220
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa krisis spiritual manusia modern dalam perspektif filsafat Perennial Huston Smith dapat dilihat dalam tiga hal: 1. Filsafat Perennial menurut Smith mengandung kajian yang bersifat, pertama, metafisika yang mengupas tentang wujud (Being/On) yang memiliki watak hirarkis. Kedua, psikologi yang menempatkan diri abadi atau diri Ilahi (Dasar Ilahi) yang bersarang di dalam diri individu yang partikular dan temporal. Ketiga, etika yang memiliki kandungan yang bersatu dalam tiga kebaikan yakni kerendahan hati, ketulusan dan kedermawanan. Ketiga karakter filsafat Perennial di atas bersifat abadi karena selalu menyejarah dalam kehidupan dunia. Konteks perjalanan sejarah keilmuan, filsafat Perennial tidak abadi dan selalu mengalami kemunduran dan kemajuan. Filsafat Perennial tidak mendapat tempat di hati orang Barat pada abad modern karena dianggap tidak cocok dengan perkembangan keilmuan di era tersebut. Filsafat Perennial seiring berkembangnya waktu mulai bangkit di era post-modernisme sampai sekarang karena manusia sudah banyak merasa kesepian tanpa unsur Ilahi. 2. Makna krisis spiritual manusia modern yang dimaksud adalah lenyapnya rasa akan yang suci atau rasa akan Yang Ilahi. Manusia sudah banyak yang terjebak
pada
humanisme
individualistik
yang
radikal
dengan
221
mengagungkan kemampuan akal sebagai ciri utamanya. Penyakit inilah yang pada akhirnya melahirkan manusia-manusia yang ateis. Manusia beragama yang jatuh pada pemikiran keagamaan yang berprilaku anarkis. Penyakit ini justru lebih parah dari pada penyakit sebagai ateis karena mengatasnamakan agama dalam bertindak kekerasan, tindakan tersebut sangat berseberangan dengan ajaran agama yang dianut. 3. Jawaban filsafat perennial Huston Smith terhadap krisis spiritual manusia modern yakni, pertama, krisis spiritual manusia modern sebagai kegagalan modernitas digambarkan Smith bahwa modernisme telah gagal secara substansi dalam tujuannya membawa kebahagiaan sejati untuk manusia. Kebahagiaan yang diperoleh melalui kecanggihan sains dan teknologi dianggap kebahagiaan semu. Kondisi modernitas menjadikan manusia terasing dari sesamanya, dari lingkungan hidupnya, bahkan dari dirinya sendiri. Diri manusia menjadi terpecah belah dan alam kehidupannya menjadi rusak akibat penyakit modernitas yang minim unsur Ilahi. Kedua, krisis spiritual manusia modern sebagai kegagalan post-modernitas, menurut Smith, tidak memiliki perbedaan antara post-modernisme dan modernisme dalam responnya tentang dunia. Keduanya melihat dunia ini sebagai satu-satunya realitas yang nyata, walaupun antara keduanya berbeda dalam pendekatannya. Keduanya tidak mengakui adanya semacam hirarki realitas dan pengalaman lain yang mengatasi realitas dunia ini beserta pengalaman tentangnya. Smith mengatakan bahwa tidak ada cara yang lebih jelas untuk menjelaskan post-modernisme selain penegasan
222
