BAB II TINJAUAN UMUM KONSEP MASLAHAH DALAM HUKUM ISLAM Seiring dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat, dimana persoalan sering muncul dan berkembang, sehingga hukum Islam harus mempunyai pemecahannya. Slogan al- rujū‟ ila al-qur‟an wa al-sunah saja tidak cukup. Untuk menyelesaikannya memerlukan seperangkat metodologi yang tepat guna menyelesaikan permasalahan yang ada atau paling tidak meminimalisir dampak yang ada. A. Definisi Maṣlahah Secara etimologi kata maṣlahah mempunyai beragam makna, bisa berarti kebaikan, faedah, dan manfaat. maṣlahah (arab) berasal dari kata ṣalaha (arab) dengan penambahan alif di awalnya yang mengandung makna “baik” lawan dari “buruk” atau “fasad”. Ia adalah mashdar dengan arti kata sholah (arab) yaitu “manfaat” atau “terlepas” dari padanya kerusakan.1 Kata al-maṣlahah ()المصلحة, jamaknya al-maṣālih ( )المصالحberati sesuatu yang baik, yang bermanfaat dan ia merupakan lawan dari keburukan atau kerusakan dan dalam bahasa arab sering pula disebut الخير والصىابyaitu sesuatu yang baik dan benar.2 Dalam kamus besar bahasa indonesia, maṣlahah berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan (keselamatan), faedah, guna. Contoh : perbaikan jalan itu
1
Amir Syarifudin, Ushul Fiqih, Jilid 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), Cet. Ke-II hal.
2
Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama,1999), hal.157.
323
21
22
membawa maslahah bagi rakyat. Sedangkan kemaṣlahatan mengandung arti kegunaan, kebaikan, manfaat dan kepentingan. Misalnya, seorang dermawan banyak beramal untuk kemaṣlahatan manusia.3 Dalam teks normatif kitab suci Al-Qur‟an, akar kata ṣalaha secara eksplisit sering disebutkan, akan tetapi dalam bentuk maslahah tidak dijumpai penggunaannya. Namun yang paling sering dipaki adalah kata ṣalih-fa‟il dari kata salaha. Ini dijumpai dalam surat Al-Imran (3) ayat 114.
.
Artinya : Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang Munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu Termasuk orang-orang yang saleh.
Dalam kajian Uṣūl Fiqih, kata maṣlahah selalu ittiṣal dengan kata mursalah, ia merupakan salah satu metode hukum Islam (legal theory). Kata murṣalah sendiri (arab) berasal dari isim maf‟ul (objek) dari fi‟il madhi (kata dasar) dalam bentuk tsulasi (kata dasar yang tiga huruf), yaitu ( ) رسلdengan penambahan huruf “Alif” berarti “terlepas”, atau dalam arti ( مطلقbebas), kata “terlepas” dan “bebas” disini bila dihubungkan dengan kata maslahah mengandung arti “terlepas atau bebas dari kesenangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.4
3
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal. 720 4 Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr,t.th),hal 757. Lihat juga TM Hasbi Asy Siddieqqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: Rizki Putra, 1997), hal.219
23
„Izzuddin ibn „Abd as-Salam sebagaimana yang dikutip oleh al-Munawar menyatakan bahwa kata yang sama atau hampir sama maknannya dengan kata almaṣlahah adalah kata al-khair (kebaikan), an-naf‟u (manfaat), al-haṣanah (kebaikan), sedangkan kata yang sama dengan kata al-mafsadah adalah asy-syarr (keburukan). Al-qur‟an sendiri selalu menggunakan kata al-ḥasanah untuk menunjukkan pengertian al-maṣlahah dan kata as-sayyi‟ah untuk menunjukkan pengertian maṣahah.5 Adapun pengertian maslahah secara terminologi para ulama memberikan beragam pandangan, di antaranya : 1) Menurut al-Ghazali, maṣlahah adalah sesuatu yang mendatangkan keuntungan atau manfaat, dan menjauhkan dari kerusakan (mafsadat). Namun esensinya, maslahah yaitu dalam menetapkan hukum harus memelihara tujuan syara‟. Tujuan syara‟ itu adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.6 2) Muhammad Said Ramadhan Al-Buty mendefinisikan, maṣlahah mursalah itu adalah setiap manfaat yang termasuk di dalam ruang lingkup tindakan/kebijakan Syar‟i‟ tanpa ada dalil yang mendukungnya atau menolaknya. 7 3) Menurut al-Khawarizmi maṣlahah ialah memelihara tujuan syara‟ dengan cara menghindarkan kerusakan dari manusia.
5
Kutbuddin Abaik, Metodologi Pembaruan Hukum Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), hal.189 6 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2, Cet. Ke-5, (Jakarta : Kencana, 2009), hal.354-346 7 Said Ramdhan Al-Buty, Dhawabit al-Maslahat fi al-Syari‟at al-Islamiyat, ( Damsyiq: t.tp, 1967), hal. 330
24
4) Sedangkan maṣlahah menurut Abu Zahrah ialah semua manfaat yang hakiki yang sesuai dengan tujuan Syari‟, didalamnya terkandung maksud memelihara lima prinsip kebutuhan manusia yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta.8 5) Abdul
Wahhab
Khallaf
dalam
bukunya
“Ilm
Uṣūl
al-Fiqh”
mengemukakan bahwa maṣlahah adalah sesuatu yang disyari‟atkan oleh Syari‟ yang terkandung dalam hukum-hukumnya dan bisa menjadi „illat hukum.9 Dari definisi di atas, menurut hemat penulis inti dari kemaslahatan yang ditetapkan syar‟i ialah pemeliharaan lima hal pokok (Kulliyat Khams). Semua tindakan seseorang yang mendukung pemeliharaan kelima aspek ini adalah maslahah. Begitu pula segala upaya yang berbentuk tindakan menolak kemafsadatan terhadap kelima hal ini juga maṣlahah. Sejalan dengan prinsip maṣlahah, Imam asy-Syātibi mengatakan bahwa kemaṣlahatan tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaṣlahatan akhirat, karena kedua kemaṣlahatan tersebut apabila bertujuan untuk memelihara kelima tujuan syara‟ termasuk kedalam konsep maṣlahah. Dengan demikian, menurut al-Syatibi, kemaslhatan dunia yang dicapai oleh hamba Allah harus bertujuan untuk kemaṣahatan akhirat.10 Lebih lanjut Al-Syatibi mengemukakan sifat dasar dari maqāṣid asy-syāri‟ah adalah pasti, dan kepastian disini merujuk 8
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut, Dar al-Fikr Al-„Arobi, 1985), hal. 278 Abdul Wahhab Khallaf, Kiaidah-kaidah Hukum Islam, terj. Noer Iskandar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada 2000), hal. 124 10 Abu Ishak Ibrahim Ibn Musa Ibn Muhammad al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul alSyari‟ah, (t.t :Dar Ibn Affan, 1997), Cet.ke-1 Jilid 2,hal.17-18 9
25
pada otoritas maqāṣid asy-syāri‟ah itu sendiri. Dengan demikian eksistensi maqāṣid asy-syāri‟ah pada setiap ketentuan hukum syar‟i menjadi hal yang tidak terbantahkan baik yang bersifat perintah wajib ataupun larangan. Imam al-Ghazali mengajukan teori maqāṣid asy-syāri‟ah ini dengan membatasi pemeliharaan syāri‟ah pada lima unsur pokok yaitu agama, jiwa, akal, kehormatan,
dan
harta
benda.11
Konsep
pemeliharaan
tersebut
dapat
