JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
SURYA MEDIKA
Volume 7. No. 1 Januari 2011
GAMBARAN PERILAKU FAKTOR PEMUNGKIN (ENABLING FACTORS) DALAM PELAKSANAAN KEWASPADAAN UMUM TENAGA PERAWAT DALAM MELAYANI PASIEN SUSPECT HIV/ AIDS DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA Oleh : Yelli Yani Rusyani5 ABSTRACT Background: Increasing prevalence of HIV/AIDS also increases risk of health staff in services suspect HIV/AIDS patient, especially when universal preacaution is not implemented to all patients. Objective: This study aims to understand in depth about the behavior description actuating universal precaution of nurses in serving patients with HIV/AIDS suspect at PKU Muhammadiyah Hospital Yogyakarta. Method: This study used a qualitative approach with the case method. The subject of the study is consisted of 14 nurses who conduct risk prevention in the Arofah and Marwah Rooms. Triangulation research used the observation and interview with supervisors in Arofah and Marwah Rooms, the management and HIV/AIDS team as a prerequisite for the validity of the study. Result: The result of this study is not all nurses comply uses APD before and after the action. Enabling factor in the implementation of public awareness of nurses in serving patients suspected of HIV / AIDS is the hospital has adequate facilities in the care of patients suspected of HIV / AIDS, training / refreshing and VCT, there are no rules.
Keywords: universal, precaution, behavior, nurses, staff, suspect, HIV, AIDS 5
Staf Pengajar Stikes Surya Global Yogyakarta
27
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
PENDAHULUAN Rumah sakit merupakan instansi kesehatan yang berperan penting untuk melawan penyebaran HIV/AIDS dan memberikan perawatan bagi penderita HIV/AIDS. Rumah sakit memiliki potensi penularan penyakit seperti HIV/AIDS, hepatitis, TBC, Demam Berdarah, SARS dsb. Oleh karena itu, universal precaution diajarkan kepada perawat, bidan, dokter dan petugas kesehatan lainnya di tiap rumah sakit agar tidak tertular dari pekerjaannya (Achmadi U.F., 2005). Petugas kesehatan menghadapi peningkatan risiko kematian akibat penyakit yang ditularkan melalui darah contohnya HIV dan penyakit lain, dibandingkan pekerja di bidang lain (The Kaiser daily HIV/AIDS Report. 2008). Meningkatnya prevalensi HIV/AIDS meningkatkan pula risiko tenaga kesehatan yang dapat tertular dari darah pasien yang terinfeksi HIV, khususnya jika kewaspadaan terhadap darah dan cairan tubuh tidak dilaksanakan terhadap semua pasien. Tenaga kesehatan perlu mempertimbangkan bahwa semua pasien berpotensi untuk terinfeksi penyakit HIV/AIDS maupun penyakit menular lannya dan untuk menerapkan kewaspadaan untuk meminimalkan risiko penularan dari darah serta cairan tubuh semua pasien (Centers For Disease Control (CDC). 1987). Harus ditekankan bahwa pedoman tersebut dibutuhkan tidak hanya untuk melindungi terhadap penularan HIV tetapi yang tidak kalah penting terhadap infeksi lain yang dapat berat dan sebetulnya lebih mudah menular, karena akan sulit untuk mengetahui apakah pasien terinfeksi atau tidak. Petugas layanan kesehatan harus menerapkan kewaspadaan umum secara penuh dalam hubungan dengan semua pasien. Ada banyak alasan mengapa kewaspadaan umum tidak diterapkan,
SURYA MEDIKA termasuk: petugas layanan kesehatan kurang pengetahuan, kurang dana untuk menyediakan pasokan yang dibutuhkan, misalnya sarung tangan dan masker, Penyediaan pasokan tersebut kurang, petugas layanan kesehatan ‘terlalu sibuk’, dianggap ODHA, harus mengatakan bahwa dirinya HIV-positif agar kewaspadaan dapat dilakukan (Yayasan Spiritia, diakses 18 februari 2009) Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi DIY, bahwa distribusi kasus HIV/AIDS yang dilaporkan dari tahun 2003 sampai dengan Juli 2008 berjumlah 557 kasus ; laki-laki 237 kasus, perempuan 150 kasus, waria 1 kasus dan tidak diketahui 169 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi DIY. 2008). Hasil wawancara observasi awal melakukan pada tanggal 1 April 2009 dengan koordinator HIV/AIDS dan manajer kasus yang ada di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta bahwa pada hari itu ada pasien yang dirawat dengan diagnosis HIV/ AIDS dan baru saja merujuk pasien AIDS ke rumah sakit Sardjito bukan karena menolak dengan statusnya AIDS tetapi tidak memadainya fasilitas karena pasien tersebut terkena kanker. Berdasarkan data dari penelitian Puspita bahwa tingkat kepatuhan pelaksanaan kewaspadaan umum oleh perawat masih rendah yakni hanya 64 responden dari 220 responden atau sebesar 33,5% (Puspita Dentiana. 