DOSIS EFEKTIF KOMBINASI NATRIUM TIOSULFAT DAN NATRIUM NITRIT SEBAGAI ANTIDOT KERACUNAN SIANIDA AKUT PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh : Libertus Tintus H NIM : 04 8114 122
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008
DOSIS EFEKTIF KOMBINASI NATRIUM TIOSULFAT DAN NATRIUM NITRIT SEBAGAI ANTIDOT KERACUNAN SIANIDA AKUT PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh : Libertus Tintus H NIM : 04 8114 122
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008
ii
iii
iv
Dedicated to : My First Goal -Jesus Christ-, Papa, Mama, Donny, Luci, Christina, Almamaterku, And everyone’s who know’s Me
Ketika berat untuk menapakkan satu langkah, Beranilah kawan... Ketika letih melihat kenyataan, Hadapilah teman!! Ketika engkau tahu bahwa engkau sendirian.. Ingatlah Dia yang lebih dahulu meninggalkanmu Sebab tapak kaki terlalu indah untuk diukirkan Dan kenyataan terlalu riang untuk dimaknai Untuk apa meninggalkan jejak? Jika kelak jejakmu hanya akan tersapu Untuk apa menjalani yang indah? Jika itu hanya mimpi yang semu. . .
v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Libertus Tintus H NIM
: 048114122
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
DOSIS EFEKTIF KOMBINASI NATRIUM TIOSULFAT DAN NATRIUM NITRIT SEBAGAI ANTIDOT KERACUNAN SIANIDA AKUT PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS
berserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 22 Juli 2008 Yang menyatakan,
Libertus Tintus H.
vi
PRAKATA
Tiba saatnya bagi penulis untuk memanjatkan puji dan syukur kepada Bapa di surga dan Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat, rahmat dan penyertaan-Nya membuat penulis mampu untuk menyelesaikan skripsinya yang berjudul “Dosis Efektif Kombinasi Natrium Tiosulfat Dan Natrium Nitrit Sebagai Antidot Keracunan Sianida Akut Pada Mencit Jantan Galur Swiss”. Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Farmasi (S. Farm.), Program Studi Ilmu Farmasi, Fakultas Farmasi Sanata Dharma, Yogyakarta. Sekaligus untuk menambah kasanah pengetahuan dalam dunia kesehatan pada umumnya, dan dunia kefarmasian pada khususnya. Rasa terimakasihpun pantas penulis haturkan kepada pihak-pihak yang telah mendukung terwujudnya skripsi ini. Dukungan baik secara langsung maupun tak langsung yang mereka berikan akan sangat bermanfaat bagi penulis. Adapun ucapan terimakasih yang tulus hendak penulis haturkan kepada : 1.
Bapa di surga yang telah mengutus putra-Nya yang tunggal ke dunia untuk menebus dosa manusia dan untuk menyertai umat-Nya yang masih berjuang di dunia ini.
2.
Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
vii
3.
Ipang Djunarko, S.Si., Apt. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan segala waktu dan kesabarannya dalam mendampingi penulis dari awal penelitian hingga selesainya skripsi ini.
4.
Mas Parjiman, Mas Heru, Mas Kayat selaku laboran Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang bersedia membantu dan menemani penulis selama melakukan penelitian.
5.
Pak Agus (laboran Laboratorium Farmakologi) Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Pak Surono (UPHP) Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas
Gadjah
Mada,
atas
bantuannya
dalam
menyediakan hewan uji. 6.
Papa dan Mama yang selalu mendoakan penulis selama penulis jauh dari mereka. Terimakasih juga atas dukungannya sejak penulis dilahirkan di dunia ini.
7.
Bude Yati dan Oma Sri terimakasih atas senyuman dan kesabarannya dalam mendidik penulis.
8.
Paulus Donny J dan Lucia F, my funny little brother.
9.
Dedek Christina Santi D. P. (my inspired), untuk dukungan, kasih sayang, air mata, senyuman, canda tawa, dan buat semua yang kamu berikan. Kamulah kado terindahku.
10.
Coco, Yoyo, Boris, Rizky, Adit, Arie, Yudi, Mas Probo, Robet, Ayu, Chandy, Liancy, Sisil, Ineke, Rinta, Rosa untuk kebersamaannya di masa lalu dan masa yang akan datang.
viii
11.
Lidia Kristalia dan Cin Frengky Cuwondo, terimakasih ya buat pikiran kalian.
12.
Andrew Arief Sudarmono untuk pertemanan selama ini, dukungan, dan kesetiaannya.
13.
Brian Handoko Suciadi untuk pertemanan selama ini, dukungan, dan kebersamaannya.
14.
Teman-teman SMA yang masih terus bersama hingga kini (Bambang dan adiknya Septo dan Dion, Jose Anon, Eman Sonlay, Bertus), terimakasih dukungannya.
15.
Patar, Riki, Nobi, Dina, Monik, dan semua teman-teman SMP lainnya yang sudah membantu penulis menemukan jati diri.
16.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah mendukung untuk terwujudnya skripsi ini. Segala kesempurnaan adalah milik Bapa, maka penulis yang jauh dari
sempurna inipun mengucapkan kata maaf apabila ada kesalahan dan kata-kata yang kurang berkenan di hati pembaca. Dari sini penulis sadar bahwa betapa penting kritik dan saran yang membangun agar karya ini menjadi lebih baik dan bermanfaat. Akhir kata, semoga karya ini berguna bagi perkembangan dunia kesehatan pada umumnya dan dunia kefarmasian pada khususnya.
Penulis
ix
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 28 Juli 2008 Penulis,
Libertus Tintus H
x
DOSIS EFEKTIF KOMBINASI NATRIUM TIOSULFAT DAN NATRIUM NITRIT SEBAGAI ANTIDOT KERACUNAN SIANIDA AKUT PADA MENCIT JANTAN GALUR SWISS
Intisari Sianida merupakan senyawa racun yang dapat mengganggu kesehatan serta mengurangi bioavailabilitas nutrien di dalam tubuh. Natrium tiosulfat dan natrium nitrit dikenal sebagai antidotum yang dapat dikombinasikan untuk terapi keracunan sianida, tetapi berapa kisaran dosisnya belum banyak diteliti. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gejala, mekanisme, wujud, sifat, efek, dan kisaran dosis kombinasi natrium tiosulfat dan natrium nitrit yang efektif untuk menangani keracunan sianida akut pada mencit. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Empat puluh dua ekor mencit jantan dibagi dalam 7 kelompok yang terdiri dari : kelompok I diberi pelarut yang digunakan yaitu aquadest 25 mg/KgBB p.o., kelompok II diberi larutan KCN dosis 26 mg/KgBB p.o., kelompok III diberi Na2S2O3 dosis 22.960 mg/KgBB dan NaNO2 dosis 62.460 mg/KgBB diberikan secara i.p., kelompok IV-VII diberi larutan KCN secara p.o. kemudian diberi antidot kombinasi natrium tiosulfat dan natrium nitrit dengan peringkat dosis natrium tiosulfat berturut-turut : 0.468 mg/KgBB, 3.279 mg/KgBB, 22.960 mg/KgBB dan 160.720 mg/KgBB i.p., untuk natrium nitrit menggunakan 1 peringkat dosis saja yaitu 62.460 mg/KgBB i.p. Didapatkan bahwa gejala keracunan sianida pada mencit meliputi : hilang kesadaran, gagal nafas, kejang, sampai menimbulkan kematian. Wujud efek toksik sianida berupa perubahan biokimia dan juga perubahan fungsional. Sifat dari keracunan sianida pada mencit tidak terbalikkan. Kisaran dosis kombinasi natrium tiosulfat dan natrium nitrit sebagai antidot untuk keracunan sianida pada mencit sebesar 22.960 mg/KgBB untuk natrium tiosulfat dan 62.460 mg/KgBB untuk natrium nitrit secara i.p. Meningkatnya dosis natrium tiosulfat pada kombinasi dengan natrium nitrit dapat meningkatkan efek pengawaracunan sianida pada mencit. Kata kunci : natrium tiosulfat, natrium nitrit, antidot, sianida, keracunan.
xi
EFFECTIVE DOSAGE OF SODIUM TIOSULPHATE AND SODIUM NITRIT AS A COMBINATION FOR THE ANTIDOT OF ACUTE POISONING CIANIDE IN MALE MICE SWISS STRAIN Abstract Cyanide is a toxic compound that can interfere the health and reduce the nutrient bioavailability in the body. Sodium tiosulphate and sodium nitrit can be used together for the therapy of cyanide poisoning, but there is a few experiment about the dosage. The purpose of this experiment is to find out the symptom, mechanism, form, characteristic, effect, and the range of the combination dosage of sodium tiosulphate and sodium nitrit which is effective to prevent the acute toxicity of cyanide in male mice. This experiment belong to pure experimental with one way random sampling design. Fourty two male mice divided into 7 groups consist of group I given the solvent that is aquadest 25 mg/KgBB p.o., group II given by KCN solution 26 mg/KgBB, group III given Na2S2O3 22.960 mg/KgBB and NaNO2 62.460 mg/KgBB i.p., group IV-VII given KCN solution then given combination of antidote that is sodium tiosulphate and sodium nitrit with dosage range for the sodium tiosulphate is : 0.468 mg/KgBB, 3.279 mg/KgBB, 22.960 mg/KgBB, and 160.720 mg/KgBB i.p., sodium nitrit only use 1 dosage that is 62.460 mg/KgBB i.p. And the result for the symptom of cyanide poisoning including : unconscious, breath failure, convultion, even death. The form of the toxic effect is biochemistry and fungtional altered. The characteristic of cyanide poisoning is irreversible. The dosage of combination of sodium thiosulfat and sodium nitrit is 22.960 mg/KgBB for the sodium thiosulfat and 62.460 mg/KgBB for the sodium nitrit via i.p. The rise of the sodium thiosulfat dosage also make the rise of the antidote effect in mice. Keyword : sodium thiosulphate, sodium nitrit, antidote, cyanide, poisoning.
xii
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... i HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. iii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... v HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI…..................................................... vi PRAKATA …....................................................................................................... vii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................. x INTISARI ............................................................................................................. xi ABSTRACT .......................................................................................................... xii DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii DAFTAR TABEL ............................................................................................... xvi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................... xviii BAB I. PENGANTAR ....................................................................................... 1 A. Latar Belakang ....................................................................................... 1 1. Permasalahan .................................................................................... 4 2. Keaslian penelitian ............................................................................ 4 3. Manfaat penelitian ............................................................................. 5 B. Tujuan Penelitian .................................................................................... 5 BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA................................................................... 7 A. Toksikologi ............................................................................................. 7
xiii
B. Masuknya Racun ke dalam Tubuh.......................................................... 12 C. Efek Racun pada Tubuh ...........................................................................14 D. Penanganan Keracunan ............................................................................17 E. Evaluasi Kondisi Darurat dan Perawatannya........................................... 19 F. Asas Umum Terapi Antidot .....................................................................23 G. Asam Sianida ...........................................................................................24 H. Antidotum Sianida ...................................................................................29 I. Natrium Tiosulfat .....................................................................................36 J. Natrium Nitrit...........................................................................................39 K. Landasan Teori.........................................................................................42 L. Hipotesis...................................................................................................43 BAB III. METODE PENELITIAN .................................................................... 44 A. Jenis dan Rancangan Penelitian .............................................................. 44 B. Variabel dan Definisi Operasional ......................................................... 44 C. Bahan Penelitian...................................................................................... 46 D. Alat dan Instrumen Penelitian................................................................. 46 E. Tata Cara Penelitian ................................................................................ 47 1. Pembuatan larutan dan penetapan dosis KCN .................................. 47 2. Pembuatan larutan dan penetapan dosis natrium tiosulfat................. 47 3. Pembuatan larutan dan penetapan dosis natrium nitrit..................... 47 4. Pengelompokkan hewan uji .............................................................. 48 5. Penanganan hewan uji……………………………………………….48 6. Pengamatan ...................................................................................... 48
xiv
F.
Analisis Hasil ...................................................................................... 49
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 50 A.
Dosis Efektif Kombinasi Natrium Tiosulfat dan Natrium Nitrit sebagai Antidotum Sianida .................................................................................. 50 1. Perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik jantung berdebar…………………………………………………………….. 55 2. Perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik hilang kesadaran……………………………………………………………..58 3. Perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik gagal nafas….61 4. Perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik kejang ….......64 5. Perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik mati.... ……...67
B.
Hubungan Dosis Kombinasi antara Natrium Tiosulfat dan Natrium Nitrit dengan Efek Penawaran Racun ......................................................71
C.
Sifat Terbalikkan Kombinasi Natrium Tiosulfat dan Natrium Nitrit pada Keracunan Sianida.......................................................................... 74
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................80 A. Kesimpulan ............................................................................................. 80 B. Saran ........................................................................................................ 80 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 81 BIOGRAFI PENULIS .......................................................................................... 92
xv
DAFTAR TABEL
Tabel I.
Hasil pengamatan gejala efek toksik sianida terhadap 7 kelompok perlakuan ............................................................................................... 51
Tabel II.
Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik jantung berdebar................................................................................................. 56
Tabel III.
Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik hilang kesadaran............................................................................................... 62
Tabel IV.
Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik gagal nafas ............................................................................................................... 67
Tabel V.
Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik kejang .... 71
Tabel VI.
Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik mati........ 77
Tabel VII.
Hasil perbandingan pengamatan gejala efek toksik sianida terhadap kelompok kontrol ……………………………………………………. 85
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Penggantian sianida dari sitokrom a3 oksidase oleh methemoglobin ... 31
Gambar 2
Struktur kimia 4-DMAP (4-dimethylaminophenol) ............................. 32
Gambar 3
Pengubahan sianmethemoglobin menjadi tiosianat oleh rodanase dan tiosulfat.................................................................................................. 33
Gambar 4
Struktur kimia (dimethyl-5,6-benzimadazolyl) hydroxocobamide........ 35
Gambar 5
Struktur kimia Dicobalt-EDTA............................................................. 36
Gambar 6
Pengubahan cyanmethemoglobin menjadi tiosianat oleh rodhanase dan tiosulfat................................................................................................... 75
Gambar 7
Kurva hipotesis yang melukiskan hubungan antara kadar racun didalam darah atau ditempat aksi lawan waktu dengan strategi terapi keracunan mempercepat eliminasi........... ............................................................... 76
Gambar 8
Kurva hipotesis yang melukiskan hubungan antara kadar racun di dalam darah atau di tempat aksi lawan waktu strategi terapi keracunan penghambatan distribusi......................................................................... 77
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.
Data waktu (detik) timbulnya gejala efek toksik akibat pemberian sianida secara peroral, aquadest secara peroral, Na-tiosulfat + Na-nitrit secara intraperitonial…………………………………91
Lampiran 2.
Data waktu (detik) timbulnya gejala efek toksik akibat pemberian Sianida + Na-tiosulfat 0.468 mg/KgBB + Na-nitrit, Sianida + Natiosulfat 3.279 mg/KgBB + Na-nitrit, Sianida + Na-tiosulfat 22.960 mg/KgBB + Na-nitrit, Sianida + Na-tiosulfat 160.720 mg/KgBB + Na-nitrit…………………………………………..92
Lampiran 3.
Data waktu (detik) timbulnya gejala efek toksik akibat pemberian Sianida + Na-tiosulfat 160.720 mg/KgBB + Na-nitrit…………93
Lampiran 4.
Hasil analisis data penelitian dengan program SPSS…………..94
xviii
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Sianida merupakan senyawa racun yang dapat mengganggu kesehatan serta mengurangi bioavailabilitas nutrien di dalam tubuh. Selain di dalam ketela pohon dan kacang koro; sianida juga sering dijumpai pada daun salam, cherry, ubi, dan keluarga kacang–kacangan lainnya seperti kacang almond. Sianida merupakan racun yang bekerja cepat, berbentuk gas tak berbau dan tak berwarna, yaitu hidrogen sianida (HCN) atau sianogen khlorida (CNCl) atau berbentuk kristal seperti sodium sianida (NaCN) atau potasium sianida (KCN). Racun ini menghambat sel tubuh mendapatkan oksigen sehingga yang paling terpengaruh adalah jantung dan otak (Utama, 2006). Selain dari makanan, sianida juga dapat berasal dari rokok, bahan kimia yang digunakan pada proses pertambangan dan sumber lainnya, seperti pada sisa pembakaran produk sintesis yang mengandung karbon dan nitrogen seperti plastik yang akan melepaskan sianida. Pada perokok pasif dapat ditemukan sekitar 0.06 µg/ml sianida dalam darahnya, sementara pada perokok aktif ditemukan sekitar 0.17 µg/ml sianida dalam darahnya. Hidrogen sianida sangat mudah diabsorpsi oleh paru, gejala keracunan dapat timbul dalam hitungan detik sampai menit. Jika gas hidrogen sianida terhirup sebanyak 50 ml (pada 1.85 mmol/L) dapat berakibat fatal dalam waktu yang singkat (Utama, 2006).
