CROSS-CULTURAL ORGANIZATIONAL BEHAVIOR, POSMODERENISME DALAM PSIKOLOGI INDUSTRI & ORGANISASI -------------------------------------------Zakarija Achmat
Pendahuluan Psychology is the scientific study of behavior and mental prosesses, demikian Feldman (1999) mendefinisikan psikologi.
Dalam definisi tersebut terkandung
maksud bahwa objek dari psikologi tidak hanya perilaku yang tampak atau apa yang dilakukan oleh seseorang tetapi juga bagaimana proses di balik perilaku tersebut. Bagaimana pikiran-pikiran, perasaan, persepsi, proses penalaran, ingatan, bahkan termasuk bagaimana aktifitas biologis dalam fungsi tubuh yang melatar belakangi suatu perilaku. Boeree (2003) dalam General Psychology e-text-nya mendefinisikan psikologi sebagai suatu studi mengenai jiwa dengan berbagai aspeknya seperti persepsi, kognisi, emosi dan perilaku. Psikologi merupakan suatu disiplin ilmu yang “rumit”.
Objek kajian psikologi sebenarnya bukanlah perilaku, melainkan
psychological constructs yang nampak dalam perilaku.
Psikologi mencoba
menjelaskan dan memahami perilaku manusia melalui constructs (Yuwono dkk., 2005). Sebagai suatu scientific study, psikologi tidak cukup hanya mendeskripsikan perilaku, tetapi sebagaimana ilmu pengetahuan lainnya ia juga harus dapat menjelaskan,
memprediksi,
memodifikasi serta mengembangkan kehidupan.
Sebagai suatu ilmu, maka psikologi tidak dapat lepas dari kondisi tempat dimana ia tumbuh dan berkembang.
Topik-topik yang dibahas banyak ditentukan oleh
kebutuhan dan kondisi masyarakat dimana psikologi itu berada, sehingga diperlukan pemahaman context terhadapnya. Dalam Psikologi Industri & Organisasi, ada tiga context yang perlu dipahami, yaitu context psikologi itu sendiri, yang lebih berkenaan dengan individu, context organisasi tempat individu melakukan aktivitasnya dan context masyarakat dimana individu itu berada. Psikologi Industri & Organisasi merupakan suatu subdisiplin dari Psikologi yang mempelajari perilaku manusia dalam suatu context organisasi,
1
apakah organisasi industri ataukah organisasi nirlaba, serta pengaruh timbal balik antara individu dan organisasi tempatnya bekerja.
Dalam kenyataan praktis,
Psikologi Indusri & Organisasi saling tumpah tindih dengan disiplin ilmu lain, termasuk dengan Organizational Behavior. Ada yang menganggap Organizational Behavior sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri, namun ada yang menganggapnya sebagai subdisiplin
dari Psikologi Industri & Organisasi (Yuwono dkk., 2005).
Dalam tulisan ini, anggapan kedua yang diberlakukan, bahwa Organizational Behavior merupakan subdisiplin dari Psikologi Industri & Organisasi. Organizational Behavior adalah suatu bidang dalam Psikologi Industri & Organisasi yang mengkaji pengaruh kelompok, pengaruh struktur dan proses organisasi terhadap individu dan organisasi secara keseluruhan, termasuk di dalamnya menyentuh perbedaan individual dalam kaitannya dengan kehidupan organisasi secara keseluruhan, seperti kepuasan kerja, kepemimpinan, komunikasi dan komitmen organisasi (Yuwono dkk., 2005). Secara lebih singkat Kinicki dan Kreitner (2003) menyatakan bahwa Organizational Behavior yang lebih umum disingkat Organizational Behavior sebagai suatu bidang interdisiplin yang didedikasikan untuk pemahaman dan pengelolaan manusia yang lebih baik dalam dunia kerja. Dalam definisi tersebut, Organizational Behavior berorientasi pada penelitian dan aplikasi. Salah satu permasalahan dalam Organizational Behavior adalah pengelolaan manusia yang memerlukan penyesuaian secara terus menerus seiring dengan perkembangan kehidupan manusia itu sendiri. Memasuki abad ke-21 ini telah terjadi perubahan yang demikian besar dalam kehidupan manusia terkait dengan perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi dan komunikasi) yang menyebabkan dimensi jarak dan waktu tidak lagi menjadi hambatan yang berarti dalam pengelolaan (manajemen) sumber daya manusia.
Akan tetapi, berbagai
perubahan dan perkembangan tersebut pada sisi lain juga memunculkan berbagai permasalahan baru. Globalisasi dalam dunia industri dan organisasi telah memungkinkan terjadinya pertemuan yang lebih intensif antar orang-orang dari berbagai belahan dunia dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Perusahaan-perusahaan tidak lagi berisi orang-orang hanya dari satu wilayah, satu negara yang sama. Suatu 2
perusahaan juga tidak lagi hanya berada di suatu wilayah, suatu negara, tetapi berada pada berbagai wilayah, berbagai negara. Sebagai contoh IBM, sebuah perusahaan komputer yang bermarkas di Amerika Serikat, yang pada tahun 1980 telah memiliki lebih dari 116.000 karyawan yang tersebar di 53 negara. Intel, perusahaan pembuat chip terbesar di dunia, memiliki pabrik tidak hanya di Amerika Serikat, tetapi juga di Irlandia, China, Costa Rica, Malaysia dan Israel.
