AF’AL RASUL : SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM ______________________________________________ Fiddian Khairudin Abstrak: Seluruh perbuatan atau perilaku serta ucapan Nabi Saw. adalah “wahyu” karena Nabi Saw. adalah pribadi spesial maka tidak satupun materi ucapan atau bentuk perilaku perbuatan Nabi Saw. yang dilakukan tanpa identitas wahyu, ia tidak berasal dari hawa nafsunya belaka, karena setiap perbuatan dan ucapan Nabi Saw. senantiasa diawasai oleh Allah Saw. Namun bukan berarti pribadinya lepas dari humanitas, dari sisi inilah perlu peninjauan lebih mendalam tentang Af‟al Rasul, akhirnya ditemukan perbuatan Nabi Saw. yang bersifat spontanitas, inisiatif dan kekhususan. Bagi pengikut beliau, af‟al Rasul bukan sebuah pemasalahan yang tidak dapat dipahami, namun dibutuhkan kadar akal yang mulia karena objeknya manusia spesial. Kata Kunci: af‟al Rasul, jibillah, idthiarary, qurbah, tasyri‟
Pendahuluan Masih menjadi perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan para ulama, bahwa ada yang menyamakan dan ada pula yang membedakan tema hadis dan sunnah. Hadis yang memilki pengertian segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi Saw. berupa perkataan, perbuatan dan persetujuannya, walaupun hanya sekali terjadi sepanjang hidupnya dan hanya diriwayatkan oleh seorang saja. Istilah lain, yaitu sunnah memiliki pengertian berupa perjalanan yang ditempuh oleh Nabi Saw. yang baik maupun buruk, dimaksudkan sebagai segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang atau dianjurkan oleh Nabi Saw., baik berbentuk sabda maupun perbuatan. Nama yang diberikan bagi amaliah (perbuatan) Nabi Saw. yang mutawatir yakni cara Nabi Saw. melaksanakan suatu
Alumnus Program Studi Tafsir Hadis (S.1) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Mahasiswa Program Magister (S.2) Konsentrasi Tafsir Hadis PPs. IAIN Imam Bonjol Padang. Sehari-hari bertugas sebagai Dosen Pengajar pada Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Fak. Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indragiri (UNISI) Tembilahan.
ibadah yang dinukilkan kepada kita dengan amaliah yang mutawatir pula („Ajaj, Ushul: 17. Nata, Al-Quran, 1993: 158). Inilah perbedaan persepsi antara ushuliyun (ahli ushul) dan muhadditsun (ahli hadis). Adapun sebab terjadinya perbedaan dalam memberikan defenisi ini karena perbedaan mereka dalam memberi tekanan mengenai tujuan yang dikehendaki oleh masing-masing kelompok ahli ilmu itu terutama dalam menjelaskan hakikat af‟al (perbuatan) Rasul. Ahli aqal (logika) dan ahli naqal (Al-Qur‟an dan sunnah) dalam Islam, telah berijma‟ bahwa hadis atau sunnah merupakan dasar bagi hukum-hukum dalam ajaran agama Islam, dan umat diberikan tugas untuk mengikutinya sebagaimana tugas mengikuti Al-Qur‟an, tidak ada perbedaan dalam garis besarnya. Banyak sekali nash-nash Al-Qur‟an yang menerangkan bahwa hadis yang juga bersumber dari af‟al atau perbuatan Nabi Muhammad Saw. (hadis fi‟liyah) merupakan pokok bagi syari‟at Islam.
… … … apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. … (QS. Al-Hasyr: 7) Syariat yang ditujukan kepada kita, umumnya mencakup semua orang Islam tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Namun demikian, ada ketentuan untuk melaksanakan syari‟at berupa hadis apalagi ketika ia berhubungan dengan perbuatan Nabi Saw. Umat Islam belum secara utuh memahami tentang perbuatan Nabi Saw., bahkan ini terjadi di kalangan muslim yang menjustifikasi merekalah penganut Islam “tulen”. Tidak sedikit yang masih menganggap bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan oleh Nabi Saw., wajib atau disunnahkan untuk diikuti. Padahal jika dikaji secara mendalam, nyatanya para ulama merincinya hingga sampai pada kesimpulan bahwa tidak setiap pekerjaan Nabi Saw., mengandung perintah atau anjuran yang dengannya kita sebagai umatnya harus mengikutinya, baik bersifat wajib maupun sunnah. Tidak jarang tindakan atau perbuatan Nabi Saw. itu bersifat khusus yang kehujjahannya sebagai tasyri‟ masih dalam ikhtilaf para ulama Islam.
