Renny Masmada
e-book Kesatuan Bhayangkara Oleh Renny Masmada ©2011rennymasmada www.rennymasmada.com diterbitkan oleh
[email protected]
cover design: theovirsamaspwg Patung Gajah Mada: Madakaripura, Probolinggo, Jawa Timur
oleh Renny Masmada
Seluruh Nusantara telah bersatu, BHINNEKA TUNGGAL IKA tan hana dharma mangrwa. Sudah saatnya seluruh rakyat bangkit melawan perpecahan dalam bentuk apapun. Kekayaan alam bukan milik segelintir masyarakat, tapi seluruh rakyat Dwipantara. Oleh karena itu, tumbuhkan jiwa bhayangkara sejati, yang sangat mengagungkan pengabdian dan ketulusan menjaga tanah air sebagai warisan untuk anak cucu kelak. ( gajahmada, 1359)
Bagian 1
Prawacana
6
Bagian 2
Tinjauan Sejarah
8
Bagian 3
Kesatuan Bhayangkara dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
10
G
ajah Mada, pahlawan pemersatu Nusantara, hidup pada zaman keemasan
Majapahit di abad ke-14, tercatat pada prasasti dan naskah-naskah sastra para pujangga besar bangsa ini. Sumpah Amukti Palapa yang sangat sakral, yang diucapkannya di paseban agung Majapahit pada tahun 1334 telah merubah sejarah bangsa besar ini menjadi bangsa yang mempunyai kekayaan budaya, peradaban dan semangat kesatuan yang sangat inheren. Sesuai dengan filosofi Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa, yang tertuang dalam Kitab Sutasoma, Gajah Mada mempunyai peran yang cukup signifikan mempersatukan nusantara raya yang sangat heterogen ini. Semangat Bhayangkara yang melekat dalam dirinya telah membentuk Gajah Mada menjadi seorang tokoh sejarah yang tak lekang dimakan waktu. Bhayangkara, yang telah berdiri sejak zaman Singasari terus mengalami perkembangan yang sangat pesat. Di tangan Gajah Mada, Kesatuan Bhayangkara menjadi kekuatan sipil yang sangat berpengaruh pada zamannya. Sehingga keselamatan para raja dan keluarganya berada mutlak di bawah kewenangan dan tanggungjawab Kesatuan Bhayangkara. Kesatuan Bhayangkara, sebagai kekuatan sipil telah memberikan kepercayaan yang sangat kuat di hati masyarakat, sebagai pengayom dan pelindung rakyat. Lima belas sifat Gajah Mada yang tertuang di naskah Nagarakretagama
telah
memberikan
inspirasi
positif
bagi
perkembangan Kesatuan Bhayangkara di kemudian hari. Kini, Kepolisian Negara Republik Indonesia terus tumbuh dan berkembang berdasarkan falsafah Gajah Mada yang tertuang pada Catur Prasetya.
s
elain Angkatan Bersenjata yang saat itu dipegang
oleh dua kekuatan Tentara di darat dan di laut, Majapahit memiliki kekuatan bersenjata yang fungsinya berbeda dengan kedua angkatan di atas, yaitu Kesatuan Bhayangkara. (Begini keindahan lapang watangan luas bagaikan tak berbatas. Menteri, bangsawan, pembantu raja di Jawa, di deret paling muka. Bhayangkari tingkat tinggi berjejal menyusul di deret yang kedua…… Nagarakretagama 9.2) (Sira Gajah Mada ambekel ing bhayangkara…./Gajah Mada
yang
menjadi
kepala
pasukan
bhayangkara
…Pararaton 26) Kesatuan Bhayangkara sudah ada sejak zaman Singasari, sebelum Wisnuwardhana memerintah (1248-1268 Masehi). Dalam Nagarakretagama pupuh IX pada 1 dijelaskan, bahwa sehubungan dengan mangkatnya Tohjaya di Katang Lambang pada tahun 1248 di daerah Pasuruan, maka di antara barisan pengawal yang berkewajiban menjaga keamanan kraton adalah Kesatuan Bhayangkara. Di tangan Gajah Mada, Kesatuan Bhayangkara menjadi kekuatan sipil yang sangat berpengaruh pada zamannya. Sehingga keselamatan para raja dan keluarganya berada mutlak di bawah kewenangan dan tanggungjawab Kesatuan Bhayangkara. Kesatuan Bhayangkara, sebagai kekuatan sipil telah memberikan kepercayaan yang sangat kuat di hati masyarakat, sebagai pengayom dan pelindung rakyat.
Bhayangkara pada zaman Majapahit menduduki posisi strategis yang sangat penting bagi perkembangan Negara di kemudian hari. Bersama-sama dengan kekuatan militer lainnya Bhayangkara terbukti mampu menjaga seluruh perairan Nusantara Raya. Kesatuan Bhayangkara yang bertugas di pusat kerajaan Majapahit dinamakan AdhikaBhayangkari sedang yang bertugas di daerah, di kerajaan bawahan dan Mancanegara dinamakan Lelana-Bhayangkari. Kegagalan Kertanagara mempertahankan istana Singasari atas serbuan Jayakatwang dari Gelang-Gelang lebih karena kegagalan Kertanagara menerapkan keamanan dan pertahanan dalam negeri yang seharusnya berada mutlak di bawah tanggungjawab kesatuan Bhayangkara. Penyerangan ke Malayu secara besar-besaran dengan mengirimkan hampir seluruh kekuatan militer Singasari (termasuk kesatuan Bhayangkara) pada tahun antara 1284-1286 memberikan catatan kelam kehancuran Singasari. Kekosongan kekuatan keamanan di dalam negeri telah memberikan peluang pada Jayakatwang untuk menusuk Singasari langsung ke jantung pemerintahan tanpa perlawanan berarti. Kekuatan militer Singasari yang saat itu disegani dan sedang berada di luar negeri terbukti tak mampu menyelamatkan istana. Keadaan kacau balau, kekuatan militer di luar negeri mulai berantakan bercerai-berai tanpa kendali. Sebagian lainnya bahkan tak mampu melawan perintah Jayakatwang yang telah menguasai secara mutlak Singasari. Sebagian lainnya yang masih setia pada Kertanagara tidak kembali ke Singasari, melakukan perjalanan tak menentu di sepanjang perairan Nusantara, sampai hilang tak diketahui beritanya. Puluhan tahun kemudian, ketika Majapahit mulai muncul di peta geopolitik Nusantara Raya ini, Gajah Mada mulai melakukan perencanaan strategis yang sangat brilian pada sektor keamanan dan pertahanan dalam dan luar negeri. Setelah peristiwa Badander, ketika Gajah Mada dengan belasan anggota Bhayangkara berhasil menyelamatkan Baginda Prabhu Jayanagara, Gajah Mada secara signifikan
melakukan perbaikan dan pengembangan konsepsi keamanan dalam negeri dengan memberikan porsi yang sangat besar pada kesatuan Bhayangkara. Sumpah Amukti Palapa yang diucapkan Gajah Mada di paseban agung Majapahit memuat gagasan yang sangat besar terhadap penyatuan seluruh Nusantara di perairan Dwipantara. Dengan menjunjung tinggi Kitab Perundangan Kutaramanawa Dharmasastra, Majapahit terbukti mampu menegakkan perangkat sistem hukum di seluruh wilayah Negara besar ini. Para penegak hukum tanpa pandang bulu memberikan concern yang sangat besar terhadap penegakkan hukum di setiap jengkal wilayah hukum Majapahit. Dan, Bhayangkara adalah salah satunya. Bersama-sama para Dharmadhyaksa, Upapati dan semua unsur militer serta pengageng kerajaan dari tingkat yang paling rendah sampai yang paling tinggi, Bhayangkara berdiri tegar sebagai kesatuan sipil bersenjata yang bersama rakyat seNusantara Raya menciptakan rasa aman dan menegakan hukum berdasarkan isi kitab Kutaramanawa. Lebih dari enam ratus tahun, Gajah Mada ternyata telah mampu memisahkan fungsi militer sebagai kekuatan bersenjata yang menjaga perairan Nusantara ini dari gangguan keamanan dari luar dengan fungsi Bhayangkara yang memang dibentuk untuk menjaga dan
melayani
pusat
pemerintahan
(baca:istana/
Raja/Sentana Raja) dan masyarakat luas. Penjagaan dan pelayanan terhadap keluarga raja dan masyarakat luas memberikan makna yang sangat luas pada tanggungjawab keamanan di dalam negeri.
