Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
PENGARUH DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS DAN DANA BAGI HASIL TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH MELALUI BELANJA MODAL SEBAGAI VARIABEL INTERVENING Oleh : Joseph Wego Lede ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris apakah Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil berpengaruh terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah melalui Belanja Modal sebagai variabel intervening pada 38 Kabupaten/Kota di propinsi Jawa Timur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif, dengan pengujian regresi berganda menggunakan analisis jalur (path analysis). Variabel dalam penelitian ini adalah DAU, DAK, DBH sebagai variabel independen, PAD sebagai variabel dependen dan Belanja Modal sebagai variabel intervening. Sampel dalam penelitian ini adalah Data realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di 38 Kabupaten/Kota pada Propinsi Jawa Timur tahun anggaran 2007, 2008 dan 2009. Hasil penelitian membuktikan bahwa Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil dan Belanja Modal secara simultan tidak signifikan berpengaruh terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil tidak signifikan berpengaruh terhadap Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Hal ini dapat dilihat bahwa Adjusted R Square hanya sebesar 0,007% variabel Belanja Modal dapat dijelaskan oleh variabel independen yaitu Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil berpengaruh terhadap Belanja Modal. Sedangkan sisanya sebesar 99,93% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dijelaskan oleh model dalam penelitian ini. Secara parsial variabel Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil juga tidak signifikan berpengaruh terhadap Belanja Modal. Begitu juga dengan Belanja Modal tidak signifikan berpengaruh terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Hasil statistik dari model summary menunjukan bahwa besarnya adjusted R² adalah sebesar -0,006. Hal ini menunjukan bahwa variabel independent BM hanya mampu menjelaskan variabel PAD sebesar 0,7% sedangkan sisanya sebesar 99,93 % dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa DAU tidak signifikan berpengaruh tidak langsung positif terhadap Belanja Modal, DAK tidak signifikan berpengaruh tidak langsung positif terhadap Belanja Modal dan DBH tidak signifikan berpengaruh tidak langsung positif terhadap Belanja Modal. Pada tabel 10 dapat dilihat bahwa Belanja Modal tidak berpengaruh langsung terhadap Pendapatan Asli Daerah. Karena variabel – variabel tersebut tidak berpengaruh langsung maka hubungan antar variabel tersebut tidak dapat dimasukan dalam perkalian tidak langsung. Hal ini berarti bahwa Belanja Modal tidak dapat dijadikan sebagai variabel intervening untuk memediasi pengaruh DAU, DAK dan DBH terhadap Pendapatan Asli Daerah,
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
artinya bahwa meningkatnya Belanja Modal tidak mempengaruhi peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Kata Kunci: Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil, Belanja Modal dan Pendapatan Asli Daerah. LATAR BELAKANG Reformasi di segala bidang yang didukung oleh masyarakat dalam mensikapi permasalahan yang terjadi, baik permasalahan di pusat maupun di daerah mengakibatkan lahirnya otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan reformasi. Indonesia memasuki Era Otonomi Daerah dengan diterapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang kemudian diperbaharui dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. UU No.32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. Menurut (Darumurti, 2003), prinsip otonomi daerah sendiri adalah prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Hal ini berarti bahwa daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar urusan pemerintah pusat yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut. Selain itu juga dilaksanakan pula dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Untuk itu, otonomi daerah diharapkan dapat menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah, meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat, membudayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisifasi dalam proses pembangunan (Mardiasmo, 2002). APBD sebagai salah satu instrumen fiskal memiliki peran dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari seberapa jauh pengaruh pengeluaran APBD terhadap outcome dari program/kegiatan yang didanainya. Efektivitas pengeluaran APBD sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal maupun eksternal pemerintahan daerah, antara lain proses penyusunan APBD, peran partisipasi masyarakat, dukungan politis dari pihak DPRD, kesinambungan dengan APBD sebelum dan sesudah tahun anggaran yang bersangkutan, dan sinergi dengan program-program Pemerintah. Tantangan dalam mewujudkan efektivitas pengeluaran APBD adalah bagaimana menciptakan hubungan yang jelas antara input (anggaran dalam APBD) dengan output dan outcome dari program dan kegiatan yang direncanakan. Partisipasi masyarakat dan dukungan politik dari DPRD akan menentukan outcome yang akan dicapai dan sekaligus masyarakat dan DPRD yang akan menilai apakah pemerintah daerah telah berhasil mencapainya. Pendapatan Asli Daerah menurut Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 adalah merupakan pendapatan asli dari daerah berupa sumber – sumber penerimaan yang terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
