OPTIMASI PROSES PENGERINGAN GRITS JAGUNG DAN SANTAN SEBAGAI BAHAN BAKU BASSANG INSTAN, MAKANAN TRADISIONAL MAKASSAR
HERNAWATY HUSAIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
i
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Optimasi Proses Pengeringan Grits Jagung dan Santan Sebagai Bahan Baku Bassang Instan, Makanan Tradisional Makassar adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2006
Hernawaty Husain NRP F 251030161
ii
ABSTRAK HERNAWATY HUSAIN. Optimasi Proses Pengeringan Grits Jagung dan Santan Sebagai Bahan Baku Bassang Instan, Makanan Tradisional Makassar. Dibimbing Oleh TIEN R MUCHTADI, SUGIYONO dan BAMBANG HARYANTO. Jagung merupakan salah satu tanaman serealia sebagai sumber energi kedua setelah beras dan potensial untuk mensubstitusi beras karena produksi jagung cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh optimasi teknik pengeringan jagung dan tepung santan sebagai bahan baku bassang instan yang berkualitas tinggi. Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung (Zea mays L) varietas pulut (waxy corn) dan santan. Penelitian ini terdiri dari proses pembuatan grits jagung, pembuatan grits jagung instan, pembuatan tepung santan instan dan formulasi bassang instan. Analisis uji yang dilakukan meliputi analisis fisik (rendemen, densitas kamba, porositas, rasio rehidrasi, penyerapan air dan pengembangan volume, lama masak, viskositas, daya dispersi dan warna), analisis kimia (kadar air, abu, lemak, protein, karbohidrat, nilai kalori, kadar amilosa dan bilangan TBA) serta uji organoleptik metode ranking test. Proses penyosohan grits jagung secara basah menghasilkan persentase rendemen grits jagung sosoh sebesar 51.55% (tidak lolos ayakan 2.36 mm), grits jagung pecah sebesar 11.67 % (tidak lolos ayakan 1.7 mm), menir besar sebesar 5.86 % (tidak lolos ayakan 1.18 mm), menir kecil sebesar 3.37% (tidak lolos ayakan 0.85 mm), dedak sebesar 8.58% (tidak lolos ayakan 0.3 mm), tepung sebesar 11.56% (lolos ayakan 0.3 mm), kulit biji dan lembaga sebesar 1.01%. Optimasi pengaronan selama 5 menit dan pengukusan selama 10 menit memberikan hasil yang terbaik pada proses pembuatan nasi jagung instan diikuti pengering oven pada suhu 50-60o C selama 6 jam. Perendaman dalam larutan Na sitrat sebesar 1% memberikan hasil yang terbaik dibandingkan perendaman dalam larutan kalsium klorida. Berdasarkan metode pemasakan diperoleh metode pembekuan lambat merupakan metode yang terbaik dibandingkan metode aron kukus. Nasi jagung instan yang diperoleh dari metode pembekuan lambat yang direndam dalam larutan Na sitrat 1% dapat dimasak dalam waktu 7 menit. Persentase rendemen grits jagung instan sebesar 88% dengan penyerapan air sebesar 162% dan mengembang sebesar 142%. Proses pembuatan tepung santan instan dilakukan dengan memasak santan, dekstrin, BHT (Butylated hydroxytoluene), tepung beras, dan sorbat hingga menjadi bubur. Pengering drum merupakan jenis pengering yang terbaik dibanding pengering semprot berdasarkan kandungan nilai TBA (thiobarbituric acid) masing- masing formulasi. Semakin besar konsentrasi dekstrin yang digunakan maka semakin putih tepung santan instan yang dihasilkan tetapi memiliki waktu dispersi yang semakin lama diikuti viskositas yang semakin rendah pula. Formulasi bassang instan yang paling disukai oleh panelis berdasarkan uji organoleptik adalah : tekstur yang lunak (dekstrin : air = 1 : 1) pada pembekuan lambat, warna coklat muda (dekstrin : air = 1 : 2), rasa manis (dekstrin : air = 1 : 2), aroma khas (kontrol), dan viskositas tinggi (dekstrin : air = 1 : 1). Berdasarkan penilaian secara keseluruhan maka formulasi yang terpilih adalah perbandingan antara dekstrin : air = 1 : 2.
iii
OPTIMASI PROSES PENGERINGAN GRITS JAGUNG DAN SANTAN SEBAGAI BAHAN BAKU BASSANG INSTAN, MAKANAN TRADISIONAL MAKASSAR
HERNAWATY HUSAIN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
iv
Judul Tesis Nama NRP
: Optimasi Proses Pengeringan Grits Jagung dan Santan Sebagai Bahan Baku Bassang Instan, Makanan Tradisional Makassar : Hernawaty Husain : F251030161
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS. Ketua
Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc. Anggota
Dr. Ir. Bambang Haryanto, MS. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus :
2006
Tanggal Ujian :
2006
v
PRAKATA
Salam sejahtera di dalam kasih Tuhan. Puji dan syukur tak terhingga besarnya penulis berikan kepada Tuhan Yesus atas segala berkat dan anugerahNYA dengan selesainya penulisan tesis yang berjudul : Optimasi Proses Pengeringan Grits Jagung dan Santan Sebagai Bahan Baku Bassang Instan, Makanan Tradisional Makassar, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar master di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pasca Sarjana IPB. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Juni 2005 hingga Februari 2006. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh optimasi pengeringan jagung dan tepung santan sebagai bahan baku bassang instan yang berkualitas tinggi. Sedangkan manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : (1) diperoleh proses pengeringan beras jagung instan yang optimal, (2) diperoleh proses pengeringan tepung santan instan secara optimal, dan (3) diperoleh formulasi bassang instan yang secara organoleptik dapat diterima oleh panelis (konsumen). Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih yang mendalam disertai penghargaan yang setinggi-tingginya kepada tim pembimbing yaitu Ibu Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS., Bapak Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc, dan Bapak Dr. Ir. Bambang Haryanto, MS yang telah memberikan bimbingan, saran maupun kritik selama penulis melakukan penelitian hingga tahap akhir penulisan tesis ini. Terima kasih yang mendalam juga penulis haturkan kepada Ibu Dr. Nurheni Sri Palupi, M.Si, sebagai penguji luar komisi. Atas saran, komentar dan masukan yang diberikan, saya pahami sebagai bentuk lain dari pembimbingan menuju kesempurnaan tesis ini. Terima kasih, penulis haturkan disertai penghargaan yang setinggitingginya kepada Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Agroindustri, BPPT Jakarta, atas bantuan dana penelitian yang penulis terima. Ungkapan terima kasih juga disampaikan sedalam-dalamnya kepada ompo dan babe yang telah menghantarkan penulis untuk dapat menempuh pendidikan S2 ini, serta kepada seluruh anggota keluarga, atas segala dukungan moril dan doa yang penulis terima. God bless you all. Terima kasih pada pimpinan dan staf laboratorium di lingkungan Jurusan Teknologi dan Ilmu Pangan Fateta IPB, Seafast Center IPB, Agricultural Pilot Plant and Processing Project (AP4) IPB atas segala bantuan fasilitas selama pelaksanaan penelitian. Terima kasih juga disampaikan kepada bapak dan ibu teknisi yang telah banyak membantu selama berlangsungnya penelitian. Juga kepada rekan-rekan IPN dan seluruh penghuni Arini yang banyak memberi dukungan dan semangat selama masa studi, serta kepada semua pihak yang belum sempat penulis sebutkan satu persatu.
vi
Segala bantuan, dukungan dan perhatian bapak dan ibu yang penulis terima selama menjalani masa studi mendapat balasan yang berlimpah- limpah secara jasmani dan rohani dari Tuhan. Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan karenanya penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sekalian demi penyempurnaannya. Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2006
Hernawaty Husain
vii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 29 Desember 1978. Adalah merupakan anugerah terbesar dari Tuhan karena penulis memiliki dua pasang orangtua yang sangat menyayangi penulis. Ayah Johnny Husain dan ibu Hasnur adalah kedua orangtua yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melihat dunia ini serta ayah Chaerul Anwar dan ibu Henny Yonas, S.H., M.H. yang semakin membuat hidup ini berwarna. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara. Pada tahun 1997, penulis lulus dari SMA Negeri 2 Makassar dan pada tahun yang sama lulus UMPTN dan diterima sebagai mahasiswi Universitas Hasanuddin Makassar. Penulis memilih Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian dan Kehutanan. Pada tahun 2002, penulis memperoleh gelar sebagai Sarjana Teknologi Pertanian. Pada tahun 2003, oleh anugerah Tuhan, penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan strata dua. Penulis diterima sebagai mahasiswi pascasarjana Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2006, penulis telah memperoleh gelar sebagai Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis merupakan anggota forum mahasiswa pascasarjana Ilmu Pangan (FORMASIP) dan aktif dalam mengikuti berbagai kegiatan ilmiah yang dilakukan di dalam maupun di luar lingkungan kampus.
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xi PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................... 1 Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 4 Hipotesis ..................................................................................................... 4 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Anatomi Jagung ................................................................. 5 Komponen Kimia Jagung ........................................................................... 8 Instanisasi ................................................................................................. 10 Santan Kelapa ........................................................................................... 12 Pengeringan ............................................................................................... 14 Bahan Tambahan Makanan ...................................................................... 19 METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu ..................................................................................... Bahan dan Alat ......................................................................................... Metode Penelitian ..................................................................................... Rancangan Percobaan .............................................................................. Metode Analisis ........................................................................................
24 24 24 32 32
HASIL DAN PEMBAHASAN Grits jagung .............................................................................................. Karakteristik Fisik Nasi Jagung Instan ..................................................... Karakteristik Fisik Tepung Santan Instan ................................................ Karakteristik Kimia Nasi Jagung Instan ................................................... Karakteristik Kimia Tepung Santan Instan .............................................. Bassang Instan .......................................................................................... Uji Organoleptik .......................................................................................
40 53 64 73 77 83 84
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ................................................................................................... 88 Saran ......................................................................................................... 89 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 90 LAMPIRAN ....................................................................................................... 98
ix
DAFTAR TABEL Halaman 1 Produksi jagung menurut propinsi .................................................................. 2 2 Komposisi kimia dan zat gizi berbagai jenis jagung per 100 g bahan ............ 9 3 Penyebaran komponen kimia jagung tanpa air pada struktur biji ................. 10 4 Komposisi buah kelapa (buah tua) ................................................................ 13 5 Komposisi kimia santan murni dan krim santan ........................................... 14 6 Perlakuan yang diberikan pada pembuatan tepung santan instan ................. 28 7 Faktor pengali untuk tiap spindel dan rpm yang digunakan ......................... 35 8 Rendemen hasil penyosohan biji jagung ....................................................... 42 9 Komposisi kimia jagung pipil dan jagung sosoh .......................................... 42 10 Deskripsi penampakan grits jagung instan pada lama masak yang berbeda ......................................................................................................... 45 11 Optimasi lama masak nasi jagung instan ...................................................... 52 12 Hasil analisis proksimat nasi jagung instan dengan metode pembekuan lambat dan aron kukus ................................................................73 13 Hasil analisis proksimat tepung santan instan .............................................. 77 14 Hasil analisis proksimat bassang instan ........................................................ 84 15 Uji organoleptik bassang instan metode rata-rata ........................................... 85
x
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Karakteristik struktur biji jagung .................................................................... 7 2 Penampang biji jagung dan bagian-bagiannya ................................................ 8 3 Komposisi biji jagung ..................................................................................... 8 4 Ukuran biji jagung berdasarkan komposisi kimia .......................................... 10 5 Penampang melintang buah kelapa ............................................................... 13 6 Pengering drum ............................................................................................. 15 7 Pengering fluidized bed dua tahap ................................................................. 17 8 Skema proses pada instalasi pengering semprot ........................................... 18 9 Pengering kabinet .......................................................................................... 19 10 Pengering vakum jenis pedal ......................................................................... 20 11 Pengering vakum jenis sabuk ........................................................................ 20 12 Struktur molekul BHT .................................................................................. 22 13 Struktur molekul dekstrin ............................................................................. 23 14 Prosedur tahapan penelitian secara lengkap ................................................. 25 15 Prosedur pembuatan grits jagung secara basah dengan modifikasi ............. 26 16 Diagram alir pembuatan grits jagung instan ................................................. 29 17 Proses pembuatan tepung santan instan dengan modifikasi ......................... 30 18 Formulasi bassang instan ............................................................................. 31 19 Jagung pulut, alat sosoh dan grits jagung yang dihasilkan............................ 41 20 Alat tanak laboratorium (Altanab) ................................................................ 44 21 Pengering fluidized bed dan grits jagung yang dihasilkan............................. 47 22 Pengering kabinet dan grits jagung yang dihasilkan..................................... 48 23 Pengering oven dan grits jagung yang dihasilkan........................................... 49 24 Pengering vakum dan grits jagung yang dihasilkan ..................................... 49 25 Penampakan nasi jagung instan dengan metode aron kukus ........................ 50 26 Penampakan nasi jagung instan dengan metode pembekuan cepat dan pembekuan lambat ........................................................................................ 51 27 Rendemen nasi jagung instan dengan metode aron kukus dan pembekuan lambat pada berbagai perlakuan ................................................................... 54
xi
Halaman 28 Densitas kamba nasi jagung instan dengan metode aron kukus dan pembekuan lambat pada berbagai perlakuan .............................................. 55 29 Porositas nasi jagung instan dengan metode aron kukus dan pembekuan lambat pada berbagai perlakuan ................................................................... 56 30 Rasio rehidrasi nasi jagung instan dengan metode aron kukus dan pembekuan lambat pada berbagai perlakuan ............................................... 57 31 Penyerapan air nasi jagung instan metode aron kukus dan pembekuan lambat pada berbagai perlakuan ................................................................... 60 32 Pengembangan volume nasi jagung instan metode aron kukus dan pembekuan lambat pada berbagai perlakuan ............................................... 60 33 Bentuk granula jagung native dan setelah mengalami proses penyosohan di bawah mikroskop polarisasi perbesaran 200X ......................................... 61 34 Bentuk granula nasi jagung instan pada metode aron kukus dan pembekuan lambat di bawah mikroskop polarisasi perbesaran 200X ....... 62 35 Lama masak nasi jagung instan metode aron kukus dan pembekuan lambat pada berbagai perlakuan ................................................................. 63 36 Densitas kamba tepung santan instan dengan pengering drum dan pengering semprot pada berbagai perlakuan ............................................... 65 37 Viskositas tepung santan instan dengan pengering drum dan pengering semprot pada berbagai perlakuan ............................................................... 67 38 Daya dispersi tepung santan instan dengan pengering drum dan pengering semprot pada berbagai perlakuan ............................................... 69 39 Derajat putih tepung santan instan dengan pengering drum dan pengering semprot pada berbagai perlakuan ............................................... 71 40 Penampakan tepung santan dengan pengering drum dan pengering semprot ......................................................................................................... 72 41 Struktur tepung santan instan di bawah mikroskop dengan perbesaran 200X menggunakan pengering drum dan pengering semprot ..................... 73 42 Kandungan TBA tepung santan instan pada pengering drum dan pengering semprot pada berbagai perlakuan ................................................. 82
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Formulir uji peringkat produk bassang instan ............................................... 98 2 Hasil uji analisis proksimat bahan baku bassang instan ................................ 99 3 Hasil sidik ragam rendemen nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat ........................................................................................ 99 4 Hasil uji beda Duncan rendemen nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat ........................................................................................ 99 5 Hasil sidik ragam rendemen nasi jagung instan pada metode aron kukus ............................................................................................................ 99 6 Hasil uji beda Duncan rendemen nasi jagung instan pada metode aron kukus .......................................................................................................... 100 7 Hasil sidik ragam densitas kamba nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat ...................................................................................... 100 8 Hasil uji beda Duncan densitas kamba nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat ...................................................................................... 100 9 Hasil sidik ragam densitas kamba nasi jagung instan pada metode aron kukus .................................................................................................. 100 10 Hasil uji beda Duncan densitas kamba nasi jagung instan pada metode aron kukus .................................................................................................. 101 11 Hasil sidik ragam porositas nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat ...................................................................................... 101 12 Hasil uji beda Duncan porositas nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat ...................................................................................... 101 13 Hasil sidik ragam porositas nasi jagung instan pada metode aron kukus ........................................................................................................... 101 14 Hasil uji beda Duncan porositas nasi jagung instan pada metode aron kukus ........................................................................................................ 102 15 Hasil sidik ragam rasio rehidrasi nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat ....................................................................................... 102 16 Hasil uji beda Duncan rasio rehidrasi nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat ...................................................................................... 102 17 Hasil sidik ragam rasio rehidrasi nasi jagung instan pada metode aron kukus .................................................................................................. 102
xiii
Halaman 18 Hasil uji beda Duncan rasio rehidrasi nasi jagung instan pada metode aron kukus .................................................................................................. 103 19 Hasil sidik ragam penyerapan air nasi jagung ............................................. 103 20 Hasil uji beda Duncan penyerapan air nasi jagung ..................................... 103 21 Hasil sidik ragam pengembangan volume nasi jagung .............................. 103 22 Hasil uji beda Duncan pengembangan volume nasi jagung ....................... 104 23 Hasil sidik ragam penyerapan air nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat ....................................................................................... 104 24 Hasil uji beda Duncan penyerapan air nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat ....................................................................................... 104 25 Hasil sidik ragam penyerapan air nasi jagung instan pada metode aron kukus .................................................................................................. 104 26 Hasil uji beda Duncan penyerapan air nasi jagung instan pada metode aron kukus .................................................................................................. 105 27 Hasil sidik ragam pengembangan volume nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat ......................................................................... 105 28 Hasil uji beda Duncan pengembangan volume nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat .......................................................................... 105 29 Hasil sidik ragam pengembangan volume nasi jagung instan pada metode aron kukus ..................................................................................... 105 30 Hasil uji beda Duncan pengembangan volume nasi jagung instan pada metode aron kukus ............................................................................ 106 31 Hasil sidik ragam lama masak nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat ...................................................................................... 106 32 Hasil uji beda Duncan lama masak nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat ...................................................................................... 106 33 Hasil sidik ragam lama masak nasi jagung instan pada metode aron kukus …… .......................................................................................... 106 34 Hasil uji beda Duncan lama masak nasi jagung instan pada metode aron kukus .................................................................................................. 107 35 Hasil sidik ragam densitas kamba tepung santan instan dengan pengering drum .......................................................................................... 107 36 Hasil uji beda Duncan densitas kamba tepung santan instan dengan pengering drum .......................................................................................... 107
xiv
Halaman 37 Hasil sidik ragam densitas kamba tepung santan instan dengan pengering semprot ...................................................................................... 108 38 Hasil uji beda Duncan densitas kamba tepung santan instan dengan pengering semprot ....................................................................................... 108 39 Hasil sidik ragam viskositas tepung santan instan dengan pengering drum .......................................................................................... 108 40 Hasil uji beda Duncan viskositas tepung santan instan dengan pengering drum .......................................................................................... 109 41 Hasil sidik ragam viskositas tepung santan instan dengan pengering semprot ...................................................................................... 109 42 Hasil uji beda Duncan viskositas tepung santan instan dengan pengering semprot ...................................................................................... 109 43 Hasil sidik ragam daya dispersi tepung santan instan dengan pengering drum .......................................................................................... 110 44 Hasil uji beda Duncan daya dispersi tepung santan instan dengan pengering drum .......................................................................................... 110 45 Hasil sidik ragam daya dispersi tepung santan instan dengan pengering semprot ...................................................................................... 110 46 Hasil uji beda Duncan daya dispersi tepung santan instan dengan pengering semprot ...................................................................................... 111 47 Hasil sidik ragam derajat putih tepung santan instan dengan pengering drum ......................................................................................... 111 48 Hasil uji beda Duncan derajat putih tepung santan instan dengan pengering drum ......................................................................................... 111 49 Hasil sidik ragam derajat putih tepung santan instan dengan pengering semprot ...................................................................................... 112 50 Hasil uji beda Duncan derajat putih tepung santan instan dengan pengering semprot ...................................................................................... 112 51 Hasil sidik ragam kandungan TBA tepung santan instan dengan pengering drum .......................................................................................... 112 52 Hasil uji beda Duncan kandungan TBA tepung santan instan dengan pengering drum .......................................................................................... 113 53 Hasil sidik ragam kandungan TBA tepung santan instan dengan pengering semprot ...................................................................................... 113 54 Hasil uji beda Duncan kandungan TBA tepung santan instan dengan pengering semprot ...................................................................................... 113
xv
PENDAHULUAN Latar Belakang Jagung
(Zea mays L) merupakan salah satu tanaman serealia sebagai
sumber energi kedua setelah beras dan potensial untuk mensubstitusi beras. Banyak wilayah Indonesia yang berbudaya mengkonsumsi jagung diantaranya Madura, Yogyakarta, Makassar, Kendari, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Karo, Dairi, Simalungun, NTT, sebagian NTB, pantai selatan Jawa Timur, pantai selatan Jawa Tengah, pantai selatan Jawa Barat, Bolaang Mongondow (Suprapto & Marzuki 2005). Berbeda dengan produksi beras yang dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan, produksi jagung mengalami fluktuasi setiap tahun. Meskipun berfluktuasi dari tahun ke tahun, namun akhir-akhir ini produksi jagung secara keseluruhan menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Produksi jagung yang semakin meningkat memungkinkan adanya berbagai bentuk pengolahan untuk memperpanjang masa simpan dengan sentuhan teknologi modern sehingga jagung dapat diperoleh setiap saat kapan pun diinginkan (Adisarwanto & Widyastuti 1999). Hingga saat ini jagung berperan sebagai bahan baku berbagai jenis industri baik pakan maupun pangan. Dalam bentuk biji utuh, jagung dapat diolah menjadi tepung jagung, beras jagung, dan makanan ringan (pop corn, jagung marning, dan lain- lain). Jagung yang diproses menjadi minyak menghasilkan minyak goreng, margarin, dan formula makanan seperti bakery. Pati jagung dapat digunakan sebagai bahan baku industri farmasi, makanan seperti es krim, sup, bakery dan juga minuman. Berbagai jenis produk berbasis jagung telah beredar dikalangan masyarakat utamanya swalayan. Di sisi lain, berbagai penelitian juga terus dilakukan untuk pengembangan produk jagung, antaranya pengembangan produk bubur jagung instan (Panggabean 2004), pengolahan mie jagung instan (Juniawati 2003), tape jagung (Hidayanti 2000), pengeringan emping jagung (Fauzia 2000). Sulawesi Selatan merupakan salah satu penghasil jagung terbesar di Indonesia Timur. Meskipun produksinya berfluktuasi tetapi pada tahun 2004 diperkirakan terjadi peningkatan sebesar ± 6.11% dari tahun 2003. Tabel 1 memperlihatkan produksi
jagung
menurut propinsi di Indonesia. Saat ini
2
Tabel 1 Produksi jagung menurut propinsi Propinsi
2000
Pertumbuhan (ton) pada tahun 2001 2002 2003
2004
Sumatera NAD 36.642 51.232 60.105 67.386 69.573 Sumut 666.764 634.162 640.593 687.360 711.447 Sumbar 56.386 48.820 67.241 85.410 98.215 Riau 48.493 39.915 38.588 31.635 38.952 Jambi 24.875 23.975 26.722 27.077 28.654 Sumsel 94.528 68.769 53.436 59.261 60.110 Bengkulu 46.638 41.557 52.190 52.723 53.546 Lampung 1.122.954 1.122.886 989.323 1.087.751 1.208.812 Bangka Belitung 1.112 931 2.053 3.148 Total Sumatera 2.097.280 2.032.428 1.929.129 2.100.656 2.272.487 Jawa DKI Jakarta 78 64 51 59 52 Jabar 412.020 361.061 464.264 443.729 540.824 Jateng 1.713.805 1.553.920 1.505.706 1.926.243 1.877.250 DI Yogyakarta 173.536 187.577 170.753 204.129 208.790 Jatim 3.487.735 3.529.968 3.692.146 4.181.550 4.284.705 Banten 30.396 19.216 24.875 28.007 Total Jawa 5.787.174 5.662.986 5.852.136 6.780.585 6.939.628 Bali 95.206 79.692 98.584 89.819 69.420 Nusa Tenggara NTB 66.216 50.777 57.785 64.228 68.970 NTT 527.230 553.298 580.900 583.355 656.219 Total Nusa Tenggara 593.446 604.075 638.685 647.583 725.189 Kalimantan Kalbar 31.631 35.500 46.813 84.581 98.801 Kalteng 9.239 7.830 7.730 9.226 7.514 Kalsel 37.011 38.279 29.012 30.158 47.625 Kaltim 13.827 10.378 12.181 10.997 13.160 Total Kalimantan 91.708 91.987 95.736 134.962 167.100 Sulawesi Sulut 224.599 150.459 116.897 144.668 145.697 Sulteng 53.323 49.095 48.498 49.177 54.029 Sulsel 633.020 515.405 661.005 650.832 690.621 Sultra 87.141 60.385 68.148 87.650 79.002 Gorontalo 81.720 130.251 183.998 190.867 Total Sulawesi 998.083 857.064 1.024.799 1.116.325 1.160.216 Maluku 7.092 10.351 7.096 7.895 8.352 Papua 6.910 8.609 7.940 4.839 8.213 - Data tidak tersedia Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanama n Pangan, 2004.
3
khususnya di Makassar, jagung dimanfaatkan sebagai jagung bakar, jagung rebus, pakan, sayuran dan konsumsi sehari-hari. Selain itu, jagung juga dimanfaatkan sebagai makanan tradisional yang dikenal dengan nama barobbo dan bassang yang cukup banyak digemari oleh masyarakat setempat. Bassang merupakan makanan tradisional masyarakat Sulawesi Selatan etnis Makassar, Bugis, Mandar, dan Toraja yang berbahan baku jagung. Dilihat dari penampakannya bassang ini hampir sama dengan bubur jagung. Jagung yang digunakan dalam pembuatan bassang ini adalah jagung tua, kering dan telah disosoh. Pembuatannya cukup sederhana yaitu hanya dengan memasak jagung sosoh hingga kental dengan memberikan tambahan santan, garam, gula dan tepung beras. Bassang banyak dijumpai pada pasar tradisional, pemukiman penduduk, kompleks perumahan dan sekolahan. Hingga saat ini hanya kalangan menengah ke bawah seperti pedagang, tukang becak, pegawai kantor, ibu rumah tangga, sopir, dan
buruh yang sering mengkonsumsi bassang sebagai sarapan karena
selain harganya murah, rasanya enak juga dapat memberikan asupan energi yang cukup untuk menjalani aktifitas. Hal ini mendorong perlu dilakukannya suatu sentuhan teknologi modern sehingga dapat memberikan nuansa keindahan pada produk pangan dengan kualitas yang tinggi sehingga bassang ini dapat juga dikonsumsi oleh masyarakat menengah ke atas. Di sisi lain, secara tradisional dibutuhkan waktu penyajian yang sangat lama untuk menghasilkan bassang yaitu ± 23 jam (Tawali et al. 2003). Sejalan dengan perkembangan kemajuan teknologi proses pengolahan pangan yang dibarengi dengan adanya kemajuan kehidupan masyarakat mengakibatkan adanya tuntutan masyakarat untuk mendapatkan kemudahan dalam penyajian pangan. Salah satunya adalah dengan menghasilkan bahan pangan instan. Diharapkan dengan adanya optimasi proses penginstanan khususnya pada produk pangan tradisional berbasis jagung dapat dihasilkan bassang yang berkualitas tinggi sebagaimana yang diharapkan.
