1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu perjanjian adalah semata-mata untuk suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok di dalam dunia usaha dan menjadi dasar bagi kebanyakan transaksi dagang seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang, pembentukan organisasi usaha dan termasuk juga menyangkut tenaga kerja.1 Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua atau lebih pihak yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk memberi prestasi.2 Dari pengertian singkat tersebut dijumpai beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain: hubungan hukum (rechsbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. Perjanjian verbintenis adalah hubungan hukum (rechsbetrekking) yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara penghubungannya, oleh karena itu perjanjian mengandung hubungan hukum antara perorangan/persoon adalah
1 2
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Abadi, 1992, hlm. 93. M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1996, hlm. 6.
1
Universitas Sumatera Utara
2
hubungan yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Perjanjian atau perikatan diatur dalam buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1313 KUH Perdata memberikan definisi tentang perjanjian sebagai berikut: “Perjanjian adalah suatu perbuatan, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”3 Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.4 Sedangkan kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan dengan siapa mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan isi perjanjian dan kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian.5 Sesuai dengan asas yang utama dari suatu perikatan atau perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak seperti tersirat dalam pasal 1338 KUHPerdata, maka pihakpihak yang akan mengikat diri dalam suatu perjanjian kerjasama dapat mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang akan ada pada KUHPerdata. Tetapi dapat pula mendasarkan pada kesepakatan bersama, artinya dalam hal-hal ketentuan yang
3
Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm, 52. Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm. 1. 5 Ridwan Khaidandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 38. 4
Universitas Sumatera Utara
3
memaksa, harus sesuai dengan ketentuan KUHPerdata, sedangkan dalam hal ketentuan tidak memaksa, diserahkan kepada para pihak. Dengan demikian perjanjian kerjasama selain dikuasai oleh asas-asas umum hukum perjanjian, juga dikuasai oleh apa yang secara khusus disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik yang telah dimulai sewaktu para pihak akan memasuki perjanjian tersebut dengan demikian maka pembuatan perjanjian harus dilandasi asas kemitraan. Asas kemitraan mengharuskan adanya sikap dari para pihak bahwa yang berhadapan dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian tersebut merupakan dua mitra yang berjanji, terlebih lagi dalam pembuatan perjanjian kerjasama, asas kemitraan itu sangat diperlukan.6 Undang-undang mengakui hak otonomi seseorang untuk secara bebas membuat perjanjian dengan siapapun serta dengan bebas pula rnenentukan isi perjanjian tersebut yang dikenal dengan asas kebebasan berkontrak. Selain asas tersebut, asas kekuatan mengikat menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata. Asas fundamental lainnya dan hukum kontrak adalah konsensualisme. Ketiga asas dasar tersebut perlu ditambah satu asas lagi yakni asas keseimbangan, agar dapat mengoper seluruh asas
6
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hlm. 46.
Universitas Sumatera Utara
4
hukum kontrak pada khususnya ataupun instrumen hukum yang ada di dalam KUHPerdata dengan mendasarkan nilai dan norma hukum yang berlaku.7 Dalam pelaksanaan kepariwisataan juga terjadi perjanjian diantara pengusaha kepariwisataan tersebut. Pasal 14 ayat (1) d UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyatakan bahwa salah satu usaha pariwisata adalah jasa perjalanan wisata (travel). Selanjutnya Pasal 58 Peraturan Pemerintah Nomor 67 tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan menyatakan bahwa salah satu usaha penyediaan akomodasi adalah berupa usaha hotel. Oleh karena bidang usaha yang saling mendukung tersebut, maka hotel sebagai penyedia akomodasi kepariwisataan bekerja sama dengan pihak jasa perjalanan wisata (travel) dalam hal memasarkan jasa akomodasi yang disediakan kepada konsumen. Kerjasama tersebut dituangkan dalam bentuk perjajian. Berdasarkan uraian tersebut berarti hak otonomi menunjukkan asas kesetaraan dalam melakukan perjanjian. Namun dalam prakteknya pada perjanjian kontraktual, klausula telah ditentukan secara sepihak oleh pihak pertama. Sedangkan pihak kedua, tentunya harus mematuhi ketentuan yang tertuang dalam kontrak tersebut, sehingga sebenarnya tidak terjadi kesetaraan. Demikian juga dalam perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara Hotel JW Marriot sebagai penyedia kamar hotel (room) dengan PT.Eka Sukma Tour, sebagai perusahaan travel agent. Keuntungan dari voucher hotel ini adalah bahwa wisatawan sebagai konsumen dapat membooking
7
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 123.