1
2
Masuknya sianida ke dalam tubuh tidak hanya melewati saluran pencernaan tetapi dapat juga melalui saluran pernafasan, kulit dan mata. Yang dapat menyebabkan keracunan tidak hanya sianida secara langsung tetapi dapat pula bentuk asam dan garamnya, seperti asam hidrosianik sekitar 2,500–5,000 mg.min/m3 dan sianogen klorida sekitar 11,000 mg.min/m3 (Utama, 2006). Gejala yang paling cepat muncul setelah keracunan sianida adalah iritasi pada lidah dan membran mukus serta suara desir darah yang tidak teratur. Gejala dan tanda awal yang terjadi setelah menghirup HCN atau menelan garam sianida adalah kecemasan, sakit kepala, mual, bingung, vertigo, dan hypernoea, yang diikuti dengan dyspnea, sianosis (kebiruan), hipotensi, bradikardi, dan sinus atau aritmea AV nodus. Dalam keracunan stadium kedua, tampak kecemasan berlebihan,
koma,
dan
terjadi
kejang,
nafas
tersengal-sengal,
kolaps
kardiovaskular, kulit menjadi dingin, berkeringat, dan lembab. Nadi menjadi lemah dan lebih cepat. Tanda terakhir dari toksisitas sianida meliputi hipotensi, aritmia kompleks, gagal jantung, udem pada paru-paru dan kematian (Utama, 2006). Jika sianida yang masuk ke dalam tubuh masih dalam jumlah yang kecil maka sianida akan diubah menjadi tiosianat yang lebih aman dan diekskresikan melalui urin. Selain itu, sianida akan berikatan dengan vitamin B12. Tetapi bila jumlah sianida yang masuk ke dalam tubuh dalam dosis yang besar, tubuh tidak akan mampu untuk mengubah sianida menjadi tiosianat maupun mengikatnya dengan vitamin B12 (Utama, 2006). Jalur terpenting dari pengeluaran sianida ini adalah dari pembentukan
3
tiosianat (SCN-) yang diekresikan melalui urin. Tiosianat ini dibentuk secara langsung sebagai hasil katalisis dari enzim rhodanese dan secara indirek sebagai reaksi spontan antara sianida dan sulfur persulfida (Utama, 2006). Reaksi ini membutuhkan sumber utama yaitu sulfur sulfan namun jumlahnya dalam tubuh terbatas maka natrium tiosulfat dapat digunakan sebagai antidot dalam keracunan sianida karena natrium tiosulfat dapat berfungsi sebagai pemasok sulfur. Natrium tiosulfat merupakan antidot pilihan jika diagnosisnya belum tentu jelas karena keracunan sianida atau bukan, seperti dalam kasus yang disebabkan oleh asap rokok (Meredith, 1993). Melihat kasus–kasus yang telah terjadi dan penjelasan mengenai bahaya sianida bagi manusia maka besar kemungkinan seseorang mengalami keracunan sianida, untuk itulah diperlukan tindakan untuk mengatasi keracunan sianida, yang salah satunya adalah dengan menggunakan antidotum (Meredith, 1993). Dari literatur yang didapat, antidotum yang dapat digunakan pada keracunan sianida adalah natrium nitrit dan juga natrium tiosulfat tetapi selama ini berapa besar dosis efektifnya dan bagaimana cara penggunaannya belum diketahui dengan pasti. Dari penelitian Djunarko (2007) diketahui bahwa pada dosis yang tinggi (195 mg/KgBB mencit) natrium nitrit dapat menyebabkan keracunan, sedangkan pada dosis yang kecil (20 mg/KgBB mencit) natrium nitrit belum dapat menolong keracunan sianida akut, dan diketahui pula dosis efektifnya sebesar 62.460 mg/KgBB mencit. Dari literatur diketahui bahwa kombinasi natrium tiosulfat dan natrium nitrit memberikan efek yang sinergis bila digunakan sebagai antidotum
4
keracunan sianida akut. Natrium tiosulfat akan bekerja dengan mekanisme mempercepat eliminasi, sedangkan natrium nitrit akan bekerja dengan mekanisme hambatan bersaing (Kerns, 2002). Berdasarkan latar belakang di atas maka diperlukan penelitian toksikologi klinis mengenai berapa besar dosis natrium nitrit dan natrium tiosulfat yang efektif untuk mengatasi keracunan sianida. Pada percobaan ini digunakan hewan uji mencit kemudian hasilnya dikonversikan ke dosis manusia. Dengan mengetahui dosis efektif antidot pada manusia maka dapat digunakan untuk pengawaracunan pada keracunan sianida. 1. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, timbul permasalahan untuk diteliti : a. Berapa besar dosis efektif natrium tiosulfat yang dikombinasikan dengan natrium nitrit sebagai antidot untuk keracunan sianida pada mencit? b. Apakah meningkatnya dosis natrium tiosulfat sebagai kombinasi dengan natrium nitrit dapat meningkatkan efek penawaran racun pada keracunan sianida pada mencit? c. Bagaimana sifat terbalikkan natrium tiosulfat dan natrium nitrit pada keracunan sianida pada mencit? 2. Keaslian penelitian Penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya yaitu penelitian potensi natrium nitrit sebagai antidotum untuk keracunan sianida pada mencit (Djunarko, 2007). Didapatkan hasil bahwa dosis efektif natrium nitrit untuk
5
antidotum keracunan sianida adalah sebesar 62.460 mg/KgBB secara i.p. Selain itu dari penelitian tersebut diketahui pula bahwa hubungan antara dosis natrium nitrit dengan efek pengawaracunan sianida dosis 26 mg/KgBB adalah tidak berbanding lurus. Namun, sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian tentang Kombinasi Natrium Tiosulfat dan Natrium Nitrit Sebagai Antidot Terhadap Keracunan Sianida Akut Pada Mencit Jantan Galur Swiss. 3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis Penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan pengetahuan tentang natrium tiosulfat dan natrium nitrit sebagai antidotum keracunan sianida. b. Manfaat metodologis Penelitian ini dapat memberi informasi tentang metode antidot kombinasi dan cara pemberian lainnya. c. Manfaat praktis Penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui berapa besar dosis efektif dari natrium nitrit dan natrium tiosulfat yang dapat digunakan pada pelayanan kefarmasian.
B. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui besar dosis efektif kombinasi natrium tiosulfat dan natrium nitrit yang efektif untuk keracunan sianida pada mencit. 2. Mengetahui hubungan antara dosis kombinasi natrium tiosulfat dan natrium nitrit dengan efek penawaran racun pada keracunan sianida pada mencit.
6
3. Mengetahui sifat terbalikkan natrium tiosulfat dan natrium nitrit pada keracunan sianida pada mencit.
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA
A. Toksikologi Merupakan ilmu yang lebih tua dari farmakologi. Disiplin ini mempelajari sifat-sifat racun zat kimia terhadap makhluk hidup dan lingkungan. Sedikitnya 50.000 zat kimia kini digunakan oleh manusia dan karena tidak dapat dihindarkan, maka kita harus sadar tentang bahayanya (Anonim, 1995). 1. Definisi toksikologi Beberapa sumber mengkaji tentang definisi toksikologi antara lain: toksikologi ditakrifkan sebagai ilmu yang mempelajari aksi bahaya zat kimia atas sistem biologi tertentu (Loomis, 1978). Lu (1995) mendefinisikan toksikologi sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya. Toksikologi ialah ilmu pengetahuan mengenai kerja senyawa kimia yang merugikan terhadap organisme hidup (Ariens, Mutschler, Simonis, 1986). Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang zat kimia dan aksinya di dalam tubuh (Clarke and Clarke, 1975). Toksikologi juga didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang efek yang merugikan dari zat kimia atau zat asing secara fisik dalam sistem biologik (Hayes, 2001). Jadi istilah toksikologi ialah ilmu yang mempelajari pengaruh kuantitatif zat kimia atas sistem-sistem biologi, yang pusat perhatiannya terletak pada aksi berbahaya zat kimia itu (Donatus, 2001). Asas utama toksikologi meliputi kondisi pemejanan racun, kondisi
7
8
makhluk hidup yang terpejani oleh racun, mekanisme aksi toksik, respons sel atau organel terhadap aksi toksik, wujud dan sifat efek toksik. Hal tersebut merupakan tolok ukur ketoksikan dari zat berbahaya (Loomis, 1978). Racun adalah suatu zat yang walaupun dalam jumlah yang sedikit dapat menyebabkan rasa sakit jika masuk kedalam tubuh. Rasa sakit dapat bersifat ringan (contohnya : sakit kepala atau mual) atau parah (contohnya, sakit yang tiba-tiba atau demam yang sangat tinggi), dan keracunan yang parah dapat menyebabkan kematian (Henry, 1997). Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa digunakan dalam membandingkan suatu zat kimia dengan yang lainnya. Suatu hal yang biasa untuk mengatakan bahwa suatu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lainnya. Perbandingan antara zat kimia seperti itu sangat tidak informatif, kecuali jika pernyataaan tersebut melibatkan informasi tentang mekanisme biologi yang sedang dipermasalahkan dan juga kondisi bagaimana zat kimia tersebut berbahaya. Karena itu pendekatan toksikologi adalah dari segi studi tentang berbagai efek zat kimia atas berbagai sistem biologi, dengan penekanan pada mekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan berbagai kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi (Loomis, 1978). 2. Asas umum toksikologi 1. Kondisi efek toksik Termasuk dalam kondisi efek toksik ialah kondisi pemejanan yang meliputi jenis pemejanan (akut, sub akut atau kronis), jalur pemejanan (intravaskuler atau ekstravaskuler), lama pemejanan dan kekerapan pemejanan, saat pemejanan dan takaran atau dosis pemejanan. Selain itu termasuk pula dalam
9
kondisi efek toksik ialah kondisi subyek atau makhluk hidup, meliputi keadaan fisiologi (misalnya : berat badan, umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran darah, status gizi, kehamilan, genetika, jenis kelamin, ritme sirkadian, ritme diurnal, dan keadaan patologi misalnya : penyakit saluran cerna, kardiovaskular, hati dan ginjal) berbagai macam kondisi itu, akan mempengaruhi ketersediaan zat beracun atau metabolitnya di dalam sel sasaran atau keefektifan antaraksinya, dengan sel sasaran. Dengan cara demikian akan menentukan ketoksikan sesuatu zat beracun. Jadi jelaslah bahwa ketoksikan zat beracun, salah satunya ditentukan oleh kondisi efek toksiknya (Donatus, 1990a). Cara suatu racun masuk kedalam tubuh disebut rute pemaparan atau rute absorpsi. Jumlah racun yang mencapai kealiran darah selama waktu tertentu tergantung dari rute absorpsinya (Henry, 1997). 2. Mekanisme aksi efek toksik Ketika kita kontak dengan racun, maka kita disebut terpejani racun. Efek dari suatu pemejanan, sebagian tergantung pada berapa lama kontak dan berapa banyak racun yang masuk dalam tubuh, sebagian lagi tergantug pada berapa banyak racun dalam tubuh yang dapat dikeluarkan. Selama waktu tertentu pemejanan dapat terjadi hanya sekali atau beberapa kali (Henry, 1997). Pada dasarnya setelah zat beracun masuk kedalam tubuh, suatu ketika dapat terdistribusi kedalam cairan ekstrasel dan intrasel. Berdasarkan atas sifat dan tempat kejadiannya, mekanisme aksi toksik zat kimia dibagi menjadi dua, yakni mekanisme luka intrasel dan ekstrasel (Donatus, 1990a).
10
3. Wujud efek toksik Beberapa racun diubah oleh tubuh menjadi zat-zat kimia yang lain, yang disebut metabolit dan kemungkinan dapat bersifat kurang beracun atau malah lebih beracun dari senyawa aslinya. Metabolit lebih mudah dikeluarkan dari tubuh daripada senyawa aslinya. Perubahan racun menjadi metabolit sebagian besar terjadi di hati (Henry, 1997). Pada dasarnya merupakan perubahan biokimia, fungsional, dan struktural, namun tidak berarti bahwa efek toksik zat beracun sepenuhnya dapat terpisah dengan tegas kedalam tiga jenis wujud dasar efek toksik itu (Donatus, 1990a). Zat kimia dapat menimbulkan efek lokal maupun sistemik pada tubuh efek lokal hanya terbatas pada sebagian dari organ tubuh yang terkena racun, misalnya, kulit, mata saluran nafas atau usus, contoh efek lokal adalah munculnya bintik-bintik merah pada kulit, kulit terasa terbakar, mata berair, dan iritasi pada tenggorokan yang dapat menyebabkan batuk. Beberapa jenis racun dapat menyebabkan efek lokal tapi sebagian tidak menimbulkan efek lokal efek sistemik merupakan efek yang lebih umum yang terjadi setelah racun diabsorbsi. Beberapa jenis racun dapat menyebabkan efek lokal maupun sistemik (Henry, 1997). Jenis efek toksik berdasarkan perubahan biokimia, meliputi jenis wujud efek toksik yang berkaitan dengan respon dan perubahan atau kekacauan biokimia terhadap luka sel, akibat antaraksi antara zat beracun dan tempat aksi tertentu, yang sifatnya terbalikkan. Termasuk dalam jenis wujud efek toksik ini diantaranya perubahan respirasi sel, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, dan gangguan pasok energi. Sianida misalnya mampu menghambat rantai transport
11
elektron (Donatus, 1990a). Jenis efek toksik berdasarkan perubahan fungsional meliputi jenis wujud efek toksik yang berkaitan dengan antaraksi zat beracun dengan reseptor atau tempat aktif enzim yang sifatnya terbalikkan sehingga dapat mempengaruhi fungsi homeostasis tertentu. Termasuk dalam jenis wujud efek toksik ini diantaranya anoksia, gangguan pernafasan, gangguan sistem saraf, hiper atau hipotensi, hiper atau hipoglikemia, perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit, perubahan kontraksi atau relaksasi otot atau hipo/hiperemi. Hal tersebut dapat terjadi karena hambatan enzim yang secara normal bertanggung jawab terhadap penawaracunan neurotransmitter itu (Donatus, 1990a). Efek toksik berdasarkan perubahan struktural, meliputi jenis wujud efek toksik yang berkaitan dengan perubahan morfologi sel yang akhirnya terwujud sebagai kekacauan struktural yang terdapat tiga respon histopatologi dasar sebagai tanggapan terhadap adanya luka sel, yakni degenerasi, profilerasi dan inflamasi atau perbaikan. Pada perubahan struktural ini bersifat tak terbalikkan, misalnya degenerasi lemak (Donatus, 1990a). 4. Sifat efek toksik Pada dasarnya hanya terdapat dua jenis sifat efek toksik zat beracun, yakni terbalikkan atau tak terbalkkan. Ciri khas dari wujud efek toksik yang terbalikkan yaitu : (1) bila kadar racun yang ada pada tempat aksi atau reseptor tertentu telah habis, maka reseptor tersebut akan kembali ke kedudukan semula (2) efek toksik yang ditimbulkan akan cepat kembali normal, dan (3) ketoksikan racun bergantung pada takaran serta kecepatan absorpsi, distribusi, dan eliminasi
12
racunnya. Ciri khas dari wujud efek toksik yang tak terbalikkan yaitu : (1) kerusakan yang terjadi sifatnya menetap (2) pemejanan berikutnya dengan racun akan menimbulkan kerusakan yang sifatnya sama sehingga memungkinkan terjadinya penumpukan efek toksik
dan (3) pemejanan dengan takaran yang
sangat kecil dalam jangka panjang akan menimbulkan efek toksik yang seefektif dengan yang ditimbulkan oleh pemejanan racun dengan takaran besar dalam jangka pendek (Donatus, 1990a). Racun yang tidak berubah (masih dalam bentuk utuhnya) maupun bentuk metabolitnya biasanya dikeluarkan melalui urin, feses, atau keringat, atau udara yang dihembuskan saat bernafas. Mekanisme perubahan racun dari darah ke urin terjadi di ginjal dan mekanisme perubahan racun dari darah ke gas yang dihembuskan saat bernafas terjadi di paru-paru. Racun yang terdapat di feses mungkin melewati usus tanpa diabsorpsi oleh pembuluh darah yang ada diusus atau jika diabsorpsi maka akan dikembalikan lagi ke usus (Henry, 1997).
B. Masuknya Racun ke dalam Tubuh Racun dapat masuk ke dalam tubuh diantaranya melalui : 1. Melalui mulut karena tertelan (ingesti). Sebagian keracunan terjadi melalui jalur ini anak-anak sering menelan racun secara tidak sengaja dan orang dewasa terkadang bunuh diri dengan menelan racun. Saat racun tertelan dan mulai mencapai lambung, racun dapat melewati dinding usus dan masuk kedalam pembuluh darah, semakin lama racun tinggal di dalam usus maka jumlah yang masuk ke pembuluh darah juga semakin besar dan keracunan yan terjadi semakin
13
parah (Henry, 1997). Jika seseorang muntah setelah menelan racun maka racun dapat dikeluarkan dari tubuh sebelum racun mencapai peredaran darah. Jadi jika pasien keracunan tidak muntah maka perlu dipaksa untuk mutah. Ada 2 macam cara yang lain untuk menghambat masuknya racun ke peredaran darah, yaitu dengan pemberian arang aktif yang dapat mengikat racun sehingga tidak melewati dinding usus, atau dengan pemberian laksatif sehingga racun dapat dikeluarkan dari saluran pencernaan dengan lebih cepat, racun yang tidak dapat menembus dinding usus dan mencapai sistem peredaran darah, tidak akan memberikan efek pada tubuh. Racun akan melewati saluran pencernaan dan keluar melalui feses (Henry, 1997). 2. Melalui paru-paru karena terhirup melalui mulut atau hidung (inhalasi). Racun yang berbentuk gas, uap, debu, asap atau spray dapat terhirup melalui mulut dan hidung dan masuk ke paru-paru. Hanya partikel-partikel yang sangat kecil yang dapat melewati paru-paru. Partikel-partikel yang lebih besar akan tertahan dimulut, tenggorokan dan hidung dan mungkin dapat tertelan. Racun yang dapat sampai ke paru-paru akan masuk ke peredaran darah dengan sangat cepat karena tempat pertukaran udara di paru-paru memiliki dinding yang tipis dan banyak terdapat aliran darah (Henry, 1997). 3. Melalui kulit yang terkena cairan atau spray. Orang yang bekerja dengan zatzat kimia seperti pestisida dapat teracuni jika zat kimia tersemprot atau terciprat ke kulit mereka atau jika pakaian yang mereka pakai terkena pestisida. Kulit merupakan barier yang melindungi tubuh dari racun, meskipun beberapa racun
14
dapat masuk melalui kulit. Racun lebih cepat melewati kulit yang hangat, basah atau berkeringat dibanding dengan kulit yang dingin atau kering dan lebih cepat melewati kulit yang terluka atau terbakar daripada kulit yang utuh (Henry, 1997).
C. Efek Racun pada Tubuh Racun memiliki efek, diantaranya : 1.
Efek lokal
a.
Pada kulit Zat kimia dapat merusak kulit, menyebabkan kulit menjadi kemerahan atau
berbintik-bintik merah, nyeri, bengkak, berair atau seperti terbakar. Zat kimia yang bersifat iritan, menyebabkan gatal, rasa seperti terbakar, nyeri, saat terkena langsung tapi tidak menimbulkan rasa seperti terbakar apabila langsung dicuci. Beberapa zat iritan tidak menimbulkan efek pada saat pertama mengenai kulit, tapi setelah kontak berikutnya dapat menyebabkan kemerahan atau berbintik-binti merah. Zat kimia yang bersifat korosif atau kausatik menyebabkan rasa nyeri seperti terbakar dengan lebih cepat dan merusak kulit, menyebabkan kulit berair dan berubah warna menjadi abu-abu atau kecoklatan (Henry, 1997). b.
Pada mata Zat iritan atau korosif dapat menyebabkan nyeri yang hebat pada mata
dengan sangat cepat dan menyebabkan cacat pada mata hingga kebutaan. Mata tampak merah dan berair (Henry, 1997). c.
Pada usus Zat iritan atau korosif dapat merusak mulut dan tenggorokan atau bagian
15
dalam usus nyeri pada perut, muntah dan diare, dan muntahan serta fesesnya mungkin mengandung darah. Jika tenggorokan terasa terbakar, kemungkinan akan terjadi peradangan dengan cepat sehingga menyebabkan orang tidak dapat bernafas (Henry, 1997). d.