diimplementasikan kedalam dua metode : pertama, metode konstruktif (bersifat membangun) dan kedua, metode preventif (bersifat mencegah). Dalam metode konstruktif kewajiban-kewajiban agama dan berbagai aktivitas sunat yang baik dilakukan dapat dijadikan contoh dalam metode ini. Sedangkan berbagai larangan pada semua perbuatan bisa dijadikan sebagai contoh preventif, kedua metode tersebut bertujuan mengukuhkan elemen maqāsid asy-syāri‟ah sebagai jalan menuju kemaṣlahatan.12 Yusuf Hamid mengemukakan bahwa maṣlahah harus bertumpu kepada petunjuk syara‟, bukan semata-mata berdasarkan akal manusia, karena akal manusia itu tidak sempurna, bersifat relatif dan subyektif, selalu dibatasi waktu dan tempat, serta selalu terpengaruh lingkungan dan dorongan hawa nafsu. Ia menggaris bawahi, Pengertian maslahah atau buruk dan baik dalam pandangan syara‟ tidak terbatas untuk kepentingan dunia saja tetapi juga akhirat, tidak hanya untuk kepentingan semusim, tetapi berlaku untuk sepanjang masa. Lebih lanjut— maṣlahah dalam artian syara‟ tidak terbatas pada rasa enak dan tidak enak dalam
11 12
Al-Ghazali, Al-Musytasyfa, (Mesir : Maktabah al-Jundiy, 1971), hal. 286 Ibid,hal.238
26
artian fisik jasmani saja, tetapi juga enak dan tidak aenak dalam artian mental spritual atau secara ruhaniyah.13 B. Macam-macam Maṣlahah Maslahah ditinjau dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum dibagi menjadi tiga bagian14, yaitu : 1) Maṣlahah ḍaruriyyah Adalah kemaṣlahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia, artinya kehidupan manusia tidak punya arti apa-apa bila salah satu prinsip yang lima itu tidak ada. Segala usaha yang secara langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau mashlahah dalam tingkatan dharuri. Karena itu Allah memerintahkan manusia melakukan usaha bagi pemenuhan kebutuhan pokok tersebut. Segala daya dan upaya yang secara langsung menju pada atau menyebabkan lenyap atau rusaknya satu diantara lima unsur pokok tersebut adalah buruk, karena itu Allah melarangnya. Meninggalkan dan manjauhi larangan Allah tersebut adalah baik atau mashlahah dalam tingkat dharuri. Dalam hal ini Allah melarang murtad untuk memelihara agama, melarang membunuh untuk memelihara jiwa, melarang minum minuman keras untuk memelihara akal, melarang berzina untuk memelihara keturunan, dan melarang mencuri untuk memelihara harta. 2) Maṣlahah ḥajiyah
13 14
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, hal. 326 Kutbuddin Abaik,Op.Cit, hal. 192-195
27
Adalah kemaṣlahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia kepadannya tidak berada pada tingkat dharuri. Bentuk kemashlahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima (dharuri), tetapi secara tidak langsung menuju ke arah sana seperti dalam hal memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Maṣlahah ḥajiyah jika tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia akan mengakibatkan kesukaran dan kesulitan tetapi tidak sampai menyebabkan rusaknya lima unsur pokok tersebut. Seperti menuntut ilmu agama untuk tegaknya agama, melakukan jual beli untuk mendapatkan harta. Hal itu merupakan perbuatan baik atau maslahah dalam tingkat haji. Sebaliknya ada perbuatan yang secara tidak langsung akan berdampak pada pengurangan atau perusakan lima kebutuhan pokok, seperti menghina agama berdampak pada memelihara gama, mogok makan pada memelihara jiwa, minum dan makan yang merangsang pada memelihara akal, melihat aurat dalam pada memelihara keturunan, dan menipu akan berdampak pada memelihara harta. Semuanya adalah perbuatan buruk yang dilarang, dan menjauhi larangan tersebut adalah baik atau maṣlahah dalam tingkat haji. 3) Maṣlahah taḥsiniyah Adalah maṣlahah yang kebutuhan manusia kepadanya tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai tingkat haji, namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka kesempurnaan dan keindahan bagi kehiudpan manusia. Maṣlahah dalam bentuk taḥsini tersebut juga berkaitan dengan lima kebutuhan pokok manusia.
28
Di tinjau dari segi kualitas ada tidaknya dalil yang mengatur terbagi menjadi tiga :15 1) Maṣlahah Mu‟tabaroh Maslahah Mu‟tabarah yaitu suatu kemaslahatan yang tidak dijelaskan dan diakui keberadaanya secara langsung oleh nas. Misalkan untuk memelihara dan menjamin kemashlahatan kehidupan manusia, Islam telah menggariskan hukum qisash terhadap pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, sebagaimana termaktub dalam firman Allah dalam surat (al-Baqarah, 2:178). 2) Maṣlahah Mulghah Maslahah Mulghah yaitu suatu kemaṣlahatan yang bertentangan dengan ketentuan syari;at. Karenanya segala bentuk kemaṣlahatan seperti ini secara tegas ditolak oleh syari‟at. Menurut Abdul Wahhab Khallaf, salah satu contoh relevan dengan ini adalah fatwa seorang ulama Maliki di Spanyol yang bernama Laits ibn Sa‟ad (94-175) dalam menetapkan kaffarat bagi orang yang melakukan hubungan suami istri pada siang bulan Ramaḍan. Kasus ini terjadi terhadap penguasa di Spanyol.
Dengan
pertimbangan
kemampuan
seorang
penguasa,
apabila
kaffaratnya memerdekakan budak tentu dengan mudah ia dapat membayarnya sehingga Laits Ibn Saad menetapkan kaffarat terhadap penguasa tersebut dengan berpuasa selama dua bulan berturut-turut.16 Contoh yang lain termasuk kategori ini adalah menunjukan emansipasi wanita dengan menyamakan hak waris anak laki-laki dengan perempuan. Akal menganggap hal ini baik atau maslahah, akal pun menganggap hal ini telah sejalan dengan hukum kewarisan Islam. Akan tetapi 15 16
Abdul Wahhab Khallaf, Ushul Fiqih, hal.86 Ibid, hal.87
29
hukum Allah telah jelas dan berbeda dengan apa yang dianggap baik oleh akal, kejelasan ini telah terangkum dalam surat an-Nisa (4:11) : bahwa hak waris anak lak-laki adalah dua kali lipat hak waris anak perempuan.17 3) Maṣlahah Mursalah Jalaluddin Abdurrahman memberi rumusan yang luas dalam mendefinisikan maslahah mursalah : المصا لح المال ئمة المقا صد الشا رع واليشهد لها اصل خاصة با األعتبار اوباأللغاء Maṣlahah yang selaras dengan tujuan Syari‟ (pembuat hukum) dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.18
Dalam kaitan ini, asy-Syaukani tidak menyebutkan definisi istiṣlaḥ atau maslahah mursalah karena dipandangnya telah cukup jelas karena maṣlahah sudah lazim dipakai dalam masyarakat, namun ketika membicarakan munasabah dalam mencari „illat qiyas, ia melihat bahwa maslahah itu sebagai seseuatu yang cocok bagi manusia, karena membawa manfaat dan menjauhkam dari mafsadat. Ia juga menyebutkan bahwa istilah istiṣlaḥ disebut Imam al-Haramain al-Juwaini dan Ibn as-Sam‟ani dengan istilah al-istidlal, sementara ulama ushul yang lain menyebutkan al-istidlal al-mursal.19 Maslahah ditinjau dari segi kandungannya dibagi menjadi dua bagian, maṣlahah ammah dan maṣlahah al-khāṣṣah. Maṣlahah ammah merupakan kemaṣlahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak, kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, akan tetapi bisa berbentuk 17
Satria Effendi dan M.Zen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Cet. Ke-5, 2005), hal. 149-150 Kutbuddin Abaik, Metodologi Pembaruan Hukum Islam, hal. 201 19 Ibid., hal. 201 18
30
kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan orang. Misalnya, para ulama boleh membunuh penyebar bid‟ah yang dapat merusak aqidah umat, karena menyangkut kepentingan
orang
banyak.