Universitas Sumatera Utara
5
kamar hotel melalui travel agent-nya, dan pihak travel memperoleh sejumlah fee tertentu dari penjualan voucher tersebut. Dalam hal ini Hotel JW Marriot mengeluarkan voucher hotel untuk sejumlah kamar (room) yang kemudian dijual kepada wisatawan melalui travel agent. Pihak Hotel JW Marriot secara sepihak telah menentukan hak dan kewajiban para pihak termasuk jika terjadi wanprestasi. Voucher hotel yang dikeluarkan oleh pihak Hotel JW Marriot berupa lembar tanda bukti pembayaran atas suatu kamar (room) pada Hotel JW Marriot Medan. Penjualan voucher dilakukan oleh travel kepada wisawatan yang hendak menginap di Hotel JW Marriot, dimana pihak travel diberikan volume kamar (room) tertentu yang harus terjual dalam satu periode waktu tertentu, misalnya 3 bulan. Perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel tersebut berupa perjanjian di bawah tangan (bukan akta notariil). Jika travel tidak dapat menjual voucher sebanyak volume kamar (room) yang telah ditentukan, maka dianggap wanprestasi, dan pihak Hotel JW Marriot secara sepihak memutuskan kerjasama dengan pihak travel. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerjasama penjualan tersebut. Sehubungan dengan adanya ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel tersebut, dilakukan suatu kajian atau tinjauan yuridis tentang pelaksanaan perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT.Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan.
Universitas Sumatera Utara
6
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka ada beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu : 1. Bagaimana bentuk perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT.Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan ? 2. Bagaimana kedudukan para pihak dalam perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT.Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan ? 3. Bagaimana penyelesaian perselisihan hukum jika terjadi wanprestasi antara salah satu pihak ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bentuk perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT.Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan. 2. Untuk mengetahui kedudukan para pihak dalam perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT.Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan. 3. Untuk mengetahui penyelesaian hukum jika terjadi wanprestasi antara salah satu pihak.
Universitas Sumatera Utara
7
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu : 1. Secara Teoritis Diharapkan dengan penelitian ini dapat memberi manfaat dalam bidang ilmu pengetahuan hukum khususnya bidang keperdataan terutama yang berhubungan dengan perjanjian. 2. Secara Praktis Diharapkan akan bermanfaat sebagai masukan bagi praktisi travel dan hotel terutama pengetahuan tentang hak dan kewajiban dalam suatu perjanjian kerjasama, dan masyarakat. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada, maupun sedang dilakukan, khususnya pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang membahas mengenai tinjauan yuridis perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT.Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori digunakan untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjradi, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
Universitas Sumatera Utara
8
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.8
Kerangka teori adalah
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan penulis dibidang hukum.9 Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk mengorganisasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian terdahulu.10 Kata lain dari kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.11 Suatu perbuatan hukum dilakukan bertujuan untuk memperoleh keadilan. Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.12 Teori-teori Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap mempertahankan
keadilan
sebagai
mahkota
hukum.
Teori
Hukum
Alam
mengutamakan “the search for justice”.13 Terdapat macam-macam teori mengenai
8
JJJ M. Wuismen, Penelitian Ilmu Sosial, Jilid 1, Penyunting M. Hisman, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hlm. 203. 9 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju Bandung, 1994, hlm. 27. 10 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta Jakarta, 1998, hlm. 23. 11 M. Solly Lubis, Op.Cit., hlm. 23. 12 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, hal 239. 13 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Kanisius, Yogyakarta, 1995 hal. 196.
Universitas Sumatera Utara
9
keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat disebut: teori keadilan John Rawls dalam bukunya a theory of justice. John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung.14 Istilah perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus. Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum,
14
John Rawls, A Theory of Justice, Teori Keadilan. Diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 97.
Universitas Sumatera Utara
10
tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat. Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak. Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.15 Dengan demikian, prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, 15
Ibid, hlm. 107.
