FORUM KAJIAN PERTAHANAN DAN MARITIM
Vol. 9, No. 9, September 2015
MENUJU MASYARAKAT INDONESIA BERKESADARAN MARITIM
K
erugian fisik bukanlah satu-satunya bentuk ancaman bagi keamanan nasional. Adapula imminent loss dimana bakal kerusakan wibawa kedaulatan Republik Indonesia masuk dalam bagiannya. Mengamankan kepentingan nasional dari ancaman tersebut bukanlah perkara gampang mengingat daya nasional yang tersedia amat terbatas, sedangkan kebutuhan pertahanan nasional sangatlah besar. Untuk memecahkan persoalan tersebut, Indonesia dituntut berpikir kreatif dan efektif. Tulisan ini bukanlah berisi kritik terhadap postur TNI-AL dalam mengamankan Poros Maritim Dunia, melainkan – dan lebih daripada itu, memberikan solusi, pendekatan seperti apa yang Indonesia perlu ambil dan bagaimana menghindari kerusakan dan bakal kerusakan tersebut sehingga tidak menempatkan TNI/TNI-AL sebagai penonton yang hanya diperbolehkan naik panggung bila diperlukan. Sebagai kelanjutan tulisan pertama tentang seramnya Laut Tiongkok Selatan, sesi ini menampilkan hasil statistik kegiatan militer, para militer, diplomasi, administrasi, legal dll dan ditambah dengan hasil balance-scorecard yang mungkin pertama kalinya digunakan guna mengukur performa pelibatan kekuatan maritim. Isu LTS sungguh-sungguh serius dipandang dari ekskalasi pelibatan, dan penggunaan kekuatan maritim dengan asumsi analisis intelijen maritim sungguh-sungguh dapat diandalkan--mungkin perlu diikuti dengan diskusi di Lemdik lemdik, lembaga kajian maritim; Kemlu, dan Kemhan (simulasi FDO/Flexible deterrent options), kajian di Unhan ataupun thesis dan disertasi tentang pelibatan. Poros maritim dilihat dari perspektif militer sungguh benar memerlukan analis intelijen yang berkualifikasi maritim. Pemimpin Redaksi : Robert Mangindaan Wakil Pemimpin Redaksi : Ir. Budiman D. Said, MM Sekretaris Redaksi : Willy F. Sumakul S.IP Staf Redaksi : Amelia Rahmawaty, S. H. Int Alamat Redaksi FKPM Jl. dr. Sutomo No. 10, Lt. 3 Jakarta Pusat 10710 Telp./Fax. : 021-34835435 www.fkpmaritim.org E-mail :
[email protected] Redaksi menerima tulisan dari luar sesuai dengan misi FKPM. Naskah yang dimuat merupakan pandangan pribadi dan tidak mencerminkan pandangan resmi institusi. Ti d a k d iju a l u n t u k u m u m
Optimalkah? POSTUR TNI MENGAMANKAN POROS MARITIM DUNIA Oleh : Robert Mangindaan
Pendahuluan Tujuan dari tulisan ini bukanlah untuk mempertanyakan dua hal, yaitu mengenai; (i) semua kebijakan dan rumusan ‘strategi’ pertahanan negara (seharusnya dibaca: national defense) yang sudah ditetapkan oleh pihak berkompetensi, (ii) metodologi seperti apa yang digunakan untuk mengukur postur militer di dalam bingkai pertahanan nasional (national defense). Sebaliknya, mohon dipertimbangkan sebagai sumbang pikir untuk memperkuat konsep yang ada, dan atau sedang di realisasikan dalam rentang waktu yang sudah terprogram pula. Tujuan yang kedua adalah untuk merespon RTD yang dilaksanakan oleh SopsKasal pada tanggal 23 Desember 2015 di Gedung Neptunus, Cilangkap, yang membahas konsep rancangan Undang-Undang tentang Keamanan Laut, yang kontennya adalah pembentukan BaKamla. Sebagian besar pandangan yang dikemukakan pada tulisan ini, penulis sampaikan pada Focus Group Discussion di Lemhannas tanggal 29 Juli 2015 yang membicarakan topik senada dengan judul tulisan ini. Pada diskusi tersebut para pembicara mengungkapkan dan membahas berbagai realita mengenai kelemahan (weakness) dan kerawanan yang laten (vulnerability) dalam bidang pertahanan Indonesia, berikut mengenai kondisi nyata alut-sista, kemampuan gelar kekuatan, kecilnya anggaran dan dukungan logistik operasional. Diskusi juga menyinggung kualitas sumber daya manusia, berikutnya himbauan untuk penerapan konsepsi revolution in military affairs (RMA), dan sekilas mengenai
Optimalkah? Postur TNI Mengamankan Poros Maritim Dunia angkatan laut, bahkan angkatan udara, dengan peralatan dan perlengkapan yang sangat-sangat sederhana. Persoalan yang mereka hadapi adalah bagaimana mengimbangi kemampuan angkatan bersenjata Srilanka yang lebih perkasa. Konon kabarnya, dengan pendekatan RMA mereka mengutak-atik peran komponen Komando, Kendali, dan Informasi (sekarang lebih popular dengan C4 ISR), untuk mengarahkan semua kemampuan (terbatas) yang ada agar dapat diproyeksikan secara efektif. Termasuk perang informasi! Hasilnya? Mudah menemukan track record yang mengungkapkan bahwa pihak Tamil Eelam mampu memberikan pukulan telak dan berbagai kerusakan yang cukup parah bagi Angkatan Bersenjata SriLanka. Kembali ke tanah air. Tidak ada pihak yang bisa menafikkan bahwa kebutuhan pertahanan nasional Indonesia sangatlah besar, tetapi daya nasional (existing national power) yang tersedia sangat terbatas, lagi pula anggaran belanjanya belum dipetakan (allocating resources) dengan tepat. Pada situasi demikian, ada baiknya menoleh keluar kotak (out of the box) mengeksplorasi penggunaan paradigma RMA, yang dirancang untuk kebutuhan pertahanan Indonesia. Kotak berikut ini mengemukakan tiga komponen RMA yang umumnya, di rekayasa ‘ulang’ untuk menghasilkan keluaran yang sesuai dengan situasional dan atau kecenderungan yang berlaku.
ranah maritim yang diikuti dengan ‘ancaman’ Tanah Toraja akan minta merdeka apabila pemerintah tidak memperhatikan kepentingan pembangunan di sana. Pada FGD tersebut menghasilkan suatu kesimpulan bahwa postur TNI belum optimal untuk mengamankan poros maritim dunia (PMD). Sekali lagi, tulisan ini tidak membicarakan apa dan bagaimana perihal mengkaji postur TNI dan poros maritim dunia (PMD), sebaliknya—penulis menyampaikan sumbang pikir menyoroti tiga poin yang dapat membantu untuk merumuskan stage and state derajat optimal yang diinginkan, yaitu; (i) revolution in military affairs (RMA), (ii) manajemen ancaman (threat management), dan (iii) format kerjasama jajaran keamanan laut. Paradigma (RMA)
Revolution in Military Affairs
Mungkin sekali, paradigma Revolution in Military Affairs (RMA) kurang diminati oleh kalangan pembuat kebijakan, dan bisa jadi penggunaannya hanya sebatas pemanis tulisan. Teman saya (BDS,WS) berseloroh bahwa kurangnya minat atau minimnya atensi terhadap RMA, disebabkan oleh beberapa pihak beranggapan bahwa cukup dengan military science yang diperoleh selama pendidikan militer formal berjenjang, dan selama itu pula lingkup pengetahuan tersebut (sepertinya) mampu menyelesaikan berbagai persoalan pertahanan-keamanan di tanah air ini, tanpa mengunakan RMA. Memang benar bahwa RMA bukan suatu ilmu, atau yang bersifat sains, ataupun suatu disiplin yang baru. Lahirnya pula bukan di wilayah di Amerika atau Eropa yang kaya dengan pakar dan think tank yang menjamur, tetapi di Uni Soviet pada era 1980-an yang terpaksa memutar otak untuk mengimbangi keperkasaan teknologi militer AS dan sekutunya. Mereka terpaksa berpikir kritis, dan secara sistematik mengutak atik semua asset militer Uni Soviet yang tersedia (available), agar lebih efektif digunakan dan lebih menjanjikan. Intinya ialah pikiran kritis, tertata, focus, dibakukan, dan digunakan untuk memecahkan persoalan. Banyak pihak kemudian menyebut sebagai paradigma RMA. Penggunaan paradigma tersebut kemudian diikuti oleh banyak pihak, bahkan konon kabarnya pihak Tamil Eelam juga menggunakannya. Pihak tersebut pernah memiliki angkatan darat, Vol. 9, No. 9, September 2015
Teknologi Dokrin Manajemen
RMA Ada tiga komponen yang sangat terkait erat dengan kinerja ‘mesin’ pertahanan Indonesia, yaitu; teknologi, doktrin, dan manajemen. Arti pentingnya mengenai teknologi, dan juga aras teknologi terapan yang digunakan oleh ’mesin’ pertahanan Indonesia, sudah dipahami dengan baik oleh semua pihak di republik ini. Aras teknologi terapan tersebut ada di bagian pengindraan (sensing), mobilitas (mobility), daya merusak (fire power), dan di komando dan kendali (command and control). Mengutak2
Optimalkah? Postur TNI Mengamankan Poros Maritim Dunia dan mereka pasti mampu membedakan apa itu keamanan nasional dengan keamanan negara. Pemaksaan format tersebut sudah pasti akan berdampak pada tahap algorithm-nya, dan telah terbukti berbagai fakta di tanah air ini yang mengkonfirmasi kecenderungan tersebut. Sejak 2014 Indonesia sudah mencanangkan Poros Maritim Dunia—dengan toll laut, suatu political message bahwa Indonesia siap dan mampu melayani kepentingan dunia. Sadar atau tidak, suka atau tidak, sikap tersebut berimplikasi pada kualitas kinerja ‘mesin’ pertahanan nasional yang harus berstandar dunia. Kebutuhan dunia adalah terpeliharanya stabilitas keamanan (perairan) Nusantara, khususnya ketiga ALKI yang mengakomodasikan kepentingan dunia melintas Nusantara ini. Secara spesifik, kebutuhan mereka adalah terjaminnya keamanan pelayaran, keselamatan navigasi dan terpeliharanya marine environment dari pencemaran akibat pelayaran. Pertanyaan yang muncul disini ialah apakah untuk kepentingan tersebut, Indonesia perlu membentuk suatu angkatan ‘keamanan’ yang baru? Bagaimana pula dengan doktrin dan manajemennya? Memang benar, sepertinya ada perubahan doktrin dan manajemen keamanan laut. Akan tetapi konstruksinya sedikit membingungkan (dibaca: political blunder), yaitu lahirnya BaKamla. Apabila instusi tersebut di petakan dalam bingkai RMA, akan muncul pertanyaan besar—apa landasan doktrin yang menjadi pegangan BaKamla apabila ‘bekerja’ di ranah keamanan nasional? Dari aspek manajemen, juga muncul pertanyaan yang lebih kritis yaitu, siapa top management badan itu? Kalau benar pihak Menko-Polhukam dan Menko-Maritim yang memegang KODAL, lalu di bumi Nusantara ini ada berapa strategi keamanan nasional? Apakah Menko-Polhukam punya otoritas mengeluarkan perintah operasi? Pertanyaan yang lebih-lebih kritis lagi mengenai Komando dan Kendali (C4 ISR) pertahanan nasional, berada dipihak mana? Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa pihak KemHan/TNI tidak mendapat pagu anggaran yang cukup, dan ‘mesin’ ekonomi nasional tetap mengusahakan agar ada tambahan anggaran yang memadai. Memang tersedia dana ekstra dan cukup besar, tetapi ada jumlah yang cukup besar disisihkan untuk membentuk BaKamla. Sepertinya, ada kajian politik dari sementara pihak ingin membentuk satuan keamanan (security forces) yang baru dalam rangka mengamankan Poros Maritim