Contoh lain adalah Sony,
perusahaan pembuat peralatan elektronika dari Jepang yang dulu juga memiliki pabrik di Indonesia, dan sekarang pabriknya telah dipindahkan ke Malaysia. Ini yang kemudian disebut sebagai perusahaan multinasional. Perusahaan-perusahaan
multinasional,
dalam
pengelolaannya
tentu
melibatkan orang-orang dengan berbagai latar belakang budaya yang berbeda. Dengan sendirinya, hal tersebut potensial menimbulkan masalah. Oleh karenanya, dalam pengelolaannya diperlukan suatu pendekatan dengan pandangan yang lebih terbuka, pendekatan yang lintas budaya. Ini merupakan tantangan bagi para peneliti dan praktisi Organizational Behavior.
Tulisan ini akan mengupas bagaimana
posmoderenisme melalui pendekatan lintas budaya dalam Organizational Behavior menjawab tantangan tersebut.
Berbagai Tinjauan Posmoderenisme Posmederenisme adalah suatu hal yang rumit, serangkaian gagasan-gagasan, sesuatu yang telah muncul hanya pada area penelitian akademis sejak pertengahan 1980-an. Posmoderenisme sulit didefinisikan karena ia merupakan suatu konsep yang muncul dalam berbagai disiplin atau bidang, termasuk seni, arsitektur, musik, film, literatur, sosiologi, komunikasi, fashion dan teknologi.
Sulit untuk
menempatkannya secara temporer atau berdasarkan sejarah karena tidak jelas kapan pastinya posmoderenis muncul. (http://www.colorado.edu/English/courses/ENGL2012Klages/pomo.html). Posmoderenisme adalah suatu gerakan intelektual yang muncul sejak sekitar tahun 1960-an. Gagasan utamanya adalah penolakan terhadap kebenaran objektif dan absolut, dan lebih melihat kebenaran sebagai hasil konstruksi sosial. Posmoderenisme adalah suatu gerakan yang luas yang melibatkan banyak pemikir 3
dan penulis yang di antara mereka sendiri terdapat ketidaksepakatan. Tidak ada konsensus, tetapi gagasan-gagasannya lebih dilihat sebagai suatu patokan umum. Terdapat beberapa pandangan dan sikap, beberapa sangat dramatis dan ekstrim, sementara beberapa yang lain cukup lunak dan moderat. Posmoderenisme adalah suatu respon intelektual terhadap kondisi posmoderen (Blatner, 2002). Istilah posmoderenisme sering dipakai untuk suatu perubahan bentuk budaya umum di dalam masyarakat Barat (Huyssen, 1990).
Posmoderenisme adalah
konsekuensi kegagalan dari pandangan moderen. Madison (1988) menggunakan istilah posmoderenis untuk menunjuk reaksi yang semakin radikal, dan istilah posmoderenistik mengacu pada respons konstruktif, tetapi tidak begitu kritis. Harvey (1989) mengkarakteristikkan posmoderenis dalam posisi penerimaan total terhadap kesementaraan, fragmentasi, diskontinuitas, dan kekacauan. Posmoderen menerima atau mengakui keragaman.
Alih-alih mencoba untuk melebihi atau
menetralkan keadaan yang sering berubah ini, posmoderenis malah berpikir untuk menjalani saja, walaupun sulit, arus perubahan yang kacau ini seolah-olah semuanya memang terjadi (dalam Polkinghorne, 1992). Epistemologi posmoderen menekankan empat tema dasar, yaitu ketiadaan pondasi, keadaan yang terfragmentasi, konstruktivisme dan neopragmatisme. Dalam tema ketiadaan pondasi dinyatakan bahwa pengetahuan manusia adalah hasil interpretasi skema kognitif yang menghasilkan karakter dan arti pengalaman. Kesadaran manusia tidak berisi gambaran yang mencerminkan suatu kenyataan mandiri, tetapi mencakup konstruksi yang berdasarkan pada kapasitas pengaturan manusia. Pengalaman kita selalu disaring melalui skema interpretatif. Dalam tema keadaan terfragmentasi, posmoderenisme menyatakan bahwa sesuatu yang riil bukan sistem yang tunggal dan terintegrasi, tetapi merupakan akumulasi dari peristiwa-peristiwa dan unsur-unsur yang terpisah dan beragam. Posmoderenisme berfokus pada keunikan dan perbedaan. Setiap perubahan atau peralihan adalah konsekuensi yang akan datang bersama-sama dengan serangkaian kekuatan yang unik pada waktu dan tempat tertentu. Pengetahuan harus terkait dengan kejadian spesifik dan bersifat lokal, tidak terkait dengan pencarian hukum umum yang bebas konteks.
4
Epistemologi posmoderen juga menekankan tema konstruktivisme. Dalam tema ini pengetahuan manusia dipandang sebagai suatu konstruksi yang dibangun dari proses kognitif (yang sebagaian besar berasal dari kesadaran) dan mengandung interaksi dengan dunia objek
material,
orang
lain dan dirinya sendiri.
Neopragmatisme menegaskan bahwa pemahaman kita terdiri dari gambaran hasil interaksi kita dengan dunia yang cukup untuk memahami keteraturannya dalam memenuhi kebutuhan kita. Semakin kita terbuka dalam meningkatkan dan meninjau ulang pola kita, dan semakin bervariasi skema pengaturan yang kita miliki, maka akan semakin mungkin kita menangkap keanekaragaman organisasi yang ada di dunia.