Keragaman antar perbuatan yang mengandung tasyri‟ dan yang tidak mengandung tasyri‟ inilah yang mendorong para ahli untuk mengklasifikasi perbutan Nabi Saw., lengkap dengan kandungan hukumnya. Penjelasan tingkatan dan pembagian perbuatan tersebut menuntut hukum syar‟iy dari yang hanya mengindikasikan ibahah (kebolehan) atau al-bara‟atu al-ashliyah (indikasi contoh baik untuk diikuti) dari perbuatan Nabi Saw.
Klasifikasi Af’al Rasul Dan Kehujjahnnya Perbuatan Jibillah Jenis perbuatan yang semata-mata bersumber dari Rasulullah ini merupakan bentuk sifat kemanusiaan Nabi Saw., yang pada dasarnya tidak ada hubungannya dengan tasyri‟ (pembentukkan hukum) walaupun ada kemungkinan masuk ke dalam aspek qurbah (pendekatan diri kepada Tuhan) dan ibadah. Perbuatan jibillah dibagi menjadi dua bentuk: pertama, idhthiarary (spontanitas) yaitu perbuatan yang terjadi secara spontan seperti tarikan napas, gerakan tubuh dan anggota tubuh yang terjadi tanpa disengaja, juga dapat dimisalkan dengan perubahan wajah Nabi Saw., apabila gembira maka wajahnya berseri-seri; dan apabila dia tidak menyukai sesuatu maka kelihatan pula di wajahnya; pun dengan kesukaan dan ketidak-sukaannya terhadap sesuatu. Perbuatan yang terjadi secara spontan seperti ketidaksukaannya memakan daging biawak, dimana beliau bersabda:
مل يكن أبرض قومي فأجدين أعافو... Dan didapati riwayat yang menyatakan bahwa dia menyukai manisan dan madu; juga minuman yang disukainya adalah minuman manis yang dingin; makanan yang disukainya adalah roti; dan dia tidak menyukai bau hana‟ (Ibn alQayyim, IV: 295 & 340). Semua perbuatan ini termasuk yang bersumber dari Nabi Saw. secara jibilah, tidak termasuk perintah yang harus diikuti dan/atau larangan yang harus ditinggalkan, di dalamnya tidak terdapat uswah (aspek keteladanan), karena perbuatan tersebut terjadi tanpa disengaja, maka ia tidak termasuk tuntutan taklif (pembebanan ibadah).
Kedua, ikhtiyary (diusahakan), perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan dengan kehendak dimana perbuatan tersebut merupakan tabiat kemanusiaan, seperti berdiri, duduk, makan, minum, tidur, berjalan, buang air (besar dan kecil), menghuni rumah, menggunakan pakaian dan tikar, berobat dari penyakit, mempergauli isteri dan lainnya yang termasuk perbuatan jibillah. Perbuatan semacam ini diklasifikasikan oleh para ulama antara memiliki aspek qurbah dan yang memiliki kaitan dengan ibadah. Setiap perbuatan memiliki hukum yang khusus, inilah bentuk sunnah fi‟liyah -adat kebiasaan dari perbuatan Nabi Saw.yang harus diperhatikan dalam pemahamannya sehingga layak menjadi sumber hukum untuk diterapkan. Sebagian besar kaum “awam” menyimpang dari kebenaran dalam persoalan ini dan berlebihan dalam persoalan kebiasaan Nabi Saw., mereka menjustifikasinya sebgai sunnah tasyri‟iyah (pembentukan hukum). Satu contoh berupa pengharusan atau minimal penganjuran orang Islam memakai sorban dan mengulurkan jambulnya. Mereka berpendapat perbuatan tersebut adalah sunnah, sementara tidak ada satu hadis shahih pun yang menyatakan keutamaan sorban. Karena Nabi Saw. memakainya berdasarkan kebiasaan kaumnya di negari yang panas layaknya semenanjung Arab. Adapun riwayat yang berasal dari Ibn Umar:
