BAB II KONSEP ASH SHULHU DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Dalam pengertian bahasa Ash Shulhu adalah memutus pertengkaran atau perselisihan. Dan dalam pengertian syari’at adalah suatu jenis akad untuk mengakhiri perlawanan antara dua orang yang berlawanan.1 Dalam perspektif Islam arbitrase dapat disepadankan atau disamakan dengan istilah tahkim. Tahkim berasal dari kata kerja hakama. Secara etimologi, kata itu berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa.2 Abu Al-‘Ainain Abdul Fatah Muhammad dalam bukunya yang berjudul Al-Qadla Wa Al-Itsbat Fi Al Fiqih Al Islami menyebut definisi tahkim sebagai berikut : “Bersandarnya dua orang yang bertikai kepada seseorang yang mereka ridai keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian mereka” Abdul Karim Zaidan. Seorang pakar hukum Islam berkebangsaan Irak, dalam bukunya Nidzam Al-Qadla Fi Asy-Syari’at Al-Islamiyah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tahkim adalah : “Pengangkatan atau penunjukan secara suka rela dari dua orang yang bersengketa akan seseorang yang mereka percaya untuk menyelesaikan sengketa antara mereka”.3
1
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, Bandung : Al- Ma’arif, 1987, hlm. 211 Rahmat Rosyadi, Arbitrase Dalam Perspektif Islam Dan Hukum Positif, Bandung, Citra Aditya Bhakti, 2002, hlm. 43. 3 Satria Effendi M. Zein, Arbitrase Dalam Syariat Islam, Dalam Abdul Rahman Saleh, Arbitrase lslam Di Indonesia, Jakarata, Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, 1994, hlm. 8 2
14
15
Menurut para ulama didefinisikan sebagai berikut : 1. Menurut Imam Tiqiy Al Din Abu Bakr.4 Ibnu Muhammad Al Husaini dalam kitab Kifayatul Akhyar Ash Shulhu adalah:
ﺍﻟﻌﻘﺪ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻨﻘﻄﻊ ﺑﻪ ﺣﺼﻮﻣﺔ ﺍﳌﺘﺨﺎﺻﻤﲔ Artinya : “Akad yang memutuskan perselisihan dua pihak yang berselisih” 2. Hashby Assyiddiqie dalam bukunya Pengantar Fikih Muamalah5 berpendapat bahwa yang dimaksud Ash Shulhu adalah :
ﻋﻘﺪ ﻳﺘﻔﻖ ﻓﻴﻪ ﺍﳌﺘﻨﺎﺯﻋﺎﻥ ﰲ ﺣﻖ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻳﺮﺗﻔﻊ ﺑﻪ ﺍﻟﱰﺍﻉ Artinya :”Akad yang disepakati dua orang yang bertengkar dalam hak untuk melaksanakan sesuatu, dengan akad tersebut dapat hilang perselisihan” 3. Menurut Syeih Ibrahim Al Bajuri yang dikutip oleh Said Agil Husen AlMunawar 6dituliskan bahwa yang dimaksud Ash Shulhu adalah:
ﻋﻘﺪ ﳛﺼﻞ ﺑﻪ ﻗﻄﻌﻬﺎ Artinya : ”Akad yang berhasil memutuskannya” Sedangkan pengertian menurut terminologi, para pakar hukum Islam dari empat mazhab berbeda pendapatnya7 : a) Menurut Hanafiah Memisahkan persengketaan dan memutuskan pertikaian
ﺍﳊﻜﻢ ﺑﲔ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﺎﳊﻖ ﻭﺍﺣﻜﻢ ﲟﺎ ﺃﺗﺰ ﻝ ﺍﷲ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ "Menetapkan hukum antara manusia dengan yang hak dan dengan apa yang ditentukan oleh Allah SWT.” 8 4 Imam Taqiy Al Din Abu Bakr Bin Muhammad, Kifayatul Akhyar, Semarang, Toha Putra, hlm. 271 5 Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hlm. 21 6 Said Agil Husain Al Munawar, Pelaksanaan Arbitrase Di Dunia Islam,Dalam Abdul Rahman Saleh, Op. Cit, hlm. 45 7 Ibid, hlm. 48-50 8 Ibid, hlm 48
