OTORITAS AL SUNNAH SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM Oleh: Abu Azam Al Hadi 1 Abstract: Dasar-dasar kewahyuan dan sejarah pelembagaan al-sunnah seperti yang ada adalah merupakan deskripsi tentang otoritas al-sunnah sebagai sumber ajaran Islam dari waktu ke waktu. Meskipun perjalanannya mengalami berbagai situasi, baik penolakan maupun pemalsuan, bahwa al-sunnah masih diyakini sebagai sumber dari ajaran Islam. Sebab masih banyak fakta, terutama bersumber dari alasan penolakan dan latar belakang pemalsuan, justeru telah memberikan nilai sebaliknya tentang al-sunnah. Yaitu semakin menguatnya otoritas al-sunnah di kalangan komunitas muslim dan bahkan dijadikan pegangan terus-menerus untuk mengaktualisasikannya. Otentisitasnya juga masih tetap terpelihara secara baik, lebih bernilai tinggi lagi bahwa pemahaman terhadap syariah dalam al-sunnah semakin berkembang meningkat. Bahkan perkembangan di kalangan komunitas muslim berusaha mengaktualisasikan, di samping secara kontektual juga yang lebih orisinal yakni secara tekstual. Kata Kunci: Otoritas, al-Sunnah dan Ajaran Islam
1
Tenaga pengajar pada Falultas Syariah dan Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
A. Pendahuluan Pemahaman tentang otoritas Sunnah (Hujjiyat al-Sunnah ) sebagai salah satu sumber ajaran Islam dan menempati urutan kedua dalam anatomi hukum Islam, merupakan unsur inheren dalam bidang agama (ma’lu@m min al-di@n bi al-d}aru@rah). Memahami otoritas Sunnah merupakan perioritas utama sebelum mengkaji hadith dan ilmunya secara lebih mendalam. Hal ini dalam rangka memformat kerangka berfikir yang mapan bagi pengkaji sunnah tentang posisi Sunnah. Problem yang cukup signifikan terkadang muncul ketika seorang pengkaji tidak memiliki dasar pemahaman yang mapan tentang otoritas Sunnah ini. Dalam hal ini fenomena Qur’a@niyyu@n dan ingka@r al-Sunnah bukan suatu hal yang asing. Adapun ulama yang pertama kali mendapat kehormatan mengkaji secara khusus bidang ini adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’i rahimahullah dalam al-Risalahnya. Salah satu bentuk upayanya, berupa kegigihannya dalam menerangkan kedudukan sumber sunnah menurut al-Quran dan dalam membela sunnah dari para pengingkarnya. Oleh karena itu, ia digelari “Na@s}ir al-Sunnah” atau pembela sunnah 2. Kemudian di ikuti oleh karya para ulama dan cendikiawan lain yang tidak sedikit jumlahnya. Dalam tulisan ini akan berusaha memaparkan dan meneguhkan kembali mengenai kedudukan serta otoritas sunnah dan menjelaskan beberapa aspek terkait di dalamnya.
B. Makna Hujjiyat al-Sunnah. Kata “H}ujjiyah” secara terminologi, memiliki arti menampakkan, menyingkap, atau petunjuk yang mewajibkan untuk diamalkan karena merupakan bagian dari hukum Allah 3. Sedangkan al-Sunnah menurut terminologi ulama Hadith adalah setiap sesuatu yang disandarkan dari Nabi Muhammad, baik berbentuk perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat fitrah penciptaan, budi pekerti ataupun riwayat hidup, baik sebelum diutus menjadi nabi
2
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut pembela, pengingkar dan pemalsunya, (Jakarta : Gema Insani Press,
1995), 38. 3
Abdul Ghani Abdul Khalik, Hujjiyat al-Sunnah, (Mans}urah: Dar al-Wafa’, tt), 243.
maupun sesudahnya 4. Berdasarkan definisi tentang al-Sunnah yang telah disajikan, ulama hadith menyamakan pengertian hadith dengan sunnah. Namun terkadang istilah hadith dimaksudkan untuk: perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi sesudah bi’thah. Oleh karenanya, istilah sunnah lebih umum daripada hadith. Adapun menurut Ulama us}ul, yang melihat sunah sebagai landasan hukum di samping al-Qur’an, mendefinisikannya dengan: perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi yang dapat dijadikan sandaran hukum. Sedangkan menurut ahli fikih, sunnah adalah: setiap informasi mengenai Nabi yang tidak menyangkut beban fardhu atau wajib, Ini berarti sunnah cakupannya lebih luas dari hadits sebab sunnah mencakup perkataan, perbuatan, dan penetapan (taqri>r) rasul yang bisa dijadikan dalil hukum shar’iy 5. Dari terminologi diatas jika dikorelasikan maka, maksud Hujjiyat al-Sunnah adalah wajibnya untuk mengamalkan segala ajaran sunnah Nabi 6.
