PROCEEDINGS PIT IAGI LOMBOK 2010 The 39th IAGI Annual Convention and Exhibition
METODE PENDISKRIPSIAN BATUGAMPING UNTUK KARAKTERISASI RESERVOAR HIDROKARBON Premonowati Program Studi Teknik Geologi-FTM, UPN “Veteran” Yogyakarta
[email protected]
ABSTRACT
The core/SWC and ditch cuttings data of limestone samples are importantly optimized for their descriptions to get better understanding in reservoir characterization such as: lithofacies and visible porosity. The methods are consists of: regional review (type of carbonate complex), local and detail determinations includes: core recovery, textural characterization, organism abundance, specific features, type and porosity percentage that produce the visible porosity. The precise calculations of visible porosity and genetic forming of pores that includes the cementations are used to determine the cementation index (e.g.: m in Archi’s formula) that change for both vertical or lateral distributions. Keywords: Core/SWC, cuttings, limestone, diagenetic and depositional facies
SARI Data core/SWC dan cuttings pada reservoar batugamping sangat perlu dioptimalkan pendiskripsiannya dalam pemahaman karakteristik reservoar meliputi litofacies dan visible porosity. Metode penelitian meliputi: kajian regional, lokal dan determinasi detil, meliputi: core recovery, tekstur, organism abundance, specific features, type dan persentase porositas yang menghasilkan visible porosity. Perhitungan visible porosity yang presisi dan pemahaman faktorfaktor penyebab utama pembentukan pori termasuk sementasi digunakan untuk menentukan nilai indeks sementasi yang bisa berubah secara cepat baik penyebaran secara vertikal maupun horizontal.
PENDAHULUAN Kompleksitas dan heterogenitas reservoar batugamping sering kali menjadi alasan tidak terduga dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi hidrokarbon di banyak blok/field produktif di Indonesia. Alasan tersebut misalnya: penyebaran facies dan diagenetic unit tidak selalu seragam, saat tested dengan produksi yang berbeda jauh; prediksi keliru antara periode diagenesa, misal sementasi dengan gas/oil charging; waktu penutupan rongga pori karena proses sementasi, atau memperbesar/kecilnya pori dengan pembentukan dolomit (semen) atau dedolimitisasi,
porositas pada batuan karbonat yang tidak merata (uniform). Masalahnya, semen karbonat menjadi salah satu faktor yang cukup dominan dalam perusakan reservoir quality selain kompaksi. Juga, perlunya mengenali indikasi pengaruh struktur selama migrasi hidrokarbon di dalam batugamping, peran sistem fracture juga menjadi sangat penting karena dapat keliru dalam menentukan diagenetic unit. Disamping itu, geometri dari tumbuhan utamanya pada algae melembar dan koral pipih seperti tumpukan daun teratai disusun rapih memperkecil kemungkinan berkembangnya porositas primer, dan masih banyak kasus lain.
PROCEEDINGS PIT IAGI LOMBOK 2010 The 39th IAGI Annual Convention and Exhibition
Banyak blok dan field reservoar produktif dan hasilnya (formasi reservoar, test dan produksi) di Indonesia misalnya di North Sumatra Basin yakni East Natuna (Tertiary Terumbu Reservoir) dan Blok Aceh, antara lain: Tampur, Peutu Limestone, Meureudo Group; Sembuang Limestone; Kaloi Limestone dalam Peusangan Group; Fm. Baong. Produksi gas sejak tahun 1971 mencapai lebih dari 40 ribu MMBOE. Dalam South Sumatra Basin, kita kenal Formasi Baturaja sebagai reservoar batugamping yang produktif. Produksinya dengan Formasi Talang Akar hingga 3.5 BBOE. Dalam Northwest Java Basin, kita kenal Formasi Parigi. Dalam Northeast Java Basin: Fm. Kujung, Fm. Prupuh, Fm. Tuban, Formasi Bulu dan Formasi Paciran dicirikan oleh litologi yang bersifat gampingan hadir sebagai reservoir yang baik, selain Fm. Ngrayong yang bersifat silisiklastik. Sering keduanya hadir bersama sebagai sedimen karbonat-silisiklastik. Produksinya hingga 1.3 BBOE dari 60 lapangan lebih. Di Kalimantan, Kerendan Limestone