s
ebagai konseptor, Gajah Mada telah memberikan warna yang sangat tegas
terhadap filosofi Polri saat ini. Gagasannya memuat pemikiran yang konstruktif dan sangat futuristik. Terutama bagi perkembangan Polri ke depan menghadapi tantangan teknologi informasi dan era globalisasi yang paralel terhadap peningkatan modus kejahatan dalam berbagai aspek. Oleh karena itu, sebagai insan Bhayangkara, sudah sepatutnya Polri mengenal dan memahami Gajah Mada lebih dekat. Empat sifat Gajah Mada yang tertuang dalam Catur Prasetya memberikan semangat holistik yang begitu kuat mempengaruhi perubahan paradigma Polri seperti diuraikan di atas. Semangat Bhayangkara yang melekat dalam dirinya telah membentuk Gajah Mada menjadi seorang tokoh sejarah yang tak lekang dimakan waktu. Kini, baru tahun 2002 gagasan pemisahan fungsi Polri dan TNI dapat dilaksanakan dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 2 tahun 2002. Namun ternyata gagasan ini sudah lahir jauh enam ratus tahun lalu di Negara tercinta ini, yang dilakukan oleh Gajah Mada. Gagasan ini terinspirasi dari konsepsi Majapahit sebagai Negara Maritim, sebagai implementasi dari sumpah Amukti Palapa yang diucapkan Gajah Mada pada tahun 1334. Sebagai Negara Maritim, yang menguasai samudra dengan
luas dua pertiga dari
wilayah teritorial Negara, Gajah Mada sangat menaruh perhatian untuk menempatkan Bhayangkara sebagai kekuatan sipil yang melayani dan menjaga masyarakat luas agar tercipta sistem keamanan dalam negeri dan penegakan hukum yang concern terhadap pertumbuhan di segala bidang. Kekuatan militer disiapkan untuk menjaga dan mempertahankan Negara dari gangguan bangsa asing. Sedang Bhayangkara berfungsi menjaga keamanan dan ketertiban di dalam negeri.
Untuk itu, kedudukan Bhayangkara harus sesuai dengan
konsep
memusatkan
Negara
perhatian
Maritim pada
yang
sangat
implementasi
kemaritiman di segala sektor. Tidak hanya di lautan, bahkan di seluruh pesisir dan seluruh pelosok negeri, hutan, ngarai, lembah dan pegunungan sebagai lahan potensial pertumbuhan ekonomi Negara yang tersebar di seluruh Nusantara Raya ini. Konsepsi Negara Maritim, langsung tidak langsung telah menempatkan Bhayangkara menjadi institusi yang sangat proaktif menjaga keamanan dan ketertiban dalam negeri. Bhayangkara begitu dikenal dan akrab dengan keluarga istana dan masyarakat umum. Di lingkungan istana, kotaraja, pedesaan, pusat-pusat perdagangan, pelabuhan, pesisir pantai, pegunungan, di setiap jengkal wilayah Nusantara Raya dan institusi hukum serta peradilan, Kesatuan Bhayangkara selalu tampak hadir. Keberadaannya menjadi begitu penting. Pada saat-saat genting, ketika institusi militer keluar pusat pemerintahan untuk berperang atau sekedar melakukan tugas kenegaraan, keamanan dalam negeri berada di bawah tanggungjawab Kesatuan Bhayangkara. Begitu pentingnya kedudukan Bhayangkara, sehingga Rakawi Prapanca dalam Nagarakretagama pupuh IX pada 2, menuliskan: “Begini keindahan lapang watangan luas bagaikan tak berbatas. Menteri, bangsawan, pembantu raja di Jawa, di deret paling muka. Bhayangkari tingkat tinggi berjejal menyusul di deret yang kedua……” Menurut Kakawin Nagarakretagama di atas, dengan mensejajarkan Bhayangkara berada di deret kedua setelah sentana Raja, mengandung makna betapa Kesatuan Bhayangkara menempati posisi penting di pusat pemerintahan. Lima belas sifat Gajah Mada yang tertuang di naskah Nagarakretagama telah memberikan inspirasi positif bagi perkembangan Kesatuan Bhayangkara di kemudian hari.
Kini, Polisi Republik Indonesia terus tumbuh dan berkembang berdasarkan falsafah Gajah Mada yang tertuang pada Catur Prasetya sebagai paradigma moral Polri. Empat butir Catur Prasetya tersebut adalah: 1.
SATYA BHAKTYAPRABHU: Setia, jujur, berbakti dan taat pada pimpinan bagi
kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 2.
ANAYAKEN MUSUH: Mencipta kan keamanan dan ketertiban masyarakat serta
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. 3.
GINONG PRATIDINA: Mewujud kan penegakan hukum serta pengembangan
sumberdaya manusia yang profesional dan proporsional. 4.
TAN SATRISNA: Cinta pada bangsa dan negara dan ikut serta memelihara sendi-
sendi agama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Isi Catur Prasetya terambil dari kata-kata yang tertulis pada Naskah Sastra Kakawin Nagarakretagama karya pujangga besar Rakawi (mPu) Prapanca yang juga bernama Nadendra, seorang Dharmadhyaksa ring Kasogatan, yaitu:
Wetan lor kuwu sang gajahmada patih ring tiktawilwadika mantri wira wicaksaneng mnaya matangwan/satya bhaktyaprabhu wagni wak padu sar jjawopasana dihotsaha tan lalana, raja dyaksa rumaksa ri sthiti narendran cakrawar tting jagat. (Nag.12.4 :10) Sebelah timur laut adalah tempat tinggal sang Gajah Mada, Patih dari Majapahit yang utama, seorang menteri yang perwira, bijaksana dalam kepemimpinan serta setia/jujur dan berbakti pada raja, fasih dan tajam bicaranya, hormat, tenang, teguh pendirian, gesit dan tidak ragu-ragu dalam tindakan, pengawas tertinggi istana raja dan mengamankan kejayaan raja sebagai penguasa dunia. (Nag.12.4 :10). Nrpatin umulih sangke Simping wawang dateng ing pura, prihati tkab ing gring sang mantryadimantra gajamada, rasika sahakari wrddyaning yawawani ring dangu, ri Bali ri Sadeng wyaktinyantuknikanayaken/musuh. (Nag.70.3: 54) Ketika raja pulang dari Simping, segera datang di istana, prihatin kerena sakitnya menteriadimantra Gajah Mada, ia telah berusaha untuk meluaskan pulau Jawa pada
waktu lampau, yaitu dengan Bali, Sadeng, bukti keberhasilannya memusnahkan musuh. (Nag.70.3: 54)
Tri angin ina caka purwwa rasikan/pamang kawakn i sabuwating sabhuwana, pejah irika cakabda tanwinaca naranatha mar salahaca, tuhun i kadiwyacittanira tan / satrsnam asih i
samasta bhuwana hatutur i tatwaning dadin anitya punya juga tang ginong
pratidina. (Nag. 17.1,2,3 55) Tiga, angin dan matahari tahun saka (1253) ia memangku tanggungjawab kesejahteraan dunia, ia wafat pada tahun saka rasa badan matahari (1286), raja sedih dan berduka, hanya karena keagungan citanya, ia tidak memegang teguh cinta keduniawian, ingat akan hakekat makhluk, kebaikan saja yang setiap hari difikirkan. (Nag. 17.1,2,3 55) Naskah Nagarakretagama digubah sampai dengan tahun 1365, ditemukan pertama kali di Puri Cakranegara, Lombok dengan teks dalam huruf Bali. Secara historis, Catur Prasetya ditetapkan: a. Pada peringatan Hari Kepolisian tanggal 1 Juli 1960 di Yogyakarta, kongres K.P Kom (kepala Polisi Komisariat) menetapkan Catur Prasetya seba janji/tekad anggota korp kepolisian Negara dalam melaksanakan tugasnya. b. Pada upacara pembayatan para Doktorandi PTIK tanggal 4 April 1961 di depan presiden RI di Istana Negara, untuk pertama kalinya Catur Prasetya di ikrarkan sebagai Pedoman Karya Korp Kepolisian Negara. c. Melalui Perintah Harian kepala Kepolisian negara No : 2/PH/KKN/61 tanggal 1 Juli 1961, Kepala Kepolisian Negara memerintahkan kepada seluruh Anggota Kepolisian Negara untuk: 1. Memenuhi harapan seluruh rakyat Indonesia yang memerlukan Polisi negara sebagai pelindungnya. 2.
