1
OPTIMASI PROSES HIDROLISIS SERAT MAKANAN (DIETARY FIBER) DARI LIMBAH MENGKUDU DENGAN METODE RESPON PERMUKAAN
FAIRUZ SARTIKA DEWI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
2
ABSTRAK FAIRUZ SARTIKA DEWI. Optimasi Proses Hidrolisis Serat Makanan (Dietary Fiber) dari Limbah Mengkudu dengan Metode Respon Permukaan. Dibimbing oleh SAPTA RAHARJA. Produk serat dapat diperoleh dari serat mengkudu (Morinda citrifolia). Ampas yang basah bisa diolah lebih lanjut dengan cara hidrolisis dan pengeringan. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah ampas mengkudu, mengetahui pengaruh waktu dan konsentrasi asam terhadap respon kadar selulosa, hemiselulosa, SDF dan kadar lignin dengan menggunakan rancangan percobaan RSM orde pertama. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa waktu dan konsentrasi asam tidak memberi pengaruh yang nyata terhadap respon hemiselulosa, selulosa dan kadar SDF. Tetapi, kedua faktor ini memberikan pengaruh nyata untuk respon kadar lignin dengan nilai R2 sebesar 0.6489 yang artinya kedua faktor berpengaruh sebesar 64.89% terhadap kadar lignin, sedangkan sisanya 35.11% dipengaruhi oleh faktor lain yang belum diketahui. Kata kunci: dietary fiber, RSM, SDF (soluble dietary fiber)
ABSTRACT FAIRUZ SARTIKA DEWI. Hydrolysis Process Optimation of Dietary Fiber From Noniβs Waste with Response Surface Method. Supervised by SAPTA RAHARJA. A dietary product can be produced from noni (Morinda citrifolia) fiber. The wet pulp can be further processed by hydrolysis and drying to obtain dietary fiber. This research aims to increase the added value of noni pulp, determine the effect of time and acid concentration on the response of cellulose, hemicellulose, soluble dietary fiber and lignin using response surface method experimental design firstorder model. These results indicate that the time and acid concentration did not give significant effect on the response of hemicellulose, cellulose and SDF. But these two factors give real effect to the response lignin with R-square value of 0.6489 which means that both factors influence by 64.89% against the lignin content, while the remaining 35.11% is influenced by other unknown factors. Keywords: dietary fiber, RSM, SDF (soluble dietary fiber)
8
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
BAHAN DAN METODE
3
Bahan dan Alat
3
Metode
3
Penyiapan bahan baku
3
Optimasi proses hidrolisis
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
5
Karakterisasi Bahan Baku dan Produk
5
Optimasi Proses Hidrolisis
7
SIMPULAN DAN SARAN
12
Simpulan
12
Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
13
9
DAFTAR TABEL 1 Nilai rendah (-1) dan tinggi (+1) perlakuan 2 Rancangan percobaan orde pertama (first-order model) 3 Karakteristik tepung mengkudu sebelum dihidrolisis 4 Komposisi Dietary fiber 5 Data rancangan percobaan orde 1 6 Koefisien parameter dan nilai signifikansi selulosa 7 Koefisien parameter dan nilai signifikansi hemiselulosa 8 Koefisien parameter dan nilai signifikansi SDF 9 Koefisien parameter dan nilai signifikansi lignin
4 5 5 6 7 8 9 10 11
DAFTAR LAMPIRAN 1 Prosedur analisis karakterisasi tepung mengkudu 2 Prosedur ekstraksi dan hidrolisis serat mengkudu 3 Data perubahan komposisi serat mengkudu sebelum dan setelah hidrolisis 4 Grafik perubahan komposisi serat pangan sebelum dan sesudah hidrolisis 5 Hasil analisis sidik ragam hemiselulosa terhadap pengaruh waktu dan konsentrasi 6 Hasil analisis sidik ragam selulosa terhadap pengaruh waktu dan konsentrasi 7 Hasil analisis sidik ragam SDF terhadap pengaruh waktu dan konsentrasi 8 Hasil analisis sidik ragam kadar lignin terhadap pengaruh waktu dan konsentrasi
15 19 22 23 23 24 24 24
10
PENDAHULUAN
Latar Belakang Tanaman mengkudu merupakan tanaman hijau yang banyak ditemukan pada kawasan pantai terbuka dan hutan. Jawa Barat merupakan daerah yang potensial bagi pengembangan mengkudu karena memiliki keunggulan lahan yang subur (Winarti 2005). Menurut data statistik Departemen Pertanian (2003) tanaman mengkudu dibudidayakan di 15 propinsi seluas 23 hektar dengan produksi sekitar 1.910 ton dan meningkat menjadi 73 hektar pada tahun 2004 dengan produksi sebesar 3.509 ton. Jenis buah ini umumnya dihindari oleh kebanyakan orang karena mempunyai bau yang kurang sedap. Namun, mengkudu mempunyai banyak khasiat untuk kesehatan. Buah mengkudu mengandung dua belas zat aktif yang berkhasiat untuk pengobatan, diantaranya adalah anthraquinon dan scopoletin yang aktif sebagai antimikroba, terutama bakteri dan jamur sehingga penting untuk mengatasi alergi dan peradangan (Hirazumi et al. 1996). Selain itu, buah mengkudu sampai sekarang masih dimanfaatkan sebagai jamu tradisional untuk mengobati radang tenggorokan, demam dan tekanan darah tinggi. Bahkan, sebagian orang menjadikan buah mengkudu ini sebagai salah satu buah-buahan yang diolah menjadi juice untuk diambil sari buahnya. Selain itu tepung buah mengkudu juga mengandung serat kasar yang tinggi yaitu 33.7 % (Susanti dan Amin 2002). Pemanfaatan buah mengkudu sebagai bahan baku industri pangan dan non pangan telah banyak dilakukan. Buah mengkudu terdiri dari daging buah, biji dan sari buah. Pada umumnya pemanfaatan mengkudu baru sebatas pada sari buahnya dan bagian lain belum dimanfaatkan dengan optimal. Kebanyakan industri pengolahan mengkudu hanya memanfaatkan sari buahnya, sedangkan limbah padat yang dihasilkan mencapai 60 % masih belum dimanfaatkan dan dibuang sebagai limbah padat atau dikomposkan sebagai pupuk. Limbah yang dihasilkan pada produksi pengolahan sari buah mengkudu adalah kulit buah, biji dan daging buah mengkudu. Daging buah mengkudu yang diambil sarinya berupa ampas merupakan limbah padat yang dihasilkan dari industri pengolahan mengkudu. Ampas daging buah mengkudu ini merupakan limbah lignoselulosik yang mempunyai fraksi serat yang cukup tinggi. Komponen utama dalam bahan lignoselulosa adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin (Hermiati et al, 2010). Serat makanan yang terdapat pada ampas mengkudu dapat diekstraksi dan memberikan manfaat yang cukup tinggi. Serat pada awalnya hanya dianggap sebagai senyawa yang inert secara gizi didasarkan bahwa senyawa tersebut tidak dapat dicerna serta hasil fermentasinya tidak dapat digunakan oleh tubuh dan hanya dianggap sebagai sumber energi yang tidak tersedia serta hanya dikenal mempunyai efek sebagai pencahar perut. Serat termasuk bagian dari makanan yang tidak mudah diserap dan sumbangan gizinya dapat diabaikan, namun serat makanan sebenarnya mempunyai fungsi penting yang tidak tergantikan oleh zat lainnya.
2
Pada tingkat konsumen sebenarnya tidak sulit untuk mendapatkan serat pangan berupa sayur maupun buah-buahan, akan tetapi dengan makin kompleksnya kehidupan masyarakat terutama di daerah perkotaan sehingga kesulitan untuk mendapatkan serat pangan menjadi kendala tersendiri (Jatraningrum 2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi serat masyarakat Indonesia masih jauh dari kebutuhan serat yang dianjurkan yaitu minimal 30 g/hari, sedangkan konsumsi serat rata-rata antara 9.9β10.7 g/hari (Jahari dan Sumarno 2002). Oleh karena itu, kebutuhan tubuh akan serat harus dipenuhi dari sumber lain berupa tambahan untuk mencegah timbulnya penyakit yang disebabkan oleh pencernaan. Salah satu alternatif serat pangan dapat diekstraksi dari ampas mengkudu. Proses hidrolisis serat mengkudu menggunakan asam dipengaruhi beberapa faktor diantaranya suhu, konsentrasi asam dan waktu hidrolisis. Perlakuan setiap sampel akan mempengaruhi kadar serat yang dihasilkan seperti rendemen, total serat larut, serat tidak larut, kadar selulosa, hemiselulosa, lignin serta senyawa ekstraktif yang terkandung dalam bahan. Dalam rangka memaksimalkan produksi serat mengkudu dengan kualitas yang baik diperlukan proses optimalisasi faktorfaktor yang berpengaruh. Penggunaan faktor yang tepat dapat menentukan kondisi optimal setiap faktor dengan jumlah perlakuan dan waktu yang lebih singkat. Response Surface Method (RSM) merupakan suatu metode yang memungkinkan peneliti pendapatkan penjelasan yang menyeluruh mulai dari desain penelitian, pengolahan data dan solusi optimasi. Menurut Wahjudi dan Amelia (2002) RSM merupakan metode gabungan antara teknik matematika dan statistik untuk membuat model dan menganalisa suatu respon y yang dipengaruhi oleh beberapa faktor x untuk mengoptimalkan respon tersebut. Penggunaan metode ini diharapkan mampu menghasilkan produksi optimal dari serat mengkudu. Tujuan 1. 2.
