PERSEPSI APARATUR PEMERINTAH DAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA MALANG TERHADAP FRAUD DAN PERAN WHISTLEBLOWING SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN DAN PENDETEKSIAN FRAUD Oleh: Muhammad Dimar Alam
ABSTRAK Pemahaman yang baik terkait fraud dan whistleblowing merupakan salah satu syarat utama dalam mencegah berbagai macam kasus fraud yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman aparatur pemerintahan dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah mengenai fraud dan whistleblowing sebagai upaya pencegahan dan pendeteksian fraud. Penelitian ini menggunakan sampel aparatur pemerintahan dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah kota Malang sebagai responden. Penelitian deskriptif menggunakan metode survei dilakukan untuk memahami persepsi dari para responden serta memaparkan secara faktual terkait data yang didapatkan melalui proses penelitian ini. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa aparatur pemerintah kota Malang dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah kota Malang memiliki pemahaman yang cukup baik terkait dengan fraud dan whistleblowing serta para responden menganggap bahwa whistleblowing merupakan salah satu cara untuk melakukan tindakan pencegahan dan pendeteksian fraud pada sektor publik di Indonesia.
Kata Kunci: Fraud, Persepsi, Whistleblowing
PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks, berkembang pula praktik kejahatan perekonomian dalam berbagai macam bentuk. Praktik-praktik tersebut dalam istilah ekonomi biasa kita sebut sebagai kecurangan atau fraud. Praktik fraud yang terjadi ini seringkali berupa penyalahgunaan kepentingan atau konflik kepentingan (conflict of interest), korupsi (corruption),
penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah (illegal gratuities), dan lain sebagainya. Pada sektor pemerintahan terutama di Indonesia yang sudah biasa ditemui kasus-kasus kecurangan terutama berupa korupsi. Korupsi selama ini menjadi isu yang sangat sering dibahas terutama terkait dengan praktik pemerintahan di Indonesia. Transparency International memaparkan mengenai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang mengukur tingkat korupsi suatu negara pada tahun 2013 dan berdasarkan hasil survei terhadap 177 negara, Indonesia mendapatkan skor IPK yang sama dengan tahun 2012, yaitu 32. (Setyawan, 2013) Idhom (2013) menyatakan bahwa kerugian negara yang terhitung mulai tahun 2001 hingga 2012 tercatat Rp 168,19 triliun rupiah. Kerugian tersebut merupakan kerugian yang terutama disebabkan oleh tindak pidana korupsi yang mencapai 1842 kasus dalam rentang tahun tersebut. Hal ini patut untuk kita pikirkan lebih jauh lagi karena dengan jumlah uang mencapai ratusan triliun tersebut apabila dipergunakan dengan semestinya untuk peningkatan serta perbaikan berbagai macam sektor dan infrastruktur di Indonesia dapat kita bayangkan seberapa besar peningkatan yang akan terjadi secara signifikan. Berkaitan dengan hal tersebut, berbagai macam upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam mencegah,
mendeteksi,
dan menanggulangi
kasus-kasus
kecurangan. Hal ini terlihat dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan salah satu bentuk nyata upaya pemerintah Indonesia dalam memerangi kecurangan terutama terkait dengan korupsi. Sehubungan dengan itu, KPK bekerjasama dengan berbagai instansi berusaha mengembangkan suatu sistem