Pada saluran pernafasan dan paru-paru Beberapa gas dan uap dapat menyebabkan iritasi pada hidung, tenggorokan
dan saluran pernafasan bagian atas dan dapat menyebabkan batuk dan susah bernafas. Beberapa gas dan uap dapat merusak paru-paru dengan mekanisme tertentu sehingga menyebabkan paru-paru terisi air. Hal ini dapat terjadi segera setelah seseorang menghirup zat tersebut atau dapat juga terjadi hingga 48 jam kemudian. Orang dengan paru-paru terisi air tidak dapat bernafas dengan baik. Beberapa gas dapat menyebabkan udem pada paru-paru, juga dapat mengiritasi hidung, tenggorokan dan saluran pernafasan atas, dan dapat menyebabkan batuk serta menyebabkan susah bernafas. Saat orang mulai batuk dan susah bernafas, mereka harus dijauhkan dari gas tersebut dengan cepat dan dibawa ke udara terbuka, jika memungkinkan (Henry, 1997). Beberapa gas, seperti karbon monoksida, tidak memiliki efek pada hidung dan tenggorokan. Gas beracun yang tidak menimbulkan batuk atau tidak menghambat saluran pernafasan sangat berbahaya, karena kita tidak menyadari sebenarnya kita sedang menghirup racun (Henry, 1997). e.
Melalui injeksi pada kulit Racun dapat diinjeksikan masuk kedalam kulit melalui jarum suntik, selama
proses pentatoan, atau gigitan atau sengatan hewan beracun seperti serangga, ikan
16
atau ular. Racun yang tersuntik kedalam pembuluh darah menimbulkan efek yang sangat cepat. Racun yang tersuntik kebawah kulit atau otot harus melewati beberapa lapis jaringan sebelum mencapai pembuluh darah, sehingga aksinya lebih lambat (Henry, 1997). f.
Pada bagian yang terinjeksi Racun iritan yang terinjeksi ke kulit, seperti racun dari sengat serangga dan
gigitan ular, dapat menyebabkan nyeri dan bengkak ditempat yang terkena (Henry, 1997). 2.
Efek sistemik Ada beberapa cara sehingga racun dapat menyebabkan sakit : a. Merusak organ-organ seperti otak, saraf, jantung, hati, paru-paru, ginjal
atau kulit. Sebagian besar racun memiliki efek yang lebih besar pada satu atau dua organ dibanding organ yang lain. Organ yang terkena efek lebih besar disebut sebagai organ sasaran b. Memblok hubungan antar saraf c. Menghentikan
kerja
tubuh
sama
sekali,
misalnya
menghentikan
pemasokan energi atau oksigen (Henry, 1997). 3. Efek pada bayi yang masih dalam kandungan Beberapa racun dapat menyerang bayi yang masih dalam kandungan, hal ini lebih sering terjadi pada trimester pertama kehamilan, saat mulai terjadi pembentukan sistem saraf dan pembentukan organ-organ utama. Bagian dari bayi yang lebih mudah terserang adalah tulang, mata, telinga, mulut dan otak. Jika kerusakan yang ditimbulkan sangat parah, maka bayi akan berhenti berkembang
17
dan mati. Ada beberapa racun yang hanya menyerang bayi tanpa menimbulkan efek pada ibunya. Hal ini sangat berbahaya karena ibu tidak mengetahui bahwa bayinya terkena racun (Henry, 1997). Jika seorang ibu hamil mengkonsumsi alkohol atau merokok selama kehamilannya maka dapat membahayakan bayinya. Obat-obatan juga dapat membahayakan bayi yang masih dalam kandungan. Wanita hamil sebaiknya tidak mengkonsumsi obat-obatan kecuali yang diresepkan oleh dokter (Henry, 1997).
D. Penanganan Keracunan Pada umumnya para pakar sependapat bahwa penanganan keracunan bahan berbahaya akut, dibagi dalam tiga tahap tindakan, yakni : tindakan terapi suportif, penyidikan jenis racun penyebab, dan terapi antidot (Donatus, 1997). 1.
Terapi suportif Pada dasarnya merupakan tindakan pertolongan pertama, ditujukan untuk
memperbaiki kondisi dan menyelamatkan jiwa penderita. Tindakan ini akan memelihara fungsi vital seperti pernafasan dan peredaran darah, sehingga penderita selamat serta menjadi lebih mudah dan kooperatif untuk menjalani terapi antidot berikutnya. Memperhatikan tujuan dan fungsi terapinya, jelas bahwa terapi suportif harus dilakukan dengan cepat atau sesegera mungkin (Donatus, 1997). 2.
Penyidikan jenis racun penyebab Merupakan tindakan penting yang ditujukan untuk menentukan pilihan
tindakan terapi antidot. Tindakan ini dilakukan dengan cara :
18
a. Wawancara dengan penderita atau penghantar. b. Pemeriksaan gejala-gejala keracunan yang ada secara sistematis. c. Pemeriksaan wadah dan sisa bahan penyebab yang dicurigai, muntahan, air kencing, atau darah penderita. Pengiriman bahan yang diperoleh pada butir c ke laboratorium (Donatus, 1997). 3.
Terapi antidot Merupakan tata cara yang secara khusus ditujukan untuk membatasi
intensitas (kekuatan) efek toksik zat kimia atau menyembuhkan efek toksik yang ditimbulkannya, sehingga bermanfat dalam mencegah timbulnya bahaya lebih lanjut. Berarti, sasaran terapi antidot adalah pengurangan intensitas efek toksik, lantas, bagaimana cara penatalaksanaannya? (Donatus,1997). Seperti telah diungkapkan, keberacunan (intensitas efek toksik) suatu bahan berbahaya di antaranya ditentukan oleh keberadaan bahan berbahaya di tempat kerja yang melebihi harga KTM-nya lebih lanjut, keadaan ini bergantung pada keefektifan absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi bahan berbahaya terkait. Perlu dicatat, strategi terapi antidot mana yang akan diambil, sepenuhnya bergantung pada pengetahuan atau informasi tentang rentang waktu antara saat pemejanan bahan berbahaya, saat timbulnya gejala-gejala toksik, dan saat penderita siap menjalankan terapi. Karena pengetahuan ini diperlukan untuuk memprakirakan dominasi tahapan nasib bahan berbahaya di dalam tubuh. Misal bahan berbahaya diprakirakan sudah terabsorpsi sempurna, maka tindakan penghambatan absorpsi sudah tidak diperlukan. Dalam hal ini, mungkin yang
19
diperlukan penghambatan distribusi atau peningkatan eliminasinya. Masalahnya sekarang, bagaimana tata cara pelaksanaan masing-masing strategi tersebut (Donatus, 1997)? Ketiga strategi dasar terapi antidot tersebut dapat dikerjakan dengan metode yang tak khas atau metode yang khas. Dimaksud dengan metode tak khas ialah metode umum yang dapat diterapkan terhadap sebagian besar zat beracun. Metode khas ialah metode yang hanya digunakan bila zat beracunnya telah tersidik jati dirinya serta zat antidotnya tersedia (Donatus, 1997).
E. Evaluasi Kondisi Darurat dan Perawatannya Ketika merawat orang pada kasus keracunan, diperlukan ulasan yang cepat untuk menentukan langkah yang tepat dan membutuhkan perawatan untuk menyelamatkan penderita. Berikut adalah daftar langkah-langkah untuk menangani orang yang keracunan (Olson, 2007). 1. Jalur udara. a. Assessment. Faktor yang secara umum dapat menyebabkan kematian akibat overdosis obat atau keracunan adalah terhambatnya jalur pernafasan, yang disebabkan oleh lidah yang lunak, penarikan nafas pada paru-paru yang terisi oleh zat-zat dalam lambung, atau pernafasan yang terhenti (Olson, 2007). b. Perawatan. Mengoptimalkan posisi jalur udara, dan memberikan intubasi endotrakeal bila diperlukan (Olson, 2007).
20
2. Pernapasan. Selama terdapat masalah dengan jalur udara, gangguan pernafasan merupakan penyebab utma kematian pada pasien yang keracunan atau overdosis obat. Pasien mungkin akan mengalami komplikasi seperti : gagal nafas, hipoksia, atau bronkospasm (Olson, 2007). 3. Sirkulasi. a. Dugaan awal dan perawatannya. 1)
Periksa tekanan darah dan denyut nadi dan ritmenya.
2)
Mulai memonitor elektrokardiografik (ECG) secara terus-menerus.
3)
Lancarkan jalur vena.
4)
Perhatikan peredaran darahnya.
5)
Berikan infuse intravena.
6)
Pada pasien yang sakit serius (seperti : pasien yang memiliki hipotensi,
kejang, koma), gunakan Foley cateter pada kandung kemihnya, periksa urin untuk tes toksikologi, amati urin setiap jam. b. Hambatan AV dan bradikardi. c. Pemanjangan interval QS d. Takikardi. e. Aritmia ventricular. f. Hipotensi. g. Hipertensi (Olson, 2007).
21
4. Mengubah status mental. a. Koma dan pingsan 1)
Pemeriksaan. Penurunan tingkat kesadaran merupakan komplikasi
umum yang paling serius dari overdosis obat atau keracunan: koma dan pingsan merupakan akibat adanya depresi pada sistem otak, yang disebabkan karena agen antikolinergik, obat-obat simpatolitik, depresan, atau toksin yang menyebabkan hipoksia seluler; koma kadang-kadang merupakan suatu gejala setelah obat atau toksin menyebabkan hilang kesadaran; koma mungkin juga disebabkan oleh adanya luka pada otak dengan infark atau perdarahan di otak (Olson, 2007). 2)
Komplikasi koma sering ditandai dengan depresi respiratori yang
merupakan penyebab utama kematian. Kondisi lain yang dapat menandai atau bersamaan dengan koma meliputi hipotensi, hipotermia, hipertermia dan rhabdomyolisis (Olson, 2007). 3)
Diagnosis lain : trauma di kepala atau perdarahan di intracranial;
ketidaknormalan jumlah glukosa, natrium atau elektrolit lain didalam darah; hipoksia; hipotiroid; kerusakan hati atau ginjal; hipertermi atau hipotermi (Olson, 2007). 4)
Terapi : pertahankan jalur nafas dan penggunaan ventilator jika perlu
pemberian oksigen tambahan; berikan dekstrosa, tiamin, dan nalokson; normalkan suhu tubuh; jika ada kemungkinan trauma pada sistem saraf pusat atau kecelakaan pada pembuluh darah otak, perlu adanya CT Scan; jika diduga meningitis atau ensepalitis, perlu adanya terapi antibiotik (Olson, 2007).
22
b. Kejang 1)
Pemeriksaan. Kejang merupakan penyebab utama kematian pada
overdosis obat atau keracunan. Umumnya kejang biasanya menjadi hilang kesadaran, sering juga bersamaan dengan lidah yang tergigit dan pengekuaran urin berlebihan (Olson, 2007). 2)
Komplikasi. Kejang dapat menyebabkan masalah pada saluran nafas,
dapat juga menyebabkan asidosis, hipertermia, rhabdomyolysis, dan kerusakan otak (Olson, 2007). 3)
Diagnosis lain : adanya gangguan metabolisme yang serius (misal
hipoglikemia, hiponatremia, hipokalemia, atau hipoksia); trauma pada kepala; epilepsi idiopathik; penarikan alkohol atau obat hipnotik sedatif; hipertermia; infeksi pada susunan saraf pusat; febrile kejang pada anak-anak (Olson, 2007). 4)
Terapi : pertahankan saluran nafas tetap terbuka dan jika perlu,
gunakan ventilator berikan oksigen tambahan; berikan nalokson jika kejang dapat menyebabkan hipoksia; perlu pemeriksaan apakah terjadi hipoglikemia dan berikan dekstrosa dan tiamin jika koma; gunakan satu atau lebih antikonvulsan (misal : diazepam, lorazepam, midazdam, fenobarbital, propofol dan fenitoin); segera periksa temperatur melalui rectal atau belakang telinga dan turunkan temperatur secara cepat jika diatas 400C; gunakan antidot spesifik jika tersedia (piridoksin, untuk keracunan INH, pralidoksim atau atropin atau keduanya untuk keracunan insektisida organofosfat atau karbamat) (Olson, 2007).
23
F. Asas Umum Terapi Antidot Pada umumnya, para pakar sependapat bahwa tindakan pertama yang sebaiknya dilakukan atas penderita keracunan akut zat kimia ialah terapi suportif, yakni memelihara fungsi vital seperti pernafasan dan sirkulasi. Tindakan selanjutnya yang umum dilakukan meliputi upaya membatasi penyebaran racun dan meningkatkan pengakhiran aksi racun (Donatus, 2001). Ketoksikan racun sebagian besar ditentukan oleh keberadaan (lama dan kadar) racun (bentuk senyawa utuh atau metabolitnya) di tempat aksi tertentu di dalam tubuh. Keberadaan racun tersebut ditentukan oleh keefektifan absorpsi, distribusi dan eliminasinya. Jadi, pada umumnya intensitas efek toksik pada efektor berhubungan erat dengan keberadaan racun di tempat aksi dan takaran pemejanannya (Donatus, 2001). Takrif terapi antidot yang dinyatakan oleh Loomis (1978). Tujuan terapi antidot ialah untuk membatasi intensitas efek toksik racun, sehingga bermanfaat untuk mencegah timbulnya efek berbahaya selanjutnya. Dengan demikian, jelas bahwa sasaran terapi antidot ialah intensitas efek toksik racun (Donatus, 2001). Pada dasarnya dalam praktek toksikologi klinik, terapi antidot dapat dikerjakan dengan metode yang tak khas atau yang khas. Dimaksud dengan metode tak khas ialah metode umum yang dapat diterapkan terhadap sebagian besar racun. Metode khas, ialah metode yang hanya digunakan bila senyawa yang kemungkinan bertindak sebagai penyebab keracunan telah tersidik, serta zat antidotnya ada (Donatus, 2001). Asas umum yang mendasari terapi antidot tersebut meliputi sasaran,
24
strategi dasar, cara, dan pilihan terapi antidot. Sasaran terapi antidot ialah penurunan atau penghilangan intensitas efek toksik racun. Intensitas efek ini ditunjukkan oleh tingginya jarak antara nilai ambang toksik (KTM) dan kadar puncak racun dalam plasma atau tempat aksi tertentu. Strategi dasar terapi antidot meliputi penghambatan absorpsi dan distribusi (translokasi), peningkatan eliminasi, dan atau penaikkan ambang toksik racun dalam tubuh (Donatus, 2001).
G. Asam Sianida Asam sianida merupakan senyawa racun yang dapat mengganggu kesehatan serta mengurangi bioavailabilitas nutrien di dalam tubuh. Sianida sering dijumpai di dalam kacang almond, daun salam, cherry, ubi. Di dalam koro atau tanaman dari keluarga kacang-kacangan dan ketela pohon (Utama, 2006). Sianida merupakan senyawa kimia yang toksik dan memiliki beragam kegunaan, termasuk sintesis senyawa kimia, analisis laboratorium, dan pembuatan logam. Nitril alifatik (acrylonitrile dan propionitrile digunakan dalam produksi plastic yang kemudian dimetabolisme menjadi sianida. Obat vasodilator seperti nitroprusida melepaskan sianida pada saat terkena cahaya ataupun pada saat metabolisme. Sianida yang berasal dari alam (amigdalin dan glikosida sinogenik lainnya) dapat ditemukan dalam biji aprikot, singkong, dan banyak tanaman lainnya, beberapa diantaranya
dapat
berguna,
tergantung
pada
keperluan
ethnobotanikal.
Acetonitrile, sebuah komponen pada perekat besi, dapat menyebabkan kematian pada anak-anak (Olson, 2007). Sianida merupakan racun yang bekerja cepat, berbentuk gas tak berbau
25
dan tak berwarna, yaitu hidrogen sianida (HCN) atau sianogen khlorida (CNCl) atau berbentuk kristal seperti sodium sianida (NaCN) atau potasium sianida (KCN) (Utama, 2006). Hidrogen sianida merupakan gas yang mudah dihasilkan dengan mencampur asam dengan garam sianida dan sering digunakan dalam pembakaran plastik, wool, dan produk natural dan sintetik lainnya. Keracunan hidrogen sianida dapat menyebabkan kematian, dan pemaparan secara sengaja dari sianida (termasuk garam sianida) dapat menjadi alat untuk melakukan pembunuhan ataupun bunuh diri (Olson, 2007). Akibat racun sianida tergantung pada jumlah paparan dan cara masuk tubuh, lewat pernapasan atau pencernaan. Racun ini menghambat sel tubuh mendapatkan oksigen sehingga yang paling terpengaruh adalah jantung dan otak. Paparan dalam jumlah kecil mengakibatkan napas cepat, gelisah, pusing, lemah, sakit kepala, mual dan muntah serta detak jantung meningkat. Paparan dalam jumlah besar menyebabkan kejang, tekanan darah rendah, detak jantung melambat, kehilangan kesadaran, gangguan paru serta gagal napas hingga korban meninggal (Utama, 2006). Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai sianida yaitu : 1.
Kondisi pemejanan Adapun hal-hal yang berkaitan dengan kondisi pemejanan sianida antara lain:
a.
Jenis pemejanan : akut dan kronis
b.
Jalur pemejanan : inhalasi, mata, dan saluran pencernaan
c.
Lama, kekerapan : akut atau berulang
d.
Takaran atau dosis :
26
1) Dosis letal dari sianida adalah : asam hidrosianik sekitar 2,500–5,000 mg.min/m3, dan untuk sianogen klorida sekitar 11,000 mg.min/m3 (Meredith, 1993). 2) Terpapar hidrogen sianida meskipun dalam tingkat rendah (150-200 ppm) dapat berakibat fatal. Tingkat udara yang diperkirakan dapat membahyakan hidup atau kesehatan adalah 50 ppm. Batasan HCN yang direkomendasikan pada daerah kerja adalah 4.7 ppm (5 mg/m3 untuk garam sianida). HCN juga dapat diabsorpsi melalui kulit (Olson, 2007). 3) Ingesti pada orang dewasa sebanyak 200 mg sodium atau potassium sianida dapat berakibat fatal. Larutan dari garam sianida dapat diabsorpsi melalui kulit (Olson, 2007). 4) Keracunan sianida akut biasanya jarang terjadi dengan infusi nitroprusida (pada kecepatan infuse yang normal) atau setelah ingesti dari amigdalin (Olson, 2007). e. Saat pemejanan : makanan, rokok, lingkungan industri, bunuh diri, kesengajaan (Meredith, 1993). 2.
