IMPLIKASI DIAGENESIS BATUGAMPING TERHADAP TOUCHING VUGGY DAN KUALITAS RESERVOAR FORMASI NGIMBANG CEKUNGAN JAWA TIMUR
Oleh: Mellinda Arisandy* Undang Mardiana* Vijaya Isnaniawardhani* *Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
SARI Blok P Lepas Pantai Utara Madura merupakan lapangan Petronas Carigali Jakarta yang berada di Cekungan Laut Jawa Timur Utara. Lapangan ini mulai berproduksi pada tahun 2001, terdiri dari 14 sumur dan 6 (enam) sumur pada Blok P merupakan fokus penelitian. Sumur P-1 sampai P-4 sedang dalam pengembangan dan sumur P-5 sampai P-6 sudah dilakukan pengeboran. Produksi harian sumur-sumur pada Blok P adalah 2500-3100 BOPD. Produksi hidrokarbon yang terus menurun membutuhkan berbagai studi geologi untuk meningkatkan produksi hidrokarbon salah satunya adalah tentang studi petrofisik pada batugamping. Penelitian ini dimulai dengan analisis data sumur untuk menentukan zona produktif reservoar batugamping dan karakteristik batugamping berdasarkan data log sumur, DST, dan core. Berdasarkan data tersebut diperoleh nilai SPI (Secondary Porosity Index) sebagai nilai adanya porositas sekunder (touching vuggy) pada batugamping dan rock type sebagai karakteristik setiap fasies pada masing-masing sumur sehingga dapat dihitung permeabilitas batugamping tersebut. Metode penelitian menggunakan data log sumur sehingga diperoleh porositas, permeabilitas, saturasi air, SPI untuk menunjukkan kehadiran touching vuggy, dan interpretasi lingkungan pengendapan. Selain itu, digunakan pula data core untuk menentukan visible porosity khususnya touching vuggy, nilai m sebagai faktor turtoisi batugamping, dan crossplot porositas dan permeabilitas core sehingga reservoar dapat dibagi menjadi beberapa rock type. Perbedaan pada setiap rock type dipengaruhi oleh fasies dan proses diagenesis. Diagenesis yang terjadi pada sumur P-1 sampai P-6 didominasi oleh proses disolusi oleh air meteorik karena berada pada lingkungan vadose. Berada pada dua fase diagenesis yaitu keep up phase dan drowning phase pada Kala Oligosen. Nilai SPI, m dan rock type dapat menentukan kehadiran touching vuggy pada reservoar batugamping. Touching vuggy sangat penting kehadirannya pada batugamping agar mudah untuk mengalirkan hidrokarbon sehingga dilakukan analisis pada sumur P-2 sampai P-4 terhadap kemunculan nilai SPI, nilai m<2, dan rock type jenis 1 dan 2. Pada batugamping Formasi Ngimbang, merupakan reservoar dengan kualitas baik dibuktikan dengan adanya porositas sekunder berdasarkan core dan adanya touching vuggy berdasarkan perhitungan SPI dan m. Berdasarkan perhitungan tersebut, sumur yang mempunyai data tes juga memiliki nilai SPI. Sehingga nilai SPI tersebut dapat digunakan pada sumur lain yang tidak memiliki core. Namun, data touching vuggy harus di tampilkan secara horizontal untuk mengetahui penyebarannya dan dibutuhkan log modern seperti FMI dan NMR. Tetapi, nilai SPI dan m dari sumur P-2 sampai P-4 dapat digunakan sebagai 1
metode cepat untuk menentukan kehadiran touching vuggy dan nilai permeabilitas reservoar karbonat. Kata kunci : diagenesis, touching vuggy, reservoar batugamping, Formasi Ngimbang PENDAHULUAN Cekungan Jawa Timur mencakup daerah seluas kira-kira 50.000 km2 dimulai dari Jawa Tengah bagian timur, bagian utara Jawa Timur, Laut Jawa Timur, Madura, dan Selat Madura (Pertamina BPPKA, 1996). Cekungan Jawa Timur menempati posisi sebagai cekungan belakang-busur (backarc basin) sejak masa Paleogen. Bagian lepas pantai Cekungan Jawa Timur dicirikan oleh kehadiran serangkaian tinggian batuan dasar berarah timurlautbaratdaya yang terdefinisi dengan baik. Terban-terban di antara tinggian-tinggian ini memuat sedimen Tersier sampai setebal 6000 meter terdiri dari batugamping sebagai salah satu satu tempat terakumulasinya hidrokarbon. Batugamping merupakan batuan sedimen yang mempunyai komposisi CaCO3 dapat berupa batuan klastik maupun hasil endapan organisme yang telah punah. Batugamping pada daerah penelitian merupakan batuan penghasil hidrokarbon yang dapat bertindak pula sebagai