EFEK FOTOVOLTAIK PADA PERSAMBUNGAN CdS/P3HT-KITOSAN
SITTI YANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini menyatakan bahwa tesis Efek Fotovoltaik Pada Persambungan CdS/P3HT-Kitosan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2011
Sitti Yani NRP G751090071
ABSTRACT SITTI YANI. Photovoltaic Effect In A CdS/P3HT-Chitosan Junction. Under direction of AKHIRUDDIN MADDU and IRMANSYAH. A CdS/Polymer junction has been fabricated and it’s photovoltaic effect has been studied. The polymer is a blend of poly-3hexyltiophene (P3HT), chitosan and polyethileneglicol (PEG). Boron in situ doping of CdS using Chemical Bath Deposition (CBD) was investigated. The effect of B-doping and annealing on optical properties as well as on electrical and morphology of CdS film were studied. The structure and morphology of the film were detected by XRay Diffraction (XRD) and Scanning Electron Microscopy (SEM). The polymer film was sandwiched between the CdS semiconductor and an ITO glass to form an ITO/CdS/Polymer/ITO photovoltaic cell. Time constant (τ) and open circuit voltage (V oc ) were investigated by using voltage censor. The bandgap of films were determined using absorbance edge method. The results of annealing optical bandgap of undoped CdS shifted from 2,49 eV down to 2,39 eV. Phase transition of CdS due to annealing temperature and induced lattice damage due to doping. The room temperature conductivity of polymer is 3,8 – 6,6 x 10-7 S/cm as function of frequency between 100 – 5000 Hz. The Voc of the fabricated cells ranges between 107 – 286 mV and time constant ranges between 2,5 to 43,75 s. Keywords: cadmium sulfide, chemical bath deposition, effect, poly-3hexiltiophene, chitosan
photovoltaic
RINGKASAN SITTI YANI. Efek Fotovoltaik Pada Persambungan CdS/P3HT-Kitosan. Dibimbing oleh AKHIRUDDIN MADDU dan IRMANSYAH. Energi matahari merupakan energi yang terbesar di permukaan bumi. Energi ini dapat dimanfaatkan secara langsung maupun secara tidak langsung. Energi matahari dapat dikonversi menjadi energi listrik dalam mekanisme fotovoltaik. Piranti pengkonversi energi matahari menjadi energi listrik dapat dibuat dengan menyambungkan antara semikonduktor tipe-p dan semikonduktor tipe-n. Cadmium sulfida merupakan salah satu jenis semikonduktor tipe-n dimana mempunyai dua struktur kristal yaitu kubik dan heksagonal. CdS memiliki gap energi sebesar 2,3-2,5 eV. CdS fase kubik merupakan fase metastabil dimana dapat berubah menjadi fase heksagonal jika diannealing pada suhu di atas 300oC. Metode pembuatan CdS dapat dilakukan dengan sangat mudah. Selain itu bahan yang digunakan pula sangat mudah didapatkan. Poly3-heksiltiophene adalah semikonduktor tipe-p yang merupakan turunan dari polimer tiophene. Polimer ini memiliki mobilitas hole yang tinggi dan stabil di lingkungan udara maupun dalam air. Jika polimer ini digabungkan dengan polimer jenis lain, maka pembawa muatan pada polimer ini akan bertambah. Dengan adanya pembawa muatan yang banyak ini maka akan meningkatkan kinerja persambungan yang akan dibuat. Cadmium sulfida dibuat dengan metode Chemical Bath Deposistion (CBD), menggunakan CdCl 2 sebagai sumber ion cadmium, CS(NH 2 ) 2 sebagai sumber ion sulfur, NH 4 OH sebagai agen pengkompleks dan mengatur kecepatan reaksi serta TEA untuk mempertahankan larutan agar tidak cepat mengendap. Dua bahan yang pertama diaduk dengan kelajuan 300 rpm selama 30 menit pada suhu 30oC. Selanjutnya ditambahkan NH 4 OH dan TEA dan diaduk dengan kelajuan yang sama selama 90 menit pada suhu 70oC. Pemberian doping Boron dilakukan dengan penambahan asam borat (H 3 BO 3 ) dengan jumlah masing-masing 4% wt, 6%wt dan 8%wt. Pemberian doping Boron ini dimaksudkan untuk mengubah gap energi CdS yang dihasilkan. Selanjutnya film tipis yang dihasilkan diannealing pada suhu 200oC, 300oC dan 400oC selama 1 jam dengan kenaikan suhu 1oC/menit. Film-film ini selanjutnya dikarakterisasi UV-Vis, XRD dan SEM masing-masing untuk mengetahui pita serapan, struktur kristal dan morfologi film yang dihasilkan. Di atas film yang dihasilkan selanjutnya ditetesi dengan polimer campuran antara P3HT dengan kitosan dengan menggunakan metode drop casting agar diperoleh ketebalan polimer yang sama pada permukaan film CdS. Persambungan ini selanjutnya diukur respon dinamik dan kestabilan tegangannya dengan menghubungkannya dengan sensor tegangan. Pengukuran ini sangat penting dilakukan untuk mengetahui seberapa besar tegangan rangkaian terbuka (V oc ) yang dihasilkan pada persambungan ini. Hasil karakterisasi optik CdS yang dihasilkan menunjukkan bahwa pemberian doping Boron dapat mengubah besarnya gap energi CdS. Akibat annealing, spektrum absorbansi bergeser ke arah merah (red shift) yang juga menunjukkan penyempitan gap energi. Besarnya gap energi masing-masing film ditentukan dengan menggunakan metode tepi absorbansi (absorbance egde). Dari pola XRD CdS terlihat bahwa pemberian doping mempengaruhi fase CdS yang
tumbuh pada substrat kaca ITO. CdS tanpa doping Boron menghasilkan CdS dengan fase heksagonal yang amorf. Ketika diberikan doping Boron maka fase kubik CdS muncul pada profil XRD. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan pH larutan bath ketika diberikan sejumlah doping. Pengukuran parameter fotovoltaik pada persambungan CdS/P3HT-kitosan menunjukkan bahwa semua sel yang dihasilkan dapat merespon cahaya dengan baik walaupun ada sebagian sel yang konstanta waktu (τ)nya besar yang menunjukkan recovery respon sel tersebut kurang baik. Hal ini dipengaruhi oleh ketebalan polimer yang diteteskan. Semakin tebal polimernya maka hambatan dalam sel pun akan semakin besar sehingga elektron sulit untuk bergerak melintasi persambungan. Besarnya tegangan rangkaian terbuka (V oc ) yang terukur, bervariasi yang merupakan fungsi dari gap energi dan konduktansi CdS. Annealing terhadap film CdS dapat meningkatkan konduktifitas. Semakin sempit gap energi CdS maka semakin banyak elektron yang dapat tereksitasi ke pita konduksi maka semakin besar pula tegangan yang dihasilkan. Kata kunci: cadmium sulfida, chemical bath deposition, poly-3hexiltiophene, kitosan
efek fotovoltaik,
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengunumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa ijin IPB
EFEK FOTOVOLTAIK PADA PERSAMBUNGAN CdS/P3HT-KITOSAN
SITTI YANI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biofisika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Agus Kartono, M.Si
Judul Tesis
: Efek Fotovoltaik Pada Persambungan CdS/P3HT-Kitosan : Sitti Yani : G751090071 : Biofisika
Nama NRP Program Studi
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Akhiruddin Maddu, M.Si Ketua
Dr. Ir. Irmansyah, M.Si Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Biofisika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Agus Kartono, M.Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 16 Juni 2011
Tanggal Lulus:
Kupersembahkan karya Sederhanaku ini kepada Ibu dan Bapakku Kakak dan Adikku Dan Almamaterku IPB
PRAKATA
Puji syukur hanyalah bagi Allah SWT, karena atas limpahan rahmat, taufik dan hidayahnya-Nya hingga penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik. Tema dari penelitian ini adalah Efek Fotovoltaik Pada Persambungan CdS/P3HT-Kitosan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Agustus 2010 sampai Juni 2011 di Laboratorium Biofisika, IPB dan Litbang Kehutanan, Bogor. Teristimewa penulis ungkapkan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Ayahanda (La Farimu, S.Pd), Ibunda (Waode Harna), Kakak (Sitti Hasniar, S.STP) dan Adik (Fajarmin S.Pd dan Muhammad Rais) atas curahan kasih sayang, yang senantiasa memberikan semangat, doa, perhatian, dan pengorbanannya yang tak terhingga kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan studi. Penulis sadar sepenuhnya bahwa tugas akhir ini dapat dirampungkan berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Akhiruddin Maddu, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Irmansyah, M.Si sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan kritik yang sangat berharga bagi penulis selama pengerjaan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Bapak Dr. Agus Kartono, M.Si yang bersedia sebagai Penguji Luar Komisi dalam Ujian Sidang Tesis penulis. Penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Departemen Pendidikan Nasional atas bantuan biaya pendidikan dan penelitian. Terima kasih kepada Bapak Dr. Ida Usman, M.Si, Dr. Irzaman, M.Si, Dr. Akhiruddin Maddu, M.Si dan Kepala SMA Negeri 1 Lohia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Biofisika IPB. Terima kasih sebesarbesarnya kepada dosen Biofisika yang telah membekali penulis dengan berbagai disiplin ilmu yang sangat berharga. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan pada semua pihak yang telah memberikan dorongan, bimbingan dan kemudahan serta bantuan moril dan materiil baik secara langsung maupun tidak langsung selama studi penulis hingga penyelesaian tugas akhir ini. Secara khusus penulis mengucapkan banyak terima kasih pada adik-adik Fisika 43 dan 44 (Tim Sel Surya) Syawfa Oktawandi, Gesang Pangeplak Baskoroadi, Husein Slamet Ramdhani, Pandu Winata, Ayu Sitti Rahmawati, S.Si, Yuliane Chrisilla Nau atas bantuannya selama di laboratorium. Terima kasih kepada operator XRD dan SEM di Litbang Kehutanan Bogor, Pak Didik dan Pak Dadang atas bantuannya.
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Biofisika ’09, Wisma Edulweis 88 (Rani Chahyani Ansar, S.Si*, Nurmin Amin, S.Hut, Lita Masitha S.Pi, Lukmanul Hakim, Sitti Fatimah), Al Lulu (La Ode Muhammad Arsal, S.Pi*, Ir. Muhammad Alwi, M.Si, Ir. Tasruddin, Eldin Hasan Adimu, S.Pi, Robin, S.Pi, Asis Bujang, S.Pi, Fendi, S.Si, Suwarjoyosurayatno, S.Pi, Laode Aslin, S.Pi) dan Pondok Ijo (Al Azhar, S.Pi, M.Si). Terima kasih telah hadir menjadi teman-teman yang selalu optimis sehingga meringankan kesulitankesulitan yang penulis hadapi dan terima kasih pula atas dukungan dan kebersamaannya. Buat teman-teman dan sahabat yang tidak penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungannya. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak senantiasa penulis harapkan untuk bekal penulis di masa yang akan datang. Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan IPTEK dan dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi yang membutuhkan. Bogor,
Juni 2011
Sitti Yani
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lasunapa (Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara) pada tanggal 24 Juni 1986, sebagai anak kedua dari pasangan La Farimu dan Waode Harna. Tahun 2004, penulis lulus dari SMA Negeri 2 Raha, di Kabupaten Muna dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Haluoleo. Penulis menyelesaikan studi strata satu (S1) pada tahun 2008 sebagai lulusan terbaik Jurusan Fisika Universitas Haluoleo. Tahun 2009 penulis mendapat beasiswa dari Kementerian Pendidikan Nasional melalui Beasiswa Unggulan untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Biofisika, lulus pada bulan Juni 2011.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR GAMBAR.............................................................................. DAFTAR TABEL .................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... I.
II.
xii xiv xv
PENDAHULUAN ...........................................................................
1
1.1. Latar Belakang......................................................................... 1.2 Tujuan Penelitian..................................................................... 1.3 Manfaat Penelitian...................................................................
1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................
5
2.1. 2.2. 2.3. 2.4 2.4
Semikonduktor…..…...……………………………………. Cadmium Sulfida (CdS)….………………………………… Polythiophene........................................................................ Kitosan ................................................................................. Sel Surya................................................................................ 2.4.1 Sel Surya Persambungan Semikonduktor p-n (Solid State p-n Junction)......................................................... 2.4.2 Sel Surya Hibrid...........................................................
5 9 12 13 13
III. METODE PENELITIAN .............................................................
21
3.1. 3.2. 3.3.
15 18
Waktu dan Tempat Penelitian................................................ Alat dan Bahan....................................................................... Metode Pembuatan dan Karakterisasi.................................... 3.3.1 Pembuatan Lapisan Tipis CdS...................................... 3.3.2 Karakterisasi Lapisan Tipis CdS................................... 3.3.3 Pembuatan Lapisan Tipis P3HT-Kitosan .................... 3.3.4 Pembentukan Junction CdS/P3HT-Kitosan ................ 3.3.6 Uji Performans ............................................................
21 21 21 21 23 24 25 26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................
27
4.1
4.2.
Karakteristik Polimer P3HT-Kitosan ................................. 4.1.1 Karakteristik Optik P3HT ......................................... 4.1.2 Konduktifitas Polimer P3HT-Kitosan ....................... Karakteristik Film Tipis CdS ................................................ 4.2.1 Proses Deposisi Film CdS .......................................... 4.2.2 Karakteristik Optik CdS ............................................ a. CdS Tanpa Doping .............................................. b. CdS Doping Boron ............................................. 4.2.3 Struktur Film Tipis CdS ............................................. 4.2.4 Morfologi Film Tipis CdS ..........................................
27 27 28 30 30 34 34 36 40 45 x
4.3
V
Karakteristik Fotovoltaik Persambungan CdS/P3HTKitosan ................................................................................
47
SIMPULAN DAN SARAN .........................................................
57
5.1 5.2
57 57
Simpulan ............................................................................. Saran ...................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman
1. 2. 3.
4.
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
12. 13.
14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Pita energi bahan (a) isolator, (b) semikonduktor dan (c) konduktor… 6 Pada pita valensi, elektron menyerap foton (hν) dan pindah ke pita konduksi meninggalkan hole……………………….……………….. 6 a) Struktur kristal silikon dengan sebuah atom pengotor valensi lima menggantikan posisi salah satu atom silikon dan b) struktur pita energi semikonduktor tipe-n............................................................................... 8 a) Struktur kristal silikon dengan sebuah atom pengotor valensi tiga menggantikan posisi salah satu atom silikon dan b) struktur pita energi semikonduktor tipe-p................................................................................ 9 Difraksi sinar X film CdS pada suhu annealing yang berbeda………… 11 Energi gap film CdS doping Galium sebagi fungsi perbandingan [Ga]/[Cd]………………………………………………………………. 12 Struktur polimer Poly3-heksiltiophene …….………………………… 12 Struktur kitosan …….……………………………………………….… 13 Diagram sebuah potongan sel surya (PV sel)………………………..… 14 Semikonduktor yang diiluminasi cahaya dengan energi foton yang lebih besar daripada bandgap semikonduktor…………………………… 16 Diagram energi pada persambungan p-n ketika diiluminasi cahaya dengan energi foton (hυ) yang lebih besar daripada bandgap (a) ketika dihubung singkat (short circuit) dan (b) ketika hubung Singkat dibuka (open circuit) ……………………………………….. 17 Level energi molekul konjugat-π (eksitasi elektron dari orbital π ke π*)…………………………………………………………………… 18 Interface antara dua semikonduktor polimer yang berbeda (D = donor, A = aseptor) yang dapat memfasilitasi transfer muatan oleh pemisahan eksiton atau transfer energi, dimana semua eksiton ditransfer dari donor ke aseptor………………………………………………………… 19 Skema deposisi CBD ………………………………………………….. 23 Struktur sel surya CdS/P3HT-Kitosan……………………………………25 Absorbsi dan transmitansi P3HT …………………………………… 28 Kurva konduktansi dan resistansi P3HT-kitosan ……………………… 28 Absorbsi film tipis CdS dengan jumlah doping yang sama (0% wt) dan temperatur annealing yang berbeda ……………………… ………….. 35 Absorbsi CdS doping Boron 4% wt ……….…………………………. 37 Absorbsi CdS doping Boron 6% wt …………..………………………. 37 Absorbsi CdS doping Boron 8% wt ……………..………………………37 Grafik perubahan gap energi film CdS berdasarkan jumlah doping ….. 39 Pola XRD film Y1 …………………………………………………… 41 Pola XRD film Y2 …………………………………………………… 43 Pola XRD film Y3 …………………………………………………… 43 Pola XRD film Y4 …………………………………………………… 44 Penampang melintang film tipis CdS pada permukaan ITO ................... 46 Morfologi permukaan CdS tanpa doping dan tanpa annealing .............. 46 xii
29. 30. 31. 32. 33. 34.
Morfologi permukaan CdS doping 8% wt dan tanpa annealing ............ Kurva karakteristik arus(I)-tegangan(V) sel A1 dan A2 ......................... Respon dinamik dan kestabilan tegangan sel A1, A2, A3 dan A4 terhadap cahaya ……………………………………………………… Respon dinamik dan kestabilan tegangan sel B1, B2, B3 dan B4 terhadap cahaya ……………………………………………………… Respon dinamik dan kestabilan tegangan sel C1, C2, C3 dan C4 terhadap cahaya ……………………………………………………… Respon dinamik dan kestabilan tegangan sel D1, D2, D3 dan D4 terhadap cahaya ………………………………………………………
47
51 51 52 53
xiii
DAFTAR TABEL Halaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Celah energi pada berbagai semikonduktor …………………………. Konduktifitas polimer P3HT-kitosan berdasarkan frekuensi yang diberikan ……………………………………………………………... Gap energi CdS berdasarkan temperatur annealing …………………… Gap energi CdS berdasarkan jumlah doping Boron dan temperatur annealing ……………………………………………………………… Kode film tipis CdS yang diXRD ……………………………………… Ukuran kristal CdS tanpa doping dan doping Boron 4%, 6% dan 8% wt ……. …………………………………………………………… Tegangan rangkaian terbuka (V oc ) dan konstanta waktu tiap sel CdS/P3HT-kitosan ……………………………………………………..
