Otonomi Daerah dan Kualitas Pelayanan Publik Kepulauan Spermonde di Prov. Sulawesi Selatan; Kasus di Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar dan Kecamatan Liukang Tangaya, Kabupaten Pangkep Andi Ahmad Yani** Abstrak Implementasi otonomi daerah di Indonesia selama satu dekade diharapkan dapat mewujudkan salah satu tujuan utamanya yaitu peningkatan kualitas pelayanan publik di tingkat lokal, terkhusus di pulau-pulau kecil. Tulisan ini menganalisis penyelenggaraan pelayanan publik di Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makasssar dan Kecamatan Liukang Tangaya, Kabupaten Pangkep sebagai bagian dari Kepulauan Spermonde di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketimpangan jumlah dan kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur menjadi permasalahan mendasar dalam rendahnya kualitas penyelenggaraan pelayanan publik pada sektor kesehatan dan pendidikan di kedua daerah tersebut. Diperlukan kebijakan khusus dalam manajemen pemerintahan pulau untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah kepulauan.
A. Pendahuluan Kebijakan menstransfer sebagian otoritas dan kewenangan pemerintah di tingkat nasional ke tingkat lokal menjadi tuntutan sekaligus tantangan bagi hampir semua pemerintahan di dunia. Kebijakan yang lazim dikenal sebagai desentralisasi telah diaplikasikan dengan beragam metode dan strategi di berbagai negara, khususnya negara-negara yang baru bebas dari kolonialisasi. Sebelumnya negara-negara tersebut mengaplikasikan sistem pemerintahan yang terkontrol dan terpusat yang merupakan kelanjutan dari model pemerintahan kolonial. Penerapan sistem sentralisasi pada periode kolonial memang efektif untuk mengontrol daerah-daerah jajahan karena sistem ini merupakan model organisasi militer klasik. Sistem klasik ini kemudian pelan-pelan ditinggalkan ketika gelombang demokratisasi secara massif dimulai di negara-negara yang mengklaim dirinya negara maju. Selanjutnya trend demokratisasi ini mewarnai negara-negara yang baru merdeka dan negara-negara yang baru terbentuk dari konflik wilayah atau etnis dengan berbagai motif. Nilai-nilai demokrasi seperti partisipasi semua warga dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia menjadi spirit utama dalam system desentralisasi. Dengan kata lain, warga masyarakat akan berpartisipasi dengan sadar ketika mereka diberi kewenangan dan penghargaan atas hak-hak yang mereka miliki secara lahiriah. Cheema dan Rondinelli (2007; 3-4) membagi proses pengaplikasian system desentralisasi ke berbagai negara ke dalam tiga gelombang. Gelombang pertama, dimulai pada tahun 1970an hingga 1980an ketika pasca Perang Dunia ke II. Periode ini dimulai dengan meretas konsep desentralisasi yang berfokus pada kebijakan
Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Internasional ke 11 Percik, di Salatiga pada Tanggal 2123 Juli 2010. * * Pengajar di Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin.
1
dekonsentrasi struktur birokrasi pemerintahan. Pada pertengahan dekade 1980an, gelombang kedua desentralisasi semakin meluas yang ditandai dengan pembagian kekuasaan politik, demokratisasi, liberalisasi pasar dan akomodasi kelompok pengusaha dalam proses pengambilan keputusan. Pada awal 1990an, desentralisasi secara massif dianut oleh hampir semua negara dengan lebih mengapresiasi keterlibatan masyarakat lebih luas di setiap proses pemerintahan melalui partisipasi organisasi sosial masyarakat. Proses aplikasi system desentralisasi dengan berbagai metode atau strategi ini semata-mata bertujuan untuk mentransformasi otoritas, kewenangan dan sumber daya ke pemerintah lokal untuk mendukung masyarakat dan pemerintah dalam mengformulasi dan mengimplementasi serta mengevaluasi kebijakan di tingkat lokal dalam peningkatan kualitas pelayanan publik secara kontinyu. Konsep desentralisasi di Indonesia telah diterapkan sejak awal kemerdekaan Indonesia hingga sekarang dengan berbagai bentuk formulasi kebijakan untuk memenuhi tujuan tersebut. Kebijakan otonomi daerah dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang dengan sah mulai diterapkan pada awal 2001 merupakan sebuah formula kebijakan yang mencoba menerapkan spirit desentralisasi dengan sungguh-sungguh. Kesungguhan ini ditandai dengan kebijakan sharing keuangan negara yang signifikan ke pemerintah di tingkat regional dan lokal. Selanjutnya transfer aparatur pemerintah di tingkat pemerintahan nasional ke pemerintahan di tingkat regional. Tanda kesungguhan terakhir adalah gubernur dan bupati/walikota tidak lagi dipilih oleh pemerintah nasional tapi dipilih oleh parlemen tingkat lokal sebagai bentuk transformasi politik kekuasaaan ke tingkat lokal. Impelementasi konsep desentralisasi di Indonesia terus diperbaiki dengan memasuki gelombang kedua melalui UU 32 Tahun 2004. Aturan ini berupaya memperbaiki dan meningkatkan kualitas implementasi desentralisasi dari peraturan sebelumnya. Terlepas dari berbagai kritik atas kelemahan aturan-aturan ini, kualitas pelayanan publik dianggap mulai membaik dibandingkan sebelumnya. Hal ini terdeskripsi di hasil survey pemerintahan dan desentralisasi tahun 2006 yang menunjukkan persepsi positif yang signifikan dari masyarakat atas pelayanan kesehatan dan pendidikan pada pemerintah lokal di Indonesia (Fengler dan Hofman, 2009; 251). Setelah sepuluh tahun kebijakan otonomi daerah diaplikasikan di Indonesia, maka perbaikan kualitas pelayanan publik menjadi harapan dan ekspektasi semua warga negara Indonesia. Sebagai negara kepulauan, perbaikan kualitas pelayanan publik pun diharapkan juga dialami oleh warga negara Indonesia yang hidup di daerah