Universitas Sumatera Utara
11
pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah. Teori keadilan Rawls dapat disimpulkan memiliki inti sebagai berikut: 1. Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri, 2. Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (“social goods”). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat dizinkan bila ada kemungkinan keuntungan yang lebih besar. 3. Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan berdasarkan kelahiran dan kekayaan. Untuk meberikan jawaban atas hal tersebut, Rows melahirkan 3 (tiga) pronsip kedilan, yang sering dijadikan rujukan oleh bebera ahli yakni: 1. Prinsip Kebebasan yang sama (equal liberty of principle) 2. Prinsip perbedaan (differences principle) 3. Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)
Universitas Sumatera Utara
12
Jadi kaitan antara teori keadilan dengan perjanjian kerjasama voucher hotel antara PT.Sukma Tour dengan Hotel J.W Marriot bahwa didalam kerjasama tersebut hendak nya menerapkan prinsip Kebebasan yang sama, Prinsip perbedaan dan Prinsip Persamaan Kesempatan, agar keadilan tersebut bisa terwujud dan terjaga keseimbangan kepentingan para pihak. Dalam
hukum
kontrak
(perjanjian)
dikenal
tiga
asas,
yakni
asas
konsensualisme (the principle of consensualism), asas kekuatan mengikat kontrak (the principle of the binding force of contract), dan asas kebebasan berkontrak (principle of freedom on contract). Ketiga asas ini saling berkaitan satu sama lain. Dengan asas kebebasan berkontrak setiap orang diakui memiliki kebebasan untuk membuat kontrak dengan siapapun juga, menentukan isi kontrak, menentukan bentuk kontrak, memilih hukum yang berlaku bagi kontrak yang bersangkutan. Jika asas konsensualisme berkaitan dengan lahirnya kontrak, asas kekuatan mengikatnya kontrak berkaitan dengan akibat hukum, maka asas kebebasan berkontrak berkaitan dengan isi kontrak. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka orang-orang boleh membuat atau tidak membuat perjanjian. Para pihak yang telah sepakat akan membuat perjanjian, bebas menentukan apa yang apa yang boleh dan tidak boleh dicantumkan dalam suatu perjanjian. Kesepakatan yang diambil oleh para pihak mengikat mereka sebagai Undang-undang (Pasal 1338 KUH Perdata). Penerapan asas ini memberikan tempat yang penting bagi berlakunya asas konsensual, yang mengindikasikan adanya keseimbangan kepentingan, keseimbangan dalam pembagian beban resiko, dan
Universitas Sumatera Utara
13
keseimbangan posisi tawar (bargaining position). Menurut Sutan Remy Syahdeini kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan jika para pihak memiliki bargaining power yang seimbang. Jika bargaining power tidak seimbang maka suatu kontrak dapat menjurus atau menjadi unconscionable.16 Selanjutnya Sutan Remy Syahdeini menjelaskan: Bargaining power yang tidak seimbang terjadi bila pihak yang kuat dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, hingga pihak yang lemah mengikuti saja syarat-syarat kontrak yang diajukan kepadanya. Syarat lain adalah kekuasaan tersebut digunakan untuk memaksakan kehendak sehingga membawa keuntungan kepadanya. Akibatnya, kontrak tersebut menjadi tidak masuk akal dan bertentangan dengan aturan-aturan yang adil.17 Asas keseimbangan merupakan pelaksanaan dari prinsip itikad baik, prinsip transaksi jujur dan prinsip keadilan. Keseimbangan dalam hukum dilandasi adanya kenyataan disparitas yang besar dalam masayrakat, oleh karena itu diperlukan suatu sistem pengaturan yang dapat melindungi pihak yang memiliki posisi yang tidak menguntungkan. Menurut prinsip-prinsip UNIDROIT,18 salah satu pihak dapat membatalkan seluruh atau sebagian syarat individual dari kontrak, apabila kontrak atau syarat tersebut secara tidak sah memberikan keuntungan yang berlebihan kepada salah satu pihak saja. Keadaan demikian didasarkan pada dua hal : (a) Fakta bahwa pihak lain telah mendapatkan keuntungan secara curang dari ketergantungan, kesulitan ekonomi atau kebutuhan yang mendesak, atau
16 Sutan Remy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Buku I, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 185. 17 Ibid. 18 Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsip Unidroit, Sinar Grafika, Jakarta, 2004 hlm.37.