7 30 35 38 40 44 53
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Data JPDS No.80-0006 : Cadmium Sulfida fase heksagonal ………… Data JPDS No.80-0019 : Cadmium Sulfida fase kubik ..………….. Data konduktansi dan impedansi P3HT-Kitosan …………………. Perhitungan konduktifitas P3HT-Kitosan ……………………………… Cara perhitungan konstanta waktu (τ) …………………………….. … Perhitungan konstanta waktu sel A1, A2, A3 dan A4 …………………… Perhitungan konstanta waktu sel B1, B2, B3 dan B4…………………… Perhitungan konstanta waktu sel C1, C2, C3 dan C4…………………… Perhitungan konstanta waktu sel D1, D2, D3 dan D4…………………… Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ………………………
63 64 65 67 68 69 71 73 75 77
xv
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Listrik merupakan sumber energi yang memberikan kontribusi yang paling besar dalam peningkatan kualitas hidup manusia di muka bumi. Pertambahan jumlah penduduk
yang
diiringi
oleh
kemajuan
teknologi
yang
terus
meningkat
mengakibatkan kebutuhan energi listrik juga terus mengalami peningkatan. Sementara itu, energi listrik hasil konversi sumber energi konvensional dari bahan bakar fosil seperti minyak bumi ketersediaannya semakin menipis dan suatu saat akan habis. Jika hal ini tidak diantisipasi lebih dini, ancaman krisis energi dapat terjadi dalam waktu yang tidak lama lagi. Oleh karena itu, manusia kemudian berupaya menemukan sumber-sumber energi alternatif sebagai pengganti sumber energi dari bahan bakar fosil. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengoptimalkan pemanfaatan sumber-sumber energi non-konvensional seperti energi radiasi matahari. Sekitar 4 x 1020 J/det energi diemisikan sebagai radiasi elektromagnetik dalam daerah spektral dengan intensitas radiasi dalam ruang bebas pada jarak rata-rata bumi dari matahari sebesar 1353 W/m2. Selain pemanfaatannya secara langsung energi radiasi matahari dapat dikonversi menjadi energi listrik melalui mekanisme fotovoltaik pada suatu alat yang disebut sel surya (solar cell). Proses konversi energi matahari ini menjadi energi listrik melalui proses fotovoltaik tidak mencemari lingkungan, berlimpah, dan merupakan sumber energi yang terbaharui. Suplai energi surya dari sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi, luar biasa besarnya yaitu mencapai 3 x 1024 joule pertahun. Jumlah energi sebesar itu setara dengan 10.000 kali konsumsi energi di seluruh dunia saat ini. Dengan kata lain, dengan menutup 0,1% saja permukaan bumi dengan divais sel surya yang memiliki efisiensi 10% sudah mampu untuk menutupi kebutuhan energi di seluruh dunia saat ini (Gretzel 2003). Teknologi konversi energi matahari menjadi energi listrik menggunakan piranti sel surya yang didasari pada persambungan bahan-bahan semikonduktor. Teknologi piranti sel surya mengalami perkembangan yang sangat pesat sejak
2
beberapa dekade terakhir dan telah dimanfaatkan untuk penerangan, transportasi dan sumber daya listrik pada berbagai peralatan elektronik. Modul sel surya yang telah digunakan secara komersial adalah sel surya berbasis silikon dengan efisiensi konversi sekitar 20%. Namun demikian sel surya berbasis silikon masih relatif mahal, khususnya dalam hal teknologi produksinya sehingga belum terjangkau oleh masyarakat umum. Mahalnya teknologi ini diakibatkan beberapa faktor, yang terutama adalah mahalnya penyediaan bahan dasar silikon dan metode pabrikasinya yang masih menggunakan teknologi tinggi berbiaya tinggi sehingga biaya produksi massal masih sangat tinggi. Untuk itu, dibutuhkan cara baru dalam pembuatan sel surya dalam jumlah banyak dan biaya yang rendah. Perkembangan teknologi dalam hal pembuatan piranti yang dapat menjadi sumber energi yang bersih merupakan isu yang sedang dikembangkan dalam hal ekonomi dan lingkungan. Oleh karena itu, pada abad ke-21 ini, teknologi dikembangkan untuk memperoleh sumber energi yang didasarkan pada sumber energi yang tidak dapat diperbaharui diubah menjadi sumber energi baru (Polo et al. 2006). Saat ini penelitian sel surya sangat intensif dilakukan dengan material dan struktur yang sangat bervariasi. Berbagai jenis material semikonduktor diuji karakteristiknya untuk mendapatkan karakter yang sesuai untuk aplikasi sel surya, diantaranya adalah bahan organik. Di lain pihak, pengembangan metode-metode sederhana dalam pabrikasi sel surya banyak dilakukan untuk menekan biaya produksinya. Banyak teknologi pembuatan sel surya yang telah berkembang saat ini termasuk sel surya nanokristalin tersensitasi dye, sel surya fotoelektrokimia, polymer/fullerene bulk heterojunction, small molecule thin films dan sel surya hybrid organik–inorganik. Sel surya hybrid merupakan sel surya yang terdiri atas bahan organik dan inorganik. Bahan organik yang digunakan adalah poli3-heksiltiophene-kitosan sebagai lapisan aktif penyerap (absorber) cahaya. Sedangkan bahan inorganik yang digunakan adalah CdS sebagai lapisan jendela (window layer). CdS digunakan karena bahan pembuatannya yang mudah diperoleh, murah, tidak beracun dan proses
3
pembuatannya relatif mudah. Metode yang digunakan dalam konstruksi sel surya merupakan metode yang relatif sederhana dan murah dalam pembuatan film tipis semikonduktor, yaitu metode CBD (Chemical Bath Deposition) untuk preparasi lapisan tipis CdS dan metode drop coating untuk deposisi lapisan P3HT-kitosan. Sel surya dengan kelebihan yang dimilikinya mampu mengungguli pembangkit listrik konvensional dalam hal kebersihan dan efisiensi. Biaya yang dibutuhkan dalam pengembangan dan pembuatan sel surya juga tidak sebanyak yang dibutuhkan dalam pengembangan sumber energi lain misalnya nuklir. Keunggulan inilah yang menarik para ilmuwan untuk terus mengembangkan sel surya.
1.2 Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini dikembangkan sistem sel surya film tipis hibrid berbasis bahan organik-inorganik yang murah. Demikian juga metode yang digunakan cukup sederhana yang tidak memerlukan peralatan rumit dan canggih sehingga biaya produksinya lebih murah. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek fotofoltaik pada persambungan CdS/Poly3-heksilthiophene-kitosan.
1.3 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain sebagai berikut : 1.
Memberikan informasi tentang pengaruh doping dan temperatur annealing lapisan CdS terhadap efek fotovoltaik pada persambungan CdS/P3HT-kitosan.
2.
Sebagai bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya baik yang sifatnya mengkaji ulang maupun untuk pengembangan lebih lanjut.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Semikonduktor Material zat padat dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian utama yaitu isolator, semikonduktor dan konduktor. Isolator memiliki konduktivitas yang rendah yang berkisar antara 10-18 sampai 10-8 S/cm sedang konduktor seperti aluminium dan perak memiliki konduktivitas yang tinggi yang berkisar antara 105 sampai 107 S/cm. Bahan semikonduktor memiliki konduktivitas antara isolator dan konduktor. Konduktivitas dari bahan semikonduktor secara umum peka terhadap temperatur, iluminasi, medan magnet, dan jumlah partikel pengotor (impuritas). Kepekaan bahan semikonduktor ini menyebabkan bahan ini banyak digunakan dalam aplikasi fisika. Studi tentang semikonduktor dimulai pada abad ke-19. Setiap atom memiliki elektron. Elektron mengorbit di dalam atom dengan tingkatan energi tertentu. Kulit-kulit yang ada pada atom menunjukkan tingkatan energi elektron. Elektron pada atom tunggal menempati orbital atom. Orbital atom elektron akan membelah ketika atom-atom mengumpul saling berdekatan. Mengumpulnya atom-atom tersebut menyebabkan jumlah orbital atom menjadi besar dan perbedaan energi di antara orbital atom tersebut mengecil sehingga akan terbentuk pita energi. Konsep pita energi sangat penting dalam mengelompokkan material sebagai konduktor, semikonduktor dan isolator. Besarnya lebar celah energi dapat menentukan apakah suatu material termasuk konduktor, semikonduktor atau isolator. Celah energi memisahkan pita valensi dengan pita konduksi. Elektron pada pita valensi dapat loncat menuju pita konduksi dengan cara menyerap sejumlah energi yang melebihi celah energi. Celah energi masing-masing material ditunjukkan pada Gambar 1 (Goetzberger 1998). Semikonduktor adalah bahan yang memiliki konduktivitas listrik diantara konduktor dan isolator. Resistivitas semikonduktor berkisar di antara 10-6 sampai 104 ohm-m. Pada semikonduktor, terdapat pita energi yang memperbolehkan keberadaan elektron, yaitu pita valensi berenergi rendah yang terisi penuh oleh elektron dan pita konduksi yang berenergi tinggi yang kosong.
6
Gambar 1
Pita energi bahan (a) isolator, (b) semikonduktor dan (c) konduktor
Celah energi yang memisahkan kedua pita tersebut yaitu pita terlarang atau disebut
juga
sebagai
bandgap
(E g ).
Salah
satu
karakteristik
penting
semikonduktor adalah memiliki celah energi yang relatif kecil yaitu berkisar antara 0,2-2,5 eV. Energi celah pita yang kecil ini memungkinkan suatu elektron memasuki level energi yang lebih tinggi. Perpindahan elektron ini dapat terjadi karena pengaruh suhu dan penyinaran (Gambar 2) (Wijaya 2007).
Gambar 2 Pada pita valensi, elektron menyerap foton (hν) dan pindah ke pita konduksi meninggalkan hole Ketika semikonduktor diradiasi dengan cahaya yang energinya lebih besar dari energi gap semikonduktor (hν ≥ E g ), elektron dari pita valensi dapat tereksitasi ke pita konduksi. Elektron yang melompat dari pita valensi ke pita konduksi disebut pembawa muatan negatif, sedangkan lubang (hole) pada pita valensi merupakan pembawa muatan positif.
7
Jika jalur terlarang sempit, elektron bebas mudah dibangkitkan hanya dengan energi kecil. Bila lebar, maka elektron bebas jarang dibangkitkan seperti halnya pada isolator. Celah energi untuk beberapa semikondutor dapat dilihat pada Tabel 2.1. Dari daftar ini terbukti bahwa intan merupakan isolator yang paling baik karena celah energinya 6 eV. InSb dan semacamnya mempunyai kondukivitas yang besar pada temperatur kamar karena celah energinya kecil.
Tabel 1
Celah Energi Pada Berbagai Semikonduktor Semikonduktor Si Ge GaAs GaSb InSb CdTe CdS ZnO Intan
Celah energi (eV) pada suhu 300 K 1,11 0,67 1,39 0,67 0,17 1,45 2,45 3,2 6
(Rio 1999) Hanya sedikit bahan yang disebut sebagai semikonduktor dalam keadaan tidak murni. Oleh karena itu, dalam pembuatannya semikonduktor yang murni dicampurkan dengan bahan lain. Bahan ini disebut sebagai bahan pengotor atau dopan. Semikonduktor yang tidak dikotori oleh bahan lain disebut semikonduktor intrinsik, sedangkan yang diberi pengotor disebut semikonduktor ekstrinsik (Soga 2006). Semikonduktor ekstrinsik terdiri dari dua tipe yaitu tipe-n dan tipe-p (Gambar 3). Atom-atom yang dapat dijadikan impuritas (pengotor) berasal dari atom golongan IIIA dan VA dalam sistem periodik unsur. Penambahan impuritas dari golongan VA (atom pentavalen) ke dalam semikonduktor intrinsik akan menghasilkan semikonduktor tipe-n. Semikonduktor tipe-n dapat dibuat dengan menambahkan sejumlah kecil atom pengotor yaitu atom pentavalen seperti antimoni (Sb), fosfor (P) atau arsenik (As) pada silikon murni. Atom-atom pengotor ini memiliki lima elektron valensi sehingga secara efektif memiliki muatan sebesar +5q. Saat sebuah atom pentavalen menempati posisi atom silikon dalam kisi kristal maka hanya ada empat elektron valensi yang dapat membentuk ikatan kovalen lengkap dan tersisa satu elektron yang tidak berpasangan (Gambar
8
3a). Karena hasil penggabungan silikon dengan atom pentavalen menghasilkan satu elektron yang tidak berpasangan, maka atom pentavalen disebut atom donor. Penambahan atom donor ini akan mengubah keadaan energi Fermi mendekat di bawah pita konduksi (Gambar 3b). Semikonduktor jenis ini atom pengotornya memiliki kelebihan elektron (atom donor), hal ini menyebabkan kelebihan elektron di dalam kristal sehingga semikonduktor bermuatan negatif.
Gambar 3 a) Struktur kristal silikon dengan sebuah atom pengotor valensi lima menggantikan posisi salah satu atom silikon dan b) struktur pita energi semikonduktor tipe-n (Sze dan Kwok 2007) Penambahan impuritas dari golongan IIIA ke dalam semikonduktor intrinsik akan menghasilkan semikonduktor tipe-p. Semikonduktor tipe-p dapat dibuat dengan menambahkan atom trivalen (Aluminium (Al), Boron (B), Galium (Ga) atau Indium (In)) pada semikonduktor murni. Atom pengotor ini mempunyai tiga elektron valensi sehingga secara efektif hanya dapat membentuk tiga ikatan kovalen. Saat sebuah atom trivalen menempati posisi atom silikon dalam kisi kristal maka hanya ada empat elektron valensi yang dapat membentuk ikatan kovalen lengkap dan tersisa satu elektron yang tidak berpasangan (Gambar 4a). Karena hasil penggabungan silikon dengan atom trivalen menghasilkan satu elektron yang tidak berpasangan, maka atom trivalen disebut atom aseptor. Penambahan atom aseptor ini akan mengubah keadaan energi Fermi mendekat di atas pita valensi (Gambar 4b). Semikonduktor tipe-p memiliki lubang (hole) sebagai pembawa muatan mayoritas. Semikonduktor jenis ini atom pengotornya kekurangan elektron, hal ini menyebabkan kekosongan di dalam kristal sehingga semikonduktor bermuatan positif (Soga 2006).
9
Gambar 4 a) Struktur kristal silikon dengan sebuah atom pengotor valensi tiga menggantikan posisi salah satu atom silikon dan b) struktur pita energi semikonduktor tipe-p (Sze dan Kwok 2007) Jika disinari cahaya, bahan semikonduktor akan mengalami efek fotovoltaik, yaitu penyerapan energi cahaya sehingga membangkitkan elektron untuk tereksitasi ke pita konduksi dan menghasilkan arus listrik. Dari sifatnya tersebut maka bahan semikonduktor ini banyak digunakan sebagai bahan dasar untuk berbagai macam piranti optoelektronik diantaranya fotodioda dan sel surya. Peristiwa hantaran listrik pada semikonduktor adalah akibat adanya dua partikel masing-masing bermuatan positif dan negatif yang bergerak dengan arah yang berlawanan akibat adanya pengaruh medan listrik.
