ONTOLOGI SASTRA ARAB
Zaki Ghufron
ONTOLOGI SASTRA ARAB Zaki Ghufron
[email protected] Abstrak Sastra berperan penting dalam berbagai aspek kehidupan; membangun budaya, politik, social, ekonomi, juga sebagai alat kodifikasi ajaran agama. Hal demikian juga dimiliki oleh sastra Arab, namun demikian kurangnya wawasan tentang sastra Arab dan nilai-nilai yang ada di dalamnya, sering mengakibatkan seseorang tidak dapat menikmati sebuah karya sastra dengan baik. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang ontologi sastra Arab yang mencakup esensi, klasifikasi dan unsur-unsur pembentuk sastra itu. Kata kunci: sastra, ontologi, dan sastra Arab
A. PENDAHULUAN Pada kenyataannya karya sastra memilki peranan penting dalam penyampaian pengalaman yang berasal dari pikiran, emosi, kejadian penting dan sebagainya, sarana membangun budaya, karena sastra juga dapat membangkitkan perasaan yang sangat kuat yang disandarkan pada realitas kehidupan, kemudian membangkitkan kesadaran akal dan pertumbuhan imajinasi.1 Alat kodifikasi ajaran agama. Agama perlu dikemas dengan bahasa yang baik dan sastra yang indah, agar nilainya tetap terpelihara dan terjaga dengan baik, sehingga estetikanya pun terjaga dengan baik. Bagi ahli politik sastra juga berperan sebagai pilar politik, sosial dan ekonomi. Karena dari karya sastra yang ditulis pada suatu masa dapat diketahui suasana politik pada masa tersebut. semisal yang terjadi pada masa daulah Umayah dan Abasiyah, di sini sastra mampu mencatat dan membuktikan pergolakan politik yang pernah terjadi. Bahkan bagi masyarakat banyak biasanya sastra dijadidikan sebagai sarana relaksasi. Syayib mengatakan, bahwa sastra adalah sarana yang dapat dipergunakan untuk menikmati keindahan dan kesempurnaan hidup. Dengan sastra seorang pembaca atau pendengar akan menemukan keindahan baik yang tampak maupun abstrak. Sastra baginya adalah pelipur lara dan penghibur jiwa. Melalui sastra, seorang pujangga mendapatkan kegembiraan dan gambaran perasannya.2 235
al-Ittijȃh
Vol. 02 No. 02 (Juli-Desember 2010)
Namun demikian kurangnya wawasan tentang sastra Arab dan nilainilai yang ada di dalamnya, sering mengakibatkan seseorang tidak dapat menikmati sebuah karya sastra dengan baik. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang ontologi sastra Arab yang mencakup esensi, klasifikasi dan unsur-unsur pembentuk sastra itu.
B. PEMBAHASAN 1.
Pengertian Sastra dalam bahasa Arab disebut dengan istilah al-Adab.3 Kata ini pada masa jahiliyah digunakan ketika mengundang orang makan dirumahnya (tempatnya). Hal ini ditemukan pada perkataan Tarf bin al-‘Abd berikut:
ﻻ ﺗﺮى اﻵدب ﻓﻴﻨﺎ ﻳﻨﺘﻘﺮ... ﳓﻦ ﰲ اﳌﺸﺘﺎة ﻧﺪﻋﻮ اﳉﻔﻠﻰ
“pada musim dingin kami mengundang masyarakat umum, engkau tidak akan menyaksikan pengundang bersikap membedakan diantara orang yang hadir dalam perjamuan itu”.4 اﻵدبdalam syair itu berarti orang yang mengundang ke perjamuan makan. Di samping itu, di masa tersebut kata al-adab juga dimaknai akhlak, sebagaimana kata al-adab dalam surat Nu’man bin Mundzir yang dikirim ke Kisra Persia, sebagai berikut5:
… وﻗﺪ أوﻓﺪت أﻳﻬﺎ اﳌﻠﻚ رﻫﻄﺎً ﻣﻦ اﻟﻌﺮب ﳍﻢ ﻓﻀﻞ ﰲ أﺣﺴﺎ ﻢ،أﻣﺎ ﺑﻌﺪ .… ، وﻋﻘﻮﳍﻢ وآدا ﻢ،وأﻧﺴﺎ ﻢ
“… aku mengutus delegasi kepadamu wahai raja sekelompok bangsa Arab, mereka terdiri atas orang yang memiliki keutamaan dalam hal kejayaan, keturunan, kecerdasan, dan akhlak,…” Kedua makna tersebut tidak berlawanan, justru saling mendukung, karena undangan makan adalah pengaruh dan slah satu bentuk akhlak yang mulia. Di masa awal Islam makna al-adab mengalami perluasan arti, yakni kepada pendidikan (perbaikan) bahasa dan akhlak. Dalam konteks ini, seperti makna kata al-adab dalam hadits yang bermakna pendidikan dan akhlak (budi pekerti):
ﻋﻦ اﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮد ﻗﺎل ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ أدﺑﲏ رﰊ ﻓﺄﺣﺴﻦ أدﰊ 6 .( )أﺧﺮﺟﻪ أﺑﻮ ﺳﻌﺪ.ﺗﺄدﻳﱯ
Di samping itu, diriwayatkan juga bahwa Umar pernah menasihati anaknya sebagai berikut: 7
.ﻳﺎﺑﲏ أﻧﺴﺐ ﻧﻔﺴﻚ ﺗﺼﻞ رﲪﻚ واﺣﻔﻆ ﳏﺎﺳﻦ اﻟﺸﻌﺮ ﳛﺴﻦ أدﺑﻚ
236
ONTOLOGI SASTRA ARAB
Zaki Ghufron
“Wahai anakku, sebutlah silsilah keturunanmu maka engkau telah menyambung tali persaudaraanmu, pertahankanlah kebagusan syair, akhlakmu akan indah”. Seorang penyair kala itu Saham bin Hanzhalah al-Ganawy menyebutkan dalam puisinya8:
ﰲ اﻟﺪﻳﻦ دﻳﻨﺎً وﰲ أﺣﺴﺎ ﻢ ﺣﺴﺒﺎ# ﻗﺪ ﻳﻌﻠﻢ اﻟﻨﺎس أﱐ ﻣﻦ ﺧﻴﺎرﻫﻢ أﻋﻄﻴﻬﻢ ﻣﺎ أرادوا ﺣﺴﻦ ذا أدﺑﺎ# ﻻ ﳝﻨﻊ اﻟﻨﺎس ﻣﲏ ﻣﺎ أردت وﻻ
Manusia mengetahui bahwa aku adalah yang terbaik dari mereka tentang agama dan kemuliaan leluhur tidak ada yang dapat menghentikan keinginanku dan tidak pula aku menunaikan hasrat mereka; alangkah indah akhlak yang menghiasiku. Pada masa dinasti Umayah kata tersebut digunakan untuk pendidikan sifat-sifat atau akhlak terpuji yang menjadi hiasan, dan yang akan melahirkan penghormatan dan penghargaan kepada manusia. Selain itu digunakan untuk menamakan guru-guru yang mengajar anak-anak khalifah dan ‘amir tentang syair, pidato dan informasi tentang orang-orang Arab. Sebagaimana terungkap dalam pengertian puisi berikut: 9
ٍ وﻣﺎ ﻳﻄﻴﻌﻚ ذو# ﻣﻄﻴﻊ ﻣﻦ ﻳﺆدﺑﻪ ﺷﻴﺐ ﻟﺘﺄدﻳﺐ ٌ إن اﻟﻐﻼم
Sesungguhnya seorang anak akan patuh karena ada yang mendidiknya, dan orang lanjut usia tidak akan mematuhi sebab pendidikan Pada masa Abasiah kata al-adab itu kemudian terpola pengertiannya pada karya-karya tulis tentang ilmu pengetahuan, seperti syair, berita orang-orang Arab, wasiat dan pidato dan juga dimaknai10. Pada masa inilah ditulis اﻷدب اﻟﺼﻐﲑdan اﻷدب اﻟﻜﺒﲑkarya al-Muqaffa.11 Hal ini sejalan dengan terlepasnya kajian ansab (genealogi), akhbar dan ayyam yang dari kajian al-Adab menjadi cabang ilmu tersendiri. Menurut Thaha Husin sejak saat itu, materi al-adab terdiri dari dua kelompok; yakni kelompok khusus dan umum. Kelompok pertama bermuatan kata-kata indah yang dapat menimbulkan kelezatan estetika dalam jiwa pembaca dan pendengar, baik berupa puisi maupun prosa (sebagaimana pengertian sastra sekarang). Sedangkan yang kedua bermuatan karya yang ditimbulkan oleh pikiran, tergambar dalam kata- dan tertulis dala buku, seperti ilmu alam, ilm tatabahasa dan ilm pasti.12 Namun kemudian pengertian pada kelompok
237
al-Ittijȃh
Vol. 02 No. 02 (Juli-Desember 2010)
kedua ini menyempit setelah Madrasah Nizhamiyah di Bagdad menjadikan Adab sebagai disiplin ilmu tersendiri13. Abdul Aziz bin Muhammad memberikan definisi dengan redaksi berikut.