Sedang
maṣlahah
al-khāssah
merupakan
kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang tertentu (pribadi), seperti pemutusan hubungan perkawinan sesorang yang dinyatakan hilang (mafqud).20 Pembagian kedua maṣlahah diatas sangat signifikan apabila berkaitan dengan prioritas mana yang harus di dahulukan kalau kemaṣlahatan umum bertentangan
dengan
kemaslahatan
pribadi.
Dengan
demikian,
islam
mendahulukan kemaslahatan umum dari pada kemaslahatan pribadi. Kemudian dilihat dari segi berubaah atau tidaknya maṣlahah, ada dua bentuk: Al-Maṣlahah al-Tsābitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap dan tidak berubah sepanjang zaman. Misalnya, kewajiban ibadah, sepeti sholat, puasa, zakat, haji. Al-Maslahah al-mutaghayyirah, yaitu kemaṣlahatan yang selalu berubah-ubah sesuai perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaṣlahatan seperti ini berkaitan dengan permasalahan mu‟āmalah dan adat kebiasaan. Seperti dalam masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Perlunya pembagian ini, dimaksudkan untuk memvberi batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan tidak 21 C. Kehujjahan Maṣlahah Mursalah Maslahah mursalah yang nota-bene-nya merupakan salah satu metode istinbaṭ hukum Islam yang menggunakan pendekatan maqāṣid asy-syāri‟ah,
20
Amir Syarifudin, Ushul Fiqih, II, hal. 328-329 Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta : Pramuda Adversting, 2008), cet. Ke-1, hal. 156 21
31
mestinya dapat diterima oleh umat Islam sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Tetapi, masih ada sebagian umat islam yang tidak menerima maslahah mursalah sebagai hujjah, khususnya mayoritas penganut maẓhab syafi‟i yang tidak memandang maṣlahah mursalah sebagai dasar penetapan hukum islam. Adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama‟ mengenai penggunaan maṣlahah mursalah sebagai metode ijtihad adalah karena tidak adanya dalil yang khusus yang menyatakan diterimanya maṣlahah itu oleh Syari‟ baik secara langsung maupun tidak langsung, karena penggunaan maslahah dikalangan ulama disebabkan adanya dukungan syar‟i. Meskipun secara tidak langsung. Digunakannya maṣlahah itu bukan karena semata ia adalah maṣlahah, tetapi karena adanya dalil syara‟ yang mendukungnya.22 Disamping itu, ulama dan penulis ushul fiqih pun berbeda pandangan dalam menukilkan pendapat
mazhab. Imam malik beserta penganut mazhab maliki
adalah kelompok yang secara jelas menggunakan maṣlahah mursalah sebagai metode ijtihad. Selain digunakan oleh penganut mazhab ini, maslahah mursalah juga digunakan oleh kalangan ulama non-Maliki sebagaimana yang diutarakan oleh asy-Syatibi dalam kitab al-I‟tisham. Namun ada pula ulama yang beranggapan bahwa maṣlahah mursalah digunakan dikalangan ulama Syafi‟i. Asy-Syatibi dari kalangan Maliki menukilkan tentang digunakannya metode ini oleh Syafi‟i. Bahkan al-Ghazali sendiri sebagai pengikut Syafi‟i ditengarai satu versi pendapat yang mengatakan
22
Khutbudin Abaik, Metodologi Pembaruan Hukum Islam, hal. 204
32
bahwa Imam Syafi‟i yang menggunakan maṣlahah mursalah tersebut. Ibnu Qudamah dari kalangan Hanbali juga menukil digunakannya maṣlahah mursalah oleh sebagian ulama Syafiliyah.23 Al-Ghazali sebagai pengikut Imam Syafi‟i secara tegas mengatakan dalam kitabnya bahwa ia menerima penggunaan maṣlahah mursalah dengan syarat bahwa maṣlahah mursalah bersifat dharuri (menyangkut kebutuhan pokok dalam kehidupan), qaṭ‟i (pasti), dan kulli (menyeluruh) secara kumulatif.24 Disini terlihat jelas, ada polemik perihal penggunaan maṣlahah mursalah dalam metode ijtihad. Untuk menguatkan pendapatnya atas boleh atau tidaknya menggunakan maṣlahah sebagai metode ijtihad. Masing-masing kelompok ini memberikan argumentasinya secara rasional, berikut argumentasinya :25 1. Adanya takrir (pengakuan) Nabi Muhammad saw atas penejelasan Mu‟adz ibn Jabal yang akan menggunakan ijtihad bi ar-ra‟yu bila tidak menemukan ayat al-Qur‟an dan Sunnah Nabi untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau suatu yang dianggap maṣlahah. Nabi sendiri pada waktu itu tidak membebaninnya untuk mencari dukungan nash. 2. Adanya amaliyah dan praktik yang begitu meluas dikalangan sahabat Nabi tentang penggunaan maṣlahah mursalah sebagai suatu keadaan yang sudah diterima bersama oleh para sahabat tanpa saling menyalahkan. Misalnya
23
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, II, hal. 336 Al-Ghazali, Al-Mustasyfa, I, hal. 286-314 25 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, II, hal. 338 24
33
pemilihan Abu Bakar ra sebagai khalifah yang dilakukan sahabat-sahabat Nabi, pembentukan dewan-dewan dan pencetakan mata uang di masa ke khalifahan „Umar ibn Khaththab ra, penyatuan cara baca al-Qur‟an (qiraat) pada masa „Utsman ibn „Affan ra, dan lainnya. Bahkan banyak terlihat maslahah yang digunakan para sahabat itu berlainan (membentur) dalil nash yang ada. Seperti memerangi orang yang tidak mau membayar zakat pada waktu Abu Bakar a, keputusan tidak memberikan hak zakat untuk muallaf pada masa „Umar, dan diberlakukannya adzan dua kali pada masa „utsman ibn „Affan ra. 3. Suatu maṣlahah bila telah nyata kemaṣlahatannya dan telah sejalan dengan prinsip-prinsip hukum Islam, maka menggunakan maṣlahah tersebut berarti telah memenuhi tujuan hukum Islam, meskipun tidak ada dalil khusus yang mendukungnya. Sebaliknya, bla tidak digunakan untuk menentukan suatu kemaslahatan dalam kebijaksanaan hukum akan berarti melalaikan tujuan yang dimaksud oleh Syari‟ (pembuat hukum). Melalaikan tujuan Syari‟ adalah suatu perbuatan yang batal. Karena itu dalam menggunakan maṣlahah itu sendiri tidak keluar dari prinsip-prinsip hukum Islam, bahkan telah sejalan dengan maqāṣid asy-syāri‟ah. 4. Bila dalam keadaan tertentu untuk mentapkan hukum tidak boleh menggunakan metode maṣlahah mursalah, maka akan menempatkan umat dalam kesulitan. Padahal Allah sendiri menghendaki kemudahan untuk hambaNya dan menjauhkan kesulitan, seperti ditegaskan dalam Q.S al-Baqarah (2:185) dan Nabi pun mengehendaki umatnya menempuh cara yang lebih miudah dalam kehidupannya.
