AHS : ONTOLOGI KOLABORASI DINAMIS Anisa Herdiani1 , Husni S. Sastramihardja2 1
Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Informasi, Universitas YARSI Jakarta Program Studi Sistem dan Teknologi Informasi, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung
2
1
2
[email protected],
[email protected]
Abstrak Aktivitas kolaborasi memberikan dampak yang signifikan dalam usaha kolektif manusia. Namun demikian aktivitas ini merupakan proses yang kompleks karena melibatkan berbagai partisipan beserta sumberdaya yang dimiliki dengan perilaku atau behavior yang beragam dan dinamis. Paper ini akan membahas bagaimana proses kolaborasi yang efektif dan dinamis dimodelkan menggunakan ontologi. Konsep ontologi digunakan karena dapat memberikan kesepahaman atas struktur informasi antar pihak, dan memungkinkan penggunaan kembali (reuse) dari domain knowledge. Dalam merancang ontologi kolaborasi dinamis dilakukan elaborasi Collaborative network Ontology (CNO) terhadap Models of Collaboration. Metode ini dilakukan untuk menyempurnakan model CNO agar mampu mengakomodasi aspek dinamis sebagai konsekuensi dari interaksi yang dilakukan oleh para partisipan. Hasil akhir dari paper ini adalah sebuah ontologi kolaborasi dinamis yang diberi nama AHS. AHS merupakan deklarasi stuktur knowledge base yang merepresentasikan proses kolaborasi yang dinamis. Representasi ini telah memenuhi prasyarat kolaborasi dan mampu mengakomodasi persoalan yang muncul dalam proses kolaborasi. Kata kunci : kolaborasi, ontologi, collaborative network ontology (CNO), interaksi, dinamis
1.
Pendahuluan
Aktivitas kolaborasi memberikan dampak yang signifikan dalam usaha kolektif manusia. Aktivitas ini mendapatkan perhatian yang sangat besar dari sejumlah besar area penelitian seperti seni, ilmu pengetahuan, industri, bisnis, pendidikan, teknologi, perancangan perangkat lunak, dan kedokteran. Namun di sisi lain ketertutupan institusional menghambat kapasitas untuk menemukan (discover) dan mensintesis penelitian di area ini. Hal ini memberikan tantangan untuk membangun framework teoritis lintas disiplin pada kolaborasi, yang memanfaatkan kolaborasi sebagai strategi penyelesaian masalah atau aplikasinya pada berbagai konteks [5]. Kolaborasi merupakan aktivitas yang terkoordinasi dari sejumlah partisipan, yang berfokus pada pencapaian tujuan bersama. Di dalamnya terdapat interaksi sosial dalam rangka membangun dan memelihara konsepsi bersama atas suatu permasalahan [3, 6, 12] Ted Panitz, seorang Profesor bidang Matematika dan Engineering mengungkapkan sejumlah dampak positif dari kolaborasi, terutama dalam bidang pembelajaran. Dari sisi akademis,
kolaborasi dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, meningkatkan keterlibatan peserta ajar pada proses belajar, meningkatkan prestasi kelas, memodelkan teknik-teknik penyelesaian persoalan oleh siswa, membantu peserta ajar yang lemah untuk meningkatkan performansinya, meningkatkan pemahaman siswa pada materi ajar, dan sebagainya. Pada sisi sosial, kolaborasi mendorong terbentuknya dukungan sosial bagi peserta ajar, membuka wawasan dengan memahami bahwa setiap orang memiliki perspektifnya masing-masing, dan membangun suasana yang mendukung untuk berlatih bekerjasama. Kolaborasi juga berpengaruh pada sisi psikologi yaitu meningkatkan kepercayaan diri dan membangun budaya dan sikap saling menghargai satu sama lain [13]. Selain pada proses pembelajaran, kolaborasi juga memiliki dampak positif pada dunia kerja diantaranya meningkatkan produktivitas pekerja, menyelesaikan permasalahan lebih cepat, mempercepat Return of Investment (ROI), merampingkan proses bisnis, dan menjaga hubungan antara pekerja dan customer [6]. Terlepas dari berbagai berbagai dampak positif dari kolaborasi, proses ini merupakan proses yang kompleks karena melibatkan berbagai partisipan
