ANALISIS EFISIENSI TEKNIS DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI PROGRAM BENIH BERSERTIFIKAT: PENDEKATAN STOCHASTIC PRODUCTION FRONTIER (Studi Kasus di Desa Pasirtalaga, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang)
Oleh: Maryono A14103090
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Terkadang aku berfikir untuk bisa menjadi burung elang yang gagah yang mampu terbang tinggi dan membuat gentar setiap mata memandang.... Namun ada kalanya ketika aku lebih memilih untuk me njadi burung hud-hud meskipun terbang rendah namun bisa melintas dari negerinya Sulaiman hingga negerinya Balqis untuk menyampaikan risalah kebenaran.... tanpa patah sayap.... dan betapa aku merindukan bahwa suatu ketika nanti aku duduk bersama mereka, di pematang bercerita tentang kemajuan-kemajuan, bercerita tentang keuntungan panen yang berlimpah, dan bercerita tentang anak-anak mereka yang telah menjadi sarjana, kebahagiaan yang terpancar pada raut wajah yang tak lagi berlumpur memancarkan kepuasan atas keringat, kerja, dan doa-doa…. dan semua berawal dari sebuah harapan, kemudian menjadi kenyataan kemudian menjadi rangkaian cerita tentang kemajuan, kejayaan, dan peradaban pertanian, pertanian Indonesia!
RINGKASAN
MARYONO. Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Padi Program Benih Bersertifikat : Pendekatan Stochastic Production Frontier (Studi Kasus di Desa Pasirtalaga, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang). Di bawah Bimbingan DWI RACHMINA. Beras merupakan komoditas strategis di Indonesia karena selain sebagai komoditas ekonomi, beras juga berperan sebagai komoditas politik sekaligus menjadi cerminan stabilitas negara. Namun demikian, berdasarkan data produksi padi tahun 2001 hingga 2006 menunjukan bahwa laju pertumbuhan produksi padi masih berada di bawah laju pertumbuhan penduduk. Apabila kondisi ini dibiarkan, akan muncul kekhawatiran terjadinya kekurangan beras nasional (BPS 2006). Salah satu upaya untuk meningkatakan produksi dan produktifitas padi adalah melalui program benih bersertifikat. Dalam hal ini pemerintah memilih Kabupaten Karawang sebagai lokasi pilot project program tersebut. Program ini ditunjang oleh penerapan inovasi teknologi meliputi: penggunaan benih bersertifikat, penggunaan bibit muda, jarak tanam legowo, penggunaan bahan organik, serta efisiensi pemupukan. Kemudian timbul pertanyaan apakah petani akan menerapkan teknologi baru tersebut sementara petani di lokasi penelitian menerapkan pola usahatani yang sudah biasa mereka lakukan. Adanya inovasi teknologi tersebut juga akan mempengaruhi penggunaan faktor produksi usahatani. Pertanyaannya adalah apakah usahatani yang dilaksanakan petani belum efisien? Apakah program benih bersertifikat tersebut akan meningkatkan efisiensi teknis petani? Selajutnya, apakah program ini menyebabkan perubahan struktur biaya usahatani serta perubahan pendapatan usahatani? Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengevaluasi pelaksanaan teknologi baru dalam program benih bersertifikat, 2) Menganalisis efisiensi teknis petani sebelum dan setelah program, 3) Menganalisis struktur biaya dan pendapatan usahatani padi sebelum program dan setelah program. Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah analisis aplikasi teknologi, analisis pendapatan, analisis R/C rasio, serta analisis efisiensi teknis petani menggunakan fungsi produksi stochastic frontier. Berdasarkan hasil analisis pelaksanaan teknologi usahatani bahwa petani yang menggunakan pupuk organik dalam usahataninya hanya sebanyak 9,68 persen. Penggunaan bibit muda hanya dilakukan oleh 6,45 persen petani responden. Penggunaan jarak tanam legowo hanya dilaksanakan oleh 12,90 persen petani responden. Jumlah responden yang melaksanakan penggunaan pupuk sesuai anjuran adalah sebanyak 45,16 persen responden. Berdasarkan hasil perhitungan fungsi produksi stochastic frontier dengan metode MLE, pada masa tanam I diperoleh bahwa faktor-faktor produksi urea, dan tenaga kerja bernilai positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi. Sebaliknya, koefisien jumlah benih bernilai negatif serta memiliki pengaruh nyata terhadap produksi. Sedangkan pada masa tanam II diperoleh hasil bahwa urea,
obat-obatan dan tenaga kerja bernilai positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi. Sebaliknya, koefisien jumlah benih-TSP bernilai negatif serta berpengaruh nyata terhadap produksi. Pada masa tanam II terjadi penurunan tingkat efisiensi teknis petani responden. Hal ini ditunjukkan dengan angka rata-rata tingkat efisiensi teknis pada masa tanam I sebesar 0,966 dengan nilai terendah 0,805 dan nilai tertinggi adalah 0,994. Sedangkan pada masa tanam II nilai rata-rata efisiensi teknis 0,899 dengan nilai terndah 0,732 dan nilai tertinggi 0,990. Berdasarkan angka-angka tersebut dapat diketahui bahwa dengan adanya program benih bersertifikat ini justru menurunkan efisiensi teknis rata-rata sebesar 6,935 persen. Berdasarkan uji statistik berbeda nyata (signifikan) pada selang kepercayaan 99 persen atau α 1 persen. Hasil pendugaan efek inefisiensi teknis menunjukkan bahwa pada masa tanam I variabel yang berpengaruh nyata terhadap efisiensi teknis adalah dummy bahan organik dan dummy legowo. Sedangkan pada masa tanam II faktor-faktor yang nyata berpengaruh dalam menjelaskan inefisiensi teknis di dalam proses produksi petani responden adalah pengalaman, pendidikan dan rasio urea-TSP. Biaya total yang dikeluarkan oleh petani setelah program adalah lebih besar dibandingkan dengan biaya sebelum program, yaitu Rp 8.101.046,76 sebelum program dan Rp 8.488.607,75 setelah program. Sedangkan pengeluaran tunai setelah program lebih kecil daripada sebelum program, yaitu adalah sebesar Rp 2.271.919,71 setelah program dan adalah Rp 2.536.338,32 sebelum program. Namun, pengeluaran total riil masa tanam II juga mengalami penurunan dibandingkan dengan masa tanam I. Hal ini menginformasikan bahwa pada masa tanam II petani lebih hemat dalam penggunaan faktor-faktor produksi. Pendapatan nominal atas biaya tunai sebelum program sebesar Rp 10.840.285,08 sedangkan setelah program sebesar Rp 13.830.289,43. Pendapatan atas biaya total petani responden sebelum program sebesar Rp 5.275.576,64 sedangkan setelah program adalah sebesar Rp 7.653.601,38. Dengan demikian pendapatan atas biaya total setelah program lebih besar daripada sebelum program dengan selisih Rp 2.378.024,74. Namun, pendapatan riil atas biaya tunai masa tanam II lebih rendah dibandingkan masa tanam I yaitu Rp 10.334.768,46 pada masa tanam II dan Rp 10.840.285,08 pada masa tanam I. Pendapatan riil atas biaya total masa tanam II juga lebih kecil dibandingkan masa tanam I, yaitu Rp 4.800.566,74 dan Rp 5.275.576,64 pada masa tanam I. Kondisi ini menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan terjadi karena peningkatan harga, bukan karena peningkatan produktifitas. R/C rasio atas biaya tunai sebelum program sebesar 4,97 sedangkan setelah program nilai nominalnya sebesar 7,09 dan nilai riilnya sebesar 5,74. Sedangkan R/C rasio atas biaya total setelah program secara nominal menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan sebelum program, namun secara riil mengalami penurunan. R/C rasio atas biaya total sebelum program sebesar 1,64 sedangkan setelah program nilai nominalnya sebesar 1,91 dan nilai riilnya sebesar 1,62.
iii
ANALISIS EFISIENSI TEKNIS DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI PROGRAM BENIH BERSERTIFIKAT: PENDEKATAN STOCHASTIC PRODUCTION FRONTIER (Studi Kasus di Desa Pasirtalaga, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang)
Oleh: Maryono A14103090
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skrips
Nama NRP
: Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Padi Program Benih Bersertifikat: Pendekatan Stochastic Production Frontier (Studi Kasus di Desa Pasirtalaga, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang) : Maryono : A14103090
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Ir. Dwirachmina, MS. NIP. 131 918 503
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS EFISIENSI TEKNIS DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI PROGRAM BENIH BERSERTIFIKAT : PENDEKATAN STOCHASTIC PRODUCTION FRONTIER (STUDI KASUS DI DESA PASIRTALAGA, KECAMATAN TELAGASARI, KABUPATEN KARAWANG)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN, KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Maret 2008
MARYONO A14103090
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, putera pasangan Memed Wikarta dan Siti Fatimah. Penulis dilahirkan di Kota Tasikmalaya pada tanggal 17 Maret 1984. Pendidikan formal dimulai dari TK Artha Kenchana Purworejo. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SD Negeri Kenteng Purworejo, SLTP Negeri 1 Purworejo dan SMU Negeri 1 Purworejo. Pada tahun 2003 penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Manajemen Agribisnis. Selama kuliah penulis aktif dalam berbagai kegiatan kampus yaitu di BEM TPB periode 2003-2004, BEM Fakultas Pertanian periode 2004-2006, Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia periode 2005-2006 sebagai koordinator wilayah 2 bidang penalaran, dan terakhir di BEM KM IPB 2006-2007 sebagai Menteri Pertanian. Penulis pernah meraih Juara Pertama Kompetisi Pemikiran Kritis Mahasiswa Nasional di Denpasar, Bali. Selain itu penulis juga aktif sebagai asisten praktikum Mata Kuliah Sosiologi Umum selama empat semester.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Rabb semesta pengatur jalan kehidupan manusia. Ar Rahman, yang telah memberikan rahmat dan karuni-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Analisis Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Padi Program Benih Bersertifikat : Pendekatan Stochastic Production Frontier (Studi Kasus di Desa
Pasirtalaga,
Kecamatan
Telagasari,
Kabupaten
Karawang)”
dapat
diselesaikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi salah satu kebijakan pemerintah dalam mengembangkan pertanian Indonesia melalui program benih bersertifikat. Evaluasi melalui analisis aplikasi teknologi, efisiensi teknis, serta analisis pendapatan petani program. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi bagi civitas akademika, petani, dan para pemegang kebijakan sehingga dapat memberikan masukan yang bermanfaat. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini belum sempurna. Namun demikian, penulis berharap bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan pertanian Indonesia.
Bogor, Maret 2008
Maryono
UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini penulis ingin berterimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, masukan, dan semangat. Terimakasih penulis ucapkan kepada: 1. Kedua orang tua tercinta, Abi Memed Wikarta dan Umi Siti Fatimah atas kasih sayangnya. 2. Ir. Dwi Rachmina, MS. Sebagai dosen pembimbing skripsi, atas bimbingan dan kesabarannya selama ini. 3. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS. Sebagai dosen penguji utama dalam ujian sidang. Serta atas sentuhannya sehingga penulis berkomitmen untuk memilih Usahatani sebagai topik skripsi. 4. Arief Karyadi, SP. MS. Sebagai dosen penguji wakil Departemen dalam ujian sidang. Dosen muda yang berwibawa. 5. Amzul Rifin, SP. MA, atas bimbingannya sehingga penulis mampu menorehkan sebuah prestasi, Juara Pertama diajang Pemikiran Kritis Mahasiswa Nasional. 6. Yeka Hendra Fatika, SP atas pelajaran hidup dan arti sebuah kepercayaan yang tidak akan pernah penulis lupakan. 7. Kakak tercinta, Yadin Adhiputra, dan Adeku sayang, Tita Nursiyah, atas motivasi hidup yang senantiasa mengalir. 8. Sony Trison, SP. MSi, atas penjabaran peta hidup manusia sehingga bisa memilih arah tujuan. 9. Yusuf Kurniawan, SP. MS, atas bantuannya dalam memahami Frontier. 10. Budi Sulistyo, SP. MS, pemberi pencerahan sisi lain kehidupan dan solusi-solusi alternatif. 11. Erick Wahyudyono, beserta jajaran Kabinet BEM KM IPB Bersatu. “Kawan, perjuangan masih panjang dan tidak akan pernah berakhir sampai kita dipanggil oleh-Nya.” 12. Glen Glenardi, MM, Dirut Bank Bukopin, atas motivasi pengugah kesadaran cinta pertanian, kemerdekaan ekonomi, dan pembebasan kemiskinan.
13. Prof. Dr. Djoko Said Damardjati, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Deptan, atas nasehat dan motivasi kebangkitan pertanian. 14. Dr. Ato Suprapto, Dirjen SDM Deptan, atas pesan dan harapan pengentasan kemiskinan kultural dan struktural pertanian. 15. De Castile Al-Fath’ers, keluarga kedua, yang mengukuhkan idealisme. 16. Praktikan kelas A25, B25, A12, dan B12 yang telah memompa semangat pembelajar. “Belajar itu ibadah, berprestasi itu indah”, kata seorang diantaranya.
x
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN...............................................................................................
ii
PENGESAHAN.............................................................................................
v
PERNYATAAN............................................................................................
vi
RIWAYAT HIDUP...................................................................................... .
vii
KATA PENGANTAR.................................................................................. .
viii
DAFTAR ISI.................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL .........................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xviii I PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah .............................................................................
4
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................
6
1.4 Manfaat Penelitian ...............................................................................
6
II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
7
2.1 Karakteristik Padi ...............................................................................
7
2.2 Program Benih Bersertifikasi .............................................................
7
2.3 Benih Bersertifikat .............................................................................
8
2.4 Perbaikan Sistem Usahatani Padi .......................................................
10
2.5 Studi Terdahulu ..................................................................................
15
III KERANGKA PEMIKIRAN ....................................................................
20
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ...........................................................
20
Halaman 3.1.1 Usahatani ................................................................................
20
3.1.2 Konsep Analisis Efisiensi Teknis...........................................
21
3.1.3 Fungsi Produksi Frontier ........................................................
24
3.1.4 Faktor-Faktor Penentu Efisiensi .............................................
28
3.1.5 Ukuran Pendapatan Usahatani ................................................
29
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional .....................................................
31
IV METODE PENELITIAN .........................................................................
33
4.1 Lokasi Penelitian ..............................................................................
33
4.2 Jenis dan Sumber Data .....................................................................
33
4.3 Metode Pengambilan Contoh ...........................................................
33
4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data.............................................
34
4.4.1 Analisis Efisiensi Menggunakan Fungsi Produksi Stochastic Frontier ................................................................
34
4.4.2 Analisis Pendapatan Usahatani...............................................
38
V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN .......................................
40
5.1 Keadaan Umum dan Geografis Daerah Penelitian .............................
40
5.1.1 Letak Geografis ........................................................................
40
5.1.2 Keadaan Sosial Ekonomi..........................................................
41
5.2 Karakteristik Responden .....................................................................
43
5.2.1 Usia Petani .................................................................................
43
5.2.2 Tingkat Pendidikan....................................................................
43
5.2.3 Pengalaman Berusaha Tani .......................................................
44
5.2.4 Luas Lahan dan Status Kepemilikan .........................................
45
5.2.5 Jumlah Anak dan Jumlah Tanggungan Keluarga ......................
46
xii
Halaman 5.2.6 Kondisi Rumah Tempat Tinggal ...............................................
47
VI EVALUASI PROGRAM .........................................................................
49
6.1 Pengolahan Lahan ............................................................................
49
6.2 Penggunaan Benih ............................................................................
51
6.3 Penanaman .......................................................................................
51
6.4 Pemupukan .......................................................................................
53
6.5 Pengendalian Gulma dan Hama Penyakit ........................................
54
VII ANALISIS EFISIENSI ...........................................................................
56
7.1 Pendugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier ..............................
57
7.2 Sebaran Efisiensi Teknis ..................................................................
62
7.3 Sumber-sumber Inefisiensi Teknis ...................................................
63
VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI .........................................
67
8.1 Analisis Penggunaan Sarana Produksi .............................................
67
8.1.1 Benih ........................................................................................
67
8.1.2 Pupuk ........................................................................................
69
8.1.3 Obat-obatan ..............................................................................
70
8.1.4 Tenaga Kerja ............................................................................
71
8.2 Analisis Pendapatan Usahatani Masa Tanam I dan Masa Tanam II ........................................................................
72
8.2.1 Penerimaan Usahatani ..............................................................
72
8.2.2 Struktur Biaya ...........................................................................
75
8.2.3 Pendapatan Usahatani ...............................................................
79
IX KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................
83
9.1 Kesimpulan.......................................................................................
83
xiii
Halaman 9.2 Saran .................................................................................................
83
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
85
LAMPIRAN ..................................................................................................
87
xiv
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Peranan Beras dalam Inflasi di Indonesia, Tahun 2006 ................................
1
2. Produksi Luas Panen dan Produktivitas Lahan Padi di Indonesia Tahun 2001-2006...........................................................................................
2
3. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia, Tahun 2000-2005 ......
3
4. Perkembangan Impor Beras Indonesia, Tahun 2004-2006 ...........................
3
5. Produksi, Luas Panen, Produktivitas Padi Kabupaten Karawang Tahun 2004 – 2005 ........................................................................................