. كان النيب صلى هللا عليو و سلم إذا اعتم سدل عمامتو بني كتفيو... Nabi Saw. apabila memakai sorban, maka mereka mengulurkan ujung sorban di antara pundaknya (Al-Tirmidziy, 1963, Kitâb al-Libâs: No. 1736) tidak terdapat dalil yang mengindikasikan kesunnahan pemakaian sorban (AlSyawkany, 1327 H, II: 109). Para ahli memberi pengecualian dari perbuatan Nabi Saw. ini dalam bentuk khusus dan senantiasa dilakukannya atau menegaskannya dengan perkataan yang mengindikasikan peralihan dari perbuatan bawaan ke aspek qurbah, seperti hadis tentang makan dengan tangan kanan, contoh lain misalnya hadis tentang pernyataan apabila dia akan minum, maka dia bernafas tiga kali dan bersabda: “ ” إنه أهنأ و أمرأberarti sesungguhnya itu lebih sedap dan lebih sehat.Di lain waktu beliau tidur atas bagian badan yang kanan, selain itu dia tidak
menyukai berbaring di atas perut dan menyatakan “ ” نومة الشياطينbahwa itu adalah cara tidurnya syaitan dan hadis yang shahih yang menyatakan bahwa dia suka memulai pekerjaan dari kanan semisal dalam menggunakan sandal, berjalan dan di setiap keadaan. Pendapat yang dipegang oleh para ahli hadis dan sekelompok ahli ushul alfiqh (dasar-dasar fiqih) sebagaimana dikemukakan oleh Al-Syayrazy dan AlZarkasyi dan pendapat ini didukung oleh Al-Subkiy bahwa perbuatan itu mustahab dan nadb maka kepada umat Islam diminta untuk mencontoh Nabi Saw. dalam perbuatan tersebut (Al-Zarkasyi : II/248 & Al-Syawkany, 1327 H : 72).
Perbuatan Yang Berhubungan Dengan Ibadah Perbuatan yang berasal dari Nabi Saw. ketika melaksanakan ibadah, sarananya, sebelum atau sesudahnya. Seperti ketika Nabi Saw. turun dengan alMihshab pada malam nafar dari Mina, contoh lain ketika beliau duduk istirahat setelah rakaat pertama dan ketiga, memakai harum-haruman ketika akan ber ihram, bertumpu pada busur dan tongkat pada saat khutbah, duduk antara dua khutbah, masuk Makkah dari Kuday, masuk ke Masjid al-Haram dari pintu Bani Syaybah, wuquf di Arafah di atas unta, dan kembali dari shalat „id tidak melalui jalan ketika pergi (Al-Asqalani, 1959: I/494). Dari perbuatan Rasulullah jenis kedua ini dapat bagi menjadi beberapa bagian. Pertama, Perbuatan yang menonjol Aspek Qurbah-nya. Di kalangan ahli fiqh dan ahli hadis, perbuatan bentuk ini terdiri dari beberapa tingkatan sesuai dengan munculnya aspek qurbah (usaha pendekatan diri kepada Tuhan) dalam perbuatan atau ketidak-munculannya, menurut kebanyakan ahli hukumnya mustshab (dianjurkan untuk mengikuti). Contohnya duduk antara dua khutbah, Nabi Saw. berbuka dengan ruthab (kurma basah) dengan jumlah ganjil, dia memindahkan serbannya dalam do‟a istisqa (shalat sunat meminta hujan) dan dia menunaikan shalat di dalam Ka‟bah (Ibn al-Qayyim,: II/296). Aspek ibadah dalam perbuatan di atas lebih menonjol ketimbang perbuatan bawaan. Kedua, Perbuatan Antara Syar‟iy dan Jibilliy adalah perbuatan yang mengandung kemungkinan antara bawaan atau ibadah. Klasifikasi perbuatan ini
dipersoalkan di kalangan salaf (ulama klasik). Contohnya berbaring sesudah shalat dua rakaat sunat fajar, menurut Ibn Hazm perbuatan tersebut adalah wajib. Menurut Al-Syafi‟i perbuatan tersebut mustahab, sebagian sahabat semisala Ibn Mas‟ud, Ibrahim al-Nakh‟iy, Al-Hasan al-Bashri dan Ibn Umar berpendapat, perbuatan tersebut hukumnya makruh (dibenci). Ketiga, Perbuatan yang menonjol aspek bawaannya, contohnya, Nabi Saw. berpaling dalam shalat dalam keadaan bahaya; dia berjalan dalam shalat ketika membuka pintu buat Aisyah; dia bersandar di tiang dalam shalat malam ketika sudah berumur tua; dia duduk pada tempat berdiri dalm shalat karena sakit dan lain sebagainya. Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan ini tidak lebih hanya mengindikasikan kebolehan atau keringanan dalam keadaan darurat. Keempat, Perbuatan Nabi Saw. dalam kegiatan eksperimen dan kehidupan adalah perbuatannya dalam rangka mengelola urusan kehidupan yang bersumber dari diri Nabi Saw. sendiri dan bersifat inisiatif dengan tujuan mengambil manfaat dan menolak mudharat dalam persoalan harta misalnya, badan atau tubuh dan urusan masyarakat muslim secara umum dalam perdagangan, industri dan pertanian, dan pengaturan perang serta administrasi. Perbuatan bentuk seperti manajemen urusan perang misalnya ketika Nabi Saw. merealisasikan penggunaan busur, anak panah, dan pedang; melatih kuda dan mengkandangkannya untuk perang; membuat parit; meluruskan shaf (barisan) dalam persiapan perang dan memanah tentara, dan beliau menempati tempat khusus dalam perang. Dalam
manajemen
urusan
negara
contohnya
ketika
Nabi
Saw.
mempergunakan wali, tulisan, penjaga, hijab dan utusan, simbol dan lambang, hubungan dengan Raja Parsi (Persia) dan Rum atau Bizantium (Romawi); mengadakan perjanjian dengan orang Yahudi kemudian pengusiran mereka dari Madinah dan lainnya. Pada manajemen urusan kehidupan seperti tindakan Nabi Saw. dalam bidang perdagangan, industri, dan pertanian. Kasus yang popular tentang Nabi Saw. antara lain ta‟bir al-nakhl (penyerbukan kurma) terceermin seperti pada hadis:
فإذا ىم أيبرون، املدينة-صلى هللا عليو و سلم- قدم النيب:عن رافع بن خديج هنع هللا يضر قال ." "لعلكم لو مل تفعلوا كان خريا: قال." "كنا نصنعو: "ما تصنعون؟" قالوا: فقال،النخل إذا أمرتكم بشيء من دينكم، "إمنا أان بشر: فقال، فذكروا ذلك لو. فنفضت.فرتكوه ." و إذا أمرتكم بشيء من رأيي فإمنا أان بشر،فخذوا بو Riwayat dari Rafi‟ ibn Khudaij r.a., dia berkata: “Nabi Saw. tiba di al-Madinah, sementara penduduknya menyerbukkan kurma. Nabi Saw bertanya: “Apa yang kamu perbuat?” mereka menjawab: “Kami biasa melakukannya”. Nabi berkata: “Jika kamu tidak melakukannya maka itu lebih baik”. Maka mereka tidak melakukannya. Ternyata hasil perkebunan mereka tidak baik. Kemudian mereka menyampaikan permasalahan tersebut kepadanya. Maka dia menjawab: “Aku juga manusia biasa, apabila aku memerintahkan sesuatu tentang agama kamu, maka perpegangilah dan apabila aku memerintahkan sesuatu yang berasal dari pendapatku maka sesungguhnya aku juga manusia” (Muslim, 1956, Kitab alFadha‟il: No. 2362). Dalam riwayat lain Thalhah ibn Ubaidillah dinyatakan:
و لكن إذا، فال تؤاخذوين ابلظن، فإين أمنا ظننت ظنا،إن كان ينفعهم ذلك فليصنعوه . فإين لن أكذب على هللا،حدثتكم عن هللا شيئا فخذوا بو Jika apa yang biasa mereka lakukan bermanfaat bagi mereka maka lakukanlah, maka sesungguhnya aku hanya menduga maka janganlah saya dihukum karena dugaan tersebut, akan tetapi jika aku menyampaikan sesuatu dari Allâh maka perpegangilah, sesungguhnya aku tidak akan pernah berdusta atas nama Allah (Muslim, 1956, Kitab al-Fadha‟il: No. 2362). Dalam bidang kedokteran dan pengobatan misalanya ketika Nabi Saw. memberikan beragam bentuk pengobatan dan obat, seperti bekam. Nabi Saw. sendiri juga pernah dibekam di bagian tengah kepalanya. Beliau dibekam karena penyakit yang dideritanya (Al-Asqalani, 1959, X:152-153).