Mekanisme efek toksik Sianida merupakan inhibitor nonspesifik enzim, meliputi asam suksinat
dehidrognase, superoksida dismutase, karbonat anhidrase, sitokrom oksidase, dan lain sebagainya. Sianida memiliki afinitas tinggi terhadap ion besi pada sitokrom oksidase, metalloenzim respirasi oksidatif akhir pada mitokondria. Fungsinya dalam rantai transport elektron dalam mitokondria, mengubah produk katabolisme glukosa menjadi ATP. Enzim ini merupakan katalis utama yang berperan pada
27
penggunaan oksigen di jaringan. Sianida menyebabkan hipoksia seluler dengan menghambat sitokrom oksidase pada bagan sitokrom a3 dari rantai transport elektron. Ion hidrogen yang secara normal akan bergabung dengan oksigen pada ujung rantai tidak lagi tergabung (incorporated). Hasilnya, selain persediaan oksigen kurang, oksigen tidak bisa digunakan, dan molekul ATP tidak lagi dibentuk. Ion hidrogen incorporated terakumulasi sehingga menyebabkan acidemia (Meredith, 1993). Sianida dapat menyebabkan sesak pada bagian dada; berikatan dengan sitokrom oksidase, dan kemudian memblok penggunaan oksigen secara aerob. Sianida yang tidak berikatan akan akan didetoksifikasi melalui metabolisme menjadi tiosianat yang merupakan senyawa yang lebih nontoksik yang akan diekskresikan melalui urin (Olson, 2007). Hiperlaktamia terjadi pada keracunan sianida karena kegagalan metabolisme energi aerob. Selama kondisi aerob, ketika rantai transport elektron berfungsi, laktat diubah menjadi piruvat oleh laktat dehidrogenase mitokondria. Pada proses ini, laktat menyumbangkan gugus hidrogen yang akan mereduksi nikotinamid adenin dinukleotida (NAD) menjadi NADH. Piruvat kemudian masuk dalam siklus asam trikarboksilat dengan menghasilkan ATP. Ketika sitokrom a3 dalam rantai transport elektron dihambat oleh sianida, terdapat kekurangan relatif NAD dan dominasi NADH, menunjukkan reaksi balik, sebagai contoh : piruvat dirubah menjadi laktat (Meredith, 1993). 3.
Wujud efek toksik Setelah terpejan sianida, gejala yang paling cepat muncul adalah iritasi
28
pada lidah dan membran mukus serta suara desir darah yang tidak teratur. Gejala dan tanda awal yang terjadi setelah menghirup HCN atau menelan garam sianida adalah kecemasan, sakit kepala, mual, bingung, vertigo, dan hypernoea, yang diikuti dengan dyspnoea, sianosis, hipotensi, bradikardi, dan sinus atau aritmea AV nodus (Meredith, 1993). Onset yang terjadi secara tiba-tiba dari efek toksik yang pendek setelah pemaparan sianida merupakan tanda awal dari keracunan sianida. Symptomnya termasuk sakit kepala, mual, dyspnea, dan kebingungan. Syncope, koma, respirasi agonal, dan gangguan kardiovaskular terjadi dengan cepat setelah pemaparan yang berat (Olson, 2007). Dalam keracunan stadium kedua, tampak kecemasan berlebihan, koma, dan terjadi konvulsi, kejang, nafas tersengal-sengal, kolaps kardiovaskular, kulit menjadi dingin, berkeringat, dan lembab. Nadi menjadi lemah dan lebih cepat. Tanda terakhr dari toksisitas sianida meliputi hipotensi, aritmia kompleks, gagal jantung, udem pada paru-paru dan kematian (Meredith, 1993). Warna merah terang pada kulit atau tidak terjadinya sianosis, jarang terjadi dalam keracunan sianida. Secara teoritis tanda ini dapat dijelaskan dengan adanya kandungan yang tinggi dari oksihemoglobin, dalam venus return, tetapi dalam keracunan berat, gagal jantung dapat dicegah. Kadang-kadang sianosis dapat dikenali apabila pasien memiliki bintik merah muda terang (Meredith, 1993). 4.
Sifat efek toksik Terbalikkan (reversible) dan tidak terbalikkan (irreversible) (Meredith,
1993).
29
5. Diagnosis Diagnosis dilakukan berdasarkan pada riwayat pemaparan atau tampaknya gejala dan tanda keracunan. Asidosis laktat parah biasanya terjadi dengan pemaparan yang signifikan. Tingkat saturasi oksigen vena dapat memperlihatkan penghambatan konsumsi oksigen selular. Cara klasik dengan mengenali bau kacang almond boleh digunakan ataupun tidak, karena vairiasi genetik dalam kemampuan untuk mengenali baunya (Olson, 2007). a.
Tingkat spesifik. Penentuan keracunan sianida tidak dapat digunakan dalam keadaan
darurat, karena tidak dapat menunjukkan terapi tahap awal. Selanjutnya, penderita harus diinterpretasikan penyebabnya karena beragam komplikasi faktor teknis. 1)
Tingkat darah lebih tinggi dari 0.5-1 mg/L.
2)
Untuk perokok tingkat darahnya di atas 0.1 mg/L.
3)
Infus nitroprusida yang cepat dapat menaikkan tingkat darah setinggi 1 mg/L, disertai dengan metabolik asidosis.
b.
Penelitian lainnya di laboratorium. Penelitian laboratorium meliputi elektrolit, glukosa, serum laktat, gas
darah arteri, campuran saturasi oksigen vena, dan karboksihemoglobin (bila pasien terpapar secara inhalasi) (Olson, 2007).
H. Antidotum Sianida Diklasifikasikan menjadi 3 kelompok utama sesuai dengan meaknisme aksi utamanya, yaitu : detoksifikasi dengan sulfur untuk membentuk ion tiosianat
30
yang lebih tidak toksik, pembentukan methemoglobin dan kombinasi langsung. Pengobatan pasti dari intoksikasi sianida berbeda pada beberapa negara, tetapi hanya satu metode yang disetujui untuk digunakan di Amerika Serikat. Keamanan dan kemanjuran dari tiap-tiap antidotum masih menjadi perdebatan yang signifikan. Dan tidak terdapat konsensus antar seluruh negara untuk pengobatan intoksikasi sianida (Meredith, 1993). 1. Pembentukan methemoglobin Methemoglobin sengaja diproduksi untuk bersaing dengan sianida di tempat ikatan pada sistem sitokrom oksidase. Sianida mempunyai ikatan khusus dengan ion besi pada sistem sitrokrom oksidase, sianida dalam jumlah yang cukup besar akan berikatan dengan ion besi pada senyawa lain, seperti methemoglobin. Jika produksi methemoglobin cukup maka gejala keracunan sianida dapat teratasi. Methemoglobinemia dapat diproduksi dengan pemberian amil nitrit secara inhalasi dan kemudian pemberian natrium nitrit secara intravena. Kira-kira 30% methemoglobinemia dianggap optimum dan jumlahnya dijaga agar tetap di bawah 40% senyawa lain seperti 4-DMAP dapat memproduksi methemoglobin secara lebih cepat (Meredith, 1993). Apabila methemoglobin tidak dapat mengangkut cukup oksigen maka molekul hemoglobin menjadi tidak berfungsi. Produksi methemoglobinemia lebih dari 50% dapat berpotensi fatal. Methemoglobinemia yang berlebih dapat dibalikkan dengan metilen biru, terapi yang digunakan pada methemoglobinemia, dapat menyebabkan terlepasnya kembali ion sianida mengakibatkan keracunan sianida.
Sianida
bergabung
dengan
methemoglobin
membentuk
31
sianmethemoglobin. Sianmethemoglobin berwarna merah cerah, berlawanan dengan methemoglobin yang berwarna coklat (Meredith, 1993).
Gambar 1. Penggantian sianida dari sitrokrom a3 oksidase oleh methemoglobin
a.
Peralatan antidotum sianida. Sekarang ini, Amerika Serikat
mendukung penggunaan kombinasi nitrit dan tiosulfat untuk pengobatan pada keracunan sianida. Natrium nitrit (10 ml pada larutan 3%) digunakan secara intravena dan dilanjutkan dengan pemberian natrium tiosulfat (50 ml pada larutan 25%) secara intravena. Natrium nitrit seharusnya diberikan 2,5-5 ml permenit hingga 2-3 menit. Natrium tiosulfat harus diberikan secara cepat setelah natrium nitrit dengan dosis 12,5 mg pada larutan 25% hingga 10 menit (Meredith, 1993). b.
Amil nitrit. Hanya dapat memproduksi kira-kira 5% methemoglobin
dan tidak cukup untuk digunakan sebagai terapi tunggal. Dosis amil nitrit yang dapat meningkatkan produksi methemoglobin sering berhubungan dengan terjadinya hipotensi. Sebenarnya, amil nitrit telah dihapus di Amerika Serikat karena
pembentukan
methemoglobin
yang
tidak
dapat
diprediksi
dan
berhubungan dengan vasodilatasi yang dapat menyebabkan hipotensi. amil nitrat juga dapat menyebabkan vasodilatasi yang dapat membalikkan efek awal sianida
32
yang dapat menyebabkan vasokonstriksi (Meredith, 1993). c.
Natrium nitrit. Merupakan obat yang paling sering digunakan untuk
keracunan sianida. Dosis awal standart adalah 3% larutan natrium nitrit 10 ml, memerlukan waktu kira-kira 12 menit untuk membentuk kira-kira 40% methemoglobin. Dosis awal untuk natrium tiosulfat adalah 50 ml. Penggunaan natrium nitrat tidak tanpa risiko karena bila berlebihan dapat mengakibatkan methemoglobinemia yang dapat menyebabkan hipoksia atau hipotensi, untuk itu maka jumlah methemoglobin harus dikotrol. Penggunaan natrium nitrit tidak direkomendasikan untuk pasien yang memiliki kekurangan glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6DP) dalam sel darah merahnya karena dapat menyebabkan reaksi hemolisis yang serius (Meredith, 1993). d.
4-DMAP. Merupakan senyawa pembentuk methemoglobin dengan
efek yang cepat saat melawan sianida. 4-DMAP merupakan antidot yang lebih cepat dari pada nitrat dan toksisitasnya lebih rendah. Pada manusia, injeksi intravena dengan dosis 3 mg/kg dapat memproduksi 15% methemoglobin dalam waktu 1 menit (Meredith, 1993).
Gambar 2. 4-DMAP (4-dimethylaminophenol)
4-DMAP harus digunakan dengan tiosulfat untuk mengubah ikatan sianida dengan methemoglobin menjadi tiosianat. 4-DMAP dapat menyebabkan nekrosis pada area yang diinjeksi setelah pemberian secara IM dan dapat
33
menyebabkan nyeri, demam, dan meningkatkan enzim-enzim otot. Terapi menggunakan 4-DMAP dapat menyebabkan hemolisis meskipun pada dosis terapi, tetapi lebih sering terjadi pada pengobatan yang overdosis. Pengobatan dengan 4-DMAP dikontraindikasikan pada pasien yang kekurangan G6DP (Meredith, 1993). Senyawa lain yang juga merupakan pembentuk methemoglobin adalah paminoheptanoilfenon
(PAHP),
p-aminopropiofenon
(PAPP),
dan
p-
aminooktanoilfenon (PAOP). PAHP merupakan fenon yang paling aman. Senyawa-senyawa tersebut mengurangi jumlah sianida dalam sel darah merah. Efek PAPP secara khusus dapat meningkat dengan adanya tiosulfat (Meredith, 1993). 2. Detoksifikasi sulfur Setelah methemoglobin dapat mengurangi gejala yang ditimbulkan pada keracunan sianida, sianida dapat diubah menjadi tiosianat dengan menggunakan natrium tiosulfat.
Gambar 3. Pengubahan sianmethemoglobin menjadi tiosianat oleh rhodanase dan tiosulfat
34
Pada proses kedua membutuhkan donor sulfur agar rodanase dapat mengubah sianmethemoglobin menjadi tiosianat karena donor sulfur endogen biasanya terbatas. Ion tiosianat kemudian diekskresikan melalui ginjal (Meredith, 1993). 3. Kombinasi langsung Ada 2 macam mekanisme yang berbeda dari kombinasi langsung dengan sianida yang sering digunakan, yaitu kombinasi dengan senyawa kobalt dan kombinasi dengan hidroksobalamin (Meredith, 1993). a. Hidroksikobalamin sianokobalamin
(vitamin
(vitamin
B12).
B12a).
Merupakan
Penggunaan
prekursor
hidroksikobalamin
dari
sebagai
pencegahan pada pemberian natrium nitroprusid jangka panjang sama efektifnya untuk pengobatan pada keracunan sianida akut selama lebih dari 40 tahun. Senyawa ini bereaksi langsung dengan sianida dan tidak bereaksi dengan hemoglobin untuk membentuk methemoglobin (Meredith, 1993). Hidroksikobalamin bekerja baik pada celah intravaskular maupun di dalam sel untuk menyerang sianida. Hal ini berlawanan dengan methemoglobin yang hanya bekerja sebagai antidot pada celah vaskular. Pemberian natrium tiosulfat meningkatkan kemampuan hidroksikobalamin untuk mendetoksifikasi keracunan sianida (Meredith, 1993). Sianokobalamin adalah kombinasi hidrosikobalamin dan sianida. Dosis minimal sebesar 2.5 gram pada dewasa diperlukan untuk menetralkan dosis letal sianida. Hidroksikobalamin tidak menimbulkan komplikasi yang serius. Beberapa pasien dapat mengalami urtikaria, tapi sangat jarang.
35
Gambar 4. (dimethyl-5,6-benzimadazolyl) hydroxocobamide
Hidroksikobalamin tidak tekanan darah atau menurunkan kemampuan darah untuk mengangkut oksigen. Takikardi dan hipertensi dapat terjadi pada dosis terapi yang tinggi. Munculnya warna merah muda pada membran mukosa, kulit, dan urin terjadi pada kebanyakan pasien segera setelah pemberian hidroksokobalamin. Warna ini akan hilang setelah 24-48 jam setelah obat diekskresikan melalui urin (Meredith, 1993). b. Dikobalt-EDTA. Bentuk garam dari kobalt bersifat efektif untuk mengikat
sianida.
Kobalt-EDTA
lebih
efektif
sebagai
antidot
sianida
dibandingkan dengan kombinasi nitrat-tiosulfat. Senyawa ini mengkelat sianida menjadi kobaltisianida. Efek samping dari dikobalt-EDTA adalah reaksi anafilaksis, yang dapat muncul sebagai urtikaria, angiodema pada wajah, leher, dan saluran nafas, dispnea, dan hipotensi. Dikobalt-EDTA juga dapat
36
menyebabkan hipertensi dan dapat menyebabkan disritmia jika tidak ada sianida saat pemberian dikobalt-EDTA. Pemberian obat ini dapat menyebabkan kematian dan toksisitas berat dari kobalt terlihat setelah pasien sembuh dari keracunan sianida (Meredith, 1993).
Gambar 5. Dicobalt-EDTA
I. Natrium Tiosulfat Berupa hablur besar, tidak berwarna, atau serbuk hablur kasar. Mengkilap dalam udara lembab dan mekar dalam udara kering pada suhu lebih dari 33°C. Larutannya netral atau basa lemah terhadap lakmus. Sangat mudah larut dalam air dan tidak larut dalam etanol (Anonim, 1995). Sodium tiosulfat merupakan donor sulfur yang mengkonversi sianida menjadi bentuk yang lebih nontoksik, tiosianat, dengan enzyme sulfurtransferase, yaitu rhodanase. Tidak seperti nitrit, tiosianat merupakan senyawa nontoksik, dan dapat diberikan secara empiris pada keracunan sianida. Penelitian dengan hewan uji menunjukkan kemampuan sebagai antidot yang lebih baik bila dikombinasikan dengan hidroksokobalamin (Olson, 2007). Rute utama detoksifikasi sianida dalam tubuh adalah mengubahnya menjadi tiosianat oleh rhodanase, walaupun sulfurtransferase yang lain, seperti
37
beta-merkaptopiruvat sulfurtransferase, dapat juga digunakan. Reaksi ini memerlukan sumber sulfan sulfur, tetapi penyedia substansi ini tebatas. Keracunan sianida merupakan proses mitokondrial dan penyaluran intravena sulfur hanya akan masuk ka mitokondria secara perlahan. Natrium tiosulfat mungkin muncul sendiri pada kasus keparahan ringan sampai sedang, sebaiknya diberikan bersama antidot lain dalam kasus keracunan parah. Ini juga merupakan pilihan antidot saat diagnosis intoksikasi sianida tidak terjadi, misalnya pada kasus penghirupan asap rokok. Natrium tiosulfat diasumsikan secara intrinsik nontoksik tetapi produk detoksifikasi yang dibentuk dari sianida, tiosianat dapat menyebabkan toksisitas pada pasien dengan kerusakan ginjal. Pemberian natrium tiosulfat 12.5 g i.v. biasanya diberikan secara empirik jika diagnosis tidak jelas (Meredith, 1993). Natrium tiosulfat merupakan komponen kedua dari antidot sianida. Antidot ini diberikan sebanyak 50 ml dalam 25 % larutan. Tidak ada efek samping yang ditimbulkan oleh tiosulfat, namun tiosianat memberikan efek samping seperti gagal ginjal, nyeri perut, mual, kemerahan dan disfungsi pada SSP. Dosis untuk anak-anak didasarkan pada berat badan (Meredith, 1993). 1. Indikasi a. Dapat diberikan sendiri ataupun dikombinasikan dengan nitrit atau hidroksokobalin pada pasien keracunan sianida akut. b. Perawatan secara empiris pada keracunan sianida berhubungan dengan inhalasi. c. Profilaksis selama infus nitroprusida.
38
d. Ekstravasasi dari mechlorethamin. e. Ingesti garam bromat (Olson, 2007). 2. Kontraindikasi Tidak diketahui kontraindikasinya (Olson, 2007). 3. Efek samping a. Infus intravena dapat menyebabkan rasa terbakar, kejang otot dan gerakan tiba-tiba, dan mual dan muntah. b. Penggunaan pada wanita hamil. Kategori C berdasarkan FDA (Olson, 2007). 4. Interaksi obat Tiosulfat dapat menurunkan konsentrasi sianida pada beberapa metode (Olson, 2007). 5. Dosis dan cara pemberian a. Untuk keracunan sianida. Berikan 12.5 g (50 mL dari 25% larutan) secara IV pada 2.5-5 mL/menit. Dosis untuk pediatrik sebesar 400 mg/kg (1.6 mL/kg dari 25% larutan) sampai 50 mL. Setengah dosis awal sebaiknya diberikan setelah 30-60 menit bila diperlukan (Olson, 2007). b. Untuk profilaksis selama infuse nitroprusida. Tambahan 10 mg tiosulfat pada tiap milligram nitroprusida pada larutan intravena dikatan dapat menjadi efektif, namun data kompatibilitasnya tidak tersedia (Olson, 2007).