reservoar. Porositas pada batugamping lebih kompleks dibandingkan dengan batupasir, karena klasifikasi dan proses diagenesis yang terjadi setelah pengendapan. Porositas pada batugamping dibagi menjadi dua yaitu porositas primer dan porositas sekunder. Porositas primer terbentuk pada saat pengendapan dan porositas sekunder terbentuk setelah terjadinya sedimentasi umumnya berhubungan dengan proses diagenesis. Menurut Lucia (1983), porositas sekunder pada batugamping dikenal sebagai vuggy. Vuggy dibagi menjadi dua yaitu separate vug sebagai vuggy yang tidak terhubung (non-connected) dan touching vug sebagai vuggy yang terhubung (connected). Separate vuggy dapat berupa moldic, shelter, dan intrafossil sedangkan touching vuggy dapat berupa cavern, fracture, breccia, dan fenestral. Berdasarkan analisis log, dapat dihasilkan porositas sekunder batuan karbonat menggunakan perhitungan Secondary Porosity Index (SPI) sebagai selisih antara porositas densitas-neutron dengan porositas sonik. Pada penelitian ini, studi difokuskan pada touching vug sebagai parameter permeabilitas yang baik pada reservoar. Porositas vuggy dipengaruhi oleh faktor sementasi (m=turtoisy) sebagai kemampuan suatu reservoar untuk mengalirkan fluida. Setiap fasies batugamping akan mempunyai nilai m yang berbeda. Fasies batugamping yang terdiri atas separate vug memiliki nilai m>2 dan touching vug memiliki nilai m<2. Oleh karena itu, untuk menentukan nilai m setiap fasies, setiap sumur dengan fasies yang berbeda dibagi menjadi beberapa rock type berdasarkan crossplot permeabiliats dan porositas core untuk menentukan nilai m yang dipengaruhi oleh kehadiran porositas sekunder. Suatu reservoar batugamping yang terdiri atas touching vug akan memiliki nilai permeabilitas yang baik. Sehingga rock type dengan nilai permeabilitas yang tinggi memiliki kualitas reservoar yang baik pula. Setiap rock type yang terdiri dari beberapa fasies akan memiliki touching vug yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh proses diagenesis yang berlangsung pada batugamping tersebut. Batugamping yang didominasi oleh disolusi akan meningkatkan porositas batuan karbonat baik berupa separate vug maupun touching vug termasuk pada Formasi Ngimbang. Pada formasi ini batugamping mengalami diagenesis pada lingkungan vadose sehingga disolusi akan dominan oleh air meteorik. 2
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif dan kuantitatif menggunakan data log, data batuan inti, dan data pendukung lainnya. Perangkat lunak yang digunakan selama pengolahan data adalah Geolog 6.7. Tahap-tahap penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Tahap persiapan: berupa studi pendahuluan meliputi regional daerah penelitian, pengenalan perangkat lunak, pengumpulan semua data yang dibutuhkan untuk analisis, dan semua literatur yang dibutuhkan selama penelitian. b. Tahap penelitian dan pengolahan data: pengolahan data log sumur (.LAS) untuk menentukan volume shale, porositas, saturasi air, permeabilitas, dan SPI. Selanjutnya menentukan fasies batugamping pada daerah penelitian untuk menentukan sejarah diagenesis dan porositas sekunder yang dibentuk selama proses diagenesis berlangsung. Serta membandingkan nilai porositas dari analisis log dengan data core. - Perhitungan petrofisika, menggunakan perangkat lunak Geolog 6.7 meliputi perhitungan di bawah ini : •
Observasi (prediksi, wash out) : sebelum dilakukan pengolahan data, dilakukan observasi terhadap data log yang tersedia yaitu log GR, log SP, log resistivitas, log densitas, log neutron, dan log sonik. Sehingga dapat diperoleh prediksi kehadiran hidrokarbon baik minyak maupun gas berupa cross-over dari log densitas dan neutron serta kehadiran washout akibat bedhole. Adanya washout dapat diprediksi dengan log caliper yang menyimpang dari nilai umumnya. Penyimpangan ini dapat disebabkan oleh bedhole akibat loose sirkulasi ataupun adanya gerowong pada reservoar batugamping. Toleransi terhadap log caliper adalah 1,5 inch artinya lebih dari angka toleransi tersebut sumur pengeboran disebut bedhole.