4
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk memperoleh optimasi pengeringan grits jagung dan tepung santan sebagai bahan baku bassang instan yang berkualitas tinggi. Manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian ini adalah : 1. Diperoleh proses pengeringan grits jagung instan yang optimal. 2. Diperoleh proses pengeringan tepung santan instan secara optimal. 3. Diperoleh formulasi bassang instan yang secara organoleptik dapat diterima oleh panelis (konsumen).
Hipotesis Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini adalah bahwa proses pengeringan jagung dan santan yang optimal memberikan karakteristik bassang instan yang berkualitas tinggi baik dari segi fisik, kimia maupun organoleptik.
5
TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Anatomi Jagung Jagung (Zea mays L) tumbuh baik di daerah beriklim sedang yang panas, daerah beriklim subtropis yang basah, dan dapat pula tumbuh baik di daerah tropis. Jagung merupakan tanaman berumah satu atau monoekus, yaitu bunga jantan dan betina letaknya terpisah dalam satu tanaman. Batangnya padat (solid), terisi teras. Di dalam teras terdapat berkas-berkas pembuluh, seolah-olah tidak beraturan. Sedangkan akarnya terdiri dari akar tunggang, akar tunjang, akar lateral (samping) dan akar rambut. Akar utama yang keluar dari pangkal batang berjumlah antara 20-30 sedangkan akar lateral yang tumbuh dari sini banyak sekali yaitu ratusan untuk tiap akar utama dengan panjang 2.5-25 cm dan mungkin dari sisi tumbuh akar lateral lagi (Sumadi & Rasyid 2002). Secara botanis jagung dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Klas
: Monocotyledonae
Ordo
: Glumifolrae
Famili
: Gramineae
Genus
: Zea
Spesies
: mays
Produktivitas tanaman jagung dipengaruhi oleh lingkungan seperti iklim dan kondisi lahan serta varietas yang ditanam (Anonim 1992). Suhu optimum untuk pertumbuhan jagung berkisar antara 24-30o C. Jagung dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah selama mendapatkan pengelolaan yang baik. Tanah dengan tekstur
lempung
berdebu
adalah
yang
terbaik
untuk
pertumbuhannya. Keasaman tanah (pH) yang baik untuk pertumbuhan jagung antara 5.6-7.5. Jagung dapat ditanam secara monokultur, tumpang sari, atau campuran. Tanaman yang sering digunakan petani dalam sistem tumpang sari adalah padi, ubikayu, kacang-kacangan (Briawan et al. 1999).
6
Lokasi penanaman jagung adalah lahan kering, lahan sawah, dan lahan pasang surut yang masing- masing memiliki teknik budidaya dan varietas tertentu (Adisarwanto & Widyastuti 1999). Berdasarkan warna biji, jagung dibedakan menjadi jagung kuning dan jagung putih. Sedangkan berdasarkan komposisi pati, jagung dikelompokkan menjadi jagung manis, jagung ketan, jagung beramilosa tinggi. Sedangkan berdasarkan tipe endosperma, jagung dibedakan atas jagung mutiara, jagung gigi kuda, jagung manis, jagung berondong, jagung ketan, jagung tepung, dan jagung pod. Oleh Johnson (1991) tipe jagung dideskripsikan sebaga i berikut : 1. Dent corn (Zea mays indentata) Dent corn atau jagung gigi kuda ini dicirikan dari bijinya yang mengalami depresi ditengah atau dent pada bagian biji sebelah atasnya. Lekukan pada bagian atas timbul karena pengkerutan lapisan tepung pada waktu mengering. Sedangkan zat tepung yang terletak di biji bagian sampingnya adalah keras (corneous) sedangkan zat tepung yang menuju ke ujung apeks adalah lunak. Jagung ini ukurannya besar, putih, kuning dan merah, kurang tahan terhadap serangan hama bubuk. 2. Flint corn (Zea mays indurata) Flint corn disebut juga jagung mutiara dengan ukuran biji sedang, bentuk bulat, tidak berlekuk dan warna biji ada yang merah, putih dan kuning. Biji jagung mengandung zat tepung yang lunak hanya di bagian dalamnya, dalam jumlah sedikit saja, sedangkan di sebelah luarnya adalah keras (horny starch). Bagian biji yang keras ini tidak mengalami dispersi waktu masaknya atau sewaktu mengering. 3. Sweet corn (Zea mays saccharata) Sweet corn atau jagung manis dicirikan oleh biji yang banyak mengandung gula dan sedikit pati. Bila biji kering maka akan berkeriput. Biji jagung manis selain mengandung pati juga mengandung amilopektin. 4. Soft corn atau flour corn (Zea mays amylase) Soft corn atau flour corn disebut juga jagung tepung. Jagung jenis ini mempunyai biji yang mengandung hampir seluruhnya pati yang lunak. Jagung tepung ini agak bersamaan dalam sifat-sifat tanaman dan tongkolnya. Jenis ini
7
banyak ditanam di Amerika Serikat, Columbia, Peru, Bolivia dan Afrika Selatan. 5. Pop corn (Zea mays avertia) Pop corn disebut juga jagung berondong. Biji jagung ini mempunyai bentuk bermacam- macam, yang penting apabila sedikit dipanaskan akan segera mengembang. Biasanya biji kecil mengandung pati yang keras. 6. Pod corn (Zea mays tunicata) Jagung ini biasanya mempunyai bentuk yang lain yaitu tiap biji pada janggel diselubungi oleh kelobot kecil dan juga tongkolnya sendiri diselubungi kelobot. Pod corn ini dianggap jagung yang paling dulu ditemukan. 7. Jagung ketan atau waxy corn (Zea mays ceratina) Biji jagung ketan mirip lilin dan zat patinya menyerupai tepung tapioka. Merupakan jagung dengan kadar amilopektin 99% dan biasanya diproduksi untuk makanan ternak. Berbagai pengelompokan jenis jagung tersebut di atas diperlihatkan pada Gambar 1. Jagung yang banyak ditanam di Indonesia adalah jenis mutiara, gigi kuda, manis dan berondong.
Dent Flint Pop Flour Popcorn Flint
Dent
Flour
Sweet = Horny Starch
= Soft Starch
Pod Gambar 1 Karakteristik struktur biji jagung (Johnson 1991)
= Germ
8
Biji jagung terdiri dari 4 bagian terbesar yaitu perikarp (5%), endosperma (82%), lembaga (12%) dan tip cap (1%). Endosperma terdiri atas bagian lunak (floury) yang sebagian besar tersusun dari granula pati dan bagian keras (horny) tempat terdapatnya interaksi kuat antara butiran pati dan protein. Gambar 2 memperlihatkan penampang biji jagung dan bagian-bagiannya serta komposisinya (Gambar 3).
Lapisan aleuron Perikarp Endosperm Skutelum Koleoptil Plumula Radikula
Gambar 2 Penampang biji jagung dan bagian-bagiannya (Rukmana 1997)
Air – 13% Protein – 8% Pati – 62% Serat – 8% Lemak – 7% Abu – 2%
Gambar 3 Komposisi biji jagung (Schroeder 1997)
Komponen Kimia Jagung Komponen utama jagung adalah karbohidrat sebesar 60%, lemak dan protein. Dibandingkan dengan beras, kandungan protein jagung lebih tinggi yaitu sebesar 8%. Karbohidrat utama pada jagung hibrida adalah pati yang terdiri dari amilosa (1000 unit glukosa) 70 - 75% dan amilopektin (lebih dari 40.000 unit glukosa). Sukrosa merupakan komponen gula utama pada jagung dan protein
9
utama pada jagung adalah zein. Lemak pada jagung adalah asam linoleat, oleat, palmitat, stearat, linoleat dan arakidat (Suprapto & Marzuki 2005). Diantara bijibijian kandungan vitamin A jagung paling tinggi sebesar 440 SI. Komposisi kimia dan zat gizi jagung kuning pipilan per 100 g disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi kimia dan zat gizi berbagai jenis jagung per 100 g bahan Komponen
Energi (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air (g) Bagian yang dapat dimakan (%) Sumber : Rukmana 1997
Jagung kuning segar 140.0 4.7 1.3 33.1 6.0 118.0 0.7 435.0 0.24 8.0 60.0 90.0
Jagung kuning pipilan 307.0 7.9 3.4 63.6 9.0 148.0 2.1 440.0 0.33 0.0 24.0 90.0
Jagung kuning giling 361.0 8.7 4.5 72.4 9.0 380.0 4.6 350.0 0.27 0.0 13.1 100.0
Tepung jagung kuning 335.0. 9.2 3.9 73.7 10.0 256.0 2.4 510.0 0.38 0.0 12.0 100.0
Maizena 343.0 0.3 0.0 85.0 20.0 30.0 1.5 0.0 0.00 0.0 14.0 100.0
Jenis protein yang terkandung di dalam jagung adalah albumin, globulin, prolamin, luten dan skaleroprotein. Sebanyak 85% lipid terdapat di dalam lembaga dan terdiri dari asam lemak linoleat 59%, oleat 25%, palmitat 12%, stearat 2%, linolenat 0,8% dan arakidat 0,2%. Sedangkan mineral yang terkandung dalam jagung adala h kalsium, fosfor, kalium, magnesium, besi, natrium, dan sulfur. Jenis vitaminnya adalah vitamin larut air yaitu niasin, asam pantotenat, riboflavin dan thiamin. Biji jagung terdiri dari kulit ari, lembaga, tip cap dan endosperma. Tabel 3 memperlihatkan penyebaran komponen kimia biji jagung dimana sebagian besar pati (85%) terdapat pada endosperma. Pati terdiri dari reaksi amilopektin (73%) dan amilosa (27%). Serat kasar terutama terdapat pada kulit ari. Komponen utama serat kasar adalah hemiselulosa (41,16%). Gula terdapat pada lembaga (57%) dan endosperma (15%). Protein sebagian besar terdapat pada endosperma.
10
Tabel 3 Penyebaran komponen kimia jagung tanpa air pada struktur biji Bagian biji
Kernel (%) Endosperma 82.3 Lembaga 11.3 Kulit ari 5.3 Tip cap 0.8 Sumber : Lorenz & Karel 1991.
Pati (%) 86.4 8.2 7.3 5.3
Protein (%) 9.4 18.8 3.7 9.1
Lemak (%) 0.8 34.5 1.0 3.8
Gula (%) 0.6 10.8 0.3 1.6
Abu (%) 0.3 10.1 0.8 1.6
Dilihat dari penampakannya maka dapat diketahui komposisi kimia terbesar yang dikand ung dalam biji jagung. Strain protein tinggi mempunyai ukuran biji lebih kecil dan bagian keras (horny) daripada strain protein rendah. Demikian pula halnya pada strain lemak tinggi mempunyai biji lebih kecil dan germ lebih besar daripada strain lemak rendah. Gambar 4 menunjukkan penampakan biji jagung berdasarkan komposisinya.
Protein tinggi
Protein rendah
Lemak tinggi
Lemak rendah Gambar 4 Ukuran biji jagung berdasarkan komposisi kimia (Robert WJ 1958)
Instanisasi Berbagai definisi diberikan bagi pangan instan. Kamus besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa pangan instan berarti dapat langsung dimakan atau diminum tanpa dimasak lama. Instanisasi juga merupakan istilah yang mencakup perlakuan baik kimia ataupun fisika yang dapat memperbaiki karakteristik hidrasi
11
dari produk pangan dalam bentuk bubuk. Disisi lain, Hartomo dan Widiatmoko (1993), pangan instan merupakan bahan makanan yang mengalami proses pengeringan sehingga mudah larut dan mudah disajikan hanya dengan menambahkan air panas atau air dingin. Australian Academy of Technological Sciences and Engineering (2000) menyatakan bahwa pangan instan merupakan suatu produk pangan yang penyajiannya melibatkan pencampuran air atau susu dan dilanjutkan dengan berbagai proses pemasakan. Tujuan dari pembuatan pangan instan ini adalah untuk mengatasi masalah penggunaan produk pangan yang sering dihadapi, misalnya penyimpana n, transportasi, tempat dan waktu konsumsi. Beberapa kriteria suatu bahan pangan dapat dijadikan instan adalah bersifat hidrofilik, tidak ada lapisan gel, pembasahannya tepat tanpa menggumpal dan mudah terdispersi. Berbagai produk dapat diinstankan seperti bubuk coklat, krim kopi, susu, tepung terigu, beras, protein nabati dan hewani, bubuk buah dan sayur, sayur kering, mie, substitut kopi, serat (untuk diet), merica, basis sup dan lain- lain (Hartomo & Widiatmoko 1993). SNI-01-3551-2000 memberikan definisi mie instan sebagai mie yang terbuat dari terigu atau tepung beras atau tepung lain sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan lain, dapat diberi perlakuan dengan bahan alkali dan mengalami gelatinisasi sebelum pengeringan dimana sifat instan
dicirikan
pada
proses
rehidrasi
untuk
siap
dikonsumsi
serta
penambahan bumbu. Di sisi lain, SNI-01-4321-1996 menyatakan bahwa sup instan merupakan produk olahan kering instan yang dibuat dari daging, ikan, sayuran, serealia atau campurannya dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan
makanan
yang
diizinkan. Sedangkan SNI-01-3742-1995 tentang
bihun instan merupakan makanan kering yang dibuat dari tepung beras dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas bihun dan matang setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 3 menit. Hartomo dan Widiatmoko (1993) memberikan beberapa contoh terapan pangan instan, diantaranya adalah : (1) kopi instan. Instan kopi diaglomerasi dan lesitinasi. Zat penginstan ditambahkan pada konsentrat semprotan. Struktur dan
12
sifat aliran aglomerat produk akhirnya bertambah baik, mencegah pembubukan kembali, mengikat flavor, menekan sifat hidroskopik, memperbaiki kelarutan, menetralkan iritasi lambung dan usus halus, (2) kanji dan pangan berkanji. Kanji dilesitinasi dengan komponen-komponen lain sehingga lebih mudah terdispersi dalam air dingin, tidak memisah, sifat aliran baik, tidak higroskopik, (3) susu dan produk susu. Lesitin berperan dalam menstabilkan struktur buih krim susu, dengan penyemprotan penginstan pada bubuk, partikel terlapisi fosfatida yang gugus hidrofilik lesitinnya mencuat dari permukaannya sehingga mudah dibasahi, meningkatkan dispersi lemak permukaannya serta membantu distribusi dan stabilisasi komponen proteinnya. Di sisi lain, Owens (2001) mengemukakan bahwa beras instan dapat dibuat dengan beberapa metode, yaitu : (1) metode soak-boil-steam-dry, yaitu beras direndam dalam air hingga diperoleh kadar air 30% dan kemudian dimasak dalam air mendidih hingga mencapai kadar air 50-60% dengan atau tanpa penguapan lalu dikeringkan hingga kadar air 8-14% untuk mempertahankan struktur poros, (2) metode pengembangan dan pregelatinisasi, yaitu beras direndam, ditanak, dikukus hingga tergelatinisasi, lalu dikeringkan pada suhu rendah hingga menghasilkan struktur padat kemudian di. kembangkan pada suhu untuk menghasilkan struktur poros dalam produk, (3) metode bumping, yaitu beras dipregelatinisasi, digiling untuk meratakan biji dan dikeringkan hingga struktur padat, (4) metode panas kering, yaitu beras dihembuskan ke udara panas pada suhu 65-82o C selama 10-30 menit atau 272o C selama 18 detik untuk mengembangkan biji, (5) metode freeze-thaw-drying, yaitu beras ditanak, kukus lalu dibekukan, dithawing dan dikeringkan.
Santan Kelapa Kelapa merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting bagi Indonesia di samping kakao, kopi, lada dan vanili. Buah kelapa berbentuk bulat panjang dengan ukuran kurang lebih sebesar kepala manusia. Buah terdiri dari sabut (ekskarp dan mesokarp), tempurung (endokarp), daging buah (endosperm)
13
dan air buah. Penampang buah kelapa disajikan pada Gambar 5 dan komposisi buah kelapa dapat dilihat pada Tabel 4 (Ketaren 1986).
air kelapa daging buah tempurung sabut
Gambar 5 Penampang melintang buah kelapa (Ketaren 1986)
Tabel 4 Komposisi buah kelapa (buah tua) Daging buah
jumlah berat (%)
Sabut
35
Tempurung
12
Daging buah
28
Air buah
25
Sumber : Ketaren 1986
Palungkun (2004) mengemukakan bahwa salah satu bahan masakan yang banyak dipakai di Indonesia adalah santan kelapa. Kekhasan rasanya belum dapat digantikan oleh bahan manapun. Teknik pembuatan santan hingga kini semakin berkembang, salah satunya adalah teknik pengawetan pasta santan yang dapat bertahan hingga 3 bulan tanpa perubahan kualitas. Selain itu komposisi lemak pada santan murni lebih besar dibanding pada krim santan. Sedangkan karbohidrat krim santan jauh lebih besar dibanding pada santan murni. Komposisi kimia santan murni dan krim santan disajikan pada Tabel 5.
14
Tabel 5 Komposisi kimia santan murni dan krim santan Bahan kimia
santan murni (%)
krim santan (%)
Protein
0.7
0.9
Lemak
35
17
Air
50
70
Karbohidrat
2.8
10.2
Sumber : Palungkun 2004
Pengeringan Pengeringan
merupakan
suatu
cara
untuk
mengeluarkan
atau
menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan dengan menggunakan energi panas. Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih tahan lama disimpan dan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan. Di sisi lain, pengeringan menyebabkan sifat asli bahan mengalami perubahan, penurunan mutu dan memerlukan penanganan tambahan sebelum digunakan yaitu rehidrasi (Muchtadi 1989). Proses pengeringan yang umumnya digunakan pada bahan pangan ada dua cara yaitu pengeringan dengan penjemuran dan pengeringan dengan alat pengering. Kelemahan dari penjemuran adalah waktu pengeringan lebih lama dan lebih mudah terkontaminasi oleh kotoran atau debu sehingga dapat mengurangi mutu akhir produk yang dikeringkan. Di sisi lain, pengeringan yang dilakukan dengan menggunakan alat pengering biayanya lebih mahal, tetapi mempunyai kelebihan yaitu kondisi sanitasi lebih terkontrol sehingga kontaminasi dari debu, serangga, burung dan tikus dapat dihindari. Selain itu pula dehidrasi dapat memperbaiki kualitas produk yang dihasilkan (Desrosier 1988). Pemilihan jenis alat dan kondisi pengering yang akan digunakan tergantung
dari
jenis
bahan
yang dikeringkan, mutu
hasil akhir yang
dikeringkan dan pertimbangan ekonomi, misalnya untuk bahan yang berbentuk pasta atau pure maka alat pengering yang sesuai adalah alat pengering drum, sedangkan untuk bahan yang berbentuk lempengan atau jenis bahan padatan dapat menggunakan pengering kabinet. Jenis alat pengering lainnya yang dapat
15
digunakan untuk bahan pangan adalah pengeringan terowongan, pengering semprot, pengering fluidized bed, pengering beku dan lain- lain (Mujumdar 2000).
Pengering Drum (Drum Dryer) Pengering drum merupakan tipe alat pengering yang terdiri dari satu atau lebih silinder dan terbuat dari logam yang berputar sesuai dengan porosnya pada posisi horizontal yang dilengkapi dengan pemanasan internal oleh uap air, air atau media cairan pemanas lainnya. Umpan bubur dan pasta dikeringkan pada permukaan drum yang dipanaskan oleh uap panas dan berputar perlahan- lahan. Lapisan yang telah kering dikikis dan dikumpulkan dalam bentuk kerak (Mujumdar 2000). Pengering drum digunakan untuk mengeringkan bahan pangan berbentuk cair, pasta, pure dan bubur. Susu, bubur kentang, pasta tomat dan pakan merupakan contoh bahan pangan yang menggunakan pengering drum dimana suhu permukaan yang tinggi menyebabkan bahan kering (Parker 2003). Prinsip kerja alat pengering drum adalah drum berputar dengan tenaga penggerak motor, dipanaskan dari bagian dalam dengan menggunakan steam. Panas permukaan drum mencapai suhu 120-170o C. Lapisan bahan yang akan dikeringkan disebarkan secara merata pada permukaan atas drum. Sebelum mencapai putaran penuh, bahan akan mengering dan dikikis oleh pisau yang berada disepanjang permukaan drum dengan arah melintang. Produk akhir ditampung di bawah permukaan drum (Hariyadi et al.
2000). Model alat
pengering drum diperlihatkan pada Gambar 6.
Gambar 6 Pengering drum (Fellows 1992)
16
Empat peubah kunci yang mempengaruhi tampilan pengering drum adalah: (a) tekanan uap panas atau suhu media pemanasan, (b) kecepatan putaran, (c) ketebalan film dan (d) sifat umpan, yaitu konsentrasi padatan, reologi dan suhu. Beberapa kelebihan pengering drum antara lain laju pemanasan tinggi serta menggunakan panas yang cukup ekonomis. Sedangkan kekurangannya adalah produk yang dikeringkan hanya berupa cairan, pasta atau bubur yang memiliki ketahanan terhadap suhu tinggi dalam waktu yang singkat yaitu ± 2 – 30 detik (Mujumdar 2000).
Pengering Fluidized Bed Pengering fluidized bed merupakan alat pengering yang biasa digunakan untuk pengeringan bahan berbentuk butiran, misalnya butiran kentang. Pada alat ini, udara panas dihembuskan melalui dasar partikel makanan dengan kecepatan yang
tinggi
untuk
mengatasi
kekuatan
gravitasi
dalam
produk
dan
mempertahankan partikel dalam bentuk suspensi (Jayaraman & Gupta 1995). Prinsip pengering fluidized bed adalah udara panas yang berasal dari heater electric dialirkan dengan bantuan fan. Aliran udara bergerak dengan tipe vertikal, dimana udara panas digerakkan dengan kecepatan yang tinggi sehingga akan menggerakkan
partikel
bahan
yang
dikeringkan.
Proses
tersebut akan
mengakibatkan seluruh permukaan bahan bersentuhan dengan udara panas (Hariyadi et al. 2000). Keuntungan dari pengering jenis ini adalah intensitas pengering dan efisiensi suhu tinggi, pengawasan suhu seragam dan teliti, lama pengeringan bahan dapat dirubah-rubah, waktu pengeringan lebih singkat dibandingkan dengan tipe alat pengering lainnya, peralatan operasi dan pemeliharaan sangat sederhana, proses dapat diatur secara otomatis tanpa adanya kesulitan dan beberapa proses dapat dikombinasi dengan pengering fluidized bed (Anonim 2005a). Alat ini dapat digunakan untuk mengeringkan sayuran dalam bentuk irisan, kacang polong, buncis, butiran kentang dan jus buah dalam bentuk tepung. Di sisi lain Anonim 2005b, menyatakan bahwa alat ini dapat diaplikasikan pada polimer (PET, PVC, polipropilen), aglomerat produk (deterjen, pangan instan, rubber additives), pharmaceuticals (aspirin, asam amino, acetaminophen), pangan
17
(dekstrin, dekstrosa, laktosa, kopi, jamur, bubuk keju), agrichemicals (MAP, NPK, urea). Alat ini juga dapat digunakan sebagai alat pengering kedua untuk menyelesaikan proses pengeringan yang dimulai dengan alat pengering lain. Pengeringan dengan alat ini dapat dilakukan secara proses batch atau kontinyu dengan beberapa modifikasi (Jayaraman & Gupta 1995). Model dari pengering fluidized bed dua-tahap disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7 Pengering fluidized bed dua-tahap (Mujumdar 2000)
Pengering Semprot (Spray Dryer) Pengering semprot pertama kali digunakan untuk mengeringkan susu sekitar tahun 1900 dan pada tahun 1930 digunakan untuk telur dan kopi. Alat ini juga disesuaikan untuk berbagai cairan berkadar air tinggi. Larutan atau cairan disemprotkan ke dalam aliran udara panas dalam bentuk butiran-butiran halus. Air dengan cepat menguap dan butiran-butiran halus tersebut menghasilkan partikel padat yang kering. Karena itu pengering semprot terdiri dari dua tahap proses yaitu proses atomisasi dan proses pengeringan (Sagara et al. 1990). Alat pengering semprot digunakan untuk mengeringkan suatu larutan dengan viskositas yang rendah menjadi bentuk tepung pada kadar air mendekati kesetimbangan
dengan
kondisi
udara
pada
tempat
produk
keluar
(Wirakartakusumah et al. 1992). Ciri khas dari penggunaan alat pengering semprot adalah siklus pengeringannya yang cepat, retensi produk dalam ruang pengering singkat dan produk akhir yang dihasilkan siap dikemas ketika proses pengeringan selesai (Heldman dan Singh 1988).
18
Pengering semprot merupakan suatu proses yang kontinyu, yang merubah bentuk suatu produk dari bentuk cair, suspensi atau pasta ke bentuk kering (bubuk). Misalnya digunakan pada susu, telur, kopi, kokoa, teh, kentang, campuran es krim, kream, mentega, yogurt dan bubuk keju, jus buah, ekstrak jamur dan daging, enkapsulasi flavor dan pati jagung atau gandum. Pengering semprot terdiri dari empat tahap proses yaitu : (1) penyemprotan bahan ke dalam ruang pengeringan, (2) kontak bahan dengan udara atau medium pengering, (3) penguapan air dari bahan, (4) pemisahan atau pengeluaran produk jadi (Fellows 1992). Beberapa keuntungan pengering semprot adalah : (1) produk akan menjadi kering tanpa menyentuh permukaan metal yang panas, (2) suhu produk akhir rendah walau udara pengeringan yang digunakan relatif tinggi, (3) penguapan terjadi pada permukaan yang luas sehingga waktu pengeringan yang dibutuhkan relatif singkat, (4) produk akhir berupa bentuk bubuk yang stabil sehingga memudahkan penanganan dan pengangkutan (Desrosier 1988). Prinsip dari pengering semprot adalah memompa bahan, menyemprot, mengeluarkan uap panas, menyebarkan uap, pengering chamber, dan sistem pembuangan gas pembersih udara sehingga dihasilkan bubuk (Anonim 2005c). model alat pengering semprot diperlihatkan pada Gambar 8.