C. Pentingnya Otoritas Sunnah Sebagai Kebutuhan Agama. Otoritas sunnah sebagai sumber ajaran Islam dalam hal akidah keimanan maupun hukum Islam (shari'at) merupakan suatu hal yang tidak terbantahkan. Hal ini tidak terlepas dari dua perkara : 1) Ketetapan umat bahwa sunnah -yang bersumber dari Nabi- adalah hujjah dan dalil dalam pokok- pokok hukum Islam. 2) Ketetapan umat bahwa hadith Nabi diriwayatkan melalui periwayatan yang otentik dan terpercaya 7. Pentingnya otoritas sunnah ini juga dapat dimaklumi karena ditinjau dari beberapa aspek berikut : a. Kedudukan Sunnah dalam Islam. Kedudukan Sunnah dalam anatomi hukum Islam adalah menempati urutan kedua setelah al-Qur’an. Sedangkan dalam tataran otoritas, sunnah menempati tempat yang sejajar bersama al-Qur’an. Artinya dalil hukum yang bersumber dari al-Sunnah sejajar derajatnya dengan dalil syari'at yang bersumber dari al-Qur’an, maka keduanya dapat berfaedah memberikan sebuah pemahaman dan mewajibkan
4
Mus}t}afa al-Siba’i, al-Sunnah wa Maka@natuha fi al-Tashri’ al-Isla@mi, (Kairo: Dar al-Warra@q, tt), 65. 5 Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, ( Bandung: Angkasa, 1987), 14. 6 Abdul Ghani Abdul Khalik, Hujjiyat al-Sunnah, 243. 7 Ibid, 245.
untuk diamalkan dalam berbagai bentuk hukum pengamalannya; wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram8. Dalam praktiknya, sunnah merupakan tafsir ‘amali al-Qur’an dan suri tauladan bagi umat Islam. Nabi Muhammad merupakan perwujudan dari al-Qur’an dan Islam berdasarkan apa yang dilakukannya. Makna inilah yang dipahami oleh umm al-Mukminin Aisyah, dengan pengetahuannya yang mendalam dan pengalaman hidupnya bersama Rasulullah, ia mengungkapkan mengenai akhlak Nabi ;” Akhlaknya adalah al-Qur’an”. Oleh karena itu, untuk mengetahui Islam secara menyeluruh, maka hendaknya mempelajari secara rinci yang teraktualisasi dari sunnah Nabawiyyah, yakni ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi 9. Al-Suyuti mengatakan, al-Qur’an memerlukan al-Sunnah, sebab Sunnah menerangkan maksud dan isi ayat-ayat al-Qur’an dan merinci (mufassil) terhadap yang umum (Mujmal). Karena isi al-Qur’an merupakan perbendaharaan sempurna, maka diperlukan orang yang mengetahui rahasianya sehingga dapat ditampakkan olehnya, yaitu Rasulullah. Sunnah tidak menyamai derajat al-Qur’an dalam kemukjizatan dan maknanya luhur, karena al-Sunnah memberikan penjelasan (Sharh}) terhadap al-Qur’an, maka sudah sepatutnya penjelasannya lebih rinci dan luas dari apa yang dijelaskan 10.
b. Mayoritas sunnah bersifat relatif (Z}anniy al-Wuru@d). Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa Al-Qur’an diriwayatkan secara mutawatir baik makna maupun lafalnya dari generasi ke generasi mulai jaman Rasulullah saw hingga sekarang, sehingga menjadikannya Qath’iy al-Wuru@d. kemudian diantara ayat al-Qur’an, ada yang memberikan petunjuk makna secara tegas dan pasti (Qat}’iy al-Dilalah)
dan sebagian yang lain secara relatif
petunjuknya (Z}anniy al-Dilalah). Sedangkan al-Sunnah, di antaranya ada yang mutawa>ttir yang memberikan pengertian Qath’i al-Wuru@d. Akan tetapi, pada umumnya al-Sunnah disampaikan secara ahad, dan dalam penyampaian maupun penerimaannya lebih banyak dalam bentuk lisan daripada tulisan. Atas dasar ini
8
Ibid, 249. Yusuf al-Qarad}awi, Kaifa Nata’a@mal ma’a al-Sunnah, (Mans}u@rah: Dar al-Wafa’,1993), 23. 10 Jalal al-Din al-Suyut}i, Mifta@h al-Jannah fi al-Ih}}tija@j bi al-Sunnah, (Beirut : Dar al-Kutub alIlmiyah, 1987),36. 9
kedudukan hadits dari segi otentisitasnya secara global menjadi Z}anniy alWuru>d 11. Hal ini bukan berarti ada keraguan atas keabsahan hadith, akan tetapi karena adanya sekian banyak faktor, baik dari diri Nabi, maupun para sahabat, di samping kondisi sosial masyarakat saat itu yang saling topang-menopang.