Memenuhi harapan kepala Negara, sebagai mana
tercantum dalam Catur
Prasetya. 3.
Memenuhi harapan yang tersimpul dalam Tri Brata.
Menurut arti kata/etimologi, isi Catur Prasetya, adalah kata dalam bahasa Kawi yang mempunyai arti: a. satya Berarti Setia :
…satya bhaktyaprabhu…/…. setia/jujur dan berbakti pada raja..(Nag. 12.4:10)
Muhammad Yamin, Gajah Mada Pahlawan persatuan Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993
Renny Masmada, Gajah Mada sang Pemersatu Bangsa, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2003
b. bhakty Berarti Bakti :
…satya bhaktyaprabhu…/…. setia/jujur dan berbakti pada raja..(Nag. 12.4:10)
….ngupti bhakty stiti ring bathara satata……/…..jika selalu berbakti dan taat kepada dewa….(Kakawin Gajah Mada pupuh 42.7)
….Manggeh ambekira bhakty maniwi…/….ia berketetapan hati berbakti dan mengabdi…(Kakawin Gajah Mada pupuh 32.6a)
…bhakty manangkil ri sirang pararya…./…berbakti menghadap kepada para perwira…(Kakawin Gajah Mada pupuh 58.9)
c. prabhu Berarti Raja:
…sira tah prabhu wisesa ring bhumi Jawa maka pakarang Janggala mwang Kadiri…/….dia adalah raja yang berkuasa di Pulau Jawa yang disebut Janggala Kadiri..(prasasti Pamintihan bertarikh 1473)
…tan wruh ri marga ning kapilug laku sang prabhu…/….tidak mengerti bagaimana raja dapat dibujuk…(Kidung Sunda 1.56b:21)
d. anayaken Berarti memusnahkan/mengalahkan:
…wysktinyantuknikanayaken…/…bukti keberhasilannya memusnahkan….(Nag. 70.3:54)
Muhammad Yamin, Gajah Mada Pahlawan persatuan Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993
Renny Masmada, Gajah Mada sang Pemersatu Bangsa, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2003
e. musuh Berarti musuh:
…pawitanya ditya krurakara mohita musuh sang sadhu budhi. / …ia keturunan raksasa yang buas dan tamak, dan musuh orang-orang saleh….(Kakawin Gajah Mada pupuh 45.1)
…kweh tekapnya yadin kahuningan tingkah pejah musuh Kebo Mayura…/….banyak ceritanya jika kematian Kebo Mayura sebagai musuh ingin diketahui..(Kakawin Gajah Mada pupuh 52.11)
f. ginong Berarti kebaikan:
…ginong…/…kebaikan ….(Nag. 17.3)
Muhammad Yamin, Gajah Mada Pahlawan persatuan Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993
Renny Masmada, Gajah Mada sang Pemersatu Bangsa, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2003
g. pratidina Berarti setiap hari:
….pratidina…/….setiap hari… (Nag. 17.3)
….utsaha pratidina denya mawarah ngde hita wasana…/….yang setiap hari berusaha dan menasihati supaya berbuat kebaikan.. …(Kakawin Gajah Mada pupuh 66.6)
h. tan Berarti tidak:
…katuju bhatara Jayanagara bubuhen tan kawasa mijil…./….kebetulan raja jayanagara menderita kebengkakan dan tidak bisa pecah… (Par. : 27)
…..Ing Praja tan Iyan cri Adi surapradbhawa sira bhupati saphala Girindrawangsaja / …. Beliau itu tidak lain ialah Sang Prabhu Sri Adi Suraprabhawa, seorang raja yang berhasil, keturunan Girindrawangsa…… ( Kakawin Lubdhaka ….)
…. Tinadji denira tanca Pisan pingro tan tedas…../ Ditusuk sekali dua kali tidak mempan… (Par.: 27)
i. satrisna Berarti cinta:
…satrasnam…/…cinta….(Nag. 17.2)
Muhammad Yamin, Gajah Mada Pahlawan persatuan Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993
Renny Masmada, Gajah Mada sang Pemersatu Bangsa, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2003
Pada tahun 2004, Catur Prasetya divalidasi menjadi: ‘SEBAGAI INSAN BHAYANGKARA, KEHORMATAN SAYA ADALAH BERKORBAN DEMI MASYARAKAT, BANGSA DAN NEGARA UNTUK: 1. MENIADAKAN SEGALA BENTUK GANGGUAN KEAMANAN 2. MENJAGA KESELAMATAN JIWA RAGA, HARTA BENDA DAN HAK AZASI MANUSIA 3. MENJAMIN KEPASTIAN BERDASARKAN HUKUM 4. MEMELIHARA PERASAAN TENTRAM DAN DAMAI’
Setelah ditetapkannya Undang-Undang nomor 2 tahun 2002, Polri mengalami perubahan paradigma menuju terwujudnya polisi sipil yang mandiri. Perubahan paradigma ini mengisyaratkan perlunya melakukan perubahan pada aspek struktural, instrumental dan kultural. Untuk menciptakan kultur polisi yang santun dan sama sekali terlepas dari perilaku militeristik sesuai dengan tuntutan yang begitu kuat dari reformasi total, tuntutan global dan perkembangan lingkungan strategik di berbagai sektor diperlukan pemaknaan yang sangat kuat terhadap Tribrata dan Catur Prasetya yang baru-baru ini sudah divalidasi. Sebagai soko guru Polri, Tribrata dan Catur Prasetya memuat kandungan filosofimoral-etis yang sangat inheren membentuk karakteristik Polri dalam melakukan tanggungjawab profesi di Negara tercinta ini. Pemaknaan baru Tribrata, sebagai 3 azas yang harus ditaati merupakan hasil re-
orientasi yang sekaligus mengandung dimensi filosofis, metafisis, politis dan empiris. Sehingga Tribrata adalah paradigma baru kepolisian, paradigma filosofis yang mengandung prinsip-prinsip jati diri. Sedang pemaknaan baru Catur Prasetya, juga sebagai paradigma baru kepolisian yang horizontal berdiri bersejajar dengan Tribrata, adalah paradigma moral yang mengandung prinsip-prinsip etis, yang pada akhirnya menciptakan hubungan hierarkissistematis antara Tribrata, Catur Prasetya dan Kode Etik Profesi. Sebagai replika Gajah Mada, Catur Prasetya, yang adalah jiwa 4 sifat dari 15 sifat Gajah Mada, yang tertuang di dalam naskah agung Kakawin Nagarakretagama pupuh XII, LXX dan LXXI diharapkan mampu membangun hubungan hierarkis-sistematis ini,