16
b) Menurut Malikiah
ﺣﻘﻴﻘﺔ ﺍﻟﻘﻀﺎﺀ ﺍﻷﺧﺒﺎﺭ ﻋﻦ ﺣﻜﻢ ﺷﺮﻋﻲ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻷﻟﺰﺍﻡ “Hakikat qadla adalah pemberitaan terhadap hukum syar’i menurut jalur yang pasti(mengikat)” 9 c) Menurut Syafi’iah
ﻓﺼﻞ ﺍﳋﺼﻮﻣﻪ ﺑﲔ ﺧﺼﻴﻤﲔ ﻓﺄﻛﺜﺮ ﲝﻜﻢ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ “ Memisahkan pertikaian antara pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah SWT ”10 d) Menurut Hambaliah
ﺗﺒﻴﻴﻨﻪ ﻭﺍﻹﻟﺰ ﺍﻡ ﺑﻪ ﻭﺻﻞ ﺍﳋﺼﻮﻣﺎﺕ “Penjelasan dan kewajibannya, serta penyelesaian persengketaan”11 Jadi yang dimaksud hakam di sini adalah siapa yang berhak mengeluarkan hukum atau perbuatan-perbuatan, bukan pemegang kekuasaan. B. Dasar Hukum Ash Shulhu Perdamaian dalam syari’at Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan perdamaian akan terhindarlah kehancuran silaturrahim (hubungan
kasih
sayang) sekaligus permusuhan diantara pihak-pihak yang bersengketa akan dapat diakhiri.12 Adapun dasar hukum anjuran diadakannya perdamaian dapat dilihat dalam ketentuan Al Qur’an, Sunnah rasul dan ijma’ :
9
Ibid, hlm 49 Ibid 11 Ibid,hlm 50 12 suhrawardi K. Lubis. Hukum ekonomi Islam, Jakarta, sinar grafindo, 2000, hlm 178 10
17
1. Al Qur’an Menurut Rahmat Rosyadi dalam bukunya Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif mengatakan bahwa al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama memberikan petunjuk kepada manusia apabila terjadi sengketa para pihak, apakah dibidang politik, keluarga atau bisnis, terdapat dalam surat Al-Hujurat : 9
ﻋﻠﹶﻰ ﺎﻫﻤ ﺍﺣﺪ ﺖ ِﺇ ﻐ ﺑ ﺎ ﹶﻓﺈِﻥﻬﻤ ﻨﻴﺑ ﻮﺍﺻِﻠﺤ ﺘﻠﹸﻮﺍ ﹶﻓﹶﺄﺘﲔ ﺍ ﹾﻗ ﺆ ِﻣِﻨ ﻦ ﺍﹾﻟﻤ ﺎ ِﻥ ِﻣﻭﺇِﻥ ﻃﹶﺎِﺋ ﹶﻔﺘ ﺎﻬﻤ ﻨﻴﺑ ﻮﺍﺻِﻠﺤ ﺕ ﹶﻓﹶﺄ ﻣ ِﺮ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﻓﺈِﻥ ﻓﹶﺎﺀ ﺗﻔِﻲ َﺀ ِﺇﻟﹶﻰ ﹶﺃ ﻰﺣﺘ ﺒﻐِﻲﺗ ﻯ ﹶﻓﻘﹶﺎِﺗﻠﹸﻮﺍ ﺍﱠﻟﺘِﻲﺧﺮ ﺍﹾﻟﹸﺄ ﲔ ﺴ ِﻄ ِ ﹾﻘ ﺍﹾﻟﻤﺤﺐ ِ ﻳ ﻪ ﺴﻄﹸﻮﺍ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﱠﻠ ِ ﻭﹶﺃ ﹾﻗ ﺪ ِﻝ ﻌ ﺑِﺎﹾﻟ Artinya : “Dan jika ada golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah SWT, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah allah), maka damaikanlah antara keduaya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang berlaku adil” ( Q.S Hujurat : 9 ).13 Ditegaskan lagi dalam surat an-Nisa : 35
ﺍﻳﺮِﻳﺪ ﺎ ِﺇ ﹾﻥﻫِﻠﻬ ﻦ ﹶﺃ ﺎ ِﻣﺣ ﹶﻜﻤ ﻭ ﻫِﻠ ِﻪ ﻦ ﹶﺃ ﺎ ِﻣﺣ ﹶﻜﻤ ﻌﺜﹸﻮﺍ ﺑﺎ ﻓﹶﺎﻴِﻨ ِﻬﻤﺑ ﻕ ﻢ ِﺷﻘﹶﺎ ﺘﻭِﺇ ﹾﻥ ِﺧ ﹾﻔ ﺍﺧِﺒﲑ ﺎﻋﻠِﻴﻤ ﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺎ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻬﻤ ﻨﻴﺑ ﻪ ﻮﱢﻓ ِﻖ ﺍﻟﱠﻠ ﺎ ﻳﺻﻠﹶﺎﺣ ِﺇ "Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan, jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi Taufik kepada suami istri itu, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal"14
13
Depag RI, Al Qur’an Dan Terjemahnya, Semarang ; Toha Putra, 1989, hlm. 846 14
