BAB II KONSEP UPAH DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM A. Pengertian Upah Secara Umum Pengertian upah secara umum dapat ditemukan dalam UndangUndang No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 1 ayat 30 yang berbunyi ”Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan (UU No 13 Tahun 2003 pasal 1 ayat 3013”. Sedangkan menurut PP no 5 tahun 2003 upah memiliki arti hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya (PP no 5 Tahun 2003 tentang UMR pasal 1 point b). Dalam konteks yang sama, upah juga diartikan sebagai imbalan dari Pengusaha kepada buruh untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, atau peraturan perundang-undangan, dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh,
13
Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, BP. Cipta Jaya, 2003,hal 5.
17
termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun keluarganya (PP No 8 tahun 1981 tentang perlindungan upah). Lebih lanjut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diuraikan upah diartikan sebagai pembalas jasa atau sebagainya pembayar tenaga kerja yang sudah dikeluarkan
untuk
mengerjakan sesuatu14. Definisi di atas hampir kesemuanya sama, dimana inti dari pengertian upah adalah hak yang harus diterima oleh tenaga kerja sebagai bentuk imbalan atas pekerjaan mereka yang kesemuanya didasarkan atas perjanjian, kesepakatan atau undang-undang, yang ruang lingkupnya mencakup pada kesejahteraan keluarganya. Lain halnya dengan Dewan Perupahan Nasional yang juga mendefinisikan upah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja.15 Sementara upah menurut pengertian barat terkait dengan pemberian imbalan kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh lepas, seperti upah buruh lepas di perkebunan kelapa sawit, upah pekerja bangunan yang
14
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), cet III, Balai Pustaka, 2003, hal
1250 15 Hendry Tandjung, KONSEP MANAJEMEN SYARIAH dalam Pengupahan Karyawan Perusahaan.i Hendry mengutip Ahmad S. Ruky, Manajemen Penggajian dan Pengupahan Karyawan Perusahaan. Gramedia Pustaka Utama (Jakarta, 2001) hal 7. Lihat .http://www.uika-bogor .ac.id/jur03.htm
18
dibayar mingguan atau bahkan harian16. Berbeda halnya dengan gaji yang menurut pengertian barat terkait dengan imbalan uang (finansial) yang diterima oleh karyawan atau pekerja tetap dan dibayarkan sebulan sekali.17 Konsep barat mendikotomikan gaji dan upah berdasar interval pembayaran. Inti yang terkandung sama dengan definisi-definisi sebelumnya. Dua pengertian antara upah dan gaji pada intinya memiliki persamaan yang mendasar yaitu balasan atau imbalan yang diberikan dari pengguna tenaga kerja kepada pemilik tenaga kerja18. Sedangkan yang membedakan
keduanya
adalah
waktu
pembayaran.
Dimana
gaji
diperuntukkan bagi mereka yang menerima tiap bulan. Sedangkan upah diperuntukkan mereka yang pekerja harian atau bulanan19. Dengan demikian dapat disimpulkan definisi upah secara umum yaitu hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk
16 Ibid .Hendry mengemukakan upah dalam barat pada dasarnya sama yaitu pembayran insentif atau kompensasi kepada karyawan. Hanya saja perbedaan terletak pada interval pembayaran tersebut. Gaji identik diberikan dalam kurun waktu bulanan sedangkan upah diberikan secara harian. Beberapa komunitas mendikotomikan diri berdasar atas interval upah yang diterima. Buruh bagi mereka yang intervalnya harian, kemudian karyawan dan pegawai bagi mereka yang bulanan. Namun pada dasarnya mereka sama yaitu golongan penerima upah. Lihat juga di http://www.geocities.com/nurrachmi/lwg/ekopol/bab3.htm 17 Ibid
18 Pemillik tenaga kerja dalam hal ini adalah pekerja atau karyawan. Sedangkan pengguna tenaga kerja adalah pengusaha. Lihat Suryadi A. Radjab Ekonomi Politik Kaum Buruh, Bandung: Labour Education Center, 2001 atau di . http://www.geocities.com/nurrachmi/lwg/ekopol/bab3.htm. pada bab3 tentang tenaga kerja, Suryadi menjelaskan definisi pemilik tenaga kerja, pengguna tenaga kerja.
19 Ibid, Pada alinea pertama Suryadi mengatakan bahwa Sebutan yang berbeda-beda itu memang kenyataan yang tak terbantahkan. Buruh cenderung dipersepsikan sebagai orang-orang yang bekerja di pabrik. Akibat persepsi yang berbeda-beda ini, orang-orang yang menerima upah dan gaji, seakan-akan secara hakiki adalah berbeda-beda. Sehingga mereka tidak merasa sebagai satu golongan yang sama, yakni golongan yang diupah dan digaji.