Mempelajari proses ekstraksi serat makanan (Dietary Fiber) dari limbah padat industri mengkudu dengan cara ektraksi dan hidrolisis asam. Mempelajari pengaruh waktu hidrolisis dan konsentrasi asam sulfat yang digunakan untuk hidrolisis serta menentukan kondisi optimal proses hidrolisis dengan metode respon permukaan Ruang Lingkup Penelitian
Karakterisasi yang dilakukan pada penelitian awal bahan yaitu analisa proksimat, kadar lignin, selulosa, hemiselulosa, kadar serat larut dan tidak larut. Setelah hidrolisis dilakukan karakterisasi terhadap produk meliputi analisa kadar lignin, selulosa, hemiselulosa serta kadar serat pangan larut dan tidak larut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh waktu dan konsentrasi terhadap respon (hemiselulosa, selulosa, SDF dan lignin) dan mendapatkan kondisi optimum faktor waktu (A) dan konsentrasi asam (B) yang digunakan dalam hidrolisis dengan menggunakan metode perancangan eksperimen yaitu RSM.
3
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah ampas mengkudu yang didapatkan dari limbah padat industri pengolahan sari buah mengkudu PT. Deherba Indonesia, Bogor Jawa Barat, larutan H2SO4, Na2CO3 1% , aquades, heksana, larutan ADF, aseton, etanol, larutan NDF, CTAB, ADTA-2Na, sodium lauril sulfat, HCl, enzim termamyl, enzim pankreatin dan bahan-bahan kimia umum lainnya yang dibutuhkan untuk analisa tepung dietary fiber. Alat-alat yang digunakan untuk mendapatkan serat dari ampas mengkudu, hidrolisis dan analisa adalah oven dan penyaring, diskmill, autoklaf, desikator, sentrifuse, vakum, soxhlet lemak, filter glass 2-G-3, alat atau wadah pemisah serat dan pembuatan serat mengkudu serta peralatan laboratorium untuk analisa sifat fisik dan kimia dari serat mengkudu. Metode Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu penyiapan bahan baku dan karakterisasi produk serta optimasi proses hidrolisis. Penyiapan dan karakterisasi bahan baku Menurut Wardworth et al. (2001) metode ekstraksi dietary fiber dari buah mengkudu dilakukan dengan memisahkan serat dengan sari buah mengkudu. Pada penelitian ini digunakan ampas mengkudu yang didapatkan dari PT Deherba Indonesia. Ampas mengkudu yang masih mengandung sisa-sisa sari buah dan biji, dicuci dan dipisahkan antara ampas bersih dengan biji. Ampas bersih yang didapatkan kemudian dicuci berkali-kali dengan air panas sampai bersih dalam kain saring dan dilakukan secara manual. Ampas yang sudah dicuci kemudian dikeringkan dengan oven pengering pada suhu 55-60 oC selama 5-6 jam. Selanjutnya dilakukan penggilingan menggunakan diskmill untuk mendapatkan tepung mengkudu dengan ukuran 60 mesh. Tepung mengkudu sebelum melalui proses hidrolisis dilakukan karakterisasi sebagai acuan terhadap mutu awal bahan yang didapatkan. Prosedur karakterisasi dan proses ektraksi bahan dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Proses hidrolisis asam dilakukan dengan cara melarutkan bahan dengan larutan H2SO4 dengan konsentrasi yang sudah ditentukan. Perbandingan larutan dengan serat 1:8 (b/v) kemudian diautoklaf pada suhu 121oC dan waktu yang telah ditentukan. Larutan yang telah diautoklaf kemudian dipisahkan antara cairan dengan padatan menggunakan sentrifuse 2000 rpm selama 30 menit. Padatan yang diperoleh kemudian dinetralkan dengan N2CO3 1% sampai pH netral dan kemudian dicuci berkali-kali dengan akuades. Padatan tersebut dikeringkan dengan oven pengering pada suhu 55-60oC selama 5-6 jam kemudian digiling untuk memperoleh serat mengkudu.
4
Optimasi proses hidrolisis Permasalahan yang sering ditemukan pada metode permukaan respon adalah belum diketahuinya hubungan antara variabel respon dengan variabel independen. Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan software Minitab 16. Langkah-langkah yang dilakukan dalam optimasi menggunakan RSM yaitu menetapkan taraf masing-masing peubah bebas, merancang percobaan orde pertama, melakukan analisis varian, pencarian taraf disekitar daerah optimal dan apabila dalam analisis varian uji simultan signifikan dan model yang didapat sesuai, maka dilakukan rancangan menggunakan orde kedua (Dewi 2013). Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan mencari bentuk hubungan antara respon dengan faktor yang digunakan. Bentuk hubungan linier merupakan bentuk hubungan yang dicobakan pertama kali karena merupakan bentuk hubungan yang paling sederhana. Jika ternyata bentuk hubungan antara respon dengan faktor adalah fungsi linier, pendekatan fungsinya disebut dengan first-order model. Jika bentuk hubungan merupakan kuadrat, maka untuk pendekatan fungsinya digunakan deraat polinomial yang lebih tinggi yaitu second-order model. Hubungan antara respon Y dan faktor A dapat dicari menggunakan first order models dan second order models, dimana first order models digunakan untuk mencari daerah optimal dan second order models digunakan untuk mencari titik optimal (Jari et al. 2002). Pada penelitian ini dilakukan pendekatan first-order model dengan dua faktor perlakuan yaitu waktu hidrolisis (A) dan konsentrasi asam sulfat (B). Besarnya nilai konsentrasi dan waktu hidrolisis dapat dilihat pada Tabel 1. Table 1 Nilai rendah (-1) dan tinggi (+1) perlakuan Jenis Perlakuan Waktu [A] (menit) Konsentrasi Asam [B] (%)
Nilai Rendah (-1) 30 0.25
Nilai Tinggi (+1) 90 0.75
Parameter respon yang digunakan dalam menentukan kualitas serat adalah kadar hemiselulosa, kadar selulosa, kadar serat larut dan kadar lignin. Optimasi dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing faktor perlakuan terhadap respon tersebut dengan 2k ditambah 5 center point. Rancangan penelitian pada tahap orde pertama dapat dilihat pada Tabel 2. Pada software ini akan dilihat keragaman dan pengaruh faktor terhadap respon. Model rancangan percobaan untuk mengetahui pengaruh linier dari kedua faktor terhadap respon adalah sebagai berikut. π
y = πΜ₯ β πΜ₯ππ₯π + β πΜ₯ππ π₯π π₯π π‘=1
Keterangan: Y πΜ₯, πΜ₯π, πΜ₯πj xi xi xj
(π<π
= Respon dari masing-masing perlakuan = Koefisien parameter = Pengaruh linier faktor perlakuan utama = Pengaruh linier dua faktor perlakuan
5
Tabel 2 Rancangan percobaan orde pertama (first-order model) A (Min) -1 -1 1 1 0 0 0 0 0
Code
B (%) -1 1 1 -1 0 0 0 0 0
Uncode Waktu (menit) Konsentrasi (%) 30 0.25 30 0.75 90 0.75 90 0.25 60 0.5 60 0.5 60 0.5 60 0.5 60 0.5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Bahan Baku Karakterisasi bahan baku bertujuan untuk mengetahui karakteristik tepung mengkudu. Karakterisasi yang dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar lemak kasar, kadar protein kasar, kadar serat kasar dan kadar karbohidrat (by difference). Hasil karakteristik tepung mengkudu terdapat pada Tebel 3. Tabel 3 Karakteristik tepung mengkudu sebelum dihidrolisis Komponen Kadar air Kadar lemak kasar Kadar protein kasar Kadar abu Kadar serat kasar Kadar karbohidrat (by difference)
Persentase (%) 11.62 2.60 6.68 4.06 29.83 45.21
Susanti dan Amin (2002) (%) 8.7 2.06 16.7 33.7 -
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa hasil karakterisasi bahan baku yang diperoleh pada penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Susanti dan Amin (2002). Hal ini disebabkan karena varietas mengkudu yang digunakan berbeda. Tepung mengkudu yang diperoleh dari penelitian ini berasal dari ampas atau limbah buah mengkudu yang telah diambil sari buahnya. Ampas yang digunakan berasal dari varietas buah mengkudu yang berbeda-beda sehingga kemungkinan berpengaruh terhadap karakteristik awal tepung. Akan tetapi kandungan nilai nutrisi dari tepung mengkudu sesuai dengan standar yang biasanya digunakan untuk beberapa jenis tepung-tepungan. Jumlah kadar air dalam bahan akan menyebabkan kerusakan pada bahan tersebut yang disebabkan oleh mikroba maupun serangga. Pengeringan pada tepung dilakukan agar kadar air yang terdapat pada serat berkurang dan aktivitas serangga atau mikroba dapat terhambat. Batas kadar air mikroba masih dapat