•
Prekalkulasi, dilakukan untuk melakukan pre-perhitungan petrofisika agar seluruh besaran log disamakan nilainya.
•
Koreksi lingkungan : GR, densitas, neutron, laterolog, MSFL. Semua log harus dikoreksi keadaan lingkungannya karena ada beberapa hal yang dapat menyebabkan pengukuran lo yang tidak sesuai dengan hasil yang sebenarnya. Log GR dikoreksi terhadap lingkungan karena dalam pengukurannya log ini harus berada di tengah lubang bor karena sifatnya memancarkan sinar Gamma. Log densitas yang terdiri dari pad saat melakukan pengukuran harus berada menempel pada dinding sumur karena log densitas berhubungan dengan elektron formasi. Begitu pula dengan log neutron, laterolog, dan log induksi.
•
Menghitung volume shale : untuk mengetahui volume shale yang terdapat di dalam formasi, dapat menggunakan log GR atau gabungan log densitasneutron.
•
Menghitung porositas : untuk memperoleh porositas total dan porositas efektif menggunakan log densitas-neutron dan atau log sonik.
•
Menghitung saturasi air : untuk mengetahui kejenuhan air yang terdapat dalam formasi. Dapat menggunakan metode Archie (untuk formasi bersih atau clean sand), Simandoux (modifikasi metode Indonesia untuk formasi shaly sand),
3
Indonesia (untuk formasi shaly sand), Dual Water (dengan menghitung CEC formasi), Waxman-Smith (dengan memperhatikan nilai Swirr formasi). •
Menentukan jenis litologi : untuk menentukan jenis litologi formasi dengan menentukan jenis mineral yang terdapat pada formasi tersebut menggunakan log GR.
-
Menghitung SPI (log D-N and log sonik) : nilai SPI dihitung dengan menghitung selisish nilai log densitas-neutron dan log sonik. Nilai SPI merupakan nilai porositas sekunder pada reservoar karbonat.
-
Crossplot porositas-permeabilitas core dan permeabilitas log (Coates): untuk menentukan permeabilitas dari log dan beberapa formula untuk menghitung permeabilitas log dengan membagi beberapa rock type.
-
Membandingkan SPI dan crossplot dengan data SCAL (m) : untuk kalibrasi adanya porositas sekunder dengan angka faktor turtoisy dari data SCAL. Touching vuggy memiliki nilai m<2 dan separate vuggy memiliki nilai m>2.
-
Kalibrasi log, crossplot, dan SPI dengan fasies core : untuk menentukan jenis fasies yang memiliki nilai SPI, touching vuggy dan nilai m<2.
-
Membandingkan tipe log, SPI, crossplot, dan fasies core dengan sumur lainnya yang tidak memiliki core : nilai SPI, m dan kehadiran touching vuggy akan memiliki tipe dan nilai log tertentu setelah dikalibrasi dengan core dapat digunakan untuk menentukan nilai SPI pada sumur lainnya yang tidak memiliki core (uncore well).
c. Studi lanjutan dan pembuatan laporan akhir: berupa tahapan terakhir penelitian, hasil pengolahan data akan dijelaskan dalam laporan akhir. GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Timur mencakup daerah seluas kira-kira 50.000 km2 dimulai dari Jawa Tengah bagian timur, bagian utara Jawa Timur, Laut Jawa Timur, Madura, dan Selat Madura (Pertamina BPPKA, 1996). Tinggian Karimunjawa memisahkan Cekungan Jawa Timur dari Cekungan Jawa Barat dan busur volkanik Jawa membatasi cekungan ini di sebelah selatan. Cekungan Jawa Timur membuka ke sebelah timur memasuki cekungan dalam yaitu Cekungan Lombok dan mendangkal ke arah utara menuju Tinggian Paternosfer yang memisahkannya dengan Cekungan Makassar. Cekungan Jawa Timur menempati posisi sebagai cekungan belakang-busur (backarc basin) sejak masa Paleogen. Pola struktur Cekungan Jawa Timur dapat dibedakan menjadi dua asal, yaitu sesar ekstensional berarah timurlaut-baratdaya dan sesar mendatar berarah timur-barat (Bransden dan Matthews, 1992; Manur dan Barraclough, 1994; Satyana dan Darwis, 2001). Pola tegasan (stress regime) yang berbeda mengontrol kedua asal struktur ini, yaitu fase rifting pada saat Paloegen dan fase inversi pada saat Neogen. Pola tegasan ekstensi aktif dari Eosen Tengah sampai dengan Miosen Awal. Tahap awal fase ekstensi ini ditandai dengan terjadinya rifting pada saat Eosen yang secara langsung diikuti oleh tahap kedua yaotu subsidence seluruh cekungan pada saat Oligosen. Terban4