Perbuatan Yang Khusus Bagi Nabi Saw Perbuatan yang diperbolehkan buat Nabi Saw. secara khusus atau wajib baginya dan bukan untuk umatnya atau perbuatan yang haram secara khusus buatnya yang bersumber dari Nabi Saw. (Sulaiman: I/262). Menurut mayoritas
ulama, riwayat yang shahih tentang perbuatan Nabi Saw. yang khusus baginya maka ia menjadi kekhususannya dan hukumnya tidak berlaku bagi tiap orang (umat Islam) (Al-Amidiy, 1332 H, I: 228; Al-Syawkaniy, 1327 H: 72; AshShiddieqy, 1954: 170). Persoalan ini berkisar pada ketetapan pengkhususan dengan dalil yang shahih kemudian dikemukakan dengan tegas. Tidak semua yang disebutkan oleh para ahli fikih dan ahli hadis tentang bab kekhususan Nabi Saw.dengan sanad yang shahih menjadi dalil kekhususannya dengan dalil yang tegas, tetapi ada yang tidak. Kebanyakan riwayat yang dikemukakan oleh Al-Suyuthi dalam kitab AlKhasha‟is al-Kubra yang dinilai shahih sanad-nya hanya klaim pengkhususan yang tidak ada sanad-nya, seperti klaimnya bahwa terkabulnya doanya merupakan kekhususannya. Mayoritas para ulama, seperti Imam al-Haramayn, Al-Ghazali, Ibn Subkiy, Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshariy dan Al-Syawkaniy berpendapat bahwa, tidak dapat dinilai mengikuti Nabi Saw., apabila kita melakukan perbuatan yang khusus bagi Nabi saw., karena kebanyakan riwayat yang diriwayatkan dari Nabi Saw., beliau jelaskan yang menjadi kewajiban kita, seperti anjuran melaksanakan shalat sunat dhuha, witir dan tahajjud dengan dalil qawliy (bersumber dari perkataan), maka tidak ada alasan untuk mewajibkannya kepada kita (Al-Ghazali, 2000, II: 49; Al-Suyuthi, II: 97; Al-Syawkani, 1327 H: 72; dan Al-Juwayni, 1998, I: 326). Ulama lain yakni, Abu Syamah membedakan antara wajib dan mubah, menurutnya tidak seorang pun yang harus mengikuti Nabi Saw. dalam perbuatan yang boleh baginya, seperti menikah lebih dari empat isteri, dan dianjurkan untuk mengikutinya dalam perbuatan yang wajib baginya, seperti shalat dhuha dan witir, dan demikian pula perbuatan yang diharamkan baginya, seperti memakan makanan yang berbau tidak sedap, maka mengikuti Nabi Saw. dalam perbuatan pertama sangat dianjurkan sementara dalam perbuatan kedua dalam rangka pensucian. Berkaitan dengan perbuatan khusus Nabi Saw. tetapi tidak mengikat untuk yang lainnya, sekelompok guru atau ahli sufi yang “sesat” usahanya di kehidupan
dunia ini mengklaim bahwa perbuatan khusus Nabi Saw. juga menjadi khusus buat mereka, dengan klaim bahwa mereka mewarisi rahasia kenabian. Wilayah ini mungkin dapat diqiyaskan pada nubuwwah. Mereka menerapkan pada muridmuridnya perbuatan yang dikhususkan buat Nabi Saw. Sebagaimana sekelompok ekstrim, mereka yang berpendapat bahwa dibolehkan ber-tabarruk dengan makanan dan minuman sisa guru, sebagaimana shahabat ber-tabarruk dengan makanan dan minuman sisa Nabi Saw. perbuatan tersebut temasuk kekhususan Nabi Saw. dan kita tidak terikat pada hal itu. Para ulama sependapat bahwa perbuatan tersebut termasuk perbuatan khusus Nabi Saw. karena kemulian posisi kenabian dan generasi sesudahnya tidak boleh mengharuskan untuk dirinya. Para shahabat Nabi Saw. sebenarnya adalah “wali Allah”, mereka tidak ber-tabarruk dengan orang yang paling mulia di antara mereka atau mensucikan