19
tunjangan bagi pekerja dan keluarganya yang berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan. B. Pengertian Upah Dalam Prespektif Alqur’an Dan Hadits Islam sendiri, khususnya Al qur’an hanya membahas upah secara umum. Akan tetapi, bukan berarti konsep upah tidak diatur dalam konsep syariah tetapi pembahasan tersebut dirangkum dalam bentuk filosofis yang masih membutuhkan penafsiran tersendiri. Pembahasan upah dalam Islam terkategori pada konsep ijarah. Sedangkan ijarah sendiri lebih cenderung membahas perihal sewa menyewa. Oleh karena itu, menemukan bahasan tentang upah dalam Islam relatif sedikit. Dan bila ada, semua itu hanya bersifat nilai-nilai atau norma-norma. Al Ijarah ( wage, lease, hire) arti asalnya adalah imbalan kerja (upah)20. Dalam istilah bahasa Arab dibedakan menjadi al Ajr dan al Ijarah. Al Ajr sama dengan al Tsawab, yaitu pahala dari Allah sebagai imbalan taat. Sedangkan al Ijarah : upah sebagai imbalan atau jasa kerja21. Di dalam kitab fiqh, konsep ijarah22 hanya berkisar pada persoalan sewa menyewa. Konsep sewa menyewa dalam hal ini ditekankan adanya asas manfaat. Maka dari itu, transaksi ijarah yang tidak terdapat asas manfaat hukumnya haram. Ghufron. A. Mas’adi mengatakan dalam bukunya Fiqh Muamalah
20
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid terj. Cet II, Jakarta: Pustaka Amani, 2002, hal 61 Ibid. Ibid, dalam istilah fiqh, al Ijarah (rent,rental) berarti transaksi kepemilikan manfaat barang/harta dengan imbalan tertentu. Mempersewakan ialah akad atas manfaat (jasa) yang dimaksud lagi diketahui, dengan tukaran yang diketahui, menurut syarat-syarat yang akan dijelaskan kemudian, .Lihat H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam (cet..17), Bandung: PT Sinar Baru 1996, hal 303. Dalam Islam, upah dimasukkan dalam kaidah sewa menyewa, dimana melibatkan ajir dan mu’tajir( penyewa dan menyewakan).Dari kacamata bab ini, pengusaha dianggap sebagai pihak penyewa sedangkan pekerja dianggap sebagai pihak yang menyewakan. Hal ini bisa dilihat antara pengusaha dan karyawan yang terdapat kontrak kerja kesepakatan-kesepakatan. 21 22
20
Kontekstual, bahwa ijarah sesungguhnya merupakan sebuah transaksi atas suatu manfaat23. Dari sini konsep ijarah dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, ijarah yang memanfaatkan harta benda yang lazim disebut persewaan, misalnya rumah, pertokoan, kendaraan dan lain sebagainya. Kedua, ijarah yang mentransaksikan manfaat SDM yang lazim disebut perburuhan.24 Dalam bertransaksi ijarah dikenal adanya ajir dan mu’tajir. Dua element tersebut adalah mereka yang terlibat dalam transaksi sewa menyewa. Pengusaha dan karyawan dapat dimisalkan dengan sewa menyewa. Pihak penyewa adalah perusahaan, sedangkan pemberi sewa yaitu pemilik tenaga kerja atau yang sering disebut dengan buruh. Dalam Al qur’an, Definisi Upah tidak tercantum secara jelas. Namun pemahaman upah dicantumkan dalam bentuk pemaknaan tersirat, seperti firman Allah swt.
ﺐ ِ ﻴﻐ ﺎِﻟ ِﻢ ﺍﹾﻟﻭ ﹶﻥ ِﺇﻟﹶﻰ ﻋﺮﺩ ﺘﺳ ﻭ ﻮ ﹶﻥﺆ ِﻣﻨ ﻤ ﺍﹾﻟﻪ ﻭ ﻮﹸﻟﺭﺳ ﻭ ﻢ ﻤﹶﻠﻜﹸ ﻋ ﻪ ﻯ ﺍﻟﻠﹼﻴﺮﺴ ﻤﻠﹸﻮﹾﺍ ﹶﻓ ﻋ ﻭﻗﹸ ِﻞ ﺍ ﻤﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﻌ ﺗ ﻢ ﺘﺎ ﻛﹸﻨﺒﹸﺌﻜﹸﻢ ِﺑﻤﻨﻴﺩ ِﺓ ﹶﻓ ﺎﺸﻬ ﺍﻟﻭ Artinya: “Dan katakanlah : "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan." (At Taubah : 105).25
23
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta, Raja Grafindo, , 2002, hal 183 Ibid,Ghufron A. Mas’adi juga mengungkapkan beberapa point yang perlu ditekankan ketika masuk pada tahapan obyek ijarah. Yaitu pertama manfaat dari obyek akad harus diketahui secara jelas. Kedua obyek ijarah dapat diserah terimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya. Ketiga obyek ijarah dan pemanfaatannya haruslah tidak bertentangan dengan hukum syara’. Keempat obyek yang disewakan adalah manfaat langsung dari sebuah benda. Kelima harta benda yang menjadi obyek ijarah haruslah harta benda yang sifatnya isti’maliy yakni harta benda yang dapat dimanfaatkan berulangkali. 25 Departemen Agama, Alqur’an dan Terjemahannya,Qs, At Taubah ayat 105 24
21
Dalam menafsirkan At Taubah ayat 105 ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah sebagai berikut : “Bekerjalah Kamu, demi karena Allah semata dengan aneka amal yang saleh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu"26 Tafsiran yang dikemukakan Quraish Sihab adalah
bahwa Allah
