KONSEP PENDIDIKAN TASAWUF MENURUT HABIB ABDULLAH BIN ALWI AL-HADDAD ( STUDI ANALISIS KITAB NASHOIHUD DINIYYAH ) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh
MUHAMMAD SYA’RONI NIM: 111 11 071 FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK) JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA TAHUN 2016 M
i
ii
iii
iv
MOTTO
v
Hati adalah nikamt Allah yang terbesar atas hamba-hamba-Nya. Siapa yang menggunakannya untuk mentaati-Nya dan menghiasi dengan hal-hal yang berkaitan dengan kecintaan pada-Nya, serta memanfaatkan sesuai dengan fungsinya, maka ia telah mensyukuri nikmat dan berbuat kebaikan (Al Hamid,2010:272)
vi
PERSEMBAHAN Skiripsi ini penulis persembahkan kepada: 1. Bapak dan almarhumah ibu yang tak henti-hentinya memberikan kasih sayang dan mendidik untuk selalu berbuat kebaikan 2. Bapak Muhammad Sholikhin dan Bapak Tsawabirruddin yang mengajarkan hikmah kebijaksanaan dalam kehidupan 3. Bapak dan Ibu Dosen IAIN Salatiga yang memberikan ilmu yang tidak terhingga luasnya. 4. Saudari Rahayu Istikomah yang memberikan motifasi untuk selalu belajar 5. Sahabat-sahabat PMII angkatan 2011 (GANAS) yang senantiasa mendampingi belajar dan berorganisasi baik dalam keadaan suka maupun duka. 6. Teman-teman di pondok Pesantren Bustanul Muta‟allimin( Pondok Lor ) yang menemani dalam mempelajari ilmu agama dan memberikan pengetahuan agama.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil „alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Sehingga pada saat ini penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, meskipun dalam bentuk yang jauh dari segala kesempurnaan. Sholawat serta salam, semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang tentunya atas segala limpahan syafaatnya yang akan kita nanti-nantikan. Dengan segala kerendahan hati, penulis sadar bahwa skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan semua pihak. Dan penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1.
Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. Selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
2.
Bapak Suwardi, M.Pd. Selaku Wakil Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) IAIN Salatiga.
3.
Ibu Siti Rukhayati, M. Ag. Sealaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI).
4.
Bapak Dr. M. Ghufron, M.Ag. Selaku pembimbing dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
5.
Ibu Dr. Muna Erawati, M.Si. Selaku pembimbing akademik dan memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan study di IAIN Salatiga.
viii
6.
Bapak dan Ibu Dosen
serta Karyawan yang telah membantu dalm
menyelesaikan study di IAIN Salatiga. 7.
Bapak Muhammad Sholikhin
dan Bapak Tsawabiruddin selagi pengasuh
pondok pesantren Bustanul Muta‟allimin (Pondok Lor) Reksosari kec. Suruh Kab. Semarang yang telah memberikan pengajaran tentang kitab Nashoihud Diniyyah terutama kepada penulis dan seluruh santri di pondok tersebut. Sekaligus telah memberikan pengetahuan agama kepada masyarakat di sana.
ix
ABSTRAK Muhammad Sya‟roni. 2016. Konsep pendidikan tasawwuf menuruuf Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad dalam Kitab Nashoihud Diniyyah. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr.M. Ghufron, M.Ag. Kata kunci: Konsep, pendidikan, tasawwuf. Kitab Nashoihud Diniyyah merupakan salah satu karya yang terkenal dari Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad yang berisi tentang tasawwuf. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep tasawwuf menurut Al-Habib Abdullah Bin Alwi Bin Muhammad Al-Haddad dalam kitab Kitab Nashoihud Diniyyah. Beberapa hal yang akan disampaikan dalm penelitian ini adalah: (1) Latar belakang Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad AlHaddad, (2) Konsep pendidikan tasawwuf yang terdapat dalam kitab Nashoihud Diniyyah, dan (3) Relevansi konsep tasawwuf yang terdapat dalam kitab Nashoihud Diniyyah dalam kehidupan sehari-hari . Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research). Sumber utama adalah kitab Nashoihud Diniyyah dan sumber pendukungya adalah terjemahan kitab Nashoihud Diniyyah dan buku-buku yang bersangkutan dengan materi. Adapun teknis analisis data menggunakan metode content analysis. Temuan penelitian ini, menunjukkan bahwa konsep tasawwuf yang ada dalam kitab Nashoihud Diniyyah karya Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad menunjukkan bahwa tasawwuf adalah penjelmaan dari ihsan. Dalam penafsirannya tasawwuf mempunyai tiga aspek yaitu:, tasawwuf akhlaki, tasawwuf amali, dan tasawwuf tauhid. Adapun tasawwuf tersebut sangat dibutuhkan sebagai pedoman masyarakat saat ini yang belum mencerminkan perilaku akhlak tasawwuf yang sesuai dengan tuntunan, menjadi pribadi yang berakhlakul karimah. Dalam mencapai akhlak yang mulia baik di sisi Allah, manusia harus berusaha melelui dua aspek yaitu: Aspek perbuatan yang dilakukan oleh bathin (jiwa) yang berupa penyucian hati. Dan Aspek perbuatan yang dilakukan oleh dhohir (anggota tubuh) yang berupa budi pekerti yang sesuai dengan tuntunan Al Qur‟an dan Hadits. Konsep pendidikan tasawwuf dalam kitab Nashoihud Diniyyah bisa dibilang praktis dan berpegang teguh dengan Al Qur‟an dan Hadits. Yang dari setiap uraiannya disertakan dasar-dasar (dalildalilnya). Dengan demikian, memberikan motivasi untuk melaksanakan kebaikan baik itu dihadapan manusia maupun dihadapan Allah.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................................
i
HALAMAN BERLOGO...................................................................................................
ii
HALAMAN NOTA PEMBIMBING................................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................................
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.........................................................................
v
MOTTO.............................................................................................................................
vi
PERSEMBAHAN.............................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR.......................................................................................................
viii
ABSTRAK.........................................................................................................................
x
DAFTAR ISI.....................................................................................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN..........................................................................................
1
A.
Latar Belakang.......................................................................................
1
B.
Rumusan Masalah.................................................................................
5
C.
Tujuan Penelitian...................................................................................
5
D.
Manfaat Penelitian.................................................................................
6
E.
Kerangka Teoritik..................................................................................
7
F.
Metode Penelitian.................................................................................
11
G.
Sistematika Pembahasan.......................................................................
12
BAB II
BIOGRAFI AL-HABIBABDULLAH BIN ALWI BIN MUHAMMADALHADDAD........................................................................ A.
LatarBelakangHabib Abdullah Al-Haddad.........................................
14
B.
RiwayatHidupHabib Abdullah binAlwi Al Haddad..........................
16
C.
MadzhabHabib Abdullah bin Alwi Al Haddad………………………
21
D.
Guru-guru Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad..
22
E.
Murid Al-Habib
23
Abdullah xi
bin
Alwi
bin Muhammad
F. G. BAB III
BAB IV
BAB V
AlHaddad.............................................................................................. Karya-karyaAl-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad AlHaddad……………………………………………………………….. SistematikaKitabNashoihudDiniyyah………………………………
24 27
DESKRIPSI PEMIKIRANAL-HABIB ABDULLAH BIN ALWI BIN MUHAMMADAL-HADDAD………………...
39
A.
KonsepTasawufBerkaitandenganHablumMinallah.........................
40
B.
KonsepTasawufBerkaitandenganHablumMinannas........................
44
ANALISIS DAN RELEVANSI KONSEP TASAWUF KITAB NASHOIHUD DINIYYAH.......................................................................
48
A.
PemikiranHabib Abdullah bin Alwi Al Haddad........………………
48
B.
RelevansiTasawufdalamkeidupan modern.......................................
80
PENUTUP................................................................................................. A.
Kesimpulan.......................................................................................
84
B.
Saran..................................................................................................
86
C.
Kata Penutup………………………………………………………….
87
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ibadah yang dibaluti dengan nilai-nilai tasawwuf yang sangat tinggi, mampu menginspirasi untuk selalu tulus dan ikhlas dalam beribadah. Tidak mengharapkan sesuatu apapun dari ibadah kita, termasuk balasan surga ataupun ancaman neraka. Tetapi kita beribadah semata-mata, karena kecintaan kita kepada Allah. Sebuah lagu tentang tasawwuf: Apakah kita semua benar-benar tulus menyembah pada-Nya Atau mungkin kita hanya takut pada neraka dan inginkan surga Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau bersujud kepada-Nya Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau menyebut namaNya Bisakah kita semua benar-benar sujud sepenuh hati Karena sungguh memang Dia, memang pantas disembah Memang pantas dipuja(Crisye)
Demikian bait-bait yang dibawakan oleh Crisye dan Ahmad Dhani yang diilhami oleh syair-syair seorang sufi perempuan yang sangat masyhur, Rabiah Adawiyah. Syair-syair Rabiah memang menggambarkan ketulusan cinta dan kehambaan kepada Tuhan. Ia tidak ingin ada satupun yang menjadikan kehambaan dan ketulusan cintanya, terbelokkan oleh adanya tujuan lain, termasuk surga dan neraka. Kehambaan dan ketulusan cinta itulah kira-kira yang hilang dari mutiara dunia ini. Kesadaran kehambaan sesungguhnya akan memberikan sebuah penghayatan kehidupan bahwa dirinya tidak lebih hanyalah seseorang 1
yang harus tunduk kepada pemiliknya yang hakiki. Kesadaran kehambaan akan melahirkan juga kecintaan kepada kekasihnya yang hakiki, yaitu Tuhan. Kesadaran kehambaan dan ketulusan cinta pada Tuhan akan mewujudkan cinta kepada sesama tanpa memandang “baju-baju” yang menyekat satu orang dengan orang yang lainnya. Sayangnya fenomena saat ini justru sedemikian cintanya kepada Tuhan, mereka sangat bersemangat dalam membela
Tuhan.
Atas
nama
Tuhan,
mereka
menghakimi,
bahkan
menghancurkan siapa saja yang dianggap menentang Tuhan. Kesadaran kehambaan dan ketulusan cinta terhadap Tuhan juga tergerus oleh mesin-mesin modernisasi yang semakin perkasa. Modernisasi telah mendakhwahkan ajaran agama yang baru bernama materialismehedonisme. Daya pikatnya sedemikian luar biasa, sehingga banyak manusia yang berlomba-lomba menjadi pengikut yang paling fanatik. Agama baru itu, materialisme dan hedonisme telah membugkus seluruh sisi kehidupan manusia. Semua diukur berdasarkan kepuasan materialis. Manusia tidak menjadikan dirinya sendiri yang sejati bersifat sepiritul sebagai ukurannya. Dalam keadaan seperti ini, sepiritualitas tasawwuf menawarkan jalan pembebasan dari keterbelengguan manusia dari dirinya sendiri. Itu sebabnya, sekarang ini banyak orang yang menggeluti tasawwuf, karena tasawwuflah yang berusaha secara pasti untuk memanusiakan manusia. Ia berusaha mngembalikan manusia ke dalam dimensinya yang sepiritual(Syukur, 2006:xiii)
2
Tasawwuf merupakan bagian besar dari isi pendidikan Islam, posisi ini terlihat dari kedudukan Al-Qur‟an sebagai referensi paling penting tentang akhlak tasawwuf bagi kaum muslimin, individu, keluarga, masyarakat, dan umat. Akhlak tasawwuf merupakan buah Islam yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan serta membuat hidup dan kehidupan menjadi baik. Akhlak tasawwuf merupakan alat kontrol psikis dan sosial bagi individu dan masyarakat. Tanpa akhlak tasawwuf,
masyarakat tidak
akan berbeda dari kumpulan binatang
(Munzier, 2008: 89). Salah seorang ulama‟ yang mengkaji dan memberikan pendidikan tasawwuf secara mendalam adalah Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad. Dia adalah seorang guru besar dalam bidang pendidikan akhlak dan tasawwuf, baik akhlak dhahir (lahir) maupun bathin(batin). Sejarah menyebutkan bahwa Al-Habib Abdullah Al-Haddad tidak tidur di waktu malam untuk beribadah kecuali sedikit saja. Yang demikian itu adalah untuk meneladani amalan Rasulullah SAW yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk tidak tidur di waktu malam kecuali sedikit saja( Munawir, 2007:7). Selain dikenal sebagai seorang yang ahli dalam mendidik akhlak dan tasawwuf, Al-Habib Abdullah Al-Haddad juga dikenal sebagai seorang yang produktif dalam karya tulis (Musthofa, 1994: 163). Karya-karyanya banyak sekali, salah satu karyanya yang ada di Indonesia, yang banyak dikaji oleh majlis-majlis pengkajian ilmu 3
adalah kitab Nashoihud Diniyyah. Kitab ini tergolong praktis, di dalamnya terdapat berbagai ulasan-ulasan yang berhubungan dengan pendidikan
akhlak tasawwuf beserta
dalil-dalilnya
(dasar-dasarnya),
yang bisa dijadikan acuan untuk mempengaruhi dan memformulasikan nilai-nilai tasawwuf dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam kitab Nashoihud Diniyyah memberikan konsep tasawwuf yang berbeda dengan konsep pendidikan modern saat ini. Kitab Nashoihud Diniyyah memberikan pendidikan akhlak tasawwuf diawali mendekatkan diri kepada Allah melalui bertaqwa kepada Allah melalui ajaran-ajaran agama islam dari Al Qur‟an dan Hadits. Dalam pembahasan selanjutnya kita dituntut untuk menjalankan suatu ibadah dengan didasari keikhlasan hati untuk meraih ridhaNya. Dalam penutup kitab dijelaskan tentang kaidah-kaidah bertasawwuf berdasarkan Ahlussunnah wal jama‟ah sesuai tuntunan Al Qur an dan Hadits. Dalil-dalil di dalam Al Qur an, Hadits Nabi, serta perumpamaan dan keutamaan bagi orang yang bertasawwuf juga diikutsertakan dalam memberikan dasar dalam pendidikan akhlak tasawwuf. Konsep pendidikan akhlak tasawwuf dalam kitab Nashoihud Diniyyah menggabungkan tasawwuf dan akhlak. Sehingga akan terbentuknya antara kehidupan bertasawwuf yang dibaluti dengan kebersihan hati. Berdasarkan uraian diatas penulis ingin membahas konsep tasawwuf menurut Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-
4
Haddad dalam kitab Nashoihud Diniyyah. Dalam kitab trersebut akan membahas bagaimana Bagaimana latar belakang sosial dari Habib Abdullah Al Haddad, konsep pendidikan tasawwuf yang terdapat dalam kitab Nashoihud Diniyyah, dan relevansi konsep pendidikan tasawwuf kitab Nashoihud Diniyyah dalam kehidupan sehari-hari. Dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menggali konsep tasawwuf yang terdapat dalam kitab Nashoihud Diniyyah , yang memuat ulasan-ulasan pemikiran dari Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad tentang wasiat-wasiat keimanan dan langkahlangkah seseorang menempuh jalan kehidupan menuju kebahagiaan dunia akhirat. Untuk itu, maka dalam penelitian ini penulis memberi judul: KONSEP
PENDIDIKAN
TASAWWUF
MENURUT
HABIB
ABDULLAH BIN ALWI BIN MUHAMMAD AL-HADDAD ( STUDI ANALISIS KITAB NASHOIHUD DINIYYAH). Penulis akan berusaha mengulas nilai-nilai pendidikan akhlak tasawwuf yang ada dalam kitab
Nashoihud Diniyyah.
Diharapkan
nantinya
dapat
dijadikan
referensi dalam pembimbingan akhlak para pelajar dan juga masyarakat umum. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana latar belakang sosial dari Habib Abdullah Al Haddad? 5
2. Apa konsep pendidikan tasawwuf
yang
terdapat
dalam
kitab
Nashoihud Diniyyah? 3. Bagaimanakah
relevansi
konsep tasawwuf
kitab
Nashoihud
Diniyyah dalam kehidupan sehari-hari?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui latar belakang sosial dari Habib Abdullah Al Haddad. 2. Mengetahui konsep pendidikan tasawwuf
yang terdapat dalam
kitab Nashoihud Diniyyah 3. Mengetahui relevansi nilai-nilai akhlak tasawwuf yang terdapat dalam kitab Nashoihud Diniyyah dalam kehidupan sehari-hari.
D. Kegunaan Penelitian 1. Teoritis a. Memperkaya
khasanah
keilmuan
tentang
kitab
Nashoihud
Diniyyah melalui konsep tasawwuf yang terkandung di dalamnya. b. Menambah pemahaman ajaran islam sebagai agama yang Rahmatanlil „alamin melalui tasawwuf yang terkandung dalam kitab Nashoihud Diniyyah.
6
2.
Praktis a. Bagi Peneliti Penelitian ini merupakan salah satu bentuk pelatihan bagi peneliti dalam menganalisa isi kandungan khususnya konsep tasawwuf yang terkandung dalam kitab Nashoihud Diniyyah untuk dijadikan sebagai salah satu karya ilmiah (Skripsi).
b. Bagi Masyarakat Umum Penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dalam pembuatan karya ilmiyah yang berkaitan dengan konsep tasawwuf dan mempermudah masyarakat umum untuk mengetahui isi kandungan kitab Nashoihud Diniyyah kususnya konsep tasawwuf yang terkandung pada kitab tersebut. E. Kajian Pustaka Dari segi bahasa, para ahli memberikan berbagai pengertian tentang tasawwuf, namun dari beberapa pengertian itu dapat disimpulkan, bahwa tasawwuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia. Sedangkan pengertian tasawwuf dari segi istilah atau menurut pendapat para ahli tasawwuf sangat tergantung kepada sudut pandang yang
7
digunakan oleh masing-masing pakar. Jika memandang mausia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawwuf dapat didefinisikan sebagai "upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt." Tasawwuf ialah penjabaran ajaran Al-Qur‟an, Sunnah, berjuang mengendalikan hawa nafsu, menjauhi perbuatan bid‟ah, mengendalikan syahwat, dan menghindari sikap meringankan ibadah ( Hoeve, 1993: 74). Secara umum para ahli tasawwuf membagi tasawwuf menjadi 3 (Tiga) macam
yaitu: tasawwuf aqidah, tasawwuf amali dan tasawwuf
akhlaki.