2.2 Cadmium Sulfida (CdS) Selain silikon, yang merupakan bahan semikonduktor yang paling sering digunakan untuk aplikasi sel surya, banyak bahan semikonduktor lain yang sedang dikembangkan saat ini. Diantaranya bahan semikonduktor yang banyak dikembangkan sebagai sel surya adalah senyawa II-IV dan I-III-VI. Beberapa tahun terakhir, terjadi perkembangan yang sangat pesat dalam pengembangan semikonduktor II-IV yang digunakan pada sel surya. CdS merupakan bahan semikonduktor logam chalcogenide (II-IV) yang memiliki celah energi sebesar 2,45 eV, indeks bias 2,5 dan termasuk semikonduktor tipe-n. CdS secara luas digunakan untuk sel surya heterojunction CdS/CdTe dan CdS/Cu 2 S. Hal ini disebabkan karena CdS memiliki energi bandgap menengah,
efisiensi
konversinya cocok digunakan sebagai bahan sel surya, stabilitas dan biaya
10
produksinya rendah. Cadmium sulfida (CdS) sangat berguna dalam hal optoelektronika, piezo-elektronika, dan bahan semikonduktor. Film tipis CdS sangat menarik terutama masalah efisiensi pengunaannya dalam pembuatan sel surya (Patidar et al. 2004 dan Devi 2007) Penelitian tentang sifat fisika film CdS merupakan hal yang menarik. Film tipis CdS juga menarik jika digunakan untuk meningkatkan efisiensi sel surya. Beberapa tahun terakhir, banyak bahan semikonduktor subgroup II–VI digunakan sebagai bahan pembuatan sel surya. Ada beberapa teknik pendeposisian yang digunakan untuk menumbuhkan lapian CdS sehingga sifat optik, listrik dan strukturnya sesuai dengan yang diinginkan. Beberapa diantaranya menggunakan pendeposisian secara kimia, physical vapour deposition, spray pyrolysis (Hiie et al. 2006), electro deposition, chemical bath deposition (Hiie et al. 2006, Khallaf et al. 2008 dan 2009, Zhou et al. 2008, Cetinorgu et al. 2006, Metin et al. 2008), teknik brush plating (Murali et al. 2007), hidrotermal (Jinxin et al. 2007) dan lainlain. Dari semua teknik di atas, Chemical Bath Deposition (CBD) merupakan teknik yang biasanya digunakan untuk menumbuhkan film tipis CdS. Teknik CBD memiliki banyak keuntungan seperti sederhana, tidak membutuhkan peralatan yang canggih, bahan yang terbuang sedikit, merupakan cara yang ekonomis teknik pendeposisian pada area yang luas untuk semikonduktor golongan II–VI seperti CdS, dan tidak menghasilkan gas yang beracun (Cetinorgu et al. 2006). Metode CBD merupakan proses yang lambat, sehingga orientasi kristalnya dapat diatur dengan peningkatan struktur bulirnya. Film CdS yang ditumbuhkan dengan metode CBD memiliki stoikiometri yang tinggi dan resistansi dark yang tinggi. Teknik deposisi yang digunakan untuk menumbuhkan CdS telah banyak dilakukan dengan metode yang beragam. Penggunaan setiap metode ini akan mempengaruhi sifat optik, listrik dan struktur CdS yang dihasilkan. Menurut beberapa literatur, struktur film tipis CdS yang dibuat dengan menggunakan metode CBD dapat bermacam-macam tergantung pada kondisi deposisi. Strukturnya dapat berbentuk kubik, hexagonal atau campuran kedua fasa tersebut (Haider et al. 2008 dan Malinowska et al. 2005). Selain itu, banyak peneliti mencatat bahwa terjadi pengotoran oleh oksigen dan nitrogen pada film tipis CdS
11
jika menggunakan metode penumbuhan dengan CBD. Selain itu, penggunaan complexing agent juga dapat mempengaruhi sifat fisis CdS. Penambahan complexing agent ammonium dapat memperbesar jumlah cadmium sulfida yang terbentuk dibanding molekul pengotor lainnya (Malinowska et al. 2005). Suhu annealing mempengaruhi ukuran kristal, sifat optik dan sifat listrik film CdS. Jika film CdS dianneling pada suhu kamar atau pada suhu rendah maka akan terdapat molekul pengotor lain yang terbentuk seperti Cadmium sianida (CdSN) (Gambar 5) (Haider 2008). K.R. Murali et al. (2007) menunjukkan bahwa ukuran kristal CdS meningkat jika CdS dideposisi pada suhu yang semakin tinggi. Karena ukuran kristalnya berbeda, maka energi gapnyapun berbeda (Gambar 6). Doping CdS dengan unsur pada golongan IIIA seperti aluminum, indium, boron, dan galium dapat dilakukan untuk mengubah sifat listrik dan gap energi CdS. Pola difraksi XRD yang diperoleh ketika CdS didoping Boron tidak terlihat adanya puncak baru yang menunjukkan bahwa ion B3+ tidak mengubah kristal CdS. Semakin besar perbandingan konsentrasi Galium dan Cadmium maka energi gap CdSpun berubah. Ion Ga3+ mungkin malah menggantikan ion Cd2+. Hasil foto SEM menunjukkan morfologi CdS doping Galium tidak mengalami perubahan (Khallaf et al. 2009). Selain itu pula dilakukan doping dengan unsur golongan IIIA lainnya yaitu Boron dan diperoleh hasil yang sama (Khallaf et al. 2009).
Gambar 5 Difraksi sinar X film CdS pada suhu anneling yang berbeda (Murali et al. 2007)
12
Gambar 6
Energi gap film CdS doping Galium sebagi fungsi perbandingan [Ga]/[Cd] (Khallaf et al. 2009)
2.3 Polytiophene
Polimer tiophene relatif stabil di udara bebas maupun di lingkungan air dan memiliki mobilitas hole yang tinggi (Lin 2005). Polythiophene dapat dibuat dari monomer 3-methylthiophene secara klasik maupun elektrokimia. Thiophene merupakan salah satu polimer konduktif jenis aromatik heterocylic yang hampir mirip dengan pyrrole. Rumus kimianya adalah C 4 H 4 S, dimana sulfur merupakan heteroatom. Polimer poly3-heksiltiophene merupakan turunan dari polytiophene. Struktur polimer poly3-heksiltiophene ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 7 Struktur polimer poly3-heksilthiophene (Ge 2009)
13
2.4 Kitosan
Kitosan merupakan bahan dasar suatu polielektrolit yang mengandung gugus amina dan gugus hidroksil, yang banyak digunakan sebagai bahan molekul transpor aktif suatu anion dalam larutan. Kitosan memiliki sifat mudah terdegradasi, biokompetibel dan tidak beracun. Sifat-sifat kitosan dihubungkan dengan adanya gugus amina dan kardoksil yang terikat. Adanya gugus tersebut menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas kimia yang baik dan penyumbang sifat elektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai amino exchange. Gambar 8 menunjukkan struktur kitosan.
Gambar 8
Struktur Kitosan (Hirano 2000)
2.5 Sel Surya
Pada sekitar akhir abad 19, aliran listrik surya diketemukan oleh ahli fisika Jerman bernama Alexandre Edmond Becquerel secara kebetulan dimana berkas sinar matahari jatuh pada larutan elektro kimia bahan penelitian, sehingga muatan elektron pada larutan meningkat. Pada awal abad 20, Albert Einstein menamakan penemuan ini dengan ‘photoelectric effect’, yang kemudian menjadi pengertian dasar pada ‘photovoltaic effect’, dimana selempeng metal melepaskan ‘photon’ partikel energi cahaya ketika terkena sinar matahari. Gelombang cahaya sinar lembayung (ultraviolet) adalah sinar yang bermuatan energi foton tinggi dan panjang gelombangnya pendek, sedangkan sinar merah (infrared) adalah sinar yang bermuatan energi foton rendah dan dalam bentuk gelombang panjang. Sekitar tahun 1930, ditemukan konsep ‘Quantum Mechanics’ untuk menciptakan teknologi baru “solid-state”, dimana perusahaan Bell Telephone Research Laboratories menciptakan sel surya padat yang pertama.
14
Tahun 1950 - 1960, teknologi disain dan efisiensi sel surya terus berlanjut dan diaplikasikan ke pesawat ruang angkasa (photovoltaic energies). Tahun 1970-an, dunia menggalakkan sumber energi alternatif yang terbarukan dan ramah lingkungan, maka PV mulai diaplikasikan ke ‘low power warning systems’ dan ‘offshore buoys’ (tetapi produksi PV tidak dapat banyak karena masih “handmade”). Baru pada tahun 1980-an, perusahaan-perusahaan PV bergabung dengan instansi energi pemerintah agar dapat lebih memproduksi PV sel dalam jumlah besar, sehingga harga sel surya dapat serendah mungkin. Sel surya diproduksi dari bahan semikonduktor yaitu silikon berperan sebagai isolator pada temperatur rendah dan sebagai konduktor bila ada energi dan panas. Sebuah silikon sel surya adalah sebuah diode yang terbentuk dari lapisan atas silikon tipe n (silicon doping of ‘phosphorous’), dan lapisan bawah silikon tipe p (silicon doping of ’boron’) seperti Gambar 9.
Gambar 9
Diagram sebuah potongan Sel Surya (PV sel) (http://rhazio.files.wordpress.com/2007/09/sry2.jpg)
Elektron-elektron bebas terbentuk dari jutaan foton atau benturan atom pada lapisan penghubung (junction = 0.2-0.5 micron4) yang menyebabkan terjadinya aliran listrik. Pengembangan
sel
surya
semakin
banyak
menggunakan
bahan
semikonduktor yang bervariasi dan silikon yang secara individu (chip) banyak digunakan, diantaranya : a. Mono-crystalline (Si), dibuat dari silikon kristal tunggal yang didapat dari peleburan silikon dalam bentukan bujur. Sekarang mono-crystalline dapat dibuat setebal 200 mikron, dengan nilai efisiensi sekitar 24%.
15
b. Polycrystalline/Multi-crystalline (Si), dibuat dari peleburan silikon dalam tungku keramik, kemudian pendinginan perlahan untuk mendapatkan bahan campuran silikon yang akan timbul di atas lapisan silikon. Sel ini kurang efektif dibanding dengan sel mono-crystalline (efektivitas 18%), tetapi biaya pembuatannya lebih murah. c. Gallium Arsenide (GaAs). Galium Arsenide pada unsur periodik III-V berbahan semikonduktor ini sangat efisien dan efektif dalam menghasilkan energi listrik sekitar 25%. Banyak digunakan pada aplikasi pemakaian sel surya (Rahardjo 2008). Sampai saat ini modul sel surya komersial memiliki efisiensi berkisar antara 5 hingga 15 persen tergantung material penyusunnya. Tipe silikon kristal merupakan jenis piranti sel surya yang memiliki efisiensi tinggi meskipun biaya pembuatannya relatif lebih mahal dibandingkan sel surya jenis lainnya. Tipe modul sel surya inilah yang banyak beredar di pasaran. Sebenarnya ada produk sel surya yang efisiensinya bisa mencapai 40%, namun belum dijual secara massal. Prestasi ini dicapai oleh DoE yang sudah mengembangkannya sejak awal tahun 1980. Pencapaian efisiensi hingga 40% tersebut dilakukan dengan mengkonsentrasikan cahaya matahari. Teknologi ini menggunakan konsentrator optik yang mampu meningkatkan intensitas cahaya matahari sehingga konversi listriknya pun juga meningkat. Sedangkan pada umumnya teknologi sel surya hanya mengandalkan cahaya matahari alami atau dikenal dengan "one sun insolation" yang hanya mampu menghasilkan efisiensi 12 hingga 18 persen (Suhono 2009).
2.4.1 Sel Surya Persambungan Semikonduktor p-n (Solid State p-n Junction) Ketika bahan semikonduktor diiluminasi cahaya (misalkan dari cahaya matahari)
dengan
energi
yang
lebih
besar
daripada
energi
bandgap
semikonduktor, maka akan terjadi eksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi (Hummel 2001). Dengan kata lain terbentuk pasangan hole-elektron karena elektron meninggalkan hole di pita valensi (Gambar 10). Cahaya (foton) yang jatuh pada permukaan sel surya akan diserap dan dikonversikan menjadi energi listrik. Tetapi tidak semua energi foton yang diserap
16
dikonversikan menjadi energi listrik. Hanya foton yang mempunyai energi foton cukup (hν>E g ) untuk mengatasi celah energi yang dapat dikonversikan. Dalam pertidaksamaan di atas h adalah konstanta Planck (6,626 x 10-34 J.s.), ν adalah frekuensi foton (Hz) dan E g adalah energi celah energi (eV). Semakin tinggi intensitas cahaya dengan energi foton hν > E g , maka semakin banyak jumlah foton yang diterima sel surya, sehingga jumlah pasangan elektron dan hole yang dibangkitkan semakin besar. Karena pengaruh medan listrik ( ε ) maka pembawa muatan bebas (elektron dan hole) yang terdapat di daerah lapisan deplesi akan mendapat gaya listrik sebesar F = qε
(1)
dimana q adalah muatan elektron atau hole (Yani 2008). Ketika persambungan dihubung singkat (short-circuit) maka pemisahan muatan yang terjadi menyebabkan timbulnya arus pada kawat penghubung (disebut arus hubung singkat, Isc pada Gambar 11a). Ketika kawat penghubung dibuka (open circuit), maka hole akan bergerak dari daerah deplesi menuju sisi p, demikian pula elektron bergerak menuju sisi n menghasilkan perbedaan potensial antara kedua sisi (disebut tegangan open circuit, V oc pada Gambar 11b). Karakteristik arus-tegangan persambungan p-n setelah diiluminasi cahaya didapatkan pada persamaan (4) dikurangi rapat arus short-circuit.
Gambar 10 Semikonduktor yang diiluminasi cahaya dengan energi foton yang lebih besar daripada bandgap semikonduktor (Soga 2006)
17
Gambar 11 Diagram energi pada persambungan p-n ketika diiluminasi cahaya dengan energi foton (hν) yang lebih besar dari bandgap (a) ketika dihubung singkat (short circuit) dan (b) ketika hubung singkat dibuka (open circuit) (Soga 2006) sebagai berikut:
(
)
J = J o e qV / nkT − 1 − J SC
(2)
Jika diasumsikan luas permukaan sel surya adalah satu satuan luas, maka karakteristik arus-tegangan dapat dinyatakan oleh persamaan berikut :
(
)
I = I o e qV / nkT − 1 − I SC
(3)
Ketika dihubung-buka (open circuit), arus yang mengalir I = 0 , sehingga tegangan open circuit bisa dinyatakan sebagai VOC =
nkT I SC ln + 1 q IO
(4)
Pemanfaatan persambungan semikonduktor seperti ini menghasilkan perubahan energi dari energi foton cahaya menjadi energi listrik secara langsung. Sehingga persambungan ini disebut juga sel photovoltaic atau lebih sering disebut sebagai sel surya (solar cell). Karena kedua tipe semikonduktor yang digunakan umumnya zat padat, maka sel surya yang dibuat dari persambungan p-n sering pula disebut sebagai solid-state solar cell. Dan karena telah banyak diaplikasikan, sel surya jenis ini sering juga disebut sel surya konvensional untuk membedakannya dengan jenis sel surya baru yang memiliki prinsip kerja yang berbeda (Fonash 2010).
18
2.5.2 Sel Surya Hibrid
Transpor muatan pada semikonduktor organik bergantung pada kemampuan pembawa muatan untuk melintas dari satu molekul ke molekul lain. Loncatan muatan pembawa dari satu molekul ke molekul lain ditentukan oleh celah energi antara tingkat energi HOMO (high occupied molecule orbital) dan LUMO (lowest unoccupied molecule orbital). Gambar 12 menunjukkan tingkat energi HOMO dan LUMO pada semikonduktor organik. Transpor muatan pada semikonduktor organik lebih ditentukan oleh orbit ikatan π daripada orbit ikatan σ. Hal ini terjadi karena energi eksitasi yang dibutuhkan oleh elektron pada orbital π menuju orbital π* yang lebih kecil dibandingkan dengan elektron yang berada pada orbital ikatan σ. Bahan semikonduktor organik yang digunakan sebagai lapisan aktif sel surya dapat berbentuk molekul atau polimer konjugat.
Gambar 12 Level energi molekul konjugat-π (eksitasi elektron dari orbital π ke π*) Penemuan penting untuk menemukan sel surya organik dengan efisiensi tinggi yaitu dengan menciptakan sel surya heterojunction dimana material organik menerima elektron dan hole yang lebih banyak jika dibandingkan piranti tunggal saja yang menunjukkkan nilai efisiensi yang lebih baik. Dengan menggunakan heterojunction, eksiton
(ikatan pasangan elektron-hole) yang mengalami
fotogenerasi pada polimer dapat secara efisien dipisahkan menjadi pembawa muatan pada interface, sedangkan pada piranti tunggal banyak elektron yang
19
mengalami rekombinasi dalam waktu singkat. Pemisahan muatan terjadi pada interface antara molekul donor dan aseptor, yang dimediasi oleh penurunan potensial yang besar. Setelah terjadi foto-eksitasi elektron dari HOMO ke LUMO, elektron dapat melompat dari LUMO donor (bahan dengan LUMO yang tinggi) ke LUMO aseptor jika terdapat perbedaan potensial ΔΦ antara potensial ionisasi donor dan afinitas elektron aseptor yang lebih besar dari energi ikat eksiton (Gambar 13). Proses ini disebut sebagai transfer muatan terfotoinduksi, dapat mempermudah mobilitas muatan bebas jika hole tertinggal pada donor karena tingkat HOMOnya yang lebih besar. Sebaliknya, jika HOMO aseptor lebih besar, transfer eksiton sepenuhnya terjadi pada bahan dengan bandgap kecil yang disertai dengan kehilangan energi. Pemisahan eksiton yang efisien pada heterojunction, bahan donor dan aseptor sangat berhubungan. Skala jarak optimum berhubungan dengan panjang difusi eksiton, besarnya sekitar dalam skala nanometer. Selain itu, ketebalan lapisan aktif harus sebanding dengan panjang penetrasi cahaya dimana pada semikonduktor organik, nilainya berkisar antara 80–200 nm (Kietzke 2007).
Gambar 13
Interface antara dua semikonduktor polimer yang berbeda (D = donor, A = aseptor) yang dapat memfasilitasi transfer muatan oleh pemisahan eksiton atau transfer energi, dimana semua eksiton ditransfer dari donor ke aseptor (Keitzke 2007)
Bahan organik yang dikonjugasikan dengan polimer menujukkan suatu sifat optoelektronik semikonduktor seperti sifat mekanik dan manfaat yang diharapkan pada bahan polimer. Diantara berbagai jenis sel surya organik, sel surya organikinorganik merupakan jenis yang sangat menjanjikan dimana tidak hanya memiliki area interface yang luas dimana eksiton, ikatan antara pasangan elektron-hole,
20
yang dapat dipisahkan secara efektif tetapi juga memiliki dua saluran yang terpisah untuk transport elekron dan hole, yaitu masing-masing semikonduktor nanorod dan lapisan polimer (Yang et al. 2006). Kajian tentang sel surya hibrid organik-inorganik heterojunction diawali dengan fotovoltaik organik berbasis molekul-molekul kecil, kemudian diikuti oleh sel fotovoltaik berbasis polimer. Lu et al. (2009) membuat sel surya hibrid dengan menyambungkan CdS dengan polimer poly3-octylthiophene (P3OT) yang merupakan turunan dari polythiophene dan diperoleh efisiensi konversi sebesar 0,015 % dengan intensitas penyinaran 100 mW/cm2. Dari penelitian ini diperoleh rapat arus short circuit yang kecil yang diakibatkan oleh P3OT yang tebal dan mobilitas pembawa muatannya yang rendah. Ketebalan lapisan P3OT ternyata sangat mempengaruhi besarnya I SC dan V OC . Doping bahan HgCl 2 pada CdS mengubah energi gap CdS dan meningkatkan konduktifitas listrik lapisan tipis (Salinas et al. 2006). Aktifitas fotofoltaik pada persambungan dua semikonduktor organik tipe-n dan semikonduktor anorganik tipe-p telah dilakukan oleh banyak peneliti. S.A. Mohammad (2007) telah meneliti efek fotofoltaik pada persambungan ZnTe dan polimer konduktif (PEO/polyethilene oxide-kitosan). Di dalam polimer itu ditambahkan larutan NH 4 I sebagai elektrolit. Penambahan konsentrasi NH 4 I yang beragam menunjukkan efek fotofoltaik yang beragam pula. Dimana semakin besar konsentrasi NH 4 I yang ditambahkan maka semakin besar I sc dan V oc yang dihasilkan. Hal ini terjadi karena elektrolit berfungsi sebagai aseptor elektron yang bertanggung jawab terhadap terjadinya reaksi redoks dalam polimer.