2008). Perawat merupakan salah satu pemberi pelayanan yang mempunyai risiko dalam penanganan kasus HIV/ AIDS. Termasuk untuk perawat di Bangsal “Arofah” dan Bangsal “Marwa”. Selama ini pelayanan yang diberikan oleh perawat dalam penanganan kasus HIV/ AIDS adalah sarung tangan dan masker. Walau demikian masih ada perawat yang merasa ‘ribet’ apabila
28
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
harus pakai alat pelindung diri dan menganggap pelayanan akan lebih cepat bila tidak menggunakan alat pelindung diri. Seharusnya dalam memberikan pelayanan, kewaspadaan umum (universal precaution) tetap harus dilaksanakan. Masih ada juga perawat bila telah menyuntik pasiennya, perawat tersebut masih saja memasukkan jarum suntik ke dalam spuitnya dengan menggunakan dua tangan tanpa harus menutup kembali spuitnya, padahal tempat sampah khusus sudah disediakan oleh pihak rumah sakit atau dengan prosedur menutup dengan satu tangan. Petugas kesehatan yang melayani mempunyai risiko untuk tertular penyakit dan menuntut adanya kesiapan dalam mencegah penularan penyakit HIV/ AIDS. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak manajemen rumah sakit diperoleh data awal bahwa sosialisasi dan pelatihan tentang pelayanan komprehensif HIV/ AIDS pernah diberikan oleh pihak rumah sakit, dan pihak manajemen mengharuskan perawat untuk menerapkan sistem kewaspadaan umum (universal precaution) dalam memberikan pelayanan pada pasiennya tapi mayoritas perawat jarang melaksanakannya. Adanya kondisi tersebut diperlukan penelitian yang bersifat kualitatif. Adanya program dari pemerintah dalam penanganan HIV/ AIDS, maka kiranya perlu di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta untuk menjalankan suatu pelayanan yang berkualitas dalam memberikan pelayanan HIV/ AIDS dengan tidak melanggar hak pasien dan menjamin keamanan dan keselamatan petugas kesehatan serta pasien lain dalam memberikan pelayanan.
SURYA MEDIKA METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Subyek dalam penelitian ini disebut dengan responden penelitian yang berjumlah 14 tenaga perawat yang ditentukan secara purposive sampling (Sugiyono,2008) dan untuk triangulasi menggunakan triangulasi sumber yaitu supervisor, pihak manajemen serta tim HIV/ AIDS yang selanjutnya disebut dengan informan penelitian. Obyek dalam penelitian ini adalah pelaksanaan kewaspadaan umum tenaga perawat. Pengumpulan data dilakukan dengan metode indept interview terhadap subyek penelitian, supervisor, pihak manajemen serta tim HIV/AIDS . Obervasi untuk melihat kegiatan yang dilakukan tenaga perawat dan cek list untuk mengetahui sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan kewaspadaan umum. Pengolahan data dilakukan dengan metode content analysis dari Miles dan Huberman yang meliputi reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Milles, M.B. Huberman, A.M; Penerjemah Rohindi T.R. 2007). HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Pelaksanaan Kewaspadaan Umum Alat Pelindung Diri (APD) Pertama, Sarung tangan perawat yang mendapat pelatihan: sebagian besar menggunakan alat ini bila dianggap penting karena perawat sering lupa, terburu-buru, merasa sibuk, ribet , tidak lancar dan tidak nyaman. Perawat yang belum mendapat pelatihan: Separuh responden kadangkadang saja menggunakan sarung tangan, responden sering pilih diagnose pasien dengan alasan untuk efisiensi
29
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
SURYA MEDIKA
Volume 7. No. 1 Januari 2011