Ketiga jenis tasawwuf tersebut pada prinsipnya mempunyai
tujuan yang sama yaitu sama-sama ingin “mendekatkan diri kepada Allah” dengan cara membersihkan diri dari perbuatan tercela dan menghiasinya dengan perbuatan terpuji. Namun ketiga jenis tasawwuf tersebut mempunyai perbedaan dalam penerapan “pendekatan” yang di gunakan (Asmaran, 1994:46) Pendekatan-pendekatan
dari
masing-masing
jenis
tasawwuf,
sekaligus merupakan spesifikasi dan ajaran inti masing-masing jenis tasawwuf tersebut. Para tasawwuf yang bercorak akhlaki, pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan “moral” atau biasa di sebut pencerdasan emosi. Untuk tasawwuf yang bercorak aqidah, maka pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan “rasio” memberdayakan akal pikiran yang biasa disebut pencerdasan inteligen. Sedangkan tasawwuf yang bercorak amali, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan “amaliah”, 8
memperbanyak aktifitas yang bersifat rohani yang biasa disebut pencerdasan spiritual. Ketiga bentuk corak tasawwuf itu merupakan perwujudan untuk meng-Esakan Tuhan secara mutlak, dan itu berarti kita harus menyadari bahwa meng-Esakan dan memahami Tuhan tidak bisa dijangaku atau didekati hanya dengan rasio atau akal semata, tetapi memahami Tuhan harus dibantu dengan pendekatan moral atau emosi dan spiritual yang keduanya itu bertempat dalam hati sebagai tempatnya iman bersemayam ( Siregar, 2002:52). Berikut adalah ajaran inti tasawwuf yang dikemukakan menurut pembagian tasawwuf itu sendiri, yakni: 1. Tasawwuf Akhlaki Taswuf Akhlaki ialah ajaran tasawwuf yang berhubungan dengan pendidikan mental dan pembinaan serta pengembangan moral agar seseorang berbudi luhur atau berakhlak mulia. Bahwa satu-satunya cara untuk bisa mengantarkan seseorang agar bisa dekat dengan Allah SWT, hanyalah dengan jalan “mensucikan jiwa”. Bahwa untuk mencapai kesucian jiwa tersebut diperlukan “latihan mental” yaitu al-riyadhah yang ketat. Riyadhah tersebut wujudnya adalah “mengontrol” sikap dan tingkah laku secara ketat agar terbentuk pribadi yang berahklak mulia. 2. Tasawwuf Amali
9
Tasawwuf amali yaitu ajaran tasawwuf yang mementingkan pengalaman-pengalaman ibadah baik secara lahiriah maupun batiniah. Tasawwuf amali dianggap oleh sebahagian sufi sebagai bagian dan lanjutan dari taswuf akhlaki. Menurut sufi yang menganutnya bahwa untuk dekat dengan Allah SWT. Maka seseorang harus menggunakan pendekatan amaliah dalam bentuk memperbanyak aktifitas, amalan lahir dan batin(Asmaran, 1994:53) Oleh karena itu menurut sufi, ajaran agama juga mengandung aspek lahiriah dan batiniah, maka cara memahami dan mengamalkannya juga harus melalui aspek lahir dan batin. 3. Tasawwuf Aqidah Tasawwuf aqidah berbeda dengan tasawwuf akhlaki dan amali. Sebab tasawwuf falsafi menggunakan term filsafat dalam mengungkap ajarannya. Terminologi tersebut berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang mempengaruhi tokoh-tokoh sufi. Dengan adanya term-term filsafat dalam tasawwuf ini menyebabkan bercampurnya ajaran filsafat dan ajaran-ajaran dari luar Islam seperti Yunani, India, Persia, Kristen dalam ajaran tasawwuf Islam. Tetapi perlu diketahui bahwa orisinalitas tasawwuf tetap ada dan tidak hilang. Sebab para sufi tersebut menjaga kemandirian ajarannya(Asmaran, 1994:192).
10
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan Library research. Yaitu pendekatan yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung. Dalam hal ini hendak diuraikan nilai-nilai akhlak tasawwuf yang terdapat dalam kitab Nashoihud Diniyyah dan relevansinya dengan kehidupan kontemporer. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam penelitian
ini
adalah
research(penelitian
dengan
kepustakaan).
menggunakan Maka
metode
peneliti
library
menggunakan
teknik yang diperoleh dari perpustakaan dan dikumpulkan dari kitab-kitab dan buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian. Yang terdiri dari dua sumber: a. Sumber utama, adalah sumber yang langsung berkaitan dengan permasalahan yang didapat yaitu: kitab Nashoihud Diniyyah b. Sumber Pendukung, adalah data yang diperoleh dari sumber pendukung untuk memperjelas data utama. Yaitu terjemahan kitab Nashoihud Diniyyah serta buku-buku lain yang ada hubungannya dengan pendidikan konsep tasawwuf.
11
3. Teknik Analisis Data Dalam menganalisis data yang ada, penulis menggunakan Metode Content Analysis. Yaitu menganalisis isi. Menurut Weber sebagaimana dikutip oleh Soejono dalam bukunya yang berjudul: Metode
Penelitian
Suatu
Pemikiran
dan
Penerapan,
adalah:
“metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen” (Soejono, 2005: 13). Dengan teknik analisis ini penulis akan menganalisis terhadap makna atau pun isi yang terkandung dalam
ulasan-ulasan
kitab
Nashoihud Diniyyah
dan konsep
tasawwuf. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang penulis maksud di sini adalah sistematika penyusunan skripsi dari bab ke bab. Sehingga skripsi ini menjadi satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Hal ini bertujuan agar tidak ada pemahaman yang menyimpang dari maksud penulisan skripsi ini. Adapun sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut: Bab Pertama. Pendahuluan, menguraikan tentang : latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, keragka teoritik, dan sistematika Penulisan sebagai gambaran awal dalam memahami skripsi ini. 12
Bab Kedua. Biografi dan pemikiran Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad, menguraikan tentang: Latar belakang Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad,
riwayat
hidup Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad, yang meliputi kelahiran dan nasab, tempat tinggal, ahli keluarganya, dan peristiwa wafatnya. Dilanjutkan dengan madzhab Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad, guru-gurunya, murid-muridnya, karyakaryanya, serta sistematika penulisan kitab Nashoihud Diniyah. Bab Ketiga. Deskripsi pemikiran Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad. Bab Keempat. Pembahasan, menguraikan
pemikiran, relevansi
pemikiran, dan analisis. Bab Lima. Penutup, menguraikan kesimpulan, saran, implikasi penelitian, dan kata penutup.
13
BAB II BIOGRAFI AL-HABIB ABDULLAH BIN ALWI BIN MUHAMMAD AL HADDAD
A.
Latar Belakang Habib Abdullah Al-Haddad Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad tinggal di sebuah tempat bernama Al-Hawi. Al-Hawi adalah sebuah kawasan yang berdekatan dengan Tarim, ia menetap disana(Al-Hawi) pada tahun 1099H. Sayyid Muhammad bin Ahmad Al-Syathiri (Sejarawan dari Hadlramaut) berkata: ”Sesungguhnya Al-Habib Abdullah Al-Haddad mendirikan Al-Hawi semata-mata untuk mempunyai tapak yang berdiri sendiri untuknya dan ahli keluarganya serta para pengikutnya,dan tidak tertakluk kepada pentadbiran(pemikiran) Qadli Tarim pada masa itu. Ia merupakan tempat yang strategi untuk mendapatkan segala yang baik dari pada Tarim, dan kawasan yang terlindung dari segala fitnah dan kejahatan dari tempat itu”. Dengan demikian Al-Hawi menjadi kawasan yang selamat lagi dihormati. Al-Habib Abdullah Al-Haddad membangun rumahnya di AlHawi pada tahun1074 H, lalu berpindah dari Subair kesana pada tahun 1099H. Ia membangun masjidnya berhampiran dengan rumahnya, dan mengajar disana selepas shalat ashar setiap hari, serta hadlrah (rebana) pada setiap malam Jum‟at selepas salat isya‟. Maka dengan berbagai aktivititas, Al-Hawi menjadi tumpuan kepada para ulama‟, dan orang-
14
orang shaleh, serta tempat perlindungan bagi kaum fakir miskin ,dan merupakan zona selamat, aman, dan tenteram (AlBadawi, 1994: 161). Al-Habib Abdullah Al-Haddad, dalam menyusun kitab ini memiliki berbagai alasan, tujuan, dan latar belakang. Ia mengatakan bahwa alasan yang mendorongnya untuk menulis kitab ini adalah untuk melaksanakan perintah agung, perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, dan berusaha meraih janji yang mulia yaitu untuk memperoleh janji yang benar (alWa‟ddual Shaadiqu) yang dijanjikan bagi mereka yang menyeru kepada jalan kebaikan dan menyebarkan ilmu, disamping juga untuk mengingatkan dan menasehati seluruh umat muslim (Al Haddad, 2010: 3). Selain dengan alasan itu semua, memang juga karena masyarakat yang hidup pada masa itu, sedang dalam kondisi minus akhlak, banyak kerajaan-kerajaan yang melancarkan peperangan, berebut kekuasaan, dan masyarakatnya kurang mendapat perhatian dari penguasanya, yang menyebabkan satu sama lain dari mereka berbuat hal-hal yang diluar tuntunan syari‟at islam. Akibat kurangnya tuntunan dari pemimpinnya (Abu Bakar, 1996:132).
B.
Riwayat Hidup Al-Habib Abdullah AlHaddad 1. Kelahiran dan Nasab Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad dilahirkan di Tarim ( sebuah kota yang terletak di Hadlramaut,Yaman) 15
pada malam senin tanggal 5 Shafar tahun 1044 H/30 Juli tahun 1634 M.Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al Haddad adalah keturunan dari Sayyid Alwi bin Muhammad Al-Haddad, yang dikenal sebagai seorang yang
shaleh,
(ma‟rifat)
serta
dan
diyakini
Syarifah
sudah
Salma
mencapai
binti
Idrus
derajad Al-Arifin bin
Ahmad
bin
Muhammad Al-Habsyi, yang juga dikenal sebagai wanita yang shalehah. (Al-Badawi, 1994: 39-40). Adapun nasab beliau sampai pada Rasullullah SAW. Apabila ditulis secara keseluruhan maka nasab beliau yaitu Abdullah bin Alwi bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin Abu Bakar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Al-Faqih bin Abdurrahman bin Alwi bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin isa bin Muhammad bin Ali bin Jaafar Al-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainul Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib dan juga putra Fathimah Putri dari Rasulullah Muhammad (Abu Bakar, 1996:366). 2. Tempat Tinggal Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad tinggal disebuah tempat bernama Al-Hawi. Al-Hawi adalah sebuah kawasan yang berdekatan dengan Tarim, ia menetap disana (Al-Hawi) pada tahun 1099 H. Sayyid Muhammad bin Ahmad Al-Syathiri (Sejarawan
dari
Hadlramaut)
16
berkata:
”Sesungguhnya
Al-Habib
Abdullah
Al-Haddad
mendirikan
Al-Hawi
semata-mata
untuk
mempunyai tapak yang berdiri sendiri untuknya dan ahli keluarganya serta
para
pengikutnya,
dan
tidak
tertakluk
kepada
pentadbiran(pemikiran) Qadli Tarim pada masa itu. Tarim merupakan tempat yang strategi untuk mendapatkan segala yang baik daripada Tarim, dan kawasan yang terlindung dari segala fitnah dan kejahatan dari tempat tersebut”. Dengan demikian AlHawi menjadi kawasan yang selamat lagi dihormati . (Al-Badawi, 1994: 139). 3. Ahli keluarga Imam Al Haddad Ayah beliau bernama Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad, seorang yang saleh yang tergolong dalam golongan Al‟Arifin. Imam AlHaddad sendiri pernah berkata: “sesungguhnya ayahku ini suci dan mensucikan”. Sakit menimpa ayahanda Imam Al-Haddad sehingga beliau wafat pada malam senin awal bulan rajab setelah mengucap kalimah tauhid. Setelah 5 hari ayahanda Imam Al-Haddad meninggal dunia, ibu beliau Syarifah Salma sakit selama lebih kurang 20 hari, lalu kemudian meninggal dunia setelah mengucap syahadat pada hari rabu 24 Rajab 1072 H. Olehnya, berkata Imam Al-Haddad : “Aku memuji dan bersyukur kepada Allah karena mereka berdua (yakni kedua ibu bapanya) meninggal
dunia
dalam 17
keadaan
yang
diridhai.
Imam Al-Haddad mempunyai 3 orang saudara, mereka adalah: Omar, Ali, dan Hamid. Beliau kerap menulis surat kepada mereka yang dipenuhi dengan nasihat-nasihat dan pengajaran-pengajaran. Akan tetapi, surat-menyurat beliau kepada Hamid (saudaranya) lebih kerap, hal ini mungkin disebabkan oleh karena jauhnya jarak antara mereka berdua, oleh kerana beliau (Habib Hamid) tinggal di India dan meninggal dunia di sana pada 1107H. Dari isi kandungan surat-surat itu tampak satu pertalian hubungan persaudaraan yang menggambarkan akan kesungguhan kasih sayang dan kecintaan di antara mereka. Imam Al-Haddad mempunyai 6 orang anak lelaki, mereka adalah: Hasan,
Alwi,
Muhammad,
Salim,
Husain,
dan
Zain.
Beliau seorang ayah yang penyayang terhadap anak-anaknya, beliau memberikan gelaran-gelaran terhadap mereka. Seperti gelaran Ameer (pemimpin) untuk Husain, Sholeh (orang yang banyak amal ibadahnya) untuk Alwi, Hakim (sifat bijaksana) untuk Hasan, dan Sheikh (guru besar) untuk
Zain.
Berkata
imam
Al-Haddad
tentang
anaknya
Muhammad:“sesungguhnya anakku Muhammad telah mendapat derajat wilayah yang sempurna” .Sehingga dengan demikian beliau dipilih untuk menggantikan ayahandanya di dalam penghubung antara kabilah-kabilah untuk mendamaikan antara puak-puak yang berselisih Adapun Hasan dan Alwi dikenali dengan keilmuannya, dan mereka menggantikan kedudukan ayahanda mereka dalam tugasan mengajar ilmu-ilmu, dan memberi makan fakir miskin, menerima tamutamu asing ataupun tamu-tamu khas yang datang dari luar. Imam Al18
Haddad pernah berdoa untuk anaknya Hasan: “Hasan (artinya yang baik.) semoga Allah membaikkan di belakangmu”. Dengan doa itu beliau mempunyai dzuriat yang baik dan banyak dari kalangan ulama. Beliau (Hasan) meninggal dunia di Tarim pada tahun 1188H, adapaun Alwi meninggal dunia di Mekkah setelah menunaikan ibadah haji, dan dimakamkan berhampiran dengan kubur Siti Khadijah R.A pada tahun 1153 H. Zain telah berhijrah ke Iraq setelah ayahandanya meninggal dunia, beliau sangat dihormati di negeri itu disebabkan oleh kerana pengaruh ayahandanya yang begitu luas sehingga ke negeri Iraq. Beliau meninggal dunia di negeri Oman bertepatan dengan perkampungan Sheer, pada tahun 1157H. Adapun Salim, beliau menetap di negeri Misyqash dan mempunyai dzuriat di sana, lalu kemudian kembali ke kampung halamannya Tarim dan meninggal dunia di sana pada tahun 1165 H. (AlBadawi, 1994: 187). 4.
Peristiwa Wafatnya Al-Habib Abdullah Al-Haddad menghabiskan umurnya untuk menuntut ilmu dan mengajar, berdakwah dan mencontohkannya dalam kehidupan. Hari kamis 27 Ramadhan 1132 H, dia sakit tidak ikut salat ashar berjama‟ah di masjid dan pengajian rutin sore. Ia memerintahkan orang-orang untuk tetap melangsungkan pengajian seperti biasa dan ikut mendengarkan dari dalam rumah. Malam 19
harinya, ia salat isya berjama‟ah dan tarawih. Keesokan harinya ia tidak bisa menghadiri salat jum'at. Sejak hari itu, penyakitnya semakin parah. Ia sakit selama 40 hari sampai akhirnya pada malam selasa, 7 Dzulqo‟dah 1132 H / 10 September 1712 M, ia kembali menghadap Yang Kuasa di Al-Hawi, disaksikan anaknya, Hasan. Ia wafat dalam usia 89 tahun. Ia meninggalkan banyak murid, karya dan nama harum di dunia. Di kota tarim, di pemakaman Zanbal ia dimakamkan (AlBadawi, 1994: 171-172). C. Madzhab Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad Al-Habib
Abdullah
Al-Haddad
dalam sejarah
Islam,
ia
dikenal sebagai penganut aqidah Sunni Asy‟ariyah, dan pengikut madzhab Syafi‟i. Al-Habib Abdullah sangat memahami kitab-kitab madzhab Imam Syafi‟i. Sehingga yang dahulu menjadi gurunya beliau, kemudian menjadi muridnya. Salah satunya yaitu Sheikh Bajubair, dimana Al-Habib Abdullah Al-Haddad dulunya telah berguru kepada Sheikh Bajubair dalam ilmu Fiqh, dan ia telah belajar kitab Al Minhaj (kitab Fiqh madzhab Imam Syafi‟i) dari Sheikh Bajubair. Sheikh Bajubair merantau ke negeri India, setelah beberapa lama berada di sana, lalu kemudian ia kembali ke Hadlramaut. Setelah di Hadlramaut ia belajar kitab Ihya „Ulumuddin Karya Imam Al-Ghozali kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Hal ini menunjukkan akan keluasan ilmu Al-Habib Abdullah yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya(AlBadawi, 1994: 231).