Gambar 8 Skema proses pada instalasi pengering semprot
19
Pengering Kabinet (Cabinet Dryer) Pengering ini terdiri dari kabinet insulasi dengan wadah yang dilubangi dimana setiap lubang terdapat produk pangan yang akan dikeringkan. Udara panas dialirkan pada kabinet dengan kecepatan 0.5-5 m/detik. Udara tersebut dialirkan melalui sebuah pipa agar udara tersebut tersebar merata pada seluruh bagian kabinet. Pemanasan tambahan dapat juga diletakkan di atas atau disepanjang kabinet untuk meningkatkan laju pengeringan. Pengering kabinet digunakan untuk produksi skala kecil (1-20 ton/hari) atau skala pilot. Proses ini membutuhkan modal dan biaya pemeliharaan yang rendah tetapi memiliki kontrol yang rendah sehingga menyebabkan produk yang dihasilkan kualitasnya tidak seragam (Fellows 1992). Model alat pengering kabinet yang digunakan pada penelitian disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9 Pengering kabinet
Pengering Vakum (Vacuum Dryer) Barbosa-Canovas dan Vega-Mercado (1996) menjelaskan bahwa pengering vakum baik digunakan untuk pengeringan padatan berbentuk butiran, bubur dan lembaran. Pengering jenis ini sesuai untuk bahan pangan yang sensitif terhadap panas karena menggunakan sedikit atau tanpa udara. Suhu pengering yang digunakan relatif rendah dengan tekanan 50 mmHg (7 kPa). Saat ini pengering vakum dengan berbagai rancangan mekanis telah tersedia secara komersial. Pengering jenis ini lebih mahal daripada pengering bertekanan atmosfir. Gambar 10 dan 11 menunjukkan dua pengering vakum yang
20
tersedia di pasar. Pengering vakum jenis pedal cocok untuk bahan seperti lumpur sedangkan pengering vakum jenis sabuk cocok untuk bahan berbentuk pasta atau bubur. Bahan yang dikeringkan membentuk suatu lapisan di atas sabuk yang dipanaskan; dapat mendidih dan membentuk zat yang sangat berbusa dan berpori dengan densitas yang sangat rendah (Mujumdar 2000).
Gambar 10 Pengering vakum jenis pedal (Mujumdar 2000)
Gambar 11 Pengering vakum jenis sabuk (Mujumdar 2000)
Bahan Tambahan Pangan Winarno dan Rahayu (1994) menyatakan bahwa terdapat berbagai jenis pengertian tentang bahan tambahan makanan (pangan) tergantung dari negara pemakai. Secara umum yang dimaksud dengan bahan tambahan makanan adalah bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam makanan selama produksi, pengolahan,
21
pengemasan, ataupun penyimpanan untuk tujuan tertentu. Di Amerika Serikat, bahan tambahan makanan diartikan sebagai bahan yang ditambahkan ke dalam makanan.
Sedangkan
Codex
Alimentarius,
bahan
tambahan
makanan
didefinisikan sebagai bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komposisi/ingredient khas makanan, dapat bernilai gizi atau tidak bernilai gizi, ditambahkan kedalam makanan dengan sengaja untuk membantu teknik pengolahan makanan (termasuk orga noleptik) baik dalam proses pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, pengangkutan dan penyimpanan produk makanan olahan agar menghasilkan suatu makanan yang lebih baik.
Butylated hydroxytoluene (BHT) Winarno et al. (1980) menyatakan bahwa antioksidan adalah bahan yang digunakan untuk mencegah oksidasi lemak, misalnya digunakan pada bahan pangan yang akan digoreng, makanan dari biji-bijian dan makanan- makanan lain yang mengandung banyak lemak dan mudah tengik. Contoh-contoh antioksidan misalnya “butylated hidroxyanisol” (BHA), “butylated hidroxytoluena” (BHT), propil galat dan nordihydroguaiaretic (NDGA). BHT (2,6-di-tert-butyl-4-methylphenol) merupakan antioksidan berbentuk padat kristal, tidak larut dalam air, berwarna putih, dan lebih larut dalam bahan pangan berlemak. BHT larut dalam toluen, metanol, etanol, isopropanol, metil, etil keton, aseton, petroleum eter, benzene, dan pelarut hidrokarbon lainnya. BHT merupakan antioksidan bahan makanan, pakan, plastik, minyak sayur, dan sabun. BHT sering kali digunakan bersama BHA dalam pangan karena memberikan reaksi sinergis satu sama lain. Reaksi oksidatif pada kacang-kacangan dan produk kacang lebih efektif jika menggunakan BHT dan BHA secara bersama-sama. BHT penting sebagai antioksidan pangan karena mudah larut dalam gliserin dan gliserida, tidak larut dalam air dan mudah hilang oleh volatilisasi dan destilisasi, khususnya pada proses pengolahan seperti penggorengan (Branen et al. 2002). Struktur molekul BHT disajikan pada Gambar 12.
22
OH (CH3)3C
C(CH3)3
CH3
Gambar 12 Struktur molekul BHT (Taylor 1980)
Dekstrin Bahan pengisi adalah bahan yang ditambahkan untuk memperbesar volume dan meningkatkan jumlah total padatan. Kandungan total padatan berpengaruh terhadap lama proses pengeringan dan rendemen. Salah satu jenis bahan pengisi adalah dekstrin yang sengaja ditambahkan ke dalam bahan pangan dengan tujuan tertentu. Dekstrin merupakan oligosakarida yang dihasilkan dari hidrolisis pati secara tidak sempurna, akibatnya rantai panjang pati mengalami pemutusan dan terjadi perubahan sifat pati yang tidak larut dalam air menjadi dekstrin yang mudah larut dalam air. Dekstrin bersifat sangat larut dalam air panas dan air dingin, dengan viskositas yang relatif rendah. Sifat tersebut akan mempermudah penggunaan dekstrin bila dipakai dalam konsentrasi yang cukup tinggi (Lineback & Inlett 1982). Selama pembentukan dekstrin terjadi transglukosidasi dimana terjadi perubahan ikatan α-1,4-glukosidik menjadi ikatan α-1,6-glukosidik. Perubahan ini menyebabkan dekstrin tidak kental, lebih cepat terdispersi dan lebih stabil daripada pati. Jika dilarutkan, gugus- gugus hidroksil dari monomer- monomer dekstrin (unit-unit D- glukosa) akan membentuk ikatan hidrogen dengan molekulmolekul air disekitarnya. Gugus hidroksil akan membentuk ikatan hidrogen dengan gugus hidroksil lain dari sesama monomer sehingga terbentuk kristal apabila air dihilangkan dengan cepat misalnya dengan menggunakan alat pengering semprot. Molekul- molekul polar, seperti alkohol, ester dan keton (komponen-komponen flavor) akan menggantikan posisi molekul air dan terperangkap di dalam matriks yang amorf jika terdapat didalamnya (Fennema 1985).
23
Branen et al. (2002) menyatakan bahwa dekstrin terdapat dalam berbagai tipe dan kualitas. Dekstrin dihasilkan dari berbagai variasi sumber pati, kandungan air, katalis, temperatur dan waktu pemanasan yang digunakan. Klasifikasi dekstrin berdasarkan hidrolisis asam dan pemanasan dapat dibedakan menjadi dekstrin putih, dekstrin kuning (canary dextrins) dan british gums. Dekstrin
putih
dihasilkan
dengan
pemanasan
suhu
79-121o C
dengan
menggunakan katalis asam seperti HCl atau asam asetat dengan karakteristik produk berwarna putih hingga krem. Dekstrin kuning dihasilkan dengan pemanasan suhu 149-190o C menggunakan katalis asam dengan karakteristik produk berwarna krem hingga kuning kecoklatan. British gums dihasilkan dengan pemanasan tanpa asam atau dengan alkali dengan karakteristik berwarna coklat muda hingga coklat gelap. Pemanasan kering (tanpa penambahan air) seperti penyangraian dan pemanggangan akan menyebabkan dekstrin terpolimerasi membentuk senyawa coklat yang disebut pirodekstrin. Dekstrin mempunyai rumus molekul (C 6 H10 O5 )n , struktur molekulnya bercabang dan lebih kecil dibandingkan dengan pati. Struktur molekul dekstrin berbentuk spiral sehingga molekul- molekul flavor akan terperangkap di dalam struktur spiral helix. Dengan demikian penambahan dekstrin dapat menekan kehilangan komponen volatil selama proses pengeringan (Shallenberger & Birch 1975). Gambar 13 memperlihatkan struktur molekul dekstrin.
Gambar 13 Struktur molekul dekstrin (Shallenberger & Birch 1975)
24
METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Laboratorium AP4 (Agricultural Pilot Plant and Processing Project) IPB, Laboratorium Pilot Plant Seafast Center IPB, Laboratorium Pengembangan Produk dan Proses Pangan Seafast Center IPB, Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan Seafast Center IPB. Penelitian dilakukan selama 8 bulan yait u berlangsung pada bulan Juni 2005 hingga Februari 2006.
Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan bassang instan adalah jagung lokal (dikenal dengan nama jagung pulut) dari Makassar. Bahan lain yang digunakan antara lain CaCl2 , natrium sitrat, tepung beras, sorbat, BHT (Butylated hydroxytoluene), dekstrin dan santan, bahan untuk analisis proksimat, uji analisis mutu dan uji organoleptik. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah oven (model united heater), desikator, pengering drum (R. Simon dryers Ltd.), pengering fluidized bed (model IC 49D batch fluidized solid drier), pengering kabinet (MK3 Laboratory equipment Mfg.), pengering semprot (model Buchi 190 mini spray dryer), mesin penyosoh (Satake Grain Testing Mill), oven vakum (vacuum oven model VO-7-3 Ogawa Seiki Co., Ltd.), alat tanak laboratorium (Altanalab), termometer, blender dan alat-alat untuk analisis proksimat dan organoleptik.
Metode Penelitian Metode percobaan terdiri dari empat tahap. Pada tahap pertama dilakukan proses pembuatan grits jagung (Anonim 1982) dengan modifikasi. Pada tahap kedua dilakukan proses pembuatan grits jagung instan. Pada tahap ketiga dilakukan proses pembuatan tepung santan instan (Tawali et al. 2003) dengan modifikasi. Sedangkan pada tahap keempat dilakukan formulasi bassang instan
25
dengan beberapa rasio jagung dan santan. Tahapan dari seluruh kegiatan penelitian secara lengkap disajikan pada Gambar 14.
Jagung pipil Perhitungan rendemen, kadar amilosa dan uji proksimat
Tahap 1 Pembuatan grits jagung sosoh secara basah
Perhitungan rendemen, Tahap 2 uji rasio rehidrasi, penyerapan air dan pengembangan volume, densitas kamba, gelatinisasi, porositas dan uji proksimat
Pembuatan grits jagung instan
Pembuatan tepung Tahap 3 Uji viskositas, daya dispersi, derajat santan instan keputihan, densitas kamba, proksimat dan bilangan TBA
Bassang instan Tahap 4 Uji organoleptik Pengolahan data
Gambar 14 Prosedur tahapan penelitian secara lengkap
1. Pembuatan Grits Jagung Pembuatan grits jagung dilakukan terlebih dahulu dengan proses penyosohan jagung secara basah. Pada prinsipnya, penyosohan jagung secara basah dilakukan dengan menambahkan larutan NaOH 0.05% mendidih ke dalam biji sehingga kulit ari jagung pulut mudah dilepaskan secara menyeluruh. Dilanjutkan proses penetralan dengan melakukan perendaman biji jagung dalam larutan HCl 0.05% selama 10 menit. Tahap akhir dilakukan proses pengeringan hingga mencapai kadar air ± 10-13%. Sehingga diperoleh grits jagung sosoh. Perendaman biji jagung ke dalam larutan NaOH 0.05% dilakukan dengan perbandingan 1:1. Proses pemanasan dilakukan selama 10 menit. Kemudian jagung dicuci dengan air bersih. Setelah itu dilakukan penetralan dalam
26
larutan HCl 0.05% selama 10 menit dengan perbandingan 1:1. Dilanjutkan pencucian dengan air hingga bersih kurang lebih 5 kali pencucian selanjutnya dilakukan pengeringan dengan menggunakan pengering kabinet pada suhu 40o C selama 12 jam. Pada tahap akhir dilakukan proses penyosohan jagung dengan menggunakan alat sosoh Satake Grain Testing Mill selama 1 menit sebanyak 100 g setiap kali proses. Hasil akhir diperoleh bentuk grits jagung pulut. Analisis yang dilakukan terhadap grits jagung sosoh kering ini adalah rendemen, kadar amilosa dan uji proksimat. Diagram alir dari proses penyosohan grits jagung secara lengkap disajikan pada Gambar 15.
Larutan NaOH 0.05% Jagung pipil Dididihkan Perendaman jagung secara menyeluruh (jagung : larutan = 1 : 1, 10 menit) Pencucian dengan air hingga bersih Perendaman dalam larutan HCl 0.05% (jagung : larutan = 1 : 1, 10 menit) Pencucian dengan air hingga bersih Pengeringan dengan pengering kabinet (40o C; 12 jam) Pengecilan ukuran biji (menggunakan mesin penyosoh beras) Grits jagung sosoh Perhitungan rendemen, kadar amilosa dan uji proksimat
Gambar 15
Prosedur pembuatan grits jagung secara basah dengan modifikasi (Anonim 1982).
27
2. Pembuatan Grits Jagung Instan Setelah diperoleh fraksi grits jagung selanjutnya dilakukan proses pembuatan grits jagung instan, yaitu pada prinsipnya dengan melakukan penambahan bahan kimia berupa CaCl2 dan natrium sitrat yang dimaksudkan sebagai pembukaan awal sifat porous jagung dan kemudian dilakukan pengeringan menggunakan pengering kabinet, oven, vakum dan pengering fluidized bed sehingga dihasilkan produk akhir yang instan sebagaimana yang diharapkan. Analisis yang dilakukan terhadap grits jagung instan ini adalah rendemen, uji rasio rehidrasi, penyerapan air dan pengembangan volume nasi, densitas kamba, gelatinisasi, porositas, uji proksimat. Diagram alir proses pembuatan grits jagung instan secara lengkap disajikan pada Gambar 16.
3. Pembuatan Tepung Santan Instan Pada tahap ini dilakukan proses pembuatan tepung santan instan yang pada prinsipnya menambahkan antioksidan dan bahan pengawet pada santan lalu dikeringkan menggunakan pengering drum dan pengering semprot sehingga akan diperoleh tepung santan instan. Penambahan tepung beras sebanyak 1:1 dengan jumlah santan yang digunakan. Formulasi antara penambahan BHT, sorbat dan dekstrin disajikan pada Tabel 6 sedangkan diagram alir penelitian pembuatan tepung santan instan ini secara lengkap disajikan pada Gambar 17. Analisis yang dilakukan terhadap tepung santan instan ini adalah uji viskositas, daya dispersi, derajat keputihan, densitas kamba, proksimat dan bilangan TBA tepung santan instan.
28
Grits jagung
CaCl2 (0.05;0.1;0.2%)
Na-sitrat (0.1;0.5;1.0%)
Perendaman (2 jam)
Pengaronan (5 menit) Pengukusan (10 menit) Pembekuan lambat (-10 sampai – 20o C; 44 jam)
Pembekuan cepat (-40 sampai – 50o C; 30 menit)
Thawing (27o C)
Thawing (27o C)
Pengeringan : 1. Pengering kabinet (40o C;15 jam) 2. Pengering fluidized bed (40o C;2 jam) 3. Pengering oven (40o C;6 jam) 4. Pengering vakum (40o C;15 jam)
Grits jagung instan Perhitungan rendemen, uji rasio rehidrasi, penyerapan air dan pengembangan volume, densitas kamba, gelatinisasi, porositas dan uji proksimat Gambar 16 Diagram alir pembuatan grits jagung instan
29
Kelapa segar Pengeluaran testa Pencucian Blanching 100o C, 90 detik Pemarutan Pencampuran dengan air (2:1 b/v) Pemerasan
Tepung beras (tepung beras : santan = 1:1)
Penyaringan Tergelatinisasi Santan, sorbat (0.1%, 0.2%), BHT (0.01%, 0.02%) tepung beras, dekstrin (santan:dekstrin = 1:1 ; 1:2 ; 1:3)
Homogenisasi Pemasakan (90o C, 5 menit)
Pengeringan Pengering drum (110o C) Pemblenderan
Pengering semprot (inlet 170;outlet 95o C) Tepung santan instan
Uji viskositas, daya dispersi, derajat keputihan, densitas kamba, proksimat dan bilangan TBA Gambar 17 Proses pembuatan tepung santan instan dengan modifikasi (Tawali et al. 2003)
30
Tabel 6 Perlakuan yang diberikan pada pembuatan tepung santan instan Perlakuan
Bahan Tambahan BHT (%)
Sorbat (%)
Dekstrin
A
0.01
0.1
1
B
0.01
0.1
2
C
0.01
0.1
3
D
0.01
0.2
1
E
0.01
0.2
2
F
0.01
0.2
3
G
0.02
0.1
1
H
0.02
0.1
2
I
0.02
0.1
3
J
0.02
0.2
1
K
0.02
0.2
2
L
0.02
0.2
3
4. Formulasi Bassang Instan Pada tahap ini setelah diperoleh hasil yang terbaik dari grits jagung instan dan tepung santan instan maka dilanjutkan dengan memformulasikan produk sehingga dihasilkan bassang instan sebagaimana yang diharapkan. Masing- masing formula yang diperoleh kemudian dilakukan uji organoleptik untuk melihat sejauh mana tingkat penerimaan panelis terhadap produk baru ini. Panelis yang digunakan adalah panelis semi terlatih sebanyak 20 orang. Pengujian ini menggunakan metode ranking test. Adapun prosedur dalam tahapan ini diperlihatkan pada Gambar 18.
31
Jagung grits instan Aron 5 menit dan kukus 10 menit hingga jagung mengembang
Tepung santan
Penambahan air (1-3 bagian air/berat tepung)
Pencampuran
Uji organoleptik
Rasa
Warna
Tekstur
Kekentalan
Aroma
Gambar 18 Formulasi bassang instan
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap faktor tunggal yang diulang 2 kali. Model rancangan percobaan yang digunakan sebagai berikut : Yij = µ + τi + ε ij dimana : Yij = pengamatan pada perlakuan ke- i dan ulangan ke-j µ
= nilai tengah umum
τi
= pengaruh perlakuan ke- i
ε ij
= pengaruh acak pada perlakuan ke- i ulangan ke-j Apabila perlakuan berpengaruh nyata maka akan dilanjutkan dengan uji
jarak berganda Duncan pada taraf 1% untuk mengetahui apakah ada perbedaan nyata antar perlakuan. Analisis dilakukan dengan menggunakan software SAS v6.12
32
Metode Analisis Analisis Fisik 1. Rendemen (Muchtadi & Sugiyono 1992) Perhitungan rendemen dalam pembuatan grits jagung didasarkan pada perbandingan antara berat grits jagung akhir dengan berat biji jagung awal yang digunakan. Sedangkan perhitungan rendemen dalam pembuatan grits jagung instan didasarkan pada perbandingan antara berat grits jagung instan kering dengan berat grits jagung awal yang digunakan. Dirumuskan sebagai berikut : Rendemen (%) = (berat produk / berat bahan) x 100% 2. Densitas kamba (Muchtadi & Sugiyono 1992) Pengukuran densitas kamba dilakukan dengan menyiapkan sampel kering dan gelas ukur 50 ml. Pada tahap awal dilakukan penimbangan dan pencatatan berat gelas ukur (a g) kemudian sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur 50 ml sampai tanda tera. Kemudian dilakukan pengukuran berat gelas ukur yang berisi sampel (b g). Densitas kamba dihitung dengan rumus : Densitas kamba =
(b
a) g 50 ml
3. Porositas (Suliantari 1988) Ke dalam gelas ukur berukuran 25 ml dimasukkan butiran-butiran grits instan sampai tanda tera kemudian ditambahkan toluen sampai butiran tersebut terendam lalu diukur volume toluen yang dibutuhkan. Perhitungannya adalah sebagai berikut : N=
Dimana : N = porositas Vc = volume cairan V = volume total
Vc × 100% V
33
4. Rasio rehidrasi (Oktavia 2002) Rasio rehidrasi dihitung dengan memasukkan contoh sebanyak 10 g ke dalam gelas piala dan ditambah dengan 100 ml akuadest. Contoh kemudian dimasukkan ke dalam waterbath bersuhu 80o C selama 10 menit. Hasil pemasakan dibiarkan sampai mencapai suhu kamar, kemudian sampel yang telah mengalami rehidrasi ditimbang. Rasio rehidrasi dihitung dengan rumus :
Rasio rehidrasi =
berat sampel setelah rehidrasi (g ) berat sampel sebelum rehidrasi (g )
5. Penyerapan air dan pengembangan volume (Hubeis 1985) Penyerapan air nasi jagung dihitung berdasarkan penimbangan berat grits jagung awal. Penyerapan air nasi dihitung berdasarkan perbandingan berat nasi jagung dengan berat grits jagung awal. Dirumuskan sebagai berikut : Penyerapan air nasi (%) =
berat nasi jagung - berat beras jagung × 100% berat beras jagung
Pengembangan volume nasi jagung didasarkan pada pengukuran volume atau tinggi nasi jagung. Pengembangan volume nasi dihitung berdasarkan perbandingan tinggi nasi jagung dengan tinggi grits jagung awal. Dirumuskan sebagai berikut : Pengembang an volume nasi (%) =
tinggi nasi jagung - tinggi beras jagung × 100% tinggi beras jagung
6. Gelatinisasi (Sugiyono et al. 2004) Sampel ditimbang 0.1 g dan ditambahkan akuades 0.9 ml. Suspensi yang terbentuk diteteskan di atas gelas objek dan ditutupi dengan gelas penutup. Preparat diamati di bawah mikroskop polarisasi.
34
7. Lama masak (Supriadi 2004) Uji instan dilakukan dengan cara merebus air tiga bagian sampai mendidih, setelah itu satu bagian grits jagung instan direbus hingga matang. waktu dicatat mulai dari perebusan grits jagung instan sampai matang. 8. Viskositas metode Brookfield Pengukuran viskositas dilakukan dengan alat viskometer Brookfield. Sejumlah sampel kira-kira 5% dimasukkan ke dalam wadah gelas. Lalu spindel dipasang pada alat viskometer dengan kecepatan putar tertentu. Baca kekentalan sampel setelah alat dikunci dan dihentikan. Nilai viskositas terukur dalam satuan cP (centiPoise). Nilai viskositas (cP) = angka pembacaan X faktor pengali Tabel 7 Faktor pengali untuk tiap spindel dan rpm yang digunakan No.
Kecepatan putaran
spindel
6
12
30
60
1
10
5
2
1
2
50
25
10
5
3
200
100
40
20
4
1000
500
200
100
viskositas (cP) = angka pembacaan X faktor pengali 9. Daya dispersi metode wetting time (Park et al. 2001) Waktu basah didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan oleh tepung dari sejak tepung dimasukkan ke dalam air hingga semua tepung basah. Sampel tepung sebanyak 0.4 g dimasukkan ke dalam air sebanyak 40 ml dalam botol kecil. Daya dispersi dilakukan pada suhu kamar tanpa pengadukan, waktu dicatat dengan menggunakan stopwatch.
