslag) di luar gugatan perceraian dengan menganalisis putusan perkara nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP, Penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Permohonan sita marital terkait dengan putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam perkara nomor 549/Pdt.G/2007/PA.JP secara tersendiri artian di luar dari gugatan perceraian telah sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia yakni berdasarkanPasal 215 ayat (1) KUH Perdata dan Pasal 95 serta 136 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI) diperbolehkan. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 95, permohonan sita marital dapat diajukan secara terpisah dan berdiri sendiri di luar gugatan perceraian, sehingga hal ini memungkinkan pengajuan gugatan atau permohonan sita, baik dengan rekonpensi maupun pengajuan permohonan sita marital yang berdiri sendiri. 2. Pertimbangan
hakim
dalam
mengabulkan
perkara
nomor
549/Pdt.G/2007/PA.JP adalah alasan pengajuan Sita Marital terhadap harta bersama yang diajukan oleh Pemohon (Istri) kepada Termohon (suami) adanya indikasi bahwa harta bersama tersebut dapat hilang dan berpindah
70
71
kepada pihak lain yang akan merugikan Pemohon dan anak-anak Pemohon dikemudian hari, dan Majelis Hakim menerima alasan Sita Marital (Marital Beslag), sehingga Permohonan Sita Maritalnya (Marital Beslag) dapat dikabulkan. Selain itu permohonan sita marital terhadap harta bersama sesuai dengan tujuan maqashid syariah yakni dalam rangka menjaga dan memelihara harta (hifzulmaal) dan berkaitan juga dengan kaidah ushul fiqh yakni penetapan hokum melalui konsep saad adz dzari’ah, maka permohonan sita marital terhadap harta bersama dinilai sangat relevan karna untuk melindungi kepentingan istri sebagai pemohon dan anak-anak dari pemohon dan termohon dari perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan yakni jika tidak dilakukan sita marital terhadap harta bersama maka akan menyebabkan harta bersama tersebut berpindah tangan kepada pihak lain. B. Saran-Saran Adapun bagian akhir dari skripsi ini, penulis memberikan saran-saran yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait adalah sebagai berikut : 1. Kepada Pemerintah, Perlu adanya Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur secara tegas mengenai sita marital terhadap harta bersama. dan adanya ketentuan Hukum Acara Perdata yang mengatur secara khusus tentang masalah sita marital yang selama ini berpedoman pada Reglemen Acara Perdata/ RV (Reglement Op De Rechtsvordering Staatsblad 187 No. 52 Jo. 1849 No. 63) yang masih dipergunakan di dalam praktek.
72
2. Para hakim dalam memutus perkara yang terkait dengan sita marital harus memperhatikan kepastian hukum, apakah dalam putusan sita marital yang dikabulkan yang dinyatakan sah dan berharga/tidak, sebab apabila dinyatakan sah dan berharga terhadap sita marital tersebut, maka akan ditingkatkan menjadi sita eksekutorial, sedangkan sita marital hanya bersifat untuk menyimpan atau membekukan harta bersama yang disengketakan. 3. Masyarakat, walaupun sita marital jarang dipergunakan dewasa ini bukan berarti upaya hukum tidak boleh dipergunakan. dan dalam pengajuan permohonan sita marital diterima atau tidaknya memang sangat tergantung pada pembuktian yang mana harus diperhatikan oleh semua pihak. Dan masyarakat hendaklah mengetahui tentang adanya sita marital dan regulasi sengketa harta bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdorraoef. Al- Qur’an dan Ilmu Hukum Sebuah Studi Perbandingan. Jakarta : Bulan Bintang, 1986. Arifin, Bustanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah Hambatan dan Prosfeknya. Jakarta : Gema Insani Press, 1996. Arifin, Zainal. Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja RosdaKarya. Ash Shiddieqy, Hasbi. Falsafah Hukum Islam. Jakarta : Bulan Bintang. Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam. Cet. Kesebelas. Yogyakarta : UII Press. 2007. Basyir, Azhar A,
Hukum Perkawinan Islam. Cet. Kedelapan. Yogyakarta :
Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1996. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pusataka, 1988. Effendi M. Zein, Satria. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah. Jakarta : Prenada Media, 2004. Fauzan, M. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah di Indonesia. Jakarta : Kencana Prenada Media, 2005. Gemala, Dewi. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. Cet. Kedua. Jakarta : Kencana Prenada Media, 2006. Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010.
73
74
Kusuma, Hilman Hadi. Hukum Perkawinan Adat. Bandung : Aditya Bakti,1999. Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta : Sinar Grafika, 2001. ............................. Hukum Acara Perdata : Permasalahan dan Penerapan Conservatoir Beslag (Sita Jaminan). , Cet. Pertama. Jakarta : Pustaka, 1987. Ismuha. Pencaharian Bersama Suami Isteri Ditinjau dari Sudut Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 dan Hukum Islam. Cetakan Pertama. Jakarta : Bulan Bintang, 1986,. Kadir, Abdul. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Bandung: PT. Citra Atitya, 1994. Koentjaraningrat. Metode- Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: 1997. Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006. Manaf, Abdul. Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara Di Lingkungan Peradilan Agama. Bandung : CV. Mandar Maju, 2008. Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta : Liberty, 2006. Moleong, Lexy J.. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2004. M. Zein, Satria Effendi, Ushul Fiqh. Jakarta : Prenada Media, 2005. Nurul Irfan, M. Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam. Cetakan Ke-2. Jakarta : Amzah, 2013.
75
Ramulyo, Moch Idris.Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dari Segi Perkawinan Islam. Jakarta : IND-HIIILCO, 1985. Rasyid, Chatib dan Syaifuddin. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek pada Peradilan Agama. Yogyakarta: UII Press, 2009. Rasyid, Roihan A.. Hukum Acara Peradilan Agama. Cet. Kedua. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003. Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Cetakan Keempat. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000. R. Subekti, R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Cetakan Ke-25. Bandung: Pradnya Paramita. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UIP, 1984. Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan no 1 Tahun 1974. Yogyakarta : Liberti, 2004. Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan). Jakarta : Kencana. 2006. Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta : UI Press, 1986. Wawancara dengan
Hakim Anggota I Perkara No. 549/Pdt.G/2007/PA.JP. Erni
Zurnilah.. Tanggal 14 April 2014.