20
D. Guru-guru Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad tumbuh besar dalam lingkungan keluarga yang baik, ia mendapat didikan awal dari ayahandanya Al-Habib Alwi bin Muhammad al-Haddad dan ibundanya Syarifah Salma binti Idrus bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsyi. Di masa kecilnya,
ia
menyibukkan
diri
untuk
menghafal
Al-Qur‟an,
dan
bermujahadah untuk mencari ilmu, sehingga berjaya mendahului rekan rekannya. Al-Habib Abdullah Al-Haddad sangat gemar menuntut ilmu. Kegemarannya berkeliling
ke
ini
berbagai
membuatnya kota
di
seringkali Hadlromaut,
melakukan
perjalanan
menjumpai
kaum
shalihin(orang-orang yang saleh) untuk menuntut ilmu dan mengambil berkah dari mereka. Telah dicatatkan bahwa, jumlah bilangan guru-guru Al-Habib Abdullah melebihi 140 guru, ia telah mengambil ilmu dan berkah dari para gurugurunya itu. Di antara guru-guru dari Al Habib Abdullah Al-Haddad adalah sebagai berikut: 1. Al-Mukarromah Al-Habib Muhammad bin Alwi bin Abu Bakar bin Ahmad bin Abu Bakar bin Abdurrahman Asseqaf yang tinggal di Mekkah (1002–1071 H). 2. Sayyidi Syaikh Al-Habib Jamaluddin Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Syaikh Al-„Arif Billah Ahmad bin Quthbil Aqthob Husein bin Syaikh Al-Quthb Al-Robbani Abu Bakar bin Abdullah AlIdrus (1035-1112 H), 3. Al-Allamah Al-Habib Abdurrahman bin Syekh Maula Aidid Ba'Alawy (wafat: 1068 H), 21
4. Al-Quthb Anfas Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-„Athos bin Aqil bin
Salim
bin
Abdullah
bin
Abdurrahman
bin
Abdullah
bin
Abdurrahman Asseqaf (wafat: 1072 H), 5. Al-Mukarromah Al-Habib Muhammad bin Alwi bin Abu Bakar binAhmad bin Abu Bakar bin Abdurrahman Asseqaf yang tinggal di Mekkah (1002– 1071 H). Dari guru-gurunya itulah Al-Habib
Abdullah Al-Haddad menerima
banyak ilmu hingga menekuni tasawwuf, dan dari guru-gurunya tersebut dengan kajiannya yang mendalam diberbagai ilmu keislaman menjadikannya benar-benar menjadi orang yang `alim, menguasai seluk beluk syari`at dan hakikat, memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi dalam bidang
tasawwuf,
sampai ia menyusun sebuah Ratib (wirid-wirid perisai diri, keluarga dan harta)
yang
kini
dikenal
di
seluruh
penjuru
dunia
(http://darulmurtadza.com/imamabdullah-bin-alwi-al-haddad/diunduh pada 10 mei pukul 00.30). E. Murid-murid Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad AlHaddad Murid-murid utama Imam Al Haddad adalah terdiri dari ahli keluarganya sendiri, terutama anak-anak beliau. Adapun dari selain ahli keluarga beliau mereka adalah: Habib Ahmad bin Zain Al Habshi, Habib Muhammad bin Zain bin Semait, Habib Omar bin Zain bin Semait, Habib Omar bin Abdurrahman Al Baar, Habib Abdurrahman bin Andullah Ba Al-Faqih, Habib Muhammad bin Omar bin Taha Al-Seggaf, dll(http://darulmurtadza.com/imamabdullah-binalwi-al-haddad/diunduh pada 10 mei pukul 00.30).
22
F. Karya-karya Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad AlHaddad Selain dikenal sebagai seorang yang ahli dalam berdakwah, AlHabib Abdullah Al-Haddad juga dikenal sebagai salah seorang penulis yang produktif. Ia mulai menulis ketika berumur 25 tahun dan karya terakhirnya ditulis pada waktu usianya 86 tahun. Keindahan susunan bahasa serta mutiara-mutiara nasehat yang terdapat dalam karya-karyanya, menunjukkan akan keahliannya dalam berbagai ilmu agama. Bukan hanya kaum awam saja yang membaca dan menggemarinya, akan tetapi sebagian ulama‟pun menjadikannya sebagai pegangan dalam berdakwah. (Albadawi, 1994: 163). Keistimewaan dari karya-karya Al-Habib Abdullah adalah mudah difahami
oleh
semua
kalangan,
mengikut
kefahaman
masing-masing.
Sehingga buku-bukunya telah dicetak beberapa kali dan sudah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa. Adapun
karya-karya
Al-Habib
Abdullah
Al-Haddad
diantaranya adalah
sebagai berikut: 1. An-Nashoihuddiniyah wa al-Washoya al-Imaniyah. Kitab ini mendapat pujian dari para ulama‟ karena isinya merupakan suatu ringkasan daripada kitab Ihya „Ulumudin ( karangan Imam Al Ghozali ). Kata-kata di dalam kitab ini mudah, kalimatnya jelas, pembahasannya sederhana dan disertai dengan dalil yang kukuh (Albadawi, 1994: 165). 2. Risalah al-Mu‟aawanah wa al-Mudzaaharah wa al-Mu`aazirah li ar Raghibin minal Mu‟minin fi Suluki Thoriqil Akhirah. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1069 H, sewaktu Al-Habib Abdullah berusia 26 tahun. 23
Dan ditulis atas permintaan Habib Ahmad bin Hasyim Al-Habsyi. (AlBadawi, 1994: 165-166). 3. Risalah
Al-Mudzaakarah
Ma‟a
Al-Ikhwan
Al-Muhibbin
Min
Ahl
AlKhair Wa Ad-Din. Berisi tentang definisi takwa, cinta menuju jalan akhirat, zuhud dari dunia, kitab ini sangat cocok untuk menerangkan hati. Kitab ini selesai ditulis oleh Al-Habib Abdullah pada hari ahad sebelum waktu dhuhur, akhir bulan Jumadil Awwal tahun 1069 H. (Al-Badawi, 1994: 163). 4. Risalah Aadab Suluk al-Murid. Tentang kewajiban bagi seorang murid (orang yang mencari Allah dan kehidupan akhirat) meliputi adab dan amal lahir dan batin. Kitab ini selesai penulisannya pada tanggal 7 atau 8 Ramadhan, tahun 1071 H. (Al-Badawi, 1994: 164). 5. Ithaf as-Saail bi Jawaab al-Masaail.Kitab ini selesai ditulis pada hari Jum‟at, 15 Muharram 1072 H, Ketika itu Al-Habib Abdullah berumur 28 tahun. Kitab ini adalah merupakan kumpulan jawaban atas berbagai persoalan yang diajukan kepadanya
oleh
Syaikh
Abdurrahman
Ba
„Abbad Asy-Syibaami. Kitab itu ditulis sewaktu ia berkunjung ke Dau „an pada tahun 1072 H. Kitab ini mengandung 15 pertanyaan dengan jawaban dan ulasan yang mendalam darinya. Selesai ditulis pada hari Jum‟at, 15 Muharram 1072 H. (Al-Badawi, 1994: 165). 6. Al-Fushul al-„Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hikamiyah.Terdiri dari 40 fasal. Kitab ini selesai ditulis pada 12 Shafar tahun 1130 H, ketika AlHabib Abdullah berusia 86 tahun, yaitu 2 tahun sebelum kewafatannya. (Al-Badawi, 1994: 167).
24
7. Sabil al-Iddikar wa al-I‟tibaar bima Yamurru bi al-Insan wa Yanqadhi lahu min al-‟A‟maar.Terdapat perbedaan pendapat mengenai usia Imam Al-Haddad pada saat menulis kitab ini. Ada yang mengatakan pada ketika ia berusia 67 tahun (1110 H). dan ada yang mengatakan kitab ini diselesaikan pada hari Ahad 29 Sya‟ban 1110 H. Kitab ini membahaskan mengenai fasa-fasa hidup manusia. (Al-Badawi, 1994: 166). 8. Ad-Da‟wah
at-Tammah
wa
at-Tadzkirah
al-„Ammah. Kitab
ini
diselesaikan oleh Al-Habib Abdullah pada saat usianya 70 tahun. Selesai ditulis pada jum‟at pagi 27 atau 28 Muharram tahun 1114 H. (Al-Badawi, 1994: 166). 9. An-Nafais al-„Uluwiyyah fi al-Masaail as-Shufiyyah. Kitab ini selesai ditulis pada hari kamis, bulan Dzulqo‟dah tahun 1125 H. Usia AlHabib Abdullah pada waktu itu adalah 81 tahun. Kitab ini membahas masalah yang berkaitan dengan sufi. Diakui
oleh
para
sufi,
bahwa
ada
ketinggian
dan
keindahan
spiritualitas yang tinggi pada kesufian Al-Habib Abdullah. Dapat dilihat dari karya-karyanya tersebut betapa sejuk dan indahnya bertasawwuf. Tasawwuf bagi Al-Habib Abdullah adalah ibadah, zuhud, akhlak, dan dzikir, suatu jalan membina dan memperkuat kemandirian menuju kepada Allah SWT (http://www. Darulmurtadza .com/riwayat-hidup-imam-abdullahbin-alwi-al.html diunduh pada 10 mei 00.30). G. Sistematika Kitab Nashoihud Diniyyah Pada tahun 1089 H/ 1678 M, Al-Habib
Abdullah
Al-Haddad
menyelesaikan karya yang dikategorikan sebagai master piece-nya yang diberi 25
judul An-Nashoihuddiniyah wa al-Washoya al-Imaniyah. Kitab ini diselesaikan dalam
jangka
ditulis
sebelum
waktu
yang
kepergiannya
agak ke
lama.
Madinah
dan
Separuh
babnya
dibacakan
ketika
berada di Makkah dan Madinah. Kemudian kitab An-Nashoihuddiniyah wa al-Washoya al-Imaniyah tersebut disempurnakan oleh -Habib Abdullah AlHaddad sekembalinya ia ke Tarim tepatnya pada tahun 1089 H/ 1689 M. Kitab ini mendapat pujian dari para ulama‟ karena isinya merupakan suatu ringkasan daripada kitab Ihya „Ulumudin ( karangan Imam Al Ghozali ). Kata-kata di dalam kitab ini mudah, kalimatnya jelas, pembahasannya sederhana dan disertai dengan dalil yang kukuh (Albadawi, 1994: 165). Kitab Nashoihud Diniyyah adalah sebuah kitab yang berisi Nashihatnashihat keagamaan yang isinya sangat luar biasa bagi kita umat islam untuk menjaga keimanan kita dan juga menjadi penyemangat kita dalam berbuat kebaikan. Kitab Nashoihud Diniyyah berjudul lengkap "Nashoihud Diniyyah Wal Washoya Al Imaniyyah" atau jika diterjemahkan kurang lebih "Nasehat-nasehat keagamaan dan wasiat-wasiat keimanan"(Mahzumi, 2012:10) Isi dari Kitab Nashoihud Diniyyah di antaranya adalah:
1. Bab Taqwa 2. Bab Shalat 3. Bab Zakat 4. Bab Puasa 5. Bab Haji 6. Membaca Al Qur‟an 7. Bab Dzikir dan Do‟a 26
8. Bab Amar Ma‟ruf Nahi Mungkar 9. Bab Jihad 10. Bab Kehakiman 11. Bab Nikah 12. Bab Haram, Syubhat, dan Halal 13. Bab Perkara-Perkara Yang Menyelamatkan 14. Akidah Ahlussunnah Wal Jama‟ah
27
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN AL-HABIB ABDULLAH BIN ALWI BIN MUHAMMAD AL-HADDAD TENTANG KONSEP PENDIDIKAN TASAWWUF DALAM KITAB NASHOIDUD DINIYYAH
Pemikiran Al-Habib Abdullah tentang tasawwuf di dalam kitab Nashoihud Diniyyah memang sangat luas. Di dalam kitab ini terdapat banyak konsep tasawwuf yang bisa ditanamkan dan diterapkan kepada setiap umat, agar mereka mengetahui
dan bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan.