5
Tabel 2 Rancangan percobaan orde pertama (first-order model) A (Min) -1 -1 1 1 0 0 0 0 0
Code
B (%) -1 1 1 -1 0 0 0 0 0
Uncode Waktu (menit) Konsentrasi (%) 30 0.25 30 0.75 90 0.75 90 0.25 60 0.5 60 0.5 60 0.5 60 0.5 60 0.5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Bahan Baku Karakterisasi bahan baku bertujuan untuk mengetahui karakteristik tepung mengkudu. Karakterisasi yang dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar lemak kasar, kadar protein kasar, kadar serat kasar dan kadar karbohidrat (by difference). Hasil karakteristik tepung mengkudu terdapat pada Tebel 3. Tabel 3 Karakteristik tepung mengkudu sebelum dihidrolisis Komponen Kadar air Kadar lemak kasar Kadar protein kasar Kadar abu Kadar serat kasar Kadar karbohidrat (by difference)
Persentase (%) 11.62 2.60 6.68 4.06 29.83 45.21
Susanti dan Amin (2002) (%) 8.7 2.06 16.7 33.7 -
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa hasil karakterisasi bahan baku yang diperoleh pada penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Susanti dan Amin (2002). Hal ini disebabkan karena varietas mengkudu yang digunakan berbeda. Tepung mengkudu yang diperoleh dari penelitian ini berasal dari ampas atau limbah buah mengkudu yang telah diambil sari buahnya. Ampas yang digunakan berasal dari varietas buah mengkudu yang berbeda-beda sehingga kemungkinan berpengaruh terhadap karakteristik awal tepung. Akan tetapi kandungan nilai nutrisi dari tepung mengkudu sesuai dengan standar yang biasanya digunakan untuk beberapa jenis tepung-tepungan. Jumlah kadar air dalam bahan akan menyebabkan kerusakan pada bahan tersebut yang disebabkan oleh mikroba maupun serangga. Pengeringan pada tepung dilakukan agar kadar air yang terdapat pada serat berkurang dan aktivitas serangga atau mikroba dapat terhambat. Batas kadar air mikroba masih dapat
6
tumbuh adalah pada kadar air 14-15 % (Ferdiaz 1989). Produk dalam bentuk tepung memang dianjurkan agar memiliki tingkat kadar air yang rendah karena produk ini sangat riskan terhadap pertumbuhan jamur selama proses penyimpanan (Sulistyawati et al 2012). Kandungan kadar abu yang kecil pada tepung mengkudu menunjukan bahwa kualitas dari bahan bagus. Semakin tinggi kadar abu pada bahan menunjukan kualitas yang kurang baik, karena dalam kandungan nutrisi bahan tersebut banyak terdapat mineral-mineral anorganik (Afrianti 2004). Analisa proksimat menunjukan bahwa tepung mengkudu mengandung serat yang cukup tinggi untuk dapat dimanfaatkan sebagai produk minuman berserat pangan yang mengandung serat. Selain analisa proksimat dilakukan analisa terhadap komposisi serat yang terdapat pada tepung mengkudu sebelum dihidrolisis. Komposisi serat dari tepung mengkudu pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi serat tepung mengkudu Komponen
SDF IDF Selulosa Hemiselulosa Lignin Senyawa ekstraktif
Persentase (%bk) 21.6679 53.7842 65.7386 2.7970 4.1108 27.3500
Setelah dihidrolisis dilakukan karakterisasi terhadap komposisi serat pangan yang dihasilkan. Serat pangan merupakan bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan, meliputi selulosa, hemiselulosa, lignin, pentosan, gum, dan senyawa pektin. Deddy Muchtadi (2001),menyebutkan bahwa berdasarkan kelarutannya serat pangan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu serat pangan larut (soluble dietary fiber) dan serat tidak larut (insoluble dietary fiber). Serat yang larut terdiri atas pektin dan gum serta sebagian hemiselulosa yang banyak terdapat pada buah dan sayur, termasuk dalam serat ini adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin, yang banyak ditemukan pada seralia, kacang-kacangan dan sayuran. Soluble dietary fiber adalah serat makanan yang dapat larut dalam air panas atau dingin serat dapat terendap oleh air yang telah bercampur dalam etanol. Sedangkan insoluble dietary fiber tidak larut dalam air panas maupun dingin. Senyawa-senyawa yang banyak terdapat pada serat pangan ini biasanya ditambahkan ke dalam makanan dan minuman atau digunakan sebagai food suplemen. Serat pangan terdiri dari limbah lignoselulosik yang sebagian besar terdiri dari senyawa selulosa, hemiselulosa, lignin serta senyawa ekstraktif lain yang mempengaruhi kelarutan serat dalam air. Selulosa, hemiselulosa dan lignin mempunyai sifat yang sukar larut dalam air. Pada penelitian ini dilakukan hidrolisis menggunakan asam sulfat untuk mendegradasi senyawa-senyawa tersebut. Perubahan komposisi serat pangan sebelum dan setelah dilakukan hidrolisis dapat dilihat pada Lampiran 3 dan grafik perubahan komposisi serat pangan disajikan pada Lampiran 4 .
7
Optimasi Proses Hidrolisis Penelitian ini menggunakan dua faktor yang dianggap mempengaruhi proses hidrolisis serat yaitu waktu (A) dan konsentrasi asam (B). Dalam penelitian ini waktu yang ingin diteliti yaitu 30β90 menit dan konsentrasi asam sulfat 0.25% -0.75%. RSM merupakan suatu metode yang menggunakan dua orde yaitu orde 1 (first-order model) dan orde 2 (second-order model). Pada penelitian ini dilakukan tahapan percobaan orde 1 dimana pada tahapan ini memerlukan rancangan percobaan yang terdiri dari rancangan faktorial 2k dan 5 rancangan titik pusat. Rancangan faktorial terdiri dari kombinasi taraf tertinggi dan terendah masing-masing faktor dan rancangan titik pusat terdiri dari kombinasi nilai tengah dari faktor (Montgomery 2001). Dari rancangan percobaan orde 1 diperoleh data perubahan komponen serat sesudah hidrolisis dengan menggunakan 2 faktor seperti pada Tabel 5. Tabel 5 Data rancangan percobaan orde 1 A (Min) -1 -1 1 1 0 0 0 0 0
B (%) -1 1 1 -1 0 0 0 0 0
Selulosa 9,9558 11,6489 11,8617 12,0228 10,1818 9,0549 9,5771 8,9736 10,5608
Hemiselulosa -0,8776 -0,4679 -0,8971 -2,5111 -0,2209 -1,6183 -0,1783 -0,8301 -0,7189
Lignin -0,2338 0,0971 -0,2271 -0,9526 -0,5759 -0,8900 -0,5914 -0,6292 -0,6482
SDF 3,6159 4,6276 4,9874 4,3557 3,5774 3,7138 3,3394 2,9939 3,4119
Kadar selulosa Selulosa merupakan senyawa organik yang paling melimpah di bumi. Diperkirakan sekitar 1011 ton selulosa dibiosintesis setiap tahun (Fatmawati 2008). Selulosa juga merupakan senyawa penyusun utama dari jaringan serat dan dinding tanaman. Selulosa adalah komponen serat tidak larut utama dalam diet yang terdiri dari 10.000 atau lebih unit glukosa yang berikatan Ξ²-(1,4)-glukosida. Dalam dinding sel, senyawa ini terdapat dalam bentuk mikrofibril yang terdiri dari beberapa rantai molekul dan membentuk kumpulan yang sangat kokoh sehingga mempunyai sifat tahan terhadap reaksi-reaksi kimia. Dalam sel tanaman selulosa juga selalu terdapat bersama-sama dengan hemiselulosa dan lignin. Berdasarkan sifat larutnya selulosa merupakan senyawa yang tidak larut dalam air. Analisa pengaruh waktu dan konsentrasi terhadap respon selulosa menggunakan software minitab 16 dieroleh model RSM orde 1 adalah : Y = 10.4264 + 0.5699 A + 0.3830 B β 0.4636 AB. Persamaan linear yang diperoleh menunjukan bahwa kedua faktor berpengaruh positif terhadap respon. Secara statistika dari analisa terhadap analisis varian faktor diketahui bahwa faktor waktu dan konsentrasi tidak berpengaruh signifikan terhadap respon dengan selang kepecayaan 58.1 % (A) dan 42 % (B). Koefisien parameter dan nilai signifikansi analisa selulosa disajikan pada Tabel 6.