di Barito Utara, Blok Bangkanai (Sebelumnya Teweh Block) telah diproduksi 20 MMSCFD (Dwi Cahyo, et al, 2007); Fm. Berai dan Fm. Sellor di Tarakan Basin dan Sulawesi: Fm. Tonasa dan Fm. Tacipi; Pulau Buton dijumpai Formasi Tondo; Pulau Seram, Banggai dan Tomori/Banggai/Sula terdapat Formasi Pancoran atau Salodik, sedangkan di Salawati Basin sampai Papua, reservoir batugamping dari Fm. Waripi, Faumai Lst., Kais dan Bintuni yang berproduksi hingga 0.5 BBOE. Banyu Urip-1 (ExxonMobil Cepu) tested 3985 BOPD, Sukowati-1 (JOB Pertamina-Petrochina Tuban, tested 7697 BOPD. Bukit Tua-1 (ConocoPhillips Ketapang, tested 7361 BOPD), dan Jenggolo-1 (Gulf), tested 3602 BOPD (Disarikan dari berbagai sumber tahun 2009). Tujuan penulisan ini untuk memberikan pemahaman mengenai perubahan facies batugamping dan diagenesa yang cepat (bisa sangat cepat) pada penyebaran secara lateral dan vertikal. Pemahaman mengenai carbonate depositional facies, diagenetic process, dan diagenetic unit dengan akurat menjadi penting sekali melalui data-data yang dapat dioptimalkan, khususnya pada data core/SWC dan atau ditch cuttings. Hasilnya, untuk dapat menilai harga visible porosity, permeabilitas dan saturasi air
dalam reservoar serta diagenetic unit dan flow unit boundary. Kedua terakhir ini untuk lapangan/field yang telah berproduksi atau untuk pengembangan produksi. DASAR TEORI Batugamping merupakan sedimen kimiawi dihasilkan oleh organism yang tumbuh, terbentuk umumnya di air/laut dengan kandungan kalsium karbonat (CaCO3) menghasilkan sedimentasi klastik dan non klastik. Proses penguapan, pelarutan, sementasi, rekristalisasi dan kompaksi terjadi bersamaan dengan waktu selama pembentukan/pertumbuhannya. Pertumbuhannya/pembentukannya dipengaruhi oleh naik turunnya muka laut (Premonowati, 2005) sehingga secara stratigrafi dikenal sebagai Allostratigrafi (NASCN, 1983). Pembentukan sedimentasi karbonat di Indonesia sangat intensif karena terletak di zona equator terutama sejak transgresi global pada Kala Miosen Awal. Hal ini disebabkan karena faktor tektonik dan lingkungan. Hal ini menjadi penyebab pembentukan kompleks reef di Indonesia yang umumnya menjadi reservoar hidrokarbon sebagaimana yang disebut di depan. Dalam batuan karbonat, depositional facies dan bentuk geometri asal organisme pembentuknya merepresentasikan kedalaman pembentukannya. Untuk platy coral sekitar 12 s/d 15 meter, sedangkan branching coral sekitar 10 meter, dan massive head coral tumbuh di sekitar 0-3 meter (Premonowati, 2006). Bila setelah terkena overburden kemungkinan reservoar quality menurun drastis. Bila organisme penyusun coral reef terkubur hingga ribuan depth feet maka hampir semua primary porosity akan tersementasi. Sebagaimana conto-conto: di South Sumatra Basin, Formasi Baturaja umumnya didominasi oleh stromatolite, koral dan algae membentuk reef build up kecil dan setempat-setempat membentuk patch reef. Pada NWJB dan NEJB didominasi oleh koral massive, beberapa branching dan platy coral serta red algae membentuk fringing reef dan pinnacle setempatsetempat; di Pegunungan Selatan Jawa (DIYJatim) didominasi oleh red algae dan molluscs yang membentuk paparan; di Kutei Basin
PROCEEDINGS PIT IAGI LOMBOK 2010 The 39th IAGI Annual Convention and Exhibition
dominasi oleh platy coral dan sedikit banching coral yang membentuk reef build up setempatsetempat lingkungan shelf-edge barrier reef. Umumnya penyebaran sedimen bioklastik dihasilkan oleh suatu carbonate factory seperti coral reef, algae mound, atau bank. Selanjutnya, perbedaan geometri koloni koral dan algae serta morphologi struktur dalamnya akan mempengaruhi kecepatan sementasi yang bisa menutup pori karena pengaruh overburden selama diagenesa sebagai reservoir seal (Moore, 2001). Pada koral pipih (platy corals) setelah terkena overburden yang cukup kuat maka hampir semua porositas primer yang terbentuk hilang, dan seandainya masih ada porositi primer