Universitas Sumatera Utara
14
dari keborosan, ketidak tahuan, kekurang pengalaman atau kekurang ahlian dalam tawar menawar; (b) Sifat dan tujuan dari kontrak. Menurut prinsip keseimbangan, salah satu pihak boleh meminta pembatalan kontrak apabila terjadi perbedaan mencolok (gross disparity) yang memberikan keuntungan berlebihan secara yang tidak sah kepada pihak lain. Keuntungan yang berlebihan tersebut harus nampak pada saat pembuatan kontrak. Istilah keuntungan yang berlebihan diartikan sebagai suatu perbedaan penting dalam harga atau unsur lainnya. Hal ini mengganggu keseimbangan dalam pelaksanaan da keserasian dalam masyarakat, yang dapat digunakan sebagai alasan permohonan pembatalan kontrak melalui pengadilan. Oleh karena itu asas kebebasan berkontrak harus dicari dan ditentukan dalam kaitannya dengan pandangan hidup bangsa. Disepakati sejumlah asas hukum kontrak menurut Mariam Darus Badrulzaman sebagai berikut: a. b.
c.
d.
Asas Konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. Asas Kepercayaan Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari. Asas Kekuatan Mengikat Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan yang mengikat. Terikatnya para pihak pada apa yang diperjanjikan, dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan, dan kebebasan akan mengikat para pihak. Asas Persamaaan Hak
Universitas Sumatera Utara
15
Asas menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan. e. Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. f. Asas Moral Asas ini terlihat di dalam Zaak waarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangktan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Asas ini terdapat dalam pasal 1339 KUH Perdata. g. Asas Kepatutan Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat. h. Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.19 Pembahasan hukum kontrak sering kali dikaitkan dengan pembahasan keseimbangan dalam berkontrak (azas keseimbangan). Acap kali muncul anggapan bahwa kontrak yang terjalin antara pihak-pihak tidak memberikan keseimbangan posisi bagi salah satunya. Kontrak yang demikian dianggap tidak adil dan berat sebelah, sehingga memunculkan upaya untuk mencari dan menggali temuan-temuan baru
di
bidang
hukum
kontrak
agar
dapat
menyelesaikan
problematika
ketidakseimbangan dalam hubungan kontraktual. Pengertian “keseimbangan-seimbang” atau evenwicht-evenwichtig (Belanda), atau equality-equal-equilibrium (Inggris) bermakna leksikal “sama, sebanding”
19
Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hlm. 42-44.
Universitas Sumatera Utara
16
menunjuk pada suatu keadaan, posisi, derajat, berat, dan lain-lain.20 Menurut Sutan Remy Syahdeini bahwa keseimbangan para pihak yang berkontrak hanya akan terwujud apabila berada pada posisi yang sama kuat. Dengan membiarkan hubungan kontraktual para pihak semata-mata pada mekanisme kebebasan berkontrak, seringkali menghasilkan ketidakadilan apabila salah satu pihak berada dalam posisi yang lemah. Dengan demikian, negara seharusnya campur tangan untuk melindungi pihak yang lemah dengan menentukan klausul tertentu yang harus dimuat atau dilarang dalam suatu kontrak. Menurut Herlin Budiono, azas keseimbangan juga dipahami sebagai keseimbangan kedudukan posisi tawar para pihak dalam menentukan hak dan kewajibannya
dalam
perjanjian.