atik aspek teknologi bukanlah pekerjaan yang mudah, namun bukan berarti tidak mungkin dan harus ditempuh. Hanya saja, halangannya sangat kompleks mulai dari sikap politik, kebijakan (national policy), dan yang yang paling rumit adalah aspek allocating resources. Diperlukan SDM yang paham betul mengenai ranah tersebut, dan mampu memberikan beberapa pilihan stratejik yang terukur. Kondisi ekonomi nasional dengan tingkat pertumbuhan berkisar pada 5% tentunya tidak leluasa membicarakan alokasi anggaran untuk mengutak-atik teknologi militer yang ideal, atau pada aras yang diinginkan. Situasi tersebut mengisyaratkan bahwa tinjauan terhadap komponen teknologi dapat ditetapkan bersifat konstanta. Artinya, paradigma RMA akan lebih fokus menyoroti, atau katakanlah—mengutakatik dua komponen lainnya yaitu doktrin dan manajemen, ketimbang berkutat pada anggaran yang terbatas. Contohnya, AL-AS tidak lagi selalu menggunakan formasi carrier battle group tetapi beralih pada format expeditionary yang lebih efektif dan ekonomik. Perubahan doktrin tersebut diikuti pula dengan perubahan manajemen operasi dan logistik (arti luas). Kata kunci disini, ada dua yaitu; doktrin dan manajemen. Penerapan suatu doktrin tidak akan bersifat kekal atau berlaku selamanya, harus ada perubahan yang menyesuaikan dengan perkembangan lingkungan stratejik. Misalnya saja—era perang dingin sudah berlalu, musuh tidak lagi aktor negara tetapi kini sudah bertambah dengan aktor non negara. Memang benar doktrin pertahanan Indonesia sudah memetakan operasi militer selain perang, tetapi variannya (sepertinya) tidak begitu tegas (clear cut) dan tidak diikuti dengan penggarisan aturan pelibatan yang baku. Potret belakangan ini memperlihatkan satuan TNI ikut menertibkan pedagang kaki lima, menertibkan masalah tanah, dan jaga ketertiban stasiun kereta api. Mengenai manajemen pertahanan, nampaknya perlu dan sangat mendesak untuk di rekayasa ulang. Alasannya, ada persoalan (dalam hal semantik) sewaktu ‘reformasi’ Departemen Hankam yang memilah aspek pertahanan dan keamanan. Kurang pemahaman mengenai lingkup keamanan (security) dan pertahanan (defense), berakibat ketahap imperative-nya yang membakukan format keamanan negara dan pertahanan negara. Republik ini tidaklah kekurangan pakar pertahanan dan keamanan, 3
Vol. 9, No. 9, September 2015
Optimalkah? Postur TNI Mengamankan Poros Maritim Dunia terhadap ancaman akan banyak dipengaruhi oleh latar belakang, profesi, dan ..… kepentingan dari pembicaranya. Bila demikian halnya, maka varian ancaman bisa direkayasa untuk kepentingan sektoral, dan atau kepentingan pembicaranya. Pembukaan UUD NRI 1945 mengamanahkan; pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Suatu amanah yang sangat jelas dan tegas kepada Pemerintah untuk melindungi Indonesia, tentunya dimulai dari mengindra (sensing) semua bentuk ancaman terhadap segenap bangsa dan seluruh tumpah darah. Alamat aksi adalah pihak, atau lembaga, atau institusi, tepatnya jajaran intelijen sebagai pemangku kepentingan yang mengindra ancaman terhadap bangsa dan wilayah republik ini. Kata kunci-nya ialah pemerintah, bukan swasta, bukannya out-sourcing, bukan pula individu yang mengklaim sebagai pakar intelijen. Kata kunci kedua ialah kesatuan persepsi, suatu pekerjaan yang tidak mudah dan (banyak kali) diper-bias demi kepentingan sektoral. Sebagai contoh, ada ramalan bahwa dalam sepuluh tahun mendatang tidak akan ada perang terbuka. Bila demikian halnya maka logika perencanaan adalah ciutkan anggaran belanja pertahanan, kerdilkan postur TNI, dan alihkan anggarannya untuk pembentukan angkatan keamanan (security forces) yang baru. Apakah ada indikator kearah tersebut? Ada, dan sudah terprogram, yaitu menata minimum essential force (MEF) yang akan dicapai dalam sepuluh tahun mendatang. Program tersebut dibangun dengan asumsi zero enemy—thousand friends. Pertanyaan kritis yang perlu dijawab–apakah postur TNI dengan rancangan MEF 2025 dapat menjamin bahwa pemerintah Negara Indonesia, mampu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia? Apabila dihadapkan pada kebutuhan PMD, pertanyaannya menjadi—apakah postur TNI dengan konstruksi MEF mampu memelihara stabilitas keamanan (perairan) kawasan Asia Tenggara? Apakah postur MEF 2025 memiliki daya tangkal (deterrence) dan mampu di proyeksikan pada flash point? Flash point? Wah, ‘binatang’ apa lagi ini. Perlu suatu kejelasan yang lugas mengenai ‘binatang’ apa itu, apa dimensinya, mana lingkupnya (boundary), dan perkiraan daya rusaknya (destructive power). Singkatnya, perlu kejelasan apa itu flash point, bencana atau
Dunia. Dasar argumentasinya ialah Negara tidak membangun angkatan bersenjata yang baru (armed forces) tetapi satuan keamanan baru (security forces) yang ‘konon kabarnya’ dibutuhkan untuk mengamankan PMD. Besaran dana yang dibutuhkan untuk membangun BaKamla akan sama besar dengan membangun suatu angkatan laut yang baru. Padahal tugas pokoknya tidak begitu jelas, selain mencakup fungsi dan peran pihak lain, yaitu KemenKKP, KeMenHub/KPLP (Indonesia Sea and Coast Guard), KemHan/TNI-AL, KeMenKu, dan KemKumHam. Sebaiknya, membangun BaKamla tidak menggunakan kajian politik, tidak pula merancang undang-undang keamanan laut yang kontennya ternyata adalah pembentukan ‘BaKamla’. Gunakanlah naskah akademik yang sahih, dan dengan landasan hukum yang kuat. Memang benar ada indikator yang sangat jelas bahwa BaKamla harus eksis, by any cost! Baiklah, bila dipaksakan demikian, akan tetapi perlu disadari bahwa rumpun ASEAN dan negara maritim besar akan menakar kemampuan keamanan laut Indonesia dalam rangka memelihara stabilitas keamanan maritim kawasan, dan tentunya akan ada tuntutan (political pressure) yang kritis dengan nuansa sanksi. Nantinya, pihak yang akan memikul sanksi tersebut bukan BaKamla, tetapi seluruh bangsa Indonesia. Threat management Salah satu produk era Reformasi adalah munculnya pakar-pakar militer, intelijen, dan pertahanan. Mereka sangat fasih membicarakan ancaman, juga tentang strategi, bahkan taktikoperasionalnya juga, meskipun kurang paham mengenai military concept and philosophy. Sumbangsih tersebut memang sah-sah saja, dan tentunya masyarakat awam di republik ini akan diuntungkan. Tetapi mohon dipahami dengan benar, bahwa bicara tentang ancaman, strategi, taktik-operasional, semua pengetahuan tersebut tidak bekerja di alam yang vakum. Memang, tidak sulit untuk membicarakan ancaman, dan tiap anak bangsa—tua muda, terpelajar atau awam, siapa pun dia, pasti bisa bicara tentang ancaman. Tidak sulit pula membentuk focus group discussion untuk merumuskan varian ancaman, dan memang pernah ada diskusi semacam itu (2002) yang menghasilkan rumusan 150-an varian ancaman yang dihadapi Indonesia. Nampaknya, persepsi Vol. 9, No. 9, September 2015
4
Optimalkah? Postur TNI Mengamankan Poros Maritim Dunia segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Poin berikutnya, komponen utama pertahanan adalah Tentara Nasional Indonesia yang siap digunakan untuk melaksanakan tugastugas pertahanan, mulai dari membangun dan membina kemampuan, daya tangkal negara dan bangsa, sampai pada menanggulangi setiap ancaman. Tidak ada pembedaan apakah ancaman itu dari luar, atau dari dalam, atau tradisional, atau asymmetric, atau proxy, atau dan atau yang lain. Selain itu, ada penggarisan yang sangat tegas hanya pihak TNI ‘bekerja’ pada aras kepentingan nasional yang utama, tidak ada pihak lain. Mengenai ancaman. Ada referensi yang sahih, bahwa ancaman (threat) = bakal bencana, kerusakan, kehancuran, kerugian (imminent loss, Maoz-1982). Referensi tersebut berkonsentrasi pada bakal bencana, bakal kerusakan (loss) yang akan terjadi pada aras stratejik. Berbekal referensi tersebut, TNI/TNIAL akan merespon dengan merekayasa essential element of information yang cakupannya pada aras strategic loss akan dihadapi pada era PMD. Referensi Maoz mengisyaratkan bahwa TNI/TNI-AL tidak membatasi ruang geraknya pada physical loss yang didominasi oleh ragam kejahatan. Tetapi lebih luas dari aras tersebut, yaitu hilangnya wibawa kedaulatan Republik Indonesia yang dibalut dengan kejahatan. Dalam pergaulan internasional yang memandang suatu negara tidak memiliki wibawa kedaulatan, dapat dianggap sebagai negara gagal (fail state). Banyak contoh negara yang tidak mampu mengamankan yurisdiksinya di laut, mengakibatkan komunitas internasional ‘terpanggil’ untuk mengambil alih tindak pengamanannya atas nama kepentingan masyarakat internasional. Bagi Indonesia yang berada pada posisi silang dunia dengan geopolitik PMD, mempunyai kewajiban (UNCLOS 1982) untuk menjamin keamanan maritim di wilayahnya. Masyarakat maritim (baca: pengguna ALKI) sangat berkepentingan dengan kemampuan jajaran keamanan laut Indonesia, untuk mengamankan asset mereka selama melintas di wilayah yang konon kabarnya, masih melekat stigma sebagai dangerous water, black area, rawan rompak dan rampok laut..!