Konsep tasawwuf yang ada pada kitab Nashoihud Diniyyah dapat penulis kelompokkan menjadi dua skala besar yaitu: Pertama: Konsep tasawwuf yang kaitannya dengan hubungan kepada Allah yang meliputi beberapa hal diantarnya: Bertaqwa kepada Allah SWT, berpegang teguh pada tali agama, zuhud, ketulusan hati, cinta karena Allah, dan Ridha dengan ketentuan Allah. Kedua: Konsep tasawwuf yang kaitannya dengan sesama manusia yaitu berbuat untuk kepentingan orang banyak . Dalam bab ini Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad menguraikan dalam bentuk memenuhi hak-hak da kewajiban sesama manusia diantaranya: berbakti kepada orang tua, Silaturahmi terhadap keluarga, berbuat baik kepada teman dan amar ma‟ruf nahi mungkar. Untuk mengenal lebih dalam tentang konsep tasawwuf menurut Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al Haddad, maka penulis akan menguraikannya dalam pembahasan berikut:
28
A. Konsep Tasawwuf Berkaitan dengan Hablum Minallah Menurut Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad tasawwuf yang berkaitan dengan hhubungan kepada Allah merupakan cara kita untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui akhlak yang baik sebagai upaya menuju jalan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. SWT. Diantara konsep tasawwuf terhadap Allah antara lain yaitu: 1. Bertaqwa kepada Allah SWT Setiap umat manusia merupakan ciptaan dari Allah SWT, maka dari itu kita diperintahkan untuk selalu bertaqwa kepada Allah. Sebagai bentuk penghambaan kita kepada Allah. Dengan bertqwa kita melaksanakan apa yang diperintahkan Allah SWT dan menjauhi segala larangannya. Menurut Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad bertaqwa merupakan sarana untuk selalu bisa mendekatkan diri kepada Allah serta mendatangkan ketenangan jiwa. Dalam kitab Nashoihud Diniyyah beliau berkata:
ْ ّخَُسة١ص َٗ١ًٌَََْ َئ َُ ص َِ ََُِْٛ َ ًَ١ِ َعََجٚ ٓ٠األخشَٚٓ١ٌَٚٓ ٌَأل١ِّ ٍَاٌؼ ِ َٚ ََٜٛ َْاٌزَمٚ ََٜٛ َْاٌزَمٚئل َ ْ ٓط َِ َلَثَبًٚ َظَب َِ٘ش َُ ََلَ َأخًَٚخ َِ ََِبَ ََِِٓشَ َّشػَبٍََٚخَ َ َُِجٍََغخ١َْع َِ َ ََٚٚ َٖسٚ َِ َإٌَْدَبحَ َِِٓ ضَ َُشََُٚٗ ََِِْٕ ٌٍََََِْٓغَلَََِ َِخ١ََْزص َُ َٓ َِ َْزص َُ ََٚض٠زشَْ َُصزَ َِش َِ Takwa merupakan wasiat dari Allah kepada umat-umat terdahulu maupun umat yang kemudian. Setiap kebaikan budi yang segera maupun yang akan datang lahir maupun batin, maka takwa adalah jalan yang menyampaikan kepada Allah dan perantara kepada Allah. Setiap kejelekan budi yang segera maupun yang akan datang, lahir maupun batin, maka takwa adalah benteng yang paling kokoh untuk menyelamatkan diri dari bahayaNya(Al Haddad,tt:3). 29
2. Berpegang teguh pada tali agama Tali agama Allah adalah ajaran-ajaran dari Allah yang disimbolkan dengan syari‟at. Setiap muslim wajib memegang teguh syariat. Karena syariat merupakan hal pertama yang harus dilakukan seseorang untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam kitab Nashoihud Diniyyah beliau berkata:
ََُٛ٘ ََٚ ٓ َهللا َِ ٠َْػزَِصَبَ ََثِذ َْ َأَ َِْ َُشَثِبل.اَُٛلَرفَ َّشَلٚؼًب١ْ ِّ جً َهللا َخ ِ ْ اثِسُّٛ ا ْػزصٚ ََٓ َػٌََْٟٕٙاَٚ َرٌََِهٍَََٝالخََِْزّبَع َػَٚ َِٗ ١ٍػ َْ َ ُعَزِمبَِ َخ َْ َاإلَٚ ِٗخز ََث َْ األ َ ْ ََٚ ه َُ َْاٌزََّغ َ َُذَهللاََِغََ َْاٌدََّبَػَخ٠َََٚقَػَزَاة َُ َ َْاٌفَشََْٚاٌدَّبػَخَسَزََّْخ َْ َٗأل َ ِ ١َِْشقََف َِ اٌَزَْف Ayat tersebut merupakan perintah dari Allah untuk berpegang teguh kepada agama Allah dan beristiqomah atasnya. Dan melarang bercerai-berai, dalam urusan agama, karena kebersamaan (jamaah) adalah rahmat dan perpecahan adalah siksaan. Sedangkan pertolongan Allah menyertai jamaah(Al Haddad,tt:5). 3. Ridha terhadap Allah SWT Ridha atau rela dengan keputusan dari Allah SWT merupakan hal yang harus dilakukan oleh seluruh manuasia. Dengan ridha terhadap keputusan Allah menghantarkan kita kepada rasa syukur yang begitu dalam kepada Allah dan mudah mendapatkan kebahagiaan yang hakiki dari Allah SWT. Dalam kitab Nashoihud Diniyyah beliau berkata:
َََشَْض٠َ ْ َّ ََ َهللا َسََثّب ٌََ َِضَِٗ َأٟض َِ َٓ َس َْ ََِ ََّٗٔاْ َأٛخ َْ ششَ َال َِء َِ َ ا ََِؼَبَُّٛ ٍَػ َْ َاٚ َشصق َْ ٌَِغ ٌََََِّٗٗ ََِِٓا َْ ََِْمٕغََِثّبَََل٠َََْأَِٚٗثّشَلَضَبَئََُٚٗ ٌََٖب َِس١ِخَز َْ اَِٖٚش١ََِثِزَذَث Ketahuilah wahai saudaraku, siapa yang ridha Allah sebagai Tuhan, ia pun harus ridha dengan pilihan dan keputusanNya, bagiNya serta takdirNya yang pahit. Dan merasa puas dengan rizki yang dibagikan Allah baginya. (Al Haddad,tt:7). 30
4. Cinta karena Allah SWT Hendaknya setiap muslim untuk selalu cinta kepada Allah. Cinta kepada Allah SWT merupakan maqom yang mulia dan tinggi dari tingkatan tasawwuf. Termasuk halnya cinta dan benci karena Allah SWT Dalam kitab Nashoihud Diniyyah beliau berkata:
ًَ١ََََِْهللاَِٟ َْاٌسَتَََّف.َبَٙأَسَْفَ َُؼَٚد َِ َشفَ َْاٌَّمََّب َِ ش َْ ََ ََِِٓأَُٛٙ ََهللاَفِٟستَََّف َُ ٌَأ َِّبَاٚ َغ١َِْة ََْاألَْلذَط َاٌَشَف َِ َ َرٌََِه َاٌدَٕبٌِٝ َلٍَََْجِٗ ََاَِٟاٌؼََْجذ ََف َْ َٖدذ َِ َ٠َ ٌََٗرأَٚ ك َُ ٍَََرَؼٚ َ َهللاِٟال ََِ٘جِخ ََفَٚ ُ١ظ َِ َخ َاٌزَ َْؼ٠َغَبَٚ ٗ٠ََْاٌزََْٕ َِضَٚ ظ َِ ٠ََْ َِخ َاٌزََْم َِذ١ََِٔبَٙثًب َثٛس َُ َََِْصٚ ٌٝرَؼَب Cinta kepada Allah adalah maqom paling mulia dan tinggi. Dan diikuti dengan kecondongan dan kebergantungan serta penuhanan yang dirasakan hamba dalam hatinya kepada dzat yang Maha Suci dan Maha Tinggi serta penyucian dan pembersihan, dan puncak pengagungan serta rasa takut kepada Allah(Al Haddad,َtt:91). 5. Ketulusan hati Hati merupakan ukuran dari seluruh amal yang kita perbuat. Apakah itu amal baik ataupun amal buruk, maka hati adalah yang menjadi sumber apakah akan mewujudkannya dalam bentuk perbuatan atau tidak. Maka dari itu, hati harus dibersihkan dari segala hal-hal yang dapat merusak amal, misalnya: riya‟, hasad benci dan harus diisi dengan ketulusan dan kecintaan semata-mata karena Allah SWT. Dalam kitab Nashoihud Diniyyah beliau berkata:
31
ََفَغَبَدَ٘بَٚ َبَٙ َُس َصَلَ َزَِٚ َ َُذ٠ََٗ١ٍََََْػَٚشَ٘ب١َِِ ََأَٚاَسذ َِ ََٛطَاٌد َْ بَاٌمٍَتَُ َسَأ َْ َِّ َأٚ َََْاٌٍَِغَبَٚ َْاألُ َُر َ ْ ََٚ َٓ١ََْغجؼَخَ َ َْاٌؼ َْ ٌَػضَبءَ َا َْ َاأل َ ْ َبَِٙ َثَِٟٕذ َفََٕ َْؼ َُ اسٛ َِ ََاٌد َْ َأ َِّبٚ ًَََْذَاٌَ َِشخ١ٌَ َْاََٚاٌفَشَْجٚ َْ َٓط َْ ََ َْاٌجٚ Hati adalah pemimpin dari anggota tubuh dan diatasnya berputar segala kebaikan dan kerusakannya. Adapun anggota tubuh itu adalah tujuh anggota yaitu mata, telinga, lidah, perut, kemaluan, tangan dan kaki(Al Haddad,tt:77). 6. Zuhud Zuhud adalah salah satu sarana untuk selalu dapat memfokuskan hati kepada Allah SWT. Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia seluruhnya dan hanya mementingkan akhirat saja. Tetapi zuhud itu hanya di dalam hati seseorang tidak merasa kehilangan harta dunia atau yang bersifat material ketika ia kehilangan yang ia senangi. Apabila ia punya harta yang banyak ia merasa tidak punya apa-apa, karena semua itu hanyalah titipan dari Allah SWT. Selanjutnya apabila ia kehilangan sesuatu ia tidak terlalu merasa kehlingan. Dalam kitab Nashoihud Diniyyah beliau berkata:
ََبٙ١ٍََْص َػ َِ َْسش َِ ٌش َّذ َ َْا َِ ََٚ بََِٙئساَدَرَٚ ب١َْٔزتَّ َاٌَُذ َُ َ َّخ١َْظ َِ َد َ َْاٌؼ َِ ٍَِىَبَْٙ َُّ ٌٓ َ َْا َْ َِِ َو ًَ َُ خ َْ َُاٌَجَٚر َُ ش َّ ٌَاَّٚبَِٙ ١ٍَََْسشَْصَػ َِ ٌَوََْثشَ َحَُ َْاَََٚ َْاٌَّبيَٖٚزتََّ َْاٌدَب َُ َََٚبٙ١ِغجَخََف َْ َاٌَُشٚ Yang termasuk kerusakan besar adalah cinta kedudukan dan harta serta ambisi yang besar untuk memperolehnya, cinta kedudukan dan harta, ambisi yang kuat untuk memperoleh keduanya, dan kikir(Al Haddad,tt:85).
32
B.
Konsep Tasawwuf Berkaitan dengan Hablum Minannas Tasawwuf yang berkaitan dengan orang banyak merupakan akhlak yang terpuji. Dalam bab ini Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad menguraikan dalam bentuk memenuhi hak-hak da kewajiban sesama manusia. Diantara kewjiban dan hak-hak yang harus dilakukan oleh seorang muslim terhadap sesama muslim diantaranya yaitu:
1.
Kewajiban berbakti kepada orang tua Setiap manusia pasti dilahirkan dari orang tua. Mereka diasuh dan diberi pendidikan, supaya tumbuh dewasa dan menjadi manusia yang sempurna. Maka dari itu kita semua wajib berbakti kepada kedua orang tua. Apakah ia masih hidup atau sudah mati, kita tetap harus berbakti kepada keduanya. Salah satu untuk mendapatkan ridho dari Allah adalah berbkhti kepada kedua orang tua.
Dalam kitab Nashoihud Diniyyah beliau berkata:
َُّبَٙ ٌ َعَِز َْغفَب ِس َْ َا إلَٚ َرٌََِه َثِبٌَْ َُذػَب َِءٚ بَٙفبََِرُٚجش ََُّ٘ب ثَ َْؼذ٠َ ْ َْ َ ٌَ َُٗ أََْٟٕج َِغ٠َٚ َََثِ َّشَٚ َّبَِٙ َِّ َصٍَ َِخ َأَسَْز َِ ََِثَٚ َبَ َِّ٘ب٠صب َِ َٚ َبٙ١َََِْٔٛ٠َََْثِمَضَب َِء َ َِدَُّٚبَٙ ََْٕق َػ َِ َََثِبٌَْزَصَذٚ َٓرََّب َََِْاٌَجِش َْ َِِ َََّبَفَزٌََِهَِٙ َ َّدرًََِٛ َِ َْ٘ ََأََّٚبَِٙ ِأَصَْ َِذلَبَئ Hendaknya berbakti kepada kedua orangtua. Dan apabila orang tua telah meniggal maka dengan cara mendoakan dan memohonkan ampun kepadanya. Termasuk juga bersedekah untuk keduanya, melunasi hutang-hutangnya, melaksanakan wasiat-wasiatnya serta memelihara hubungan dengan kerabat kedua orang tua dan temanteman yang dicintainya, maka semua itu adalah kesempurnaan dari kebaikan(AlHaddad,tt:62). ََََََََََََ
33
2.
Silaturahmi terhadap keluarga Berkunjung kepada keluarga dekat maupun keluarga yang jauh itu perlu diterapkan kepada setiap orang. Mengunjungi keluarga merupakan akhlak yang terpuji. Dengan bersilaturahmi dapat mempererat persaudaraan, Selain itu dengan bersilaturahmi menambah keberkahan dalam hidup setiap manusia.
Dalam kitab Nashoihud Diniyyah beliau berkata:
ََْٟٕجَ َِغ٠َََِٚٗ ١ٌََْاَئَُٕٛ١َْغ َِ َُْس٠َََٚاٍَُٛص َِ َ٠ََُْ ٌََْ َْ َئََُٚٗ َِصًََأَسَْزَب َِ َ٠ ْ َْ ََْأ َِ ٌَإلََْٔغَبََْٟٕجَ َِغ٠َٚ ًَََْ َِٗ َث١ٌََِْاََاََُُٚاَِْأعبؤَٙ ُُىَبََفَِئ٠ََ ََلَٚ َُٖ ََْٚ ََأ ُر َْ َ َُْ َأَََِٙٔأَرٍَََٝصََْجِشَػ٠َ ْ َْ َضبَأ ًَ ٠ٌَََْ َُٗ َأ َذ َْ َٔ َزَمَ َِٗ َوَبِٟ َاَفٚأعب َؤَٚ َُٖ اَِٚ ََوََّب ََا ُرَٚ ٓ َُ ١َْغ َِ َُْس٠َََٚ ً َُ ص َِ َ٠ََٚ ر َُ َِصََْف٠ََٚ َُٛ َْؼَف٠ ً ََُْأفضَِٙ ١ٍَََْذَ َْاٌصَذَلَ َخَُػ َْ َََٔوَبََُٚ ََُْاَوَذَٙ ٌََُصٍَ َخ َِ ٌا Hendaklah manusia menjaga hubungan dengan kerabatnya, meskipun ia tidak menghubunginya dan tetap berbuat baik kepada mereka, meskipun mereka tidak berbuat baik kepadanya. Hendaknya ia juga harus sabar dalam menghadapi gangguan mereka jika mereka mengganggunya dan tidak membalas mereka dengan perbuatan buruk jika mereka berbuat buruk kepadanya. Akan tetapai ia beri maaf dan tetap menghubungi mereka serta berbuat baik kepada mereka. Setiap kali mereka mengganggunya dan berbuat buruk kepada dirinya, maka lebih ditekan kan untuk menghubungi dan memberi sedekah kepada mereka lebih utama (Al Haddad,tt:63). 3.
Berbuat baik terhadap teman, sahabat dan kerabat Berbuat baik kepada teman dan sahabat harus dilakukan oleh setiap muslim. Dalam hal ini setiap muslim satu dengan muslim yang lain adalah saudara, maka dari itu anjuran untuk selalu berbuat baik dalam setiap hal harus dilakukan. Termasuk bertutur kata yang halus dan sopan serta berakhlakul karimah. Tolong menolong dalam hal kebaikan juga harus
34
dilakukan oleh sesama manusia, karena dengan tolong menolong sesama manusia akan mendapatkan pertolongan dari Allah sesuai janji Allah. Dalam kitab Nashoihud Diniyyah beliau berkata:
ََْ َُ َٛ َُى٠ََٚ ََْخَتَٚصٍََزُٗ َأ َِ َ ذ َْ ََٔوَبَٚ َ وَب ََْ َ َْاٌشَزَْ َُُ َأَ َْوثَش ََلُشَْثَخ َوَبَْ َزََمّٗ َاَوَذ َت٠َْٓ ََْاٌمَ َِش َْ َِِ َ ٍَ َِخ١َْص َِ ٌاَٚ ََثِبٌَجِ َّشٌَََْٝٚج َأ َُ ٓ ََْاٌ َُّسَْزَب١َْغ َِى َْ َِّ ٌف َ َْا َُ ١َْت َاٌضَ َِؼ٠ََْْاٌمَ َِش َك َّ ََزَٚ ك ََْاٌمَشَاثَخ َّ َْ َز َِ ٓ َزََمّب َِ ١غ َِى َْ َِّ ٌت َ َْا َِ ٠َْ َُش ٌٍََِمَ َِش١َْص َِ َ٠َ َُٗ ََّٔأل َ ِ َرٌََِهَٚ َََِْٟٕاٌغ َٓ١ َْ َِّ ٌَ َْاَََٚاٌمَشاثَ َِخٝ َْ ٌَِلءزَْغَبَََْا َْ ََََْٓاألَ َِْ َِشََثِب١َََْلذََلَشَََْهللاَثََٕٚخ١َْغ َِى َْ َِّ ٌَْا ِ غ َِى Kerabat yang semakin dekat, maka semakin wajib untuk menghubunginya. Kerabat yang lemah dan miskin serta membutuhkan lebih patut untuk diperlakukan dengan kebajikan dan dihubungi daripada kerabat yang kaya. Hal itu disebabkan karena kerabat yang miskin mempunyai dua hak, yaitu: hak sebagai kerabat dan hak sebagi orang miskin Allah telah menggabunngkan antar perintah untuk berbuat baik kepada kerabat dan orang miskin (Al Haddad,tt:64).
ََ 4.
Amar ma’ruf nahi mungkar Menasehati dalam hal kebaikan dan melarang berbuat mungkar, merupakan salah satu dari perbuatan yang harus dilakukan oleh setiap muslim. Dengan saling menasehati dalam hal kebaikan dan melarang berbuat mungkar, kita akan selalu ingat bahwa Allah selalu mengawasi kita. Dengan Amar ma‟ruf nahi mungkar kita akan terbebas dari jeratan kewajiban akan hak sesama muslim dalam hal da‟wah.
Dalam kitab Nashoihud Diniyyah beliau berkata:
ََُّ َََ٘أَٚ ٓ َِ ٠َاٌ َِذ َْ ػظَ َُِ َشَؼَب ََئِش َْ َٓ َأ َْ َِِ َ ٓ َ َْاٌ ََُّْٕىَش َْ َ َػٟ َُ َْٙ ٌَٕاٚ َْ َ فٚ َِ األ َِْ َُش ََثِ َْبٌَّؼ َُش َْ َ ْ َْ َأ َ َ.َٓ١ََِِِٕ َاٌ َُّإٝ َْ ٍََّدَػ َِ ََّّبَٙ َُّ ٌَْا 35
Ketahuilah, bahwa menyuruh berbuat yang baik dan mencegah dari yang mungkar adalah syiar agama terbesar dan tugas terpenting dari seorang mukmin(Al Haddad,tt:94).
36
BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN AL-HABIB ABDULLAH BIN ALWI BIN MUHAMMAD AL-HADDAD TENTANG KONSEP TASAWWUF DALAM KITAB NASHOIDUD DINIYYAH
A.
Pemikiran Al Haddad 1.
Pemaknaan Tasawwuf Tasawwuf adalah bagian dari syari‟at Islam, yaitu perwujudan dari ihsan, salah satu dari tiga kerangka islam yang lain, yakni iman dan Islam. Ihsan meliputi seluruh tingkah laku muslim, baik tindakan lahir maupun bathin, dalam ibadah maupun mu‟amalah, sebab ihsan adalah jiwa dari iman dan Islam. Iman menjadi pondasi dalam jiwa seseorang dari hasil perpaduan antara ilmu dan keyakinan, penjelmaannya berupa tindakan badaniah disebut Islam. Perpaduan antara iman dan Islam pada diri seseorang menjelma dalam pribadi yang disebut dengan akhlakul karimah atau disebut dengan ihsan(Syukur,2004:5). Pada dasarnya, inti ajaran tasawwuf menurut Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad sendiri adalah implementasi dari tiga prinsip dasar ajaran Islam, yaitu: iman, Islam, dan ihsan. Hal ini bisa dibuktikan melalui arus pemikiran dalam karya-karyanya yang mencakup tiga prinsip dasar tersebut(Mahzumi,2012:14) Kategorisasi demikian didasarkan secara berurutan pada Hadits Nabi SAW yang dikenal dengan Hadits Jibril. Sebutan ini agaknya lebih dikarenakan
oleh
kandungan Hadits tersebut yang berisikan dialog 37
terhadap tiga prinsip dasar, yakni iman, Islam, dan ihsan antara Jibril dengan Nabi SAW, di depan para sahabat dalam suatu majlis.