21
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2010 - Juni 2011 di Laboratorium Biofisika dan Laboratorium Fisika Lanjut, Departemen Fisika IPB. Karakterisasi XRD dan SEM dilakukan di Litbang Kehutanan, Bogor.
3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah hot plate, magnetic stirrer, stirrer, pipet, tabung reaksi, gelas kimia, furnace, spektroskopi UV-Vis, LCR Meter model HIOKI 3522-50 HiTESTER, Interface Scientific Workshop 750 (PASCO), Photometer PMA2200, lampu MHF M1102, SEM Zeiss EVO-50, Shimadzu XRD7000 MAXIMA, gelas ukur dan neraca analitik sedangkan bahan yang digunakan adalah kaca TCO, cadmium klorida (CdCl 2 ), thiourea (CS(NH 2 ) 2 ), TEA, polietilenglikol (PEG), asam borat (H 3 BO 3 ), kitosan, poly3-heksiltiophene (P3HT), amonium hidroksida (NH 4 OH), asam asetat, dan akuades.
3.3 Metode Pembuatan dan Karakterisasi 3.3.1 Pembuatan Lapisan Tipis CdS Lapisan tipis CdS (bahan semikonduktor tipe-p) dibuat dengan metode CBD (Chemical Bath Deposition). Dengan metode ini, film terdeposisi pada substrat dengan mencelupkan substrat ke dalam larutan yang mengandung ion-ion Cd2+ dan ion-ion sulfida S2- sambil dipanaskan serta diaduk. Metode pembuatan CdS ini diadopsi dari metode yang telah dilakukan oleh Eitssayeam et al. (2005) dengan memodifikasi beberapa hal seperti konsentrasi larutan dan waktu deposisi. Bahan-bahan yang digunakan adalah CdCl 2 sebagai sumber ion kadmuim (Cd2+), Thiourea sebagai sumber ion sulfur (S2-), larutan amonia sebagai agen
22
pengkompleks (complexing agent), air destilasi dan TEA sebagai stabiliser agar larutan tidak cepat mengendap. Skema metode CBD ditunjukkan pada Gambar 14, terdiri dari dua gelas piala dengan ukuran berbeda. Salah satunya berukuran kecil sehingga dapat dimasukkan ke dalam gelas yang lebih besar. Gelas yang kecil diisi larutan deposisi, kemudian dimasukkan ke dalam gelas lebih besar yang diisi air. Sebelumnya, pada dinding sebelah dalam gelas kecil ditempel beberapa substrat kaca dengan ukuran tertentu (misalnya 1 x 2 cm2). Selanjutnya, kedua gelas diletakkan di atas pemanas (hot plate) yang dilengkapi pengaduk magnetik (magnetic stirrer). Mula-mula dibuat larutan campuran 20 ml CdCl 2 (0,1 M) dengan 20 ml Thiourea (1 M) di dalam gelas piala 100 ml. Larutan tersebut diletakkan di atas hot plate dipanaskan pada suhu 30oC dan diputar pada kelajuan 300 rpm selama 30 menit. Sebanyak 10 mL NH 4 OH (0.1 M) dan 5 ml TEA ditambahkan ke dalam larutan campuran tersebut. Larutan campuran tersebut dipanaskan pada suhu 70 oC dan diputar pada kelajuan 300 rpm selama 2 jam. Optimasi suhu dan waktu perlu dilakukan untuk mengatur morfologi baik struktur, sifat dan ketebalan lapisan yang dihasilkan. Selain itu, dibuat pula CdS dengan doping boron dengan menambahkan 0,009; 0,018 dan 0,027 gram asam borat (H 3 BO 3 ). Selanjutnya dilakukan annealing terhadap film tipis CdS masing-masing pada suhu 200 oC, 300 oC dan 400 oC selama 1 jam.
23
Termometer
Air Larutan deposisi
Substrat
Stirrer
Hotplate Stirrer
Gambar 14 Skema deposisi CBD
3.3.2 Karakterisasi Lapisan Tipis CdS
Agar ketebalan film yang dihasilkan sesuai dengan yang diinginkan untuk membuat sel surya hybrid, maka perlu dilakukan optimasi dalam proses deposisi. Optimasi yang harus dilakukan pada kondisi deposisi, meliputi konsentrasi larutanlarutan yang digunakan, temperatur deposisi dan waktu deposisi. Sedangkan, waktu deposisi ditujukan untuk mendapatkan ketebalan lapisan CdS yang diinginkan. Sampel-sampel lapisan tipis CdS yang berhasil ditumbuhkan dengan metode CBD selanjutnya
dikarakterisasi
dengan
XRD dan
spektroskopi
UV-Vis.
Karakterisasi XRD dilakukan untuk memastikan CdS telah tumbuh pada substrat serta untuk mengetahui struktur kristal CdS. Pola-pola difraksi berupa puncak-puncak karakteristik orientasi kristal CdS, digunakan untuk menentukan parameter kisi dan ukuran kristal. Uji Spektroskopi UV-VIS ditujukan untuk mengetahui sifat optik lapisan CdS hingga dapat ditentukan nilai celah energinya. Selanjutnya diuji konduktansi dan resistansinya dengan menggunakan LCR Meter model HIOKI 352250 HiTESTER.
24
Sifat optik lapisan tipis CdS yang dibuat dengan metode CBD diukur pada temperatur ruang dengan menggunakan Spektrometer Ocean Optic 2000 dengan range panjang gelombang 200 -1000 nm. Analisis gap energi dilakukan secara manual dengan menggunakan kurva absorbansi sehingga dapat diketahui panjang gelombang terbesar yang diserap oleh bahan dengan menggunakan metode tepi absorbansi (absorbance edge). Dari data panjang gelombang itu dapat diketahui besarnya gap energi dengan menggunakan persamaan berikut: Eg =
hc
λ
(5)
dengan E g adalah gap energi (eV), h adalah konstanta Planck (6,63 x 10-34 Js), c adalah kecepatan cahaya di udara (3 x 108) dan λ adalah panjang gelombang (nm). Dimana 1 eV = 1,6 x 10-19 J.
3.3.3 Pembuatan Lapisan Tipis P3HT-Kitosan Larutan pertama dibuat dengan mencampurkan kitosan dan PEG masingmasing 2 gram ke dalam gelas piala di atas hot plate dan diaduk dengan kecepatan 480 rpm tanpa pemanasan selama 30 menit. Larutan yang terbentuk berwarna putih. Larutan kedua dibuat dengan mencampurkan 3 mg P3HT ke dalam 10 ml kloroform yang diaduk dengan kecepatan 400 rpm selama 10 menit. Larutan yang dihasilkan berwarna ungu. Setelah 10 menit, sebanyak 5 ml larutan tersebut dimasukkan ke dalam larutan pertama tanpa menghentikan pengadukan. Selanjutnya larutan kedua diuji spektrum serapannya dengan menggunakan Spektroskopi UV-Vis Ocean Optic Spectrofotometer. Untuk aplikasi sel surya, daerah serapan lapisan P3HT harus berada dalam rentang spektrum cahaya tampak. Selanjutnya lapisan tipis P3HTkitosan diuji konduktansi dan resistansinya dengan menggunakan LCR Meter model HIOKI 3522-50 HiTESTER.
25
3.3.4 Pembentukan Junction CdS/P3HT-Kitosan Lapisan tipis P3HT-kitosan (bahan semikonduktor organik tipe-p) yang dihasilkan dari proses sebelumnya selanjutnya dideposisi di atas permukaan lapisan CdS dengan metode drop casting. Setelah itu, di atas polimer tersebut dilapisi dengan ITO. CdS adalah bahan semikonduktor inorganik tipe-n, sedangkan P3HT-kitosan adalah bahan semikonduktor organik dengan tipe-p. Pada sistem sel surya Polythiophene/CdS, lapisan polythiophene sebagai lapisan aktif yang berfungsi menangkap energi cahaya (foton) sedangkan lapisan CdS sebagai lapisan jendela. Diharapkan kontak dua bahan dengan fasa berbeda (organik dan inorganik) ini akan membentuk persambungan (junction) semikonduktor yang sangat menentukan dalam aksi dioda sel surya. Pembentukan junction CdS/P3HT-kitosan ini dijelaskan berikut ini. Mula-mula lapisan tipis CdS dideposisikan pada substrat kaca ITO dengan metode CBD (Chemical Bath Deposition), kemudian lapisan tipis P3HT-kitosan dideposisikan di atas permukaan CdS dengan metode drop casting. Substrat kaca ITO disisakan sedikit (tanpa lapisan CdS/P3HT-kitosan) untuk tujuan kontak arus. Terakhir dilengkapi lapisan kontak di atas permukaan ITO dan di atas permukaan lapisan P3HT-kitosan (Gambar 15). hv
Substrat kaca
Kontak
ITO
CdS Polimer Kontak
Substrat kaca
Gambar 15 Struktur Junction CdS/P3HT-Kitosan
ITO
26
3.3.5 Uji Performans
Respon dinamik dan kestabilan tegangan pada persambungan CdS/P3HTkitosan diukur dengan menggunakan sensor tegangan yang dihubungkan dengan Interface Scientific Workshop 750 (PASCO). Data diambil dengan menggunakan software Data Studio. Intensitas cahaya yang diberikan diukur dengan menggunakan photometer PMA2200.
27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Karakteristik Polimer P3HT-Kitosan
4.1.1 Karakteristik Optik P3HT Poly3-hexylthiophene (P3HT) yang memiliki berat molekul 65,5 gram/mol ini merupakan semikonduktor organik tipe-p yang mendapat perhatian sangat besar saat ini karena polimer ini memiliki mobilitas hole yang tinggi jika digunakan sebagai material semikonduktor. Mobilitas hole P3HT sebesar 3.8 ∼
3.9 x 10-4 cm2/Vs (Yang et al. 2007). Penggunaan material ini juga sangat sederhana, mudah dilarutkan dan konduktif. Karena alasan inilah maka P3HT dapat digunakan pada banyak aplikasi. Selain itu polimer ini relatif stabil terhadap perubahan temperatur dan kondisi lingkungan. Penggunaan polimer juga dapat mengatasi masalah pada semikonduktor inorganik yang efektibilitas dan stabilitasnya yang rendah. Polimer organik memiliki gap yang lebih lebar dibandingkan dengan semikonduktor. Hal ini merupakan hal yang sangat mendukung untuk digunakan dalam aplikasi sel surya. Gambar 16 menunjukkan pita absorbsi dan transmitansi P3HT. Dari gambar terlihat bahwa P3HT memiliki pita absorbsi yang lebar yakni 350 – 650 nm yang sesuai dengan literatur lainnya (Ge 2009). Hal ini sesuai dengan persyaratan karakteristik utama yang harus dimiliki oleh semikonduktor yang digunakan sebagai sel surya adalah bahan semikonduktor berfungsi menyerap cahaya dimana akan mempengaruhi performa sel surya tersebut. Nilai absorbansi yang tinggi menunjukkan tingkat ketebalan filmnya. Kurva absorbansi berikut dapat digunakan untuk menghitung besar gap energi P3HT dengan menggunakan persamaan (5) yakni 1,87 eV. Gap energi P3HT dapat diubah jika diberikan perlakuan
khusus
misalnya
pemberian
doping
Transmitansi polimer ini berkisar antara 0 - 40%.
dengan
bahan
tertentu.
28
Gambar 16
4.1.2
Absorbansi dan Transmitansi P3HT
Konduktifitas Polimer Kitosan-P3HT Kitosan
merupakan
biopolimer
yang
memiliki
atom
untuk
menyumbangkan elektron dalam bentuk atom oksigen dan nitrogen. Dalam penelitian ini, polimer yang digunakan merupakan campuran antara P3HT dengan kitosan dimana penambahan kitosan diharapkan dapat menambah pembawa muatan mayoritas P3HT yaitu muatan positif (Mohamad et al. 2007). Gambar 17 menunjukkan besarnya konduktansi dan resistansi P3HT-kitosan. Dimana karakteristik ini merupakan salah satu karakteristik penting yang sangat dibutuhkan karena dalam sebuah sel surya, bagian yang paling berperan dalam penyerapan foton adalah bagian polimernya. Jadi polimer harus memiliki mobilitas hole yang besar yang berkaitan langsung dengan konduktifitas bahan.
Gambar 17
Kurva impedansi dan konduktansi polimer P3HT-kitosan
29
Nilai konduktifitas menyatakan kemampuan film menghantarkan ion/ proton. Semakin besar nilai konduktifitas berarti kemampuan film dalam menghantarkan elektron juga semakin besar. Pada penelitian ini, pengukuran konduktifitas dan impedansi dilakukan dengan memvariasikan frekuensi dari 1005 kHz. Konduktifitas makin meningkat dengan meningkatnya frekuensi sedangkan nilai impedansi malah sebaliknya yakni semakin besar frekuensi maka nilai impedansi makin kecil. Hal ini sesuai dengan Hukum Ohm sebagai berikut. V = IR
(6)
dengan V = tegangan listrik (V), I = arus (A) dan R = hambatanΩ). ( Nilai tegangan listrik itu sendiri sangat dipengaruhi oleh besarnya frekunsi berdasarkan persamaan: V = Vmaks sin ωt dimana ω = 2 µ f dengan f = frekuensi. Dari persamaan di atas terlihat bahwa semakin besar frekuensi maka makin besar pula tegangan yang dihasilkan. Nilai konduktifitas berbanding terbalik dengan hambatan sesuai dengan persamaan di bawah ini sehingga semakin kecil nilai hambatan maka nilai konduktifitasnya semakin besar. G =
1 R
(7)
Impedansi sebanding dengan hambatan sehingga persamaan konduktifitas daat dirumuskan: G =
1 Z
(8)
Sehingga konduktifitas berbanding terbalik dengan impedansi. Besarnya hambatan (resistansi) suatu bahan dipengaruhi oleh ketebalan bahan (l), hambatan jenis bahan (ρ), dan luas penampang bahan (A). Secara matematis, hubungan ketiga faktor tersebut dapat dituliskan sebagai berikut. R=ρ
l A
sehingga ρ = R
A l
(9)
Konduktifitas merupakan kebalikan dari hambatan jenis atau resistivitas sehingga untuk menghitung besarnya konduktifitas digunakan persamaan berikut.
σ =
1
ρ
atau
σ=
l A. R
(10)
30
Keterangan: R
: hambatan bahan (Ω)
L
: panjang bahan (m)
A
: luas penampang bahan (m2)
ρ
: resistivitas bahan (Ωm)
σ
: konduktifitas bahan (S/m)
Dari hasil pengukuran diketahui bahwa ketebalan P3HT-kitosan adalah 0,135 mm dengan luas penampang 1,3 cm2. Tabel berikut menunjukkan besar konduktifitas berdasarkan frekuensi dengan menggunakan data resistansi bahan. Dari data terlihat bahwa besarnya konduktifitas polimer P3HT-kitosan berkisar antara 3,84791 sampai 6,55162 x 10-7 S/m dimana merupakan fungsi frekuensi. Dari nilai konduktifitas ini diketahui bahwa polimer ini merupakan bahan semikonduktor (untuk semikonduktor σ = 10-8 – 104 S/cm).