kepulauan. Berangkat dari asumsi ini, maka penulis tertarik untuk mengkaji penerapan kebijakan otonomi daerah di kabupaten/kota yang memiliki wilayah kepulauan. Untuk itu, penulis menganalisis penyelenggaraan pelayanan publik di sektor kesehatan dan pendidikan di Kepulauan Spermonde Provinsi Sulawesi Selatan dengan studi kasus di Kota Makassar dan Kabupaten Pangkep. B. Sejarah dan Kondisi Sosial Masyarakat Kepulauan Spermonde Kepulauan Spermonde (Spermonde shelf) terletak di bagian Selatan Selat Makassar yang berlokasi di pesisir barat daya Pulau Sulawesi (Jompa et.al, 2005; 3). Masyarakat yang hidup di wilayah Spermonde mengenalnya sebagai pulau Sangkarang yang terdiri dari kurang lebih 121 pulau-pulau kecil dan sedang baik berpenghuni maupun tidak berpenghuni yang tersebar mulai dari sebelah Selatan Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan hingga Kabupaten Mamuju, 2
Provinsi Sulawesi Barat (Ibid). Kepulauan Spermonde tersebar di 5 wilayah kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Sebagian besar pulau-pulau di kawasan Spermonde masuk dalam kawasan Kabupaten Pangkep dan sebagiannya lagi tersebar di kawasan Kabupaten Barru, Kabupaten Maros, Kabupaten Takalar dan Kota Makassar. Kepulauan Spermonde pada tahun 1961 atau pada masa pemerintahan Soekarno merupakan suatu wilayah administratif kecamatan dalam pemerintahan Kabupaten Maros dan kemudian terpisah ke daerah wilayah kabupaten yang terdekat sejak masa pemerintahan Soeharto (Hadi, 2007; 155). Kepulauan Spermonde dibagi menjadi empat wilayah oleh Hutchinson (1945) seperti yang dikutip oleh Jompa et.al (2005;3) sebagai sumber daya perikanan dan kelautan dengan berdasar pada distribusi terumbu karang. Pertama, wilayah terdekat dengan pantai daratan utama Pulau Sulawesi dengan kedalaman laut 10 m. Wilayah kedua yang berjarak kurang lebih 5 km dari daratan utama Pulau Sulawesi dengan kedalaman rata-rata 30 m dimana banyak terdapat pulau karang. Wilayah di garis pantai 12,5 km dari Pulau Sulawesi dengan kedalaman laut 20-50 m ditetapkan sebagai wilayah ketiga. Wilayah terluar dengan jarak 30 km dari daratan utama Pulau Sulawesi adalah wilayah keempat dimana pada sisi Timur memiliki kedalaman sekitar 40-50 m dan kedalaman lebih dari 100 m di sisi bagian Barat. Kepulauan Spermonde dihuni sejak ratusan tahun lalu namun menurut Muhammad Neil mengalami migrasi penduduk secara parsial ke daratan utama Pulau Sulawesi pada periode penjajahan Belanda. Posisi beberapa pulau-pulau terluar kawasan Spermonde menjadi wilayah strategis pangkalan kapal perang Kerajaan Belanda pada masa itu. Kondisi ini membuat pulau-pulau ini menjadi rawan penyerangan kapal dari pihak musuh sehingga membuat sebagian warga mengungsi ke daratan utama atau wilayah pulau lain yang dianggap aman. Pada periode awal kemerdekaan Republik Indonesia, terjadi pemberontakan di beberapa wilayah daratan utama Pulau Sulawesi, khususnya di wilayah Sulawesi Selatan. Pada masa tersebut terjadi pergolakan politik dengan pemberontakan militer yaitu pemberontakan yang dipimpin oleh Andi Azis pada tahun 1950, pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin oleh Abdul Qahar Muzakkar pada tahun 1953-1965, dan pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Pembangunan Semesta (PRRI Semesta) pada tahun 1958-1962 (Hadi,2007;144). Pergolakan ini meletus sebagai bentuk dinamika elit lokal dalam proses pembentukan negara Republik Indonesia pada masa itu (Ibid;145). Bahkan salah satu gugusan pulau Spermonde yaitu Pulau Samalona pernah menjadi kawasan tahanan militer pada tahun 1950 (Ibid, 147). Ketidakstabilan sosial politik pada masa tersebut menelan banyak korban jiwa dan trauma bagi masyarakat sipil yang umumnya tidak memahami dan terlibat dalam perseteruan elit lokal tersebut. Kondisi ini mengakibatkan arus pengungsi ke pulau-pulau Spermonde yang berlokasi jauh untuk menghindari konflik politik elit lokal di daratan utama Pulau Sulawesi (Ibid). Selain faktor kesejarahan di atas, masyarakat kepulauan Spermonde juga sangat dipengaruhi dengan factor struktur sosial dengan system patron klien yang sangat kental dan diwariskan secara informal. Sistem patron klien masyarakat nelayan di daerah Sulawesi Selatan dan sekitarnya dikenal dengan istilah ponggawa-sawi. Ponggawa merupakan patron yang memiliki modal untuk membiayai seluruh proses mulai produksi seperti penangkapan hingga pemasaran hasil penangkapan ikan. Ponggawa biasanya juga sekaligus pemilik perahu atau pemodal yang 3
membiayai pembuatan perahu. Sementara sawi adalah kelompok nelayan yang bekerja di perahu ponggawa atau menjalankan perahu ponggawa. Selanjutnya, sawi menjual atau menyetor hasil tangkapan ikannya ke ponggawa atau menyetor hasil penjualan ikan ke ponggawa selaku pemiliki modal. Hubungan ini tidak hanya dalam kegiatan ekonomi tapi juga dalam hal sosial lainnya. Misalnya, jika sawi membutuhkan dana untuk mengawinkan anaknya atau menyekolahkan anaknya atau kebutuhan-kebutuhan lainnya maka sawi akan selalu mengharapkan bantuan ponggawa. Di sisi lain, para ponggawa mempunyai kewajiban untuk selalu membantu para sawi yang biasanya kemudian akan dikalkulasi dalam hasil kerja sawi di kemudian hari. Jika sawi bersangkutan kemudian tidak dapat melaut lagi karena alasan kesehatan maka dia akan diganti oleh anak atau keluarga sawi bersangkutan. Hubungan ini kemudian sudah menjadi sebuah hubungan kekerabatan yang sangat kental hingga ke keturunan atau anak cucu, baik di pihak ponggawa maupun sawi. Hubungan hierarkis ini pun berlaku dalam sektor politik, dimana pilihan politik sawi akan selalu mengikuti pilihan politik para ponggawa.