اﻷدب ﻛﻞ ﺷﻌﺮ أو ﻧﺜﺮ ﻳﺆﺛﺮ ﰲ اﻟﻨﻔﺲ وﻳﻬﺬب اﳋﻠﻖ وﻳﺪﻋﻮ إﱃ اﻟﻔﻀﻴﻠﺔ وﻳﺒﻌﺪ 14 .ﻋﻦ اﻟﺮذﻳﻠﺔ ﺑﺄﺳﻠﻮب ﲨﻴﻞ
“Adab adalah setiap syair atau prosa yang diungkapkan dengan gaya bahasa yang indah, dapat mempengaruhi jiwa , dan mendidik budi pekerti untuk berakhlak mulia dan menjauhi akhlak tercela.” Sedangkan Fannanie mendefinisikan sastra sebagai karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan dan mampu mengungkapkan aspek estetika, baik yang didasarkan pada aspek kebahasaan maupun makna.15 Dalam perkembangannya ada dua madzhab yang pandangannya tentang esensi sastra cukup kontras; pertama formalis, yang beranggapan bahwa kesusastraan bukanlah kepercayaan, akan tetapi merupakan pemakaian bahasa yang mempunyai keteraturan khusus baik dari segi struktur maupun lainnya. Kedua strukturalisme generik, yang beranggapan bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur, yang dinamis dan dipengaruhi oleh fakta kemanusian, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan penjelasan.16 Disamping itu, masih banyak definisidefinisi lain yang dikemukakan para kritikus sastra dari berbagai belahan dunia. Walaupun dalam pendefinisian sastra masih luas peluang untuk diperdebatkan, namun secara garis besar penulis dapat karakteristik sastra, karena hal ini penulis pandang lebih urgen daripada membuat definisi yang holistic dan komprehensif. Karakteristik tersebut adalah: a) Sastra bukanlah bentuk komunikasi praktis, seperti buku-buku lain pada umumnya; makna sastra yang tersirat lebih dominan dari pada yang tersurat. b) Karya sastra adalah karya kreatif, bukan semata-mata imitative. c) Karya sastra adalah karya imajinatif, bukan representasi dari kenyataan. d) Karya sastra adalah karya otonom, yang berdiri sendiri pada sebuah dunia rekaan. e) Karya sastra adalah karya koheren; dimana dalam karya sastra tidak ada satu unsur pun yang tidak fungsional. f) Evaluasi tentang status karya sastra berada pada konvensi suatu masyarakat. 238
ONTOLOGI SASTRA ARAB
Zaki Ghufron
g)
Karya sastra adalah karya bermakna; tidak sekedar bahasa yang ditulis dan diciptakan bukan pulasekedar permainan bahasa.
2.
Klasifikasi Sastra Dilihat dari objeknya, sastra Arab dapat dibagi menjadi dua: (a) sastra kreatif, dan (b) sastra deskriptif. a. Sastra Kreatif Sastra kreatif karya sastra yang dihasilkan dengan cara meniru dan menggambarkan alam semesta, baik yang ada dalam jiwa sastrawan itu sendiri seperti prasaan dan keinginan, maupun dari luar, seperti gunung laut, gurun pasir dan lain-lain. Berdasarkan jenisnya sastra kreatif dibagi menjadi tiga macam: 1) Syi’r (syair/puisi) Qudama mendefinisikan sebagai:
ﻗﻮل ﻣﻮزون ﻣﻘﻔﻰ ﻳﺪل ﻋﻠﻰ ﻣﻌﲎ
“ungkapan berirama, bersajak dan mengandung gagasan.”17 Dalam redaksi definisi yang diungkapkan Ahmad al-Iskandari disebutkan: 18
.اﻟﺸﻌﺮ ﻫﻮ اﻟﻜﻼم اﻟﻔﺼﻴﺢ اﳌﻮزون اﳌﻘﻔﻰ اﳌﻌﱪ ﻏﺎﻟﺒﺎ ﻋﻦ ﺻﻮر اﳋﻴﺎل اﻟﺒﺪﻳﻊ
“Syair adalah kata-kata yang fasih, berirama dan bersajak yang mengekpresikan bentuk-bentuk imajinasi yang indah”. Secara lebih kompleks karya sastra dapat dikatakan syair apabila memenuhi; a) Kalam (bahasa); karakteristik bahasa syair selalu bersifat estetis, puitis dan menyentuh rasa dengan keindahannya, bersifat imajinatif/fiktif, multi-interpretable, simbolis, asosiatif, sugestif, konotatif, sublim, etis, dan pada jenis tertentu merupakan katarsis. b) Ma’na (gagasan). Para kritikus menyebut gagasan ini dengan istilah fakta ( )اﳊﻘﻴﻘﺔdan kebenaran ()اﻟﺼﻮاب. Dengan demikian, sekalipun syair / puisi merupakan karya sastra yang didalamnya terkandung unsur imajnatif, tapi pada kenyataannya ia tidak terlepas dari fenomena yang ada. Artinya syair mengandung kebenaran, bukan kebohongan semata. c) Wazan (irama). Yang dimaksud wazan adalah pengulangan irama bunyi yang sama pada setip bagian baitnya. Thaha Husein menyebutnya dengan istilah musikalitas ()اﳌﻮﺳﻴﻘﻲ.19 Setiap bait syair dalam sastra Arab terdiri dari dua bagian dengan wazan yang sama.20 Wazan-wazan ini dalam ilmu sastra Arab dikenal dengan istilah bahr yang berjumlah enam belas. Yaitu:
239
al-Ittijȃh
Vol. 02 No. 02 (Juli-Desember 2010)
اﻟﻮزن ﻣﺴﺘﻔﻌﻠﻦ ﻓﺎﻋﻠﻦ ﻣﺴﺘﻔﻌﻠﻦ ﻓﺎﻋﻠﻦ ﻣﺴﺘﻔﻌﻠﻦ ﻣﺴﺘﻔﻌﻠﻦ ﻣﺴﺘﻔﻌﻠﻦ ﻣﺴﺘﻔﻌﻠﻦ ﻣﺴﺘﻔﻌﻠﻦ ﻣﻔﻌﻮﻻت ﻓﺎﻋﻼ ﺗﻦ ﻓﺎﻋﻼ ﺗﻦ ﻓﺎﻋﻼ ﺗﻦ ﻓﺎﻋﻼ ﺗﻦ ﻣﺴﺘﻔﻊ ﻟﻦ ﻓﺎﻋﻼ ﺗﻦ ﻓﺎﻋﻼ ﺗﻦ ﻓﺎﻋﻠﻦ ﻓﺎﻋﻼ ﺗﻦ ﻓﺎﻋﻠﻦ ﻓﺎﻋﻠﻦ ﻓﺎﻋﻠﻦ ﻓﺎﻋﻠﻦ ﻓﻌﻮﻟﻦ ﻣﻔﺎﻋﻴﻠﻦ ﻓﻌﻮﻟﻦ ﻣﻔﺎﻋﻴﻠﻦ ﻓﻌﻮﻟﻦ ﻓﻌﻮﻟﻦ ﻓﻌﻮﻟﻦ ﻓﻌﻮﻟﻦ ﻣﻔﺎﻋﻠﱳ ﻣﻔﺎﻋﻠﱳ ﻓﻌﻮﻟﻦ ﻣﻔﺎﻋﻴﻠﻦ ﻣﻔﺎﻋﻴﻠﻦ ﻣﻔﺎﻋﻴﻠﻦ ﻣﺘﻔﺎﻋﻠﻦ ﻣﺘﻔﺎﻋﻠﻦ ﻣﺘﻔﺎﻋﻠﻦ ﻣﺴﺘﻔﻌﻠﻦ ﻣﻔﻌﻮﻻت ﻣﺴﺘﻔﻌﻠﻦ ﻣﺴﺘﻔﻊ ﻟﻦ ﻓﺎﻋﻼﺗﻦ ﻓﺎﻋﻼﺗﻦ ﻣﻔﺎﻋﻴﻠﻦ ﻓﺎع ﻻ ﺗﻦ ﻣﻔﺎﻋﻴﻠﻦ ﻣﻔﻌﻮﻻت ﻣﻔﺎﻋﻴﻠﻦ ﻣﻔﺎﻋﻴﻠﻦ d)