39
6. Formulasi Parenteral, sebagai komponen pada paket antidot sianida, sodium tiosulfat, 25% larutan, 50 mL. juga tersedia dalam bentuk ampuldan vial yang berisi 2.5 g/10 mL atau 1 g/10 mL (Olson, 2007).
J. Nitrit
menyebabkan
Natrium Nitrit methemoglobin
dengan
sianida
membentuk
substansi nontoksik sianmethemoglobin. Methemoglobin tidak mempunyai afinitas lebih tinggi pada sianida daripada sitokrom oksidase, tetapi lebih potensial menyebabkan methemoglobin daripada sitokrom oksidase. Efek samping dari penggunaan nitrit meliputi pembentukan formasi methemoglobin, vasodilatasi, hipotensi, dan takikardi. Mencegah pembentukkan formasi yang cepat, monitoring tekanan darah, dan pemberian dosis yang tepat akan mengurangi terjadinya efek samping. Ketika dilakukan terapi dengan nitrit, lihat konsentrasi hemoglobin. Tetapi jangan menunda terapi ketika menunggu hasil pengukuran kadar hemoglobin (Meredith, 1993). Sodium nitrit injeksi dan amil nitrit dalam bentuk ampul untuk inhalasi merupakan komponen dari antidot sianida. Kegunaan nitrit sebagai antidot sianida bekerja dalam dua cara, yaitu : nitrit mengoksidasi hemoglobin, yang kemudian akan mengikat sianida bebas, dan cara yang kedua yaitu meningkatkan detoksifikasi sianida endothelial dengan menghasilkan vasodilasi. Inhalasi dari satu ampul amil nitrit menghasilkan tingkat methemoglobin sekitar 5%.
40
Pemberian dosis tunggal nitrit secara intravena dapat menghasilkan tingkat methemoglobin sekitar 20-30% (Olson, 2007). 1. Kontraindikasi Nitrit dikontraindikasikan untuk : pasien dengan methemoglobinemia (>40%), hipotensi berat, pemberian pada pasien yang keracunan karbonmonoksida (Olson, 2007). 2. Efek samping Nitrit memiliki efek samping yaitu : a. Sakit kepala, kemerahan pada muka, kepusingan, mual, muntah, takikardi, dan berkeringat. Efek samping ini dapat juga dijadikan tanda keracunan sianida. b. Pemberian secara intravena dapat menyebabkan hipotensi. c. Methemoglobinemia berlebihan dan fatal dapat terjadi. d. Penggunaan pada kehamilan (Olson, 2007). 3. Interaksi obat a. Hipotensi dapat menjadi parah apabila nitrit diberikan bersamaan dengan alkohol atau vasodilator atau agen antihipertensi lainnya. b. Metilen biru sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang keracunan sianida karena dapat membalikkan induksi methemoglobinemia oleh nitrit dan secara teori menghasilkan pelepasan ion bebas sianida. c. Ikatan dari methemoglobin pada sianida (sianomethemoglobin) dapat menurunkan tingkat methemoglobin bebas (Olson, 2007).
41
4. Dosis dan metode pemberian a. Amil nitrit dalam bentuk ampul. Gunakan 1 atau 2 ampul pada kain kasa, pakaian, atau spons dan letakkan di bawah hidung penderita, yang sebaiknya dihirup dalam-dalam selama 30 detik. Diamkan 30 detik, kemudian ulangi lagi (Olson, 2007). b. Sodium nitrit parenteral. 1) Dewasa. Berikan 300 mg sodium nitrit (10 mL dari 3% larutan) IV selama 3-5 menit (Olson, 2007). 2) Anak-anak. Berikan 0.15-0.33 mL/kg sampai batas maksimum sebesar 10 mL. Dosis pada anak-anak sebaiknya dihitung berdasarkan konsentrasi hemoglobin bila diketahui. Bila diduga mengalami anemia atau hipotensi, awali dengan dosis rendah, diencerkan dalam 50-100 mL saline, dan berikan selama 5 menit (Olson, 2007). 3) Oksidasi dari hemoglobin menjadi methemoglobin terjadi dalam 30 menit. Bila tidak terjadi apa-apa dalam 30 menit, setengah dosis IV dari sodium nitrit perlu diberikan (Olson, 2007). 5. Formulasi a. Amil nitrit. Komponen dari antidot sianida, 0.3 mL dalam ampul (Olson, 2007). b. Sodium nitrit parenteral.
42
Komponen dari antidot sianida, 300 mg dalam 10 mL pelarut steril (3%) (Olson, 2007).
K. Landasan Teori Sianida merupakan senyawa racun yang dapat mengganggu kesehatan serta mengurangi bioavailabilitas nutrien di dalam tubuh. Sianida merupakan racun yang bekerja cepat, berbentuk gas tak berbau dan tak berwarna, yaitu hidrogen sianida (HCN) atau sianogen klorida (CNCl) atau berbentuk kristal seperti sodium sianida (NaCN) atau potasium sianida (KCN). Akibat yang ditimbulkan oleh racun sianida tergantung pada jumlah paparan dan rute pemejanan. Racun ini menghambat sel tubuh mendapatkan oksigen sehingga yang paling terpengaruh adalah jantung dan otak. Sianida merupakan inhibitor nonspesifik enzim, meliputi asam suksinat dehidrognase, superoksida dismutase, karbonat anhidrase, sitokrom oksidase, dan lain sebagainya. Rute utama detoksifikasi sianida dalam tubuh adalah mengubahnya menjadi tiosianat oleh rhodanase, walaupun sulfurtransferase yang lain, seperti beta-merkaptopiruvat sulfurtransferase, dapat juga digunakan. Nitrit menyebabkan methemoglobin, dengan sianida membentuk substansi nontoksik sianmethemoglobin. Dari penelitian Djunarko, 2007, diketahui bahwa penggunaan natrium nitrit pada keracunan sianida akut dengan dosis tinggi dapat memperparah keadaan, sedangkan apabila digunakan pada dosis rendah natrium nitrit belum dapat menolong kondisi keracunan sianida akut, untuk itu perlu dikombinasikan
43
dengan natrium tiosulfat yang lebih aman dari natrium nitrit sehingga diperoleh dosis efektif. Natrium tiosulfat dan natrium nitrit akan bekerja dengan mekanisme yang sinergis jika dikombinasikan untuk antidotum keracunan sianida akut. Natrium tiosulfat akan bekerja dengan mekanisme mempercepat eliminasi, sedangkan natrium nitrit akan bekerja dengan mekanisme hambatan bersaing. Jadi untuk menangani keracunan sianida akut dapat digunakan natrium tiosulfat dan natrium nitrit dan penderita keracunan dapat ditolong dengan cepat.
L. Hipotesis Meningkatnya dosis natrium tiosulfat yang dikombinasikan dengan natrium nitrit dapat meningkatkan penawaracunan sianida.
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah.
B.
Variabel dan Definisi Operasional
Dalam penelitian uji antidot kombinasi natrium tiosulfat dan natrium nitrit pada kasus keracunan akut-oral sianida pada mencit jantan galur swiss mempunyai variabel utama dan pengacau. 1.
Variabel utama Variabel utama dalam penelitian adalah dosis natrium tiosulfat dan
natrium nitrit pada mencit. Variabel utama dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Variabel bebas : dosis natrium tiosulfat, sejumlah mg natrium tiosulfat tiap kg berat badan mencit. b. Variabel tergantung : keadaan/waktu kembalinya kondisi mencit ke keadaan semula (dalam detik) dari gejala efek toksik yang timbul meliputi : jantung berdebar, hilang kesadaran, gagal nafas, kejang, dan mati. Kriteria uji antidot yang dapat ditunjukkan dengan jumlah hewan uji yang kembali ke kondisi normal setelah pemejanan racun dan antidotnya, gejala-gejala toksik, dan mekanisme kematian.
44
45
2.
Variabel pengacau
a. Terkendali : 1) Umur
: 60-90 hari ( 2- 3 bulan )
2) Berat badan
: 20- 30 gram
3) Jenis kelamin
: Jantan
4) Galur
: Swiss
5) Jalur pemberian
: Oral (sianida), i.p (natrium thiosulfat), i.p (natrium nitrit)
6) Frekuensi perlakuan
: Satu kali
b. Tak terkendali : Jumlah asupan makanan dan minuman yang diterima hewan uji. 3.
Definisi operasional
a. Kondisi semula mencit adalah keadaan mencit yang sehat sebelum pemejanan KCN. b. Gejala efek toksik yang timbul adalah munculnya jantung berdebar, hilang kesadaran, gagal nafas, kejang, dan mati setelah pemejanan KCN. c. Pengamatan jantung berdebar dilakukan hanya dengan melihat secara langsung perubahan pada bagian dada mencit, yang ditandai dengan timbulnya ritme yang lebih kencang dari keadaan normal.
46
C.
Bahan Penelitian
Bahan atau materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Racun yang dipejankan adalah larutan kalium sianida (KCN) (E.Merck, Darmstadt,
Germany).
Bahan
tersebut
diperoleh
dari
Laboratorium
Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 2. Bahan antidot yang digunakan adalah natrium tiosulfat (E.Merck, Darmstadt, Germany) dan natrium nitrit (E.Merck, Darmstadt, Germany). Bahan tersebut diperoleh dari Laboratorium Farmakologi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 3. Bahan pelarut adalah aquadest yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 4. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan yang diperoleh dari Unit Pengembangan Hewan Penelitian (UPHP), Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
D.
Alat dan Instrumen Penelitian
Peralatan dan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Neraca atau timbangan elektrik (Mettler Toledo Tipe AB 204, Switzerland) 2. Alat-alat gelas 3. Jarum tuberkulin (preparat oral) yang digunakan untuk pemberian larutan sianida secara per-oral 4. Spuit intraperitonial
47
E. 1.
Tata Cara Penelitian
Pembuatan larutan dan penetapan dosis KCN Larutan KCN 0,104% dibuat dengan cara melarutkan 0,104 gram KCN
ditambah aquadest hingga 100 ml. Dengan menggunakan nilai konversi dosis dari manusia 70 Kg ke mencit dengan berat badan 20 gram sebesar 0.0026, maka didapatkan nilai dosis KCN secara peroral pada mencit 20 gram sebesar : = 200 x 0.0026 = 0.52 mg/20 gram BB mencit = 26 mg/KgBB mencit. Dosis KCN dipilih berdasarkan dosis letal oral KCN yang sudah dikonversikan ke dosis letal oral mencit yaitu sebesar 26 mg/KgBB. 2.
Pembuatan larutan dan penetapan dosis natrium tiosulfat Larutan natrium thiosulfat 18.72% v/v (dosis 0.468 mg/kg BB) dibuat
dengan cara melarutkan 18.72 mg natrium tiosulfat ditambah aquadest hingga 1000 ml. Dosis natrium tiosulfat dipilih berdasarkan hasil orientasi yang sudah pernah dilakukan yaitu sebesar 1125 mg/kg BB. Dosis 1125 mg/kg BB diturunkan dengan faktor perkalian 7 kalinya, maka diperoleh dosis 160.720 mg/KgBB, 22.960 mg/KgBB, 3.279 mg/KgBB dan 0.468 mg/KgBB. 3.
Pembuatan larutan dan penetapan dosis natrium nitrit Larutan natrium nitrit 0.112% dibuat dengan cara melarutkan 0.112 gram
natrium nitrit ditambah aquadest hingga 100 ml. Dosis natrium nitrit dipilih berdasarkan hasil orientasi yang sudah pernah dilakukan yaitu sebesar 28 mg/KgBB.
48
4.
Pengelompokkan hewan uji Hewan uji sebanyak 42 ekor dikelompokkan secara acak
menjadi 7
kelompok, kelompok I diberi bahan pelarut yang digunakan yaitu aquadest, kelompok II diberi larutan KCN, kelompok III diberi larutan Na2S2O3 dosis 160.72 mg/KgBB dan NaNO2 dosis 62.460 mg/KgBB sebagai kontrol antidotnya, kelompok IV diberi perlakuan KCN dosis 26 mg/KgBB dan sesaat setelahnya diberikan antidotum Na2S2O3 dosis 0.468 mg/kgBB + NaNO2 dosis 62.460 mg/KgBB, kelompok V diberi perlakuan KCN dosis 26 mg/KgBB dan sesaat setelahnya diberikan antidotum Na2S2O3 dosis 3.279 mg/KgBB + NaNO2 dosis 62.460 mg/KgBB, kelompok VI diberi perlakuan KCN dosis 26 mg/KgBB dan sesaat setelahnya diberikan antidotum Na2S2O3 dosis 22.960 mg/KgBB + NaNO2 dosis 62.460 mg/KgBB, kelompok VII diberi perlakuan KCN dosis 26 mg/KgBB dan sesaat setelahnya diberikan antidotum Na2S2O3 dosis 160.72 mg/KgBB + NaNO2 dosis 62.460 mg/KgBB. Peringkat kelompok
VII ini merupakan
kelompok yang diberi dosis tertinggi antidotum Na2S2O3. 5.
Penanganan hewan uji Hewan uji yang akan digunakan diletakkan dalam wadah dan diberi sekam
serta makanan dan minuman. Hewan uji yang sudah digunakan dan masih hidup diletakkan di wadah yang berbeda dari hewan uji yang belum digunakan untuk penelitian. 6.
Pengamatan Pengamatan dilakukan mulai dari pemberian antidot Na2S2O3 dan NaNO2
hingga 3 jam pengamatan. Jika hewan uji sampai 3 jam pengamatan tidak
49
mengalami kematian maka pengamatan dilanjutkan hingga 1 x 24 jam dari waktu pemberian antidot. Kriteria klinik pengamatan meliputi : a.
pengamatan fisik terhadap gejala-gejala toksik. Pengamatan harus dilakukan mulai dari timbulnya gejala efek toksik yang berupa jantung berdebar, hilang kesadaran, gagal nafas, kejang, dan mati setelah pemejanan KCN.
b.
kematian hewan uji pada masing-masing kelompok.
F. 1.
Analisis Hasil
Uji penyebaran data menggunakan metode Shapiro-Wilk untuk melihat kenormalannya.
2.
Uji adanya perbedaan data tiap kelompok menggunakan metode Kruskal Wallis.
3.
Uji adanya perbedaan yang bermakna atau perbedaan yang tidak bermakna tiap kelompok menggunakan metoda Mann Whitney.
4.
Pada uji statistik, Hnull berbunyi : mean waktu (dalam detik) timbulnya gejala akibat keracunan sianida akut mulai dari jantung berdebar, hilang kesadaran, gagal nafas, kejang, dan mati antar kelompok perlakuan tidak berbeda.
5.
Secara kualitatif diamati dosis yang memiliki persentase kehidupan sebesar 100% untuk menentukan dosis efektifnya.
6.