terban hasil rifting ini pada awalnya diisi oleh sedimen klastik nonmarine yang cukup tebal termasuk sedimen danau (lacustrine). Sedimentasi ini kemudian berubah menjadi marin yang dicirikan oleh endapan serpih berumur Eosen Akhir sampai Oligosen Awal dengan disertai perkembangan karbonat di beberapa tempat (daerah tinggian). Daerah ini kemudian terangkat dan tererosi pada saar Oligosen Tengah (30Ma). Peristiwa ini diikuti oleh perioda tektonik yang relatif tenang dan berlanjut sepanjang Oligosen Akhir sampai memasuki Miosen Awal. Pada awal Miosen Tengah, pengangkatan Daratan Sunda terjadi sebagai akibat collision antara Lempeng Australia dengan zona penunjaman bagian timur atau berhubungan dengan berakhirnya rifting Laut Cina Selatan yang menyebabkan pengankatan Tinggian Kuching di Kalimantan Tengah (Hutchison, 1989; van de Weerd dan Armin, 1992). Bukti terjadinya pengangkatan regional ini adalah masuknya aliran sedimen pasir kuarsaan Formasi Ngrayong yang cukup tebal ke dalam Cekungan Jawa Timur. Struktur kompresi kemudian terbentuk selama periode-periode tektonik selanjutnya. Tektonik Neogen dicirikan oleh perubahan mendasar pada pola tegasan yang mengakibatkan terjadinya struktur inversi pada saat Miosen Tengah dengan aktifnya pergerakan translasi dan rotasi blok-blok sesar berasosiasi dengan terjadinya diapirisme serpih yang tersebar luas. Pembalikan cekungan dan diapirisme serpih asosiasinya merupakan struktur-struktur utama yang mengontrol daerah di sebelah selatan tepi paparan yang didominasi oleh pola tektonik berarah timur-barat Zona Rembang-Madura-Kangean (Zona RMK) atau Zona Sesar Sakala yang memperlihatkan pola penyesaran mendatar mengiri. Pergerakan sesar mendatar mengiri ini memanjang dari barat ke timur melintasi Jawa Timur, Madura, pantai timur Madura, dan Kangean. Periode tektonik terakhir dan paling kuat dimulai pada Miosen Akhir dan menerus secara terputus-putus sampai Plistosen. Periode tektonik ini dihasilkan oleh kombinasi antara penunjaman Lempeng Samudera Hindia di bawah Jawa, collision antara Lempeng Benua Australia dengan Timor, dan pergerakan beberapa fragmen bernua dari bagian utara Lempeng Autralia ke arah barat. Stratigrafi Cekungan Jawa Timur terdiri atas serangkaian daur atau sekuen pengendpan (Gulf Resources. 2000; Satya dan Darwis, 2001). Setiap daur dimulai dengan regresi dan diakhiri dengan transgresi. Suatu peristiwa tektonik memulai setiap daur dengan jalan peremajaan daerah sumber sedimen yang menghasilkan aliran sedimen klastik. Fase ini menghasilkan suatu keadaan regresi setelah cekungan secara cepat terisi dan menjadi dangkal. Periode erosi dan subsidence berikutnya atas daerah sumber sedimen secara isostratik kemudian mengakibatkan terjadinya transgresi. Di daerah tropis, sedimentasi ini terutama didominasi oleh pengendapan karbonat, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Daerah penelitian merupakan Blok P di Cekungan Jawa Timur Utara yang merupakan blok operasi dari Tim Eksplorasi P, Petronas Carigali. Hingga saat ini terdapat 14 sumur di lapangan ini. 6 (enam) data log sumur dari 14 sumur ini merupakan data utama dalam penelitian. Formasi Ngimbang dalam wilayah ini berperan sebagai reservoar untuk Blok P dan menjadi objek penelitian. Studi pada Formasi Ngimbang Blok P dilakukan dengan mengolah data petrofisik dari data log sumur dari kegiatan pemboran 6 sumur yang telah dilakukan sebelumnya. Ketersediaan data log ditunjukkan dalam tabel di bawah: 5
Tabel 4.1. Ketersediaan log sumur Blok P
No