yang tersisa maupun sekunder (fracture) maka porositas yang ada akan terisi oleh semen kalsit (pada umumnya) hasil dari diagenesa dan bawaan dari meteorik water. Surface exposure selama sejarah pengendapan jarang ditemui maka kualitas reservoir dari batugamping yang ada pada umumnya kurang baik. Sebaliknya, akan beruntung bila mendapatkan section karbonat yang pernah tersingkap membentuk secondary porosity, kemudian oil charging sebelum sementasi. Dengan demikian, pemahaman tentang waktu pembentukan porositas harus memperhatikan proses diagenesa, biological content dan chemical processes dalam pemahaman karakteristik reservoar batugamping. METODOLOGI Reservoar batugamping memiliki heterogenitas dan kompleksitas tinggi sehingga perlu pemahaman mengenai karakter utama dan asesories yang mengikutinya. Adapun tahap-tahap untuk memahami karakter litologi reservoar batugamping/sedimen karbonat terutama genetic unit yakni melakukan identifikasi yang mengkombinasikan semua data, baik core/side wall core (SWC), cuttings dengan log sumur (well log) dan seismic (Gambar 1). Pembahasan paper ini sebatas pendiskripsian rersevoar batugamping secara detil untuk mendukung pemodelan. Pemahaman karakter batugamping sebagai reservoar secara keseluruhan mampu digunakan untuk penentuan khronostratigrafi (bersifat regional), sedimentologi (lokal) dan diagenesa (detil local/regional).
Komponen-komponen yang harus dideterminasi (secara megaskopis dan mikroskopis), teknik dan peruntukannya meliputi: 1. Secara regional, perlu pengelompokkan urutan facies karbonat berdasarkan dominasi facies untuk menentukan facies depositional units. Hal ini digunakan untuk menentukan tipe reef complex, jenis fringing reef, patch, barrier atau atoll reef serta lingkungan lagoon, back reef sand (back reef), reef core atau fore reef atau reef front atau open marine atau shelf-edge reef. Banyaknya istilah disebabkan karena banyknya klasifikasi depositional facies pada batugamping. Dapat pula digunakan klasifikasi reef complex menurut Longman (1981) yang lebih sesuai berlaku di komplek coral/algae reef Kenozoikum di Indonesia atau platform setting (Klasifikasi Wilson, 1975) yang mendasarkan penelitiannya di Eropa dan Amerika yang berbeda komponen framework yakni moluska Rudistidae (punah akhir Kapur). Klasifikasi coral reef complex disebut sebagai tipe Miosen (Miocene type, contoh di Arun), sedangkan rudist reef complex disebut sebagai tipe Kapur (Cretaceous type). 2. Jenis batugamping dan penyerta serta persentase masing-masing (Gambar 2). Adapun sedimen yang sering berasosiasi dengan batugamping antara lain: batupasir, batulempung, dan batulanau (siltstone). Persentase batuan di atas terhadap batugamping akan menunjukkan nama batuan yang harus dianalisa baik berupa outcrops di lapangan (fieldwork), slab maupun sayatan tipis batuan (thin sections) bahkan pengujian dengan pelarut seperti peroksida (H2O2) dan asam khlorida (HCl). Misalnya, batugamping lempungan, batugamping fragmental, batugamping konglomeratan, batugamping masif, kalsirudit, kalkarenit atau kalsilutit, batugamping kristalin, batugamping dolomitan, batugamping dengan vein kalsit, dst.nya. 3. Tingkat kepadatan batuan, bisa dikategorikan masif bila singkapan/core dalam keadaan utuh tidak hancur; bisa pula bersifat setengah hancur atau sangat hancur (rubble) (Gambar 3). Hal ini untuk menginformasikan kemungkinan tingkat kepadatan terhadap struktur geologi yang terjadi di daerah studi. Keseragaman bentuk hancuran perlu pula diinformasikan, makin seragam bentuk hancurannya maka gaya tekan batuan yang mengenainya cenderung pelan, namun
PROCEEDINGS PIT IAGI LOMBOK 2010 The 39th IAGI Annual Convention and Exhibition