اﻟﺒﺤﺮ اﻟﺒﺴﻴﻂ اﻟﺮﺟﺰ اﻟﺴﺮﻳﻊ اﻟﺮﻣﻞ اﳋﻔﻴﻒ اﳌﺪﻳﺪ اﳌﺘﺪارك اﻟﻄﻮﻳﻞ اﳌﺘﻘﺎرب اﻟﻮاﻓﺮ اﳍﺰج اﻟﻜﺎﻣﻞ اﳌﻨﺴﺮح اﺠﻤﻟﺘﺚ اﳌﻀﺎرع اﳌﻘﺘﻀﺐ
اﻟﺮﻗﻢ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Qafiyah (sajak). Al-Khalil berpendapat bahwa qafiah adalah dua sukun yang berada pada akhir bait syair termsuk huruf-huruf hidup (berharakat) dan termasuk pula huruf hidup sebelum suku pertama.21 Unsur-unsur qafiyah dapat dilihat syair Ibn Khafajah berikut:
ﳎﺮ ﲰﺎء ٌ ّﻣﺘﻌﻄ ّ واﻟﺰﻫﺮ ٍﻳﻜﻨﻔﻪ# اﻟﺴﻮار ﻛﺄﻧّﻪ ّ ﻒ ﻣﺜﻞ ﻣﻦ ﻓﻀﺔ ﰲ ﺑﺮدة ﺧﻀﺮاء# ًﻇﻦ ﻗﺮﺻﺎً ﻣﻔﺮﻏﺎ رق ﺣﱴ ّ ﻗﺪ ٍ ﻫﺪب ﲢﻒ# وﻏﺪت ﲢﻒ ﺑﻪّ اﻟﻐﺼﻮن ﻛﺄ ّ ﺎ ﲟﻘﻠﺔ زرﻗﺎء ّ ً ٌ
Sungai itu bengkok seperti gelang, seakan-akan sungai dan bunga itu dipelihara turunnya hujan di pagi hari, ranting-ranting pohon yang mengelilingi seperti bulu mata mengelilingi bola mata yang biru22 Kata ﲰﺎء، ﺧﻀﺮاءdan زرﻗﺎءdalam bait syair di atas disebut qafiyah, dan jenis qasidahnya adalah lamiyyat karena rawinya berupa huruf lam. e) Khayal (imajinasi). Khayal dalam syair merupakan daya baying dan daya fantasi, tetapi bukan lamunan. Begitu pentingnya peran khayal dalam syair, sehingga sebagian pujangga Arab mengatakan bahwa karya sastra yang berbentuk prosadapat dikatakan syair apabila mengandung daya imajinasi yang indah sekalipin tidak mengandung musikalitas.23 240
ONTOLOGI SASTRA ARAB
Zaki Ghufron
Disamping itu, daya khayal juga merupakan pembeda antara nazham dan syair; nazham lebih ditekankan pada pemikiran ilmiah, sedangkan syair lebih ditekankan pada daya khayal. f) Qashd (sengaja); adanya unsur kesengajaan untuk membuat syair, bukan suatu kebetulan. Suatu contoh, ayat al-Qur’an yang kebetulan yang tersusun sesuai dengan kaidah-kaidah syair tidak dapat disebut sebagai syair, karena Allah SWT tidak bermaksud menyusun ayat-ayat al-Qur’an sebagai bentuk syair.24 Dilihat dari bentuk syair dibagi dalam tiga jenis, yakni: a) Qashashi (Puisi Cerita); jenis syair yang bersifat objektif (maudhu’i), b) Gina’i (Puisi Lirik); kasidah yang langsung mengungkapkan perasaan, dan c) Tamtsili (Puisi Drama); syair yang dibuat untuk disaksikan di atas panggung, seperti syair yang dipakai pada kabaret. al-Mazini menambahkan jenis ke- (4) syair ta’limy (didaktik) dan (5) syair al-Hija’i. Namun Ahmad Syayib menegaskan keduanya termasuk kategori lirik berdasarkan pandangan dari berbagai unsurnya.25 Sedangkan dilihat segi susunan redaksi (uslub) nya syair dibagi menjadi; 1) Syi’r Multazim/Lazim (syair tradisional); yaitu syair yang tidak terikat dengan aturan wazan dan qafiah. Dalam bentuk ini, apabila seorang pujangga ingin menggubahnya harus menggunakan salah satu jenis bahar yang ada dalam ilmu ‘arudh. 2) Syi’r Mursal; syair yang terikat dengan satuan taf’ilat (irama), namun tidak terikat dengan aturan wazan dan qafiah. 3) Syi’r Hurr; syair yang tidak terikat sama sekali dengan aturan wazan, qafiah maupun taf’ilat. 4) Muwasyah; jenis syair lirik (al-gina’i) yang didalamnya ada perubahan lafzh yang disebabkan stressing yang berlebihan penyair terhadap intonasi sebagai pengaruh dari penghayatan yang terlalu mendalam terhadap makna, hingga terbentuk lafzh bahkan bait tambahan pada syair. Yang pertama mengungkapkan jenis ini adalah Muqaddim bin Mu’afir sl-Farbary pada abad ketiga hijrah.26 Diantara jenis Muwasyah yang paling dikenal adalah: a) Mudhamman; yakni muwasyah yang menjelaskan syair dalam bentuk jumlah I’tiradhiyah dan berada dalam syair. 241
al-Ittijȃh
Vol. 02 No. 02 (Juli-Desember 2010)
b)
5)
إن أﺻﺎﺑﲏ اﻟﻌﻄﺐ# ﻟﻴﺲ ﰲ اﳍﻮى ﻋﺠﺐ ( ﻳﺴـ ـ ـﺘـﻔﺰﻩ اﻟﻄـ ــﺮب# )ﺣــﺎﻣﻞ اﳍــﻮى ﺗﻌـﺐ
Mujannah (al-Syi’ry); muwasyah yang terjadi yang terjadi pada satu qafiyah; muwasyah ini memisahkan antara dua bait syi’r dan wazan muwasyah sama dengan wazan syair tersebut.27 Dubait; secara bahasa istilah ii terbentuk dari dua kata, salah satu berasal dari bahasa Pasri ( )دوyang berarti dua dan ( )اﻟﺒﻴﺖyakni bait syair; dinamakan demikian karena biasanya dia tidak lebih dari dua bait. Menurut istilah sastrawan Arab syair ini disebut ruba’i. jenis ini diplopori Abu Sa’d Ibn al-Khair (wafat 302 H)28. Contohnya:
واﻟﺼﺎرم ﻣﻦ ﳊﻈﻪ ﻗﻄﻌﻨﺎ# ﻳﺎﻣﻦ ﺑﺴﻨﺎن رﳏﻪ ﻗﺪ ﻃﻌﻨﺎ ﻂ ﻋﻨﺎ ّ ﰲ ﺣﺒﻚ ﻻ ﻳﺼﻴﺒﻪ ﻗ# ارﺣﻢ دﻧﻔﺎ ﰲ ﺳﻨﻪ ﻗﺪ ﻃﻌﻨﺎ
6) Syi’r ‘Amy dan Mawaly; yakni janis syair klaik yang secara historis berkembang diakhir-akhir abad pertama hijrah. Dinamakan demikian karena banyaknya bahasa suku tertentu (terutama suku-suku di Palestina), seperti syair lirik syekh al-‘Ud, yang didalamnya ada kata ﺳﻠﻮرberikut29:
ﺟﺎء اﻟﻘﻂ أﻛﻠﻪ وﻳﻠﻲ ﻋﻠﻮﻩ... ﺳﻠﻮر ﰲ اﻟﻘﺪر وﻳﻠﻲ ﻋﻠﻮﻩ