c. Hadi>th sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri Terdapat beberapa hukum dalam al-Qur’an yang tidak ditemukan sharah (penjelasan) yang terkait dengan syarat-syarat, rukun-rukun, dan faktor-faktor dari suatu hukum. Hal itu menyebabkan para sahabat perlu kembali kepada Rasul saw., untuk mengetahui penjelasan yang diperlukan bagi ayat-ayat yang terkait dengan hukum. Hal yang sama—juga—terdapat banyak hukum yang tidak ditemukan nas}-nya dalam al-Qur’an. Dalam hal ini, diperlukan ketetapan Nabi saw. yang telah diakui sebagai utusan Allah menyampaikan shari’at dan undang-undang kepada umat 12. Ulama’ telah sepakat atas kehujjahan h}adi>th, baik posisi hadi>th sebagai baya>n terhadap al-Qur’an maupun posisinya sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri. al-Shawka>ny berpendapat, bahwa kehujjahan h}adi>th dan posisinya sebagai sumber hukum shar’i yang berdiri sendiri merupakan hal yang fundamental dalam agama. Hal itu tidak ada yang dapat menentang kecuali seseorang yang tidak memiliki kepedulian terhadap Islam 13. Maka dalam pengambilan suatu hukum, kita harus menengok al-Qur’an terlebih dahulu, baru selanjutnya melihat hadith sebagaimana hadith Mu’adh bin Jabal ra.
dan praktik para Khulafa’ al-Rasyidin. Namun hal ini hanya dalam
hukum-hukum yang jelas dalalah-nya dalam al-Qur’an. Misalnya: hak waris suami-isteri (Qs. Al-Nisa’:12),
11
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi...,93. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2011), 23. Ibid. 132-133 13 Muhammad bin Muhammad Abu> Shahbah, Difa>’un ‘An al-Sunnah (ttp, Maktabat al-Sunnah,tth), 13. 12
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteriisterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. ‘Iddah talak bagi perempuan yang tidak haidh lagi (monopause), yang belum haidh dan yang haidh ( Qs. Al-Thalaq:4),
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. ‘Iddah isteri yang ditinggal wafat suaminya sedangkan ia tidak haidh (Qs. Al-Baqarah:234) dan lain-lain.
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Adapun selain itu, sandaran utama hukum adalah sunnah yang merupakan penjelas dan perinci hukum-hukum al-Qur’an, Seperti: hak waris nenek, dan lain sebagainya.
D. Dasar Kehujjahan Sunnah. Sunnah merupakan sumber hukum Islam (syariat) selain Al-Qur’an yang wajib diikuti dan diamalkan baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Keotoritasan sunnah ini telah dinyatakan ketetapannya dalam dalil-dalil naqli@ maupun aqli Abdul Ghani Abdul Khalik dalam bukunya, Hujjiyat al-Sunnah mendasarkan dalil-dalil tersebut atas tujuh hal, berikut dasar-dasar otoritatif hadith sebagai sumber ajaran Islam 14 : 13F
1. Kemaksuman Nabi. Telah disepakati bahwasannya Nabi adalah seorang yang maksum (terpelihara) dari maksiat dan dosa. Oleh karena setiap khabar yang bersumber darinya merupakan penyampaian dari Allah –sesudah adanya penetapan-Nya - dan sesuai dengan apa yang disisi-Nya. oleh karena itu sunnah merupakan hujjah yang harus dipegang teguh 15. 14F
Nabi juga maksum dari setiap kebohongan dalam menyampaikan risalah-Nya. Seperti yang disampaikan dalam hadith Nabi :
14 15
Ibid, 278. Abdul Ghani Abdul Khalik, Hujjiyat ..., 280.
ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ﺎﻝ َﺭﺳُﻮ ُﻝ ﱠ ﷲُ َﻋﻠَ ْﻴ ِﻪ َﻭ َﺳﻠﱠ َﻢ ﺇِﻧﱠ َﻤﺎ ْﺍﻷَ ْﻋ َﻤﺎ ُﻝ ِﺑﺎﻟ ﱢﻨﻴﱠ ِﺔ َﻭﺇِﻧﱠ َﻤﺎ َ ِﷲ َ َﺏ ﻗَﺎ َﻝ ﻗ ِ ﻋ َْﻦ ُﻋ َﻤ َﺮ ﺑ ِْﻦ ْﺍﻟ َﺨﻄﱠﺎ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ...ﺉ َﻣﺎ َﻧ َﻮﻯ ٍ ِﻻ ْﻣ ِﺮ “ Dari Umar bin Khattab dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya 16” 15F
2. Para Sahabat berpegang teguh terhadap Sunnah pada jaman Nabi. Pada jaman Nabi, Rasul mengarahkan umatnya untuk berpegang teguh kepada sunnahnya dan memperingatkan bagi yang menyalahinya. Beliau bersabda :
ْﺲ ِﻣﻨﱢﻲ ُ ﺐ ﻋ َْﻦ َ ﺳﻨﱠﺘِﻲ ﻓَﻠَﻴ َ ﻓَ َﻤ ْﻦ َﺭ ِﻏ “Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku 17." 16F
Para sahabat selalu berpegang teguh kepada sunnah Rasul, menjadikannya hujjah dan tidak memisahkan antara pemahaman al-Qur’an dari al-Sunnah dalam berijtihad. Para sahabat mengamalkan dan mengikuti setiap perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi. Maka oleh karena itu sunnah merupakan hujjah yang mengikat. Banyak kisah di antara para sahabat yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits/ sunnah rasul sebagai sumber hukum Islam, antara lain ; Pertama, ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata “Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan atau dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”. 18 17F
Kedua, pernah dinyatakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan salat safar dalam Al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab “Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana Rasulullah SAW berbuat”. 19 18F
Ketiga, ketika Mu’adh bin Jabal diutus ke sebagai wakil di Yaman; dari Mu'adh bin Jabal. Bahwa Rasulullah ρ ketika akan mengutus Mu'adh bin Jabal ke Yaman beliau bersabda: "Bagaimana engkau memberikan keputusan apabila ada sebuah peradilan yang dihadapkan kepadamu?" Mu'adh menjawab, "Saya akan memutuskan
16
al-Bukhari, S}ah}ih} al-Bukhari, (Riyad}: Bayt al-Afka@r wa al-Dawliyyah, 1998), 1277. Muslim, S}ah}ih} Muslim (Riyad}: Dar T}aybah, 2006) Vol.2, 882. 17 al-Bukhari S}ah}ih} al-Bukhari, (Riyad}: Bayt al-Afka@r wa al-Dawliyyah, 1998) 1005 . Muslim, S}ah}ih} Muslim (Riyad}: Dar T}aybah, 2006) Vol 2, 640. 18 . Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad Bin Hambal, (Beirut: al-Maktabah Al- Islami t.t),vol. 1, 164. 19 . Ibid. vol 7. 67.