هللاَ َػ ْٕذ َسعُِ ْٛي َ ِ ضَ ٟهللاُ َػ َُْٕٗأْ٠ضب ًَلبي ََ:ثّْٕ١بَٔسْ ُٓ َ ُخٍُ ْٛط ِ ػ ْٓ َ ُػّش َس ِ ةَ بض َاٌث١ب ِ صٍََّ ٝهللاُ َػٍ َْٚ ِٗ ١عٍَُّ َراد َََ ٍَ ْٛ٠ئِ ْر َطٍغ َػٍْٕ١ب َسخًُ َش ِذ ُْ ٠ذ َثِ ١ ْشفَُُٗ َِِّٕبَأزذَ،ززََّٝ ْشَ،ل َُ٠شَٜػٍ َْ ِٗ ١أث ُش َاٌغَّف ِشَٚ،ل َ٠ؼ ِ ش ِذ ُْ ٠ذ َعٛا ِد َاٌ َّشؼ ِ خٍظ َئٌَِٝإٌَّ ِجَ ٟصٍَٝهللاَػٍَٚٗ١عٍَُفأعْٕذ َ ُس ْوجز َْ ِٗ ١ئٌُِ َٝس ْوجز َْٚٚ ِٗ ١ضغَ هللاَ وَفَّ َْ ِٗ ١ػٍَٝف ِخز َْٚ ِٗ ٠لبي٠َ:بَ ُِس َّّذَأ ْخ ِجشْ َِٟٔػ ِٓ َْا ِإلعْل ََِ،فمبي َسعُُ ْٛي َ ِ صٍَ ٝهللا َػٍَٚ ٗ١عٍُ ََْ :ا ِإل ِعل َُ َأ ْْ َر ْشٙذ َأ ْْ َل َئٌِٗ َئِلَّ َهللاُ َٚأ َّْ َ ُِس َّّذًاَ سعُُ ْٛي َهللاِ َٚرُمَِ ُْ١اٌصَّلح َٚرُ ْإرَِ ٟاٌ َّضوبحَ َٚرصَُ َ ْٛسِضبَََْ َٚر ُس َّح ْ َاٌجْ١ذَ ئِ ِْ َاعْزطؼْذ َئٌِ َْ ِٗ ١عجِ ْ١لً َلبي ََ:صذ ْلذَ،فؼ ِدجْٕبٌََُٗ٠غْأٌَُُُٗ٠ٚصذلَُُٗ،لبيَ: فأ ْخجِشْ َِٟٔػ ِٓ َْا ِإلّْ٠ب َِْلبيََ:أ َْْرُ ْإ َِِٓثِبهللَِِٚلئِىزِ َُِٗ ٚوزُجِ َُِٗ ٚس ُعٍِ َِْٗ ٚاٌََِ َْٛ١ اِ ٢خ ِش َٚرُ ْإ ِِٓ َثِ ْبٌمذ ِس َخِْ ١ش ِٖ َٚشش َِٖ .لبي َصذ ْلذَ ،لبي َفأ ْخ ِجشْ َِٔ ٟػ َِٓ ْا ِإلزْ غب َِْ،لبيَ:أ َْْر ْؼجُذ َهللا َوأَّٔه َرشاَُٖفا ِ ٌَْْ ُْ َر ُى َْٓرشاَُٖفأََُِّٗ٠شان ََ.لبيَ: فأ ْخجِشْ َِٔ ٟػ ِٓ َاٌغَّبػ ِخَ ،لبيَِ :ب ْ َاٌَّ ْغ ُإُ ْٚي َػ ْٕٙب َثِأ ْػٍُ َ ِِٓ َاٌغَّبئِ ًَِ .لبيَ َٜاٌسُفبح ْ فأ ْخجِشْ َِٟٔػ ْٓ َأِبسارِٙبَ،لبي َأ ْْ َرٍِذ َْاألِخُ َسثَّزٙبَٚأ ْْ َرش ْ َاٌؼُشاحَ َسػبء َاٌ َّشب ِء َ٠زطبَ ْ ٌُْٛٚفِ ْ َٟاٌجُ ْٕ١ب َِْ،ثُ َُّ َا ْٔطٍك َفٍجِ ْث ُ ذ ًٍَِِّ١بَ،ثُ َُّ َلبي ََ: ْاٌؼبٌخ ِ ٠بَ ُػّش َأر ْذ ِسَ ِٓ َِٞاٌغَّبئِ ًِ َ؟َلُ ٍْ ُ َُخج ِْش ًَُْ٠ ذ ََ:هللاُ َٚسعٌَُُُٗ ْٛأ ْػٍُ ََ.لبي َفأَِّٗ ِ أرـب ُو َُُْ٠ؼٍ ُّ ُى َُْ ِدُ ْٕ٠ى َُْ).سٚاَِٖغٍُ()َ (HR Muslim no. 2996, 60
38
Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami dudukduduk disisi Rasulullah Shallallahu‟alaihi wasallam suatu hari tibatiba datanglah seorang laksi-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu‟alaihi wasallam) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu‟alaihi wasallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasulrasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata: “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda: “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian“( HR Muslim no. 2996, 60) Sebelumnya, upaya konvergensi tiga prinsip dasar ajaran Islam sebagai inti ajaran tasawwuf sudah dilakukan oleh banyak ulama‟. Misalnya Al Ghozali dan Al Qusyairi yang menegaskan bahwa pokok tasawwuf adalah integrasi antara syari‟at( Islam), aqidah( iman), dan hakikat (ihsan) dengan Al Qur an dan Sunnah sebagai poros utama pemikiran tasawwufnya. Dalam menjelaskan trilogi
ajaran
Islam
tersebut, 39
Habib
Abdullah
bin
Alwi bin
Muhammad Al-Haddad menyatakan bahwa syari‟at adalah Islam, yaitu bersikap tunduk kepada Allah. Hakikat adalah iman dan yakin, yaitu ikhlas kepada Allah. Sedangkan makrifat adalah ihsan, yaitu fana‟ dengan dan dalam keabadian sifat-sifat Allah(Mahzumi,2012:14).
2.
Prinsip-prinsip Utama Tasawwuf Al –Haddad Habib
Abdullah
bin
Alwi bin
Muhammad
Al-Haddad
merupakan tokoh sufi yang dikenal baik di kalangan „Alawiyyin maupun
masyarakat
umum
di
berbagai negara lebih-lebih
di
wilayah Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Pada saat sekarang juga mulai dikenal di kalangan akademisi dan islamisis Barat. Tidak sedikit sarjana-sarjana Barat yang memilih „Alawiyyin secara umum dan Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad khususnya sebagai tema penelitian. Selain itu, Habib
Abdullah
bin
Alwi bin
Muhammad
Al-Haddad
juga
memiliki pengaruh besar dalam menciptakan ruang sosial baru di kalangan masyarakat dengan ajaran-ajarannya melalui kitab-kitab, syair dan wirid yang ditulis dan disusun. Kitab, kasidah, wirid dan ratib yang ditulis Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad sukses mendapatkan posisinya di dalam ruang publik, dimana orang-orang „Alawiyyin Hadrami melakukan migrasi, wilayah diaspora seperti Afrika, India dan sepanjang
Samudera
mengukuhkannya
Hindia.
sebagai
Dedikasi
pelopor, penggerak,
intelektualnya dan
reformis
tradisi tarekat „Alawiyyah, juga turut menegaskannya sebagai salah 40
satu tokoh vital di jajaran tarekat „Alawiyyah. Kerja intelektualitasnya dalam bidang tasawwuf mampu mewujudkan suatu konvergensi antara tasawwuf „amali dan falsafi, dengan membagi akses tarekat ke dalam dua segmen, yaitu tariqah khawas dan tariqah
„ammah. Ini yang
menjadi alasan untuk menyebutnya sebagai reformis. Konteks
sosio-politik
melatarbelakangi
di
mana
kehidupannya
menemukan solusi
terhadap
terjadi
menuntutnya
chaos
berpikir
persoalan-persoalan yang
umat. Menurutnya, kondisi sulit
yang terjadi di
yang untuk
dihadapi Hadramaut
membutuhkan penyelesaian, baik individu maupun kolektif. Secara individual, Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad menekankan akan pentingnya tarekat „Alawiyyah sebagai gerakan moral-ideologis yang siap memberikan pelayanan
bagi
masyarakat
dalam beraktifitas sehari-hari. Sedangkan dalam bentuk kolektif, ia mengajak para pemuka agama untuk menggerakkan upaya penyadaran beragama melalui gerakan moral, dan menjadi aktivis sosial, bukan malah sebaliknya, asyik dengan individualitas keagamaannya. Selama masa itu, menurut pengamatan Habib Abdullah bin
Alwi bin
Muhammad
Al-Haddad
, institusi tarekat hanya
dimonopoli oleh kaum borjuis dan dinikmati oleh kalangan tertentu, tidak dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat secara luas. Oleh sebab itu, Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad mencoba untuk merekonstruksi bentuknya
ulang
metode
tarekat
dari
yang awalnya cenderung borjuis-elitis ke dalam
bentuknya yang lebih populer. Dengan merujuk pada ajaran-ajaran 41
al-Qur‟an dan Sunnah, Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad
berinisiatif
menggagas
model
tarekat
baru
yang disebut dengan tarekat ashab al-yamin, sebagai alternatif dari eksistensi tarekat lama, yaitu tariqah al-muqarrabin. Alasan utama Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad AlHaddad dalam formula baru tersebut karena institusi tarekat lama yang terlalu menekankan pada bentuk-bentuk latihan spiritualitas yang keras riyadhah serta menjauhi kehidupan sosial kemasyarakatan „uzlah tidak lagi akomodatif dengan kultur masyarakat saat itu. Sehingga
perlu
adanya
reorientasi
mengorientasikan pada pembinaan
institusi
moral
tarekat
individu
dan
dengan sosial
kemasyarakatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan keberagamaan masyarakat secara luas, yakni berkomitmen terhadap penegakan syari‟ah dalam bentuk melakukan kewajiban agama. Menurutnya,
tarekat
harus
bekerja
keras
dalam
mewujudkan kesalehan massal yang nantinya juga akan membantu dalam menciptakan tatanan masyarakat ideal dan berkeadilan. Sebab, konsep tasawwuf yang sederhana dan berimbang antara spiritualitas
dan
keduniaan
itu
lebih
dapat
memberikan
kemanfaatan kepada masyarakat daripada tasawwuf yang eksklusif. Oleh sebab itu, demi terwujudnya tatanan masyarakat yang ideal, tasawwuf harus kembali pada prinsip-prinsip syari‟ah seperti yang digariskan oleh al-Qur‟an, Sunnah dan para salaf. Ini akan membantu dalam melakukan restorasi pada semua aspek sosial dalam masyarakat(Mahzumi,2012:12-14). 42
3.
Kedudukan Ilmu Tasawwuf dalam Islam Ajaran Tasawwuf dalam Islam, memang tidak sama kedudukan hukumnya dengan rukun-rukun Iman dan rukun-rukun Islam yang sifatnya wajib, tetapi ajaran Tasawwuf bersifat sunnat. Maka Ulama Tasawwuf sering menamakan ajarannya dengan istilah “Fadailu al-A‟mal” (amalan-amalan yang hukumnya lebih afdhal), tentu saja maksudnya amalan sunnat yang utama. Tasawwuf merupakan pengontrol jiwa dan membersihkan manusia dari kotoran-kotoran dunia di dalam hati, melunakan hawa nafsu, sehingga rasa takwa hadir dari hati yang bersih dan selalu merasa dekat kepada Allah. Tujuan tasawwuf itu menghendaki manusia harus menampilkan ucapan, perbuatan, pikiran, dan niat yang suci bersih, agar menjadi manusia yang berakhlak baik dan sifat yang terpuji, sehingga menjadi seorang hamba yang dicintai Allah SWT. Oleh karena itu, sifat-sifat yang demikian perlu dimiliki oleh seorang muslim. Maka dengan bertasawwuf, seseorang akan bersikap tabah, sabar, dan mempunyai kekuatan iman dalam dirinya, sehingga tidak mudah terpengaruh atau tergoda oleh kehidupan dunia yang berlebihan dengan bersikap qona‟ah, yaitu sabar dan tawakal, serta menerima apa yang telah diberikan Allah walaupun sedikit. Oleh karena itu tasawwuf betul-betul mendapatkan perhatian yang lebih dalam ajaran Islam, walaupun sebagian ulama fikih menentang tasawwuf ini, karena dianggap bid'ah dan orang yang mempelajarinya telah berbuat syirik, karena tidak berpedoman kepada Al Qur‟an dan Sunnah (Mahmud, 2001:298)
43
Tasawwuf Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad AlHaddad adalah Al Qur an, Sunnah dan tuntunan para ulama‟. Ini seperti yang ditegasakan Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad AlHaddad ketika mendefinisikan sufi al kamil. Menurutnya, seseorang dikatakan
sufi
sempurna
apabila amal,
perkataan,
akhlaknya bersih dari sifat riya‟, berusaha segala
sesuatu
yang
dapat menyebabkan
niat,
dan
membersihkan
dari
kemurkaan
Allah,
berupaya menjaga hubungan secara lahir dan batin dengan Allah dan selalu taat kepada-Nya, berpaling dari selain-Nya, dan memutus mata rantai keduniawian yang dapat menjadi penghalang baginya untuk melakukan upaya-upaya tersebut seperti keluarga, harta, syahwat, jabatan, dan hawa nafsu. Semua itu tentu dibarengi dengan ilmu, mengikuti AlQur‟an dan Sunnah, serta tuntunan dari ulama‟. Bahkan Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad menambahkan jika ada seseorang yang
mengaku
sufi
tetapi
pada
realitasnya
sama
sekali
tidak
merepresentasikan sikap-sikap mujahadat (keteguhan dan kesungguhan) dalam berilmu dan beramal, maka Habib Muhammad
Al-Haddad
menyebutnya
Abdullah
bin
Alwi bin
sebagai
sufi
gadungan
(Mahzumi,2012:15). Banyak ayat-ayat Al-Qur an dan hadits yang memerintahkan manusia supaya membersihkan hati dari segala sifat yang membuat lalai manusia akan tujuan hidup dengan berzikir kepada Allah. Sebagaimana Allah SWT, berfirman:
َ َََََََ.َََ 44
Artinya:” Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan Dia ingat nama Tuhannya, lalu Dia sembahyang”( Al- A'la: 14-15) (Kemenag RI) Ulama Tasawwuf, yang sering juga disebut “Ulama‟ al-Muhaqqin” membuat tata cara peribadatan untuk mencapai tujuan Tasawwuf, didasarkan atas konsepsi dan motivasi. Firman Allah:
ََََََََََ َ َََ
Artinya:”Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)”(At-Tiin: 4-5) (Kemenag RI). Jadi, seorang hamba bisa dekat dengan Allah, yaitu dengan bertasawwuf. Dengan demikian tasawwuf memiliki kedudukan yang penting dalam ajaran Islam tergantung kita dalam mempelajari dan memahaminya. 4.
Pokok-pokok Ajaran Tasawwuf Pembagian
Tasawwuf
yang
ditinjau
dari
lingkup
materi
pembahasannya menjadi tiga macam, yaitu: a. Tasawwuf Aqidah Ruang lingkup pembicaraan Tasawwuf yang menekankan masalah-masalah metafisis (hal-hal yang ghaib), yang unsurunsurnya adalah keimanan terhadap Tuhan, adanya Malaikat, Surga, Neraka dan sebagainya. Karena setiap Sufi menekankan kehidupan yang bahagia di akhirat, maka mereka memperbanyak ibadahnya untuk mencapai kebahagiaan Surga, dan tidak akan mendapatkan siksaan Neraka. Untuk mencapai kebahagiaan 45
tersebut,
maka
Tasawwuf
Aqidah
berusaha
melukiskan
ketunggalan Hakikat Allah, yang merupakan satu-satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak. Sebelum Abdullah
bin
memasuki Alwi
gerbang
bin
tasawwuf,
Muhammad
Habib
Al-Haddad
menekankan pentingnya seorang salik untuk menguasai ajaran tauhid lebih dahulu, yakni meng-Esa-kan Allah dalam sifat, zat dan perbuatan-Nya sebelum jauh memasuki alam pemikiran tasawwuf.