Ketidakseimbangan
posisi
menimbulkan
ketidakadilan, sehingga perlu intervensi pemerintah untuk melindungi pihak yang lemah melalui penyeragaman syarat-syarat perjanjian.21 Ahmadi Miru berkomentar bahwa keseimbangan antara konsumen dan produsen dapat dicapai dengan meningkatkan perlindungan terhadap konsumen karena posisi produsen lebih kuat dibandingkan dengan konsumen.22 Berarti, azas keseimbangan diartikan sebagai keseimbangan posisi para pihak. Selanjutnya B. Arief Sidharta berpendapat bahwa azas-azas hukum kontrak yang hidup dalam kesadaran hukum Indonesia sebagaimana tercermin dalam hukum adat, maupun azas20
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm. 60 dan 788. 21 Herlien Budiono, Azas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Azas-azas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 302. 22 Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, hlm. 129
Universitas Sumatera Utara
17
azas hukum moderen sebagaimana ditemukan dalam perkembangan hukum kontrak Belanda di perundang-undangan, praktek hukum dan yurisprudensi, bertemu dalam suatu azas, yaitu azas keseimbangan.23 Herlien Budiono, memberi 2 (dua) makna pada azas keseimbangan, yaitu (i) azas keseimbangan sebagai azas etikel yang bermakna suatu “keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang”. Makna keseimbangan di sini berarti pada satu sisi dibatasi kehendak (berdasar pertimbangan atau keadaan yang menguntungkan) dan pada sisi lain keyakinan (akan kemampuan). Dalam batasan kedua sisi tersebut keseimbangan akan dapat diwujudkan.24 (ii) azas keseimbangan sebagai azas yuridikal artinya azas keseimbangan dapat dipahami sebagai azas yang layak atau adil, dan selanjutnya diterima sebagai landasan keterikatan yuridikal dalam hukum kontrak Indonesia.25 Dalam hal keseimbangan kontraktual terganggu, maka jalan keluar untuk melakukan pengujian daya kerja azas keseimbangan, melalui : tindakan, isi dan pelaksanaan perjanjian.26 Pasal 1320 KUH Perdata menentukan bahwa, untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu : 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu pokok persoalan tertentu 23
B. Arief Sidharta, Kata Pengantar dalam Herlien Budiono, Azas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Azas-azas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. Viii. 24 Herlien Budiono, 2006. Ibid., hlm. 304-305. 25 Ibid., hlm. 307. 26 Ibid., hlm. 334, 545.
Universitas Sumatera Utara
18
4. Suatu sebab yang tidak terlarang. Secara garis besar KUHPerdata mengklasifikasikan jenis‐jenis perjanjian sebagai berikut27: 1. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebani hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan kepada pihak lainnya, misalnya hibah. 2. Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak membebani Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja. Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan kedua prestasi tersebut ada hubungannya menurut hukum. 3. Perjanjian bernama dan tidak bernama Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian‐perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual beli, sewa menyewa. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yag tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas. 4. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan dari perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir sendiri adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak timbulnya hak dan kewajiban para pihak. 5. Perjanjian konsensual dan perjanjian real Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada perjanjian kehendak antara pihak‐pihak. Sedangkan perjanjian real adalah perjanjian di samping ada perjanjian kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barang yang diperjanjikan. Suatu perjanjian dalam pelaksanaannya ada kemungkinan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau mungkin tidak dapat dilaksanakan karena adanya
27
Abdul Kadir Muhamad, Op.Cit, hlm. 86‐88.
Universitas Sumatera Utara
19
hambatan‐hambatan dalam pelaksanaannya. Hambatan‐hambatan tersebut dapat terjadi berupa wanprestasi dan keadaan memaksa28. a. Wanprestasi Wanprestasi menurut Abdul Kadir Muhamad mempunyai arti tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian29. Sedangkan menurut J. Satrio, wanprestasi mempunyai arti bahwa debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, maka dikatakan bahwa debitur wanprestasi30. Dari dua pengertian di atas, maka secara umum wanprestasi berarti pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Misalnya seorang debitur disebutkan dalam keadaan wanprestasi maka dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut yang sepatutnya. Debitur dikatakan telah melakukan wanprestasi baik karena lalai maupun karena kesengajaan, apabila31: a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan. b. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan. 28
J. Satrio, Hukum Perikatan‐Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1999, hlm, 83. Abdul Kadir Muhamad, Op.Cit, hlm. 20. 30 J. Satrio, Op.Cit, hlm. 122. 31 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 122. 29
Universitas Sumatera Utara
20
c. Melakukan apa yang sudah diperjanjikan tetapi sudah terlambat. d. Melakukan suatu yang oleh perjanjian tidak boleh dilakukan. Untuk