memerintahkan kita untuk bekerja dengan baik dan bermanfaat untuk diri kita. Karena sesungguhnya Allah akan melihat apa yang kita kerjakan lalu diberikan-Nya kepada kita apa yang kita kerjakan. Inti dari penafsiran tersebut adalah perintah Allah untuk bekerja bagi diri kita dan adanya timbal balik atas pekerjaan yang dilakukan. Dengan kata lain setiap pekerjaan manusia akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Allah berfirman dalam surat Az Zumar ayat 34 yang berbunyi :
ﲔ ﺴِﻨ ِﺤ ﺍﺀ ﺍﹾﻟﻤﺟﺰ ﻚ ﻢ ﹶﺫِﻟ ﺑ ِﻬﺭ ﺪ ﺎﺀُﻭ ﹶﻥ ﻋِﻨﻳﺸ ﺎﻢ ﻣﹶﻟﻬ Artinya: “Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik” (QS. 39: 34)27 Yang kemudian pada ayat selanjutnya dijelaskan imbalan atas perbuatan baik tersebut yang berbunyi;
ﻮﺍﺴ ِﻦ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﻛﹶﺎﻧ ﺣ ﻢ ِﺑﹶﺄﺮﻫ ﺟ ﻢ ﹶﺃ ﻳﻬﺠ ِﺰ ﻳﻭ ﻋ ِﻤﻠﹸﻮﺍ ﻮﹶﺃ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﺳ ﻢ ﹶﺃ ﻬ ﻨﻋ ﻪ ﺮ ﺍﻟﱠﻠ ﹶﻜ ﱢﻔِﻟﻴ ﻤﻠﹸﻮﻥ ﻌ ﻳ 26 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Tafsir Al Mishbah Kesan dan Keserasian Al Qur’an, (vol 5), Jakarta:: Lentera Hati, 2002, hal 670 27 Ibid, Surat Az Zumar ayat 34
22
َArtinya : “agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. 39:35)28 Kedua ayat di atas merupakan janji dari Allah kepada hamba-Nya yang bertaqwa. Makna yang berbunyi “…membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” merupakan wujud bahwa upah juga tertera dalam Al qur’an meski secara eksplisit. Dengan begitu, bisa ditarik kesimpulan bahwa manusia dalam bekerja akan mendapatkan ganjaran atau balasan yang setimpal. ”Ganjaran” pada konteks ini sama artinya dengan upah (compensation). Lebih jelasnya, upah dalam Islam diartikan sebagai hak pekerja yang diterima sebagai imbalan atau ganjaran dari seseorang penyewa tenaga kerja (pengusaha) kepada pemberi sewa atau pemilik tenaga kerja (pekerja) atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan sesuai dengan kadar pekerjaan yang dilakukan. C. Konsep Upah Dalam Kaca Mata Syariah 1. Tujuan Kerja dan Bentuk Kerja Seperti yang telah penulis uraikan diatas dimana pada surat Az Zumar ayat 34 yang makna kandunganya ” “Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orangorang yang berbuat baik” menggambarkan adanya balasan bagi orangorang yang berbuat baik (Muhsinin).
28
Ibid, Surat Az Zumar ayat 35
23
Kata (ﺴِﻨﲔ ِﺤ )ﺍﹾﻟﻤmuhsinin terambil dari kata () ﺍﺣﺴﺎﻥihsan. Rasul saw. menjelaskan makna ihsan sebagai “Menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan bila itu tidak tercapai maka yakinlah bahwa Dia melihatmu”. Dengan demikian perintah ihsan bermakna perintah melakukan segala aktivitas positif seakan-akan Anda melihat Allah atau paling tidak selalu merasa dilihat dan diawasi oleh-Nya. Kesadaran akan pengawasan melekat itu, menjadikan seseorang selalu ingin berbuat sebaik mungkin, dan memperlakukan pihak lain lebih baik dari perlakuannya terhadap anda29. Muhsin yang dimaksud Quraish Shihab dalam bukunya Tafsir Al Mishbah manusia yang beperilaku positif baik yang sifatnya duniawi maupun ukhrawi. Artinya seseorang yang akan mendapatkan balasan dan Allah swt. ialah mereka yang senantiasa melakukan aktivitas positif di dunia maupun Akhirat. Hal ini terkait juga pada jenis pekerjaan yang mereka lakukan dan motivasi yang ada dalam diri manusia. Diperkuat lagi dengan penafsiran Quraish Shihab atas Surat At Taubah ayat 105 seperti yang tertera diatas yaitu “Bekerjalah Kamu, demi karena Allah semata dengan aneka amal yang saleh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu30 Quraish Shihab menekankan makna “Bekerjalah kamu, demi karena Allah” dan lebih lanjut terdapat penafsiran yang berbunyi “ baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat” , yang intinya adalah motivasi yang diharapkan pada diri manusia adalah untuk mendapatkan kebaikan di dunia dengan bekerja yang baik dan ridlo Allah swt. agar bahagia pula kehidupan di akhirat nanti. 29 30
Ibid, (vol 12). hal 228. Ibid,(vol 5) hal 670
24
Allah berfirman dalam surat Al Jum’ah ayat 9 yang berbunyi:
ﻊ ﻴﺒﻭﺍ ﺍﹾﻟﻭ ﹶﺫﺭ ﺍ ِﺇﻟﹶﻰ ِﺫ ﹾﻛ ِﺮ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪﻌﻮ ﺳ ﻌ ِﺔ ﻓﹶﺎ ﻤﻮ ِﻡ ﺍﹾﻟﺠ ﻳ ﺼﻠﹶﺎ ِﺓ ﻣِﻦ ﻮﺩِﻱ ﻟِﻠﻮﺍ ِﺇﺫﹶﺍ ﻧﻣﻨ ﻦ ﺁ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ ﻮ ﹶﻥﻌﹶﻠﻤ ﺗ ﻢ ﺘﻢ ﺇِﻥ ﻛﹸﻨ ﺮ ﱠﻟ ﹸﻜ ﻴﺧ ﻢ ﹶﺫِﻟﻜﹸ Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” Makna yang terkandung dalam surat tersebut adalah perintah adanya keseimbangan
antara
kebutuhan
duniawi
dan
kebutuhan
ukhrawi.