yang sangat inheren mampu menjawab berbagai tuntutan yang sangat fundamental bagi Polri. Bersama-sama dengan Tribrata, Catur Prasetya merupakan bangunan yang sangat konstruktif sebagai pilar dasar menciptakan kultur kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan 15 sifat Gajah Mada yang teridentifikasi pada dua kekuatan paradigma Polri tersebut. Apabila perumusan butir-butir tersebut diletakkan dalam konteks etika politik, filsafat politik dan budaya politik bangsa, akan memberikan pencerahan baru bagi eksistensi kepolisian. Butir-butir Tribrata memberikan tiga ruang lingkup kinerja Polri yaitu Bangsa, Negara dan Masyarakat. Ini adalah jati diri Polri, paradigma filosofis. Karena Catur Prasetya adalah paradigma moral, merupakan etika Polri yang dapat menciptakan rasa aman, menjaga keselamatan, kepastian hukum dan kedamaian. Dua paradigma ini terimplementasi kan pada Kode Etik Profesi Polri. Dan, konsepsi ini sebenarnya sudah ada lebih dari enam ratus tahun lalu yang digagas oleh Gajah Mada, bapak bangsa, bapak Bhayangkara. Hubungan yang terkait antara Polri dengan Gajah Mada tak terlepas dari dimensi sejarah terbentuknya Catur Prasetya sejak tanggal 1 Juli 1960 melalui amanat Presiden Soekarno dalam menyambut Dies Natalis PTIK ke X tanggal 17 Juni 1956 di PTIK, Jl. Tambak 2 Jakarta Pusat. Dies Natalis PTIK saat itu antara lain dihadiri oleh Perdana Menteri Juanda, Kepala Kepolisian Negara yang saat itu dijabat oleh R.S. Sukanto Tjokrodiatmodjo, Ketua Dewan Guru Besar Profesor Djokosutono dan Ketua Dewan Kurator Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Saat itu, kebetulan Bapak Wik Djatmika (staf pengajar S1 di PTIK) berdiri persis di belakang Presiden bersama ajudan Presiden, Letkol Sugandi. Menurut catatannya pada saat itu sebagai berikut:
“Tiba giliran Presiden untuk memberikan amanatnya, beliau naik di podium menuju mimbar yang telah tersedia. Sebelum memulai pidatonya, Presiden mengenakan kaca mata hitam melihat ke seluruh ruangan aula dan lukisan para pahlawan yang terpancang di tiang-tiang aula. Setelah menyampaikan salam kepada para hadirin kemudian, sambil melepaskan kaca mata hitamnya, beliau berucap dengan nada pertanyaan: “Mengapa di ruang ini tidak terpancang gambar Mahapatih Gajah Mada? Padahal Gajah Mada patut menjadi panutan Kepolisian Negara, dia adalah pemimpin pasukan Bhayangkara, yang selalu setia kepada Negara dan rajanya, siap selalu menumpas musuh Negara, pekerja keras, rame ing gawe, dan tidak ada pamrih sedikitpun untuk kepentingan pribadi. Pemberontakan demi pemberontakan dia tumpas, mengawal raja dengan kesungguhan. Dia menyerukan kepada anak buahnya kewajiban seorang Bhayangkara adalah „Satya Haprabhu‟ setia kepada Negara dan pimpinannya, „Hanayaken Musuh' mengenyahkan musuh Negara dan musuh masyarakat, „Gineung Pratidina‟ kerja keras, rame ing gawe, „tan Satrisna‟ tidak terikat kepada sesuatu, sepi ing pamrih. Itulah Catur Prasatya (seperti biasanya pidato Presiden Soekarno berkobar-kobar).” Empat tahun kemudian setelah amanat Presiden yang sangat berapi-api itu, pada tahun 1960, diadakan konferensi kerja para KPKOM (Kepala Kepolisian Komisariat) di Yogyakarta. Salah satu acaranya adalah membahas Catur Prasatya sesuai amanat Presiden pada Dies Natalis PTIK ke X tahun 1956. Rapat memutuskan ditetapkannya Catur Prasatya sebagai ‘pedoman karya’. Sebelumnya pada 1 Juli 1955 telah ditetapkan Tribrata sebagai ‘pedoman hidup’. ‘Kelahiran’ Catur Prasetya pada tahun 1960, dan kemudian divalidasi pada tahun 2004, secara empiris telah memberikan garis yang begitu kuat terhadap hubungan filsafati antara Polri dan Bhayangkara produk Majapahit yang juga telah ‘divalidasi’ oleh Gajah Mada lebih enam ratus tahun lalu.
Bhayangkara sebagai institusi polisi saat itu ternyata memiliki bentuk yang sangat mirip dengan perjalanan sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia sejak secara resmi dibentuk setelah Kemerdekaan Indonesia. Catur Prasetya, tidak dapat dipungkiri telah secara signifikan membawa Polri menjadi Bhayangkara abad ini. Karena Catur Prasetya adalah muatan 4 sifat Gajah Mada yang tertulis di naskah agung Nagarakretagama karya Rakawi Prapanca, dan Catur Prasetya merupakan soko guru Polri sebagai paradigma moral, sudah sepatutnya Polri mempunyai tanggungjawab moral melakukan pendekatan dan concerning yang sangat tinggi terhadap sosok Gajah Mada. Sebagai tokoh sejarah, Gajah Mada memiliki kekuatan intelektual, spiritual, metafisis dan filsafati yang sangat tinggi bagi bangsa ini. Karena Polri mempunyai benang merah yang sangat kuat dengan Bapak Bhayangkara ini sudah sepatutnya melakukan research, hipotesis bahkan analisis yang cukup serius terhadap karakteristik, perilaku, gagasan dan pemikiran-pemikiran Gajah Mada sehubungan dengan perkembangan Polri ke depan. Sebagai konseptor terhadap pembentukan Negara berdaulat yang menyatukan seluruh kepulauan Nusantara Raya, Gajah Mada telah menetapkan warisan kebijakan yang begitu tinggi terhadap kemajuan bangsa secara futuristik. Dan, secara tidak langsung, Gajah Mada telah memberikan arti yang sangat luas terhadap konsepsi pertahanan dan keamanan yang di kemudian hari dimiiki bangsa ini melalui UUD 45 Bab Pertahanan Negara yang kemudian mengalami perubahan menjadi Bab Pertahanan dan Keamanan Negara yang tertuang pada pasal 30 ayat (1) sampai dengan ayat (5), dan secara rinci diatur dalam UU Nomor 2 tahun 2002 serta UU Nomor 3 tahun 2002 telah memberikan ketegasan perbedaan kedudukan Polri dan TNI. Pada zamannya, Gajah Mada dengan tegas telah memisahkan kedudukan Bhayangkara dengan Samatya Bala (Angkatan Darat) dan Jaladi Bala (Angkatan Laut).