menggunakan
Kitab
Allah."
Beliau
bersabda:
"Seandainya
engkau
tidak
mendapatkan dalam Kitab Allah?" Mu'adh menjawab, "Saya akan kembali kepada sunnah Rasulullah." Beliau bersabda lagi: "Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Sunnah Rasulullah serta dalam Kitab Allah?" Mu'adh menjawab, "Saya akan berijtihad menggunakan pendapat saya, dan saya tidak akan mengurangi." Kemudian Rasulullah
menepuk dadanya dan berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah untuk melakukan apa yang membuat senang Rasulullah. 20" 3. Al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang menunjukkan secara eksplisit tentang otoritas sunnah.
Ayat-ayat tersebut merupakan dalalah qat}’i@ atas
kehujjahan sunnah, diantaranya dapat diklasifikasikan menjadi lima macam, yaitu : a. Kewajiban beriman kepada Nabi dibarengkan dengan perintah beriman kepada Allah. Diantaranya, firman Allah :
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan RasulNya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya” 21. 20F
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu
20
Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Cairo: Jam’iyyat al-Maknaz al-islamy, 2000) 611. Ibnu Majah, (Cairo: Jam’iyyat al-Maknaz al-islamy, 2000), 343. Ahmad bin Hanbal, hadith no. 242. 21 Al Qur’a@n, 4 ( al-Nisa@’) : 136.
dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar” 22. 21F
Dalam al-Risalahnya, Imam al-Syafi’i rahimahullah berkata : “Awal dari segala sesuatu adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, walaupun seorang hamba beriman kepada Allah akan tetapi tidak kepada Rasul-Nya belumlah dianggap iman yang sempurna”. Iman kepada Rasulullah sebagai utusan Allah SWT merupakan satu keharusan dan sekaligus kebutuhan setiap individu. b. Rasul sebagai penjelas dari al-Qur’an, Diantaranya, firman Allah :
“Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan AlHikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”23. 2F
”Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (al-Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata” 24. 23F
Mayoritas ulama berpendapat, "al-H}ikmah" dalam ayat ini adalah hal yang selain dari al-Qur’an, yaitu sesuatu yang dimunculkan oleh Allah melalui rahasia agama dan hukum-hukum shari'at-Nya, hal ini disebut al-Sunnah. Imam Shafi'i mengemukakan, (al-Kitab) adalah al-Qur’an sedangkan (al-Hikmah) adalah sunnah Rasulullah. Karena al-Qur’an telah disebutkan, kemudian diikuti kata hikmah maka kata itu hanya dapat dipahami hanya dengan sunnah Rasul-Nya karena kata tersebut disandingkan dengan kata al-Kitab 25. 24 F
22
Ibid, 49 (al-Hujura@t) : 15. Ibid, 2 (al-Baqarah) : 151. 24 Ibid, 62 (al-Jumu’ah) : 2. 25 Mus}t}afa al-Siba’i, al-Sunnah wa Makanatuha, 68. 23
c. Perintah taat kepada Rasul secara mutlak. Taat kepada Nabi merupakan taat kepada Allah. Diantara firman-Nya :
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya” 26. 25F
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” 27. 26F
Sebagian ulama memberikan pengertian, “Ulil amri” adalah para pemimpin, yakni panglima yang memimpin pasukan Rasul ρ. Sedangkan kata “fain tana@za’tum” ialah jika terjadi perselisihan pendapat dengan para pemimpin yang harus ditaati. Dan arti “farudduhu lil Allah wa al-Rasul”
agar supaya mereka
kembali kepada apa yang difirmankan Allah dan telah disabdakan Rasul-Nya. Maka dari ayat diataas menunjukkan bahwasannya taat kepada Rasul identik pula dengan taat kepada Allah. d.
Kewajiban mengikuti jejak Rasul. Mengikuti jejak Nabi adalah sebuah keniscayaan guna mencapai kecintaan
kepada Allah. Diantara firman-Nya :
26 27
Ibid, 59 (al-H}asyr) : 7. Ibid, 4 (al-Nisa@’) : 59.