7) Zajl; yakni jenis syair yang tidak mengindahkan aturan-aturan I’rab bahasa Arab. jenis ini diplopori oleh Abu Bakr bin Qazman pada awal abad kedelapan hijrah. Seperti redaksi bait syair berikut30:
d)
)وﻻوﺣﺎش( وﻻد ﻧﺼﺎرﻩ# اﳌﻼح وﻻد أﻣﺎرﻩ ﻣﺎ ﻗﺒﻠﻮا اﻟﺸﻴﺦ ﻏﻔﺎرﻩ# واﺑﻦ ﻗﺰﻣﺎﻩ ﺟﺎﻳﻐﻔﺮ
Natsr (Prosa) Abd al-Quddus Abu Shalih mendefinisikan natsr dengan redaksi
dan
ahmad
Taufiq
Kulaib
اﻟﻨﺜﺮ ﻫﻮ اﻟﺘﻌﺒﲑ ﻋﻦ اﻷﻓﻜﺎر واﻟﻌﻮاﻃﻒ واﻻﻧﻔﻌﺎﻻت ﺑﻜﻼم ﲨﻴﻞ ﻻ ﻳﺘﻘﻴﺪ 31 .ﺑﺎﻟﻮزن واﻟﻘﺎﻓﻴﺔ
“Prosa adalah ungkapkan pemikiran, perasaan, dan emosi dengan bahasa yang indah, tidak terikat dengan irama (musikalisasi) dan sajak”. Prosa biasanya terdiri atas kalimat-kalimat yang jelas dan runtut pemikirannya. Namun pada dasarnya, kata prosa tidak langsung berhubungan dengan karya sastra, karena ia lebih dekat kepada pemaparan. Sebuah pemaparan dikatakan karya sastra apabila; pertama, didalamnya terdapat deretan peristiwa. Kedua, peristiwa tersebut menghendaki adanya tokoh. Dan ketiga, detetan peristiwa dan tokoh itu adalah peristiwa dan tokoh fiktif.32
242
ONTOLOGI SASTRA ARAB
Zaki Ghufron
Seiring dengan batasan natsr dengan ketiga karakter tersebut, maka secara umum natsr ada dua macam: 1). Natsr al-‘adi (prosa biasa); prosa yang sering digunakan dalam bahasa komunikasi; ia tidak memiliki nilai sastra, kecuali matsal dan hikmah yang sudah berlaku dikalangan masyarakat. 2). Prosa yang dicipta oleh para sastrawan. Prosa ini mengandung bahasa seni dan unsur-unsur balaghah.33 Bentuk natsr Arab klasik adalah (1) matsal (pribahasa), (2) khatabah dan (3) Qasas (Cerita), (4) tauqi’at, (5) maqamat. Adapun natsr adabi yang sekarang berkembang adalah: 1). Maqalah; yakni bentuk natsr sederhana yang ditulis secara spontan, untuk mengungkapkan pemikiran penulisnya dengan menggunakan uslub sederhana; biasanya bertema tentang kehidupan sosial. 2). Qissah; yaitu karya sastra dalam bentuk sepenggal/keseluruhan cerita dari kehidupan. Bentuk-bentuk qissah adalah: a. Riwayat; yaitu cerita yang isinya beberapa bab dan terdiri dari beberapa kejadian dan penokohan yang isinya lebih panjang dari cerita pendek. b. Qissah Qashirah (Cerita pendek); yakni cerita yang isinya kejadian-kejadian dan tokoh, biasanya ditulis satu bab (lebih pendek dari riwayat). c. Aqsusah; yaitu cerita yang ditulis dalam satu lembar, dan isinya tidak menceritakan kejadian-kejadian dan tokoh-tokoh. Sedangkan menurut Ahmad Syayib – menukil dari Ibn Jabar (kritikus sastra Arab abad ke-4) – jenis prosa Arab terdiri dari (1) khatabah (retorika), (2) tarassul (korespondensi), (3) ihtijaj (argumentasi) dan (4) hadits (cerita). Sedangkan sastrawan Barat membagi prosa kepada (1) deskripsi, (2) narasi, (3) film, (4) novel, (5) sejarah, (6) biografi, (7) eksposisi, (8) argumentasi, (9) kritik, (10) essay, (11) debat dan (13) orasi.34 e) Masrahiyah (Drama) Drama didefiniksikan sebagai “komposisi syair/puisi (syi’r) atau prosa (natsr) yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (akting) atau dealog yang dipentaskan”.35 Karya sastra dalam bentuk drama adalah mengkolaborasi bentukbentuk karya sastra dengan tujuan tertentu yang ingin disampaikan kepada penonton secara jelas dan tergambar kongkret dalam perpaduan peran masing-masing actor yang bermain di dalamnya.36 243
al-Ittijȃh
Vol. 02 No. 02 (Juli-Desember 2010)
b. Sastra Deskriptif Objek pembahasan sastra deskriptif adalah bahasa seorang sastrawan ketika ia memperlihatkan pendapat dan argumentasinya baik dalam bentuk penjelasan atau kritikan terhadap hasil karya sastra kreatif. Para kritikus sastra membagi sastra deskriptif dalam tiga bahasan, yakni: 1. al-Tarikh al-Adabi (sejarah sastra) Sejarah sastra didefinisikan sebagai “ilmu yang membahas tentang fenomen bahasa dan karya sastra yang dihasilkan dalam aneka bentuk dan gaya dari masa kemasa”.37 Sejarah sastra merupakan dokumen perkembangan sastra berdasarkan ciri, klasifikasi, gaya dan gejala yang ada pada priode tertentu; yang juga menuntut adanya penggolongan pengarang, aspirasi, dan ideologi yang akan diperjuangkan. Berdasarkan aspek kajiannya, sejarah sastra dibedakan menjadi: a) Sejarah genre, yaitu sejarah yang mengkaji perkembangan karya-karya sastra seperti syi’r dan natsr. Kajian tersebut dititik beratkan pada proses kelahirannya, perkembangannya dan pengaruh-pengaruh yang menyertainya. b) Sejarah sastra secara kronologis, yaitu sejarah sastra yang mengkaji karya-karya sastra berdasarkan priodesasi atau babakan waktu tertentu. c) Sejarah sastra komparatif, yaitu sejarah sastra yang mengkaji dan membendingkan beberapa karya sastra pada masa lalu, pertengahan dan masa kini.38 2.