Benang merah inilah yang secara kohesif memberikan muatan strategis terhadap konsepsi pertahanan dan keamanan Negara saat ini. Bagi Polri, konsepsi ini merupakan bangunan yang sangat konstruktif terhadap dimensi kesejarahan yang saling bersambung sejak zaman pra kemerdekaan sampai hari ini dan masa mendatang. Ternyata konsepsi dan gagasan Gajah Mada secara sustainable masih memiiki ruang yang sangat luas dan akseptable digunakan atau dimodifikasi oleh Polri saat ini sesuai tuntutan zaman di Negara tercinta ini berhadapan dengan era globaisasi dan percepatan teknologi informasi di dunia saat ini. Melalui semangat Catur Prasetya, Gajah Mada menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan seluruh konsepsi, kinerja dan karakteristik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sangat menjunjung tinggi amanat dasar Negara Pancasila dan UUD 45 sebagai landasan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kini, Polisi Republik Indonesia terus tumbuh dan berkembang berdasarkan falsafah Gajah Mada yang tertuang pada Catur Prasetya sebagai paradigma moral Polri. Gagasan-gagasan Gajah Mada sekaligus diharapkan mampu memberikan dimensi kesejarahan sebagai holy-spirit bagi Polri. Bahkan diharapkan menjadi prasasti sejarah dimulainya perjalanan panjang Polri sejak masih bernama Bhayangkara lebih dari enam ratus tahun lalu pada zaman Majapahit, sejak tahun 1800-1942 pada masa penjajahan Belanda, pada masa pendudukan Jepang dengan nama Keisatsutai dan kelahiran Kepolisian Republik Indonesia yang lahir semenjak detik-detik Proklamasi yang kemudian dilegalisir melalui Penpres No. 11/SD tahun 1946 yang ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 25 Juni 1946 oleh Presiden Soekarno yaitu dengan dibentuknya JAWATAN KEPOLISIAN NEGARA RI yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1946, yang kemudian ditetapkan sebagai hari Bhayangkara. Semakin luas dan kompleksnya perkembangan permasalahan yang muncul di masyarakat Indonesia, tidak saja di dalam negeri, tetapi yang berada di luar negeri telah memberikan makna betapa Polri harus menjadi institusi yang sangat futuristik mengikuti per kembangan dunia internasional.
Hal ini dapat kita lihat dari kebijakan yang sudah diterapkan oleh Polri dengan menempatkan Liaison Officer atau Senior Liaison Officer di beberapa Negara seperti Australia, Arab Saudi, Filipina, Malaysia, Thailand dan Timor Leste. Sebagai insan Bhayangkara yang memiliki falsafah Catur Prasetya sebagai paradigma moral Polri yang terambil dari empat sifat Gajah Mada, Polri harus mampu berkembang menjadi institusi yang lebih eksis dan kapabel dari Kesatuan Bhayangkara produk Singasari dan Majapahit lebih dari enam ratus tahun lalu. Polri, kini harus bekerjakeras mengembalikan citra Bhayangkara sebagai institusi yang berada di garda depan bangsa sebagai negara maritim yang memiliki peluang sangat luas untuk mengembangkan potensi bangsa ini menjadi sumber daya yang sangat bermanfaat bagi bangsa. Bangsa yang sudah sangat lelah dijajah oleh seperangkat sistem yang pada akhirnya hanya akan mengeruk sumber daya Negara besar ini bagi kepentingan Negara asing atau sekelompok kecil masyarakat benalu yang hidup di tanah air tercinta ini. Gagasan dasar Gajah Mada menciptakan Kesatuan Bhayangkara berada di luar wilayah milter saat itu, sampai saat ini terbukti masih sangat ampuh menempatkan konsepsi Bhayangkara menjadi salah satu soko guru institusi yang punya wilayah, kewenangan dan tanggungjawab begitu luas untuk meniadakan segala bentuk gangguan keamanan, menjaga keselamatan jiwa raga, harta benda dan hak asasi manusia, menjamin kepastian berdasarkan hukum dan memelihara perasaan tentram dan damai, sesuai dengan isi validasi Catur Prasetya yang dikukuhkan pada bulan Juni tahun 2004 lalu. Sebagai Negara Maritim, Indonesia memiliki wilayah daratan yang sangat luas tersebar di antara laut dan selat sebagai infrastruktur teritorial Negara. Sebagai institusi yang mempunyai kewenangan dan tanggungjawab luas melayani seluruh komponen masyarakat heterogen ini, sudah waktunya Polri memiliki konsepsi strategis terhadap pengembangan potensi kemaritiman dengan memberikan regulasi yang konseptual dan terorganisir terhadap eksistensi Polri di seluruh perairan Indonesia.
Seperti Majapahit, sudah waktunya Polri harus
punya
kewenangan keamanan,
garis dan
tegas
wilayah
tanggungjawab
ketertiban,
tugas,
menjaga
ketentraman dan
kedamaian masyarakat luas di luar kebijakan militer yang jelas punya kewenangan dan tanggungjawab kemiliteran menjaga dan mempertahankan Negara ini dari ancaman dan serangan luar terhadap keutuhan Negara dan bangsa tercinta ini. Keamanan dan ketertiban di wilayah maritim di Negara Indonesia ini berada di bawah wewenang tugas TNI dan Polri sesuai dengan tanggungjawabnya masing-masing. Ada job-description yang tegas dan signifikan membedakan dua fungsi ini, antara TNI dan Polri, sebagai pengejawantahan konsep keamanan yang pernah ada pada zaman Majapahit. Yaitu pemisahan antara Samatya Bala (Angkatan Darat), Jaladi Bala (Angkatan Laut) dan Bhayangkara. Konsep pemisahan fungsi, tugas, kewenangan dan tanggungjawab ini akan memberikan dampak yang sangat luas terhadap pertumbuhan potensi di segala bidang. Tak ada lagi kerancuan yang jika tak ditangani secara serius akan berdampak negative dan menjadi ancaman perpecahan, bukan saja pada institusi masing-masing, TNI dan Polri, namun akan berdampak luas pada masyarakat heterogen ini. Bangsa ini akan menjadi korban dari konflik yang akan terus terjadi pada kedua institusi yang memiliki persenjataan di Negara tercinta ini. Konflik komunal dan separatis yang eskalasinya semakin meluas menjadi tak tertangani secara solid dan utuh. Ini dapat disebabkan oleh tak konsistennya konsep penanganan keamanan di lapangan. Illegal logging, illegal fishing, trafficking in person, drug trafficking, people smuggling, perdagangan senjata illegal, money laundering dan beberapa permasalahan yang muncul di pesisir pantai, laut dan kepulauan terpencil kadang lolos dari perhatian Kepolisian karena ketidakjelasan job description Polri berhadapan dengan institusi TNI yang memiliki persenjataan dan kewenangan luas di perairan Nusantara ini.
Fungsi Polri di perairan Nusantara ini menjadi tidak begitu jelas. Sehingga persoalan Polri sering tumpang-tindih dengan TNI-AL yang memiliki fasilitas memadai. Namun secara sustainable, pada akhirnya, Polri sering menjadi bulan-bulanan dari kegagalan
menangani
persoalan
keamanan
dalam
negeri
yang
jelas
menjadi
tanggungjawabnya. Tanpa ada maksud memojokkan siapapun, harus diakui kurangnya perhatian kita menggagas konsep strategis antara Polri dan TNI yang sebenarnya sudah mempunyai sandaran hukum yang sangat kuat, yang tertuang pada UU No 2 tahun 2002, Polri dan TNI seharusnya mampu menetapkan garis kebijakan yang tidak saling menyinggung kedua kepentingan yang dapat merugikan kepentingan nasional. Sudah sepuluh tahun belakangan ini Polri bekerja optimal membentuk jatidiri, yang semenjak kelahirannya di tahun 1946 hanya sebagai ‘anak bawang’ yang tak mampu menjadi dirinya sendiri. Namun sesungguhnya hal ini sangat tidak relevan apabila kita memahami bahwa sesungguhnya kita telah memiliki kesatuan ‘polisi’ lebih dari enam ratus tahun lalu produk Singasari dan Majapahit yang seharusnya menjadi warisan yang tak ternilai dibanding banyak negara yang sama sekali baru ‘mempunyai’ kesatuan kepolisian. Belakangan ini Amerika Serikat dengan gigih menerapkan Local Police System yang sukses diterapkan di sana pada beberapa Negara lain. Namun ternyata sistem yang sukses di AS ini justru mengalami masalah di beberapa Negara yang mencoba sistem ini. Filipina contohnya, setelah gagal menerapkan Local Police System ini mengubah sampai dua kali sistem perpolisian di negaranya. Yang pertama dengan apa yang disebut dengan ‘Integrated National Police’. Sistem inipun akhirnya mengalami perubahan lagi dengan ‘The Philipine National Police’. Begitu juga dengan Jepang yang sebelum PD II sudah memiliki ‘National Police’, dipaksa AS untuk menganut ‘Local Police System’ ini. Ternyata sistem ini tak cocok dengan Jepang, akhirnya Jepang kembali menganut ‘National Police’.