kerusakan seperti apa yang akan dihadapi. Perlu deskripsi yang terukur, agar dapat menyiapkan dan mengarahkan kemampuan yang ada untuk digunakan secara efektif dalam rangka meniadakan bencana atau kerusakan tersebut. Sementara itu, berkembang kecenderungan yang mengarahkan jajaran TNI/TNI-AL untuk menghadapi kejahatan (crime) dan berat pada penegakan hukum. Pembentukan mind-set seperti itu sudah terjadi sejak dua dekade lalu, yang secara halus (subtle) menggiring TNI/TNIAL untuk keluar dari posisi utama—primus inter pares, dalam ranah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah. Apa argumentasinya dari pernyataan seperti itu? Yaa..perlu mundur sejenak. Pada masa silam, angkatan laut mengenal tugas pokok yang sangat rigid, yaitu melindungi kepentingan nasional di dan lewat laut. Imperative-nya, angkatan laut di seluruh dunia memegang doktrin sea control, dan bagi pihak yang kurang perkasa mengunakan sea denial. Implikasinya— angkatan laut membangun kapasitas (dengan nomenklatur yang jelas) untuk melaksanakan tugas pokok dengan berpegang pada doktrinnya, tanpa memilah ancaman atau kejahatan. Barangkali ada pihak-pihak yang masih rancu untuk membedakan ancaman dengan kejahatan? Pasti ada dan (barangkali) pihak itulah yang membangun konstruksi pertahanan Negara yang digunakan sekarang ini. Berbekal pemahaman terbatas, mereka membedakan; (i) threat—asymmetric threats, (ii) traditional— non-traditional threat, (iii) military—nonmilitary threat, kemudian berkembang (iv) trans-national crime, trans-national organized crime, illegal fishing, illegal logging, dan seterusnya. Diskusinya mengarah pada aktor pelaku, pola dan metode, yang diarahkan kepada wilayah otoritas penindakan. Seharusnya diskusinya diawali dengan kepentingan nasional (ada hirarkinya) yang diikuti dengan apa ancamannya (pada tiap aras hirarki), kemudian mengarah pada pengindraan (sensing) dan perhitungan (assessment) kadar, aras, lingkup bencana, atau kerusakan yang akan dihadapi. Pada aras kepentingan nasional yang utama (vital interest) adalah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah, dan ada undang-undang yang mengatur hal tersebut. Undang-undang no.3/2002 tentang pertahanan negara menegaskan bahwa Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan
Format kerjasama jajaran keamanan laut Keamanan laut adalah bagian dari pertahanan 5
Vol. 9, No. 9, September 2015
Optimalkah? Postur TNI Mengamankan Poros Maritim Dunia point. Dalam bahasa asing bisa diartikan sebagai hub, axis, atau sebagai fulcrum, akan diinterpretasikan dalam term yang berbedabeda oleh berbagai komunitas, baik di kalangan internasional maupun di jajaran domestik. Pernyataan PMD sudah mendunia, dan ada pemahaman diluar sana, bahwa Indonesia siap melayani kepentingan dunia (to serve global interest). Di bagian selatan dari Nusantara sudah ada reaksi yang langsung mempertanyakan kemampuan Indonesia untuk memelihara stabilitas keamanan maritim kawasan. Begitu pula dari timur laut dan barat, komunitas maritim disana mempertanyakan kemampuan Indonesia untuk melindungi asset mereka (ULCC/VLCC) yang sangat mahal, baik kapalnya maupun kargonya, selama melintas di ALKI yang dipandang sebagai dangerous water, black area, rawan rompak dan rampok laut..! Ada satu karakter yang khas melekat pada kepentingan maritim yaitu universal, dan kuatnya pemahaman mare liberum yang didengung-dengungkan oleh negara maritim besar (maritime major power). Political message yang perlu di pahami oleh Indonesia ialah keamanan maritim tidak bisa di pikul oleh satu pihak, terlebih mengamankan (sea control) kawasan yang seluas 3.544.743,9 km² (UNCLOS 1982). Perlu kerjasama maritim (maritime cooperations), kemudian kembangkan kerjasama keamanan maritim (maritime security cooperations), dan bila ‘sikon’ memungkinkan akan ditindak-lanjuti dengan kerjasama satuan keamanan maritim (maritime security forces cooperations). Ada hirarki yang berlaku, dan berproses sesuai dengan perkembangan keadaan dan kepentingan. Lihat diagram berikut ini;
negara (mohon dibaca: nasional), dan pasti berada dalam bingkai keamanan negara (mohon dibaca: nasional). Artinya—strategi keamanan laut (yang dibaca: keamanan maritim) harus berada dalam bingkai strategi keamanan nasional, yang titik beratnya adalah pertahanan nasional. Ada referensi yang mengemukakan bahwa strategy as the relationship among ends, ways, and means, menggambarkan hubungan yang jelas antar komponennya, ada kait mengait membentuk satu mosaik yang utuh. Ends pada strategi keamanan laut, pasti merujuk pada ends dari strategi pertahanan, dan pasti pula berpedoman pada strategi keamanan nasional. Begitu pula means dan ways, tidak mungkin berada di luar bingkai strategi keamanan nasional. Perlu pula memperhatikan referensi lainnya yang menegaskan bahwa war is only continuation of state policy by other means. Referensi tersebut menggariskan bahwa militer tunduk kepada keputusan politik, dan memang benar bahwa pihak militer tidak memiliki otoritas untuk membuat kebijakan dan atau membuat keputusan politik. Sejak tahun 1999 perangkat hukum di republik ini sudah menata patern yang sejalan dengan referensi tersebut, bahwa Menteri Pertahanan (sebagai pembantu Presiden RI) adalah pihak yang merumuskan kebijakan umum pertahanan negara. Lingkupnya meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian pertahanan Negara untuk ‘melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia’. Tentunya termasuk keamanan laut Nusantara yang luasnya duapertiga dari perairan ASEAN. Kembali ke pokok diskusi: Poros Maritim Dunia. Nampaknya, perlu bicara terbuka mengenai PMD itu sendiri. Masuk ord0 ‘binatang’ apakah gerangan PMD ini? Belum ada suatu batasan atau diskripsi yang jelas dan konkrit. Dalam bahasa strategi—no scoping, dan tidak jelas ends-nya dan tidak heran bila tidak ada penggarisan allocating resources. ! Setidaknya, ada dua kata yang perlu diperjelas. Pertama, pengertian maritim bagi Indonesia, oleh karena sudah pasti berbeda dengan Great Britain, Japan, dan Philippines. Perlu ada satu pengertian yang baku dan menjadi sikap nasional, yang melembaga dalam geopolitik dan doktrin nasional. Kedua, pengertian poros atau sumbu, atau vocal
Vol. 9, No. 9, September 2015
MARITIME COOPERATION MARITIME SECURITY COOPERATION MARITIME SECURITY FORCES COOPERATION
6
Optimalkah? Postur TNI Mengamankan Poros Maritim Dunia Surut kebelakang sejenak. Pada bulan Mei 2006, ASEAN telah meresmikan konvensi ASEAN Defence Ministers’ Meeting (ADMM) yang bertemu setahun sekali, dan wadah tersebut dianggap sebagai the highest defence consultative and cooperative mechanism in ASEAN. Tujuannya adalah to promote mutual trust and confidence through greater understanding of challenges as well as enhancement of transparency and openness. Cantolannya berada pada salah satu pilar dari Asean Communty yaitu Asean Politic and Security Community (APSC), sudah menggariskan road map mengenai apa sasaran dan bagaimana kerjasama di masyarakat ASEAN. Kesepakatan tersebut bertolak dari suatu pemahaman universal yang baku bahwa bahwa aktor intelektualnya menteri pertahanan, dan di Indonesia adalah MenHan yang bertanggung jawab untuk merancang kepentingan dan kebutuhan Indonesia di ranah tersebut. Titik !!! Bahwasanya ada pihak berada diluar atap KemHan yang menjalin kerjasama keamanan (maritim) dengan negara tetangga, konon terjadi bukan sekali tetapi berkali-kali, dapatlah dipandang sebagai pengingkaran terhadap kebijakan nasional dan tidak berada didalam ‘patern’ ADMM. Sepak terjang seperti itu, sudah pasti mengakibatkan terjadi beberapa hal, yaitu; (i) mengundang kebingungan di kalangan rumpun ASEAN, (ii) merugikan kepentingan nasional Indonesia (strategic loss), tetapi (iii) menguntungkan pihak-pihak luar yang menginginkan akses kedalam lingkaran decision making manajemen keamanan nasional. Kerjasama defence and security di ASEAN dalam pilar APSC, sudah bersepakat membentuk ASEAN Maritime Forum, yang kemudian pada pertemuan perdana di Surabaya (2010), membicarakan beberapa hal, yaitu; (i) menangani masalah keamanan maritim, (ii) menjajaki kerjasama operasional yang dapat dikembangkan secara konkrit dan (iii) mengidentifikasi kerjasama di masa depan. Poin kritis yang ingin dikemukakan disini ialah, membangun kerjasama keamanan laut (dibaca: maritim) berawal dari geopolitik nasional, yang mendikte kebijakan dan strategi pertahanan nasional, kemudian menentukan bentuk kerjasama internasional yang dapat dikembangkan, dan menentukan pelibatan satuan operasional yang tepat. Poin kritis ini bermaksud untuk menjelaskan bahwa tidak