menentukan
dan
menyatakan
apakah
seseorang
melakukan
wanprestasi, tidaklah mudah karena seringkali tidak diperjanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang telah diperjanjikan. Sebelum dinyatakan wanprestasi, seorang debitur harus lebih dahulu ditagih atau diberi teguran atau somasi, sebagaimana ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata yang menyebutkan : “Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berhutang akan terus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.” Pasal 1238 KUH Perdata mengatakan bahwa debitur lalai, dan oleh KUH Perdata telah jelas ditetapkan, sejak kapan debitur dalam keadaan lalai, yaitu dengan tiga jenis teguran atau peringatan : 1. Surat Perintah Surat perintah atau surat peringatan resmi dari hakim atau juru sita pengadilan biasanya berbentuk penetapan atau beschiking. Berdasarkan surat perintah tersebut juru sita memberi surat teguran secara lisan kepada debitur kapan selambat‐lambatnya ia harus berprestasi. Ini biasanya disebut dengan exploit juru sita. 2. Akta sejenis
Universitas Sumatera Utara
21
Akta sejenis ini merupakan peringatan secara tertulis, maksudnya dapat berupa akta di bawah tangan atau dengan akta notaris. 3. Tersimpul dari perjanjiannya sendiri Maksudnya sejak membuat perjanjian para pihak sudah menentukan saat kapan terjadinya wanprestasi. Pernyataan lalai sebenarnya merupakan suatu peringatan dari kreditur agar debitur berprestasi, selambat‐lambatnya pada suatu saat tertentu32. Menurut Pasal 1267 KUH Perdata, pihak kreditur dapat menuntut pihak debitur yang lalai dengan memilih beberapa kemungkinan tuntutan sebagai berikut: a. Pemenuhan perjanjian; b. Pemenuhan perjanjian disertai dengan ganti rugi; c. Ganti rugi saja; d. Pembatalan perjanjian; e. Pembatalan perjanjian disertai dengan ganti rugi. Sedangkan menurut R. Subekti33, akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah suatu sanksi, terdapat 4 (empat) macam sanksi yaitu : 1) Ganti Rugi Debitur harus membayar ganti rugi sebagai akibat kerugian yang diderita kreditur, seperti yang tersebut dalam Pasal 1243 KUH Perdata. Dalam pasal tersebut menyebutkan perincian ganti rugi yang meliputi : 32 33
Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 2004, hlm. 12. R. Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, 1995, Bandung, hlm. 28.
Universitas Sumatera Utara
22
a. Biaya, yaitu segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata‐nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak. b. Rugi, yaitu kerugian yang terjadi karena kerusakan barang‐barang kepunyaan kreditur, yang diakibatkan oleh kelalaian debitur. c. Bunga, yaitu kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Undang‐undang juga memberikan ketentuan yang merupakan pembatasan tentang apa yang dituntut sebagai ganti rugi, ketentuan‐ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata, yaitu menyatakan sebagai berikut : Pasal 1247 KUH Perdata menentukan: “Si berhutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi dan bunga yang nyata telah, atau sedianya dapat diduga sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya.” Pasal 1248 KUH Perdata menentukan: “Bahwa jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan karena tipu daya di berutang, pengganti biaya, rugi dan bunga sekedar mengenai kerugian yang dideritanya oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perikatan.” Dengan demikian walaupun debitur dalam kenyataan lalai atau alpa tetap diberi perlindungan oleh undang‐undang terhadap kesewenangan pihak kreditur. Akan
Universitas Sumatera Utara
23
tetapi pembatasan tersebut hanya meliputi kerugian yang dapat diduga pada kemungkinan timbulnya kerugian dan besarnya kerugian.34 Serta kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari wanprestasi, seperti yang ditentukan dalam Pasal 1248 KUH Perdata. 2) Pembatalan Perjanjian Pembatalan ini mempunyai maksud bahwa kedua belah pihak berkehendak kembali kepada keadaan semula sebelum perjanjian diadakan. Bila salah atu pihak telah memenuhi atau menerima prestasi dari pihak lain (baik barang maupun uang), maka harus dikembalikan seperti sedia kala.35 Pemutusan perjanjian karena wanprestasi debitur diatur dalam Pasal 1265‐1267 KUH Perdata, yaitu terdapat dalam bagian V Bab I buku III KUH Perdata. Menurut undang‐undang dalam hal wanprestasi, harus memenuhi syarat untuk melaksanakan pembatalan perjanjian, yaitu : a. Debitur harus dalam keadaan wanprestasi; b. Pemutusan perjanjian dengan perantaraan hakim; c. Harus dalam perjanjian timbal balik. 3) Peralihan Resiko Resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi sesuatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek
34 35
Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 72. Suharnoko, Op.Cit, hlm. 124.
Universitas Sumatera Utara
24
perjanjian. Disebutkan dalam Pasal 1237 ayat (2) KUH Perdata, bahwa atas kelalaian dari seseorang debitur maka ia akan dikenai sanksi peralihan resiko. 4) Pembayaan Ongkos Perkara Dalam hal debitur yang lalai dan sebagai pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara, seperti yang disebutkan dalam suatu hukum acara pidana maupun acara perdata (Pasal 181 ayat (1) H.I.R).