Dari beberapa contoh di atas dapat disimpulkan bahwa sistem perpolisian di satu Negara berbeda dengan Negara lainnya. Ini disebabkan karena adanya perbedaan sejarah, sistem ketatanegaraan, undang-undang, hukum mengenai fungsi dan tugas pokok kepolisian, etnis, budaya dan peradaban. Kalaupun ada kesamaan yang dapat dianut oleh berbagai Negara tentang perpolisian adalah fungsi utama perpolisian yang digolongkan ke dalam pre-emptif, preventif dan represif. Juga mengenai taktik dan teknik perpolisian seperti Traffic Police, Criminal Investigation, Police Technology dan lainnya. Kelahiran dan perjalanan kepolisian di suatu Negara sangat tergantung pada karakteristik bangsa dan Negara tersebut yang biasanya dipengaruhi oleh tata nilai dan dimensi kesejarahan, demografi, budaya dan latar belakang peradaban. Sejarah bangsa Indonesia mencatat bahwa kepolisian di tanah air ini secara ‘an-sich’ sudah lahir dan dikenal setidaknya sejak masa pemerintahan Singasari. Walau belum memiliki apa yang dikenal di dunia sekarang ini sebagai ‘National Police
System’
Singasari setidaknya sudah menerapkan konsep-konsep perpolisian saat itu
dengan melahirkan kesatuan Bhayangkara yang job descriptionnya berbeda dengan angkatan perangnya. Bhayangkara, yang pada zaman Majapahit kemudian di’validasi’ oleh Gajah Mada menjadi institusi yang semakin tegas mengarah pada konsepsi perpolisian saat itu telah tercatat dalam sejarah memberikan kontribusi yag sangat besar pada perjalanan sejarah perpolisian di Indonesia lebih dari enam ratus tahun lalu. Perbedaan fungsi, tugas dan wilayah kebijakan antara Bhayangkara dengan institusi militer pada zaman Majapahit semakin mengisyaratkan bahwa pada zaman Majapahit konsepsi dan sistem perpolisian sudah memiliki otoritas dan regulasi tersendiri. Dengan kata lain, Indonesia sudah memiliki polisi sejak abad ke tiga belas. Namun, sejarah panjang kehancuran kedaulatan Nusantara Raya karena perebutan kekuasaan antar kerabat raja, ditambah lagi dengan penjajahan panjang bangsa Eropa yang telah memporak-porandakan warisan bangsa besar ini, bukan hanya konsepsi perpolisian kita,
hampir di segala aspek, kita nyaris kehilangan kepercayaan diri sebagai bangsa besar yang pernah jaya memiliki kekuatan dan kekuasaan di belahan Asia ini. Sejak abad ke enam belas, setidaknya setelah Portugis berhasil menguasai Selat Malaka pada tahun 1511 sampai tahun 1755 dengan ditandatanganinya dictum antara Raja Surakarta dan Yogyakarta dengan pihak Belanda, yang dikenal dengan Perjanjian Giyanti, nyaris kita tidak lagi memiliki sistem hukum yang tegas. Ini menandakan mandulnya konsepsi perpolisian yang pernah ada di bumi Nusantara ini. Dari tahun 1800 sampai dengan 1942, kepolisian yang ada di bumi Nusantara ini adalah polisi produk Belanda dengan berbagai atribut untuk kepentingan Belanda. Kalaupun ada pribumi yang menjadi Polisi, itupun untuk kepentingan Belanda, hanya berpangkat sebagai Agen Polisi, Mantri Polisi, Asisten Wedana dan Wedana Polisi. Berbeda dengan orang Belanda yang berpangkat jauh di atas pribumi seperti Hoofd Agent, Inspecteur van Politie dan Commisaris van Politie. Baru pada tahun 1930 ada beberapa pribumi
yang
mendapat
kesempatan
pendidikan dan pangkat orang Eropa. Salah seorang pribumi itu ialah RS. Soekanto yang mendapat pendidikan sebagai Komisaris Polisi. Pada masa pendudukan Jepang, perpolisian produk Belanda dirubah. Tidak ada lagi perbedaan
pangkat
yang
pada
masa
penjajahan Belanda dibedakan antara orang Eropa dan pribumi. Kepolisian produk Jepang ini disebut dengan KEISATSUTAI. Pada detik-detik proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, Sidang Kabinet Pertama dan Rapat Raksasa di lapangan IKADA Kepolisian sudah bertugas mengamankan event-event bersejarah itu.
Bahkan ketika PETA, Gyu-Gun dan Heiho dibubarkan setelah Jepang kalah dalam PD II, Kepolisian tetap berfungsi dan memegang senjata. Saat itu, Polisi-lah yang mengambil inisiatif pengambilalihan kantor-kantor pemerintahan dan senjata dari tangan Jepang. Pada tanggal 29 September 1945, RS Soekanto diangkat menjadi Kepala Kepolisian Pusat, di bawah Kementerian Dalam Negeri. Setelah PenPres No. 11/SD tahun 1946 ditetapkan barulah Jawatan Kepolisian Negara RI berdiri sendiri langsung di bawah Perdana Menteri berlaku sejak tanggal 1 Juli 1946. Bapak RS. Soekanto tetap menjabat Pimpinan Polri yang saat itu disebut Kepala Kepolisian Negara. Tanggal inilah yang kemudian ditetapkan dengan resmi sebagai hari kelahiran Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai Hari Bhayangkara sesuai dengan pidato Kapolri dalam pidatonya tanggal 1 Juli 1979. Namun, pada masa pemerintahan Orde Baru, tepatnya pada tahun 1967, Polri ditempatkan di bawah Kementerian baru produk Orde Baru yaitu Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata. Sejak saat itu Polri ‘kembali’ tak lagi memiliki kemandirian. Sistem pendidikan tamtama Polri yang 9 bulan atau satu tahun berubah menjadi hanya 4 bulan. Akpol dan Seskopol pernah disatukan di bawah Danjen Akabri dan Dansesko ABRI. Sarjana WAMIL juga disatukan tanpa memberikan mata pelajaran kepolisian. Walaupun pada tahun 1978 Menhankam/Pangab Jenderal M. Yusuf menegaskan perlunya pendidikan dan pelatihan kepolisian bagi para anggota Polisi, dan membedakan sistem pendidikan dengan TNI, pada kenyataannya tidak banyak memberikan perubahan berarti bagi sistem perpolisian kita. Ketidak jelasan job description antara TNI dan Polri semakin membuat rancu kebijakan di lapangan. Tahun 1997, di akhir masa pemerintahan Orde Baru muncul pencerahan dengan ditetapkannya UU No. 28 tahun 1997 yang merumuskan tugas, fungsi serta tanggungjawab Polri. Namun kedudukan Polri sebagai ABRI tetap membatasi
kemandirian Polri, misalnya pembinaan profesi Polri adalah wewenang Pangab yang bukan pimpinan Polri. Baru setelah reformasi bergulir di Negara ini, terjadi perubahan-perubahan yang cukup signifikan, termasuk di tubuh Polri. Melalui amanat TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri, lahirlah UndangUndang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sangat tegas memisahkan Polri dengan TNI. UU No. 2 tahun 2002 juga memberikan wilayah cukup luas bagi Polri dengan job description yang sangat jelas dan memiliki kewenangan di seluruh pelosok negeri seperti terdapat pada Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 17. Melihat perjalanan panjang sejarah Kepolisian di Negara ini sejak hancurnya tata nilai pemerintahan Majapahit sebagai cikal bakal Negara Kesatuan Republik Indonesia ini ternyata memberikan inspirasi postif untuk kembali memberikan nuansa perpolisian yang pernah sukses lebih enam ratus tahun lalu. Sebagai bangsa yang menghargai sejarah, seharusnya kita bangga melihat bahwa perpolisian kita sudah ada jauh enam ratus tahun lalu dengan konsepsi, tata nilai dan kebijakan perpolisian yang sudah terakomodir di dalam seluruh kebijakan geopolitik Negara di belahan Asia Tenggara ini. Sebagai perbandingan adalah Amerika Serikat yang perjalanan sejarah perpolisiannya berkembang selama 200 tahun. Kini dengan melakukan perubahan-perubahan dan pengembangan yang tak pernah berhenti, Amerika Serikat yang memiliki lebih dari seribu organisasi kepolisian berhasil menerapkan Local Police System yang disebut ‘Uniform
Crime Reporting System’ yang terbukti berhasil menjadi sebuah system yang sangat solid dan kapabel diterapkan di AS. Dengan memiliki 17.508 pulau terbanyak di dunia dan 81.000 km pantai terpanjang nomor 2 di dunia setelah Kanada, Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai pekerjaan rumah yang sangat kompleks.