Organizational Behavior Organizational Behavior adalah suatu bidang dalam Psikologi Industri & Organisasi yang mengkaji pengaruh kelompok, pengaruh struktur dan proses organisasi terhadap individu dan organisasi secara keseluruhan, termasuk di dalamnya menyentuh perbedaan individual dalam kaitannya dengan kehidupan organisasi secara keseluruhan, seperti kepuasan kerja, kepemimpinan, komunikasi dan komitmen organisasi (Yuwono dkk., 2005). Organizational Behavior adalah suatu bidang interdisiplin yang didedikasikan untuk pemahaman dan pengelolaan manusia yang lebih baik dalam dunia kerja (Kinicki dan Kreitner, 2003). Organizational Behavior menggambarkan suatu keragaman berbagai disiplin, antara lain psikologi, manajemen, sosiologi, teori organisasi, psikologi sosial, statistik, antropologi, teori sistem umum, ekonomi, teknologi informasi, ilmu politik, konseling pekerjaan, manajemen stres, psikometri, ergonomi, teori pengambilan keputusan, dan etika. Ada tiga tingkatan analisis dalam Organizational Behavior, yaitu tingkatan individu, kelompok, dan organisasi. Analisis dalam Organizational Behavior pada tingkatan individu antara lain meliputi motivasi, kepribadian dan kepuasan kerja, sikap kerja dan komitmen, dan penetapan tujuan. Motivasi mempunyai tempat yang khusus dalam pembahasan Organizational Behavior karena motivasi akan mempengaruhi kinerja individu. Kinerja individu pada akhirnya mempengaruhi kinerja organisasi.
Kepribadian
sebagai faktor yang memegang peranan penting dalam perilaku sehari-hari individu 5
merupakan suatu bagian yang tak dapat dipisahkan dalam pembicaraan Organizational Behavior. Teori mengenai kesesuaian antara kepribadian dengan pekerjaan dikemukakan oleh John Holland. Teori ini didasarkan pada pemahaman akan keseuaian antara ciri-ciri kepribadian dengan jenis dan lingkungan pekerjaannya. Kemampuan individu untuk bertahan pada suatu pekerjaan tergantung pada keberhasilannya dalam mengadaptasikan kepribadian dengan lingkungan sekitarnya. Individu dengan sifat yang sesuai dengan tuntutan lingkungan kerjanya akan merasa diterima dalam organisasi, sebaliknya individu dengan sifat yang tidak sesuai dihadapkan pada pilihan untuk beradaptasi atau menarik diri dan meninggalkan organisasi. Ini menunjukkan bahwa sifat dan kepribadian individu merupakan salah satu faktor penentu efektifitas kerja dalam mencapai tujuan organisasi.
Dalam berbagai penelitian terungkap bahwa kesesuaian antara sifat
pribadi dan tuntutan kerja akan mendorong karyawan untuk lebih produktif dan menemukan kepuasan dalam bekerja (Greenberg dalam Yuwono dkk., 2005). Sikap adalah suatu disposisi untuk memberi respon mendukung atau tidak mendukung atas dasar pro atau kontra, setuju atau tidak setuju, puas atau tidak puas terhadap suatu objek, orang, institusi atau kejadian (Ajzen, 1988). Sikap seseorang terhadap suatu objek umumnya dikategorikan sebagai sikap yang positif (mendukung, pro, setuju, puas) atau negatif (tidak mendukung, kontra, tidak setuju, tidak puas). Sikap seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh pengalaman, sehingga beberapa orang bisa bersikap berbeda terhadap suatu objek yang sama karena perbedaan pengalaman mengenai objek sikap tersebut. Sikap memiliki tiga komponen yaitu komponen kognitif, menyangkut persepsi dan kepercayaan terhadap suatu objek; komponen afektif yang menyangkut reaksi fisiologis dan perasaan terhadap objek serta komponen perilaku yaitu perilaku nyata sebagai ekspresi dari niatan berperilaku dan respek terhadap objek. Sikap kerja menunjuk pada pekerjaan sebagai objek sikap. Sikap yang positif akan mengarahkan munculnya perilaku yang mendukung terhadap objek dan sebaliknya sikap yang negatif akan mengarahkan pada penghindaran terhadap objek. Sikap kerja yang positif akan mengarahkan pada individu untuk bertahan dan berusaha sekuat tenaga untuk menampilkan kinerja terbaiknya, dan sebaliknya. Sikap kerja yang positif akan mengarahkan individu untuk komit pada pekerjaan dan organisasi tempatnya bekerja. 6
Tujuan adalah apa yang seseorang mencoba untuk mencapainya. Penetapan tujuan adalah suatu teknik motivasional.
Penelitian-penelitian secara konsisten
menunjukkan bahwa penetapan tujuan meningkatkan kinerja individu, kelompok dan organisasi (Kinicki dan Kreitner, 2003). Analisis Organizational Behavior pada tingkatan kelompok antara lain meliputi pengambilan keputusan, efektifitas kerja kelompok, dinamika kelompok dan manajemen konflik. Pengambilan keputusan adalah mengidentifikasi dan memilih solusi-solusi yang mengarahkan pada pencapaian tujuan akhir.
