Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 2, Juli 2010
Optimalisasi Metode Pendiskripsian Batugamping untuk Karakterisasi Reservoar Hidrokarbon dalam Pemodelan Geologi Premonowati Jurusan Teknik Geologi FTM UPN “Veteran” Yogyakarta
Abstract Core/SWC and cuttings data from carbonate reservoir have to optimalized in their descriptions, actually for understanding their carbonate characterization. The characterization is includes lithofacies and visible porosity. The method are consists of core recovery, texture, organism abundance, specific features, type and porosity percentage that have resulted a visible porosity. The precise calculation of visible porosity and factors of pore forming are best way to get a cementation factor which easily changes both vertical and horizontally. The carbonate depositional facies and diagenetic process are useful to get a diagenetic unit that confirmed by cementation process.
Intisari Data core/SWC dan cuttings pada reservoar batugamping perlu dioptimalkan dalam pendiskripsiannya, khususnya untuk memahami karakteristik reservoir yang meliputi litofacies dan visible porosity. Metode pendeterminasiannya meliputi core recovery, tekstur, organism abundance, specific features, tipe, dan persentase porositas yang menghasilkan visible porosity. Perhitungan visible porosity yang presisi dan pemahaman faktor-faktor penyebab utama pembentukan porinya, termasuk sedimentasi digunakan untuk menentukan nilai indeks sedimentasi yang bisa berubah secara cepat, baik penyebaran secara vertikal maupun horizontal. Facies pengendapan karbonat dan proses diagenesa sangat membantu untuk menentukan satuan diagenesa yang dikonfirmasi dengan proses sedimentasi. Pendahuluan Kompleksitas dan heterogenitas reservoar batugamping sering kali menjadi alasan tidak terduga dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi hidrokarbon pada banyak blok/field produktif di Indonesia. Alasan tersebut misalnya berupa penyebaran facies dan diagenetic unit yang tidak selalu sama. Pada saat tested dengan produksi berbeda jauh, terjadi prediksi keliru antara saat sedimentasi dengan gas/oil charging, waktu penutupan rongga pori dengan sedimentasi, atau membesarnya pori dengan pembentukan dolomit (sedimen) atau dedolimitisasi, dan porositas pada batuan karbonat yang tidak merata (uniform). Semen karbonat menjadi salah satu faktor yang cukup dominan dalam
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 2, Juli 2010
perusakan reservoir quality selain kompaksi. Selain itu, indikasi pengaruh struktur selama migrasi hidrokarbon di dalam batugamping juga perlu dikenali. Peran sistem fracture juga menjadi sangat penting guna mencegah terjadinya kekeliruan dalam menentukan diagenetic unit. Disamping itu, geometri dari tumbuhan, terutama pada algae melembar dan koral pipih, yang menyerupai tumpukan daun teratai yang disusun rapi dapat memperkecil kemungkinan berkembangnya porositas primer, serta banyak kasus lain. Banyak blok dan field reservoar produktif dan hasilnya (formasi reservoar, tes dan produksi) yang terdapat di Indonesia, misalnya di North Sumatra Basin yakni East Natuna (Tertiary Terumbu Reservoir) dan Blok Aceh antara lain Tampur, Peutu Limestone, Meureudo Group, Sembuang Limestone, Kaloi Limestone dalam Peusangan Group, dan formasi Baong. Produksi gas sejak tahun 1971 mencapai lebih dari 40.000 MMBOE. Di South Sumatra Basin kita mengenal formasi Baturaja sebagai reservoar batugamping yang produktif. Produksinya dengan menggunakan formasi Talang Akar mencapai 3.5 BBOE. Di Northwest Java Basin kita mengenal formasi Parigi. Di Northeast Java Basin dikenal formasi Kujung, formasi Prupuh, formasi Tuban, formasi Bulu dan formasi Paciran yang dicirikan oleh litologi yang bersifat gampingan dan hadir sebagai reservoir yang baik selain formasi Ngrayong yang bersifat silisiklastik. Sering kali keduanya hadir bersama sebagai sedimen karbonat-silisiklastik. Produksinya mencapai 1.3 BBOE dari 60 lapangan lebih. Di Kalimantan dikenal Kerendan Limestone yang terletak di Barito Utara, Blok Bangkanai (Sebelumnya Teweh Block) yang di sana telah diproduksi sekitar 20 MMSCFD (Dwi Cahyo, et al: 2007). Di Tarakan Basin terdapat formasi Berai dan formasi Sellor. Di