8
Tabel 6 Koefisien parameter dan nilai signifikansi selulosa Parameter Intersep A B A*B R2
Koefisien 10.4264 0.5699 0.3830 -0.4636
Signifikansi 0.000 0.581 0.420 0.498 0.2470
Dari Tabel 6 dilihat bahwa tidak terjadi perbedaan kadar selulosa dengan adanya perbedaan waktu dan konsentrasi asam. Hal ini juga terlihat dari nilai R 2 sebesar 0.2470, artinya secara statistika faktor waktu dan konsentrasi asam hanya berpengaruh sebesar 24.70% terhadap kadar selulosa sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang belum diketahui. Namun, pada Lampiran 5 dan dari koefisien intersep (+) dapat dilihat bahwa terjadi penurunan nilai kadar selulosa sesudah dihidrolisis. Penurunan kadar selulosa ini terjadi karena hidrolisis bagian amorf dari selulosa menjadi monosakarida dan oligosakarida. Molekul selulosa terdiri dari bagian amorf dan bagian berkristal. Bagian amorf merupakan bagian yang pertama-tama akan dipecah oleh pelarut atau pereaksi kimia. Tsao et al. (1978), menyatakan bahwa bagian amorf pada selulosa lebih mudah dihidrolisis dari pada bagian berkristal. Susunan bagian berkristal pada selulosa bersifat lebih teratur dan rapat. Bagian ini sukar bereaksi dengan pereaksi tertentu. Pada bagian ini pengikatan antar struktur selulosa terutama disebabkan karena adanya ikatan hidrogen yang berfungsi untuk memperkuat struktur mikrofibril. Sebagai akibatnya bagian berkristal ini tidak larut dalam air dan bersifat sangat stabil (Whistler et al 1985). Selulosa terdiri dari 15% bagian amorf dan 85% sisanya adalah bagian mengkristal. Untuk menghidrolisis bagian yang mengkristal diperlukan asam kuat dan suhu yang tinggi. Penurunan kadar selulosa pada serat mengkudu yang sudah dihidrolisis tidak terlalu besar diduga karena suhu yang digunakan tidak terlalu tinggi yaitu 121oC, sedangkan selulosa bagian berkristal hanya dapat dihidrolisis dengan suhu yang sangat tinggi. Kadar hemiselulosa Hemiselulosa termasuk komponen serat pangan yang sifatnya tidak larut dalam air. Hemiselulosa merupakan polisakarida yang mempunyai derajat polimerisasi yang lebih rendah dari selulosa, lebih mudah larut dalam alkali dan sukar larut didalam asam. Hemiselulosa lebih sedikit mengkristal, oleh karena itu lebih mudah larut daripada selulosa dan dapat dicerna dalam usus besar. Pada analisa pengaruh waktu dan konsentrasi terhadap respon hemiselulosa menggunakan software minitab 16 dieroleh model RSM orde 1 adalah : Y = - 0.9245 - 0.5157 A + 0.5059 B + 0.3011 AB. Dari persamaan linear diatas dapat diketahui bahwa faktor waktu (A) berpengaruh negatif terhadap respon. Sedangkan faktor konsentrasi asam (B) berpengaruh positif terhadap respon. Data hasil pengujian kadar hemiselulosa disajikan pada Lampiran 6. Koefisien parameter dan nilai signifikansi analisa selulosa disajikan pada Tabel 7. Nilai R2 selulosa pada Tabel 7 sebesar 0.5681 artinya pengaruh kedua faktor terhadap respon hemiselulosa hanya sebesar 56.81%, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang belum diketahui.
9
Tabel 7 Koefisien parameter dan nilai signifikansi hemiselulosa Parameter Intersep A B A*B R2
Koefisien -0.9245 -0.5157 0.5059 0.3011
Signifikansi 0.994 0.848 0.842 0.635 0.5681
Pada Tabel 7 terlihat bahwa pada selang kepercayaan 84.8 % faktor waktu (A) berpengaruh tetapi tidak signifikan terhadap respon. Semakin tinggi waktu hidrolisis semakin kecil kadar hemiselulosa. Hal ini disebabkan karena semakin lama waktu hidrolisis akan semakin banyak komponen hemiselulosa yang terdegradasi dan mudah larut dalam air sehinngga terbuang pada saat pencucian. Pada selang kepercayaan 84.2 % konsentrasi asam berpengaruh tidak signifikan terhadap respon. Semakin kecil konsentrasi asam semakin kecil kadar hemiselulosa yang dihasilkan. Hemiselulosa berbeda dengan selulosa, hemiselulosa mempunyai sifat yang mudah larut dalam alkali dan sukar larut dalam asam. Menurut Southgate et al (1985), ada sebagian dari komponen hemiselulosa yang asalnya tidak larut dalam air tapi larut dalam alkali dapat larut pada saat ekstraksi dengan menggunakan asam. Hidrolisis hemiselulosa dengan menggunakan asam kuat atau encer akan menghasilkan heksosa dan pentosa. Hidrolisis lebih lanjut akan menghasilkan furfural dan produk terdekomposisi lainnya (Gong et al 1981). Berdasarkan koefisien intersep yang bernilai negatif menunjukan bahwa terjadinya peningkatan kadar hemiselulosa setelah dilakukan hidrolisis. Hal ini disebabkan karena adanya ikatan-ikatan kimia antara hemiselulosa dan lignin yang menghambat hidrolisis. Hemiselulosa bersama-sama dengan selulosa membangun dinding sel yang teguh didalam jaringan lignin. Menurut Sjostrom (1981), terdapat ikatan-ikatan kimia antara lignin dan semua kontituen hemiselulosa. Ikatan-ikatan tersebut berupa ikatan ester atau eter dan bahkan mungkin ikatan glikosidik. Hemiselulosa terbungkus oleh jaringan lignin, diduga pada pengukuran kadar hemiselulosa, lignin yang berikatan dengan hemiselulosa juga terukur. Kadar serat larut (SDF) Serat pangan merupakan salah satu bagian dari komponen bioaktif yang bersifat fungsional dalam suatu bahan pangan (Marsono 2008). Berdasarkan kelarutannya di dalam air serat pangan dibagi menjadi dua yaitu serat larut (SDF) dan serat tidak larut (IDF). SDF dapat diartikan sebagai serat pangan yang dapat larut dalam air hangat atau panas serta dapat diendapkan oleh air yang telah dicampur dengan etanol. Gum, pektin dan sebagian hemiselulosa larut dalam air. Komponen ini terdapat dalam dinding sel tanaman yang merupakan sumber SDF. SDF hanya menempati jumlah sepertiga dari TDF dalam makanan. Tepung serat yang memiliki komponen SDF yang besar lebih cocok untuk membuat minuman atau makanan cair. Pada analisa pengaruh waktu dan konsentrasi terhadap respon SDF menggunakan software minitab 16 dieroleh model RSM orde 1 adalah : Y = 3.84700 + 0.27489 A + 0.41086 B β 0.09497AB.
