2
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Di dalam hukum dikenal dua jenis subjek hukum, antara lain
Naturlijke Persoon (Manusia/Orang) dan Recht Persoon (Badan Hukum). Filosof besar Aristoteles, menyatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial atau dalam istilahnya dikenal dengan zoon politicon “bahwa manusia merupakan mahluk sosial yang dalam kehidupannya tidak lepas dari ketergantungan terhadap mahluk lainnya”. Bahwa dari timbulnya ketergantungan manusia tersebut membuatnya tidak dapat lepas dari kenyataan untuk melakukan atau mengadakan suatu perikatan antara manusia satu dengan yang lainnya dalam rangka memenuhi dan mencapai kebutuhan serta tujuan hidupnya yang pada prakteknya dinyatakan ke dalam suatu perikatan hukum. Berkembangnya peradaban manusia dari waktu ke waktu merubah perspektif hukum mengenai definisi subjek hukum itu sendiri, yang mana pada awalnya hanya tertuju pada manusia atau orang yang dianggap sebagai subjek hukum, berangsur berkembang tidak hanya terbatas pada manusia atau orang namun juga badan hukum dapat di definisikan sebagai suatu subjek hukum. Pesatnya dunia usaha dan industri justru semakin mengedepankan peran badan hukum (recth persoon) untuk menjalin dan mengadakan suatu perikatan hukum ketimbang peran manusia atau orang (naturlijke persoon) yang pada awalnya secara konservatif dipandang sebagai subjek hukum.
3 Adagium “setiap langkah bisnis adalah langkah hukum” merupakan keniscayaan dalam dinamika bisnis modern. Dalam perspektif bisnis, aspek hukum tersebut termanifestasi dalam bentuk kontrak yang merupakan bagian penting dari suatu proses bisnis, yang sarat dengan pertukaran kepentingan di antara para pelakunya. Kontrak pada dasarnya sebuah formulasi penuangan proses bisnis ke dalam bahasa hukum. Oleh karena itu keberhasilan dalam bisnis antara lain juga akan ditentukan oleh struktur atau bangunan kontrak yang di buat oleh para pihak. Sebagai suatu proses, kontrak yang ideal seharusnya mampu mewadahi pertukaran kepentingan para pihak secara fair dan adil (proporsional). Aktifitas bisnis pada dasarnya senantiasa dilandasi aspek hukum terkait, ibaratnya sebuah kereta api hanya akan dapat berjalan menuju tujuannya apabila ditopang dengan rel yang berfungsi sebagai landasan geraknya. Tidak berlebihan kiranya apabila keberhasilan suatu proses bisnis yang menjadi tujuan akhir para pihak hendaknya senantiasa memperhatikan aspek kontraktual yang membingkai aktifitas bisnis mereka.1 Dengan demikian, bagaimana agar bisnis mereka berjalan sesuai tujuan akan berkorelasi dengan struktur kontrak yang dibangun bersama. Kontrak akan melindungi proses bisnis para pihak, apabila pertama-tama dan terutama, kontrak tersebut dibuat secara sah karena hal ini menjadi penentu proses hubungan hukum selanjutnya. Kontrak sebagai instrumen pertukaran hak dan kewajiban diharapkan dapat berlangsung dengan baik, fair dan proporsional
1
Dr. Agus Yudha Hernoko, Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Penyelesaian Sengketa Kontrak berdazarkan Azas Proporsionalitas .h.14.