35
10. Warna metode Hunter (Floyd et al. 1995) Sampel tepung difoto menggunakan chromameter CR-200 sehingga diperoleh nilai L, a dan b. Pengukuran warna didasarkan pada indeks keputihan dengan menggunakan persamaan : W = 100 - (100 - L) 2 + a 2 + b 2
Dimana :
W = derajat keputihan L = kecerahan a = warna merah jika bertanda + dan hijau jika bertanda – b = warna kuning jika bertanda + dan biru jika bertanda –
Analisis Kimia 1. Kadar air metode oven (AOAC 1999) Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan aluminium ya ng sebelumnya telah dikeringkan dalam oven pada suhu 105o C selama 1 jam dan diketahui beratnya. Selanjutnya, sampel yang telah dikeringkan sampai mencapai berat konstan kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Perbedaan berat sebelum dan sesudah pengeringan dihitung sebagai persen kadar air. Kadar air dihitung dengan persamaan : Ka (% bb) =
a -b × 100% a
Ka (% bk ) =
a -b × 100% b
Dimana : a = berat sampel mula- mula (g) b = berat sampel setelah dikeringkan (g)
36
2. Kadar abu metode tanur (AOAC 1999) Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan porselin yang sebelumnya telah diabukan dalam tanur pada suhu 600o C selama 1 jam dan diketahui beratnya. Selanjutnya sampel yang telah diabukan dalam tanur pada suhu 600o C selama 3 jam kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Perhitungan :
Kadar abu (% bb) =
Kadar abu (% bk ) =
Berat abu × 100% Berat sampel
Kadar abu (% bb) × 100% 100 - Kadar air (% bb)
3. Kadar lemak metode sokhlet (AOAC 1984) Sebanyak 5 g sampel yang telah dikeringkan, dibungkus dengan kertas saring lalu dimasukkan ke dalam labu sokhlet. Sementara itu petroleum eter dimasukkan ke dalam labu lemak yang telah ditimbang beratnya. Selanjutnya diekstraksi selama 5 jam. Destilasi pelarut yang ada di dalam labu lemak lalu dikeringkan dalam oven 105o C. Kadar lemak ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
Kadar lemak (% bb ) =
Berat labu akhir - Berat labu awal × 100% Berat sampel
Kadar lemak (% bk ) =
Kadar lemak (% bb) × 100% 100 - Kadar air (% bb)
4. Kadar protein metode mikro kjeldahl (AOAC 1984) Sampel ditimbang sebanyak 0.2 g kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 ml lalu ditambahkan 2 g K2 SO4 , 40 mg HgO dan 2.5 ml H2 SO4 pekat, setelah itu didestruksi selama 30 menit sampai cairan berwarna hijau jernih, dibiarkan sampai dingin, lalu ditambahkan 35 ml air suling dan 10 ml NaOH pekat sampai berwarna coklat kehitaman, kemudian didestilasi. Hasil
37
destruksi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi H3 BO3 dan indikator, lalu dititrasi dengan HCl 0.02 N, larutan blanko dianalisis seperti sampel. Kadar nitrogen dihitung berdasarkan rumus :
%N=
( HCl - blanko) ml × N HCl × 14.007 × 100% mg contoh
Kadar protein (% bb) = 6.25 × % N
Kadar protein (% bk) =
Kadar protein (% bb) × 100% 100 - Kadar air (% bb)
5. Kadar karbohidrat by difference Kadar karbohidrat dihitung menggunakan analisis by different yaitu dengan menggunakan rumus : Kadar karbohidrat (% bb) = 100 - % (protein + lemak + air + abu) Kadar karbohidrat (% bk) = 100 - % (protein + lemak + abu) 6. Nilai kalori (Almatsier 2002) Perhitungan nilai kalori makanan dapat dilakukan dengan menggunakan faktor Atwater menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein serta nilai energi faal makanan tersebut. Perhitungannya adalah sebagai berikut : Nilai energi = faktor atwater x kandungan gizi bahan pangan Energi
= (4 kal/g x kandungan karbohidrat) + (9 kal/g x kandungan lemak) + (4 kal/g x kandungan protein)
7. Kadar amilosa (Muchtadi & Sugiyono 1992) Pengukuran kadar amilosa didasarkan pada kurva standar. Mula- mula dilakukan pembuatan amilosa standar, yaitu dengan menimbang amilosa kentang sebagai amilosa murni sebanyak 40 mg lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1N. Campuran tersebut dipanaskan dalam air mendidih selama 5-10 menit sampai semua bahan terlarut dan didinginkan. Campuran dipindahkan ke dalam labu
38
takar 100 ml dan ditambahkan akuades sampai tanda tera. Pipet larutan campuran ke dalam labu takar masing- masing 1,2,3,4,5 ml. Ke dalam labu takar tersebut ditambahkan asam asetat 1 N berturut-turut sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8 dan 1 ml serta masing- masing 2 ml larutan iod. Kemudian ditambahkan air sampai tanda tera. Kocok, biarkan 20 menit. Ukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm yaitu panjang gelombang yang memberikan absorbansi maksimum untuk warna biru. Pembuatan kurva standar dengan cara menghubungkan antara kadar amilosa dengan absorbansinya. Jagung dibuat tepung dan diayak dengan ayakan 40 mesh. sampel ditimbang 100 mg
lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian
ditambahkan 1 ml etabol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Panaskan campuran tersebut dalam air mendidih selama 5-10 menit sampai semua bahan terlarut lalu dinginkan. Pindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan tambahkan akuades sampai tanda tera. Pipet 5 ml larutan ke dalam labu takar 100 ml, tambahkan 1 ml asam asetat 1 N, 2 ml larutan iod dan akuades hingga tanda tera, kocok lalu diamkan 20 menit. Ukur absorbansinya dengan menggunakan panjang gelombang yang sama dengan waktu pembuatan kurva standar. Kadar amilosa ditentukan menggunakan kurva standar. 8. Penetapan bilangan TBA metode Tarladgis (Arpah 1998) Timbang sampel sebanyak 10 g lalu dimasukkan kedalam waring blender, tambahkan 50 ml akuades dan lumatkan 2 menit. Pindahkan secara kuantitatif kedalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47.5 ml akuades. Tambahkan 2.5 ml HCl 4 M sampai pH 1.5. tambahkan batu didih dan pencegah buih secukupnya dan pasang labu destilasi pada ala t destilasi. Pemanasan dilakukan sedemikian sehingga diperoleh 50 ml destilat selama 10 menit. Aduk destilat yang diperoleh lalu pipet sebanyak 5 ml kedalam tabung reaksi. Tambahkan 5 ml pereaksi TBA lalu panaskan selama 25 menit dalam air mendidih. Dinginkan selama 10 menit kemudian baca absorbansinya pada ? 528 nm dengan larutan blanko sebagai titik nol. Blanko terdiri dari 5 ml akuades dan 5 ml pereaksi dan disiapkan seperti persiapan sampel. TBA dinyatakan dalam mg malonaldehide per kg sampel.
39
Uji Organoleptik metode ranking test (Soekarto & Hubeis 2000) Persiapan sampel dilakukan dengan cara grits jagung instan diaron selama 5 menit dan dikukus selama 10 menit. Sementara itu tepung santan instan ditambahkan air panas dengan rasio 1:1, 1:2 dan 1:3, diaduk hingga merata. Selanjutnya dilakukan proses pencampuran antara grits jagung dan tepung santan. Pengujian secara organoleptik dilakukan dengan uji peringkat (ranking test). Sampel dari setiap formulasi oleh para panelis diberikan urutan nomor menurut beda intensitas sifat indrawinya. Penomoran dimulai dari angka 1 hingga 7. Angka 1 menyatakan bahwa produk bassang paling disukai sedangkan angka 7 menyatakan bahwa produk bassang paling tidak disukai. Contoh formulir uji organoleptik secara lengkap disajikan pada lampiran 1. Panelis yang digunakan adalah panelis semi terlatih sebanyak 20 orang dari kalangan kampus IPB.
40
HASIL DAN PEMBAHASAN
Grits Jagung Pembuatan Grits Jagung Proses penyosohan jagung dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara basah dan kering. Proses penyosohan secara basah dalam larutan alkali lebih efektif dalam menghilangkan perikarp dari biji (Mistry & Eckhoff 1992; Eckhoff et al. 1999; Lazaro & Favier 2000), tidak merusak granula pati (Mistry & Eckhoff 1992) tetapi hanya panjang dan lebarnya saja yang berkurang 1 µm (He & Suzuki 1988), prosesnya mudah, singkat dan sederhana. Sebaliknya, proses penyosohan secara kering dapat menyebabkan kerusakan terhadap granula pati (He & Suzuki 1988). Proses pembuatan grits jagung dilakukan secara basah, yaitu sebelum dilakukan proses penyo sohan, jagung direndam terlebih dahulu dalam larutan NaOH (sodium hidroksida) 0.05% mendidih, kemudian dilanjutkan dengan perendaman dalam larutan HCl (asam klorida) 0.05%, masing- masing dengan perbandingan larutan : bahan adalah 1 : 1 selama 10 menit. Ketika dilakukan pemasakan dalam larutan NaOH terjadi perubahan warna pada biji jagung yang semula putih menjadi orange, demikian pula ketika dilakukan perendaman dalam larutan HCl warna jagung menjadi kuning muda. Perendaman dalam larutan HCl menyebabkan perubahan warna jagung menjadi kuning. Hal ini disebabkan karena HCl memiliki sifat asam yang kuat dimana selama hidrolisis terjadi dehidrasi antarmolekul glukosa menjadi 5hidroksimetil- furfural yang kemudian sebagian hilang menjadi levulinik dan asam format. Selanjutnya diikuti oleh reaksi yang memberikan warna kuning hingga coklat, disebut melanoidin (Dziedzic & Kearsley 1984). Perendaman jagung dalam larutan NaOH memberikan warna orange. Floyd et al. (1995) menyatakan bahwa warna jagung dapat dibedakan menjadi putih hingga kuning, orange, merah, ungu, dan coklat. Pigmen ini terdapat dalam lapisan perikarp, aleuron, endosperma dan skutelum. Akibatnya lapisan perikarp tertutupi oleh lapisan aleuron yang banyak mengandung pigmen sehingga warna
41
jagung lebih cerah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mistry dan Eckhoff (1992) bahwa jagung yang direndam dalam larutan alkali akan berwarna lebih cerah atau lebih gelap. Demikian pula yang dikemukakan oleh Ram et al. (2002) bahwa perendaman dalam larutan alkali menyebabkan terjadinya perubahan warna pada gandum (gandum merah menjadi merah tua; gandum putih menjadi kuning). Hal ini disebabkan karena berkurangnya proton asam ferulik pada senyawa fenolik dan asam karboksilat (Ram et al. 2003). Penambahan NaOH dimaksudkan untuk memisahkan kulit biji dari endosperma
(Anonim
2000).
Selanjutnya
penetralan
dilakukan
dengan
menambahkan larutan HCl 0.05%. Kemudian jagung dikeringkan pada suhu 40o C selama 15 jam dengan menggunakan pengering kabinet sehingga dihasilkan kadar air bahan 10-13%. Tahap akhir dari proses pembuatan grits jagung ini adalah melakukan proses pengecilan ukuran biji (penyosohan) dengan menggunakan alat sosoh Satake Grain Testing Mill (Gambar 19) selama 1 menit sebanyak 100 g setiap kali proses. Selama proses penyosohan dihasilkan jagung sosoh, grits jagung pecah, menir besar, menir kecil, dedak, tepung jagung, kulit biji dan lembaga. Adapun besarnya rendemen yang dihasilkan selama proses penyosohan jagung ini disajikan pada Tabel 8.
(a)
(b)
(c)
Gambar 19 Jagung pulut (a), alat sosoh (b) dan grits jagung yang dihasilkan (c)
42
Tabel 8 Rendemen hasil penyosohan biji jagung Komponen
Rendemen (%)
Grits jagung sosoh
51.55
Grits jagung pecah
11.67
Menir besar
5.46
Menir kecil
3.37
Dedak
8.58
Tepung
11.56
Kulit biji dan lembaga
1.01
Hilang
6.8
Grits jagung sosoh merupakan fraksi yang tidak lolos ayakan 2.36 mm (8 mesh) sedangkan grits jagung pecah tidak lolos ayakan 1.7 mm (12 mesh). Menir besar diperoleh pada pengayakan yang tidak lolos 1.18 mm sedangkan menir kecil merupakan hasil yang tidak lolos 0.85 mm (20 mesh). Dedak diperoleh pada ayakan yang tidak lolos 0.3 mm dan tepung pada ayakan yang lolos 0.3 mm (50 mesh). Adapun kulit biji dan lembaga dipisahkan dengan cara ditampi.
Tabel 9 Komposisi kimia jagung pipil dan jagung sosoh Komponen Energi (kkal)
Jagung Pipil
Jagung Sosoh
382.04
364.19
11.45
10.71
Lemak (% bk)
6.81
0.97
Protein (% bk)
9.78
6.93
81.34
91.68
2.07
0.41
2.8
-
Kadar air (% bk)
Karbohidrat (% bk) Abu (% bk) Amilosa (% bk)
Komposisi kimia jagung pipil mengalami perubaha n setelah dilakukan proses penyosohan (Tabel 9). Hal ini dipengaruhi oleh faktor penggilingan dimana bagian perikarp, endosperma, lembaga dan tip cap telah dikeluarkan. Dimana
43
bagian perikarp banyak mengandung serat, lembaga banyak mengandung lemak, endosperma banyak mengandung karbohidrat dan tip cap merupakan tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung. Dari hasil analisis proksimat ternyata hanya karbohidrat yang mengalami kenaikan sedangkan zat gizi yang lainnya mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena pada saat penyosohan biji jagung, lapisan aleuron dan germ banyak yang hilang sedangkan lapisan endospermanya sedikit mengalami kehilangan akibatnya komponen non-karbohidrat yaitu abu, lemak dan protein mengalami penurunan. Di sisi lain,
Juliano (1981) mengemukakan bahwa
komponen zat gizi tersebut tidak tersebar sama rata dalam biji. Selain itu, sebagian besar karbohidrat utamanya pati terdapat dalam jumlah yang besar pada endosperma sedangkan komponen non-pati lainnya banyak terdapat pada lapisan aleuron dan germ yang justru banyak hilang pada saat penyosohan biji jagung. Erywiyatno dan Kristianto (2003) menjelaskan bahwa perendaman beras dalam larutan alkali menyebabkan protein akan membentuk ikatan silang dengan amilosa sehingga
mudah
menyerap
air
dan
molekul
protein-amilosa
berdifusi
meninggalkan granula dan larut dalam larutan perendam yang kemudian akan terbuang selama proses pencucian sehingga semakin tinggi konsentrasi larutan perendam yang digunakan semakin rendah kadar protein beras instan yang dihasilkan.
Optimasi Lama Masak Grits Jagung Instan Setelah diperoleh grits jagung sosoh selanjutnya dilakukan optimasi lama masak grits jagung sehingga diperoleh grits jagung instan. Pemasakan dilakukan menggunakan alat tanak sebagaimana yang diperlihatkan pada Gambar 20. Pemasakan meliputi pengaronan dan pengukusan. Pada saat pengaronan, rak penyangga yang berisi muk-muk diturunkan sehingga grits jagung seluruhnya terendam dalam air mendidih sedangkan pada saat pengukusan rak penyangga dinaikkan. Berat grits jagung untuk setiap muk adalah 25-30 g dengan total air 6.5 L untuk sekali proses pemasakan.
44
Gambar 20 Alat tanak laboratorium (Altanalab)
Proses pengaronan masing- masing selama 20, 15, 10 dan 5 menit diikuti dengan proses pengukusan masing- masing selama 15, 10 dan 5 menit. Grits jagung yang diaron selama 20, 15 dan 10 menit dengan lama pengukusan 15, 10 dan 5 menit menghasilkan penampakan yang saling lengket satu sama lain. Berbeda halnya jika grits jagung diaron selama 5 menit dan dikukus selama 10 menit dihasilkan penampakan yang lebih baik yaitu tidak terjadi pelengketan satu sama lain. Winarno (1997) menyatakan bahwa pati merupakan unit- unit glukosa yang terdiri dari fraksi amilosa dan amilopektin. Granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi akan mengembang dalam air panas. Pengembangan granula pati bersifat reversible (bolak-balik) jika tidak melewati suhu gelatinisasi tetapi ketika telah melewati suhu gelatinisasi maka akan terjadi perubahan struktur granulanya. Terdapat tiga fase mekanisme gelatinisasi. Fase pertama, air secara perlahan- lahan dan bolak-balik berimbisi ke dalam granula. Fase kedua, granula akan mengembang dengan cepat dan akhirnya kehilangan sifat birefringence-nya pada suhu 60-85o C dan pada fase ketiga bilamana suhu terus naik maka molekulmolekul amilosa terdifusi keluar granula akibatnya granula hanya mengandung amilopektin saja dan membentuk gel. Hal inilah yang menyebabkan semakin lama waktu pemasakan maka gel yang dihasilkan akan semakin banyak terbentuk. Akibatnya setelah dilakukan pengeringan maka akan terjadi pelengketan nasi jagung instan satu sama lain sehingga sangat sulit untuk dipisahkan. Deskripsi penampakan grits jagung instan pada berbagai lama masak disajikan pada Tabel 10.
45
Tabel 10 Deskripsi penampakan grits jagung instan pada lama masak yang berbeda Lama masak
Penampakan
Deskripsi
aron 20 menit
-
tergelatinisasi sempurna
kukus 15 menit
-
warna putih
-
banyak sekali gel keluar
-
saling lengket satu sama lain dan sulit dipecah setelah dikeringkan
aron 15 menit
-
tergelatinisasi sempurna
kukus 10 menit
-
warna putih
-
banyak gel keluar
-
saling lengket satu sama lain dan sulit dipecah setelah dikeringkan
aron 10 menit
-
tergelatinisasi sempurna
kukus 5 menit
-
warna putih
-
gel keluar
-
saling lengket dan sulit dipecah setelah dikeringkan
aron 5 menit
-
tidak tergelatinisasi sempurna
kukus 10 menit
-
warna putih
-
pengeluaran gel minim sekali
-
pelengketan sangat minim dan mudah dipecah setelah dikeringkan
Optimasi Jenis Pengering Pengeringan didefinisikan sebagai operasi pemindahan panas secara simultan untuk memisahkan sejumlah air dan cairan lainnya dari suatu sistem sehingga diperoleh bahan padat kering yang masih mengandung sejumlah sisa air yang dapat diterima. Pada penelitian dilakukan proses pengeringan dengan
46
menggunakan empat jenis pengering untuk menetapkan satu jenis pengering yang terbaik. Penilaian terhadap karakteristik sampel yang dikeringkan adalah produk berwarna seragam dan bersifat porous sehingga cepat direhidrasi. 1. Pengering fluidized bed Prinsip kerja pengering fluidized bed adalah produk berada pada ruang pengering yang dihembuskan udara panas dari bagian bawah pada suhu dan kecepatan tertentu sehingga produk terangkat ke atas. Setelah sampel diberi perlakuan aron kukus selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan pengering fluidized bed. Suhu yang digunakan 40o C. Setelah pengeringan selama 2 jam diperoleh hasil ternyata sampel nasi jagung di bagian luarnya kering tetapi di bagian dalamnya masih basah, sehingga jika pengeringan dilanjutkan maka nasi jagung akan menjadi hangus bagian luarnya dan lama kelamaan menjadi coklat. Hal ini disebabkan karena proses pindah panas terjadi secara cepat di permukaan bahan. Sagara (1990) menyatakan bahwa kecepatan pengeringan bahan tergantung pada laju pindah panas dan massa antara permukaan bahan. Pemanasan terjadi dari permukaan bahan secara cepat. Akibatnya permukaan bahan yang kontak langsung dengan udara pengering memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan bagian dalam bahan. Sehingga jika proses pengeringan dilanjutkan maka bahan menjadi berwarna kecoklatan (Desrosier 1988). Mujumdar (1995) mengemukakan bahwa pengering fluidized bed merupakan jenis pengering yang memiliki kecepatan pindah panas dan massa yang tinggi karena bahan kontak langsung dengan udara pengering. Izadifar dan Mowla (2003) menyatakan bahwa kecepatan pengeringan pada padi dipengaruhi oleh suhu pengering dan ketebalan bed. Semakin tinggi suhu dan panjang bed maka kadar air produk akan semakin rendah. Demikian pula halnya pada produk nasi instan, pada suhu yang tinggi menyebabkan produk berwarna coklat (Ramesh & Rao 1996). Penampakan produk yang dikeringkan menggunakan pengering fluidized bed disajikan pada Gambar 21.
47
sampel kering sampel basah (a)
(b)
Gambar 21 Pengering fluidized bed (a) dan grits jagung yang dihasilkan (b)
Kerusakan utama yang terjadi pada pengeringan jagung adalah terjadinya perubahan warna yang tidak diinginkan dan case hardening. Perubahan warna ini diakibatkan oleh tingginya kandungan karbohidrat pada bahan (Desrosier 1988). Case hardening terjadi akibat laju pengeringan yang terlalu cepat sehingga laju penguapan air oleh udara pengering menjadi lebih cepat dibanding laju difusi air dari dalam ke permukaan produk. Akibatnya bagian luar produk menjadi kering dan mengeras sehingga menghambat keluarnya uap air dari dalam dan bagian dalam produk masih tetap berair (Winarno 1993). Muljohardjo (1987) menyatakan bahwa case hardening terjadi pada bahan yang mengandung banyak gula terlarut, dalam proses pengeringan air beserta gula- gula terlarut bergerak dari dalam ke permukaan bahan. Air akan menguap sedangkan gula beserta padatan lainnya, tetap tinggal di permukaan bahan dan lama kelamaan akan mengeras dan menyebabkan air yang berada dalam bahan tidak dapat menguap keluar.
2. Pengering kabinet Sampel dikeringkan pada suhu 40o C selama 15 jam. Hasilnya, penampakan sampel kurang baik yaitu warna tidak seragam dan tidak porous. Porositas produk dipengaruhi oleh cara pengeringan (Karathanos et al. 1996), pengeringan yang tidak cepat dan tepat menyebabkan tidak terbentuk struktur berpori pada produk. Brooker et al. (1981) mengemukakan bahwa suhu, kelembaban relatif dan kecepatan aliran udara pengering sangat berpengaruh terhadap proses pengeringan. Semakin besar suhu udara pengering maka
48
perbedaan antara suhu bahan dan suhu pengering akan semakin besar dan ini merupakan faktor pendorong pindah panas dari udara pengering ke bahan. Hasil pengeringan sampel disajikan pada Gambar 22.
tidak begitu porous
(a)
(b)
Gambar 22 Pengering kabinet (a) dan grits jagung yang dihasilkan (b)
3. Pengering oven Sampel dikeringkan pada suhu ± 40o C selama 6 jam. Kualitas produk yang dikeringkan tergantung pada kondisi pengeringan. Laju panas dan pindah massa yang tinggi antara produk dan udara sekeliling menyebabkan waktu pengeringan lebih singkat dengan kualitas produk yang lebih baik. Adanya blower dapat meningkatkan laju pengeringan dengan cara mengalirkan udara secara cepat di sekeliling bahan (Sjoholm & Gekas 1995) sehingga proses pengeringan berjalan cepat. Akibatnya nasi jagung yang dihasilkan memiliki penampakan yang baik, berwarna putih, produk lebih seragam dan lebih porous. Kecepatan proses pengeringan dapat dipengaruhi oleh faktor interna l dan eksternal. Faktor- faktor internal adalah sifat kimia dan struktur fisik serta ukuran bahan sedangkan faktor- faktor eksternal meliputi suhu udara dan kecepatan udara (Fellows 1992). Laju pengeringan dalam proses pengeringan suatu
bahan
mempunyai
arti
penting,
dimana
laju
pengeringan
menggambarkan kecepatan pengeringan (Taib et al. 1988). Hasil pengeringan sampel menggunakan pengering oven diperlihatkan pada Gambar 23.
49
(a)
(b)
Gambar 23 Pengering oven (a) dan grits jagung yang dihasilkan (b)
4. Pengering vakum Pengering vakum merupakan jenis pengering yang digunakan untuk produk pangan yang sensitif terhadap panas (Barbosa-Canovas & VegaMercado 1996) dan mudah berubah warna pada suhu tinggi (Sagara 1990). Sampel dikeringkan pada suhu 40o C selama 15 jam. Hasil pengeringan yang diperoleh hampir sama dengan hasil pengeringan sampel yang dikeringkan dengan pengering fluidized bed dimana nampak bahwa sampel di bagian luar kering tetapi bagian dalam masih tetap basah (Gambar 24). Hal ini disebabkan karena pengering vakum memiliki suhu pengering yang lebih rendah. Akibatnya kecepatan laju panas dan pindah massa antara produk dan pengering juga rendah. Sehingga produk akan memiliki kadar air yang lebih rendah di permukaan dibandingkan bagian dalam produk. Karenanya, produk harus dikeringkan secara cepat dan tepat. Ramesh dan Rao (1996) menyatakan bahwa suhu pengering yang terlalu tinggi atau rendah menyebabkan produk nasi instan memiliki kualitas yang rendah.
kering
basah (a)
(b)
Gambar 24 Pengering vakum (a) dan grits jagung yang dihasilkan (b)
50
Karakteristik mutu grits jagung instan yang dihasilkan dipengaruhi oleh karakteristik pengeringan atau ditentukan oleh metode pengeringan yang tepat. Beberapa kerugian seperti penyimpangan bentuk, kerusakan dan hasil yang tidak baik pada saat rehidrasi merupakan hasil dari prosedur pengeringan yang salah. Semakin cepat produk dikeringkan semakin baik kualitas proses rehidrasi. Proses pengeringan akan menghasilkan struktur porous yang akan memudahkan air untuk meresap ke dalam produk pada waktu rehidrasi. Karenanya, dari keempat jenis pengering yang digunakan tersebut di atas maka pengering oven merupakan jenis pengering yang terpilih.
Pembuatan Grits Jagung Instan Pembuatan grits jagung dilakukan denga n 3 metode, yaitu metode aronkukus, pembekuan lambat dan pembekuan cepat yang masing- masing direndam dalam larutan CaCl2 dan Na sitrat selama 2 jam. Konsentrasi CaCl2 yang digunakan yaitu 0.05%, 0.1% dan 0.2% sedangkan konsentrasi Na sitrat adalah 0.1%, 0.5% dan 1%. Dari ketiga metode ini kemudian dipilih 2 jenis metode berdasarkan lama masak. Grits jagung dengan waktu masak terlama tidak dilanjutkan. Perendaman grits jagung dalam larutan CaCl2 dan Na sitrat dilakukan selama 2 jam. Perendaman ini dimaksudkan untuk membuat struktur bahan lebih porous. Setelah itu dilakukan proses aron-kukus. Pengaronan dilakukan selama 5 menit dan pengukusan dilakukan selama 10 menit. Kemudian nasi jagung instan yang diperoleh dikeringkan dengan oven pada suhu 50o C selama 6 jam. Hasil dari grits jagung instan yang diberi perlakuan aron kukus disajikan pada Gambar 25.
Gambar 25 Penampakan grits jagung instan dengan metode aron kukus
51
Metode pembekuan lambat, yaitu dilakukan setelah proses aron kukus kemudian nasi jagung dimasukkan dalam freezer bersuhu -20o C selama 44 jam. Setelah itu dilakukan proses thawing selama 1 jam. Proses thawing dimaksudkan untuk mengeluarkan air dan meningkatkan porositas dari produk. Selanjutnya dilakukan pengeringan menggunakan oven selama 6 jam pada suhu 50o C. Pada metode pembekuan cepat, setelah dilakukan proses aron kukus kemudian nasi jagung dibekukan dengan CO2 padat pada suhu
-50o C selama 30 menit.
Selanjutnya dilakukan proses thawing selama 1 jam dan dikeringkan dengan oven. Gambar 26 menyajikan hasil grits jagung instan yang dibekukan secara lambat dan cepat.
(a)
(b)
Gambar 26 Penampakan grits jagung instan dengan metode pembekuan cepat (a) dan pembekuan lambat (b)
Pembekuan lambat dapat merusak bahan pangan yang dibekukan karena kristal es yang dihasilkan ukurannya besar dimana kristal es yang berukuran relatif besar dapat merusak dinding sel, kerusakan mitokondria, kehilangan struktur protein dan pelepasan enzim (Hamm & Gottesmann 1984). Hal ini menyebabkan tekstur bahan berubah karena dinding sel pecah akibatnya bahan bersifat lebih porous. Berbeda halnya jika dilakukan proses pembekuan cepat dimana dihasilkan kristal es yang kecil sehingga dinding sel bahan tetap utuh akibatnya bahan tidak bersifat porous. Pada metode aron kukus telah terjadi proses gelatinisasi maksimal sehingga mudah terehidrasi (Wulandari et al. 2000).
52
Setelah diperoleh grits jagung instan selanjutnya dilakukan proses optimasi lama masak untuk ketiga metode pemasakan ini. Hasil dari optimasi lama masak ini disajikan pada Tabel 11. Berdasarkan tabel tersebut nampak bahwa dengan melakukan proses penginstanan dibutuhkan waktu masak yang lebih singkat jika dibandingkan dengan kontrol. Demikian pula dengan perlakuan perendaman dalam larutan yang berbeda dihasilkan waktu masak yang berbeda pula dari ketiga metode penginstanan tersebut. Metode pembekuan cepat dihasilkan waktu masak yang terlama kemudian diikuti metode aron kukus dan pembekuan lambat.