C. Pelayanan Publik di Sektor Kesehatan dan Pendidikan di Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar dan Kecamatan Liukang Tangaya, Kabupaten Pangkep. 1. Kota Makassar Kota Makassar adalah ibukota Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki luas 175,77 km persegi dan berjarak 2 jam dari Jakarta – ibukota Republik Indonesia- dengan menggunakan jalur transportasi udara. Kota Makassar juga merupakan salah satu dari 5 kota terbesar di Indonesia dengan berpenduduk 1.235.239 jiwa pada tahun 2007. Sebagai ibukota Provinsi, Kota Makassar memiliki jumlah sumber daya yang baik dalam penyelenggaraan pelayanan publik di sektor kesehatan. Di tahun 2007 terdapat 19 rumah sakit yang terdiri atas 8 rumah sakit pemerintah/TNI/Kepolisian, 8 rumah sakit swasta, dan 3 rumah sakit khusus. Sarana rumah sakit ini didukung dengan 115 unit puskesmas yang terdiri atas 37 puskesmas, 41 puskesmas pembantu dan 37 puskesmas keliling (BPS Makassar, 2008; 65-66). Infrastruktur ini didukung oleh tenaga medis yaitu 2.695 dokter praktek dan 168 bidan praktek (Ibid) Pelayanan publik pada sektor pendidikan dasar dan tingkat menengah atas di Kota Makassar juga memiliki dukungan sumber daya yang memadai, khususnya di daerah daratan. Pelayanan di sektor pendidikan Kota Makassar didukung oleh sumber daya berupa, 448 gedung sekolah dasar dengan 5.500 orang guru serta 143.169 orang murid. Pada tingkat SLTP, terdapat 171 unit sekolah dengan guru berjumlah 4.346 dan 57.410 orang murid. Di tingkat SLTA terdiri atas 110 gedung sekolah dengan jumlah guru sebanyak 1.586 orang dan jumlah murid sebanyak 10.879 orang (BPS Makassar, 2008; 64). Kota Makassar terbagi atas 14 kecamatan, 143 kelurahan, 970 Rukun Warga (RW) dan 4.789 Rukun Tetangga (RT) (Ibid, 8). Hampir semua kecamatan terletak di daratan dan hanya 2 kecamatan yang mempunyai beberapa wilayah di kepulauan. Kecamatan yang memiliki wilayah di kepulauan Spermonde adalah Kelurahan Ujung Tanah dan Kecamatan Mariso. 4
Penulis memilih Kecamatan Ujung Tanah sebagai kasus pemerintahan pulau dalam makalah ini dengan pertimbangan kecamatan ini mempunyai wilayah pulau yang terluar dan menjadi bagian dari Kepulauan Spermonde. Kecamatan Ujung Tanah terdiri atas 12 kelurahan dimana 3 diantaranya terletak di daerah kepulauan. Kelurahan di daerah daratan adalah: 1. Kelurahan Ujung Tanah 2. Kelurahan Tamalabba 3. Kelurahan Tabaringan 4. Kelurahan Totaka 5. Kelurahan Pattingalloang 6. Kelurahan Gusung 7. Kelurahan Pattingalloang Baru 8. Kelurahan Camba Berua 9. Kelurahan Cambaya Adapun 3 kelurahan di daerah kepulauan adalah: 1. Kelurahan Kondingareng 2. Kelurahan Barang Caddi 3. Kelurahan Barang Lompo Kelurahan Kodingareng mempunyai 2 pulau terpisah yang menjadi wilayah dusun yaitu Pulau Kondingareng Keke dan Pulau Kodingareng Caddi. Demikian halnya dengan Kelurahan Barang Caddi juga terdiri atas beberapa pulau atau wilayah dusun yaitu Pulau Langkae, Pulau Lanjukang, Pulau Lumu-lumu, Pulau Bone Tambung dan Pulau Barang Caddi sendiri. Sementara Kelurahan Barang Lompo atau biasa dikenal Pulau Barrang Lompo hanya memiliki dusun di dalam wilayah pulaunya sendiri. Tabel 1 Jarak Kantor Kelurahan ke Kantor Camat Ujung Tanah pada Tahun 2008
Kelurahan
Jarak dari Kelurahan ke Ibu Kota Kecamatan (Km) 1
1-2
3-4
5-10
>10
1. Kodingareng
-
-
-
-
2. Barang Caddi
-
-
-
-
3. Barang Lompo
-
-
-
-
4. Ujung Tanah
-
-
-
5
5. Tamalabba
-
-
-
-
6. Tabaringan
-
-
-
-
7. Totaka
-
-
-
-
8. Pattingalloang
-
-
-
-
9. Gusung
-
-
-
-
10. Pattingalloang Baru
-
-
-
-
11.Camba Berua
-
-
-
-
12.Cambaya
-
-
-
-
Kecamatan
6
3
0
0
3
Sumber: Kecamatan Ujung Tanah dalam Angka 2009 hlm 8
Pada Tabel 2 di bawah dapat dilihat bagaimana kondisi pendidikan dasar di Kecamatan ini. Data jumlah sekolah dasar di atas terdiri atas SD negeri, inpres (proyek instruksi presiden pada era Pemerintahan Soeharto), dan Madrasah Ibtidayah (di bawah kordinasi Departemen Agama Republik Indonesia). Di wilayah daratan terdapat satu kelurahan yang tidak memiliki fasilitas SD namun jarak ke SD di kelurahan lain dapat diakses dengan kendaraan motor atau sepeda dengan mudah. Jumlah kelas di suatu sekolah ada yang lebih dari 6 kelas persekolah, hal ini berarti terdapat satu sekolah yang memiliki kelas yang lebih dari satu ruang kelas. Umumnya kondisi ini terjadi di kelas 1 dimana jumlah anak yang mendaftar cukup banyak sehingga harus dibagi ke ruang kelas lain. Namun tidak selamanya anak di kelas 1 tersebut lanjut hingga ke kelas 6 atau tingkat terakhir. Jumlah guru di Tabel 2 terdiri atas guru tetap dan guru kontrak. Tabel 2 Jumlah Sekolah, Kelas, Murid, dan Guru pada Tingkat Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Ujung Tanah di Tahun 2008 Kelurahan