34
Kemudian kelompok ulama yang menolak maṣlahah mursalah sebagai metode ijtihad mengemukakan argumentsinya yang diantaranya adalah :26 1. Apabila maṣlahah ada petunjuk syar‟i yang membenarkannya atau yang disebut mu‟tabarah, maka ia telah termasuk dalam umumnya qiyas.. seandainnya tidak ada petunjuk syara‟ yang membenarkannya, maka ia tidak mungkin disebut sebagai suatu mashlahah. Mengamalkan sesuatu yang diluar petunjuk syara‟ berarti mengakui kan kurang lengkapnya al-Qur‟an maupun Sunnah Nabi. Hal ini juga berarti tidak mengakui kesempurnaan risalah Nabi padahal al-Qur‟an dan Sunnah Nabi itu telah sempurna dan mencangkup semua hal. 2. Beramal dengan maṣlahah yang tidak mendapat legalitas tersendiri dari nash akan membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan pada sekehendak hati dan menuruti hawa nafsu. Cara seperti ini tidak lazim dalam prinsip-prinsip Islami. Keberatan Imam al-Ghazali untuk menggunakan istiḥsan dan maṣlahah mursalah sebenarnya karena tidak ingin melaksanakan hukum secara seenaknya (talazzuz) dan beliau menetapkan syarat yang berat untuk penetapan hukum. 3. Menggunakan maṣlahah dalam ijtihad tanpa berpegang pada nash akan mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum yang dapat mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal yang demikian menyalahi prinsip penetapan hukum dalam Islam, yaitu tidak boleh merusak juga tidak ada yang dirusak.
26
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, II, hal. 339
35
4. Seandainnya dibolehkan ijtihad dengan maṣlahah yang tidak mendapat dukungan dari nash, maka akan memberi kemungkinan untuk berubahnya hukum syara‟ karena alasan berubahnya waktu dan berlainannya tempat berlakunya hukum syara‟, juga karena berlainan antara seseorang dengan orang lain. dengan keadaan demikian, tidak akan ada kepastian hukum. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip hukum syara‟ yang universal dan lestari serta meliputi semua umat Islam. Oleh karenanya, agar tidak terjadi kekhawatiran ketika hasil istinbath hukum yang bertentangan dengan maqāṣid asy-syāri‟ah dapat dihindari, makan ulama mengeluarkan sejumlah persyaratan dimaksud sebagai berikut :27 1. Terdapat kesesuian antara kemashlahatan yang menjadi pertimbangan mujtahid dengan
tujuan
syari;at
secara
umum.
Seorang
mujtahid
dapat
mempertimbangkan sebuah ketentuan hukum selagi mengacu pada prinsipprinsip kemaṣlahatan yang tak lain merupakan ending dari rangkaian proses pembentukan hukum. 2. Persoalan hukum yang akan didasarkan pada maṣlahah mursalah tidak termasuk kategori persoalan ibadah yang sifatnya irasional. Sebab dalam persoalan ibadah pada umumnya bukan merupakan porsinya akal untuk dinalar kandungan kemaṣlahatannya. Sebaliknya, persoalan hukum tersebut harus bersinggungan dengan realita sosial yang sangat memerlukan penalaran untuk
27
Abu Yasid, Aspek-aspek Penelitian Hukum : Hukum Islam-Hukum Barat, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hal. 50-51
36
menemukan korelasi objektif antara substansi hukum dengan sendi-sendi kemashlahatan yang hendak ditegakkan. 3. Penggunaan dalil maṣlahah mursalah harus berimplikasi pada prinsip penegakan sendi-sendi kebutuhan agama, atau sekurang-kurangnya prinsip menghilangkan kesempitan dan kesulitan dalam kehidupan beragama seharihari. Hal ini sesuai pesan moral yang terkandung dalam al-Qur‟an surat al-Haj ayat 48 yang berbunyi :
“Dan Berapalah banyaknya kota yang aku tangguhkan (azab-Ku) kepadanya, yang penduduknya berbuat zalim, kemudian aku azab mereka, dan hanya kepada-Kulah kembalinya (segala sesuatu). Untuk mengetahui kedudukan maṣlahah mursalah dalam pandangan ulama, tampaknya
memang harus dikaitkan dengan analisis maqāṣid asy-syāri‟ah.
Analisis terhadap kaitan antara maslahah mursalah dan maqāṣid asy-syāri‟ah dapat melahirkan dua dampak positif. Pertama, dapat menampakkan titik temu perbedaan pendapat antara ulama yang menggunakan maṣlahah mursalah. Kedua, anallisis keterkaitan ini dapat menunjukkan bahwa betapa pentingnya maqāṣid asy-syāri‟ah dalam rangka penajaman analisis metode maṣlahah mursalah sebagai corak penalaran istiṣlaḥi untuk memcahan permasalahan-permasalahan hukum Islam.28
28
Kutbuddin Abaik, Metodologi Pembaruan Hukum Islam, hal. 243
37
D. Pendapat Para Ulama Terhadap Metode Maṣlahah Sebelum memperbincangkan sudut pandang para intelektual muslim mengenai kajian metode maṣlahah, hal pertama yang perlu disorot ialah benih kemunculan tokoh yang mempelopori metode maṣlahah. Metode Maṣlahah mursalah seperti yang penulis singgung diatas—erat kaitannya dengan teori maqāṣid asy-syāri‟ah yang santer diperbincangkan oleh para pihak. Sejarah keduanya pun saling berkaitan satu sama lain. Pemikiran tentang maṣlahah telah berkembang sejak syari‟at Islam diletakkan oleh Rosulullah. Namun terminologi maslahah, uṣūl al-syāri‟ah, maupun maqāṣid asy-syāri‟ah juga terlibat secara keilmuan dalam pengkajian hukum Islam baru muncul dan menggejala pada abad 13/19. Perspektif maṣlahah ini dalam perjalanannya tidak berwujud tunggal, namun mengalami pergeseran dari satu pemikira di zaman tertentu kepada pemikiran lain di zaman yang berbeda.29 Menurut Ahmad Raisuni, kata maqāṣid pertama kali digunakan oleh atTurmudzi al-Hakim, ulama yang hidup pada abad ke-3. Menurutnya, at-Turmudzi al-Hakim yang pertama kali menyuarakan maqāṣid asy-syāri‟ah melalui bukubukunya, ia memperkenalkan istilah istilah al-Salah wa Maqāṣiduha, al- Haj wa Asraru, al-Illah, „Ilal al-Syāri‟ah, „Ilal al-„Ubūdiyyah dan juga bukunya al-Fariq uang kemudian diadopsi oleh imam al-Qarafi menjadi buku karangannya.30
29 30
Ahmad Hafidh, Meretas Nalar Syari‟ah, (Yogyakarta : Offset, 2011), hal. 175 Ibid..,hal. 175
38