4
6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur di Desa Pasirtalaga Tahun 2007 .................................................................................................... 41 7. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Pasirtalaga Tahun 2007 ................................................................................................... 41 8. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Pokok di Desa Pasirtalaga Tahun 2007 .................................................................... 42 9. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kepemilikan Lahan Pertanian di Desa Pasirtalaga Tahun 2007 ................................................................................. 42 10. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Usia Tahun 2007 ........................... 43 11. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Pendidikan Tahun 2007 ................ 44 12. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Pengalaman Usahatani Tahun 2007 ................................................................................... 45 13. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan Usahatani Tahun 2007 .................................................................................................... 45 14. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan Usahatani Tahun 2007 ................................................................................... 46 15. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Jumlah Anak, Tahun 2006 ............ 47 16. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga Tahun 2006 .................................................................................... 47 17. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Kondisi Atap Rumah Tahun 2006 .................................................................................................... 48 18. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Kondisi Dinding Rumah Tahun 2006 .................................................................................................... 48 19. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Kondisi Lantai Rumah Tahun 2006 .................................................................................................... 48
Nomor
Halaman
20. Jumlah Petani Responden Yang Menggunakan Traktor untuk Mengolah Lahan, di Desa Pasirtalaga, Tahun 2007. ..................................... 49 21. Jumlah Petani Responden yang Menggunakan Pupuk Organik, di Desa Pasirtalaga, Tahun 2007. ............................................................................... 50 22. Jumlah Petani Responden yang Menggunakan Bibit Muda di Desa Pasirtalaga, Tahun 2007 ................................................................................ 52 23. Jumlah Petani Responden yang Menggunakan Jarak Tanam Legowo di Desa Pasirtalaga, Tahun 2007 ................................................................... 53 24. Jumlah Petani Responden yang Menggunakan Pupuk Sesuai Anjuran di Desa Pasirtalaga, Tahun 2007 ..................................................... 54 25. Perbandingan Parameter Fungsi Produksi Stochastic Frontier pada Masa Tanam I dan Masa Tanam II dengan Metode OLS dan MLE ..................... 57 26. Perbandingan Parameter Fungsi Produksi Stochastic Frontier Linier berganda pada Masa Tanam I dan Masa Tanam II dengan MetodeOLSdanMLE…………………………………………………........ 58 27. Perbandingan Elastisitas Fungsi Produksi Stochastic Frontier Linier berganda pada Masa Tanam I dan Masa Tanam II dengan Metode MLE.............................................................................................................. 59 28. Sebaran Efisiensi Teknis Petani Responden Pada Masa Tanam I dan Masa Tanam II........................................................................................ 63 29. Parameter Dugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknis Usahatani Padi ............................................................................................... 64 30. Perbandingan Penggunaan Benih Masa Tanam I dan Masa Tanam II.......... 68 31. Perbandingan Dosis Penggunaan Pupuk pada Masa Tanam I dan Masa Tanam II ........................................................................................ 70 32. Perbandingan Penggunaan Obat Cair dan Padat ........................................... 71 33. Perbandingan Curahan Tenaga Kerja Pada Masa Tanam I dengan Masa Tanam II............................................................................................... 72 34. Penerimaan Nominal Usahatani pada Masa Tanam I dan Masa Tanam II ... 74 35. Perbandingan Penerimaan Riil Usahatani pada Masa Tanam I dan Masa Tanam II ........................................................................................................ 75 36. Perbandingan Biaya Nominal pada Masa Tanam I dan Masa Tanam II ....... 76 37. Perbandingan Biaya Riil pada Masa Tanam I dan Masa Tanam II ............... 79 38. Perbandingan Pendapatan Nominal pada Masa Tanam I dan Masa Tanam II ........................................................................................ 80 39. Perbandingan Pendapatan Riil pada Masa Tanam I dan Masa Tanam II ...... 81
xvi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Konsep efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis…………………………… 23 2. Fungsi Produksi Stochastic Frontier............................……………………. 27 3. Alur Kerangka Pemikiran Operasional…………………………………...... 32
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Output Pengolahan Stochastic Frontier Cobb-Douglas Masa Tanam I…… 88 2. Output Pengolahan Stochastic Frontier Cobb-Douglas Masa Tanam II.…. 89 3. Output Pengolahan Stochastic Frontier Linier Berganda Masa Tanam I...... 90 4. Output Pengolahan Stochastic Frontier Linier Berganda Masa Tanam II.... 91
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Beras merupakan komoditas strategis di Indonesia mengingat 90%1 masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok. Besarnya kebutuhan beras dapat ditunjukkan dalam angka kebutuhan beras nasional hasil rapat koordinasi nasional Menko Perekonomian tahun 2005 yaitu sebesar 30.502.376 ton. Angka kebutuhan beras juga berkorelasi positif dengan jumlah penduduk. Dengan demikian, kebutuhan beras akan meningkat seiring dengan pertambahan penduduk selama upaya untuk diversifikasi pangan belum berjalan secara optimal. Tabel 1 Peranan Beras dalam Inflasi di Indonesia, Tahun 2006 Bulan Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
Inflasi Nasional (%) 1,36 0,58 0,03 0,05 0,37 0,45 0,45 0,33 0,38 0,86 0,34 1,21
Andil Beras (%)
Peranan Beras Dalam inflasi Nasional (%)
0,6 0,39 -0,13 -0,13 0,06 0,07 0,05 0,12 -0,04 -0,03 0,07 0,5
44,12 67,24 16,22 15,56 11,11 36,36 -10,53 -3,49 20,59 41,32
Sumber: BPS, 2006
Selain sebagai komoditas ekonomi yaitu sebagai barang konsumsi, beras juga berperan sebagai komoditas politik sekaligus menjadi cerminan stabilitas
1
Hanny. Beras Makanan Pokok Sumber Protein. www.gizi.net. 6 Februari 2007.
2
negara. Ketersediaan beras nasional dapat mempengaruhi harga secara umum. Hal ini
dapat
ditunjukkan
dalam
peranannya
dalam
mempengaruhi
inflasi
sebagaimana terlihat pada Tabel 1. Kebutuhan beras nasional selama ini sebagian besar dipenuhi dari produksi nasional. Produksi beras nasional dan perkembangannya dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan tabel tersebut, produksi padi tahun 2001 hingga 2006 menunjukkan bahwa terjadi laju pertumbuhan produksi padi per tahun sebesar 1,11 persen. Namun berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa angka laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,34 persen pada tahun 2000-2005, hal ini menunjukan bahwa laju pertumbuhan produksi padi masih berada dibawah laju pertumbuhan penduduk.
Apabila kondisi ini dibiarkan, akan muncul
kekhawatiran terjadinya kekurangan beras di dalam negeri. Tabel 2 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Lahan Padi di Indonesia, Tahun 2001-2006 Tahun
Produksi (000 ton) Luas Panen (000 ha) Produktivitas (ton/ha) Keterangan Sumber
2006*
Laju Pertum buhan (%/thn)
54,15
54,75
1,10
11,92
11,83
11,86
0,23
4,536
4,574
4,614
0,87
2001
2002
2003
2004
2005
50,46
51,49
52,13
54,08
11,50
11,52
11,48
4,388
4,469
4,538
: * Angka Sementara : BPS dan Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan, 2006 (diolah)
Untuk memenuhi kekurangan beras tersebut dalam jangka pendek bisa dilakukan melalui impor beras sebagaimana disajikan pada Tabel 4, namun demikian impor beras bukanlah solusi yang tepat karena memicu distabilitas negara yang ditandai dengan pro-kontra diberbagai kalangan karena impor beras
3
tidak terlepas dari politisasi dan kepentingan golongan tertentu. Selain itu akan menimbulkan ketergantungan pangan terhadap negara lain.
Padahal prestasi
swasembada beras pernah dicapai Indonesaia pada kurun waktu 1984. Tabel 3 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia, Tahun 2000-2005 Laju pertumbuhan penduduk per tahun (%)
Penduduk (ribu) 2000 205132
2004 216382
2005 219205
1990-2000 1,45
2000-2004 1,34
2000-2005 1,34
Sumber: BPS, 2006
Upaya-upaya untuk meningkatkan produksi padi senantiasa dilakukan oleh pemerintah agar kebutuhan beras nasional dapat tercukupi dalam jangka panjang. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi ditempuh melalui upaya intensifikasi lahan, dengan kata lain meningkatkan produktifitas lahan. Karena selama ini
produktifitas lahan
menunjukan
stagnansi.
Berbagai
kajian
menunjukkan bahwa penggunaan sarana produksi, khususnya pupuk dan obatobatan kimia, tidak lagi memberikan peningkatan produksi secara linear (Apriyantono, 2007). Tabel 4 Perkembangan Impor Beras Indonesia, Tahun 2004-2006 Uraian Beras berkulit (padi/gabah) Beras digiling Beras setengah Giling atau giling seluruhnya Beras pecah Jumlah Sumber: BPS, 2006
2006 (Jan-Nop)
2004
2005
6.258,80 24.037,54
1.918,30 1,7
119,84 0
163.419,19 43.151,17 236.866,70
122.637,28 65.059,33 189.616,61
184.475,47 94.229,63 278.824,94
4
Dalam rangka merealisasikan tujuan tersebut maka pemerintah mencanangkan program benih bersertifikat guna meningkatkan produksi dan produktifitas padi.
Kabupaten Karawang dipilih sebagai lokasi pilot project
program benih bersertifikat. Hal ini dilatarbelakangi bahwa Kabupaten Karawang sebagai sentra produksi padi terbesar di Jawa Barat. Selain itu produksi padi Kabupaten Karawang dari tahun 2004 hingga tahun 2005 juga mengalami peningkatan dengan angka pertumbuhan 2,749 persen sebagaimana terlihat pada Tabel 5. Program ini dilaksanakan pada tahun 2006 masa tanam padi bulan September-Februari. Harapannya adalah pada masa tanam ini ketersediaan air mencukupi yang pada akhirnya program dapat berjalan dengan baik sehingga bisa menjadi percontohan kesuksesan program dan bisa diikuti oleh daerah-daerah lainnya diseluruh Indonesia. Tabel 5 Produksi, Luas Panen, Produktivitas Padi Kabupaten Karawang, Tahun 2004 – 2005
Produksi (ton) Luas panen (ha) Produktivitas (ton/ha)
Tahun 2004 1.149.702 186.205 6,174
2005 1.181.315 178.241 6,627
Pertumbuhan (%) 2,749 -4,277 7,337
Sumber: BPS Kab. Karawang, 2006
1.2 Perumusan Masalah Program benih bersertifikat adalah salah satu manivestasi dari program pemerintah untuk meningkatkan produksi padi dalam rangka program ketahanan pangan melalui pendekatan intensifikasi pertanian. Sebagai program intensifikasi pertanian tentu saja membawa teknologi baru dalam pelaksanaannya. Teknologi yang diterapkan diharapkan dapat meningkatkan produksi, produktifitas dan tentu
5
saja pendapatan petani. Jika produksi padi meningkat namun tidak diikuti dengan peningkatan pendapatan petani maka akan merugikan petani. Keberhasilan program ini bukan sekedar meningkatnya produksi yang tentu saja berkaitan erat dengan pendapatan dan kesejahteraan. Namun juga pada tatanan bagaimana petani dapat menerapkan inovasi-inovasi baru yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya. Tantangan yang harus dihadapi adalah adanya kebiasaan petani yang sulit menerima perubahan dalam melaksanakan usahataninya. Hal ini dilandasi kekhawatiran petani bahwa teknologi baru tersebut tidak akan memberikan pengaruh bagi produksi padi mereka. Oleh karena itu, seringkali program yang telah dicanangkan pemerintah kurang berhasil karena petani sasaran tidak bersedia menerapkan inovasi teknologi tersebut. Kondisi di atas bisa saja terjadi dalam pelaksanaan program benih bersertifikat karena program ini tidak hanya sebatas menggunakan benih bersertifikat tanpa ada penerapan teknologi yang lain. Namun, program ini ditunjang pula oleh penerapan inovasi teknologi meliputi : penggunaan benih bersertifikat, penggunaan bibit muda, jarak tanam legowo, penggunaan bahan organik, serta efisiensi pemupukan. Kemudian timbul pertanyaan apakah petani akan menerapkan teknologi baru tersebut sementara petani di lokasi penelitian menerapkan pola usahatani yang sudah biasa mereka lakukan. Keberadaan inovasi teknologi tersebut tentu saja akan mempengaruhi penggunaan faktor produksi usahatani. Pertanyaannya adalah apakah usahatani yang dilaksanakan petani selama ini belum efisien? Kemudian apakah program benih bersertifikat ini akan meningkatkan efisiensi teknis petani? Selain itu,
6
adanya perubahan penggunaan faktor produksi tentunya juga akan mempengaruhi struktur biaya usahatani. Pertanyaannya adalah apakah pada program ini terjadi perubahan struktur biaya usahatani? Selanjutnya, penggunaan faktor produksi juga akan mempengaruhi biaya produksi sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan usahatani. Pertanyaan adalah apakah terjadi perubahan pendapatan usahatani? Apakah meningkatkan pendapatan petani atau justru sebaliknya? 1.3 Tujuan Penelitian Sejalan dengan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengevaluasi aplikasi teknologi dalam program benih bersertifikat. 2. Menganalisis efisiensi teknis petani sebelum dan setelah program. 3. Menganalisis struktur biaya dan pendapatan usahatani padi sebelum program dan setelah program. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Sebagai sarana pengembangan pengetahuan bagi penulis terhadap kondisi pertanian, serta penerapan kebijakan pertanian. 2. Sebagai bahan informasi bagi pemerintah dalam evalusi program serta rencana pelaksanaan kebijakan pertanian selanjutnya. 3. Menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi petani padi di Kabupaten Karawang dalam melakukan usahatani padi.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Padi Menurut karakteristik agronomis, varietas padi digolongkan dalam varietas indica dan japonica. Kedua varietas tersebut memiliki ciri yang sangat berbeda dalam bentuk beras maupun mutu fisikokimia serta teknik budidayanya. Varietas-varietas moderen seperti Ciherang tergolong dalam jenis indica yang kebanyakan merupakan keturunan dari varietas padi Degeo Wogen yang memiliki tinggi tanaman pendek, anakan banyak serta bentuk beras yang langsing (slender). Sebaliknya varietas japonica umumnya memiliki tinggi tanaman yang tinggi, anakan sedikit, bentuk beras yang bulat dan sifat nasi yang lebih pulen serta kadang-kadang aromatik. Varietas padi Ciherang mewakili varietas modern jenis indica
yang
dilepas
berdasarkan
SK
Menteri
Pertanian
No.
836/kpts/TP.240/11/1996. 2.2 Program Benih Bersertifikat Program Benih Bersertifikat adalah bagian dari Program Pengembangan Model Sistem Agroindustri dan Pemasaran Beras Berlabel. Program ini dibawah naungan Departemen Pertanian Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Program ini dimulai pada bulan Juli 2006 hingga Februari 2007. Program ini melibatkan serangkaian sistem agribisnis meliputi on-farm dan off-farm. Untuk memproduksi beras berlabel di dalam negeri diperlukan suatu model pengembangan yang terpadu secara sinergis antara produsen benih, petani padi,
8
penggilingan padi, lumbung desa, lembaga keuangan dan pemerintah sebagai fasilitator dan regulator. Para pelaku agribisnis perberasan perlu dipersiapkan / dibina guna memahami teknis produksi beras berlabel mulai dari panen, pasca panen hingga pengolahan berasnya (benih berlabel, penerapan SNI gabah/beras) sampai kepada manajemen pemasarannya. Dalam pengembangan sistem agroindustri dan pemasaran beras berlabel yang perlu mendapatkan perhatian adalah sistem yang dikembangkan mampu meningkatkan pendapatan produsen beras (petani dan unit penggilingan), sehingga dapat meningkatkan taraf hidup mereka dan menjamin keberlanjutan program beras berlabel ini. 2.3 Benih Bersertifikat Benih tanaman, sebagai sarana produksi utama dalam budidaya tanaman perlu dijaga mutunya, sehingga mampu menghasilkan produksi dan mutu hasil sebagaimana yang diharapkan. Suatu varietas yang telah dilepas, benihnya dinyatakan sebagai benih bina, dalam pengertian produksi dan peredarannya perlu diatur dan diawasi. Mekanisme pengawasan dan pembinaan yang efektif untuk dapat menjamin benih bermutu, adalah melalui sertifikasi benih. Sertifikasi benih ini dapat dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Benih yang lulus sertifikasi merupakan benih yang telah dijamin mutunya baik mutu genetis, fisiologis, maupun fisik dan dapat diedarkan. Untuk menjamin bahwa benih yang diedarkan benar-benar bermutu dan dalam rangka mempermudah pengawasan mutu benih, maka benih yang lulus sertifikasi apabila akan diedarkan wajib diberi label. Hasil pemuliaan sebelum dilepas oleh pemerintah dilarang untuk dikembangkan dan/atau diedarkan.
9
Benih bermutu mempunyai pengertian bahwa benih tersebut varietasnya benar dan murni, mempunyai mutu genetis, mutu fisiologis, dan mutu fisik yang tinggi sesuai dengan standar mutu pada kelasnya. Varietas unggul adalah varietas yang memiliki keunggulan produksi dan mutu hasil, tanggap terhadap pemupukan, toleran terhadap hama penyakit utama, umur genjah, tahan terhadap kerebahan, dan tahan terhadap pengaruh buruk (cekaman) lingkungan. Benih bina adalah benih dari varietas unggul yang telah dilepas, yang produksi dan peredarannya diawasi. Sertifikasi merupakan kegiatan untuk mempertahankan mutu benih dan kemurnian varietas, yang dilaksanakan dengan : a. Pemeriksaan terhadap : 1. Kebenaran benih sumber atau pohon induk; 2. Petanaman dan pertanaman; 3. Isolasi tanaman agar tidak terjadi persilangan liar; 4. Alat panen dan pengolahan benih; 5. Tercampurnya benih; b. Pengujian laboratorium untuk menguji mutu benih yang meliputi mutu genetis, fisiologis, dan fisik; c. Pengawasan pemasangan label. Menurut UU No 12 tahun 1992, yang dimaksud dengan label adalah keterangan tertulis yang diberikan pada benih atau benih yang sudah dikemas yang akan diedarkan dan memuat antara lain tempat asal benih, jenis dan varietas tanaman, kelas benih, data hasil uji laboratorium, serta akhir masa edar benih.
10
2.4 Perbaikan Sistem Usahatani Padi Beras dapat disertifikasi apabila memenuhi berbagai persyaratan diantaranya adalah penerapan teknik budidaya yang baik (good agricultural practices) yang sering disingkat GAP ataupun teknik penanganan pasca panen yang baik (good handling practices) yang sering disingkat GHP. Perkembangan teknologi produksi padi berkembang sejak Bimas hingga sistem rice intensification yang dikenal dengan SRI. Beberapa faktor pengendali hasil padi telah diketahui seperti genetik, manajemen hara, air, ruang tumbuh, organisme pengganggu tanaman (OPT), serta penanganan pasca panen yang benar.
Berdasarkan faktor pengendali produksi tersebut telah diidentifikasi
beberapa teknologi yang siap diterapkan oleh petani program seperti : 1. Penggunaan varietas unggul dan benih yang bersertifikat.
Dalam standar
teknologi yang disarankan untuk diterapkan petani adalah menggunakan varietas Ciherang dengan benih berlabel biru. Benih sertifikat dimaksudkan untuk menjamin kejelasan varietas yang digunakan serta jaminan mutu seperti yang tertuang dalam sertifikat benih tersebut. Benih bersertifikat label biru merupakan benih sebar yang seharusnya digunakan petani, walaupun beberapa petani enggan menggunakan benih kelas ini. Benih unggul baru seperti Ciherang dapat diperoleh di Perum Sanghyang Seri. Dalam standar produksi beras berlabel disyaratkan petani untuk menyimpan sertifikat benih yang digunakan sebagai salah satu dokumen untuk pemeriksaan GAP. Dengan digunakannya varietas unggul bersertifikat merupakan langkah pertama perbaikan sistem produksi beras dalam proses produksi beras berlabel.
11
2. Standar teknologi produksi berikutnya yang berhubungan dengan pengelolaan ruang tumbuh adalah jarak dan sistem pertanaman. Penggunaan jarak tanam dan sistem pertanaman yang tepat dapat menekan persaingan antar tanaman. Salah satu prosedur GAP yang disarankan adalah tanam dengan jarak tanam legowo dan menggunakan bibit muda. 3. Pengelolaan hara. Untuk mencapai produksi yang diharapkan perlu dilakukan pengelolaan yaitu dengan melakukan pemupukan berimbang, dosis spesifik lokal serta aplikasi bahan organik. Masing-masing lahan memiliki kesuburan fisik dan kimia yang berbeda sehingga diperlukan dosis pupuk yang berbeda. Disamping itu untuk efisiensi pemupukan digunakan pengukuran diagram warna daun sebagai indikator dosis pupuk N yang diperlukan sesuai dengan kondisi tanaman. 4. Tataguna air tingkat usahatani perlu diperbaharui dengan menekankan konsep hemat air dan memberikan pengairan pada lahan sawah secara berselang. Kondisi oksidasi-reduksi pada tingkat tertentu diperlukan tanaman padi sawah dalam proses perkembangannya. Penekanan anakan non produktif, efisiensi pupuk, dan keserempakan pematangan gabah sangat tergantung pada sistem pengairan. 5. Manajemen organisme pengganggu. Berbagai hama dan penyakit tanaman padi perlu ditanggulangi. Salah satu wilayah pilot project di Kabupaten Karawang merupakan wilayah endemik hama penggerek batang. Dalam prosedur GAP disarankan petani untuk melakukan pengendalian hama dan penyakit dengan sistem PHT (pengendalian hama dan penyakit terpadu) dengan memperhatikan beberapa prinsip : pengendalian didasarkan pada ambang ekonomi populasi
12
hama/serangan
penyakit,
memadukan
berbagai
cara
pengendalian,
menggunakan pestisida sebagai langkah terakhir dan aplikasinya secara bijaksana. 6. Teknologi pra panen untuk GAP diakhiri dengan penentuan saat panen dan pemanenan yang benar. 7. Dengan standar-standar teknologi yang ditetapkan berdasarkan faktor penentu produktivitas padi sawah diharapkan dapat meningkatkan hasil padi sawah baik kuantitatif maupun kualitatif dalam rangka proses produksi beras berlabel. Adapun secara teknis, dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Penggunaan Benih Bersertifikat • Membeli benih varietas Ciherang berlabel biru dari penangkar atau kios terdekat. • Menggunakan benih sebanyak 25 kg/ha dengan luas pesemaian 300 m2 • Melakukan sortasi benih dengan air garam konsentrasi 4 persen. • Menanam hanya benih yang tenggelam pada larutan garam 4 persen. 2. Pengolahan Tanah • Pengolahan tanah dilakukan tiga kali yaitu bajak, glebeg dan garu atau sekurang-kurangnya 2 kali sehingga tanah melumpur sempurna. • Jerami dibenamkan saat membajak dengan cara jerami dipotong 3 atau 4 dan dibenamkan saat pembalikan tanah pada pembajakan • Jarak waktu antara membajak dengan menggaru adalah 15 hari (2 minggu) 3. Penanaman • Menanam bibit umur maksimal 17 hari
13
• Jarak tanam legowo 2:1 dengan jarak tanam 20x15x40 sehingga diperoleh populasi sekitar 200.000 rumpun/ha. • Menanam 2-3 bibit/lubang tanam • Menanam dangkal (1-2 cm) 4.