lazim, tidak normal, tidak layak, apabila ada pihak diluar garis komando tersebut diatas mengambil alih kegiatan operasional yang sudah terprogram, baik dalam bingkai kepentingan nasional maupun ASEAN. Mungkin sekali ada sanggahan yang mengutip pepatah…’lain padang, lain belalangnya’, Indonesia dengan aneka ragam keunikan, tentu boleh menggunakan format lain atau pola yang khas untuk Nusantara dalam rangka pengamanan PMD. Memang boleh saja, tetapi janganlah merusak postulat-axiombasic knowledge yang sudah teruji ratusan tahun, lagi pula masyarakat di luar sana juga memiliki banyak cerdik pandai, tentunya mampu ‘membaca’ kualitas elite manajemen pertahanan nasional Indonesia yang sekarang berada diatas panggung. Penutup Memang benar jawaban terhadap pertanyaan seminar—optimalkah TNI mengamankan PMD, sudah terrumuskan yaitu tidak, atau belum optimal. Namun tulisan ini mencoba menggali lagi, tiga pendekatan yang sudah dikenal, yaitu RMA, threat manajement, dan kerjasama keamanan laut. Pendekatan RMA yang meneropong aspek doktrin dan manajemen, tentunya dapat memberikan tambahan masukan untuk memahami ‘sikon’ aktual dan mutahir mengenai kedua aspek tersebut dalam atap KemHan. Begitu pula dengan threat management juga dapat memberikan sedikit tambahan masukan, yang mungkin ada nilainya untuk menangani ancaman dengan pemahaman yang lebih proporsional. Dan yang terakhir, mengupas format kerjasama keamanan laut, juga dapat memberikan sumbangan kecil yang (menurut penulis) sering diabaikan banyak pihak. Inti dari tulisan ini dapat dituangkan dalam kalimat sederhana—“pemahaman yang kuat terhadap ketiga aspek tersebut akan memperluas, dan memperkokoh upaya mengoptimalisasi pengamanan PMD, sebaliknya memperkecil peluang untuk menggeser TNI/ TNI-AL keluar dari posisi primus inter pares, menjadi penonton yang baik dan diperbolehkan naik panggung apabila diperlukan.” (B.o8/KS/I-16)
7
Vol. 9, No. 9, September 2015
Seramnya Laut Tiongkok Selatan (LTS)
SERAMNYA LAUT TIONGKOK SELATAN (LTS) Bagian kedua dari dua tulisan Oleh : Budiman Djoko Said
US NDU (National Defense University) menawarkan suatu model kuantitatif sederhana tentang aksi, reaksi dan kategori aktor yang terlibat isu LTS, selama waktu 1995-2013. Dalam enam (6) tahun saja, pertikaian di LTS tercatat sudah ada aksi diskrit sebanyak 1200 kali, terbagi dalam sembilan (9) kategori dengan taktik masing-masing per kategori sehingga melibatkan total 39 kegiatan taktis yang berbeda1. Kategori tersebut adalah: aksi paramiliter2, militer, ekonomik, diplomatik (+ diplomasi koalisi), manajemen pertikaian, legal, informasional, dan administrasi. Setiap kategori aksi memiliki unik taktik pencapaian. Misal aksi paramiliter (bukan militer formal) dengan lima (5) taktik, pertama; penggunaan sista letal (lethal/mematikan) PM1, kedua; pergerakan menuju teritori pertikaian PM2, ketiga; pergerakan sebagai respons terhadap pergerakan rival-nya PM3, keempat; perkuatan terhadap kekuatan yang sudah hadir PM4, dan kelima; pergerakan keluar dari teritori pertikaian PM53. Aksi militer (relatif) sama dengan aksi paramiliter yang membaginya masing masing dalam lima taktik dari M1, M2,…sampai dengan M54, masing masing relatif dengan kegiatan yang sama dilakukan oleh militer maupun oleh paramiliter. Aksi ekonomik (E) merefleksikan ketrampilan aktor yang berusaha mempengaruhi rival-nya. Aksi ini bisa didistribusikan dalam
bentangan mulai dari sanksi yang keras terhadap rival E1 sampai dengan E4. Aksi berikut yakni aksi legal (L) yang terdistribusi dalam lima (5) taktik dari L1,L2,...L5 dan aksi berikut adalah aksi internasional (I) yang terbagi dalam tiga (3) taktik~I1,I2, dan terakhir adalah I3 sebagai taktik medsos internasional. Aksi administrasi (A) yang terbagi dalam tiga (3) taktik, A1, A2...dan A3 5 adalah pertanggungan jawaban yang dibebankan kepada unit militer atau paramiliter untuk melaksanakan penegakan hukum dan kedaulatan negara. Perolehan dari sumber terbuka ini bisa saja tidak riil baik frekuensi aksi maupun taktik dengan alasan rahasia. Aksi dan taktik ini sangat mungkin subyektif dan masih jauh dari “fairness” mengingat Tiongkok selalu ingin menghindari agenda multilateral dan selalu mengajak bilateral saja6 . Gambar 1 (fig #1) dibawah ini menunjukkan bahwa Tiongkok7 tidak hanya menggunakan kekuatan militer & paramiliter guna menekan rival-nya namun mengutilisasikan8 aksi ekonomi, aksi legal, aksi informasi (strategi komunikasi), aksi administrasi dan aksi diplomatik yang penuh semangat dan keras untuk mempertahankan klim teritorinya. Data yang dipetakan-pun dipercayai agak bias9. Alasannya kegiatan Tiongkok (maupun negara lain) militer maupun paramiliter tingkat kemudahan akses khususnya kategori aksi dan
1 Yung, Christopher D. & McNulty, Patrick, An Empirical Analysis of Claiment Tactics In The South China Sea, (National Defense University, INSS, Pusat Studi Tiongkok, Strategic Studies, SF (Strategic Forum) # 289, August 2015) , halaman 1. 2 Paramiliter, misalnya menggunakan kekuatan bukan militer seperti kapal nelayan untuk bertindak menghalanghalangi aksi militer/AL negara rival atau menggunakan kapal kapal Coast Guard untuk bermanuevra mengganggu kepentingan gerakan kapal AL. 3 Yung, Christopher D. & McNulty, Patrick, An Empirical Analysis of Claiment Tactics In The South China Sea, (National Defense University, INSS, Pusat Studi Tiongkok, Strategic Studies, SF (Strategic Forum) # 289, August 2015), halaman 1. 4 Ibid, 5 Ibid, halaman 2. 6 Ibid, kasus Vietnam versus Tiongkok dalam isu “oil rig standoff”, yang melibatkan belasan kapal Tiongkok dan skor tabrakan, hanya menghasilkan beberapa (sedikit) data , termasuk gerakan militer dan paramiliter Tiongkok ke ZEE Vietnam dan Vietnam dengan gagah beraninya membalas dengan mengirimkan kapal Coast Guardnya, dll. 7 Bonnie S Glaser, reporter The National Interest, This Is Why a Code of Conduct in the South China Sea Can’t Wait, ...periksa www.anationalinterest.org/blog/the-buzz/why-code-conduct-the-south-china-sea-cantwait-13552 ...... pertemuan regional di Kuala Lumpur, Agustus,2015, Tiongkok menekankan negara regional ttg niatnya untuk berdamai dan menghindari kegiatan yang mendukung instabilitas di kep Spratley. Bicara didepan
Vol. 9, No. 9, September 2015
8
Seramnya Laut Tiongkok Selatan (LTS) taktik yang tertutup (overt) hampir pasti sulit didapat. Gambaran total aksi selama periode 1995-2013 seperti dibawah ini:
Aksi legal, sangat menguntungkan aktor yang bersemangat menggunakan jasa peradilan internasional, arbitrasi internasional atau
Figure 1. Total Actions by State by Category, 1995 - 2013 625 500 375
Information Administrative Dispute Management Negotiation Coalition Diplomacy Legal Economic Paramilitary Military
250 125 0 China
Philippines
Vietnam
Malaysia
Brunei
Dalam aksi Ekonomi, Tiongkok diklasifikasikan mahir melakukan dan ditandai dengan skor yang menonjol kuat dilakukannya. Termasuk kegiatan riset bersama effektif meredam ketegangan, misal China, Philipina dan Vietnam sepakat menandatangani MOU tentang riset JMSU (Joint Marine Seismic Understanding) dalam bulan Maret 2005---riset bisa menjadi agenda bersama yang menyejukkan. Gambar berikut (fig#2), menunjukkan Tiongkok telah melakukan aksi ter-aktif dengan militer & paramiliter semenjak tahun 1995 dan 50%-nya adalah kegiatan di LCS.