Nama Sumur
GR
SP
CAL
LLD
LLS
ILD
MSFL
RHOB
DRHO
NPHI
DT
PEF
Tipe Log
1 2 3 4 5 6
P_1 P_2 P_3 P_4 P_5 P_6
√ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √
√ x √ √ x x
√ √ √ √ √ √
x x √ √ √ √
√ √ √ √ √ √
√ √ √ x x √
√ √ √ √ x x
Tabel 4.2. Data core, SCAL, petrography, FMI, dan DST sumur Blok P No
Nama Sumur
Well Report
Petrography Report
SCAL
Routine Core
FMI
DST
Well Type
1 2 3 4 5 6
P_1 P_2 P_3 P_4 P_5 P_6
√ √ √ √ x x
√ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √
x √ √ √ √ √
x x x x √ √
√ √ √ √ √ √
V V V V V V
Sumur P_1 sampai P_6 diendapkan pada platform yang sama yaitu isolated platform sebagai platform air dangkal dengan kemiringan landai, lebar sepuluh sampai ratusan kilometer, terletak pada lepas pantai paparan kontinental dangkal, yang dikelilingi oleh air dalam yang berkisar dari beberapa ratus sampai beberapa kilometer kedalamannya. Hal ini sesuai dengan keberadaan sumur yang terletak pada lepas pantai Madura Utara dan rekaman Google Earth cekungan Jawa Timur. Menurut zona marginal reef yang dibagi oleh James, N.P, fasies batuan karbonat pada sumur P_1 sampai P_6 adalah :
Gambar Zona reef sumur P_1 sampai P_4 (James N.P,1983).
6
I
I’
Gambar 4.4. Line seismik yang menunjukkan basement high sebagai lingkungan pengendapan isolated platform pada Blok P.
A
B
C
Gambar 4.5 Sayatan tipis core sumur P-2: A. large foraminifera wackestone to packstone, B. coral floatstone, C. echinoderm packstone. Berdasarkan klasifikasi Dunham dimodifikasi oleh Embry&Klovan (1971), litofasies batugamping pada sumur P-2 sampai P-4 terdiri dari batugamping yang didominasi oleh mud (mud-supported >10%). Menunjukkan batugamping yang diendapkan pada lingkungan berenergi rendah dan arus yang tenang (backreef). Berdasarkan analisis elektrofasies, sumur P_2 sampai P_4 bersifat membentuk pola regular beds with sharp tops and bases dengan
7
bentuk cylindrical. Batuan mengalami agradasi yang terdiri dari fasies yang heterogen dan terakumulasi pada shallow water (keep-up carbonate shelf). Berikut adalah hasil rata-rata perhitungan petrofisika setiap sumur : Volume shale (%) Porositas (%) Permeablitas (mD) Saturasi Air (%)
Sumur P-2 24 24 500 26
Sumur P-3 36 21 540 22
Sumur P-4 22 21 760 22
Data porositas dan permeabilitas core diperoleh dari routine core analyses (RCA) dan di plot dalam sebuah crossplot porositas-permeabilitas untuk menentukan rock type resevoar karbonat. Rock type dibagi berdasarkan penyebaran nilai porositas dan permeabilitas core yang memiliki persebaran data baik dengan regresi mendekati 1. Dengan adanya touching vug akan menghasilkan nilai permeabilitas yang baik pada reservoar. Setiap rock type akan terdiri dari beberapa fasies karbonat dengan porositas sekunder yang berbeda. Setiap fasies pada setiap rock type akan di kalibrasi dengan data core sehingga dapat ditentukan jenis porositas sekunder dan nilai m dari data RCA. Rock type 1-4 secara berurutan memiliki nilai permeabilitas dari yang terbesar sampai terkecil. Rock Type Sumur P-2 Tabel 4.3. Tabel porositas-permeabilitas core sumur P-2 berserta fasies dan jenis porositas sekunder berdasarkan klasifikasi Lucia (1983). Depth (ft)
K (md)
Por (%)
Fasies
6301,50
0,014
6,3
6314,33
0,002
4,9
6323,58
0,085
9,4
LF wackestone to packstone mollusc wackestone to packstone LF wackestone to packstone
6338,58
0,001
4,8
LF floatstone
6341,92
0,0007
4,1
6351,42
0,007
4,8
6358,33
0,0007
2,8
LF wackestone LF wackestone to packstone LF wackestone to packstone
6361,08
0,0002
2,5
6377,50
0,020
6378,83
Porositas Sekunder
Lucia's Classification
interparticle
SV
intraparticle
SV
moldic, vug, fracture
TV
intraparticle, moldic, fracture
TV
moldic
SV
coral floatstone
intraparticle
SV
7,2
rotaliids wackestone
intraparticle
SV
0,003
4,0
coral floatstone
SV
6385,83
0,006
5,5
coral floatstone