Tabel 2
Konduktifitas Polimer P3HT-Kitosan Frekuensi (Hz) 100 500 1000 5000
4.2
Z x 106 (Ω) 2.50256 2.39289 2.28233 1.46981
ρ x 106 (Ωm) 2,5988 2,4849 2,3701 1,5263
σ x 10-7 (S/cm) 3,84791 4,02427 4,21922 6,55162
Karakteristik Film Tipis CdS
4.2.1 Proses Deposisi Film CdS Metode
Chemical
Bath
Deposistion
(CBD)
merupakan
metode
pendeposisian yang relatif sederhana dari berbagai metode pendeposisian yang telah banyak digunakan. Metode ini bertujuan untuk mendapatkan film tipis yang homogen dengan komposisi sampel yag dihasilkan dapat dikontrol sesuai dengan keinginan. Secara khusus CBD secara luas digunakan untuk menghasilkan film tipis CdS dengan kualitas film yang baik. Metode CBD yang digunakan menghasilkan permukaan film dengan kristalinitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan metode pendeposisian yang lain. Namun film yang
31
dihasilkan memperlihatkan morfologi dan konduktifitas yang baik seperti tingkat kekasaran film dan densitas pinhole (kekosongan) jika dibandingkan dengan film yang dihasilkan dengan menggunakan metode pendeposisian yang lain. Dalam penelitian ini, metode CBD digunakan untuk menumbuhkan film tipis CdS dengan menggunakan cadmium klorida (CdCl 2 ) sebagai sumber ion cadmium (II) (Cd2+) dan thiourea sebagai sumber ion sulfur (S2-). Selain itu, amonium (NH 4 OH) digunakan sebagai larutan buffer untuk mempertahankan pH selama pendeposisian dilakukan dan untuk mengontrol kecepatan reaksi.Selain itu, konsentrasi NH 4 OH juga dapat mempengaruhi seberapa banyak CdCl 2 yang terhidrolisis dalam air. Sedangkan TEA digunakan agar larutan yang dihasilkan tidak cepat mengendap. Film CdS yang dibuat dengan menggunakan metode Chemical Bath Deposition (CBD) memiliki stoikiometri yang tinggi dan menunjukkan resistansi dark yang tinggi pula. Selain itu, metode ini dipilih agar menghasilkan film yang lebih transparan karena dalam penelitian ini CdS digunakan sebagai window layer sehingga cahaya matahari yang jatuh pada film tipis ini dapat menembus lapisan di bawahnya. Kondisi penumbuhan CdS pada ITO telah dioptimasi baik dalam hal temperatur deposisi, lama deposisi dan kecepatan putarnya. Pada saat awal, dilakukan deposisi pada suhu 30oC selama 30 menit dengan kecepatan putar 300 rpm. Pada saat deposisi ini hanya dimasukkan sumber ion Cd dan S-nya saja. Setelah itu, deposisi dilanjutkan dengan penambahan amonim hidroksida dan TEA. Deposisi ini dilakukan selama 2 jam pada temperatur 70oC dengan kecepatan putar yang sama. Setelah beberapa saat, larutannya berubah warna menjadi kekuning-kuningan. Teknik deposisi yang digunakan ini, diadopsi dari metode yang dilakukan oleh Eitssayem et al. (2005) dengan melakukan sedikit modifikasi terhadap konsentrasi bahan yang digunakan. Tahapan pembentukan CdS terbagi dalam 3 tahapan yaitu tahap awal proses nucleation center, pembentukan ion per ion (mekanisme heterogen) dan pembentukan cluster per cluster (mekanisme homogen) (Mahdi et al. 2009). Proses nucleation center merupakan proses pembentukan ion Cadmium dan ion sulfur baik itu pada permukaan substrat maupun dalam larutan bath. Pembentukan CdS ion per ion menghasilkan CdS dengan morfologi yang sangat baik
32
dibandingkan jika yang terjadi adalah cluster per cluster. Mekanisme ion per ion ini terjadi pada pH sekitar 12. Sedangkan cluster per cluster terjadi dalam larutan dengan pH sekitar 10,5 bahkan pada pH 10, tidak ada CdS yang menempel pada permukaan substrat namun hanya membentuk koloid dalam larutan bath dan khususnya pada substrat yang menyebabkan terbentuknya film dengan derajat kristalinitas yang rendah (Pentia et al. 2000). Dalam penelitian ini, terlihat pembentukan CdS dengan mekanisme homogen yang ditandai dengan banyaknya terdapat endapan yang menunjukkan terbentuknya koloid dalam larutan bath yang berwarna kekuning-kuningan. Akibatnya akan mempengaruhi struktur kistal CdS yang terbentuk dimana jika dibandingkan kedua mekanisme pembentukan CdS tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dari segi struktur CdS yang dihasilkan akan lebih baik dibanding jika terjadi makanisme homogen. Kristalinitas CdS yang dihasilkan oleh mekanisme heterogen lebih baik jika dibandingkan dengan mekanisme homogen. Lama deposisi dan temperatur deposisi mempengaruhi karakteristik fisik CdS yang dihasilkan. Jika deposisi dilakukan selama kurang dari 2 jam maka film yang dihasilkan sangat tipis. Sebaliknya jika deposisi dilakukan selama lebih dari 2 jam maka film yang dihasilkan akan semakin tebal. Film yang tebal tidak cocok digunakan sebagai window layer dalam sel surya karena cahaya matahari yang mengenai sel surya tidak akan menembus sampai pada junction. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan pendeposisian selama 2 jam. Berkaitan dengan dua mekanisme yang dijelaskan sebelumnya, jika deposisi dilakukan dalam jangka waktu yang lama maka semakin banyak cluster CdS yang menempel pada permukaan sampel sehingga akan menghasilkan morfologi film yang kurang baik. Di samping itu, temperatur deposisi dilakukan pada suhu 70oC. Jika deposisi dilakukan pada suhu di bawah 70oC maka butuh waktu yang sangat lama untuk menumbuhkan film pada substrat kaca ITO. Selain itu, film yang dihasilkan akan sangat tipis akibat terbentuknya cluster-cluster pada permukaan sampel. Ketika suhu deposisi dinaikkan di atas 100oC maka film yang dihasilkan tidak merata dan banyak terbentuk koloid pada larutan bath yang kadang menempel pada permukaan film CdS.
33
Mekanisme pembentukan CdS tergantung pada prekursor yang digunakan dalam pembentukan CdS. Baik itu pemilihan sumber ion cadmium (Cd2+) maupun sumber ion sulfurnya (S2-). Pembentukan CdS dengan menggunakan metode CBD, dapat dibuat dalam larutan yang bersifat basa dan harus terjadi hidrolisis thiourea di dalamnya. Pembentukan CdS dalam penelitian ini digunakan NH 4 OH yang berperan sebagai sumber basa dan agen pengkompleks untuk ion cadmium. Pembentukan ion kompleks diawali dengan terbentuknya Cd(OH) 2 yang berupa endapan dengan reaksi sebagai berikut CdCl 2
→
+ 2NH 4 OH
Cd(OH) 2
+ 2NH 4 Cl
Endapan Cd(OH) 2 yang berwarna putih dapat bereaksi dengan larutan amonia sehingga dapat terbentuk ion kompleks [Cd(NH 3 ) 4 ]2+ dengan reaksi: Cd(OH) 2
+ 4NH 4 OH
→
[Cd(NH 3 ) 4 ](OH) 2
+ 4H 2 O
Ion kompleks yang terjadi [Cd(NH 3 ) 4 ](OH) 2 memiliki atom pusat Cadmium dan ligan [(NH 3 ) 4 (OH) 2 ]. Endapan Cd(OH) 2 yang terjadi memiliki pH sekitar 8 dan ketika senyawa ini bereaksi dengan amonia maka pHnya berubah sekitar 11. Ion kompleks [Cd(NH 3 ) 4 ](OH) 2 dapat terurai kembali menjadi [Cd(NH 3 ) 4 ](OH) 2
→
[Cd(NH 3 ) 4 ]2+
+ 2OH-
Selanjutnya dalam larutan terjadi dekomposisi ion kompleks tetramine [Cd(NH 3 ) 4 ]2+ sesuai dengan reaksi berikut ini [Cd(NH 3 ) 4 ]2+
→ Cd2+
+ 4NH 3
Sedangkan hirolisis thiourea itu sendiri terjadi dalam larutan yang bersifat basa dimana terjadi generasi ion S2- : (NH 2 ) 2 CS + 2OH- → S2- + CN 2 H 2 + H 2 O Ion cadmium yang dihasilkan dari dekomposisi ion kompleks tetramin selanjutnya bereaksi dengan ion S2- untuk membentuk CdS sebagai berikut. Cd2+ + S2- → CdS CdS secara luas digunakan sebagai material window pada sel surya karena memiliki bandgap yang lebar (2,42 eV), bersifat fotokonduktifitas, dan memiliki afinitas elektron yang tinggi. Sifat transparan film CdS juga yang mendukung digunakannya CdS sebagai material sel surya. Gap energi CdS dapat berubah-
34
ubah sesuai dengan prekursor yang digunakan dan dapat pula dilakukan dengan penambahan doping dari golongan IIIA dalam sistem periodik unsur. Secara umum, CdS memiliki dua fase yaitu fase kubik yang merupakan fase metastabil dan fase heksagonal yang merupakan fase yang stabil pada temperatur ruang. Selain itu dalam beberapa literatur menunjukkan struktur CdS yang lainnya yaitu orthorombik (Jafari et al. 2010). Proses annealing secara khusus dapat mengubah fase CdS dari kubik menjadi heksagonal. Jika film dipanasi pada suhu di atas 300 oC, maka fase CdS akan mengalami fase transisi dari fase kubik menjadi fase heksagonal. Namun tidak semua fase kubik berubah menjadi fase heksagonal tetapi hanya sebagian saja (Mahdi et al. 2009). Jika garam cadmium (CdSO 4 ) digunakan sebagai prekursor, maka film yang terbentuk strukturnya kubik dan heksagonal dan pemanasan film CdS pada suhu 450 oC selama 2 jam tidak mempengaruhi struktur kristal CdS. Penelitian lainnya menemukan bahwa film CdS dengan fase kubik berubah menjadi fase heksagonal jika diannealing pada temperatur 300 oC selama 30 menit dengan disertai dengan pembentukan cadmiun oksida (CdO). Annealing pada suhu 350oC selama 15 menit meningkatkan spasi interplanar film.
4.2.2
Karakteristik Optik CdS a. CdS Tanpa Doping Dalam penelitian ini, film tipis CdS yang dihasilkan dari proses deposisi
diannealing pada temperatur 200oC, 300oC dan 400oC selama 1 jam. Selanjutnya film
tersebut
dianalisis
serapan
dan
struktur
kristalnya.
Gambar
18
memperlihatkan pita absorbsi CdS dengan temperatur annealing yang berbeda. Dari gambar terlihat bahwa terjadi pergeseran puncak serapan CdS jika diannealing pada temperatur yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa annealing dapat mempengaruhi besarnya gap energi CdS seperti diperlihatkan pada tabel 3. Dari gambar terlihat bahwa CdS menyerap cahaya pada panjang gelombang 400 - 500 nm. Hal ini sesuai dengan literatur lainnya yang memperlihatkan bahwa pita absorbsi CdS pada panjang gelombang 350 – 500 nm (Devi et al. 2007). Film CdS yang dihasilkan memiliki transmitansi yang cukup
35
besar yaitu 20 – 70% di daerah cahaya tampak. Pita absorbsi yang cukup landai menunjukkan tingkat kristalinitas film yang rendah (Lesmana, 2009).
Gambar 18 Absorbsi film tipis CdS dengan temperatur annealing yang berbeda
Tabel 3
Gap energi CdS berdasarkan temperatur annealing Temperatur Annealing (oC) Tanpa Annealing 200 300 400
Gap Energi (eV) 2,49 2,44 2,393 2,390
Dari tabel terlihat bahwa band gap CdS tergantung pada temperatur annealing. Di mana semakin besar suhu annealing maka gap energinya semakin kecil. Selain itu, warna film CdS berubah dari kuning menjadi kuning brownish dengan peningkatan suhu annealing. Pada film yang tidak diannealing dan film yang diannealing pada suhu 200oC terjadi perubahan gap energi yang cukup signifikan. Penurunan gap energi yang cukup besar terjadi pada film yang diannealing pada temperatur 200oC dan 300oC. Penurunan gap energi dapat disebabkan oleh dua hal yaitu terjadinya penguapan sulfur pada suhu antara 250oC sampai 300oC dan pembentukan CdO pada permukaan film karena terjadi oksidasi pada suhu di atas 300oC (Cetinourgu 2006). Selain itu, dalam beberapa literatur penurunan gap energi dapat disebabkan pula oleh perubahan struktur amorf menjadi kristal (reorganisasi film) pada suhu di atas 300oC. Penurunan gap energi berarti gap antara pita konduksi dan pita valensi pada film tersebut makin kecil. Annealing juga dapat mengakibatkan terjadinya penguapan air yang diserap pada saat deposisi.
36
b. CdS Doping Boron Dari penelitian sebelumnya oleh diketahui bahwa CdS yang dibuat dengan metode ini memiliki resistivitas dark sebesar 1,03 x 102 Ωcm. Selanjutnya diperoleh bahwa besarnya resistivitas dark CdS bergantung pada prekursor Cd yang digunakan dan stoikiometri film. CdS-CBD yang memiliki resistivitas dark yang rendahlah yang banyak dimanfaatkan terutama untuk diaplikasikan dalam sel surya. Oleh karena itu salah satu cara untuk mereduksi resistivitas dark CdS yang besar adalah dengan in situ doping boron terhadap CdS. Telah banyak penelitian yang melakukan doping terhadap CdS terutama doping tersebut berasal dari golongan IIIA seperti Al, Cu, Li, Ni dan Ag. Doping Boron terhadap CdS dilakukan dengan penambahan asam borat (H 3 BO 3 ) ketika dilakukan proses CBD. Penambahan asam borat dilakukan 5 menit setelah CBD dimulai. Penambahan asam borat dilakukan dengan konsentrasi yang sekecil mungkin. Karena penambahan konsentrasi asam borat yang besar akan mempercepat proses deposisi yang nantinya akan menghasilkan morfologi CdS yang kurang baik yakni berpori, film yang dihasilkan sangat tipis dan menghasilkan bubuk yang banyak yang akan menghalangi proses deposisi. Banyaknya asam borat yang ditambahkan bergantung pada massa CdCl 2 . Dalam penelitian ini dilakukan 3 variasi penambahan asam borat yakni 4%, 6% dan 8% wt. Gambar 19 menunjukkan spektrum absorbansi CdS doping 4% wt berdasarkan suhu annealing. Pada gambar terlihat bahwa pita absorbsi CdS bergeser jika film diannealing dengan suhu 200, 300 dan 400 oC. Pita absorbansi CdS dengan pemberian doping 6% dan 8% wt masing-masing diperlihatkan pada Gambar 20 dan 21. Dimana spektrum absorbansi masing-masing film bergeser ketika diannealing.
37
Gambar 19
Absorbsi CdS doping Boron 4% wt
Gambar 20 Absorbsi CdS doping Boron 6% wt
Gambar 21 Absorbsi CdS doping Boron 8% wt
38
Dari hasil analisis bandgap terlihat bahwa terjadi perubahan gap energi. Tabel 4 menunjukkan perubahan gap energi yang terjadi ketika diberikan doping Boron dengan jumlah doping dan temperatur annealing yang berbeda. Gap energi ini diperoleh dengan menggunakan persamaan (5). Makin banyak jumlah doping, gap energinya makin kecil. Dipercaya bahwa dengan penambahan Boron, maka terjadi penambahan jumlah ion B3+ pada film sama dengan terjadi pengurangan jumlah sulfur yang meningkatkan level donor pada bandgap CdS. Akibat peningkatan konsentrasi ion B3+, yang juga meningkatkan penurunan jumlah sulfur, level donor menurun dan mendekati pita konduksi CdS yang menyebabkan bandgap semakin lebar (Khallaf 2009). Semakin besar gap maka semakin seditik jumlah elektron yang dapat mencapai level pita konduksi. Atau diperlukan energi yang lebih besar untuk mengeksitasi elektron pada pita konduksi. Pemberian doping Boron dalam jumlah yang sedikit tidak mengganggu molekul lainnya yang terbentuk. Jika Boron mengganggu pembentukan senyawa dalam proses CBD maka dapat dipastikan jumlah CdS yang terbentuk akan semakin sedikit karena Boron akan menggantikan posisi ion Cadmium. Tabel 4
Gap Energi CdS berdasarkan jumlah doping Boron dan Suhu Annealing Jumlah Doping (%) 4
6
8
Suhu Annealing (oC) Tanpa Annealing 200 300 400 Tanpa Annealing 200 300 400 Tanpa Annealing 200 300 400
Eg (eV) 2.5236 2.4747 2.4277 2.4202 2.5034 2.4620 2.4240 2.4221 2.5165 2.4553 2.3972 2.3917
Gambar 22 menunjukkan perubahan gap energi berdasarkan jumlah doping tanpa dilakukan annealing terhadap sampel. Dari grafik terlihat bahwa pemberian doping 4% wt memperbesar gap energi antara pita konduksi dan pita valensi CdS. Celah energi CdS yang diperoleh berkisar antara 2,3 sampai 2,5 eV. Hal ini sesuai dengan banyak penelitian lainnya diantaranya Khallaf (2007).
39
Gambar 22 Grafik perubahan gap energi film CdS berdasarkan jumlah doping
Telah diketahui bahwa CdS merupakan semikonduktor tipe-n dimana pembawa muatan mayoritasnya adalah elektron. Jadi ketika didoping dengan Boron yang bermuatan positf maka akan menaikkan level donor semakin mendekati pita konduksi sehingga dapat memperbesar gap energi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Khallaf (2007) yang juga memberikan doping Boron terhadap CdS. Namun, pemberian doping Boron ke dalam larutan CBD pada jumlah yang sangat sedikit. Khallaf mengemukakan bahwa pemberian doping Boron dalam jumlah banyak akan mempengaruhi reaksi yang terjadi dalam larutan bath. Karena paramter utama dalam proses CBD adalah konsentrasi NH 4 OH yang diberikan di mana senyawa ini dapat memisahkan ion Cd2+ dari CdCl 2 melalui pembentukan ion kompleks. Jadi dengan penambahan asam borat yang cukup banyak dapat mempengaruhi kinerja basa (NH 4 OH). Terjadinya perubahan gap energi pada gambar 22 dipengaruhi oleh fase CdS yang muncul (diperlihatkan pada bagian selanjutnya). Besarnya gap energi untuk kristal tunggal CdS fase heksagonal yaitu 2,3-2,4 eV sedangkan untuk fase kubik, gap energinya sebesar 2,5 eV (Martinez et al. 1997). CdS doping 4% wt puncak yang muncul didominasi oleh fase kubik sedangkan untuk doping 6 dan 8% wt juga muncul puncak CdS fase kubik namun juga terdapat puncak-puncak yang lain yang menunjukkan CdS dengan fase heksagonal. Namun CdS dengan struktur kubik lebih banyak dimiliki oleh CdS dengan doping 4% wt.