mereka. Namun lain halnya pada generasi sesudah Nabi Saw. tidak ada yang lebih utama dibanding Abu Bakar, Umar, Utsman dan „Ali. Tidak terdapat riwayat dari salah seorang mereka, bahwa shahabat ber-tabarruk dengan sisa makanan dan minuman mereka. (Al-Syathibi, II: 11). Misalnya prilaku para “guru sufi”, perbuatan tersebut untuk diri mereka serta murid mereka, dan mengklaim bahwa mereka berpegang dengan lentera Nabi Saw. dan Nabi Saw. mengkhususkan mereka apa yang dikhususkan buat Nabi Saw., karena mereka adalah pewarisnya, padahal ini tidak diwariskan untuk seluruh makhluk. Di antara mereka ada yang menjadikan diri mereka sebagai berhala yang “disembah” dari selain Allah. Dia meminta disembah oleh makhluk dan dibebankan dengan bentuk-bentuk tabarruk dan pensucian, seperti meminum air sisa cuci kakinya, duduk dengan kehinaan dan ketundukan di hadapannnya, dan menyerahkan harta yang paling berharga kepada mereka dalam rangka mendekatkan diri dan meraih ridhanya. Penulis mengingatkan pembaca untuk tidak bertawassul tanpa mengerti maksud dan tujuan yang jelas dengan mereka dan tidak layak meyakini ke-ma‟sum-an mereka, karena hal itu dalam klaim mereka termasuk mendahului mereka dan perbuatan tersebut tidak dibolehkan terhadap mereka sebagaimana tidak dibenarkan mendahului Nabi Saw.
Lain halnya dengan perbuatan Nabi Saw.yang menjadi penjelas urusan syar‟i, ini merupakan perbuatan Nabi Saw. yang terjadi sebagai penjelas bagi kata yang musykil (maknanya sulit) atau tafsir bagi kata yang mujmal (umum) dalam Al-Qur‟an atau hadis. Para ulama mensyaratkan perbuatan tersebut diiringi dengan qarinah (tanda) yang mengindikasikan bahwa ia merupakan penjelas bukan awal (Al-Ghazaliy, 2000: 275; Al-Juwayniy, 1998, II: 322). Dalam kitab Al-Mahshul ditegaskan bahwa qarinah dalam perbuatan tersebut ada tiga macam, yaitu: pertama, yang dapat dikenal secara langsung dari tujuannya; kedua, perkataan, atau; ketiga, dalil aqli. Caranya dengan menyebutkan kata yang mujmal, waktu dibutuhkan untuk mengamalkannya, kemudian dia melakukan perbuatan tersebut, maka perbuatan ini dapat dijadikan penjelas. (AlRazy, III: 178). Contohnya seperti ungkapan Nabi :
“. فإين ال أدري لعلي ال أحج بعد حجيت ىذا، لتأخذوا عين مناسككم...” Tentang tata cara haji bagi orang Islam pada haji wada, contoh lain bahwa Nabi Saw. memotong tangan orang yang mencuri sampai pergelangan dan mengajarkan tayammum kepada Amar ibn Yasir (Abu Dawud, 150: 311; Muslim, 2007: 368) Perbuatan Rasulullah Saw. di atas dan yang sebentuk dengannya termasuk perbuatan yang dijelaskan Rasulullah Saw. untuk hukum yang global dalam AlQur‟an maupun dalam sunnah. Para ulama sependapat bahwa penjelasan dalam hal ini mengikuti yang dijelaskan dalam kewajiban atau anjuran dan kebolehan (Al-Subkiy, II: 177; Al-Juwayniy, 1998, I: 322). Secara rinci, perbuatan Nabi Saw. terkadang menjadi penjelasan untuk suatu kewajiban dan berhubungan dengan bagiannya, yakni sunnah dan mandub, sebagaimana penjelasan Nabi Saw. terhadap manasik (pelaksanaan ibadah haji) haji dan shalat, tidak setiap perbuatan Nabi Saw. yang menjelaskan kewajiban itu menjadi wajib, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Qudamah, bahwa kebanyakan perbuatan Nabi Saw. dalam shalat hukumnya sunnah tidak wajib (Ibn Qudamah, I: 553). Menurut Al-Subkiy tentang sabda Nabi Saw. “ ” خذوا عني مناسككمtidak menunjukkan pada sesuatu yang khusus darinya, karena manasik secara umum di dalamnya terdapat perbuatan yang wajib dan mandub. Apabila hadis tersebut