Pengambilan
keputusan ini bisa terjadi pada tingkatan individu maupun kelompok. Dalam situasisituasi tertentu, kelompok perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, terutama jika adanya tambahan informasi akan meningkatkan kualitas keputusan yang diambil. Setelah meninjau penelitian-penelitian yang relevan selama 61 tahun, seorang ahli pengambilan keputusan menyimpulkan bahwa pengambilan keputusan kelompok umumnya secara kualitatif maupun kuantitatif lebih baik dibanding ratarata individu (Kinicki dan Kreitner, 2003). Kelompok adalah kumpulan dari dua orang atau lebih yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain serta memiliki tujuan bersama. Kelompok yang dinamis adalah kelompok yang mampu bersinergi, yaitu mampu menghasilkan sesuatu yang lebih besar, lebih baik dibanding sekedar penjumlahan dari apa yang bisa dicapai oleh masing-masing orang dalam kelompok secara individual.
Tugas para peneliti dan praktisi Organizational Behavior adalah
bagaimana bisa menjadikan suatu kelompok lebih dinamis, lebih mampu bersinergi sehingga bisa menjadi kelompok yang efektif. Tidak jarang dalam suatu kelompok terjadi konflik karena adanya perbedaan kepentingan dari anggota-anggota kelompok. Konflik yang ada ini perlu dikelola sedemikian rupa sehinga menjadi lebih memberi manfaat bagi kelompok atau organisasi.
Dengan adanya konflik,
masing-masing pihak yang bekonflik akan berkesampatan untuk mengemukakan pendapat dan pandangan-pandangannya. Dengan demikian akan semakin banyak pendapat dan pandangan yang dikaji sehingga lebih membuka wawasan dan sasaran kelompok bisa semakin berkembang. Analisis Organizational Behavior pada tingkatan organisasi meliputi antara lain komunikasi, kepemimpinan, manajemen perubahan dan budaya organisasi. 7
Komunikasi didefinisikan sebagai pertukaran informasi antara pengirim dan penerima dan pemaknaan di antara individu-individu yang terlibat. Komunikasi adalah sebuah proses dua arah. Dalam organisasi kerja, arah komunikasi tersebut bisa vertikal, antara bawahan dengan atasan, atau horisontal yaitu dengan sesama rekan kerja atau antar bagian yang berbeda. Kepemimpinan didefinisikan sebagai suatu proses pengaruh sosial dimana pemimpin berusaha mendapatkan partisipasi sukarela dari bawahan dalam suatu usaha untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan berperan pada tiga level yaitu level individual, kelompok dan organisasi.
Pada level individual,
kepemimpinan berperan melalui mentoring, pendampingan, memberi inspirasi dan memotivasi.
Pada level kelompok, pemimpin berperan membangun tim,
menciptakan keikatan dan menyelesaikan konflik. Pada level organisasi, pemimpin berperan membangun budaya dan menciptakan perubahan. memegang peranan penting dalam Organizational Behavior.
Kepemimpinan Para peneliti
menemukan bahwa kepemimpinan diasosiasikan secara positif dengan perolehan laba perusahaan (Kinicki dan Kreitner, 2003). Budaya organisasi didefinisikan sebagai seperangkat asumsi yang diterima tanpa syarat yang dipahami bersama dan dipegang oleh suatu kelompok, yang menentukan bagaimana mereka mempersepsi, berpikir tentang dan bereaksi terhadap lingkungannya. Budaya organisasi adalah seperangkat nilai dan kepercayaan yang dipahami bersama sebagai identitas organisasi. Mendasarkan pada definisi di atas, maka budaya organisasi memiliki tiga karakterisitik penting yaitu bahwa ia harus disosialisasikan pada anggota baru, budaya organisasi mempengaruhi perilaku dalam bekerja dan budaya organisasi beroperasi pada tingkatan yang berbeda-beda (Kinicki dan Kreitner, 2003).
Permasalahan-permasalahan Budaya dalam Organizational Behavior Sebagaimana telah dikemukakan di depan, bahwa Organizational Behavior mengkaji pengaruh kelompok, pengaruh struktur dan proses organisasi terhadap individu dan organisasi secara keseluruhan, termasuk di dalamnya menyentuh perbedaan individual. Organizational Behavior adalah suatu bidang interdisiplin yang didedikasikan untuk pemahaman dan pengelolaan manusia yang lebih baik 8
dalam dunia kerja. Tanpa bisa dihindari, Organizational Behavior akan bersentuhan dengan masalah budaya. Budaya adalah suatu konsep yang sangat kompleks.
Dalam pengertian
sehari-hari, budaya sering dikaitkan dengan ras, bangsa atau etnis. Budaya telah didefinisikan sebagai suatu bagian dari lingkungan yang dibuat oleh manusia (Herkovits, 1955), menyangkut elemen-elemen objektif dan subjektif (Triandis, 1972); sebagai seperangkat penguat perilaku (Skinner, 1981); sebagai pemrograman pikiran secara kolektif (Hofstede, 1991); sebagai sebuah sistem makna bersama (Shweder & LeVine, 1984); sebagai pola cara berpikir (Kluckhon, 1954) dan sebagai prosedur operasi standar atau cara melakukan sesuatu yang tidak dinyatakan (Triandis, 1994) (dalam Gelfand dkk., 2006). Schein (dalam Yuwono dkk., 2005) menyatakan bahwa budaya adalah polapola asumsi dasar yang diyakini bersama yang dipelajari oleh suatu kelompok sebagai hal yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan adaptasi eksternal dan integrasi, yang telah bekerja dengan baik sehingga dinyatakan sebagai sahih dan oleh karena itu diajarkan kepada anggota-angota baru sebagai cara yang benar untuk memandang, berfkir dan merasa terkait dengan persoalan-persoalan yang dihadapi. Hofstede (1997) menyatakan bahwa budaya merupakan fenomena kolektif, karena budaya selalu diyakini bersama oleh orang-orang yang hidup di lingkungan yang sama tempat udaya itu dipelajari. Budaya selanjutnya diberi pengertian sebagai pemrograman kolektif mental yang membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok lainnya.