moldic, vug moldic, fracture, intraparticle, intercryst
TV
6336,92
0,016
5,9
coral floatstone
intraparticle
SV
6349,08
0,225
9,4
LF wackestone to packstone
6388,92
0,049
5,9
coral floatstone
intraparticle, vug, fracture moldic, vug, fracture, intraparticle
6326,00
0,052
5,9
echinoderm
moldic, fracture
TV TV TV
8
6317,42
0,275
8,7
6331,33
0,470
9,3
6329,75
0,376
4,1
6381,50
0,728
6352,17
wackestone to packstone echinoderm packstone LF wackestone to packstone
moldic, fracture
TV
fracture
TV
moldic, fracture
TV
6,1
coral floatstone mollusc wackestone to packstone
fracture
TV
0,798
6,4
LF floatstone
intraparticle, fracture
SV
6367,42
7,16
22,3
coral floatstone
moldic, fracture
TV
6368,17
6,88
24,7
coralgal floatstone
6344,25
0,003
6,2
intraparticle
SV
6305,50
0,010
7,3
6311,67
0,028
10,3
moldic, vug, intraparticle, fracture
TV
6320,50
0,134
16,5
echinoderm packtone echinoderm wackestone to packstone
intraparticle, intercryst, moldic
SV
6362,75
0,046
11,6
coral floatstone
intercryst, moldic
SV
6364,83
0,069
11,8
moldic, vug, intercryst
SV
6383,33
0,050
12,1
coral floatstone echinoderm wackestone to packstone
6390,25
0,029
10,2
coral floatstone
vug
SV
6308,33
0,003
7,0
coral floatstone
intraparticle
SV
Keterangan : Biru Ungu Merah Hijau TV SV
LF wackestone to packstone LF wackestone to packstone
: rock type 3 : rock type 1 : rock type 4 : rock type 2 : touching vug : separate vug
Gambar 4.26. Persebaran data porositas-permeabilitas core sumur P-2 dan rock type. 9
Berdasarkan crossplot di atas, diperoleh persamaan linear untuk menghitung permeabilitas. Sehingga selain menggunakan permeabilitas hasil perhitungan Coates pada program Geolog, dapat pula digunakan persamaan tersebut untuk menghitung nilai permeabilitas. Misalkan persamaan Y = 0,0356 X 1,6736 , Y adalah permeabilitas dan X adalah nilai porositas core. Data porositas dan permeabilitas core yang diinput sebagai titik (point) bewarna hitam sebagai permeabilitas core dan warna merah tua sebagai porositas core. Log rock type 1 (warna ungu) dan 2 (warna hijau) memiliki nilai yang hampir sama dengan nilai permeabilitas core dan nilai porositas efektif densitas-neutron memiliki nilai yang sama dengan porositas core. Sedangkan nilai permeabilitas dari perhitungan petrofisik (Coates) mendekati nilai permeabilitas dari rock type 1 (hijau) dengan nilai permeabilitas paling tinggi. Rock Type sumur uncore (sumur P-6) Berdasarkan penentuan rock type pada sumur P-2 sampai P-4, dapat diasumsikan bahwa sumur P-1, P-5, dan P-6 memiliki nilai SPI, m, dan rock type yang sama. Dengan demikian, ketiga sumur uncore tersebut memiliki nilai permeabilitas yang baik pada rock type 1 dan 2 dengan kehadiran touching vuggy dan nilai m kecil dari 2. Sumur P-6 tidak memiliki data core tetapi memiliki data FMI (Formation Micro Imager) merupakan advance log yang dapat menunjukkan kehadiran touching vuggy pada batugamping berupa sinusoidal. Formula untuk menghitung permeabilitas pada sumur uncore diperoleh berdasarkan posisi sumur yang berdekatan, sumur P-1, P-5 dan P-6 dapat menggunakan formula permeabilitas sumur P-4. Nilai SPI dan m kecil dari 2 umumnya muncul pada zona A, C, dan E pada batugamping sumur P-2 sampai P-4 begitu pula pada sumur P-1, P-5, dan P-6. Hal tersebut terlihat pada gambar 4.36 yang menunjukkan munculnya SPI pada zona A,C, dan E pada sumur P-6 dan kalibrasi dengan log FMI. Diagenesis batugamping pada Blok P Berdasarkan keterangan di atas, diagenesis yang berlangsung pada batugamping di setiap sumur yang terdapat pada Blok P hampir sama, karena berdasarkan data sekunder berupa seismik, secara stratigrafi batugamping pada Blok P diendapkan pada waktu yang sama yaitu pada Kala Oligosen. Batugampig pada Blok P berada pada zona vadose karena menunjukkan dominasi disolusi oleh air meteorik.