dijadikan hujjah untuk suatu perbuatan yang khusus maka penerapannya harus ditolak untuk yang umum, seperti berjalan-jalan cepat, idhthiba‟ dan seluruh perbuatan sunnah (Al-Asyqar, I: 297).
Perbuatan Nabi saw. Sebagai hukum bersama Perbuatan ini dinamakan al-fi‟l al-muta‟addiy, seperti hukuman, interaksi dan pemutusan perkara di antara masyarakat yang berhubungan dengan orang lain. Para ulama seperti Abu al-Hasan al-Bashriy, Al-Zarkasyi, Al-Syawkany dan lain-lain mengkategorikannya bagian perbuatan Nabi Saw. yang berhubungan dengan orang lain semisal hukuman -hadd, ta‟zir, dan gharamah- yang diterapkan oleh Nabi Saw. terhadap seseorang dan yang menjadi sebabnya adalah kemaksiatan, contoh lain seperti Nabi Saw. mengeksekusi mati Abdullah ibn Khathal, meskipun dia memohon perlindungan dengan Ka‟bah, karena perbuatan maksiat yang mengharuskan hukuman hadd. Nabi Saw. “menghalalkan” darahnya, karena dia membunuh sahayanya, kemudian dia kembali menjadi musyrik dan memiliki dua orang -untuk berzina- penyanyi perempuan (AlAsqalani, 2000, IV: 61). IKHTILAF TENTANG AF’AL RASUL Di kalangan ahli ushul telah popular bahwa perbuatan Nabi Saw. secara umum dapat dijadikan hujjah, karena ia merupakan dalil syar‟iy dari hukum Allah dalam perbuatan mukallaf. Menurut Al-Amidy, sebagian besar para imam di kalangan ahli fiqh dan ahli kalam (theologi) sependapat bahwa kita beribadah dengan mencontoh perbuatan Nabi Saw. baik yang wajib, mandub maupun yang mubah. Termasuk pada perbuatan Nabi Saw. yang berhubungan dengan penjelasan hukum, seperti shalat, puasa, cara Nabi melakukan jual beli, utangpiutag dan lain-lain yang berhubungan dengan agama, maka dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat dari ulama, yaitu wajib atau ibadah. Adapun ikhtilaf (perbedaan pendapat) ulama mengenai kedudukan Nabi Saw. sebagai orang ataupun manusia biasa, maka sebagian ulama berpendapat ini termasuk sunnah yang mempunyai daya hukum untuk diikuti, meskipun
hukumnya tidak lebih dari sunat (menurut istilah ahli fiqih). Sebagian ulama lainnya menyatakan itu sebagai bentuk adat kebiasaan dan tidak mempunyai kekuatan hukum untuk diikuti. termasuk perbuatan yang khusus bagi Nabi Saw. maka, para ulama bersepakat menyatakan bahwa, jika yang dilakukan Nabi Saw. sesuatu yang wajib dilakukannya, maka sebagian ulama berpendapat ini termasuk sunnah. Oleh sebab itu jika ada paraktek yang mengacu pada pembicaraan ini, seperti menolak untuk melakukan perbuatan seperti yang telah diterapkan oleh Nabi Saw. tidak lantas berpredikat Ingkar Sunnah. Ingkar artinya menolak atau mengingkari, adapun sunnah berarti jalan hidup Nabi saw. yang baik maupun yang buruk, Secara definitif ingkar sunnah dapat diartikan sebagai tindakan menolak atau mengingkari sunnah untuk dijadikan sebagai sumber dan dasar syari‟at Islam. Sementara dalam pembahasan ini yang terjadi adalah usaha peninjauan untuk mengklasifikasikan af‟al Rasul yang layak menjadi sumber hukum dan sebaliknya yang belum layak.