Dengan demikian jelas bahwa budaya akan mempengaruhi
bagaimana seseorang berperilaku, meskipun tingkat pengaruh tersebut pada orang yang satu dengan lainnya bisa berbeda-beda. Budaya dapat berpengaruh pada organisasi khususnya pada struktur organisasi dan fungsinya. Demikian juga, budaya akan berpengaruh pada hubungan antara anggota dalam organisasi dan hubungan antar organisasi (Dayakisni & Yuniardi, 2004). Orang menafsirkan diri dan eksistensi mereka dalam hubungannya dengan kerja secara berbeda, sesuai dengan budaya masing-masing. Orang dengan budaya kolektivistik cenderung memandang kelompok kerja dan organisasi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dirinya. Ia memiliki ikatan yang lebih kuat dengan organisasi dan teman-teman kerjanya dibanding orang dengan budaya individualistik. 9
Hal tersebut memberi gambaran bahwa budaya, dan perbedaan-perbedaan budaya, potensial memunculkan permasalahan dalam Organizational Behavior yang didedikasikan untuk pemahaman dan pengelolaan manusia yang lebih baik dalam dunia kerja, terutama dalam era globalisasi ini. Dengan demikian, diperlukan suatu pendekatan yang lintas budaya untuk mengantisipasi dan mengatasi permasalahan tesebut. Pendekatan lintas budaya dalam Organizational Behavior adalah suatu cara pandang mengenai pemahaman dan pengelolaan manusia dalam dunia kerja dalam sebuah kerangka lintas budaya.
Melalui pendekatan tersebut akan dipelajari
persamaan dan perbedaan aspek-aspek perilaku organisasional antara budaya yang satu dengan lainnya (dalam hal ini menggunakan batasan negara), dan mengkaji aspek-aspek perilaku organisasional tersebut yang unik dan khas pada budayabudaya tertentu sebagai sesuatu yang indigenous.
Penelitian-penelitian Cross-cultural Organizational Behavior Cross-cultural Organizational Behavior adalah studi mengenai persamaanpersamaan dan perbedaan-perbedaan lintas budaya dalam hal proses dan perilaku di tempat kerja dan dinamika pertemuan lintas budaya dalam wilayah yang multi budaya dan dalam konteks internasional (Gelfand dkk., 2006). Penelitian lintas budaya dalam kaitan dengan organisasi dan dunia kerja yang terkenal adalah yang dilakukan oleh Hofstede di tahun 1960an hingga tahun 1970an. Penelitiannya dilakukan pada IBM, sebuah perusahaan multinasional, dengan menggunakan data kuesioner yang dikumpulkan dari 116.000 manajer dan karyawan yang tersebar di 53 negara dengan 20 bahasa. Berdasarkan data yang diperolehnya, Hofstede mengidentifikasi empat dimensi utama nilai-nilai budaya yang dikaitkan dengan kerja. Keempat dimensi tersebut adalah jarak kekuasaan (power distance), penghindaran
ketidakpastian
(uncertainty
avoidance),
individualism
versus
collectivism, dan masculinity versus femininity. Dimensi jarak kekuasaan menunjuk pada tingkatan tiap budaya dalam mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan di antara anggota-anggotanya. Hasil penelitian Hofstede menunjukkan bahwa subjek di negara-negara India, Filipina, Meksiko dan Venezuela skor power distance-nya tinggi sedang di Selandia 10
Baru, Denmark, Israel dan Austria menunjukkan yang sebaliknya.
Dimensi
penghindaran ketidakpastian menunjuk pada tingkatan dalam menghadapi situasi yang samar-samar atau tidak pasti. Di negara-negara Jepang, Yunani, Belgia dan Portugal ditemukan tingkat uncertainty avoidance yang tinggi, sedangkan di Singapura, Denmark dan Swedia tingkat uncertainty avoidance-nya rendah. Dimensi individualism versus collectivism menunjuk pada sejauhmana suatu budaya mendukung kecenderungan perilaku individualistik atau kolektivistik. Budaya individualistik mendorong anggota-anggotanya agar lebih otonom, menekankan tanggung jawab dan hak-hak pribadi. Dalam budaya ini kebutuhan, keinginan, kepentingan dan tujuan-tujuan pribadi lebih diutamakan dari pada kepentingan dan tujuan kelompok.
Sebaliknya, budaya kolektivistik lebih
menekankan dan menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan individu. Amerika Serikat, Australia, Inggris dan Kanada serta negara-negara bekas jajahan Inggris menunjukkan budaya yang individualistik, sedangkan sebagian besar negaranegara di Asia dan Amerika Latin lebih menunjukkan budaya yang kolektivistik. Dimensi masculinity versus femininity menunjuk pada sejauhmana suatu masyarakat berpegang teguh pada peran gender atau nilai-nilai seksual yang tradisional dan didasarkan pada perbedaan biologis.