Pengamatan persentase kehidupan tiap kelompok perlakuan secara kualitatif untuk melihat hubungan antara dosis kombinasi natrium tiosulfat dan natrium nitrit dengan efek penawaran racun dan sifat terbalikkan natrium tiosulfat dan natrium nitrit pada keracunan sianida pada mencit.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Dosis Efektif Kombinasi Natrium Tiosulfat dan Natrium Nitrit sebagai Antidotum Sianida Hasil pengamatan gejala, mekanisme, wujud, sifat, dan efek dari
keracunan sianida pada mencit dapat dilihat pada tabel I. Dari data pada tabel I terlihat jelas bahwa waktu timbulnya efek toksik sampai kematian subyek uji mencit karena perlakuan sianida dosis 26 mg/KgBB peroral (setara dengan dosis letal pada manusia, 200 mg) sangat cepat, rata-rata 321.17 detik. Keracunan sianida berarti meningkatkan keberadaan zat beracun sianida di sel sasaran, di mana terjadi translokasi sianida dari jalan masuk ke tempat reseptornya. Hal ini menyebabkan perubahan sianida menjadi produk aktif yang stabil, sehingga dapat menimbulkan gejala efek toksik mulai dari jantung berdebar, hilang kesadaran, gagal nafas, kejang bahkan sampai mematikan. Keadaan ini mengakibatkan gejala efek toksik yang dapat teramati mulai bisa diukur waktunya sejak mencit kehilangan kesadaran, gagal nafas, kejang sampai saat kematian. Mekanisme yang memperantarai keracunan adalah sianida bereaksi dengan sejumlah enzim yang mengandung logam, seperti feri sitokrom oksidase. Karena metabolisme aerob tergantung pada sistem enzim ini, maka jaringan tidak dapat lagi menggunakan oksigen dan jaringan itu mengalami hipoksia. Sianida menyebabkan hipoksia seluler dengan menghambat sitokrom
50
51
Tabel I. Hasil pengamatan gejala efek toksik sianida terhadap 7 kelompok perlakuan
Kelompok Kontrol negatif aquadest Kontrol positif sianida (26 mg/KgBB) Kontrol positif Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.460 mg/KgBB) Sianida + Tiosulfat (0,468 mg/KgBB) + Nitrit (62.460 mg/KgBB) Sianida + Tiosulfat (3.279 mg/KgBB) + Nitrit (62.460 mg/KgBB Sianida + Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.460 mg/KgBB) Sianida + Tiosulfat (160.720 mg/KgBB) + Nitrit (62.460 mg/KgBB)
Ket :
Jantung berdebar
Hal yang diamati (dalam detik) Hilang Gagal nafas Kejang kesadaran
X ± 2 SE
X ± 2 SE
X ± 2 SE
X ± 2 SE
X ± 2 SE
Tidak terjadi
Tidak terjadi
Tidak terjadi
Tidak terjadi
Terjadi cepat sekali(a)
77.50 ± 17.77(b)
157.50 ± 30.45(b)
Tidak terjadi
Tidak terjadi
12.00 ± 4.29(a)
Persentase kehidupan (%)
Persentase kehidupan (%)*
Tidak mati
100
100
258.33 ± 74.05(b)
321.17 ± 85.09(b)
0
0
Tidak terjadi
Tidak terjadi
Tidak mati(a)
100
100 (tanpa Na-Nitrit)
99.00 ± 9.72(b)
128.33 ± 8.68(b)
120.50 ± 25.43(b)
14598.50 ± 14360.31(b)
16.67
0 (tanpa Na-Nitrit)
42.67 ± 19.29(b)
386.00 ± 224.24(b)
526.67 ± 331.35(b)
325.83 ± 142.23(b)
43646.17 ± 19122.65(a)
50
33.33(tanpa Na-Nitrit)
56.67 ± 23.81(b)
39.00 ± 24.73(a)
27.00 ± 27.00(a)
27.83 ± 27.83(a)
Tidak mati(a)
100
33.33(tanpa Na-Nitrit)
21.00 ± 2.92(b)
Tidak terjadi
Tidak terjadi
Tidak terjadi
Tidak mati(a)
100
100 (tanpa Na-Nitrit)
Mati
(a) = berbeda tidak bermakna terhadap kontrol negatif (pelarut/aquadest) (b) = berbeda bermakna terhadap kontrol negatif (pelarut/aquadest) (*) = diadaptasi dari penelitian Sudarmono (2008)
52
oksidase pada bagian sitokrom a3 dari rantai transport elektron. Ion hidrogen yang secara normal akan bergabung dengan oksigen pada ujung rantai tidak lagi tergabung. Hasilnya, selain persediaan oksigen kurang, oksigen tidak bisa digunakan, dan molekul ATP tidak lagi dibentuk, sehingga dapat terjadi gagal nafas, kejang dan akhirnya mematikan. Wujud efek toksik sianida merupakan perubahan biokimia karena adanya hambatan respirasi sel dan gangguan pasok energi dari sianida di dalam sel yang juga dipengaruhi oleh keadaan biologis. Meskipun demikian berdasarkan mekanisme dan efek toksik yang timbul selama pemberian sianida maka kemungkinan lain terjadi wujud toksik berupa udem pada paru yang diduga sebagai perubahan fungsional pernafasan dan pemicu kematian. Dosis atau takaran sianida sebesar 26 mg/KgBB peroral pada mencit menentukan sifat efek toksik sianida yaitu sifat yang tidak terbalikkan karena keberadaan sianida pada dosis tersebut potensi ketoksikannya tinggi sampai berakibat fatal. Pemberian antidot untuk keracunan sianida dalam penelitian ini menggunakan kombinasi natrium tiosulfat dan natrium nitrit. Sebagai antidotum, natrium tiosulfat memiliki jarak ketoksikan dosis yang lebih lebar bila dibandingkan dengan natrium nitrit (dosis yang besar sampai 1125 mg/KgBB yang pernah dicobakan tidak memberikan efek kematian pada hewan uji). Dosis yang dipilih berdasarkan dosis terapi antidotum yang akan digunakan dalam penelitian penawaracunan sianida dengan jalur pemberian secara intraperitoneal. Pada penelitian ini dosis natrium tiosulfat yang dipilih berdasarkan orientasi, yaitu
53
dosis kedua yang tidak menyebabkan kematian pada subyek uji mencit (22.960 mg/KgBB sebagai kontrol positif natrium tiosulfat). Dari hasil penelitian didapatkan pada natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB secara intraperitoneal pada mencit tidak ditemukan adanya kematian, namun masih ditemukan adanya gejala efek toksik yang memperantarainya seperti: jantung berdebar, hilang kesadaran, gagal nafas dan kejang. Respon untuk jantung berdebar sebesar 33.33%, dilihat dari hewan uji yang mengalami jantung berdebar pada natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB sebanyak 2 ekor dari total 6 hewan uji. Pada gejala efek toksik gagal nafas dan kejang masing-masing responnya sebesar 16.67%. Pada natrium nitrit dosis 62.460 mg/KgBB, dari hasil penelitian menunjukkan tidak teramatinya gejala efek toksik baik itu jantung berdebar, hilang kesadaran, gagal nafas maupun kejang. Dari sini diperoleh kombinasi yang tepat untuk kontrol positif yaitu natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB. Pada kelompok kontrol positif kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit dosis 62.460 mg/KgBB secara intraperitoneal didapatkan hasil seperti tersaji pada tabel I. Hasil yang diperoleh dari kontrol positif antidotum dapat dilihat pada tabel I. Dari data pada tabel I diketahui bahwa perlakuan dengan menggunakan Na-tiosulfat
22.960
mg/KgBB
dan
Na-nitrit
62.460
mg/KgBB
secara
intraperitonial tidak menunjukkan gejala efek toksik apapun. Keberadaan (takaran dan lama) natrium tiosulfat 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB
54
secara intraperitoneal pada mencit ternyata tidak menimbulkan adanya gejala efek toksik dan kematian. Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk mencari kisaran dosis natrium tiosulfat yang dikombinasikan dengan natrium nitrit yang mempunyai potensi sebagai antidotum sianida. Dosis intraperitoneal natrium tiosulfat yang dipilih sebagai antidotum sianida diberikan sesaat setelah pemberian sianida secara oral 26 mg/KgBB berurutan sebesar : 0.468 mg/KgBB, 3.279 mg/KgBB, 22.960 mg/KgBB dan 160.720 mg/KgBB. Natrium nitrit sendiri dipilih dosis 62.460 mg/KgBB sebagai dosis yang akan dikombinasikan dengan natrium tiosulfat pada ke-empat peringkat dosisnya. Pemberian natrium nitrit ini dilakukan secara intraperitonial sesaat setelah pemberian natrium tiosulfat. Pemberian natrium nitrit hanya satu peringkat dosis karena hasil penelitian sebelumnya menunjukkan apabila natrium nitrit diberikan dalam dosis yang lebih besar maka gejala efek toksik akan tetap muncul hingga kematian, demikian pula sebaliknya bila natrium nitrit diberikan dalam dosis yang lebih kecil. Hal ini disebabkan karena jika terlalu besar, natrium nitrit dapat berefek toksik, sedangkan jika terlalu kecil natrium nitrit belum dapat mencegah gejala efek toksik yang ditimbulkan akibat pemberian sianida secara peroral dosis 26 mg/KgBB. Dan dosis 62.460 mg/KgBB merupakan dosis natrium nitrit yang paling efektif.
55
1.
Perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik jantung berdebar. Hasil pengamatan terhadap gejala dari keracunan sianida pada 7
kelompok perlakuan seperti tertera pada tabel I. Pada gejala jantung berdebar, sianida memiliki nilai mean ± 2.00 SE yang berbeda tidak bermakna bila dibandingkan dengan kontrol negatif, dalam hal ini berupa pelarut yang digunakan yaitu aquadest (dapat dilihat pada tabel I), sedangkan pada gejala toksik yang lainnya seperti : hilang kesadaran, gagal nafas, kejang, dan mati menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna dengan kelompok kontrol negatif secara statistik. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada tabel I. Kontrol negatif digunakan sebagai pembanding karena dianalogkan pada kontrol negatif hewan uji berada pada kondisi yang normal dan tidak terpapar sianida, yang dipaparkan pada kelompok kontrol negatif hanyalah pelarut yang berupa aquadest. Adanya perbedaan yang tidak bermakna pada gejala jantung berdebar antara kelompok sianida dan kelompok kontrol negatif dikarenakan pada kelompok sianida, sianida akan langsung diabsorbsi dalam saluran pencernaan dan segera didistribusikan ke seluruh bagian tubuh, sehingga sianida akan dengan cepat diubah menjadi produk aktif yang stabil dan segera berikatan dengan reseptornya. Setelah sianida berikatan dengan reseptornya, maka sianida akan menyebabkan hipoksia seluler dan menyebabkan hilang kesadaran, gagal nafas, kejang, dan mati. Demikian juga halnya pada kelompok perlakuan kontrol positif yaitu kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit dosis
56
Tabel II. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik jantung berdebar
Kelompok
Kontrol aquadest Kontrol sianida (26 mg/KgBB) Kontrol Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB) Sianida + Tiosulfat (0,468 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB) Sianida + Tiosulfat (3.279 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB Sianida + Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB) Sianida + Tiosulfat (160.720 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Kontrol aquadest
Kontrol sianida (26 mg/KgBB)
Kontrol Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Sianida + Tiosulfat (0,468 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Sianida + Tiosulfat (3.279 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Sianida + Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Sianida + Tiosulfat (160.720 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
BTB
BTB
BTB
BB
BB
BB
BTB
BTB
BB
BB
BB
BTB
BB
BB
BB
BTB
BB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BB
BB
BB
BTB
BB
BB
BB
BB
BTB
BB
BB
BB
BTB
BTB
BTB
BTB
57
62.460 mg/KgBB tidak ditemukan adanya gejala jantung berdebar. Pada kelompok kontrol positif dan kelompok kontrol negatif jika dibandingkan hasilnya juga menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa baik itu kontrol negatif maupun kontrol positif tidak berpengaruh terhadap gejala jantung berdebar. Dari tabel I juga terlihat bahwa pada kelompok kontrol sianida tidak menunjukkan adanya gejala jantung berdebar. Dari sini dapat disimpulkan bahwa sianida tidak menyebabkan jantung berdebar. Namun, apabila kita melihat kelompok perlakuan berikutnya maka akan terlihat perbedaan yang bermakna apabila hewan uji yang sesaat setelah dipaparkan sianida diberikan antidot yang berupa kombinasi natrium tiosulfat dan natrium nitrit. Terlihat pada tabel I harga X ± 2.00 SE pada kelompok yang sesaat setelah dipaparkan sianida diberikan
antidot berupa kombinasi natrium tiosulfat dan natrium nitrit mulai dari natrium tiosulfat dengan dosis 3.279 mg/KgBB hingga dosis 160.720 mg/KgBB menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan kelompok sebelumnya. Dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa gejala jantung berdebar dipicu oleh kenaikan dosis natrium tiosulfat yang dikombinasikan dengan natrium nitrit. Keadaan hewan uji dengan gejala jantung berdebar yang menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan adanya peningkatan dosis natrium tiosulfat diperjelas dengan gambar grafik X ± 2.00 SE untuk gejala efek toksik berupa jantung berdebar. Jantung berdebar dapat terjadi pada keracunan sianida, karena pada keracunan sianida terjadi kegagalan pembentukan ATP. Adanya penurunan ATP
58
menyebabkan peningkatan konsentrasi Na+ di dalam sel di mana menghambat pengeluaran Ca2+. Akibat adanya peningkatan konsentrasi Ca2+ di dalam sel meningkatkan kontraksi otot jantung. Peningkatan kontraksi otot jantung menyebabkan jantung berdebar. Peningkatan Na+ disebabkan karena pemberian natrium tiosulfat dan natrium nitrit. Namun, setelah sampai pada keadaan jenuh maka Na+ akan dikeluarkan dari sel dan keadaan normal dapat tercapai. 2. Perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik hilang kesadaran. Selanjutnya kita melihat gejala efek toksik yang berikutnya yaitu hilang kesadaran. Pada kasus hilang kesadaran dapat terlihat secara statistik menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara kontrol sianida dengan kontrol positif dan kontrol negatif. Hal ini menandakan bahwa sianida berpotensi menimbulkan gejala hilang kesadaran. Dari tabel I kita juga melihat bahwa dengan meningkatnya dosis natrium tiosulfat yang dikombinasikan dengan natrium nitrit sebagai antidot pada pemaparan sianida maka perbedaannya menjadi tidak bermakna. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa kombinasi natrium tiosulfat dan natrium nitrit dengan dosis yang tepat dapat memperbaiki keadaan hilang kesadaran akibat keracunan sianida. Pada kelompok VII (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) menunjukkan
hasil
statistik
yang
sama
dengan
kelompok
I
(kontrol
negatif/aquadest) dan kelompok III (kontrol positif/kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) yang dapat dilihat
59
dari tabel I. Hal ini menunjukkan bahwa antidot pada kelompok VII (sianida dosis
26
mg/KgBB
dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 160.720
mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) sangat berpotensi menghilangkan gejala hilang kesadaran akibat dari keracunan sianida. Pada kelompok VI (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) menunjukkan hasil statistik yang berbeda tidak bermakna terhadap ke-6 kelompok lainnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa antidot pada kelompok VI (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) dapat memperbaiki gejala hilang kesadaran namun tidak lebih baik jika dibandingkan dengan antidot pada kelompok VII (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB). Dari hasil pengamatan pada hewan uji 2 dari 6 replikasi pada kelompok VI (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) menunjukkan gejala hilang kesadaran, sedangkan 4 lainnya tidak. Mekanisme terjadinya hilang kesadaran diawali dengan timbulnya hipoksia yang kemudian menyebabkan hiperlaktemia. Hiperlaktemia terjadi karena kegagalan metabolisme energi secara aerob. Hiperlaktemia berarti terjadi peningkatan perubahan asam piruvat menjadi asam laktat, di mana peningkatan asam laktat mengakibatkan timbulnya manifestasi lemas. Bila keadaan ini terjadi secara terus menerus maka dapat menyebabkan hilangnya kesadaran akibat
60
Tabel III. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik hilang kesadaran
Kelompok
Kontrol aquadest Kontrol sianida (26 mg/KgBB) Kontrol Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB) Sianida + Tiosulfat (0,468 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB) Sianida + Tiosulfat (3.279 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB Sianida + Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB) Sianida + Tiosulfat (160.720 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Kontrol aquadest
Kontrol sianida (26 mg/KgBB)
Kontrol Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Sianida + Tiosulfat (0,468 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Sianida + Tiosulfat (3.279 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Sianida + Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Sianida + Tiosulfat (160.720 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
BB
BTB
BB
BB
BTB
BTB
BB
BTB
BTB
BTB
BB
BB
BB
BTB
BTB
BTB
BTB
BB
BTB
BB
BB
BTB
BB
BB
BTB
BB
BB
BTB
BB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BB
BTB
BB
BB
BTB
BTB
61
penumpukan asam laktat. Dengan adanya natrium tiosulfat sebagai donor sulfur maka eliminasi sianida akan dipercepat dan keadaan hipoksia dapat dikurangi, sehingga hiperlaktemia juga dapat dikurangi dan keadaan hilang kesadaran dapat kembali ke keadaan normal. Natrium nitrit akan mengoksidasi hemoglobin menjadi methemoglobin yang akan berikatan dengan sianida sehingga respirasi dapat berjalan kembali. Dengan kembalinya respirasi ini, maka hiperlaktemia dapat dihindari dan keadaan normal dapat tercapai. 3. Perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik gagal nafas. Pengamatan gejala yang berikutnya, yaitu gejala gagal nafas akibat keracunan sianida. Secara statistik, kelompok II (kontrol sianida) menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan kelompok I (kontrol negatif/aquadest) dan III (kontrol positif/kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB). Hal ini menunjukkan bahwa sianida sangat berpotensi menimbulkan gejala gagal nafas. Pada kelompok VII (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna terhadap kelompok I (kontrol negatif/aquadest) dan III (kontrol positif/kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB). Dari data tersebut dapat kita simpulkan bahwa antidot pada kelompok VII (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) memberikan potensi yang sangat baik dalam hal mengurangi gejala gagal nafas.
62
Demikian halnya dengan antidot pada kelompok VI (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) juga menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna terhadap kelompok I (kontrol negatif/aquadest) dan III (kontrol positif/kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB). Hal ini menunjukkan bahwa antidot pada kelompok VI (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) sudah berpotensi mengurangi gejala gagal nafas akibat keracunan sianida. Namun pada 6 kali replikasi ada 1 yang teramati gejala gagal nafas. Dari hasil pengamatan tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa antidot pada kelompok VI (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) sudah berpotensi mencegah terjadinya gagal nafas, meskipun tidak sebaik antidot pada kelompok VII (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB). Pada antidot pada kelompok IV (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 0.468 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) dan V (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 3.279 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) menunjukkan hasil statistik berbeda bermakna terhadap kelompok I (kontrol negatif/aquadest) dan III (kontrol positif/kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB). Data tersebut menunjukkan bahwa antidot pada kelompok IV (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis
63
Tabel IV. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik gagal nafas
Kelompok
Kontrol aquadest Kontrol sianida (26 mg/KgBB) Kontrol Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB) Sianida + Tiosulfat (0,468 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB) Sianida + Tiosulfat (3.279 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB Sianida + Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB) Sianida + Tiosulfat (160.720 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Kontrol aquadest
Kontrol sianida (26 mg/KgBB)
Kontrol Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Sianida + Tiosulfat (0,468 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Sianida + Tiosulfat (3.279 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Sianida + Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Sianida + Tiosulfat (160.720 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
BB
BTB
BB
BB
BTB
BTB
BB
BTB
BTB
BB
BB
BB
BB
BTB
BTB
BTB
BTB
BB
BB
BB
BB
BTB
BB
BB
BTB
BB
BB
BTB
BB
BTB
BTB
BB
BTB
BTB
BB
BTB
BB
BTB
BB
BB
BTB
BTB
64
0.468 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) dan V (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 3.279 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) belum berpotensi untuk mengurangi gejala gagal nafas akibat keracunan sianida. Terjadinya gagal nafas ini diakibatkan karena terjadi hipoksia pada tingkat sel. Hipoksia terjadi karena terhambatnya rantai transport elektron dari sitokrom oksidase ke molekul oksigen pada bagian sitokrom a3 oleh sianida pada mitokondria. Dengan adanya antidot berupa kombinasi natrium tiosulfat dan natrium nitrit maka natrium tiosulfat akan menjadi donor sulfur untuk biotransformasi sianida menjadi tiosianat dengan bantuan sulfurtransferase (misalnya : rhodanese) selanjutnya tiosianat ini akan dieliminasi melalui urin, dengan adanya eliminasi ini maka sianida yang berada dalam tubuh akan berkurang dan hambatan sitokrom a3 oleh sianida juga akan berkurang dan keadaan normal dapat tercapai kembali. Untuk natrium nitrit akan bekerja dengan mengoksidasi hemoglobin menjadi methemoglobin yang akan bekerja dengan mekanisme hambatan bersaing di mana sianida tidak lagi berikatan dengan sitokrom a3 melainkan berikatan dengan methemoglobin dan akan membentuk sianmethemoglobin dan respirasi dapat berjalan kembali ke keadaan normal. 4. Perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik kejang Gejala efek toksik yang berikutnya adalah kejang. Pada kasus ini, dari tabel V yang menunjukkan perbedaan tidak bermakna terhadap kelompok I (kontrol negatif/aquadest) adalah kelompok III (kontrol positif/kombinasi natrium
65
tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB), VI (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB), dan VII (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB). Pada
gejala
kejang,
secara
statistik
kelompok
III
(kontrol
positif/kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB), VI (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) dan VII (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna terhadap kelompok I (kontrol negatif/aquadest). Dari data pada tabel I sudah terlihat bahwa antidot pada kelompok VI (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) dan VII (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) sudah dapat mengurangi gejala kejang akibat keracunan sianida. Pada kelompok IV (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) dan V (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 3.279 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) belum berpotensi mengurangi gejala kejang karena secara statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna terhadap kelompok I (kontrol negatif).