Setelah al-Hakim kemudian muncul Abu al-Maturidy (w.333) dengan karyanya Ma‟khad al-Syara‟ disusul Abu Bakar al-Qaffal Syasyi (w.365) dengan bukunya Ushul Fiqh dan Mahasin al-Syari‟ah. Setelah al-Qaffal muncul Abu Bakar al-Abhari (w.375) dan al-Baqilany (w.403) masing-masing dengan karyanya Mas‟alah al-Jawab wa al-Dalail wa al-„illah dan al-Taqrib wa al- Irsyad fi Tartib wa al-Irsyad fi Tartib Thuruq al-Ijtihad. Sepeninggal al-Baqilany muncullah al-Juwaini, al-Ghazali, al-Razy, al-Amidi, Ibn Hajib, al-Baidhawi, alAsnawi, Ibn Subki, Ibn Abdissalam, al-Qarafi, al-Thufi, Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim. Urutan di atas merupakan versi Ahmad Raisuni, sedangkan menurut Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawy, maqāṣid asy-syāri‟ah ini dibagi dalam dua fase, yaitu fase sebelum Ibn Taimiyah dan fase setelah Ibn Taimiyah.31 Sedangkan menurut Hammadi al-Ubaidy, orang yang pertama kali membahas maqāṣid asy-syāri‟ah adalah Ibrahim an-Nakha‟i (w.96 H), seorang tabi‟in sekaligus gurunya Hammad bin Sulaiman gurunya Abu Hanifah. Setelah itu lalu muncul al-Ghazali, Izzudin Ibn Abdussalam, Najmuddin at-Thufi dan terakhir Imam Syatibi. Namun beberapa tokoh dan pemikiran yang signifikan dalam perkembangan pemikiran ini kemudian hanya melibatkan beberapa nama yang dominan, seperti al-Juwaini, al-Ghazali, al-Syatibi, dan Thahir bin „Asyur.32 1) Maslahah versi al-Juwaini Adalah seorang tokoh yang secara serius memperkenalkan uṣūl al-syāri‟ah sebagi aspek penting dalam merumuskan hukum Islam. Bahkan ia menegaskan bahwa seseorang belum bisa disebut menegerti hukum Islam apabila tidak 31 32
Ibid.., hal. 176-177 Ibid.., hal, 177
39
memahami
benar
tujuan-tujuan
Allah
mengeluarkan
perintah
dan
larangan.Meskipun demikian, al-Juwaini belum menghasilkan analisis maqāṣid asy-syāri‟ah secara teknis. Ia hanya menghasilkan proposisi tunggal sebagaimana hasil perdebatan kalam yang melatar belakangi uṣūl fiqh Mutakallimin bahwa tujuan syari‟at adalah meraih manfaat dan mencegah kerusakan (jalb maṣālih wa dar‟u al-mafāṣid).33 Dalam sketsa pemikiran al-Juwaini setidaknya ada lima pembagian illal dan uṣūl sebagaimana yang dikutip oleh Ali Jahirin dalam skripsi mengenai beliau. Pertama, aṣl atau dasar perkara primer (amruḍ ḍaruri)34 yang menyangkut kepentingan umum misalnya, meng-qishos perbuatan kriminal dengan alasan memelihara jiwa. Kedua, dasar perkara dalam kepentingan umum yang tidak sampai ketingkat primer, misalnya memperbaiki sistem sewa rumah dengan alasan untuk mempermudah masyarakat yang tidak mampu membayar secara kontan. Ketiga, dasar perkara yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhan primer maupun kepentingan umum. Misalnya menghilangkan hadast kecil. Keempat. Dasar perkara yang tidak bersandar pada kepentingan umum maupun primer, melainkan jika dilakukan akan menghasilkan perbuatan yang sunah. Kelima, dasar perkara yang yang tidak dijumpai baik itu unsur primerm
33
Ahmad Hafidh, Meretas Nalar Syari‟ah, hal. 178 Adalah hal-hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan yang wajib ada demi kemaslahatan manusia. Apabila sendi-sendi ini tidak terpelihara, maka kehidupan akan terasa kacau dan kemaslahatan tidak akan terwujud. Hal ini harus senantiasa terpelihara dengan melindungi urusan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Lihat Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), hal. 241-242 34
40
kepentingan umum, ataupun dorongan yang baik, seperti melakukan ibadah mahḍah.35 Pembagian al-Juwani pada point ketiga dan keempat pada hakikaatnya adalah masih dalam kategori yang sama, sedangkan pada point kelima, sebagaimana diakui oleh al-Juwaini sendiri, sudah keluar dari konteks pembahasan illah dan ushul yang dimaksud.36 Secara garis besar, apa yang dkatakan al-Juwaini lewat pembagian illal tadi merupakan dasar pembagian tingkat mashlahah sebagimana kita kenal untuk memelihara ḍaruriyah, ḥajjiyah, dan taḥsiniyyah.37 2) Maṣlahah versi al-Ghozali Menurut al-Ghozali, pada prinsipnya yang dimaksud dengan maṣlahah adalah suatu saha untuk mencapai manfaat dan mencegah madarat. Meraih manfaat merupakan tujuan kemaṣlahatan manusia dalam meraih kebutuhannya. Sedangkan yang dimaksud dengn maṣlahah adalah memelihara maqāṣid alsyāri‟ah. Sementara yang dimaksud maqāṣid asy-syāri‟ah adalah nenelihara almabādi‟ al-khomsah, atau al-ḍaruriyyat al-khomsah: yaitu menjaga agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Memelihara al-mabādi‟ al-khomsah dalam pandangan al-Ghazali diktegorikan sebagai maṣlahah yang bersifat ḍaruri, kully, dan qaṭ‟iy.38
35
Ali Jahirin, Tinjauan Maqashid Al-Syari‟ah Terhadap Putusan Mahkamah Konsttusi No 46//PUU-VII/210 Tentang Status Anak Di Luar Nikah, Skripsi S1 Jurusan Syari‟ah Prodi Hukum Keluarga Islam, Pekalongan: STAIN Pekalongan, 2014. 36 Mustafied, dkk,”Peta Pemikiran Ulama Ushul tentang Maqashid alsyari‟ah: Menuju Kontekstualisasi dan Reformulasi”, (Yogyakarta: Jurnal MLANGI, Volume I No 3 November 2013) hal. 36. 37 Ali Jahirin, Op,cit, hal. 31-32 38 Ahmad Hafidh, Op.Cit., hal. 178
41
Kehujjahan maṣlahah dalam kaca mata al-Ghazali harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya:39 a) Maṣlahah itu bersifat qat‟iy. b) Maṣlahah itu derajatnya berada dalam tingkatan dharuri atau haji yang setara dengan dharuri. Dalam hal ini, maṣlahah taḥsiniyah tidak termasuk dalam kategori hukum kulli, qaṭ‟iy, dan ḍaruri sebagiamana disebutkan diatas. c) Maslahah itu harus bersifat kulli, qaṭ‟iy, dan ḍaruri apabila berkaitan dengan jiwa. Bagi al-Ghazali, kedudukan maṣlahah sebagi hujjah memang dibenarkan, namun jika berdiri sendiri sebagai sebuah metode masih diragukan (ia menyebut sebagi al-uṣūl al-mawhumah). Maka dari itu, maṣlahah yam dibicarakan alGhazali harus kembali dan disandarakan serta dipahami dari nuṣūṣ asy-syāri‟ah atau ijma‟. Lebih lanjut ua menegaskan bahwa maslahah yang tidak selaras dengan tujuan syari‟ah harus ditolak, karena maslahah ditujukan untuk mempertahankan maqāṣid asy-syāri‟ah.40 3) Maṣlahah versi Al-Razi Fakh al-Din al-Razi adalah seorang pengikut Syafi‟iyah yang sangat produktif, semasa hidupnya telah mengahsilkan tidak kurang dari 200 buah. Pemikirannya tentang maqāṣid asy-syāri‟ah tertuang dalam kitab al-Mauṣul fi Ilm Uṣūl al-Fiqh. Buku ini sangat penting karena meringkas ketiga kitab klasik : al-