al-Naqd al-Adabi (kritik sastra) Secara etimologis kritik berarti ‘membedakan yang baik dari yang jelek’ dan ‘mengungkapkan kecacatan dan kekurangan’. Ahmad Syayib mendefinisikan kritik sastra secara istilah dengan “aprisiasi terhadap karya sastra secara objektif serta menjelaskan nilai dan kualitas sastranya”39. Berdasarkan jenis metode yang digunakan kritik sastra dapat dikelompokkan pada dua jenis, yaitu; a) kritik sastra penilaian (judicial criticism); yakni kritik sastra yang sifatnya memberikan aprisiasi terhadap pengarang dan karyanya, berdasarkan prinsip-prinsip tertentu kritik sastra, seperti beracuan pada standar unsur syi’r, natsr dan sebagainya . b) Kritik sastra induktif (inductive criticism); yakni kritik sastra yang tidak mengakui adanya aturan-aturan atau ukuran-ukuran yang ditetapkan sebelumnya. 244
ONTOLOGI SASTRA ARAB
Zaki Ghufron
Berdasarkan jenis pendekatan yang digunakan kritik sastra dapat dikelompokkan pada empat jenis, yaitu: a) Kritik memetik (Mimetic criticism); yakni kritik sastra yang bertolak dari asumsi bahwa sastra bahwa karya sastra merupakan tiruan. Kritik ini cendrung mengukur kemampuan karya sastra menggambarkan kehidupan yang dijadikan objek. b) Kritik pragmatik (pragmatic criticism); sisi pandang kritik ini adalah pencapaian efek-efek tertentu pada pembaca. c) Kritik ekpresif (Ekspresive criticism); fokus pandang kritik ini adalah kemampuan sastrawan dalam mengekspresikan idenya kedalam wujud sastra. d) Kritik objektif (objective criticism); asumsi dasar kritik ini adalah bahwa karya sastra merupakan karya mandiri40. 3.
al-Nazhariyat al-Adabiyah (teori-teori sastra) Dalam sudut pandang jenis teks yang mengandung nilai sastra, ahli kritik sastra membagi sastra kepada41: a) Syair; pada masa jahiliyah pemerhati sastra mencatat syair Arab pertama kali dituturkan oleh ‘Ady bin Rabi’ah al-Tagliby (paman Imra al-Qais dari pihak Ibu) yang hidup pada masa Hasyim bin ‘Abd Manaf menjelang tahun 100 sebelum hijrah42. b) Khithabah (pidato-pidato), c) Hadits, (ketiga jenis ini sudah ada sejak masa jahiliyah) d) Al-Qur’an, (dicantumkan dalam sastra iawal Islam dan masa bani Umayah) e) Al-Kitabah; yang terdiri dari al-Rasail, al-Maqamat, al-Fushul, alKutub al-Ilmiyah (dimasukkan pada produk sastra sejak abad ke-2 hijrah). 3.
Unsur-Unsur Sastra Ahmad Syayib menyebutkan empat unsur yang ada dalam karya sastra, yaitu43: 1. Al-Shurah (Form) atau al-Uslub (stilistik)44; yakni gaya dalam penyusunan dan pengaturan bagian-bagian karangan. Ada beberapa prinsip uslub sastra, yaitu: a. Al Kamal (completeness), b. Thariqah atau Manhaj (method), c. Al Tanasub (harmony), dapat dicapai dengan beberapa hal berikut: 245
al-Ittijȃh
Vol. 02 No. 02 (Juli-Desember 2010)
1). Menjauhi unsur-unsur yang tidak berkait dengan tema, 2). Menghilangkan detail-detail yang mengganggu keutuhan tema, 3). Mensinergikan antara realitas dengan athifah yang saling bertentangan, 4). Memperhatikan keserasian antara wazan dengan athifah. 2. Al-‘Athifah (Emotion) atau al-Infi’al; yakni emosi yang melatarbelakangi dihasilkannya karya sastra dan yang mempengaruhi konsumen dalam membaca karya sastrawan; seperti rasa sedih, gembira, kagum dan sebagainya. diantara unsur-unsur sastra, emosi dianggap sebagai unsur terpenting dan paling mendasari sebuah karya sastra. Emosi dalam sastra dapat dilihat dari aspek; a. Shidq al-Athifah (kebenaran rasa); Seperti fakta cerita al-Nabigah45 yang mengisahkan kepahlawanan saudaranya Kulaib dari suku Nizar ketika melawan musuh, dan kepedihan hati suku Nizar ketika Kulaib gugur:
ِﺐ ﺑـﻌﺪ َك ﻳﺎ ُﻛﻠَﻴﺐ اﳌﺠﻠ ﺲ اﺳﺘ و#ت ﱠﺎر ﺑَـ ْﻌ َﺪ َك أَوﻗِ َﺪ ﱠ َ َ ْ ْ ُ ﻧـُﺒﱢْﺌ ْ ْ ْ ُ َ ﺖ أَ ﱠن اﻟﻨ ُ ُ ِ ِ ٍ ِ 46 َ ِ ِ ﻛﻨﺖ ﺷﺎﻫ َﺪ ُﻫ ْﻢ ﺎ َﱂْ ﻳَـْﻨﺒ ُﺴﻮا ُ ﻔﺎو َ ﻟﻮ# ﺿﻮا ﰲ أ َْﻣﺮ ُﻛ ﱢﻞ َﻋﻈﻴﻤﺔ َ َوﺗ
b.
Quwwat al-Athifah (kekuatan rasa); Seperti kekuatan rasa dan semangat yang digambarkan Haritsah bin Badr tentang para pejuang mempertahankan prinsip pimpinannya di medan perang:
رﻋﻮد اﳌﻨﺎﻳﺎ ﻓﻮﻗﻨﺎ وﺑﺮوﻗﻬﺎ# وﺷﻴﺐ رأﺳﻲ واﺳﺘﺨﻒ ﺣﻠﻮﻣﻨﺎ وﻧﱰك أﺧﺮى ﻣﺮة ﻣﺎ ﺗﺬوﻗﻬﺎ# وإﻧﺎ ﻟﺘﺴ ـﺘــﺤﻠﻲ اﻟــﻤﻨﺎﻳﺎ ﻧﻔﻮﺳــﻨﺎ 47 إﱃ دارﻧﺎ ﺳﻬﻼً إﻟﻴﻬﺎ ﻃﺮﻳﻘﻬﺎ# ًرأﻳــﺖ اﳌﻨــﺎﻳﺎ ﺑ ــﺎدﺋــﺎت وﻋﻮدا
Rambutku memutih, kesabaranku menjadi lemah lantaran guntur dan kilat kematian mendekati kita jiwaku merasakan manisnya kematian saat lain meninggalkan apa yang dirasakannya aku melihat kematian datang dan kembali menuju rumah kita dengan mudah c.