Pemupukan • Dosis pupuk ditentukan berdasar petak omisi dan diagram warna daun. Sebagai patokan perhitungan awal digunakan : 200 -250 kg urea/ha, 100-150 kg/ha dan 50-75 kg KCl. Pupuk P dan K seluruhnya diaplikasikan saat tanam. • Pemupukan dasar atau pemupukan N pertama dengan takaran 50-75 kg/ha dilakukan sebelum tanaman berumur 10 hari setelah tanam. Pada pemupukan pertama ini Bagan Warna Daun (BWD) tidak perlu digunakan. Pengukuran dengan BWD diawali pada 25-28 HST, dilanjutkan setiap 7-10 hari sekali sampai fase primordia bunga.
5. Pengairan • Pada saat menanam bibit, air sawah dalam kondisi macak-macak. • Secara berangsur-angsur tanah digenangi setinggi 2,5 cm sampai tanaman berumur 10 hari. • Selanjutnya dibiarkan sehingga air sawah kering sendiri (biasanya dalam waktu 5-6 hari). • Setelah permukaan tanah retak satu hari, sawah kembali diairi dengan tinggi genangan 5 cm.
14
• Selanjutnya biarkan sawah mengering sendiri (5-6 hari), kembali retak satu hari dan digenangi lagi setinggi 5 cm terus diulangi hingga tanaman masuk ke period pembungaan. • Sejak tanaman berbunga hingga 10 hari sebelum panen, lahan terus diairi setinggi 5 cm, kemudian lahan dikeringkan hingga panen. 6. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) • Pengendalian hama keong emas dengan mengeringkan lahan dan air hanya di kemalir atau menjebak telor keong pada ajir bambu dan mematikannya serta secara manual mematikan keongnya. • Pengendalian hama penggerek batang dengan tanam serempak, pengamatan telor dan kupu, dan aplikasi insektisida sistemik pada 3 dan 6 MST. • Pengendalian hama tikus secara fisik atau mekanis dengan penghalau, bubu (jebakan), pagar plastik atau “gropyokan” • Pengendalian hama dan penyakit lainnya dengan musuh alami, pestisida hayati atau pestisida sintetik secara terbatas • Pengendalian gulma diusahakan dilakukan secara manual dengan landak untuk memutus perakaran padi. 7. Panen dan Pasca Panen • Panen dilakukan pada saat masak fisiologis (1/3 ujung masak mati atau mudah rontok) atau apabila diremas >30 persen telah rontok atau kadar air sekitar 25 persen. Biasanya sekitar 32 hari setelah malai muncul. • Panen dilakukan secara potong bawah.
15
2.6 Studi Terdahulu Irawati (2006) melakukan penelitian
studi perbandingan pendapatan
usahatani dan efisiensi faktor-faktor produksi padi untuk petani program Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu PTT dan nonprogram PTT di Kabupaten Karawang. Program ini memiliki kemiripan tujuan dengan Program Benih Bersertifikat yaitu untuk meningkatkan pendapatan petani melalui penerapan teknologi yang spesifik lokasi yang dapat meningkatkan hasil gabah dan mutu beras serta menjaga keserasian lingkungan. Kesamaan lain adalah komponen teknologi yang diterapkan, yaitu: 1) penggunaan Benih Bermutu, 2) pengaturan Jarak Tanam Jajar Legowo, 3) penanaman bibit muda, 4) pemupukan sesuai dengan kebutuhan tanaman. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penerimaan total petani nonprogram
lebih
besar
dibandingkan
dengan
petani
program,
yaitu Rp 11.571.298,84 untuk petani nonprogram dan Rp 10.952.522,52 untuk petani program. Begitu juga dengan pendapatan tunai ataupun pendapatan total. Pendapatan tunai dan pendapatan total petani nonprogram lebih besar dibandingkan dengan petani program. Pendapatan atas biaya tunai untuk petani non program adalah Rp 7.683.263,14 dan pendapatan atas biaya total sebesar Rp 4.743.219,76. Sedangkan pendapatan tunai petani program sebesar Rp 6.849.493,58 dan pendapatan atas biaya total sebesar Rp 4.606.644,07. Ada hal yang menarik pada hasil penelitian ini, yaitu pendapatan petani program justru lebih kecil daripada petani nonprogram. Padahal harga gabah yang diterima petani program lebih besar dibandingkan dengan petani non program, yaitu Rp 1.979,73 untuk petani program dan Rp 1.874,32 untuk petani non
16
program. Ternyata, hal ini terjadi karena total biaya yang harus dikeluarkan petani program lebih besar dibandingkan dengan petani non program. Efisiensi produksi petani program juga belum tercapai. Dengan demikian tujuan untuk peningkatan pendapatan usahatani tidak tercapai bahkan tingkat pendapatan petani program lebih rendah daripada petani nonprogram. Hal ini bisa saja terjadi karena petani program belum menerapkan teknologi yang seharusnya diterapkan karena petani sudah memiliki kebudayaan tersendiri dan juga telah memiliki kelembagaan yang kuat sehingga menjadi kendala dalam penerapan teknologi baru. Namun penelitian ini belum mengungkap ada atau tidaknya pengaruh kelembagaan lokal kususnya kelembagaan hubungan kerja antara petani pemilik dengan buruh tani dalam usahatani padi tersebut. Menurut hasil penelitian Disti (2006) tentang pendapatan dan efisiensi usahatani padi program Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) di Desa Mulyasari, Kabupaten Subang. Menganalisis Faktor produksi usahatani padi dengan menggunakan alat analisis untuk menduga fungsi produksi dengan menggunakan fungsi produksi regresi berganda, model fungsi produksi Cobb Douglas, dan fungsi produksi transsendental. Faktor produksi yang mempengaruhi fungsi produksi adalah benih, urea, SP36, phonska, pupuk cair, organik padat, obat padat, obat cair, dan tenaga kerja. Hasil komputasi dari ketiga model tersebut dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS), maka model terbaik yang menggambarkan pengaruh faktor produksi adalah model Cobb Douglas. Mengenai elasitisitas produksi, elastisitas positif ditunjukkan oleh benih, urea, pupuk cair, organik
17
padat, obat opadat, obat cair, dan tenaga kerja. Sedangkan yang memiliki elastisitas negatif adalah SP36 dan phonska. Namun demikian, penggunaan faktor produksi pada program tersebut belum efisien secara ekonomis. Kesimpulan ini bisa diambil karena rasio Nilai produk marjinal (NPM) dan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) tidak sama dengan satu. Rasio antara NPM dan BKM untuk faktor produksi SP36, phonska bernilai negatif. Koefisien yang bernilai menunjukkan perlunya mengurangi penggunaan SP36 dan phonska agar efisiensi tercapai. Sedangkan untuk benih, urea, pupuk cair, organik padat dan tenaga kerja memiliki nilai rasio NPM-BKM lebih dari satu. Hal ini menunjukkan perlunya penambahan dalam penggunaan pupuk cair, organik padat, dan tenaga kerja agar efisiensi tercapai. Struktur biaya terbesar untuk sarana produksi berturut-turut adalah obat cair, phonska, dan SP36. Dengan demikian jelas terlihat bahwa petani program terlalu berlebihan dalam menggunakan pupuk phonska dan SP36 sehingga menjadikan biaya produksi meningkat. Utama (2002) melakukan penelitian mengenai efisiensi teknis usahatani padi sawah pada peserta Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) di Sumatera. Pengukuran efisiensi teknis serta faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis menggunakan MLE terhadap Cobbdouglas production frontier. Penelitian ini juga membandingkan efisiensi teknis petani anggota SLPHT tahun 1995, petani SLPHT tahun 1999, dan petani non-SLPHT. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh bahwa faktor-faktor produksi nitrogen, tenaga kerja, insektisida, irigasi, dan SLPHT berhubungan positif terhadap produksi dan
18
berpengaruh nyata. Sebaliknya rodentisida berhubungan negatif dan berpengaruh nyata terhadap produksi. Rata-rata efisiensi teknis untuk kelompok petani SLPHT 1995, SLPHT 1999, dan NonSLPHT adalah 64 persen, 67 persen, dan 66 persen. Berdasarkan indeikator ini terdapat peningkatan efisiensi teknis rata-rata dari kelompok petani SLPHT 1999 dibandingkan dengan kelomopok petani SLPHT 1995. Namun demikian distrubusi frekuensi efisiensi teknis ini tidak berbeda nyata secara statistik. Untuk menentukan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi efisiensi teknis pada usahatani padi, maka; tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, tipe irigasi, luas lahan, pendapatan, SLPHT, PHT, dan penyuluhan ditentukan sebagai faktor-faktor yang akan mempengaruhi produksi dalam penelitian ini. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa luas lahan dan pendapatan berpengaruh nyata secara statistik terhadap efisiensi teknis dan bertanda positif. Sedangkan faktor tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, tipe irigasi, SLPHT, PHT, dan penyuluhan tidak berpengaruh nyata terhadap efisiensi. Menarik untuk disimak hasil analisa regresi dari beberapa variabel memiliki efek negatif terhadap efisiensi teknis seperti SLPHT, PHT, dan irigasi. Ini dapat menunjukkan beberapa kendala dalam penerapan PHT dilapangan, seperti: pertama, petani tidak cukup punya waktu dan masih sulit mengatur antara usahatani yang biasa dilakukan mereka dengan penerapan teknologi PHT. Kedua, untuk memonitor aktivitas ini dibutuhkan waktu yang khusus dalam praktiknya. Adhiana (2005) melakukan penelitian mengenai efisiensi ekonomi lidah buaya di Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan fungsi
19
produksi
stochastic
frontier
diperoleh
hasil
bahwa
faktor-faktor
yang
mempengaruhi efisiensi teknis petani lidah buaya adalah umur petani, pendidikan, dan pengalaman. Sedangkan variabel manajemen dan pendapatan luar usahatani ditemukan tidak berpengaruh nyata terhadap efisiensi teknis. Nilai efisiensi teknis rata-rata petani responden bernilai 0,813. Artinya dalam jangka pendek produksi lidah buaya didaerah penelitian memiliki peluang untuk ditingkatkan sebesar 18,7 persen dengan menerapkan keterampilan, pengalaman, dan teknik budidaya oleh petani-petani yang paling efisien.
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Bagian ini berisi mengenai konsep usahatani, konsep analisis efisiensi teknis, fungsi produksi frontier, faktor-faktor penentu efisiensi teknis, dan ukuran pendapatan usahatani. 3.1.1 Usahatani Menurut Soeharjo dan Patong (1973) dalam Irawati (2006), usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang diusahakan oleh perorangan ataupun sekumpulan orang untuk menghasilkan output yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga ataupun orang lain disamping motif mencari keuntungan. Menurut Soekartawi (1986), usahatani adalah organisasi yang pelaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial baik yang terikat geneologis, politis, maupun teritorial sebagai pengelolanya. Menurut Hernanto (1991), ada empat unsur pokok yang harus ada dalam usahatani, yaitu: 1. Lahan Lahan usahatani dapat berupa sawah, lahan pekarangan. Lahan bisa diperoleh dengan cara membuka lahan sendiri, membeli, menyewa, menyakap, hibah, dan wakaf. Menurut Hernanto, lahan mewakili unsur alam dan merupakan modal yang sangat penting. 2. Tenaga Kerja
21
Ada tiga jenis tenaga kerja yang dikenal dalam usahatani yaitu, manusia, ternak, dan mesin. Tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani harus diukur efisiensinya. Tenaga kerja dapat diperoleh dari dalam rumah tangga petani sendiri ataupun dari luar rumah tangga petani. Mempekerjakan tenaga kerja luar harus memberikan imbalan jasa berupa upah. Sedangkan upah bisa berupa uang tunai atau bawon. 3. Modal Modal adalah barang atau uang yang digunakan bersama faktor produksi yang lainnya untuk menghasilkan barang - barang baru yaitu produk pertanian. 4. Pengelolaan Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani menentukan mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor produksi sebaik mungkin sesuai dengan apa yang diharapkan. Ukuran keberhasilan pengelolaan adalah peningkatan produktifitas setiap faktor maupun produktifitas dari usahanya. 3.1.2
Konsep Analisis Efisiensi Teknis Tujuan petani untuk mengelola usahataninya adalah untuk meningkatkan
produksi dan keuntungan. Asumsi dasar dari efisiensi adalah untuk mencapai keutungan maksimum dengan biaya minimum. Kedua tujuan tersebut merupakan faktor penentu bagi produsen dalam pengambilan keputusan untuk usahataninya. Dalam pengambilan keputusan usahatani, seorang petani yang rasional akan bersedia menggunakan input selama nilai tambah yang dihasilkan oleh tambahan input tersebut sama atau lebih besar dengan tambahan biaya yang diakibatkan oleh tambahan input itu. Efisiensi merupakan perbandingan output dengan input yang digunakan dalam suatu proses produksi.
22
Coelli, at.all. (1998), menyatakan bahwa konsep efisiensi dibedakan menjadi tiga, yaitu ; 1) efisiensi teknis (technical efficiency), 2) efisiensi harga (price efficiency), 3) efisiensi ekonomis (economic efficiency). Konsep efisiensi disajikan pada Gb 1. Efisiensi teknis mengukur tingkat produksi yang dicapai pada tingkat penggunaan input tertentu. Seorang petani secara teknis dikatakan lebih efisien dibandingkan petani lain, apabila dengan penggunaan jenis dan jumlah input yang sama, memperoleh output secara fisik yang lebih tinggi, titik A, namun tidak melibatkan faktor harga. Efisiensi harga atau alokatif mengukur tingkat keberhasilan petani dalam usahanya untuk mencapai keuntungan maksimum yang dicapai pada saat nilai produk marjinal setiap faktor produksi yang diberikan sama dengan biaya marjinalnya, titik B. Efisiensi ekonomis adalah kombinasi antara efisiensi teknis dan efisiensi harga yang ditunjukkan oleh titik C. Efisiensi teknis menurut Kumbhakar dan Lovell (2000) dalam Adhiana (2005) adalah “Produsen dikatakan efisien secara teknis jika dan hanya jika tidak mungkin lagi memproduksi lebih banyak output dari yang telah ada tanpa mengurangi sejumlah output lainnya atau dengan menambah sejumlah input tertentu”. Menurut Bakhsoodeh dan Thomson (2001) dalam Adhiana (2005), petani yang efisien secara teknis adalah petani yang menggunakan lebih sedikit input untuk memproduksi sejumlah output pada tingkat tertentu atau petani yang dapat menghasilkan output yang lebih besar dari petani lainnya dengan menggunakan sejumlah input tertentu.
23
A X
y C X
B X
Fungsi produksi frontier, yi = f(Xi; β)exp (Vi - Ui) Py Px Fungsi produksi rata-rata, yi =f(Xi;β)
A=Efisien secara teknis B=Efisien secara alokatif C=Efisien secara ekonomis
x
Gambar 1. Konsep Efisiensi Teknis, Alokatif, dan Ekonomis
Berdasarkan definisi diatas, efisiensi teknis dapat diukur dengan pendekatan dari sisi output dan sisi input. Pengukuran efisiensi teknis dari sisi output merupakan rasio dari output observasi terhadap output batas. Indek efisiensi ini digunakan sebagai pendekatan untuk mengukur efisiensi teknis di dalam stochastic frontier. Pengukuran efisiensi teknis dari sisi input merupakan rasio dari input atau biaya batas (frontier) terhadap input atau biaya observasi. Bentuk umum dari ukuran efisiensi teknis yang dicapai oleh observasi ke-i pada waktu ke-t didefinisikan sebagai berikut (Coelli,et.all. 1998) :
24
Dimana TE adalah efisiensi teknis petani ke-i, exp (-ui) adalah nilai harapan (mean) dari ui, jadi 0 ≤ TEi ≤ 1. Nilai efisiensi teknis tersebut berhubungan terbalik dengan nilai efek inefisiensi teknis dan hanya digunakan untuk fungsi yang memiliki jumlah output dan input tertentu (cross section data). Pada saat produsen telah menggunakan sumber daya pada tingkat produksi yang masih mungkin ditingkatkan, berarti efisiensi teknis tidak tercapai karena adanya faktor-faktor penghambat. Terdapat banyak faktor penghambat efisiensi teknis di dalam proses produksi. Coelli, et al. (1998), membuat model efek inefisiensi teknis diasumsikan bebas dan distribusinya terpotong normal dengan variabel acak yang tidak negatif. Untuk usahatani ke-i pada tahun ke-t, efek iniefisiensi teknis µi diperoleh dengan pemotongan terhadap distribusi N(µit,σ|), dengan rumus : µit = δ0 + zit δ +wit dimana zit adalah variabel penjelas, δ adalah parameter skalar, wit adalah variabel acak. 3.1.3
Fungsi Produksi Frontier Tujuan dari proses produksi yaitu mentransformasikan input menjadi
output secara efisien. Untuk mengukur efisiensi, ada dua konsep fungsi produksi yang perlu diperhatikan perbedaannya, yaitu fungsi produksi batas (frontier production function) dan fungsi produksi rata-rata (average production function). Sedangkan fungsi produksi adalah menggambarkan hubungan antara input dan output yang menunjukkan suatu sumberdaya (input) dapat dirubah sehingga menghasilkan produk tertentu (Doll dan Orazem, 1984). Ada beberapa fungsi
25
produksi yang sering digunakan dalam penelitian diantaranya fungsi produksi Cobb-Douglas, fungsi produksi linier berganda, fungsi produksi transendental. Fungsi produksi yang menggambarkan output maksimum yang dapat dihasilkan dalam suatu proses produksi disebut sebagai fungsi produksi frontier. Fungsi produksi frontier merupakan fungsi produksi yang paling praktis atau menggambarkan produksi maksimum yang dapat diperoleh dari variasi kombinasi faktor produksi pada tingkat pengetahuan dan teknologi tertentu (Doll dan Orazem, 1984). Fungsi produksi frontier diturunkan dengan menghubungkan titik-titik output maksimum untuk setiap tingkat penggunaan input. Jadi fungsi tersebut mewakili kombinasi input-output secara teknis paling efisien. Konsep frontier dan ukuran efisiensi dalam teori produksi diprakarsai oleh Farrel untuk mengukur inefisiensi teknis dan alokatif dalam kerangka deterministik parametrik. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa output dibatasi oleh fungsi produksi deterministik dengan asumsi constan return to scale. Model fungsi produksi stochastic frontier (stichastic production frontier) diperkenalkan Aigner, et. all. (1977). Model stochastic frontier merupakan perluasan dari model asli deterministik untuk mengukur efek-efek yang tak terduga (stochastic effect) di dalam batas produksi. Model fungsi produksi stochastic frontier, secara umum adalah sebagai berikut (Aigner, et. all. (1977) dalam Coelli (1996)) :
26
Yi = xiβ + (Vi - Ui)
i=1,2,3...,n,
Dimana : Yit = produksi yang dihasilkan petani-i pada waktu-t Xit = vektor masukan yang digunakan petani-i pada waktu-t βit = vektor parameter yang akan diestimasi Vit = variabel acak yang berkaitan dengan faktor-faktor eksternal (iklim, hama) sebarannya simetris dan menyebar normal (vit ~ N(o,σv2)) Uit = variabel acak non negatif, dan diasumsikan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis dan berkaitan dengan faktor-faktor internal dan sebaran uit bersifat setengah normal ( uit ~ | N(o,σv2 | ). Stochastc frontier disebut juga “composes error model” karena error term terdiri dari dua unsur, dimana: εi = vi – ui. Variebel εi adalah spesifik error term dari observasi ke-i. Variabel acak vi berguna untuk menghitung ukuran kesalahan dan faktor-faktor diluar kontrol petani (eksternal) seperti iklim, hama dan penyakit yang disebut sebagai gangguan statistik (statistical noise). Sedangkan variabel ui disebut one-side disturbance yang berfungsi untuk menangkap efek inefisiensi. Komponen error yang bersifat internal (dapat dikendalikan petani) dan lazimnya berkaitan dengan kapabilitas manajerial petani dalam mengelola usahataninya direflksikan oleh ui. Komponen ini sebarannya asimetris (one sided) yakni ui ≥ 0. Jika proses produksi berlangsung efisien (sempurna) maka keluaran yang dihasilkan berimpit dengan potensi maksimumnya berarti ui = 0. Sebaliknya jika ui > 0 berarti berada dibawah potensi maksimumnya. Distribusi menyebar setengah normal (ui ~ | N(o,σ2u | ) dan menggunakan metode pendugaan maximum
27
Likelihood (Greene, 1982 dalam Adhiana, 2005). Struktur dasar dari model stochastic production frontier dijabarkan pada Gambar 2. Komponen dari model frontier yaitu f(x β ) yang digambarkan dengan mengaplikasikan asumsi deminising return to scale. Pada gambar 1. dapat dijelaskan bahwa aktivitas produksi dari dua petani diwakili oleh simbol i dan j. Petani i menggunakan input sebesar xi dan memperoleh output sebesar yi. Akan tetapi output batas (frontier) dari petani i adalah yi*, melampaui nilai pada fungsi produksi f(x β). Hal ini terjadi karena aktivitas produksinya dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan, dimana variabel vi bernilai positif (Coelli, et.all.1998).