Sulawesi terdapat formasi Tonasa dan formasi Tacipi. Di pulau Buton dijumpai Formasi Tondo yang terdapat di Pulau Seram, Banggai. Di Tomori/Banggai/Sula terdapat Formasi Pancoran atau Salodik. Sedangkan di Salawati Basin sampai Papua dijumpai reservoir batugamping dari formasi Waripi, Faumai Lst, Kais, dan Bintuni yang berproduksi hingga 0.5 BBOE. Banyu urip-1 (Exxon Mobil Cepu) tested 3985 BOPD. Sukowati-1 (JOB Pertamina-Petrochina Tuban, tested 7697 BOPD. Bukit Tua-1 (Conoco Phillips Ketapang, tested 7361 BOPD). Jenggolo-1 (Gulf), tested 3602 BOPD (Dari berbagai sumber: 2009). Tujuan penulisan ini adalah untuk memahami perubahan facies dan diagenesa yang cepat (bisa sangat cepat) pada penyebaran secara lateral dan vertikal yang merupakan faktor kompleksitas dan heterogenitas reservoar batu gamping. Pemahaman mengenai carbonate depositional facies, diagenetic process, dan diagenetic unit dengan akurat menjadi penting sekali melalui datadata yang dapat dioptimalkan, khususnya pada data core/SWC dan ditch cuttings. Hasilnya digunakan untuk menilai harga visible porosity, permeabilitas dan saturasi air dalam reservoar serta diagenetic unit dan flow unit boundary. Kedua komponen terakhir ini digunakan di lapangan yang telah berproduksi atau untuk pengembangan produksi. Fungsinya untuk mengurangi ketidakpastian dalam pengembangan eksploitasi dan pengeboran. Gambar-gambar conto dalam tulisan ini merupakan hasil pengalaman penulis dalam pengamatan reservoar batugamping di wilayah Indonesia. Dasar Teori Batugamping adalah sedimen kimiawi yang umumnya terbentuk di laut dengan kandungan kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh organisme-
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 2, Juli 2010
organisme laut. Beberapa batugamping juga bisa terbentuk di danau, air tawar atau pinggir sungai (biasa disebut travertin), karena proses penguapan atas sedimen hasil pelarutan dari batuan-batuan karbonat tersebut berasal dari areal sekitar sungai atau laut yang lebih tinggi. Pembentukan sedimentasi karbonat di Indonesia sangat intensif karena terletak di zona equator bahkan sejak transgresi global pada Kala Miosen Awal. Hal ini disebabkan oleh faktor tektonik dan lingkungan. Hal ini menjadi penyebab pembentukan kompleks reef di Indonesia yang umumnya menjadi reservoar hidrokarbon sebagaimana yang telah disebutkan. Secara carbonate depositional facies, bentuk geometri dari organisme pembentuknya merepresentasikan kedalaman. Untuk platy coral sekitar 12 hingga 15 meter, sedangkan branching coral sekitar 10 meter, dan massive head coral tumbuh di sekitar 0-3 meter. Setelah terkena overburden, kemungkinan reservoar quality akan menurun drastis. Bila organisme penyusun coral reef terkubur hingga kedalaman ribuan feet, maka semua primary porosity akan hancur sebagaimana yang terjadi di South Sumatra Basin yang umumnya didominasi oleh stromatolite, koral dan algae yang membentuk reef build up secara setempat dalam patch reef, di NWJB dan NEJB didominasi oleh coral massive, sedikit branching dan platy coral serta red algae yang membentuk fringing reef dan pinnacle secara setempat. Di Pegunungan Selatan Jawa (DIYJatim) didominasi oleh red algae dan molluscs yang membentuk paparan. Di Kutei Basin didominasi oleh platy coral dan sedikit banching coral yang membentuk reef build up secara setempat pada lingkungan shelf-edge barrier reef. Perbedaan geometri koloni koral dan algae serta morfologi struktur dalamnya akan mempengaruhi kecepatan sedimentasi yang bisa menutup atau membuka pori karena pengaruh overburden selama diagenesa. Pada koral pipih (platy corals), setelah terkena overburden yang cukup kuat, hampir semua porositas primer yang terbentuk akan hilang, dan seandainya masih ada porositi primer maupun sekunder (fracture) yang tersisa maka porositas yang ada pada umumnya akan terisi oleh sedimen kalsit hasil dari diagenesa dan bawaan dari meteoric water. Selama sejarah pengendapan, Surface exposure jarang ditemui, maka kualitas reservoir dari batugamping yang ada pada umumnya kurang baik. Demikian pula sebaliknya, akan lebih jelas terlihat section carbonat pada suatu singkapan yang berupa secondary porosity dan oil charging sebelum proses sedimentasi.