berlangsung cukup aktif dan lama waktunya, dan bisa diindikasikan terkena sesar. Ada kemungkinan terpisah-pisah karena terdapat perselingan batulempung yang juga mudah hancur saat transportasi dan storage pada core tersebut. 4. Penentuan jenis batugamping umumnya dibedakan ke dalam klastik dan non klastik (Gambar 4). Klastik sebagai produk transportasi bila dijumpai indikasi semacam debris, dinamai bioklastik, sedangkan non klastik umumnya bentuk masif yakni berupa terumbu dan batugamping kimiawi seperti gipsum. Proses pengendapan karbonat terdiri dari komponen kerangka (skeletal) disebut secretion; bila non skeletal: accretion; bila skeletal + non skeletal dinamai aggregation. 5. Komponen penyusunnya dan jenis berupa organic framework atau skeletal framework, biolith (Klasifikasi Folk, 1962); boundstone (Klasifikasi Dunham, 1962) atau sebagai frame builders, frame binders dan frame bafflers; grains/butiran (skeletal grain dan non skeletal grains) (Klasifikasi Embry and Klovan, 1971) (Gambar 5). Frame builders dibangun oleh koral atau moluska atau algae yang berukuran beberapa centimeter hingga meter. Frame binders dibangun oleh platy corals atau branching algae dan foraminifera bentos kecil dan besar, sedangkan frame bafflers, dibangun oleh koral bercabang. Selain itu terdapat jenis rudstone and floatstone yang keduanya terbentuk tidak jauh dari organic framework. Sebagaimana pada klasifikasi di atas, maka Koesoemadinata (1996) menyertakan perkiraan persentase komponen berkaitan dengan penamaan litofacies dan kristalinitas/crystalline carbonate atau dolomite (+an). Penamaan litofacies digunakan untuk menentukan energi pengendapan karbonat, semisal: Coral bioclastic with matrix mudstone ini mengindikasikan low energy carbonate environment. 6.
Mengetahui jenis reef complexes, tipe carbonate platform, mound, bank dan geometrinya berdasarkan Triangular Classification (Read, 1985; Longman, 1981). Keduanya terjadi bersamaan dalam spasial dan hubungan temporal. Pemahaman hal ini akan dapat digunakan untuk menentukan genesa
secara regional. Reef complex harus melibatkan sejarah facies pada platform karena sifat reservoir, baik di dalam reef maupun pada platform terkait erat dengan evolusi geologi yang dialami oleh keduanya. Istilah mudmounds penyusun utamanya berupa lime mud dan frame builder-nya umumnya kurang dari 25 atau 30 %. Ini berkembang di lingkungan low energy. Saat awal pembentukkannya, pertumbuhannya memiliki nilai poro-perm kecil bila dibandingkan dengan banks atau reef yang dibangun oleh skeletal. Hal besaran nilai porositas/permeabilitas dalam batugamping, dapat dilihat dari pentingnya faktor ubahan selama diagenesa. Karena penyusun limemud umumnya CaCO3 aragonitik (Matthew, 1974, Jmes and Choquette, 1984) , maka mudah terlarut saat berada pada meteoric phreatic zone system. Pelarutan yang terjadi macroseals dissolutions yang akan memperbaiki poroperm-nya. 7. Perhitungan persentase partikel (fragment), mikrit, semen, porositas dan anomali (bila ada) (Gambar 6). Keempat komponen ini dinilai seobyektif mungkin untuk menentukan visible porosity serta kemungkinan permeabilitas yang rendah atau tinggi karena porositas (dekat) saling berhubungan atau terpisah. 8. Menentukan type pori (fabric dan non fabric) (Gambar 7) yang bisa didapatkan lebih dari satu jenis pori dan masing-masing dipersentasekan, termasuk di dalamnya fracture porosity (vein inlets dan open fracture). Hal ini untuk mengetahui lingkungan diagenesa karbonat, bisa terjadi perubahan lingkungan dari shallow ke deep burial, atau sebaliknya; dari deep burial kemudian tersingkap/eksposure. Presentase pori (%) ini digunakan untuk mengklasifikasikan porosity quantity and quality (poor, medium, good, very good atau excellent). 9. Type semen (blocky, equant, fibrous, mozaic, syntaxial overgrowth), jenis semen (kalsit atau dolomit) dan tipe neomorfisme (coalessive dan displassive) (Gambar 8). Penentuan tipe semen untuk mengetahui diagenetic process dan berkaitan dengan penentuan nilai cementation factor dalam Archie formula yang merupakan satu dari enam parameter yang penting pengaruhnya dalam hasil analisa log sumur.
