1
PENYULUH KEHUTANAN EX OFFICIO
Oleh Pramono DS Kepala Bagian Evaluasi, Diseminasi dan Perpustakaan Sekretariat Badan P2SDM Kehutanan
Sungguh naif bilamana seorang Kepala Balai Taman Nasional (BTN) misalnya, kurang berminat dan selalu menghindar untuk bertemu serta bermusyawarah dengan masyarakat yang merambah kawasan hutan di wilayah kerjanya. Barangkali Kepala BTN ini lupa atau kurang menyadari bahwa secara ex officio, karena jabatannya; yang bersangkutan merangkap sekaligus sebagai fungsi penyuluh kehutanan – meskipun bukan jabatan fungsional penyuluh- yang harus berinteraksi dengan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. UU Nomor 16 Tahun 2006 hanya mengenal tiga kriteria penyuluh yaitu penyuluh PNS, penyuluh swasta dan penyuluh swadaya. Pengertian penyuluh kehutanan adalah perorangan warga Negara Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan. Merujuk pada pengertian penyuluh tersebut maka setiap kepala satuan kerja (Satker) tingkat pusat maupun daerah khususnya Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan di lapangan karena jabatannya (ex officio) sadar maupun tidak sadar, telah melakukan kegiatan penyuluhan di lapangan. Bentuknya dalam kegiatan pendampingan, pemberdayaan, sosialisasi dan sejenis yang melibatkan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Yang termasuk dalam katagori Penyuluh Kehutanan Ex Officio (PKEO) ini antara lain adalah Polisi Kehutanan dan PPNS digarda depan, Kepala UPT seperti Taman Nasional (TN), Balai Koservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) , Balai Pengelolaan DAS (BPDAS), Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BP2HP), Balai Sutera Alam (BPA), Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) dan UPT lainnya. Di tingkat pusat yang menyandang PKOE adalah Menhut, dirjen teknis, Kepala Badan P2SDM Kehutanan, Kepala Badan Litbang dan Kepala Pusat Penyuluhan. Di tingkat daerah, satker yang masuk jajaran PKOE adalah Kepala Dinas
2
Kehutanan Provinsi/Kabupaten, Sekretaris Bakor Penyuluhan Provinsi dan Kepala Bapel Penyuluhan Kabupaten/Kota, para pemangku hutan di jajaran BUMN sektor kehutanan. Di Pulau Jawa misalnya, Perum Perhutani selaku BUMN pemangku kawasan hutan di Jawa; sudah sejak beberapa tahun terakhir ini telah melaksanakan fungsi ex officio sebagai penyuluh bagi para petugas dijajaran depan yaitu Kepala Resort Pemangkuan Hutan (KRPH) atau lebih dikenal dengan sebutan Mantri Hutan. Dengan slogan ”drop the gun” para Mantri Hutan ini dididik dan dilatih di Pusdiklat Perhutani Madiun tentang pengetahuan komunikasi sosial (komsos) yang salah satu materi ajarnya adalah tentang ilmu penyuluhan. Pada level jajaran diatasnya yaitu KBKPH atau Asper juga diterapkan pelatihan yang sama. Seyogyanya hal ini juga berlaku untuk level pemangku hutan Perum Perhutani pada manajemen paling atas yaitu KKPH atau Administratur yang materi ajarnya sudang barang tentu berbeda pada setiap jenjang manajemennya. Pada era sekarang, Mantri Hutan tidak hanya bertugas menjaga keamanan kawasan hutannya, tetapi juga harus mampu untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat sekitar tentang program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
VIP Penyuluhan Kehutanan Guna memperoleh manfaat yang berdaya guna dan berhasil guna dari sinergitas antara PKOE dan PK maka PKOE perlu terlebih dahulu mendalami VIP Penyuluhan Kehutanan. VIP yang dimaksud adalah visi, interpretasi dan persepsi tentang penyuluhan kehutanan. Visi tentang penyuluhan kehutanan berarti harus memahami tentang Renstra Kementerian Kehutanan 2010 – 2014 yang menyangkut tupoksinya sendiri yang lebih teknis maupun penyuluhan dan Renstra Badan P2SDMK yang sementara dalam proses penyusunan. Dalam Renstra Kemhut tersebut disebutkan bahwa dalam misi ke 7 (tujuh) atau terakhir dari 7 (tujuh) misi Kemhut adalah mewujudkan sumberdaya manusia kehutanan yang professional. Misi ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas SDM kehutanan yang professional melalui pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan kehutanan. Sedangkan sasaran strategisnya adalah
3
terbentuknya 50 kerjasama kemitraan melalui peningkatan peranserta pelaku utama dan pelaku usaha dalam pemberdayaan masyarakat. Program, kegiatan dan indikator kinerja penyuluhan kehutanan adalah terbentuknya 50 kerjasama kemitraan melalui peningkatan peranserta pelaku utama dan pelaku usaha dalam pemberdayaan masyarakat, terbentuknya 500 kelompok masyarakat produktif mandiri dan sertifikasi PK sebanyak 1500 orang. Interpretasi atau penafsiran tentang penyuluhan kehutanan antar PKOE dari pusat dan daerah harus sama. Dengan adanya UU No. 16 tahun 2006 , sasaran penyuluhan kehutanan telah bergeser dan lebih fokus pada masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Semua kegiatan yang terkait dengan pemberdayaan, pendampingan dan sosialisasi PK dan penyuluhan hadir disana baik secara fisik maupun psikis. Secara