Frontier output (yi*), exp(xiβ +vi), if vi>0 y
Production function, y=exp f(xβ) Frontier output (yj*), exp(xjβ +vj), if vj<0
yj yi
......................................... X .... .................. X ..
xi
xj
x
Gambar 2. Fungsi Produksi Stochastic Frontier Sumber: (Coelli, et. all. 1998)
28
Sementara itu, petani j menggunakan input sebesar xj dan memperoleh hasil aktual sebesar yj. Akan tetapi hasil batas (frontier) j adalah yj* yang berada dibawah bagian fungsi produksi. Kondisi ini terjadi karena aktivitas produksinya dipengaruhi oleh kondisi yang tidak menguntungkan, dimana vi bernilai negatif. Output frontier i dan j tidak dapat diamati atau diukur karena random error dari keduanya tidak teramati. Kondisi ini menggambarkan bagian deterministik pada fungsi stokastik frontier berada diantara output frontier (Coelli, et.all.1998). 3.1.4
Faktor-faktor Penentu Efisiensi Dalam kontek ekonomi produksi, efisiensi suatu usahatani bersumber
dari efisiensi teknis, efisiensi harga (alokatif), dan efisiensi ekonomi. Namun dalam penelitian ini hanya akan menganalisis efisiensi teknis. Efisiensi teknis bersumber dari faktor internal (faktor yang dapat dikendalikan oleh petani) dan eksternal (tidak dapat dikendalikan), yaitu perubahan teknologi secara netral yang tidak merubah proporsi faktor produksi dan tidak merubah daya subtitusi teknis antar input. Oleh karena faktor eksternal berada diluar kendali petani maka dianggap “given”, contoh: iklim, hama, harga, infrastruktur (Farel, 1957 dalam Coelli, et.all. 1998). Faktor internal berkaitan erat dengan kapabilitas manajerial dalam usahatani. Termasuk dalam hal ini adalah tingkat penguasaan teknologi budidaya serta kemampuan mengolah informasi yang relevan dengan usahataninya sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara tepat (Adhiana, 2005). Faktor-faktor seperti pengalaman, dan pendidikan merupakan indikator penting terkait
dengan
kemampuan
manajerial
petani
termasuk
juga
dalam
kemampuannya mengadopsi teknologi dan mengelola usahataninya sehingga
29
dapat meningkatkan efisiensi. Selain itu faktor-faktor teknologi yang diterapkan petani seperti rasio pupuk urea-tsp, penggunaan bibit muda, penggunaan bahan organik, dan jarak tanam legowo juga merupakan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi efisiensi teknis. 3.1.5
Ukuran Pendapatan Usahatani Menurut Hernanto (1991), penerimaan usahatani yaitu penerimaan dari
semua sumber usahatani meliputi: jumlah penambahan inventaris, nilai penjualan hasil, dan nilai penggunaan rumah serta barang yang dikonsumsi. Pengeluaran usahatani adalah semua biaya operasi tanpa memperhitungkan bunga dari modal usahatani dan nilai kerja pengelolaan usahatani. Pengeluaran ini meliputi pengeluaran tunai, penyusutan benda fisik, pengurangan nilai inventaris, dan nilai tenaga kerja yang tidak dibayar. Soekartawi (1986), menjelaskan istilah-istilah yang biasanya digunakan dalam usahatani, diantaranya: 1. Pendapatan kotor usahatani adalah ukuran hasil perolehan total sumber daya yang digunakan dalam usahatani. Istilah lain untuk pendapatan kotor adalah nilai produksi atau penerimaan kotor usahatani. 2. Pendapatan kotor tunai didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani. Pendapatan kotor tunai usahatani tidak mencakup pinjaman uang untuk keperluan usahatani yang berbentuk benda dan yang dikonsumsi. 3. Pendapatan kotor tidak tunai merupakan pendapatan bukan dalam bentuk uang, seperti hasil panen yang dikonsumsi, digunakan untuk bibit atau pakan ternak,
30
digunakan untuk pembayaran, disimpan digudang, dan menerima pembayaran dalam bentuk benda. 4. Pengeluaran total usaha tani didefinisikan sebagai nilai semua input yang habis terpakai atau dikeluarkan didalam produksi, tetapi bukan tenaga kerja keluarga, petani. Pengeluaran usahatani mencakup pengeluaran tunai dan tidak tunai. 5. Pengeluaran tunai adalah pengeluaran berdasarkan nilai uang. Jadi segala pengeluaran untuk keperluan usahatani yang dibayar dalam bentuk benda tidak termasuk pengeluaran tunai. 6. Pengeluaran tidak tunai adalah semua input yang digunakan namun tidak dalam bentuk uang. Contoh, nilai barang yang dan jasa untuk keperluan usahatani yang dibayar dengan benda atau berdasarkan kredit. 7. Selisih antara pendapatan kotor usahatani dengan total pengeluaran usahatani disebut pendapatan bersih usahatani. Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani akibat dari penggunaan faktor-faktor produksi. 8. Bagian untuk mengukur atau menilai penampilan usahatani kecil adalah penghasilan bersih usahatani. Ukuran ini diperoleh dari pengurangan antara pendapatan bersih dengan bunga yang dibayarkan kepada modal pinjaman, biaya diperhitungkan dari penyusutan. Berdasarkan pengertian yang telah disebutkan, maka diharapkan dapat dikembangkan analisis terhadap pendapatan usahatani. Analisis tersebut adalah analisis pendapatan dan anailis R/C rasio. Adapun tujuan dari kegiatan usahatani ini adalah untuk mencapai produksi dibidang pertanian yang pada akhirnya akan dinilai dengan uang. Nilai tersebut diperoleh setelah mengurangkan atau
31
memperhitungkan biaya yang telah dikeluarkan. Berdasarkan nilai tersebut diharapkan akan mendorong pertani untuk mengalokasikan nilai
yang
diperolehnya dalam berbagai kegunaan yaitu untuk biaya produksi selanjutnya, tabungan dan pengeluaran lain untuk memenuhi kebutuhan keluarga. 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Implementasinya program beras bersertifikat menerapkan kaidah-kaidah good agricultural practised sehingga petani program diharuskan melaksanakan standar produksi padi yang telah ditetapkan dalam bentuk standard operating prosedure (SOP). SOP ini tidak lain adalah bentuk inovasi teknologi usahatani padi yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Adanya inovasi teknologi ini akan menimbulkan perubahan penggunaan input produksi. Oleh karena itu penelitian ini menganalisis perubahan input produksi yang terjadi serta faktor-faktor produksi apa saja yang berpengaruh terhadap produksi padi. Selain itu penelitian ini menganalisis bagaimana struktur biaya yang terbentuk serta pendapatan usahatani padi setelah program berlangsung dan dibandingkan dengan pendapatan sebelum program. Analisis pendapatan dalam penelitian ini meliputi pengukuran tingkat pendapatan dan analisis R/C rasio. Program beras bersertifikat juga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dalam penggunaan input sehingga penelitian ini juga menganalisis bagaimana tingkat efisiensi penggunaan input dalam program benih bersertifikat. Hal ini terkait dengan apakah inovasi teknologi dalam program ini diaplikasikan oleh petani responden ataukah tidak. Karena hal ini akan berdampak pada keberhasilan program tersebut. Adapun bagan kerangka pemikiran operasional disajikan pada Gb 3.
32
Program Benih Bersertifikat
T e k n o l o g i
Harga Input Biaya Produksi Jumlah Input - Pendapatan Usahatani - R/C Output Penerimaan Harga Output
Fungsi Produksi Stochastic Frontier
Peningkatan Pendapatan Usahatani
Efisiensi Teknis Usahatani
Sumber-sumber Inefisiensi
Gambar 3. Alur Kerangka Pemikiran Operasional
IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Pasirtalaga, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposif). Alasan pemilihan Desa Pasirtalaga karena desa tersebut merupakan lokasi Program Benih Bersertifikat. 4.2 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian terdiri atas data primer dan data sekunder, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancara langsung dengan responden menggunakan panduan kuisioner yang telah disiapkan sebelumnya. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September 2006 - Februari 2007. data yang diambil adalah dua data hasil penanaman musim gadu, yaitu penanaman bulan September 2005 - Februari 2006 dan penanaman bulan September 2006 - Februari 2007. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber buku, internet, instansi pemerintah terkait seperti BPS, dan Dinas Pertanian Kabupaten Karawang. 4.3 Metode Pengambilan Contoh Pemilihan responden dilakukan secara purposif karena responden merupakan populasi petani pelaksana Program Benih Bersertifikat yang aktif dalam mengikuti bimbingan. Jumlah responden seluruhnya adalah 31 petani yang
34
tergabung dalam gabungan kelompok tani dengan kepemilikan lahan dalam satu hamparan. 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisis data dilakukan secara deskriptif baik kualitatif maupun kuantitatif. Analisa data secara deskriptif menyangkut analisis evaluasi aplikasi teknologi Good Agricultural Practised (GAP). Untuk evaluasi aplikasi teknologi GAP adalah dengan membandingkan SOP program benih bersertifikat dengan kenyataan yang dilakukan petani. Pengolahan data secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan alat bantu kalkulator dan komputer (software Microsoft Excel, Minitab 14, dan FRONTIER 4.1). Analisis yang akan dilakukan merupakan perbandingan antara kegiatan usahatani sebelum program (selanjutnya disebut Masa Tanam I) dan setelah program (selanjutnya disebut Masa Tanam II). Sebelum dilakukan pengolahan data, terlebih dahulu dilakukan proses editing. Editing merupakan kegiatan untuk memperbaiki kualitas data mentah yang diperoleh dari hasil wawancara dengan responden. 4.4.1 Analisis Efisiensi Menggunakan Fungsi Produksi Stochastic Frontier Analisis data menggunakan alat analisis fungsi produksi stochastic frontier yang digunakan untuk menganalisis efisiensi teknis usahatani dari sisi input dan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis. Dalam penelitian ini fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi stochastic frontier Cobb douglas dan Linier Berganda. Pilihan terhadap bentuk fungsi produksi ini diambil karena lebih sederhana dan jarang menimbulkan multikolinier.
35
Faktor-faktor produksi yang digunakan dalam analisis ini adalah; luas lahan, jumlah benih, urea, TSP, obat hama penyakit, dan tenaga kerja. Dengan memasukkan sebanyak enam peubah bebas kedalam persamaan, maka model persamaan penduga fungsi produksi frontier Cobb-douglas dari usahatani dapat ditulis sebagai berikut: Ln Y = βo + β1LnX1+ β2LnX2 + β3LnX3 + β4LnX4 + β5LnX5+β6LnX6+ vi-ui Sedangkan model persamaan penduga fungsi produksi frontier Linier berganda adalah sebagai berikut: Y = βo + β1X1+ β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5+β6X6+ vi-ui Dimana: Y = Output (padi) dalam satuan ton X1 = Luas lahan dalam satuan Ha X2 = Jumlah benih dalam satuan Kg X3 = Jumlah pupuk urea dalam satuan Kg X4 = Jumlah pupuk Tsp dalam satuan Kg X5 = Jumlah obat dalam satuan L X6 = Jumlah tenaga kerja dalam satuan hok Vi-ui = error term (ui = efek inefisiensi teknis dalam model) Nilai koefisien yang diharapkan : β1, β2, β3, β4, β5, β6 >0. Nilai koefisien positif berarti dengan meningkatnya masukan (input) diharapkan akan meningkatkan produksi padi. Salah satu keuntungan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas adalah jumlah elastisitas dari masing-masing faktor produksi yang diduga merupakan pendugaan skala usaha (return to scale). Bila ∑βj < 1, berarti proses
36
produksi berada pada skala usaha yang menurun (decreasing return to scale). Bila ∑βj =1, berarti proses produksi berada pada skala usaha yang tetap (constan return to scale). Bila Bila ∑βj >1, berarti proses produksi berada pada skala usaha yang meningkat (increasing return to scale). Beattie dan Taylor (1985) menyatakan bahwa fungsi produksi Cobb-Douglas hanya beroperasi pada daerah I (increasing return to scale) dan II (decreasing return to scale). Pada fungsi produksi linier berganda, nilai koefisien dari variabel bukan menunjukkan elastisitas variabel tersebut. Perhitungan koefisien dari setiap variabel ke-i adalah sebagai berikut (Doll dan Orazem, 1984) : Ei = MPPxi APPxi Ei = ∂y . xi ∂xi y Analisis efisiensi teknis dapat diukur dengan menggunakan rumus berikut (Coelli, et al. 1998) :
Dimana TE adalah efisiensi teknis petani ke-i, exp (-ui) adalah nilai harapan (mean) dari ui, jadi 0 ≤ TEi ≤ 1. Nilai efisiensi teknis tersebut berhubungan terbalik dengan nilai efek inefisiensi teknis dan hanya digunakan untuk fungsi yang memiliki jumlah output dan input tertentu (cross section data). Metode inefisiensi teknis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada model efek inefisiensi teknis yang dikembangkan oleh Coelli, et al. (1998).
37
Variabel ui yang digunakan untuk mengukur efek inefisiensi teknis, diasumsikan bebas dan distribusunya terpotong normal dengan N (µi, σ2). Untuk menentukan nilai parameter distribusi (µi) efek inefisiensi teknis pada penelitian ini digunakan rumus sebagai berikut : µi = δ0 + z1δ1 + z2δ2 + z3δ3 + z4δ3 + z5δ3 + z6δ3 + δ3wi dalam penelitian ini, faktor atau variabel yang diperkirakan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis petani adalah: µi = efek inefisiensi teknis z1 = pengalaman petani dalam satuan tahun z2 = pendidikan formal petani dalam satuan tahun z3 = umur bibit dalam satuan hari z4 = rasio urea-TSP z5 = dummy bahan organik z6 = dummy legowo agar konsisten maka pendugaan parameter fungsi fungsi produksi dan inefiseiensi function dilakukan secara simultan dengan Frontier 4.1 (Coelli, 1996). Pengujian parameter stochastic frontier dan efek inefisiensi teknis dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama merupakan pendugaan parameter βj dengan menggunakan metode OLS. Tahap kedua merupakan pendugaan seluruh parameter β0, βj, varians ui dan vi dengan menggunakan metode Maximum Likelihood (MLE) pada tingkat kepercayaan 1%, 5%, 10% dan 15%, sedangkan kriteria uji yang digunakan adalah uji generalized likelihood-ratio satu arah, dengan persamaan uji sebagai berikut :
38
[ { }] = - 2{Ln[L(H0) ] – Ln [L(H1) ] }
LR = -2 Ln
Dimana L (H0) dan L(H1) masing-masing adalah nilai fungsi likelihood dari hipotesis nol dan hipotesis alternatif.
Kriteria uji: LR error satu sisi > χ2restriksi (tabel Kodde dan Palm) maka tolak Ho LR error satu sisi < χ2restriksi (tabel Kodde dan Palm) maka terima Ho Jika Ho : γ = δ= δ1…. ∆3=0, menyatakan bahwa efek inefisiensi teknis tidak ada dalam model fungsi produksi. Jika hipotesis ini diterima, maka model fungsi produksi rata-rata sudah cukup mewakili data empiris. Nilai γ merupakan kontribusi dari efisiensi teknis didalam efek residual total. 4.4.2 Analisis Pendapatan Usahatani Pendapatan usahatani dibedakan menjadi dua, yaitu: pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Secara umum pendapatan diperoleh dari penerimaan dikurangi dengan biaya yang telah dikeluarkan. Penerimaan usahatani merupakan nilai total produksi yang dihasilkan. Tingkat pendapatan usahatani dapat dinyatakan dalam persamaan matematika sebagai berikut:
39
π tunai = NP – BT π total = NP – (BT+BD) Keterangan: π tunai
: Tingkat pendapatan atas biaya tunai
π total
: Tingkat pendapatan atas biaya total
NP
: Nilai produk yang merupakan hasil perkalian jumlah output (Kg) dengan harga (Rp)
BT
: Biaya Tunai (Rp)
BD
: Biaya diperhitungkan (Rp)
Analisis pendapatan usahatani disertai pengukuran R/C rasio. Rasio ini merupakan perbandingan antara penerimaan kotor yang diterima petani dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam proses produksi. Usahatani dapat dikatakan menguntungkan apabila R/C rasio lebih besar dari pada satu. Semakin besar nilai R/C rasio semakin menguntungkan usahatani tersebut. Perhitungan rasio R/C dapat dirumuskan sebagai berikut:
V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
5.1 Keadaan Umum dan Geografis Daerah Penelitian Gambaran umum daerah penelitian meliputi gambaran mengenai geografis, sosial ekonomi. Bagian ini juga menjelaskan mengenai karakteristik responden yang digunakan dalam penelitian. 5.1.1 Letak Geografis Desa Pasirtalaga terletak di Kecamatan Talagasari Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat. Desa Pasirtalaga terletak pada ketinggian antara 10 – 15 meter dari permukaan air laut, dengan rata-rata hujan selama lima tahun terakhir mencapai 1009,25 mm. Kondisi suhu rata-rata harian 360 C. Kondisi topografi adalah dataran rendah dengan kedalaman solum tanah antara 100-200 cm. Secara administratif, Desa Pasirtalaga berbatasan dengan: - Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Telagasari - Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Lemah Mulya - Sebelah Barata berbatasan dengan Desa Majalaya - Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Telagamulya Luas wilayah Desa Pasirtalaga adalah 217,244 ha dengan luas pemukiman seluas 43,952 ha (20,23 persen), perkantoran 4,092 ha (1,88 persen), sawah irigasi seluas 160 ha (73,65 persen). Sebagian sisanya adalah sarana umum seluas 9,2 ha (4,23 persen).