Taiwan
jasa badan hukum internasional lainnya. Dari fig#1 dicermati bahwa Philipina menggunakan 21 kali aksi legal dibandingkan Tiongkok 12 kali10. Tiongkok berlaku defensif dalam kasus ini bahkan menolak ICJ, IT dalam hukum laut internasional atau badan semacam itu11. Philipina memanfaatkan bukan saja ITLOS, tetapi juga bekerjasama dengan ICJ untuk menunjuk pejabat pembela dan pakar hukum yang kompeten sebagai arbitrator internasional. Tiongkok mencoba membela posisinya sementara ini hanya melalui journal hukum internasional. Aksi diplomatik12
Figure 2. Military and Paramilitary Actions by State, 1995-2013 Paramilitary Total
Military Total
59
89
17 10
43
China
8 9 10 11 12
Philippines
9 4
4 5
5
22
Vietnam
Malaysia
Brunei
Taiwan
wartawan Menlu Tiongkok Wang Yi mengatakan telah menghentikan pengurukan pasir di sana, berarti telah menghentikan niatnya untuk membangun pulau buatan, “ Silahkan periksa “, sambungnya. Tetapi Wang Yi tidak mengungkap pembangunan kontruksi dan militerisasi di beberapa fitur daratan, seperti di Fiery Cross, dan Subi reef, konon kata Panglima Pacific AS di fitur daratan tersebut telah dibangun hanggar utk pesawat Jet taktis, serta pelabuhan dan fasilitasnya siap menerima kapal tempur laut berukuran besar. Gambaran betapa effektifnya “orchestra” strategi penangkalan yang dilakukan China dengan mengontrol kerjasama aktif seluruh instrumen kekuatan nasionalnya (PEM, DIME atau MIDLIFE-nya). Yung, Christopher D. & McNulty,Patrick, An Empirical Analysis of Claiment Tactics In The South China Sea, (National Defense University, INSS, Pusat Studi Tiongkok, Strategic Studies, SF (Strategic Forum) # 289, August 2015), halaman 3. Ibid, ICJ –international court of justice, ITLOS – International tribunal of the law of the sea. Yung, Christopher D. & McNulty, Patrick, An Empirical Analysis of Claiment Tactics In The South China Sea,
9
Vol. 9, No. 9, September 2015
Seramnya Laut Tiongkok Selatan (LTS) RAND dibawah ini dapat digunakan untuk menilai kapabilitas masing masing kekuatan militer (utamanya maritim). Sungguh menarik bagi analis pertahanan, pengajar lemdik/perguruan tinggi pertahanan Thesis atau TOR diskusi), TNI dan Angkatan, analis KemLu, pembuat kebijakan, perancang struktur kekuatan militer gabungan, bahkan elit nasional yang merasa prihatin dengan modernisasi kekuatan Tiongkok dan keseimbangan kekuatan di Asia tenggara. Model Balance Scorecard RAND. Dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dengan mengamati perbandingan relatif kapabilitas Tiongkok vs AS ini di dalam methodologi yang konsisten14 dengan menilai dalam bentangan potret empat (4) kelompok waktu yakni tahun 1996, 2003, 2010, dan 2017 (proyeksi). Melalui methodologi yang konsisten, penilaian scorecard menjamin potret kecenderungan sepanjang waktu yang diminatinya. Kedalaman solusi masalah dilihat relatif dari posisi (geographi) dan jarak--muncul dua (2) skenario sebagai basis pelibatan dua (2) kekuatan besar ini, yakni pertama, terjadinya invasi ke-Taiwan dan kedua, adalah kampanye kep.Spratly15, kemudian diproses masing-masing dalam dalam balance scorecard dan skenario ini independen satu sama lain. Oleh penciptanya16 model itu tidak dimaksudkan mengantisipasi konflik bersenjata AS dengan Tiongkok. Seperti biasanya kebanyakan model scorecard berbasis kuantitatif dan kualitatif akan melibatkan kumpulan model-model peperangan dinamik17, kecuali model lawan ruang udara dan peperangan cyber (lebih banyak menggunakan pendekatan kualitatif). Model ini tidak bisa dipisahkan dengan kesediaan data yang ada (mining data), atau keterbatasan dan kualitas
sebagai aksi berikut berperan sentra dalam hubungan pertikaian mengingat diplomatiklah penjuru yang berhadapan langsung dengan negara lain. Dalam aksi diplomatik yang terbagi tiga (3) kategori, pertama diplomasi koalisi. Kedua, perundingan yang bisa menempatkan posisi negara penuntut menjadi lebih menguntungkan dan terakhir adalah manajemen pertikaian yang melibatkan upaya untuk menenangkan ketegangan melalui CBM atau COC (code of conduct)---Tiongkok setuju dengan CBM (atau CSBM~confidence building and security measures) akan tetapi tetap tidak berkenan dengan COC. Kalau Vietnam dan Philipina berharap institusi regional ASEAN membantu penyelesaian, sebaliknya Tiongkok bersikeras dilakukan secara bilateral (posisi yang lebih menguntungkan negara yang lebih kuat). Dalam kontek ini Tiongkok13 dikabarkan melakukan upaya mempengaruhi negara ASEAN lainnya (seperti Camboja) dengan insentif ekonomik. Philipina dan Vietnam nampak lebih aktif dibandingkan penuntut lainnya, meskipun memiliki kekuatan AL yang kecil. Model NDU sungguh menarik untuk dijadikan pelajaran para analis militer dengan riset yang bisa dikembangkan sebagai berikut; perolehan data aksi yang tertutup (covert), atau relasi antara aksi paramiliter dengan paramiliter aktor penuntut lainnya. Atau kesamaan sikap kapal ikan, pengawal pantai (coast guard) dan paramiliter penegak kedaulatan lainnya per masing masing aktor. Atau adakah reaksi China berubah (misalnya) setelah ada aksi bersama aktor lainnya diluar Vietnam dan Philipina sebagai penegak hukum di SGTP? Dibarengi dengan demonstrasi “score card” model
13 14 15 16
17
18
(National Defense University, INSS, Pusat Studi Tiongkok, Strategic Studies, SF (Strategic Forum) # 289, August 2015), halaman 4. Ibid, halaman 5. Eric Heginbotham, et-all, (and 13 other peoples), The U.S.-China Military Scorecard : Forces, Geography, and the Evolving Balance of Power 1996-2017, (RAND,2015) , ... antisipasi (dan memprediksi) pelibatan melalui riset RAND Corp yang akan datang dengan model balance score cards-nya, halaman xxii. Ibid, Summary, halaman xix. Ibid, halaman xix-xx , ...The authors do not hope for or anticipate armed conflict with China. The scenarios and the operational activities depicted in them are not meant to signify anything about either the likelihood of a future conflict or the course of events should one occur. Nor do they represent U.S. national or military policy about whether or how such a war would be fought. The scenarios are, rather, a means to evaluate relative capabilities, providing notional distances, geography, and other situation-specific factors necessary to make such an assessment. Model peperangan dinamik lebih secara teknis menggunakan pendekatan operasi riset militer (MOR), misal simulasi, atau konsep Bayesian statistic. Apapun juga model yang digunakan membutuhkan data intelijen yang dijadikan input seperti ukuran efektifitas lawan, bukan ukuran desain pabrik (yang ini sangat mudah didapat, dan tidak terlalu membantu solusi pemodelan). Eric Heginbotham, et-all, (plus 13 other peoples), The U.S.-China Military Scorecard : Forces, Geography, and
Vol. 9, No. 9, September 2015
10
Seramnya Laut Tiongkok Selatan (LTS) Sungguh berbeda dengan media yang begitu mudahnya mengatakan seolah-olah rudal anti kapal permukaan sama dengan filosofi penembak jitu pasukan darat...one shoot – one kill21. Modernisasi kekuatan udara dan khususnya kapal selam Tiongkok telah menjadi ancaman potensial dan nyata bagi Gugus tugas tempur kapal induk AS dengan eskortanya. Dinamika22 tahun 1996-2017 telah terjadi peningkatan inventori kapal selam diesel elektrik Tiongkok menjadi 37 dan sekurang kurangnya empat (4) kapal selam dipersenjatai dengan rudal jelajah (juga torpedonya). Informasi ini merupakan ancaman kredibel dan serius bagi setiap kapal permukaan bila muncul konflik yang terjadi di LTS umumnya, atau perairan Taiwan dan sekitar Spratly. Scorecard-6, penilaian kapabilitas peperangan anti kapal permukaan AS menghadapi Armada permukaan Tiongkok23. Kapabilitas platform Armada tempur AS untuk menghancurkan kapal Amphibi Tiongkok cenderung menurun semenjak tahun 1996, namun tetap dikualifikasikan menakutkan. Total jumlah kapal amphibi Tiongkok telah meningkat jumlahnya dua kali lipat dalam tahun 1996-201724. Dilaporkan25 bahwa Tiongkok telah mendeploikan sejumlah besar heli dan kapal AKS yang canggih. Jumlah besar tersebut adalah fungsi sejumlah besar kapal yang disasarkan, yakni kapal selam AS26. Meski ada gejala menurunnya kapabilitas AS tentang peperangan anti kapal permukaan (dhi versus kapal-kapal amphibi), namun hasil scorecard tetap menunjukkan kapal selam AS menjelang tahun 2017-pun tetap memiliki ekspektasi merusakkan (expected damage)27
data sehingga kurang dipercayai sebagai output atau outcome yang andal (reliable), bahkan sebagai hipotetik peperangan sekalipun18. Tulisan ini hanya merujuk bahasan dua (2) model scorecard khusus pelibatan maritim (dari 10 sub model yang diamati khusus hanya ada dua (2) sub model pelibatan maritim), yakni scorecard-5 dan scorecard-6, dengan penjelasan sebagai berikut: Scorecard-5; kapabilitas peperangan anti permukaan Tiongkok. Tiongkok lebih menekankan kapal induk AS sebagai sasaran utama. Tiongkok yakin dengan kapabilitas dan kokohnya system intelijen, pengintaian dan recon (ISR) jauh dibalik cakrawala (OTH), dukungan satelit penginderaan yang ditempatkan ditahun 2000 dan tipikal radar skywave di tahun 2007. Tipikal skywave ini kapabel mendeteksi19 sasaran dan menjamin secara umum, meskipun dikabarkan tidak persis berlokasi jauh diluar garis pantai Tiongkok sejauh 2000 km. Kemajuan signifikan sektor industri elektronik Tiongkok begitu effektifnya ditandai dengan percepatan meluncurkan satelit pengangkutnya dan kapabilitasnya mendeploikan satelit canggih ISR. Kemajuan teknologi rudal anti kapal permukaan---pertama kalinya terjadi, sungguh merupakan dimensi ancaman baru bagi Komandan tempur AS dilapangan. Proses bekerjanya rudal balistik anti kapal tersebut sampai menghancurkan sasaran memiliki skema yang disebut rantai penghancuran (kill chain20 process) dan teknologi proses ini diperkirakan menjadi problema serius bagi Tiongkok. Bagi AS situasi ini sudah menjadi fokus pengembangan teknologi untuk menangkal anti rudal tersebut.