40
4.2.3
Struktur Film Tipis CdS Dengan menggunakan metode preparasi yang berbeda, CdS dapat hadir
dalam tiga struktur kristal: hexagonal (wurtzite), kubik (zincblende) dan campuran keduanya. Selain fase yang terakhir tersebut, dari penelitian sebelumnya diketahui bahwa film tipis CdS yang dihasilkan memiliki kedua fase tersebut jika dibuat dengan menggunakan metode CBD. Kadangkala metode CBD yang dilakukan pada temperatur rendah menyebabkan pembentukan fase kubik pada film tipis CdS. Terdapat banyak variabel yang mempengaruhi struktur kristalnya termasuk karakteristik dari sumber ion cadmium dan sulfurnya, substrat yang digunakan dan bahkan proses stirringnya. Lee (2009) mengemukakan bahwa substrat yang digunakan mempengaruhi fase struktur film tipis CdS-CBD. Substrat yang berbeda menghasilkan fase kubik dan heksagonal tapi jika digunakan substrat kaca akan menghasilkan CdS dengan fase heksagonal yang sesuai dengan hasil penelitian ini. Beberapa peneliti juga menemukan bahwa konsentrasi amonium yang rendah dalam larutan menyebabkan terbentuknya fase wurtzite karena Cd(OH) 2 akan membentuk suspensi (tidak terlarut secara keseluruhan) (Mahdi et al. 2009). Pengukuran dengan X-Ray Diffraction (XRD) Shimadzu XRD-7000 Maxima menggunakan panjang gelombang Cu sebesar 1,5406 Å. Kristalografi CdS dapat diamati dengan menggunakan teknik difraksi sinar X. Sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa CdS hadir dalam dua bentuk fase kristal, yaitu heksagonal dan kubik. Berikut ini adalah kode film tipis CdS berdasarkan jumlah doping.
Tabel 5 Kode film tipis CdS yang diXRD Kode Film Tipis Y1 Y2 Y3 Y4
Keterangan Doping 0% wt, tanpa annealing Doping 4% wt, tanpa annealing Doping 6% wt, tanpa annealing Doping 8% wt, tanpa annealing
Pada gambar 23 menunjukkan pola difraksi film CdS yang ditumbuhkan pada permukaan ITO. Posisi puncak-puncak 2θ yang pada pola difraksi XRD
41
berdasarkan besarnya intensitas secara berturut-turut terbaca pada 27,0228o dan 25,7147o. Dari data Join Committee Power Diffraction Standard (JCPDS) No. 80006 untuk cadmium sulfida diketahui bahwa pada 2θ 25o dan 27o merupakan CdS dengan struktur heksagonal. Dari data XRD yang dihasilkan menunjukkan bahwa CdS telah tumbuh pada permukaan ITO. Sedangkan sudut 21o merupakan sudut difraksi untuk ITO. Permukaan ITO muncul pada pola XRD dapat disebabkan karena film CdSnya yang terlalu tipis. Ukuran kristal (crystalline size) sampel film tipis CdS diperoleh dengan menggunakan persamaan Scheerer (Dumbrava et al. 2010, Dwivedi 2010) sebagai berikut. D=
k λ β cos θ
Dengan k adalah konstanta sebesar 0,89; λ adalah panjang gelombang sumber sinar-X (dalam hal ini Cu Kα sebesar 1,54 Å atau 15,4 nm) dan β adalah lebar setengah puncak difraksi atau Full Width Half Maximum (FWHM) dan θ adalah sudut difraksi (rad). Nilai β yang digunakan adalah nilai-nilai puncak maksimum dan minimum yang dimiliki oleh fase kubik atau heksagonal CdS.
ITO
H
H
Gambar 23 Pola XRD film Y1
Perhitungan dengan menggunakan persamaan Scheerer didapatkan ukuran kristal CdS berdasarkan besarnya intensitas masing-masing sebesar 0,040418 µm dan 0,031007 µm. Dengan rata-rata ukuran kristal sebesar 0,03527125 µm.
42
Karena fase CdS yang dihasilkan adalah heksagonal maka panjang kisi a = b = 4,121 Å dan panjang kisi c = 6,682 Å. Sedangkan besar sudut α = β = 90o dan γ = 60o. Karena fase CdS yang terbentuk adalah heksagonal maka tidak terjadi perubahan struktur CdS walaupun diannealing pada suhu 200, 300 dan 400oC selama 1 jam. Annealing hanya dapat mengubah ukuran kristal tanpa mengubah fasenya yang juga dapat mempengaruhi besarnya gap energi (Tabel 1). Perubahan ukuran kristal dapat disebabkan oleh penguapan sulfur pada suhu di atas 200oC. Intensitas difraksi yang rendah menunjukkan struktur amorf lebih mendominasi film dibandingkan kristalnya. Pola intensitas XRD untuk CdS dengan doping 4% wt ditampilkan pada Gambar 25. Dari data pola XRD pada gambar 24 di atas terlihat bahwa CdS terdeteksi pada puncak 2θ berdasarkan besar intensitas masing-masing pada 30,9355o; 35,8588o dan 44.5081o. Pada 2θ 30,9355o dan 44,5081o menunjukkan CdS fase kubik yang bersesuaian dengan orientasi bidang (200) dan (220). Hal ini sesuai dengan data JCPDS No. 80-0019. Sedangkan fase heksagonal terlihat pada puncak difraksi pada sudut 2θ 35,8588o yang bersesuaian dengan orientasi bidang (102). Dengan menggunakan persamaan Scheerer, ukuran kristalnya sebesar 0,029655 µm dan 0,051004 µm masing-masing untuk fase kubik dan heksagonal. Dimana rata-rata ukuran kristalnya adalah 0,0384927 µm. Dari pola difraksi dapat diketahui bahwa pada CdS ini fase kristalnya didominasi oleh fase kubik. Konstanta kisi CdS fase kubik sebesar 5,811 Å dengan besar sudut α = β = γ = 90o. Gambar 25 menunjukkan pola XRD film Y3. Puncak-puncak difraksinya sama dengan pola XRD film Y3. Fase CdS yang dominan adalah fase kubik. Ukuran kristal CdS yang terbentuk sebesar 0,031367 µm; 0,033482 µm dan 0,067999 µm masing-masing untuk fase kubik dan heksagonal. Dengan rata-rata ukuran kristal sebesar 0,0442816 µm.
43
C H ITO C
Gambar 24 Pola XRD film Y2 Pola difraksi sinar X untuk film Y3 terlihat pada gambar 26. Terlihat bahwa CdS yang terbentuk masih didominasi oleh fase kubik walaupun banyak puncak lainnya yang memperlihatkan fase heksagonal CdS. Fase heksagonal CdS terdeteksi pada 2θ sebesar 26,0742o; 35,8383o dan 48,9810o yang bersesuaian dengan bidang (002), (102) dan (103). Sedangkan fase kubik terdeteksi pada 2θ sebesar 30,9444o dan 44,4418o yang bersesuaian dengan bidang (200) dan (220). Dengan menggunakan persamaan Scheerer, ukuran kristalnya sebesar 0,03411 µm dan 0,05719 µm masing-masing untuk fase kubik dan heksagonal.
C H ITO
H CC H
Gambar 25 Pola XRD film Y3 Namun demikian, walaupun diberikan doping Boron sebanyak 8% wt tetapi pola difraksi tidak menunjukkan kehadiran senyawa lainnya selain CdS fase kubik dan heksagonal. Fase kubik terdeteksi pada 2θ sekitar 30,9444o dan
44
48,5562o yang bersesuaian dengan bidang (200) dan (103) sedangkan fase heksagonalnya terdeteksi pada puncak pada 2θ sekitar 26,6533o dan 43,4086o yang masing-masing bersesuaian dengan orientasi bidang (002) dan (110). Dengan ukuran kristal rata-rata sebesar 0.03441 µm. Dari hasil XRD tidak terlihat pula terbentuknya puncak baru misalnya puncak untuk B, BS atau B 2 S 3 , hal ini menunjukkan bahwa penambahan doping boron tidak mempengaruhi struktur kristal film CdS. Boron yang diberikan ke dalam larutan bath dapat mengalami dua hal. (1) Boron akan menggantikan posisi ion Cd2+ dalam kristal. Karena radius ion B3+ (0,2Å) lebih kecil daripada radius ion Cd2+ maka ukuran kristal CdS secara keseluruhan akan berkurang. Oleh karena itu, pada struktur kristal CdS hanya terjadi cacat kristal saja namun tidak mempengaruhi morfologinya secara umum. (2) Boron hanya akan berada pada kisi kristal yang berarti ukuran kristal akan semakin besar. Hal ini dapat memperpendek spasi interplanar kristal. Tabel 6 menampilkan ukuran kristal CdS berdasarkan jumlah doping Boron yang diberikan. C H
ITO
H
Gambar 26 Pola XRD film Y4 Tabel 6 Ukuran kristal CdS tanpa doping dan doping asam borat 4%, 6% dan 8% wt Jumlah doping 0% 4% 6% 8%
2θ (deg)/fase 27,0228 (heksagonal) 30,9355 (kubik) 30,9479 (kubik) 30,9444 (kubik)
β/FWHM (deg) 0,2 0,275 0,26 0,237
Ukuran kristal 0,040418 0,029655 0,031367 0,03441
45
Boron merupakan unsur metaloid golongan IIIA dalam Sistem Periodik Unsur. Pemberian doping Boron mempengaruhi karakteristik film yang dihasilkan misalnya tingkat kekasaran film. Semakin besar konsentrasi doping Boron yang diberikan
maka semakin
kasar permukaan
filmnya.
Walaupun
tingkat
kekasarannya tidak dapat dilihat secara kasat mata (Eitssayeam et al. 2005). Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa salah satu tujuan pemberian doping Boron adalah untuk menurunkan pH larutan. CdS yang dihasilkan dari larutan prekursor dengan pH sekitar 12 akan menghasilkan CdS dengan fase heksagonal. Jadi dengan penambahan asam borat pada larutan prekursor maka CdS yang dihasilkan didominasi oleh fase kubik walaupun masih ada puncak XRD yang menunjukkan hadirnya fase heksagonal CdS. Semakin rendah pH larutan maka fase CdS yang terbentuk akan bervariasi. Namun untuk menghasilkan CdS dengan kristalinitas yang baik, maka pH larutan harus berkisar antara 12-12,5 (Pentia 2000). Annealing dapat mempengaruhi struktur film yang dihasilkan. Film yang diannealing pada suhu di atas 300oC akan mengubah fase CdS dari kubik yang metastabil menjadi fase heksagonal yang stabil. Selain itu, terjadi penguapan sulfur pada permukaan sampel sehingga permukaan CdS tersebut akan mengalami oksidasi akibat pengikatan oksigen dari udara.
4.2.4
Morfologi Film CdS Karakteristik permukaan film tipis CdS diteliti dengan menggunakan
Scanning Electron Mycroscope (SEM) Zeiss tipe EVO-50. Gambar 27 menunjukkan
penampang
melintang
CdS
pada
permukaan
ITO
yang
dideposisikan pada suhu 70oC tanpa pemberian doping Boron dan tanpa annealing. Salah satu kekurangan metode CBD adalah terbentuknya pinhole (kekosongan) pada permukaan sampel. Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan kadar ion OH- dalam larutan bath sehingga yang menempel pada permukaan substrat adalah cluster-cluster CdS yang terbentuk dalam larutan bath. Gambar 28 dan 29 masing-masing memperlihatkan morfologi film tipis CdS tanpa pemberian
46
doping Boron dan film dengan pemberian doping namun tanpa dilakukan pemanasan.
CdS
Gambar 27 Penampang melintang film tipis CdS pada permukaan ITO Pada gambar 29 terlihat bahwa permukaan CdSnya lebih kasar jika dibandingkan dengan CdS tanpa doping Boron. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Khallaf et al. (2007) bahwa pemberian doping yang besar terhadap CdS maka akan menghasilkan CdS dengan permukaan yang kasar. Hal ini dapat terjadi karena pemberian doping berarti penambahan jumlah ion H+ ke dalam larutan. Pembentukan CdS pada permukaan substrat kaca menjadi terhambat karena kekurangan ion OH-.
Gambar 28
Morfologi permukaan CdS tanpa doping dan tanpa annealing
47
Pembentukan senyawa Cd(OH) 2 dalam proses CBD sangat penting karena ion OH-lah yang dapat melekatkan ion Cadmium pada substrat. Jadi dengan penambahan asam yang banyak dalam hal ini H+ maka ion OH- akan lebih reaktif terhadap ion H+ membentuk molekul air (H 2 O) sehingga pada akhirnya ion OHmenjadi sangat berkurang. Dan cluster-cluster CdSlah yang menempel pada permukaan substrat kaca. Cluster CdS yang menyebabkan kekasaran permukaan CdS.
Gambar 29 Morfologi permukaan CdS dengan doping 8% wt Boron dan tanpa annealing 4.3
Karakteristik Fotovoltaik Persambungan CdS/P3HT-Kitosan Sel surya hibrid polimer menggunakan kombinasi polimer dan bahan
semikonduktor inorganik terkonjugasi yang dapat mengkonversi cahaya matahari menjadi muatan. Keuntungan dua bahan dengan sifat elektronik yang merupakan persambungan tipe p dan n sangat penting dalam operasi dari setiap sel surya hibrid polimer karena fotoeksitasi dari polimer terkonjugasi menyediakan ikatan pasangan elektron-hole atau eksiton dibanding muatan bebas. Eksiton ini dapat dipisahkan secara efisien pada interface dengan bahan kedua melalui transfer elektron atau hole untuk menghasilkan muatan bebas yang dapat membangkitkan efek fotovoltaik. Penyinaran sel dengan cahaya polikromatik memungkinkan CdS menyerap cahaya sehingga berkontibusi dalam generasi muatan. Muatan yang berkontribusi besar dalam menghasilkan arus adalah muatan yang terbentuk pada
48
persambungan polimer-CdS. Hal ini disebabkan muatan yang dibentuk di sekitar persambungan lebih mudah dipisahkan oleh medan listrik pada daerah persambungan sehingga dapat menghasilkan arus foto. Untuk keperluan sel surya, semikonduktor tipe-n berada pada lapisan atas sambungan p yang menghadap ke arah datangnya cahaya matahari, dan dibuat jauh lebih tipis dari semikonduktor tipe-p, sehingga cahaya matahari yang jatuh ke permukaan sel surya dapat terus terserap dan masuk ke daerah deplesi dan semikonduktor p. Ketika sambungan semikonduktor ini terkena cahaya matahari, maka elektron mendapat energi dari cahaya matahari untuk melepaskan dirinya dari semikonduktor n, daerah deplesi maupun semikonduktor. Terlepasnya elektron ini meninggalkan hole pada daerah yang ditinggalkan oleh elektron yang disebut dengan fotogenerasi elektron-hole (electron-hole photogeneration) yakni, terbentuknya pasangan elektron dan hole akibat cahaya matahari. Selanjutnya, dikarenakan pada sambungan pn terdapat medan listrik E, elektron hasil fotogenerasi tertarik ke arah semikonduktor n, begitu pula dengan hole yang tertarik ke arah semikonduktor p. Apabila rangkaian kabel dihubungkan kedua bagian semikonduktor, maka elektron akan mengalir melalui kabel. Jika sebuah lampu kecil dihubungkan ke kabel, lampu tersebut menyala dikarenakan mendapat arus listrik, dimana arus listrik ini timbul akibat pergerakan elektron. Pada semikonduktor, ketika dikenai cahaya (foton) yang memiliki energi hυ ≥ E g , elektron pada pita valensi akan tereksitasi ke pita konduksi, meninggalkan hole pada pita valensi. Pasangan elektron-hole ini disebut eksiton. Pada material organik, E g besarnya sama dengan perbedaan energi antara lowest unoccupied molecular orbit (LUMO) dengan highest occupied molecular orbit (HOMO). Kelebihan energi (hυ - E g ) akan dibuang dalam bentuk panas. Selanjutnya, sel surya yang efisien harus memiliki spektrum absorbsi yang lebar, sehingga dapat menghasilkan banyak pasangan elektron-hole (eksiton). Selain itu pula dibutuhkan material dengan reflektansi yang rendah. Konfigurasi sel dimana dibuat persambungan CdS dan P3HT-Kitosan diantara dua lapisan ITO seperti pada Gambar 15.
49
Karakterisasi sel fotovoltaik yang dibuat dapat dikarakterisasi dengan 2 cara yaitu dengan menguji nilai arus yang keluar dari sel dengan memberikan tegangan yang bervariasi dan dengan menguji tegangan rangkaian terbuka (V oc ) sel terhadap waktu yang dibuat dengan menggunakan sumber cahaya lampu MHF M1102. Karakterisasi I-V yang pertama menggunakan software Lab Tracer dan yang kedua menggunakan alat Keithly 2400 Source Meter. Ketika CdS (semikonduktor tipe-n) dan polimer (semikonduktor tipe-p) disambungkan maka elektron pada CdS akan berdifusi melewati persambungan menuju ke polimer yang akan mengisi hole pada polimer sehingga akan menghasilkan ion negatif. Sebaliknya hole pada polimer akan berdifusi pula melintasi persambungan menuju ke CdS yang akan bersatu dengan elektron yang menghasilkan ion positif. Secara keseluruhan daerah ini merupakan daerah netral tanpa ada hole dan elektron di dalamnya. Akibat terjadinya daerah deplesi maka elektron tidak dapat melintasi persambungan, begitupula dengan hole karena pada daerah deplesi ini terbentuk potensial penghalang yang menghalangi terjadinya difusi. Karena terjadi pemisahan muatan maka akan terjadi medan listrik yang arahnya dari semikonduktor tipe-p ke tipe-n. Pada temperatur kamar, level Fermi kedua semikonduktor berada pada kesetimbangan sehingga secara keseluruhan tidak ada arus yang mengalir dalam sel. Sel akan menghasilkan arus jika diberikan tegangan eksternal.