10
Dari persamaan linear diatas dapat diketahui bahwa faktor waktu (A) dan konsentrasi (B) berpengaruh positif terhadap respon. Data hasil pengujian kadar SDF disajikan pada Lampiran 7. Koefisien parameter dan nilai signifikansi analisa selulosa disajikan pada Tabel 8. Nilai R2 SDF pada Tabel 8 sebesar 0.2907 artinya pengaruh kedua faktor terhadap respon SDF hanya sebesar 29.07%, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang belum diketahui. Tabel 8 Koefisien parameter dan nilai signifikansi SDF Parameter Intersep A B A*B R2
Koefisien 3.84700 0.27489 0.41086 -0.09497
Signifikansi 0.000 0.530 0.705 0.202 0.2907
Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa pada selang kepercayaan 53.0% dan 70.5% faktor waktu (A) dan konsentrasi (B) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap respon SDF. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pengaruh yang signifikan terhadap faktor hemiselulosa dan selulosa, dimana perubahan kedua kadar tersebut harusnya berpengaruh terhadap kadar SDF karena pada saat hidrolisis semakin banyak komponen tidak larut yang terdegradasi. Tidak adanya pengaruh kedua faktor terhadap ketiga respon diatas diduga karena terlalu jauhnya selang taraf faktor yang diteliti. Menurut Grethlein (1975), hidrolisis dengan menggunakan asam terbagi menjadi dua tahap. Pertama, hidrolisis menggunakan asam encer (H2SO4 1%), suhu 80-121 oC dan waktu 30-240 menit. Kedua, dengan menggunakan asam kuat (H2SO4 5-10 %) pada suhu 180 oC dan waktu diatas 240 menit. Sehingga penggunaan taraf yang pada penelitian ini tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan. Berdasarkan koefisien intersep yang bernilai positif menunjukan bahwa terjadinya penurunan kadar SDF setelah dilakukan hidrolisis. Hal ini disebabkan karena komponen-komponen senyawa pektat pada serat mengkudu ikut larut pada saat hidrolisis dan pencucian serta proses netralisasi setelah hidrolisis. Pada saat hidrolisis asam akan mendegradasi komponen polisakarida serat menjadi molekul yang lebih kecil dan bersifat lebih larut. Secara alami selulosa bersifat tidak larut dalam air, namun selulosa yang reaktif terhadap asam akan banyak terdegradasi menjadi molekul yang lebih kecil sehingga lebih larut. SDF atau serat larut merupakan bagian serat pangan yang dapat larut dalam air, termasuk didalamnya senyawa pektat, sebagian hemiselulosa, gum dan mucilage (Spiller 2001). Menurut Winarno (1997) serat larut (SDF) menempati tidak lebih dari sepertiga bagian dari serat pangan total. Komposisi serat pangan larut hasil hidrolisis mencapai 9-10 % dari serat pangan totalnya. Selain komponen serat larut dan tidak larut terdapat komponen lain atau disebut dengan senyawa ekstraktif yang terdapat dalam serat seperti pektin, kutin, gum dan sebagainya. Komponen ini mengalami peningkatan setelah dilakukan hidrolisis. Data hasil analisa disajikan pada Lampiran 3. Peningkatan komponen ini diduga karena terdapat komponen-komponen anorganik, garam-garam hasil penetralan, juga produk-produk hasil reaksi samping antar komponen selama hidrolisis, seperti hasil dari reaksi Maillard dengan lignin, tanin dan kutin.
11
Kadar lignin Lignin merupakan satu-satunya serat pangan yang bukan karbohidrat, yaitu senyawa yang menyebabkan dinding sel menjadi keras. Lignin adalah senyawa gabungan karbon, hidrogen dan oksigen dengan proporsi karbon yang tinggi Howard (2003). Ikatan karbon dan ikatan eter antara unit-unit monomer pada lignin mempunyai kestabilan yang luar biasa terhadap hidrolisis kimia. Disamping itu, lignin juga berikatan dengan komponen dining sel yang lainnya seperti ikatan dengan selulosa dan hemiselulosa menghasilkan suatu struktur dengan ketahanan yang luar biasa terhadap perubahan fisika dan kimia (Theander dan Aman 1979). Pada analisa pengaruh waktu dan konsentrasi terhadap respon kadar lignin menggunakan software minitab 16 dieroleh model RSM orde 1 adalah : Y = - 0.5168 - 0.2607 A + 0.2641 B + 0.0987 AB. Dari persamaan linear diatas dapat diketahui bahwa faktor waktu (A) berpengaruh negatif terhadap respon. Sedangkan faktor konsentrasi asam (B) berpengaruh positif terhadap respon. Data hasil pengujian kadar lignin disajikan pada Lampiran 8. Koefisien parameter dan nilai signifikansi analisa lignin disajikan pada Tabel 9. Nilai R2 lignin pada Tabel 9 sebesar 0.6489 artinya pengaruh kedua faktor terhadap respon kadar lignin hanya sebesar 64.89%, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang belum diketahui. Tabel 9 Koefisien parameter dan nilai signifikansi lignin Parameter Intersep A B A*B R2
Koefisien -0.5168 -0.2607 0.2641 0.0987
Signifikansi 0.998 0.906 0.909 0.530 0.6489
Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa pada selang kepercayaan 90.6 % faktor waktu (A) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap respon. Semakin lama waktu hidrolisis maka akan semakin kecil kadar lignin. Proses hidrolisis dipengaruhi oleh lamanya waktu hidrolisis, semakin lama waktu semakin banyak komponen serat (lignin) yang didegradasi dan bersifat lebih larut. Pada selang kepercayaan 90.09 % konsentrasi asam berpengaruh signifikan terhadap respon. Semakin kecil konsentrasi asam yang digunakan maka akan semakin kecil kadar lignin yang dihasilkan. Berdasarkan koefisien intersep yang bernilai negatif menunjukan bahwa terjadinya peningkatan kadar lignin setelah dilakukan hidrolisis. Hal ini disebabkan karena terbentuknya polimer hasil reaksi pencoklatan non-enzimatis dalam residu lignin yang menyebabkan terjadinya perubahan warna menjadi gelap pada proses pencucian setelah hidrolisis, hal ini terlihat pada Gambar 1. Selain itu juga terdapat kondensasi tanin protein, kutin, karamelisasi dan produk lainnya hasil dari reaksi yang melibatkan protein yang tidak larut bersama-sama dengan lignin (Theander 1979). Menurut Stasse dan Wolthuis (1981), serat yang terkandung dalam bahan pangan dapat meningkat karena proses pemanasan yang melibatkan reaksi pencoklatan atau reaksi Maillard antara asam amino dan produk hasil degradasi gula. Serat yang telah dihidrolisis mengandung komponen-
12
komponen hasil reaksi Maillard yang signifikan dan begabung secara kimiawi dengan fraksi lignin.
Gambar 1 Perubahan warna cairan serat setelah dihidrolisis
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa waktu dan konsentrasi asam tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap respon hemiselulosa, selulosa dan kadar SDF. Hal ini disebabkan karena perbedaan taraf terendah dan tertinggi dari waktu dan konsentrasi yang terlalu jauh, sehingga tidak terlihat perbedaan yang signifikan terhadap respon. Tetapi kedua faktor ini memberikan pengaruh yang signifikan untuk respon kadar lignin dengan nilai R2 sebesar 0.6489. Nilai R2 menunjukan bahwa pengaruh kedua faktor hanya sebesar 64.89%, sedangkan sisanya 35.11 % dipengaruhi oleh faktor lain yang belum diketahui. Saran Perlu dilakukan optimalisasi proses pemisahan serat mengkudu dengan biji buah mengkudu. Perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh waktu dan konsentrasi dengan selang yang lebih jauh, serta mencari faktor-faktor lain yang mempengaruhi hidrolisis serat mengkudu selain waktu dan konsentrasi.
12
komponen hasil reaksi Maillard yang signifikan dan begabung secara kimiawi dengan fraksi lignin.
Gambar 1 Perubahan warna cairan serat setelah dihidrolisis
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa waktu dan konsentrasi asam tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap respon hemiselulosa, selulosa dan kadar SDF. Hal ini disebabkan karena perbedaan taraf terendah dan tertinggi dari waktu dan konsentrasi yang terlalu jauh, sehingga tidak terlihat perbedaan yang signifikan terhadap respon. Tetapi kedua faktor ini memberikan pengaruh yang signifikan untuk respon kadar lignin dengan nilai R2 sebesar 0.6489. Nilai R2 menunjukan bahwa pengaruh kedua faktor hanya sebesar 64.89%, sedangkan sisanya 35.11 % dipengaruhi oleh faktor lain yang belum diketahui. Saran Perlu dilakukan optimalisasi proses pemisahan serat mengkudu dengan biji buah mengkudu. Perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh waktu dan konsentrasi dengan selang yang lebih jauh, serta mencari faktor-faktor lain yang mempengaruhi hidrolisis serat mengkudu selain waktu dan konsentrasi.