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 2, Juli 2010
Metodologi Reservoar batugamping memiliki heterogenitas dan kompleksitas tinggi sehingga perlu pemahaman mengenai karakter utama dan asosiasi yang mengikutinya. Adapun tahap-tahap untuk memahami karakter litologi reservoar batugamping/sedimen karbonat, terutama genetic unit, yakni dengan melakukan identifikasi yang mengkombinasikan semua data, baik core/side wall core (SWC), cuttings dengan log sumur (well log), dan seismic (Gambar 1). Pemahaman karakter batugamping sebagai reservoar secara keseluruhan digunakan untuk menentukan kronostratigrafi, sedimentologi dan diagenesis.
Gambar 1. Diagram alir determinasi dan interpretasi core/SWC dan cuttings untuk geomodelling
Komponen-komponen yang harus dideterminasi (secara megaskopis dan mikroskopis), teknik, dan peruntukannya meliputi: 1. Jenis batugamping dan penyerta serta persentase masing-masing (Gambar 2). Adapun sedimen yang sering berasosiasi dengan batugamping antara lain batupasir, batulempung, dan batulanau (siltstone). Persentase batuan di atas terhadap batugamping akan menunjukkan nama batuan yang harus dianalisa, baik di lapangan (fieldwork) maupun sayatan tipis batuan (thin sections), bahkan pengujian dengan pelarut seperti peroksida (H2O2) dan asam khlorida (HCl). Misalnya, batugamping lempungan, batugamping kerikilan, batugamping konglomeratan, batugamping masif, kalsirudit, kalkarenit atau kalsilutit,
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 2, Juli 2010
batugamping kristalin, batugamping dolomitan, batugamping dengan vein kalsit, dan sebagainya.
Gambar 2a. Persentase dalam sayatan tipis (cutting), batugamping dolomitan, terdiri dari partikel (atas: benthic foram dan algae), mikrit, sedimen (atas: kalsit; Bawah: dolomit) dan anomali (claystone) dengan total berjumlah 100%
Gambar 2b. Persentase dalam sayatan tipis core dan cutting, batugamping lempungan, terdiri dari partikel, mikrit, sedimen, pori, dan anomaly (batulempung dan mineral allogenic seperti ore, coal, pirit) dengan total berjumlah 100%
Gambar 2c. Atas: sayatan tipis. 100% batugamping kristalin (crystalline carbonate), namun masih bisa dikenali asal Lepidocyclina sp dan micrite. Bawah: Planktic foram sebagai reworked fossil atau kontaminan dalam batulempung gampingan
2. Tingkat kepadatan batuan dikategorikan masif bila singkapan / core dalam keadaan utuh, setengah hancur atau sangat hancur (rubble) (Gambar 3). Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kepadatan yang terdapat pada struktur-struktur yang terjadi di daerah studi. Bentuk hancuran yang seragam diindikasikan terjadi karena gaya tekan batuan yang mengenainya cenderung pelan, namun berlangsung cukup aktif dan lama. Hal tersebut bisa juga karena terkena sesar. Ada kemungkinan bentuk hancuran tersebut terpisah-pisah karena perselingan batulempung yang mudah hancur saat transportasi dan storage core tersebut terjadi.
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 2, Juli 2010
Gambar 3a. Rubble core menunjukkan adanya retakan atau tekanan intensif. Conto dari Sumatra
Gambar 3b. Massive core dengan retakan bisa terjadi pada saat coring. Conto dari Sumatra
3. Penentuan jenis batugamping umumnya dibedakan ke dalam klastik dan nonklastik (Gambar 4). Batugamping Klastik, sebagai produk transportasi, apabila di dalamnya dijumpai indikasi semacam debris maka dinamai bioklastik, sedangkan nonklastik umumnya berbentuk masif yakni berupa terumbu dan sedimen kimiawi seperti gipsum. Proses pengendapan karbonat bisa terjadi dari komponen kerangka (skeletal) yang disebut secretion, apabila nonskeletal disebut accretion, apabila skeletal+nonskeletal maka dinamakan aggregation.