Kewajiban seseorang untuk meninggalkan jual beli merupakan perintah bagi umat untuk meninggalkan sejenak pekerjaan mereka dan kemudian melakukan perintah Allah yaitu shalat Jum’at. Titik tekan yang bisa diambil pada makna ayat tersebut adalah adanya kesamaan arti penting dalam bekerja. Yaitu mencari kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Hal ini semakin memperjelas bahwa Islam mengenal dua dimensi dalam bekerja yaitu dunia dan akhirat. Sementara itu, Taqyuddin An Nabhani dalam bukunya Membangun Konsep Alternatif Prespektif Islam mengatakan bahwa setiap pekerjaan yang halal, maka hukum mengontraknya juga halal.31
Dari ungkapan
Taqyuddin, maka bisa kita ambil pemahaman bahwa kehalalan bertransaksi menurut Islam juga dipandang dari segi jenis pekerjaan. Karena merupakan larangan bagi kaum muslimin mengontrak jasa untuk melakukan hal-hal yang diharamkan. Sehingga tidak diperbolehkan mengontrak seorang ajir 31 Taqyuddin An Nabhani, Membangun Konsep Ekonomi Alternatif Prespektif Islam terj.cet II, Surabaya: Risalah Gusti 1996, hal 85
25
untuk mengirim minuman keras kepada pembeli, serta mengontrak untuk memerasnya atau mengangkut babi dan bangkai.32 Selain Itu Taqyuddin juga mengutip hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi yang artinya berbunyi : ”Rasulullah s.a.w melaknat dalam masalah khamar sepuluh orang, yaitu: pemerasnya, orang yang diperaskan, peminumnya, pembawanya, orang yang dibawakan, orang yang mengalirkannya, penjualnya, pemakan keuntungannya, pembeilnya termasuk orang yang dibelikan.”33 Kutipan hadits tersebut menjelaskan larangan bentuk kerja tidak tergolong haram atau tidak bertentangan.dengan prinsip syariah. Berkaitan
dengan
bentuk
kerja
dalam
akad
Ijarah
yang
mentransaksikan seorang pekerja atau buruh, maka harus terpenuhi beberapa persyaratan seperti yang diungkapkan Ghufron A. Mas’adi Pertama, perbuatan tersebut harus jelas batas waktu pekerjaan, misalnya bekerja menjaga rumah satu malam, atau satu bulan. Dan harus jelas jenis pekerjaannya, misalnya pekerjaan menjahit baju, memasak, mencuci dan lain sebagainya. Dalam hal yang disebutkan terakhir ini tidak disyaratkan adanya batas waktu pengerjaannya. Pendek kata, dalam hal ijarah pekerjaan, diperlukan adanya job discription (uraian pekerjaan). Tidak dibenarkan mengupah seorang dalam periode waktu tertentu dengan ketidakjelasan pekerjaan. Sebab ini cenderung menimbulkan tindakan kesewenangan yang memberatkan pihak pekerja. Seperti yang dialami oleh pembantu rumah tangga dan pekerja harian. Pekerja yang harus mereka laksanakan bersifat tidak jelas dan tidak terbatas. Seringkali mereka harus mengerjakan apa saja yang diperintahkan bos atau juragan. Kedua, pekerjaan yang menjadi obyek ijarah tidak berupa pekerjaan yang telah menjadi kewajiban pihak musta’jir (pekerja) sebelum berlangsung akad ijarah, seperti kewajiban membayar hutang, mengembalikan pinjaman, menyusui anak dan lain-lain. Demikian pula tidak sah mengupah perbuatan ibadah seperti shalat, puasa dan 32 33
Ibid, hal 92 Ibid ,
26
lain-lain. Sehubungan dengan prinsip ini terdapat perbedaan pendapat mengenai ijarah terhadap pekerjaan seorang mu’adzin (juru adzan) imam, dan pengajar al Qur’an, memandikan jenazah. Menurut Fuqaha Hanafiyah dan Hanabilah tidak sah. Alasan mereka perbuatan tersebut tergolong pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah.34 Dengan penjelasan yang diatas, maka bisa digarisbawahi bahwa jenis obyek atau bentuk ijarah haruslah jelas. Baik dari jenis pekerjaan, tujuan dan waktu pengerjaannya. Hal ini ditujukan untuk mengantisipasi munculnya praktek kesewenang-wenangan terhadap kaum buruh atau pekerja. Menurut Hasan Raid (2001), diharamkannya memakan darah yang mengalir tidak semata bermakna memakan darah dalam arti dhahir. Hasan Raid menafsirkan Surat al An’am/6: 145 lebih jauh : menghisap dan memeras sesama manusia pada prakteknya memakan darah yang mengalir dalam tubuh manusia yang dihisap dan diperas. Hal ini bisa dikiaskan pada konsep ekonomi kapitalistik yang diperoleh dengan menumpuk modal dan menghisap tenaga buruh.35 Peras-memeras dalam lingkup perburuhan kerap terjadi. Tanpa disadari dalam lingkup perusahaan terjadi praktek yang bertentangan dengan Islam, yakni menganggap kaum pekerja dibawah kekuasaan dan menjadikan komunitas buruh sebagai mesin penggerak yang menghasilkan produk perusahaan. Realitas ini menurut Hasan Raid yang mengqiyaskannya dengan memakan darah yang mengalir seperti dalam surat al An’am ayat 145. Oleh karena itu perlu dibatasi 34
Ghufron A.Mas’adi, op.cit, hal 185-186 Anom Surya Putra SH, dalam makalahnya Man Ista’jara ajran falyu’alimhu ajrahu, makalah yang disampaikan Anom merupakan bahasan mengenai nilai-nilai Islam erat kaitannya dengan konsep upah secara riil, lihat di http://www.nu.or.id/data_detail.asp?id_data=308&kategori=KOLOM 35
27
ruang gerak pengusaha dengan point persyaratan yang dikemukakan Ghufran A. Mas’adi.