Sekolah
Kelas
Murid
Guru
1. Kodingareng
1
15
653
16
2. Barang Caddi
3
18
623
27
3. Barang Lompo
1
8
358
1
4. Ujung Tanah
2
12
227
18
5. Tamalabba
1
6
123
14
6. Tabaringan
1
6
82
4
7. Totaka
2
21
756
41 6
8. Pattingalloang
2
12
440
18
9. Gusung
2
12
292
16
10. Pattingalloang Baru
2
12
769
27
11.Camba Berua
0
0
0
0
12.Cambaya
2
20
754
21
Kecamatan
19
154
4.797
202
Sumber: Kecamatan Ujung Tanah dalam Angka 2009, hlm 36-38
Penulis akan fokus pada 3 kelurahan di daerah kepulauan dari 12 kelurahan di Kecamatan Ujung Tanah untuk menganalisis penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu Kelurahan Barang Caddi, Kelurahan Barang Lompo dan Kelurahan Kodingareng. Pada sektor pendidikan, ketiga kelurahan ini memiliki 4 gedung SD dengan 1.634 murid, 1 gedung SMTP dengan 128 murid. Namun, kelurahan ini tidak memiliki taman kanak-kanak dan sekolah tingkat menengah tingkat atas (SMTA) atau sederajat. Pada Tabel 2 terlihat di ketiga Pulau Kodingareng, Pulau Barang Caddi dan Pulau Barang Lompo mempunyai 5 gedung SD dengan jumlah kelas dan guru yang beragam sesuai kondisi wilayah. Khusus di Barang Lompo, menurut data BPS hanya terdapat satu orang guru yang mengajar 8 kelas dan 358 murid. Namun dari hasil wawancara dengan Muhammad Neil jumlah guru di Barang Lompo cukup banyak. Hal ini didukung oleh Hamsah yang menyatakan bahwa jumlah guru di setiap pulau sebenarnya cukup hanya saja sebagian besar guru yang ada adalah guru honorer atau non defenitif. Meskipun setiap pulau ada guru yang pengangkatannya sebagai pengawai negeri sipil (PNS) ditempatkan di pulau-pulau tertentu. Namun guru-guru tersebut hanya akan mengajar di pulau maksimal 2 minggu dalam sebulan karena mereka bukan penduduk di pulau tersebut. Untuk itu aktivitas belajar mengajar banyak dilakukan oleh guru-guru honorer atau non PNS yang memang penduduk pulau setempat. Hamsah menambahkan bahwa kondisi yang paling memprihatinkan adalah di Pulau Bone Tambung, Kelurahan Barang Caddi. Sekolah di Pulau ini hanya mempunyai 4 guru, 2 guru honorer dan sisanya guru PNS yang sangat jarang datang mengajar di Pulau. Selain itu, jumlah ruang kelas juga tidak memenuhi kapasitas murid. Kondisi ini kemudian membuat guru melakukan penggabungan kelas, dimana kelas 1 dan kelas 2 digabung, kelas 3 dan kelas 4 digabung dan kelas 5 dan kelas 6 digabung. Langkah ini dipandang sebagai solusi atas keterbatasan jumlah guru dan ruang kelas. Hamsah secara pribadi merasa sangat prihatin dengan kondisi pendidikan di Pulau Bone Tambung ini. Dia menambahkan, kondisi lokasi sekolah sangat memungkinkan untuk dibangun ruang kelas baru namun pihak sekolah tidak dapat membangun ruang kelas karena kendala biaya. Sementara, bantuan dari masyarakat juga tidak dapat diharapkan dengan kondisi masyarakat pulau yang kurang sejahtera. Untuk pelayanan publik di sektor kesehatan di Kecamatan Ujung Tanah didukung oleh sejumlah fasilitas gedung seperti yang tergambar di Tabel 3 di bawah. Untuk 3 kelurahan di pulau Spermonde, fasilitas kesehatan yang ada adalah puskesmas pembantu dan pos yandu. Kelurahan Barang Caddi memiliki 4 puskesmas pembantu yang tersebar di setiap pulau atau dusun di sekitarnya. 7
Tabel 3 Jumlah Fasilitas Kesehatan Menurut Jenisnya Tiap Kelurahan di Kecamatan Ujung Tanah di Tahun 2008 Kelurahan
Rumah Sakit
Puskesmas
Pustu
BKIA
Rumah Bersalin
Pos Yandu
1. Kodingareng
0
0
1
0
0
6
2. Barang Caddi
0
0
4
0
0
5
3. Barang Lompo
0
0
1
0
0
4
4. Ujung Tanah
0
0
0
1
0
2
5. Tamalabba
1
0
0
1
0
4
6. Tabaringan
0
1
0
0
0
5
7. Totaka
0
0
0
0
1
4
8. Pattingalloang
0
0
1
0
0
5
9. Gusung
0
0
0
1
1
3
10. Pattingalloang Baru
0
1
0
1
0
11.Camba Berua
0
0
0
0
0
4
12.Cambaya
0
0
1
0
0
5
Kecamatan
1
2
8
4
3
50
3
Sumber: Kecamatan Ujung Tanah dalam Angka 2009, hlm 45
Fasilitas kesehatan di ketiga kelurahan daerah kepulauan didukung oleh puskesmas pembantu di setiap kelurahan. Hamsah menambahkan bahwa puskesmas pembantu di Pulau Barang Lompo saat ini sudah berubah menjadi puskesmas dan memiliki dokter umum. Sehingga semua kasus-kasus gangguan kesehatan atau kecelakaan yang dialami masyarakat dan membutuhkan tindakan yang khusus di ketiga kelurahan ini akan dibawa ke puskesmas di Pulau Barang Caddi. Khusus di Kelurahan Barang Caddi, hampir setiap pulau atau dusun mempunyai puskesmas pembantu kecuali pulau Lanjukang karena jarak dengan Pulau Langkae yang terdapat puskesmas pembantu tidak begitu jauh. Hamsah juga menjelaskan bahwa di semua puskesmas pembantu terdapat mantri dan perawat. Namun, hampir sama dengan kasus di pendidikan, hampir semua perawat tidak selamanya bertugas secara penuh di pulau. Mereka biasanya lebih sering pulang di rumahnya di daratan utama 8