yang disebut whistleblowing system yang diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif solusi dalam pencegahan dan pendeteksian kecurangan. Vinten (2000) dalam Malik (2010) mendefinisikan whistleblowing sebagai suatu pengungkapan oleh karyawan mengani suatu informasi yang diyakini mengandung pelanggaran hukum, peraturan, pedoman praktis atau pernyataan profesional, atau berkaitan dengan kesalahan prosedur, korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau membahayakan publik dan keselamatan tempat kerja. Maraknya kasus korupsi dan praktik-praktik kecurangan di sektor pemerintahan yang selama ini terekspos oleh pers menarik perhatian yang besar dari peneliti. Peneliti sebagai mahasiswa dan salah satu elemen masyarakat merasa bahwa para masyarakat seharusnya peka terhadap permasalahan ini. Whistleblowing yang selama ini semakin mencuat dalam penyelesaian kasus-kasus korupsi di Indonesia tentu saja berperan besar penyelesaian kasus-kasus kecurangan yang terjadi terutama di sektor pemerintahan. Peneliti melihat suatu fenomena dimana aparatur pemerintahan yang ideal sudah seharusnya memiliki pemahaman yang baik mengenai fraud dan upaya whistleblowing untuk membentuk Good Governance sehingga apabila seorang aparatur pemerintahan melihat tindakan kecurangan yang dilakukan oleh rekannya, maka orang tersebut dapat melaporkan tindakan tersebut ke pihak yang berwenang sehingga upaya pencegahan dan pendeteksian praktik-praktik kecurangan dalam sektor pemerintahan dapat berjalan dengan optimal. Kasus whistleblowing yang dilakukan oleh Komjen. Polisi Susno Duaji menjadi salah satu contoh yang sangat jelas dimana dengan adanya whistleblowing
terbukalah berbagai macam tindakan fraud yang dilakukan oleh pemerintah (Semendawai et al, 2011). Semakin maraknya isu implementasi whistleblowing di Indonesia setelah kasus tersebut tentu seharusnya direspon dengan positif oleh kalangan pemerintah di Indonesia. Kota Malang yang merupakan kota kelahiran penulis dipilih menjadi tempat untuk melakukan penelitian ini karena belum ini ini terjadi adanya pergantian kabinet pemerintah di kota Malang. Walikota yang baru mengganti hampir seluruh aparatur yang menjabat di posisi penting sesuai dengan pertimbangannya. Hal ini menjadi sesuatu yang menarik peneliti untuk melakukan penelitian di kota Malang untuk memahami bagaimana persepsi dari pemerintah kota Malang yang baru menjabat. Adanya beberapa kasus korupsi yang belum lama ini muncul di kota Malang juga menarik perhatian dari peneliti untuk melakukan penelitian di kota ini. Kasus korupsi yang belum lama ini mulai diselidiki dan akan diproses secara hukum antara lain adalah kasus proyek RSUD Malang dan kasus korupsi UIN. (Ainun, 2014)
TINJAUAN PUSTAKA Persepsi Robbins (2008: 175) mendefinisikan persepsi (perception) sebagai proses dimana individu mengatur dan menginterpetasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka. Tetapi jika dilihat apa yang dipahami oleh seseorang pada dasarnya bisa berbeda dari kenyataan secara objektif. Oleh karena itu dapat diambil suatu kesimpulan bahwa persepsi merupakan penerimaan dan
penginterpretasian suatu hal dari stimulus yang direspon oleh panca indra manusia sehingga menghasilkan suatu pemahaman dari manusia tersebut. Fraud Albrecht dalam bukunya yang berjudul Fraud Examination (2009: 6) mendefiniskan fraud adalah suatu istilah yang umum, dan mencakup semua cara yang dapat dirancang oleh kecerdikan manusia, yang terpaksa dilakukan oleh suatu individu, untuk mendapatkan keuntungan dari yang lain dengan menggunakan keterangan palsu. Tidak ada yang pasti dan aturan yang berubah-ubah yang dapat ditetapkan sebagai proposisi umum dalam mendefinisikan penipuan, karena termasuk kejutan, penipuan, kelicikan, dan cara-cara yang tidak adil oleh yang ditipu lainnya. Satu-satunya batas yang dapat mendefinisikannya adalah mereka yang membatasi ketidakjujuran manusia. ACFE dalam Tuanakotta (2010: 195-204) membagi fraud dalam 3 (tiga) jenis menurut perbuatan yang dilakukan pelaku, yaitu: 1. Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud) 2. Penyimpangan atas Aset (Asset Misappropriation) 3. Korupsi (Corruption) Ada berbagai cara yang dilakukan para pelaku dalam menjalankan suatu fraud, namun Albrecht (2009: 34) menjelaskan bahwa ada 3 elemen yang paling umum bagi seorang pelaku dalam menjalankan fraud dikenal sebagai The Fraud Triangle (Segitiga Fraud).