Ibid, hlm. 123.
18
2. As Sunah Sebagai sumber kedua dari ajaran Islam, hadis Rasul juga menunjukan. Adalah peluang untuk menyelesaikan sengketa tanpa melalui badan peradilan pemerintah, dalam salah satu hadis yang diriwayatkan Tirmidzi dari Umar Bin Auf Al Muzani R A.
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﳊﺴﻦ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ ﺍﳋﻼﻝ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﻋﺎﻣﺮ ﺍﻟﻌﻘﺪﻱ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻛﺜﲑ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﻋﻮﻑ ﺍﳌﺰﱐ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺼﻠﺢ ﺟﺎﺋﺰ ﺑﲔ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﺇﻻ ﺻﻠﺤﺎ ﺣﺮﻡ ﺣﻼﻻ ﺃﻭ ﺃﺣﻞ ﺣﺮﺍﻣﺎ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ.ﻭﺍﳌﺴﻠﻤﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺷﺮﻭﻃﻬﻢ ﺇﻻ ﺷﺮﻃﺎ ﺣﺮﻡ ﺣﻼﻻ ﺃﻭ ﺃﺣﻞ ﺣﺮﺍﻣﺎ .ﻋﻴﺴﻰ ﻫﺬﺍ ﺣﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ ﺻﺤﻴﺢ 15
“Hasan bin 'Ali al-Khalal menceritakan kepada kami, Abu 'Amir al'Aqadiy menceritakan kepada kami, Katsir bin Abdillah bin Amru bin Auf al-Muzanniy menceritakan kepada kami dari ayahnya, dari kakeknya bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: Perjanjian antara orang-orang muslim itu boleh, kecuali perjanjian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal dan (muamalah) orangorang muslim itu berdasarkan syarat-syarat mereka kecuali syarat itu mengharamkan yang halal datau menghalalkan yang haram. Abu Isa berkata bahwa hadits ini hasan shahih.” 3. Ijma Ulama Ijma ulama sebagai sumber hukum Islam yang ketiga telah memperkuat tentang adanya lembaga arbitrase Islam untuk mengantisipasi persengketaan para pihak dalam berbagai aspek kehidupan. Penyelesaian sengketa setelah wafat rasullullah Saw. Banyak dilakukan pada masa sahabat dan ulama untuk menyelesaikan sengketa dengan cara mendamaikan para pihak melalui musyawarah dan konsensus diantara
15
At-Turmudzi, Sunan at-Turmudzi: Kitab al-Ahkam 'An Rasulillah, dalam Mausu'at alHadits al-Syarif, Global Islamic Software Company, 2000, Versi II, Hadits no. 1272
19
mereka sehingga menjadi yurisprudensi hukum Islam dalam beberapa kasus. Keberadaan ijma sahabat atau ulama sangat dihargai dan tidak ada yang menentangnya, karena tidak semua masalah sosial keagamaan tercantum dalam Al Qur’an dan As-sunah secara terinci. Bahkan Sayyidina Umar Ibnu Khatab16 pernah mengatakan bahwa : “Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian diantara mereka” C. Syarat dan Rukun Ash Shulhu 1. Syarat-Syaratnya Syarat-syarat Shulh ini ada yang berhubungan dengan mushalih bihi dan ada pula yang berhubungan dengan mushalih ‘anhu. Untuk syarat mushalih, adalah orang yang tindakannya dinyatakan sah secara hukum.17 Orang yang melakukan perjanjian perdamaian, selain cakap bertindak menurut hukum, juga harus orang yang mempunyai kekuasaan atau mempunyai wewenang untuk melepaskan haknya atas halhal yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut. Adapun orang yang cakap bertindak menurut hukum tetapi tidak mempunyai kekuasaaan atau wewenang itu seperti : a. Wali, atas harta benda orang yang berada dibawah perwaliannya. b. Pengampu, atas harta benda orang yang berada di bawah pengampuannya.