19 20
21 22 23 24 25 26 27
the Evolving Balance of Power 1996-2017, (RAND,2015) , halaman xii... the dynamics interactions between these factors ---is intended to capture the general magnitude of the challenge facing US Commanders in each area...dst. Ibid, halaman xxv. Kill chain ; dapat dicontohkan sama dengan proses bekerjanya serangan cyber, saat mulai masuk (instrusi) sampai dengan melumatkan data atau merusak sub system didalamnya dan menghancurkan total system yang bekerja dalam suatu sasaran serangan siber ada proses panjang untuk menghancurkan sasaran secara mutlak, dan tiap tahap bisa saja memiliki peluang untuk gagal (probability’s failure), atau ada proses perhitungan Bayesian. Eric Heginbotham,et-all, (and 13 other peoples), The U.S.-China Military Scorecard : Forces, Geography, and the Evolving Balance of Power 1996-2017, (RAND, 2015), halaman xx... Anti - ship ballistic missiles therefore may not pose the kind of one-shot, one-kill threat sometimes supposed in the popular media. Ibid, hal xxv Ibid, hal xxvi. Mungkin pertanyaan yang timbul sehubungan dengan begitu besarnya kapal angkut personil dan tank sampai dua kali lipat yang diproduksi ... mau diproyeksikan kemana? AKS atau anti kapal selam. Fungsi atau difungsikan atinya Helli dan pesawat sebagai variable yang akan menunjang output atau keluaran yakni tenggelamnya kapal selam AS, dan kalau variable Helli dan Pesawat jumlah besar, bisa ditebak bahwa sasaran (variable tidak bebas) yang akan dicapai berjumlah banyak. Expected damage (konsep prbabilistik) adalah ukuran effektifitas (angka harapan atau outcome per setiap kali
11
Vol. 9, No. 9, September 2015
Seramnya Laut Tiongkok Selatan (LTS) parameter yang akan diukur melalui balancescorecard seperti kapabilitas tempur PLAN dan industri pertahananan (dengan sub-subnya seperti peningkatan kapabilitas industri, kelemahan industri dan dampak potensial kelemahan). PLAN sukses34 mendeploikan dan memodernisasi armada laut selama dekade terakhir ini, bahkan mendemonstrasikan kapabilitasnya kedunia luar sebagai Armada laut biru dan sanggup melakukan misi yang jauh dari daratan Tiongkok. Sementara itu kekuatan kapal tempur permukaan dan kapal selam Tiongkok telah mendemonstrasikan secara impresif kapabilitas kekuatan laut berkualitas dunia dengan penugasan yang bisa dibilang sukses. Puncak dari tantangan teknologi adalah integrasi peningkatan modernisasi sista dan peralatannya. Tantangan lain adalah kualitas personil PLAN yang tidak disiapkan serius untuk beroperasi atau memelihara, faktor-faktor yang sering dikeluhkan dalam literatur terbitan Tiongkok35. Berikutnya adalah tantangan (kelemahan) lain berupa peperangan anti udara dan peperangan AKS, seperti dibawah ini.
sebesar 40% bagi kapal Tiongkok yang menuju daerah sasaran dengan tetapan waktu 7 hari kampanye. Angka sebesar 40% adalah besaran kerusakan atau kehilangan yang kritikal atau menakutkan (wreck havoc) dalam suatu pelibatan peperangan amphibi gabungan. Pesawat terbang dan kapal permukaan yang dilengkapi rudal permukaan ke-permukaan (ASCM) 28 ikut berpartisipasi dalam kampanye anti permukaan29. Perkembangan dan deploi kapal pembawa Rudal jelajah anti kapal permukaan AS berjalan lamban dan berprioritas rendah era paska perang dingin. Dari sisi teknologi AS tetap unggul dan maju dalam bidang ini dibandingkan yang lain. Setelah beberapa tahun, AS mengfokuskan ulang dalam pengembangan rudal yang sesuai dengan perkembangan lingkungan dan ancaman prioritas30. Apapun kondisinya, diyakini kekuatan gabungan dan kombinasi manuevra kapal permukaan, kapal selam dan serangan udara AS merupakan ancaman sangat serius bagi invasi amphibi Tiongkok. Kelemahan kelemahan didalam PLA
Kelemahan peperangan anti udara36 Bahasan singkat berikut ini merupakan kajian singkat RAND tentang transformasi PLA. Secara umum PLA berhasil memodernisasi agar sanggup melakukan misi apapun yang dibebankan kepadanya31, termasuk kapabilitas untuk menahan dan melawan invasi kekuatan AS saat krisis atau konflik regional. Meskipun begitu tetap saja mereka menghadapi hambatan dan kelemahan kelemahan yang cukup serius32. Tiga (3) kelemahan di domain maritim menurut RAND yang pantas dibahas singkat disini33 adalah kelemahan potensial, kelemahan peperangan anti udara, dan kelemahan peperangan anti kapal selam serta kelemahan industri pertahanan Tiongkok .
PLAN paham benar bahwa pertahanan anti udara menjadi begitu essensi guna melindungan armada birunya dan perbaikan operasi kapal induk dan modernisasi beberapa perusak dan frigat dengan kapabilitas Aegis sistem. Kebanyakan kapal permukaan utamanya (kapital) adalah perusak kelas Luyang-II (perusak rudal jelajah) berbasis platform “siluman”(stealthy) tipe 052 B dan fitur-fitur radar yang didesain telah menunjukkan ada kaitannya dengan rudal anti udara (SAM) dengan sistem peluncuran vertikal. Perhatikan dalam gambar bawah salah satu contoh HQ-9 (berjarak sd 150 km) dikembangkan serius menjadi lebih kapabel dengan jarak lebih jauh dibandingkan sista anti udara sebelumnya dan merepresentasikan lompatan teknologi PLAN.
Kelemahan potensial Makalah
28 29 30 31
32
ini
hanya
mengambil
beberapa
penembakan). Angka ini didapat dengan formula matematika dan diujikan melalui simulasi stokastik yang berkali kali (bahkan ribuan atau jutaan) dengan program computer berkecepatan tinggi. Model balance-scorecard ini dibuat dengan waktu kampanye akan berakhir dalam tujuh (7) hari (asumsi). ASCM atau anti ship cruise missile. Ibid, halaman xxvi. Ibid, halaman xxvi. Chase, Michael.S, et-all (plus six other peoples), China’s Incomplete Military Transformation: Assesing the Weakness of the People’s Liberation Army (PLA), (RAND,2015), halaman 135. Sekali lagi mengingatkan bahasannya adalah transformasi yang berbeda jauh artinya dengan reformasi, dan lebih visioner serta lebih memiliki obyektif yang jelas dan terencana. Ibid, halaman 135.
Vol. 9, No. 9, September 2015
12
Seramnya Laut Tiongkok Selatan (LTS) 30
10 - 13 Km (HQ-61, HQ-7) 30 - 35 Km (HQ-16, SA-N-7) 100 - 150 Km (HQ-9, SA-N-20)
25 20 15 10 5 0
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010
2012
2014
Year Referensi: Ibid, halaman 89. Perhatikan grs tegak sebelah kiri adalah kapal tempur permukaan.HQ-9 adalah tipikal SAM terbaru.
