ONTOLOGI WAKTU BERDASARKAN DIALEKTIKA NEGATIF Muhammad Iswahyudhi Program Studi Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya ABSTRAK Nama : Muhammad Iswahyudhi Program Studi : Ilmu Filsafat Judul : Ontologi Waktu Berdasarkan Dialektika Negatif Permasalahan waktu berkembang seiring dengan berkembangnya pengetahuan manusia tentang alam. Hal ini mengakibatkan munculnya berbagai macam konsep waktu dalam kebudayaan. Dengan mereduksi dan mengabstraksikan perbedaan konsep waktu ke dalam bentuk ontologi, maka perbedaan konsep waktu yang ada dalam kebudayaan dapat disatukan. Pencarian ontologi waktu dengan metode dialektika negatif menghadirkan kontradiksi antara alam dan kebudayaan. Secara historis, kontradiksi ini berdasarkan pada alur perkembangan kebudayaan. Hakikat waktu adalah gerak. Namun alur historis kebudayaan manusia lambat laun menjadikan gerak memiliki makna sebagai waktu. Kata Kunci
: ontology, waktu, dialektika negative, gerak, kesadaran, bahasa, paradigm, kebudayaan, alam, kategori waktu, kuantifikasi waktu ABSTRACT
Name Study Title
: Muhammad Iswahyudhi : Philosophy : The Ontology of Time based on Negative Dialectics
The problem of time develops alongside man’s increasing knowledge about nature. This, in turn, causes the emergence of numerous concepts of time in culture. Through reducing and abstracting various concepts of time into an ontological form, different concepts of time that exist in culture can be unified. The search for ontology of time through negative dialectics presents contradiction between nature and culture. Historically, this contradiction is based on the flow of cultural development. The essence of time is motion. Owing to the historical flow of culture, however, motion develops its meaning as time. Keywords
: ontology, time, negative dialectics, motion, consciousness, language, paradigm, culture, nature, time category, time quantification
Ontologi waktu…, Muhammad Iswahyudhi, FIB UI, 2013
1. Pendahuluan Mengikuti pernyataan Reiser yang didasarkan pada tulisan Bergson Duree et Simultaneite, “… we must distinguish between time as experienced and time as measured” (Reiser, 2002: 240), maka konsep waktu memiliki dua pengertian yang berbeda: waktu sebagai sesuatu yang dapat diukur dan waktu yang dialami manusia. Waktu yang dijadikan alat ukur merupakan sebuah abstraksi persepsi manusia terhadap dunia. Abstraksi ini digambarkan secara matematis melibatkan ruang beserta variabel-variabel yang berada di dalamnya dengan satuan-satuan yang dimiliki oleh variabel-variabel tersebut. Sedangkan waktu sebagai bentuk pengalaman merupakan sebuah kondisi— kondisi manusia yang melibatkan sensasi, perasaan, kemauan dan ide terhadap objek realitas. Waktu sebagai alat ukur adalah objek otonom—tidak terikat pada manusia. waktu adalah sesuatu yang berdiri sendiri, sedangkan manusia adalah sesuatu yang terikat dengan waktu. Sedangkan waktu sebagai bentuk pengalaman adalah objek yang selalu terikat dengan manusia. Waktu tidak akan ada tanpa keberadaan manusia. Pada kondisi ini waktu bersifat subjektif, keberadaan manusialah yang diikuti oleh keberadaan waktu. konsep waktu dipisahkan demikian, membuat makna waktu pun menjadi ambigu. Konsep waktu sebagai sesuatu yang otonom, bersifat objektif, dan sesuatu yang absolut mengalami perubahan pada saat waktu menjadi relatif. Namun, yang hendak ditunjukkan dari waktu sebagai alat ukur adalah fungsi dari waktu. Intelegensi yang menghasilkan waktu sebagai alat ukur. Dengan kata lain, waktu sebagai alat ukur merupakan perpanjangan dari pengalaman manusia akan waktu. Waktu sebagai pengalaman menunjukkan adanya proses penghadiran konsep waktu dalam diri manusia. Jika demikian, maka kita langsung dapat mereduksi keberadaan konsep waktu sebagai alat ukur kepada waktu sebagai bentuk pengalaman manusia. Waktu telah menjadi bagian dari diri manusia, bahkan dalam skala yang lebih besar menjadi bagian dari peradaban. Raiser dalam tulisannya, “The Problem of Time in Science and Philosophy,” memiliki asumsi, “if it be true that many of the problem of science and philosophy center around the question of the relation of time, change and motion to that which is held to be the permanent, immutable and invariant reality (or realities) of nature, it is evident that the prelude to any adequate concept of nature is clear comprehension of the ramification of problems of time” (Bergson, 1922: 237) Maka, mempertanyakan kembali nyata atau tidaknya waktu serta mendefinisikan ulang makna waktu adalah yang menarik untuk ditulis kembali.