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 2, Juli 2010
Gambar 4a. Litofacies coral bindstone with grainstone matrix (nonclastics). Conto core Sumatra Selatan
Gambar 4b. Litofacies grainstone (clastics) dengan oil trace (kiri: warna putih kecoklatan), no oil trace (kanan). Conto core Sumatra Selatan
Gambar 4c. Atas: Singkapan batugamping nonklastik, facies bafflestone (branching corals) dan bindstone (platy corals). Bawah: klastik facies algae grainstone berlapis buruk. Conto singkapan formasi Wonosari 4. Komponen penyusun dan jenisnya berupa organic framework atau skeletal framework, biolith (Klasifikasi Folk, 1962), boundstone (Klasifikasi Dunham, 1962) atau sebagai frame builders, frame binders, frame bafflers, dan grains/butiran (skeletal grain dan nonskeletal grains). (Klasifikasi Embry and Klovan, 1971. Gambar 5). Frame builders dibangun oleh koral atau moluska atau algae yang berukuran beberapa sentimeter hingga meter. Frame binders dibangun oleh platy corals atau branching algae dan foraminifera bentos kecil dan besar. Sedangkan frame bufflers dibangun oleh koral bercabang. Selain itu, terdapat pula jenis rudstone dan floatstone yang keduanya terbentuk tidak jauh dari organic framework. Sebagaimana klasifikasi di atas, Koesoemadinata (1996) menyertakan perkiraan persentase komponen berkaitan dengan penamaan litofacies dan kristalinitas/crystalline carbonate atau dolomite.
Gambar 5a. Massive coral colony tumbuh melebar dalam litofacies Lepidocyclina dan massive coral floatstone dengan matriks grainstone dijumpai hair dan saw stylolite yang membatasi koloni tersebut dengan mud. Conto Formasi Rajamandala, Jawa Barat
Gambar 5b. Koloni koral dijumpai simbion encrusting algae ditunjukkan pada posisi growth structure, dengan moluska dan mud diantaranya berubah menjadi equant calcite. Conto Formasi Paciran
Gambar 5c. Facies crystalline carbonate. Butiran partikel telah berubah menjadi kristal kalsit hampir seluruhnya sehingga batasnya-pun sulit dikenali. Vug, intercrystalline dan pin point porosity terbentuk pada lingkungan vadose zone. Conto formasi Paciran
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 2, Juli 2010
Penamaan litofacies digunakan untuk menentukan energi pengendapan karbonat, misalnya Coral bioclastic with matrix mudstone ini mengindikasikan low energy carbonate environment. 5. Mengetahui jenis reef complexes dan tipe carbonate platform, mound, bank serta geometrinya berdasarkan Triangular Classification (Read, 1985; Longman, 1981). Keduanya terjadi bersamaan dalam spasial dan hubungan temporal. Pemahaman akan hal ini dapat digunakan untuk evaluasi secara regional. Reef complex harus melibatkan sejarah facies pada platform karena sifat reservoir baik di dalam reef maupun pada platform, terkait erat dengan evolusi geologi yang dialami oleh keduanya. Istilah mudmounds, penyusun utamanya adalah lime mud dan frame builder-nya (koral dan ganggang merah kalau Miosen) harus kurang dari 25% atau 30% dan berkembang di lingkungan low energy. Pada saat awal, poro-perm-nya memang kecil kalau dibandingkan dengan banks atau reef yang dibangun oleh skeletal. Kaitan antara diagenesa dengan porositas/permeabilitas dalam batugamping bisa dilihat dari pentingnya faktor perubahan diagenetik. Oleh karena penyusun limemud pada umumnya adalah CaCO3 aragonitik maka mudah terlarut saat berada pada meteoric zone. Pelarutan yang terjadi akan memperbaiki poro-perm-nya. 6. Pengelompokkan urutan facies karbonat berdasarkan dominasi facies untuk menentukan facies depositional units. Hal ini digunakan untuk menentukan tipe reef complex, jenis fringing reef, patch, barrier atau atoll reef serta lingkungan lagoon, back reef sand (back reef), reef core atau fore reef atau reef front atau open marine. Selain itu, dapat pula digunakan klasifikasi reef complex (Longman, 1981) yang lebih sesuai dan berlaku di komplek coral/algae reef Kenozoikum di Indonesia atau platform setting (Klasifikasi Wilson, 1975) yang mendasarkan penelitiannya di Eropa dan Amerika yang berbeda dalam komponen framework-nya yakni moluska Rudistidae (telah punah akhir Kapur). Klasifikasi coral reef complex disebut sebagai tipe Miosen (Miocene type, conto di Arun), sedangkan rudist reef complex disebut sebagai tipe Kapur (Cretaceous type). 7. Perhitungan persentase partikel (fragment), mikrit, sedimen, porositas dan anomali (bila ada) (Gambar 6). Keempat komponen ini dinilai seobyektif mungkin untuk menentukan visible porosity serta kemungkinan permeabilitas yang rendah atau tinggi karena porositas (dekat) saling berhubungan atau terpisah.