39 40
Ibid..,hal. 179 Ibid.., hal.180
42
Mu‟tamas arya Abu Hasan al-Baṣri, al-Burhan karya al-Juwaini, dan al-Mustasyfa karya al-Ghazali.41 Sementara itu, pemikirannya mengenai konsep maṣlahah nampaknya dipengaruhi oleh al-Ghazali. Al-Razi pun membagi maslahah menjadi dua : pertama, maslahah yang berhubungan dengan akhirat. Kedua, maslahah yang berhubungan dengan dunia dibagi menjadi tiga: al-ḍarūriyah (primer), al-ḥajiyah (sekunder), al-Taḥsiniyah (suplementer).42 Adapun maslahah di akhirat menurut al-Razi memberi contoh dengan melakukan pembersihan jiwa dan mendidik akhlak karena itu manfaatnya kembali ke akhirat.43 Sketsa pemikiran maṣlahah al-Razi pun masih bernuansa warisan al-Ghazali seperti pada pembagian maṣlahah berikut contoh-contoh yang dilontarkannya. Hanya saja versi urutan pada maṣlahah ḍaruriyah al-Razi berbeda dengan versi yang dikemukanan al-Ghozali. Maṣlahah ḍaruriyah yang mencakup lima hal pokok versi al-Razi: jiwa, harta, keturunan, agama, dan akal. Sedangkan versi maṣlahah daririyah al-Ghozali : agama, jiwa, akal, , keturunan, dan harta. Disini al-Razi lebih memprioritaskan jiwa dibanding agama. 4) Maṣlahah versi Izzudin Ibn Abd al-Salam Mengakaji konsep maslahah maupun maqosid asy-syari‟ah
tidak boleh
melewatkan nama Izzudin Abd al-Salam. Sebagai ahli fiqih al-Syafi‟i yang dijuluki “sultan para ulama” menulis kitab penting yang berjudul Qawa‟id al-
41
Muhammad Yusuf al-baidawy, Maqasid al-syari‟ah (Urdun, Dar al- Nafais, 2000), hal.
82 42
Fakh al-Din al-Razi, al-Maushul fi Ilm Ushul al-Fiqh, di terjemah oleh Dr. Taha Jabir Fayyadl al-Alwani, (Muassasah al-Riyadh, 1992), Juz V, hal.152 43 Ibid.., hal. 161
43
Ahkam Fi al-Maṣālih al-Anām merangkum pemikiran tentang maqāṣid asysyāri‟ah.44 Dalam pengantar Qawāid al-Ahkam, ia mengatakan bahwa syari‟at yang dibebankan oleh Allah swt kepada manusia mengarah pada kebaikan, sedangkan larangan Allah swt mengarah pada keburukan. Cara mengetahui maṣlahah menurut Izzudin ditentukan oleh rasio. Hal yang mendatangkan kebaikan atau kemaslahatan adalah hal terpuji, sebaliknya hal-hal yang mencegah kemadharatan agar tidak menyengsarakan hidup manusia juga hal yang terpuji, inilah yang dimaksud Izzudin pengetahuan yang bertumpu pada rasio. Dapat dinalar dan dapat dipahami oleh nalar manusia. Dan jika terjai benturan anatara dua maṣlahah, diupayakan memilih yang paling ringan resikonnya. Kemudian, pandangannya mengenai pembagian maṣlahah juga tidak jauh berbeda dengan mayoritas ulama pada umumnya seperti al-Ghozali dan alJuwaini. Izzudin membagi maslahah menjadi tiga macam : ḍaruriyyah, ḥajjiyah, dan taḥsiniyah. Hal yang perlu digaris bawahi ialah pola urutan pada pada maṣahah ḍaruriyah menurut Izzuddin tampaknya sedikit berbeda dengan alGhozali maupun al-Razi. Jika al-Razi memprioritaskan jiwa pada urutan pertama, sedangkan Izzudin memasukkan kehormatan untuk melengkapi lima maslahah primer al-Ghazali. Jika maslahah menurut al-Ghazali itu ada lima : agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Ditangan Izzudin maṣlahah primer digemukkan menjadi enam: agama, jiwa, keturunan, kehormatan, akal, dan harta. Dalam
44
Mustafied, dkk,”Peta Pemikiran Ulama Ushul tentang Maqāṣid asy-syāri‟ah: Menuju Kontekstualisasi dan Reformulasi”, (Yogyakarta: Jurnal MLANGI, Volume I No 3 November 2013) hal. 42
44
konteks ini, Izzudin adalah ulama ushul pertama yang mencantumkan kehormatan (al-iraḍ) dalam maṣlahah ḍaruriyah. 5) Maṣlahah versi at-Thufi Salah satu diskusi pemikiran maslahah yang cukup mengejutkan adalah pemikiran yang datang dari ulama bermazhab Hanmbali, Abu ar-Rabi‟ Sulaiman bin Abdul Qawi bin Abdul Karim bin Said. Pendapat kontroversialnya dikemukalkan ketika memberi syarah hadis “La ḍarar wa la ḍirar” yang tertuang dalam kitab al-Arba‟in an-Nawawiyah. Dalam pikiran at-Thufi, arti dari haadis tersebut adalah menghilangkan semua bahaya (dharar) dan keruskan (fasad) menurut kaidah syara‟. Ia mengemukakan bahwa huruf “la” dalam hadist itu bermakna nafi dan bersifat umum. Artinya, dengan pemahaman itu maka maḍlul hadis itu harus didahulukan dari apapun yang selainnya. Pergulatannya tentang maslahah atau ri‟ayah al-maslahah sampai pada suatu kesimpulan bahwa suatu nas dapat ditakhsis dalam rangka menghilangkan maḍarat dan mencapai maṣlahah. Lebih jauh pendapat itu mengndung implikasi bahwa jika terjadi pertentangan antara maslahah dengan nas qat‟iy sekalipun atau ijma‟, maka seorang ulama harus mendahulukan madlul hadis tersebut yaitu maṣlahah atau daf‟u ad-ḍarar. Maka maṣlahah dapat men-takhsis atau men-tabyin penegertian yang terdapat dalam al-Qur‟an, hadis, maupun ijma‟. Pemahaman at-Thufi ini menurut Mustafa Zaid adlah menafsirkan al-Qur‟an dengan hadis. Tujuan syari‟at menurut at-Thufi adalah maṣlahah, maka segala bentuk maslahah karena merupakan maqāṣid asy-syāri‟ah, baik memperoleh legitimasi teks syar‟iah
45