Tabel 11 Optimasi lama masak grits jagung instan Lama Masak (menit) Perlakuan
CaCl2 (%)
Na sitrat (%)
0.05
0.1
0.2
0.1
0.5
1.0
Aron kukus
15.3
13.3
12.3
13.7
12.7
11.7
Pembekuan cepat
22.7
20.7
19.3
21.3
19.7
15.3
Pembekuan lambat
12.7
10.3
8.7
10.3
9.3
7.3
Kontrol
42.7
Semakin tinggi konsentrasi yang digunakan makin singkat waktu rehidrasi yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan karena adanya ikatan silang yang kuat dan menyebabkan dinding sel pati menjadi lebih terbuka akibatnya air dengan mudah terperangkap ke dalam granula (Erywiyatno & Kristianto 2003). Berdasarkan jenis larutan perendam yang digunakan maka perendaman dalam larutan Na sitrat 1% menghasilkan waktu rehidrasi yang tercepat. Hal ini disebabkan karena sifat dari Na sitrat yang dapat mengganggu dan menguraikan struktur protein dan mempercepat waktu rehidrasi. Hal yang sama juga ditemukan oleh peneliti lain, bahwa perendaman grits jagung dalam larutan Na sitrat 1% memberikan hasil yang terbaik untuk waktu rehidrasi, penyerapan air dan pengembangan volume (Mulyana 1988 ; Oktavia 2002 ; Hartono 2004).
53
Karakteristik Fisik Grits Jagung Instan Rendemen Rendemen diperoleh dari perbandingan berat akhir grits jagung instan dengan berat awal grits jagung. Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa larutan perendam berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% terhadap rendemen grits jagung instan baik pada metode pembekuan lambat (Lampiran 3) maupun metode aron kukus (Lampiran 5), kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut duncan yang menunjukkan
bahwa
perendaman
grits
jagung
dalam
larutan
CaCl2
(0.05;0.1;0.2%) dan Na sitrat (0.1;0.5;1%) berpengaruh nyata terhadap rendemen grits jagung instan baik pada metode pembekuan lambat (Lampiran 4) maupun metode aron kukus (Lampiran 6). Berdasarkan Lampiran 4 dan 6 tersebut bahwa perendaman dalam larutan kimia dapat menurunkan rendemen dari nasi jagung instan. Semakin tinggi konsentrasi yang digunakan maka semakin rendah rendemen yang dihasilkan (Gambar 27). Hal ini disebabkan karena adanya pengeluaran gel pada saat pemasakan yang ditandai dengan air pemasakan menjadi keruh. Dalam hal ini telah terjadi proses gelatinisasi dimana bila grits jagung yang dimasak telah tergelatinisasi sempurna maka kandungan karbohidrat yang sebagian besar dalam bentuk pati menjadi semakin berkurang akibatnya berat yang dihasilkan akan semakin kecil dan berdampak pada rendemen yang semakin kecil pula. Di sisi lain, Hoseney (1998) mengemukakan bahwa perendaman dalam Na sitrat dan kalsium klorida
menyebabkan struktur protein dirusak dan
mengakibatkan grits jagung menjadi lebih bersifat porous sehingga meningkatkan penyerapan air.
54
92 Rendemen (%)
91 90 89 88 87 86 Perlakuan
85 CaCl2 0.05%
CaCl2 0.1%
CaCl2 0.2%
Na sitrat Na sitrat Na sitrat 0.1% 0.5% 1%
Gambar 27 Rendemen grits jagung instan dengan metode aron kukus ( ) dan pembekuan lambat ( ) pada berbagai perlakuan
Densitas Kamba Densitas kamba dinyatakan dengan perbandingan antara berat bahan dengan volume bahan itu sendiri (g/ml) yang sangat dipengaruhi oleh kadar air, jenis bahan, bentuk dan ukuran bahan. Densitas kamba ini sangat penting untuk pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan dimana bahan yang mempunyai densitas kamba kecil membutuhkan tempat yang lebih besar jika dibandingkan dengan bahan yang mempunyai densitas kamba besar. Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa larutan perendam berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% terhadap densitas kamba grits jagung instan baik pada metode pembekuan lambat (Lampiran 7) maupun pada metode aron kukus (Lampiran 9), kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut duncan yang menunjukkan bahwa perendaman grits jagung dalam larutan CaCl2 0.05% dan Na sitrat 0.1% berpengaruh nyata dengan konsentrasi perendam lainnya terhadap densitas kamba grits jagung instan pada metode pembekuan lambat (Lampiran 8), sedangkan pada metode aron kukus Na sitrat 0.1% berpengaruh nyata dengan konsentrasi perendam lainnya terhadap densitas kamba grits jagung instan (Lampiran 10). Semakin tinggi konsentrasi larutan perendam yang digunakan maka semakin rendah densitas kambanya sebagaimana yang disajikan pada Gambar 28. Hal ini dipengaruhi oleh kadar air produk dimana pada kadar air tinggi menyebabkan peningkatan densitas (Wirakartakusumah et al. 1992). Metode pembekuan menghasilkan densitas kamba yang lebih rendah dibandingkan aron
55
kukus. Singh dan Heldman (2001) menyatakan bahwa densitas es lebih rendah daripada densitas air, dengan demikian densitas pangan beku akan lebih rendah
Densitas kamba (g/ml)
dibandingkan pangan tanpa pembekuan.
0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 Perlakuan
0 CaCl2 0.05%
CaCl2 0.1%
CaCl2 0.2%
Na sitrat Na sitrat Na sitrat 0.1% 0.5% 1%
Gambar 28 Densitas kamba grits jagung instan dengan metode aron kukus ( ) dan pembekuan lambat ( ) pada berbagai perlakuan
Porositas Porositas memiliki peranan yang sangat penting terhadap sifat instanisasi suatu bahan. Denga n terbukanya pori-pori bahan maka akan memudahkan rehidrasi dan mempercepat waktu rehidrasi. Selain itu suhu pengeringan juga memegang peranan penting terhadap sifat porositas bahan dimana bila suhu pengeringan tidak tepat dalam waktu yang cepat maka sifat porositas bahan akan segera menutup. Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa larutan perendam berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% terhadap porositas grits jagung instan baik pada metode pembekuan lambat (Lampiran 11) maupun pada metode aron kukus (Lampiran 13), kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut duncan yang menunjukkan bahwa perendaman grits jagung dalam larutan CaCl2 0.2% dan Na sitrat 0.1% berpengaruh nyata dengan konsentrasi perendam lainnya terhadap porositas grits jagung instan pada metode pembekuan lambat (Lampiran 12), sedangkan pada metode aron kukus Na sitrat 1.0% berpengaruh nyata dengan konsentrasi perendam lainnya terhadap porositas grits jagung instan (Lampiran 14).
56
Semakin tinggi konsentrasi larutan perendam yang digunakan baik pada pembekuan lambat maupun aron kukus menghasilkan porositas bahan yang semakin meningkat pula (Gambar 29). Hal ini disebabkan terurainya struktur protein sehingga meningkatkan porositas grits jagung. Metode pembekuan lambat memberikan porositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode aron kukus (Gambar 29). Hal ini disebabkan adanya pembentukan kristal es yang besar sehingga membuat sifat porous bahan menjadi tinggi (Karathanos et al. 1996). Chan dan Toledo (1976) menjelaskan bahwa pembekuan dan penyimpanan beku akan meningkatkan pengembangan molekulmolekul pati melalui ikatan hidrogen, kemudian akan melepaskan air yang terdapat dalam bahan setelah proses thawing sehingga bahan berstruktur mikrosponge. Bahan kering yang porous ini dapat dengan cepat menyerap air waktu rehidrasi.
70
Porositas (%)
65 60 55 50 45 Perlakuan
40 CaCl2 0.05%
CaCl2 0.1%
CaCl2 0.2%
Na sitrat Na sitrat Na sitrat 0.1% 0.5% 1%
Gambar 29 Porositas grits jagung instan dengan metode aron kukus ( ) dan pembekuan lambat ( ) pada berbagai perlakuan
Perendaman dalam larutan CaCl2 juga efektif dalam memberikan sifat porous pada produk. Misalnya akibat dari hilangnya membran sel pada lapisan kotiledon pada cowpeas (Liu et al. 1993), terjadinya pelunakan buncis hitam (Garcia-Vela et al. 1991) menyebabkan porositas bahan akan semakin meningkat. Demikian pula, perendaman dalam larutan Na sitrat dapat mengganggu dan menguraikan struktur protein sehingga grits menjadi porous (Smith 1985).
57
Rasio Rehidrasi Rasio rehidrasi nasi jagung instan dilakukan pada alat tanak laboratorium yaitu dengan cara menghitung perbandingan berat akhir dengan berat awal bahan. Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa larutan perendam berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% terhadap rasio rehidrasi grits jagung instan baik pada metode pembekuan lambat (Lampiran 15) maupun pada metode aron kukus (Lampiran 17), kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut duncan yang menunjukkan bahwa perendaman grits jagung dalam larutan CaCl2 (0.05% dan 0.1%) dan Na sitrat 0.1% berpengaruh nyata dengan konsentrasi perendam lainnya terhadap rasio rehidrasi grits jagung instan baik pada metode pembekuan lambat (Lampiran 16) maupun pada metode aron kukus (Lampiran 18). Larutan perendam Na sitrat 1% memberikan rata-rata rasio rehidrasi terbesar dibandingkan kalsium kloride. Di sisi lain, berdasarkan Gambar 30 nampak bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan yang digunakan maka semakin tinggi rasio rehidrasi yang diperoleh. Hal ini disebabkan karena sifat dari Na sitrat yang dapat mempercepat waktu rehidrasi karena bahan yang bersifat lebih porous. Demikian pula halnya pembekuan memberikan rasio rehidrasi lebih besar dibandingkan metode aron kukus. Hal ini disebabkan karena proses pembekuan yang menghasilkan kristal es dapat merusak struktur dinding sel membran tetapi meminimalkan reaksi-reaksi kimia dan biokimia (Liu et al. 1993), merusak gluten dan granula pati pada produk roti misalnya (Naito et a.l 2004). Akibatnya daya serap air ke dalam bahan lebih cepat.
Rasio rehidrasi (g/g)
3
2
1
Perlakuan
0 CaCl2 0.05%
CaCl2 0.1%
CaCl2 0.2%
Na sitrat Na sitrat Na sitrat 0.1% 0.5% 1%
Gambar 30 Rasio rehidrasi grits jagung instan dengan metode aron kukus ( ) dan pembekuan lambat ( ) pada berbagai perlakuan
58
Penyerapan Air dan Pengembangan Volume Penyerapan air dan pengembangan volume dari grits jagung instan dilakukan dalam satu wadah, yaitu dengan menggunakan alat tanak laboratorium. Penyerapan air grits jagung instan dihitung berdasarkan perbandingan berat nasi jagung dengan berat grits jagung awal. Sedangkan pengembangan volume grits jagung instan dihitung berdasarkan perbandingan tinggi nasi jagung dengan tinggi grits jagung awal. Penyerapan air selama penanakan pada produk beras dimaksudkan untuk memperoleh tekstur nasi yang optimum. Kandungan protein dan suhu gelatinisasi mempunyai efek pada laju penyerapan air dan waktu pemasakan. Fraksi protein yang paling dominan adalah glutenin, yang bersifat tidak larut dalam air, sehingga dapat menghambat penyerapan air dan pengembangan volume butir padi selama pemanasan. Penyerapan air grits jagung instan dengan metode aron kukus dan pembekuan lambat ternyata memberikan pengaruh yang nyata dibanding kontrol. Dari Lampiran 20 dan 22 nampak bahwa rerata penyerapan air dan pengembangan volume grits jagung hanya berkisar 40-50% tetapi setelah diberi perlakuan aron kukus dan pembekuan lambat diperoleh penyerapan air (Lampiran 24 dan 26) dan pengembangan volume berkisar 100-160% (Lampiran 28 dan 30). Hal ini disebabkan karena struktur dinding sel dari bahan telah rusak akibat perendaman dalam larutan Na sitrat dan CaCl2 sehingga bahan bersifat lebih porous dan memudahkan terjadinya penyerapan air dan pengembangan volume. Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa larutan perendam berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% terhadap penyerapan air grits jagung (Lampiran 19) dan pengembangan volume (Lampiran 21), kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut duncan yang menunjukkan bahwa perendaman grits jagung dalam larutan CaCl2 dan Na sitrat berpengaruh nyata terhadap pengembangan volume grits jagung (Lampiran 22), sedangkan perendam CaCl2 0.05% dan Na sitrat (0.5% dan 1.0%) berpengaruh nyata dengan konsentrasi perendam lainnya terhadap penyerapan air grits jagung (Lampiran 20). Demikian pula, setelah diberi perlakuan pembekuan dan aron kukus menunjukkan pengaruh yang nyata. Lampiran 23 dan 27 (penyerapan air dan pengembangan volume grits jagung
59
instan pada metode pembekuan lambat) dan Lampiran 25 dan 29 (penyerapan air dan pengembangan volume grits jagung instan pada metode aron kukus) memperlihatkan pengaruh yang sangat nyata pada taraf 1% dengan larutan perendam yang digunakan, uji lanjut duncan menunjukkan bahwa Na sitrat 1% dan CaCl2 (0.05% dan 0.1%) berpengaruh nyata dibanding perendam lainnya terhadap penyerapan air grits jagung instan pada metode pembekuan lambat (Lampiran 24) dan penyerapan air grits jagung instan pada metode aron kukus (Lampiran 26). Uji lanjut duncan terhadap pengembangan volume grits jagung instan pada metode pembekuan lambat (Lampiran 28) dan pada metode aron kukus (Lampiran 30) menunjukkan bahwa perendam Na sitrat (0.5% dan 1.0%) dan CaCl2 (0.05% dan 0.2%) berpengaruh nyata dibanding perendam lainnya. Mohapatra dan Bal (2005) menjelaskan bahwa produk beras dengan kemampuan mengikat air tinggi menyebabkan produk memiliki tekstur yang lembut, rasio pengembangan tinggi, viskositas maksimum dan mengurangi waktu pemasakan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Sujatha et al. (2004) bahwa pemasakan setengah matang pada produk beras menyebabkan pengembangan biji semakin tinggi. Hal inilah yang menyebabkan penyerapan air dan pengembangan volume dari grits jagung instan menjadi tinggi dengan semakin tingginya konsentrasi larutan perendam yang digunakan. Berdasarkan perlakuan perendaman terhadap bahan kimia yaitu kalsium kloride dan Na sitrat maka nampak bahwa semakin tinggi konsentrasi yang digunakan maka semakin tinggi pula penyerapan air dan pengembangan volume bahan. Sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 31 dan 32, Na sitrat dengan konsentrasi larutan 1% memiliki kemampuan tertinggi dalam melakukan penyerapan air dan pengembangan volume dibandingkan kalsium kloride. Hal ini disebabkan karena perendaman dalam larutan ini dapat menyebabkan struktur fisik bahan menjadi lebih porous. Selain itu adanya ikatan silang yang lebih kuat dibandingkan perendaman dalam larutan kalsium kloride menyebabkan dinding sel pati menjadi lebih terbuka sehingga air dengan mudah terperangkap ke dalam granula (Rodriguez et al. 1996).
60
Penyerapan air (%)
165 160 155 150 145 140 Perlakuan
135 CaCl2 0.05%
CaCl2 0.1%
CaCl2 0.2%
Na sitrat Na sitrat Na sitrat 0.1% 0.5% 1%
Gambar 31 Penyerapan air grits jagung instan metode aron kukus ( ) dan pembekuan lambat ( ) pada berbagai perlakuan
Pengembangan volume (%)
150 140 130 120 110 100 90 Perlakuan
80 CaCl2 0.05%
CaCl2 0.1%
CaCl2 0.2%
Na sitrat Na sitrat Na sitrat 0.1% 0.5% 1%
Gambar 32 Pengembangan volume grits jagung instan metode aron kukus ( ) dan pembekuan lambat ( ) pada berbagai perlakuan
Gelatinisasi Handajani (1994) mengemukakan bahwa pati merupakan cadangan makanan yang terdapat dalam biji-bijian dan umbi- umbian yang memegang peranan penting dalam mensuplai kebutuhan energi manusia. Secara alami bentuk pati beragam tergantung sumbernya. Granula pati jagung berbentuk polihedral atau bulat dengan ukuran 36 mikron sebagaimana yang disajikan pada Gambar 33. Setelah mengalami proses pengolahan menjadi grits jagung melalui proses penyosohan secara basah maka bentuk alami granula patinya-pun mengalami sedikit perubahan yaitu strukturnya menjadi tidak beraturan. Hal ini disebabkan
61
karena adanya penetrasi panas selama proses penggilingan/penyosohan yang merusakkan jaringan. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Hoseney (1998) bahwa penetrasi panas menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan dan meningkatnya molekul pati yang terpisah serta penurunan sifat kristal. Sedangkan menurut He dan Suzuki (1988) bahwa proses penggilingan secara basah tidak merusak granula pati tetapi hanya mengurangi panjang dan lebar ukuran granula sebesar 1 µm.
(a)
(b)
Gambar 33 Bentuk granula jagung native (a) dan setelah mengalami proses penyosohan (b) di bawah mikroskop polarisasi perbesaran 200X
Grits jagung yang telah diperoleh kemudian diperlakukan proses instanisasi. Instanisasi dilakukan dengan dua metode yaitu metode aron kukus dan pembekuan lambat. Dengan menggunakan mikroskop polarisasi perbesaran 200X maka bentuk granula dari masing- masing metode ini dapat diketahui sebagaimana yang disajikan pada Gambar 34. Proses instanisasi dengan menggunakan kedua metode ini menyebabkan terjadinya perubahan sifat birefringence. Tetapi sebagian besar sifat birefringence ini telah hilang. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pemasakan selama 5 menit disertai penguk usan selama 10 menit menyebabkan terjadinya gelatinisasi tetapi proses gelatinisasi ini belumlah sempurna sehingga dari masing- masing metode ini masih memperlihatkan sifat birefringence seperti pati normal. Sifat birefringence dari granula pati adalah sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi dan apabila dilihat di bawah mikroskop nampak kristal gelap terang (biru-kuning). Muchtadi dan Budiatman (1991)
62
menyatakan bahwa sifat birefringence pati dapat hilang dengan pemanasan di atas suhu gelatinisasi pati yang disebabkan oleh pecahnya ikatan molekul pati sehingga ikatan hidrogen mengikat lebih banyak molekul air. Penetrasi air menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan dan meningkatnya molekul pati yang terpisah serta penurunan keberadaan sifat kristal sehingga jika pemanasan dilanjutkan maka sifat kristal akan hilang demikian juga sifat birefringence.
(a)
(b)
Gambar 34 Bentuk granula grits jagung instan pada metode aron kukus (a) dan pembekuan lambat (b) di bawah mikroskop polarisasi perbesaran 200X
Lama Masak Lama masak digunakan untuk mengetahui waktu yang diperlukan oleh grits jagung hingga menjadi matang. Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa larutan perendam berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% terhadap lama masak grits jagung instan baik pada metode pembekuan lambat (Lampiran 31) maupun pada metode aron kukus (Lampiran 33), kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut duncan yang menunjukkan bahwa perendaman grits jagung dalam larutan CaCl2 dan Na sitrat berpengaruh nyata terhadap lama masak grits jagung instan baik pada metode pembekuan lambat (Lampiran 32) maupun pada metode aron kukus (Lampiran 34). Hal ini berhubungan erat dengan sifat porositas bahan dimana dengan semakin meningkatnya porositas bahan maka semakin memperpendek waktu pemasakan.
63
Gambar 34 menunjukkan bahwa perendaman dengan Na sitrat 1% memberikan waktu masak yang lebih cepat dibanding larutan CaCl2 . Hal ini disebabkan karena Na sitrat menyebabkan bahan bersifat lebih porous sehingga waktu rehidrasi lebih singkat. Berdasarkan metode pemasakan maka metode pembekuan lambat memberikan waktu masak yang lebih cepat jika dibanding metode aron kukus. Hal ini disebabkan karena pada pembekuan lambat menyebabkan rusaknya jaringan sel bahan dibandingkan pada pembekuan cepat. Semakin lama waktu pembekuan semakin besar kristal es yang terbentuk akibatnya makin merombak struktur jaringan sehingga bahan menjadi lebih porous. Zhang et al. (2004) menyatakan bahwa dengan melakukan proses pembekuan lambat menyebabkan struktur sel buah pinang rusak akibatnya tekstur buah menurun, tetapi bila dilakukan pembekuan cepat maka kekerasan buah pinang meningkat. Mohapatra dan Bal (2005) mengemukakan bahwa waktu pemasakan dipengaruhi oleh penggunaan air secara optimum. Produk beras dengan kemampuan mengikat air tinggi dapat mengurangi waktu pemasakan dan
Lama masak (mnt) c
meningkatkan rasio pengembangan.
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Perlakuan CaCl2 0.05%
CaCl2 0.1%
CaCl2 0.2%
Na sitrat Na sitrat Na sitrat 0.1% 0.5% 1%
Gambar 35 Lama masak grits jagung instan metode aron kukus pembekuan lambat ( ) pada berbagai perlakuan
( ) dan
64
Karakteristik Fisik Tepung Santan Instan Karakteristik fisik sangat penting peranannya dalam menentukan kualitas suatu produk. Hal pertama yang menarik minat konsumen untuk memilih suatu produk pangan selain jenis kemasan dan nutrisi juga penampakan fisik produk tersebut. Pada prinsipnya pembuatan tepung santan instan dilakukan dengan memasak santan kental ditambah dekstrin, BHT, tepung beras, sorbat hingga membentuk gel (kental) kemudian dikeringkan dengan pengering drum dan semprot. Konsentrasi BHT yang digunakan adalah 0.01% dan 0.02% dari ml santan. Sedangkan rasio dekstrin yang digunakan adalah 1 : 2 : 3 dari volume santan. Sebagai pengawet digunakan sorbat dengan konsentrasi 0.1% dan 0.2%. Pemilihan jenis pengering yang digunakan disesuaikan dengan bentuk bahan. Pengering drum dan semprot cocok untuk bahan berbentuk bubur. Dari kedua jenis pengering ini kemudian ditentukan hasil yang terbaik berdasarkan bilangan TBA sampel. Bilangan TBA sampel yang memiliki nilai terendah digunakan sebagai bahan pencampur nasi jagung instan.
Densitas Kamba Densitas kamba merupakan sifat fisik bahan pangan berupa biji-bijian dan tepung. Densitas kamba ini sangat penting terutama dalam hal pengemasan dan penyimpanan. Faktor- faktor yang mempengaruhi densitas kamba antara lain karakteristik ukuran partikel atau granula, ruang kosong (void) dan porositas. Karakteristik ukuran granula diantaranya pipih, bulat, beraturan atau tidak, kecil, besar, homogen atau heterogennya granula bahan tersebut (Heldman & Singh 1988). Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa penambahan BHT, sorbat dan dekstrin berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% terhadap densitas kamba tepung santan instan baik dengan menggunakan pengering drum (Lampiran 35) maupun dengan pengering semprot (Lampiran 37), kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut duncan yang menunjukkan bahwa perlakuan A (BHT 0.01%; sorbat 0.1%; dekstrin 1) ; D (BHT 0.01%; sorbat 0.2%; dekstrin 1) ; G (BHT 0.02%; sorbat
65
0.1%; dekstrin 1) ; J (BHT 0.02%; sorbat 0.2%; dekstrin 1) berpengaruh nyata dibanding perlakuan lainnya terhadap densitas kamba tepung santan instan dengan pengering drum (Lampiran 36) sedangkan dengan menggunakan pengering semprot (Lampiran 38) menunjukkan perlakuan J (BHT 0.02%; sorbat 0.2%; dekstrin 1) berpengaruh nyata dibanding perlakuan lainnya. Gambar 36 memperlihatkan bahwa densitas kamba tepung santan yang dikeringkan dengan pengering drum lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan pengering semprot. Densitas kamba dari tepung santan sangat dipengaruhi oleh kadar air bahan. Sampel yang dikeringkan menggunakan pengering semprot memiliki kadar air lebih rendah yaitu sebesar 3.78% dibanding sampel yang dikeringkan dengan pengering drum yaitu sebesar 4.83%. Kadar air tepung yang rendah tersebut disebabkan karena besarnya volume air yang menguap dari droplet saat pengeringa n di dalam pengering semprot. Akibatnya, makin rendah kadar air tepung yang terbentuk dari droplet tersebut maka makin kecil volume butiran tepung sehingga makin besar densitas kamba tepung.
1 0.9
Densitas kamba (g/ml)
0.8 9 0.4
0.7
7 0.5
6 0.4 0 0.6
0.6
6 0.5
0.5 8 0.4
0.4
9 0.4 2 0.4
0.3
0 0.4
0 0.4
6 0.4
7 0.3
6 0.4
0.2
0 0.4
8 0.1
0.1
2 0.1
1 0.4 6 0.1
9 0.1
3 0.1
6 0.1
7 0.2
9 0.1
6 0.1
0
Dekstrin
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
0.1
0.1
0.1
0.2
0.2
0.2
0.1
0.1
0.1
0.2
0.2
0.2
Sorbat (%)
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
BHT (%)
Gambar 36 Densitas kamba tepung santan instan dengan pengering drum ( ) dan pengering semprot ( ) pada berbagai perlakuan
66
Viskositas Viskositas merupakan pengukuran daya tahan suatu larutan untuk mengalir (Toledo 1991). Viskositas tepung santan instan pada suhu 35o C menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi dekstrin yang digunakan maka viskositas sampel semakin rendah sebagaimana yang disajikan pada Gambar 37. Selain itu, ternyata jenis pengering yang digunakan juga mempengaruhi viskositas bahan. Sampel yang dikeringkan dengan pengering drum memiliki viskositas lebih besar dibandingkan sampel yang dikeringkan menggunakan pengering semprot. Hal ini disebabkan karena pengering semprot menghasilkan droplet yang lebih kecil dibandingkan pengering drum akibatnya memiliki daya larut yang rendah. Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa penambahan BHT, sorbat dan dekstrin berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%
terhadap viskositas tepung
santan instan baik dengan menggunakan pengering drum (Lampiran 39) maupun dengan pengering semprot (Lampiran 41), kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut duncan yang menunjukkan bahwa perlakuan A (BHT 0.01%; sorbat 0.1%; dekstrin 1) ; C (BHT 0.01%; sorbat 0.1%; dekstrin 3) ; D (BHT 0.01%; sorbat 0.2%; dekstrin 1) ; G (BHT 0.02%; sorbat 0.1%; dekstrin 1) ; J (BHT 0.02%; sorbat 0.2%; dekstrin 1) ; H (BHT 0.02%; sorbat 0.1; dekstrin 2) berpengaruh nyata dibanding perlakuan lainnya terhadap viskositas tepung santan instan dengan pengering drum (Lampiran 40) sedangkan dengan menggunakan pengering semprot (Lampiran 42) menunjukkan perlakuan A (BHT 0.01%; sorbat 0.1%; dekstrin 1) berpengaruh nyata dibanding perlakuan lainnya. Adapun pengaruh penambahan dekstrin terhadap viskositas sampel dimana nampak pada Gambar 37 bahwa semakin tinggi konsentrasi dekstrin yang digunakan maka viskositas sampel semakin rendah. Hal ini disebabkan karena dekstrin memiliki kelarutan yang rendah sehingga memungkinkan penggunaan dekstrin dengan konsentrasi tinggi tetapi memiliki viskositas yang rendah (Lineback & Inlett 1982).