karena jumlah sarung tangan yang tersedia minim dan separuh lagi selalu pakai sarung tangan karena bila tidak pakai kadang mendapat teguran teman. Hal ini mempunyai hasil yang sama antara wawancara dan observasi dan didukung oleh Ji,G,. (2005) prevalensi ketidakpatuhan penggunaan sarung tangan saat memeriksa dan menolong pasien sebesar 60% dari 137 responden. Didukung pula oleh Puspita yang menyatakan bahwa tingkat kepatuhan pelaksanaan kewaspadaan umum masih rendah sebesar 33, 5%. Sebagian besar perawat memakai sarung tangan non steril double dalalm melayani pasien suspect HIV/AIDS karena responden merasa sarung tangan yang dipakai tipis dan merasa takut sobek. Yanri dalam pedoman bersama ILO/ WHO, APD akan mencegah pajanan dari percikan darah dan akan mencegah luka karena jarum suntik. Penggunaan sarung tangan ganda dalam tindakan telah mengurangi tusukan dari sarung tangan bagian dalam sampai 60-70%. a. Masker, perawat sebagian besar jarang menggunakan masker. Masker hanya digunakan untuk kasus tertentu dan hanya sebagian kecil saja yang selalu pakai masker. Hal ini Bertentangan dengan Yunus dalam recommendation isolation yang menyatakan bahwa gunakan masker jika masuk ruangan. Nursalam juga mengungkapkan bahwa komponen utama kewaspadaan umum meliputi; masker yang digunakan untuk melindungi selaput mata, hidung, mulut saat terjadi kontak atau untuk menghindari cipratan darah dan cairan tubuh setiap berganti pasien dan untuk pasien infeksi respirasi.
b.
Baju tindakan; Sebagian besar perawat jarang menggunakan baju tindakan karena merasa tidak nyaman, ribet, risih dan dianggap menghabiskan waktu. Hanya sebagian kecil yang selalu pakai baju tindakan. Baju tindakan ini digunakan responden untuk medikasi, masuk ruang isolasi dan saat membersihkan alat-alat yang telah dipakai pasien.
c.
Kaca mata, Semua respoden tidak meggunakan kaca mata. Responden merasa tidak perlu dalam tindakan memakai kaca mata dan di ruang “Arofah” maupun “Marwa” kaca mata tidak tersedia.
d.
Sandal tindakan sebagian besar tidak menggunakannya karena di ruangan tidak tersedia dan hanya sebagian kecil perawat yang kadang menggunakanya yaitu pada saat responden masuk ruang isolasi di “A”.
Hal ini didukung oleh Priambodo, yang menyatakan bahwa tidak semua APD dipakai dalam waktu yang bersamaan tapi tergantung jenis tindakan. 1. Cuci Tangan Sebelum Dan Sesudah Tindakan Perawat yang mendapat pelatihan: Sebagian besar selalu cuci tangan sebelum tindakan. hal ini dianggap penting oleh perawat walaupun perawat telah mempergunakan sarung tangan dan dianggap sebagai suatu kebiasaan perawat. Perawat yang tidak mencuci tangan merasa tangannya sudah bersih, suka lupa dan adanya anggapan bahwa perawat dalam melakukan tindakan memakai sarung tangan serta sering terburu-
30
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
buru. Semua perawat selalu cuci tangan sesudah tindakan dan separuh perawat menyatakan sarung tangan memberi alasan takut bocor karena sarung tangan tipis, mencegah infeksi silang dan separuh lagi menyatakan adanya rasa “risih” karena di dalam sarung tangan ada sejenis tepung. Perawat yang mendapat pelatihan: semua responden menyatakan selalu cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan karena merupakan suatu kebiasaan. Penggunaan sabun; sebagian besar perawat cuci tangan memakai sabun dengan air kran yang mengalir dan hanya sebagian kecil saja yang mencuci tangannya tanpa sabun karena alergi terhadap sabun perawat ganti dengan menggunakan alkohol semprot. Pemakaian Lap/ handuk digunakan perawat berkali-kali dan tisu baik di ruang Arofah dan Marwah tidak tersedia. dengan adanya hall tersebut perawat mengeluh lap/ handuk yang dipakai lembab. Perawat sering membawa tisu sendiri dan dua perawat yang membiarkan tangannya kering. Khusus untuk menangani pasien suspect HIV/ AIDS; sebagian besar cuci tangan di kran yang mengalir dengan memakai sabun atau alkohol dan hanya sebagian kecil di air kran yang mengalir dengan menggunakan sabun tanpa alkohol karena perawat merasa aman. Cara menutup kran sebagian besar responden menutupnya tangan tanpa alas dan sebagian kecil menggunakan sikutnya dan meminta bantuan teman di sebelahnya. Penelitian Ji, G. (2005), ketidakpatuhan cuci tangan sebelum