Tetapi terbukti, dengan teritorial yang lebih luas lagi, lebih enam ratus tahun lalu Gajah Mada mampu membuat kebijakan perpolisian yang terbukti menjadi kontribusi bagi pertumbuhan dan perkembangan Negara dalam berbagai aspek. Selama seratus tujuh puluh tahun Majapahit mampu berdiri menjadi kerajaan berdaulat. Ditambah bangsa besar ini mampu memberi ‘makan’ bangsa Eropa selama lebih dari tiga ratus lima puluh tahun. Bhayangkara, sebagai institusi polisi pada zaman
Majapahit,
telah
membuktikan
eksistensinya menjadi institusi yang berwibawa di mata Bangsa, Negara dan Masyarakat. Sudah waktunya kita kembali pada konsep Negara Maritim yang terbukti mampu membawa bangsa ini ke zaman keemasan selama seratus tujuh puluh tahun pada zaman Majapahit. Untuk itu, sudah seharusnya semua komponen di Negara tercinta ini memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan dan perkembangan bangsa di segala bidang. Termasuk salah satunya Polri sebagai warisan dan Kesatuan Bhayangkara yang pernah ada di Negara tercinta ini. Sebagai Negara Maritim, Indonesia harus memusatkan perhatian pada pengembangan potensi tidak hanya kelautan, tetapi juga daratan sebagai salah satu tulang punggung sumberdaya alam yang dapat menghasilkan devisa sangat besar di Negara ini. Salam Nusantara..!
Kepustakaan
Andi Masmiyat, Irjen. Pol., Drs.
KONFLIK SARA, Pensil-324, Jakarta, Januari 2007
Anwar Sanusi
SEJARAH INDONESIA untuk Sekolah Menengah I, II, III, Pustaka “PAKUAN”, Bandung 1951
Awaloedin Djamin, Jendral Pol.(Purn) Prof. Dr., MPA
Kedudukan Kepolisian Negara RI Dalam Sistem Ketatanegaraan: Dulu, Kini dan Esok, PTIK Press, Jakarta 2007
Babinkum Polri
UNDANG-UNDANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002, Jakarta, Agustus 2002
Djoko Pramono
Budaya Bahari, PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta 2005
Jeffrey Edmund Curry, MBA, Ph.D.
Memahami Ekonomi Internasional, Penerbit PPM, Jakarta 2001
Laode M. Kamaluddin, Dr
Pembangunan Ekonomi Maritim di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta 2002
Koentjaraningrat, Prof. Dr.
Pengantar Antropologi, Penerbitan Universitas Djakarta 1964
Majalah PTIK
Edisi Khusus, TH. XII/EDISI 043/99, PTIK, Jakarta 1999
Partini Sarjono Pradotokusumo,
KAKAWIN GAJAH MADA, sebuah karya sastra Kakawin abad ke-20, suntingan Naskah serta telaah struktur, tokoh dan hubungan antarteks, Binacipta – Bandung 1986
Purwadi, M.Hum., Dr.
Jejak Nasionalisme Gajah Mada: Refleksi Perpolitikan dan Kenegaraan Majapahit untuk Masa Depan , Jakarta, Agustus 2003
Pus Bin Profesi Div Propam Polri
Keputusan Kapolri tentang Kode Etik Profesi Polri dan Tata Cara Sidang Komisi Kode Etik Polri, Jakarta, Agustus 2003
Renny Masmada
Gajah Mada Sang Pemersatu Bangsa – Telaah Kejayaan Nusantara menuju Neo-Maritim Indonesia, Daya Putih Press, Bali 2007
Renny Masmada
Madakaripura, Probolinggo, 09 Mei 2007
Renny Masmada
Gajah Mada Sang Pemersatu Bangsa: Telaah Kejayaan Maritim Nusantara, Cifor-Bogor, 17 November 2006
Renny Masmada
Visi dan Misi Penulisan Buku: AMUKTI PALAPA, persfektif persatuan Nusantara, Jakarta, 11 Juni 2003
Renny Masmada
Gajah Mada Sang Pemersatu Bangsa - gagasan tentang amukti palapa dan refleksi kondisi Indonesia saat ini, PT Elex Media Komputindo - Gramedia Group, Jakarta 2003
Renny Masmada
Persfektif persatuan Nusantara: Telaah kekayaan karakter bangsa sebagai akar budaya dan peradaban, CiforBogor, 7 Juni 2006
Renny Mursantio AS, R., MBA,
Kebudayaan Sebagai Akar Peradaban – Menggugah Kesadaran Generasi Muda Terhadap Pentingnya Pembangunan Moral Melalui Akar Budaya Bangsa Berhadapan dengan Heterogenisasi Kebudayaan dan Peradaban Bangsa Lain, Denpasar, 12 November 2007
Renny Mursantio AS, R., MBA,
Konsep Validasi, Catur Prasetya Pedoman Karya Polri: Di tengah Berbagai Perubahan Global (Sespim Polri), Cipanas, 13 April 2004
Renny Mursantio AS, R., MBA,
Merangsang Pertumbuhan Perekonomian Bangsa: Optimalisasi Investasi Asing Melalui Kerjasama Mutualistis, Jakarta, 6 Februari 2005
Renny Mursantio AS, R., MBA, – Kombes Pol Atim Supomo, SmIk – Melda Kamil Ariadno, SH, LL.M.
Laporan Sementara Hasil Penelitian Study Kelayakan Penempatan SLO Polri di Kawasan ASEAN dan Asia, Kuala Lumpur-Malaysia, 27 Juli 2005
Rokhmin Dahuri, Prof. Dr. Ir., M.S.
Keanekaragaman Hayati Laut – Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama – Jakarta 2003
Sagimun M.D.
Peninggalan Sejarah Tertua Kita, CV Haji Masagung, Jakarta 1987
Slamet Mulyana, Prof. Dr.
Perundang-undangan Majapahit, Bhratara, Djakarta 1967
Slamet Mulyana, Prof.Dr.
Nagarakretagama dan Tafsir Sejarah, Bhratara Karya Aksara, Jakarta 1979
Slamet Mulyana, Prof. Dr.
Pemugaran Persada Sejarah, Inti Idayu Press, Jakarta 1983
Tridoyo usumastanto, Prof. Dr. Ir.