4
sesuai kesepakatan para pihak. Aturan main pertukaran ini menjadi domain para pihak, kecuali dalam batas-batas tertentu muncul intervensi, antara lain, baik dari undang-undang yang bersifat memaksa maupun dari otoritas tertentu (hakim). Namun sifat intervensi ini lebih ditujukan untuk menjaga proses pertukaran hak dan kewajiban berlangsung secara fair. 2 Dinamika bisnis dengan pasang surutnya, juga berakibat pada keberlangsungan hubungan kontraktual para pihak. Apa yang diproyeksikan lancar, untung, memuaskan, prospek bisnis cerah kadangkala dapat berubah merugi dan memutus hubungan bisnis para pihak. ”Siapa yang dapat memastikan hujan esok hari”, demikian pula dengan kontrak. Para pihak yang berkontrak senantiasa berharap kontraknya berakhir dengan ”happy ending”, namun tidak menutup kemungkinan kontrak dimaksud menemui hambatan bahkan berujung pada kegagalan kontrak. Kegagalan kontrak yang bermuara pada sengketa acapkali dipandang sebagai monster inefisiensi yang menakutkan bagi kelangsungan bisnis para pihak. Terlebih apabila berkaca pada penyelesaian yang berlangsung di rimba oleh karena itu para pihak berupaya mencari pola penyelesaian yang terbaik bagi mereka, terutama model penyelesaian yang bernuansa win-win solution. Terlepas dari pilihan penyelesaian sengketa oleh para pihak, pengadilan masih tetap merupakan institusi formal penyelesai sengketa meskipun cenderung bersifat “the
2
Scott J. Burnham dalam proses perancangan kontrak perlu diperhatikan “The Three P’s of Drafting Principles”, untuk meminalisir potensi sengketa. Tiga prinsip tersebut, yaitu: a. predict what may happen; b. provide for contingency; and c. protect your client with a remedy. Periksa Scott J. Burnham, Drafting Contracts, Second ed., The Michie Company Law Publishes, Charlottesville, Virginia, 1993, h. 2.
5 last resort.” Dengan demikian dalam menyelesaikan dalam3 menyelesaikan sengketa kontrak di antara pihak, pengadilan (hakim) harus tetap mengacu pada prinsip – prinsip dan norma yang mendasari hubungan kontraktual tersebut. Terkait dengan upaya penyelesaian sengketa kontrak sebagaimana terurai sebelumnya, penulis mencoba menawarkan sebuah konsep penyelesaian sengketa
yang
bersumber
pada
azas
proporsionalitas.
Melalui
azas
proporsionalitas diharapkan dapat dihasilkan model penyelesaian yang elegan dan saling menguntungkan. Oleh karena itu, beranjak dari uraian latar belakang tersebut di atas dirumuskan isu hukum sentral sebagai bertikut: “Azas Proporsionalitas Sebaga Instrumen Penyelesaian Sengketa Kontrak”. Para pelaku bisnis dalam hubungannya dengan pihak lain senantiasa mengharapkan agar kontrak yang mereka buat dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Namun demikian, dalam perjalanan waktu tidak menutup kemungkinan terjadi sengketa diantara mereka, meskipun hal ini sebenarnya sama sekali tidak diharapkan. Sengketa pada umumnya muncul sebagai akibat adanya ketidaksepakatan, perbedaan, gangguan, kompetisi, atau ketidakseimbangan di antara para pihak. Sengketa atau konflik muncul sebagai akibat dari beberapa, antara lain: a. Scarce Resource, kelangkaan sumber-sumber yang signifikan terhadap eksistensi partisipan konflik. Pada kondisi ini pendekatan yang paling sering digunakan adalah kompetisi yang bermuara pada zero-sum game (satu pihak menang, yang lain kalah);
3
Ronny H. Mustamu, Konflik dan Negosiasi (Makalah), Jurusan Manajemen FE Universitas Kristen Petra, Surabaya, 2000.h.24.
6
b. Ambiguous Jurisdictions, kondisi dimana batas-batas (kewenangan atau hak) saling dilanggar, sehingga satu pihak mengambil keuntungan yang seharusnya juga menjadi bagian dari keuntungan pihak lain; c. Intimacy, keterdekatan yang seringkali bermuara pada koflik mendalam jika perbedaan-perbedaan yang terjadi tidak dikelola dengan matang. Konflik berbasis intimacy biasanya bersifat lebih mendalam dibanding partisipan yang tidak memilik pengalaman “kenal” satu sama lain; d. We-They Distinctions, terjadi dalam kondisi dimana orang menciptakan diskriminasi yang sifatnya berseberangan. (3) Sengketa bisnis dalam kontrak komersial seringkali berawal dari kesalahan mendasar dalam proses terbentuknya kontrak dengan berbagai faktor atau penyebabnya, antara lain: a. Ketidak pahaman terhadap proses bisnis yang dilakukan. Kondisi ini muncul ketika pelaku bisnis semata-mata terjebak pada orientasi keuntungan serta karakter coba-coba (gambling) tanpa memprediksi kemungkinan risiko yang akan menimpanya. b. Ketidakmampuan mengenali partner atau mitra bisnisnya, ada sementara pelaku bisnis yang sekedar memperhatikan performa atau penampilan fisik mitra bisnisnya tanpa meneliti lebih lanjut track record dan bonafiditas. Joke yang berkembang menerangkan bahwa beberapa pelaku bisnis lokal begitu mudahnya terpaku dan tertarik untuk terlibat dengan kerjasama yang ditawarkan mitra bisnis asingnya, semata-mata berasumsi bahwa orang asing selalu lebih unggul segala-galanya, tanpa memperhatikan prinsip “know your partner”.