2. Menjunjung Tinggi Nilai-Nilai Kemanusiaan Islam memandang upah tidak sebatas imbalan yang diberikan kepada
pekerja, melainkan terdapat nilai-nilai moralitas yang merujuk pada konsep kemanusiaan. Transaksi ijarah diberlakukan bagi seorang ajir (pekerja) atas jasa yang mereka lakukan. Sementara upahnya ditakar berdasarkan jasanya. Seperti tukang batu, hendaknya mendapatkan upah yang relatif lebih besar dibanding dengan upah seorang insinyur, mengingat kapasitas pekerjaan tukang batu lebih berat dibanding insinyur. Namun kenyataan di lapangan berbeda. Sudah menjadi kepatutan ketika tukang insinyur menerima jumlah gaji yang lebih besar. Jika kita mendikotomikan antara gaji dan upah berdasar atas harga tenaga yang mereka keluarkan, maka upah adalah harga tenaga kerja yang dikeluarkan seorang buruh per hari (delapan jam). Begitu juga, gaji adalah harga tenaga kerja yang dikeluarkan buruh per bulan. Dengan begitu, jumlah uang untuk buruh bulanan dan harian berbeda.36 Namun hal ini tidak berlaku dalam konsep ke-Islam-an. Dalam Islam penghargaan terhadap buruh sangat diutamakan. Ketika menentukan hak yang harus diterima pekerja, maka standar yang jadi patokan 36
adalah
seberapa
besar
tenaga
yang
diperlukan.
http://www.geocities.com/nurrachmi/wg/ekopol/bab3.htm Bab 3 Ekonomi Politik Kaum Buruh.
Karena
28
keseimbangan tersebut berkaitan dengan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.. tersebut
jelas,
Disyaratkan pula agar honor (upah/gaji) transaksi ijarah dengan
bukti
dan
ciri
yang
bisa
menghilangkan
ketidakjelasan.37 Selain itu penyampaian sesuatu yang menjadi hak kaum tenaga kerja juga harus lebih didahulukan dibanding yang lainnya. Seperti disebutkan dalam hadits
ﻰ ﺴﹶﻠ ِﻤ ﻴ ﹶﺔ ﺍﻟﻋ ِﻄ ﺑ ِﻦ ﺳﻌِﻴ ِﺪ ﻦ ﺑ ﻫﺐ ﻭ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻰ ﺸ ِﻘ ﻣ ﺪ ﻮﻟِﻴ ِﺪ ﺍﻟ ﻦ ﺍﹾﻟ ﺑ ﺱ ﺎﻌﺒ ﺎ ﺍﹾﻟﺪﹶﺛﻨ ﺣ -2537 ﻮ ﹸﻝﺭﺳ ﺮ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻤ ﺑ ِﻦ ﻋ ﺒ ِﺪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪﻋ ﻦ ﻋ ﻦ ﹶﺃﺑِﻴ ِﻪ ﻋ ﻢ ﺳﹶﻠ ﺑ ِﻦ ﹶﺃ ﻳ ِﺪﺯ ﻦ ﺑ ﻤ ِﻦ ﺣ ﺮ ﺍﻟﺒﺪﻋ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ 38 ﺮﻗﹸﻪ ﻋ ﻒ ﺠ ِ ﻳ ﺒ ﹶﻞ ﹶﺃ ﹾﻥ ﹶﻗﺮﻩ ﺟ ﲑ ﹶﺃ ﻋﻄﹸﻮﺍ ﺍ َﻷ ِﺟ » ﹶﺃ-ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ- » ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ. Artinya : “Dari Abdillah bin Umar, Rasulullah Saw. Bersabda: “Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya“. (HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani). Kandungan dari hadits di atas adalah kewajiban membayar sebelum keringatnya kering. Artinya, hak pekerja harus lebih didahulukan, karena menunda apa yang menjadi haknya sama halnya dengan mengebiri kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dengan begitu, unsur kemanusiaan merupakan prioritas utama yang patut dilaksanakan penyewa tenaga kepada pemberi sewa tenaga kerja.. Moralitas dalam Islam sangat dianjurkan bahkan menjadi suatu kewajiban yang harus dipenuhi. Hal ini menunjukkan bahwa selain dimensi dunia akhirat sebagai motivasi kerja, Islam juga mengkedepankan konsep 37 38
Taqyuddin An Nabhani, op.cit, hlm 89 CD Room, Mausu’ah al Hadits asy Syarif Kutubus Sittah Ibnu Majjah,Kitab Al Ruhun, bab 4 hadits ke 2537
29
moralitas yang selama ini tidak begitu diperhatikan. Hendry Tanjung mengemukakan bahwa pengupahan konsep pengupahan barat tidak menyinggung sama sekali unsur moralitas. Tanggung jawab perusahaan hanya sebatas pemberian upah dan tidak menjangkau pada sektor lainnya. Unsur moral dalam Islam tengah menjadi suatu keharusan yang harus ada ketika membahas masalah upah. Karyawan yang merupakan pekerja atau pemilik tenaga kerja, pada dasarnya berada sepenuhnya di bawah penyewa tenaga kerja atau pemilik alat tenaga kerja. Sehingga segala hal yang bersangkutan kepada kebutuhan pihak pekerja adalah tanggung jawab penyewa tenaga kerja sepenuhnya (perusahaan). Realitas semacam ini hanya ditekankan pada konsep ke-Islam-an saja. Tidak dijumpai dalam konsep upah positif (barat maupun umum) 3. Kelayakan Terhadap Karyawan Prof. Mubyarto dalam makalahnya Penerapan Ajaran Ekonomi Islam di Indonesia mengatakan ”Etika bisnis Islam menjunjung tinggi semangat saling percaya, kejujuran, dan keadilan, sedangkan antara pemilik perusahaan