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” 28. 27F
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”29. 28F
e. Takli@f kepada Nabi untuk mengikuti wahyu dan menyampaikannya tanpa ada perubahan sedikitpun. Diantaranya, firman Allah :
“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada Tuhan selain dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik” 30. 29F
“Wahai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” 31. 30F
Dari penjelasan ayat-ayat diatas beserta klasifikasinya, maka jelaslah bahwa Sunnah Nabi ρ merupakan sumber ajaran Islam disamping al-Qur’an. Orang yang menolak hadith sebagai sumber ajaran Islam berarti menolak petunjuk al-Qur’an.
28
Ibid, 3 (Ali ‘Imran) : 21. Ibid, 33 (al-Ah}za@b): 21. 30 Ibid, 6 (al-An’a@m) : 106. 31 Ibid, 5 (al-Ma@idah) : 67. 29
Dapat ditarik suatu pemahaman pula, bahwa ketaatan kepada Rasulullah adalah mutlak sebagaimana ketaatan kepada Allah SWT. Begitupula dengan ancaman dan peringatan bagi yang durhaka. Ancaman Allah sering disejajarkan dengan ancaman karena durhakan kepada Rasul-Nya.
4.
Al-Hadith. Hadith yang menjadi dalil kehujjahan sunnah serta menunjukkan kewajiban menjadikannya sebagai pedoman hidup -disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya- juga banyak sekali, diantaranya dapat diklasifikasikannya menjadi tiga macam, yaitu : a.
Kemaksuman Nabi dari sifat bohong.
ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ُﻮﻝ ﱠ ﺎﻝ ﺃَ َﻻ ﺇِﻧﱢﻲ َ َﷲُ َﻋﻠَ ْﻴ ِﻪ َﻭ َﺳﻠﱠ َﻢ ﺃَﻧﱠﻪُ ﻗ َ ِﷲ َ ﻋ َْﻦ ْﺍﻟ ِﻤ ْﻘﺪ َِﺍﻡ ﺑ ِْﻦ َﻣ ْﻌ ِﺪﻱ َﻛ ِﺮ ِ ﺏ ﻋ َْﻦ َﺭﺳ ُ ﺃُﻭ ِﺗ ُ ُﻮﺷ ﻚ َﺭ ُﺟ ٌﻞ َﺷ ْﺒ َﻌﺎﻥُ َﻋﻠَﻰ ﺃَ ِﺭﻳ َﻜ ِﺘ ِﻪ ﻳَﻘُﻮ ُﻝ َﻋﻠَ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ِﺑ َﻬ َﺬﺍ َ َﻴﺖ ْﺍﻟ ِﻜﺘ ِ ﺎﺏ َﻭ ِﻣ ْﺜﻠَﻪُ َﻣ َﻌﻪُ ﺃَ َﻻ ﻳ
ﺁﻥ ﻓَ َﻤﺎ َﻭ َﺟ ْﺪﺗُ ْﻢ ِﻓﻴ ِﻪ ِﻣ ْﻦ َﺣ َﻼ ٍﻝ ﻓَﺄَ ِﺣﻠﱡﻮﻩُ َﻭ َﻣﺎ َﻭ َﺟ ْﺪﺗُ ْﻢ ِﻓﻴ ِﻪ ِﻣ ْﻦ َﺣ َﺮ ٍﺍﻡ َﻓ َﺤﺮﱢ ُﻣﻮﻩُ ﺃَ َﻻ َﻻ ِ ْْﺍﻟﻘُﺮ ﺴﺒُﻊِ َﻭ َﻻ ﻟُﻘَﻄَﺔُ ُﻣ َﻌﺎ ِﻫ ٍﺪ ﺇِ ﱠﻻ ﺃَ ْﻥ ﺎﺭ ْﺍﻷَ ْﻫﻠِ ﱢﻲ َﻭ َﻻ ُﻛﻞﱡ ِﺫﻱ ﻧَﺎﺏٍ ِﻣ ْﻦ ﺍﻟ ﱠ ِ ﻳَ ِﺤﻞﱡ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻟَﺤْ ُﻢ ْﺍﻟ ِﺤ َﻤ
ﺎﺣﺒُﻬَﺎ َﻭ َﻣ ْﻦ ﻧَ َﺰ َﻝ ِﺑﻘَﻮْ ٍﻡ ﻓَ َﻌﻠَ ْﻴ ِﻬ ْﻢ ﺃَ ْﻥ ﻳَ ْﻘﺮُﻭﻩُ ﻓَﺈ ِ ْﻥ ﻟَ ْﻢ ﻳَ ْﻘﺮُﻭﻩ ُ ﻓَﻠَﻪ ُ ﺃَ ْﻥ َ ﻳَ ْﺴﺘَ ْﻐﻨِ َﻲ َﻋ ْﻨﻬَﺎ ِ ﺻ .ُ ﻳُ ْﻌﻘِﺒَﻬُ ْﻢ ِﺑ ِﻤ ْﺜ ِﻞ ﻗِ َﺮﺍﻩ
“Dari al-Miqdam bin Ma'di Karib dari Rasulullah , beliau bersabda: "Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi al-Qur'an dan yang semisal bersamanya (Al-Sunnah). Lalu ada seorang laki-laki yang dalam keadaan kekenyangan duduk di atas kursinya berkata, "Hendaklah kalian berpegang teguh dengan AlQur’an! Apa yang kalian dapatkan dalam Al-Qur’an dari perkara halal maka halalkanlah. Dan apa yang kalian dapatkan dalam Al-Qur’an dari perkara haram maka haramkanlah. Ketahuilah! Tidak dihalalkan bagi kalian daging himar jinak, daging binatang buas yang bertaring dan barang temuan milik orang kafir mu'ahid (kafir dalam janji perlindungan penguasa Islam, dan barang temuan milik muslim lebih utama) kecuali pemiliknya tidak membutuhkannya. Dan barangsiapa singgah pada suatu kaum hendaklah mereka menyediakan tempat, jika tidak memberikan tempat hendaklah memberikan perlakukan sesuai dengan sikap jamuan mereka. 32" 31F
32
Abi Daud, Sunan Abi Daud...,669.