41
5.1.2 Keadaan Sosial Ekonomi Jumlah penduduk Desa Pasirtalaga adalah sebanyak 6.357 orang dengan komposisi laki-laki sebanyak 3.207 orang dan perempuan sebanyak 3.050 orang serta jumlah kepala keluarga sebanyak 1.554 KK. Sebaran umur paling banyak adalah umur antara 21-30 tahun yaitu sebanyak 20,36 persen. Selengkapnya disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur di Desa Pasirtalaga, Tahun 2007 Umur (Tahun) 0-10 11-20 21-30 31-40 41-50 >50 Jumlah
Jumlah (Orang) 1.157 1.258 1.294 1.091 916 641 6.357
Persentase (%) 18,20 19,79 20,36 17,16 14,41 10,08 100,00
Sumber : Daftar Isian Potensi Desa Pasirtalaga, 2006
Berdasarkan Tabel 7 tingkat pendidikan akhir maka penduduk Desa Pasirtalaga kebanyakan berpendidikan tamatan SD atau sederajat yaitu sebanayak 2.709 orang atau 42,6 persen. Tingkat pendidikan tertinggi adalah master (S2) yaitu satu orang. Tabel 7 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Pasirtalaga, Tahun 2007 Tingkat Pendidikan Belum Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD/Sederajat SLTP/ Sederajat SLTA/ Sederajat Diploma Sarjana Master Jumlah
Jumlah (Orang)
Sumber : Daftar Isian Potensi Desa Pasirtalaga, 2006
713 78 2709 1796 794 128 46 1 6.357
Persentase (%) 11,22 1,23 42,6 28,25 12,49 2,01 0,72 0,02 100,00
42
Mata pencaharian pokok penduduk di Desa Pasirtalaga sebagian besar adalah buruh/ swasta sebanya 654 orang atau 46,51 persen. Mata pencaharian pokok terbesar kedua adalah buruh tani dan terbesar ketiga adalah petani yaitu sebanyak 172 orang atau 12,23 persen. Selengkapnya disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Pokok di Desa Pasirtalaga, Tahun 2007 Mata Pencaharian Petani Buruh tani Buruh/ swasta Pegawai negeri Pengrajin Pedagang Peternak Montir Dokter Jumlah
Jumlah (Orang) 172 342 654 138 1 92 1 5 1 1.406
Persentase (%) 12,23 24,32 46,51 9,82 0,07 6,54 0,07 0,35 0,07 100,00
Sumber : Daftar Isian Potensi Desa Pasirtalaga, 2006
Berdasarkan pemilikan lahan pertanian maka dapat diketahui bahwa sebanyak 6 rumah tangga petani memiliki lahan lebih dari satu ha. Sedangkan kepemilikan lahan terbanyak adalah kurang dari 0,5 ha yaitu sebanyak 142 rumah tangga petani atau sebanyak 48,79 persen. Dengan demikian persentase terbanyak golongan petani di Desa Pasirtalaga adalah petani gurem dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 ha. Tabel 9 Jumlah Penduduk Berdasarkan Kepemilikan Lahan Pertanian di Desa Pasirtalaga, Tahun 2007 Kepemilikan Memiliki lebih dari 1 ha Memiliki 0,5-1 ha Memiliki kurang dari 0,5 ha Tidak memiliki Jumlah Rumah Tangga Petani
Jumlah (RTP)
Sumber : Daftar Isian Potensi Desa Pasirtalaga, 2006
6 101 142 42 291
Persentase (%) 2,06 37,71 48,79 14,43 100,00
43
5.2 Karakteristik Responden Karakteristik responden pada bagian ini meliputi usia tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani, luas lahan dan status kepemilikan lahan, jumlah anak dan tanggungankeluarga, dan kondisi rumah tempat tinggal. Kondisi rumah disertakan agar diperoleh gambaran umum kehidupan ekonomi dari responden. 5.2.1 Usia Petani Petani responden yang mengikuti program benih bersertifikat di lokasi penelitian berusia antara 34-70 tahun. Petani responden tersebut dikelompokkan menjadi responden usia 15-25 tahun, 26-35 tahun, 36-45 tahun, 46-55 tahun, 5665 tahun, 66-75 tahun, dan 76-85 tahun. Berdasarkan data pada tabel 10 Dapat diketahui bahwa sebagian besar petani responden berada pada usia selang usia 5665 tahun sebesar 32,43 persen. Namun demikian sebagian besar petani responden masih berada pada rentang usia produktif antara 20-65 tahun yaitu sebesar 93,55 persen. Sedangkan usia rata-rata responden adalah 53 tahun. Selengkapnya disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Usia, Tahun 2007 Usia (tahun) 15-25 26-35 36-45 46-55 56-65 66-75 jumlah
Jumlah (orang)
Persentase (%) 0 1 6 10 12 2 31
0,00 2,70 16,22 27,02 32,43 5,41 100,00
5.2.2 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan petani responden bervariasi mulai tidak sekolah hingga diploma. Tingkat pendidikan sebagian besar petani responden adalah SD
44
mencapai 64,52 persen. Selengkapnya disajikan pada Tabel 11. Tingkat pendidikan mempunyai pengaruh terhadap pengambilan keputusan untuk mengelola usahataninya. Petani yang memiliki pendidikan tinggi akan selalu berhati-hati
dalam
mengambil
keputusan
dengan
terlebih
dahulu
memperhitungkan resiko yang akan dihadapi dan mampu mengadopsi inovasi terknologi yang ada. Sedangkan petani dengan pendidikan rendah cenderung mengelola usahataninya sesuai kebiasaan secara turun temurun. Tabel 11 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan, Tahun 2007 Tingkat Pendidikan Tidak sekolah SD SLTP SMU Diploma Jumlah
Jumlah (Orang) 4 20 1 3 3 31
Persentase (%) 22,58 64,52 3,23 9,68 9,68 100,00
5.2.3 Pengalaman Berusahatani Padi Pengalaman usahatani merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produksi padi. Pengalaman petani responden bervariasi antara tiga tahun hingga 50 tahun. Pada Tabel 12, menggambarkan bahwa persentase tertinggi pengalaman usahatani selama 31-40 tahun yaitu sebesar 32,26 persen dengan pengalaman ratarata 25 tahun.
45
Tabel 12 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Pengalaman Usahatani, Tahun 2007 Pengalaman Usahatani (Tahun) 1-10 11-20 21-30 31-40 41-50 51-60 jumlah
Jumlah (Orang)
Persentase (%) 7 6 5 10 3 0 31
22,58 19,35 16,13 32,26 9,68 0 100,0
Hal ini menunjukkan bahwa petani responden sudah berpengalaman dalam mengelola usahataninya. Pengalaman usahatani apabila diimbangi dengan input
dan teknologi yang baik tentu akan menjadi faktor pendukung untuk
meningkatkan produktifitas usahatani padi. 5.2.4 Luas Lahan dan Status Kepemilikan Luas lahan usahatani usahatani yang dimiliki responden beragam yaitu luas kurang dari 0,5 ha hingga 10 ha. Sebagian besar petani responden memiliki luas lahan lebih besar dari satu ha sebesar 41,93 persen. Petani responden yang memiliki luas lahan 0,5-1 ha sebesar 32,26 persen. Sedangkan jumlah petani responden dengan kepemilikan lahan <5 ha merupakan kelompok terkecil yaitu sebesar 25,81 persen. Selengkapnya disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan Usahatani, Tahun 2007 Luas Lahan (Ha) < 0,5 0,5 – 1 >1 jumlah
Jumlah (Orang) 8 10 13 31
Persentase (%) 25,81 32,26 41,93 100,00
46
Dengan demikian berdasarkan luas lahan usahataninya, maka responden penelitian ini rata-rata memiliki lahan 1,50 ha sehingga dapat dikelompokkan ke dalam petani besar. Kepemilikan lahan petani responden bervariasi. Petani responden ada yang memliki lahan sendiri, sakap, gadai. Selain itu juga terdapat petani responden yang memiliki lahan sendiri tetapi juga memiliki lahan sakap. Berdasarkan Tabel 14 status kepemilikan lahan terdapat 35,47 persen petani responden memiliki lahan sendiri. Sedangkan lahan sakap sebesar 54,84 persen. Status kepemilikan lahan berpengaruh dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan usahataninya. Tabel 14
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan Usahatani, Tahun 2007
Status Kepemilikan Milik sendiri Sakap Gadai Milik Sendiri dan sakap Sakap dan gadai Jumlah
Jumlah (orang) 11 17 1 1 1 31
Persentase (%) 35,47 54,84 3,23 3,23 3,23 100,00
5.2.5 Jumlah Anak dan Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah anak yang dimiliki responden bervariasi antara 0 – 8 orang. Persentase terbesar adalah petani responden dengan jumlah anak kurang dari 3 orang yaitu sebesar 19,36 persen. Sedangkan persentase terkecil adalah petani responden dengan jumlah anak lebih dari 5 yaitu sebesar 16,12 persen. Rata-rata petani responden memiliki jumlah anak 4 orang. Dengan demikian petani responden termasuk kedalam keluarga besar. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 15.
47
Tabel 15 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Jumlah Anak, Tahun 2006 Jumlah anak
Jumlah (orang)
<3 3-5 >5 jumlah
6 20 5 31
Persentase (%) 19,36 64,52 16,12 100,00
Tanggungan keluarga petani responden rata-rata adalah 2 orang. Sehingga beban yang dipikul petani tidak begitu berat untuk menghidupi keluarganya. Jumlah tanggungan petani responden terbesar adalah < 3 orang sebesar 90,32 persen. Sedangkan responden yang memlikiki tanggungan keluarga lebih dari 5 orang adalah 3,23 persen yaitu sebanyak 1 orang saja. Selengkapnya disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga, Tahun 2006 Jumlah tanggungan <3 3-5 >5 jumlah
Jumlah (orang) 28 2 1 31
Persentase (%) 90,32 6,45 3,23 100,00
5.2.6 Kondisi Rumah Tempat Tinggal Berdasarkan kondisi tempat tinggal petani responden, Tabel 17 dapat diketahui bahwa kondisi ekonomi keluarga baik. Hal ini dapat diketahui berdasarkan kondisi atap rumah petani responden semuanya adalah genting. Tidak ada satupun petani responden menggunakan atap rumahnya menggunakan daun rumbia.
48
Tabel 17 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Kondisi Atap Rumah, Tahun 2006 Kondisi Atap Rumah Genting Daun rumbia jumlah
Jumlah (orang) 31 0 31
Persentase (%) 100,00 0,00 100,00
Berdasarkan kondisi dinding rumah petani responden sebesar 29 orang responden atau 93,55 persen sudah menggunakan tembok. Hanya tiga orang petani yang masih menggunakan papan/bilik sebagai dinding rumahnya. Tabel 18 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Kondisi Dinding Rumah, Tahun 2006 Kondisi Dinding Rumah Papan/bilik Tembok Jumlah
Jumlah (orang)
Persentase (%) 2 29 31
6,45 93,55 100,00
Berdasarkan kondisi lantai rumah petani responden juga dapat diketahui bahwa sebesar 45,16 persen petani responden menggunakan keramik, 48,38 persen menggunakan ubin, dan 3,23 persen menggunakan kayu dan tanah. Hal ini menginformasikan bahwa kondisi ekonomi petani responden sudah baik. Tabel 19 Sebaran Petani Responden Berdasarkan Kondisi Lantai Rumah, Tahun 2006 Kondisi Lantai Rumah Keramik Ubin Kayu Tanah Jumlah
Jumlah (orang) 14 15 1 1 31
Persentase (%) 45,16 48,38 3,23 3,23 100,00
VI EVALUASI PROGRAM
Proses produksi dalam usahatani padi terdiri atas: pengolahan tanah, pembibitan, penanaman, penyiangan, pemupukan, pemberantasan hama, dan pemanenan. Dalam program benih bersertifikat ini petani responden dihadapkan pada Standar Operation Prosedure (SOP) yang harus dilaksanakan dalam usahataninya yang berupa inovasi teknologi. Adapun teknologi tersebut berupa: penggunaan benih unggul bersertifikat, penggunaan bibit muda, jarak tanam legowo, penggunaan pupuk berimbang, serta penggunaan pupuk organik. 6.1 Pengolahan Lahan Kegiatan utama dari pengolahan lahan adalah pembajakan. Pembajakan dilakukan selama dua kali. Berdasarkan Tabel 20 dapat diketahui bahwa semua petani responden melakukan pembajakan menggunakan traktor. Penggunaan traktor sudah lama dilakukan petani dilokasi penelitian karena lebih cepat dan biaya lebih murah. Selain itu kondisi geografis juga sangat memungkinkan penggunaan traktor. Adapun biaya traktor bervariasi antar petani yaitu sebesar Rp 400.000-Rp 500.000 per ha. Tabel 20 Jumlah Petani Responden Yang Menggunakan Traktor untuk Mengolah Lahan, di Desa Pasirtalaga, Tahun 2007 Pengolahan tanah Traktor Ternak jumlah
Jumlah (orang) 31 0 31
Persentase (%) 100,00 0,00 100,00
Pada saat pengolahan lahan juga dinjurkan untuk menggunakan pupuk organik. Namun demikian hanya tiga orang petani yang menggunakan pupuk
50
organik karena petani responden tidak terbiasa menggunakannya. Selengkapnya disajikan pada Tabel 21. Adapun aplikasinya adalah ditabur pada saat pengolahan lahan. Tabel 21 Jumlah Petani Responden yang Menggunakan Pupuk Organik, di Desa Pasirtalaga, Tahun 2007 Penggunaan pupuk organik Menggunakan Tidak menggunakan Jumlah
Jumlah (orang) 3 28 31
Persentase (%) 9,68 90,32 100,00
6.2 Penggunaan Benih Varietas yang ditanam petani responden adalah Ciherang karena varietas ini adalah varietas unggulan di lokasi penelitian. Selain itu seluruh petani responden menggunakan benih bersertifikat karena petani responden adalah petani program yang mendapatkan benih bersertifikat secara gratis. Sebelum adanya program ini petani menggunakan benih hasil panen sebelumnya, atau benih yang berasal dari penangkar. Petani belum menggunakan benih bersertifikat dengan alasan harganya mahal sehingga petani lebih memilih menggunakan
benih
lokal.
Disamping
itu
petani
menganggap
bahwa
produktivitasnya sama. Adapun dosis benih yang dianjurkan untuk digunakan adalah 25 kg per ha. Sedangkan harga benih bersertifikat adalah Rp 4.100,00 per kg. Dalam praktik di lapangan ada petani yang menggunakan benih melebihi dosis yang dianjurkan. Hal ini terjadi karena petani merasa khawatir akan terjadi kekurangan benih pada saat penanaman. Proses-proses yang dilakukan petani responden dalam pembibitan adalah sebagai berikut: perendaman, pemeraman, penyemaian, pemupukan, dan juga
51
pengendalian hama penyakit. Benih yang akan dijadikan bibit direndam dalam air dengan larutan garam 4 persen selama tiga hari dua malam (60 jam). Perendaman dilakukan agar terpilih benih yang baik sehingga hanya benih yang tenggelam saja yang digunakan. Penggunaan larutan garam ini berfungsi untuk mempercepat hilangnya masa dormansi sehingga merangsang perkecambahan. Setelah itu benih dicuci kemudian diperam dalam karung selama dua hari dua malam. Selama pemeraman, benih disiram dengan air untuk menjaga kelembaban. Tahap selajutnya adalah persemaian. Lokasi persemaian juga dilakukan ditempat penanaman (sawah). Benih sebanyak 25 kg memerlukan lahan seluas 300 m2. Selama persemaian benih dipupuk dan diberi fungisida. 6.3 Penanaman Usia bibit yang digunakan petani responden biasanya adalah 21 hari. Sedangkan anjuran dalam program beras bersertifikat mengenai pemindahan bibit dari persemaian ke lahan adalah pada saat usia bibit masih muda yaitu usia maksimal 17 hari. Namun demikian sebanyak 29 petani (93,35 persen) tidak melaksanakan anjuran ini karena beberapa alasan diantaranya; 1) khawatir bibit akan mati karena terendam air 2) merebaknya hama keong mas sehingga khawatir apabila menggunakan bibit muda akan habis dimakan keong mas, 3) jumlah anakan sedikit pada saat masih usia bibit kurang dari 17 hari, 4) peran odongodong sebagai pelaku penanaman enggan untuk menanam karena bibit terlalu kecil. Selengkapnya ditampilkan pada Tabel 22.
52
Tabel 22 Jumlah Petani Responden yang Menggunakan Bibit Muda di Desa Pasirtalaga, Tahun 2007 Mengunakan bibit muda Ya Tidak jumlah
Jumlah (orang)
Persentase (%) 2 29 31
6,45 93,35 100,00
Penggunaan tenaga kerja dalam kegiatan penanaman menggunakan bentuk kelembagaan hubungan kerja dengan nama odong-odong. Odong-odong adalah bentuk kelembagaan hubungan kerja antara pemilik lahan dengan buruh tani. Odong-odong adalah kelompok buruh tani yang membentuk grup sosial yang melaksanakan fungsi kerja melakukan penanaman (tandur). Setiap grup odongodong terdiri atas 30-40 orang dengan jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah anggota pria. Setiap odong-odong dipimpin oleh seorang ketua yang bertanggungjawab terhadap pembuatan kontrak kerja dengan pemilik lahan. Biaya yang harus dikeluarkan petani untuk menggunakan odong-odong adalah sebesar Rp 400.000,00 per ha. Semua petani responden menggunakan odong-odong karena tidak adanya buruh tani dengan sistem upah lepas atau harian. Dalam hal ini odong-odong memiliki posisi tawar yang tinggi terhadap kontrak penanaman (tandur) dengan pemilik lahan. Hal ini dapat dilihat dalam pengambilan kepustusan petani untuk menerapkan bibit muda ternyata dipengaruhi juga oleh odong-odong. Berdasarkan kondisi ini maka kelembagaan odong-odong ternyata berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan menerapkan inovasi teknologi khususnya dalam aplikasi pola penanaman bibit muda. Pola tanam yang dilakukan petani responden di daerah penelitian menggunakan sistem caplak dengan ukuran 24 x 24 cm, dan 25 x 25 cm.