dan
karyawan
berkembang
semangat
kekeluargaan
(brotherhood).”39 Dari ungkapan tersebut tersirat makna bahwa perusahaan juga harus memperlakukan pekerja seperti mereka memperlakukan dirinya
39 Prof. Mubyarto, Makalah Penerapan Ajaran Ekonomi Islam di Indonesia., Prof. Mubyarto menjelaskan bahwa perusahaan yang Islami gaji karyawan dapat diturunkan jika perusahaan benar-benar merugi dan karyawan juga mendapat bonus jika keuntungan perusahaan meningkat. Buruh muda yang masih tinggal bersama orang tua dapat dibayar lebih rendah, sedangkan yang sudah berkeluarga dan punya anak dapat dibayar lebih tinggi dibanding dengan rekan-rekannya yang muda.
30
sendiri. Realitas ini, nantinya akan mewujudkan adanya kelayakan yang seharusnya diterima karyawan. Kewajiban
untuk
menciptakan
suasana
kekeluargaan
antara
pengusaha dan karyawan tercantum dalam surat Al Hujaraat ayat 10 :
ﻮﻥﺣﻤ ﺮ ﻢ ﺗ ﻌﻠﱠﻜﹸ ﻪ ﹶﻟ ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﺍﻢ ﻭ ﻳﻜﹸﻮ ﺧ ﻦ ﹶﺃ ﻴﺑ ﻮﺍﺻِﻠﺤ ﻮ ﹲﺓ ﹶﻓﹶﺄ ﺧ ﻮ ﹶﻥ ِﺇﺆ ِﻣﻨ ﻤ ﺎ ﺍﹾﻟﻧﻤِﺇ Artinya : Sesungguhnya orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan rahmat (QS: Al Hujaraat :10)40 Makna yang terkandung dalam surat tersebut adalah kewajiban bagi umat manusia untuk menciptakan rasa kekeluargaan dalam berkehidupan sosial. Pengusaha dan karyawan merupakan satu keluarga yang harus menghormati antara satu dan yang lain. Kehidupan layak yang diperoleh oleh pengusaha hendaknya juga diperoleh oleh karyawan selaku keluarga yang ada dibawah asuhannya (pengusaha) meski takarannya tidak sama, namun pemenuhan kehidupan yang layak merupakan kewajiban yang harus dipenuhi. Kelayakan hampir sama dengan moralitas, karena kelayakan lebih luas pemahamannya dibanding dengan moralitas. Kelayakan mencakup di segala aspek, baik aspek individu atau personal sampai aspek keluarga. Selain itu, kelayakan juga melihat dari aspek norma-norma yang berlaku. Semisal kelayakan jenis pekerjaan dilihat dari aspek gender. Seringkali terjadi salah penempatan, dimana pekerjaan yang selayaknya dikerjakan 40
Departemen Agama¸ Al Qur'an dan Terjemahannya, QS. Al Hujaraat ayat 10
31
oleh pekerja laki-laki, terpaksa dikerjakan oleh pekerja atau karyawan wanita. Maka dari itu, lebih lanjut Taqyuddin An Nabhani mengatakan : Transaksi ijarah tersebut ada yang harus menyebutkan pekerjaan yang dikontrakkan saja, semisal menjahit, atau mengemudikan mobil sampai ke tempat ini, tanpa menyebutkan waktunya. Hal ini bertujuan agar akad yang dikerjakan jelas. 41 Disamping itu kelayakan juga mencakup kondisi kesejahteraan karyawan yang meliputi tercukupnya keubutuhan sandang, pangan dan papan. Seperti yang disebutkan dalam hadits :
ﻫﻢ ﺇﺧﻮﺍﻧﻜﻢ ﺟﻌﻠﻬﻢ ﺍﷲ ﲢﺖ ﺃﻳﺪﻛﻢ ﻓﺄﻃﻌﻤﻮﺍﻫﻢ ﳑﺎ ﺗﺄﻛﻠﻮﻥ ﻭﺃﻟﺒﺴﻮﻫﻢ ﳑﺎ ﺗﻠﺒﺴﻮﻥ ((ﻭﻻ ﺗﻜﻠﻔﻮﻫﻢ ﻣﺎ ﻳﻐﻠﺒﻬﻢ ﻓﺄﻥ ﻛﻠﻔﺘﻤﻮﻫﻢ ﻓﺄﻋﻴﻨﻮﻫﻢ Artinya : “ Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya)." (HR. Muslim).42 Mengambil hadits yang dikutip Hendry Tanjung dalam makalahnya Konsep Manajemen Syariah dalam pengupahan karyawan perusahaan43, maka kita akan lebih bisa memahami konsep upah secara global. Pemahaman hadits tersebut juga dijelaskan oleh Afzalur Rahman dalam bukunya "Doktrin Ekonomi Islam " bahwa :
41 42
Taqyuddin An Nabhani, Op. cit. hal 88 CD-Room, Mausu’ah al Hadits asy Syarif Kutubus Sittah Shahih Muslim Kitab Al Aiman bab 10 hadits ke 4403
43 Hendry Tanjung,l op.cit, Hendry Tanjung mengambil hadits tersebut dari kitab Mausu’ah al Hadits asy Syarif Kutubus Sittah Shahih Muslim Kitab Al Aiman bab 10, hal 969 . Lihat CD Room Mausu’ah al Hadits asy Syarif Kutubus Sittah Shahih Muslim Kitab Al Aiman bab 10 hadits ke 4405