Ontologi waktu…, Muhammad Iswahyudhi, FIB UI, 2013
Dengan tujuan untuk mendefinisikan ontologi waktu melalui dialektika negatif, maka permasalahan dibatasi pada keterkaitan waktu dengan gerak dan kesadaran, yang kemudian terkonsepkan melalui bahasa dan paradigma. Sehingga pertanyaan yang hadir adalah: Apakah gerak, kesadaran, bahasa dan paradigma itu? Bagaimana gerak, kesadaran, bahasa, dan paradigma terhubung dengan waktu? Terkait dengan metode yang digunakan, apa dan bagaimanakah metode dialektika negatif itu? Bagaimanakah metode dialektika negatif menjawab pertanyaan, apa itu waktu? Waktu adalah objek yang berada di luar dan di dalam diri manusia. Dalam diri manusia waktu adalah sebuah konsep dan makna akan objek di luar diri manusia. Objek di luar diri manusia selalu berubah karena adanya gerak. Gerak yang terjadi pada objek di luar diri manusia inilah yang dikonsepkan dan dimaknai dalam diri manusia sebagai waktu. Dengan demikian, pernyataan tesis adalah: “Hakikat dari waktu adalah perubahan di luar diri manusia yang berwujud gerak.” Pernyataan ini dibuat berdasarkan pertanyaan yang dihadirkan dalam tulisan ini terkait dengan beberapa teori yang digunakan. Di dalam buku Creative Evolution karangan Henri Bergson, pada bagian “The Divergent Direction of the Evolution of Life”, diceritakan bagaimana hewan dan tumbuhan berevolusi sehingga terbentuk torpor, insting, dan intelegensi. Ketika intelegensi terbentuk pada manusia, waktu pun mulai dibahasakan. Waktu akan sulit didefinisikan secara general. Problem ini terbentuk karena sudut pandang subjek dalam memahami waktu. Oleh karena itu, untuk dapat mengerti apa itu waktu, maka waktu harus dibedakan menjadi waktu sebagai pengalaman dan waktu sebagai sesuatu yang dapat diukur. Perbedaan ini bertujuan untuk memisahkan objek eksternal dan internal pada manusia. Objek eksternal seperti matahari, bulan, angin, atau jam. Sedangkan objek internal merupakan hal-hal yang dipahami secara subjektif oleh manusia, seperti perasaan yang muncul atau makna dari sebuah kata. Realitas waktu adalah perubahan—perubahan yang terjadi karena adanya gerak. Perubahan dan gerak telah dibicarakan dari zaman Yunani klasik. Seperti filsafat Heraklitos yang melihat keseluruhan realitas sebagai perubahan. Sedangkan konsep gerak sendiri dibahas oleh Aristoteles dengan menciptakan kategori-kategori gerak berdasarkan hasil perubahan dan bagaimana gerak itu terjadi. Waktu yang menjadi alat ukur dapat dibahas melalui satuan-satuan yang terdapat dalam ilmu fisika. Dengan demikian, maka kita dapat memahami bahwa waktu terkait dengan benda fisik. Keterkaitan waktu dengan benda fisik ini masuk kepada manusia melalui kesadaran.
Ontologi waktu…, Muhammad Iswahyudhi, FIB UI, 2013
Dalam Creative Evolution Bergson pun membahas konsep kesadaran. Pembahasan kesadarannya dilakukan dengan melakukan perbandingan antara tumbuhan, hewan, dan manusia. Lebih jelas lagi, pembahasan kesadaran pada skripsi ini akan dilandaskan kepada penjelasan Susan Blackmore, yang melihat bahwa kesadaran itu sebagai bentuk usaha pemahaman manusia. Oleh karena itu, waktu memasuki diri manusia melalui kesadaran. Bentuk
pemahaman
manusia
melalui
kesadaran
pada
gilirannya
akan
bersinggungan dengan bahasa. Dalam hal ini, konsep bahasa Ferdinand de Saussure— parole, dan langue—dapat menjelaskan bagaimana konsep waktu itu bekerja dalam bahasa dan menjadi satu dengan kesadaran manusia. Konsep waktu dalam parole sudah cukup untuk menunjukkan bahwa konsep waktu pada dasarnya sudah ada dalam diri manusia. Namun, konsep waktu dapat dipahami secara universal melalui keberadaan langue yang menghomogenkan konsep-konsep waktu pada manusia. Bahasa bekerja secara paradigmatik, khususnya ketika konsep waktu itu hadir dan berkembang dalam masyarakat. Dengan melihat konsep waktu yang berkembang pada saat ini berdasarkan ilustrasi fisika, maka kita dapat melihat bagaimana konsep paradigma itu berkembang melalui konsep paradigma di dalam The Structure of Scientific Revolutions, karangan Thomas Kuhn. Alur inilah yang akan digunakan untuk menganalisis ontologi dengan menggunakan metode dialektika negatif Adorno. Alasan penggunaan metode dialektika negatif dengan menganalisis ontologi terletak kepada anggapan Oliver Reiser terkait dengan permasalahan waktu yang hadir di dalam sains dan filsafat. Anggapan Reiser ini berangkat dari kecenderungan para pemikir dalam menyimpulkan permasalahan universe. Kecenderungan dalam menyimpulkan ini merupakan indikasi perkembangan filsafat dan hal inilah yang menghadirkan permasalahan waktu dalam wilayah filsafat dan sains. 2. Identifikasi Konsep Waktu Waktu adalah sebuah objek—sebuah objek yang hendak dimengerti dengan bahasa yang ada. Konsep waktu itu telah ada sebelum term waktu sendiri ada. Waktu dapat dikenali dan dipahami dari dulu hingga sekarang karena adanya suatu objek di luar manusia. Objek eksternal yang dipahami sebagai waktu ini adalah perubahan dan hakikat dari perubahan adalah adanya gerak. a. Hubungan Gerak dan Waktu Waktu adalah respons manusia atas keberadaan gerak. Gerak menyebabkan perubahan di alam. Ketika gerak bersentuhan dengan manusia, maka gerak menjadi