Gambar 30 Kurva karakteristik arus(I)-tegangan(V) sel A1 dan A2
Gambar 30 menunjukkan kurva arus-tegangan sel A1 dan A2. Gambar ini memperlihatkan distribusi arus-tegangan yang tidak linier dan tidak simetri
50
menunjukkan bahwa pada sel terbentuk potensial penghalang yang dapat menghambat aliran muatan. Kurva ini dapat menjelaskan bahwa pada setiap sel telah terbentuk persambungan (junction) yang sangat diharapkan dalam sebuah sel fotovoltaik baik itu dalam kondisi gelap maupun pada saat disinari. Kedua sel dalam kondisi gelap menunjukkan kenaikan arus ketika diberikan panjar maju hal ini dikarenakan daerah deplesi pada persambungan akan mengalami penyempitan sehingga elektron yang sangat berkontribusi terhadap arus yang dihasilkan dapat mengalir dengan mudah. Pada saat itu, sel diberikan tambahan tegangan eksternal yaitu 0 - 4 volt. Ketika diberikan panjar mundur (-4 - 0 Volt), potensial penghalang sel akan semakin besar sehingga muatan-muatan pembawa tidak dapat mengalir. Dalam keadaan itu, arus yang dihasilkan mendekati nol. Namun, pada tegangan yang lebih kecil, akan terjadi kebocoran arus. Adanya penyinaran oleh cahaya pada permukaan sel akan meningkatkan pasangan elektron-hole pada daerah persambungan CdS/Polimer. Pasangan elektron-hole ini akan terpisah akibat adanya medan listrik yang selanjutnya akan berkontribusi terhadap peningkatan arus foto sehingga dari Gambar 30, terlihat adanya peningkatan arus ketika sel disinari dibandingkan pada kondisi gelap. Oleh karena itu sel yang dibuat bersifat fotovoltaik. Respon dinamik sel terhadap cahaya ditunjukkan pada gambar 31. Pada gambar terlihat bahwa karakteristik tiap sel berbeda-beda. Besarnya intensitas cahaya yang diberikan sebesar 71,8 W/m2. Sel A4 menunjukkan sensitifitas yang lebih baik dibandingkan dengan sel A1, A2 dan A3. Terjadinya perbedaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan karakteristik sel dalam merespon cahaya, ada sel yang sensitifitasnya tinggi namun ada juga sel yang sensitifitasnya rendah. Sel yang tingkat sensitifitasnya rendah hanya dapat merespon cahaya jika cahaya yang mengenainya memiliki intensitas yang tinggi. Hal ini juga dapat disebabkan oleh sedikitnya eksiton yang dibangkitkan dan sedikitnya jumlah muatan yang sampai pada elektroda ketika sel disinari dengan cahaya yang intensitasnya rendah. Sedikitnya muatan yang sampai di elektroda dapat disebabkan oleh panjang lintasan difusi muatan sehingga banyak muatan yang berekombinasi sebelum sampai di elektroda. Jadi, luas penampang sel juga mempengaruhi respon dinamik sel.
51
Terang
A1 A2 A3 A4
Gelap
Gambar 31 Respon dinamik dan kestabilan tegangan sel A1, A2, A3 dan A4 terhadap cahaya Dari gambar berikut dapat diketahui seberapa besar tegangan rangkaian terbukanya (V oc ). Nilai V oc masing-masing sel dapat dilihat pada Tabel 7. Tegangan yang dihasilkan oleh sel tidak menunjukkan kinerja yang baik. Misalnya untuk sel A1, ketika disinari, tegangan V oc nya mencapai nilai 234 mV. Namun setelah tidak disinari dan selanjutnya disinari lagi, terlihat bahwa V oc yang dihasilkan lebih kecil yakni sebesar 196 mV saja. Sedangkan respon dinamik untuk sel B1, B2 B3 dan B4 diperlihatkan pada Gambar 32.
Terang
B1 B2 B3 B4
Gelap
Gambar 32 Respon dinamik dan kestabilan tegangan sel B1, B2, B3 dan B4 terhadap cahaya Besarnya respon dinamik sel juga dapat dilihat dari konstanta waktu, jika sel dianalogikan sebagai kapasitor. Tabel 7 juga menunjukkan konstanta waktu
52
tiap sel. Besarnya konstanta waktu sel dapat pula dilihat dari lambatnya penurunan tegangan ketika penyinaran dihentikan. Dari gambar terlihat bahwa sel B4 mempunyai nilai V oc yang lebih besar dibanding sel yang lainnya. Sedangkan konstanta waktu yang paling baik dimiliki oleh sel B1. Hal ini berarti bahwa sel ini merespon cahaya datag dengan baik walaupun terlihat bahwa sel ini memiliki V oc yang lebih kecil. Kecilnya kostanta waktu ini dapat memperbesar recovery response atau mempercepat penurunan tegangan ketika penyinaran dihentikan. Sel B2 merupakan sel yang memiliki konstanta waktu yang paling besar yang berarti bahwa sel ini menunjukkan respon yang kurang baik terhadap cahaya. Gambar 33 menunjukkan respon dinamik dan kestabilan tegangan sel C1, C2, C3 dan C4 terhadap cahaya. Dengan menggunakan sumber cahaya yang sama, masing-masing sel D1, D2, D3 dan D4 disinari dan menghasilkan respon dinamik seperti diperlihatkan pada Gambar 34. Dari keseluruhan grafik terlihat bahwa semua sel CdS/P3HTkitosan merespon cahaya dengan baik. Sel B1 (sel dengan CdS doping 4% wt tanpa annealing) merupakan sel dengan konstanta waktu terkecil (2.5 sekon). Hal ini menunjukkan bahwa sel ini memiliki respon cahaya yang lebih baik dibanding sel-sel lainnya. Sedangkan sel B3 (sel dengan CdS doping 4% wt dan dengan suhu annealing 300oC) merupakan sel dengan konstanta waktu terbesar (43,75 sekon).
Terang
Gelap
C1 C2 C3 C4
Gambar 33 Respon dinamik dan kestabilan tegangan sel C1, C2, C3 dan C4 terhadap cahaya
53
Terang
D1 D2 D3 D4
Gelap
Gambar 33 Respon dinamik dan kestabilan tegangan sel D1, D2, D3 dan D4 terhadap cahaya Parameter fotovoltaik yang diamati terutama nilai tegangan rangkaian terbuka (V oc ) sangat dipengaruhi oleh struktur selnya masing-masing. Lapisan polimer yang terlalu tebal dapat meningkatkan hambatan dalam sel. Peningkatan hambatan ini berarti penurunan konduktifitas sel yang mempengaruhi mobilitas muatan pembawa di dalam sel. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh luas permukaan masing-masing sel. Ketebalan lapisan polimer yang diteteskan pada tiap sel tidak dapat dikatakan sama untuk semua sel. Walaupun pada saat penetesan dilakukan teknik drop casting di mana diharapkan diperoleh ketebalan polimer yang sama untuk semua sel, namun karena polimernya bersifat gel maka terjadi kebocoran pada tepi lapisan. Pengurangan jumlah polimer berarti penurunan jumlah eksiton yang dapat dibangkitkan ketika sel disinari. Tabel 7 Tegangan Rangkaian Terbuka (V oc ) dan Konstanta Waktu Tiap Sel CdS/P3HT-Kitosan Sampel A1 A2 A3 A4 B1 B2 B3 B4
V oc (mV) 196 189 206 221 117 193 266 231
τ (RC) (sekon) 37,5 20,3 25,7 11,9 2,5 38,1 43,57 31,1
Sampel C1 C2 C3 C4 D1 D2 D3 D4
V oc (mV) 155 286 262 110 278 220 203 107
τ (RC) (sekon) 19,8 22,6 20,7 5,4 20,4 26,3 15,5 10,97
54
Dari data pada tabel di atas terlihat bahwa sel yang memiliki tegangan rangkaian terbuka (V oc ) yang besar dimiliki oleh sel dengan doping 6% wt dan suhu annealing 200oC yakni 286 mV. Sel ini memiliki konstanta waktu sebesar 10,87 sekon yang menunjukkan bahwa sel ini memiliki respon cahaya yang baik walaupun tak sebaik sel B1. Sel ini memiliki luas permukaan persambungan yang luas dan morfologi sel yang baik secara kasat mata. Luasnya bidang interface antara CdS dan polimer berarti semakin banyak pula pasangan elektron-hole yang ada sehingga arus dan tegangan yang dihasilkan pun akan semakin banyak. Sebaliknya sel yang memiliki V oc yang rendah dimiliki oleh sel D4 (sel dengan doping 8% wt dan suhu annealing 400oC yakni 107 mV. Secara morfologi terlihat bahwa sel ini memiliki ketebalan lapisan polimer yang lebih tipis yang kemungkinan diakibatkan oleh kebocoran lapisan polimer ini pada saat dilakukan pelapisan yang berarti jumlah eksiton (pasangan elektron-hole) yang dibangkitkan juga lebih sedikit. Celah energi dan konduktifitas CdS merupakan parameter mikroskopik yang mempengaruhi efek fotovoltaik persambungan CdS/P3HT-Kitosan. Hal ini tidak dapat diketahui secara pasti bagaimana pengaruh morfologi, celah energi dan konduktifitas CdS terhadap mekanisme fotovoltaik yang terjadi. Pada saat persambungan CdS/P3HT-Kitosan dikenai cahaya maka elektron pada CdS (semikonduktor tipe-n), persambungan dan pada P3HT-kitosan terjadi eksitasi elektron jika energi foton yang mengenai sel tersebut lebih besar dari celah energi pada tiap bagian tersebut. Walaupun CdS sendiri secara khusus berfungsi sebagai window layer dan penyedia level energi bagi elektron namun CdS harus memiliki mobilitas elektron yang tinggi yang berkaitan erat dengan konduktifitas. Karena konduktansi sebanding dengan konduktifitas maka bahan yang memiliki konduktansi yang tinggi akan memiliki mobilitas elektron/hole yang tinggi pula. Bahan dengan konduktifitas yang tinggi berarti memiliki kemampuan yang tinggi juga untuk mengalirkan elektron/hole di dalam bahan tersebut. Jadi secara mikroskopik, baik celah energi maupun konduktansi/resistansi CdS mempengaruhi parameter makroskopik efek fotovoltaik persambungan dua tipe semikonduktor yang berbeda. Secara teori kedua hal ini sebanding dengan tegangan rangkaian terbuka (V oc ). Namun dalam penelitian ini tidak terlihat
55
dengan jelas hubungan tersebut karena ketidak konsistenan dalam tiap pengukuran. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan luas permukaan ITO yang sama, spacer (untuk mencegah kebocoran polimer) dan sumber cahaya yang tidak mobile sehingga intensitas cahaya yang diberikan terhadap semua sel, sama.
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1
Simpulan
1. Pemberian doping Boron dan peningkatan temperatur annealing dapat mengubah struktur, morfologi dan karakteristik optik lapisan tipis CdS. 2. Tegangan rangkaian terbuka (V oc ) pada persambungan CdS/P3HT-kitosan terbesar terjadi pada sel C2 (sel dengan doping 6% wt, temperatur annealing 200oC). Hal ini disebabkan oleh sel ini mempunyai permukaan yang luas dan morfologi selnya secara kasat mata sangat baik. 3. Sel yang memiliki konstanta waktu paling kecil yang berarti bahwa sel tersebut sangat merespon cahaya dimiliki oleh sel B1 (sel dengan doping 4% wt, tanpa annealing). Hal ini disebabkan karena sel ini memiliki hambatan dalam yang kecil.
5.2
Saran
Tidak terkontrolnya lapisan polimer di atas film tipis yang dapat mempengaruhi karakteristik persambungan CdS/Polimer yang disebabkan oleh terjadinya kebocoran pada saat pelapisan, maka perlu dilakukan teknik lainnya untuk mencegah hal tersebut. Teknik yang dapat digunakan seperti penggunaan spacer pada kedua sisi lapisan CdS.
59
DAFTAR PUSTAKA
Beek WJE, Wienk MM, Janssen RAJ. 2005. Hybrid Polymer Solar Cells Based On Zinc Oxide. J. Mater. Chem. 15:2985–2988. Cetinorgu E, Gumus C, Esen R. 2006. Effects of Deposition Time and Temperature on The Optical Properties of Air-Annealed Chemical Bath Deposited CdS Films. Thin Solid Films 515:1688–1693. Devi R, Purkayastha P, Kalita PK, Sarma BK. 2007. Synthesis of Nanocrystalline CdS Thin Films In PVA Matrix. Bull. Mater. Sci. 30(2):123–128. Dumbrava A, Badea C, Prodan G, Ciupina V. Synthesis and Characterization of Cadmium Sulfide Obtained At Room Temperature. Chalcogenide Letters 7(2):111-118. Dwivedi DK, Dayashankar, Dubey M. 2010. Synthesis, Structural and Optical Characterization of CdS Nanoparticles. Journal of Ovonic Research 6(1):57-62. Eitssayeam S, Inthatha U, Pengpat K, Tunkasiri T. 2005. Properties of CdS:Ni Films Prepared By Chemical Bath Deposition Method. Journal of Materials Science 40:3803 – 3807. Fonash SJ. 2010. Solar Cell Device Physics Second Edition. USA. Elsevier Inc. Ge W. 2009 . An Overview on P3HT:PCBM, The Most Efficient Organic Solar Cell Material So Far. Solid State Physics II. Goetzberger A, Knobloch J, Bernhard, 1998. Crystalline Silicon Solar Cells. Inggris. John Wiley & Sons Ltd. Gratzel M. 2003. Review Dye-sensitized solar cells. Journal of Photochemistry and Photobiology C: Photochemistry Reviews 4:145–153. Haider AJ, Mousa AM, Al-Jawad SMH. 2008. Annealing Effect on Structural, Electrical and Optical Properties of CdS Films Prepared by CBD Method. Journal of Semiconductor Technology and Science 8(4). Hiie J, Dedova T, Valdna V, Muska K. 2006.Comparative Study of Nano-Structured CdS Thin Films Prepared by CBD and Spray Pyrolysis: Annealing Effect. Thin Solid Films 511–512:443–447.
60
Hirano S. 1986. Chitin and Chitosan. Ulmann’s Encyclopedia of Industrial Chemistry.Republicka of Germany. 5th . ed. A 6: 231 – 232. Jafari A , Rizwan Z, Ghazali MSM, Din FU, Zakaria A. 2010. Optical and Sructural Characterization of Air-Annealed CdS Film Prepared by Chemical Bath Deposition (CBD) Technique. ChalcogenideLetters 7(12): 641-646. Jinxin Z, Gaoling Z, Gaorong H. 2007. Preparation of CdS Nanoparticles by Hydrothermal Method in Microemulsion. Front. Chem. China 2(1):98–101. Kang Y, Kim D. 2005.Well-Aligned CdS Nanorod/Conjugated Polymer Solar Cells. Solar Energy Materials & Solar Cells 90:166–174. Ke Y, Wang Y, Jain A, Samulson L, Kumar J. 2007. Determination of Electron and Hole Mobility of Regioregular Poly(3-hexylthiophene) by the Time of Flight Method Journal of Macromolecular Science, Part A: Pure and Applied Chemistry. Journal of Macromolecular Science, Part A: Pure and Applied Chemistry 44(12):1261 – 1264. Khallaf H, Chai G, Lupan O, Chow L, Park S, Schulte A. 2008. Characterization of Gallium-Doped CdS Thin Films Grown by Chemical Bath Deposition. Applied Surface Science 255:4129–4134. Khallaf H, Chai G, Lupan O, Chow L, Park S, Schulte A. 2008. Investigation of Aluminium and Indium in situ Doping of Chemical Bath Deposited CdS Thin Films. J. Phys. D: Appl. Phys 41:185304. Khallaf H, Chai G, Lupan O, Chow L, Heinrich H, Park S, Schulte, A. 2009. In-situ Boron Doping of Chemical-Bath Deposited CdS Thin Films. Hys. Status Solidi 206(2):256–262. Kietzke T. 2007. Review Article Recent Advances in Organic Solar Cells. Advances in OptoElectronics; Article ID 40285:1-15. Lee HJ. 2006. Structural and Optical Properties of CdS Thin Films On Organic Substrates For Flexible Solar Cell Applications. J Electroceram 17:1103–1108. Lesmana TJ. 2009. Pembuatan dan Karakterisasi ITO/CdS/Klorofil/PANI/ITO. Bogor: IPB Press [Tesis]
Sel
Surya
Hibrid
Lin YJ, Wang L, Chiu WY. 2005. Novel Poly(3-methylthiophene)-TiO 2 Hybrid Materials For Photovoltaic Cells. Thin Solid Films.