32
1. Majikan dan pekerja harus saling mengakui satu sama lain sebagai saudara seiman dan tidak ada yang bertindak sebagai tuan dan budak. Perubahan dalam sikap majikan ini sesungguhnya akan memperbaiki hubungan diantara mereka. Manakala majikan memandang pekerjaannya dengan upah yang sesuai sehingga ia dapat menutupi semua biaya-biaya kebutuhannya. Disamping itu, pekerja akan merasa sangat berkepentingan dalam pekerjaannya dan pekerja sungguh-sungguh dengan mencurahkan kemampuan dan kekuatannya dengan sebaik-baiknya. Hasilnya, usaha tersebut akan memberikan keuntungan bagi keduanya, majikan dan pekerja dan kekayaan negara juga akan meningkat. 2. Majikan mempunyai kedudukan yang sama dengan pekerjanya dalam pemenuhan hal kebutuhan pokok manusia. Dengan kata lain, pekerja harus diberi upah yang layak yang cukup untuk menutupi kebutuhan mereka. Sebagaimana disabdakan Rasulullah saw, "Dia harus memberi makan kepada mereka sesuai apa yang dia sendiri makan dan memberi pakaian seperti apa yang dia pakai sendiri" menjadi prinsip dasar yang akan menentukan upah minimum para pekerja. Diminta kepada para majikan dari kalangan orang Islam agar mereka bermurah hati dalam pemberian upah kepada pekerja mereka sehingga mencukupi untuk memenuhi tuntutan ekonomi mereka sesuai kebutuhan zaman. Sebenarnya hadits ini menuntut "Hak mata pencaharian " para pekerja terhadap majikan agar mereka tidak terlempar ke dalam penderitaan dan kesengsaraan dari bencana kemiskinan serta kelaparan. Mereka telah bekerja dan membantu para majikan mencapai kemakmuran yang sekarang mereka nikmati, dan sebagai gantinya mereka menuntut hak dari mereka dengan upah yang layak agar keperluan mereka sehari-hari terpenuhi. Disamping itu, upah harus cukup tinggi agar mereka dapat meraih sesuatu penghidupan yang menyenangkan, sehingga dapat lebih dekat dengan majikan, paling tidak pemenuhan kebutuhan pokok mereka. 3. Seorang pekerja tidak seharusnya diberi tugas yang sangat berat dan sulit melebihi kemampuannya, atau seakan-akan pekerjaan itu memungkinkan baginya mengalami penderitaan yang besar ; dan tidak dipekerjakan berjam-jam (terlalu lama ) sehingga dapat berakibat buruk pada kesehatannya. Dengan kata lain, pekerjaan itu harus disesuaikan dengan kemampuan fisik dan waktu, sehingga tidak harus terlalu memberatkan pekerja. Jika pekerja itu diberikan tugas yang sulit dan berat maka dia harus ditunjang oleh modal dan tenaga kerja yang lebih banyak agar tugasnya lebih mudah dan ringan. Selain itu, dia harus diganti rugi
33
yang sesuai dalam bentuk upah ekstra untuk pekerjaan yang sulit dan pekerjaan yang memakan waktu lebih lama. 44 Berbeda dengan unsur moralitas yang hanya menekankan pada aspek individu atau personal. Dengan kata lain, moralitas lebih menekankan pada adanya penghargaan atas pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk tertentu seperti insentif bulanan, tunjangan dan lain sebagainya. Sedangkan kelayakan lebih menekankan pada aspek tercukupinya kebutuhan pekerja dan keluarganya serta aspek kesesuaian dengan norma-norma yang ada. Maka dari itu Islam menjadikan unsur kelayakan sebagai parameter tersendiri pada tahapan-tahapan pemberian upah kepada pekerja. 4. Adanya Keadilan Kemungkinan untuk keluhan dan ketidakpuasan itu selalu ada. Menyangkut faktor apa saja termasuk upah, jam, atau kondisi kerja sudah dan akan digunakan sebagai basis dari keluhan dalam kebanyakan perusahaan45. Munculnya keluhan sebagai dampak dari ketidakpuasan atas kebijakan perusahaan merupakan keniscayaan tersendiri. Tetapi, hal itu bisa menjadi boomerang jika perusahaan tidak segera menyikapi dengan bijaksana. Maka dari itu, perlu ada pihak yang berada pada posisi netral yang berfungsi menjadi penengah ketika ketidakpuasan terjadi.