maupun tidak harus diwujudkan. Hal inilah yang membedakan dengan ulama pada umumnya.45 Dalam pemikiran maslahah ini, at-Thufi mengemukakan argumentasinya pada empat proposisi utama:46 a) Akal kemampuan dan kebebasan dalam menentukan maṣlahah dan mafsadah, msks is dpat menentukan secara mandiri tanpa diperlukan nas dan ijma‟. b) Maslahah adalah alasan hukum yang mandiri dalam perumusan hukum dan tidak membutuhkan dukungan dalil lainnya. c) Ruang lingkup maṣlahah dalm hal ini adalah maṣlahah yang berkaitan dengan mu‟āmalah dan adat kebiasaan. Sedangkan yang berkaitan dengan ibadah dalah hak Allah. d) Maslahah adalah dalil syara‟ yang paling kuat yang melampui legitimasi nash maupun ijma‟. Perspektif maṣlahah yang disampaikan oleh at-Thufi secara eksplisit terkesan sangat determinatif, frontal, dan kontroversial, namun jika diteliti secara jeli sebenarnya tidaklah demikian. Ia seakan mengabaikan dalil syara‟, namun sebenarnya ia menggunkan dalil syara‟ yang lain. semua contoh pendapatnya selalu dilegitimasi dengan dalil-dalil syar‟i seperti soal qishahs, potong tangan, zina, dan lain-lain. jika ditelisik perlahan dapat dipahami bahwa determinasi maṣlahah yang dimaksudkan at-Thufi berkaitan dengan pencegahan dharurat yang 45
Ahmad Hafidh, Op.Cit.,hal, 190-191. Lihat juga pada Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Press, 2011), hal. 272 46 Husain Hamid Haan, Nazariyat al-Maslahat fi al-Fiqih al-Islamy, (Beirut : Dar alNahdlah al-Arabiyah, 1971), hal. 530-534. Lihat juga pada Saifuddin Zuhri, Ushul Fiqih: Akal Sebagai Sumber Hukum, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), hal. 115-119
46
mengancam al-maqāṣid al-kulliyat al-khamsah. Jika demikian, sktetsa pemikiran maṣlahah at-Thufi ini tidak berbeda dengan ulama pada umumnya, hanya saja ketajaman logika yang dilakukan dengan perspektif yang berbeda. 6) Maṣlahah versi Thahir ibn Asyur Seperti ulama pada umumnya, pemikiran maslahah Ibn Asyur mendasarkan pada mabadi‟/kulliyat al-khamsah. Hal ini merupakan bagian yang qat‟iy dari hukum Islam yang harus dirumuskan menjadi sebuah metode perumusan hukum. Ibn Asyur memberi sugesti bahwa istinbath hukum mutalq dilakukan dengan melampui perdebatan nash yang berfokus pada hikmah dan maqāṣid asy-syāri‟ah. Dengan memusatkan perhatian dalam area qaṭ‟iyyat tersebut, perbedaanperbedaan dapat dipertemukan. Dan bangunan metodologinya pun akan lebih kokoh.47 Menurutnya, ada tiga cara melacak kualitas maṣlahah sebagai tujuan hukum Islam. Pertama, mengetahui setiap penyebab dan „illat dibalik berlakunnya hukum Islam, misalnya larangan menjual tanaman hasil tanaman yang masih ada di dalam tanah, penyebab larangan tersebut karena barang yang dijual masih tidak jelas, jadi „illat atas keharaman jual beli tersebut karena ketidaktahuan atau aljahl. Kedua, merujuk pada dalil al-Qur‟an yang jelas, seperti perintah puasa (Q.S al-Baqarah:183) perintah ini sangat jelas dan wajib dilakukan. Ketiga, merujuk pada hadis mutawatir dan hadis ahad yang terpercaya.48 Dalam pembahasan mengenai maqasid umum, ia menandaskan bahwa sifat maqāṣid asy-syāri‟ah memiliki dua nilai utama: nilai hakiki dan nilai adat. 47 48
Ahmad Hafidh, Op,Cit.,hal. 192 Ali Jahirin, Op.cit., hal. 46
47
Pertama, nilai hakiki adalah nilai pada dirinya yang dapat diketahui melalui akal sehat, nilai ini mendatangkan manfaat atau menghindari kerusakan yang dapat diketahui secara umum tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan budaya atau adat lokal suatu masyarakat, seperti nilai berlaku adil, nilai bergotong royong sesama manusia dan lain sebagainya. Kedua, nilai adat, merupakan nilai yang dibentuk oleh masyarakat yang menjadi kebaikan dan sesuai dengan kemaslahatannya, seperti bersikap toleran kepada orang lain, hukuman bagi perilaku kriminal dan lain sebagainya. Disini Asyur menyimpulkan dengan melihat ketentuan maqāṣid asysyāri‟ah baru mengedepankan nilai hakiki terlebih dahulu, kemudian nilai tersebut dikombinasikan dengan nilai adat yang merupakan hasil ekspresi tingkah laku masyarakat itu sendiri. Nilai hakiki adalah sesuatu universal yang berdiri di luar, atau disebut aspek eksternal, sedang nilai adat merupakan nilai yang menyatu dalam tingkah laku masyarakat, atau disebut aspek eksternal. Kontruksi maqāṣid asy-syāri‟ah menurut Asyur dilandaskan pada Islam sebagai agama yang fitrah.49 Pandangan ini merujuk pada al-Qur‟an surat ar-Rum ayat 30. Fitrah dalam redaksi ayat tersebut bermakna “ciptaan” (al-Khalqah), yaitu karakter ciptaan manusia yang memiliki dimensi dhahir dan batin atau badan dan akal (aktifitas jiwa). Maqāṣid asy-syāri‟ah Islam yang berlandaskan pada fitrah harus memenuhi kemaṣlahatan baik yang berhubungan dengan kepentingan ḍahir maupun batin manusia.
49
Ibid., hal. 47-48
48
Sebagai ilustrasi dalam menjelaskan fitrah, berikut pengandainya: fungsi kaki pada manusia digunakan untuk berjalan, jika kaki yang melekat pada badan kita digunkan untuk menendang orang yang tidak bersalah maka kaki kita telah menyealahi fungsi fitrahnya. Termasuk pada fitrah akal adalah berfikit tentang sebab-akibat,jika hasik penalaran atau kesimpulan diselewengkan kepada hal yang tidak semestinya,maka kesimpulan tersebut menyalahi fitrah akal. Itulah yang disebut fitrah sebagai ciptaan Allah yang tidak dapat diubah, fiṭratah al-llah latabdila li-khalq-i llah. Di antara aspek umum dari maqāṣid asy-syāri‟ah menurut Asyur adalah sifatnya yang luwes dan toleran (samāḥah). Toleran mengandung arti bahwa syari‟ah harus adil, tidak jatuh di ekstrim kiri (ifratṭ) dan ekstrim kanan (tafriṭ), alias tidak mempermudah atau mempersulit. Inilah maksud ayat al-Qur‟an yang menyebut umat Nabi Muhammad sebagai umat penengah (QS. al-Baqarah:143). Peranan sebagai umat penengah kemudian ditekankan dalam sebuah hadis masyhur: khair al-umr aw saṭuha atau sebaik-baiknya perkara adalah yang paling tengah. Dalil toleran dikuatkan bahwa Allah lebih menghendaki kemudahan dari pada mempersulit (QS. al-Baqarah:178), kemudian ayat yang menjelaskan agama diturunkan tidak membuat jalan rumit (QS. Al-Hajj:78), di ayat lain Allah bersabda tidak akan membebankan sesuatu yang tidak mampu dipikul hambaNya (QS. al-Baqarah:286), dan lain sebagainya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas : pernah suatu ketika Nabi berkata: agama yang dicintai Allah adalah sikap lurus dan toleran (al-hafiyyah al-samḥah).