16 17
Rahmat Rosyadi, Op, Cit, hlm. 48 Sayyid Sabiq, Op, Cit, hlm, 213
20
c. Nadzir (pengawas) wakaf, atas hak milik wakaf yang ada di bawah pengawasannya.18 Syarat-syarat mushalih bihi adalah : 1) Bahwa
ia
berbentuk
harta
yang
dapat
dinilaikan,
dapat
diserahterimakan atau berguna. 2) Bahwa ia diketahui secara jelas sekali, sampai pada tingkat adanya kesamaran
dan
ketidakjelasan
yang
dapat
membawa
kepada
perselisihan, jika memerlukan penyerahan dan penerimaan. Syarat-syarat Mushalih ‘Anhu adalah : (a) Bahwa ia berbentuk harta yang dapat dinilaikan atau barang yang bermanfaat.dan
tidak
disyaratkan
mengetahuinya
karena
tidak
memerlukan penyerahan. (b) Bahwa ia termasuk hak manusia, yang boleh di’iwadukan (diganti) sekalipun berupa harta, seperti Qishas. Adapun dalam kaitannya dengan hak-hak Allah SWT, maka tidak boleh.19 Dalam ketentuan hukum Indonesia, perjanjian perdamaian itu hanya
sebatas
persoalan-persoalan
yang
menyangkut
hubungan
keperdataan (hal-hal yang menyangkut hubungan antara individu dengan individu lain), Sedangkan terhadap persolan-persoalan yang melanggar ketentuan hukum pidana (seperti pencurian, pembunuhan) tidak dapat diadakan perjanjian perdamaian, karena hal itu merupakan kewenangan
18 19
Suhrawardi K. Lubis, Op Cit, hlm. 180-181 Sayyid Sabiq, Op, Cit, hlm. 215
21
publik atau masyarakat. Jadi, kalaupun diadakan perdamaian tidak berarti hapus atau berakhirnya penuntutan.20 2. Rukun Rukun Ash Shulhu adalah ijab dan qabul, yakni dengan lafadz apa saja yang dapat menimbulkan perdamaian.21 Seperti ucapan si terdakwa: aku berdamai denganmu; kubayar hutangku yang lima puluh dengan seratus. Dan pihak lain berkata : telah aku terima, dapat pula dengan kalimat-kalimat lain yang serupa dengan itu.22 Adapun yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian perdamaian dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1) Menyangkut subyek (pihak-pihak yang mengadakan perjanjian perdamaian) Tentang subjek atau orang yang melakukan perdamaian haruslah orang yang cakap bertindak menurut hukum, adapun orang yang cakap bertindak menurut hukum adalah orang yang telah dewasa menurut hukum.23
20