dibandingkan tinggal di daerah tugasnya. Muhammad Neil dan Hamsah menginformasikan bahwa salah satu pulau di Kelurahan Barang Caddi yaitu Pulau Lumu-Lumu, pernah menjadi daerah endemik penyakit kusta. Kondisi ini terjadi ketika Rumah Sakit Kusta di Kota Makassar direnovasi dan beberapa pasien diungsikan di Pulau tersebut sekitar tahun 1980an. Karena lingkungan yang kurang sehat dan penanganan yang kurang serius, penyakit kusta ini kemudian menyebar ke penduduk yang sebelumnya sudah bermukim di Pulau tersebut. Namun, oleh Hamsah dijelaskan bahwa saat ini kondisi ini sudah mulai membaik setelah Dinas Kesehatan Kota Makassar yang bekerjasama dengan World Health Organization (WHO) melakukan program pengobatan dan pencegahan penularan sejak tahun 2000an ini. Meskipun demikian, beberapa penduduk yang mengidap penyakit kusta masih saja ada namun penyebarannya tidak separah seperti yang terjadi sebelumnya. 2. Kabupaten Pangkep (Pangkajene dan Kepulauan) Kabupaten Pangkep terletak di pantai barat Sulawesi Selatan yang berjarak 51 km dari kota Makassar, ibukota Provinsi Sulawesi Selatan serta memiliki luas wilayah 1.112,29 km2 dan berpenduduk 302.874 jiwa pada tahun 2007(BPS Pangkep,2008; 30). Pangkajene adalah ibukota Kabupaten Pangkep dan menjadi pusat pelayanan pemerintahan dimana Bupati dan Wakil Bupati serta 30 anggota DPRD Kab. Pangkep berkantor. Kabupaten Pangkep terdiri atas 12 kecamatan, 9 kecamatan di daratan dan 3 kecamatan terletak di kepulauan (Ibid; xxvii). Dari 12 kecamatan tersebut terdiri atas 37 kelurahan yang dipimpin oleh lurah dan ditunjuk oleh Bupati dan 65 desa yang dipimpin oleh kepala desa yang dipilih oleh warga desa masing-masing dengan masa jabatan 5 tahun. Adapun 9 kecamatan yang berada di daratan adalah: 1. Kecamatan Pangkajene 2. Kecamatan Balocci 3. Kecamatan Bungoro 4. Kecamatan Labakkang 5. Kecamatan Ma’rang 6. Kecamatan Segeri 7. Kecamatan Minasate’ne 8. Kecamatan Tondong 9. Kecamatan Mandalle Sedangkan 3 kecamatan di daerah kepulauan adalah: 1. Kecamatan Likuang Tangaya. 2. Kecamatan Liukan Kalmas. 3. Kecamatan Liukang Tupabbiring. 9
Pada sektor pendidikan, Kabupaten Pangkep memiliki taman kanak-kanak (TK) sebanyak 52 buah dengan 2.325 murid, sekolah dasar (SD) dengan 42.140 murid, SLTP 42 buah dengan 10.899 murid, dan SLTA 22 buah dengan 7.039 murid (Ibid; xxviii). Sarana pendidikan ini didukung oleh 249 guru TK, 3.039 guru tingkat SD, 821 guru tingkat SLTP dan 190 guru tingkat SLTA (Ibid; 55, 59, 61). Di sektor kesehatan, Kabupaten Pangkep memiliki sarana kesehatan yang terdiri atas sebuah rumah sakit, 19 buah puskesmas, 302 posyandu. Sarana kesehatan ini didukung oleh 764 tenaga medis yang terdiri atas 59 dokter umum, 24 dokter gigi, 133 bidan, 310 paramedis perawat, 170 paramedis non perawat, dan sebanya 68 non medis (Ibid; xxviii ). Tabel 4 Jarak dari Ibukota Kecamatan dan Kabupaten Tiap Desa/Kelurahan Tahun 2007 di Kecamatan Liukang Tangaya Desa/Kelurahan
Jarak (KM) dari Ibu Kota Kecamatan
Ibu Kota Kabupaten
1. Sabalana
174
291
2. Balobaloang
113
244
3. Sabaru
111
243
4. Sapuka
-
302
5. Tampaang
54
363
6. Sailus
96
463
7. Satager
113
574
8. Kapoposan Bali
132
594
9. Poleonro
100
500
Sumber: Kecamatan Liukang Tangaya dalam Angka 2008, hlm 3
Dari tiga kecamatan di Kabupaten Pangkep yang berada di kepulauan, penulis akan memilih Kecamatan Liukang Tangaya untuk dianalisis sebagai kasus penyelenggaraan otonomi daerah di daerah kepulauan. Kecamatan ini menarik dianalisis dengan pertimbangan geografis dimana memiliki jarak terjauh dari ibukota kabupaten dengan menggunakan angkutan air atau perahu. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Liukang Kalmas (salah satu kecamatan di Kab. Pangkep) di sebelah Utara, Kabupaten Selayar di seblah Timur, Propinsi Nusa Tenggara Barat di sebelah Selatan, dan Propinsi Jawa Timur (Pulau Madura) di sebelah Barat (BPS Pangkep; x). Ibu kota Kecamatan Liukang Tangaya adalah Sapuka dan terdiri atas 9 kelurahan/desa yang semuanya terletak jauh dari ibu kota kabupaten sebagai pusat pemerintahan seperti yang terlihat di table di bawah. Pada sektor pendidikan, Kec. Liukang Tangaya memiliki sarana berupa sebuah TK, 1 0
27 buah gedung SD dengan jumlah murid 2.652 orang dan sebuah gedung SLTP yang memiliki 5 kelas dengan murid sebanyak 128 orang dan sebuah gedung SLTA dengan 3 kelas dan 73 murid. Satu-satunya gedung TK,SLTP dan SLTA hanya berlokasi di Sapuka atau ibukota kecamatan. Sarana ini didukung oleh 115 guru tingkat SD, 5 guru tingkat SLTP dan 4 orang guru di tingkat SLTA (Ibid; 18,19,20). Tabel 5 Banyaknya Sekolah Dasar (SD) Negeri Menurut Kelas, Murid, dan Guru tiap Desa/Kelurahan Tahun 2007 Desa/Kelurahan