Ontologi waktu…, Muhammad Iswahyudhi, FIB UI, 2013
objek respons intelegensi manusia. Ketika sense manusia menangkap gerak, muncullah kesadaran akan ruang yang sedang ditempati oleh manusia. Aristoteles menjelaskan konsep gerak tersebut dengan term ‘kinesis’. Kinesis yang dapat diartikan sebagai gerak, dalam konsep Aristoteles, tidak semata-mata merujuk kepada arti perubahan posisi. Kinesis dalam konsep Aristoteles berarti gerak secara universal, bukan gerak yang dipahami sebagai salah satu kategori semata. Gerak dan perubahan pada fisika menunjukkan bagaimana waktu dapat menjadi sesuatu yang diukur dan menjadi waktu fisik. Oleh karena itu, perlu untuk menunjukkan alasan kenapa mesti dipisahkan antara waktu sebagai pengalaman dan waktu sebagai alat ukur. Dalam pengertian fisika, gerak merupakan perubahan posisi. Perubahan posisi ini terjadi karena perpindahan objek berdasarkan titik acuan tertentu. Selain itu, gerak juga merupakan perpindahan objek berdasarkan hitungan waktu. Fisika melihat bahwa objek-objek fisik memiliki kuantitas waktu di dalam dirinya. Namun, mesti diingat bahwa kuantitas waktu suatu objek bukanlah properti yang melekat langsung pada objek. Kuantitas waktu tersebut merupakan relasi objek dengan kerangka pandang tertentu di mana objek tersebut diukur. Waktu yang menjadi satuan ukur itu bukanlah murni pengalaman—waktu tidak datang langsung ke indra, tetapi merupakan kondisi apriori. Di sini kita mesti melihat bahwa jam tidak sama dengan waktu. Jam bukan waktu, jam adalah alat sebagai bentuk perkembangan teknologi yang bertujuan menguantifikasikan keapriorian waktu. b. Hubungan Gerak dan Waktu Ada dua kemungkinan relasi yang dimiliki antara gerak dan waktu. Pertama, gerak hanya sebatas alat untuk menjelaskan waktu. Kedua, sebaliknya, waktu yang menjadi alat untuk menjelaskan kompleksitas gerak di alam. Dengan kata lain, salah satu di antara keduanya—entah gerak atau waktu—hanyalah atribut bagi yang lainnya. Asumsi pertama melihat gerak sebagai atribut dari waktu. Herbert Spencer menyatakan bahwa “hanya fenomena dan gejala-gejalanya saja yang dapat ditangkap oleh manusia” (Reiser, 2002: 243). Diikuti dengan adanya kemungkinan waktu sebagai prasangka yang mendahului semua fenomena dan pengalaman. Semua fenomena dan pengalaman ini memiliki variabel yang apabila dikumpulkan merujuk kepada konsep waktu. fenomena dan gejala-gejala yang dimaksud adalah sesuatu yang dapat diterima manusia berdasarkan pengalamannya melalui indranya. Dengan kata lain, waktu yang mendahului fenomena dan pengalaman dapat dipahami manusia
Ontologi waktu…, Muhammad Iswahyudhi, FIB UI, 2013
melalui indra. Artinya ada sesuatu yang dapat ditangkap indra manusia guna memahami waktu, dan sesuatu itu adalah materi yang bergerak. Pada asumsi kedua, waktu merupakan konsep tambahan untuk menjelaskan kompleksitas gerak di alam, misalnya gerak bumi mengelilingi matahari. Hal ini dapat kita lihat melalui instrumen yang diciptakan manusia untuk menunjukkan waktu, seperti kalender dan jam. Terkait dengan kedua asumsi di atas, maka kita harus melihat relasi gerak dan waktu dalam kaitannya dengan subjek yang mengalami pengalaman gerak dan waktu tersebut. Dalam hal ini, kesadaran merupakan kunci manusia dalam memahami perubahan dan gerak sebagai waktu. c. Pemaknaan Gerak Melalui Kesadaran Gerak yang menjadi indikator waktu tidak serta-merta diterima indra manusia dan dipahami sebagai waktu. Sebuah mekanisme bekerja mengubah fakta gerak menjadi waktu. Mekanisme ini dapat kita sebut sebagai kesadaran. Kesadaran dapat dipahami sebagai kondisi mental yang menunjukkan kondisi sadarnya manusia. Kesadaran adalah hal yang subjektif. Artinya, kesadaran hanya merujuk pada kondisi internal seorang individu saja atau orang pertama. Kesadaran adalah kondisi ketertujuan individu terhadap suatu objek. Penafsiran terhadap realitas atau objek yang didasarkan pada kesadaran tersebut muncul melalui pengalaman sehari-hari individu. Kondisi mental ini ditunjukkan melalui beberapa kondisi lain yang saling berhubungan. Kesadaran diikuti oleh kondisi ketertarikan terhadap sesuatu atau pengalaman terhadap sesuatu dan mengetahui apa yang sedang terjadi terhadap objek ketertarikan atau pengalaman tersebut pada saat itu. Kesadaran juga melibatkan kemampuan kita dalam menilai atau mengetahui suatu kualitas. Dalam hal ini, kemampuan dalam mengalami kualitas yang dirasakan indra, pengalaman, pengetahuan, dan ketertarikan kita terhadap suatu objek tidak serta-merta menunjukkan bahwa kita memiliki kesadaran. Semua itu harus dapat diakses agar menjadi sebuah kesadaran, dan bukan hanya sekadar kondisi sadar (Endelmen, 2006: 13-22). Kesadaran bersumber dari kemampuan adaptif individu terhadap dunia eksternal. Kesadaran inilah yang memberi individu kemampuan untuk menciptakan makna atas pengalamannya. Dengan demikian gerak yang mendapat intensi dari manusia membangun kesadaran dari manusia. Ketika kesadaran hadir, manusia menginterpretasikan gerak dan memprediksi gerak tersebut. Hasilnya adalah konsep waktu. Waktu hadir sebagai bentuk interpretasi dan prediksi manusia terhadap gerak