Gambar 2.1 Segitiga Fraud(The Fraud Triangle)
Perceived Opportunity
TRIANGLE FRAUD
Perceived Pressure
Perceived Rationalizatio n
Sumber : Albrecht (2009: 34) Elemen yang terdapat di dalamnya antara lain adalah: a) Peluang (opportunity) Pengetahuan dari pelaku mengenai organisasi tempatnya melakukan fraud membuatnya dapat melihat peluang sehingga dapat mewajarkan aktivitas fraud yang dilakukannya agar mendapatkan keuntungan. b) Tekanan (pressure) Keadaan finansial maupun non finansial dari para pelaku fraud menjadi suatu dorongan yang melatarbelakangi tindakan fraud tersebut. c) Rasionalisasi (rationalization)
Hal ini terjadi akibat adanya sifat-sifat seperti amarah, dendam, iri hati, tidak percaya diri dan lain sebagainya sehingga pelaku terdorong untuk melakukan fraud. Whistleblowing Whistleblowing merupakan suatu istilah yang muncul dimulai sejak adanya Sarbanes-Oxley Act yang dapat mendorong para pegawai dari perusahaan untuk melakukan pelaporan atas pelanggaran yang terjadi tanpa ada rasa takut terhadap pihak yang dilaporkan. Skandal-skandal perusahaan besar yang terjadi di Amerika Serikat mulai tahun 2000 memaksa pemerintah federal Amerika Serikat untuk membuat suatu hukum dengan tujuan melindungi para investor dan membentuk good corporate governance (Ghani, 2010). Vinten (2000) dalam Ghani (2010) mendeskripsikan whistleblowing sebagai suatu pengungkapan oleh karyawan mengenai suatu informasi yang diyakini mengandung pelanggaran hukum, peraturan, pedoman praktis atau pernyataan professional, atau berkaitan dengan kesalahan prosedur, korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau membahayakan publik dan keselamatan tempat kerja. Efektivitas whistleblowing serta tindak lanjut yang terjadi tentu menjadi beberapa hal yang sangat penting dalam tindakan whistleblowing yang dilakukan baik di sektor swasta maupun pemerintahan. Selain itu, perlindungan terhadap whistleblower juga patut menjadi pertimbangan. Apabila dalam suatu negara terdapat aturan hukum yang kuat dan memadai serta mampu melindungi para whistleblower atas tindakan yang dilakukannya, tentu good corporate governance dapat terwujud dengan maksimal.
Di Indonesia, kesadaran terhadap pentingnya sistem pelaporan dan perlindungan terhadap whistleblower mulai meningkat. Beberapa lembaga, seperti Komite Nasional Kebijakan Governance (KKNG) terus mempromosikan praktikpraktik tata kelola yang baik (good governance), termasuk di sektor swasta. Perusahaan-perusahaan besar dan memiliki manajemen yang baik juga sudah mulai menerapkan sistem pelaporan untuk menerima laporan dari karyawan atau whistleblower. (Semendawai et al, 2011: 10) Albrecht (2009: 118) juga menyatakan bahwa sebuah whistleblowing system yang baik merupakan salah satu dari alat terbaik yang berfungsi sebagai pencegahan tindakan fraud. Ketika seorang pegawai mengerti bahwa pegawai-pegawai yang lainnya memiliki suatu cara yang mudah dan tidak memaksa untuk mengawasi satu sama lain serta melaporkan dugaan adanya pelaku fraud, maka pegawai-pegawai tersebut akan semakin tidak berpotensi untuk terlibat dalam tindakan kecurangan tersebut. Dalam tindakan pendeteksian fraud, selain dengan menerapkan proses audit yang cukup efektif dalam mendeteksi fraud, whistleblowing juga merupakan salah satu cara yang cukup mudah dalam mendeteksi adanya fraud. Adanya suatu laporan dari para whistleblower tentu saja bukan suatu laporan kosong yang faktanya dapat direkayasa, namun untuk melakukan suatu pelaporan dalam whistleblowing system, suatu laporan harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu sehingga dapat diproses lebih lanjut. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa whistleblowing merupakan salah satu cara pendeteksian fraud yang cukup mudah.