Dalam hadith ini dijelaskan bahwasannya, kepada Nabi diturunkan wahyu berupa al-Qur’an dan lainnya (sunnah). Adapun syari'at yang ditetapkan Nabi pada hakikat penetapan syari'atnya tidak terlepas asalnya dari sisi Allah 33. Kehujjahan sunnah merupakan kelanjutan dari kemaksuman Nabi dari sifat bohong dalam segala apa yang dikatakan, diperbuat dan ditetapkan. Nabi merupakan tafsir ‘amali al-Qur’an. Oleh karena itu, jika sunnah tidak dapat dijadikan hujjah, al-Qur’an akan dipertanyakan kehujjahaannya karena sunnah merupakan produknya 34. b. Perintah Nabi untuk berpegang teguh kepada sunnahnya.
ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ُ ﺎﻝ ﺗَ َﺮ ْﻛ ﺖ ﻓِﻴ ُﻜ ْﻢ ﺃَ ْﻣ َﺮﻳ ِْﻦ ﻟَ ْﻦ َ َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ َ ﷲُ َﻋﻠَ ْﻴ ِﻪ َﻭ َ ﷲ ِ ﻋ َْﻦ َﻣﺎﻟِﻚ ﺃَﻧﱠﻪُ ﺑَﻠَ َﻐﻪُ ﺃَ ﱠﻥ َﺭﺳُﻮ َﻝ ﱠ ﺳﻨﱠﺔَ ﻧَﺒِﻴﱢ ِﻪ ﻀﻠﱡﻮﺍ َﻣﺎ ﺗَ َﻤ ﱠ ُ ﷲ َﻭ َ َﺴ ْﻜﺘُ ْﻢ ﺑِ ِﻬ َﻤﺎ ِﻛﺘ ِ ﺎﺏ ﱠ ِ َﺗ “dari Malik telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah ρ bersabda: "Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. 35" 34F
Hadith diatas menjelaskan bahwa seseorang tidak akan sesat (dunia dan akhiratnya) selamanya apabila hidupnya di dunia berpegang teguh dan berpedoman pada al-Qur’an dan Sunnah. c. Perintah Nabi untuk mendengar dan menyampaikan sunnahnya.
ْﺖ َﻋ ْﺒ َﺪ ﺍﻟﺮﱠﺣْ َﻤ ِﻦ ْﺑﻦَ َﻋ ْﺒ ِﺪ ﱠ ُ ﷲِ ﺑ ِْﻦ َﻣ ْﺴﻌُﻮ ٍﺩ ﻳ َُﺤﺪ ُ ﺎﻙ ْﺑ ِﻦ َﺣﺮْ ﺏٍ ﻗَﺎﻝ َﺳ ِﻤﻌ ﱢﺙ ﻋ َْﻦ ِ ﻋ َْﻦ ِﺳ َﻤ ﷲُ َﻋﻠَ ْﻴ ِﻪ َﻭ َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳَﻘُﻮ ُﻝ ﻧَﻀ َﱠﺮ ﱠ ﺻﻠﱠﻰ ﱠ ُ ﺎﻝ َﺳ ِﻤﻌ ﷲ ُ ﺍ ْﻣ َﺮﺃً َﺳ ِﻤ َﻊ ِﻣﻨﱠﺎ َﺷ ْﻴﺌًﺎ َ ْﺖ ﺍﻟﻨﱠﺒِ ﱠﻲ َ َﺃَﺑِﻴ ِﻪ ﻗ .ﻓَ َﺒﻠﱠ َﻐﻪُ َﻛ َﻤﺎ َﺳ ِﻤ َﻊ ﻓَﺮُﺏﱠ ُﻣ َﺒﻠﱢ ٍﻎ ﺃَﻭْ ﻋَﻰ ِﻣ ْﻦ َﺳﺎ ِﻣ ٍﻊ
“Dari Simak bin Harb dia berkata; aku mendengar Abdurrahman bin Abdullah bin Mas'ud bercerita dari bapaknya dia berkata; aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah akan memperindah seseorang yang mendengar sesuatu dariku kemudian dia sampaikan sebagaimana dia mendengarnya, maka bisa jadi orang yang menyampaikan lebih faqih dari yang mendengar" 36. 35F
Imam al-Shafi’i mengatakan bahwa ketika Rasul menganjurkan untuk mendengarkan sabda-sabda beliau kemudian dihafal dan disampaikan pula 33
Abdul Ghani Abdul Khalik, Hujjiyat al-Sunnah, 308. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, 26. 35 Malik bin Anas, al-Muwat}t}a’, (Cairo: Dar al-Rayan li al-Turath, 1988) vol. 4,1039. 36 al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, (Cairo: Jam’iyyat al-Maknaz al-islamy, 2000),614. Abu Isa berkata : Hadith ini Hasan S}ahih. 34
kepada yang lainnya, maka jelas menunjukkan bahwa sabda itu sebagai dasar hukum. Karena itu sabda beliau dapat digunakan untuk menetapkan yang halal dan haram untuk dijauhi 37.