Masyarakat yang memiliki
dimensi masculinity menekankan nilai asertivitas, prestasi dan performansi, sehingga menganggap penting pendapatan, pengakuan, kemajuan dan tantangan. Sementara masyarakat dengan dimensi femininity (atau masculinity yang rendah) lebih mengutamakan hubungan interpersonal, keharmonisan dan kinerja kelompok. Jepang, Austria dan Venezuela menunjukkan masculinity yang tinggi sedang Denmark, Belanda, Norwegia dan Swedia lebih menunjukkan budaya yang berdimensi femininity. Penelitian-penelitian cross-cultural Organizational Behavior dilakukan untuk membuka batasan-batasan budaya beberapa model Organizational Behavior dari „Barat‟ yang pada beberapa kasus tidak dapat diaplikasikan di „Timur‟. Sebaliknya, model-model Organizational Behavior dari Jepang, seperti misalnya quality control circles, tidak berhasil diadopsi di „Barat‟ (Gelfand dkk., 2006). Beberapa penelitian cross-cultural Organizational Behavior yang terkait dengan motivasi dilaporkan sebagai berikut ini. Terdapat beberapa bukti bahwa 11
motif seperti self-efficacy, kebutuhan berprestasi dan kebutuhan intrinsik untuk kompeten adalah universal, tetapi faktor-faktor spesifik yang mendorong timbulnya motif bervariasi pada budaya yang berbeda. Umpan balik personal mempengaruhi self-efficacy dalam budaya yang individualistik dan umpan balik kelompok juga berpengaruh terhadap self-efficacy dalam budaya kolektivistik. Motivasi berprestasi lebih kuat pada budaya yang individualistik dari pada yang kolektivistik.
Pada
budaya kolektivistik dengan power distance yang tinggi orang lebih termotivasi untuk memilih tujuan-tujuan yang moderat untuk dicapai dari pada memilih tujuan yang sulit. Budaya juga berpengaruh pada tanda-tanda umpan balik pada perilaku. Orang-orang Jepang memberi reaksi emosi yang lebih kuat pada umpan balik negatif dan lebih responsif terhadapnya dibanding orang-orang Amerika.
Para manajer
Jepang memberikan umpan balik secara informal dan implisit yang bagi para manajer Amerika membuat mereka frustrasi. Bayaran dan bonus yang baik lebih dipilih oleh para mahasiswa di Chile dan China, sementara mahasiswa Amerika lebih memilih promosi dan pekerjaan yang menarik sebagai penghargaan bagi mereka. Perusahaan-perusahaan
Amerika
mengimplementasikan
sistem
pembayaran
berdasarkan hasil kerja, selaras dengan nilai-nilai individualistik, sementara perusahaan-perusahaan Jepang mengimplemetasikan sistem pembayaran berdasarkan senioritas, selaras dengan respek mereka terhadap senioritas. Budaya juga secara signifikan berpengaruh pada kepuasan kerja. Secara umum para pekerja di negaranegara ‟Barat‟ dan negara-negara yang sudah mengembangkan budaya kapitalistik memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi dibanding para pekerja di negara-negara dengan budaya ‟Timur‟ dan negara-negara yang sedang mengembangkan budaya sosialis (dalam Gelfand dkk., 2006). Penelitian-penelitian lintas budaya dalam Organizational Behavior yang menyangkut hubungan individu dengan organisasi dilaporkan sebagai berikut. Kepuasan terhadap pekerjaan dan promosi merupakan prediktor komitmen organisasi paling kuat pada budaya individualistik sedangkan kepuasan terhadap supervisor merupakan prediktor komitmen organisasi yang penting pada budaya kolektivistik. Individu dengan orientasi kolektivistik yang dipekerjakan oleh perusahaan-
12
perusahaan Asia lebih komit dibanding mereka yang dipekerjakan oleh perusahaanperusahaan Australia. Pada penelitian lintas budaya yang dikaitkan dengan negosiasi dan sengketa ditemukan bahwa orang-orang Amerika mempersepsi konflik lebih untuk dimenangkan dan sebagai gangguan terhadap hak-hak individu, sedangkan orangorang Jepang lebih memandang konflik yang sama untuk dikompromikan dan sebagai gangguan terhadap tugas-tugas. Budaya juga mempengaruhi proses dan hasil negosiasi.
Negosiator Amerika lebih menyukai membagi informasi secara
langsung dan mencapai perolehan bersama yang tinggi melalui strategi tersebut, sedangkan negosiator Japang, Rusia dan Hongkong lebih menyukai membagi informasi secara tidak langsung melalui pola-pola penawaran mereka dan mencapai perolehan bersama yang tinggi melalui strategi tersebut. Faktor-faktor yang berperan terhadap kepuasan dalam bernegosiasi bervariasi antar budaya.
Kepuasan dihubungkan dengan pemaksimalan pencapaian secara
ekonomi pada sampel orang-orang Amerika dan dihubungkan dengan penggunaan taktik yang integratif dan hasil yang adil pada sampel orang-orang Asia Timur. Individu pada negara-negara individualistik lebih memilih menyelesaikan konflik dengan menggunakan pengalaman dan hasil latihan mereka, dan lebih fokus pada mengintegrasikan minat-minat mereka.