SURYA MEDIKA dan sesudah masih tinggi (40% dari 137 perawat) Berdasarkan pedoman pelaksanaan universal precaution (Depkes RI, 2006) terdapat 7 langkah dalam prosedur cuci tangan. Berdasarkan hasil indepth interview dan observasi, semua responden tidak melakukan cuci tangan secara lengkap. Hal ini dikarenakan faktor pemungkin (Green) yakni: lap/ handuk dipakai berkali-kali dan tisu tidak ada serta sosialisasi menutup kran tidak ada. 2. Pengelolaan Linen, Semua perawat memisahkan linen, perawat memasukan dalam kantung sesuai warnanya dan sebagian besar jarang menggunakan sarung tangan dan masker. Sebagian kecil perawat selalu pakai sarung tangan dan masker. 3. Penanganan Darah Dan Cairan Tubuh, Semua perawat menyatakan untuk penanganan darah dan cairan tubuh ditangani oleh cleaning service (bila banyak) dan dilakukan perawat (bila sedikit) biasanya perawat membersihkannya dengan menggunakan kapas/ tisu ditambah alkohol. 4. Pengelolaan Benda Tajam Dan Jarum, dikelola oleh bagian sanitasi. Penggunaan jarum suntik; jarum suntik digunakan 1 hari untuk pasien yang tidak suspect HIV/ AIDS dan 1 kali untuk pasien suspect HIV/AIDS. Semua perawat melakukan recapping jarum setelah dipakai; Sebagian besar perawat recapping jarum dengan menggunakan dua tangan dan ada sebagian kecil yang terkena luka saat recapping jarum. Bertentangan dengan Yanri dalam pedoman ILO/ WHO dan rekomendasi dalam teknik
31
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
kewaspadaan umum bahwa recapping tidak perlu dilakukan, jarum suntik dan syiringnya langsung buang ke tempat khusus, bila terpaksa gunakan dengan teknik satu tangan. Kondisi ini bertentangan dengan direktorat pengawasan kesehatan kerja dengan cara eliminasi recapping jarum memberikan hasil pengurangan 2/3 luka. 5. Pemulasaraan jenazah, Semua perawat menyatakan ada bagian tersendiri yang mengurusi jenazah. Semua perawat hanya membereskan alat yg terpasang dan tutup luka. Sesuai dengan petunjuk teknis perawatan jenazah pasien AIDS Depkes RI bahwa untuk perawatan jenazah perawat ruangan bertugas: luruskan tubuh, tutup mata, telinga dan mulut, melepas alat kesehatan yang terpasang, plester kedap air untuk tutup semua luka dan lubang. Faktor Pemungkin 1. Ketersediaan Fasilitas, sebagian besar responden APD disediakan oleh pihak rumah sakit dan sebagian kecil mengatakan APD yang disediakan meliputi: sarung tangan, masker, baju tindakan, sandal tindakan, penyeteril linen dan tempat buang sampah. Sebagian besar perawat menyatakan APD sudah cukup (bila butuh tersedia) dan sebagian kecil mengatakan minim sehingga harus menggunakannya secara efisien. Menurut manajer pelayanan ruang rawat inap; RS menyediakan APD (sarung tangan non steril, masker, baju tindakan dan di sebagian ruangan sandal tindakan), pengelolaan linen, pengelolaan limbah. Menurut Green, faktor pemungkin merupakan
SURYA MEDIKA faktor anteseden terhadap perilaku yg memungkinkan suatu motivasi terlaksana. 2. Program, semua perawat menyatakan bahwa program untuk pelayanan pasien suspect HIV/ AIDS sudah ada yaitu program pelatihan/ refreshing dan VCT. 3. Peraturan, semua perawat mengatakan untuk aturan dalam pelaksanaan kewaspadaan umum belum ada tetapi didasarkan kepada himbauan, kesadaran, inisiatif dan kedisplinan diri perawat dan adanya anggapan penularan HIV/ AIDS kecil. Begitu pula tentang reward dan punishment tidak ada. 4. Masukan; separuh responden menginginkan pemusatan ruang perawatan untuk pasien suspect HIV/AIDS. Sebagian kecil menginginkan ruang isolasi, kelengkapan APD dan hanya sebagian kecil saja yang merasa bahwa pelayanan yang diberikan sudah cukup. Hal ini didukung oleh manager pelayanan rawat inap bahwa aturan sudah include dalam SOP, aturan, reward dan punishment tidak ada. RS lebih menekankan kepada kesadaran diri hal tersebut dilakukan karena dengan kesadaran diri akan bersifat langgeng dan HIV kecil penularannya. KESIMPULAN Hasilnya adalah tidak semua perawat mematuhi penggunaan APD sebelum dan sesudah melakukan tindakan. Faktor pemungkin dalam pelaksanaan kewaspadaan umum tenaga perawat dalam melayani pasien suspect HIV/ AIDS adalah rumah sakit mempunyai fasilitas cukup dalam
32
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
SURYA MEDIKA
Volume 7. No. 1 Januari 2011
pelayanan pasien suspect HIV/AIDS, pelatihan/refreshing dan VCT, peraturan tidak ada
Pelayanan Medik. Direktorat Rumah Sakit Umum dan Pendidikan. Jakarta.