44
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam jil II , Yogyakarta, Dana Bhakti Prima Yasa , 2002. hlm 368-370 Gary Dessler, Human Resource Management terj. Jilid 2, Jakarta, Prenhallindo: 1997 ,hal 273. Gary mengemukakan perlakuan adil yang dijamin adalah program majikan yang bertujuan untuk memastikan bahwa semua karyawan diperlakukan secara adil, umumnya dengan memberikan sarana yang dirumuskan, terekomendasi dengan baik, dan terpublikasi yang melaluinya karyawan dapat memperoleh soal-soal yang dipilih. 45
34
Adil selain artinya yang luas juga aspek yang tercakup tidaklah sempit. Hampir semua aspek selalu terkait adanya unsur adil. Karena adil merupakan satu unsur yang sifatnya crusial dan sering menjadi pemicu konflik intern perusahaan. Sangat bagi kita menentukan keadilan ketika berbicara mengenai perbedaan upah buruh atau karyawan. Seperti yang telah terpapar diatas, bahwa hubungan antara pengusaha dan karyawan adalah
kekeluargaan,
kemitraan
dan
keduanya
tercipta
simbiosis
mutualisme. Maka dari itu, tidak boleh satu pihak mendzalimi dan merasa didzalimi oleh pihak lainnya.46 Keduanya saling membutuhkan dan diantaranya harus tercipta rasa saling menguntungkan. Dalam hal ini konsep keadilan menjadi hal mutlak yang haru dipenuhi. Allah berfirman dalam surat Al Ahqaf
ﻮ ﹶﻥﻳ ﹾﻈﹶﻠﻤ ﻢ ﻟﹶﺎ ﻫ ﻭ ﻢ ﻬ ﺎﹶﻟﻋﻤ ﻢ ﹶﺃ ﻴﻬﻮﱢﻓ ﻭِﻟﻴ ﻋ ِﻤﻠﹸﻮﺍ ﺎﻣﻤ ﺕ ﺎﺭﺟ ﺩ ﻭِﻟﻜﹸ ﱟﻞ Artinya: “Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan." (QS. Al-Ahqaf : 19).47 Ayat di atas merupakan perintah bagi kita untuk senantiasa berbuat adil di dunia. Dengan perintah membagi ”derajat” menurut apa yang telah
46 Hadi Sutjipto, SE,M.Si, Politik Ketenagakerjaan Dalam Islam, Hubungan ketenagakerjaan di dalam pandangan Islam adalah hubungan kemitraan. Tidak booleh satu pihak menzalimi dan merasa dizalimi oleh pihak lainnya. Oleh karena itu kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja adalah kontrak kerjasama yang saling menguntungkan. Pengusaha diuntungkan karena ia memperoleh jasa dari pekerja untuk melaksanakan pekerjaan tertentu yang dibutuhkannya. Sebaliknya, pekerja diuntungkan karena ia memperoleh penghasilan dari imbalan yang diberikan pengusaha karena ia memberikan jasa kepadanya. Lihat http://hizbut-tahrir.or.id/main.php?page=alwaie&id=149 47 Departemen Agama, Op.Cit, Surat Al Ahqaf
35
mereka kerjakan merupakan hal nyata bahwa Islam menekankan konsep adil dalam bermuamalat. Inti dari kesemuanya adalah terjaganya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Sehubungan dengan perwujudan pengalaman pancasila dalam HIP (Hubungan Industrial Pancasila), maka perlu mengupayakan adanya kondisi yang serasi seimbang dan selaras. Kondisi yang serasi antara pekerja dan pengusaha dapat dicapai apabila kedua-belah pihak merasa cocok dan senang.48 Dengan begitu konsep keadilan juga menjadi prioritas utama dalam pengupahan yang sesuai syari’ah. Keempat aspek diatas merupakan unsur utama pengupahan menurut hukum Islam. Meski ada beberapa nilai-nilai keutamaan dalam konsep pengupahan yang sesuai dengan syari’ah, namun empat aspek tersebut bisa dijadikan parameter untuk menentukan kesesuaian konsep upah yang diterapkan pihak perusahaan dengan konsep syari’ah.
48 Moh Syaufii Syamsuddin,SH, MH, Menciptakan Hubungan Kerja Yang Islami di Tempat Kerja, Pada sila kelima pancasila yang berbunyi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang kemudian oleh Syaufi disinkronkan dengan konsep syari’ah dan didapat pemahaman tentang keadilan upah dalam Islam. Lihat http://www.nakertrans.go.id/majalah_buletin/info_hukum/vol4_vi_2004/hubungan_kerja_islami.php