Mengenai
ruang
lingkup
ketauhidan,
Habib
Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Haddad membaginya menjadi dua domain, yaitu eksoteris dan esoteris(Mahzumi, 2012:16). Kemudian melukiskan alamat Allah SWT, dengan menunjukkan sifat-sifat ketuhanan-Nya. Dan salah satu indikasi Tasawwuf Aqidah, ialah pembicaraannya terhadap sifat-sifat Allah, yang disebut dengan “Al-Asman al-Husna”, yang oleh Ulama Tarekat dibuatkan dzikir tertentu, untuk mencapai alamat itu, karena beranggapan bahwa seorang hamba (Al-„Abid) bisa mencapai hakikat Tuhan lewat alamat-Nya (sifat-sifat-Nya). b. Tasawwuf Ibadah Tasawwuf yang menekankan pembicaraannya dalam masalah rahasia ibadah (Asraru al-„Ibadah), sehingga di dalamnya terdapat
pembahasaan
mengenai
rahasia
Taharah
(Asraru
Taharah), rahasia Salat (Asraru al-Salah), rahasia Zakat (Asraru 46
al-Zakah), rahasia Puasa (Asrarus al-Shaum), rahasia Hajji (Asraru al-Hajj) dan sebagainya. Di samping itu juga, hamba yang melakukan ibadah, dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu: 1) Tingkatan orang-orang biasa (Al-„Awam), sebagai tingkatan pertama. 2) Tingkatan orang-orang istimewa (Al-Khawas), sebagai tingkatan kedua. 3) Tingkatan orang-orang yang teristimewa atau yang luar biasa (Khawas al-Khawas), sebagai tingkatan ketiga. Kalau tingkatan pertama dimaksudkan sebagai orangorang biasa pada umumnya, maka tingkatan kedua dimaksudkan sebagai para wali (Al-Auliya‟), sedangkan tingkatan ketiga dimaksudkan sebagai para Nabi (Al-Anbiya‟). Dalam Fiqh, diterangkan adanya beberapa syarat dan rukun untuk menentukan sah atau tidaknya suatu ibadah. Tentu saja persyaratan itu hanya sifatnya lahiriah saja, tetapi Tasawwuf membicarakan persyaratan sah atau tidaknya suatu ibadah, sangat ditentukan oleh persyaratan yang bersifat rahasia (batiniyah). Sehingga Ulama Tasawwuf sering mengemukakan tingkatan ibadah menjadi beberapa macam. Karena Tasawwuf selalu menelusuri persoalan ibadah sampai kepada hal-hal yang sangat dalam (yang bersifat rahasia), maka ilmu ini sering dinamakan Ilmu Batin, sedangkan Fiqh sering disebut Ilmu dzahir. 47
c. Tasawwuf Akhlaqi Yaitu Tasawwuf yang menekankan pembahasannya pada budi pekerti yang akan mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, sehingga di dalamnya dibahas beberapa masalah akhlaq, antara lain: 1) Bertaubat (At-Taubah); yaitu keinsafan seseorang dari perbuatannya
yang
buruk,
sehingga
ia
menyesali
perbuatannya, lalu melakukan perbuatan baik. 2) Bersyukur (Asy-Shukru); yaitu berterima kasih kepada Allah, dengan mempergunakan segala nikmat-Nya kepada hal-hal yang diperintahkan-Nya; 3) Bersabar (Ash-Sabru); yaitu tahan terhadap kesulitan dan musibah yang menimpanya. 4) Bertawakkal (At-Tawakkul); yaitu memasrahkan sesuatu kepada Allah SWT. Setelah berbuat sesuatu semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan. 5) Bersikap ikhlas (Al-Ikhlas); yaitu membersihkan perbuatan dari riya (sifat menunjuk-nunjukkan kepada orang lain), demi kejernihan perbuatan yang kita lakukan. Jadi pembicaraan taubat, syukur, sabar, tawakkal dan ikhlas, dibahas dengan mengemukakan indikasi lahiriyahnya saja, maka hal itu termasuk lingkup pembahasan akhlaq, tetapi bila dibahasnya sampai menelusuri rahasianya, maka hal itu termasuk tasawwuf. Sehingga dari sinilah kita dapat melihat perbedaan 48
akhlak dengan tasawwuf, namun dari sisi lain dapat dilihat kesamaannya, yaitu keduanya sama-sama tercakup dalam sendi Islam yang ketiga (Ihsan). 5.
Konsep Tasawwuf dalam Kitab Nashoihud Diniyyah a. Akhlak Tasawwuf kepada Allah SWT Menurut Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad tasawwuf yang berhubungan dengan akhlak kepada Allah merupakan cara kita untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui akhlak yang baik sebagai upaya menuju jalan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Diantara tasawwuf akhlak terhadap Allah antara lain yaitu: 1) Bertaqwa kepada Allah SWT Setiap umat manusia merupakan ciptaan dari Allah SWT, maka dari itu kita diperintahkan untuk selalu bertaqwa kepada Allah. Sebagai bentuk penghambaan kita kepada Allah. Dengan bertqwa kita melaksanakan apa yang diperintahkan Allah SWT dan menjauhi segala larangannya. Menurut beliau bertaqwa merupakan sarana untuk selalu bisa mendekatkan diri kepada Allah serta mendatangkan ketenangan jiwa. Dalam kitab Nashoihud Diniyyah beliau berkata:
ْ ّخُ َسة١ص ًََ١ِ َعََجٚ ٓ٠األخشَٚ ٓ١ٌَٚ ٓ ٌَأل١ِّ ٍَاٌؼ ِ َٚ ََٜٛ َْاٌزَمٚ ًَ َُ ََلَ َأخَٚ ًخ َِ ََِب َ َِِٓ َشَ َّشػَبَٚ ٍَخَ َ َُِجٍََغخ١َْع َِ َ َََٚٚ ٗ١ٌَََْ ً َئ َُ ص َِ ََُِْٛ
49
ٌٍََََِْٓغَلَََِ َِخ١ََْزص َُ َٓ َِ َْزص َُ ََٚض٠زشَْ َُصزَ َِش َِ ََٜٛ َْاٌزَمٚئل َ ْ ٓط َِ َلَثَبٚظَب َِ٘ش َٖسٚ َِ َإٌَْدَبحَ َِِٓ ضَ َُشََُٚٗ ََِِْٕ Taqwa merupakan wasiat dari Allah kepada umat-umat terdahulu maupun umat yang kemudian. Setiap kebaikan budi yang segera maupun yang akan datang lahir maupun batin, maka takwa adalah jalan yang menyampaikan kepada Allah dan perantara kepada Allah. Setiap kejelekan budi yang segera maupun yang akan datang, lahir maupun batin, maka takwa adalah benteng yang paling kokoh untuk menyelamatkan diri dari bahayaNya(Al Haddad,tt:3) Firman Allah SWT dalam Al Qur‟an:
َََََََََََ Artinya,“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”(Ali Imran: 102) (Kemenag RI) Secara etimologis , kata “taqwa” berasal dari bahasa arab taqwa. Kata taqwa memiliki kata dasar waqa yang berarti menjaga, melindungi, hati-hati, waspada, memerhatiakn, dan menjauhi. Adapun secara terminologis, kata “taqwa” berarti menjalankan apa yang diperintahankan oleh Allah dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya. Ciri-ciri orang yang bertaqwa. Ciri utama orang yang bertaqwa ialah, “yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik diwaktu lapang maupun sempit, orang-orang yang menahan amarahnya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Orang yang bertaqwa dan mulia, minimal mempunyai lima syarat: 50
a)
Bersadaqah dalam kondisi apapun yang dialami, baik lapang ataupun sempit, merugi atau beruntung.
b)
Siap menahan amarahnya. Yakni, hamper-hampir tidak pernah marah dan kalu terpaksa marah cepat sekali berhenti.
c)
Memaafkan kesalahan orang adalah baik, tapi tidaklah sempurna
tanpa
disertai
memperlihatkan
kebaikan,
misalnya dengan mencarikan solusi. d)
Sesudah memperlihatkan kebaikan dan mencarikan solusi, tidaklah sempurna tanpa mencintainya. Yakni berubah mencintainya, sekalipun pernah bermusuhan.
e)
Mencintainya tidaklah sempurna, tanpa memperlakukan seperti mencintai dirinya sendiri. Artinya, cinta yang diperlihatkan cinta sejati. Dan itulah yang dapat mencabut total akar permusuhan(Mochtar. 2008:45)
2) Berpegang Teguh pada Tali Agama Allah SWT Tali agama Allah adalah ajaran-ajaran dari Allah yang disimbolkan dengan syari‟at. Setiap muslim wajib memegang teguh syariat. Karena syariat merupakan hal pertama yang harus dilakukan seseorang untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam kitab Nashoihud Diniyyah beliau berkata:
َٓ َهللا َِ ٠َْػزَِصَبَََثِذ َْ َأَ َِْ َُشَثِبل.اَُٛلَرفَ َّشَلٚؼًب١ْ ِّ ْ ا ِثسج ًِ َهللاَخُّٛ اَ ْػزصٚ ََرٌََِهٍَََٝالخَْزَِّبَعَػََِٚٗ ١ٍػ َْ َُعَزِمبَِ َخ َْ َاإلَِٚٗخزََث َْ األ َ ْ ََٚه َُ َاٌزََّغٛ َْ َُ٘ َٚ ََق َػَزَاة َُ َ َْاٌفَشَٚ ْ َاٌدَّبػَخ َسَزََّْخ َْ َأل َ ِ ٗ١ََِْشق َف َِ َػَٓ َاٌَزَْفٌََْٟٕٙاٚ َ َُذَهللاََِغََ َْاٌدََّبَػَخ٠َٚ Ayat tersebut merupakan perintah dari Allah untuk berpegang teguh kepada agama Allah dan beristiqomah 51
atasnya. Dan melarang bercerai-berai, dalam urusan agama, karena kebersamaan (jamaah) adalah rahmat dan perpecahan adalah siksaan. Sedangkan pertolongan Allah menyertai jamaah(Al Haddad,tt:5). Firman Allah di dalam Al Qur‟an
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ ََ َ َ َ َ َ َ َ ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ََََََََ Artinya:”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk(Ali Imran:103) (Kemenag RI) Ketika seorang muslim telah berikrar dengan kalimat syahadat “Laa Ilaha Illallah, muhammadar rasulullah.” atau sudah berpegang dengan syari‟at
maka ia harus pula
menegakkan kalimat itu di muka bumi tentunya dilakukan dengan cara menyatukan umat. Para ulama menegaskan bahwa kewajiban kaum muslimin setelah tulus mengikrarkan kalimat tauhid, maka kewajiban selanjutnya adalah menyatukan umat agar mereka bersatu dan menyatukan barisan umat Islam agar mereka tidak mudah
dipecah
belah
oleh
musuh-musuh
Islam
yang
menginginkan terjadinya perpecahan di tubuh kaum muslimin. 52
Ketika musuh mampu memecah belah barisan kaum muslimin, maka ini adalah titik kelemahan yang mereka dapatkan 3) Ridha terhadap Keputusan Allah SWT Ridha atau rela dengan keputusan dari Allah SWT merupakan hal yang harus dilakukan oleh seluruh manuasia. Dengan ridha terhadap keputusan Allah menghantarkan kita kepada rasa syukur yang begitu dalam kepada Allah dan mudah mendapatkan kebahagiaan yang hakiki dari Allah SWT. Dalam kitab Nashoihud Diniyyah beliau berkata:
َْ َّ ََ َهللا َسََثّب ٌََ َِضَِٗ َأٟض َِ َٓ س َْ َِ َ ََّٗٔاْ َأٛخ َْ ششَال َِء َِ ا ََِؼَبَُّٛ ٍَػ َْ َاٚ ٌََََِّٗٗ غ َْ ََِْمٕغَثَِّبَََل٠َََْأَِٚٗثّشَلَضَبَئََُٚٗ ٌََٖبَس١ َِ َِخز َْ َاَِٖٚش١َََِشَْضََثَِزَذث٠ شصق َْ ٌَََِِِٓا Ketahuilah wahai saudaraku, siapa yang ridha Allah sebagai Tuhan, ia pun harus ridha dengan pilihan dan keputusanNya, bagiNya serta takdirNya yang pahit. Dan merasa puas dengan rizki yang dibagikan Allah baginya(Al Haddad,tt:7). Hal ini sesuai dengan firman Allah di dalam Al Qur‟anul karim:
ََ َ َ َ َََ َ ََ َ ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ََ َ َ َ َ َ َ َ َ ََ Artinya: Jika kamu kafir Maka Sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia 53
meridhai bagimu kesyukuranmu itu; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain]. kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui apa yang tersimpan dalam (dada)mu (Az Zumar:7) (Kemenag RI). Ridha termasuk salah satu akhlak terpuji. Ridha artinya sudah merasa cukup dengan apa yang la miliki, baik harta maupun pekerjaan. Sebagian orang mungkin menganggap, sikap yang demikian termasuk akhlak yang buruk. Karena dengan merasa cukup terhadap apa yang dimilikinya itu maka akan menimbulkan kemalasan pada dirinya dan tidak manu bekerja. Pandangan yang seperti itu adalah pandangan yang sesat dan keliru. Islam tidak mengajarkan kepada umatnya supaya hidup malas. Ridha dapat menjauhkan diri dari ajakan nafsu terhadap berbagai tipu daya kehidupan dunia, yang membuat seseorang lupa akan Allah dalam mempersiapkan diri menuju kehidupanakhirat kelak. Akibat godaan nafsu, seseorang tidak takut atas ancaman yang akanditerimanya sehingga sikap dan perilakunya melampaui batasbatas norma agama. Maka,untuk menghindari hal itu, seorang muslim dituntut untuk bersikap Qanaah di dalam hidupnya. Macam-macam Sikap Ridha Dalam kehidupan seserorang ada beberapa hal yang harus menampilkan sikap ridha, minimal empat macam berikut ini: a)
Ridha terhadap perintah dan larangan Allah Artinya ridha untuk mentaati Allah dan Rasulnya. Pada hakekatnya seseorang yang telah mengucapkan dua
54
kalimat syahadat, dapat diartikan sebagai pernyataan ridha terhadap semua nilai dan syari‟ah Islam. b)
Ridha terhadap taqdir Allah Ada dua sikap utama bagi seseorang ketika dia tertimpa sesuatu yang tidak diinginkan yaitu ridha dan sabar. Ridha merupakan keutamaan yang dianjurkan, sedangkan sabar adalah keharusan dan kemestian yang perlu dilakukan oleh seorang muslim. Perbedaan antara sabar dan ridha adalah sabar merupakan perilaku menahan nafsu dan mengekangnya dari kebencian, sekalipun menyakitkan dan mengharap akan segera berlalunya musibah. Sedangkan ridha adalah kelapangan jiwa dalam menerima taqdir Allah swt. Dan menjadikan ridha sendiri sebagai penawarnya.
c)
Ridha terhadap perintah orang tua. Ridha terhadap perintah orang tua merupakan salah satu bentuk ketaatan kita kepada Allah, karena keridhaan Allah tergantung pada keridhaan orang tua (Razak, 1973:78)
4) Cinta karena Allah SWT. Hendaknya setiap muslim untuk selalu cinta kepada Allah. Cinta kepada Allah SWT merupakan maqom yang mulia dan
55
tinggi dari tingkatan tasawwuf, termasuk halnya cinta dan benci karena Allah SWT Dalam kitab Nashoihud Diniyyah beliau berkata:
ََِٟ َْاٌسَتَََّف.َبَٙأَسَْفَ َُؼَٚد َِ َشفَ َْاٌَّمََّب َِ ش َْ ََ ََِِٓأَُٛٙ ََهللاَفِٟستَََّف َُ ٌَأ َِّبَاٚ َة َِ َ َرٌََِه َاٌدَٕبٌِٝ َلٍَََْجِٗ ََاَِٟاٌؼََْجذ ََف َْ َٖدذ َِ َ٠َ ٌََٗرأَٚ ك َُ ٍَََرَؼَٚ ً١َََِْ هللا ََخ٠َغَبَٚ ٗ٠ََْاٌزََْٕ َِضَٚ ظ َِ ٠ََْ َِخ َاٌزََْم َِذ١ََِٔبَٙثًب َثٛس َُ َََِْصَٚ غ١ََِْْاألَْلذَط َاٌَشَف ٌَٝهللاَرَؼَبَِٟال ََِ٘جِخَفَُٚ١ظ َِ اٌزَ َْؼ Cinta kepada Allah adalah maqom paling mulia dan tinggi. Dan diikuti dengan kecondongan dan kebergantungan serta penuhanan yang dirasakan hamba dalam hatinya kepada dzat yang Maha Suci dan Maha Tinggi serta penyucian dan pembersihan, dan puncak pengagungan serta rasa takut kepada Allah (Al Haddad,tt:91). Mencintai Allah adalah kewajiban kita, bahkan cinta kita terhadap sesama manusia, keluarga, bahkan itu Rosul sendiri tidak boleh dilebihkan terhadap cinta kita kepada Allah. Adapun cara untuk merealisasikan cinta kita kepada Allah adalah dengan berpegang kepada Al-Qur‟an dan Hadits untuk menjalankan perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Adapun cara yang lain untuk menunjukkan cinta kita adalah dengan mengetahui asma al husna, seperti dalam pribahasa tak kenal maka tak sayang, oleh karena itu bila kita sudah mengenal nama lain dari Allah maka tambahlah kecintaan kita kepada Allah dan begitu pula Allah akan mencintai kita karena kita sudah mengenalnya(Suhardi, 1997:32)
5) Ketulusan hati Hati merupakan ukuran dari seluruh amal yang kita perbuat. Apakah itu amal baik ataupun amal buruk, maka hati adalah yang menjadi sumber apakah akan mewujudkannya dalam 56
bentuk perbuatan atau tidak. Maka dari itu, hati harus dibersihkan dari segala hal-hal yang dapat merusak amal, misalnya: riya‟, hasad benci dan harus diisi dengan ketulusan dan kecintaan semata-mata karena Allah SWT. Dalam kitab Nashoihud Diniyyah beliau berkata:
ََبَٙ َُس َصَلَ َزَِٚ َ َُذ٠ََ ٗ١ٍََََْػَٚ شَ٘ب١َِِ ََأَٚ َسذ َِ َاََٛاٌد َْ َاٌمٍَتَُ َسَأط َْ َأ َِّبٚ ََٓ١ََْغجؼَخَ َ َْاٌؼ َْ ٌَػضَبءَ َا َْ َاأل َ ْ َبِٙ ََثَِٟٕذ َفََٕ َْؼ َُ اسٛ َِ ََاٌد َْ َأ َِّبَٚ َفَغَب َدَ٘بٚ ًَََْذَاٌَ َِشخ١ٌَ َْاََٚاٌفَشَْجٚ َْ َٓط َْ ََ َْاٌجَََْٚاٌٍَِغَبََْٚاألُ َُر َ ْ َٚ Hati adalah pemimpin dari anggota tubuh dan diatasnya berputar segala kebaikan dan kerusakannya. Adapun anggota tubuh itu adalah tujuh anggota yaitu mata, telinga, lidah, perut, kemaluan, tangan dan kaki(Al Haddad,tt:77). Firman Allah dalam Al Qur‟an:
َ َََََََََََ Artinya,” sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka(Al Mutaffifin:14) (Kemenag RI). Saat kita berbuat baik kepada orang lain atau tamu yang datang kerumah kita. Ada makna kebaikan yang harus di cermati untuk bisa disebut sebagai ketulusan. Ketulusan sendiri adalah hal yang amat lembut bersembunyi dilubuk hati dan bukan kata terucap dengan lidah.