beserta sumberdaya yang dimiliki dengan perilaku atau behavior yang beragam dan dinamis. Menurut Dillenbourgh dan Scheneider, terdapat perbedaan budaya yang harus diadaptasi oleh masing-masing partisipan yang mungkin saja menimbulkan permasalahan diantaranya konflik ketidaksepakatan, internalisasi, pengambilan hak pihak lain, pembagian beban, peraturan bersama, dan landasan sosial. Proses kolaborasi yang efektif membutuhkan heterogenitas yang optimal dalam komposisi kelompok. Beberapa perbedaan diperlukan untuk memicu interaksi, dengan tetap menjaga kepentingan bersama dan pemahaman tanpa memicu konflik [13]. Dari uraian di atas, dimunculkan sebuah research question : Bagaimana mendukung proses kolaborasi yang efektif dan dinamis? Untuk menjawab research question tersebut dilakukan sebuah penelitian untuk membangun model proses kolaborasi berbasis ontologi yang mendukung proses kolaborasi yang efektif dan dinamis. Konsep ontologi digunakan karena dapat memberikan kesepahaman atas struktur informasi antar pihak. Konsep ini memungkinkan penggunaan kembali (reuse) domain knowledge [11]. Dalam ontologi didefinisikan kamus kata (vocabulary) beserta spesifikasi makna dari setiap kata tersebut. Ontologi juga meliputi definisi dan indikasi mengenai bagaimana suatu konsep saling berhubungan yang kemudian secara kolektif membangun sebuah struktur pada suatu domain dan membatasi interpretasi atas suatu istilah [9]. Konsep tersebut membentuk knowledge base yang mendukung proses kolaborasi yang efektif dan dinamis. Paper ini membahas pengembangan ontologi kolaborasi dinamis. Ontologi dibangun dengan mengelaborasi dua reference model, bagian ini akan dijelaskan pada bagian penelitian terkait. Kemudian dilakukan pendefinisian elemen dan relasi pembentuk proses kolaborasi dinamis, hal ini dijelaskan pada bagian perancangan. Hasil dari perancangan tersebut adalah sebuah ontologi kolaborasi dinamis yang diberi nama AHS. Pada tahap akhir dilakukan evaluasi representasi elemen ontologi terhadap prasyarat (requirement) proses kolaborasi. Evaluasi ini menyatakan posisi dari model kolaborasi yang telah dibangun, hal ini dijelaskan pada bagian evaluasi. Diakhir tulisan terdapat kesimpulan dan saran atas pengembangan ontologi model proses kolaborasi dinamis. 2.
Penelitian Terkait
2.1 Collaborative network Ontology Benaben dan Rajsiri pada tahun 2008 hingga 2009 telah membangun sebuah Collaborative network Ontology (CNO) yang dibentuk dalam rangka membangun knowledge based system yang
menangani sebuah MIS (Mediated Information System) yang mendukung Enterprise Collaboration. MIS menghubungkan sistem informasi yang berbeda untuk mengatasi persoalan interoperability yang terjadi. Dengan demikian proses kolaborasi yang ditangani dalam model ini merupakan proses yang kompleks, yang menangani sejumlah besar elemen dan relasi yang berlainan (distinct relationship) [1, 7, 10]. Elemen dalam CNO dikelompokan atas dua bagian yaitu elemen yang tergabung Collaboration Ontology yang melihat dari sudut pandang organisasi dan elemen yang tergabung dalam Collaborative Process Ontology yang melihat dari sudut pandang proses. Elemen-elemen dalam CNO dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Elemen dalam CNO [11]
Collaboration Ontology
Collaborative Process Ontology
Kategori Participant Participant Role Abstract Service Kategori Kolaborasi Collaborative Network Common Goal Relationship - Competition - Group of Interest - Supplier-customer - Exchange/sharing Topology - Kind of (Star, Chain, Peer to Peer(P2P)) - Duration (continuous, discontinuous) - Power (central, equal, hierarchic) Business Service Resource Coordination service MIS Service Dependency between MIS service (sequence flow)
2.2 Models of Collaboration Models of Collaboration yang digagas oleh Timothy Butler dan David Coleman pada 2003 menjelaskan proses kolaborasi berdasarkan interaksi yang terjadi di dalamnya. Klasifikasi proses kolaborasi dilakukan untuk menentukan jenis kolaborasi yang dilakukan oleh sekelompok partisipan (dapat berupa individu, organisasi, perusahaan, atau entitas lainnya). Terdapat lima model utama yang didefinisikan dalam models of collaboration, masing-masing memiliki karakteristik yang spesifik [2]: a. Library Collaboration Model Library collaboration model merupakan model kolaborasi yang paling sederhana dan paling
b.