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 2, Juli 2010
Gambar 6a. Rongga pori (biru) berupa intrapartikel atau intercrystal porosity type. Persentase pori yang besar juga memungkinkan permeabilitas besar
Gambar 6b. Rongga pori (biru) berupa interparticle dan open fracture porosity type pada grains of echinoid
Gambar 6c. Sayatan crystalline carbonate, hasil ubahan partikel/grains sampai batas cangkang/test tidak Nampak sehingga komponen total berupa sedimen kalsit
Gambar 6d. Komposisi sedimen lebih banyak dibanding matriks dan tanpa partikel atau pori atau anomaly di dalamnya. Rekristalisasi sangat kuat berupa interlocking dengan suture contact
Gambar 6e. Rongga pori (biru) berupa intrapartikel atau intercrystal porosity type. Persentase pori yang besar juga memungkinkan permeabilitas besar
Gambar 6f. Mozaic cement yang mengalami diagenesa burial sehingga membentuk interlocking berupa suture/line contact. Porositas sangat buruk. Conto formasi Baturaja Sumatra
8. Menentukan tipe pori (fabric dan nonfabric) (Gambar 7) yang bisa didapatkan lebih dari satu jenis pori dan masing-masing dipersentasekan, termasuk di dalamnya fracture porosity (vein inlets dan open fracture). Hal ini dilakukan untuk mengetahui lingkungan diagenesa karbonat, apakah bisa terjadi perubahan lingkungan dari shallow ke deep burial, atau sebaliknya, dari deep burial kemudian tersingkap/eksposure. Presentase pori (%) ini digunakan untuk mengklasifikasikan porosity quality (poor, medium, good, very good atau excellent).
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 2, Juli 2010
Gambar 7a. Open fracture dan vein terisi kalsit pada singkapan formasi Wonosari
Gambar 7b. Filled fracture pada conto batugamping formasi Wonosari
Gambar 7c. Fracture mikro terisi karbon (warna coklat) pada sayatan tipis conto formasi Paciran.
9. Type sedimen (blocky, equant, fibrous, mozaic, syntaxial overgrowth), jenis sedimen (kalsit atau dolomit) dan tipe neomorfisme (coalessive dan displassive) (Gambar 8). Hal ini menentukan diagenetic process dan nilai cementation factor dalam archi formula yang merupakan satu dari enam parameter yang penting pengaruhnya dalam hasil analisa log sumur. Adapun keenam faktor tersebut antara lain, RW (water resistivity), m (cementing factor), n (saturation exponent), a (turtuosity factor), shale density dan shale neutron porosity. Dalam pengamatan jenis dan proses sedimentasi, misal hadirnya meniscus cement atau pendant cement ini mengindikasikannya pernah berada di aerial surface (telogenesis).
Gambar 8a. Blocky mosaic cement sering dijumpai pada tepi fragmen/grains membentuk blocky cement yang relatif halus dan membesar ke arah tengah rongga karena pembentukan sedimen terakhir dengan waktu relatif lebih lama dan konsentrasi CaCO3 lebih tinggi.
Gambar 8b. Koloni koral (septa), aragonit digantikan oleh microspar dan semen equant dan bladed calcite, dalam litofacies boundstone.