66
Tabel V. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik kejang
Kelompok
Kontrol aquadest Kontrol sianida (26 mg/KgBB) Kontrol Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB) Sianida + Tiosulfat (0,468 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB) Sianida + Tiosulfat (3.279 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB Sianida + Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB) Sianida + Tiosulfat (160.720 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Kontrol aquadest
Kontrol sianida (26 mg/KgBB)
Kontrol Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Sianida + Tiosulfat (0,468 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Sianida + Tiosulfat (3.279 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Sianida + Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Sianida + Tiosulfat (160.720 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
BB
BTB
BB
BB
BTB
BTB
BB
BTB
BTB
BB
BB
BB
BB
BTB
BTB
BTB
BTB
BB
BB
BB
BB
BTB
BB
BB
BTB
BB
BB
BTB
BB
BTB
BTB
BB
BTB
BTB
BB
BTB
BB
BTB
BB
BB
BTB
BTB
67
Kejang disebabkan karena keadaan depolarisasi yang terus menerus di dalam sel. Sianida menghambat transfer elektron pada rantai transfer elektron di dalam mitokondria sehingga menyebabkan kegagalan sintesis ATP. ATP digunakan untuk menggerakan transporter ion seperti Na+, K+-ATPase dalam membran plasma, Ca2+-ATPase di dalam plasma dan membran retikulum endoplasma, dan H+-ATPase dalam membran lisosom. Karena ATP tidak terbentuk maka terjadi penumpukan Na+ di dalam sel sehingga menyebabkan depolarisasi terus menerus yang dapat menyebabkan kejang. Dengan adanya tiosulfat, maka tiosianat akan terbentuk dan dieliminasi melalui urin. Dengan berkurangnya sianida dari dalam tubuh maka sintesis ATP dapat berjalan kembali dan Na+ dapat ditransportkan ke luar sel, sehingga penumpukkan Na+ dapat dikurangi dan keadaan normal dapat tercapai kembali. Natrium nitrit akan mengoksidasi hemoglobin menjadi methemoglobin yang akan berikatan dengan sianida melalui mekanisme hambatan bersaing. Dengan demikian maka hambatan sianida pada transfer elektron dalam rantai transfer elektron di dalam mitokondria akan berkurang dan sintesis ATP dapat berjalan kembali maka penumpukkan Na+ dapat dikurangi dan keadaan normal dapat tercapai. 5. Perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik mati. Gejala terakhir dari keracunan sianida adalah mati. Jika sudah sampai pada tahap ini maka korban tidak tertolong lagi. Dari tabel I, terlihat bahwa pada kelompok III (kontrol positif/kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB), V (sianida dosis 26 mg/KgBB dan
68
kombinasi natrium tiosulfat dosis 3.279 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB), VI (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB), dan VII (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna terhadap kelompok I (kontrol negatif/aquadest). Data tersebut menunjukkan bahwa antidot pada kelompok V (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 3.279 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB), VI (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB), dan VII (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) berpotensi mengurangi kematian akibat keracunan sianida. Antidot pada kelompok IV (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 0.468 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) menunjukkan perbedaan yang bermakna terhadap kelompok I (kontrol negatif/aquadest) dan perbedaan tidak bermakna terhadap kelompok II (kontrol sianida). Dari hasil pengamatan fisik terlihat bahwa 3 dari 6 hewan uji yang diamati mengalami sianosis yang ditandai dengan tubuh berwarna kebiruan dan kaku, yang berarti respon hewan uji terhadap sianosis sebesar 50%. Data ini menunjukkan bahwa antidot pada kelompok IV (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 0.468 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) belum berpotensi mencegah kematian akibat keracunan sianida.
69
Antidot pada kelompok V (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 3.279 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna terhadap kelompok I (kontrol negatif/aquadest) namun juga menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna terhadap kelompok II (kontrol sianida). Dari hasil pengamatan saat penelitian terlihat bahwa pada kelompok V (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 3.279 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) terdapat 3 hewan uji yang mengalami kematian, sedangkan 3 lainnya tidak. Hal ini berarti respon hewan uji terhadap kematian sebesar 50%. Data ini menunjukkan bahwa antidot pada kelompok V (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 3.279 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) sudah berpotensi mencegah terjadinya kematian namun belum sebaik pada kelompok VI (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) dan VII (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB). Pada pengamatan fisik terlihat tidak adanya hewan uji yang mati pada kelompok VI (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) dan VII (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB), hal ini berarti respon hewan uji terhadap kematian sebesar 0%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pada kelompok VI (sianida dosis 26 mg/KgBB dan kombinasi
70
Tabel VI. Hasil perbandingan antar kelompok pada gejala efek toksik mati
Kelompok
Kontrol aquadest Kontrol sianida (26 mg/KgBB) Kontrol Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB) Sianida + Tiosulfat (0,468 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB) Sianida + Tiosulfat (3.279 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB Sianida + Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB) Sianida + Tiosulfat (160.720 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Kontrol aquadest
Kontrol sianida (26 mg/KgBB)
Kontrol Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Sianida + Tiosulfat (0,468 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Sianida + Tiosulfat (3.279 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Sianida + Tiosulfat (22.960 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
Sianida + Tiosulfat (160.720 mg/KgBB) + Nitrit (62.46 mg/KgBB)
BB
BTB
BB
BTB
BTB
BTB
BB
BTB
BTB
BB
BB
BB
BTB
BTB
BTB
BTB
BB
BB
BTB
BTB
BB
BTB
BB
BB
BTB
BB
BTB
BTB
BTB
BTB
BTB
BB
BTB
BB
BTB
BTB
BB
BTB
BB
BTB
BTB
BTB
71
natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) sudah berpotensi mencegah kematian akibat keracunan sianida. Sianida akan menghambat sitokrom oksidase pada sitokrom a3 yang akan mengakibatkan hipoksia selular. Apabila hal ini terjadi, maka oksigen tidak akan berguna lagi dan molekul ATP tidak akan dibentuk. Dengan tidak terbentuknya ATP maka kegiatan dalam sel tidak akan berjalan dan hal ini akan menyebabkan kematian. Dengan adanya natrium tiosulfat, maka sianida akan dirubah menjadi tiosianat melalui enzim rhodanese. Semakin cepat eliminasi ini akan menurunkan jumlah sianida dalam tubuh, sehingga hambatan pada sitokrom oksidase berkurang dan ATP terbentuk kembali dan kematian dapat dihindari. Natrium nitrit akan mengoksidasi hemoglobin menjadi methemoglobin yang akan berikatan dengan sianida. Dengan adanya methemoglobin ini maka hambatan sianida pada sitokrom a3 dapat dihindari dan kematian dapat dihindari. Dari hasil penelitian ini tingkat keracunan sianida dosis 26 mg/KgBB terparah yaitu kematian, sudah dapat dicegah dengan antidot natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB yang dikombinasikan dengan natrium nitrit dosis 62.460 mg/KgBB, meskipun pada pengamatan secara fisik saat penelitian masih ditemukan adanya hewan uji yang mengalami gejala keracunan seperti jantung berdebar, hilang kesadaran, gagal nafas, dan bahkan kejang. Namun setelah ditunggu beberapa saat, terlihat hewan uji mengalami kondisi kembali ke keadaan sehat yang ditandai dengan membaliknya tubuh hewan uji setelah hilang kesadaran.
72
B. Hubungan Dosis Kombinasi antara Natrium Tiosulfat dan Natrium Nitrit dengan Efek Penawaran Racun Pada penelitian ini, digunakan 4 peringkat dosis natrium tiosulfat (0.468 mg/KgBB, 3.279 mg/KgBB, 22.960 mg/KgBB, dan 160.720 mg/KgBB) dan dosis efektif natrium nitrit (62.460 mg/KgBB mencit). Pada tabel I terlihat bahwa dengan meningkatnya dosis natrium tiosulfat yang dikombinasikan dengan natrium nitrit maka akan meningkatkan persentase kehidupan. Dengan membandingkan penelitian Soedarmono (2008) seperti pada tabel I, maka hasil dari kombinasi natrium tiosulfat dan natrium nitrit dikatakan lebih baik karena pada dosis 22.960 mg/KgBB sudah menunjukkan persentase kehidupan sebesar 100%. Pada penelitian Soedarmono (2008) tersebut persentase kehidupan sebesar 100% baru dicapai pada dosis 160.720 mg/KgBB, jadi penggunaan natrium tiosulfat 22.960 mg/KgBB yang dikombinsikan dengan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB dapat meningkatkan keefektifan terapi antidot pada keracunan sianida akut dimana penderita harus segera ditolong. Keefektifan tersebut terjadi karena adanya mekanisme yang sinergi pada kombinasi natrium tiosulfat dan natrium nitrit, di mana natrium tiosulfat akan bekerja dengan mekanisme percepatan eliminasi, sedangkan natrium nitrit bekerja dengan mekanisme hambatan bersaing (penghambatan distribusi). Hal ini tentu berbeda apabila natrium tiosulfat diberikan tanpa kombinasi dengan natrium nitrit di mana hanya akan terjadi satu mekanisme penawaracunan saja yaitu percepatan eliminasi.
73
Pada dasarnya penatalaksanaan keracunan sianida dengan dosis 26 mg/KgBB adalah cepat penanganan (antidotum diberikan sesaat) dan tepat antidotum dan tepat jalur pemejanan (intraperitoneal) sangat menentukan keberhasilan terapi keracunan di samping pemilihan strategi terapi antidotumnya. Dari hasil penelitian ini maka kombinasi natrium tiosulfat dan natrium nitrit dapat dinyatakan mempunyai potensi sebagai antidotum sianida dosis 26 mg/KgBB peroral pada mencit.
Mekanisme aktivitas antidotum Rhodanese Na2S2O3 + CN- --> SCN- + Na2SO3. Rute utama detoksifikasi sianida dalam tubuh adalah mengubahnya menjadi tiosianat oleh rhodanese, walaupun sulfurtransferase yang lain, seperti beta-merkaptopiruvat sulfurtransferase, dapat juga digunakan. Reaksi ini memerlukan sumber sulfan sulfur, tetapi penyedia endogen substansi ini terbatas. Keracunan sianida merupakan proses mitokondrial dan penyaluran intravena sulfur hanya akan masuk ke mitokondria secara perlahan. Natrium tiosulfat merupakan komponen kedua dari antidot sianida. Antidot ini diberikan sebanyak 50 ml dalam 25% larutan. Tidak ada efek samping yang ditimbulkan oleh tiosulfat. Namun tiosianat memberikan efek samping seperti gagal ginjal, nyeri perut, mual, kemerahan, dan disfungsi pada SSP. Dosis untuk anak-anak didasarkan pada berat badan (Kerns et al., 2002).
74
Pemberian natrium nitrit dosis 62.460 mg/KgBB intraperitoneal menyebabkan pembentukan methemoglobin dengan cara mengembangkan perubahan besi fero dalam hemoglobin menjadi besi feri. Natrium nitrit akan mengoksidasi sebagian hemoglobin (methemoglobin), sehingga dalam aliran darah akan terdapat ion ferri, yang oleh ion sianida akan diikat menjadi sian methemoglobin. Ini akan menyebabkan enzim pernafasan yang terblok (reaksi kompetitif) akan bergenerasi lagi (sifat terbalikkan). Reaksinya adalah sebagai berikut Sianida + Hemoglobin (Fe ++ )
nitrit
metheboglobin ( Fe +++ )
Sianmethemoglobin Hasil terapi dengan pemberian natrium nitrit secara teoritis akan menurunkan level methemoglobin sebanyak 20 – 30%. Meskipun demikian gejala efek toksik pada beberapa kelompok hewan uji pada penelitian ini banyak yang tidak teramati, bisa disebabkan oleh karena cepatnya terjadi kematian hewan uji tanpa melewati/memperlihatkan tanda-tanda gejala keracunan sianida, ataupun pada beberapa kelompok masih bertahan hidup hingga waktu pengamatan selesai (24 jam). Dengan adanya hewan uji yang kembali ke keadaan normal (hilangnya gejala efek toksik) maka dapat dikatakan bahwa kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit
75
62.460 mg/KgBB merupakan pilihan antidot yang baik dalam menangani keracunan sianida dosis 26 mg/KgBB secara peroral. Hal ini sesuai sifatnya di mana saat kadar racun sianida habis, reseptor kembali, artinya apabila sianida dosis 26 mg/KgBB dalam tubuh sudah menurun bahkan sudah habis, maka reseptor yang mulanya berikatan dengan sianida akan kembali ke reseptor semula dan berfungsi seperti semula. Efek toksik juga cepat kembali normal, di mana sianida dosis 26 mg/KgBB peroral sangat cepat menimbulkan efek toksik, namun secara cepat normal kembali atau sangat cepat pergi dari reseptor sasaran dengan adanya kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit dosis 62.460 mg/KgBB secara intraperitoneal.
Gambar 6. Pengubahan cyanmethemoglobin menjadi tiosianat oleh rodhanase dan tiosulfat (Cyanide Toxicity Review, 2003)
C. Sifat Terbalikkan Kombinasi Natrium Tiosulfat dan Natrium Nitrit pada Keracunan Sianida Kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit dosis 62.460 mg/KgBB secara intraperitoneal pada hewan uji terbukti merupakan
76
salah satu metode khas mempercepat eliminasi (gambar 12) sianida dengan mengkonversi sianida dengan bantuan rhodanase menjadi tiosianat (Na2S2O3 sebagai donor sulfur) yang kurang toksik. Natrium tiosulfat bekerja dengan mempercepat perubahan sianida dengan bantuan rhodanase menjadi tiosianat [SCN]- yang bersifat kurang toksik. Selain itu, tiosianat berbentuk ion sehingga dapat lebih mudah untuk diekskresikan. Hal ini dapat mempercepat keluarnya sianida dari tubuh. Seperti yang tampak pada gambar 12, garis putus-putus menunjukkan keadaan awal, sebelum adanya percepatan eliminasi. Setelah adanya percepatan eliminasi maka waktu eliminasinya menjadi lebih cepat (kurva bergeser ke kiri) dan toksisitasnya juga menjadi berkurang (daerah di atas KTM menjadi lebih kecil). (Cp)
Kadar racun dalam darah sebelum dipercepat eliminasinya KTM Kadar racun dalam darah setelah dipercepat eliminasinya
t Gambar 7. Kurva hipotesis yang melukiskan hubungan antara kadar racun di dalam darah atau di tempat aksi lawan waktu strategi terapi keracunan mempercepat eliminasi (Donatus, 1997)
Potensi natrium nitrit dosis 62.460 mg/KgBB intraperitoneal pada mencit terbukti merupakan salah satu metode khas penghambatan distribusi (gambar 13) sianida dengan pembentukan produk sianmethemoglobin yang
77
kurang toksik dengan cara hambatan bersaing proses metabolisme sianida. Garis putus-putus menunjukkan keadaan awal di mana distribusi racun tidak dihambat, sedangkan garis lurus menunjukkan keadaan racun yang sudah dihambat distribusinya, jadi, ketika natrium tiosulfat dan natrium nitrit dikombinasikan maka akan terjadi dua strategi terapi keracunan yaitu mempercepat eliminasi dan menghambat distribusi. Apabila kedua kurva hipotesis yang melukiskan hubungan antara kadar racun di dalam darah atau tempat aksi lawan waktu strategi terapi mempercepat eliminasi dan penghambatan distribusi digabungkan, maka akan diperoleh kurva dengan durasi efek toksik yang cepat dan intensitas yang lebih kecil, dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa kombinasi natrium tiosulfat dan natrium nitrit dapat dijadikan pilihan antidot pada keracunan sianida secara peroral.
Cp
Kadar racun dalam darah sebelum dihambat distribusinya
KTM Kadar racun dalam darah setelah dihambat distribusinya
t Gambar 8. Kurva hipotesis yang melukiskan hubungan antara kadar racun di dalam darah atau di tempat aksi lawan waktu strategi terapi keracunan penghambatan distribusi (Donatus, 1997)
78
Dosis kombinasi yang dapat digunakan yaitu natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dengan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB secara i.p. atau natrium tiosulfat dosis 160.720 mg/KgBB dengan natrium nitrit dosis 62.460 mg/KgBB secara i.p. Dosis yang terpilih pada penelitian ini yaitu kombinasi natrium tiosulfat dosis 22.960 mg/KgBB dengan natrium nitrit dosis 62.460 mg/KgBB secara i.p. Dosis tersebut dipilih karena dengan peringkat dosis tersebut sudah menunjukkan respon hewan uji terhadap kematian sebesar 0%. Tiosulfat sendiri secara intrinsik nontoksik, tetapi produk detoksifikasi yang dibentuk dari sianida, tiosianat, dapat menyebabkan toksisitas pada pasien dengan kerusakan ginjal. Penggunaan natrium nitrit hanya menggunakan 1 peringkat dosis (62.460 mg/KgBB) saja dikarenakan pada penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa hubungan antara dosis natrium nitrit dengan efek pengawaracunan sianida dosis 26 mg/KgBB peroral adalah tidak berbanding lurus antara dosis antidotum natrium nitrit dengan keberhasilan terapi keracunan sianida. Jadi, ketika dosis natrium nitrit terlalu tinggi ataupun terlalu rendah tidak menunjukkan adanya perbaikan pada gejala efek toksik yang ditimbulkan. Dan dari penelitian sebelumnya diperoleh dosis terpilih yang paling baik dalam menangani keracunan sianida adalah dosis 62.460 mg/KgBB (Djunarko, 2007). Pada gejala keracunan sianida terlihat adanya gejala kejang, dan kemungkinan
kondisi
tersebut
dapat
diperbaiki
dengan
penambahan
antikejang/sedatif. Kemungkinan dengan adanya sedatif, maka gejala kejang dapat dihindari dan pasien dapat diselamatkan dengan lebih baik lagi.
79
Berikut tersaji data hasil perbandingan pengamatan gejala efek toksik sianida terhadap kelompok kontrol (tabel IX). Dari tabel tersebut akan semakin jelas terlihat bahwa dengan meningkatnya dosis natrium tiosulfat yang dikombinasikan dengan natrium nitrit dosis 62.460 mg/KgBB, maka akan semakin meningkat pula keberhasilan terapi keracunan.