c.
d.
e.
umum, yaitu interaksi antara orang dengan data khususnya suatu content. Solicitation Collaboration Model Solicitation collaboration model melibatkan permintaan dari kumpulan kecil requestor data dan sejumlah tanggapan dari responden. Team Collaboration Model Team collaboration model digunakan untuk memfasilitasi aktivitas dari sebuah tim. Community Collaboration Model Model kolaborasi yang kurang umum namun mapan. Digunakan untuk memfasilitasi aktivitas dalam sebuah komunitas seperti Community of Practice (CoP) atau Community of Interest (CoI). Process Support Collaboration Model Pemanfaatan teknologi kolaborasi dalam proses atau aliran kerja (workflow).
Dalam suatu situasi mungkin saja digunakan lebih dari satu model kolaborasi, atau disebut dengan hybrid model. Fokus dari model ini adalah interaksi antar pihak yang melakukan proses kolaborasi. Penentuan jenis kolaborasi ini dibutuhkan untuk mengetahui requirement proses kolaborasi yang digunakan dalam rangka menganalisis dan merancang sebuah sistem kolaborasi dalam suatu organisasi [2,7]. Secara holistik kelima model diilustrasikan dalam Gambar 1.
konsekuensi dari interaksi yang dilakukan para partisipan. Tahapan yang dilakukan dalam pengembangan model kolaborasi tersebut adalah sebagai berikut : a. Identifikasi elemen dalam CNO yang bersesuaian atau mampu merepresentasikan karakteristik Model of Collaboration. b. Elemen CNO dan karakteristik Model of Collaboration yang bersesuaian menunjukkan bahwa elemen yang telah terdefinisi dalam CNO tersebut akan digunakan untuk membangun model kolaborasi yang baru. c. Untuk karakteristik yang belum dapat direpresentasikan oleh elemen dalam CNO, diciptakan elemen baru yang melengkapi model kolaborasi. d. Setelah seluruh elemen yang dibutuhkan telah terdefinisi, dilakukan pendefinisian relasi yang bersesuaian untuk menghubungkan elemenelemen tersebut. Skema pengembangan model kolaborasi dapat dilihat pada Gambar 2. Karakteristik ‘Models of Collaboration’
Karakteristik-elemen bersesuaian
Karakteristik
Ya
Solicitation
Elemen
Tidak
Penggunaan elemen yang telah terdefinisi dalam CNO Large
Elemen Kolaborasi ‘Collaborative Network Ontology’
Dipetakan pada
Penciptaan elemen baru yang bersesuaian Pendefinisian relasi
Community Library
Group Size
Gambar 2 Skema Pengembangan Model Kolaborasi
Process Support
Team Small Low
Level of Interaction
High
Gambar 1 Models of Collaboration [2] 3.
Perancangan
Berdasarkan deskripsi dan pemanfaatan Collaborative network Ontology terdapat peluang untuk mengembangkan model kolaborasi tersebut menjadi model yang dinamis, yaitu mampu menangani berbagai perubahan yang terjadi selama proses kolaborasi berlangsung, misalnya perubahan kepentingan dan juga perubahan interaksi. Dalam mengembangkan model kolaborasi ini dilakukan elaborasi Collaborative network Ontology (CNO) terhadap Models of Collaboration. Metode ini dilakukan untuk menyempurnakan CNO agar mampu mengakomodasi berbagai macam interaksi dalam kolaborasi dan aspek dinamis sebagai
Berdasarkan pemetaan model kolaborasi, diperlukan penciptaan sejumlah elemen dan relasi untuk melengkapi model kolaborasi. Elemen yang diciptakan adalah elemen dashboard, history, rule, event. Selain itu ditambahkan pula karakteristik dari elemen topology yaitu membership (open, closed), dan interaction (synchronous, asynchronous). Seluruh elemen tersebut menjadi bagian dari Collaboration Ontology (CO). Deskripsi dari elemen dan karakteristik elemen topology yang ditambahkan adalah sebagai berikut : a. Dashboard, elemen ini memberikan gambaran umum perkembangan proses/pekerjaan yang dilaksanakan setiap participant dalam collaborative network. b. Rule, berisi sejumlah aturan yang harus dipatuhi oleh setiap participant yang terlibat dalam collaborative network. Participant yang melanggar aturan yang ditetapkan (dalam batas tertentu) akan tidak disertakan dalam collaborative network.
c.
d.
e.