Suhrawardi k. lubis, Op, Cit, hlm. 182 sayyid sabiq, Op Cit, hlm 212 22 Ibid 23 Menurut B.W., orang dikatakan masih di bawah umur apabila ia belum mencapai usia 21 tahun, kecuali jika ia sudah kawin. Kalau ia sudah kawin ia tidak akan menjadi orang yang dibawah umur lagi, meskipun perkawinannya itu diputuskan sebelum ia mencapai usia 21 tahun itu. Selanjutnya menurut B.W. Seorang perempuan yang telah kawin pada umumnya juga tidak diperbolehkan bertindak sendiri dalam hukum, tetapi harus dibantu oleh suaminya. Ia termasuk golongan orang yang oleh hukum dianggap kurang cakap untuk bertindak sendiri. Selain itu, di dalam B.W. terdapat berbagai pasal yang secara khusus memperbedakan antara kecakapankecakapan orang lelaki dan orang perempuan misalnya : 1. Seorang perempuan dapat kawin, jika ia sudah berumur 15 tahun dan seorang lelaki jika ia sudah berumur 18 tahun 21
22
2) Menyangkut obyek perdamaian. Tentang obyek perdamaian haruslah memenuhi ketentuan sebagai berikut : (a) Berbentuk harta (dapat berupa benda berwujud seperti tanah dan dapat juga berupa benda tidak berwujud seperti hak milik intelektual)
yang
dapat
dinilai
atau
dihargai,
dapat
diserahterimakan, dan bermanfaat. (b) Dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidakjelasan, yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian yang baru terhadap obyek yang sama (sedangkan perdamaian memutus pertikaian untuk selama-lamanya) 3) Persoalan yang boleh didamaikan. Tidaklah segala sesuatu persoalan dapat didamaikan (diadakan perjanjian perdamaian). Adapun persoalan atau pertikaian yang boleh atau dapat didamaikan hanyalah sebatas menyangkut hal-hal berikut : a) Pertikaian itu berbentuk harta yang dapat dinilai b) Pertikaian itu menyangkut hak manusia yang boleh digeluti Dalam perkataan lain perjanjian perdamaian hanya sebatas persoalan-persoalan muamalah(hukum privat, pen), sedangkan
2. Seorang perempuan tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinan diputuskan, sedangkan untuk seorang lelaki tidak terdapat larangan semacam ini 3. Seorang lelaki baru diperbolehkan mengakui seorang anaknya, jika ia sudah berusia paling sedikit 19 tahun, sedangkan untuk seorang perempuan tiada suatu pembatasan (Undangundang perkawinan menetapkan usia 18 tahun sebagai usia kedewasaan, yaitu pasal 50). Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, 1994, hlm 20-21
23
persoalan-persoalan yang menyangkut hak Allah SWT tidak dapat diadakan perdamaian.24 D. Macam-Macam Ash Shulhu Dalam Hukum Islam Menurut Muhibin aman aly dalam bukunya Mengenal Istilah Dan Rumus Fuqaha, membagi perdamaian menjadi empat macam yakni: 1. Perdamaian antara muslim dengan kafir Yakni membuat perjanjian untuk meletakan senjata dalam masa-masa tertentu secara bebas atau dengan cara mengganti kerugian yang diatur dalam Undang-undang yang telah disepakai kedua belah pihak. 2. Perdamaian antara kepala negara dengan pemberontak. Yaitu membuat perjanjian atau peraturan yang harus ditaati mengenai keamanan. 3. Perdamaian antara suami istri Yaitu membuat perjanjian mengenai pembagian nafkah 4. Perdamaian dalam bidang muamalah Yaitu membentuk perdamaian dalam masalah yang ada kaitannya dalam perselisihan yang terjadi dalam masalah muamalah.25 Menurut Mustafa Dilbulbigha, dalam bukunya Fiqh Syafi’i membagi ash shulhu menjadi dua yaitu Ash Shulhu Ibra’ dan ash shulhu muawadhah. Ash shulhu ibra’ adalah mengurangkan hak dengan pembayaran sebagian. Perdamaian ini tidak boleh dengan adanya