MEMBANGUN INDONESIA – Arah Kebijakan Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan Indonesia, IPB Press – Bogor 2005
Yamin, H. M., Prof.,
ATLAS SEDJARAH, Djambatan – Djakarta 1956
Yamin, H. M., Prof.,
GAJAH MADA, Pahlawan Persatuan Nusantara, Balai Pustaka – Jakarta1993
Yamin, H. M., Prof.,
TATA NEGARA MADJAPAHIT, SAPTA-PARWA, Jajasan Prapantja – Djakarta 1962
How to know the history of Gajah Mada (History of Gajah Mada) Gajah Mada living history (published on January 2011, Squidoo web page) by Renny Masmada (Copyright © 2011, Squidoo, LLC and respective copyright owners) Very difficult to read the history of Gajah Mada, especially through scientific study chronotope. This is due to very limited manuscript and the site of Gajah Mada, to be inaccurate, and feared to mix with very many tales spread about him. Description/sequence of times that are researched based on the charter or inscription is still very limited. Reference texts that are found not believed to be a historical record (except the Book
Nagarakretagama written at the time, and even then only 10 verses from 98 chapters and 384 verses, which describes the Gajah Mada). Which then becomes more confused is growing 'myth' of Gajah Mada through books romance/fiction novel about the Gajah Mada is already (read: fear) is understood by the public as historical truth .
But, I really appreciate against the writer of fiction about the Gajah Mada. At least enrich the literature of history, though indirectly even be more confusing history. So far, my hypothesis about the Gajah Mada was very inspirational and appreciative. Very concerned about the heterogeneous sources, including new texts and folklore story by behavioral approaching. I will try to continue to provide the frame of history through written sources are credible. I continue to pursue the history of Gajah Mada through anything. Sometimes from there we can catch something that is not legible in the inscription. That's what I did many years ago when I almost could not find a record of Gajah Mada life's journey, through the window of history and legend that developed in the community. But after that, after one at the historical evidence (in the form of inscriptions, manuscripts, and others) began to be found and published, I am stunned amazed and ashamed at myself, it was evident our ancestors are very diligent in writing. The discovery of inscriptions, site, piece of copper and manuscripts written at that time, today became so valuable and shows the height of literature, culture and our civilization in the past. Unfortunately, long after the historical record has been buried, we came to a halt information in a long time. At that time developing Folklore information from mouth to mouth that came to our present generation. Fairy tales, the legend was so strong engraved in our memory, and almost believed as the truth of history. Examples of cases, while there is information that says that the capital city of Majapahit was in the area of Subang. It could be true. However, referring to historical data such as the discovery site in Trawulan (complete with all its infrastructure) and referred to the evidence manuscript written by the poets and even the state news from other countries such as China, a very strong identification that the government center of Majapahit kingdom, exist in the area Trawulan. But I think, learn and understand history, not intended to go back retreated to the back,
all we need is to capture its philosophy, its essence, which can be implemented into the problems our generation today. For the sake of continuing the task of keeping the human community and the nature of this universe. Because we are not a historian, let it be a business expert. But perhaps, as a nation of children who miss the glory of a nation that had a large and highly civilized, I think it's time we learned a lot on our ancestors how to manage today's generation for this nation back to having confidence in ourselves as a nation great, prosperous, secure, peaceful, justice and to host in his own country. At least, give confidence to the whole nation that corruption is contagious and dangerous disease which sooner or later it will sink this beloved country of the planet earth, forever! Nagarakretagama description of Gajah Mada Gajah Mada living history (published on January 2011, Squidoo web page) By Renny Masmada Copyright © 2011, Squidoo, LLC and respective copyright owners Book Nagarakretagama is the great literary works written by great writers Empu Prapanca, a Buddhist priest from Majapahit, composing up to the year 1365. Nagarakretagama was first discovered in the palace Cakranegara, Lombok, with text written in letters of Bali. In July 1978, began to found Nagarakretagama manuscript in several places in Bali: the area Amlapura (Karang Asem), in Geria Pidada in Klungkung and two more manuscripts in Geria Carik Sideman. The one in Amlapura, owned by a teacher, on the first page written wawacan Java, meaning that the contents of the text deals with the history of Java (Majapahit).
First published in Balinese character, then translated by H. Kern with some information from N. J. Krom. Pigeaud also publishes Nagarakretagama by title: Java in the Fourteenth Century, consists of five volumes. Slamet Mulyana also publishes this Nagarakretagama. From then 98 chapters and 384 verses, Gajah Mada is only mentioned in ten verses, among others: "To the northeast is residence of Gajah Mada, primary Patih (Minister) from Majapahit, a minister of the officer, in a wise and honest leadership and devotion to the king, eloquent and incisive speech, respectful, calm, firm stance, agile and does not hesitate in action, the superintendent of the king's palace and securing the highest glory of the king as ruler of the world. " (Nagarakretagama 04/12: 10). "There is a residence where a Buddhist, that is Madakaripura, praised its beauty, the residence of the king granted to the minister Gajah Mada, a resting place is very organized and decorated, to review, (they) go through Trasungai, bathing in Capahan and held a prayer ." ( Nagarakretagama 19.2:17)
….terlahir di Jakarta, membuatku jadi ‘orang kota‘ yang tak mampu menangkap makna cericit burung di pematang sawah yang kadang sarat dengan pesan kemanusiaan. aku berontak, terbang dengan sayap imajinasiku, jauh, menembus atap langit, sesekali bertengger di dahan cakrawala mayapada. mata jiwaku mulai terbuka, memandang deretan kosa kata yang tergurat di dinding langit, bercahaya.., sarat makna..! tak berkedip, kutelan semua, biar nuraniku menterjemahkannya lewat keropak budaya dan peradaban manusia dari zaman ke zaman, tanpa jedah. Salam Nusantara..!
.... was born in Jakarta, make me a 'city people' who are unable to grasp the meaning of bird song in the rice field that is sometimes loaded with humanitarian message. I rebelled, flew with the wings of imagination, deep, penetrating the roof of the sky, occasionally perched on branches of the horizon of the world. my soul's eyes began to open, view row vocabulary etched on the wall the sky, glowing .., full of meaning ..! do not blink, swallow all, let me translate my conscience, through the book of human cultures and civilizations over time, without breaks. Salam Nusantara ..!
Terimakasih Allah, pada malam ini Kau telah memberikan kekuatan kepadaku, sehingga aku dapat menyelesaikan tulisan ini. Dengan kemurahanMu, kau sambungkan tali silaturahmiku dengan Eyang Gajah Mada, yang dengan telaten memberi pitutur kepadaku, siang malam selama puluhan tahun lalu, membawaku menembus ruang dan waktu. Menjelajah ruang metafisis yang sangat asing bagiku. Mengarungi tlatah Majapahit, bahkan seluruh untaian Nusantara Raya. Memperkenalkanku tentang kebesaran zaman yang sekarang masih terkubur di bawah bumi raya ini. Aku sadar bahwa kesempurnaan bukan milikku, milikMu, oleh karena itu, ya Allah, limpahkanlah terus menerus kemurahanMu kepadaku, agar aku dapat selalu menyadari kekurangan-kekuranganku. Bahwa aku dapat menulis karya besar ini, semata-mata karenaMu, bukan karena ilmuku yang sebenarnya tidak kumiliki. Aku tidak pernah memiliki apa-apa kecuali iman dan ketaqwaan kepadaMU. Itupun sering menjadi suatu yang fatamorgana, yang sering membawaku kepada kebimbangan terhadap kebenaranMu yang hakiki. Ampuni segala kesalahan dan dosa-dosaku juga kedua orang tuaku, istri dan anak-anakku. Maha Besar Engkau yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang Maha mengabulkan doa dan mengampuni dosa, yang Maha dari segala Maha. Ampuni dosa dan kesalahan Eyang Gajah Mada, orang besar berhati bijak, yang mementingkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat banyak, yang mengorbankan seluruh hidupnya untuk kepentinganMu. Shalawat kepada Guruku, NabiMu yang menjadi suri tauladanku, Muhammad S.A.W. Amien. Pamulang, 31 Juli 2012