Event adalah suatu kejadian penting yang terjadi di dalam atau di luar enterprise. Event juga dapat didefinisikan sebagai perubahan signifikan atas suatu kondisi dalam sistem atau environment. Konsep penciptaan event didasarkan pada aliran (flow), bukan kondisi dari resources, kondisi atau event pemicu yang merupakan pola penting pada event. Pola event dideskripsikan dalam rule: event-conditionaction (ECA). Misalnya: 1) Event : Permintaan pembeli untuk mengirimkan sejumlah material 2) Condition : Pesanan pembelian telah diterima dan belum diproses 3) Action : Kirimkan pesanan pembelian ke delivery service. Rule ECA dapat diekspresikan sebagai berikut: “when event is produced, if condition is satisfied, then action will be performed”. Implementasi pendekatan berbasis event (event-based) akan membuat model proses kolaborasi menjadi semakin dinamis, lengkap, dan nyata. Ketika event terjadi atau berubah, definisi proses kolaborasi pun akan berubah. Dengan demikian pendekatan ini akan memberikan fleksibilitas pelaksanaan solusi. History, menjelaskan informasi mengenai aktivitas apa yang telah dilakukan dalam collaborative network. Dengan demikian participant yang baru terlibat dapat segera mengikuti alur pekerjaan dari awal. Membership, menjelaskan sifat kepesertaan participant dalam collaborative network. 1) Closed, menunjukkan bahwa participant yang diikutsertakan dalam collaborative
network ditentukan oleh pengelola network. 2) Open, menunjukkan bahwa participant dapat bergabung dalam suatu network tanpa harus memenuhi kriteria tertentu. Interaction, menjelaskan cara setiap participant berkomunikasi dengan participant lainnya. 1) Synchronous, terjadi jika masing-masing participant berkomunikasi secara langsung dengan participant lainnya, artinya tidak ada (atau minimal) jeda antara serangkaian aksi-reaksi (same-time). 2) Asynchronous, terjadi jika masing-masing participant berkomunikasi secara tidak langsung dengan participant lainnya, artinya terdapat sejumlah waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan reaksi dari suatu aksi (different-time).
f.
4.
AHS : Ontologi Kolaborasi Dinamis
Ontologi kolaborasi dinamis merupakan deklarasi stuktur knowledge base yang merepresentasikan proses kolaborasi yang dinamis. Ontologi ini memberikan kesepahaman atas struktur informasi antar pihak yang terlibat dalam suatu proses kolaborasi. Elemen dalam ontologi didefinisikan sebagai ekstraksi dari proses kolaborasi itu sendiri. Ontologi kolaborasi dinamis merupakan pengembangan dari CNO, dengan penambahan elemen dashboard, history, rule, event, dan karakteristik dari elemen topology yaitu membership (open, closed), dan interaction (synchronous, asynchronous). Ontologi ini kemudian diberi nama AHS. Gambar 3 menunjukan AHS dengan metoda Collaboration Ontology (CO)
role play
Is performed by
competition
participant
perform Abstract service
provide
Group of interest P1/P2
Supplier-customer
Relationship
central
has
rule achieve
has Common Goal
hierarchic
Topology
has
Collaborative Network
has change
has
event
has
has has
Consist of
resource
contain
Has input Has output
star
chain
history
Coordination Service
generic
Is a
MIS Service
asynchronous
Collaborative Process Ontology (CPO)
specific to
manage
open
synchronous
Is coordinated by
Dependency b/w service of participants (message flow)
discontinuous
closed
dashboard
from to
membership interaction
manage Business Service
duration
continuous
Kind of P2P
has has
equal
power
has
from
Dependency b/w CIS service (sequence flow)
Gambar 3 AHS : Ontologi Kolaborasi Dinamis
One to many One to one