67
14
12
5 3.4
5 3.4
5 3.3
Viskositas (cP)
10 5 3.9
8
5 3.4
5 2.9
0 7.2
0 9.0
5 3.1
0 3.0
5 3.0
6
4
0 3.3
5 3.5
5 3.0
0 8.5
0 6.0
0 6.5
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
0.1
0.1
0.1
0.2
0.2
0.2
0.1
0.1
0.1
0.2
0.2
0.2
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
5 5.4
5 4.5
5 9.5
5 5.1
5 5.9
5 5.5
2
5 4.5
0
Dekstrin Sorbat (%) BHT (%)
Gambar 37 Viskositas tepung santan instan dengan pengering drum ( ) dan pengering semprot ( ) pada berbagai perlakuan
Selama proses pemasakan pada pati secara umum mengakibatkan pemutusan ikatan α-1,4 secara acak di bagian tengah baik pada amilosa maupun pada rantai lurus dari amilopektin, sehingga dihasilkan fragmen amilosa dan amilopektin yang lebih rendah daripada pati aslinya. Semakin banyak fraksi amilosa dan amilopektin berantai pendek dalam produk dapat mengakibatkan penurunan kekentalan pasta yang dihasilkan dan dapat pula meningkatkan kemungkinan terjadinya retrogradasi (Vasanthan & Bhatty 1996). Lii et al. (1995) juga menjelaskan bahwa pemanasan yang berlebih dapat menurunkan viskositas gel karena rusaknya ikatan hidrogen, pecahnya struktur dari pembengkakan granula pati. Sebaliknya pada suhu yang lebih rendah (dingin) viskositas lebih tinggi karena adanya interaksi termasuk pembentukan ikatan hidrogen pada suhu rendah (exothermic). Selain itu ukuran granula juga mempengaruhi viskositas gel. Semakin besar ukuran granula maka viskositas akan semakin meningkat. Jagung ketan memiliki ukuran granula 15 µm sedangkan beras ketan 2-5 µm akibatnya
68
pembengkakan granula jagung ketan lebih tinggi dibanding beras ketan sehingga viskositas jagung ketan juga lebih tinggi (Han et al. 2005).
Daya Dispersi Terdapat beberapa sifat fungsional dari bahan pangan yang dikeringkan, yaitu : 1) wettability, merupakan kemampuan tepung untuk menyerap air. Sifat ini dipengaruhi oleh proses aglomerasi, jumlah yang terserap, adanya partikel nonaglomerat ; 2) sinkability, merupakan kemampuan tepung untuk tenggelam setelah dibasahi air. Sifat ini dipengaruhi oleh densitas partikel ; 3) solubility, merupakan kecepatan untuk melarut atau disebut juga total kelarutan. Sifat ini dipengaruhi oleh daya pengembangan dan adanya flek ; dan 4) dispersibility, merupakan kemampuan tepung untuk terdistribusi seluruhnya pada air tanpa membentuk gumpalan. Sifat ini dipengaruhi oleh ukuran partikel dan keberadaan aglomerat (Barbosa-Canovas & Vega-Mercado 1996). Daya dispersi memiliki peranan yang penting dalam menentukan kualitas tepung santan instan yang dihasilkan. Daya dispersi merupakan waktu yang dibutuhkan oleh tepung dalam menyerap air. Hal ini berhubungan dengan penampakan tepung yaitu apakah terjadi penggumpalan atau pengendapan ataukah semua tepung larut ketika ditambah dengan air. Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa penambahan BHT, sorbat dan dekstrin berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% terhadap daya dispersi tepung santan instan baik dengan menggunakan pengering drum (Lampiran 43) maupun dengan pengering semprot (Lampiran 45), kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut duncan yang menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap daya dispersi tepung santan instan baik dengan pengering drum (Lampiran 44) maupun menggunakan pengering semprot (Lampiran 46). Berdasarkan pada Gambar 38 nampak bahwa sampel yang dikeringkan dengan pengering drum memiliki daya dispersi yang lebih cepat jika dibandingkan sampel yang dikeringkan dengan pengering semprot. Hal ini disebabkan karena ukuran partikel sampel yang lebih porous. Struktur yang porous dapat meningkatkan dispersibilitas tepung (Barbosa-Canovas & VegaMercado 1996) sehingga sampel tepung seluruhnya lebih cepat basah.
69
Anastasiades et al. (2002) mengemukakan bahwa pengering drum mampu memberikan bermacam tekstur dan struktur poros pada produk. Ukuran partikel merupakan faktor yang kritis terhadap sifat fungsional pangan berbentuk bubuk yang meliputi daya dispersi, daya aliran dan dustiness. Ukuran partikel yang lebih kecil dapat meningkatkan daya dispersi pada produk bubuk teh (Park et al. 2001). Penambahan dekstrin juga mempengaruhi kecepatan daya dispersi tepung. Semakin tinggi konsentrasi dekstrin semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh tepung untuk seluruhnya basah. Hal ini disebabkan karena dekstrin memiliki kelarutan yang rendah sehingga dengan semakin meningkatnya konsentrasi dekstrin yang digunakan maka waktu yang dibutuhkanpun semakin lama untuk seluruhnya tepung basah.
20 18
Daya dispersi (mnt)
16 14 .50 12
12
8
.00 13
0 9.5
0 9.5
10
.50 11
.50 10 0 8.5
0 9.5
0 8.0
0 8.0
0 7.0
0 7.5
6 4 0 3.5
2
0 5.0
0 5.5
0 6.5 0 4.0
0 6.0
0 4.5
0 5.0
0 7.0 0 3.5
0 5.0
0 6.0
0 1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
0.1
0.1
0.1
0.2
0.2
0.2
0.1
0.1
0.1
0.2
0.2
0.2
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
Gambar 38
Dekstrin Sorbat (%) BHT (%)
Daya dispersi tepung santan instan dengan pengering drum ( ) dan pengering semprot ( ) pada berbagai perlakuan
70
Derajat Putih Derajat putih atau warna sangat berpengaruh terhadap penampakan tepung secara keseluruhan. Hal pertama yang menarik minat konsumen dalam menentukan suatu produk adalah warna produk itu sendiri. Warna yang kurang menarik walaupun nilai gizinya baik kurang dipilih untuk dikonsumsi (Soekarto 1985). Warna dapat ditetapkan dengan cara mengukur rasio jumlah sinar yang dipantulkan oleh permukaan bahan pangan (diffuse reflection) dengan sinar yang dipantulkan oleh permukaan berwarna putih (MgO atau BaSO4 ). Sinar pantul ini diukur pada panjang gelombang berbeda-beda, khususnya pada panjang gelombang di daerah berwarna merah, hijau dan biru (Apriyantono et al. 1989). Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa penambahan BHT, sorbat dan dekstrin berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% terhadap derajat putih tepung santan instan baik dengan menggunakan pengering drum (Lampiran 47) maupun dengan pengering semprot (Lampiran 49), kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut duncan yang menunjukkan bahwa perlakuan B (BHT 0.01%; sorbat 0.1%; dekstrin 2) ; K (BHT 0.02%; sorbat 0.2%; dekstrin 2) tidak berpengaruh nyata dibanding perlakua n lainnya terhadap derajat putih tepung santan instan dengan pengering drum (Lampiran 48) sedangkan dengan menggunakan pengering semprot (Lampiran 50) menunjukkan perlakuan C (BHT 0.01%; sorbat 0.1%; dekstrin 3) ; F (BHT 0.01%; sorbat 0.2%; dekstrin 3); G (BHT 0.02%; sorbat 0.1%; dekstrin 1) ; K (BHT 0.02%; sorbat 0.2%; dekstrin 2) tidak berpengaruh nyata dibanding perlakuan lainnya. Berdasarkan jenis pengering yang digunakan nampak bahwa sampel yang dikeringkan dengan menggunakan pengering semprot memiliki rata-rata derajat putih yang lebih tinggi dibanding sampel yang dikeringkan dengan pengering drum. Hal ini disebabkan karena dengan menggunakan pengering semprot maka produk tidak langsung kontak dengan alat pengering akibatnya warna tetap terjaga. Selain itu, penambahan dekstrin dapat tetap mempertahankan keutuhan warna produk. Persentase derajat putih tepung santan hanya berkisar 40-44%. Rendahnya derajat putih tepung santan ini diduga akibat adanya reaksi komponen bahan organik selama proses pengolahan dan adanya komponen lemak yang cukup
71
tinggi pada produk. Misalnya pada tepung tapioka, adanya komponen lemak yang cukup tinggi menyebabkan produk berwarna kekuningan dan nampak berminyak (Kusarpoko 2003), proses pengolahan yang kurang sempurna dan adanya reaksi komponen bahan organik (Grace 1997) menyebabkan produk tepung tapioka memiliki derajat keputihan yang rendah. Gambar 39 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan derajat putih dengan semakin besarnya konsentrasi dekstrin yang digunakan. Hal ini disebabkan karena dekstrin yang digunakan merupakan jenis dekstrin putih sehingga semakin tinggi konsentrasi dekstrin yang digunakan maka produk tepung santan yang dihasilkan akan semakin putih. Hasil dari penampakan tepung santan instan disajikan pada Gambar 40.
90 80
43 .69
43 .95
42 .64
43 .12
43 .26
42. 55
42. 94
41 .48
42 .32
42 .39
3
1
2
3
1
2
3
0.1
0.1
0.1
0.2
0.2
0.2
0.1
0.1
0.1
0.2
0.2
0.2
Sorbat (%)
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
BHT (%)
43 .12
41. 00
2
43 .79
42. 67
1
43 .50
3
41 .96
43 .78
42 .44
2
42 .61
43 .60
42. 31
1
60
40 .85
42 .74
42. 24
Derajat keputihan (%)
70
50 40 30 20 10 0
Dekstrin
Gambar 39 Derajat putih tepung santan instan dengan pengering drum ( ) dan pengering semprot ( ) pada berbagai perlakuan
72
(a) Gambar 40
(b)
Penampakan tepung santan instan dengan pengering drum (a) dan pengering semprot (b)
Gelatinisasi Pada prinsipnya pembuatan tepung santan instan dilakukan dengan memasak santan kental, BHT, tepung beras, dekstrin dan sorbat hingga menjadi bubur selama ± 10 menit di atas kompor. Selanjutnya dikeringkan menggunakan dua jenis pengering, yaitu pengering drum dan pengering semprot. Berdasarkan pada Gambar 41 nampak bahwa sifat birefringence dari semua formula yang dicobakan telah hilang. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi gelatinisasi sempurna dimana selama proses ini terjadi pengikatan molekul air yang maksimal sehingga terbentuk gel dengan viskositas yang tinggi. Penambahan air yang terus menerus menyebabkan gel yang terbentuk menjadi encer. Selain itu, hilangnya sifat birefringence ini diakibatkan karena rusaknya struktur granula pati pada proses pemanasan (Lii et al. 1995). Sampel yang dikeringkan dengan menggunakan pengering semprot memiliki ukuran molekul santan yang lebih besar dibanding sampel yang dikeringkan dengan pengering drum (Gambar 41). Hal ini disebabkan karena pengering semprot dapat melindungi molekul santan dari kerusakan jika dibanding menggunakan pengering drum. Selain itu juga dipengaruhi oleh adanya dekstrin yang berfungsi memerangkap molekul- molekul ini dalam struktur spiral helix selama proses pengeringan.
73
(a)
(b)
Gambar 41 Struktur tepung santan instan dibawah mikroskop dengan perbesaran 200X menggunakan pengering drum (a) dan pengering semprot (b)
Karakteristik Kimia Grits Jagung Instan Dari berbagai jenis formulasi yang dicobakan hanya hasil yang terbaiklah yang dilakukan uji karakteristik kimianya. Berdasarkan optimasi lama masak grits jagung instan maka perendaman dalam larutan Na sitrat sebesar 1% memberikan waktu masak yang tercepat pada metode aron kukus dan pembekuan lambat. Uji karakteristik kimia meliputi : kadar air, kadar abu, lemak, protein, karbohidrat dan nilai kalori.
Tabel 12 Hasil analisis proksimat grits jagung instan dengan metode pembekuan lambat dan aron kukus Komponen
pembekuan lambat
aron kukus
395.05
377.04
Kadar air (% bk)
6.03
7.70
Kadar abu (% bk)
0.11
0.11
Protein (% bk)
9.89
10.00
Lemak (% bk)
3.86
1.30
86.14
88.59
Energi (kkal)
Karbohidrat (% bk)
74
Kadar Air Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air per satuan bobot bahan. Terdapat dua metode untuk menentukan kadar air bahan, yaitu berdasarkan bobot kering dan bobot basah. Winarno et al. (1980) mengemukakan bahwa kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan. Hal ini merupakan salah satu sebab mengapa dalam penyimpanan dan pengolahan panga n air tersebut perlu dikeluarkan atau dikurangi dengan cara pengupasan ataupun pengeringan. Pengeringan merupakan salah satu cara mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan pangan dengan cara menyerapnya dengan menggunakan energi panas. Kandungan air bahan pangan biasanya dikurangi sampai batas tertentu dimana mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi pada bahan pangan tersebut (Desrosier 1988). Grits jagung instan diperoleh dengan dua metode, yaitu aron kukus dan pembekuan lambat. Masing- masing dari metode ini dikeringkan menggunakan oven bersuhu 50-60o C selama 6 jam. Berdasarkan hasil analisis proksimat diperoleh bahwa kadar air grits jagung instan pada metode aron kukus adalah sebesar 7.70 (% bk) dan kadar air pada metode pembekuan lambat adalah sebesar 6.03 (% bk). Meskipun grits jagung instan dikeringkan pada suhu dan waktu yang sama tetapi dihasilkan kadar air yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan perlakuan yang diberikan dimana pembekuan mampu untuk mereduksi air yang terdapat dalam produk (Syah et al. 2005) sehingga semakin lama waktu pembekuan semakin banyak air dalam bahan yang akan tereduksi akibatnya kadar air produk yang dibekukan akan lebih rendah dibandingkan tanpa pembekuan. Kecepatan proses pengeringan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal adalah sifat kimia dan struktur fisik serta ukuran bahan sedangkan faktor- faktor eksternal meliputi suhu udara dan kecepatan udara (Fellows 1992). Semakin lama waktu pengeringan maka kadar air bahan yang dihasilkan akan semakin rendah. Kadar air bahan pangan lebih kecil dari 12-14% dapat mencegah pertumbuhan semua jenis mikroba dan merupakan batas kadar air untuk penyimpanan.
75
Kadar Abu Sudarmadji et al. (1996) menyatakan bahwa kadar abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu berhubungan dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan terdiri dari dua macam garam yaitu garam organik dan garam anorganik. Yang termasuk garam organik adalah garam- garam asam malat, oksalat, asetat, pektat sedangkan yang tergolong garam anorganik diantaranya dalam bentuk garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat, nitrat. Berdasarkan hasil analisis proksimat maka diperoleh kadar abu grits jagung instan baik pada metode aron kukus maupun pada metode pembekuan lambat adalah sebesar 0.11 (% bk). Kandungan kadar abu pada bahan pangan nabati lebih rendah dibanding bahan pangan hewani akibat keberadaan beberapa mineral seperti kalsium, besi dan fosfor yang terkandung pada bahan pangan hewani. Selain itu, juga dipengaruhi oleh lepasnya lembaga dari biji jagung dimana sebagian besar mineral jagung terdapat pada lembaga.
Kadar Lemak Lemak tergolong dalam kelompok lipida dimana sifat yang khas dari lipida ini adalah ketidaklarutannya dalam pelarut air tetapi cenderung memiliki kelarutan dalam pelarut organik seperti benzene, eter, kloroform. Berdasarkan hasil analisis proksimat maka diperoleh kadar lemak grits jagung instan pada metode aron kukus adalah sebesar 1.30 (% bk) sedangkan pada metode pembekuan lambat diperoleh kadar lemak sebesar 3.86 (% bk). Pemasakan dapat menyebabkan perubahan kimia dan fisik yang dapat meningkatkan atau menurunkan nutrisi dalam pangan, misalnya protein dapat dicerna lebih baik tetapi mengurangi komponen lemak (Garcia-Arias et al. 2003). Pembekuan dan proses thawing pada kultur sel AT-1 menyebabkan hanya sedikit perubahan pada membran bahkan uji lemak yang dilakukan menunjukkan peningkatan jumlah FFA (free fatty acid) selama pembekuan (Bischof et al. 2002).
76
Kadar Protein Protein tergolong dalam kelompok bahan makronutrien. Peranannya lebih penting sebagai pembentuk biomolekul daripada sebagai sumber energi. Akan tetapi, jika tubuh kekurangan energi maka protein ini dapat juga digunakan sebagai sumber energi (Winarno 1997). Berdasarkan hasil analisis proksimat maka diperoleh kadar protein grits jagung instan pada metode aron kukus adalah sebesar 10.00 (% bk) sedangkan pada metode pembekuan lambat diperoleh kadar protein sebesar 9.89 (% bk). Perbedaan kadar protein dari kedua metode pemasakan ini sangat kecil. Hal ini disebabkan karena pembekuan dan pengeringan menyebabkan kerusakan protein seperti denaturasi, struktur agregasi dan berkurangnya aktifitas enzim rehidrasi (Yu et al. 2006) dimana kerusakan protein ini ditandai dengan perubahan seluruh struktur sekunder protein (Bischof et al. 2002). Akibatnya kadar protein dari kedua
metode
pemasakan
ini
tidak
berbeda
nyata.
Desrosier
(1988)
mengemukakan bahwa pembekuan memberikan perubahan nilai nutrisi sangat kecil pada bahan. Misalnya, keju dan susu yang dibekukan memberikan pengaruh yang sangat kecil terhadap perubahan komposisi nutrisinya selama 6 bulan masa penyimpanan pada suhu -15 hingga -25o C (Zhang et al. 2005), pembekuan dapat merubah struktur protein dengan merusak ikatan hidrogen dari polipeptida dan mengurangi kemampuan daya ikat air (water-holding capacity).
Kadar Karbohidrat Kadar
karbohidrat
dihitung
secara
by
difference,
yaitu
dengan
mengurangkan 100% dengan kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. Karbohidrat adalah polihidroksi aldehid atau polihidroksiketon yang memegang peranan penting dalam alam karena merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan (Gaman & Sherrington 1992). Berdasarkan hasil analisis proksimat maka diperoleh kadar karbohidrat grits jagung instan pada metode aron kukus adalah sebesar 88.59 (% bk) sedangkan pada metode pembekuan lambat diperoleh kadar karbohidrat sebesar 86.14 (% bk).
Acquistucci (2000)
77
mengemukakan bahwa penurunan gula- gula atau asam amino bebas dipengaruhi oleh reaksi maillard yang mudah terjadi pada suhu tinggi.
Nilai Kalori Almatsier (2002) menyatakan bahwa manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Energi ini diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein yang ada dalam bahan makanan. Berdasarkan hasil analisis proksimat maka diperoleh nilai kalori grits jagung instan pada metode aron kukus adalah sebesar 377.04 kkal sedangkan pada metode pembekuan lambat diperoleh nilai kalori sebesar 395.05 kkal.
Karakteristik Kimia Tepung Santan Instan
Tepung santan instan dengan kandungan TBA terendah dari berbagai formulasi
yang
dicobakan
dilanjutkan
uji
karakteristik
kimianya
baik
menggunakan pengering drum maupun pengering semprot. Uji karakteristik kimia ini meliputi : kadar air, kadar abu, lemak, protein, karbohidrat, nilai kalori dan bilangan TBA. Tabel 13 Hasil analisis proksimat tepung santan instan Komponen
pengering drum
pengering semprot
414.13
400.77
Kadar air (% bk)
4.83
3.78
Kadar abu (% bk)
0.39
0.37
Protein (% bk)
2.30
2.30
Lemak (% bk)
7.14
3.48
90.18
93.84
Energi (kkal)
Karbohidrat (% bk)
78
Kadar Air Kadar air merupakan salah satu hal yang penting diperhatikan dalam pengolahan dan pengujian makanan. Kadar air bahan pangan perlu dikurangi karena berhubungan dengan stabilitas mutu bahan pangan selama penyimpanan, pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas enzim penyebab kerusakan (Winarno 1997). Berdasarkan hasil analisis proksimat terhadap sampel tepung santan instan diperoleh bahwa dengan menggunakan pengering drum diperoleh kadar air sampel sebesar 4.83 (% bk) sedangkan jika digunakan pengering semprot maka kadar air sampel sebesar 3.78 (% bk). Pengering semprot menggunakan suhu inlet 170o C dan outlet 95o C sedangkan pengering drum menggunakan suhu lebih rendah yaitu ± 100o C dengan tekanan uap 3-4 bar. Akibatnya semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan maka kadar air bahan yang dihasilkanpun akan semakin rendah. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Vallous et al. (2002) bahwa dengan semakin meningkatnya tekanan uap atau suhu pengeringan menyebabkan terjadinya penurunan kadar air bahan.
Kadar Abu Abu merupakan residu anorganik dari pembakaran bahan organik. Komponen utama yang umum terdapat pada senyawa organik alami adalah kalium, natrium, kalsium, magnesium, mangan dan besi. Berdasarkan hasil analisis proksimat maka diperoleh bahwa kadar abu tepung santan instan menggunakan pengering drum adalah sebesar 0.39 (% bk) sedangkan dengan menggunakan pengering semprot diperoleh kadar abu sebesar 0.37 (% bk). Rendahnya kadar abu yang diperoleh ini diduga kandungan mineral dalam tepung santan instan sangat rendah. Kadar abu dalam bahan pangan nabati lebih rendah dibanding pada pangan hewani.
79
Kadar Lemak Lemak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan kandungan yang berbeda-beda. Dalam pengolahan bahan pangan lemak berfungsi untuk menambah kalori serta memperbaiki tekstur dan cita rasa bahan pangan (Setiawati et al. 2000). Berdasarkan hasil analisis proksimat maka diperoleh bahwa kadar lemak tepung santan instan dengan menggunakan pengering drum adalah sebesar 7.14 (% bk) sedangkan dengan menggunakan pengering semprot diperoleh kadar lemak sebesar 3.48 (% bk). Penurunan kadar lemak pada pengering semprot ini disebabkan banyaknya santan yang lengket pada drying chamber saat pengeringan sehingga pada produk akhir diperoleh kandungan lemak yang lebih rendah dibanding pada pengering drum.
Kadar Protein Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Tidak seperti bahan makronutrien lain (lemak dan karbohidrat), protein ini berperanan lebih penting dalam pembentukan biomolekul daripada sebagai sumber energi. Namun demikian apabila organisme sedang kekurangan energi, maka protein ini terpaksa dapat juga dipakai sebagai sumber energi. Kandungan energi protein rata-rata 4 kkal/g atau setara dengan kandungan energi karbohidrat (Sudarmadji et al. 1996). Berdasarkan hasil analisis proksimat maka diperoleh bahwa kadar protein tepung santan instan yang menggunakan pengering drum dan pengering semprot adalah sama besar yaitu 2.30 (% bk). Pengering semprot ini dapat memperkecil resiko kerusakan bahan pangan akibat pemanasan terutama untuk bahan-bahan yang sensitif terhadap panas. Waktu kontak antara droplet dengan udara panas dalam ruang pengeringan berlangsung singkat sehingga memperkecil resiko terjadinya degradasi zat nutrisi oleh pemanasan. Selain itu, produk akan kering tanpa bersinggungan dengan logam panas, suhu produk relatif lebih cepat turun walaupun pengeringan dilakukan pada suhu yang tinggi, penguapan berlangsung sangat cepat karena permukaan bahan yang sangat luas.
80
Rendahnya kadar protein pada tepung santan diduga akibat pengeringan yang menggunakan panas tinggi menyebabkan rusaknya protein. Pengaruh panas menyebabkan terjadinya denaturasi protein dimana ikatan- ikatan yang membentuk konfigurasi molekul tersebut rusak sehingga dapat mengurangi kandungan protein dalam suatu bahan pangan (Setiawati et al. 2000). Pemanasan yang berlebih menyebabkan penurunan gizi atau merusak sifat fungsional dari protein. Misalnya, pemanasan yang berlebih menyebabkan daya cerna protein menurun (-18%) pada susu skim bubuk yang menggunakan tikus percobaan (Sarwar 1997), pada susu tanpa lemak, tidak hanya mengurangi daya cerna lisin, tetapi juga metionin, penilalanin, histidin dan sistin (Savoie et al. 1989).
Kadar Karbohidrat Berdasarkan hasil analisis proksimat maka diperoleh bahwa kadar karbohidrat tepung santan instan dengan pengering drum adalah sebesar 90.18 (% bk) sedangkan dengan menggunakan pengering semprot diperoleh kadar karbohidrat sebesar 93.84 (% bk). Peningkatan kadar karbohidrat pada pengering semprot diduga akibat penurunan kadar air, kadar abu, protein dan lemak. Sebaliknya, penurunan karbohidrat pada bahan dengan menggunakan pengering drum diduga akibat peningkatan kadar air, kadar lemak dan nilai kalorinya. Njintang dan Mbofung (2006) menyatakan bahwa secara in vitro daya cerna karbohidrat pada tepung talas meningkat hingga pada suhu 60o C tetapi jika suhu terus ditingkatkan maka daya cerna karbohidrat cenderung menurun. Selain itu, penurunan ini dapat pula disebabkan karena keluarnya amilosa dan amilopektin selama pemasakan disamping faktor suhu pengeringan.