PROCEEDINGS PIT IAGI LOMBOK 2010 The 39th IAGI Annual Convention and Exhibition
Dalam pengamatan jenis dan proses sementasi, semisal hadirnya meniscus cement atau pendant cement ini mengindikasikan pernah berada di aerial surface (telogenesis). Untuk diagenetic process, kadang juga dikenali adanya pori yang terisi kalsit blocky (calcite cement overprint) yang menunjukkan lingkungan vadose zone. 10. Jumlah dan type matriks/micrite (Gambar 9). Micrite (microcrystalline) merupakan indikasi energi yang berperan selama di dalam lingkungan pengendapan (depositional environment). 11. Unsur-unsur lain seperti adanya stylolite (tipe hair/fine atau saw) (Gambar 10). Saw stylolite sering dijumpai sebagai batas skeletal/grains/particle dengan micrite. Hal ini karena terjadi perbedaan densitas batuan, sebagaimana intensif yang dijumpai di Formasi Rajamandala, Padalarang Jawa Barat. Adapun penyebabnya diindikasikan sebagai pengaruh struktur yang membentuk zona sesar mendatar/strike slip, normal dan upthrust (Crevello et al, 2005). Hairy stylolite sering dijumpai sebagai produk kompaksi, baik pada batugamping yang memotong fragmen/partikel, maupun sering pula terkandung batulempung terkompresi yang mengindikasikan produk diagenesa. 12. Jenis dan persentase mineral penyerta (Gambar 11) bersifat authigenic: seperti hematit, pirit, glaukonit atau hasil pelapukan (allogenic) seperti kaolinit, feldspar dan atau kuarsa. Hal ini mengindikasikan lingkungan (restricted atau wide distributed), kedekatan dengan asal mineral dari batuan asalnya. Adanya paleosoil akan mengindikasikan subaerial exposure yang digunakan sebagai batas cycle of sea level fall (bila bersifat lokal), bahkan bila mungkin sebagai sequence boundary (bila bersifat regional). Dari hasil determinasi ini telah dapat menentukan penamaan litofasies dan diagenetic units menggunakan hasil analisa sayatan tipis. Selanjutnya, penentuan diagenetic unit berdasarkan sekuen diagenetic events. Diagenetic event dikenali berdasarkan analisa dari urutan perubahan lingkungan diagenesa (Premonowati, 2009). Semisal dari early diagenesis pada koral di
lingkungan shallow marine ditandai oleh proses mikritisasi. Dilanjutkan oleh shallow to deeper diagenesis karena dijumpai indikasi kompaksi dan pelarutan/dissolution serta pembentukan cement equant pada zona fresh water-phreatic. Semakin ke dalam lingkungan meteoric, semen neomorfisme terbentuk disertai kompaksi yang memungkinkan pembentukan retakan / rekahan / fracture. Sementasi selama pengisian retakan/fracture menjadi vein bisa diikuti pengisian oleh karbon atau kuarsa, dan seterusnya. Pemahaman semua urutan di atas memampukan kita mengenali karakter reservoar, selanjutnya dapat membantu dalam penentuan nilai property batuan seperti porositas, indeks sementasi yang sangat penting dan pemodelan geologi. Hal ini bisa dikompilasikan dengan data seismik dan log sumuran. KESIMPULAN 1. Pendiskripsian batugamping melalui singkapan, core/SWC dan atau cuttings meliputi penamaan litofacies dan diagenetic unit, selanjutnya penentuan diagenetic environment. 2. Perhitungan persentase yang presisi untuk jumlah partikel, mikrit, semen, pori (dan type pori) serta anomalinya menentukan nilai properti pada reservoar untuk pemodelan geologi lebih akurat. DAFTAR PUSTAKA Crevello, P., Park, R., Tabri, K., Premonowati (2005). Equatorial carbonate depositional systems and reservoir development: modern to Miocene-Oligocene analogs of SE Asia: High resolution exploration and development applications from outcrop to subsurface. AAPG Equatorial Carbonate Field Seminar. 58p. Dwi Cahyo M., Yaman, F., Hasani, N., and Hidayat, D.S., 2007, Incentives required to develop stranded gas field: A case study Kerendan Gas Field. Proc. IPA 31st. Ann Conv. Read, J.F. (1985): Carbonate Platform Facies Models -AAPG Bull v. 69, no. 1, p. 1-21.