Sekolah
Kelas
Murid
Guru
1. Sabalana
6
36
449
21
2. Balobaloang
5
30
445
23
3. Sabaru
1
6
120
6
4. Sapuka
4
24
559
26
5. Tampaang
4
24
217
10
6. Sailus
4
24
383
15
7. Satager
1
6
146
8
8. Kapoposan Bali
1
6
101
3
9. Poleonro
1
6
148
3
Sumber: Kecamatan Liukang Tangaya dalam Angka 2008, hlm 19
Pada tabel 5 di atas terdeskripsi dengan jelas bagaimana kondisi pendidikan di Kecamatan Liukang Tangaya. Pada tingkat pendidikan dasar atau SD, kondisi yang sangat memprihatinkan adalah di Pulau Poleonro dan Pulau Kapoposan Bali dimana kedua desa ini hanya mempunyai 3 guru untuk mengajar lebih dari seratus murid dengan 6 kelas. Jumlah guru di daerah kepulauan selalu menjadi permasalahan sejak dahulu hingga saat ini. Andi Aco Parenrengi menambahkan bahwa guru yang ditempatkan di daerah pulau selalu meninggalkan pulau sehingga aktivitas belajar mengajar anak-anak tidak terselenggara dengan baik. Bahkan kadangkala aktivitas belajar mengajar dipersingkat agar guru bisa kembali ke daerah asalnya sewaktuwaktu. Untuk itu, biasanya warga pulau yang memiliki pendidikan yang cukup tinggi (tammatan Perguruan Tinggi) biasanya menjadi guru honorer untuk membantu penyelenggaraan proses belajar mengajar di pulau. Meskipun guru tersebut bukan tammatan pendidikan pengajaran. H. Muhtar mengiyakan kondisi ini dan menyatakan bahwa kondisi belajar mengajar di pulau-pulau yang letak amat jauh kadangkalan tidak terselenggara karena tidak adanya guru. Kondisi ini kemudian diperparah dengan hanya sebuah SLTP di kecamatan ini yang diharapkan dapat mengfasilitasi ratusan tamatan SD dari 8 pulau. Jarak antara pulau dengan Pulau Sapuka dimana gedung SLTP berada juga berkontribusi pada rendahnya angka partisipasi sekolah tingkat SLTP di kecamatan ini (lihat Tabel 4). Kondisi ini kemudian berimplikasi pada gagalnya implementasi kebijakan pendidikan dasar 9 1 1
tahun bagi penduduk usia pendidikan dasar di kecamatan ini. Fenomena ini tergambar jelas di Tabel 6 dibawah dimana tercatat jumlah penduduk yang tidak tamat SD adalah 4.040, hanya 201 penduduk yang tamat SLTP dan 124 yang tamat SLTA dari 17.235 penduduk Kecamatan Liukang Tangayapada tahun 2007. Ironisnya angka putus sekolah di tingkat SD yang tertinggi justru di Pulau Sapuka dimana terdapat 4 SD dibandingkan dengan Pulau Kapoposan Bali dan Pulau Poleonro. Sebagai ibukota kecamatan yang juga menjadi pusat aktivitas sosial dan ekonomi, Pulau Sapuka menjadi magnet migrasi bagi penduduk 8 pulau sekitarnya. Sehingga kepadatan penduduk di Pulau Sapuka lebih tinggi dibandingkan di pulau-pulau lainnya. Hal ini bisa menjelaskan untuk sementara salah satu sebab angka penduduk tidak tamat SD tertinggi di Pulau Sapuka. Kondisi ini juga menjelaskan bahwa penduduk pulau ini kemungkinan beranggapan bahwa tingkat pendidikan yang tinggi tidak terlalu dibutuhkan untuk mendapat hidup layak di masa depan. Fenomena ini diamini oleh Andi Aco Parenrengi yang mengatakan bahwa dukungan orang tua agar anak-anak bersekolah masih cukup rendah. Meskipun hal ini sudah agak mulai berubah, khususnya di pulau-pulau kota kecataman. Namun di pulau-pulau yang terpencil, kondisi ini masih cukup tinggi. Anak-anak lebih diharapkan dapat membantu orang tua ketika pergi melaut atau mengolah hasil tangkapan. Tabel 6 Banyaknya Penduduk Menurut Status Pendidikan tiap Desa/Kelurahan Tahun 2007 Status Pendidikan Desa/Kelurahan
Tidak Tamat SD
Tamat SD
Tamat SLTP
Tamat SLTA
1. Sabalana
596
50
27
3
2. Balobaloang
555
50
26
7
3. Sabaru
198
10
11
4
4. Sapuka
901
69
32
41
5. Tampaang
328
45
19
16
6. Sailus
551
50
21
21
7. Satager
115
10
15
2
8. Kapoposan Bali
229
10
8
5
9. Poleonro
174
11
5
4
4.040
320
201
124
JUMLAH
Sumber: Kecamatan Liukang Tangaya dalam Angka 2008, hlm 19
Pada sektor kesehatan, Kecamatan Liukang Tangaya mempunyai beberapa sarana kesehatan seperti yang terlihat di Tabel 7. Puskesmas sebagai sarana kesehatan hanya terdapat di Pulau Sapuka dan Pulau Sailus dibantu dengan Puskesmas Pembantu (Pustu) di setiap pulau atau desa. Pos Yandu sebagai sarana kesehatan bagi pelayanan 1 2
kesehatan ibu dan anak juga terdapat di setiap pulau dengan jumlah yang beragam sesuai dengan jumlah rumah tangga di setiap pulau. Tabel 7 Banyaknya Sarana Kesehatan Tiap Desa/Kelurahan Tahun 2007 Desa/Kelurahan
RS
Puskesmas
Pustu
Pos Yandu
1. Sabalana
0
0
1
5
2. Balobaloang
0
0
1
5
3. Sabaru
0
0
1
2
4. Sapuka
0
1
0
6
5. Tampaang