Gambar 4.36. Lingkungan diagenesis vadose pada Blok P (Huan Chui, 2011).
10
Terdiri dari dua fase diagenesis, dimulai dengan agradasi (keep up phase) yang dibuktikan dengan adanya exposure ke permukaan beberapa kali dan mengalami disolusi oleh air meteorik. Hal ini berlangsung selama Oligosen Awal-Oligosen Tengah. Dilanjutkan dengan transgresi (drowning phase) pada Oligosen Akhir. Pada fase ini batugamping akan mengalami kompaksi dan burial karena air laut yang terus naik sedangkan batugamping tidak dapat mengikuti naiknya air laut tersebut.
Gambar 4.37. Diagenesis Blok P pada Kala Oligosen
K
K
Ngimbang
Oligosen Atas Oligosen Bawah
Gambar 4.38. Kronostratigrafi sedimen karbonat pada Formasi Ngimbang.
11
Keep
Gambar 4.39. Fase pertama (keep up phase) diagenesis batugamping pada Blok P.
Gambar 4.40. Contoh sayatan yang mengalami fase drowning pada kedalaman A: 6283,17 kaki dan B: 6285,29 kaki.
Gambar 4.41. Fase kedua (drowning phase) diagenesis batugamping pada Blok P (modifikasi Paterson, et al., 2008).
12
Berdasarkan sayatan di atas, pada fase drowning sedimen karbonat pada Blok P tidak mengalami keep-up dengan muka air laut. Sehingga pada lingkungan isolated platform, bagian pinggir reef akan didominasi oleh sementasi dan menghasilkan porositas yang rendah, dan pada bagian lagoon didominasi oleh proses disolusi dan menghasilkan porositas yang tinggi. Ilustrasi fase drowning ditunjukkan oleh gambar 4.41.
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian reservoar karbonat pada Formasi Ngimbang sumur P-2 sampai P-4, dapat disimpulkan bahwa : 1. Litofasies pada Formasi Ngimbang dibagi menjadi 11 fasies berdasarkan tekstur dan jenis butir, yaitu skeletal packstone, coral floatstone, LF wackestone to packstone, echinoderm wackestone to packstone, echinoderm packstone, echinoderm wackestone, LF wackestone, LF packstone, rudstone, milliolids wackestone to packstone, coralgal floatstone. 2. Berdasarkan analisis elektrofasies, sumur P_2 sampai P_4 bersifat membentuk pola regular beds with sharp tops and bases dengan bentuk cylindrical. Batuan mengalami agradasi yang terdiri dari fasies yang heterogen dan terakumulasi pada shallow water (keep-up carbonate shelf). 3. Dalam menentukan zona reservoar produktif pada sumur P-1 sampai P-4 dibutuhkan perhitungan petrofisik serta dikalibrasi dengan data core dan DST. Pada keempat sumur, semua perhitungan menunjukkan hasil yang sama dengan data kalibrasi. Zona reservoar terdapat pada zona A,C,D, dan E. Reservoar karbonat pada Formasi Ngimbang berada pada daerah tinggian (high) dengan lingkungan pengendapan isolated platform. 4. Pada zona reservoar produktif sumur P-2 sampai P-4 menunjukkan adanya touching vug sebagai porositas sekunder. Touching vug menunjukkan permeabilitas yang baik untuk reservoar. Diperoleh berdasarkan perhitungan SPI yang dikalibrasi dengan SCAL (m) dan data core. Touching vug memiliki nilai m<2 sesuai dengan data SCAL. Terdiri dari fracture yang disebabkan oleh proses karstifikasi. Tipe log pada sumur P-2 sampai P-4 dapat digunakan untuk uncore well sebagai parameter menentukan reservoar produktif dengan mempertimbangkan nilai SPI dan m. 5. Adanya touching vuggy pada reservoar karbonat dipengaruhi oleh diagenesis dan tektonik. Pada sumur P-2 sampai P-4 didominasi oleh proses disolusi sehingga meningkatkan porositas. Terdapat dua fase diagenesis yang terjadi yaitu keep up phase dan drowning phase. Periode tektonik pada Cekungan Jawa Timur juga dapat mengakibatkan adanya touching vuggy seperti pengangkatan dan tektonik lainnya.