PROCEEDINGS PIT IAGI LOMBOK 2010 The 39th IAGI Annual Convention and Exhibition
Longman, M.W., (1981) : "A Process Approach to Recognizing Facies of Reef Complexes" SEPM Special Publication no. 30, p. 9-40. Moore, C.H. 2001. Carbonate Reservoirs, Porosity evolution and diagenesis in a sequence stratigraphic framework. Dev. In Sedimentology 55. Elsevier Science B.V.
Premonowati (2009), Diagenetic sequence from outcropped Prupuh Formation, Lamongan area, Northeast Java Basin. Proceedings of the 38th IAGI Annual Convention and Exhibition.
GAMBAR 1: Diagram alir determinasi dan interpretasi core/SWC dan cuttings untuk geomodelling
GAMBAR 2a: Persentase dalam sayatan tipis cutting, batugamping dolomitan, terdiri partikel (Atas: benthic foram dan algae), mikrit, semen (Atas: kalsit; Bawah: dolomit) dan claystone, hadir sebagai anomali, total berjumlah 100%
GAMBAR 2b: Persentase dalam sayatan tipis core dan cutting, batugamping lempungan, terdiri partikel, mikrit, semen, pori, dan anomali (batulempung dan mineral allogenic (ore mineral, coal, pirit) total berjumlah 100%
GAMBAR 2c: Atas: sayatan tipis. Seratus persen batugamping kristalin (crystalline carbonate), namun masih bisa dikenali asal Lepidocyclina sp., dan micrite. Bawah: Planktic foram sebagai reworked fossil atau kontaminan dalam batulempung gampingan
PROCEEDINGS PIT IAGI LOMBOK 2010 The 39th IAGI Annual Convention and Exhibition
GAMBAR 3a: Rubble core menunjukkan adanya retakan atau tekanan intensif
GAMBAR 4a: Litofacies coral bindstone with grainstone matrix (non clastics).
GAMBAR 3b: Massive core dengan bleeding hidrokarbon (kiri) dan retakan berupa sisipan batulempung yang hilang atau bisa terjadi pada saat coring (tengah dan kanan)
GAMBAR 4b: Litofacies grainstone (clastics) dengan oil trace (kiri: warna putih kecoklatan), no oil trace (kanan)
GAMBAR 4c: Atas: Singkapan batugamping non klastik, facies bafflestone (branching corals) dan bindstone (platy corals). Bawah: klastik: facies algae grainstone berlapis buruk
PROCEEDINGS PIT IAGI LOMBOK 2010 The 39th IAGI Annual Convention and Exhibition
GAMBAR 5a: Massive coral colony tumbuh melebar dalam litofacies Lepidocyclina and massive coral floatstone dengan matriks grainstone dijumpai hair/fine dan saw stylolite yang membatasi koloni tersebut dengan mud
GAMBAR 6a: Rongga pori (blue dye) berupa intrapartikel atau intercrystal porosity type. Persentase pori yang besar yang berdekatan, memungkinkan permeabilitaspun besar
GAMBAR 6d: Komposisi semen lebih banyak dibanding matriks, dan tanpa partikel atau pori atau anomali di dalamnya. Rekristalisasi sangat kuat berupa interlocking dengan suture contact
GAMBAR 5b: Koloni koral dijumpai simbion encrusting algae menunjukkan pada posisi growth structure, dengan moluska dan mud diantaranya terubah menjadi equant calcite
GAMBAR 6b: Rongga pori (blue dye) berupa interparticle dan open fracture porosity type pada grains of echinoid
GAMBAR 6e: Rongga pori (blue dye) berupa intrapartikel atau intercrystal porosity type. Persentase pori yang besar juga memungkinkan permeabilitas besar
GAMBAR 5c: Facies crystalline carbonate. Butiran partikel telah terubah menjadi kristal kalsit hampir seluruhnya sehingga batasnya-pun sulit dikenali. Vug, intercrystalline dan pin point porosity terbentuk pada lingkungan vadose zone
GAMBAR 6c: Sayatan crystalline carbonate, hasil ubahan partikel/grains sehingga batas cangkang/test tidak Nampak sehingga komponen total berupa semen kalsit
GAMBAR 6f: Mozaic cement yang mengalami diagenesa burial sehingga membentuk interlocking berupa suture/line contact. Porositas sangat buruk.