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode survei. Penelitian ini dilakukan di sektor pemerintahan kota Malang yaitu aparatur pemerintah kota Malang dan juga anggota dewan perwakilan daerah kota Malang. Dengan melakukan penelitian yang berfokus pada objek tersebut, tujuannya adalah dapat mendeskripsikan pemahamanpemahaman dari para aparatur pemerintah kota Malang dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah kota Malang mengenai fraud dan juga peran whistleblowing sebagai upaya pencegahan dan pendeteksian fraud. Kota Malang dipilih menjadi tempat peneliti melakukan penelitian ini karena peneliti melihat dalam beberapa waktu terakhir ini terdapat beberapa kasus terkait fraud yang belum lama ini terjadi di kota Malang, seperti contohnya kasus korupsi proyek RSUD Malang dan kasus korupsi UIN (Ainun, 2014). Kota Malang juga telah berganti jajaran eksekutifnya pasca pemilihan walikota baru sehingga peneliti ingin mengetahui lebih jauh bagaimanakah pemahaman dari aparatur pemerintahan dan angota dewan perwakilan rakyat daerah kota Malang saat ini terkait dengan fraud dan whistleblowing serta kecenderungannya dalam terjadinya tindakan fraud. Selain itu, peneliti ingin sekali memajukan pemerintahan di kota Malang menjadi lebih baik lagi terutama dalam perwujudan good governance sehingga dengan melakukan penelitian ini peneliti berharap hasilnya dapat menjadi suatu informasi yang bermanfaat untuk mewujudkan kota Malang yang lebih baik lagi. Sampel digunakan dengan mempertimbangkan jumlah responden yang terlalu banyak dalam jumlah. Dalam hal ini sampel yang digunakan terdiri atas sejumlah
anggota yang dipilih dari populasi yang telah ditentukan dalam penelitian ini. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode convenience sampling. Dalam pemilihan jumlah sampel tersebut, setiap seorang kepala dinas, inspektur, dan kepala bagian di balaikota Malang dianggap telah mewakili pemerintah kota Malang yang berjumlah total 26 orang. Untuk anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) kota Malang, seluruh anggota dewan akan menjadi sampel penelitian yang berjumlah 45 orang sehingga total sampel yang diteliti berjumlah 71 orang yang dianggap telah mewakili populasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah seluruh data yang dibutuhkan telah didapatkan, maka dilakukan analisis terhadap data tersebut kemudian mendeskripsikan data yang telah dianilisis dalam beberapa bagian. Pemahaman Responden Mengenai Fraud Dalam Sektor Publik Hampir seluruh responden memahami makna fraud dalam sektor publik yaitu sejumlah 81,1%. Sisanya sejumlah 18,9% responden menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui makna fraud dalam sektor publik. Persepsi Mengenai Fraud Sebagai Tindakan Melanggar Hukum Hampir seluruh responden yaitu sebesar 97,3% menyatakan bahwa fraud merupakan tindakan yang melanggar hukum. Sisanya sejumlah 2,7% responden menjawab lain-lain dan menuliskan alasan bahwa tidak semuanya melanggar hukum. Sebagian besar dari responden yaitu sejumlah 73% menyatakan bahwa mereka setuju apabila pelaku korupsi diberikan hukuman seberat-beratnya. Sejumlah
2,7% responden menyatakan bahwa mereka tidak setuju apabila pelaku korupsi diberikan hukuman seberat-beratnya. Sedangkan sisanya sebesar 24,3% responden memiliki pendapat sendiri dengan memilih opsi jawaban lain-lain. Pemahaman Mengenai Contoh Kasus Fraud Pada kasus pertama yang menjelaskan jawaban atas suatu kondisi dimana dalam tugas untuk melakukan kunjungan ke daerah tertentu responden menerima hadiah, hampir setengah dari responden sejumlah 45,9% menyatakan bahwa hal tersebut termasuk gratifikasi. Selain itu, 40,5% responden menyatakan bahwa hal tersebut bukanlah suatu fraud berupa gratifikasi. Sisanya sejumlah 13,5% responden menjawab dengan pilihan lain-lain. Pada kasus kedua yang menjelaskan mengenai jawaban atas salah satu pertanyaan dalam kuisioner mengenai suatu kondisi apabila responden menerima uang dari pihak yang bekerjasama dalam menjalankan suatu proyek. Hampir seluruh responden sejumlah 78,4% menjawab hal tersebut dapat digolongkan sebagai fraud berupa suap, sedangkan sebagian kecil dari responden sejumlah 10,8% menyatakan bahwa hal tersebut bukan merupakan fraud berupa suap. Sisanya sebesar 10,8% responden menjawab dengan pilihan lain-lain. Pada kasus ketiga yang menjelaskan mengenai jawaban atas salah satu pertanyaan dalam kuisioner mengenai suatu kondisi apabila responden telah menuntaskan suatu pekerjaan dan menerima honorarium. Hampir seluruh responden sejumlah 91,9% menjawab tidak yang artinya hal tersebut bukan merupakan fraud berupa korupsi, sedangkan sebagian kecil dari responden sejumlah 2,7% menyatakan