Ontologi waktu…, Muhammad Iswahyudhi, FIB UI, 2013
diwujudkan ke dalam kata. Perihal kata ini sendiri telah disampaikan Bergson, “The word,
made to pass from one thing to another, is, in fact, by nature transferable and free. It can therefore be extended, not only from one perceived thing to another, but even from a perceived thing to a recollection of that thing, from the precise recollection to a more fleeting image, and finally from an image fleeting, though still pictured, to the picturing of the act by which the image is pictured, that is to say, to the idea” (Bergson, 1922: 69). Dengan demikian kita dapat memahami kehadiran gerak dalam kesadaran manusia dimaknai dan diberikan nama sebagai waktu, dan dari sini pulalah konsep dan ide dari waktu itu tumbuh. Sehingga dapat dikatakan bahwa kesadaran terhadap gerak di alam
berimplikasi terhadap terbentuknya konsep waktu. d. Proyeksi Waktu dalam Kesadaran Intelegensi manusia kemampuan untuk menciptakan objek buatan, seperti kapak, palu, ataupun pakaian. Intelegensi adalah pengetahuan tentang bentuk; dapat juga dipahami sebagai pengetahuan mengenai relasi. Intelegensi merupakan representasi dari diskontinuitas gerak dan ruang. Intelegensi membentuk kategori, menganalisis, menyusun informasi sebuah objek secara teratur dan menjadikannya sebagai instrumen tindakan. (Dolson, 1910: 595). Kita bisa melihat bahwa kesadaran dalam pemahaman Bergson didasarkan pada aktivitas gerak organ pada makhluk hidup. Bergson beranggapan bahwa kesadaran itu bermain di wilayah aktivitas yang riil dan aktivitas potensial. Bergson membedakan tidak adanya kesadaran dan kesadaran itu menjadi kosong. Mengenai pengetahuan, Bergson beranggapan bahwa pengetahuan itu sudah dimiliki oleh manusia sejak lahir. Namun mesti diingat, bahwa pengetahuan yang dimiliki sejak lahir adalah pengetahuan dari insting atau pengetahuan soal materi, sedangkan intelegensi tidak dimiliki sejak lahir. Pengetahuan dari inteligensi ada berdasarkan pengalaman. Hadirnya intelegensi pada manusia membuat waktu terbahasakan dan terkonsepkan. Hal ini menyebabkan perubahan dan gerak yang terjadi di sekitar indra kita, membangun kesadaran manusia bahwa waktu itu ada. Gerak sebagai proses perpindahan runutan menunjukkan adanya sebuah fase. Tangkapan indra kita terhadap perubahan tidak terlepas dari keterikatan pikiran terhadap ide akan adanya sebuah runutan. Perubahan runutan inilah yang menjadi indikator adanya waktu dalam kesadaran akan waktu yang dimiliki manusia. Waktu lantas muncul sebagai sebuah
Ontologi waktu…, Muhammad Iswahyudhi, FIB UI, 2013
konsep dan kata. Kata menciptakan kesan bahwa waktu adalah sebuah materi, di mana konsep dan makna dari bahasa itu merujuk. Gerak yang terjadi di sekitar manusia terjadi dan dialami, namun manusia memberikan perhatian khusus terhadap gerak tersebut. Perhatian khusus yang diberikan terhadap gerak membuat gerak tersebut dimaknai dan dikonsepkan sebagai waktu. Gerak
tidak hanya diterima manusia oleh tubuh manusia sebagai fakta alam namun juga ditangkap oleh manusia. Hasilnya gerak tidak direspons dengan aktivitas fisik semata namun juga diciptakan pula konsep waktu. Kesadaran membentuk konsep waktu dan mentransformasikan gerak dan perubahan menjadi unit terkecil dari bahasa yaitu kata waktu. e. Bahasa: Materialisasi Konsep Waktu Dalam proses pembentukan bahasa ini kesadaran memainkan peranan penting. Dengan kata lain, bahasa adalah transformasi kesadaran. Bahasa menunjukkan esensi kesadaran yang meliputi pemahaman dan pengenalan diri, theory of mind, serta kemampuan untuk memikirkan dan mengenal masa lalu juga masa depan. Dengan adanya kesadaran maka bahasa merupakan salah satu bentuk kemampuan khusus yang hanya dimiliki manusia (Blackmore, 2005: 122-123). Pengombinasian suara dan tanda serta relasi-relasi yang terbentuk dalam kesadaran dalam menciptakan pengombinasian suara dan tanda merupakan bentuk pengetahuan yang hanya dihasilkan manusia. Dengan demikian pembahasan bahasa berarti merujuk kepada komunikasi yang digunakan oleh manusia semata. Melihat konsepsi bahasa Ferdinand de Saussure mengenai bahasa yang dijelaskan melalui pembedaan antara langue, parole¸ dan langage, maka kata waktu sebagai penanda memiliki kesatuan makna dengan konsep waktu dalam kondisi mental kita. Rujukan dari konsep waktu ini adalah fakta-fakta alam yang ditangkap oleh indra kita sebagai pengalaman yang tersimpan dalam memori kita. Awalnya fakta-fakta alam seperti berubahnya siang menjadi malam, ataupun berubahnya posisi sesuatu, ditangkap sebagai pengalaman dan tersimpan dalam memori manusia. Namun, pemahaman manusia terhadap perubahan ini masih berupa parole. Untuk menjembatani heterogenitas, parole yang berada pada diri langage dikeluarkan. Hilangnya parole digantikan dengan waktu sebagai tanda yang merujuk kepada fakta-fakta alam yang berubah yang dipahami oleh manusia secara universal menjadi langue. Dalam bentuk langue inilah konsep waktu berkembang dan pemaknaannya terus bertambah. Lebih lanjut lagi pemaknaan waktu ini bekerja di bawah pengaruh paradigma. f.