Gambar 8c. Sebagian aragonit dalam spine echinoid berubah menjadi mozaic calcite cements
Gambar 8d. Blocky calcite cements
Gambar 8e. Cangkang pelecypoda
Gambar 8f. Moldic dan vuggy
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 2, Juli 2010
(warna terang) serta tipe pori interpartikel dan fracture dalam litofacies larger foraminifera grainstone.
digantikan oleh semen equant calcite, sebagiannya berupa moldic pore yang terisi pirit dan oxida besi.
porosity semakin terbuka dan banyak di antaranya terjadi karena berpindah ke vadose zone. Facies boundstone.
Gambar 8g. Pendant cement dalam caves pore menunjukkan diagenesa di lingkungan zona vadose
Gambar 8h. Pendant cement mengindikasikan berada pada vadose zone, terlihat butiran karbon mineral
Gambar 8i. Mozaic cement menunjukkan perubahan warna mosaic bila posisi kalsit diputar kurang dari 45o
Untuk diagenetic process, kadang juga dikenal adanya pori yang terisi kalsit blocky (calcite cement overprint) yang menunjukkan lingkungan vadose zone. 10. Jumlah dan type matriks/micrite (Gambar 9). Micrite (microcrystalline) merupakan indikasi energi yang berperan selama di dalam lingkungan pengendapan (depositional environment).
Gambar 9a. Envelope micrite membentuk dinding cangkang/ grains/ fragment sehingga lebih tebal, terbentuk sejak awal diagenesa. Grains hasil
Gambar 9b. Microspar, mikritisasi dan pembentukan poinpoin porosity yang sebagian terisi oleh equant calcite cements
Gambar 9c. Envelope micrite mengindikasikan early diagenesis
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 2, Juli 2010
pelarutan terisi semen blocky mosaic cement 11. Unsur-unsur lain seperti adanya stylolite (tipe hair/fine atau saw) (Gambar 10). Saw stylolite sering dijumpai sebagai batas fragmen/particle dengan matriks. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan densitas batuan, sebagaimana yang dijumpai di formasi Rajamandala, Padalarang, Jawa Barat. Adapun penyebabnya diindikasikan sebagai pengaruh struktur yang membentuk zona sesar mendatar/strike slip, normal dan upthrust (Crevello et al, 2005). Hairy stylolite sering dijumpai sebagai produk kompaksi, baik pada batugamping yang memotong fragmen/partikel maupun sering pula terkandung batulempung yang mengindikasikan produk diagenesa.
Gambar 10a. Hairy stylolite membawa mineral karbon, fracture terisi kalsit pada core litofacies massive coral bindstone matrix packstone.
Gambar 10b. Kiri: Saw stylolite membawa mineral karbon (hitam) pada core batugamping masif (abu-abu keputihan). Kanan: hairy stylolite, menunjukkan fase kompresi dari batugamping (warna terang) dan batulempung (warna gelap) sehingga memadat.
Gambar 10c. Atas: Sayatan selep. Saw stylolite yang membatasi fragment algae, koloni koral dengan mud. Conto batuan tight porosity, formasi Rajamandala, Padalarang, Jawa Barat. Bawah: Sayatan tipis. Saw stylolite pada batugamping
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 2, Juli 2010
yang membuka dan terisi mineral karbon.
12. Jenis dan persentase mineral penyerta (Gambar 11) bersifat authigenic, seperti hematit, pirit, glaukonit atau hasil pelapukan (allogenic) seperti kaolinit, feldspar dan kuarsa. Hal ini mengindikasikan lingkungan (restricted atau wide distributed), kedekatan dengan asal mineral dari batuan asalnya. Adanya paleosoil akan mengindikasikan sub-aerial exposure yang digunakan sebagai batas cycle of sea level fall (bila bersifat lokal), bahkan bila mungkin sebagai sequence boundary (bila bersifat regional).