61
Mahdi MA, Kasem SJ,Hassen JJ, Swadi AA, Ani SKJA. 2009. Structural and Optical Properties of Chemical Deposition CdS Thin Films. J. Nanoelectronics and Materials 2:163-172. Malinowska B, Rakib M, Durand G. 2005. Analytical Characterization of Cadmium Cyanamide in CdS Thin Films and Bulk Precipitates Produced From CBD Process in Pilot Plant. Solar Energy Materials & Solar Cells 86:399–419. Metin H, Sat F, Erat S, Ari M. 2008. Cadmium Sulphide Thin Films Grown by CBD: The Effect of Thermal Annealing on The Structural, Electrical and Optical Properties. Journal of Optoelectronics and Advanced Materials 10(10):2622– 2630. Mohamad SA, Yahya R, Ibrahim ZA, Arof AK. 2007. Photovoltaic Activity in A ZnTe/PEO-Chitosan Blend Electrolyte Junction. Solar Energy Materials and Solar Cells 91:1194-1198. Mohamad SA, Ali MH, Yahya R, Ibrahim ZA, Arof AK. 2007. Photovoltaic Activity in A ZnSe/PEO-Chitosan Blend Electrolyte Junction. Ionics 13:235-240. Murali KR, Kumaresan S, Prince JJ. 2007. Characteristics of CdS Films Brush Electrodeposited On Low-Temperature Substrates. Materials Science in Semiconductor Processing 10:56–60. Patidar D, Sharma R, Jain N, Sharma TP, Saxena, NS. 2004. Optical Properties of CdS Sintered Film. Bull. Mater. Sci. 29: 21–24. Pentia E, Pintilie L, Pintilie I, Botila T. 2000. The Influence of Cadmium Salt Anion On The Growth Mechanism and On The Physical Properties of CdS Thin Films. Journal of Optoelectronics and Advanced Materials 2(5):593-601. Polo AS, Iha NYM. 2006. Blue Sensitizers For Solar Cells: Natural Dyes From Calafate and Jaboticaba. Solar Energy Materials & Solar Cells 90:1936–1944. Rahardjo A, Herlina, Safrudin H. 2008. Optimalisasi Pemanfaatan Sel Surya Pada Bangunan Komersial Secara Terintegrasi Sebagai Bangunan Hemat Energi. Dalam Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008. Rio SR, Ida M. 1999. Fisika dan Teknologi Semikonduktor Cetakan Ketiga. Jakarta:Pradnya Paramita. Soga T. 2006. Nanostructred Materials For Solar Energy Conversion. Amsterdam: Elsevier BV.
62
Suhono, 2009. Laporan Kerja Praktek: Inventarisasi Permasalahan Pada Instalasi Solar House System di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Sze, SM, Kwok K. Ng. 2007. Physics of Semiconductor Devices. New Jersey: John Willey & Sons, Inc. Wijaya, SK. 2007. Diktat Kuliah Elektronika I. Jakarta. Fisika FMIPA UI. Yani S. 2008. Analisis Efek Penyinaran dan Temperatur Terhadap Karakteristik Sel Surya Melalui Simulasi Komputer [skripsi]. Kendari: Universitas Haluoleo. Zhou X, Li Z, Xu S. 2008. Preparation and Formation Mechanism of CdS NanoFilms Via Chemical Bath Deposition. Front. Chem. China 3(1):18–22. http://rhazio.files.wordpress.com/2007/09/sry2.jpg [13 Oktober 2010]
63
Lampiran 1 Data JCPDS CdS Fase Heksagonal
64
Lampiran 2 Data JCPDS CdS Fase Kubik
65
Lampiran 3 Data Konduktansi dan Impedansi P3HT-Kitosan
Frekuensi (Hz)
100
Rata-rata
500
Rata-rata
1000
Rata-rata
Z (MΩ) 2,5093 2,5093 2,5109 2,5113 2,5061 2,5018 2,4983 2,4985 2,4915 2,4886 2,50256
C (pF) 27,942 28,255 27,358 27,854 28,01 28,357 28,5 28,144 28,143 28,367 28,093
G (nS) 398,13 398,12 397,89 397,81 398,64 399,3 399,88 399,85 400,97 401,44 399,203
R (MΩ) 2,5117 2,5118 2,5133 2,5138 2,5085 2,5044 2,5008 2,5009 2,494 2,491 2,50502
2,3597 2,3726 2,3785 2,3906 2,3942 2,3973 2,4036 2,4073 2,4088 2,4032 2,406 2,392891
9,0598 9,0609 9,0283 9,0255 8,9942 9,0007 9,0068 8,9802 8,9673 8,9707 9,0308 9,011382
419,94 417,61 416,53 414,44 413,83 413,28 412,18 411,56 411,3 412,28 411,73 414,0618
2,3813 2,3946 2,4004 2,4129 2,4164 2,4196 2,4261 2,4298 2,4313 2,4255 2,4288 2,415155
2,265 2,2728 2,2768 2,2748 2,2764 2,2809 2,29 2,2876 2,2871 2,2955 2,2987 2,282327
10,945 10,91 10,931 10,981 10,967 10,912 10,916 10,896 10,909 10,887 10,901 10,92318
440,15 438,64 437,87 438,23 437,93 437,07 435,32 435,8 435,89 434,29 433,68 436,8064
2,272 2,2798 2,2838 2,2819 2,2834 2,2879 2,2971 2,2947 2,2941 2,3026 2,3059 2,289382
66
Frekuensi (Hz)
5000
Rata-rata
10000
Rata-rata
Z (MΩ) 1,4605 1,4794 1,486 1,4653 1,4569 1,4765 1,5016 1,4402 1,4633 1,4436 1,4946 1,469809
C(pF) 7,6393 7,7638 7,6636 7,6413 7,6361 7,6722 7,5103 7,96 7,9159 7,8511 7,5326 7,707836
G (mS) 488,32 467,95 470,14 485,03 490,83 475,72 469,91 481,62 468,63 486,3 472,94 477,9445
R (MΩ) 2,079 2,137 2,127 2,0617 2,0374 2,1021 2,1281 2,0763 2,1339 2,0563 2,1144 2,095745
1,9466 1,9344 1,9281 1,9845 1,9557 1,9003 1,9302 1,9155 1,9224 1,9378 1,93555
7,9528 7,844 8,1387 7,9127 8,0589 8,206 8,0077 8,0087 8,1047 8,0317 8,02659
448,86 454,43 451,25 438,32 444,24 458,75 452,92 457,44 453,6 450,3 451,011
2,2279 2,2005 2,216 2,2614 2,251 2,798 2,2079 2,1861 2,2046 2,2207 2,27741
67
Lampiran 4 Perhitungan Konduktifitas P3HT-Kitosan A = 1,3 cm x 1 cm = 1,3 cm2 = 1,3 x 10-4 m2 l = 0,135 mm = 1,35 x 10-4 m Z =ρ
Karena σ =
f (Hz) 100 500 1000 5000
1
ρ
l A ⇒ρ =Z A l
maka σ =
Z (MΩ) 2.50256 2.392890909 2.282327273 1.469809091
l Z A
G (nS) 399.203 414.0618 436.8064 477.9445
atau σ =
Gl A
Z (Ω) 2502560 2392890.909 2282327.273 1469809.091
ρ (Ωm) 2598812.308 2484925.175 2370109.091 1526340.21
σ (S/m) 3.85E-05 4.02E-05 4.22E-05 6.55E-05
σ (S/cm) 3.84791E-07 4.02427E-07 4.21922E-07 6.55162E-07
68
Lampiran 5 Cara Perhitungan Konstanta Waktu (τ) Konstanta waktu (τ) V = Vo e
−
t
τ
Dengan memisalkan t = τ maka V = Vo e −1 Vo e
V =
Dengan V adalah tegangan tiap satuan waktu t, V o adalah tegangan maksimum dan e sebesar 2.718, maka dengan mensubtitusi persamaan (8) ke (9) diperoleh t
− Vo = Vo e τ e
e −1 = e −1 = −
−
t
τ
t
τ
t =τ t = τ terjadi ketika
Vo , sehingga e
Vo τ = t2 - t1
V = Vo/e t1
t2
Gambar Recovery respon piranti
t
69
Lampiran 6 Perhitungan Konstanta Waktu Sel A1, A2, A3 dan A4
Konstanta waktu A1 (τ A1 ) Vo 0,196 = = 0,072112 volt e 2,718 No 1 2 Rataan
t (detik) 348,1 348,3 348,2
V o /e (Volt) 0,072 0,072 0,072
Maka
τ = t − t awal τ = 348,2 − 303,8 τ = 44,4 detik
Konstanta Waktu A2 (τ A2 ) Vo 0,189 = = 0,075791 volt e 2,718 No 1
t (detik) 320,7
V o /e (Volt) 0,069
Maka
τ = t − t awal τ = 320,7 − 300,4 τ = 20,3 detik
Konstanta Waktu A3 (τ A3 ) Vo 0,206 = = 0,076 e 2,718 No 1
Maka
τ = t − t awal τ = 325,7 − 300
t (detik) 325,7
V o /e (Volt) 0,076
70
τ = 25,7 detik
Konstanta Waktu A4 (τ A4 ) Vo 0,221 = = 0,081 volt e 2,718 No 1 2 3 4 5 Rataan
t (detik) 311,3 311,6 311,9 312,2 312,4 311,88
V o /e (Volt) 0,081 0,081 0,081 0,081 0,081
Maka
τ = t − t awal τ = 311,88 − 300 τ = 11,88 detik
A1 A2 A3 A4 t(sekon) V(Volt) t(sekon) V(Volt) t(sekon) V(Volt) t(sekon) V(Volt) 305 0,172 300,3 0,158 299,9 0,19 299,9 0,181 305,1 0,167 300,4 0,189 300 0,206 300 0,221 348 0,078 300,5 0,172 300,1 0,189 300,1 0,195 348,1 0,072 320 0,065 325,3 0,106 311 0,088 348,2 0,079 320,1 0,068 325,4 0,077 311,1 0,085 348,3 0,072 320,2 0,076 325,5 0,076 311,2 0,092 348,4 0,067 320,3 0,068 325,6 0,06 311,3 0,081 348,5 0,073 320,4 0,063 325,7 0,075 311,4 0,091 348,6 0,069 320,5 0,068 325,8 0,087 311,5 0,084 348,7 0,079 320,6 0,065 325,9 0,076 311,6 0,081 348,8 0,068 320,7 0,069 326 0,092 311,7 0,094 348,9 0,081 320,8 0,072 326,1 0,079 311,8 0,057 349 0,081 320,9 0,067 326,2 0,099 311,9 0,081 321 0,074 312 0,082 312,1 0,095 312,2 0,081 312,3 0,076 312,4 0,081
Keterangan
= t dan Vo/e
71
Lampiran 7 Perhitungan Konstanta Waktu Sel B1, B2, B3 dan B4
Konstanta Waktu Sel B1 (τ B1 ) Vo 0,117 = = 0,043 volt e 2,718 No 1 2 Rataan
t (detik) 302,6 302,8 302,7
V o /e (Volt) 0,041 0,045 0,043
Maka
τ = t − t awal τ = 302,7 − 300,2 τ = 2,5 detik
Konstanta Waktu Sel B2 (τ B2 ) Vo 0,193 = = 0,071 volt e 2,718 No 1
t (detik) 302,6
V o /e (Volt) 0,041
Maka
τ = t − t awal τ = 338 − 299,9 τ = 38,1 detik
Konstanta Waktu Sel B3 (τ B3 ) Vo 0,266 = = 0,098 volt e 2,718 No 1 2 3 Rataan
t (detik) 343,7 344 344,2 343,97
V o /e (Volt) 0,098 0,098 0,098 0,098
72
Maka
τ = t − t awal τ = 343,97 − 300,4 τ = 43,57 detik
Konstanta Waktu Sel B4 (τ B4 ) Vo 0,231 = = 0,085 volt e 2,718 No 1
t (detik) 331,3
V o /e (Volt) 0,085
Maka
τ = t − t awal τ = 331,3 − 300,2 τ = 31,1 detik
B1 t(sekon) 300,1 300,2 300,3 302,3 302,4 302,5 302,6 302,7 302,8 302,9 303 303,1 303,2
Keterangan
V(volt) 0,101 0,117 0,064 0,039 0,037 0,05 0,041 0,032 0,045 0,03 0,038 0,034 0,036
B2 t(sekon) 299,8 299,9 300 337,6 337,7 337,8 337,9 338 338,1 338,2 338,3 338,4 338,5
V(volt) 0,172 0,193 0,179 0,087 0,092 0,075 0,11 0,071 0,106 0,068 0,112 0,078 0,091
= t dan Vo/e
B3 t(sekon) 300,3 300,4 300,5 343,4 343,5 343,6 343,7 343,8 343,9 344 344,1 344,2 344,3 344,4
V(volt) 0,224 0,266 0,242 0,087 0,103 0,089 0,098 0,093 0,095 0,098 0,094 0,098 0,091 0,106
B4 t(sekon) 300,1 300,2 300,3 331 331,1 331,2 331,3 331,4 331,5 331,6 331,7 331,8 331,9 332
V(volt) 0,209 0,231 0,23 0,088 0,065 0,067 0,085 0,068 0,076 0,075 0,073 0,089 0,056 0,089
73
Lampiran 8 Perhitungan Konstanta Waktu Sel C1, C2, C3 dan C4
Konstanta Waktu Sel C1 (τ C1 ) Vo 0,155 = = 0,057 volt e 2,718 No 1
t (detik) 320,3
V o /e (Volt) 0,057
Maka
τ = t − t awal τ = 320,3 − 300,5 τ = 19,8 detik Konstanta Waktu Sel C2 (τ C2 ) Vo 0,286 = = 0,105 volt e 2,718 No 1
t (detik) 322,6
V o /e (Volt) 0,0105
Maka
τ = t − t awal τ = 322,6 − 300 τ = 22,6 detik Konstanta Waktu Sel C3 (τ C3 ) Vo 0,262 = = 0,096 volt e 2,718 No 1
Maka
τ = t − t awal τ = 321,3 − 300,6 τ = 20,7 detik
t (detik) 321,3
V o /e (Volt) 0,096
74
Konstanta Waktu Sel C4 (τ C4 ) Vo 0,11 = = 0,04 volt e 2,718 No 1
t (detik) 305,5
V o /e (Volt) 0,04
Maka
τ = t − t awal τ = 300,1 − 305,5 τ = 5,4 detik
C1 t(sekon) V(Volt) 300,4 0,121 300,5 0,155 300,6 0,127 320 0,038 320,1 0,093 320,2 0,049 320,3 0,057 320,4 0,064 320,5 0,059 320,6 0,081 320,7 0,049 320,8 0,048 320,9 0,081 321 0,051
Keterangan
C2 t(sekon) V(Volt) 299,9 0,256 300 0,286 300,1 0,275 322 0,132 322,1 0,142 322,2 0,149 322,3 0,118 322,4 0,145 322,5 0,139 322,6 0,105 322,7 0,168 322,8 0,109 322,9 0,155 323 0,143
= t dan Vo/e
C3 t(sekon) V(Volt) 300,5 0,251 300,6 0,262 300,7 0,236 321 0,08 321,1 0,093 321,2 0,062 321,3 0,096 321,4 0,063 321,5 0,074 321,6 0,087 321,7 0,09 321,8 0,082 321,9 0,086 322 0,058
C4 t(sekon) 300 300,1 300,2 305 305,1 305,2 305,3 305,4 305,5 305,6 305,7 305,8 305,9 306
V(Volt) 0,093 0,11 0,079 0,016 0,038 0,038 0,032 0,023 0,04 0,034 0,025 0,045 0,058 0,005
75
Lampiran 9 Perhitungan Konstanta Waktu Sel D1, D2, D3 dan D4
Konstanta Waktu Sel D1 (τ D1 ) Vo 0,278 = = 0,101 volt e 2,718 No 1
t (detik) 299,8
V o /e (Volt) 0,101
Maka
τ = t − t awal τ = 320,2 − 299,8 τ = 20,4 detik
Konstanta Waktu Sel D2 (τ D2 ) Vo 0,220 = = 0,08 volt e 2,718 No 1
t (detik) 327,3
V o /e (Volt) 0,08
Maka
τ = t − t awal τ = 327,3 − 301 τ = 26,3 detik
Konstanta Waktu Sel D3 (τ D3 ) Vo 0,209 = = 0,075 volt e 2,718 No 1
Maka
τ = t − t awal τ = 316,2 − 300,7 τ = 15,5 detik
t (detik) 316,2
V o /e (Volt) 0,075
76
Konstanta Waktu Sel D4 (τ D4 )
Vo 0,107 = = 0,04 volt e 2,718 No 1 2 3 Rataan
t (detik) 310,4 311,1 311,7 311,0667
V o /e (Volt) 0,04 0,04 0,04 0,04
Maka
τ = t − t awal τ = 311,067 − 300,1 τ = 10,967 detik
D1 t(sekon) V(Volt) 299,7 0,244 299,8 0,278 299,9 0,272 320 0,093 320,1 0,143 320,2 0,101 320,3 0,136 320,4 0,103 320,5 0,139 320,6 0,102 320,7 0,133 320,8 0,119 320,9 0,12 321 0,128
Keterangan
D2 t(sekon) V(Volt) 300,9 0,219 301 0,22 301,1 0,209 327 0,101 327,1 0,119 327,2 0,114 327,3 0,08 327,4 0,095 327,5 0,126 327,6 0,114 327,7 0,101 327,8 0,096 327,9 0,11 328 0,119
= t dan Vo/e
D3 t(sekon) V(Volt) 300,6 0,197 300,7 0,203 300,8 0,195 315,8 0,099 315,9 0,106 316 0,082 316,1 0,11 316,2 0,075 316,3 0,104 316,4 0,112 316,5 0,085 316,6 0,096 316,7 0,068
D4 t(sekon) V(Volt) 300 0,106 300,1 0,107 300,2 0,069 310,3 0,048 310,4 0,04 310,5 0,046 310,6 0,029 310,7 0,053 310,8 0,045 310,9 0,028 311 0,067 311,1 0,04 311,2 0,057 311,3 0,019 311,4 0,057 311,5 0,031 311,6 0,046 311,7 0,04 311,8 0,046 311,9 0,044
77
Lampiran 10 Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Penelitian
CdCl2
Thiourea
Hot Plate
H3BO3
NH4OH
Neraca analitik
Furnace
SEM Zeiss EVO-50
TEA
Shimadzu XRD-7000 MAXIMA
Photometer PMA2200
Interface Scientific Workshop 750 (PASCO) Spektrofotometer Ocean Optic 2000