bahwa dunia keduanya hanyalah dunia ini semata. Ketiga, mistisisme agama yang ditawarkan Smith sebagai solusi krisis spiritual manusia modern bersifat perennialistik. Sikap dan pandangan yang sangat beragam atau pluralistik pada manusia mesti dilandaskan dengan prinsip esoterisme masing-masing agama, sehingga Common Vision dapat menemukan bentuk peran dan fungsinya yang sebenarnya. Smith menegaskan bahwa sangat diperlukan suatu formulasi dialog yang akan merubah pandangan dunia materialistik konsumtif, yakni antara sains dengan esoterisme agama, sehingga tumbuh kesadaran dalam lingkungan sains akan adanya dunia yang transenden. Dunia transenden merupakan dunia inspirasi dari moralitas manusia yang bersifat mistis-spiritual. Istilah Tacit Knowledge (pengetahuan spontan) Smith bisa dimaknakan secara sejajar dalam istilah ‘pencerahan’ atau ‘penyingkapan’. Kemampuan ‘pengetahuan yang tersembunyi’ manusia yang bersifat intuitif inilah yang diharapkan Smith sebagai pijakan awal jalan mistis, yakni jalan yang penuh intuisi yang semestinya semua manusia bisa mengolah dalam pribadinya. Menurut Smith, jalan mistik tersebut merupakan jalan ketulusan. Keempat, Perennial Smith menemukan suatu kedamaian dan saling pengertian dalam sikap hidup
beragama,
karena
adanya
kesadaran
toleransi
dan
tidak
mempertentangkan perbedaan eksoterik pada setiap agama. Konsep perennial Smith tepat dijadikan rujukan bagi penganut agama Indonesia, yang selama ini banyak terjebak dalam kerangka teologis agama yang kaku. Pendekatan ini tidak terkungkung dalam konteks formal, eksoteris
223
atau simbolis dengan agama lain yang sulit dipertemukan, melainkan mengupas substansi atau esoteris agama bagi kehidupan manusia. Agama sesungguhnya menjadi media, dan instrumen bagi manusia untuk menggapai kehidupan yang luhur. Agama untuk manusia bukan manusia untuk agama, kalau manusia untuk agama, akan membentuk sikap keagamaan yang intoleran dan ekslusif. Sikap ini mengubah agama yang bersifat humanistik menjadi agama yang dehumanistik, substansinya agamalah untuk manusia. Kajian filsafat Perennial pada akhirnya selalu berhadapan dengan sebuah realitas suci yang sulit dipahami manusia karena yang suci tersebut jauh melampaui bahasa manusia. Filsafat Perennial hanya akan dianggap sebagai salah satu bentuk pemikiran yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Filsafat Perennial sebagai sebuah keilmuan hanya terbatas pada penawaran-penawaran alternatif dalam menangkap pesan Tuhan yang bersifat relatif. Kebenaran mutlaknya milik sang Ilahi yang sulit ditangkap manusia selama berada dalam kehidupan fana ini.
B. Saran 1. Kepada para tokoh dan penganut agama diharapkan untuk menelaah, menggali dan memahami kembali nilai-nilai dari ajaran agama yang diyakini. Agama mengandung spiritualitas yang mampu membawa manusia menuju kesucian dunia. 2. Kepada para peneliti dan pencinta ilmu pengetahuan diharapkan mampu mengaitkan ijtihad sains dengan yang suci yang terkandung dalam wahyu
224
agama. Kehadiran sains tidak hanya menciptakan manusia pintar secara logika dan rasio, melainkan juga cerdas secara intelek dan intuitif. Pengetahuan intuitif merupakan bentuk pengetahuan yang dapat membawa manusia untuk tetap mengenal siapa jati dirinya yang hakiki dan mengenal Tuhan. Pembelajaran filsafat tidak hanya diprioritaskan pada sumber filsafat Barat semata. Warisan khazanah intelektual Timur merupakan sumber yang sangat memadai dalam mengembangkan sains baik secara kualitas maupun kuantitas. 3.
Kepada
institusi
pendidikan
di
Indonesia
diharapkan
mampu
memperkenalkan lebih dalam kepada peserta didik mulai dari tingkat terendah hingga pendidikan tinggi akan nilai dan ajaran yang terkandung di dalam agama. Para penerus bangsa mempunyai wawasan luas untuk memperoleh world view tentang pentingnya aplikasi nilai dan ajaran suci tradisi dalam kehidupan.