7
c. Tidak adanya legal cover yang melandasi proses bisnis mereka. Hal ini menunjukkan rendahnya pemahaman dan apresiasi hukum pelaku bisnis dalam melindungi aktifitas bisnis mereka. Muara konflik sebagaimana terurai di atas, dikarenakan pelaku bisnis tidak memperhatikan aspek “legal cover” dalam memperoteksi bisnis mereka, khususnya aspek kontraktualnya. Dalam praktik
dapat
diperbandingkan
bagaimana
aspek
hukum
(kontrak)
dikesampingkan semata-mata tuntutan bisnis (profit oriented), seolah-olah aspek “legal cover” ini sekedar “the last resort” dalam mata rantai aktifitas bisnis mereka. Bukankah pelaku bisnis begitu terikatnya dengan metode analisis – evaluasi, antara lain dengan penerapan berbagai model audit (misal: audit keuangan – financial audit) dalam upaya mengawasi jalannya bisnis. Namun demikian jarang yang menempatkan audit hukum (legal audit – termasuk audit kontrak) sebagai kebutuhan primer dalam bisnis mereka. Terbukti pada saat penyusunan rencana anggaran dan belanja perusahaan, jarang pelaku bisnis yang menganggarkan/mengalokasikan biaya hukum untuk meng”cover” risiko bisnis mereka, kalaupun ada lebih sekedar menyerap pos-pos anggaran lain tanpa melalui pertimbangan dan perhitungan yang cermat. Sehingga ketika kemudian muncul sengketa yang mengharuskan pelaku bisnis mengeluarkan biaya (dana) dicarilah langkah “akal-akalan” untuk menutup biaya hukum tersebut melalui “dana taktis”, yang konon menurut
tertib
keuangan
perusahaan
tidak
pernah
dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu dapat dipastikan kondisi demikian akan mengantar bisnis mereka pada kondisi yang tidak menguntungkan “losses but not profit”.
8
Ketika suatu konflik atau sengketa menjadi semakin berkembang mengancam jalannya bisnis, berbagai bentuk konsekuensi akan bermunculan dan mempengaruhi individu, hubungan, tugas dan keputusan sebagai suatu bentuk: respon personal, respon komunitas dan politisasi (ketiganya disebut “elemen spiral”). Dalam hal ini terdapat segitiga konflik yang merupakan penjabaran ketiga elemen spiral tersebut, yaitu: people, process, problem. Bagaimana menyelesaikan konflik dengan hasil yang saling menguntungkan (win-win outcome), berikut ini langkah-langkah yang dapat ditempuh, yaitu: (4)4 a. Perceived conflict: untuk konflik persepsi tentang “cara saya” versus “cara kamu”, definisikan kembali isu dengan cara mengidentifikasikan kembali hasil hasil yang diharapkan para pihak; b. Fixed Pie: untuk konflik “jumlah kue yang tetap” tentang bagaimana membagi sejumlah tetap sumber-sumber, capai persetujuan dulu terhadap metode penyelesaian yang dianggap adil untuk semua pihak dan terapkan; c. Displaced and Misatributed: untuk konflik jenis ini perlu dilakukan pendefinisian kembali batasan-batasan yang jelas tentang persoalan yang sesungguhnya terjadi dan pihak-pihak yang seharusnya terlibat. Menurut pendapat penulis untuk mencari makna azas proporsionalitas dalam kontrak harus beranjak dari makna filosofis keadilan. Hal ini dapat ditelusuri dalam berbagai pendapat serta pemikiran para filosof dan sarjana. Aristoteles,5
4
5
Ibid Raymond Wacks, Jurisprudence, Blackstone Press Limited, London, 1995, h. 178. Periksa juga O. Notohamidjojo, Masalah: Keadilan, Tirta Amerta, Semarang, 1971, h. 7. Menurut Plato keadilan merupakan bagian dari virtue (kebajikan), Periksa Burhanuddin Salam, Ibid
9 menyatakan bahwa” justice consists in treating equals equally and unequals unequally, in proportion to their inequality” (prinsip bahwa yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama, secara proporsional). Ulpianus