Sebaliknya, individu dalam budaya
kolektivistik lebih memilih menghindar dan menarik diri dari situasi konflik. Penelitian-penelitian yang mengaitkan budaya dengan tim menunjukkan bahwa karyawan dengan nilai individualistik berhubungan dengan penolakan umum terhadap tim, dimana karyawan dengan power distance yang tinggi berhubungan dengan penolakan terhadap manajemen diri dalam tim. Penelitian lain menemukan bahwa kolektivisme dan orientasi dalam melakukan sesuatu dihubungankan dengan rendahnya penolakan pada tim dan rendahnya penolakan pada manajemen diri yang pada gilirannya justru meningkatkan efektivitas tim. Orang-orang Amerika secara khusus memiliki sikap negatif terhadap tim ketika mereka mampu tampil baik secara individual tetapi timnya tampil buruk.
Sebaliknya orang-orang China justru
menunjukkan kesukaan pada kondisi tersebut. Kompleksitas pekerjaan dan otonomi jauh lebih penting bagi kohesivitas kelompok di Amerika dibanding di Taiwan. Budaya juga mempengaruhi proses perilaku kelompok.
Tim dengan prosentase 13
anggota kolektivisitik yang tinggi menunjukkan tingkat kerjasama yang lebih tinggi yang selanjutnya berhubungan dengan kinerja yang lebih tinggi pula. Penelitian-penelitian
Organizational
kepemimpinan dengan budaya. karisma
didasarkan
pada
Behavior
juga
mengaitkan
Dalam budaya individualistik, persepsi tentang persepsi
berlandaskan
pengenalan
(efektifitas
kepemimpinan adalah suatu persepsi yang didasarkan pada bagaimana kesesuaian seseorang dengan karakteristik seorang pemimpin yang ‟baik‟ atau ‟efektif‟), sementara dalam budaya kolektivistik persepsi tersebut didasarkan pada persepsi yang berlandaskan inferensi (efektifitas kepemimpinan adalah suatu inferensi yang didasarkan pada kinerja kelompok atau organisasi). Penelitian juga menunjukkan bahwa budaya mempengaruhi penggunaan kekuasaan dan taktik mempengaruhi. Ada penekanan yang lebih besar dalam penggunaan kekuasaan yang memaksa (coercive power) pada budaya yang individualistik (seperti di Amerika Serikat) sementara ada penekanan yang lebih besar pada penggunaan expert power pada budaya kolektivistik (seperti di Bangladesh dan Korea Selatan).
Diskusi Dari hasil-hasil penelitian Organizational Behavior yang dihubungkan dengan budaya tampak jelas bahwa hampir semua konsep dan teori dalam Organizational Behavior tidak bebas konteks. Suatu konsep, teori atau model yang disusun berdasarkan fenomena di suatu tempat tertentu dengan latarbelakang budaya tertentu tidak dapat serta merta diterapkan pada tempat lain dengan latar belakang budaya yang berbeda.
Penerapan suatu konsep, teori atau model dalam
Organizational Behavior harus menyesuaikan dengan budaya tempat dimana ia diterapkan. Ini berarti bahwa dalam mempraktekkannya, konsep, teori atau model tersebut harus mengikuti konteks.
Penerapan yang bebas konteks justru akan
menimbulkan masalah dan konsep, teori atau model tersebut menjadi tidak efektif. Sebagai contoh, teori kepemimpinan situasional dari Hersey & Blanchard yang
menyarankan
bahwa
seorang
pemimpin
harus
menggunakan
gaya
kepemimpinan secara fleksibel sesuai dengan situasi yang dihadapi. Situasi yang dimaksud di sini adalah tingkat kesiapan bawahan, yaitu bagaimana kemampuan dan motivasi atau kemauan bawahan dalam mengerjakan suatu tugas tertentu. Gaya 14
kepemimpinan seseorang dibedakan berdasarkan tingkat tugas dan tingkat hubungan yang digunakan oleh seorang pemimpin. Teori kepemimpinan ini menyarankan agar seorang pemimpin menggunakan gaya telling (memberi tahu dan menunjukkan apa dan bagimana melakukan suatu tugas, mendorong-dorong dan mengawasi dengan ketat, tingkat tugas dan tingkat hubungan tinggi) pada bawahan yang memiliki kemampuan dan motivasi (tingkat kesiapan) yang rendah dalam melaksanakan suatu tugas. Sebaliknya, untuk bawahan dengan tingkat kesiapan yang tinggi (memiliki kemampuan dan motivasi yang tinggi) dalam mengerjakan suatu tugas, seorang pemimpin disarankan untuk menggunakan gaya kepemimpinan delegating, menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pengambilan keputusan dan implemetasi pada bawahan tersebut. Teori ini disusun berdasarkan temuan-temuan di Amerika dengan budaya ‟Barat‟ yang individualistik dengan power distance yang rendah.
Gaya
kepemimpinan delegating tersebut tentu sulit diterapkan di Indonesia yang kolektivistik dengan power distance tinggi, sesiap apapun bawahan yang akan melaksanakan suatu tugas tersebut, terutama pada organisasi pemerintahan. Hal ini tidak terlepas dari kecenderungan individu yang kolektivistik untuk menghindari tanggung jawab pribadi. Di sisi lain, pemimpin memiliki kebutuhan psikologis untuk memperoleh pengakuan sebagai atasan yang berusaha dipenuhinya dengan cara tetap memberi instruksi, pengawasan dan memotivasi. Sementara, bawahan juga memiliki kebutuhan untuk diakui sebagai bawahan dengan cara tetap meminta petunjuk. Dengan demikian, diperlukan sikap yang berhati-hati dalam menerapkan suatu konsep, teori atau model pada suatu tempat, organisasi, atau masyarakat dengan latar belakang budaya yang berbeda. Dengan kata lain, suatu konsep, teori atau model tidak bisa dilepaskan dari konteks. Mendasarkan pada satu contoh tersebut, jelas bahwa diperlukan suatu pendekatan atau cara berpikir yang tidak didasarkan pada sesuatu yang objektif semata, tidak menempatkan suatu konsep atau teori sebagai hal yang berdiri sendiri atau sebaliknya bersifat universal yang mencerminkan suatu pola pemikiran yang oleh Smith & Lengenhove dikategorikan sebagai paradigma lama.