KESIMPULAN Af‟alu al-jibiliyah adalah perbuataan Rasulullah saw. sebagai seorang manusia biasa, sedangkan af‟alu al-mujarradah adalah perbuatan Rasulullah saw. yang bertujuan untuk ditetapkan sebagai tasyri‟ kepada umatnya, dan adapun Khosois adalah perbuatan yang khusus ubagi Rasulullah Saw, tidak ada kewajiban dilakukan oleh umatnya, seperti menikah lebih dari empat, kewajiban untuk melakukan sholat tahajud, dan lain-lainnya. Af‟al Rasul bukan sebuah pemasalahan yang tidak dapat dipahami, namun dibutuhkan usaha peninjauan maksimal dengan kadar akal yang mulia karena objek penelitiannya adalah manusia paling spesial di mata manusia maupun Allah. Allah A‟lam bi al-Shawab
Daftar Pustaka Abu Dawud, Sulaiman ibn al-Asy‟atas as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, Di-tahqiq oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Kairo: al-Tijariyah, 1371 H/1950 M
al-Amidiy, Syaifuddin Ali ibn Muhammad, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Mesir: Dar al-Ma‟arif, 1332 H al-Asqalani, Syihabuddin Ahmad ibn Ali Ibn Hajar, Fath al-Bariy. Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabiy, 1378 H/1959 M al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad, Al-Mushtashfa fi „Ilm al-Ushul, Naskah ditashhih oleh Muhammad „Abd al-salam „Abd al-Tsani, Makkah: Abbas Ahmad al-Baz, 2000 al-Khatib, Muhammad „Ajaj, Ushul al-Hadits „Ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-Kutub, 1409 H/1989 M al-Sarakhsiy, Abu Bakr Muhammad ibn ahmad ibn Abi Sahl, Al-Muharrar fi Ushul al-Fiqh, Hadisnya di-takhrij dan di-ta‟liq oleh Abu Abd al-Rahman Shalah ibn Muhammad ibn Uwaidah, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1996 al-Syafi‟i, Muhammad ibn Idris, Al-Risalah, Naskah di-tahqiq dan di-syarah oleh Ahmad Muhammad Syakir, Beirut: Dar al-Fikr, 1309 H al-Syathiby, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Lakhmiy al-Gharnathiy al-Maliki, AlIs‟tisham, di-ta‟rif oleh Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, di-syarah, dan di-takhrij oleh Abdullah Daraz, Mekah: Maktabah Dar al-Baz, t.th al-Syawkaniy, Muhammad ibn Ali, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min „Ilm al-Ushul, Naskah di-tahqiq oleh Muhammad Hasan Muhammad Hasan Ismail al-Syafi‟I, Mesir: t.t, 1327 H al-Tirmidziy, Abu Muhammad ibn Isa ibn Surah, Al-Jami‟ al-Shahih li al-Tirmizi (Sunan al-Tirmidziy), Beirut: Dar al-Fikr, 1963 ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1954 Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Jakarta: PPKSQ Depag, 1978 Ibn Hazm, Abu Muhammad „Ali ibn Ahmad ibn Said, Al-Ihkam fi Ushul alAhkam, Naskah di-dhabt, di-tahqiq dan di-ta‟liq oleh Ahmad Muhammad Syakir, Kairo: Al-Khaniji, 1345 H Nata, Abuddin, Al-Quran dan Hadits, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993