Nilai Kalori Kalori yang tinggi oleh Bagian Gizi RS dr. Cipto Mangunkusumo dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia (2001) bertujuan untuk mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh atau guna menambah berat badan hingga mencapai normal. Diit tinggi kalori ini ditujukan khusus kepada penderita : 1) gizi kurang (defisiensi kalori, protein, anemia), 2) hyperthyroid, 3) sebelum dan sesudah
81
operasi, 4) baru sembuh dari penyakit dengan panas tinggi, 5) trauma, luka bakar atau mengalami perdarahan banyak, dan 6) hamil dan setelah melahirkan. Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan per orang per hari terhadap kebutuhan kalori dibedakan berdasarkan berat badan, tinggi badan, golongan umur dan jenis kelamin. Rata-rata kebutuhan kalori untuk pria dewasa adalah 2800 kkal/hari, untuk wanita dewasa 2200 kkal/hari dan untuk anak-anak 1900 kkal/hari (Hardinsyah & Tambunan 2004). Berdasarkan hasil analisis proksimat maka diperoleh bahwa nilai kalori tepung santan instan menggunakan pengering drum adalah sebesar 414.13 kkal sedangkan dengan menggunakan pengering semprot diperoleh nilai kalori sebesar 400.77 kkal. Hal ini berhubungan dengan kadar lemak di dalam produk dimana semakin tinggi kadar lemak maka semakin tinggi pula nilai kalorinya. Kalori ini sangat penting untuk aktifitas sehari- hari yang membutuhkan energi tinggi.
Bilangan TBA (thiobarbituric acid) Pengukuran asam tiobarbiturat dilakukan untuk mengetahui adanya ketengikan. Lemak yang tengik akan bereaksi dengan asam tiobarbiturat menghasilkan warna merah. Produk-produk berlemak sangat cepat mengalami kerusakan. Salah satunya adalah ketengikan. Ketengikan dapat disebabkan karena oksidatif dan hidrolitik. Ketengikan hidrolitik merupakan hasil dari aktifitas mikroorganisme terhadap lemak yang kemudian terjadi hidrolisa sederhana terhadap lemak sedangkan ketengikan oksidatif disebabkan karena adanya oksigen dalam minyak yang menyebabkan oksidasi pada asam lemak (Hasjmy et al. 1984). Reaksi diawali dengan pembentukan radikal-radikal bebas dari asam lemak tidak jenuh yang bereaksi dengan oksigen membentuk peroksida aktif yang dapat membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi rantai karbon yang lebih pendek oleh katalis. Senyawa rantai karbon lebih pendek inilah yang menyebabkan bau dan rasa tengik, yaitu asam lemak rantai pendek, aldehid dan keton (Syarief & Halid 1993).
82
Pencegahan terhadap proses ketengikan dapat dilakukan secara alami ataupun secara kimiawi. Penambahan antioksidan yaitu BHT merupakan cara yang selama ini masih terus dilakukan (Syah et al. 2005). Bilangan TBA merupakan cara pengujian untuk menentukan tingkat ketengikan lemak pada suatu bahan pangan yang ditunjukkan oleh jumlah malonaldehid per kg bahan sebagai hasil reaksi oksidasi lemak (Ketaren 1986). Semakin tinggi konsentrasi BHT yang digunakan maka semakin rendah bilangan TBA yang dihasilkan (Gambar 42). Hal ini disebabkan karena kemampuan senyawa BHT tersebut dalam mencegah proses oksidatif akibat panas selama proses pengeringan sampel. Selain itu juga dipengaruhi oleh konsentrasi dekstrin yang digunakan dimana dekstrin juga berfungsi mencegah kehilangan senyawa-senyawa flavor selama pengeringan.
0.5 0.45
Bilangan TBA (mg malonaldehid/kg sampel)
0.4 5 0.2
0.35 0.3
3 0.2
0.25 0.2 0.15
2 0.1
3 0.2
1 0.1
0.1
9 0.0
4 0.1
9 0.0 5 0.0
0.05
7 0.0
5 0.0
2 0.0
4 0.0
5 0.0
2 0.0
3 0.0 2 0 . 0
2 0.0
2 0.0 2 0 0.
2 0.0 2 0 0.
2 0.0 2 0.0
0 1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
0.1
0.1
0.1
0.2
0.2
0.2
0.1
0.1
0.1
0.2
0.2
0.2
Sorbat (%)
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
0.02
BHT (%)
Dekstrin
Gambar 42 Kandungan TBA tepung santan instan pada pengering drum ( ) dan pengering semprot ( ) pada berbagai perlakuan
83
Hasil sidik ragam memperlihatkan bahwa penambahan BHT, sorbat dan dekstrin berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% terhadap bilangan TBA tepung santan instan baik dengan menggunakan pengering drum (Lampiran 51) maupun dengan pengering semprot (Lampiran 53), kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut duncan yang menunjukkan bahwa perlakuan A (BHT 0.01%; sorbat 0.1%; dekstrin 1) ; B (BHT 0.01%; sorbat 0.1%; dekstrin 2) ; C (BHT 0.01%; sorbat 0.1%; dekstrin 3) berpengaruh nyata dibanding perlakuan lainnya terhadap bilangan TBA tepung santan instan dengan pengering drum (Lampiran 52) sedangkan dengan menggunakan pengering semprot (Lampiran 54) menunjukkan perlakuan A (BHT 0.01%; sorbat 0.1%; dekstrin 1) ; B (BHT 0.01%; sorbat 0.1%; dekstrin 2) berpengaruh nyata dibanding perlakuan lainnya. Kecepatan proses oksidasi dipengaruhi oleh luas permukaan bahan. Semwal et al. (1996) menjelaskan bahwa kecepatan proses oksidasi pada produk nasi instan yang mengandung lemak ± 2-5% dimana selama pemasakan dan pengeringan, komponen lemak ini menjadi terdispersi secara berlebihan pada luas permukaan yang besar dan meningkatkan reaksi dengan oksigen akibat sifat porous produk. Proses oksidasi enzimatis dapat dipercepat dengan meningkatnya kadar air produk yang semakin dipercepat oleh adanya panas, oksigen, katalis dan oksidasi nonensimatis. Pemanasan meningkatkan oksidasi nonenzimatis sehingga merusakkan antioksidan dan meningkatkan oksigen serta katalis akibatnya menurunkan jumlah asam lemak, asam lemak bebas, dan flavour (Molteberg et al. 1996). Demikian pula halnya jika kadar lemak semakin tinggi maka bilangan TBA juga akan semakin meningkat (Manullang & Tanoto 1995).
Bassang Instan Komposisi Kimia Bassang instan adalah bahan makanan yang terdiri dari tepung santan instan dan grits jagung instan yang terpilih dari perlakuan yang terbaik. Grits jagung instan yang terpilih adalah yang diberi perlakuan pembekuan lambat dengan perendaman dalam larutan Na sitrat 1% sedangkan tepung santan yang terpilih
84
adalah yang memiliki derajat ketengikan terendah yaitu pada formulasi BHT, sorbat dan dekstrin masing- masing 0.02% ; 0,2% dan 3 yang dikeringkan menggunakan pengering drum. Analisis proksimat yang dilakukan terhadap bassang instan ini meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat dan nilai energi. Bassang yang dianalisis proksimat adalah bassang dari hasil uji organoleptik. Tabel 14 menyajikan secara lengkap hasil analisis proksimat bassang instan.
Tabel 14 Hasil analisis proksimat bassang instan Komponen Energi (kkal)
jumlah kandungan nutrisi 394.70
Kadar air (% bk)
2.79
Kadar abu (% bk)
0.26
Protein (% bk)
6.26
Lemak (% bk)
1.34
Karbohidrat (% bk)
92.14
Uji Organoleptik Uji organoleptik terhadap bassang instan dilakukan pada nasi jagung dan tepung santan instan yang telah direhidrasi, yaitu meliputi tekstur, warna, rasa, aroma, kekentalan dan penerimaan umum. Uji organoleptik ini menggunakan metode peringkat dengan 21 panelis semi terlatih yang berada di lingkungan kampus IPB. Format uji organoleptik disajikan pada Lampiran 1. Nilai 1 merupakan nilai yang memiliki peringkat tertinggi dan nilai 7 merupakan peringkat terendah. Sebagai pembanding atau kontrol digunakan bassang yang diformulasikan tanpa penambahan dekstrin. Sedangkan formulasi lainnya
85
menggunakan dekstrin dengan rasio air : dekstrin adalah 1:1 ; 2:1 ; dan 3:1. Hasil dari penilaian panelis terhadap bassang instan secara lengkap disajikan pada Tabel 15 yang dihitung menggunakan metode rata-rata. Tabel 15 Uji organoleptik bassang instan dengan metode peringkat Penilaian
Kontrol
Dekstrin : air 1:1
1:2
1:3
-
4.1
4.3
4.5
4.1
3.5
3.7
3.7
Kekentalan
4.3
3.3
3.9
4.7
Warna
4.5
4.5
3.5
3.7
Rasa
4.8
3.7
3.5
4.5
Aroma
2.9
3.9
4.3
4.4
Penerimaan umum
4.8
4.0
3.2
4.6
Tekstur o Aron o Pembekuan lambat
Tekstur Hasil organoleptik terhadap tekstur nasi jagung instan adalah nasi jagung instan dengan metode pembekuan lambat memiliki tekstur lebih tinggi dibanding metode aron kukus pada waktu masak yang sama yaitu selama 5 menit. Nilai rerata metode pembekuan lambat adalah 3.5 sedangkan nilai rerata untuk aron kukus adalah 4.1. Hal ini disebabkan karena pada proses pembekuan lambat struktur dirusak sehingga bersifat lebih poros dan memiliki waktu rehidrasi yang singkat jika dibandingkan dengan metode aron kukus yang tidak sempurna merusak dinding sel jagung akibatnya nasi jagung instan lebih keras. Penilaian kepulenan nasi oleh Hubeis (1985) didasarkan atas parameter kelengketan dan kekerasan sifat tekstur nasi yang dapat dilakukan dengan cara dicicip dan dipijit. Kepulenan nasi secara dicicip didasarkan pada keras lunaknya nasi yang dikunyah sedangkan pada cara pijit nasi dikatakan pulen bila lekat di antara kedua jari dan pera bila tidak melekat di antara kedua jari.
86
Warna Warna dapat didefinisikan sebagai penyebaran energi dari cahaya yang dipantulkan oleh produk pangan atau cahaya yang diteruskan melalui produk pangan, tergantung dari bagaimana cahaya tersebut bereaksi dengan komponen bahan pangan tersebut. Pada reaksi tersebut pantulan cahaya menentukan warna dan penampilan bahan (Mallikarjunan & Hung 1997). Penilaian panelis terhadap warna bassang yang paling disukai adalah pada rasio dekstrin : air = 1:2. Sedangkan rasio dekstrin : air = 1 : 3 paling tidak disukai kemudian diikuti oleh kontrol. Hal ini disebabkan karena umumnya panelis tidak menyukai warna putih, mereka lebih cenderung ke warna coklat tetapi tidak coklat gelap. Warna coklat oleh Winarno (1997) merupakan kondensasi gugus karboksil gula reduksi dengan amino protein yang kemudian mengalami siklisasi dan isomerisasi membentuk pigmen coklat melanoidin.
Rasa Berdasarkan rasa, panelis umumnya lebih menyukai rasa yang manis pada rasio dekstrin 1 : 2. Sedangkan rasa yang paling tidak disukai adalah kontrol. Semakin rendah tingkat kemanisan produk maka semakin tinggi bobot penilaian panelis, berarti produk semakin tidak disukai. Hal ini disebabkan karena pada kontrol rasa gurih lebih menonjol dibanding rasa manis. Rasa gurih ini disebabkan kandungan lemak yang cukup tinggi pada bahan dan jika dikonsumsi dalam jumlah yang banyak bisa menyebabkan rasa mual. Penambahan dekstrin juga dapat mempengaruhi rasa dari produk.
Aroma Dari segi aroma, panelis lebih menyukai aroma bassang kontrol dibanding aroma dengan penambahan dekstrin pada rasio 1:3, hal ini disebabkan karena aroma khas dari santan dan tepung beras sangat menonjol pada bassang kontrol sedangkan pada penambahan dekstrin aroma ini telah tertutupi oleh penambahan dekstrin.
87
Penerimaan Umum Berdasarkan pada penerimaan umum produk bassang instan yang disajikan pada Tabel 15 nampak bahwa kontrol yaitu tanpa penambahan dekstrin memiliki nilai rerata tertinggi yang berarti memiliki peringkat terendah (paling tidak disukai). Hal ini disebabkan karena panelis umumnya tidak menyukai bassang warna putih tetapi mereka cenderung menyukai bassang berwarna coklat tetapi tidak coklat gelap. Faktor yang mempengaruhi rasa juga tekstur bassang instan antara lain adalah rasio amilosa dan amilopektin. Amilopektin yang tinggi (rendah amilosa) menghasilkan jagung yang pulen, sebaliknya amilosa yang tinggi menyebabkan tekstur jagung pera (Winarno 1997).
88
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut : 1. Grits jagung instan yang dikeringkan dengan pengering oven memberikan sifat porous lebih baik dibandingkan pengering kabinet, vakum dan fluidized bed. Tepung santan instan yang dikeringkan dengan pengering drum memberikan karakterisik yang lebih baik dibandingkan pengering semprot. 2. Optimasi berdasarkan jenis larutan perendam yang digunakan adalah perendaman dalam Na sitrat sebesar 1%. 3. Optimasi yang terbaik berdasarkan metode pemasakan nasi jagung instan adalah metode pembekuan lambat (-20o C selama 44 jam) dibanding metode aron kukus dan pembekuan cepat (-50o C selama 30 menit). 4. Berdasarkan bilangan TBA maka formulasi penambahan BHT 0.02% dengan penambahan dekstrin 3 kali dari volume santan merupakan formulasi yang terbaik. 5. Semakin tinggi konsentrasi dekstrin yang digunakan maka semakin lama waktu dispersi, viskositas semakin menurun dan derajat putih semakin tinggi terhadap tepung santan instan yang dihasilkan. 6. Berdasarkan uji organoleptik terhadap bassang instan maka formulasi yang paling disukai adalah : tekstur yang lunak (dekstrin : air = 1 : 1) pada pembekuan lambat, warna coklat muda (dekstrin : air = 1 : 2), rasa manis (dekstrin : air = 1 : 2), aroma khas (kontrol), dan viskositas tinggi (dekstrin : air = 1 : 1). Secara keseluruhan, formulasi yang terpilih adalah perbandingan antara dekstrin : air = 1 : 2.
89
Saran Saran yang dapat diberikan untuk penelitian lebih lanjut adalah : 1. Perlu dilakukan penelitian jenis pengemas yang sesuai dan pendugaan umur simpan. 2. Perlu dilakukan penelitian scale up proses ke skala pilot plant sebelum ke skala industri dan analisis tekno-ekonomi.
90
DAFTAR PUSTAKA
Acquistucci R. 2000. Influence of maillard reaction on protein modification and colour development in pasta. Comparison of different drying conditions. LWT 33(1):48-52. Adisarwanto T, YE Widyastuti. 1999. Meningkatkan Produksi Jagung di Lahan Kering, Sawah dan Pasang Surut. Jakarta: Penebar Swadaya. Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Anastasiades A, S Thanou, D Loulis, A Stapatoris, TD Karapantsios. 2002. Rheological and physical characterization of pregelatinized maize starches. J Food Eng 52:57-66. [Anonim]. 1982. Jagung sebagai Bahan Baku Industri. Jakarta: Departemen Perindustrian. [Anonim] Tim Penulis Penebar Swadaya. 1992. Sweet Corn Baby Corn, Peluang Bisnis, Pembudidayaan dan Penanganan Pascapanen. Jakarta: Penebar Swadaya. [Anonim]. 2000. Profil Pangan Lokal Sumber Karbohidrat. Bogor: Kerjasama Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Faperta IPB dengan Proyek Diversifikasi Pangan dan Gizi Biro Perencanaan Departemen Pertanian. [Anonim]. 2005a. Fluid bed dryer. http://www. Sspindia.com/industrial_dryer/fluid_bed_dryer.html [12 Mei 2005]. [Anonim]. 2005b. Fluid Bed Processing Systems. http://www.niroinc.com/html/drying/fluidbed.html [12
Mei 2005].
[Anonim]. 2005c. Spray Drying Technology. http://www.niro.com/spraydrying.html [12
Mei 2005].
[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1999. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. USA: Association of Official Analitical Chemist. Australian Academy of Technological Sciences and Engineeering. 2000. Instant and Convenience Foods. Australia Sciences and Technology Heritage Centre. http://www.austech.unimelb.edu.au/tia/135.html [20 Feb 2005]. Apriyantono A, D Fardiaz, NL Puspitadasari, Sedarnawati, S Budiyanto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas dan Gizi IPB. Arpah M. 1998. Perbandingan beberapa model ASS (Accelerated Storage Studies) dari Hukum Difusi Fick Unidireksional: Penerapan pada penentuan umur simpan biskuit [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
91
[BPS] Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan. 2004. Produksi Jagung Menurut Propinsi. http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/tan/2004/produksi- jagung- menurutpropinsi.htm [28 Feb 2005]. Bagian Gizi RS dr. Cipto Mangunkusumo dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2001. Penuntun Diit. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Barbosa-Canovas GV, H Vega-Mercado. 1996. Dehydration of Foods. New York: Chapman & Hall. Bischof JC, WF Wolkers, NM Tsuetkova, AE Oliver, JH Crowe. 2002. Lipid and protein changes due to freezing in dunning AT-1 cells. J Cryobiol 45:22-32. Branen AL, PM Davidson, S Salminen, Thorngate JH. 2002. Food Additives. Ed ke-2. New York: Marcel Dekker. Briawan D, M Ariani, SU Kuntjoro, R Damank. 1999. Pengkajian Konsumsi dan Strategi Pengembangan Komoditas Jagung untuk Pangan. Bogor: Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi LP-IPB dan Kantor Menteri Negara Pangan dan Hortikultura RI. Brooker DBF, FW Bakker-Arkema, CW Hall. 1981. Drying Cereal Grain. USA: The AVI Publishing. Chan WS, RT Toledo. 1976. Dynamic of freezing and their effects on water holding capacity of a gelatinized starch gel. J Food Sci 41(2):301-303. Desrosier NW. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Muljohardjo M, penerjemah. Jakarta: UI-Press. Terjemahan dari: The Technology of Food Preservation. Dziedzic SZ, MW Kearsley. 1984. Glucose Syrups : Science and Technology. London and New York: Elsevier Applied Science Publishers. Eckhoff SR et al.. 1999. Comparison between alkali and conventional corn wetmilling : 100-g procedures. Cereal Chem 76(1):96-99. Erywiyatno N, Y Kristianto. 2003. Pengaruh bahan dan konsentrasi perendam Na2 HPO4 dan Na5 P3O10 terhadap mutu fisik, kimiawi, dan mutu organoleptik beras instan. Media Gizi dan Keluarga 27(2):86-92. Fauzia I. 2000. Uji performansi dan analisis keseimbangan panas pada bangunan pengering tipe efek rumah kaca untuk pengeringan emping jagung [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Fellows PJ. 1992. Food Processing Technology Principles and Practise. New York: Ellis Horwood. Fennema OR. 1985. Food Chemistry. Ed ke-2. New York: Marcel Dekker. Floyd CD, LW Rooney, AJ Bockholt. 1995. Measuring desirable and undesirable color in white and yellow food corn. Cereal Chem 72(5):488-490. Gaman PM, KB Sherrington. 1992. Ilmu Pangan Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. M Gardjito, S Naruki, A Murdiati, Sardjono, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari:
92
The Science of Food, an Introduction to Food Science, Nutrition and Microbiology. Garcia-Arias MT, EA Pontes, MC Garcia-Linares, MC Garcia-Fernandez, FJ Sanchez-Muniz. 2003. Cooking-Freezing- Reheating (CFR) of Sardine (Sardine Pilchardus) fillets. Effects of different cooking and reheating procedures on the proximate and fatty acid compositions. J Food Chem 83:349-356. Grace MR. 1997. Cassava Processing. Rome: Food Agriculture Organizations of the United Nations. Hamm R, H Gottesmann. 1984. Release of mitochondrial enzymes by freezing and thawing of meat : Structural and analytical aspects. Proc Euro Meat Res Work Meeting 3:152-155. Han JA, BH Lee, WJ Lim, ST Lim. 2005. Utilization of hydroxypropylated waxy rice and corn starches in Korean waxy rice cake to retard retrogradation. Cereal Chem 82(1):88-92. Handajani S. 1994. Pasca Panen Hasil Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Hardinsyah, V Tambunan. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat Makanan. Makalah yang disampaikan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII “Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”. Jakarta: Organisasi Profesi dibidang Pangan dan Gizi (PERSAGI,PERGIZI-PANGAN, dan PDGMI). Hariyadi P, EH Purnomo, D Tirtasujana, TD Kusumah, N Sudiana. 2000. Penuntun Praktikum Satuan Operasi Industri Pangan. Bogor: TPG, Fateta IPB. Hartomo AJ, MC Widiatmoko. 1993. Emulsi dan Pangan Instan Ber-lesitin. Yogyakarta: Andi Offset. Hartono NAD. 2004. Pengaruh jenis jagung terhadap pembuatan beras jagung instan. [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hasjmy AD, LA Sofyan, L Aboenawan. 1984. Pengaruh lama penyimpanan bahan makanan ternak dalam beberapa macam pembungkus terhadap derajat ketengikan dan kandungan aflatoksin. Bogor: Laporan Penelitian IPB. He GC, K Suzuki. 1988. A method to remove the outer layer of rice endosperm without damaging starch granules. Cereal Chem 65(4):307-312. Heldman DR, RP Singh. 1988. Rekayasa Proses Pangan. M Aman Wirakartakusumah, Suhadi Suhardjo dan Purwiyatno Haryadi, penerjemah. Bogor: Pusat Antar Universitas IPB Bekerjasama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi-IPB. Terjemahan dari: Food Process Engineering. Hidayanti A. 2000. Pengaruh varietas, jenis ragi dan lama fermentasi pada tape jagung (Zea mays L.) [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
93
Hoseney RC. 1998. Principles of Cereal Science and Technology. Ed ke-2. USA: American Association of Cereal Chemists. Hubeis M. 1985. Pengembangan metode uji kepulenan nasi [tesis]. Bogor: Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor. Izadifar M, D Mowla. 2003. Simulation of a cross- flow continuous fluidized bed dryer for paddy rice. J Food Eng 58:325-329. Jayaraman, D Gupta. 1995. Drying of fruits and vegetables. Di dalam: Mujumdar AS. Handbook of Industrial Drying. Ed ke-2. New York: Marcel Dekker. Johnson LA. 1991. Corn : production, processing and ut ilitation. Di dalam: KJ Lorenz, K Kulp. Handbook of Cereal Science and Technology. New York: Marcel Dekker. Juliano BO. 1981. Rice : Biochemical Studies, Grain Post-Harvest Processing Technology. Netherlands: Dept of Agric. Engineering Agricultural University Wageningen. Juniawati. 2003. Optimasi proses pengolahan mie jagung instan berdasarkan kajian preferensi konsumen [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Karathanos VT, NK Kanellopoulos, VG Belessiotis. 1996. Development of porous structure during air drying of agricultural plant products. J Food Eng 29:167-183. Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UIPress. Kusarpoko B. 2003. Optimalisasi proses pengendapan pati pada industri tapioka skala kecil dan menengah [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Lazaro EL, JF Favier. 2000. Alkali debranning of sorghum and millet. Cereal Chem 77(6):717-720. Lii CY, YY Shao, KH Tseng. 1995. Gelation mecanism and rheological properties of rice starch. Cereal Chem 72(4):393. Lineback DF, GE Inlett. 1982. Food Carbohydrates. USA: The AVI Publishing. Liu K, RD Phillips, KAY HMcWatters. 1993. Induced Hard-to-Cook state in cowpeas by freeze-thawing and calcium chloride soaking. Cereal Chem 70(2):193-195. Lorenz KJ, K Karel. 1991. Handbook of Cereal Science and Technology. New York: Marcell Dekker. Mallikarjunan P, YC Hung. 1997. Physical and ultrastructural measurements. Di dalam: Erickson MC, YC Hung. Quality in Food Freezing. New York: Chapman & Hall. Manullang M, E Tanoto. 1995. Pengaruh bahan pengikat dan emulsifier terhadap mutu nugget ikan (Scomberomorus commersoni) selama penyimpanan pada suhu beku. Bul Tek dan Industri Pangan VI(1):42-47.
94
Mistry AH, SR Eckhoff. 1992. Alkali debranning of corn to obtain corn bran. Cereal Chem 69(2):202-205. Mohapatra D, S Bal. 2005. Cooking quality and instrumental textural attributes of cooked rice for different milling fractions. J Food Eng 73(2006):253-259. Molteberg EL, EM Magnus, JM Bjorge, A Nilsson. 1996. Sensory and chemical studies of lipid oxidation in raw and heat-treated oat flours. Cereal Chem 73(5):579-587. Muchtadi TR. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Muchtadi TR, Budiatman. 1991. Teknologi Pangan Lanjut. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Muchtadi TR, Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Mujumdar AS. 1995. Handbook of Industrial Drying. Ed ke-2. Vol ke-1. New York: Marcel Dekker. Mujumdar AS. 2000. Panduan Praktis Mujumdar untuk Pengeringan Industrial. AH Tambunan, D Wulandani, E Hartulistiyoso, LO Nelwan, penerjemah. Bogor: IPB Press. Terjemahan dari: Mujumdar’s Practical Guide to Industrial Drying. Muljohardjo M. 1987. Pengeringan Bahan Pangan. Makalah yang disampaikan dalam kasus singkat pengeringan bahan pangan. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM. Mulyana. 1988. Pengaruh varietas beras, perlakuan kimia dan suhu pengeringan pada pembuatan bubur nasi kering. [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Naito S et al. 2004. Effect of freeze-thaw cycles on the gluten fibrils and crumb grain structures of breads made from frozen doughs. Cereal Chem 81(1):8086. Njintang YN, CMF Mbofung. 2006. Effect of precooking time and drying temperature on the physico-chemical characteristics and in- vitro carbohydrate digestibility of taro flour. LWT 39:684-691. Oktavia RY. 2002. Pengaruh larutan Na2 HPO4 dan Na Sitrat serta suhu pengeringan pada pembuatan nasi instan [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Owens G. 2001. Cereals Processing Technology. Boca Raton: CRC Press. Palungkun R. 2004. Aneka Produk Olahan Kelapa. Jakarta: Penebar Swadaya. Panggabean KD. 2004. Pengembangan produk bubur jagung instan [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Park DJ, JY Imm, KH Ku. 2001. Improved dispersibility of green tea powder by microparticulation and formulation. J Food Sci 66(6):793-798. Parker R. 2003. Introduction to Food Science. United States: Delmar.