Tipikal berikut37 adalah perusak tipe 052C kelanjutan dari Luyang-II tipe 052B dengan perbaikan radar dan sistem peluncuran vertikal sebagai rumah baru rudal anti udara, anti kapal permukaan dan AKS. Berikutnya; frigat kelas Jiangkai-II, tipe 054FFG (frigat peluru kendali) dengan fitur laiknya “mini Aegis” telah didesain guna lebih menutup kapabilitas sistem pertahanan udara PLAN. Bagaimana rasio jumlah kapal tempur “utama” (capital ships) ini38 dibanding AL beberapa negara besar tetangga Tiongkok ? Gambar dibawah menunjukkan Tiongkok tetap mempertahankan sejumlah besar kapal “utamanya” semenjak tahun 2000. Meskipun kapal permukaan tipe 052C & D serta tipe 054A telah merepresentasikan improvisasi pertumbuhan eksponential39 dalam kualitas dan kapabilitas satuan PLAN, tetap saja ada keterbatasan dengan pertahanan anti udara40. Misalnya, tipe 054A sebagai tipe “mini Aegis”, dan hampir pasti Tiongkok paham betul tentang keterbatasan konsep ini. Kapal yang lebih kecil dalam keluarga “kapal permukaan utama” ini tidak
akan sanggup membawa cukup banyak rudal jarak jauh untuk membantu menambah performa aktual area pertahanan anti udara atau bahkan bisa saja frustasi berhadapan dengan rudal anti permukaan musuh41. Ukuran seperti ini setidak-tidaknya dipaksakan bisa membawa 100 atau lebih rudal anti udara jarak jauh. Padahal kebanyakan “mini Aegis” Tiongkok hanya sanggup membawa 30-50 rudal bahkan lebih sedikit. Sebagai tambahan bagi kapal kecil ber-Aegis sistem membutuhkan sumber daya (power,pen) besar untuk mempertahankan dan memelihara keandalan sistem Radar yang ada--mengurangi kapabilitas sistem Aegis. Kapal kecil dan berukuran sumber daya rendah harus menempatkan sistem antenna setinggi mungkin diatas garis air yang akan mempengaruhi stabilitas dan daya tegak kapal. Effektifitas sistem Aegis tersebut secara substansial semakin nampak apabila dibebani dengan sistem terintegrasi ISR. Gambar dibawah adalah rasio kapal permukaan tempur utama Tiongkok dibandingkan dengan tetangganya, antara 1990-2014 (AS, Russia, India, Vietnam, Jepang,Taiwan).
250 USA China Russia India
200
Taiwan Japan Vietnam
150
100 50
0 1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010
2012
2014
Year Referensi:Ibid, halaman 90. Perhatikan garis merah (Tiongkok ~ exponential “growth”) , hitam terputus putus adalah AS dan biru adalah Russia yang turun sebaliknya (atau ~ exponential “decay”).
13
Vol. 9, No. 9, September 2015
Seramnya Laut Tiongkok Selatan (LTS) Kapal berukuran kecil dan tidak terbantukan dengan pesawat yang dilengkapi dengan sistem ISR akan mengurangi kapabilitas anti udara bagi gugus tugas kapal-kapal yang berada jauh dari daratan Tiongkok42. Perlu diketahui bahwa deteksi penuh sistem Aegis lawan rudal anti kapal yang terbang rendah diatas muka laut (sea skimming) terbatas dalam jarak belasan mil saja (kl 25 km). Akhirnya tata letak banyak sistem radar, antena dan sistem komputer dalam ruang yang relatif sempit sangat menyulitkan upaya modernisasi bahkan upgrade yang akan datang--suatu problematik yang cukup serius bagi PLAN, utamanya perusak tipe 052-C43.
memproduksi besar-besaran frigat baru tipe 056 Korvet (korvet = frigat ringan) yang dilengkapi dengan tiga (3) menara peluncur torpedo AKS yang tentunya lebih akurat dan lebih jauh jaraknya46. Meskipun sudah demikian usahanya, OSD tetap melaporkan di-tahun 2014, bahwa PLAN masih tetap menghadapi kesulitan tentang AKS, yakni peperangan AKS 47khusus di perairan dalam dan dibandingkan dengan saudaranya dalam peperangan anti udara dan anti permukaan, AKS agak ketinggalan. Kelemahan berikut yakni tentang kelemahan industri pertahanan Tiongkok akan dibahas seperlunya. Kelemahan industri pertahanan Tiongkok
Kelemahan peperangan anti kapal selam Beberapa hal mendasar yang perlu diperhatikan sebagai halangan terhadap ambisi Tiongkok untuk menjadikan industrinya berkelas dunia. Sejarah panjang industri pertahanan Tiongkok telah sarat dengan hal-hal yang korosif dan sulit untuk dibersihkan48. Fondasi kelembagaan dan normatif serta bekerjanya industri pertahanan Tiongkok merupakan “kopi” konsep komando pertahanan dan ekonomi Uni Soviet (Russia lama) dan tetap diteruskan bahkan sampai sekarang. PLA dan otoritas industri pertahanan sedang mencari pengganti manajemen atas-bawah yang sudah usang dengan model yang lebih modern, lebih kompetitif dengan rejim yang langsung mengaturnya, tetapi masih memiliki kepentingan pribadi terhadap kemajuan industri ini49. Pimpinan militer senior Tiongkok telah mengidentifikasi pengantian manajemen yang
Keterbatasan armada biru China, khususnya deploinya diperairan jauh dari perairan pantai44 (sama halnya dengan isu logistik bagi PLAN) yakni kapabilitas peperangan AKS. Beberapa artikel dalam publikasi PLAN mendesak dan menyarankan beberapa hal, misal: pelatihan personilnya, profesi operasi AKS, koordinasi sista modern AKS, dan pengalaman operasional AKS. Sampai sekarangpun PLAN belum serius menekankan dirinya pada kapabilitas peperangan AKS. Bisa jadi, pertama masih mengfokuskan dirinya kepada pelaksanaan sista anti akses dibandingkan operasi atau pengembangan peperangan ekspeditionari dan kedua, bisa jadi belum matangnya konsep mengenai peperangan AKS45. Namun ditahun 2012 ini, nampaknya PLAN mulai serius menatap isu AKS ini dengan
33 Tentang organisasi PLA dan sumber daya manusianya, kapabilitas tempur PLA, dan industri pertahanannya. Lebih lengkapnya periksa Chase, Michael.S, et-all (plus six other peoples), China’s Incomplete Military Transformation: Assesing the Weakness of the People’s Liberation Army (PLA), (RAND, 2015), 34 Chase, Michael S., et-all (plus six other peoples), China’s Incomplete Military Transformation: Assesing the Weakness of the People’s Liberation Army (PLA), (RAND,2015), halaman 88. 35 Ibid, halaman 88. 36 Peperangan anti udara bukan saja melawan pesawat terbang yang adatng menyerang, namun jauh lebih rumit dan sulit serta berbahaya adalah melawan rudal anti permukaan. 37 Chase,Michael.S,et-all(plus six other peoples), China’s Incomplete Military Transformation: Assesing the Weakness of the People’s Liberation Army (PLA), (RAND,2015), halaman 89. 38 Ibid, halaman 90,...Definisi kapal tempur “capital” adalah kapal induk, penjelajah, perusak,dan frigat, tidak termasuk kapal amphibi, kapal patrol, kapal selam, kapal logistic dan kapal bantu. 39 Eksponensial “growth” artinya (sederhana) terjadi lonjakan drastik suatu pertumbuhan dari kurva linear mendadak menadi kurva melonjak tajam (naik), kebalikannya dengan kasus exponensial “decay”, turun pelan (linear turun) dan tiba tiba melonjak jatuh kebawah sesuai berjalannya waktu. 40 Chase, Michael.S, et-all (plus six other peoples), China’s Incomplete Military Transformation: Assesing the Weakness of the People’s Liberation Army (PLA), (RAND,2015), halaman 90. 41 Ibid, halaman 90. 42 Ibid, halaman 91. 43 Ibid, halaman 91. Merujuk tulisan Xiao Feizhu, Improving the Type 054-A from the Viewpoint of Mini Aegis, (Journal Shipborne Weapons, no.10, October 2011, hal 27-35). 44 Perairan pantai, tentu saja akan menimbulkan problem bagi kapal selam sendiri, a.l sulit bermanuevra, dll.