5. Kemustahilan hanya mengamalkan dari al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama mengandung pokok-pokok ajaran secara global (mujmal), absolut (mutlaq), dan universal (’am). Dengan kapasitasnya dan secara logika, al-Qur’an membutuhkan sunnah untuk menjelaskan (tabyin), menginterpretasikan (tafsir), merinci (tafs}il) dan melaksanakan (tanfidz)nya. Sebagai contoh hubungan al-Qur’an dengan al-Sunnah sebagai tabyin, firman Allah dalam al-Qur’an ;
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk 38”. 37F
Para sahabat berkata : 'Wahai Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak mendzalimi dirinya! ' Beliau menjawab: 'Hal itu tidaklah seperti yang kalian maksudkan. Ia adalah sebagaimana yang dikatakan Luqman kepada anaknya: '(Wahai anakku, janganlah kamu mensyirikkan Allah. Sesungguhnya syirik adalah kezhaliman yang besar) '. (Qs. Luqman: 13) 39. 38F
6. Al-Sunnah terbagi menjadi dua : wahyu dan yang berkedudukan seperti wahyu. Setiap sesuatu yang bersumber dari Rasul terbagi menjadi dua bagian, yaitu : 1) Wahyu. Wahyu yang datang dari Allah swt. merupakan dasar dan pondasi agama yang harus diikuti dan dipatuhi. 40 Bagian ini jelas merupakan suatu hal yang 39 F
maksum (terpelihara) dari kesalahan dan lupa. Bagian ini terkadang 37
Jalal al-Din al-Suyut}i, Mifta@h al-Jannah, 50. Al-Qur’an, 6 (al-An’am) :82. 39 Bukhari, S}ah}ih} al-Bukhari, (Riyad}: Bayt al-Afka@r wa al-Dawliyyah, 1998),231. Muslim, S}ah}ih} al-Muslim, (Riyad}: Bayt al-Afka@r wa al-Dawliyyah,1988),178. 40 Ayat-ayat yang terkait dengan hal ini adalah: Al-Qur’a>n, 59 (al-H}ashr): 57, 3 (a>li Imra>n): 31, 4 (alNisa>’): 80 dan 65, 24 (al-Nu>r): 63, 33 (al-Ah}za>b): 36 38
diwahyukan beserta lafalnya, maka terkandung didalamnya kemukjizatan, yaitu al-Qur’an. dan terkadang diwahyukan tidak beserta lafalnya, yaitu hadith Nabi 41. Keduanya tidak diragukan merupakan wahyu yang pada hakekatnya berasal dari sumber yang satu. Dalil
bahwa Hadith Nabi
merupakan wahyu dikemukakan Allah dalam salah satu firman-Nya :
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) 42”. 41F
Muhammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b berpendapat, bahwa sunnah yang termasuk wahyu adalah setiap sesuatu yang datang dari Nabi saw.—selain alQur’an— terkait dengan al-Ah}ka>m al-Shari>’ah, sebagai perinci dari hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, serta bersifat aplikatif dari ayat alQur’an. Perbedaan wahyu al-Qur’an dengan Sunnah adalah jika al-Qur’an merupakan al-Wah}yu al-Matlu>, membacanya dinilai sebagai ibadah, adapun sunnah termasuk al-Wah}yu ghairu Matlu> serta membacanya tidak dinilai ibadah. 43 42F
2). Ijtihad Nabi. Berasal dari pribadi Rasul yang tidak dimaksudkan sebagai penyampaian dari Allah. pada bagian ini ada kalanya Allah mengukuhkannya dan terkadang pula tidak demikian. Jika hal tersebut dikukuhkan-Nya maka ia menempati kedudukannya seperti wahyu. karena suatu penetapan Allah berarti menunjukkan akan kebenaran dan sesuai disisi-Nya. Termasuk di dalamnya hukum-hukum yang bersumber dari ijtihad Rasul kemudian dikukuhkan oleh Allah. Pada bagian ini adakalanya tidak dikukuhkan oleh Allah, yaitu berupa kebiasaan beliau seperti ; keadaan bagaimana beliau makan, minum, duduk,
41
Sebagian ulama berpendapat mengkategorikan hadith Qudsi dalam bagian ini, yaitu bagi mereka yang berpendapat bahwa redaksinya dari Rasul. 42 Al-Qur’an, 53 (al-Najm) :3-4. 43 Muhammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Usu>l al-H}adi>th; ‘Ulu>muhu> wa Mus}t}ala>h}uhu (Beirut: Da>r al-Fikr, 1975), 34.