13
DAFTAR PUSTAKA Afrianti L.H. 2004. Pati Termodifikasi Dibutuhkan Industri Makanan. http://www.pikiran-rakyat.com [Internet].[17 Juni 2014]. AOAC. 1984. Official Methods of the Association Official Analytical Chemist, AOAC.Washington (US): Inc. Belo P.S.Jr, B.O.D. Lumen. 1980. Pectic substance content of detergent extracted dietary fiber. J Agr Food Chem. 29:370-373. Blumenkrantz N,G Asboe-Hamsen. 1973. New methods for quantitative determination of uronic acid. Anal Biochem. 54:484:373. Departemen Pertanian. 2004. Luas Panen dan Produktivitas Tanaman Mengkudu. http://database.deptan.go.id. [Internet] [20 Maret 2014]. Dewi Ade Kusuma, I wayan Sumarjaya, I Gudti Ayu Made Srinadi. 2013. Penerapan Metode Respon dalam Masalah Optimalisasi. E- J Matematika. 2 (2): 32-36. Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan I. PAU Pangan Gizi. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor. Fatmawati A, N Soeseno, N Chiptadi, S Natalia. 2008. Hidrolisis Batang Padi dengan Menggunakan Asam Sulfat Encer. J Tek Kimia. 3 (1): 187-191. Gong C.S, Li.George. 1981. Conversion of Hemicellulose Carbohydrates. Di dalam Raharja. Ekstraksi dan Analisa Dietary Fiber dari Buah Mengkudu. J Tek Ind Pert. 14(1): 30-39. Bogor [ID]. IPB. Hermiati Euis et al. 2010. Pemamfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu Untuk Produksi Bioetanol. J Litbang Pert. 29 (4): 121-130. Hirazumi A, E. Furuzawa, S.C. Chou, Y. Hokama. 1996. Immunomodulation contributes to the anticancer activity of morindacitrifolia (noni) fruit juice. Proc West Pharmacol Soc. 39: 7β9. Howard RL, Abotsi, E Van Rensburg. 2003. Lignocellulose Biotechnology: Issues of Bioconversion and Enzyme Production. African Biotechnol, J Biotech. 12 (4): 602-619. Jahari A.B, I. Sumarno. 2002. Status Gizi Penduduk Indonesia. Majalah Pangan. Jari Rahardjo et al. 2002. Optimasi Produksi dengan Metode Response Surface. J Tek Ind. 4 (1): 36-44. Jatraningrum Diah A. 2012. Analisis Tren Penelitian Pangan Fungsional: Kategori Bahan Serat Pangan. J Teknol Ind Pangan. 23 (1): 64-68. Marsono Yustinus. 2008. Prospek Pengembangan Makanan Fungsional. J Teknol Pangan. 7 (1): 19-27. Meyer L.H. 1971. Food Chemistry. Tokyo [JPN]. Chat. E. Tut.CO. Montgomery DC. 2001. Design and Analysis of Experimental 5th Edition. New York (US): John Wiley & Son. Muchtadi D. 2001. Sayuran sebagai sumber serat pangan untuk mencegah timbulnya penyakit degeneratif. J Teknol Ind Pangan. 7(1):64-70. Sjostrom E. 1981. Wood Chemistry Fundamentals and Aplications. California [US]. Academic Press Inc. Southgate D, H. Englyst. 1985. Dietary Fiber: Chemistry, Physical,Properties. Di dalam H. Trowell Dietary fiber, fiber depleted food and disease. Academic press.
14
Spiller G. 2001. Handbook of Dietary Fiber in Human Nutrition 3rd Edition. London [US]. CRC Press. Sulistyawati, Wignyanto, Kumalaningsih. Produksi Tepung Buah Lindur Rendah Tanin dan HCN Sebagai Bahan Pangan Alternatif. J Tek Pert. 13(3): 187198. Susanti N. 2002. Pengaruh Pemberian Tepung Mengkudu (Morinda citrifolia L) dalam Ransum Performans Ayam Broiler [Skripsi]. Bengkulu [ID]. Fakultas pertanian Universitas Bengkulu. Theander O, P. Aman. 1979. The Chemistry, Morphology and Analysis of Dietary Fiber Components. Di dalam Raharja. Ekstraksi dan Analisa Dietary Fiber dari Buah Mengkudu. J Tek Ind Pert. 14(1):30-39. Tsao G.T., M. Ladisch, T. Chou. 1978. Fermentation Substrates from Cellulosic Materials Production of Fermentable sugars from Cellulosic Materials. Di dalam D. Perlman (eds). Annual Reports on Fermentation processes Vol 2. New York [US]. Academic Press. Wadsworth .J.J,S.P. Story C.J.Jensen. 2001. Morinda citrifolia dietary fiber and method. United State of Patent. No.6254913. Wahyudi Didik, Amelia. 2002. Optimasi Kekerasan Kampas Rem dengan Metode Desain Eksperimen. J Tek Mesin. 4 (1): 60-68. Whistler R.L, J.R. Daniel. 1985. Carbohydrates. Di Dalam D.R. Fennema. Food Chemistry. New York [US]. Marcell Deckker Inc. Winarno F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta [ID]. PT Gramedia Utama. Winarti Christina. 2005. Peluang Pengembangan Minuman Fungsional dari Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L). J Litbang Pert. 24 (4): 149-155.
15
LAMPIRAN
Lampiran 1 Prosedur analisis karakterisasi tepung mengkudu 1.
Kadar Air ( AOAC 1984 ) Sebanyak 5 g contoh tepung dietary fiber ditimbang dalam wadah yang telah diketahui berat keringnya terlebih dahulu. Wadah beserta isinya dipanaskan dalam oven dengan suhu 105oC selama 3-5 jam. Selanjutnya bahan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Berat air yang menguap (g) Kadar air ( %) = x 100 % Berat awal contoh (g) 2.
Kadar Abu ( AOAC 1984 ) Sebelum pengabuan, cawan porselin dipanaskan dalam tanur, didinginkan, dikeringkan dalam desikator dan ditimbang sebagai berat cawan. Sebanyak 5 g contoh ditempatkan pada cawan porselin yang telah diketahui beratnya, kemudian dimasukan dalam tanur dan dipijarkan pada suhu 600oC hingga berat tetap, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Berat abu (g) Kadar abu (%) = x 100 % berta contoh (g)
3.
Kadar Lemak Kasar ( AOAC 1984 ) Metode yang digunakan dalam analisa lemak adalah metode ekstraksi soxhlet. Labu lemak yang digunkan dikeringkan dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Sebanyak 5 g contoh dibungkus dengan kertas saring dan kemudian dimasukan ke dalam alat ekstraksi soxhlet. Alat kondensor diletakan dibawahnya. Pelarut heksan dimasukan ke dalam labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan refluks selama minimal 6 jam selama pelarut yang turun kembali kedalam lemak bewarna jernih. Pelarut dalam lemak didestilasi dan ditampung kembali, kemudian palarut yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC hingga mencapai berat tatap, kemudian didinginkan dalam desikator. Selanjutnya labu beserta lemak didalamnya ditimbang dan berat lemak dapat diketahui.
Kadar Lemak (%) = 4.
Berat lemak (g) x 100 % Berat contoh (g )
Kadar Protein Kasar ( AOAC 1984 ) Kadar protein ditetapkan dengan metode Kjeldahl. Sekitar 200 mg contoh dibungkus dengan kertas saring yang telah diketahui beratnya, kemudian dimasukan kedalam labu Kjeldahl 150 ml. Setelah mendidih, selenium serta 10 ml H2SO4 pekat dimasukan kedalam labu dan didestruksi sampai filter jernih, umumnya selama lebih kurang 30 menit. Setelah itu labu didiamkan sampai dingin dan didalam labu ditambahkan 110-120 ml aquades. Sebanyak 5 ml larutan tersebut ditambahkan 10 ml NaOH dan didestilasi selama 5 menit. Selanjutnya
16
destilat (hasil destilasi) ditampung di dalam erlenmeyer yang berisi 10 ml larutan penampung. Larutan penampung terbuat dari 20 ml asam askorbat, 10 ml Brom kresol hijau (0.1 %) dalam 1 liter aquades. Selanjutnya dititrasi dengan 0.01 N HCl. Kadar Protein (%) =
(ml titran β ml blanko) x 6.25x14.01 x 100% mg(contoh)
Kadar Karbohidrat ( by difference ) 5. %Karbohidrat = 100% β %air β %lemak β %Protein β %abu β % kadar serat kasar 6.
Kadar Serat Kasar (AOAC 1995) Sebanyak 1 g sampel dimasukan ke dalam labu erlenmeyer kemudian ditambahkan dengan 25 ml H2SO4 0.325 N dan dibawah pendingin balik selama 30 menit. Sebanyak 25 ml NaOH 1.25 N ditambahkan ke dalam sampel dan dipanaskan kembali selama 30 menit. Cairan di dalam labu erlenmeyer disaring dengan kertas saring (Whatmanno. 41) yang telah diketahui bobotnya. Penyaringan dilakukan dengan menggunakan corong Buchner dan pompa vacuum. Selanjutnya residu dicuci berturut-turut dengan 50 ml air panas dan 25 ml aseton. Residu beserta kertas saring dikeringkan dalam oven suhu 105 Β°C sampai bobotnya konstan kemudian ditimbang. aβb x 100% c a = bobot residu serat dalam kertas saring (g) b = bobot kertas saring kering (g) c = bobot bahan awal (g)
Kadar Serat Kasar (%) = Dimana :
7.