Kreditur dapat
memilih diantara beberapa kemungkinan tuntutan ataupun sanksinya terhadap debitur tersebut. Kreditur dapat menuntut satu atau lebih sanksi kepada debitur. Jadi selain dapat menuntut pemenuhan perjanjian saja juga dapat disertai dengan menuntut ganti rugi36. Sedangkan bagi seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan sebagai alat untuk membela diri, yaitu37: a. Mengajukan alasan bahwa kreditur telah lalai; b. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa; c. Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi. b) Akibat dari Wanprestasi Sebagai akibat terjadinya wanprestasi maka debitur harus : 1. Mengganti kerugian.
36 37
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Jakarta, 2010, hlm. 82. Purwahid Patrik, Op.Cit, hlm, 24.
Universitas Sumatera Utara
25
2. Benda yang dijadikan obyek dari perikatan sejak saat tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur. 3. Jika perikatan itu timbul dari perjanjian yang timbal balik, kreditur dapat minta pembatalan (pemutusan) perjanjian. Di samping debitur harus bertanggung gugat tentang halhal tersebut, maka apa yang dapat dilakukan oleh kreditur menghadapi debitur yang wanprestasi itu. Kreditur dapat menuntut salah satu dari 5 kemungkinan sebagai berikut : 1.
Dapat menuntut pembatalan/pemutusan perjanjian.
2.
Dapat menuntut pemenuhan perjanjian.
3.
Dapat menuntut pengganti kerugian.
4.
Dapat menuntut pembatalan dan pengganti kerugian.
5.
Dapat menuntut pemenuhan dan pengganti kerugian.
Wanprestasi memang dapat terjadi dengan sendirinya tetapi kadang‐kadang tidak. Banyak perikatan yang tidak dengan ketentuan waktu pemenuhan prestasinya memang dapat segera ditagih. Ini diperlukan tenggang waktu yang layak dan ini diperbolehkan dalam praktek. Tenggang waktu dapat beberapa jam, dapat pula satu hari bahkan lebih. Maka dari itu dalam perjanjian‐perjanjian yang tidak ditentukan waktunya wanprestasi tidak terjadi demi hukum, karena tidak ada kepastian kapan ia betul‐betul wanprestasi. Kalau perikatan itu dengan ketentuan
Universitas Sumatera Utara
26
waktu, kadang-kadang ketentuan waktu mempunyai arti yang lain yaitu : bahwa debitur tidak boleh berprestasi sebelum waktu itu tiba.38 Jalan keluar untuk mendapatkan kapan debitur itu wanprestasi undang‐undang memberikan upaya hukum dengan suatu pernyataan lalai (ingebrekestelling, sommasi). Pernyataan lalai ialah merupakan upaya hukum untuk menentukan kapan saat terjadinya wanprestasi. Sedangkan pernyataan lalai adalah pesan (pemberitahuan) dari kreditur kepada debitur yang menerangkan kapan selambatlambatnya debitur diharapkan memenuhi prestasinya. Biasanya diberikan waktu yang banyak bagi debitur terhitung saat pernyataan lalai itu diterima oleh debitur. Pernyataan lalai ada yang diperlukan dan ada yang tidak diperlukan mengingat adanya bentuk wanprestasi. 1. 2. 3.
Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali maka pernyataan lalai tidak diperlukan, kreditur langsung minta ganti kerugian. Dalam hal debitur terlambat memenuhi prestasi maka pernyataan lalai diperlukan, karena debitur dianggap masih dapat berprestasi. Kalau debitur keliru dalam memenuhi prestasi, Hoge Raad berpendapat pernyataan lalai perlu, tetapi Meijers berpendapat lain apabila karena kekeliruan debitur kemudian terjadi pemutusan perjanjian yang positif (positive contrackbreuk), pernyataan lalai tidak perlu.39
Pemutusan perjanjian yang positif adalah dengan prestasi debitur yang keliru itu menyebabkan kerugian kepada milik lainnya dari kreditur. Lain halnya pemutusan perjanjian yang negatif, kekeliruan prestasi tidak menimbulkan kerugian pada milik lain dari kreditur, maka pernyataan lalai diperlukan.
38 39
Ibid, hlm. 26. Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hlm. 137.