Perubahan Makna Waktu Melalui Paradigma
Ontologi waktu…, Muhammad Iswahyudhi, FIB UI, 2013
Paradigma dapat dipahami sebagai kepercayaan yang melingkupi nilai dan praktik yang dimiliki oleh masyarakat. Paradigma menjadi sistem kepercayaan, namun sistem kepercayaan di sini menempati ruang lingkup ilmu pengetahuan. Sejarah yang terus berkembang, membuat paradigma waktu pun berubah. Dengan
adanya fase paradigma maka konsep waktu dapat ditarik kepada
bentuk primordialnya—diawali dengan evolusi dan terbentuknya intelegensi manusia. Seperti yang dinyatakan Bergson, “to define our species, we kept strictly to what the historic and the prehistoric periods show us to be the constant characteristic of man and of intelligence, we should say not Homo sapiens, but Homo faber. In short, intelligence, considered in what seems to be its original feature, is the faculty of manufacturing artificial objects, especially tools to make tools, and of indefinitely varying the manufacture” (Bergson, 1922: 62-63). Maka intelegensi yang muncul berkonsekuensi pada kemampuan manusia untuk menciptakan. Intelegensi sebagai sebuah kemampuan adalah bentuk pengetahuan relasi— relasi dari konsep-konsep. Pengetahuan ini menghasilkan penemuan-penemuan dalam kehidupan manusia. Pengaruh lain dari adanya intelegensi adalah penciptaan bahasa sebagai alat komunikasi manusia dalam komunitas. Dengan munculnya intelegensi sebagai bentuk pengetahuan, maka kata dalam bahasa pun muncul. Pada awalnya kondisi berubahnya matahari menjadi bulan disebut dengan siang dan malam. Lalu, konsep siang dan malam berkembang dengan mengikuti fase terciptanya paradigma. Dengan dimulainya konsep waktu yang dideskripsikan dan diinterpretasikan dengan menggunakan mitos sebagai paradigmanya. Waktu sebagai konsep merujuk kepada kejadian alam yang terus berulang-ulang, seperti pergantian hari dan musim. Pada saat ini waktu dijelaskan melalui keberadaan dewa-dewa. Perkembangan pemikiran di dunia Barat mengubah paradigma waktu dari mitos menjadi logos. Ketika memasuki logos, waktu dijelaskan melalui posisi benda-benda langit seperti matahari, bulan, dan bintang. Berganti memasuki masa di mana gereja mendominasi peradaban Barat, maka paradigma berubah mengikuti dominasi gereja. Pada saat ini waktu berbentuk linier. Waktu dimulai dari penciptaan dunia oleh Tuhan dan berakhir dengan kehancuran dunia karena kuasa Tuhan. Walaupun Tuhan dianggap memiliki kuasa, namun konsep waktu dijelaskan secara fisik seperti pada zaman sebelumnya. Penjelasan waktu dengan menggunakan posisi benda-benda langit seperti matahari, bulan, dan bintang, pada masa ini, selalu dikaitkan dengan kuasa Tuhan. Zaman Pencerahan yang diikuti dengan Revolusi Industri, mengubah kembali paradigma waktu menjadi modernis. Pada zaman ini konsep waktu didominasi oleh kerangka pandang fisika. Pada awal kelahirannya, konsep waktu ini berbentuk mekanis, mengikuti pola teknologi. Hingga saat ini deskripsi dan interpretasi waktu mengikuti paradigma modern. Waktu kemudian menjadi satu dimensi dengan ruang.