13
ACUAN
AHR., Wayne M. 2008. Geology of Carbonate Resevoirs : The Identification, Description, and Characterization of Hydrocarbon Reservoirs in Carbonate Rocks. A&M University. Texas : Wiley. Archie., G. E. 1952. Classfication of Carbonate Reservoir Rocks and Petrophysical Considerations. Texas : Bulletin of AAPG vol. 36 No 2 PP 278-298, 5 FIG. Asquith, George. B. 1985. Handbook of Log Evaluation Techniques For Carbonate Reservoirs. Tulsa, Oklahoma : AAPG. Asquith, G.B., with C.R. Gibson. 1982. Basic Well Log Anlysis for Geologist : AAPG Methods in Exploration No. 3, 216 p. Bateman, R.M., 1985, Open-hole Log Analysis & Formation Evaluation, International Human Resources Development Corporation, Boston. Bathurst, Robin. G.C. Carbonate Sediments and their Diagenesis. Elsevier: University of Liverpool. Darling, T, 2005, Well Logging and Formation Evaluation, Gulf Freeway, Texas. Dewan, J.T. 1983. Essentials of Modern Open-hole Log Interpretation: Tulsa, Oklahoma, Penn Well Publishing Company, 361 p. Dewar, Jan dan Pickford, Scott. 2001. Rock Physic for The Rest of Us-an Informal Discussion. Calgary : CSEG. Doveton, John. H. 2009. Reservoir Petrophysical Log Analysis Course and Workshop. Bali: PT. Geoservices (Ltd.). Dunham, Robert J. Classification of Carbonate Rocks According to Depositional Textures. Ellis, D. V. & Singer, J. M., 2008, Well Logging for Earth Scientist 2nd Edition, Springer, Netherlands. E.R Crain. P. Eng. Petrophysical Handbook. www.spec2000.net. Flugel, Erik. 2004. Microfacies of Carbonate Rocks Analysis, Interpretation, and Application. Springer. Harsono, A, 1997, Evaluasi Formasi dan Aplikasi Log, Schlumberger Oilfield Services, Jakarta. Kendall, Chris. 2005. An Overview of Carbonates. University of South Carolina: SEPM. Kendall, Chris. 2005. Carbonate Depositional Systems. University of South Carolina: SEPM. Koesomadinata, R.P. 1980. Geologi Minyak dan Gas Bumi. Bandung: ITB.
14
Klovan, J Edward dan Embry, Ashton F. 1971. A Late Devonian Reef Tract on Northeastern Bank Island N.W.T. Bulletin of Canadian Petroleum geology Vol. 19 No. 4 P 730-781. Lucia, F. Jerry. 2007. Carbonate Reservoir Characterization An Integrated Approach 2nd Edition. Texas : Springer. Moore, Clyde. M. 2001. Carbonate Reservoirs Porosity Evolution and Diagenesis in a Sequence Stratigraphic Framework. Oxford : Elsevier. Moore., C. H. 1997. Carbonate Diagenesis and Porosity. Netherlands : Elsevier. Rider, M, 1996, The Geological Interpretation of Well Logs 2nd Edition, Interprint Ltd, Malta. Schlumberger, 1989, Log Interpretation Principles/Aplication, Schlumberger Educational Services, Texas. Sekti, Rizky. P. Dan Gantyno, Allaudin. A. 2012. Sedimentology and Stratigraphy of Carbonate. Bandung : UNPAD. Serra, O. 1980. Sedimentary Environments From Wireline Logs. Schlumberger. SEPM Stratigraphy Web. 2013. Society for Sedimentary Geology. ---. Basic Types of Carbonate Platform. 1995. SEPM. Steinen, Randolph P dan Matthews, R.K. 1973. Phreatic vs Vadose Diagenesis : Stratigraphy and Mineralogy of A Cored Borehole on Barbados. Journal of Sedimentary Petrology Vol 43 No 4 P 1012-1020. Stratigraphic Relation of Carbonate Sedimentation. OCGS.
Reservoirs.
1978.
Principles
of
Carbonate
Tucker, E. Maurice. 1990. Carbonate Flatforms Facies, Sequences and Evolution. International Association of Sedimentologist. Melbourne. Zarza, A.M Alonso dan Tanner, L.H. 2010. Carbonates in Continental Settings: geochemistry, Diagenesis and Applications. New York : Elsevier.
15