80
Tabel VII. Hasil perbandingan pengamatan gejala efek toksik sianida terhadap kelompok kontrol
Kelom pok
Jantung berdebar I II III
I
BTB
II
BTB
III
BTB
BTB
IV V
BTB
BTB
BB
VI VII
Hilang kesadaran I II III
BTB BTB
BB BB
BTB BB
BTB
BB
BTB
BB
BTB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
Gagal nafas I II III BB BB
BTB BB
BTB
BB
BB
BB
BTB
BTB
BB
BB
BTB
BTB
BTB
BTB
BB
BTB
I
Kejang II
III
BB
BTB
BB
BB
BTB
BB
BB
BB
BTB
BTB
BB
BB
BTB
BB
BTB
BTB
BB
BTB
I
Mati II
III
BB
BTB
BB
BB
BTB
BB
BB
BB
BTB
BB
BTB
BB
BTB
BTB
BTB
BTB
BB
BTB
BTB
BB
BTB
BTB
BB
BTB
BTB
BB
BTB
Keterangan dari tabel IX : Kelompok I : kontrol negatif (pelarut/aquadest) Kelompok II : kontrol sianida dosis 26 mg/KgBB Kelompok III : kontrol positif (natrium tiosulfat 22.960 mg/KgBB + natrium nitrit 62.460 mg/KgBB) Kelompok IV : sianida + natrium tiosulfat 0.468 mg/KgBB + natrium nitrit 62.460 mg/KgBB Kelompok V : sianida + natrium tiosulfat 3.279 mg/KgBB + natrium nitrit 62.460 mg/KgBB Kelompok VI : sianida + natrium tiosulfat 22.960 mg/KgBB + natrium nitrit 62.460 mg/KgBB Kelompok VII : sianida + natrium tiosulfat 160.720 mg/KgBB + natrium nitrit 62.460 mg/KgBB
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan data, analisis statistik dan evaluasi hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa potensi natrium tiosulfat sebagai antidotum keracunan sianida pada mencit jantan galur Swiss adalah : 1. Dosis kombinasi yang efektif sebagai antidot keracunan sianida adalah natrium tiosulfat 22.960 mg/KgBB dan natrium nitrit 62.460 mg/KgBB secara i.p. 2. Peningkatan dosis natrium tiosulfat yang dikombinasikan dengan natrium nitrit dosis 62.460 mg/KgBB akan meningkatkan efek penawaran racun pada keracunan sianida pada mencit. 3. Sifat dari pemberian antidot kombinasi natrium tiosulfat dan natrium nitrit adalah terbalikkan.
B. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang uji daya antidotum natrium tiosulfat dosis 3.279 mg/KgBB ditambah dengan pemberian zat anti kejang (misalnya diazepam), mengingat bahwa biasanya kasus keracunan sianida diperantarai dengan adanya kejang sehingga diperlukan adanya penambahan senyawa anti kejang disini untuk mengurangi terjadinya gejala efek toksik yang memperantarai terjadinya keracunan sianida.
81
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1987a, Anatomi dan Fisiologi Modul Swa-Instruksional Sistem Pernafasan dan Sistem Kardiovaskular, diterjemahkan oleh Andy Santosa Augustinus, Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Anonim, 1987b, Anatomi dan Fisiologi Modul Swa-Instruksional Sistem Perkemihan dan Sistem Pencernaan, diterjemahkan oleh Andy Santosa Augustinus, Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Anonim, 1995a, Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Anonim, 1995b, Farmakope Indonesia IV, Indonesia, Jakarta
Departemen Kesehatan Republik
Anonim, 2000, Gali Data : Sianida, http://www.minergynews.com/forum.shtml, diakses pada 28 September 2007
Ariens, E.J., Mutschler, E., Simonis, A.M., 1986, Toksikologi Umum Pengantar, diterjemahkan oleh Yoke R, Wattimena, Mathilda B Widianto, Elin Yulinah Sukandar, Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta
ATSDR, 1997, Toxicological profile for cyanide. Atlanta, GA, US Department of Health and Human Services, Public Health Service, Agency for Toxic Substances and Disease Registry
Bergman,A.R., Adel, K.A., and Paul, M.H.J.R., 1996, Histology, W.B. Saunders Company, USA
Blanc, P., Hogan, M., Malin, K., Hryhorczuk, D., Hessl, S., & Bernard, B., 1985, Cyanide intoxication among silver reclaiming workers, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 28 September 2007
82
Clarke, E.G.C and Clarke, M.L., 1975, Veterinary Toxicology, Low Price Edition, The English Language Book Society and Bailliere Tindall
Djunarko, I., 2007, Potensi Natrium Nitrit Sebagai Antidotum untuk Keracunan Sianida pada Mencit, Laporan Penelitian, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Donatus, I.A., 1990, Audiovisual Toksikologi Dasar, Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Jurusan Kimia Farmasi Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada
Donatus, I.A., 1997, Makalah Penanganan dan Pertolongan Pertama Keracunan Bahan Berbahaya, Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Donatus, I.A., 2001, Toksikologi Dasar, Laboratotium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Evans, C.L., 1964, Cobalt compounds as antidots for hydrocyanic acid, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, Antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 28 September 2007
Ganong, W.F., 1995, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review of medical Physiology), Edisi 14, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Henry, J.A., H.M., Wiseman, 1997, Management of Poisoning : A handbook for health care workers, World Health Organization, Geneva
Kalmus, H., & Hubbard, D.J., 1960, The chemical senses in health and disease, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, Antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 28 September 2007
Kerns, W., Isom, G., Kirk, M. A., 2002, Goldfrank’s Toxicologic Emergencies Chapter 98, 7th edition, Mc Grow-Hill, USA
83
Kirk, R.I.,& Stenhouse, N.S., 1953, Ability to smell solutions of potassium cyanide, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 28 September 2007
Loomis, I.A., 1978, Essentiale of Toxycologi, diterjemahkan oleh Imono Argo Donatus, Toksikologi Dasar, Edisi III, IKIP Semarang Press, Semarang
Lu, F.C., 1995, Toksikologi Dasar : Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko, diterjemahkan oleh Edi Nugroho, Edisi II, UI Press, Jakarta
Meredith, T.J., 1993, Antidots for Poisoning by Cyanide, http://www.inchem.org/, diakses pada 28 September 2007
Naughton, M., 1974, Acute cyanide poisoning, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, Antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 28 September 2007 Olson, K. R., 2007, Poisoning and Drug Overdose, 2nd edition, 145-147, PrenticeHall International Inc., USA
Simeonova, F.P., 2004. Concise International Chemical Assessment Document 61, Hydrogen Cyanide and Cyanides: human health aspects. UNEP-ILOWHO, Geneva, http://www.inchem.org, diakses tanggal 28 September 2007
Sudarmono, Andrew Arief, 2008, Dosis Efektif Natrium Tiosulfat Sebagai Antidotum Keracunan Sianida Pada Mencit Jantan Galur Swiss, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Takano, T., Miyzaki, Y., Nashimoto, I., & Kobayashi, K., 1980, Effect of hyperbaric oxygen on cyanide intoxication: in situ, changes in intracellular oxidation reduction, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, Antidots for Poisoning by Cyanide, diakses tanggal 28 September 2007
84
Tintinalli, Judith. E., 1996, Emergency Medicine : A comprehensive study guide, 4th Ed., Mc Graw Hill, United States of America
Utama,
Harry Wahyudhy, 2006, Keracunan Sianida, http://klikharry.wordpress.com/about/, diakses pada 28 September 2007
Vick, J.A. & Froelich, H.L., 1985, Studies on cyanide poisoning, In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, Antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 28 September 2007
Weger,
N., 1968 [Aminophenols as antidots to prussic acid], In http://www.inchem.org/documents/antidot/antidot/ant02.htm, Antidots for Poisoning by Cyanide, Diakses tanggal 28 September 2007
85
Lampiran 1. Data waktu (detik) timbulnya gejala efek toksik akibat pemberian sianida secara peroral, aquadest secara peroral, Na-tiosulfat + Na-nitrit secara intraperitonial mencit I II III IV V VI rata-rata SD SE
jantung berdebar 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Sianida hilang kesadaran 96.00 114.00 60.00 116.00 79.00 0.00 77.50 43.52 17.77
gagal nafas 166.00 141.00 86.00 120.00 132.00 300.00 157.50 74.59 30.45
kejang 178.00 133.00 93.00 180.00 546.00 420.00 258.33 181.40 74.06
mati 211.00 190.00 120.00 240.00 626.00 540.00 321.17 208.43 85.09
mencit I II III IV V VI rata-rata SD SE
jantung berdebar 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Aquadest hilang kesadaran 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
gagal nafas 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
kejang 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
mati Tidak mati Tidak mati Tidak mati Tidak mati Tidak mati Tidak mati Tidak mati 0.00 0.00
jantung berdebar 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Na-tiosulfat + Na-nitrit hilang kesadaran gagal nafas 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
kejang 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
mati Tidak mati Tidak mati Tidak mati Tidak mati Tidak mati Tidak mati Tidak mati 0.00 0.00
mencit I II III IV V VI rata-rata SD SE
86
Lampiran 2. Data waktu (detik) timbulnya gejala efek toksik akibat pemberian Sianida + Na-tiosulfat 0.468 mg/KgBB + Na-nitrit, Sianida + Na-tiosulfat 3.279 mg/KgBB + Na-nitrit, Sianida + Na-tiosulfat 22.960 mg/KgBB + Na-nitrit, Sianida + Natiosulfat 160.720 mg/KgBB + Na-nitrit
mencit I II III IV V VI rata-rata SD SE
Sianida+Na-tiosulfat 0.468 mg/kg + Na-Nitrit jantung hilang berdebar kesadaran gagal nafas 0.00 134.00 146.00 0.00 111.00 134.00 27.00 108.00 157.00 18.00 93.00 119.00 13.00 67.00 114.00 14.00 81.00 100.00 12.33 99.67 128.50 10.53 23.81 21.27 4.29 9.72 8.68
Sianida+Na-tiosulfat 3.279 mg/kg hilang kesadaran gagal nafas 1446.00 2146.00 90.00 132.00 531.00 545.00 63.00 112.00 103.00 127.00 83.00 98.00 386.00 526.67 549.27 811.64 224.24 331.35
mencit I II III IV V VI rata-rata SD SE
jantung berdebar 137.00 42.00 14.00 19.00 26.00 18.00 42.67 47.26 19.29
mencit I II III IV V VI rata-rata SD SE
Sianida+Na-tiosulfat 22.960 mg/kg + Na-nitrit jantung hilang berdebar kesadaran gagal nafas 81.00 124.00 0.00 165.00 0.00 0.00 11.00 0.00 0.00 30.00 110.00 162.00 21.00 0.00 0.00 32.00 0.00 0.00 56.67 39.00 27.00 58.32 60.58 66.14 23.81 24.73 27.00
87
kejang 146.00 0.00 182.00 135.00 125.00 135.00 120.50 62.28 25.43
mati 153.00 Tidak mati 239.00 259.00 242.00 298.00 14598.50 35175.44 14360.31
kejang 0.00 654.00 866.00 137.00 188.00 110.00 325.83 348.39 142.23
mati 2291.00 Tidak mati Tidak mati 197.00 Tidak mati 189.00 43646.17 46840.74 19122.65
kejang 167.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 27.83 66.14 27.00
mati Tidak mati Tidak mati Tidak mati Tidak mati Tidak mati Tidak mati Tidak mati 0.00 0.00
Lampiran 3. Data waktu (detik) timbulnya gejala efek toksik akibat pemberian Sianida + Na-tiosulfat 160.720 mg/KgBB + Nanitrit
mencit I II III IV V VI rata-rata SD SE
Sianida+Na-tiosulfat 160.720 mg/kg + Na-nitrit jantung hilang berdebar kesadaran gagal nafas kejang 15.00 0.00 0.00 0.00 25.00 0.00 0.00 0.00 29.00 0.00 0.00 0.00 27.00 0.00 0.00 0.00 19.00 0.00 0.00 0.00 11.00 0.00 0.00 0.00 21.00 0.00 0.00 0.00 7.16 0.00 0.00 0.00 2.92 0.00 0.00 0.00
88
mati Tidak mati Tidak mati Tidak mati Tidak mati Tidak mati Tidak mati Tidak mati 0.00 0.00
Lampiran 4. Hasil analisis data penelitian dengan program SPSS Tests of Normalityb,c,d,e,f,g,h,i,j,k,l,m,n,o,p,q a
jantung_berdebar
hilang_kesadaran
gagal_nafas
kejang
mati
perlakuan Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (0.468 mg/kg BB) + Nitrit Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (3.279 mg/kg BB) + Nitrit Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (22.960 mg/kg BB) + Nitrit Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (160.720 mg/kg BB) + Nitrit Kontrol Sianida 26 mg/Kg Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (0.468 mg/kg BB) + Nitrit Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (3.279 mg/kg BB) + Nitrit Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (22.960 mg/kg BB) + Nitrit Kontrol Sianida 26 mg/Kg Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (0.468 mg/kg BB) + Nitrit Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (3.279 mg/kg BB) + Nitrit Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (22.960 mg/kg BB) + Nitrit Kontrol Sianida 26 mg/Kg Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (0.468 mg/kg BB) + Nitrit Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (3.279 mg/kg BB) + Nitrit Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (22.960 mg/kg BB) + Nitrit Kontrol Sianida 26 mg/Kg Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (0.468 mg/kg BB) + Nitrit Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (3.279 mg/kg BB) + Nitrit
Kolmogorov-Smirnov Statistic df Sig.
Statistic
Shapiro-Wilk df
Sig.
.206
6
.200*
.914
6
.463
.339
6
.030
.669
6
.003
.331
6
.039
.792
6
.050
.212
6
.200*
.935
6
.619
.188
6
.200*
.879
6
.264
.147
6
.200*
.985
6
.972
.363
6
.013
.684
6
.004
.407
6
.002
.667
6
.003
.288
6
.131
.823
6
.093
.170
6
.200*
.975
6
.924
.353
6
.018
.628
6
.001
.492
6
.000
.496
6
.000
.334
6
.035
.841
6
.133
.362
6
.014
.779
6
.038
.320
6
.054
.840
6
.131
.492
6
.000
.496
6
.000
.318
6
.058
.836
6
.121
.491
6
.000
.497
6
.000
.319
6
.056
.691
6
.005
*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction b. jantung_berdebar is constant when perlakuan = Kontrol Aquades. It has been omitted. c. jantung_berdebar is constant when perlakuan = Kontrol Sianida 26 mg/Kg. It has been omitted. d. jantung_berdebar is constant when perlakuan = Kontrol Tiosulfat (22.960 mg/Kg) + Nitrit (62.46 mg/kg BB). It has been omitted. e. hilang_kesadaran is constant when perlakuan = Kontrol Aquades. It has been omitted. f. hilang_kesadaran is constant when perlakuan = Kontrol Tiosulfat (22.960 mg/Kg) + Nitrit (62.46 mg/kg BB). It has been omitted. g. hilang_kesadaran is constant when perlakuan = Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (160.720 mg/kg BB) + Nitrit. It has been omitted. h. gagal_nafas is constant when perlakuan = Kontrol Aquades. It has been omitted. i. gagal_nafas is constant when perlakuan = Kontrol Tiosulfat (22.960 mg/Kg) + Nitrit (62.46 mg/kg BB). It has been omitted. j. gagal_nafas is constant when perlakuan = Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (160.720 mg/kg BB) + Nitrit. It has been omitted. k. kejang is constant when perlakuan = Kontrol Aquades. It has been omitted. l. kejang is constant when perlakuan = Kontrol Tiosulfat (22.960 mg/Kg) + Nitrit (62.46 mg/kg BB). It has been omitted. m. kejang is constant when perlakuan = Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (160.720 mg/kg BB) + Nitrit. It has been omitted. n. mati is constant when perlakuan = Kontrol Aquades. It has been omitted. o. mati is constant when perlakuan = Kontrol Tiosulfat (22.960 mg/Kg) + Nitrit (62.46 mg/kg BB). It has been omitted. p. mati is constant when perlakuan = Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (22.960 mg/kg BB) + Nitrit. It has been omitted. q. mati is constant when perlakuan = Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (160.720 mg/kg BB) + Nitrit. It has been omitted.
89
Kruskal-Wallis Test Test Statisticsa,b
Chi-Square df Asymp. Sig.
jantung_ berdebar 32.771 6 .000
hilang_ kesadaran 27.651 6 .000
gagal_nafas 32.287 6 .000
kejang 28.658 6 .000
mati 29.145 6 .000
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: perlakuan
Mann-Whitney Test Ranks jantung_berdebar
perlakuan Kontrol Aquades Kontrol Sianida 26 mg/Kg Total
N 6 6 12
Mean Rank 6.50 6.50
Sum of Ranks 39.00 39.00
Test Statisticsb
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
jantung_ berdebar 18.000 39.000 .000 1.000 1.000
a
a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: perlakuan
Ranks jantung_berdebar
perlakuan Kontrol Aquades Kontrol Tiosulfat (22. 960 mg/Kg) + Nitrit (62.46 mg/kg BB) Total
N 6
Mean Rank 6.50
Sum of Ranks 39.00
6
6.50
39.00
12
90
Test Statisticsb
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
jantung_ berdebar 18.000 39.000 .000 1.000 a
1.000
a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: perlakuan
Ranks jantung_berdebar
perlakuan Kontrol Aquades Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (0.468 mg/kg BB) + Nitrit Total
N 6
Mean Rank 4.50
Sum of Ranks 27.00
6
8.50
51.00
6
Mean Rank 3.50
Sum of Ranks 21.00
6
9.50
57.00
12
Test Statisticsb
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
jantung_ berdebar .000 21.000 -3.077 .002 a
.002
a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: perlakuan
Ranks jantung_berdebar
perlakuan Kontrol Aquades Sianida (26mg/kg BB) + Tiosulfat (22.960 mg/kg BB) + Nitrit Total
N
12
91
BIOGRAFI PENULIS Penulis
skripsi
berjudul
’’Dosis
Efektif
Kombinasi Natrium Nitrit Dan Natrium Tiosulfat Sebagai Antidot Keracunan Sianida Akut Pada Mencit Jantan Galur Swiss’’ memiliki nama lengkap Libertus Tintus Hardiyanto, merupakan anak pertama dari pasangan Ignasius Sigid Pangestu Widodo dan Maria Sriyani. Awal pendidikannya ditempuh di TK Xaverius Metro (1991-1992). Selanjutnya penulis menempuh pendidikannya di SD Xaverius Metro (1992-1993); SDN II Farol, Atambua (1993-1996); SD Xaverius Metro (1996-1998); SMP Xaverius Metro (1998-2001). Masa SMA ditempuhnya di SMA Stella Duce Bantul (2001-2004). setelah lulus dari pendidikan di tingkat SMA, penulis melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (2004-2008). Selama menjalani pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, penulis banyak mengikuti kegiatan non akademis, diantaranya : UKF Sepakbola, UKF Basket, Sie Kesekretariatan Titrasi, Sie P3K Titrasi, Sie Dampok Titrasi, Sie Konsumsi PEC, Sie Perlengkapan PP, Sie Perlengkapan Pelepasan Wisuda, dan berbagai kegiatan lainnya yang masih dalam lingkup Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
92