Ontologi waktu…, Muhammad Iswahyudhi, FIB UI, 2013
3. Dialektika Negatif Dialektika negatif dipilih sebagai metode pendefinisian waktu karena menurut saya metode ini dapat menjawab permasalahan waktu. Permasalahan ini berdasarkan pernyataan dari Oliver Reiser yang melihat kecenderungan kesimpulan yang diambil oleh para pemikir terkait dengan pertanyaan universe di mana manusia hidup berhubungan erat dengan permasalahan waktu dan permasalahan waktu sendiri menjadi beraneka ragam seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan pemahaman manusia mengenai alam (Reiser, 2002, 236-237). Metode ini dapat melihat dan merunut kehadiran penyebab munculnya berbagai macam permasalahan waktu yang hadir dari awal hingga kini. Metode ini juga menawarkan pembahasan masalah secara filosofis karena pendekatan ontologis yang tidak mengesampingkan historisitas permasalahan. Dialektika negatif merupakan metode yang diperkenalkan oleh Theodor Adorno. Cara kerja metode ini sama seperti dialektika positif. Namun, yang membedakan dari dialektika ini adalah prinsip identitas. Menurut Adorno, dialektika Hegel adalah dialektika positif karena menggunakan prinsip identitas. Kritik terhadap prinsip identitas dialektika inilah yang menyebabkan Adorno mengajukan konsep dialektika negatif dengan prinsip nonidentitasnya (Adorno, 2008: 5-7). Prinsip identitas dapat dipahami sebagai sebuah prinsip yang dihasilkan karena tujuan para filsuf untuk mengenali dan memahami apa itu realitas. Tujuan ini akhirnya mengarah pada suatu universalitas realitas. Dengan kata lain, tujuan ini mengarahkan pemikir untuk menemukan hukum dan kaidah yang berlaku umum pada realitas. Prinsip identitas ini merujuk kepada prinsip akhir yang bersifat absolut. Prinsip identitas merupakan hukum pertama dalam realitas dan prinsip tertinggi dalam memahami sesuatu. Prinsip identitas di sini merujuk ke makna identitas secara metafisik. Identitas ini adalah identitas being. ‘Yang ada’ itu ‘ada’ dan sesuai dengan hakikatnya. Hal merujuk kepada pengetahuan manusia bahwa fakta dari segala sesuatu itu adalah ‘yang ada’ dan sesuai dengan hakikatnya (Bagus, 1991: 82). Di dalam buku Negative Dialectics identitas yang dituju merupakan bentuk dasar dari ideologi. Dan nonidentitas adalah kontradiksi di dalam ideologi atau identitas itu (Adorno, 1973: 148). Prinsip nonidentitas melihat sesuatu ‘ada’ dan memiliki makna dan hakikatnya sendiri pada masa-masanya dan akan berubah maknanya seiring dengan ditemukannya kontradiksi-kontradiksi itu. Prinsip identitas dalam dialektika tidak terlepas dari determinasi. ‘Yang ada’ sebagai sesuatu dideterminir dalam mencapai identitasnya. Dengan kata lain ‘yang ada’
Ontologi waktu…, Muhammad Iswahyudhi, FIB UI, 2013
menjadi ada ditentukan oleh sesuatu yang lain. Relasi kontradiksi pada dialektika bersifat inheren dan niscaya. Negasi dari negasi bersifat deterministik. Determinasi ini memberikan kepastian terbentuknya sebuah identitas. Adanya prinsip nonidentitas pada dialektika negatif tidak dapat dipahami sebagai ketiadaan determinasi dalam alur histori. Determinasi tetap ada dalam dialektika negatif, namun determinasi ini berbeda dengan determinasi pada dialektika positif. Pada dialektika negatif determinasi itu terletak pada kejadian-kejadian yang sudah berlangsung. Dengan kata lain, pada dialektika positif determinasi menjadi sebuah syarat keharusan agar dialektika menemukan bentuk sintesis yang baru, sedangkan pada dialektika negatif determinasi adalah kondisi di masa lalu yang menyebabkan terbentuknya tesis pada saat ini (Adorno, 2008: 30-31). Di dalam tulisan Adorno yang merupakan fragmen-fragmen dari pengajarannya Lectures on Negative Dialectics, hukum dan ciri khas tersebut ada pada prinsip kontradiksi dan negasi dari negasi. Kontradiksi ini, pada dialektika negatif Adorno, terlihat dalam proses dialektis perubahan posisi manusia yang tadinya sebagai subjek menjadi sebagai objek. Posisi subjek dan objek manusia pada saat ini dianggap sebuah realitas—realitas kekinian dari manusia. Namun, Adorno tidak membuat garis asumsi ke depan. Artinya, dia tidak membuat sebuah asumsi bagaimana seharusnya realitas manusia itu nanti-nantinya mesti terbentuk. Adorno justru menarik garis ke belakang untuk menjelaskan realitas manusia. Dengan kata lain, dialektika negatif menjelaskan realitas kontradiksi posisi manusia dengan menarik mundur penjelasan kepada sejarah. Sejarah yang menyebabkan realitas posisi manusia menjadi seperti sekarang. Kontradiksi ini diikuti pula dengan kehadiran determinasi dalam dialektika. Determinasi ini membuat dialektika memiliki arah. Dalam hal ini, mesti diingat bahwa dialektika tidak terbatas pada satu tema kontradiksi saja, namun kontradiksi akan melahirkan tema baru dan kontradiksi baru. Kelahiran tema dan kontradiksi yang baru ini dikarenakan oleh determinasi itu. Determinasi yang mengarahkan ke mana dialektika bergerak. Berawal dari kondisi nonidentitas, maka makna waktu akan dipahami dalam bentuk kekinian melalui kontradiksi-kontradiksi yang telah berlangsung dalam sejarah pengonsepan waktu. Dengan gerak dan perubahan yang berbentuk kualitas menjadi kuantitas sebagai arah terbentuknya konsep waktu yang kini. 4. Ontologi Waktu
Ontologi waktu…, Muhammad Iswahyudhi, FIB UI, 2013
Pemaknaan waktu yang beraneka ragam seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan pemahaman manusia mengenai alam, terdapat juga problem pemaknaan yang disebabkan reduksi dari permasalahan berpikir yang spekulatif (Reiser, 2002: 236). Reduksi permasalahan inilah yang menyebabkan permasalahan mengenai universe selalu dikaitkan dengan permasalahan waktu. Tujuan dari pembahasan ontologi ini adalah menghilangkan reduksi permasalahan universe menjadi permasalahan waktu semata. Dengan menunjukkan bagaimana ontologi waktu saat ini melalui dialektika negatif maka permasalahan universe tersebut diabstraksikan kembali. Dalam mengenal ontologi waktu melalui dialektika negatif, kontradiksi yang hadir adalah kontradiksi antara alam dan kebudayaan. Terbentuknya ontologi waktu saat ini terjadi karena proses dialektika yang terjadi antara alam dan kebudayaan melalui tiga bentuk waktu. Ketiga bentuk waktu itu adalah waktu biologis, waktu psikis, dan dan waktu fisik. Gerak, kesadaran, dan bahasa merupakan hal mendasar terbentuknya makna waktu. Paradigma sendiri merupakan perpanjangan dari ketiga hal ini, namun kita tidak dapat mengesampingkan keberadaannya. Karena keberadaan paradigmalah yang membuat makna waktu sebagai sesuatu yang objektif dapat berubah. Gerak, kesadaran, bahasa, dan paradigma bekerja dalam pembentukan dan perubahan makna waktu. Dalam waktu biologis reaksi tubuhlah yang menjadi kerangka acuan proses dialektis. Namun kesadaran yang menciptakan pemaknaan akan respons tubuh terhadap perubahan alam mentransformasi gerak menjadi konsep waktu di mana konsep ini pada akhirnya
dibahasakan.