24
Suhrawardi K. Lubis, Op, Cit, hlm. 181-183 Muhibin Aman Aly, Mengenal Istilah Dan Rumus Fuqaha: Kediri, Madrasah Hidayatul Mubtadiin, 2002, hlm. 65 25
24
persyaratan. Ash shulhu muawadhah adalah menggantikan suatu hak yang lain. Perdamaian ini boleh dengan persyaratan, seperti jual beli.26 Sedangkan menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fikih Sunah 13 membagi ash shulhu menjadi beberapa bagian : a) Shulhu tentang ikrar Adalah bahwa seorang mendakwa orang lain yang berhutang, atau adanya materi atau manfaat pada si terdakwa. Kemudian si terdakwa mengakui hal tersebut. Lalu mereka bershulh, bahwa pendakwa mengambil sesuatu dari si terdakwa. Karena manusia tidak selalu berkeberatan gugurnya semua haknya atau sebagian dari haknya. Ahmad R A. Berkata : “Kalau ada penolong, ia tidak berdosa”. Karena Nabi Saw mengajak bicara pada penagih hutang Jabir. Kemudian mereka meletakan sebagian piutangnya. Dan beliau (Rasulullah) mengajak bicara Ka’ab. Akhirnya dia mau meletakan sebagian piutangnya. Dan jika seorang mengakui berhutang uang atau barang, lalu ia bershulh dengan manfaaat seperti penempatan rumah dan pelayanan, maka hal seperti itu disebut ijarah. Yang ada ketentuannya, apabila mushalih ‘anhu meminta hak sesuatu yang diperselisihkan, adalah menjadi haknya si tergugat meminta dikembalikan Badal ash shulh, karena ia tidak dapat menyerahkan sesuatu, kecuali apa yang ada
26
Mustafa Dilbulbigha, Fiqh Syafi’i I, Cabean, CV Bintang Pelajar, 1985, hlm. 308-309
25
ditangannya. Dan apabila badal menjadi hak si tergugat kembali, si penggugat kembali meminta lagi kepada si tergugat, karena ia tidak akan membiarkan tergugat, kecuali ia dapat menyerahkan gantinya lagi. b) Shulh tentang ingkar Shuluh ingkar adalah : bahwa seseorang menggugat orang lain tentang suatu materi, atau hutang atau manfaat. Kemudian si tergugat ingkar, mengingkari apa yang digugatkan kepadanya, lalu mereka bershulh. c) Shulh tentang Sukut Shulh Sukut adalah : bahwa seseorang menggugat orang lain tentang sesuatu, kemudian yang digugat berdiam diri, tidak mengakui dan tidak mengingkari. d) Shulh tentang hutang yang ditangguhkan dengan membayar sekarang sebagian Dan tidak boleh dalam shulh yang merupakan penyelesaian secara tuntas, dari (sesuatu yang diterima) sebagian, yang pada asalnya penagguhan sebagian. Karena syarat yang tidak ada di dalam kitabullah, adalah batil. Tetapi ia adalah suatu jenis tanggungan sekarang.ia boleh menunggunya sesuai dengan keinginannya tanpa syarat. Karena merupakan perbuatan baik.
26
Ibnu Al Musayyab, Al Qasim, Malik, Asy Syafi’i dan Abu Hanifah memakruhkannya. Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Sirin, dan An Nakha’i, bahwa hal itu tidak mengapa.27
27
Sayyid Sabiq , Op,Cit, hlm 218-222