95
Ram MS, FE Dowell, LM Seitz, G Lookhart. 2002. Development of standard procedures for a simple, rapid test to determine wheat color class. Cereal Chem 79:230-237. Ram MS, FE Dowell, LM Seitz. 2003. FT-Raman spectra of unsoaked and NaOH-soaked wheat kernels, bran, and ferulic acid. Cereal Chem 80(2):188-192. Ramesh MN, PNS Rao. 1996. Drying studies of cooked rice in a vibrofluidised bed drier. J Food Eng 27:389-396. Robert WJ. 1958. Hybrid Maize Breeding And Seed Production. Rome: Food And Agriculture Organization Of The United Nations. Rodriguez ME et al. 1996. Influence of the structural changes during alkaline cooking on the thermal, rheological, and dielectric properties of corn tortillas. Cereal Chem 73(5):593-600. Rukmana R. 1997. Usaha Tani Jagung. Yogyakarta: Kanisius. Sagara Y. 1990. Pengeringan bahan olahan dan hasil pertanian. Di dalam: Arsyad, editor. Keteknikan Pertanian Tingkat Lanjut . Bogor: JICA kerjasama dengan IPB. Sagara Y, K Abdullah, AM Syarief. 1990. Pengeringan Bahan Olahan dan Hasil Pertanian. Bogor: JICA kerjasama dengan IPB. Sarwar G. 1997. The protein digestibility-corrected amino acid score method overestimates quality of proteins containing antinutritional factors and of poorly digestible protein supplemented with limiting amino acid in rats. J Nutr (127):758-764. Savoie L, R Charbonneau, G Parent. 1989. In vitroamino acid digestibility of food proteins as measured by the digestion cell technique. Plant Foods Human Nutr (39):93-107. Schroeder JW. 1997. Corn Gluten Feed : Composition, Stroge, Handling, Feeding and Value. http://www.ext.nodak.edu.htm [26 Feb 2005]. Semwal AD, GK Sharma, SS Arya. 1996. Flavour degradation in dehydrated convenience foods : changes in carbonyls in quick-cooking rice and Bengalgran Dhal. J Food Chem 57(2):233-239. Setiawati E, P Istalaksana, Murtiningrum. 2000. Karakterisasi fisik dan kimia beberapa jenis pati uwi (Dioscorea sp) asal Irian Jaya. Hyphere V(02):1-8. Shallenberger RS, GG Birch. 1975. Sugar Chemistry. USA: The AVI Publishing. Singh
RP, DR Heldman. 2001. Introduction to Food Engineering. London: Academic Press.
Sjoholm I, V Gekas. 1995. Apple shrinkage upon drying. J Food Eng 25:123-130. Smith DA. 1985. Chemical treatment and process modification for producing improved quick-cooking rice. J Food Sci 50:926-931. Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
96
Sudarmadji S, B Haryono, Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty kerjasama dengan PAU Pangan dan Gizi UGM. Sugiyono, ST Soekarto, P Hariyadi, A Supriadi. 2004. Kajian optimasi teknologi pengolahan beras jagung instan. J Teknol dan Indust Pangan XV(2):119128. Sujatha SJ, R Ahmad, PR Bhat. 2004. Physicochemical properties and cooking qualities of two varieties of raw and parboiled rice cultivated in the coastal region of Dakshina Kannada, India. J Food Chem 86:211-216. Suliantari. 1988. Pengaruh penambahan lipid terhadap sifat fisiko kimia beras instan [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sumadi SH, M Rasyid. 2002. Bertanam Jagung. Jakarta: Penebar Swadaya. Suprapto HS, HAR Marzuki. 2005. Bertanam Jagung. Jakarta: Penebar Swadaya. Supriadi A. 2004. Optimasi teknologi pengolahan dan kajian sorpsi isotermik beras jagung instan [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Syah D et al. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Syarief R, H Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Jakarta: Arcan kerjasama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Taib G, G Said, S Wiraatmadja. 1988. Operasi Pengeringan pada Pengolahan Hasil Pertanian. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa. Tawali AB, Suryani As’ad, M Mahendradatta. 2000. Kajian Nilai Gizi, Perbaikan Formulasi, dan Penyusunan Menu Seimbang Makanan Tradisional Asal Sulawesi Selatan, Laporan Penelitian CHNIII-Dikti. Makassar: Pusat Kajian Makanan Tradisional-PPGK-UNHAS. Tawali AB, A Laga, M Mahendradatta. 2003. Pengembangan Produk Bassang. Laporan Akhir Penelitian RUSNAS Diversifikasi Pangan Pokok. Makassar: Fakultas Pertanian dan Kehutanan UNHAS. Taylor RJ. 1980. Food Additives. New York: John Wiley & Sons. Toledo RT. 1991. Fundamentals of Food Process Engineering. New York: Chapman & Hall. Vallous NA, MA Gavrielidou, TD Karapantsios, M Kostoglou. 2002. Performance of a double drum dryer for producing pregelatinized maize starches. J Food Eng 51:171-183. Vasanthan T, RS Bhatty. 1996. Physicochemical properties of small and large granula starches of waxy, regular, and high amylose barleys. Cereal Chem 73(2):199. Winarno FG, S Fardiaz, D Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
97
Winarno FG. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Winarno FG, TS Rahayu. 1994. Bahan Tambahan untuk Makanan dan Kontaminan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia. Wirakartakusumah A, A Subarna, M Arpah, D Syah, SI Budiwati. 1992. Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas IPB. Wulandari D, AH Tambunan, LO Nelwan, E Hartulistiyoso. 2000. Pengembangan Metode Pembekuan Vakum untuk Produk Pangan. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Yu Z, KP Johnston, RO William III. 2006. Spray freezing into liquid versus spray-freeze drying : Influence of atomization on protein aggregation and biological activity. Eur J of Pharm Sci 27:9-18. Zhang M, ZH Duan, JF Zhang, J Peng. 2004. Effects of freezing conditions on quality of areca fruits. J Food Eng 61:393-397. Zhang RH, AF Mustafa, KF Ng-Kwai-Hang, X Zhao. 2005. Effects of freezing on composition and fatty acid profiles of sheep milk and cheese. Small Ruminant Res 2005:1-8.
98
Lampiran 1 Formulir uji peringkat produk bassang instan Nama
:
Tanggal
:
Petunjuk
: Setelah anda mencicipi semua sampel, buatlah urutan peringkat (ranking) produk bassang instan berdasarkan tekstur, kekentalan, warna, aroma, rasa dan penampakan keseluruhan (overall) dengan memberi nomor 1 - 7 pada kolom yang tersedia sesuai dengan penilaian anda.
kode
tekstur
kekentalan
warna
aroma
rasa
overall
367 846 137 778 156 936 589 Kriteria Penilaian : 1 : sangat suka 2 : suka 3 : agak suka 4 : netral 5 : agak tidak suka 6 : tidak suka 7 : sangat tidak suka Komentar Anda : ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………… ………………………………
99
Lampiran 2 Hasil uji analisis proksimat bahan baku bassang instan jagung sosoh pembekuan aron santan Komponen pipil basah lambat kukus kental Energi (kkal) 382.04 364.19 395.05 377.04 227.00
tepung beras 361.52
Kadar air (% bk)
11.45
10.71
6.03
7.70
171.59
12.72
Kadar abu (% bk)
2.07
0.41
0.11
0.11
1.65
0.29
Protein (% bk)
9.78
6.93
9.89
10.00
8.76
8.61
Lemak (% bk)
6.81
0.97
3.86
1.30
44.62
1.73
Karbohidrat (% bk) 81.34
91.68
86.14
88.59
44.96
89.37
Lampiran 3
Hasil sidik ragam rendemen nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat
Sumber keragaman
Derajat bebas
Perlakuan Galat Total
5 6 11
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F-hitung
22.8800 0.000 22.8800
4.5760 0.0000
99999.99**
Keterangan : F 0.05 (5,6) = 4.39 F 0.01 (5,6) = 8.75 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 % Lampiran 4
Hasil uji beda Duncan rendemen nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat Perlakuan
Rata-rata
0.01
CaCl2 0.05% CaCl2 0.1% CaCl2 0.2% Na Sitrat 0.1% Na Sitrat 0.5% Na Sitrat 1.0%
91.60 90.80 90.40 90.00 88.40 87.60
A B C D E F
Lampiran 5 Hasil sidik ragam rendemen nasi jagung instan pada metode aron kukus Sumber keragaman Perlakuan Galat Total
Derajat bebas 5 6 11
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
1.7067 0.0000 1.7067
0.3413 0.0000
Keterangan : F 0.05 (5,6) = 4.39 F 0.01 (5,6) = 8.75 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %
F-hitung 99999.99**
100
Lampiran 6 Hasil uji beda Duncan rendemen nasi jagung instan pada metode aron kukus Perlakuan
Rata-rata
0.01
CaCl2 0.05% CaCl2 0.1% CaCl2 0.2% Na Sitrat 0.1% Na Sitrat 0.5% Na Sitrat 1.0%
90.00 89.60 89.20 89.20 89.20 88.80
A B C D E F
Lampiran 7 Hasil sidik ragam densitas kamba nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat Sumber keragaman
Derajat bebas
Perlakuan Galat Total
5 6 11
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
0.0115 0.00015 0.011692
0.00231 0.000025
F-hitung 92.33**
Keterangan : F 0.05 (5,6) = 4.39 F 0.01 (5,6) = 8.75 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 % Lampiran 8
Lampiran 9 Sumber keragaman Perlakuan Galat Total
Hasil uji beda Duncan densitas kamba nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat Perlakuan
Rata-rata
CaCl2 0.05% CaCl2 0.1% CaCl2 0.2% Na Sitrat 0.1% Na Sitrat 0.5% Na Sitrat 1.0%
0.605 0.580 0.580 0.555 0.530 0.515
0.01 A B B C D D
Hasil sidik ragam densitas kamba nasi jagung instan pada metode aron kukus Derajat bebas 5 6 11
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
0.00364 0.000050 0.003692
0.000728 0.00000833
Keterangan : F 0.05 (5,6) = 4.39 F 0.01 (5,6) = 8.75 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %
F-hitung 87.40**
101
Lampiran 10 Hasil uji beda Duncan densitas kamba nasi jagung instan pada metode aron kukus Perlakuan
Rata-rata
Na Sitrat 0.1% CaCl2 0.05% Na Sitrat 0.5% CaCl2 0.1% CaCl2 0.2% Na Sitrat 1.0%
0.650 0.620 0.610 0.605 0.600 0.600
Lampiran 11 Sumber keragaman Perlakuan Galat Total
0.01 A B BC C C C
Hasil sidik ragam porositas nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat Derajat bebas 5 6 11
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
148.4167 2.50 150.9167
29.6833 0.4167
F-hitung 71.24**
Keterangan : F 0.05 (5,6) = 4.39 F 0.01 (5,6) = 8.75 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 % Lampiran 12 Hasil uji beda Duncan porositas nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat Perlakuan
Rata-rata
Na Sitrat 1.0% Na Sitrat 0.5% Na Sitrat 0.1% CaCl2 0.2% CaCl2 0.1% CaCl2 0.05%
63.50 59.50 57.50 57.00 54.50 52.50
0.01 A B BC C D D
Lampiran 13 Hasil sidik ragam porositas nasi jagung instan pada metode aron kukus Sumber keragaman Perlakuan Galat Total
Derajat bebas 5 6 11
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
17.604167 1.1250 18.729167
3.52083 0.18750
Keterangan : F 0.05 (5,6) = 4.39 F 0.01 (5,6) = 8.75 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %
F-hitung 18.78**
102
Lampiran 14 Hasil uji beda Duncan porositas nasi jagung instan pada metode aron kukus Perlakuan
Rata-rata
Na Sitrat 1.0% Na Sitrat 0.5% Na Sitrat 0.1% CaCl2 0.2% CaCl2 0.1% CaCl2 0.05%
57.00 56.25 55.50 55.00 54.00 53.50
0.01 A AB ABC BCD CD D
Lampiran 15 Hasil sidik ragam rasio rehidrasi nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
Perlakuan Galat Total
5 6 11
0.0342 0.0003 0.0345
0.00683 0.00005
F-hitung 136.67**
Keterangan : F 0.05 (5,6) = 4.39 F 0.01 (5,6) = 8.75 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 % Lampiran 16
Hasil uji beda Duncan rasio rehidrasi nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat
Perlakuan
Rata-rata
0.01
Na Sitrat 1.0% Na Sitrat 0.5% CaCl2 0.2% Na Sitrat 0.1% CaCl2 0.1% CaCl2 0.05%
2.625 2.565 2.545 2.535 2.495 2.455
A B BC C D E
Lampiran 17 Hasil sidik ragam rasio rehidrasi nasi jagung instan pada metode aron kukus Sumber keragaman Perlakuan Galat Total
Derajat bebas 5 6 11
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F-hitung
0.0446 0.0003 0.0450
0.00893 0.00005
178.67**
Keterangan : F 0.05 (5,6) = 4.39 F 0.01 (5,6) = 8.75 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %
103
Lampiran 18
Hasil uji beda Duncan rasio rehidrasi nasi jagung instan pada metode aron kukus
Perlakuan
Rata-rata
Na Sitrat 1.0% Na Sitrat 0.5% CaCl2 0.2% Na Sitrat 0.1% CaCl2 0.1% CaCl2 0.05%
2.585 2.555 2.535 2.515 2.455 2.405
0.01 A B BC C D E
Lampiran 19 Hasil sidik ragam penyerapan air nasi jagung Sumber keragaman Perlakuan Galat Total
Derajat bebas 5 6 11
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
52.33 0.18 52.51
10.47 0.03
F-hitung 358.86**
Keterangan : F 0.05 (5,6) = 4.39 F 0.01 (5,6) = 8.75 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 % Lampiran 20 Hasil uji beda Duncan penyerapan air nasi jagung Perlakuan
Rata-rata
Na Sitrat 1.0% Na Sitrat 0.5% Na Sitrat 0.1% CaCl2 0.2% CaCl2 0.1% CaCl2 0.05%
46.35 44.50 43.85 43.40 43.15 39.40
0.01 A B C CD D E
Lampiran 21 Hasil sidik ragam pengembangan volume nasi jagung Sumber keragaman Perlakuan Galat Total
Derajat bebas 5 6 11
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
272.71 0.28 272.98
54.54 0.05
Keterangan : F 0.05 (5,6) = 4.39 F 0.01 (5,6) = 8.75 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %
F-hitung 1190.00**
104
Lampiran 22 Hasil uji beda Duncan pengembangan volume nasi jagung Perlakuan
Rata-rata
Na Sitrat 1.0% Na Sitrat 0.5% Na Sitrat 0.1% CaCl2 0.2% CaCl2 0.1% CaCl2 0.05%
53.20 48.35 44.45 42.40 40.60 39.35
0.01 A B C D E F
Lampiran 23 Hasil sidik ragam penyerapan air nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat Sumber keragaman
Derajat bebas
Perlakuan Galat Total
5 6 11
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
340.0375 2.9050 342.9425
68.0075 0.4842
F-hitung 140.46**
Keterangan : F 0.05 (5,6) = 4.39 F 0.01 (5,6) = 8.75 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 % Lampiran 24
Perlakuan
Rata-rata
0.01
Na Sitrat 1.0% Na Sitrat 0.5% CaCl2 0.2% Na Sitrat 0.1% CaCl2 0.1% CaCl2 0.05%
162.50 156.50 154.50 153.50 149.50 145.55
A B BC C D E
Lampiran 25 Sumber keragaman Perlakuan Galat Total
Hasil uji beda Duncan penyerapan air nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat
Hasil sidik ragam penyerapan air nasi jagung instan pada metode aron kukus Derajat bebas 5 6 11
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F-hitung
446.667 3.000 449.667
89.333 0.500
178.67**
Keterangan : F 0.05 (5,6) = 4.39 F 0.01 (5,6) = 8.75 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %
105
Lampiran 26
Hasil uji beda Duncan penyerapan air nasi jagung instan pada metode aron kukus
Perlakuan
Rata-rata
Na Sitrat 1.0% Na Sitrat 0.5% CaCl2 0.2% Na Sitrat 0.1% CaCl2 0.1% CaCl2 0.05%
158.50 155.50 153.50 151.50 145.50 140.50
0.01 A B BC C D E
Lampiran 27 Hasil sidik ragam pengembangan volume nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
Perlakuan Galat Total
5 6 11
1711.7367 2.130 1713.867
342.3473 0.3550
F-hitung 964.36**
Keterangan : F 0.05 (5,6) = 4.39 F 0.01 (5,6) = 8.75 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 % Lampiran 28
Hasil uji beda Duncan pengembangan volume nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat
Perlakuan
Rata-rata
0.01
Na Sitrat 1.0% Na Sitrat 0.5% CaCl2 0.2% CaCl2 0.1% Na Sitrat 0.1% CaCl2 0.05%
142.90 131.05 119.40 114.85 113.80 107.40
A B C D D E
Lampiran 29 Hasil sidik ragam pengembangan volume nasi jagung instan pada metode aron kukus Sumber keragaman Perlakuan Galat Total
Derajat bebas 5 6 11
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F-hitung
1196.9775 1.5850 1198.56250
239.3955 0.264167
906.23**
Keterangan : F 0.05 (5,6) = 4.39 F 0.01 (5,6) = 8.75 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %
106
Lampiran 30 Hasil uji beda Duncan pengembangan volume nasi jagung instan pada metode aron kukus Perlakuan Na Sitrat 1.0% Na Sitrat 0.5% CaCl2 0.2% CaCl2 0.1% Na Sitrat 0.1% CaCl2 0.05%
Rata-rata
0.01
130.80 119.40 114.85 107.40 106.90 100.00
A B C D D E
Lampiran 31 Hasil sidik ragam lama masak nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat Sumber keragaman Perlakuan Galat Total
Derajat bebas 5 6 11
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F-hitung
30.667 3.00 33.667
6.133 0.500
12.27**
Keterangan : F 0.05 (5,6) = 4.39 F 0.01 (5,6) = 8.75 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 % Lampiran 32 Hasil uji beda Duncan lama masak nasi jagung instan pada metode pembekuan lambat Perlakuan
Rata-rata
CaCl2 0.05% CaCl2 0.1% Na Sitrat 0.1% Na Sitrat 0.5% CaCl2 0.2% Na Sitrat 1.0%
12.50 10.50 10.50 9.50 8.50 7.50
0.01 A AB AB BC BC C
Lampiran 33 Hasil sidik ragam lama masak nasi jagung instan pada metode aron kukus Sumber keragaman Perlakuan Galat Total
Derajat bebas 5 6 11
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F-hitung
18.667 3.00 21.667
3.733 0.500
7.47**
Keterangan : F 0.05 (5,6) = 4.39 F 0.01 (5,6) = 8.75 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %
107
Lampiran 34 Hasil uji beda Duncan lama masak nasi jagung instan pada metode aron kukus Perlakuan
Rata-rata
CaCl2 0.05% CaCl2 0.1% Na Sitrat 0.1% CaCl2 0.2% Na Sitrat 0.5% Na Sitrat 1.0%
15.50 13.50 13.50 12.50 12.50 11.50
Lampiran 35
0.01 A AB AB B B B
Hasil sidik ragam densitas kamba tepung santan instan dengan pengering drum
Sumber keragaman
Derajat bebas
Perlakuan Galat Total
11 12 23
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
0.313746 0.000184 0.313930
0.0285223 0.0000153
F-hitung 1860.15**
Keterangan : F 0.05 (11,12) = 2.72 F 0.01 (11,12) = 4.23 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %
Lampiran 36 Hasil uji beda Duncan densitas kamba tepung santan instan dengan pengering drum Perlakua n A G D J H K B I L E F C
Rata-rata
0.01
0.458 0.412 0.400 0.270 0.194 0.190 0.180 0.164 0.164 0.158 0.126 0.122
A B C D E EF F G G G H H
108
Lampiran 37 Hasil sidik ragam densitas kamba tepung santan instan dengan pengering semprot Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
Perlakuan Galat Total
11 12 23
0.11361 0.00045 0.11406
0.0103284 0.0000375
F-hitung 275.42 **
Keterangan : F 0.05 (11,12) = 2.72 F 0.01 (11,12) = 4.23 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %
Lampiran 38 Hasil uji beda Duncan densitas kamba tepung santan instan dengan pengering semprot Perlakuan
Rata-rata
0.01
J D K A E B G L C F H I
0.595 0.565 0.555 0.490 0.485 0.475 0.455 0.455 0.415 0.400 0.400 0.365
A B B C C C D D E E E F
Lampiran 39 Hasil sidik ragam viskositas tepung santan instan dengan pengering drum Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F-hitung
Perlakuan Galat Total
11 12 23
64.0546 0.0350 64.0896
5.8231 0.0029
1996.51**
Keterangan : F 0.05 (11,12) = 2.72 F 0.01 (11,12) = 4.23 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %
109
Lampiran 40
Hasil uji beda Duncan viskositas tepung santan instan dengan pengering drum
Perlakuan
Rata-rata
0.01
G D J A C B I K E H F L
9.55 9.00 8.50 7.20 6.50 6.00 5.95 5.55 5.45 5.15 4.55 4.55
A B C D E F F G G H I I
Lampiran 41 Hasil sidik ragam viskositas tepung santan instan dengan pengering semprot Sumber keragaman
Derajat bebas
Perlakuan Galat Total
11 12 23
Jumlah kuadrat 1.8283 0.070 1.8983
Kuadrat tengah
F-hitung
0.1662 0.00583
28.49**
Keterangan : F 0.05 (11,12) = 2.72 F 0.01 (11,12) = 4.23 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %
Lampiran 42
Hasil uji beda Duncan viskositas tepung santan instan dengan pengering semprot
Perlakuan
Rata-rata
A E B D G J I K L F H C
3.95 3.55 3.45 3.45 3.45 3.35 3.30 3.15 3.05 3.05 3.00 2.95
0.01 A B B B B BC BC CD D D D D
110
Lampiran 43 Hasil sidik ragam daya dispersi tepung santan instan dengan pengering drum Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F-hitung
Perlakuan Galat Total
11 12 23
28.125 2.500 30.625
2.5568 0.2083
12.27**
Keterangan : F 0.05 (11,12) = 2.72 F 0.01 (11,12) = 4.23 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %
Lampiran 44 Hasil uji beda Duncan daya dispersi tepung santan instan dengan pengering drum Perlakuan
Rata-rata
I F L H C E K B G D A J
7.00 6.50 6.00 6.00 5.50 5.00 5.00 5.00 4.50 4.00 3.50 3.50
0.01 A AB ABC ABC ABCD BCDE BCDE BCDE CDE DE E E
Lampiran 45 Hasil sidik ragam daya dispersi tepung santan instan dengan pengering semprot Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F-hitung
Perlakuan Galat Total
11 12 23
83.833 4.000 87.833
7.6212 0.3333
22.86**
Keterangan : F 0.05 (11,12) = 2.72 F 0.01 (11,12) = 4.23 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %
111
Lampiran 46 Hasil uji beda Duncan daya dispersi tepung santan instan dengan pengering semprot Perlakuan
Rata-rata
L C I F K B H E G J A D
13.00 12.50 11.50 10.50 9.50 9.50 9.50 8.50 8.00 8.00 7.50 7.00
0.01 A A AB BC CD CD CD DE DE DE E E
Lampiran 47 Hasil sidik ragam derajat putih tepung santan instan dengan pengering drum Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F-hitung
Perlakuan Galat Total
11 12 23
9.4467 0.0018 9.4485
0.858795 0.000146
5888.88**
Keterangan : F 0.05 (11,12) = 2.72 F 0.01 (11,12) = 4.23 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %
Lampiran 48 Hasil uji beda Duncan derajat putih tepung santan instan dengan pengering drum Perlakuan
Rata-rata
0.01
I F H C L K B A E J G D
42.935 42.670 42.550 42.435 42.390 42.315 42.305 42.240 41.955 41.475 40.995 40.850
A B C D E F F G H I J K
112
Lampiran 49
Hasil sidik ragam derajat putih tepung santan instan dengan pengering semprot
Sumber keragaman
Derajat bebas
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
F-hitung
Perlakuan Galat Total
11 12 23
4.9086 0.0010 4.9096
0.44624 0.000083
5354.84 **
Keterangan : F 0.05 (11,12) = 2.72 F 0.01 (11,12) = 4.23 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %
Lampiran 50 Hasil uji beda Duncan derajat putih tepung santan instan dengan pengering semprot Perlakuan
Rata-rata
0.01
I F C H B E L G K A J D
43.950 43.785 43.775 43.690 43.600 43.495 43.260 43.120 43.115 42.740 42.640 42.610
A B B C D E F G G H I J
Lampiran 51 Hasil sidik ragam kandungan TBA tepung santan instan dengan pengering drum Sumber keragaman
Derajat bebas
Perlakuan Galat Total
11 12 23
Jumlah kuadrat 0.09287 0.00003756 0.09290798
Kuadrat tengah
F-hitung
0.0084427 0.00000313
Keterangan : F 0.05 (11,12) = 2.72 F 0.01 (11,12) = 4.23 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %
2697.01**
113
Lampiran 52 Hasil uji beda Duncan kandungan TBA tepung santan instan dengan pengering drum Perlakuan
Rata-rata
0.01
A B C D E F G H I J K L
0.2323 0.1407 0.0714 0.0458 0.0428 0.0245 0.0236 0.0231 0.0229 0.0221 0.0221 0.0216
A B C D D E E E E E E E
Lampiran 53 Hasil sidik ragam kandungan TBA tepung santan instan dengan pengering semprot Sumber keragaman
Derajat bebas
Perlakuan Galat Total
11 12 23
Jumlah kuadrat
Kuadrat tengah
0.13466072 0.00005470 0.13471543
0.01224188 0.00000456
F-hitung 2685.36**
Keterangan : F 0.05 (11,12) = 2.72 F 0.01 (11,12) = 4.23 ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %
Lampiran 54 Hasil uji beda Duncan kandungan TBA tepung santan instan dengan pengering semprot Perlakuan
Rata-rata
A B C D E F G H I J K L
0.2481 0.2308 0.1180 0.1146 0.0903 0.0886 0.0477 0.0466 0.0252 0.0245 0.0241 0.0221
0.01 A B C C D D E E F F F F