bahwa hal tersebut merupakan fraud berupa korupsi. Sisanya sebesar 5,4% responden menjawab dengan pilihan lain-lain. Pada kasus keempat yang menjelaskan jawaban atas suatu kondisi apabila dalam suatu kepentingan pribadi responden menggunakan mobil dinas, sebagian besar dari responden sejumlah 75,7% menyatakan bahwa hal tersebut merupakan fraud berupa penyalahgunaan aset. Selain itu, sebagian kecil sejumlah 16,2% responden menyatakan bahwa hal tersebut bukanlah suatu
fraud berupa
penyalahgunaan aset. Sisanya sejumlah 8,1% responden menjawab dengan pilihan lain-lain. Pada kasus kelima menjelaskan mengenai jawaban atas pertanyaan dalam kuisioner mengenai suatu kondisi apabila responden memberikan janji kepada seseorang untuk meloloskan orang tersebut dalam tes dengan imbalan suatu hal. Hampir seluruh responden sejumlah 97,3% menjawab ya yang artinya hal tersebut tergolong fraud yang berupa penyalahgunaan wewenang, sedangkan sisanya sejumlah 2,7% menjawab dengan pilihan lain-lain. Persepsi Mengenai Penyebab Terjadinya Fraud Hampir setengah dari responden sejumlah 48,9% menjawab bahwa adanya kesempatan merupakan penyebab utama seseorang melakukan fraud. Sejumlah 33,3% responden menjawab dimilikinya suatu wewenang atau kuasa merupakan penyebab seseorang melakukan fraud. Sebagian kecil dari responden sejumlah 8,9% menjawab tidak terpenuhinya kebutuhan merupakan alasan seseorang melakukan fraud dan sisanya 8,9% responden menjawab dengan pilihan jawaban lain-lain.
Pengalaman Responden Bagian ini menjelaskan mengenai pengalaman responden mengenai pernahkan responden melihat suatu tindakan fraud dan apakah responden akan melakukan sesuatu apabila melihat suatu tindakan fraud. Sebagian besar responden yaitu sejumlah 64,9% mengaku tidak pernah melihat tindakan fraud dan sisanya sebesar 35,1% responden mengaku pernah melihat suatu tindakan fraud. Kemudian pada pertanyaan poin selanjutnya dibahas mengenai tindakan yang akan diambil oleh para responden apabila melihat suatu tindakan fraud. Sebagian besar responden sejumlah 54,1% menyatakan akan tidak tinggal diam apabila melihat suatu tindakan fraud terjadi. Sedangkan 32,4% responden menyatakan akan diam saja apabila melihat tindakan fraud terjadi. Sisanya sebesar 13,5% responden menjawab lain-lain. Pemahaman Mengenai Whistleblowing Bagian ini menjelaskan mengenai jawaban responden terhadap pertanyaan tentang pemahaman terhadap istilah whistleblowing. Hampir seluruh responden sejumlah 86,5% menyatakan bahwa responden memahami pengertian dari whistleblowing. Sisanya sebesar 13,5% responden menyatakan bahwa mereka tidak memahami pengertian dari whistleblowing. Persepsi Mengenai Manfaat dan Pentingnya Whistleblowing Dalam Suatu Instansi Bagian pertama menjelaskan bahwa hampir seluruh responden sejumlah 81,1% menyatakan bahwa sistem whistleblowing (sistem pelaporan pelanggaran) memiliki manfaat bagi kemajuan suatu instansi. Sedangkan 2,7% responden
menyatakan bahwa sistem whistleblowing (sistem pelaporan pelanggaran) tidak memiliki manfaat bagi kemajuan suatu instansi. Sisanya sebesar 16,2% responden memilih jawaban lain-lain. Selanjutnya bagian kedua menjelaskan jawaban responden terkait dengan seberapa penting manfaat sistem whistleblowing untuk suatu instansi. Sebagian besar responden sejumlah 59,5% menyatakan bahwa bahwa sistem whistleblowing cukup penting manfaatnya untuk suatu instansi. Sebagian kecil sejumlah 29,7% menyatakan bahwa sistem whistleblowing sangat penting manfaatnya untuk suatu instansi. Sisanya sebesar 10,8% responden memilih untuk tidak menyatakan seberapa penting manfaat sistem whistleblowing untuk suatu instansi. Persepsi Mengenai Peran Whistleblowing Sebagai Upaya Pencegahan dan Pendeteksian Fraud Lebih dari sebagian besar responden sejumlah 65,8% menyatakan bahwa bahwa whistleblowing dapat secara efektif mencegah terjadinya tindakan fraud pada instansi. Sedangkan sejumlah 23,7% responden menyatakan kebalikannya bahwa whistleblowing tidak dapat dapat secara efektif mencegah terjadinya tindakan fraud pada instansi. sisanya sebesar 10,5% menjawab lain-lain. Selanjtunya bagian kedua menjelaskan tentang jawaban dari para responden tentang persepsinya terhadap peran whistleblowing sebagai upaya pendeteksian fraud. Lebih dari sebagian besar responden sejumlah 70,3% menyatakan bahwa bahwa whistleblowing dapat secara efektif mendeteksi terjadinya tindakan fraud pada instansi. Sedangkan sejumlah 21,6% responden menyatakan kebalikannya bahwa