Kadar Acid Detergent Fiber (ADF) (Belo dan Lumen 1980 ) Sebanyak 1 g sampel ditambahkan dengan 100 ml larutan ADF kemudian didinginkan pada pendingin tegak selam 60 menit. Selanjutnya sampel disaring dengan filter glass 2-G-3. Endapan yang diperoleh dicuci dengan aquades panas serta dibilas dengan aseton. Filter glass bersama endapannya dikeringkan dalam oven pada suhu 100 Β°C dan ditimbang hingga diperoleh bobot konstan. Sampel kemudian diabukan dalam tanur suhu 450β500 Β°C dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap. aβb Kadar ADF(%) = x 100% c Dimana : a = berat filter + endapan setelah dikeringkan (g) b = berat filter + endapan setelah diabukan (g) c = berat sampel awal (g) 8. Kadar Lignin (Selvendran dan Dupont 1984 ) Kadar lignin ditentukan berdasarkan metode hidrolisis asam sulfat. Sampel sebanyak 0.5 g ditimbang dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Ke dalam sampel ditambahkan 100 ml larutan ADF dan direfluks pada pendingin tegak
17
selama 60 menit. Larutan disaring dengan filter glass 2-G-4. Filter glass yang berisi residu ditempatkan pada gelas piala 100 ml kemudian ditambah 25 ml H2SO4 72 % dingin (Β± 15 Β°C) dan diaduk dengan pengaduk gelas hingga terbentuk pasta halus. Gelas pengaduk dibiarkan berada dalam filter glass selama 3 jam pada suhu 20 hingga 23 Β°C sambil diaduk setiap 1 jam sekali. Penyaringan dilakukan dengan bantuan pompa vakum. Residu dicuci dengan air panas sampai liter bebas asam. Bagian pinggir filter glass dan pengaduk gelas dicuci dengan air panas. Residu dicuci dengan aseton 2β3 kali kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105Β°C. Setelah dingin, sampel ditimbang hingga bobotnya tetap. Filter glass kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 450β500Β°C hingga bobotnya tidak berubah. Kadar Lignin(%) = Dimana :
aβb c
x 100%
a = berat endapan + filter setelah dikeringkan (g) b = berat endapan + filter setelah diabukan (g) c = berat sampel awal (g)
9.
Kadar Neutral Detergent Fiber (NDF) (Mc Queen dan Nicholson 1979) Sampel ditimbang sebanyak 0.5 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 300 ml kemudian ditambahkan 30 ml larutan Ξ±-amilase dan diinkubasikan selama 16 menit pada suhu 40Β°C. Sebanyak 100 ml larutan NDF dan 0.5 g Na2SO3 kemudian ditambahkan ke dalamnya. Campuran dididihkan pada pendingin tegak selam 60 menit kemudian disaring dengan filter glass 2-G-3. Endapan dicuci dengan akuades panas beberapa kali dan dibilas dengan aseton. Filter glass bersama endapan dikeringkan dalam oven pada suhu 105Β°C dan ditimbang hingga diperoleh bobot yang tetap. Kemudian pengabuan dilakukan pada suhu 450β 500Β°C dalam tanur dan hasilnya ditimbang hingga bobotnya tetap. Kadar NDF(%) =
aβb x 100% c
Dimana :
a = berat filter + endapan setelah dikeringkan (g) b = berat filter + endapan setelah diabukan (g) c = berat sampel awal (g) Larutan Ξ± -amilase Sebanyak 1 g Ξ± -amilase dilarutkan dalam 1 L buffer fosfat 0.067 M (KH2PO4β Na2HPO4) pH 7.0 Β± 0.05 Larutan NDF Sebanyak 18.61 g EDTA-2Na; 6.81 Na2B4O7.10H2O; 30 g sodium lauril sulfat; 4.56 g Na2PO4 dan 10 ml 2-etoksi etanol dilarutkan sampai 1 L dengan pH 6.9 β 7.1. 10.
Kadar Selulosa (Blumenkrantz dan Absoe-Hemsen 1973 ) Kadar hemiselulosa ditentukan dengan menghitung selisih kadar ADF dengan kadar lignin. Kadar Selulosa(%) = Kadar ADF β Kadar Lignin
18
11.
Kadar Hemiselulosa (Blumenkrantz dan Absoe-Hemsen 1973 ) Kadar hemiselulosa ditentukan dengan menghitung selisih kadarNDF dengan kadar ADF. Kadar Selulosa (%) = Kadar NDF β Kadar ADF
12.
Kadar Serat Makanan Metode Enzimatis (Sulaeman et al. 1993) Sebanyak 1 g sampel dimasukkan dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 25 ml buffer natrium fosfat 0.1 M pH 6 dan diaduk. Enzim Ξ± amilase ditambahkan sebanyak 0.1 ml ke dalam erlenmeyer kemudian ditutup dengan alumunium foil dan diinkubasikan dalam penangas air bergoyang pada suhu 80Β°C selama 15 menit. Setelah dingin, sebanyak 20 ml akuades ditambahkan dan pH diatur menjadi 6,8 menggunakan NaOH. Sebanyak 20 mg pankreatin ditambahkan kemudian diinkubasikan dalam penangas air bergoyang pada suhu 40Β°C selama 60 menit. Nilai pH diatur hingga 4.5 menggunakan HCl. Sampel disaring menggunakan filter glass yang telah diketahui beratnya dan mengandung celite kering kemudian dicuci sebanyak 2 x 10 ml dengan akuades. Residu (Serat Tidak Larut) Residu dicuci sebanyak 2 x 10 ml dengan etanol 95 % dan 2 x 10 ml aseton kemudian dikeringkan pada suhu 105 Β°C hingga bobotnya konstan dan ditimbang. Setelah kering, sampel diabukan dalam tanur pada suhu 550 Β°C selama 5 jam kemudian ditimbang bobotnya. Filtrat (Serat Larut) Volume filtrat diatur hingga 100 ml kemudian ditambahkan 400 ml etanol 95 % hangat (Β±60Β°C) dan dibiarkan mengendap selama 1 jam. Sampel disaring menggunakan filter glass yang telah diketahui bobotnya kemudian dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95%, dan 2 x 10 ml aseton. Sampel kemudian dikeringkan pada suhu 105Β°C selama semalam ke mudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Selanjutnya sampel diabukan dalam tanur dengan suhu 550Β°C selama 5 jam kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Blanko Blanko dibuat dengan cara yang sama dengan prosedur diatas namun tanpa sampel. Nilai blanko sewaktu-waktu harus dicek bila menggunakan enzim yangg berbeda. D1 β I1 β B1 x 100% Kadar serat makanan tidak larut (%) = W D2 β I2 β B2 Kadar serat makanan larut (%) = x 100% W Total serat makanan (%) = serat makanan tidak larut + serat makanan larut Keterangan : W = berat sampel (g) D = berat setelah pengeringan (g) I = berat setelah pengabuan (g) B = berat blanko bebas abu (g)
19
Lampiran 2 Prosedur ekstraksi dan hidrolisis serat mengkudu Ampas Mengkudu
Pencucian dan Pemisahan Biji
Ampas Bersih mengkudu Pengeringan (55-60oC 5-6 jam) dan penggilingan Penggilingan (Diskmill)
Tepung mengkudu
Pelarutan dalam asam
Hidrolisis dalam autoklaf 121 oC
Sentrifugasi 2000 rpm 30 menit
Endapan
Penetralan Na2CO3 1` % Pencucian
Sentrifugasi 2000 rpm 30 menit
Endapan
Biji
20
Endapan
Pengeringan dengan oven 55-60 oC 5-6 jam
Digiling
Tepung Serat
-1 1 1 -1 0 0 0 0 0
-1 -1 1 1 0 0 0 0 0
Bahan Awal (g) 30.0011 30.0105 30.0000 30.0005 30.0000 30.0014 30.0005 30.0005 30.0005
Bahan Akhir (g) 19.6601 16.0728 16.8192 21.7603 22.2411 25.4923 23.4312 25.0610 22.0611