6
menggambarkan keadilan sebagai “justitia est
constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi” (keadilan adalah kehendak yang terus menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya “to give everybody his own”). Artinya keadilan dapat terwujud apabila sesuatu yang diberikan kepada seseorang sebanding dengan yang seharusnya ia terima (praeter proportionem dignitas ipsius). Pada hakikatnya gagasan tersebut merupakan titik tolak bagi pemaknaan azas proporsionalitas dalam hubungan kontraktual para pihak. Demikian pula dengan pandangan beberapa sarjana, seperti Paul Tillich,7 L.J. van Apeldoorn,8 J. van Kan dan J.H. Beekhuis,9 yang menyatakan bahwa keadilan itu memperlakukan sama terhadap hal yang sama dan memperlakukan
yang
tidak
sama
sebanding dengan
ketidaksamaannya.
Beauchamp dan Bowie,10 dengan kriteria pembagian proporsionalnya, serta pemikiran John Rawls11 tentang ”justice as fairness” yang menekan prinsip hak berlandaskan rasionalitas, kebebasan dan kesamaan. P.S. Atijah12 memberikan landasan pemikiran mengenai azas proporsionalitas dalam kaitannya dengan peran
6
O. Notohamidjojo, Op. Cit., h. 18 -19. Paul Tillich, Cinta, Kekuasaan dan Keadilan, Pustaka Eureka, Surabaya, 2004, h. 74-75. 8 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. xxx, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, h. 11-13. 9 J. van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, h. 171-172.n 10 Ibid., h. 95. 11 Loc. Cit. 12 P.S. Atijah, An Introduction to The Law of Contract, 4th Ed., Oxford University Press Inc., New York, 1995, h. 5. 7
10
kontrak sebagai landasan pertukaran yang adil di dunia bisnis, bahwa transaksi para pihak yang berkontrak sesuai dengan apa yang diinginkan (proportion in what they want) Pandangan para sarjana tersebut di atas merupakan dasar bagi argumentasi yang dibangun untuk merumuskan makna azas proporsionalitas. Menurut Lyons13
suatu iklim kontrak yang sesungguhnya, pada hakikatnya
memberi peluang bagi perbedaan pendapat, tawar-menawar, atau bahkan perbedaan-perbedaan yang relevan di antara para pihak. Argumen kontrak menuntut pertukaran gagasan secara bebas dan melalui proses, meminjam istilah Gadamer,14 to-and-for, pada akhirnya semua pihak akan sampai pada kesepakatan bersama mengenai prinsip – prinsip keadilan yang tepat bagi mereka. Hanya dalam proses seperti ini hasil dari suatu kesepakatan sungguh-sungguh merefleksikan kepentingan semua pihak. Pada dasarnya azas proporsionalitas merupakan perwujudan doktrin ”keadilan berkontrak” yang mengoreksi dominasi azas kebebasan berkontrak yang dalam beberapa hal justru menimbulkan ketidakadilan. Konrad Zweigert dan Hein Kotz,15 mengingatkan para sarjana untuk membuang sikap yang memperlihatkan seolah-olah kebebasan berkontrak merupakan prinsip utama dalam pembentukan undang-undang kontrak. Tugas utama para sarjana kini bukan lagi mengagungkan kebebasan berkontrak,
melainkan mencari kriteria serta prosedur bagi
perkembangan doktrin “keadilan kontraktual”. Perwujudan keadilan berkontrak
13
Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik John Rawls), Kanisius, Yogjakarta, 1999, h. 140. 14 Loc. Cit. 15 Periksa Sakina Shaik Ahmad Yusoff, “Isi Kandungan Kontrak: Klasifikasi Terma Dan Permasalahannya”, Malaysian Journal of Law and Society, Faculty of Law Universiti Kebangsaan Malaysia, Vol. V, 2001.h. 87-88.