whistleblowing tidak dapat dapat secara efektif mendeteksi terjadinya tindakan fraud pada instansi. sisanya sebanyak 8,1% responden memilih lain-lain. Penerapan Whistleblowing Pada Instansi Pemerintah Bagian pertama menjelaskan mengenai jawaban dari responden terkait dengan ada tidaknya sistem whistleblowing yang berjalan dengan baik pada instansi tempatnya bekerja. Sebagian besar responden sejumlah 54,1% menjawab bahwa pada instansi tempatnya bekerja tidak terdapat sistem whistleblowing yang berjalan dengan baik. Sedangkan sebanyak 29,7% responden menjawab bahwa pada instansi tempatnya bekerja terdapat sistem whistleblowing yang berjalan dengan baik. Sisanya sebanyak 16,2% responden menjawab dengan pilihan lain-lain. Bagian kedua menjelaskan mengenai jawaban dari para responden terhadap pertanyaan apakah Indonesia perlu untuk memberlakukan kebijakan mengenai penerapan sistem whistleblowing instansi-instansi pemerintah. Hampir seluruh responden sejumlah 91,9% menyatakan bahwa Indonesia perlu untuk memberlakukan kebijakan mengenai penerapan sistem whistleblowing instansi-instansi pemerintah. Sedangkan 5,4% responden menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu untuk memberlakukan kebijakan mengenai penerapan sistem whistleblowing pada instansiinstansi pemerintah. Sisanya sebanyak 2,7% menjawab lain-lain. Kemauan Untuk Melakukan Whistleblowing Bagian ini menjelaskan mengenai kemauan dari para responden untuk melakukan tindakan whistleblowing apabila melihat suatu tindakan fraud yang terjadi di instansi tempatnya bekerja. Hampir seluruh responden sejumlah 75,7% menyatakan bahwa apabila melihat suatu tindakan fraud pada instansi tempatnya bekerja akan melakukan
whistleblowing. Sedangkan sebanyak 13,5% responden menyatakan bahwa apabila melihat suatu tindakan fraud pada instansi tempatnya bekerja tidak akan melakukan whistleblowing. Sisanya sejumlah 10,8% responden memilih pilihan jawaban lainlain.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan yaitu persepsi dari aparatur pemerintah dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah kota Malang adalah hampir seluruhnya telah memiliki pemahaman yang baik terhadap fraud dan whistleblowing sebagai upaya pencegahan dan pendeteksian fraud. Kesimpulan ini menunjukkan bahwa kota Malang berpotensi untuk dapat semakin meningkatkan good governance pada sektor publik karena dengan adanya pemahaman yang baik mengenai fraud dan whistleblowing sebagai upaya pencegahan dan pendeteksian fraud maka potensi keterjadian tindakan fraud akan semakin kecil. Adapun beberapa saran yang diberikan peneliti adalah sebagai berikut: 1. Untuk penelitian selanjutnya terkait dengan bidang penelitian dan tema yang sama, peneliti menyarankan untuk memperhitungkan beberapa faktor terkait dengan waktu dalam melakukan penelitian karena apabila waktu penelitian kurang tepat maka tidak akan mendapatkan data secara maksimal terlebih data dari DPRD kota Malang. 2. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa aparatur pemerintah kota Malang dan anggota DPRD kota Malang sebagian besar sudah memahami
mengenai fraud dan whistleblowing namun belum semuanya. Alangkah lebih baik apabila pemerintah kota Malang secara rutin dan berkala memberikan suatu sosialiasi terkait dengan masalah fraud dan whistleblowing agar pemahaman terkait hal tersebut dapat merata di seluruh elemen pemerintah kota Malang. 3. Dalam instansi-instansi di pemerintahan kota Malang hanya sebagian kecil saja yang telah menerapkan sistem whistleblowing. Peneliti menganjurkan kepada pemerintah kota Malang untuk memberlakukan sistem whistleblowing yang dapat berjalan dengan baik pada instansi-instansi yang terdapat pada pemerintahan kota Malang. Hal ini diupayakan agar pencegahan fraud dapat terlaksana dengan baik di kota Malang sehingga dapat terwujud good governance. 