53
Sedangkan anjuran dalam program benih bersertifikat ini adalah menanam dengan jarak tanam pola legowo 2:1 dengan jarak tanam 20 cm x15 cm x40 cm sehingga diperoleh populasi sekitar 200.000 rumpun per ha. Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui bahwa hanya 19,35 persen atau 6 petani responden saja yang menggunakan jarak tanam legowo 2:1. Hal ini terjadi karena penggunaan jarak tanam legowo akan meningkatkan biaya tanam yang diminta oleh odong-odong yaitu sebesar Rp 500.000,00 per ha. Hal ini terjadi karena odong-odong kesulitan dalam penanaman dan caplak yang digunakan tidak tersedia. Tabel 23 Jumlah Petani Responden yang Menggunakan Jarak Tanam Legowo di Desa Pasirtalaga, Tahun 2007 Jarak tanam Biasa (24 X 24), (25 X 25) Legowo 2:1 Jumlah
Jumlah (orang) 25 4 31
Persentase (%) 87,10 12,90 100,00
6.4 Pemupukan Jenis pupuk yang digunakan petani responden adalah pupuk kimia. Hanya empat responden yang menggunakan pupuk organik pada masa tanam sebelum program dan empat responden pada periode program. Padahal penggunaan pupuk organik sudah dianjurkan dalam program, namun petani responden tidak melaksanakannya. Petani lebih memilih pupuk kimia karena lebih mudah penggunaannya. Pupuk kimia yang digunakan oleh petani responden pada periode sebelum program dan setelah program adalah urea dan TSP. Namun demikian ada petani responden yang menggunakan pupuk KCl, dan ZA yaitu sebanyak tiga
54
responden. Dosis yang dianjurkan dalam program adalah urea 200-250 kg/ ha dan TSP 100-150 kg/ ha. Hanya 14 responden yang melaksanakan, sedangkan 17 petani responden belum mengikuti anjuran. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 24. Harga pupuk urea pada periode program adalah berkisar antara Rp 1.200,00 Rp 1.320,00 per kg. Sedangkan harga pupuk TSP adalah Rp 1700,00 per kg. Petani responden memperoleh pupuk dari KUD. Pemupukan dilakukan dua kali dalam satu musim tanam. Pemupukan pertama adalah setelah 15-20 hari setelah tanam tanam dan pemupukan kedua dilakukan 30-35 hari setelah tanam. Pemupukan diaplikasikan setelah dilakukan penyiangan. Tabel 24 Jumlah Petani Responden yang Menggunakan Dosis Pupuk Sesuai Anjuran di Desa Pasirtalaga, Tahun 2007 Dosis Pupuk Sesuai Anjuran Melaksanakan Tidak melaksanakan Jumlah
Jumlah (Orang) 14 17 31
Persentase (%) 45,16 54,84 100,00
6.5 Pengendalian Gulma dan Hama Penyakit Petani responden melakuan pengendalian gulma atau penyiangan dua kali dalam satu musim. Penyiangan dilakukan pada saat tanaman berumur 15-20 hari setelah tanam dan 30-35 hari setelah tanam. Selain itu petani responden juga melakukan penyiangan yang ketiga apabila pertumbuhan gulma begitu cepat. Pelaku penyiangan dilokasi penelitian adalah penceblok. Penceblok adalah buruh tani tetap yang melakukan tugas penyiangan dan pemanenan. Penceblok ini memiliki kewajiban untuk melakukan penyiangan pada lahan sawah yang menjadi tanggungannya. Dalam melaksanakan pekerjaannya, penceblok penuh tanggung jawab. Hal ini terjadi karena penceblok ini juga mengharapkan
55
hasil panen yang baik. Sehingga apabila hasil panen baik penceblok juga akan memperoleh bagi hasil yang baik pula. Dengan demikian ada ikatan rasa kepemilikan penceblok terhadap lahan sawah tanggungannya. Sehingga hubungan kelembagaan kerja ceblok ini menguntungkan bagi pemilik lahan. Karena adanya pengawasan ganda, yaitu pengawasan oleh pemilik sawah dan pengawasan yang dilakukan oleh penceblok. Pengendalian hama menjadi tanggungan pemilik lahan. Pengendalian hama dilakukan dengan penyemprotan pestisida. Pestisida yang digunakan berbentuk padat dan cair. Pestisida padat yang digunakan oleh petani responden adalah; buldog, dan nostar. Sedangkan pestisida cair yang digunakan adalah: delcin, meteor, spontan, score,baycarb, amate, bajay, gejora, pastac, trobos, dometrin, reagent, dan acodan. Petani responden umumnya melakukan penyemprotan hama untuk pengendalian. Sehingga petani melakukan penyemprotan ketika hama baru muncul dan sesungguhnya belum saatnya disemprot. Hal ini sesungguhnya akan meningkatkan biaya produksi. Namun ada kekhawatiran akan ledakan hama, sehingga petani lebih memilih melakukan pencegahan.
VII ANALISIS EFISIENSI
Selama ini yang dihadapkan pada kita adalah bahwa komoditas pertanian mempunyai tingkat produktivitas yang rendah. Kemudian diikuti dengan tingkat efisiensi yang rendah. Secara empiris, petani tidak selalu dapat mencapai tingkat efisiensi yang tinggi. Hasil yang dicapai merupakan resultante dari pengaruh faktor-faktor yang sifatnya tidak dapat dikendalikan oleh petani dan faktor-faktor yang sifatnya dapat dikendalikan oleh petani, sehingga dapat diperbaiki (Syam, 2002). Secara garis besar, proses produksi tidak efisien karena dua hal tersebut. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengestimasi tingkat efisiensi teknis adalah melalui pendekatan dengan stochastic production frontier seperti telah dibahas pada metodologi penelitian. Bagian ini akan membahas analisis pendugaan fungsi produksi usahatani, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi produksi usahatani, serta menganalisis efisiensi teknis usahatani dan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani. Analisis ini juga membandingkan fungsi produksi dan efisiensi teknis pada masa tanam I dan masa tanam II. Penelitian
ini menggunakan stochastic frontier dengan
metode
pendugaan Maximum Likelihood (MLE) yang dilakukan melalui proses dua tahap. Tahap pertama menggunakan metode OLS untuk menduga parameter teknologi dan input-input produksi, dan tahap kedua menggunakan metode MLE untuk menduga keseluruhan parameter faktor produksi, intersep, dan varians dari kedua komponen error. Variabel independen penduga fungsi produksi ini yaitu: luas lahan (X1), jumlah benih (X2), pupuk urea (X3), pupuk TSP (X4), obat cair (X5),
57
dan tenaga kerja (X6). Namun demikian variabel luas lahan (X1) menimbulkan multikolinearitas pada model sehingga variabel luas lahan dijadikan pembobot pada variabel dependen maupun independen. 7.1 Pendugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier Pendugaan parameter fungsi produksi stochastic frontier dengan metode OLS memberikan gambaran kinerja rata-rata dari proses produksi petani pada tingkat teknologi yang ada. Sedangkan hasil pendugaan dengan metode MLE dapat menggambarkan kinerja terbaik (best practice) dari petani responden pada tingkat teknologi yang ada. Pada Tabel 25 disajikan parameter dugaan fungsi produksi stochastic dengan metode OLS dan MLE beserta nilai signifikansinya dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas. Tabel 25 Perbandingan Parameter Fungsi Produksi Stochastic Frontier Cobb-Douglas pada Masa Tanam I dan Masa Tanam II dengan Metode OLS dan MLE Variabel Konstanta Ln Benih(kg/ha) Ln Urea (kg/ha) Ln TSP (kg/ha) Ln Obat-obatan (L/ha) Ln Tenaga kerja (hok/ha) Sigma-squared Gamma F-hitung R-sq Keterangan:
a
nyata pada α 1% nyata pada α 5% c nyata pada α 10% b
Masa Tanam I OLS MLE (koef) (koef) -3,340 -3,125a b -0,152 -0,112b 0,014c 0,013b -0,006 -0,005 0,002 0,003 1,230a 1,164a 0,017 0,726 9,622a 0,658
Masa Tanam II OLS MLE (koef) (koef) 1,465 1,173b a -0,391 -0,349a -0,107b -0,062c 0,001 -0,012c 0,002 0,001 0,482a 0,494a 0,004 0,035 6,687a 0,572
58
Berdasarkan hasil estimasi fungsi produksi Cobb-Douglas menghasilkan output yang bernilai negatif pada koefisien variabel benih dan urea serta berpengaruh nyata. Padahal model fungsi produksi Cobb-Douglas hanya mampu menjelaskan pada daerah I dan II yaitu pada daerah increasing dan decreasing return to scale sebagaimana telah dibahas pada bab metode penelitian. Dengan demikian model fungsi produksi Cobb-Douglas tidak dapat digunakan untuk mengestimasi fungsi produksi pada penelitian ini sehingga dalam penelitian ini digunakan fungsi produksi linier berganda. Tabel 26 Perbandingan Parameter Fungsi Produksi Stochastic Frontier Linier berganda pada Masa Tanam I dan Masa Tanam II dengan Metode OLS dan MLE Variabel Konstanta Benih(kg/ha) Urea (kg/ha) TSP (kg/ha) Obat-obatan (L/ha) Tenaga kerja (hok/ha) Sigma-squared Gamma F-hitung R-sq Keterangan:
Masa Tanam I OLS MLE (koef) (koef) 0,355 0,194 b -0,033 -0,023c 0,003b 0,003a -0,002 -0,002 0,002 0,006 a 0,065 0,067a 0,291 0,411c 11,014a 0,688
Masa Tanam II OLS MLE (koef) (koef) 5,508a 5,732a -0,084a -0,072a -0,003c 0,002c 0,001 -0,005a 0,058 0,099b 0,033a 0,030a 0,218 0,490d 7,587a 0,603
a
nyata pada α 1% nyata pada α 5% c nyata pada α 10% d nyata pada α 15% b
Koefisien dari variabel-variabel pada fungsi produksi linier berganda tidak menunjukkan elastisitasnya sebagaimana pada fungsi produksi CobbDouglas. Oleh karena itu diperlukan perhitungan mengenai elastisitas produksi
59
dari setiap variabel sebagaimana telah dijelaskan pada bab metode penelitian. Hasil perhitungan nilai elastisitas produksi dari masing-masing variabel disajikan pada Tabel 27. Tabel 27
Perbandingan Elastisitas Fungsi Produksi Stochastic Frontier Linier berganda pada Masa Tanam I dan Masa Tanam II dengan Metode MLE Variabel
Benih (kg/ha) Urea (kg/ha) TSP (kg/ha) Obat-obatan (L/ha) Tenaga kerja (hok/ha) Keterangan:
Elastisitas Masa Tanam I Masa Tanam II c -0,091 -0,319a 0,119a 0,096c -0,045 -0,121a 0,003 0,031b 1,014a 0,467a
a
nyata pada α 1% nyata pada α 5% c nyata pada α 10% b
Hasil pendugaan dengan menggunakan fungsi produksi Linier berganda menunjukkan bahwa, fungsi produksi rata-rata yang terbentuk cukup baik (best fit) yang menggambarkan perilaku petani didalam proses produksi. Koefisien determinasi dari fungsi produksi rata-rata pada masa tanam I yang diperoleh bernilai 68,8 persen artinya, input-input yang digunakan di dalam model tersebut dapat menjelaskan 6,68 persen variasi produksi padi di daerah penelitian. Sedangkan koefisien determinasi pada masa tanam II bernilai lebih kecil yaitu 60,3 persen. Artinya, input-input yang digunakan di dalam model tersebut dapat menjelaskan 60,3 persen variasi produksi padi di daerah penelitian. Berdasarkan F-hitung menunjukkan bahwa kedua model baik pada masa tanam I ataupun masa tanam II layak untuk digunakan karena F-hitung > F-tabel pada taraf 1 persen.
60
Berdasarkan hasil perhitungan fungsi produksi stochastic frontier linier berganda dengan metode MLE, pada masa tanam I diperoleh bahwa faktor produksi urea dan tenaga kerja bernilai positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi. Sebaliknya, koefisien jumlah benih bernilai negatif serta memiliki pengaruh nyata terhadap produksi. Sedangkan pada masa tanam II diperoleh hasil bahwa urea, obat-obatan dan tenaga kerja bernilai positif dan berpengaruh nyata terhadap produksi. Sebaliknya, koefisien jumlah benih dan TSP bernilai negatif serta berpengaruh nyata terhadap produksi. Jumlah benih pada masa tanam I maupun pada masa tanam II bernilai negatif. Namun pada masa tanam II pengaruhnya lebih nyata yaitu pada α 1 persen sedangkan pada masa tanam I berpengaruh nyata pada α 10 persen. Nilai elastisitas pada masa tanam I adalah -0,091 dan pada masa tanam II -0,091. Temuan ini menjelaskan bahwa dengan meningkatkan jumlah benih satu persen akan menyebabkan penurunan produksi padi masing-masing sebesar 0,091 persen pada masa tanam I dan 0,091 persen pada masa tanam II. Hal ini diduga terjadi akibat penggunaan benih yang melebihi batas yang diharuskan yaitu 25 kg per ha, namun kondisi dilapangan, petani menggunakan benih dengan dosis 25,60 kg per ha pada masa tanam I dan 26,60 kg per ha pada masa tanam II. Penggunaan urea pada masa tanam I maupun masa tanam II bernilai positif dan berpengaruh nyata. Nilai elastisitas pada masa tanam I adalah 0,119 dan pada masa tanam II 0,096. Temuan ini menjelaskan bahwa dengan meningkatkan jumlah urea satu persen akan menyebabkan peningkatan produksi padi masing-masing sebesar 0,119 persen pada masa tanam I dan 0,096 persen
61
pada masa tanam II. Dengan demikian petani masih bisa meningkatkan penggunaan urea untuk meningkatkan produksi padi. Pupuk TSP memiliki elastisitas yang bernilai negatif baik pada masa tanam I maupun
masa tanam II. Pengaruh TSP pada masa tanam II nyata
terhadap produksi pada α 1 persen dengan nilai elastisitas -0,121. Hal ini menjelaskan bahwa penambahan penggunaan TSP sebesar satu persen justru akan mengurangi produksi sebesar 0,121 persen pada masa tanam II. Sementara itu, petani pada masa tanam II menggunakan sejumlah pupuk TSP sesuai dengan anjuran.
Kejadian ini diduga akibat dari penumpukan residu pupuk akibat
pemupukan sebelumnya. Sehingga lahan sawah tidak bisa menyerap kandungan TSP dengan baik. Dengan demikian penambahan jumlah TSP justru akan mengurangi produksi padi. Variabel obat-obatan bernilai positif baik pada masa tanam I maupun masa tanam II serta pada masa tanam II pengaruhnya nyata pada α 1 persen dengan nilai elastisitas sebesar 0,031. Dengan demikian peningkatan penggunaan obat-obatan pada masa tanam II sebesar satu persen masih dapat meningkatkan produksi padi meskipun dalam jumlah yang kecil yaitu 0,031 persen pada masa tanam. Variabel TK memiliki elastisitas yang bernilai positif dan berpengaruh nyata pada α 1 persen baik masa tanam I maupun masa tanam II dengan nilai masing-masing 1,014 dan 0,467. Dengan demikian, penambahan 1 persen tenaga kerja masih dapat meningkatkan produksi sebesar 1,014 persen pada masa tanam I dan sebesar 0,467 persen pada masa tanam II.
62
Pada Tabel 26 disajikan varians dan parameter γ model efek inefisiensi teknis fungsi produksi stochastic frontier. Parameter γ dugaan yang merupakan rasio dari varians efisiensi teknis (µi) terhadap varians total produksi (εi) masa tanam I diperoleh nilai sebesar 0,411. Secara statistik, nilai yang diperoleh nyata berbeda dari nol pada taraf α 10 persen. Angka ini menunjukkan bahwa variasi kesalahan pengganggu dikarenakan efisiensi teknis adalah 41,1 persen atau perbedaan antara produksi yang sesungguhnya dengan kemungkinan produksi maksimum 41,1 persen disebabkan karena perbedaan inefisiensi teknis. Pada masa tanam II parameter γ bernilai 0,490 serta berpengaruh nyata pada taraf 15 persen. Angka ini menunjukkan bahwa variasi kesalahan pengganggu dikarenakan efisiensi teknis adalah 49 persen atau perbedaan antara produksi yang sesungguhnya dengan kemungkinan produksi maksimum 49 persen disebabkan karena perbedaan inefisiensi teknis. 7.2 Sebaran Efisiensi Teknis Efisiensi teknis dianalisis menggunakan model fungsi produksi stochastic frontier. Sebaran efisiensi teknis dari ditampilkan pada Tabel 28. Nilai indeks efisiensi hasil analisis dikategorikan cukup efisien jika lebih besar dari 0,7. Pada Tabel 28 terlihat bahwa nilai rata-rata efisiensi teknis pada masa tanam I sebesar 0,966 dengan nilai terendah 0,805 dan nilai tertinggi 0,994. Berdasarkan nilai rata-rata efisiensi dapat dikemukakan bahwa secara rata-rata petani responden masih memiliki kesempatan untuk memperoleh hasil potensial yang lebih tinggi mencapai hasil maksimal seperti yang diperoleh petani paling efisien secara teknis.
63
Tabel 28 Sebaran Efisiensi Teknis Petani Responden Pada Masa Tanam I dan Masa Tanam II Efisiensi Teknis >0,7<0,8 >0,8<0,9 >0,9<1,0 Total Rata-rata Minimum Maksimum
Masa Tanam I Jumlah Persentase (%) 0 0,00 3 9,68 28 90,32 31 100,00 0,966* 0,805 0,994
Masa Tanam II Jumlah Persentase (%) 2 6,45 13 41,94 16 51,61 31 100,00 0,899* 0,732 0,990
Keterangan : * t-hitung = -5,22 (nyata pada α=1%)
Pada masa tanam II terjadi penurunan tingkat efisiensi teknis petani responden. Hal ini ditunjukkan dengan angka rata-rata tingkat efisiensi teknis sebesar 0,899 dengan nilai terendah 0,732 dan nilai tertinggi adalah 0,990. Berdasarkan angka-angka tersebut dapat diketahui bahwa dengan adanya program benih bersertifikat ini justru menurunkan efisiensi teknis rata-rata sebesar 6,70 persen. Berdasarkan uji statistik berbeda nyata (signifikan) pada selang kepercayaan 99 persen atau α 1 persen. 7.3 Sumber-sumber Inefisiensi Teknis Bagian berikut ini menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi teknis. Hasil pendugaan efek inefisiensi teknis diuraikan pada Tabel 29. Hasil pendugaan efek inefisiensi teknis menunjukkan bahwa pada masa tanam I variabel yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis adalah dummy bahan organik dan dummy legowo. Sedangkan pada masa tanam II faktor-faktor yang nyata berpengaruh dalam menjelaskan inefisiensi teknis di dalam proses produksi petani responden adalah pengalaman, pendidikan, dan rasio penggunaan urea-TSP.
64
Tabel 29 Parameter Dugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inefisiensi Teknis Usahatani Padi Variabel Konstanta Pengalaman Pendidikan Umur bibit Rasio urea-TSP Dummy bahan organik Dummy legowo Keterangan:
Masa tanam I Koefisien t-hitung -9,866 -1,282 0,023 1,155 0,075 0,653 0,347 1,278 0,463 1,000 c 0,995 1,375 b 1,637 1,779
Masa Tanam II Koefisien t-hitung -0,393 -0,272 0,024a 3,383 c -0,061 -1,561 0,018 0,299 b 0,257 1,768 -1,714 -0,567 0,085 0,257
a
nyata pada α 1% nyata pada α 5% c nyata pada α 10% b
Pada Tabel 29 menunjukkan bahwa, pengalaman petani berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis baik pada masa tanam I maupun masa tanam II serta pengaruhnya nyata pada masa tanam II. Semakin berpengalaman petani, semakin inefisien dalam berproduksi dan menggunakan input-input produksinya. Hal ini bisa terjadi kerena semakin berpengalaman maka petani semakin kuat dalam memegang prinsip dalam berusahatani dan semakin merasa benar dalam hal penerapan inovasi teknologi walaupun sebenarnya tidak sesuai dengan penemuan-penemuan teknologi mutakhir sehingga teknologi tersebut tidak dilaksanakan. Faktor lama pendidikan adalah jumlah waktu (tahun) yang dihabiskan petani untuk menjalani masa pendidikan formalnya. Pada Tabel 29 menunjukkan bahwa pada masa tanam II bernilai negatif dan pengaruhnya nyata. Kondisi yang terjadi pada masa tanam II menunjukkan bahwa dengan semakin tinggi tingkat pendidikan petani, maka semakin tinggi kemampuan mereka dalam menerapkan inovasi teknologi dan dapat menggunakan input secara tepat sehingga mengurangi
65
inefisiensi dalam produksinya. Dengan demikian teknologi yang diterapkan dalam program
benih
bersertifikat
membutuhkan
pemahaman
petani
untuk
melaksanakannya. Umur bibit menunjukkan hubungan positif terhadap inefisiensi teknis namun pengaruhnya tidak nyata. Hubungan positif ini menunjukkan bahwa semakin tua umur bibit maka semakin meningkatkan inefisiensi dalam produksi padi atau dengan kata lain, semakin muda bibit yang digunakan akan semakin efisien secara terknis. Pengertian umur bibit tua adalah umur bibit diatas 17 hari setelah pembenihan. Rasio urea-TSP menunjukkan hubungan positif terhadap inefisiensi teknis serta pada masa tanam II pengaruhnya nyata. Kondisi ini menjelaskan bahwa semakin besar rasio urea-TSP maka akan semakin meningkatkan inefisiensi dalam produksi padi. Hal ini terjadi karena kombinasi penggunaan jumlah pupuk menjadi tidak seimbang sehingga pemenuhan kebutuhan unsurunsur yang diperlukan tanaman juga tidak seimbang. Pada masa tanam I penggunaan bahan organik berpengaruh nyata dan bernilai positif. Hal dapat dijelaskan bahwa penggunaan bahan organik dapat meningkatkan inefisiensi dalam produksi padi. Namun pada masa tanam II menunjukkan bahwa penggunaan bahan organik bernilai negatif namun tidak berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis dalam produksi padi. Nilai negatif pada masa tanam II menunjukkan bahwa penggunaan bahan organik dapat menurunkan inefisiensi atau dapat meningkatkan efisiensi teknis dalam produksi padi.