memakai baju, tidur, dan setiap sesuatu yang berhubungan dengan keduniawiaan 44. 7. Ijma’. Jika ditelusuri peninggalan ulama salaf hingga khalaf, mulai dari masa Khulafa al-Rasyidin hingga era sekarang, kita akan menemukan konsensus (ijma’) bahwa sunnah sebagai hujjah dalam hukum Islam setelah al-Qur’an 45. Umat islam telah sepakat atas kehujjahan hadi>th nabi tersebut dan mengamalkannya sebagai upaya dalam memenuhi perintah Allah untuk menaati rasul-Nya serta menerima hadith nabi sebagaimana menerima al-Qur’an. Hal itu disebabkan karena sunnah adalah sumber tashri’ 46. Al-Shafi’i mengatakan : aku tidak mendengar seseorang yang dinilai manusia atau oleh dirinya sendiri sebagai orang alim yang menyalahi kewajiban Allah untuk mengikuti Rasul dan berserah diri atas keputusannya. Allah tidak menjadikan orang setelahnya kecuali agar mengikutinya. Tidak ada perkataan dalam segala kondisi kecuali berdasarkan Kitab Allah atau sunnah Rasul-Nya. Dasar lain selain dua dasar tersebut harus mengikutinya. Sesungguhnya Allah telah memfardukan kita, orang-orang sebelum dan sesudah kita dalam menerima khabar dari Rasul. Tidak ada seorangpun yang berbeda bahwa yang fardu dan yang wajib adalah menerima khabar dari Rasulullah 47. E. Kesimpulan Al-Sunnah menempati posisi fundamental dalam Islam di samping al-Qur’an. Posisi tersebut ditunjukkan oleh fungsinya sebagai penjelas al-Qur’an dan sumber hukum kedua. Mengingat problematika keumumam makna ayat al-Qur’an, posisi hadith sebagai penjelas dan sumber hukum perlu
dijadikan pegangan dalam menjawab persoalan-
persoalan hukum, baik terkait dengan shari’at maupun persoalan kemanusiaan. Otoritas (kehujjahan) sunnah didasarkan atas dalil-dalil yang pasti (qat}’i@), baik dari ayat al-Qur’an ataupun Hadith Nabi atau menurut akal sehat. Sunnah yang dapat
44
Abdul Ghani Abdul Khalik, Hujjiyat al-Sunnah, 239. Ibid, 341 46 Muhammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Usu>l al-H}adi>th; Ulu>muhu> wa Mus}t}ala>h}uhu, 36-41. 47 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, 26. 45
dijadikan hujjah tentunya sunnah yang telah memenuhi persyaratan sahih, baik mutawattir maupun ahad.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Khalik, Abdul Ghani. Hujjiyat al-Sunnah, Mans}urah: Dar al-Wafa’, tt. Anas (bin), Malik, al-Muwat}t}a’, Cairo: Dar al-Rayan li al-Turath, 1988. Bukhari (al). S}ah}i>h} al-Bukha>ri, Riyad}: Bayt al-Afkar wa al-Dawliyyah, 1998. Daud (Abu). Sunan Abi Daud. (Cairo: Jam’iyyat al-Maknaz al-islamy, 2000. Hambal (Abu), Abu Abdillah Ahmad. Musnad Ahmad Bin Hambal, Juz 1. Al-Maktabah Al- Islami. Beriut t.t. Ismail, Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadits, Bandung : Angkasa ,1987. _____________. Hadits Nabi Menurut pembela, pengingkar dan pemalsunya, Jakarta : Gema Insani Press, 1995. Mahmud, Abdul Halim. al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tashri’ al-Islami, Beirut: Maktabah al-As}riyah, 1977. Majah (Ibnu). (Kairo: Jam’iyyat al-Maknaz al-islamy, 2000 Syafi’i (al) Muhammad bin Idris, al-Risalah. Mans}urah: Dar al-Wafa’, tt. Shahbah (Abu), Muhammad bin Muhammad. Difa>’un ‘An al-Sunnah, Maktabat alSunnah,tth. Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2011. Khat}i>b
(al),
Muhammad
‘Ajja>j,
Usu>l
al-H}adi>th;
Ulu>muhu>
wa
Mus}t}ala>h}uhu> (Beirut: Da>r al-Fikr, 1975. Muslim. S}ah}ih} Muslim, Riyad}: Dar Taybah, 2006. Rayah (abu) Muhammad. Ad}wa@ ala al-Sunnah al-Muhammadiyah aw Difa@’ ‘an alSunnah, Cairo: Dar al-Ma’arif, tt. Suyut}i (al) Jalal al-Din. Mifta@h al-Jannah fi al-Ih}tija@j bi al-Sunnah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987. Siba’i (al), Mus}t}afa. al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tashri’ al-Isla@mi, Cairo: Dar al-Warraq, tt. Qaradlawi (al), Yusuf. Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah, Mans}urah: Dar al-Wafa’, 1993.