0
0
1
4
6. Sailus
0
1
1
4
7. Satager
0
0
1
2
8. Bali
0
0
1
2
0
0
1
1
Kapoposan
9. Poleonro
Sumber: Kecamatan Liukang Tangaya dalam Angka 2008, hlm 22
Sarana kesehatan di atas didukung oleh sejumlah tenaga medis seperti di Tabel 8. Kecamatan ini hanya mempunyai 2 dokter yang bertugas di setiap puskesmas dibantu oleh 23 paramedis yang bertugas di baik di puskesmas maupun di puskesmas pembantu. Jumlah dukun/dukun beranak yang diharapkan turut membantu upaya pelayanan kesehatan di kecamatan ini justru memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan tenaga medis lainnya. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh hampir semua tenaga medis yang ada di kecamatan ini berasal dari luar daerah ini sedangkan semua dukun/dukun beranak adalah penduduk asli daerah ini.
Tabel 8 Banyaknya Tenaga Medis dan Non Medis Tiap Desa/Kelurahan Tahun 2007 Desa/Kelurahan
Dokter
Paramedis
Dukun/Dukun Bayi
1. Sabalana
0
2
8
2. Balobaloang
0
2
5
3. Sabaru
0
1
3 1 3
4. Sapuka
1
10
7
5. Tampaang
0
2
4
6. Sailus
1
3
6
7. Satager
0
1
4
8. Kapoposan Bali
0
1
2
9. Poleonro
0
1
2
2
23
43
Jumlah
Sumber: Kecamatan Liukang Tangaya dalam Angka 2008, hlm 23
Pelayanan kesehatan di Kecamatan Liukang Tangaya maupun di kecamatan lain di daerah kepulauan Kab. Pangkep hanya berfokus di daerah ibu kota kecamatan saja dimana Puskesmas terletak, demikian kata Andi Aco Parenrengi. Atau dengan kata lain, pelayanan kesehatan hanya focus dalam satu pulau. Perawat atau tenaga medis di puskesmas pembantu di pulau-pulau yang bukan ibu kota kecamatan kadangkala tidak bertugas sepenuhnya. Mereka seringkali hanya melakukan tugasnya di pulau dalam waktu yang sangat singkat. Kondisi ini mengakibatkan masyarakat mendapatkan layanan kesehatan dari dukun. Khusus dalam hal persalinan, karena kondisi fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang tidak mendukung serta budaya masyarakat setempat maka masyarakat merasa lebih aman ke dukun beranak. H.Muhtar juga menambahkan bahwa perawat atau tenaga medis di puskesmas pembantu di pulaupulau luar kadangkala tidak bertugas secara rutin setiap hari. Sehingga pelayanan kesehatan masyarakat pulau setempat tidak terselenggara dengan baik. C. Penutup Penyelenggaraan pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan pada kasus di kedua kecamatan di atas menunjukkan ketimpangan cukup jauh di daerah kepulauan dan daerah daratan utama. Kedua kasus memiliki masalah yang sama yaitu jumlah dan kualitas sumber daya manusia dan fasilitas gedung yang jauh dari jumlah yang ideal. Sumber daya di bidang pendidikan misalnya, terlihat ratio guru terhadap murid sangat rendah sehingga kualitas proses belajar mengajar tentu akan berdampak negatif. Demikian halnya waktu pengajaran yang selalu tidak memenuhi jadwal yang seharusnya. Belum lagi dengan penggabungan kelas agar semua murid bisa belajar dan diajar karena jumlah kelas dan guru yang kurang. Partisipasi masyarakat dengan menjadi guru honorer atau sukarela menjadi sebuah upaya luar biasa untuk mengatasi kesenjangan ini, minimal untuk sementara. Upaya mereka selayaknya dihargai dengan perekrutan para guru honorer menjadi PNS. Namun harapan para guru honorer untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil seringkali hanya menjadi mimpi di kemudian hari. Karena kebijakan pengangkatan pegawai negeri sipil biasanya menjadi komoditas elit politik lokal. Tidak heran kemudian ketika terjadi kericuhan di setiap proses penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) hampir di setiap kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Gelombang demonstrasi sebagian besar peserta tes CPNS sebagai bentuk protes karena proses perekrutan kerapkali tidak 1 4
transparan dan rentan dengan terjadinya kolusi dan nepotisme para pejabat dan elit daerah. Selain itu para guru honorer di pulau terpencil harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mengikuti tes CPNS di ibukota kabupaten. Kondisi-kondisi inilah yang selalu menjadi kekhawatiran bagi para guru honorer yang juga warga setempat pulau-pulau terpencil. Selain itu, di kedua kecamatan ini hanya memiliki satu sekolah tingkat pertama yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kebijakan pendidikan dasar 9 tahun. Jarak, daya tampung sekolah, jumlah guru kembali menjadi sebuah tantangan besar bagi para anak-anak lulusan sekolah dasar di pulau-pulau terpencil. Maka menjadi sangat rasional bagi mereka untuk kembali ke rumah dan membantu orang tua dibandingkan pergi ke sekolah tapi tidak ada guru atau kelas tidak cukup. Belum lagi dengan biaya sekolah seperti seragam, sepatu, dan