Tsabat al-Athifah (kelanggenagan rasa); Misalnya, catatan Abu Tamam terhadap peperangan Ali bin Abi Thalib da Mu’awiyah, katanya: 48
ِ ﰲ ﺣﺪﱢﻩِ اﳊ ﱡﺪ ﺑﲔ اﳉ ﱢﺪ و# اﻟﻜﺘﺐ ِ اﻟﻠﻌﺐ أﺻﺪق أﻧﺒﺎءً ﻣﻦ اﻟﺴﻴﻒ ُ ُ
Pedang itu lebih benar daripada kitab
246
ONTOLOGI SASTRA ARAB
Zaki Ghufron
sebagai peringatan dalam ketajamannya terdapat hukuman antara kesungguhandan permainan d.
Tanawwu’ al-Athifah (ragam rasa); Seperti ungkapan kekaguman Umru’ al-Qais ketika menggambarkan Unaizah kekasihnya:
ِ ٍ َﻏــﲑ ﻣ َﻔ،ﻣﻬﻔﻬ َﻔﺔٌ ﺑﻴــﻀﺎء ﺼ ُﻘﻮﻟَﺔٌ ﻛﺎﻟ ﱠﺴ َﺠْﻨ َﺠ ِﻞ َ ُ ُ ُ ِ َِ ٍَ َِ ُ ْ ﺗَﺮاﺋﺒُﻬﺎ َﻣ# ﺎﺿِــﺔ ٍ ﻟﻴﺲ ﺑِﻔﺎﺣ وﻻ ﲟَُﻌﻄﱠ ِﻞ،ُﺼْﺘﻪ إذا # ﺶ َوﺟْﻴﺪ َﻛﺠْﻴﺪ اﻟﱢﺮِﱘ ﻫﻲ ﻧَ ﱠ َ َ ِ ِ ِ ٍ 49 ِ ِ أَﺛﻴﺚ َﻛﻘْﻨ ِﻮ اﻟﻨّ ْﺨﻠَﺔ اﳌﺘَـ َﻌﺜْﻜﻞ# َﺳـ َـﻮَد ﻓﺎﺣ ـ ـ ٍﻢ َ َﻳﻦ اﳌــ ْﱳأ ُ وﻓَـ ْﺮٍع ﻳَﺰ ُ
(Unaizah) itu langsing Perutnya ramping dan dadanya putih bagaikan kaca lehernya jenjang seperti leher kijang jika dipanjangkan tidak bercacat sedikitpun karena lehernya di[enuhi kalung permata rambutnya yang panjang lagi hitam pirang bila tetrurai dibahunya bagaikan mayang kurma. e.
Sumuw al-Athifah (ketinggian rasa). Seperti gambaran Ibnu Muiz tentang prinsipnya dalam memandang kebaikan dan kejahatan:
ِ ِ ْ َ وأ َْر َﺣ ُﻢ اﻟْ ُﻘْﺒ َﺢ ﻓ# ﻴﻢ ﺑﺎﳊَ َﺴﻦ ﻛﻤﺎ ﻳَـْﻨﺒَﻐﻲ ُﺄﻫﻮاﻩ ُ أُﻫ
50
Aku mencintai kebaikan sebagaimana layaknya dan aku menyayangi kejelekan kemudian menyukainya.
Para kritikus sastra membagi emosi kepada dua macam, yakni: a) Al-Awathif al-Syakhshiyah (self-regarding emotions), dan b) Al-Awathif al-Alimah (painful emotions) 3. Al-Khayal (Imagination). Kemampuan menciptakan citra dalam anganangan atau pikiran tentang sesuatu yang tidak diserap oleh pancaindra. Imajinasi terbagi kepada tiga, yakni a. Khayal Ibtikary (creative imagination); yakni adanya gambaran baru dalam sebuah karya sastra.
247
al-Ittijȃh
Vol. 02 No. 02 (Juli-Desember 2010)
b.
Khayal Ta’lifi/Muallif (asosiative); yakni khayal yang terbentuk melalui perpaduan antara pikiran dan gambaran yang serasi dengan bermuara pada satu perasaan yang benar. c. Khayal Bayani/Tafsiri (interpretative); yakni khayal yang merupakan sarana untuk mengekspresikan nuansa alam dengan gaya sastra yang indah. 4. Al-Fikrah (Thought/Gagasan). Gagasan atau tema merupakan pedoman utama mengetahui karya sastra. Gagasan banyak dipengaruhi faktor ekternal seperti keadaan sosial, budaya, politik dan sebagainya51. Gagasan atau pikiran yang disampaikan seorang sastrawan haruslah mempunyai relasi yang kuat dengan judul dan situasi (keadaan). Disamping itu, gagasan itu sendiri tidak akan bermakana jika nilai estetik tidak terpenuhi, karena keindahan sebuah karya seni adalah symbol dari kandungan sastra yang dapat dilihat dan dinikmati oleh pembaca. Pada unsur al-fikrah ini karya sastra harus melingkupi prinsip-prinsip dasar, yakni: a. Al-Shidq (kebenaran), b. Wafrah al-Haqaiq (universalitas gagasan), dan c. Al-Wudhuh (kejelasan),52
C. KESIMPULAN 1.
2.
3.
Sastra dalam bahasa Arab disebut dengan istilah al-Adab; yang bermakna undangan makan dan al-akhlak al-karimah, secara istilah sastra sebagai karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan dan mampu mengungkapkan aspek estetika, baik yang didasarkan pada aspek kebahasaan maupun makna. Terdapat empat unsur dalam karya sastra, yaitu: a). Al-Shurah (Form) atau al-Uslub; b) Al-‘Athifah (Emotion) atau al-Infi’al; c) Al-Khayal (Imagination); d) Al-Fikrah (Thought/Gagasan). Dilihat dari segi objeknya, sastra Arab dapat dibagi menjadi: a) Sastra Kreatif; yang terdiri dari Syi’r dan Natsr, dan b) sastra deskriptif; yang terdiri dari tarikh dan naqd al-adab.