Orang yang tidak beriman pun bisa berbuat baik kepada orang lain dengan memberi pertolongan, penghormatan atau santunan materi. Artinya berbuat baik kepada sesama itu hal yang 57
lazim di lakukan, baik bagi yang beriman atau yang tidak beriman.
Yang harus senantiasa kita cermati adalah hal yang akan menjadikan kebaikan itu bermakna adalah Ketulusan, yaitu perbuatan baik yang semata-mata kita lakukan hanya mengharap balasan dari Allah SWT.
6) Zuhud
Zuhud secara bahasa adalah bertapa di dunia, adapun secara istilah yaitu: Bersedia untuk melakukan ibadah, dengan berupaya semaksimal mungkin menjauhi urusan duniawi, dan hanya mengharapkan keridhoan Allah SWT.
Zuhud dalam aplikasi kehidupannya, mampu melahirkan satu maqam dan cara hidup yang oleh para ahli tasawuf dikatakan sebagai sesuatu yang telah dicapai setelah maqam taubah. Karena, seseorang yang benar-benar zuhud sudah meninggalkan symbolsymbol duniawi setelah benar-benar dia melakukan taubah alnasuuha, dengan satu pandangan bahwa hidup di dunia tak lebih daripada sebatas permainan dan canda gurau
Zuhud adalah salah satu sarana untuk selalu dapat memfokuskan hati kepada Allah SWT. Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia seluruhnya dan hanya mementingkan akhirat saja. Tetapi zuhud itu hanya di dalam hati seseorang tidak merasa 58
kehilangan harta dunia atau yang bersifat material ketika ia kehilangan yang ia senangi. Apabila ia punya harta yang banyak ia merasa tidak punya apa-apa, karena semua itu hanyalah titipan dari Allah SWT. Selanjutnya apabila ia kehilangan sesuatu ia tidak terlalu merasa kehilangan. Dalam kitab Nashoihud Diniyyah beliau berkata:
َص َِ َْسش َِ ٌش َّذ َ َْا َِ ََٚ بَِٙئسَدََرَٚ ب١َْٔزتَّ َاٌَُذ َُ َ َّخ١َْظ َِ َد َ َْاٌؼ َِ ٍَِىَبَْٙ َُّ ٌٓ َ َْا َْ َِِ َو َّبَِٙ ١ٍَََْسشَْصَػ َِ ٌَوََْثشَ َحَُ َْاَََٚ َْاٌَّبيَٖٚزتََّ َْاٌدَب َُ َََٚبٙ١َِغجَخَف َْ َاٌَُشَٚ َبٙ١ٍََْػ ًَ َُ خ َْ َُاٌَجَٚر َُ ش َّ ٌَاٚ Yang termasuk kerusakan besar adalah cinta kedudukan dan harta serta ambisi yang besar untuk memperolehnya, cinta kedudukan dan harta, ambisi yang kuat untuk memperoleh keduanya, dan kikir (Al Haddad,tt:85). Firman Allah di dalam Al Qur‟an
ََََََََََ ََ َ َ َ َ َ َ َ ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َََََ Artinya:”. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung”( Al Hasyr:9) (Kemenag RI)
59
Menurut abdulah bin Al-Mubarak, zuhud artinya percaya kepada Allah dengan disertai kecintaan kepada kemiskinan. Pendapat yang sama juga dinyatakan syaqiq dan Yusuf bin Asbath. Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud didasarkan kepada tiga perkara meninggalkan yang haram, ini merupakan zuhudnya orang-orang awam, meninggalkan berlebih-lebihan dalam hal yang halal, ini merupakan zuhudnya orang-orang yang khusus, dan meninggalkan kesibukan selain dari Allah, dan ini zuhudnya orang-orang yang ma‟rifat. Yang pasti para ulama sudah bersepakat bahwa zuhud itu
merupakan perjalanan hati dari kampung dunia dan
menempatkannya di akhirat(Qayyim,1998:.149) b. Akhlak Tasawwuf Berkaitan dengan Hablum Minannas Tasawwuf yang berkaitan dengan orang banyak merupakan akhlak yang terpuji. Dalam bab ini Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad menguraikan dalam bentuk memenuhi hak-hak da kewajiban sesama manusia. Diantara kewjiban dan hak-hak yang harus dilakukan oleh seorang muslim terhadap sesama muslim diantaranya yaitu:
1) Kewajiban berbakti kepada orang tua Setiap manusia pasti dilahirkan dari orang tua. Mereka diasuh dan diberi pendidikan, supaya tumbuh dewasa dan menjadi manusia yang sempurna. Maka dari itu kita semua wajib berbakti kepada kedua orang tua. Apakah ia masih hidup 60
atau sudah mati, kita tetap harus berbakhti kepada keduanya. Salah satu untuk mendapatkan ridho dari Allah adalah berbkti kepada kedua orang tua.
Dalam kitab Nashoihud Diniyyah beliau berkata:
َبس َْ َاإلَٚ َرٌََِه َثِبٌَْ َُذػَب َِءٚ بَِٙفبََرُٚجش ََِّ٘ب ثَ َْؼذ٠َ ْ َْ َ ٌَ َٗ ُ أََْٟٕج َِغ٠َٚ ِ َعَِز َْغف َصٍَ َِخ َِ ََِثَٚ َبَ َِّ٘ب٠صب َِ َٚ َبٙ١َََِْٔٛ٠َََْثِمَضَب َِء َ َِدَُّٚبَٙ ََْٕق َػ َِ ََثِ َْبٌزَصَْ َِذٚ َُّبَٙ ٌ بَََْاٌَجِش َِ َََّٓر َْ َِِ َََّبَفَزٌََِهَِٙ َ َّدرًََِٛ َِ َْ٘ ََأََّٚبَِٙ ََِثِ َّشَأَصَْ َِذلَبَئََّٚبَِٙ َِّ َأَسَْز Hendaknya berbakti kepada kedua orangtua. Dan apabila orang tua telah meniggal maka dengan cara mendoakan dan memohonkan ampun kepadanya. Termasuk juga bersedekah untuk keduanya, melunasi hutang-hutangnya, melaksanakan wasiat-wasiatnya serta memelihara hubungan dengan kerabat kedua orang tua dan teman-teman yang dicintainya, maka semua itu adalah kesempurnaan dari kebaikan(AlHaddad,tt:62). ََََ
ََََََََ
Firman Allah di dalam Al Qur‟an yaitu:
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َََََََََ Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia ( QS Al Isra: 23) (Kemenag RI).
61
Allah menyertakan kewajiban berbakti kepada orang tua setelah penyebutan kewajiban terhadapnya yang merupakan ibadah kepadanya semata, tanpa kepada yang selainnya. Sangatlah banyak ayat-ayat yang menerangkan tentang anjuran untuk berbakti kepada kedua orang tua tidak hanya satu atau dua ayat akan tetapi banyak ayat yang menerangkannya yang berarti menghormati kedua orang tua sangatlah utama, begitu juga dengan hadits sangatlah banyak riwayat yang menjelaskan tentang keutamaan birrul walidain. Makna birul walidan itu sendiri merupakan berbuat baik kepada kepada kedua orang tua, dengan melaksanakan semua perintahnya selama tidak dalam kesyirikan. Birul walidain merupakan salah satu syiar Allah, yang dimana kita selaku seorang muslim apabila menegakkan , mengagungkan serta menghormati apa-apa yang ada disisi Allah maka akan mendapatkan kebaikan yang besar. Orang tua merupakan sebab utamanya kita hadir di muka bumi ini, maka dari itu merupakan suatu keharusan kita selaku seorang anak untuk memperlakukan orang tua kita dengan memberikan perlakuan yang lebih baik(Ibrahim, 2010: 4-7 ). 2) Silaturahmi terhadap keluarga Berkunjung kepada keluarga dekat maupun keluarga yang jauh itu perlu diterapkan kepada setiap orang. Mengunjungi keluarga merupakan akhlak yang terpuji. Dengan bersilaturahmi dapat
mempererat 62
persaudaraan,
Selain
itu
dengan
bersilaturahmi menambah keberkahan dalam hidup setiap manusia.
Dalam kitab Nashoihud Diniyyah beliau berkata:
َإَُٛ١َْغ َِ َُْس٠َََٚ اٍَُٛص َِ َ٠َ َُْ ٌََ ْ َْ َئَٚ َُٗ َِصًَ َأَسَْزَب َِ َ٠ ْ َْ َْ َأ َِ ٌَل َِء ََْٔغَبٟ َ ِ ََْٕجَ َِغ٠َٚ ََُُٙ ُُىَبََفَِئ٠ََ ََلََُٖٚ َِٚ َْ ََأ ُر َْ َ َُْ َأَََِٙٔأَرٍَََٝصََْجِشَػ٠َ ْ َْ َضبَأ ًَ ٠ٌََََْ ََُٗأَْٟٕجَ َِغ٠ََٚ َِٗ ١ٌََْئ ََُٖ اَِٚ ََوَبَِبََا ُرَٚ ٓ َُ ١َْغ َِ َُْس٠َََٚ ً َُ ص َِ َ٠ََٚ ر َُ َِصََْف٠ََٚ َُٛ َْؼَف٠َ ًََْ َِٗ َث١ٌََِْاََاَٚاَِْأعبؤ َُْ َِٙ ١ٍَََْذَ َْاٌصَذَلَ َخَُػ َْ َََٔوَبَُٚ ََُْاَوَ َُذَٙ ٌََُصٍَ َخ َِ ٌذَا َْ َََٔزَمَ ََِٗوَبَِٟاَفٚأعبؤٚ Hendaklah manusia menjaga hubungan dengan kerabatnya, meskipun ia tidak menghubunginya dan tetap berbuat baik kepada mereka, meskipun mereka tidak berbuat baik kepadanya. Hendaknya ia juga harus sabar dalam menghadapi gangguan mereka jika mereka mengganggunya dan tidak membalas mereka dengan perbuatan buruk jika mereka berbuat buruk kepadanya. Akan tetapai ia beri maaf dan tetap menghubungi mereka serta berbuat baik kepada mereka. Setiap kali mereka mengganggunya dan berbuat buruk kepada dirinya, maka lebih ditekan kan untuk menghubungi dan memberi sedekah kepada mereka lebih utama (Al Haddad,tt:63). Firman Allah di dalam Al Qur‟anَ yang berbunyi:
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ ََ َ َ َ َ َ َ ََََ ََََََ َََََََ “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
Artinya:
63
yang sombong dan membangga-banggakan diri ( QS Annisa:36) (Kemenag RI). Ada beberapa sifat yang harus dimiliki seseorang agar dapat memelihara budaya silaturrahim, sekaligus menjadi tandatanda ketaqwaannya, yaitu seperti diungkapkan kepada Allah. di Q.s. Ali Imran 3:134, berbunyi:
ْ ٓ١ِّ ْاٌىب ِظَٚ ضشَّا ِء َّ ٌاَٚ َاٌ َّغشَّا ِءِْٟ َفُُٛ ْٕفِم٠َ ٓ٠اٌَّ ِز َٓ١ِ ْاٌؼبفَٚ ْع١َاٌغ ْ ُ ِست٠َُهللا َّ َٚبط َٓ١َِٕاٌ ُّسْ ِغ ِ ٌَّٕػ َِٓا yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.(Al Baqoroh 134)(Kemenag RI). Ayat di atas menunjukkan bahwa untuk menjalin keserasian hubungan atau memelihara silaturrahim, maka seseorang harus membudayakan berinfaq, mengendalikan amarah, bersifat pemaaf, dan berbuat ihsan. Sifat-sifat tersebut menunjukkan tahapan-tahapan bersilaturrahmi. 3) Berbuat baik terhadap teman, sahabat dan kerabat Berbuat baik kepada teman dan sahabat harus dilakukan oleh setiap muslim. Dalam hal ini setiap muslim muslim satu dengan muslim yang lain adalah saudara, maka dari itu anjuran untuk selalu berbuat baik dalam setiap hal harus dilakukan. Termasuk bertutur kata yang halus dan sopan serta berakhlakul karimah. Tolong menolong dalam hal kebaikan jauga harus dilakukan oleh sesama manusia, karena dengan tolong 64
menolong sesama manusia akan mendapatkan pertolongan dari Allah sesuai janji Allah. Dalam kitab Nashoihud Diniyyah beliau berkata:
َََْخَتَٚصٍََزُٗ َأ َِ َ ذ َْ ََٔوَبَٚ َ وَب ََْ َ َْاٌشَزَْ َُُ َأَ َْوثَش ََلُشَْثَخ َوَبَْ َزََمّٗ َاَوَذ َ ََثِبٌَجِ َّشٌَََْٝٚٓ ََْاٌ َُّسَْزَب ُجَ َأ١َْغ َِى َْ َِّ ٌف َ َْا َُ ١َْت َاٌضَ َِؼ٠ََْْ َ َْاٌمَ َِش َُ َٛ َُى٠َٚ َٓ١ َِ غ َِى َْ َِّ ٌتَ َْا َِ ٠َْ َُشٌٍََِمَ َِش١َْص َِ َ٠ََُٗ َّٔهَأل َ ِ ٌَََِرَََِٟٕٚتَاٌغ َْ ٠َََْْٓاٌمَ َِش َْ َِِ ٍََ َِخ١َْص َِ ٌاٚ ََٓ َ ََْاألَ َِْ َِش١َََْلذَ َلَشََْ َهللا َثَٚ َٕخ١َْغ َِى َْ َِّ ٌك َ َْا َّ ََزَٚ ك ََْاٌمَشَاثَخ َّ َْ َز َِ زََمّب َٓ١ َْ َِّ ٌَ َْاَََٚاٌمَشاثَ َِخٝ َْ ٌَِلءزَْغَبَََْا َْ َثِب ِ غ َِى Kerabat yang semakin dekat, maka semakin wajib untuk menghubunginya. Kerabat yang lemah dan miskin serta membutuhkan lebih patut untuk diperlakukan dengan kebajikan dan dihubungi daripada kerabat yang kaya. Hal itu disebabkan karena kerabat yang miskin mempunyai dua hak, yaitu: hak sebagai kerabat dan hak sebagi orang miskin Allah telah menggabunngkan antar perintah untuk berbuat baik kepada kerabat dan orang miskin (Al Haddad,tt:64). Firman Allah SWT:َ
ََ َ َ َ َ َ َ َ ََ َ َ َ َ َ ََ َ َ َ َ َ َ َ ََََََََََ Artinya:”sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anakanak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauhdan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”(al-Nisa: 36) (Kemenag RI). 65
Seseorang yang melakukan kebaikan haruslah semata mata karena Allah. Hanya karena mengharapkan pahala dan balasan dari-Nya. Misalnya dalam hal berinfak, maka haruslah dilakukan semata mata karena Allah sehingga bernilai disisiNya. Tidak mengganggu dan tidak menyusahkan orang lain. Inilah fase awal dalam berbuat baik. Andaikata seseorang belum mampu berbuat kebaikan maka paling tidak janganlah mengganggu
atau
menyusahkan
orang
lain.
Tidak
mengganggu atau tidak menyusahkan orng lain juga sudah termasuk sebagai kebaikan Melakukan yang bermanfaat bagi orang lain. Ini fase kedua dalam berbuat kebaikan. Seorang hamba hendaknya memberi manfaat bagi orang lain. Sekecil apapun akan ada nilainya disisi Allah. Diantaranya memberi salam dengan senyum kepada sesama muslim. 4) Amar ma’ruf nahi mungkar
Menasehati dalam hal kebaikan dan melarang berbuat mungkar, merupakan salah satu dari perbuatan yang harus dilakukan oleh setiap muslim. Dengan saling menasehati dalam hal kebaikan dan melarang berbuat mungkar, kita akan selalu ingat bahwa Allah selalu mengawasi kita. Dengan Amar ma‟ruf nahi mungkar kita akan terbebas dari jeratan kewajiban akan hak sesame muslim dalam hal da‟wah. Dalam kitab Nashoihud Diniyyah beliau berkata: 66
َػظَ َُِ َشَؼَبََئِش َْ َٓ َأ َْ َِِ َ ٓ َ َْاٌ ََُّْٕىَش َْ َ َػٟ َُ َْٙ ٌَٕاٚ َْ َ فٚ َِ األ َِْ َُش ََثِ َْبٌَّؼ َُش َْ َْ َْ َأ َٓ١ََِِِٕ َاٌ َُّإٝ َْ ٍََّدَػ َِ ََّّبَٙ َُّ ٌَأََ٘ ََُّ َْاَٚٓ َِ ٠َْاٌ َِذ Ketahuilah, bahwa menyuruh berbuat yang baik dan mencegah dari yang mungkar adalah syiar agama terbesar dan tugas terpenting dari seorang mukmin(Al Haddad,tt:94). Firman Allah SWT
ََ َ َ َ َ َ َ َ َََََََ ََ Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkarmerekalah orang-orang yang beruntung”( Ali Imron:142) (Kemenag RI). Agama Islam adalah agama yang sangat memperhatikan penegakan Amar Ma‟ruf dan Nahi Munkar. Amar Ma‟ruf merupakan pilar dasar dari pilar-pilar akhlak yang mulia lagi agung. Kewajiban menegakkan kedua hal itu adalah merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa ditawar bagi siapa saja yang mempunyai kekuatan dan kemampuan melakukannya. Bahkan Allah swt beserta RasulNya mengancam dengan sangat keras bagi siapa yang tidak melaksanakannya sementara ia mempunyai kemampuan dan kewenangan dalam hal tersebut. Ada tiga jenis perbuatan munkar yang harus dicegah secara sungguh-sungguh: a) Yang menyangkut hak Allah SWT. b) Yang menyangkut hak manusia. 67
c) Yang menyangkut hak Allah dan manusia. Ibadat merupakan hak Allah bila kita mengingkari hak Allah tersebut, dianggap telah mengerjakan munkar . Di samping itu kita melanggar larangan Allah, tidak berpuasa, minum-minuman
yang
memabukkan.