Lignin (g) Awal Akhir 1.2333 1.4671 1.2337 1.1366 1.2332 1.4603 1.2333 2.1859 1.2332 1.8091 1.2333 2.1233 1.2333 1.8246 1.2333 1.8624 1.2333 1.8815 Perubahan -0.2338 0.0971 -0.2271 -0.9526 -0.5759 -0.8900 -0.5914 -0.6292 -0.6482
Hemiselulosa (g) Awal Akhir 0.8391 1.7167 0.8394 1.3073 0.8391 1.7362 0.8391 3.3502 0.8391 1.0600 0.8391 2.4574 0.8391 1.0175 0.8391 1.6692 0.8391 1.5580 Perubahan -0.8776 -0.4679 -0.8971 -2.5111 -0.2209 -1.6183 -0.1783 -0.8301 -0.7189
B
-1 1 1 -1 0 0 0 0 0
A
-1 -1 1 1 0 0 0 0 0
Bahan Awal (g) 30.0011 30.0105 30.0000 30.0005 30.0000 30.0014 30.0005 30.0005 30.0005
Bahan Akhir (g) 19.6601 16.0728 16.8192 21.7603 22.2411 25.4923 23.4312 25.0610 22.0611 Awal 8.2053 8.2079 8.2050 8.2051 8.2050 8.2054 8.2051 8.2051 8.2051
Akhir 6.7098 5.5494 5.7628 8.5252 9.8322 10.2440 10.4444 10.7811 9.4604
SE (g) Perubahan 1.4955 2.6585 2.4422 -03200 -1.6272 -2.0386 -2.2392 -2.5759 -1.2553
SDF (g) Awal Akhir 6.5006 2.8847 6.5026 1.8751 6.5004 1.5129 6.5005 2.1448 6.5004 2.9230 6.5007 2.7869 6.5005 3.1611 6.5005 3.5066 6.5005 3.0885
Perubahan 3.6159 4.6276 4.9874 4.3557 3.5774 3.7138 3.3394 2.9939 3.4119
Lampiran 3a (Lanjutan) Data perubahan komposisi serat mengkudu sebelum dan setelah hidrolisis
B
A
Lampiran 3 Data perubahan komposisi serat mengkudu sebelum dan setelah hidrolisis
IDF (g) Awal Akhir 16.1359 12.6797 16.1409 10.4961 16.1353 9.9134 16.1355 17.2827 16.1353 13.4820 16.1360 15.5066 16.1355 14.2578 16.1355 14.8561 16.1355 13.4600
Selulosa (g) Awal Akhir 19.7223 9.7665 19.7285 8.0796 19.7216 7.8599 19.7219 7.6991 19.7216 9.5397 19.7225 10.6676 19.7219 10.1448 19.7219 10.7483 19.7219 9.1612
3.4561 5.6449 6.2219 -1.1472 2.6533 0.6294 1.8777 1.2795 2.6755
Perubahan
9.9558 11.6489 11.8617 12.0228 10.1818 9.0549 9.5771 8.9736 10.5608
Perubahan
21
2122
Lampiran 4 Grafik perubahan komposisi serat pangan sebelum dan sesudah hidrolisis 27,35 34,13
34,53 34,26 39,18
40,18 44,57 43,02
44,21
42,88
100%
Komponen (%)
80%
2,80 8,73
60%
8,13
10,32
40% 65,74
49,68 50,27 46,73
9,64
4,34
6,66
35,38 42,89 41,85 43,30
42,89
15,40
4,77
7,06 41,53
20% 0%
7,46 2
4,11 1
7,07 3
8,68 4
10,05 5
8,13 6
8,33 7
7,79 8
7,43 9
8,53 10
Perlakuan Lignin
Selulosa
Hemiselulosa
SE
Lampiran 4a Keterangan grafik perubahan komposisi serat pangan sebelum dan sesudah hidrolisis (%bk) No Waktu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Konsentrasi
Sebelum Hidrolisis 30 0.25 30 0.75 90 0.75 90 0.25 60 0.5 60 0.5 60 0.5 60 0.5 60 0.5
Lignin (%) 4.11 7.46 7.07 8.68 10.05 8.13 8.33 7.79 7.43 8.53
Selulosa (%) 65.74 49.68 50.27 46.73 35.38 42.89 41.85 43.30 42.89 41.53
Hemiselulosa (%) 2.80 8.73 8.13 10.32 15.40 4.77 9.64 4.34 6.66 7.06
SE(%) 27.35 34.13 34.53 34.26 39.18 44.21 40.18 44.57 43.02 42.88
Lampiran 5 Hasil analisis sidik ragam selulosa terhadap pengaruh waktu dan konsentrasi Sumber Varian Waktu Konsentrasi Waktu*Konsentrasi Galat Jumlah
DF 1 1 1 5 8
JK 1.2993 0.5867 0.8595 8.3695 11.1151
KT 1.2993 0.5867 0.8595 0.4818
F-rasio 0.78 0.35 0.51
Prob>F 0.419 0.580 0.506
22
23
Lampiran 5a Koefisien parameter, standar error dan nilai t analisa kadar selulosa Parameter Intersep A B A*B
Koefisien 10.4264 0.5699 0.3830 -0.4636
Standar Error 0.4313 0.6469 0.6469 0.6469
T 24.18 0.88 0.59 -0.72
Prob>t 0.000 0.419 0.580 0.506
Lampiran 6 Hasil analisis sidik ragam hemiselulosa terhadap pengaruh waktu dan konsentrasi Sumber Varian Waktu Konsentrasi Waktu*Konsentrasi Galat Jumlah
DF 1 1 1 5 8
JK 1.06369 1.02380 0.36254 1.86295 4.31299
KT 1.0637 1.0238 0.3625 0.3403
F-rasio 2.85 2.75 0.97
Prob>F 0.152 0.158 0.369
Lampiran 6a Koefisien parameter, standar error dan nilai t analisa kadar hemiselulosa Parameter Intersep A B A*B
Koefisien -0.9245 -0.5157 0.5059 0.3011
Standar Error 0.2035 0.3052 0.3052 0.3052
T -4.54 -1.69 1.66 0.99
Prob>t 0.006 0.152 0.158 0.369
Lampiran 5 Hasil analisis sidik ragam kadar SDF terhadap pengaruh waktu dan konsentrasi Sumber Varian Waktu Konsentrasi Waktu*Konsentrasi Galat Jumlah
DF 1 1 1 5 8
JK 0,30226 0,67523 0,03608 2,47364 3,48722
KT 0,30226 0,67523 0,03608 0,07460
F-rasio 0,61 1,36 0,07
Prob>F 0,470 0,295 0,798
Lampiran 7a Koefisien parameter, standar error dan nilai t analisa kadar SDF Parameter Intersep A B A*B
Koefisien
Standar Error
T
Prob>t
3,84700 0,27489 0,41086 -0,09497
0,2345 0,3517 0,3517 0,3517
16,41 0,78 1,17 -0,27
0,000 0,470 0,295 0,798
23
24
Lampiran 6 Hasil analisis sidik ragam kadar lignin terhadap pengaruh waktu dan konsentrasi Sumber Varian Waktu Konsentrasi Waktu*Konsentrasi Galat Jumlah
DF 1 1 1 5 8
JK 0,271916 0,279030 0,038935 0,319124 0,909004
KT 0,27192 0,27903 0,03893 0,01638
F-rasio 4,26 4,37 0,61
Prob>F 0,094 0,091 0,470
Lampiran 8a Koefisien parameter, standar error dan nilai t analisa kadar lignin Parameter Intersep A B A*B
Koefisien
Standar Error
T
Prob>t
-0,5168 -0,2607 0,2641 0,0987
0,08421 0,12632 0,12632 0,12632
-6,14 -2,06 2,09 0,78
0,002 0,094 0,091 0,470
24
25
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Fairuz Sartika Dewi, dilahirkan di Simabur, Kab. Tanah Datar Sumatra Barat pada tanggal 31 Januari 1993. Penulis merupakan anak pertama dari 4 bersaudara dari ayah Nusyirwan, S.Pd.SD dan Ibu Zulpahendra, S.Pd.SD. Penulis memulai pendidikan sekolah dasar SDN 27 Sialahan. Pendidikan penulis kemudian dilanjutakan ke Sekolah Menengah Pertama SMPN 01 Pariangan pada tahun 2005 dan Sekolah Menengah Atas SMAN 01 Pariangan pada tahun 2007. Penulis diterima oleh Institut Pertanian Bogor melewati jalur USMI di Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian. Selama masa perkuliahan penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan diantaranya Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Futsal Putri pada 2010-2014, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Panahan IPB pada 20102012 dan berbagai kepanitian di Departemen Teknologi Industri Pertanian. Selain itu penulis juga ikut berpatisipasi dalam perlombaan olahraga dalam lingkup IPB diantaranya cabang olahraga Badminton, basket, atletik maupun volli pada Redβs cup, Together, maupun Olimpiade Mahasiswa IPB. Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir praktik lapang dan menambah pengalaman di dunia kerja, penulis melaksanakan praktik lapangan di PT. Heinz ABC Indonesia Plant Karawang di tahun 2013 dengan judul Mempelajari Aspek Pengawasan Mutu Sirup di PT. Heiz ABC Indonesia Plant Karawang, Jawa Barat. Terakhir, penulis berpartisipasi menjadi asisten pengawasan mutu di Laboratorium Pengawasan Mutu, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.