buku teks serta biaya-biaya lain yang mungkin bagi nelayan-nelayan pekerja atau sawi tidak dapat memenuhinya. Kondisi ini terjadi sejak sebelum kebijakan otonomi daerah diterapkan hingga era otonomi daerah saat ini. Pelayanan publik di sektor kesehatan pun tidak jauh beda dengan sektor pendidikan. Jumlah tenaga medis dan fasilitas pelayanan kesehatan di pulau-pulau kecil atau bukan ibu kota kecamatan masih jauh dari jumlah dan kualitas yang ideal. Bahkan di Kota Makassar yang juga ibu kota propinsi pun belum dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang memadai di daerah kepulauan. Benar apa yang dikatakan Andi Aco Parenrengi bahwa pelayanan kesehatan hanya fokus pada satu pulau dan tidak dirasakan oleh masyarakat pulau-pulau sekitarnya. Mereka harus menyiapkan biaya lebih besar –khususnya biaya transportasi- jika ingin mendapatkan pelayanan medis yang lebih baik. Padahal mereka sudah membayar pajak kepada negara yang sebaiknya menyediakan pelayanan medis yang mereka harapkan dengan mudah dan layak. Dan sekali lagi, kondisi ini telah terjadi sejak dulu hingga kebijakan otonomi daerah yang spiritnya untuk semakin meningkatkan kualitas pelayanan publik ke masyarakat. Andi Aco Parenrengi mengatakan bahwa hanya satu kemajuan yang dahulu terjadi namun saat ini sudah tidak ditemukan lagi yaitu tidak ada lagi mantri (tenaga medis) yang merangkap guru atau guru yang merangkap mantri di pulaupulau terpencil. Untuk mengurangi kesenjangan ini maka penulis mengajukan tiga rekomendasi yang berdasarkan periode implementasinya, yaitu: A. Rekomendasi jangka panjang: - Kebijakan khusus pemerintahan pulau dengan sistem dan majanemen yang khas dengan kondisi sosial politik masyarakat pulau. - Skema kebijakan penganggaran khusus bagi peningkatan kualitas pelayanan publik di sektor pendidikan dan kesehatan di pulau-pulau terpencil dan melibatkan stakeholder lokal dalam proses pengawasan impelementasi program kemudian. B. Rekomendasi Jangka Menengah: - Pemberian beasiswa khusus bagi para penduduk pulau terpencil untuk melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di bidang pendidikan dan kesehatan. - Perekrutan CPNS diprioritaskan bagi para guru honorer dan tenaga medis 1 5
honorer yang penduduk di pulau terpencil atau yang telah mengabdi lama di pulau-pulau terpencil. B. Rekomendasi Jangka Pendek: - Pengadaan perahu pelayanan publik antar pulau oleh pemerintah kabupaten/kota yang memiliki pulau terpencil yang bertujuan melayani masyarakat khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan. D. Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik, 2008, Kota Makassar dalam Angka 2008, Badan Pusat Statistik Kota Makassar, Makassar. ……………………..., 2009, Kecamatan Ujung Tanah dalam Angka 2008, Badan Pusat Statistik Kota Makassar, Makassar. Badan Pusat Statistik, 2008, Kabupaten Pangkep dalam Angka 2008, Badan Pusat Statistik Kabupaten Pangkep, Pangkep. ……………………..., 2008, Kecamatan Liukang Tangaya dalam Angka 2008, Badan Pusat Statistik Kabupaten Pangkep, Pangkep. Cheema, J. Shabbir dan Rondinelli, Dennis.A, 2007, Decentralizing Governance; Emerging Concepts and Practices, Brooking Institution Press, Washington DC. Fengler, Wolfgang dan Hofman, Bert, 2010, Managing Indonesia’s Rapid Decentralization: Achievement and Challenges, salah satu tulisan dari Ichimura, Shinici dan Bahl, Roy (editor), Decentralization Policies in Asian Development, World Scientific, Singapura. Jompa, Jamaluddin, Moka, Willem, Yanuarita, Dewi, 2005, Kondisi Ekosistem Kepulauan Spermonde; Keterkaitannya dengan Pemanfaatan Sumberdaya Laut di Kepulauan Spermonde, Divisi Kelautan Pusat Kegiatan Penelitian, Universitas Hasanuddin Sadi, Haliadi, 2007, Kearifan dari Spermonde, salah satu tulisan dari Susanto .S.J, Budi (editor), Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia, Kanisius, Yogyakarta. Informan: - Andi Aco Parenrengi, warga Pulau Liukang Kalmas, Kab. Pangkep yang aktif di organisasi pemuda di Kecamatan Liukang Kalmas, Kab.Pangkep. Wawancara dengan telepon pada tanggal 2 Juli 2010. - Hamsah, penduduk asli di Pulau Barang Caddi, Makassar yang berprofesi nelayan dan pengusaha transportasi laut. Wawancara dengan telepon pada tanggal 1 Juli 2010. - H. Muhtar, warga Kecamatan Liukang Tangaya, Kab. Pangkep yang berprofesi 1 6
pengusaha perikanan. Wawancara dengan telepon pada tanggal 2 Juli 2010 - Muhammad Neil, staf pengajar di Jurusan Antropologi Universitas Hasanuddin yang sejak tahun 1990 aktif melakukan penelitian antropologi maritim di Kepulauan Spermonde. Wawancara langsung (face to face) pada tanggal 29 Juni 2010.
1 7