Universitas Sumatera Utara
27
2. Konsepsi Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Jika masalahnya dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari kelompok fakta atau gejala itu. Oleh karena itu konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan adanya hubungan empiris diantara variable-variable yang diteliti.40 Tinjauan yuridis adalah suatu tinjauan terhadap pelaksanaan suatu peraturan perundangan-undangan (statute approach) yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.41 Kerjasama adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang dilakukan secara bersama antara dua pihak atau lebih baik dilakukan berdasarkan perjanjian maupun tidak. Penjualan merupakan suatu proses dimana kebutuhan pembeli dan kebutuhan penjual dipenuhi, melalui antar pertukaran informasi dan kepentingan, jadi konsep penjualan adalah cara untuk mempengaruhi konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan.42 Voucher hotel adalah suatu tanda bukti pembayaran atas suatu barang atau jasa berupa lembaran kertas, yang ditawarkan oleh suatu pihak yang akan diberikan kepada pihak yang memiliki voucher tersebut. Dalam hal ini voucher adalah bukti pembayaran kamar (room) di Hotel JW Marriot Medan. 40
Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hlm. 21. 41 Abdul Kadir Muhamad, Op.Cit, hlm. 14. 42 Philip Kotler, Manajemen Pemasaran, Erlangga, Jakarta, 2006, hlm. 457.
Universitas Sumatera Utara
28
Travel adalah biro perjalanan wisata dengan salah satunya kegiatan usahanya yaitu penyelenggaraan dan penjualan paket wisata dengan cara menyalurkan melalui agen perjalanan wisata dan atau menjualnya langsung kepada wisatwan atau konsumen.43 Hotel adalah usaha penyediaan akomodasi kepariwisataan dengan salah satu kegiatan adalah penyediaan kamar tempat menginap serta penyediaan fasilitas akomodasi dan pelayanan lain yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan usaha hotel.44 G. Metode Penelitian 1.
Spesifikasi Penelitian Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini
adalah deskriptif yuridis, yaitu suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain.45 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah yuridis empiris yaitu suatu metode pendekatan yang dipergunakan untuk memecahkan objek penelitian dengan meneliti data sekunder terhadap data primer di lapangan, karena hukum yang pada kenyataannya dibuat dan ditetapkan oleh manusia yang hidup dalam
43
Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan, Pasal 9
ayat (1) b.
44 45
Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996, Pasal 61 ayat (1) a, d. Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001,
hlm. 38.
Universitas Sumatera Utara
29
masyarakat.46 Dalam penelitian ilmu hukum empiris merupakan penelitian atau pengkajian yang sistematis, terkontrol, kritis dan empiris terhadap dugaan-dugaan dan pertanyaan-pertanyaan mengenai perilaku hukum masyarakat yang merupakan fakta sosial. Penelitian ini berbasis pada ilmu hukum normatif, tetapi bukan mengkaji mengenai sistem norma dalam peraturan perundangan, namun mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat. Penelitian ini juga sering disebut sebagai penelitian bekerjanya hukum (law in action).47 2. Jenis dan Sumber Data Pada penelitian hukum, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku sampai dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah.48 Dalam penelitian ini data sekunder yang digunakan, yaitu: a. Bahan-bahan hukum primer, yaitu berhubungan dengan Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Peraturanperaturan yang berkaitan dengan perjanjian.
46 Mukti Fajar Nurdewata, et.al, Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 43. 47 Ibid, hal. 47. 48 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 23.
Universitas Sumatera Utara
30
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian, artikel, buku-buku referensi, media informasi lainnya. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi pentunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, berupa kamus hukum, kamus umum, dan jurnal. 3. Alat Pengumpul Data Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini diperoleh melalui alat pengumpul data dengan cara sebagai berikut: a. Studi kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan data dengan melakukan penelaahan kepada bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. b. Wawancara dengan nara sumber, yaitu Marketing Manager PT.Eka Sukma Tour dan Sales Manager Hotel JW Marriot Medan. Wawancara dilakukan dengan berpedoman pada pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu. 4. Analisis Data Setelah diperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier, maka dilakukan inventarisir dan penyusunan secara sistematik, kemudian diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif, yakni berpikir dari hal
Universitas Sumatera Utara
31
yang umum menuju kepada hal yang khusus atau spesifik dengan menggunakan perangkat normatif sehingga dapat memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dan tujuan penelitian.
Universitas Sumatera Utara