DAFTAR PUSTAKA Ashbihany, Abu al-Faraj, al-, al-Aghany, al-Mamlakah al-Arabiyyah alSu’udiyyah, Mekkah, 1981 ‘Askary, Abu Hilal al-, Jamharatu al-Amtsal, Dar al-Turats al-Arabi, Kairo, 1979 248
ONTOLOGI SASTRA ARAB
Zaki Ghufron
--------------------, Kitab al-Shina’ataini, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1989 Atmazaki, Ilmu Sastra Teori dan Terapan, Angkasa Raya, Padang, 1990 Bagdadi, Abdul al-Qadir al-, Hizanah al-Adab, Dar al-Fikr, Beirut, 1979 Bakr, Abu dan Abu Utsman al-Khaldiyan, al-Asybah Wa al-Nazhair Min Asy’ari al-Mutaqaddimin Wa al-Mukhadramin Wa al-Jahilin, Dar alKitab al-Libnany, Beirut, 1999 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Cet, 1, 1988 Dhaif, Syauqi, Tarikh al-Adab al-Arabifi al-Ashri al-Jahili, Dar al-Ma’arif, Kairo, Cet. 7, 1976 Faishah, Abdul Azizi Muhammad al-, Asru al-Jahily watarikhukhu Wa Asru Al-Adab Al-Jahili Islamy, Wizarah al-Ta’lim al-‘Aliy, Riyadh, cet. 1, 1405 H Fananie, Zainuddin, Telaah Sastra, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2000 Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra: Dari Strukturalisme Generik Sampai Post-Modernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999 Haiman, Stainly, al-Naqd al-adaby Wamadarisuhu al-Haditsah, Dar alTsaqafah, Berut, 1960 Hamawi, Yakut, al-, Mu’jam al-Udaba, Tahqiq: Dr. Ihsan Abbas, Dar alKutub al-Mishriyah, Kairo, 1993 http.//
[email protected] http://www.alwarraq.com Husein, Thaha, al-Taujih al-adaby, Dar al-Kitab al-Araby, Kairo, cet. 2, 1981 Iskandari, Ahmad al-, dan Mushtafa Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Araby wa Tarikhih, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1992 Ja’far, Qudamah bin, Naqd al-Syi’r, Dar al-turats al-araby, Kairo, Cet. 1, 1978 Jahiz, Abu Utsman ‘Amr bin Bahr, al-, al-Bayan Wa al-Tabyin, Dar alTurats al-islamy, Kairo, 1992 Katby, Muhamamad bin Syakir al-, Fuwat al-Wafiyat, tahqiq: Dr. Ihsan Abbas, Dar al-Shadir, Beirut, 1974 Khafaji, Muhammad Abdul Mun’im, al-, al-Syi’r al-Jahiliy , Dar al-Kitab, Beirut, 1973
249
al-Ittijȃh
Vol. 02 No. 02 (Juli-Desember 2010)
Kulaib, Abd al-Quddus Abu Shalih dan ahmad Taufiq, al-Balaghah wa alNaqd, Jami’ah al-Imam Muhammad Ibn Su’ud al-lslamiyah, Riyadh, 1412 H Manawi, Abdu al-Rauf al-, Faidu al-Qadir Fi Syarh Jami’ al-Shagir Li alSuyuti, Dar al-Turats al-Islamy, Kairo, cet. 1, 1981 Muzakki, Ahmad, Kesusastraan Arab: Pengantar Teori Dan Terapan, alRuzz Media, Yogyakarta, 2006 Pradotokusumo, Partini Syarjono, Pengkajian Sastra, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005 Qurasyi, Abu Zaid al-, Jamharah Asy’ar al-Arab, Dar al-Kutub alMishriyah, Kairo, 1982 Ra’uf, Fathurrahman, Corak Sastra Kasidah Burdah Karya al-Bushiri, Desertasi Doktor Bahasa dan Sastra Arab, Perputakaan SPs Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1997 Semi, Atar, Kritik Sastra, Angkasa, Bandung, 1990 Syaraqi, Abd al-Salam al-, al-‘Arudh Wa al-Qafiyah, al-Tijariyah, Tanta, 1945 Syayib, Ahmad, Ushul al-Naqd al-Adaby, Makabah al-Nahdhah alMishriyyah, Kairo, Cet. 1, 1964 Tim Profesor di Negara-Negara Arab, al-Mujaz fi al Adab al Arabi wa Tarikhihi, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1959. Umam , Chatibul, Al-Muyassar Fi ‘Ilm al-Arudh, Hikmah Syahid, Jakarta, 1992 Waluyo, Herman J., Teori dan Apresiasi Puisi. Erlangga, Jakarta, 1987 Zayyat, Ahmad Hasan, al-, Tarikh al-Adab al-Araby, Dar al-Ma’rifah, Beirut, Cet. 7, 2001 Catatan akhir dan Referensi: 1
Lihat, Ahmad Muzakki, Kesusastraan Arab: Pengantar Teori Dan Terapan, (Yogyakarta: al-Ruzz Media, 2006), hal. 85. 2 Lihat uraian وظيفة األدب, Ahmad Syayib, Ushul al-Naqd al-Adaby, (Kairo; Makabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, Cet. 1, 1964), hal. 57 – 58. Bandingkan dengan Fathurrahman Ra’uf, Corak Sastra Kasidah Burdah Karya al-Bushiri, (Desertasi Doktor Bahasa dan Sastra Arab, Jakarta: Perputakaan SPs Syarif Hidayatullah, 1997), hal. 162 – 174. 3 Walaupun sebenarnya ahli leksokologi Indonesia – Arab masih berbeda pendapat tentang hal ini; kelompok lain mengatakan ‘bahwa sebenarnya tidak ada sebuah katapun yang artinya bertepatan dengan sastra, namun diantara kata yang mengacu kepada pengertian ini, kata al-Adab yang paling dekat pengertiannya dengan sastra’. Karena secara leksikal arti sempit al-Adab adalah belles-lettres yang
250
ONTOLOGI SASTRA ARAB
Zaki Ghufron
berarti susastra. Lihat, Partini Syarjono Pradotokusumo, Pengkajian Sastra, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 6. 4 Abdul al-Qadir al-Bagdadi, Hizanah al-Adab, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), jil. 3, hal. 167. 5 Abu Utsman ‘Amr bin Bahr al-Jahiz, al-Bayan Wa al-Tabyin, (Kairo: Dar al-Turats al-islamy, 1992), Jil. 1, hal. 97 6 Kata addabani dimaksudkan “(Allah) mengajarkan aku budi pekerti mulia (secara pisik dan psikis); Hadis tersebut diriwayatkan imam Abu Sa’ad (Ibn Sam’ani); menurut para kritikus hadis: “matan hadis tersebut sahih, namun tidak ada rantai sanad sahih yang lengkap disebutkan”. Lihat, Abdu al-Rauf al-Manawi (9521031), Faidu al-Qadir Fi Syarh Jami’ al-Shagir Li al-Suyuti, (Kairo: Dar al-Turats al-Islamy, cet. 1, 1981), jil. 1, hal 290 -291. 7 Abu Zaid al-Qurasyi, Jamharah Asy’ar al-Arab, (Kairo: Dar al-Kutub alMishriyah, 1982), Jil. 1, hal. 10. Dan Syauqi Dhaif, Tarikh al-Adab al-Arabifi alAshri al-Jahili, (Kairo: Dar al-Ma’arif, Cet. 7, 1976), Jil. 1, hal. 7. 8 Saham bin Hanzalah al-Ganawy adalah penyair mukhadram dan Islam yang meninggal pada tahun 70 H., lihat Abdul al-Qadir al-Bagdadi, (1979), jil. 3, hal. 402. 9 Abu Hilal al-‘Askary, Jamharatu al-Amtsal, (Kairo: Dar al-Turats alArabi, 1979), hal. 196. 10 Tim Profesor di Negara-Negara Arab, al-Mujaz fi al Adab al Arabi wa Tarikhihi, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1959), Jil. 1, hal. 5. 11 Abdul Azizi Muhammad al-Faishah, Asru al-Jahily watarikhukhu Wa Asru A Al-Jahili Islamy, (Riyadh: Wizarah al-Ta’lim al-‘Aliy, cet. 1, 1405 H), hal 5. 12 Dalam hal ini Thaha Husein dalam redaksi berikut: إن لكلمة األدب معنيين سواء.مختلفتين؛ أحدھما األدب بالمعنى الخاص وھو الكالم الجيد الذي يحدث في نفس قارئه وسامعه لذة فانية والثاني األدب بالمعنى العام وھو اإلنتاج العقلي الذي يصورفي الكالم ويكتب في.أكان ھذا الكالم شعرا أم نثرا . فالكتاب في النحو أو في الطبيعة أو في الرياضة أدب بالمعنى العام. الكتبThaha Husein, al-Taujih al-adaby, (Kairo: dar al-Kitab al-Araby, cet. 2, 1981), hal. 3 - 4. 13 Lihat, Abdul Azizi Muhammad al-Faishah (1405 H), hal. 38 14 Abdul Azizi Muhammad al-Faishah (1405 H), hal. 8 15 Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2000), hal. 3. 16 Lihat, Atmazaki, Ilmu Sastra Teori dan Terapan, (Padang: Angkasa Raya, 1990), hal. 17 dan Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra: Dari Strukturalisme Generik Sampai Post-Modernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 12. 17 Qudamah bin Ja’far, Naqd al-Syi’r, (Kairo: Dar al-turats al-araby, Cet. 1, 1978), hal. 1 18 Ahmad al-Iskandari dan Mushtafa Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Araby wa Tarikhih, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1992), hal. 42 19 Dalam redaksi definisi syi’r yang ditulis Thaha Husein tergambar fungsi wazan sebagai berikut: لفظه على الموسيقي والوزن فيتألف من أجزاء يشبه الشعر ھو الكالم الذي يعتمد بعضھا بعضا في الطول والقصر والحركة, Thaha Husein (1981), hal. 7 20 Dua bagian dengan wazan yang sama daam setia bait syair ini disebut dengan al-Mishra’. Lihat, Chatibul Umam , 14. Al-Muyassar Fi ‘Ilm al-Arudh, (Jakarta: Hikmah Syahid, 1992), hal. 14.