4. Berkaca terhadap kasus-kasus fraud yang terjadi di sektor publik di Indonesia, peneliti merasa bahwa hukuman yang diberikan pada tersangka kasus fraud terutama tindak pidana korupsi masih kurang kuat dan tidak terlalu menimbulkan efek jera. Harapannya agar dapat menimbulkan efek jera, hukuman yang diberikan perlu untuk diperberat sehingga hal tersebut dapat membuat para pelaku fraud menjadi jera sehingga dapat menghilangkan praktik-praktik fraud di Indonesia untuk kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA Ainun, Yatimul. 2014. Kasus Korupsi Proyek RSUD, Kejari Periksa Mantan Walikota Malang. (Online). http://regional.kompas.com/read/2014/01/04/0800495/Kasus.Korupsi.Proyek.R SUD.Kejari.Periksa.Mantan.Wali.Kota.Malang. Diakses pada tanggal 7 Agustus 2014. Aditya, Dodiet. 2009. Hand Out Metodologi Penelitian Deskriptif. Hand Out disajikan untuk pelatihan kepenulisan. Surakarta: Poltekkes Surakarta Albrecht, W. Steve. 2009. Fraud Examination, Fourth Edition. Ohio: Cengage Learning. Amalia, Ratna. 2013. Pengaruh Audit Internal Terhadap Pencegahan dan Pendeteksian Fraud (Suatu Studi Pada Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia, Jawa Barat). Skripsi. Cirebon: Universitas Pasundan. Ayagre, Philip. Dan Aidoo-Buameh, Julius. 2013. Whistleblower Reward and System Implementation Effects on Whistleblowing in Organization. European Journal of Accounting, Auditing, and Finance Research Vol. 2. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 2008. Modul Diklat Pembentukan Auditor Ahli: Kode Etik dan Standar Audit. Bogor: Pusdiklatwas BPKP. Dewi YR, Rosmita., dan Nur Apandi, R Nelly. 2011. Gejala Fraud dan Peran Auditor Internal Dalam Pendeteksian Fraud di Lingkungan Perguruan Tinggi (Studi Kualitatif). Tesis. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Haskara, Faqih. 2010. Pemahaman Mahasiswa Akuntansi Terhadap Makna Cost (Studi Empiris Pada PTN dan PTS di Kota Semarang). Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro. Idhom, Addhi M. 2013. Akibat Korupsi, Uang Negara Meluap Rp168,19 Triliun (online). http://www.tempo.co/read/news/2013/03/04/058464996/AkibatKorupsi-Uang-Negara-Menguap-Rp16819-triliun. Diakses pada tanggal 25 Mei 2014. Iprianto. 2009. Persepsi Akademisi dan Praktisi Akuntansi Terhadap Keahlian Akuntansi Forensik. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro. Iqbal, Muhammad. 2010. Pengaruh Tindakan Pencegahan, Pendeteksian, dan Audit Investigatif Terhadap Upaya Meminimalisasi Kecurangan Dalam Laporan Keuangan. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Irianto, Gugus. 2003. Skandal Korporasi dan Akuntan. Malang: Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Jogiyanto. 2007. Metodologi Penelitian Bisnis. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Kholiawati, Heni. 2009. Pemanfaatan Jasa Informasi Terbaru dan Terseleksi di Perpustakaan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Skripsi. Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia (online). 1992. kbbi.web.id Diakses pada tanggal 11 Juni 2014 Komisi Pemberantasan Korupsi. 2013. Laporan Tahunan KPK 2013. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi. 2013. Laporan Akuntabilitas Kinerja 2013. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi. Kristanti, Dymita A. 2012. Persepsi Mahasiswa Terhadap Peran Akuntansi Forensik Sebagai Pencegah Fraud di Indonesia. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 2012. User Manual: Whistleblowing System. Jakarta: LKPP Malik M.G., Rahardian. 2010. Analisis Perbedaan Komitmen Profesional dan Sosialisasi Antisipatif Mahasiswa PPA dan Non-PPA Pada Hubungan Dengan Whistleblowing (Studi Kasus Pada Mahasiswa Akuntansi Universitas Diponegoro). Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro. Merdikawati, Risti. 2012. Hubungan Komitmen Profesi dan Sosialisasi Antisipatif Mahasiswa Akuntansi Dengan Niat Whistleblowing (Studi Empiris Pada Mahasiswa S1 Tiga Universitas Teratas di Jawa Tengah dan DIY). Skripsi. Semarang: Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro. Musfida, Neneng. 2012. Analisis Peran Whistleblower Dalam Membantu Auditor Investigatif Untuk Mengungkap Kecurangan (Fraud). Skripsi. Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Nabila, Atia Rahma. 2013. Deteksi Kecurangan Laporan Keuangan Dalam Perspektif Fraud Triangle (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2011). Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro.