PROCEEDINGS PIT IAGI LOMBOK 2010 The 39th IAGI Annual Convention and Exhibition
GAMBAR 7a: Open fracture dan vein terisi kalsit
GAMBAR 7b: Filled fracture pada conto batugamping
GAMBAR 7c: Fracture mikro terisi karbon (warna coklat) pada sayatan tipis
GAMBAR 8a: Blocky mosaic cement di tepi fragmen/grains yang membesar ke pusat rongga karena pembentukan semen terakhir dalam waktu relatif lebih lama dengan konsentrasi CaCO3 lebih tinggi
GAMBAR 8b: Koloni koral (septa), aragonit digantikan oleh microspar dan semen equant dan bladed calcite, dalam litofacies boundstone
GAMBAR 8c: Sebagian aragonit dalam spine echinoid terubah menjadi mozaic calcite cements
GAMBAR 8d: Blocky calcite cements (dalam lingkaran) serta tipe pori interpartikel dan fracture dalam litofacies larger foraminifera grainstone
GAMBAR 8e: Cangkang pelecypoda digantikan oleh semen equant calcite, sebagiannya berupa moldic pore yang terisi pirit dan oxida besi
GAMBAR 8f: Moldic dan vuggy porosity semakin terbuka dan banyak karena berpindah ke vadose zone. Facies boundstone
PROCEEDINGS PIT IAGI LOMBOK 2010 The 39th IAGI Annual Convention and Exhibition
GAMBAR 8g: Pendant cement dalam caves pore menunjukkan diagenesa di lingkungan zona vados
GAMBAR 8h: Pendant cement mengindikasikan berada pada vadose zone, terlihat butiran carbon mineral
GAMBAR 8i: Mozaic cement menunjukkan perubahan warna mosaic bila posisi kalsit diputar kurang dari 45o
GAMBAR 9a: Envelope micrite membentuk dinding cangkang/grains/fragment sehingga lebih tebal, terbentuk sejak awal diagenesa. Butiran (grains) hasil pelarutan terisi semen blocky mosaic cement
GAMBAR 9b: Microspar, mikritisasi dan pembentukan pint-point porosity yang sebagian terisi oleh equant calcite cements
GAMBAR 9c: Envelope micrite mengindikasikan early diagenesis
PROCEEDINGS PIT IAGI LOMBOK 2010 The 39th IAGI Annual Convention and Exhibition
GAMBAR 10a: Hairy stylolite membawa mineral karbon, fracture terisi kalsit pada core litofacies massive coral bindstone with matrix packstone
GAMBAR 10b: Kiri: Saw stylolite membawa mineral karbon (hitam) pada core masif (abu-abu keputihan). Kanan: hairy stylolite, menunjukkan fase kompresi dari batugamping (warna terang) dan batulempung (warna gelap) sehingga memadat
GAMBAR 10c: Atas: Sayatan selep. Saw stylolite yang membatasi fragment algae, koloni koral dengan mud. Conto batuan tight porosity, Formasi Rajamandala, Padalarang, Jawa Barat. Bawah: Sayatan tipis. Saw stylolite pada batugamping yang membuka dan terisi mineral karbon
GAMBAR 11a: Dolomit pada batulempung gampingan
GAMBAR 11b: Glaukonit dominan dalam batugamping kristalin
GAMBAR 11c: Skeletal packstone, Campuran batulempung dan batubara