Gambar 11a. Dolomit pada batulempung gampingan. Perconto batugamping di cekungan Sumatra Utara
Gambar 11b. Glaukonit campuran dalam batugamping kristalin. Perconto formasi Baturaja cekungan Sumatra Selatan
Gambar 11c. Skeletal packstone, Campuran batulempung dan batubara. Perconto formasi Baturaja cekungan Sumatra Selatan
Melalui hasil determinasi ini telah dapat ditentukan penamaan litofacies dan diagenetic units menggunakan hasil analisa sayatan tipis. Selanjutnya, penentuan diagenetic units berdasarkan sekuen diagenetic events. Diagenetic events dikenali berdasarkan analisa dari urutan perubahan lingkungan diagenesa (Premonowati, 2009). Misalnya, early diagenesis pada koral di lingkungan shallow marine ditandai oleh proses mikritisasi. Kemudian dilanjutkan oleh shallow to deeper diagenesis karena dijumpai indikasi kompaksi dan pelarutan/dissolution serta pembentukan cement equant pada zona fresh waterphreatic. Semakin ke dalam lingkungan meteorik maka sedimen neomorfisme terbentuk disertai kompaksi yang memungkinkan pembentukan retakan/rekahan/fracture. Sedimentasi selama pengisian retakan/fracture menjadi vein bisa diikuti oleh pengisian karbon atau kuarsa dan seterusnya.
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 2, Juli 2010
Pemahaman semua urutan di atas membuat kita dapat kita mengenali karakter reservoar. Untuk selanjutnya, dapat digunakan dalam petrofisik untuk menentukan nilai properti seperti porositas, indeks sedimentasi yang sangat penting dan pemodelan geologi. Hal ini bisa dikompilasikan dengan data seismik dan log sumuran. Kesimpulan 1.
2.
Pendiskripsian batugamping melalui singkapan, core/SWC dan atau cuttings meliputi penamaan litofacies dan diagenetic unit untuk kemudian dilakukan penentuan diagenetic environment. Perhitungan persentase yang presisi untuk jumlah partikel, mikrit, sedimen, pori (dan tipe pori) serta anomalinya menentukan nilai properti pada reservoar untuk pemodelan geologi yang lebih akurat.
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 3, No. 2, Juli 2010
Daftar Pustaka Crevello, P, Park, R, Tabri, K, and Premonowati. 2005. Equatorial carbonate depositional systems and reservoir development: modern to MioceneOligocene analogs of SE Asia: High resolution exploration and development applications from outcrop to subsurface. AAPG Equatorial Carbonate Field Seminar. 58p. Depositional Environments. AAPG Memoir 33.Tulsa, Oklahoma. p 345-462. Dwi Cahyo M., Yaman, F., Hasani, N., and Hidayat, D.S., 2007, Incentives required to develop stranded gas field: A case study Kerendan Gas Field. Proc. IPA 31st. Ann Conv. Embry, A.F., and Klovan, E. J., 1971. Absolute Water Depth Limits of Late Devonian Paleoecological Zones. Geology Rdsch. 61/2, Stuttgart. in Reijers, T.J. A., and Hsu, K. J.1986. Manual of Carbonate Sedimentology: A Lexicographical Approach.Academic Press London. 301 p. Esteban, M., and Klappa, C. F., 1983. Subaerial Exposure Environment. in Scholle, P. A., Bebout, D.G., and Moore, C. H., (eds.). Carbonate Depositional Environments. AAPG Memoir 33. Tulsa, Oklahoma.p. 1-92. Handford, C. R., and Loucks, R. G., 1993. Carbonate Depositional Sequences and Systems Tracts-Responses of Carbonate Platforms to Relative SeaLevel Changes, in Loucks, R. G., and Sarg, J. F.,(eds.). Carbonate Sequence Stratigraphy Recentdevelopments and Apllication: AAPG Memoir 57.p. 3-41. James, N. P., 1983. Reefs. in Scholle, P. A., Bebout,D. G., and Moore, C. H., (eds.). Carbonate James, N. P., and Bourque, P. A., 1992. Reefs and Mounds. in Walker, R. G., and James, N. P., (eds.). Facies Models. Ontario. p. 323-347. Longman, M.W., (1981) : "A Process Approach to Recognizing Facies of Reef Complexes" SEPM Special Publication no. 30, p. 9-40. Longman, M. W., 1981. Carbonate Diagenesis as a Control on Stratigraphic Traps. AAPG Education Course Note Series ≠ 21. Premonowati (2009), Diagenetic sequence from outcropped Prupuh Formation, Lamongan area, Northeast Java Basin. Proceedings of the 38th IAGI Annual Convention and Exhibition. Read, J.F. (1985): Carbonate Platform Facies Models -AAPG Bull v. 69, no. 1, p. 1-21.