Najahningrum, Anik Fatun. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecurangan (Fraud): Persepsi Pegawai Dinas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Nurlan, Andi Besse. 2011. Persepsi Akuntan dan Mahasiswa Jurusan Akuntansi Terhadap Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia. Skripsi. Makassar: Fakultas Ekonomi Universitas Hasanudin. Philpus, Ngorang. 2012. Pelayanan Publik Aparatur Negara Dalam Perspektif Etika Pelayanan Publik: Relevansinya Bagi Pelayanan Publik yang Etis di Indonesia. Desertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Pitakasari, Ajeng Ritzky. 2012. Pukat UGM: Hukum Koruptor Seberat-beratnya (Online). http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/10/18/mc3gtkpukat-ugm-hukum-koruptor-seberatberatnya. Diakses pada tanggal 5 Agustus 2014. Praja, Muhammad Yuga Wira. 2010. Penerapan Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing (Guided Inquiry) Dibandingkan Dengan Pembelajaran Ekspositori Terhadap Prestasi Belajar Siswa Pada Mata Diklat Elektronika Dasar (Eldas) Di Smkn 1 Cimahi. Skripsi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Pramudita, Aditya. 2013. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Fraud di Sektor Pemerintahan (Persepsi Pegawai Pada Dinas Se-Kota Salatiga). Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Prasetyo, Andrian Budi. 2011. Kualitas Prosedur Pengendalian Internal: Antecedents dan Pengaruh Moderating Pada Pengendalian Organisasional dan Kecurangan Pegawai. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro. Robbins, Stephen P., dan Judge, Timothy A. 2008. Perilaku Organisasi Edisi 12. Jakarta: Salemba Empat. Semendawai, Abdul Haris., et al. 2011. Memahami Whistleblower. Jakarta: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Setyawan, Hendra A. 2013. Stagnan, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2013! (online). http://nasional.kompas.com/read/2013/12/03/1449245/artikel-detailkomentar-mobile.html. Diakses pada tanggal 25 Mei 2014. Sulistomo, Akmal. 2012. Persepsi Mahasiswa Akuntansi Terhadap Pengungkapan Kecurangan (Studi Empiris Pada Mahasiswa Akuntansi UNDIP dan UGM). Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro.
Swarna, DD. 2013. Penerapan Akuntansi Forensik dan Audit Investigasi Dalam Mendeteksi Fraud di Lingkungan Digital. Skripsi. Medan: Universitas Sumatra Utara. The Black’s Law Dictionary. thelawdictionary.org (online). diakses pada tanggal 11 Juni 2014. Tuanakotta, Theodorus M. 2010. Akuntansi Forensik & Audit Investigatif Edisi 2. Jakarta: Salemba Empat. Dinas Komunikasi dan Informasi Kota Malang. 2011. Website Resmi Kota Malang (online). Tersedia: www.malangkota.go.id (diakses pada tanggal 20 April 2014) Widyantari, Arti. (2013). Pengaruh Efektivitas Sistem Whistleblowing Terhadap Upaya Pengungkapan Kecurangan Manajemen Melalui Pemberian Motivasi (Studi Kasus Pada Dinas Pendidikan Kota Cirebon). Skripsi. Cirebon: Universitas Pasundan.