Begitu
juga
dalam
waktu
psikis,
kesadaranlah
yang
mentransformasi gerak menjadi konsep waktu. Sementara dalam waktu fisik sainslah yang menjadi kerangkanya menjadikan gerak sebagai waktu melalui penguantifikasian. Semua proses dialektis antara alam dan kebudayaan yang ada dalam ketiga bentuk waktu terjadi melalui bahasa. Bahasa sebagai pengetahuan yang diwariskan memberikan kemungkinankemungkinan penciptaan relasi untuk pengetahuan manusia. Tanpa adanya bahasa, intelegensi yang hadir dalam diri manusia dalam proses dialektis akan berfungsi seperti insting semata. Bahasa dalam proses dialektis antara alam dan kebudayaan adalah alat yang menyebabkan proses itu terjadi. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahasa semata yang menggerakkan proses dialektis itu. Gerak, kesadaran, dan bahasa harus dilihat dan dipahami sebagai suatu kesatuan. Begitu pula dengan proses dialektis antara alam dan kebudayaan yang melibatkan ketiga hal itu. Ketiga bentuk waktu dapat dilihat pula sebagai sebuah proses
Ontologi waktu…, Muhammad Iswahyudhi, FIB UI, 2013
dialektis yang panjang dalam membentuk konsep waktu hingga saat ini. Ketiga bentuk waktu itu pada dasarnya inheren dalam konsep waktu. Dengan kata lain, ketiga bentuk waktu itu pulalah yang menjelaskan dan menunjukkan keberadaan waktu. Ketiga bentuk waktu tersebut inheren dalam waktu dan waktu sendiri inheren dalam diri manusia. Karena kesadaran, waktu yang inheren itu dinyatakan kembali dalam bentuk bahasa dan menjadi objek di luar diri manusia. Waktu sebagai pengalaman merujuk pada perubahan dan gerak yang diterima oleh indra manusia dan mewujud dalam kesadaran manusia. Perubahan dan gerak yang mewujud dalam kesadaran menunjukkan bahwa waktu adalah sesuatu yang subjektif—terlepas dari teori relativitas khusus—dan dia tidak perlu dinyatakan sebagai kebenaran umum oleh masyarakat. Dia cukup menjadi pengetahuan yang dimiliki oleh individu dan menjadi dasar keyakinan individu akan keberadaannya pada saat ini. Sedangkan waktu sebagai alat ukur merujuk pada perubahan dan gerak yang diterima indra manusia sebagai pengalaman dan dikuantifikasi melalui teknologi. Waktu yang dijadikan alat ukur ini menunjukkan konsep waktu yang inheren tersebut mengafirmasi perubahan dan gerak yang merupakan fakta alam. Kondisi inherennya waktu dalam manusia inilah yang sebenarnya membuat waktu menjadi ambigu. Keinherenan waktu dalam diri manusia bukan berarti waktu itu murni merupakan sebuah ide bawaan. Namun, waktu yang inheren disebabkan oleh suatu faktor di luar manusia. Sesuatu itu adalah perubahan dan gerak. Setelah perubahan dan gerak dimaknai sebagai waktu, di sinilah waktu menjadi inheren dalam diri manusia. Waktu tumbuh dan berkembang di dalam kebudayaan melalui manusia dan mendapatkan pemaknaan bersama. 5. Kesimpulan Perubahan dan gerak merupakan realitas yang dialami manusia secara nyata. Dalam tulisan ini perubahan dan gerak seperti memiliki kesamaan makna. Perubahan dan gerak harus dilihat sebagai satu kesatuan. Perubahan tidak mungkin terjadi tanpa adanya gerak, baik gerak yang terjadi di dalam sesuatu ataupun di luar sesuatu. Gerak sendiri tidak mungkin tidak membawa perubahan. Oleh karena itulah, gerak dan perubahan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Perubahan dan gerak ada, namun keduanya tidak akan bermakna tanpa ada sesuatu yang memaknainya. Dalam hal ini, manusia menjadi pemberi makna untuk perubahan dan gerak. Awalnya pemaknaan ditujukan untuk perubahan dan gerak sederhana yang terjadi di sekitar manusia. Kemudian, perubahan dan gerak itu diberi intensi oleh manusia
Ontologi waktu…, Muhammad Iswahyudhi, FIB UI, 2013