66
Penggunaan pola tanam legowo menunjukkan hubungan yang bernilai positif baik pada masa tanam I maupun masa tanam II. Namun demikian, pada masa tanam II pengaruhnya tidak nyata. Hal ini menarik karena ternyata penggunaan
pola
tanam
legowo
justru
meningkatkan
inefisiensi
atau
menyebabkan efisiensi teknis produksi padi lebih rendah dibandingkan pola tanam biasa.
VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI
Analisis pendapatan usahatani meliputi analisis pendapatan atas biaya tunai dan analisis pendapatan atas biaya total. Komponen biaya dibagi menjadi dua macam yaitu biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Analisis pendapatan yang akan dilakukan merupakan perbandingan antara pendapatan sebelum program (selanjutnya disebut Masa Tanam I) dan pendapatan setelah program (selanjutnya disebut Masa Tanam II) pada petani yang sama dalam luasan satu hektar. Selanjutnya untuk menghindari bias pendapatan akibat perubahan harga serta mengetahui bagaimana produktivitas usahatani, maka dalam analisis ini juga dihitung dengan menggunakan harga dasar masa tanam I untuk masa tanam II yang selanjutnya disebut dengan pendapatan riil. 8.1 Analisis Penggunaan Sarana Produksi Analisis penggunaan sarana produksi bertujuan untuk mengetahui penggunaan input-input produksi yang digunakan petani. Analisis meliputi kuantitatif dan kualitatif baik masa tanam I maupun masa tanam II yang meliputi: benih, pupuk obat-obatan dan tenaga kerja. 8.1.1 Benih Petani program benih bersertifikat pada masa tanam I maupun masa tanam II menggunakan benih Ciherang. Namun demikian pada masa tanam I, petani belum menggunakan benih bersertifikat. Sebagian petani yaitu sebanyak 21,62 persen membuat sendiri benihnya dan sebagian membeli dari penangkar yaitu sebanyak 78,37 persen. Sedangkan pada masa tanam II, semua petani
68
responden menggunakan benih bersertifikat yang diperoleh langsung dari perusahaan Sang Hyang Sri melalui KUD. Harga rata-rata benih pada masa tanam I adalah Rp 3.197,30/kg. Sedangkan harga benih pada masa tanam II adalah Rp 4.100,00/kg. Adapun dosis rata-rata penggunaan benih pada masa tanam I adalah 25,60 kg. Sedangkan pada masa tanam II dosis yang digunakan adalah 26,60 kg. Untuk selengkapnya disajikan pada Tabel 30. Tabel
30
Perbandingan Penggunaan Masa Tanam II
MT I Keterangan Dosis 25,60 Jenis Belum bersertifikat Varietas Ciherang
Benih
Harga (Rp.) 3.197,30 -
Masa
MT II 26,60 Bersertifikat Ciherang
Tanam
I
dan
Harga (Rp.) 4.100,00 -
Hal ini menunjukkan bahwa secara umum sebenarnya petani program pada saat sebelum program ini berlangsung telah melaksanakan aturan jumlah benih sesuai dengan yang diharapkan dalam program. Hal ini terjadi karena petani program adalah petani yang telah tergabung dalam kelompok tani, sehingga sering mendapatkan informasi terbaru mengenai perkembangan teknologi pertanian dari tenaga penyuluh pertanian (PPL) setempat. Dengan demikian satu inovasi teknologi, yaitu penggunaan benih 25 kg,
telah dilaksanakan dan tanpa
mengalami hambatan. Meskipun dosis yang digunakan petani tidak tepat 25 kg namun, masih dalam batas toleransi.
Sehingga masih termasuk mengikuti
peraturan yang ditetapkan. Selain itu menginformasikan juga bahwa tidak ada perbedaan nyata dalam penggunaan jumlah input benih baik pada masa tanam I maupun masa tanam II. Perbedaannya terletak pada penggunaan benih
69
bersertifikat pada masa tanam II, sedangkan pada masa tanam I belum menggunakan. 8.1.2 Pupuk Jumlah petani yang menggunaan pupuk organik pada masa tanam I hanya empat responden (10,81 persen) sedangkan pada masa tanam II sebanyak tiga responden (8,11 persen).
Sementara sisanya hanya menggunakan pupuk
kimia. Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk kandang, sedangkan pupuk kimia yang digunakan adalah urea, TSP, KCl, NPK, dan ZA. Pada masa tanam I sebagian besar petani menggunakan pupuk kimia urea dan TSP. Hanya tiga responden menggunakan KCl, dua responden menggunakan NPK, dan satu responden menggunakan ZA. Sedangkan pada masa tanam II hanya dua responden menggunakan KCL, dan dua responden pula menggunakan NPK. Harga rata-rata masing-masing pupuk pada masa tanam I adalah; urea Rp 1158,92/kg, TSP Rp 1535,14/kg, KCl Rp 2.366,66/kg, NPK Rp 1.750/kg, dan ZA Rp 1.200/kg. Sedangkan harga rata-rata masing-masing pupuk kimia pada masa
tanam
II
adalah:
urea
Rp
1316,22/kg,
TSP
Rp
1700,42/kg,
KCl Rp 2.250/kg, dan NPK Rp 1.750/kg. Dosis penggunaan pupuk kimia di daerah penelitian beragam, rata-rata pemakaian pupuk kimia pada masa tanam I adalah: urea 247,83 kg, TSP 127,53 kg, KCl 4,45 kg, NPK 3,23 kg, NPK organik 9,19 kg, dan ZA 3,23 kg. Sedangkan pada masa tanam II penggunaan rata-rata masing-masing pupuk kimia adalah: urea 257,25 kg, TSP 134,76 kg, KCl 9,68 kg, dan NPK 4,84 kg. Selengkapnya disajikan pada Tabel 31.
70
Tabel 31 Perbandingan Dosis Penggunaan Pupuk pada Masa Tanam I dan Masa Tanam II Jenis pupuk
MT I (kg/ha)
harga (Rp/kg)
MT II (kg/ha)
harga Rp/kg)
247,83 127,53 4,45 3,23 9,19 3,23 50,68
1.158,92 1.535,14 2.366,66 1.750 2.000 1.200 200,35
257,25 134,76 9,68 4,84 0 0 30,65
1.316,22 1.700,42 2.250 1.750 484,17
Urea TSP KCl NPK NPK Organik ZA Organik
8.1.3 Obat-obatan Obat-obatan yang digunakan petani responden dibagi menjadi dua macam, yaitu obat padat dan obat cair. Obat padat yang digunakan adalah: delcin, buldog, dan nostar. Sedangkan obat cair yang digunakan adalah: meteor, spontan, score,baycarb, amate, bajay, gejora, pastac,trobos, dometrin, reagent, dan acodan. Penggunaan obat-obatan ini dilakukan dengan penyemprotan untuk mencegah sekaligus membasmi hama dan penyakit. Selama musim tanam penyemprotan dilakukan dengan frekuensi 2-5 kali. Dosis pemakaian obat cair pada masa tanam I adalah 3, 969 liter dan obat padat 0,031 kg. Sedangkan dosis pemakaian obat cair pada masa tanam II adalah 1,854 liter dan obat padat sebanyak 0,018 kg. Selengkapnya disajikan pada Tabel 32. Obat cair yang digunakan pada masa tanam I adalah meteor, spontan, score, baicarb, amate, bajay, gejora, pastac, trobos, reagent, dan acodan. Sedangkan pada masa tanam II adalah meteor, spontan, score, baicarb, bajay, gejora, pastac, trobos, dometrin, reagent. Obat padat yang digunakan pada masa tanam I adalah delcen, buldog, dan nostar. Sedangkan pada masa tanam II adalah delcen dan buldog saja.
71
Tabel 32 Perbandingan Penggunaan Obat Cair dan Obat Padat pada Masa Tanam I dan Masa Tanam II Dosis Obat cair (L/ha) Obat padat (kg/ha)
MT I 3,969 0,031
Harga 87.923,39 70.800,00
MT II 1,854 0,018
Harga 75.969,94 110.000
Pada masa tanam II terjadi penurunan penggunaan obat-obatan baik padat maupun cair. Hal ini terjadi karena petani pada masa tanam I melakukan pencegahan hama, yaitu menyemprot tanaman pada saat sebenarnya belum waktunya untuk disemprot (masih dibawah ambang batas). Sedangkan pada masa tanam II petani mulai memahami dan melakukan penyemprotan pada saat yang tepat sehingga penggunaan obat-obatan lebih hemat. 8.1.4 Tenaga Kerja Tenaga kerja yang digunakan dibagi menjadi dua macam yaitu tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). TKDK adalah anggota keluarga (petani sendiri, istri, dan anak). Sedangkan TKLK berasal dari desa setempat. Penggunaan tenaga kerja rata-rata per hektar selama satu musim tanam pada masa tanam I adalah 94,80 HOK. Sedangkan pada masa tanam II adalah 96,42 HOK. Upah rata-rata tenaga kerja pada masa tanam I adalah Rp 33.468,65 sedangkan pada masa tanam II adalah Rp 35.000. Selengkapnya disajikan pada Tabel 33. Upah sudah termasuk makan siang dan snack. Adapun lamanya jam kerja per hari adalah 8 jam terhitung sejak pukul 07.00 hingga pukul 15.00 WIB.
72
Tabel 33 Perbandingan Curahan Tenaga Kerja Pada Masa Tanam I dengan Masa Tanam II Aktivitas 1.Pengolahan tanah a. Traktor b. Perapihan pematang 2. Pembenihan 3. Penanaman 4. Pemupukan 5. Pemberantasan hama 6. Ceblok Jumlah
Masa Tanam I TKLK TKDK Total 13,02 0,00 13,02 6,38 1,40 13,72 1,58 1,19 51,55 81,76
4,07 1,70 0,00 1,01 0,80 0,00 7,58
10,45 3,10 13,72 2,59 1,98 51,55 96,42
Masa Tanam II TKLK TKDK Total 13,02 0,00 13,02 6,38 1,40 13,18 0,89 1,19 51,55 136,01
4,07 1,70 0,00 0,63 0,80 0,00 7,20
10,45 3,10 13,18 1,51 1,98 51,55 94,80
Berdasarkan Tabel 33 tampak bahwa terjadi penurunan curahan kerja pada masa tanam II yaitu sebesar 1,68 persen. Namun demikian juga terjadi peningkatan upah tenaga kerja sebesar 4,57 persen. Sehingga peningkatan upah lebih besar daripada penurunan curahan kerja. Dengan demikian biaya tenaga kerja tetap meningkat pada masa tanam II. 8.1 Analisis Pendapatan Usahatani Masa Tanam I dan Masa Tanam II Analisis pendapatan usahatani meliputi analisis penerimaan, analisis biaya, analisis pendapatan, dan analisis R/C rasio. Analisis ini juga meliputi analisis nilai yang bersifat tunai dan diperhitungkan. 8.2.1 Penerimaan Usahatani Penerimaan usahatani meliputi penerimaan tunai yang berasal dari hasil yang dijual, kemudian penerimaan tidak tunai yang berasal dari hasil yang dikonsumsi sendiri, digunakan untuk bawon, dan bibit. Penerimaan total adalah gabungan dari penerimaan tunai dan tidak tunai. Penerimaan usahatani padi
73
diperoleh dari hasil perkalian antara harga padi ditingkat petani dengan produksi padi yang dihasilkan. Pada periode sebelum program produktivitas untuk petani sebesar 6,371 ton per hektar sedangkan pada periode program produktivitas petani adalah 5,986 ton per hektar. Produktivitas petani pada saat program lebih rendah dibandingkan sebelum program. Hal ini terjadi karena karena pada saat menjelang panen jatuh pada musim penghujan sehingga batang padi rebah yang menimbulkan loss pasca panen besar. Meskipun demikian petani tertolong oleh tingginya harga gabah. Harga gabah yang tinggi dipicu oleh dua faktor. Pertama adalah terjadinya kenaikan harga beras ditingkat konsumen akibat kelangkaan beras sehingga berdampak juga pada kenaikan harga gabah ditingkat petani. Kedua, kualitas gabah yang dihasilkan petani lebih bagus daripada sebelum program. Kedua alasan tersebut menjadikan harga gabah tinggi sehingga penerimaan tunai petani pada saat program lebih besar daripada sebelum program. Besarnya penerimaan tunai nominal masing-masing adalah Rp 10.871.574,54 untuk penerimaan tunai sebelum program dan Rp 12.751.123,3 untuk penerimaan tunai setelah program. Penerimaan total petani setelah program juga lebih besar daripada penerimaan total sebelum program. Penerimaan total sebelum program sebesar Rp 13.569.853,53 dan penerimaan total setelah program adalah Rp 16.102.209,1. Selengkapnya disajikan pada Tabel 34.
74
Tabel 34 Penerimaan Nominal Usahatani pada Masa Tanam I dan Masa Tanam II Komponen Penerimaan Penerimaan tunai 1. Produksi gabah dijual Jumlah Penerimaan diperhitungkan 1. Bawon 2. Konsumsi+benih Jumlah Total penerimaan
Nilai
Persentase (%) MT I MT II
MT I
MT II
10.871.574,54 10.871.574,54
12.751.123,3 12.751.123,3
2.319.591,89 378.687,09 2.698.278,99 13.569.853,53
2.820.827,77 530.258,065 3.351.085,84 16.102.209,1
80,00 80,00
79,00 79,00
17,00 18,00 3,00 3,00 20,00 21,00 100,00 100,00
Adapun harga penjualan gabah ditingkat petani pada periode setelah program adalah Rp 2.642,43 dan pada periode sebelum program adalah Rp 2.129,03 per kg. Sebagian besar petani yaitu sebesar 97 persen menjual gabahnya kepada tengkulak baik pada periode setelah program maupun pada saat sebelum program. Mekanisme penjualannya adalah tengkulak datang langsung ke lahan petani dan membeli di lokasi penen. Sehingga beban pengangkutan pasca panen diluar tanggungan petani. Adapun alasan petani menjual gabahnya kepada tengkulak adalah karena alasan kemudahan, pembayarannya cepat dan faktor kebiasaan. Kecenderungan petani responden adalah petani semisubsisten bahkan komersial. Hal ini dapat diketahui berdasarkan proporsi terbesar hasil produksi dijual, yaitu sebesar 80,22 persen pada sebelum program dan 79,66 persen pada saat saat program. Petani responden juga masih menerapkan bawon, yaitu pembayaran
kepada
tenaga
kerja
dengan
gabah.
Pembayaran
diperuntukkan kepada penceblok yaitu sebesar seperenam dari hasil panen.
bawon
75
Berdasarkan perhitungan Tabel 35 penerimaan total riil usahatani menunjukkan nilai pada masa tanam II lebih kecil yaitu Rp 12.516.210,17 daripada masa tanam I yaitu Rp 13.569.853,53. Hal ini menunjukkan bahwa produksi padi pada masa tanam II lebih kecil daripada masa tanam I dan juga peningkatan pendapatan pada masa tanam II diakibatkan perubahan harga. Tabel 35 Perbandingan Penerimaan Riil Usahatani pada Masa Tanam I dan Masa Tanam II Komponen Penerimaan
Nilai MT I
Penerimaan tunai 1. Produksi gabah dijual 10.871.574,54 Jumlah 10.871.574,54 Penerimaan diperhitungkan 1. Bawon 2.319.591,90 2. Konsumsi+benih 378.687,10 Jumlah 2.698.279,00 Total Penerimaan 13.569.853,53
MT II
Persentase (%) MT I MT II
9.923.690,60 9.923.690,60
80,00 80,00
79,00 79,00
2.193.832,47 398.687,10 2.592.519,57 12.516.210,17
17,00 3,00 20,00 100,00
18,00 3,00 21,00 100,00
8.2.2 Struktur Biaya Komponen biaya dibagi atas biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Biaya tunai yang dikeluarkan meliputi biaya untuk benih, pupuk, obat padat, obat cair, biaya tenaga kerja luar keluarga, pajak lahan, biaya traktor, biaya tanam, dan sewa lahan. Biaya diperhitungkan meliputi biaya tenaga kerja keluarga, sewa lahan, biaya benih sendiri, bawon untuk biaya panen dan menyiang (ceblok).
76
Tabel 36 Perbandingan Biaya Nominal Masa Tanam I dan Masa Tanam II Komponen Biaya
Nilai (Rp) MT I MT II
Pengeluaran Tunai a. Benih 104.923,15 b. Pupuk urea 295.850,06 d. Pupuk NPK 5.645,16 e. Pupuk TSP 208.846,39 f. Pupuk KCl 11.574,19 g. Pupuk ZA 3.870,97 h. Pupuk NPK organik 18.387,10 i. Pupuk kandang 0,00 j. Tenaga Kerja Luar 1.273.746,45 k. Obat padat 3.435,48 l. Obat cair 310.059,35 m. Pajak lahan 100.000,00 n. Pengairan 200.000,00 Jumlah Pengeluaran Tunai 2.536.338,32 Pengeluaran Diperhitungkan a. TKDK setara pria 237.635,26 b. Sewa Lahan 3.000.000,00 c. Benih 7.481,29 d. Bawon 2.319.591,90 Jumlah Pengeluaran Diperhitungkan 5.564.708,45 Total Pengeluaran 8.101.046,76
Persentase (%) MT I MT II
0,00 338.439,26 8.467,74 228.710,15 20.645,16 0,00 0,00 11.895,16 1.222.769,32 1.903,23 139.089,68 100.000,00 200.000,00
1,30 3,65 0,10 2,58 0,14 0,05 0,23 0,00 15,72 0,04 3,83 1,23 2,47
0,00 4,01 0,10 2,71 0,24 0,00 0,00 0,14 14,47 0,02 1,65 1,18 2,37
2.271.919,71
31,31
26,89
280.079,52 3.000.000,00 108.684,64 2.787.923,89
2,93 37,03 0,09 28,63
3,32 35,51 1,29 33,00
6.176.688,05 8.448.607,75
68,69 100,00
73,11 100,00
Pada Tabel 36 dapat diketahui bahwa proporsi biaya tunai terbesar baik pada periode sebelum program maupun setelah program adalah biaya tenaga kerja yaitu sebesar 15,72 persen pada periode sebelum program dan 14,47 persen pada periode setelah program. Biaya total yang dikeluarkan oleh petani setelah program adalah lebih besar dibandingkan dengan biaya sebelum program. Biaya total untuk petani sebelum program adalah sebesar Rp 8.101.046,76 sedangkan setelah program adalah sebesar Rp 8.488.607,75. Pengeluaran tunai setelah program lebih kecil
77
daripada sebelum program. Pengeluaran tunai periode setelah program adalah sebesar Rp 2.271.919,71 dan pengeluaran tunai sebelum program adalah Rp 2.536.338,32. Dengan demikian terjadi penghematan biaya tunai sebesar sebesar Rp 264.418,61. Penghematan ini terjadi pada alokasi biaya untuk pupuk dan obatobatan. Penghematan terjadi pada pengurangan penggunaan pupuk ZA dan NPK organik. Sedangkan penggunaan pupuk urea pada periode setelah program meningkat dibandingkan periode sebelum program. Penggunaan pupuk urea sebelum program sebesar 238,99 kg, sedangkan pada periode setelah program sebesar 249,29 kg. Hal ini terjadi karena petani responden mengikuti petunjuk program yaitu dosis pupuk urea 250 kg. Selain itu adanya peningkatan harga urea dari Rp 1.158,92/kg menjadi Rp 1.316,22 sehingga biaya pupuk urea pada masa tanam II meningkat. Penggunaan pupuk TSP juga meningkat pada periode sebelum program sebesar 127,25 kg sedangkan setelah program sebesar 134 kg,
juga terjadi kenaikan harga yaitu dari
Rp 1.622,85/kg menjadi Rp 1.700/kg menjadikan biaya pupuk TSP meningkat dari Rp 206.516,47 menjadi Rp 227.921,46. Penggunaan pupuk NPK sebelum program maupun setelah program sebesar 4,05 kg dan tidak ada kenaikan harga sehingga biaya pupuk NPK adalah tetap. Penggunaan pupuk KCL juga mengalami penghematan pada periode program dibandingkan sebelum program. Penggunaan pupuk KCL sebelum program sebesar 9,14 kg dengan biaya sebesar Rp 21.619,81. Sedangkan setelah program menurun menjadi 8,12 kg dengan biaya sebesar Rp 18.243,24.