kelembagaan
penyelenggaraan
penyuluhan
kehutanan
didaerah
harus
berkoordinasi dengan Badan Koordinasi (Bakor) Penyuluhan ditingkat provinsi dan Badan Pelaksana (Bapel) Penyuluhan ditingkat kabupaten/kota. Sebagai turunan dari UU ini telah terbit PP 43 tahun 2009 tentang pembiayaan, pembinaan dan pengawasan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan. Dalam PP ini telah diperjelas dan dipertegas tentang biaya penyelenggaraan penyuluhan, biaya operasional kelembagaan penyuluhan, biaya operasional penyuluh PNS, biaya pengadaan dan pemeliharaan sarana & prasarana dan tunjangan profesional dan profesi. Sementara itu persepsi atau pemahaman tentang penyuluhan kehutanan PKOE perlu ditingkatkan dan dikembangkan. Melalui Permenhut No. P.9 tahun 2011 tentang pelimpahan sebagian urusan pemerintahan (dekonsentrasi) bidang kehutanan 2011 kepada 33 Gubernur pemerintah provinsi selaku wakil pemerintah termasuk di dalamnya adalah urusan penyuluhan. Jenis urusan pemerintahan yang dilimpahkan dalam penyuluhan adalah pembinaan penyuluhan, fasilitasi penyuluhan, monitoring & evaluasi penyuluhan. Melalui Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Pelaksanaan dan Teknis Dana Dekonsentrasi Penyuluhan yang diterbitkan setiap tahun, pembinaan penyuluhan antara lain meliputi kegiatan admnistrasi, peningkatan kapasitas SDM, pengembangan materi, biaya operasinal penyuluh. Fasilitasi penyuluhan antara lain meliputi kegiatan peningkatan ketrampilan
4
masyarakat, percontohan pemberdayaan masyarakat, demplot penyuluhan terpadu, sedangkan monev penyuluhan penyuluhan terdiri dari kegiatan lomba Penghijauan dan Konsevasi Alam (PKA) dan monitoring & evaluasi itu sendiri. Disamping itu sudah sejak beberapa tahun terakhir ini, melalui DAK Kehutanan yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota ; sebagian dananya dialokasikan untuk mendukung kegiatan penyuluhan berupa pengadaan sarpras penyuluhan. Sarana & prasarana
tersebut
meliputi pengadaan kendaraan bermotor roda dua, komputer, infocus dan lain lain yang digunakan untuk kegiatan penyuluhan kehutanan serta pengembangan demplot untuk mendukung penyuluhan kehutanan. Pengadaan sarana & prasarana penyuluhan kehutanan disesuaikan dengan kebutuhan daerah.
Potensi ” Penyuluh Kehutanan ” Tanpa mengengesampingkan upaya untuk melakukan rekruitmen Penyuluh Kehutanan (PK) yang baru, maka sesungguhnya potensi SDM penyuluh kehutanan yang legal maupun ex officio cukup besar. Terlepas dari kontroversi sepakat tidaknya istilah Penyuluh Kehutanan Ex Officio (PKOE), berdasarkan data yang ada- PKOE ini diprediksi tidak kurang 4000 orang baik di
lingkup
Kementerian
Kehutanan,
Dinas
Kehutanan
Provinsi/Kabupaten/Kota,
Bakorluh/Bapelluh, maupun BUMN sektor kehutanan. Secara kuantitatif, potensi PKOE tersebut cukup besar baik dijajaran tingkat pusat maupun didaerah. Andaikata potensi PKOE dan Penyuluh Kehutanan (PK) terjadi sinergi dalam melaksanakan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan secara keseluruhan, maka betapa besarnya manfaat yang akan diperolehnya. Pertemuan/rapat bilaterial antara jajaran Badan Penyuluhan dan SDM Kehutanan (BP2SDMK) dengan lingkup jajaran Eselon I merupakan wahana yang sangat tepat untuk membahas tentang program/kegiatan yang dapat disinkronkan untuk menjadi materi penyuluhan yang aktual dan dapat diimplementasikan dilapangan. Benang merah masalah penyelenggaraan penyuluhan kehutanan khususnya maupun kegiatan pembangunan kehutanan umumnya diharapkan dapat diuraikan satu persatu menjadi satu kesatuan yang integral, terprogram, terarah
5
dan aplikabel. Rapat bilateral dengan para pihak dapat lebih diperluas lagi misalnya melibatkan BUMN sektor kehutanan seperti Perum Perhutani dan Inhutani. Disamping itu, pertemuan semacam ini dapat dibudayakan untuk dilakukan secara berkala minimal setiap triwulan sehingga hal hal baru yang bersifat aktual dapat diikuti perkembangan dilapangan. Sebaliknya ditingkat pengambil kebijakan dapat memperoleh feetback dari perkembangan dilapangan yang selalu dinamis. Sinergitas antara PK dan PKOE yang dapat dimanfaatkan secara powerful, sangat membantu Badan P2SDM Kehutanan selaku penanggungjawab penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dalam melaksanakan tugasnya ditengah tengah keterbatasan jumlah SDM penyuluh maupun alokasi anggaran yang ada. Semoga.