representasi yang diadaptasi dari CNO. Penggunaan terminologi pada bagian collaboration ontology (CO) diekspresikan sebagai berikut : a. Dalam kolaborasi setiap participant memiliki role dengan melaksanakan sejumlah abstract service untuk mencapai common goal yang dimiliki oleh collaborative network. b. Kondisi ketercapaian common goal dapat diketahui dengan melakukan pemantauan berkala terhadap dashboard. c. Participant yang baru bergabung dalam collaborative network dapat segera mengikuti alur pekerjaan dari awal dengan mempelajari history. d. Setiap participant yang terlibat dalam network ini terhubung dengan jenis relationship competition, group of interest atau suppliercustomer. e. Untuk menghindari konflik kepentingan, setiap participant harus mematuhi rule yang telah disepakati bersama. f. Ketika melakukan kolaborasi, terdapat topology relasi antar participant yang dapat berupa star, P2P (peer to peer), atau chain. g. Topology relasi dapat terjadi dalam ragam power (central, equal, hierarchic), duration (discontinuous, continuous). h. Keanggotaan (membership) dari model kolaborasi ini dapat bersifat tertutup (closed) atau terbuka (open), bergantung pada event yang menyebabkan terbentuknya collaborative network. i. Bentuk interaksi (interaction) yang terjadi dapat secara synchronous maupun asynchronous, disesuaikan dengan kebutuhan. Elemen dashboard berperan dalam memberikan informasi umum mengenai perkembangan/kemajuan proses yang sedang dilaksanakan. Dengan demikian proses evaluasi pencapaian target dapat lebih mudah dilakukan. Dinamika proses kolaborasi dapat ditangani dengan keberadaan elemen event. Elemen ini mengakomodasi setiap kondisi yang harus dihadapi dan ditangani melalui proses kolaborasi. Perubahan pada elemen event akan menyebabkan perubahan pada elemen-elemen lain yang berkaitan sedemikian sehingga tujuan proses kolaborasi akan tetap tercapai. Dengan demikian model kolaborasi dapat menangani proses kolaborasi yang dinamis. Dengan menggunakan konsep ontologi ini dapat disimpulkan bahwa suatu proses kolaborasi akan efektif apabila setiap elemen dan relasi pembangunnya teridentifikasi dan dapat didefinisikan dengan jelas. Sehingga tidak ada duplikasi peran, pekerjaan, dan sebagainya. Setiap partisipan pun mengetahui apa tujuan mereka, dan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut. Dengan
demikian pencapaian tujuan dapat dilakukan dengan lebih cepat dan terarah. 5.
Evaluasi
Untuk menilai keterpenuhan prasyarat kolaborasi dan menentukan posisi AHS, keseluruhan prasyarat kolaborasi direpresentasikan dalam elemen AHS. Prasyarat kolaborasi ditetapkan berdasarkan Requirements for Collaboration dari Collaborative network Reference Modelling dalam [8]. Tabel 2 menunjukkan representasi elemen AHS dalam memenuhi prasyarat kolaborasi. Tabel 2 Representasi Elemen Kolaborasi Prasyarat Elemen Kolaborasi harus memiliki Common maksud goal 2 Masing-masing pihak yang Participant , terlibat sepakat untuk Relationship berkolaborasi 3 Masing-masing pihak Participant , mengetahui kapabilitas Role, satu sama lain Abstract services 4 Masing-masing pihak Participant , berbagi suatu tujuan dan abstract menjaga visi bersama service, selama proses kolaborasi Common menuju tercapainya tujuan goal bersama 5 Masing-masing pihak Relationship memelihara pemahaman (Group of bersama atas suatu interest) persoalan yang dihadapi. 6 Identifikasi pihak-pihak Participant yang terkait dan pelibatan mereka bersama 7 Definisi dari ruang lingkup Abstract kolaborasi dan hasil yang service diharapkan 8 Definisi struktur Topology kolaborasi, meliputi kepemimpinan, peran, tanggung jawab, kepemilikan dari aset yang dihasilkan 9 Identifikasi resiko dan pengukuran atas rencana kontigensi 10 Membangun komitmen Relationship untuk berkolaborasi No. 1
Selain prasyarat, adapula kesulitan yang harus dikelola dalam lingkungan kolaborasi. Tabel 3 menunjukkan representasi elemen kolaborasi dalam mengelola kesulitan dalam lingkungan kolaborasi.