78
Penghematan besar berikutnya adalah penggunaan pupuk ZA dan NPK organik. Pada periode sebelum program petani responden menggunakan kedua pupuk tersebut. Dengan total biaya sebesar Rp 18.648,64. Namun pada periode setelah program, petani responden tidak menggunakannya lagi. Penggunaan obat padat ataupun cair mengalami penghematan pada periode setelah program. Pada periode sebelum program, petani responden harus mengeluarkan biaya untuk obat-batan sebesar Rp 2048,34 untuk obat padat dan Rp 425.975,52 untuk obat cair. Sedangkan pada masa tanam II hanya mengluarkan biaya sebesar Rp 906,75 untuk obat padat dan Rp 208.280,84 untuk obat cair. Berdasarkan analisis pada Tabel 37 diperoleh hasil bahwa total pengeluaran riil masa tanam II juga mengalami penurunan dibandingkan dengan masa tanam I. Hal ini menginformasikan bahwa pada masa tanam II petani lebih hemat dalam penggunaan faktor-faktor produksi dibandingkan pada masa tanam I. sehingga biaya yang dikeluarkan lebih kecil.
79
Tabel 37 Perbandingan Biaya Riil Masa Tanam I dan Masa Tanam II Komponen Biaya
Nilai (Rp) MT I MT II
Pengeluaran Tunai a. Benih 104.923,15 b. Pupuk urea 295.850,06 d. Pupuk NPK 5.645,16 e. Pupuk TSP 208.846,39 f. Pupuk KCL 11.574,19 g. Pupuk ZA 3.870,97 h. Pupuk NPK organik 18.387,10 i. Pupuk kandang 0,00 j. Tenaga Kerja Luar 1.273.746,45 k. Obat padat 3.435,48 l. Obat cair 310.059,35 m. Pajak lahan 100.000,00 n. Pengairan 200.000,00 Jumlah 2.536.338,32 Pengeluaran Diperhitungkan a. TKDK setara pria 237.635,26 b. Sewa Lahan 3.000.000,00 c. Benih 7.481,29 d. Bawon 2.319.591,90 Jumlah 5.564.708,45 Total Pengeluaran 8.101.046,76
Persentase (%) MT I MT II
0,00 305.267,32 8.467,74 218.403,78 20.645,16 0,00
1,30 3,65 0,07 2,58 0,14 0,05
0,00 3,96 0,11 2,83 0,27 0,00
0,00 6.139,76 1.173.352,39 1.862,90 147.302,65 100.000,00 200.000,00 2.181.441,71
0,23 0,00 15,72 0,04 3,83 1,23 2,47 31,31
0,00 0,08 15,21 0,02 1,91 1,30 2,59 28,27
260.047,34 3.000.000,00 96.378,13 2.177.776,26 5.534.201,72 7.715.643,43
2,93 37,03 0,09 28,63 68,69 100,00
3,37 38,88 1,25 28,23 71,73 100,00
8.2.3 Pendapatan Usahatani Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan usahatani dengan biaya usahatani. Selisih tersebut dinamakan pendapatan atas biaya tunai jika penerimaan total dikurangi dengan biaya tunai. Berdasarkan Tabel 38 dapat diketahui bahwa pendapatan atas biaya tunai petani responden pada saat setelah program adalah lebih besar dibandingkan sebelum program. Pendapatan nominal atas biaya tunai sebelum program sebesar Rp 10.840.285,08 sedangkan pendapatan nominal atas biaya tunai setelah program sebesar Rp 13.830.289,43.
80
Sehingga terdapat peningkatan pendapatan nominal atas biaya tunai antara periode sebelum program dengan setelah program yaitu sebesar Rp 2.990.004,35. Pendapatan nominal atas biaya total petani responden sebelum program sebesar Rp 5.275.576,64. Sedangkan pendapatan nominal atas biaya total setelah program adalah sebesar Rp 7.653.601,38. Dengan demikian pendapatan nominal atas biaya total setelah program lebih besar daripada sebelum program dengan selisih Rp 2.378.024,74. Tabel 38 Perbandingan Pendapatan Nominal Masa Tanam I dan Masa Tanam II Uraian Penerimaan 1. Penerimaan tunai 2. Penerimaan diperhitungkan Jumlah penerimaan Pengeluaran 1. Pengeluaran tunai 2. Pengeluaran diperhitungkan Jumlah pengeluaran Pendapatan atas biaya tunai Pendapatan atas biaya total R/C atas biaya tunai R/C atas biaya total
Nilai MT I
MT II
Persentase (%) MT I MT II
1.0871.574,54
12.751.123,30
80,00
79,00
2.698.279,00 13.569.853,53
3.351.085,84 16.102.209,14
2.729.568,45
2.271.919,71
5.564.708,45 8.294.276,89
6.176.688,05 8.448.607,75
10.840.285,08
13.830.289,43
-
-
5.275.576,64 4,97 1,64
7.653.601,38 7,09 1,91
-
-
20,00 21,00 100,00 100,00 33,00
27,00
67,00 73,00 100,00 100,00
Berdasarkan R/C rasio atas biaya tunai periode setelah program lebih besar daripada sebelum program. R/C rasio atas biaya tunai sebelum program sebesar 4,97 sedangkan setelah program sebesar 7,09. Artinya adalah pada periode setelah program setiap satu rupiah biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani
81
responden akan memberikan penerimaan sebesar Rp 7,09. R/C rasio atas biaya total setelah program juga menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan sebelum program. R/C rasio atas biaya total sebelum program sebesar 1,64 sedangkan setelah program sebesar 1,91. Berdasarkan hasil analisis ini menunjukkan
seakan-akan
program
ini
memberikan
manfaat
terhadap
peningkatan R/C rasio atas biaya tunai maupun atas biaya total bagi petani responden. Tabel 39 Perbandingan Pendapatan Riil Masa Tanam I dan Masa Tanam II Uraian Penerimaan 1. Penerimaan tunai 2. Penerimaan diperhitungkan Jumlah penerimaan Pengeluaran 1. Pengeluaran tunai 2. Pengeluaran diperhitungkan Jumlah pengeluaran Pendapatan atas biaya tunai Pendapatan atas biaya total R/C atas biaya tunai R/C atas biaya total
Nilai (Rp) MT I
MT II
1.0871.574,54
9.923.690,60
Persentase (%) MT I MT II 79,00
80,00
2.698.279,00 2.592.519,57 21,00 20,00 13.569.853,53 12.516.210,17 100,00 100,00 2.729.568,45
2.181.441,71
28,00
33,00
5.564.708,45 5.534.201,72 72,00 67,00 8.294.276,89 7.715.643,43 100,00 100,00 10.840.285,08 10.334.768,46 5.275.576,64 4.800.566,74 4,97 5,74 1,64 1,62 -
Berdasarkan Tabel 39 dapat diketahui bahwa pendapatan riil atas biaya tunai masa tanam II lebih rendah dibandingakan masa tanam I yaitu Rp 10.334.768,46 pada masa tanam II dan Rp 10.840.285,08 pada masa tanam I. Pendapatan riil atas biaya total masa tanam II juga lebih kecil dibandingan masa tanam I, yaitu Rp 4.800.566,74 dan Rp 5.275.576,64 pada masa tanam I. Kondisi ini menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan terjadi karena peningkatan harga
82
gabah. Karena pada saat panen, kondisi perberasan nasional sedang mengalami kekurangan stok beras sehingga harga beras termasuk juga harga gabah meningkat.
IX KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan 1. Program benih bersertifikat akan menghasilkan produksi yang optimal apabila didukung dengan teknologi yang menyertainya. Namun dalam pelaksanaannya, teknologi tersebut tidak diaplikasikan oleh petani sehingga produksi padi tidak optimal. 2. Pelaksanaan program benih bersertifikat justru berdampak pada penurunan efisiensi teknis petani program secara signifikan dibandingkan pada saat sebelum program. 3. Program benih bersertifikat menyebabkan perubahan penggunaan input dan penghematan biaya usahatani sehingga berdampak positif terhadap penurunan biaya riil petani. Namun demikian, penurunan biaya diikuti dengan penurunan produksi yang lebih besar sehingga pendapatan riil petani mengalami penurunan dibandingkan sebelum program. 9.2 Saran 1. Pelaksanaan kebijakan pertanian seharusnya memperhatikan kebiasaan pola berusahatani, kondisi geografis dan sosiologis yang berlaku dimasyarakat sehingga teknologi yang dikembangkan bersifat aplikatif di lapangan bukan sekedar di laboratorium penelitian. 2. Diperlukan pola pendekatan persuasif kepada petani agar bersedia menerapkan inovasi teknologi serta adanya jaminan terhadap hasil produksi sehingga petani bersedia melaksanakan teknologi baru yang dibawa program.
84
3. Penelitian selanjutnya diharapkan menganalisis tingkat efisiensi alokatif dan
ekonomis
komprehensif.
sehingga
diperoleh
analisis
efisiensi
yang
lebih
DAFTAR PUSTAKA
Adhiana. 2005. Analisis Efisiensi Ekonomi Usahatani Lidah Buaya (Aloe vera) di Kabupaten Bogor : Pendekatan Stochastic Production frontier. [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Apriyantono. 2007. Kebijakan Pangan Nasional : Politik Beras dan Kedaulatan Pangan disampaikan pada Diskusi Nasional Jakarta 25 Januari 2007. Jakarta. Beattie, B.R dan Taylor, C.R. 1985. The Economic of Production. Jhon Wiley & Sons. New York. BPS 2006. Karawang dalam Angka 2005. Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang. Karawang. BPS. 2006. Andil Beras Terhadap Inflasi Nasional. Jakarta. 2006. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia. Jakarta. 2006. Perkembangan Impor Beras Indonesia. Jakarta. 2006. Produksi, Luas panen, Produktivitas Lahan Padi Indonesia. Jakarta. Coelli T, D.S.P. Rao, dan Battese G.E. 1998. An Introduction to Efficiency and Productivity Analys. Kluwer Academic Publisher. London. Coelli, T.J. 1996. A. Guide to Frontier Version 4.1: A Computer Program For Stochastic Production Function For panel Data. Empirical Economics, 20:325-332. Daniel, M. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Ed ke-2. PT Bumi Aksara. Jakarta. Disti, C.V. 2006. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Produksi Usahatani Padi Program Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu di Kabupaten Subang. [skripsi]. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Doll, P.J dan Orazem, F. 1984. Production Economic Theory with Aplications. Edisi kedua. Jhon Wiley & Sons. Kanada. Hakim, N. 1988. Peningkatan Produksi Pangan di Sumatera Barat. Pusat Penelitian Universitas Andalas. Padang. Hernanto, F. 1989. Ilmu Usahatani. PT Penebar Swadaya. Jakarta.
86
Irawati, I.R. 2006. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan Faktor-faktor Produksi Usahatani Padi Program PTT dan Non-Program PTT (Kasus : Penerapan Program Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu di Kabupaten Karawang). [skripsi]. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soekartawi. 1995. Pembangunan Pertanian. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Soekartawi, et al. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Universitas Indonesia. Jakarta. Syam, A. 2002. Efisiensi Produktivitas Lada di Propinsi Bangka Belitung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Tanjung, I. 2003. Efisiensi Teknis dan Ekonomis Petani Kentang di Kabupaten Solok Profinsi Sumatera Barat : Analisis Stochastic Frontier. [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Utama, S. P. 2002. Kajian Efisiensi Teknis Usahatani Padi Sawah pada Petani Peserta Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) di Sumatera Barat. Jurnal Akta Agrosia Vol 6 No 2 : 67-74.
LAMPIRAN
88
Lampiran 1. Output Frontier Cobb-Douglas Masa Tanam I the ols estimates are : beta 0 beta 1 beta 2 beta 3 beta 4 beta 5
coefficient -3,339905 -0,151976 0,014239 -0,005676 0,002201 1,230457
standard-error 0,873685 0,075796 0,010566 0,006919 0,006930 0,186090
t-ratio -3,822781 -2,005067 1,347518 -0,820419 0,317568 6,612168
standard-error 0,650506 0,057045 0,006594 0,005007 0,005714 0,142256 1,042890 0,003226 0,010739 0,038591 0,045600 0,191444 0,248425 5,43E-03 1,41E-01
t-ratio -4,804357 -1,969515 2,106778 -1,081216 0,501697 8,180653 -2,542565 2,219545 0,466565 2,534250 -0,141166 2,156619 2,637458 3,05E+00 5,15E+00
the final mle estimates are : beta 0 beta 1 beta 2 beta 3 beta 4 beta 5 delta 0 delta 1 delta 2 delta 3 delta 4 delta 5 delta 6 sigma-squared gamma
coefficient -3,125263 -0,112352 0,013893 -0,005414 0,002867 1,163749 -2,651615 0,007161 0,005010 0,097800 -0,006437 0,412873 0,655212 1,65E-02 7,26E-01
technical efficiency estimates : firm year eff.-est. 1 1 0,9703905 2 1 0,9830183 3 1 0,9903330 4 1 0,9805875 5 1 0,9847168 6 1 0,9821294 7 1 0,9706941 8 1 0,9635808 9 1 0,9867438 10 1 0,9612581 11 1 0,9515728 12 1 0,9800246 13 1 0,7784359 14 1 0,9753147 15 1 0,9565761 16 1 0,9848791
firm year 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 mean efficiency
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
eff.-est. 0,9613066 0,9358696 0,9762209 0,9723638 0,9663759 0,9312685 0,9846831 0,9819630 0,9881167 0,8167453 0,9617049 0,9743616 0,9837041 0,9795061 0,9769416 0,9610125
89
Lampiran 2. Output Frontier Cobb-Douglas Masa Tanam II the ols estimates are : beta 0 beta 1 beta 2 beta 3 beta 4 beta 5
coefficient 1,465448 -0,391121 -0,106531 -0,001310 0,002183 0,481993
standard-error 0,746089 0,096396 0,050278 0,006729 0,003628 0,145565
t-ratio 1,964172 -4,057433 -2,118825 -0,194644 0,601778 3,311193
the final mle estimates are : beta 0 beta 1 beta 2 beta 3 beta 4 beta 5 delta 0 delta 1 delta 2 delta 3 delta 4 delta 5 delta 6 sigma-squared gamma
coefficient 1,172759 -0,349199 -0,062406 -0,011887 0,001493 0,493784 -0,007889 0,003410 -0,006160 0,004414 -0,014908 -0,141013 0,034912 0,004309 0,034798
technical efficiency estimates : firm year eff.-est. 1 1 0,8589607 2 1 0,9496713 3 1 0,9119783 4 1 0,8742778 5 1 0,9499206 6 1 0,9000396 7 1 0,9072777 8 1 0,8710816 9 1 0,9594880 10 1 0,9205031 11 1 0,7910131 12 1 0,8896893 13 1 0,8675842 14 1 0,9767121 15 1 0,9843094 16 1 0,9019796
standard-error 0,613933 0,085473 0,046271 0,007151 0,003312 0,117825 0,260935 0,001197 0,005366 0,010193 0,024164 0,151930 0,049639 0,001147 0,372996
firm year 17 1 18 1 19 1 20 1 21 1 22 1 23 1 24 1 25 1 26 1 27 1 28 1 29 1 30 1 31 1 mean efficiency
t-ratio 1,910238 -4,085505 -1,348697 -1,662213 0,450764 4,190837 -0,030235 2,849254 -1,147910 0,433005 -0,616936 -0,928149 0,703313 3,757568 0,093293
eff.-est. 0,9397560 0,9634642 0,8842774 0,9382857 0,8847475 0,8185442 0,9397133 0,9153360 0,9318260 0,9979209 0,8602770 0,9481569 0,8215920 0,9278149 0,9363397 0,9104044
90
Lampiran 3. Output Frontier Linier Berganda Masa Tanam I the ols estimates are : coefficient beta 0 0,354978 beta 1 -0,033118 beta 2 0,003091 beta 3 -0,001583 beta 4 0,002489 beta 5 0,064975
standard-error 1,226813 0,017322 0,001397 0,002100 0,026821 0,011416
the final mle estimates are : coefficient beta 0 0,19420 beta 1 -0,02275 beta 2 0,00308 beta 3 -0,00223 beta 4 0,00556 beta 5 0,06671 delta 0 -9,86556 delta 1 0,02321 delta 2 0,07535 delta 3 0,34700 delta 4 0,46294 delta 5 0,99523 delta 6 1,63693 sigma-squared 0,29105 gamma 0,41070 technical efficiency estimates : firm year eff.-est. 1 1 0,96509 2 1 0,98600 3 1 0,99417 4 1 0,98620 5 1 0,97949 6 1 0,98316 7 1 0,98173 8 1 0,96238 9 1 0,99015 10 1 0,92046 11 1 0,97274 12 1 0,97735 13 1 0,80467 14 1 0,98727 15 1 0,97154 16 1 0,98415
t-ratio 0,289350 -1,911874 2,212868 -0,753515 0,092814 5,691653
standard-error 1,04477 0,01410 0,00124 0,00183 0,02359 0,00996 7,69296 0,02009 0,11547 0,27153 0,46312 0,72404 0,91995 0,16346 0,32525
t-ratio 0,18588 -1,61327 2,48607 -1,21996 0,23572 6,69899 -1,28241 1,15518 0,65261 1,27797 0,99961 1,37455 1,77937 1,78059 1,26274
firm
eff.-est. 0,98197 0,91610 0,99022 0,98195 0,96790 0,89761 0,99124 0,98758 0,99426 0,89399 0,97615 0,98430 0,98193 0,96767 0,97410 0.9655973
17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 mean efficiency
year 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
91
Lampiran 4. Output Frontier Linier Berganda Masa Tanam II the ols estimates are : beta 0 beta 1 beta 2 beta 3 beta 4 beta 5
coefficient 5,508350 -0,083508 -0,002777 0,001185 0,057737 0,033224
standard-error 1,095400 0,020218 0,001672 0,002129 0,049013 0,009809
t-ratio 5,028619 -4,130360 -1,660978 0,556763 1,177989 3,386995
the final mle estimates are : beta 0 beta 1 beta 2 beta 3 beta 4 beta 5 delta 0 delta 1 delta 2 delta 3 delta 4 delta 5 delta 6 sigma-squared gamma
coefficient 5,732447 -0,071570 0,002235 -0,005348 0,099025 0,029567 -0,393166 0,023804 -0,061422 0,017876 0,256768 -1,713911 0,084698 0,141369 0,489720
technical efficiency estimates : firm year eff.-est. 1 1 0,863868 2 1 0,976817 3 1 0,893752 4 1 0,849696 5 1 0,916745 6 1 0,820469 7 1 0,852571 8 1 0,888363 9 1 0,966250 10 1 0,950898 11 1 0,850863 12 1 0,850315 13 1 0,803871 14 1 0,961104 15 1 0,990177 16 1 0,875470
standard-error 0,816898 0,017181 0,001640 0,002019 0,040197 0,007113 1,445981 0,007037 0,039358 0,059738 0,145214 3,020649 0,329311 0,042984 0,465097
firm 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 mean efficiency
t-ratio 7,017331 -4,165775 1,363139 -2,648967 2,463486 4,156489 -0,271902 3,382547 -1,560583 0,299239 1,768204 -0,567398 0,257197 3,288845 1,052942
year 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
eff.-est. 0,953231 0,969101 0,874087 0,943510 0,808383 0,732396 0,976626 0,931338 0,932459 0,990416 0,908141 0,962262 0,771700 0,819673 0,970831 0,898560
92