Vol. 9, No. 9, September 2015
14
Seramnya Laut Tiongkok Selatan (LTS) ada, utamanya dibagian riset sista, pengembangan dan sistem akuisisi adalah bagian terpenting yang harus dilakukan sebelum mengatasi rintangan modernisasi industri pertahanan. Jendral Zhang, Direktur GAD (general armamanet department) mengingatkan ditahun 2014, bahwa dana, teknologi bukan lagi menjadi penyumbat, namun sistem kelembagaan & mekanisme yang menjadi rintangan. Oleh karena itu halangan tersebut harus segera dibuang, kalau tidak pengembangan sista hanya merupakan “pepesan kosong” saja50. Menurut pengamat sistem akuisisi pertahanan, dalam tubuh indsutri pertahanan Tiongkok hadir struktur monopoli. Akibatnya kompetisi yang lebih sehat dalam pemilihan sista dan peralatan pertahanan oleh enam (6) sektor industri Tiongkok nampaknya tertutup bagi kompetisi dari luar karena didominasi oleh beberapa orang penentu dalam korporasi itu51. Sistem kontrak hanya dilakukan oleh kontraktor tertentu saja. Tender dan tawaran yang lebih terbuka hanya diperbolehkan bagi peralatan non tempur saja. Sepertinya upaya-upaya yang dilakukan tidak berhasil menumbuhkan rasa persaingan yang sehat demi terciptanya kualitas yang lebih baik. Berikutnya nampak adanya kesulitan pengambilan keputusan versus kapabilitas dan inovatif sista yang lebih maju. Dari sisi manajemen sepertinya membutuhkan keputusan berbasis konsensus yang memerlukan negosiasi yang interaktif, tawar menawar dan pertukaran. Kesadaran ini menciptakan terbentuknya CSC ( Central Special Committee) yang menjamin lebih baiknya kepemimpinan yang lebih fokus memutuskan untuk mendukung proyek proyek yang strategik dan berprioritas tinggi52. Empat (3)
hal53 telah dibahas dalam sesi ini yakni kelemahan potensial, kelemahan peperangan anti udara dan kelemahan peperangan anti kapal selam dan industri pertahanan-nya mewakili beberapa kelemahan dalam peperangan dilaut. Sedangkan Logistik, Pelatihan, Nuklir, dan lain-lainnya masih banyak lagi, tidak dibahas dalam makalah ini54. Apapun juga modernisasi dan kapabilitas yang dibangun, ada indikator kuat bahwa Tiongkok akan melangkah jauh mendemonstrasikan kekuatannya sampai ke timur jauh55, keluar dari kandang FCI (first chain islands) menuju SCI (second chain islands). Kesimpulan Kata Jefferey Bader56....apa yang terjadi sebenarnya di LTS? Sementara projek reklamasi & fitur daratan membuat ambigu tentang klim hak berdaulat diatas area kl 1.5 juta mil persegi area SGTP, inkonsisten dengan UNCLOS, manuevra kapal nelayan Tiongkok yang membahayakan keselamatan kapal di LTS, mengusir nelayan Philipina dari wilayah penangkapan ikan tradisional, menolak juridiksi dan peradilan yang mencari solusi berbasis keadilan hukum internasional, mengeksplor minyak dengan lindungan PLA dan Coast Guard diperairan klim Vietnam57. Bagaimana bisa bicara bahwa fitur daratan di LTS sudah bukan pertikaian lagi58. ASEAN sekedar (hanya) dijadikan “mitra” dagang Tiongkok saja, bukan mitra solusi politik? Seberapa jauhkah keseriusan pemerintah RI membawa isu SGTP ke arbitrasi internasional, menyimak59 katakata Menlu RI dan Menko Polhukam? Sementara
45 Chase, Michael.S, et-all (plus six other peoples), China’s Incomplete Military Transformation: Assesing the Weakness of the People’s Liberation Army (PLA), (RAND,2015), halaman 93, merujuk tulisan You Min ; How China Can Guard Against US Nuclear Submarine, (Journal Naval & Merchant Ships ,July 2013), halaman 32-37. 46 Ibid, halaman 98-99. Dilaporkan oleh Wang Jin dalam Journal Shipborne Weapons, agustus 1, 2012, A New Era, a New Mission : China’s Type 056 Light Frigate , ..... 47 Ibid, halaman 100,...dilaporkan Ronald O’Rourke, PLAN Force Structure:Submarine , Ships, and Aircraft, dalam judul besar The Chinese Navy: Expanding Capabilities, Evolving Roles?, NDU,2012,hal 141-174) dan laporan OSD (office of the Sec of the Defense,June 2014, halaman 32), dgn judul Military and Security Developments Involving the PRC. 48 Chase, Michael.S, et-all (plus six other peoples), China’s Incomplete Military Transformation: Assesing the Weakness of the People’s Liberation Army (PLA), (RAND,2015), halaman 93, merujuk tulisan You Min; How China Can Guard Against US Nuclear Submarine, (Journal Naval & Merchant Ships, July 2013), hal 126. 49 Ibid, halaman 127. 50 Ibid, halaman 127. 51 Ibid, halaman 128. 52 Ibid, halaman128, yang merujuk tulisannya Cheung , Tai Ming, Fortifying China : The Struggle to Build a Modern Defense Economy, (Cornell University Press, Ithaca, NY,2009). 53 Ibid, halaman 93. Merujuk tulisan You Min, How China Can Guard Against US Nuclear Submarine, (Journal Naval & Merchant Ships ,July 2013, halaman 32-37) 54 Ibid, halaman 95-97, isu pelatihan dan logistik dimasukkan dalam tipe - 3 Kelemahan ... The identified weaknesses
15
Vol. 9, No. 9, September 2015
Seramnya Laut Tiongkok Selatan (LTS) melakukan pendekatan yang jauh lebih effektif dan mengurangi frustasi diantara mereka sendiri. Bila terjadi suatu krisis atau konflik bahkan yang lebih mengerikan lagi, maka fondasi perdagangan dan kesejahteraan bagi masing masing negara pantai di LTS (utamanya) akan porak poranda sebagai dampaknya. Tidak ada jalan lain kecuali semua negara pantai, AS, Tiongkok utamanya menahan diri dan mencoba memberanikan diri masuk area perundingan multilateral dan internasional dibawah bendera GO dan atau NGO (track -1 dan atau track -2) dengan pendekatan yang lebih elegan dan terhormat. Apapun juga cerita diatas bisa dijadikan pelajaran menarik bagi komuniti Intelijen untuk mencoba mencari tahu bukan saja sekedar jumlah, jenis atau sista yang ada, namun jauh lebih penting lagi adalah kapabilitas, effektifitas, dan keandalan sista senjata (andal=probabilita untuk tidak rusak) dan derajad kesiagaan asset tempur yang dimiliki siapapun juga melalui dan menekuni semua sumber-sumber terbuka (dan tertutup tentunya) yang lebih lengkap (analisis sistematika sebaiknya dilakukan melalui jurnal, buku, teks, bahan kuliah,dll, bukan melalui berita sesaat/instan dari TV, harian, majalah, blog-blog, atau situssitus pendek internet, dll). Sekian.
dua (2) kekuatan maritim besar dan modern serta lethal (mematikan) berada di dalam area panas di LTS dan barangkali siap melibatkan diri (meningkatnya eskalasi) apabila solusi melalui perundingan bilateral, multilateral serta internasional tidak kunjung menghasilkan kemajuan signifikan. Bahasan sebagian kecil kapabilitas dan kelemahan kekuatan maritim AS dan Tiongkok sebenarnya merujuk sumber terbuka dari journal Tiongkok sendiri. Entahlah kita tidak tahu, apakah kapabilitas dan kelemahan (sebaliknya kelebihan-kelebihan) terukur benar meskipun berasumsi bahwa sumbernya dapat dipercaya. Apakah dua negara maritim besar tersebut akan bisa meredam kecemasan setidaktidaknya negara-negara pantai sepanjang LTS atau sebaliknya? Dilematis kecemasan negara pantai sekitar LTS dapat diredam apabila dua negara besar tersebut mengurangi tensi dan ikut aktif meredam ketegangan---sepertinya banyak lemma yang hadir dalam isu LTS. Menarik saran yang diajukan Ltk Laut Askari dalam thesisnya---agar dilakukan interaksi antara ajensi sipil maritim dan militer dalam suatu forum multilateral60. Mungkin Askari berharap koalisi sipil maritim dan militer negara pantai sekaligus penuntut klim ZEE pada gilirannya bisa mempengaruhi pemerintah masing-masing untuk
of training and logistics may constitute a Type – 3 weakness, .... 55 Sharman, Christopher H,China moves out : Stepping Stones Toward a New Maritime Strategy,(NDU,INSS, CSCMA, Perspective no.9, 2015), Halaman 30….…during this 2 year period was its Mobility -5 Exercise in October 2013…. conducted coordinated combat drills in the Western Pacific involving ships from all three fleets and PLAN fixed wing aircraft. Kata Komandan Armada China Selatan :”…building the capability of distant – sea combat system under conditions of informatizations. In this exercise , importance was attached to exploring major and challenging problems related to the building of distant sea combat system , recon and early warning , target identification and guidance, long distance defense penetration conducted bu aviation forces, and vessel aircraft coordination in carying out ocean based ASW operations….… a focus of the exercise was “back-to-back” drills in which opposing forces did not know the plans or intentions of the opposing force. PLAN officials state the want to use back-to-back training in exercises because “troops should be trained according to how wars are fought”. 56 Bader, Jeffery, Changing China Policy : Are We in Search of Enemies ?, (China Center at Brookings, Strategic Paper, June 2015), halaman 2. 57 Peran ganda Coast Guard juga selaku kekuatan cadangan AL, dimanfaatkan benar-benar oleh Tiongkok yang mengoperasikan gabungan Coast Guard dengan PLAN. 58 Ibid, halaman 2. 59 Jumat, 13 Nov 2015, jam 21.30, | Adib Muttaqin Asfar/Newswire/JIBI |, Solopos.com, Jakarta. …. “Posisi Indonesia jelas dalam hal ini, kami tidak mengakui sembilan garis tersebut karena tidak sejalan dengan hukum internasional,” kata Juru Bicara Menteri Luar Negeri RI Armanatha Nasir seperti dikutip Reuters, Kamis. “Kami meminta klarifikasi apa maksud garis itu. Semua itu belum diklarifikasi.” Dan Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan mengatakan Indonesia bisa membawa Tiongkok ke pengadilan internasional jika dialog kedua negara gagal. 60 Askari, LtKol Laut, TNI-AL, Preventing Escalation in the SCS Disputed Waters: A Comparative Study of Republic of Philippines and Socialist Republic of Vietnam, (Thesis US NPS, Master of Arts in Security Studies/CivilMilitary Relations, March 2015), hal 78.
Vol. 9, No. 9, September 2015
16