Tabel 3 Representasi Elemen Kolaborasi dalam Persoalan Lingkungan Kolaborasi No. Kesulitan Elemen 1 Kepemilikan Resources, business service, dan sharing coordination service, sumberdaya dependency b/w service of participant s, MIS Service 2 Menentukan Participant , Role, Abstract kontribusi service individual 3 Menjaga Relationship komitmen 4 Ketidakjelasa Participant , Role, Abstract n Tanggung service jawab
Dari Tabel 2 dan Tabel 3 didapat bahwa AHS hampir memenuhi keseluruhan prasyarat kolaborasi dan juga mampu menangani keseluruhan persoalan lingkungan kolaborasi. Prasyarat yang belum terpenuhi adalah prasyarat nomor 9 yaitu identifikasi resiko dan pengukuran atas rencana kontigensi. Prasyarat tersebut menjadi salah satu requirement yang harus diakomodasi dalam pengembangan lingkungan kolaborasi, yaitu sistem yang mendukung participant dalam mencapai tujuannya secara kolaboratif. 6.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil perancangan model kolaborasi didapat kesimpulan bahwa : a. Reference model dapat digunakan untuk membangun suatu model yang akan diimplementasikan pada suatu area manifestasi. b. Dalam membangun model kolaborasi, perlu diperhatikan komponen utama pembangunnya yaitu participant dan kriteria proses kolaborasi itu sendiri. Kriteria tersebut meliputi prasyarat proses kolaborasi dan kebutuhan organisasi atas suatu proses kolaborasi. c. Proses kolaborasi yang efektif dapat terjadi apabila setiap elemen pembangun proses kolaborasi beserta relasinya didefinisikan dengan jelas sebelum proses kolaborasi tersebut dilaksanakan. d. Aspek dinamis dalam proses kolaborasi dapat dikelola dengan mengidentifikasi setiap event yang terjadi selama proses kolaborasi tersebut berjalan. e. AHS mampu merepresentasikan prasyarat dan penyelesaian persoalan dalam proses kolaborasi. Acknowledgement Terima kasih pada Institut Teknologi Bandung atas bantuan dana Voucher ITB selama proses penelitian ini dilakukan.
Daftar Pustaka [1] Benaben, F., Touzi, J., Rajsiri, V., Truptil, S., Lorré, J.P., Pingaud, H, 2008, Mediation Information Construction in a Collaborative SOA Context through a MDD Approach, Proceeding of MDISIS 2008, 89-103. [2] Butler, T., dan Coleman, D., 2003, Models of Collaboration, Collaborative Strategies (LLC) Strategies for Electronic Collaboration and Knowledge Management. [3] Dillenbourg, P., Baker, M., Blaye, A. dan O'malley, C., 1996, The Evolution of Research on Collaborative Learning. In E. Spada & P. Reiman (Eds) Learning in Humans and Machine: Towards an interdisciplinary learning science, 189-211. [4] Dillenbourg P., 1999, What do you mean by collaborative learning?, Collaborative-learning: Cognitive and Computational Approaches, 1-19. [5] Elliot, M. A., 2006, Stigmergic Collaboration A Theoretical Framework for Mass Collaboration, Disertasi Program Doktoral, The University of Melbourne, 7-9. [6] Gurteen, D., 2002, Collaborative Working. The Gurteen Knowledge Website. http://www.gurteen.com diakses tanggal 14 September 2008 [7] Herdiani, Anisa., 2009, Perancangan Ensiklopedia dalam Pengembangan Collaborative Environment, Tesis Program Magister, Institut Teknologi Bandung. [8] Matos, L.M., Camarinha, Afsarmanesh, H., 2008, Collaborative networks Reference Modeling, New York, Springer Science & Business Media LLC. [9] Pérez, AG., López, MF, Corcho, O., 2004, Ontological Engineering, London, Springer Verlag. [10] Rajsiri, V, Lorre JP., Benaben, F., Pingaud, H., 2008, Ontology-based Methodology for Collaborative Process Definition of Enterprise Networks, Proceedings of the 17th World Congress The International Federation of Automatic Control, 17, 11913-11918. [11] Rajsiri, V., 2009, Knowledge-Based System for Collaboration Process Specification, Disertasi Doktoral, Universite de Toulouse III – Paul Sabatier, 74-89. [12] Reed, C., 2002, Building an Enterprise Strategy for Digital Collaborations. Centra Software Inc. [13] Roberts, T.S., 2005, Computer-Supported Collaborative-Learning in Higher Education: An Introduction, London, Idea Group Publishing