Diperlukan
pendekatan dan cara berpkir baru yang melihat suatu gejala dengan cara holistik, sebagai suatu bagian dari keseluruhan, mempertimbangkan konteks budaya dan 15
bersifat subjektif. Bahwa suatu gejala tidak selalu berlaku umum, ia berlaku sesuai konteksnya. Di
sini
jelas
dikarakteristikkan
bahwa
dalam
pemikiran
posisi
posmoderen
penerimaan
total
yang
terhadap
oleh
Harvey
kesementaraan,
fragmentasi, diskontinuitas, dan kekacauan menjadi salah satu cara yang bisa ditempuh dalam mengatasi persoalan dalam Organizational Behavior yang terkait dengan budaya. Posmoderenisme dengan epistemologinya yang menekankan pada empat tema dasar yaitu ketiadaan pondasi, keadaan yang terfragmentasi, konstruktivisme dan neopragmatisme menjadi pilihan yang tepat dalam mengkaji permasalahan perilaku organisasi. Posmoderenisme yang menyatakan bahwa sesuatu yang riil bukan sistem yang tunggal dan terintegrasi, tetapi merupakan akumulasi dari
peristiwa-peristiwa
dan
unsur-unsur
yang
terpisah
dan
beragam;
posmoderenisme yang berfokus pada keunikan dan perbedaan dan memandang setiap perubahan atau peralihan sebagai konsekuensi yang akan datang bersama-sama dengan serangkaian kekuatan yang unik pada waktu dan tempat tertentu, diharapkan akan mampu memecahkan persoalan Organizational Behavior dalam kaitan dengan budaya.
Posmoderenisme memiliki pandangan bahwa pengetahuan harus terkait
dengan kejadian spesifik dan bersifat lokal, tidak terkait dengan pencarian hukum umum yang bebas konteks.
Cross-cultural Organizational Behavior merupakan
wujud pemikiran posmoderen dalam mengatasi permasalahan dalam penelitian dan praktek Organizational Behavior yang terkait dengan keragaman budaya.
Simpulan Dari berbagai tinjauan dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Organizational Behavior adalah suatu bidang dalam Psikologi Industri & Organisasi yang mengkaji pengaruh kelompok, pengaruh struktur dan proses organisasi terhadap individu dan organisasi secara keseluruhan, termasuk di dalamnya menyentuh perbedaan individual dalam kaitannya dengan kehidupan organisasi.
Organizational
Behavior
sebagai
suatu bidang
interdisiplin
didedikasikan untuk pemahaman dan pengelolaan manusia yang lebih baik dalam dunia kerja. 16
2. Globalisiasi
telah
memunculkan
permasalahan-permasalahan
dalam
Organizational Behavior yang terkait dengan keragaman budaya. 3. Posmoderenisme adalah suatu gerakan intelektual, cara berpikir dan cara pandang baru yang gagasan utamanya adalah penolakan terhadap kebenaran objektif dan absolut, yang berfokus pada keunikan dan perbedaan, yang memandang setiap perubahan atau peralihan sebagai konsekuensi yang akan datang bersama-sama dengan serangkaian kekuatan yang unik pada waktu dan tempat tertentu. 4. Cross-cultural
Organizational
Behavior
merupakan
wujud
pemikiran
posmoderen dalam mengatasi permasalahan dalam penelitian dan praktek Organizational Behavior yang terkait dengan keragaman budaya.
Daftar Pustaka Ajzen, Icek (1988) Attitudes, Personality and Behavior. Buckingham: Open University Press Blatner,
Adam (2002) Postmodernism and Creative http://www.blatner.com/adam/level2/pmodfaq.htm
Boeree,
C. George. (2003) General http://www.ship.edu/~cgboeree/genpsy.html
Mythmaking.
Psychology:
e-text.
Dayakisni, Tri dan Yuniardi, Salis (2004) Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM Press Feldman, R.L. (1999) Understanding Psychology. Massachusetts: McGraw-Hill Books Company Gelfand, Michele J.; Erez, Miriam dan Aycan, Zeynep (2006) Cross-Cultural Organizational Behavior, Annual Review of Psychology, 2007.58:479-514. http://psych.annualreviews.org Hofstede, G. (1997) Cultures and Organizations: Software of The Mind. New York: McGraw-Hill http://www.colorado.edu/English/courses/ENGL2012Klages/pomo.html Kinicki, Angelo dan Kreitner, Robert (2003) Organizational Behavior: Key Concepts, Skills and Best Practices. New York: McGraw-Hill/Irwin 17
Polkinghorne, Donald E. (1992) “Epistemologi Praktis Posmodernisme” dalam Kvale, Steinar (ed) Psikologi dan Posmodernisme (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yuwono, I.; Suhariadi, F.; Handoyo, S.; Fajrianthi; Muhamad, B.S. dan Septarini, B.G. (2005) Psikologi Industri & Organisasi. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
18