Orang
yang
memperdayakan minuman keras, jika dia beragama Islam, haruslah
dihukum
dan
dagangannya
dirampas
untuk
dimusnahkan. Sebagai anggota masyarakat, kita harus memperhatikan kemaslahatan dan kepentingan orang lain. Dalam kaitan dengan kemunkaran terhadap hak manusia , seperti contoh mendirikan bangunan yang menyebabkan tetangga tak punya jalan keluar / masuk. Ada
pun
perbuatan
munkar
yang
menyangkut
kepentingan Allah dan kepentingan manusia, adalah seperti memindahkan jenazah dari tempatnya, tanpa alasan yang jelas. Pemindahan
yang mempunyai
kepentingan
umum,
tentu
alasan tidak
yang jelas
termasuk
demi
perbuatan
munkar( Shiddiqey, 2001:348). B.
Relevansi Tasawwuf dalam Kehidupan Modern Pada masa yang akan datang tampaknya akan berkembang ilmu pengetahuan dan teknologi serta industrialisasi akan berlangsung terus dan sangat menentukan peradaban umat manusia. Namun demikian, masalah moral dan etika akan ikut mempengaruhi pilihan strategi dalam mengembangkan peradaban dimasa depan. Ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi pada tingkat corak 68
keberagaman umat islam. Kemungkinan itu akan sangat ditentukan oleh berbagai factor yang saling menarik, misalnya kekuatan internal atau factor dinamik ajaran islam dengan kekuatan eksternal. Dengan demikian, kita hanya dapat memperkirakan beberapa kemungkinan corak agama yang akan menjadi mental masyarakat dimasa mendatang. Pertama, ialah kecenderungan bahwa islam akan semakin kuat. Disini ulama‟ tetap memegang peran penting dalam rangka menjaga kemurnian agama, dan karena itu memiliki otoritas untuk berbicara atas nama islam yang sesuai dengan ajaran Al-Qur‟an dan Sunnah. Kedua, adalah kecenderungan bahwa islam akan berfungsi sebagai ajaran etika akibat proses modernisasi dan sekularisasi yang secara perlahan-lahan hanya memberikan peluang yang sangat kecil bagi penghayatan keagamaan. Ketiga, ialah kecenderungan islam dihayati dan diamalkan sebagai sesuatu yang spiritual sebagai reaksi terhadap perubahan masyarakat yang sangat cepat akibat kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan industrialisasi. Spiritualisme baik dakam bentuk tasawuf, ihsan maupun akhlak menjadi kebutuhan sepanjang hidup manusia dalam setiap tahap perkembanagan masyarakat. Untuk masyarakat yang masih terbelakang, spiritualisme harus berfungsi sebagai pendorong untuk meningkatkan etos kerja dan bukan pelarian ketidakberdayaan masyarakat untuk mengatasi tantangan hidupnya. Sedangkan bagi masyarakat mju industrial, spiritualisme berfungsi sebagai tali penghubung Tuhan. Perlu di ingat bahwa tasawuf tidak bisa dipisahkan dari kerangka pengalaman agama, dank arena itu harus berorientasi kepada Al-Qur‟an dan Sunnah. Inilah yang mungkin disebutkan Hamka sebagai “Tasawuf Modern”, 69
yakni tasawuf yang membawa kemajuan, bersemangat tauhid dan jauh dari kemusyrikan, bid‟ah serta khifarat. Namun demikian, dalam kehidupan riil mungkin saja terjadi bahwa salah satu aspek ajaran islam ditekankan sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada zamannya. Bagi masyarakat terbelakang, islam digambarkan sebagai ajaran yang mendorong kemajuan. Bagi masyarakat maju-industrial, islam ditekankan sebagai ajaran spiritual dan moral. Saat ini kita berada di tengah-tengah masyarakat modern, atau sering pula disebut masyarakat skuler. Pada umumnya, hubungan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip fungsional pragmatis. Mereka merasa bebas dan lepas dari kontrol dari pandangan agama dan dunia metafisis. Dalam masyarakat yang modern yang cenderung rasionalis, skuler, dan materialis, ternyata tidak menambah kebahagiaan dan ketentraman hidupnya. Kegelisahan masyarakat modern itu antara lain disebabkan oleh perasaan takut akan kehilangan apa yang dimilikinya, timbulnya rasa takut masa depan yang tidak disukainya, merasa kecewa terhadap hasil kerja yang tidak mampu memenuhi harapan dan kepuasan sepiritual, dan karena dirinya banyak melakukan pelanggaran dan dosa. Untuk itu salah satu harapan yang dapat menjawab dari segala kegelisahan mereka adalah dengan cara hidup bertasawwuf. Di sini tanggungjawab tasawwuf bukan melarikan diri dari kehidupan nyata dunia ini, akan tetapi ia adalah suatu usaha mempersenjatai dengan nilai-nilai ruhaniah, sebab di dalam tasawwuf selalu dilakukan dzikir kepada Allah SWT sebagai sumber gerak, sumber norma, sumber motivasi, dan sumber nilai. Akibat lebih jauh dari modernisasi dan industrialisasi, manusia mengalami degradasi moral yang dapat menjatuhkan harkat dan martabatnya. Kehidupan modern seperti sekarang ini sering menampilkan sifat-sifat yang kurang terpuji, 70
terutama dalam menghadapi materi yang gemerlap. Manusia, menurut para ahli tasawwuf, dalam kehidupannya selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya yang selalu ingin menguasainya. Firman Allah:
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َََ Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang( Yusuf:53)(Kemenag RI) Agar hawa nafsu dikuasai oleh akal yang mendapat bimbingan wahyu, maka di duni tasawwuf diajarkan berbagai cara seperti riyadloh dan mujahadah, untuk melawan hawa nafsunya. Adapun model tampilan sekarang, bertasawwuf tidak harus menjauhi kekuasaan, tetapi justru malah masuk di tengah-tengah percaturan politik dan kekuasaan. Sebab menjauhinya bisa berarti menunjukkankan ketidakberdayaan dan kelemahan. Apabila di zaman klasik ada fatwa,”menjauhi dan oposisi terhadap kekuasaan”, sedikit dapat dibenarkan, karena kekuasaan pada waktu itu bersifat individual dan bersifat tirani, namun di zaman sekarang lebih bersifat kolektif. Peluang lain yang dapat menjadi lahan tasawwuf di zaman moden ini adalah kenyataan masyarakat saat ini yang serba maju. Di belahan bumi manapun, keanekaragaman, baik agama, budaya, suku, bahasa, adat istiadat dan sebagainya, senantiasa dijumpai. Satu sisi suasana kemajemukan, memang akan menampilkan keindahan yang warna-warni. Namun sisi lain harus diwaspadai, bahwa terjadinya perpecahan, kerusuhan, permusuhan, atau halhal lain yang sifatnya destruktif. 71
Dalam ajaran tasawwuf, banyak tokoh
tasawwuf seperti Al Hallaj, Ibnu „Arobi dan lain sebagainya berpendapat bahwa keanaekaragaman agama di dunia, hanya sekedar bentuknya, sedang hakikatnya sama, semua mempunyai sumber dan bertujuan untuk menyembah sang Kholik. Tasawwuf yang ajaranya mendalami hakikat seperti ini diharapkan mampu menumbuhkan sikap sesama yang sehat, mengakui segisegi kelebihan orang lain, dan melakukan kebaikan dalam masyarakat. Perbedaan
yang
ada,
diterima
dalam
kerangka
perbedaan
tanpa
mempertentangkannya. Dengan pandangan sebagaimana di atas, pluralitas masyarakat modern dipandang sebagai sesuatu yang wajar, sebab telah menjadi sunnatullah. Tidak ada kehidupan tanpa pluralitas dalam arti antar ummat. Tanpa mengurangi keyakinan masing-masing antar pemeluk agama terhadap pemeluknya sendiri, keadaan watak dan tradisi masing-masing suku, dan watak individual, dalam pluralitas ini sangat diperlukan sikap toleran, jujur, terbuka, adil, dan wajar. Maka tasawwuf akan melihat hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan yang bernenek Adam AS. Dari sini mereka akan ditemukan dalam satu titik yang diistilahkan di dalam Al Qur‟an berupa “kalimatun sawa”. Firman Allah:
َََََََََََََ ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َََََ Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain 72
sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)"( Ali Imron:64)(Kemenag RI)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tasawwuf bukan sesuatu yang isolatif, tetapi aktif di tengah-tengah pembangunan masyarakat, bangsa dan negara, sebagai tuntunan bertanggungjawab sosial dalam bertasawwuf. Tasawwuf bukan lagi bersifat uzlah dari keramaian, namun sebaliknya, harus aktif mengarungi dunia ini secara total, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya. Oleh karena itu, peran para sufi seharusnya lebih emprimik, pragmatis, dan fungsional dalam menyikapi dan memandang kehidupan ini secara nyata( Syukur, 2004:26)
73
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dijelasakan penulis pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Latar belakang Habib Abdullah Al Haddad. Al-Habib
Abdullah bin
Alwi
bin
Muhammad Al-Haddad
tinggal disebuah tempat bernama Al-Hawi. Al-Hawi adalah sebuah kawasan yang berdekatan dengan Tarim, ia menetap disana (Al-Hawi) pada tahun 1099 H. Ia membangun masjid berhampiran dengan rumahnya, dan mengajar disana selepas shalat ashar setiap hari, serta hadlrah (rebana) pada setiap malam Jum‟at selepas salat isya‟. Maka dengan berbagai aktivititas, Al-Hawi menjadi tumpuan kepada para ulama‟, dan orang-orang shaleh. 2.
Konsep Pendidikan Tasawwuf dalam kitab Nashoihud Diniyyah Model dasar yang digunakan oleh Al-Habib Abdullah Al- Haddad pada kitab Nashoihud Diniyyah dalam mencapai akhlak yang mulia baik di sisi Allah maupun manusia ada dua asek yaitu: a. Aspek perbuatan yang dilakukan oleh bathin (jiwa) yaitu, usaha yang dilakukan oleh hati dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. b. Aspek perbuatan yang dilakukan oleh dhohir (anggota tubuh) yaitu, usaha yang dilakukan oleh anggota tubuh berupa ucapan dan tindakan baik itu berkaitan dengan hubungan manusia maupun 74
hunbungan kepada Allah sesuai dengan tuntunan Al Qur‟an dan Hadits. 3.
Relevansi Tasawwufَdalam kitab Nashoihud Diniyyah dalam Spiritualisme baik dakam bentuk tasawuf, ihsan maupun akhlak menjadi kebutuhan sepanjang hidup manusia dalam setiap tahap perkembanagan masyarakat. Untuk masyarakat yang masih terbelakang, spiritualisme harus berfungsi sebagai pendorong untuk meningkatkan etos kerja dan bukan pelarian ketidakberdayaan masyarakat untuk mengatasi tantangan hidupnya. Sedangkan bagi masyarakat mju industrial, spiritualisme berfungsi sebagai tali penghubung Tuhan.
C. Kata Penutup Puji dan syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas berkat, rahmat, taufik serta hidayah-Nya yang dilimpahkan kepada penulis dalam menyusun skripsi yang sangat sederhana dengan segala keterbatasannya. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang penulis agung-agungkan karena keluasan syafa‟atnya kepada kaumnya. Akhirnya, dengan hasil karya yang sangat sederhana dan jauh dari segalala kekurangan semoga Allah SWT dapat memberikan manfaat dan berkah bagi penulis dan masyarakat dalam penulisan skripsi ini. Amin
75
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar Aceh.1996.Pengantar Ilmu Tarekat Kajian historis tentang mistik, Jakarta: Ramadani Al Haddad, Abdullah,tt. Nashoihud diniyyah, Surabaya:Mutiara Ilmu Asmaran, AS.1994.Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Badawi, Mustofa Hasan.1994.Al-Imam Al-Haddad Mujaddid Al-Qur‟an Atsani „Asyaro Sirotuhu wa Manhajuhu:Dar Al-Hawi. Ghalayaini, Musthafa.2000.‟Idhatun Nasyi‟in. Terj oleh Abdai Rathomy Semarang: PT. Karya Toha Putra. Hamid, Zaid khusen.2010.Nasehat-Nasehat Agama dan Nasehat-Nasehat Iman, Surabaya: Mutiara Ilmu. Husein, Mochtar.2008.Hakikat Islam Sebuah Pengantar Meraih Islam Kaffah,Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ibnu Qayyim.1998.Madarijus salikin, Jakarta:pustaka Al-Kautsar Ibrahim al-Hazimy.2010.Keutamaan Birul Walidain,Jakarta: Qisthi Press Jalaluddin.2001.TeologiPendidikan,Jakarta ;PT. Raja GrafindoPersada. Kalsum, Ummu.2002. Ilmu Tasawuf,; Makassar: Yayasan Fatiyah KEMENAG RI.2000. Al qur‟an dan Terjemah M. Arifin. 2000. FilsafatPendidikan Islam, Jakarta :BumiAksara. Muhammad bin Ibrahim, Syaikh.2016.Ensiklopedi Islam Al-Kamil, Jakarta: DarusSunnah Mahmud, Abdul Halim. 2001.Tasawuf di Dunia Islam , Pustaka Setia: Bandung Mahzumi,Fikri.2012.Jurnal, teosofi tasawuf dan Pemikiran: Fakultas Tarbiyah INKAFA Gresik Muhadjir, Noeng. 1991.Metode Penelitian Kualitatif,Yogyakarta:Rake Sarasin xi
Nasruddin Razak.1973.Dienul Islam, Bandung: PT. Al-Ma‟arif Siregar, H. A. Rivay, 2006: Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Cet. II; J Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, jilid 5, 1993 Soejono
dan Abdurrahman.2005.METODE PENELITIAN Pemikiran dan Penerapan,Jakarta: PT. Bina Adiaksara.
Suhardi,
Kathur.1997.Jalan Orang-orang Petunjuk,Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Yang
Suatu
Mendapat
Syukur, Amin.2006.Tasawuf bagi orang awam.LPK-2, Suara Merdeka: Yogyakarta Teungku
Muhammad Hasbi Ash Islam,Semarang:PT.Pustaka Rizki Putra
Shiddiqey.2001.Al-
Ali Zaenal Abidin Al Hamidhttp://darulmurtadza.com/imam-abdullah-binalwi-al-haddad/# sthash.LqZ11z6N.dpuf http://anneahira.com/sejarah-kerajaan-turki-usmani.html
xi
xi
DAFTAR NILAI SKK Nama : MuhammadSya‟roni Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan NIM : 111-11-071 Jurusan : PAI NO WAKTU JENIS KEGIATAN JABATAN 1 20-22 Agustus Orientasi Pengenalan Akademik dan 2011 Kemahasiswaan, “Revitalisasi Gerakan Peserta Mahasiswa di Era Modern untuk Kejayaan Indonesia”, DEMA STAIN Salatiga 2 23 Agustus 2011 Achievement Motivation Training (AMT), Peserta 3 24 Agustus 2011 Orientasi Dasar Keislaman, “Menemukan Muara sebagai Mahasiswa Rahmatan Lil Peserta Alamin”, STAIN Salatiga 4 25 Agustus 2011 Seminar Entrepeneurship dan Koperasi, Peserta STAIN Salatiga 5 3–4 Desember Penerimaan anngota baru Jam‟iyatul qurro‟ Peserta 2011 wal huffadz (JQH) STAIN Salatiga 6 03 Mei 2012 Seminar mahasiswa dalam mngawal BLSM ( Peserta BLT) tepat sasaran 7 12 Mei 2012 Ghorah massal JQH STAIN Salatiga Peserta 8 17 Januari 2013 SK Pengangkatan penguus HMJ Tarbiyah Pengurus STAIN Salatiga Tahun 2013 9 16 Maret 2013 Pelatihan Karya Tulis ilmiah oleh HMJ Panitia Tarbiyah 10 26 Maret 2013 Seminar Nasional dengan tema “ Ahlussunnah Peserta dalam persepektif isalm Indonesia 11 24-26 Mei 2013 Kontes guru ideal tingkat mahasiswa PTAI se Peserta Indonesia 12 30 Septembe Sosialisai UU No. 1 th 2013 tentang peran dan Peserta 2013 fungsi OJK 13 31 Oktober 2013 SK PanitiaPengawas pemilihan umum Panitia 14 01 Desember Lomba karya tulis ilmah HMJ Tarbiyah Panitia 2013 STAIN Salatiga 15 15 Januari 2014 SK Pengangkatan pengurus HMJ Tarbiyah Ketua STAIN Salatiga 16 07 Agustus 2014 OPAK “ Aktualisasi mahasiswa dalam mencetak generasi yang bertaqwa, intelektual Panitia dan profesional” HMJ Tarbiyah 17 29 September SeminarNasional 2014 “PeranMahasiswadalamMengawalMasaDepan Panitia Indonesia PascaPilpres 2014” DEMA STAIN Salatiga
xi
NILAI 3 2 2 2 2 4 2 4 3 8 8 8 3 3 6 3
8
xi