UCAPAN TERIMA KASIH Diucapkan terima kasih kepada Menteri Pendidikan Nasional yang telah memberikan dukungan pembiayaan melalui program Beasiswa Unggulan hingga penyelesaian tesis berdasarkan DIPA Sekretariat Jenderal Pendidikan Nasional Tahun Anggaran 2007 hingga 2009. Jenderal Pendidikan Nasional Tahun Anggaran 2007 hingga 2009.
Dinas Kesehatan Provinsi DIY. 2008. Laporan kasus HIV/AIDS. Seksi Pemberantasan Penyakit Menular. Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA Achmadi U.F. , 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Penerbit Buku Kompas. Jakarta Azwar S., 2007. Sikap Manusia Teori Dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar. Edisi Kedua. Cetakan XI. Yogyakarta. Centers For Disease Control (CDC). 1987. Universal Precaution For Prevention Of Transmission Of HIV And Other Bloodborne Infection. http//www.cdc.gov/hip/BLOOD/uni versa.HTM. Diakses November 2008 Departemen Kesehatan RI. 2006. Modul Pelatihan Konseling Dan Tes Sukarela HIV. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 1996/1997. Petunjuk Khusus Perawatan Pasien dan Jenazah AIDS di Rumah Sakit. Direktorat Jenderal
Green L W dan Kreteur M W. 1991. Health Promotion Planning An Educational and Environmental Approach. Mayfield Publishing Company. Second Edition. London. Ji, G, 2005. Prevalence Of And Risk Factors For Non-Compliance With Glove Utilization And Hand Hygiene Among Abstetrics And Gynaecology Workers In Rural China. Journal Of Hospital Infection. Milles,
M.B. Huberman, A.M; Penerjemah Rohindi T.R. 2007. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta
---------------------. 2007. POKDIKSUS AIDS Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Laporan rutin. Jakarta. Notoatmodjo S., 2005. Promosi kesehatan teori dan aplikasinya. Rineka cipta. Cetakan pertama. Jakarta. Nursalam, 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Salemba Medika, Edisi Pertama. Jakarta. Puspita Dentiana. 2008. Analisis Sistem Pelaksanaan Manajemen
33
Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif Dan R & D. Alfabeta. Bandung. The Kaiser daily HIV/AIDS Report. 2008. Petugas Kesehatan Menghadapi Peningkatan Risiko Kematian Akibat HIV Dan Penyakit Lain Yang Ditularkan Melalui Darah. http//spiritia, diakses 18 februari 2009 Yanri, Z, et al. 2005. Pedoman Bersama ILO/WHO Tentang Pelayanan Kesehatan Dan HIV/AIDS. Direktorat Pengawasan Kesehatan Kerja, Direktorat Jenderal Pembinaan
Pengawasan Ketenagakerjaan, Departemen Tenaga Kerja Dan Transmigrasi RI. Yunus
W, 2005/2006. Isolation Precaution. Seminar Nasional Universal Precaution. Program Studi Ilmu Keperawatan. Program Hibah Kompetisi (PHK A1). Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Yayasan Spiritia. Kewaspadaan Universal. Lembaran Informasi 811. New Mexico Infonet. http//www.aidsinfonet.org. diakses 18 februari 2009 Yayasan spiritia. Kewaspadaan Universal. Lembaran Informasi 154. New Mexico Infonet. http//www.aidsinfonet.org. Yayasan spiritia.
34
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
SURYA MEDIKA
35