11
ditentukan melalui dua pendekatan. Pertama, pendekatan prosedural, pendekatan ini menitikberatkan pada persoalan kebebasan kehendak dalam suatu kontrak. Pendekatan kedua, yaitu pendekatan substantif yang menekan kandungan atau substansi serta pelaksanaan kontrak. Dalam pendekatan substanstif perlu diperhatikan adanya kepentingan yang berbeda. Mengambil moralitas pertimbangan tersebut, maka azas proporsionalitas bermakna sebagai ”azas yang melandasi atau mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai
proporsi,
beban
dan
atau
bagiannya.”
Azas
proporsionalitas
mengandaikan berlangsungnya mekanisme pembagian hak dan kewajiban secara proporsional yang diwujudkan dalam seluruh proses hubungan kontraktual, baik pada fase pra kontraktual, pembentukan kontrak maupun pelaksanaan kontrak. Azas proporsional sangat berorientasi pada konteks hubungan dan kepentingan para pihak, dalam arti menjaga kelangsungan hubungan bisnis mereka. Untuk itu dalam kajian ini diajukan suatu kriteria yang dapat dijadikan pedoman untuk menemukan azas proporsionalitas dalam kontrak, sebagai berikut: a. kontrak yang bersubstansi azas proporsionalitas adalah kontrak yang memberikan pengakuan terhadap hak, peluang dan kesempatan yang sama kepada para kontraktan untuk menentukan pertukaran yang adil bagi mereka. Kesamaan bukan dalam arti ”kesamaan hasil” melainkan pada posisi para pihak yang mengandaikan ”kesetaraan kedudukan dan hak (equitability)” (prinsip kesamaan hak/kesetaraan hak); b. berlandaskan pada kesamaan/kesetaraan hak tersebut, maka kontrak yang bersubstansi azas proporsionalitas adalah kontrak yang dilandasi oleh kebebasan para kontraktan untuk menentukan substansi apa yang adil dan apa yang tidak adil bagi mereka (prinsip kebebasan);
12
c. kontrak yang bersubstansi azas proporsionalitas adalah kontrak yang mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara proporsional bagi para pihak. Perlu digaris bawahi bahwa keadilan tidak berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama, dalam konteks ini dimungkinkan adanya hasil akhir yang berbeda. Dalam hal ini maka prinsip distribusi-proporsional terhadap hak dan kewajiban para pihak harus mengacu pertukaran yang fair (prinsip distribusiproporsional). Industri migas merupakan bisnis dengan nilai transaksi yang sangat besar serta potensi resiko yang juga luar biasa. Maraknya pertumbuhan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di Indonesia seiring dengan pencanangan program pemerintah untuk meningkatkan target lifting minyak bumi nasional, mendorong KKKS untuk melakukan pencarian terhadap potensi sumur-sumur baru serta peningkatan terhadap produksi dari sumur-sumur tua melalui kegiatan eksplorasi seismik atau yang biasa dikenal di industri migas dengan istilah akuisisi data seismik. LUNDIN RANGKAS BV merupakan salah satu dari sekian banyak KKKS yang melakukan kegiatan ekplorasi melalui pelaksanaan survei seismik serta sekaligus sebagai operator yang ditunjuk dan disetujui oleh SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) dahulu BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) untuk mengelola Blok Rangkas, SKK Migas dalam hal ini bertindak sebagai kepanjangan tangan Pemerintah yang pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya berada dibawah pengawasan Kementerian ESDM (Energi Sumber Daya dan Mineral) sebagaimana amanat Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
13