49
Sementara itu, pembagian maṣlahah menurut Asyur tidak jauh berbeda dengan apa yang telah digariskan oleh al-Syatibi. Dilihat dari dampaknya di masyarakat, maṣlahah dapat dbagi tiga: hak primer, hak sekunder, dan hak suplementer. Dilihat dari aspek cakupannya dibagi menjadi dua : kulliyah (universal) dan juz‟iyyah (partikuler). Ditinjau dari kebutuhan bagi tegaknya urusan dimasyarakat dibagi menjadi tiga: pasti, tidak pasti, dan khayalan. Inti dari pemikiran maṣlahah Asyur bahwa tujun hukum Islam harusdapat memenuhi maslahah jiwa dan badan , dan aspek dahir maupun batin, juga bertumpu pada konsep fitrah manusia yang terdapat pada bangunan maqasid alsyari‟ah. 7) Maṣlahah versi Ibnu Taimiyah Ahmad bib Abdul Halim bin Abdul Salam bin Abdullah bin Al-Khidr bin Muhammad bin Al Khidr bin Muhammad bin Al Khidr bin Ali bin Abdullah bin Taimiyah Al Harani al-Damsqyi, Taqiyyudin Al-Abbas adalah imam Al-Hafidz Mujahid, ahli fiqih, tafsir, nahwu, orator, penulis, sastrawan, panutan, zahid dan syaikhul Islam yang lahir di kota Damaskus (6671-728).50 Ibnu Taimyah dikenal seorang tokoh pembaharu yang sangat konsisten terhadap pemikiran keislaman untuk disebarkan ke penjuru dunia. Salah satu pemikiran yang pernah mencuat di permukaan ialah ketika ia membicarakan mengenai konsep maslahah. Menurutnya, maslahah dibagi atas dua bagian. Pertama, maṣlahah ma‟mūrah (tercapainya maṣlahah hanya berdasarkan pada tujuan syara‟ untuk menarik kemanfaatan terhadap apa yang telah diperintahkan 50
Abdullah Al-Mushthofa Al Maraghi, Fath al-Mubin fi Thabaqat al-Ushuliyyin, terj. Husein Muhammad, Pakar-pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, (Yogyakarta : LKPSM, 2001), hal. 237
50
oleh Allah swt). Kedua, maṣlahah ghairu ma‟mūrah (kemaṣlahatan hanya berdasarkan atas ukuran manusia semata, dalam hal ini Ibnu Taimiyah menolaknya karena apa yang dihasilakn tidak memiliki tujuan kemanfaatan bagi manusia itu sendiri).51 Kemudian ketika ia mengkategorikan maṣlahah atau tidak, ia menetapkan sejumlah persyaratan: pemberlakukan maṣlahah sesuai adat yang ada, maṣlahah tidak melampaui batas syara‟, adanya maslahah harus berdasarkan pada kemaslahatan ḍaruriyyah dan ḥajiyyah, tidak terjadi pertentangan antara maslahah yang baik dengan mafsadah yang utama, tidak diperkenankan untuk hal-hal yang merusak.52 Sementara dalam memahami hukum Islam, Ibnu Taimiyah membagi sumber hukum Islam kepada dua macam: dalil-dalil yang telah disepakati seperti alQur‟an, al-Hadist, dan Ijma‟, dalil-dalil yang masih dipertentangkan seperti qiyas, istiḥsan, istiḥṣab, dan maṣlahah mursalah. Pada dasarnya, pemikiran maṣlahah ibnu Taimiyah tidak sistematis sebagaimana apa yang disampaikan oleh al-Syatibi dan al-Ghazali. Ibnu Taimiyah juga berpandangan bahwa syar‟imenetapkan kemaṣlahatan pada hambanya namun kemaslahatan itu pada hakekatnya bersadarkan pada Tuhan. Ukuran seperti ini juga disebut dengan teo-sentris. Argumentasinya hampir sama dengan ar-Razi yang menolak anggapan Mu‟tazilah bahwa Tuhan harus berbuat baik pada hambanya.
51
Ibnu Taimiyah, Majmu‟ al-Fatawa Li Syakhai al-Islam Taqiyyudin Ahmad Ibnu Taimiyah al-Harrani, (t.p : Maktabah Abaikan, 1998), hal. 7 52 Ibid.., 342
51
8) Maṣlahah versi Al-Syatibi Ibrahim ibn Muhammad al-Gharanathi Abu Ishaq
atau dikenal dengan
sebutan al-Syatibi, menjadi masyhur karena telah melakukan kodifikasi teori maqāsid asy-syāri‟ah menjadi sistematis-komprehensif-holistik-universal yang terangkum dalam magnum oppusnya Al-Muwafaqat. Jika imam Syafi‟i masyhur dengan pioner ushul fiqihnya, Aristoteles dengan pioner ilmu logikanya, maka imam al-Syatibi merupakan pioner ilmu maqāṣid asy-syāri‟ahnya. Al-Syatibi membahas tentang maqāṣid asy-syāri‟ah ini dalam kitabnya alMuwafaqat juz II sebanyak 313 halaman. Persolan yang dikemukakan didalamnya sebanyak 62 persolan. Dalam pemabahsannya, al-Syatibi membagi maqasid ini kepada du bagian penting yakni maksud Syari‟ (qaṣdu asy-syār‟i) dan maksud mukallaf (qasdu al-mukallaf). Maksud Syar‟i kemudian dibagi lagi menjadi empat bagian: qasdu al-syar‟i fi Wadh‟i al-Syari‟ah (maksud syar‟i dalam menentapkan syari‟at, qasdu al-syar‟i fi wadh‟i al-syari‟ah lil ifham ( maksud syari‟ dalam menetapkan syari‟ahnya ini agar mudah dipahami), qasdu al-syari‟ fi wadh‟i alsyari‟ah li al-taklifi bi muqtadaha, qasdu al-syari‟ fi dukhil al-mukallaf tahta ahkam al-syari‟ah.53 Inti dari pemikiran maṣlahah atau maqasid al-Syatibi bahwa maslahah sebagai hal yang menunjang bagi terciptanya kehidupan yang makmur dan sentosa, serta terpenuhinya segala kebutuhan dasar manusia (akal dan biologis) sehingga manusia di dunia dapat hidup layak. Maṣlahah dalam perspektif al-
53
Ahmad Hafidh, Op,Cit.,.hal. 180-188
52
Syatibi mengarah kepada tegaknya pilar-pilar kehidupan, bukan sebaliknya, menghancurkan pilar-pilar kehidupan.