sehingga makna dari perubahan dan gerak tidak sebatas merujuk pada sesuatu yang fisik saja. Tanpa adanya pemaknaan yang dihasilkan dari kesadaran, maka perubahan dan gerak tak lebih dari sekadar kondisi di alam semata. Pemaknaan yang diberikan manusia terhadap perubahan dan gerak menjadikan mereka pengetahuan bagi manusia. Pada akhirnya pengetahuan itu disistematiskan oleh manusia. Sistematisasi perubahan dan gerak membawa perubahan dan gerak ke makna baru, yaitu waktu. Dengan terciptanya teknologi yang menguantifikasi waktu, gerak pun menjadi sesuatu yang nyata dalam kehidupan manusia. Tercipta dan berkembangnya makna waktu terjadi melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga waktu memiliki wujud dan makna yang berbeda dari wujud dan makna awalnya. Ini adalah hasil dialektis yang terjadi antara alam dan kebudayaan. Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa pada dasarnya waktu itu hanyalah perubahan dan gerak yang terjadi di alam. Akan tetapi, kita tidak dapat mengasumsikan bahwa waktu hanya sebatas gerak dan perubahan di alam. Kita harus melihat waktu secara keseluruhan. Mulai dari perubahan dan gerak yang terjadi di alam sampai dengan penguantifikasian. Alur ini melibatkan manusia sebagai pembentuk konsep dan bahasa yang merupakan media penyampaian waktu sehingga waktu terkuantifikasi. Kuantifikasi waktu yang melibatkan ilmu pengetahuan serta perubahan konsep waktu dalam masyarakat yang diakibatkan perubahan paradigma pun merupakan bagian dari keutuhan konsep waktu tersebut. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa waktu adalah kuantifikasi gerak yang dialami oleh indra.
Ontologi waktu…, Muhammad Iswahyudhi, FIB UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA Buku Adorno, Theodor W. Negative Dialectics, Trans. E. B. Ashton. London: Routledge & Kegan Paul Ltd, 1973. Barnett, Jo Ellen. Time's Pendulum: The Quest to Capture Time from Sundials to Atomic Clocks Plenum, New York : Plenum Trade, 1998. Bergson, Henri. Creative Evolution. New York: Henry Holt and Company, 1922. Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius, 1999. Blackmore, Susan. Consciousness: An Introduction. New York: Oxford University Press, 2004. ------------- Consciousness A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press, 2005. ------------- Conversation on Counsciousness. New York: Oxford University Press, 2005. Cambridge Advance Learner’s Dictionary (3rd ed.). Cambridge University Press, 2008. Edelman, Gerald M. Second Nature: Brain Science and Human Knowledge. London: Yale University Press, 2006. Einstein, Albert. Relativity: Special and General Theory. New York: Henry Holt and Company, 1920. Hardiman, Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietszche. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007. Hegel, Georg Wilhelm Friedrich. The Philosophy of History. Trans. J. Sibree. New York: Dover Publications, 1956. ------------- The Science of Logic. Trans. George di Geovanni. New York: Cambridge University Press. 2010 Heidegger, Martin. Being and Time. Trans. Joan Stambaugh. Albany: State University of New York Press, 1996. Hesiod. Theogony. New York: Cambride University Press, 1996. Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat. Terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004. Krasnoff, Larry. Hegel’s Phenomenology of Spirit. Cambridge: Cambridge University Press, 2008. Kuhn, Thomas. The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The University of Chicago Press, 1970.
Ontologi waktu…, Muhammad Iswahyudhi, FIB UI, 2013
Njoto. Marxisme: Ilmu dan Amalnya. Jakarta: Penerbit Harian Rajat, 1962. Peat, F. David. From Certainty to Uncertainty. Washington D.C.: Joseph Henry Press, 2002. Pinch, Geraldine. Magic in Ancient Egypt. London: British Museum Press, 1994. Rudgley, Richard. The Lost Civilizations of the Stone Age. New York: Simon & Schuster. 1999. Saussure, Ferdinand de. Cours de Linguistique Generale. Terj. Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1996.
Artikel Adorno, Theodor W. Lectures of Negative Dialectics Fragments of Lecture course 1965/1966. Cambridge: Polity Press, 2008. Dolson, G. N. “The Philosophy of Henry Bergson, I”, The Philosophical Review Vol. 19 No. 6. Edition November 1910. Engels, Frederick. “Dialectic of Nature”. JBS Haldane, 1939. Marx, Karl. “Theses On Feuerbach”, Karl Marx and Frederick Engels, Selected Works: Vol II. Moscow: Foreign Languages Publishing House, 1958. Reiser, Oliver. L. “The Problem of Time in Science and Philosophy”. Philosophical Review Vol. 35 No. 3. Edition May 1926 (2002).
Artikel Online Internet Encyclopedia of Philosophy. “Proper Time, Coordinate Systems, Lorentz Transformation”. 8 Juni 2013 Pukul 22.49
Marxists Internet Archive. “Frederick Engels, Dialectics of Nature”. 11 Juni 2013 Pukul 01.14
Ontologi waktu…, Muhammad Iswahyudhi, FIB UI, 2013