251
al-Ittijȃh
Vol. 02 No. 02 (Juli-Desember 2010)
21
Dalam qafiah ada juga yang disebut dengan rawi; yaitu huruf akhir yang terbaca dalam bait syair. Lihat Abd al-Salam al-Syaraqi, al-‘Arudh Wa al-Qafiyah, (Tanta: al-Tijariyah, 1945), hal. 68 22 Abu al-Faraj al-Ashbihany, (1981), Jil. 7, hal. 223. 23 Ahmad al-Iskandari nengatakan: إذا كان الخيال أغلب مادته أطلق بعض العرب تجوزا لفظ الشعر على كل كالم تضمن خياال ولو لم يكن موزوناAhmadal-Iskandari dan Mushthafa Inani (2001), hal. 42. 24 Lihat, Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi. (Jakarta: Erlangga, 1987), hal. 22. 25 Lihat, Ahmad Syayib, hal. 39 – 45 dan Ahmad Hasan al-Zayyat, hal. 25 26 Lihat, Muhamamad bin Syakir al-Katby, Fuwat al-Wafiyat, tahqiq: Dr. Ihsan Abbas, (Beirut: Dar al-Shadir, 1974), Jil. 1, hal. 199 27 Lihat, Mushtafa Shadiq al-Rafi’I (2000), hal. 124. 28 Lihat, Mushtafa Shadiq al-Rafi’I (2000), hal. 126. 29 Lihat, Abu al-Faraj al-Ashbihany, (1981), Jil. 1, hal. 17 30 Lihat, Mushtafa Shadiq al-Rafi’I (2000), hal. 131. 31 Abd al-Quddus Abu Shalih dan ahmad Taufiq Kulaib, al-Balaghah wa alNaqd, (Riyadh: Jami’ah al-Imam Muhammad Ibn Su’ud al-lslamiyah, 1412 H), hal. 158. 32 Lihat, Ahmad Muzakki (2006), hal. 53 - 54. 33 Syauqi Dhaif (1976), Jil. 1, hal. 15. 34 Lihat, Ahamd Syayib, hal. 328. 35 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Cet, 1, 1988), hal. 213. 36 Sedangkan Ellyoth menggambarkan tujuan khusus cabaret (drama-lirik) sebagai: وتلك ھي، وظيفتھا العامة عند اليوت،وأھم من ھذه الوظائف الخاصة التي تؤيدھا المسرحية " وھو يريد للمسرح تعبيرا شعريا.مقدرتھا على أن تجمع بين الشعر والدعاوة متنكرة في لبوس المتعة العامة ، وبه تعبر الشخصيات المسرحية عن أخلص الشعر دون حذلقة،نستطيع أن نسمع فيه كالم األحياء المعاصرين " وبه تستطيع أن تنقل أبسط رسالة شعبية دون تفاھةlihat, Stanly Haiman, al-Naqd aladaby Wamadarisuhu al-Haditsah, (Berut: Dar al-Tsaqafah, 1960), Jil. 1, hal. 159 37 Lihat, Ahmad Hasan al-Zayyat, Tarikh al-Adab al-Araby, (Beirut: Dar alMa’rifah, Cet. 7, 2001), hal. 3. 38 Lihat, Fannanie (2000), hal. 19 39 Lihat, Muhammad Abdul Mun’im al-Khafaji (1973), hal 9 dan Ahamd Syayib, hal. 115. 40 Lihat, Atar Semi, Kritik Sastra, (Bandung: Angkasa, 1990), hal. 11 – 12. 41 Lihat, Ahamd Syayib, hal. 39 – 40 dan Thaha Husein (1981), hal. 30 – 32. 42 Lihat, al-Rafi’i, (2000), jil. 3, hal. 18 43 Lihat, Ahmad Syayib, (1964), hal. 31. 44 Ada dua paham yang dikenal dalam tataran stilistika sastra; pertama Platonik, yaitu paham yang mengatakan bahwa style adalah kualitas suatu ungkapan. Kedua Aristotelis, yaitu paham yang beranggapan bahwa style adalah kualitas yang inhern dalam satu ungkapan. lihat. Zainuddin Fananie, (2000), hal. 26. 45 Ia adalah Ziad bin Mu’awiyah al-Nabigah al-Zabyany (wafat 18 SH/604 M), salah satu dari 3 penyair Jahiliyah yang paling dikenal. (Lihat beografi lengkap al-Nabigah), Ahmad Hasan al-Zayyat, (2001), hal. 39 - 40
252
ONTOLOGI SASTRA ARAB
Zaki Ghufron
46
Abu Bakr dan Abu Utsman al-Khaldiyan, al-Asybah Wa al-Nazhair Min Asy’ari al-Mutaqaddimin Wa al-Mukhadramin Wa al-Jahilin, (Beirut: Dar al-Kitab al-Libnany, 1999), Jil 1, hal. 156, http://www.alwarraq.com dan http.//
[email protected] 47 Abu al-Faraj al- Ashbihany, al-Agany, (Mekkah: al-Mamlakah alArabiyyah al-Su’udiyyah, 1981), Jil. 2, hal. 438 48 Yakut al-Hamwa, Mu’jam al-Udaba, Tahqiq: Dr. Ihsan Abbas, (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1993) Jil. 2, hal. 397, dan Abu Hilal al-‘Askary, Kitab al-Shina’ataini, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1989), hal. 127 49 Abdul al-Qadir al-Bagdadi, Hizanat al-Adab, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), Jil. 4, hal. 108 dan Abu Zaid al-Qurasyi, (1982), Jil. 1, hal, 30 50 Muhammad Abdul Mun’im al-Khafaji, al-Syi’r al-Jahiliy , (Beirut: Dar al-Kitab, 1973), hal 48. 51 Muhammad Abdul Mun’im al-Khafaji, (1973), hal 50. 52 Lihat, Ahmad Muzakki (2006), hal. 71
Zaki Ghufron, adalah Dosen Bahasa Arab pada Jurusan Pendidikan Bahasa Arab, Fakultas Tarbiyah dan Adab IAIN “SMH” Banten.
253
al-Ittijȃh
Vol. 02 No. 02 (Juli-Desember 2010)
254