Minyak dan Gas Bumi, yang kemudian diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Nasional. Bahwa sebagaimana diatur dalam pasal 102 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004, BP Migas atau yang saat ini telah diubah menjadi SKK Migas sejak dikeluarkannya Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUUX/2012 diberikan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut ketentuan mengenai ruang lingkup pelaksanaan pengawasan Kegiatan Usaha Hulu. Adapun produk hukum yang dikeluarkan oleh SKK Migas serta dikenal di kalangan pelaku usaha di industri migas yaitu Pedoman Tata Kerja Nomor 007 atau yang biasa disingkat dengan sebutan PTK 007 yang didalamnya mengatur tentang Pedoman Pengelolaan Rantai Suplai Kontraktor Kontrak Kerja Sama. Penerbitan PTK 007 oleh SKK Migas dimaksudkan untuk memberikan satu pola pikir, pengertian dan pedoman pelaksanaan teknis serta administratif yang terintegrasi dan jelas bagi seluruh pengelola kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di wilayah Republik Indonesia dalam pengelolaan rantai suplai. Adapun tujuan dari pengelolaan rantai suplai adalah untuk memperoleh dan serta mendayagunakan barang atau jasa yang dibutuhkan dalam jumlah kualitas, harga, waktu dan tempat yang tepat secara efektif dan efisien serta dapat dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan dan prosedur yang berlaku serta memenuhi prinsip-prinsip etika rantai suplai. Lingkup pengaturan Pedoman Pengelolaan Rantai Suplai atau yang biasa disebut dengan PTK 007, antara lain mencakup pengaturan pelaksanaan pengadaan barang atau jasa, pengelolaan aset, kepabeanan serta pengelolaan
14
proyek, termasuk pengaturan tentang manajemen penyedia barang atau jasa dan pedoman untuk pendayagunaan produksi dan kompetensi dalam negeri serta pengendalian atau penyelesaian perselisihan. Bahwa berdasarkan analisa hukum yang penulis ingin angkat dan cermati dalam penulisan ini adalah pada penerapan kontrak jasa migas yang dilakukan oleh LUNDIN RANGKAS BV dalam hubungannya dengan ketentuan yang diatur dalam PTK 007. Yang menurut penilaian penulis tidak sepenuhnya berpedoman pada ketentuan PTK 007, serta tidak mengedepankan asas proporsionalitas dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam berkontrak yang berlaku pada umumnya. LUNDIN RANGKAS BV sebagai operator yang ditunjuk oleh SKK Migas diperkenankan untuk menerbitkan Kontrak sehubungan dengan komitmen production sharing contract yang telah disepakati sebelumnya antara LUNDIN RANGKAS BV dengan SKK Migas yang dari hasil kontrak tersebut salah satunya menjadi cikal bakal diterbitkannya kontrak untuk Pekerjaan Akuisisi Seismik 2D Blok Rangkas Nomor 10.D.07.01.RG-007/EL-LRG/009 antara LUNDIN RANGKAS BV dengan PT Elnusa Tbk yang pelaksanaan pekerjaannya dilakukan di Propinsi Banten dan Jawa Barat. Bahwa pada kenyataannya pelaksanaan kontrak tersebut tidaklah berjalan semulus yang diharapkan oleh Pihak LUNDIN RANGKAS BV maupun PT Elnusa Tbk, dimana pada pelaksanaan operasi seismik dilapangan saat itu ternyata mengalami suatu hambatan operasional baik yang bersifat teknis maupun non teknis yang pada akhirnya berdampak kepada mundurnya jangka waktu pekerjaan dan tidak tercapainya target produksi sebagaimana yang ditetapkan dalam kontrak, sehingga atas dasar pertimbangan tersebut LUNDIN RANGKAS
15
BV merasa layak untuk mengenakan penalti kepada PT Elnusa Tbk selaku kontraktor karena dinilai gagal (wanprestasi) untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagaimana yang telah ditetapkan dan disepakati di dalam kontrak. Adapun tindakan yang dilakukan oleh LUNDIN RANGKAS BV menyikapi kegagalan pemenuhan prestasi tersebut dengan melakukan pemotongan terhadap sisa tagihan (offset) yang diajukan oleh PT Elnusa Tbk atas tahapan pekerjaan terakhir yang telah selesai dilakukan. Bahwa terhadap tindakan yang dilakukan oleh pihak LUNDIN RANGKAS BV tersebut justru memunculkan reaksi keberatan dan penolakan oleh PT Elnusa Tbk yang menganggap bahwa metode pengenaan penalti yang dilakukan oleh LUNDIN RANGKAS BV dianggap tidak fair serta tidak berpedoman pada ketentuan yang diatur menurut PTK 007, yang pada akhirnya menimbulkan perselisihan antara LUNDIN RANGKAS BV dengan PT Elnusa Tbk sehubungan dengan pelaksanaan terhadap pasal penalti dalam kontrak. Bahwa penulis berusaha untuk melakukan analisa serta mencermati pasal demi pasal terhadap setiap klausula yang dituangkan di dalam kontrak tersebut guna memperoleh gambaran yang komprehensif terhadap suatu permasalahan yang dihadapi yang kemudian sampai pada sebuah rumusan permasalahan sebagaimana diuraikan dibawah ini. B.
Rumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas maka dapat ditarik
beberapa perumusan masalah yang akan menjadi inti dari pembahasan penelitian ini sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan ketentuan pengenaan sanksi terhadap kegagalan pemenuhan prestasi pada suatu kontrak jasa seismik data akuisisi?
16
2. Bagaimanakah pelaksanaan pengenaan sanksi terhadap kegagalan prestasi pada suatu kontrak jasa seismik data akuisisi?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian tesis ini pada hakikatnya mengungkapkan apa yang hendak dicapai oleh peneliti.16 Adapun tujuan yang diharapkan dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk menganalisa pertanggungjawaban menurut peraturan yang berlaku di industri migas terhadap suatu peristiwa wanprestasi dari pelaksanaan kontrak jasa hulu migas khususnya jasa seismik data akuisisi.
2.
Untuk
menganalisa
bentuk
pertanggungjawaban
dan
penyelesaian
perselisihan terhadap kegagalan pemenuhan prestasi menurut kontrak jasa seismik data akuisisi antara LUNDIN RANGKAS BV dengan PT. Elnusa, Tbk.
D.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:
1.
Hasil penelitian tesis ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan hukum pada umumnya dan sebagai bahan pengembangan ilmu hukum bisnis pada khususnya mengenai pengaturan hak dan tanggungjawab dalam sebuah kontrak jasa migas, serta dapat menjadi data sekunder yang bermanfaat bagi peneliti-peneliti ataupun kalangan akademis lainnya yang
16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit UI Press, 1986), hlm.18.
17
mempunyai perhatian yang sama dalam bidang ini khususnya pada studi keilmuan hukum bisnis. Selain itu, pada umumnya diharapkan pembaca dan pihak-pihak selain peneliti dapat mudah memahami bagaimana prinsip hukum kontrak mengatur mengenai pertanggungjawaban terhadap suatu peristiwa wanprestasi. 2.
Hasil penelitian tesis ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan atau sumber pertimbangan pengambilan keputusan oleh pihak-pihak terkait dan juga sumber pertimbangan dalam pembuatan dan penentuan kebijakan hukum khususnya yang mengatur mengenai pengadaan barang dan jasa pada sektor hulu migas atau dalam istilah migas lebih dikenal dengan Pengelolaan Rantai Suplai Kontraktor Kontrak Kerjasama. Dengan penelitian ini pihak-pihak dapat melihat permasalahan yang diangkat lebih dari satu sisi apabila kedepannya dihadapkan pada kasus serupa yang mengharuskan diambilnya suatu keputusan.
3. Keaslian Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh penulis terhadap klausula kontrak jasa migas khususnya kontrak jasa akuisisi data seismik, lebih menitikberatkan pada klausula penalti dari akibat terjadinya peristiwa wanprestasi yang menurut keyakinan penulis belum pernah dilakukan penelitian oleh pihak lain. Penelitian ini merupakan analisa serta kajian ilmiah yang ditujukan untuk mengidentifikasi dan atau menganalisa lingkup hak dan tanggung jawab antara KKKS sebagai Pemberi Kerja (Bohir) dengan Kontraktor sebagai Penerima Kerja / Penyedia Jasa terhadap pelaksanaan suatu komitmen kontrak menurut prinsip – prinsip hukum kontrak dan peraturan yang berlaku di industri hulu migas.