kekayaan daerah yang dipisahkan serta lain-lain pendapatan asli daerah yang sah yang mencakup hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, tuntutan ganti rugi, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. Menurut Mardiasmo (2002) saat ini masih banyak masalah yang dihadapi pemerintah daerah terkait dengan upaya meningkatkan penerimaan daerah. Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya infra struktur seperti sarana dan prasarana yang tidak mendukung untuk investasi, sehingga menimbulkan pertanyaan bahwa seberapa besarkah dana yang disiapkan oleh pemerintah daerah untuk dialokasikan terhadap anggaran belanja modal, apakah disebabkan oleh kapasitas fiscal yang rendah ataukah pengalokasian dana yang syarat dengan kepentingan politis. Studi Abdullah (2004) mengemukakan adanya perbedaan preferensi antara eksekutif dan legislatif dalam pengalokasian spread PAD ke dalam belanja sektoral. Alokasi untuk infrastruktur dan DPRD mengalami kenaikan, tapi alokasi untuk belanja modal justru mengalami penurunan. Abdullah (2004) menduga power legislatif yang sangat besar menyebabkan diskresi atas penggunaan spread PAD tidak sesuai dengan preferensi publik. Abdullah & Halim (2004) menemukan bahwa sumber pendapatan daerah berupa PAD dan dana perimbangan berpengaruh terhadap belanja daerah secara keseluruhan. Meskipun proporsi PAD maksimal hanya sebesar 10% dari total pendapatan daerah, kontribusinya terhadap pengalokasian anggaran cukup besar, terutama bila dikaitkan dengan kepentingan politis (Abdullah, 2004). Dalam penciptaan kemandirian daerah, pemerintah daerah diharuskan untuk beradaptasi dan berupaya untuk meningkatkan mutu pelayanan publik dan perbaikan dalam berbagai sektor yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun pada kenyataannya prosentase kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) belum bisa memenuhi harapan sesuai dengan tuntutan otonomi daerah itu sendiri. Penelitian Abdullah dan Halim (2006) berpendapat bahwa prosentase kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) jumlahnya hanya berkisar 5–7% dari total penerimaan pemerintah daerah. Sedangkan dana dari pemerintah pusat berupa dana perimbangan merupakan sumber utama yang berkisar antara 90-95% dari total penerimaan pemerintah daerah. Hal ini menunjukan bahwa masih tingginya ketergantungan sebagian besar pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Oleh karena itu Abdullah dan Halim (2006) menyimpulkan bahwa perubahan dana perimbangan akan sangat berpengaruh terhadap anggaran belanja dalam APBD termasuk anggaran belanja modal. Tuntutan untuk mengubah struktur belanja menjadi semakin kuat, khususnya pada daerah-daerah yang mengalami kapasitas fiskal rendah (Halim, 2001). Dalam upaya peningkatan kemandirian daerah, pemerintah daerah dituntut untuk mengoptimalkan potensi pendapatan yang dimiliki yang salah satunya memberikan proporsi belanja modal yang lebih besar untuk pembangunan pada sektor-sektor yang produktif di daerah. Pemerintah daerah diharapkan untuk lebih mengalokasikan dana pada porsi belanja modal. Sehingga dengan semakin tingginya kegiatan belanja modal
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
diharapkan dapat menciptakan sumber – sumber penerimaan baru yang pada gilirannya dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Wong (2004) dalam David dan Adi menunjukan bahwa pembangunan infrastruktur industri mempunyai dampak yang nyata terhadap kenaikan pajak daerah. Dengan terpenuhinya fasilitas publik maka masyarakat merasa nyaman dan dapat menjalankan usahanya dengan efisien dan efektif sehingga pada akhirnya akan meningkatkan partisipasi publik dalam pembangunan. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi belanja modal akan berpengaruh terhadap meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sejalan dengan itu, (Mardiasmo, 2002) menjelaskan bahwa semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi publik terhadap pembangunan yang tercermin dari adanya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ini berarti bahwa dana dari Pemerintah Pusat berupa dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) secara tidak langsung mempengaruhi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui kegiatan Belanja Modal Pemerintah Daerah. Untuk itu dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui apakah benar Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) dapat berpengaruh terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui kegiatan Belanja Modal Pemerintah Daerah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis jalur dengan menggunakan Belanja Modal sebagai variabel intervening untuk mengetahui hubungan tidak langsung antara Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dari pemaparan tersebut di atas, dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Belanja Modal (BM) terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan apakah Belanja Modal dapat dijadikan sebagai variabel intervening dalam pengukuran tersebut. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif terhadap Belanja Modal. 2. Apakah Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif terhadap Belanja Modal. 3. Apakah Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh positif terhadap Belanja Modal. 4. Apakah Belanja Modal berpengaruh positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). 5. Apakah Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh tidak langsung positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui Belanja Modal.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
6. Apakah Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh tidak langsung positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui Belanja Modal. 7. Apakah Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh tidak langsung positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui Belanja Modal. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk menguji secara empiris pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Belanja Modal. 2. Untuk menguji secara empiris pengaruh Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Belanja Modal. 3. Untuk menguji secara empiris pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Belanja Modal. 4. Untuk menguji secara empiris pengaruh Belanja Modal terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). 5. Untuk menguji pengaruh tidak langsung Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui Belanja Modal. 6. Untuk menguji pengaruh tidak langsung Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui Belanja Modal. 7. Untuk menguji pengaruh tidak langsung Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui Belanja Modal. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian bagi peneliti selanjutnya dalam melengkapi kekurangan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan bagaimana upaya pemanfaatan dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) guna meningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui kegiatan Belanja Modal. 2. Manfaat Kebijakan Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan oleh para pembuat kebijakan pada pemerintahan daerah agar dalam proses penyusunan APBD dapat lebih memprioritaskan pada belanja modal yang berdampak pada meningkatnya kesejahtraan masyarakat, dapat menggali sumber – sumber penerimaan baru bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehinga mengurangi ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. RUANG LINGKUP PENELITIAN Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Belanja Modal sebagai variable intervening pada Kabupaten/Kota di propinsi Jawa Timur. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur selama tiga tahun anggaran yakni tahun 2007,2008 dan 2009.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Penelitian Sebelumnya Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian David Harianto dan Priyo Hari Adi (2007) dan penelitian yang dilakukan oleh Dwi Tri Nilasari (2010). Hasil penelitian yang dilakukan oleh David Harianto dan Priyo Hari Adi (2007) mengatakan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) berasosiasi positif terhadap perubahan Belanja Modal dan Belanja Modal berasosiasi positif terhadap perubahan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini berarti bahwa meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat ditentukan oleh faktor Belanja Modal. Semakin tinggi kegiatan belanja modal yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah akan meningkatkan sumber penerimaan baru sehingga dengan bertambahnya sumber penerimaan baru akan berakibat pada meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh David Harianto dan Priyo Hari Adi (2007) adalah bahwa penelitian David Harianto dan Priyo Hari Adi (2007) menguji tentang hubungan atau korelasi antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Perkapita. Sampel yang digunakan dalam penelitian David Harianto dan Priyo Hari Adi (2007) adalah Kabupaten dan Kota se-Jawa Bali dan tahun data yang digunakan adalah data tahun 2001 sampai 2004. Sedangkan penelitian ini mau menguji tentang seberapa besar Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Belanja Modal terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data realisasi penerimaan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) dan realisasi Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Jawa Timur tahun anggaran 2007, 2008 dan 2009. Penelitian ini juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Dwi Tri Nilasari (2010) karena sample yang akan diambil adalah realisasi anggaran pemerintah daerah pada Kabupaten/Kota se-Jawa Timur, sedangkan penelitian Dwi Tri Nilasari (2010), sample yang digunakan adalah 477 kabupaten/kota di Indonesia dengan tahun data yang digunakan adalah tahun 2007. Dalam penelitian Dwi Tri Nilasari (2010), DAU dan PAD adalah variabel independen dan Belanja Barang dan Jasa adalah variabel dependen, Belanja Modal menjadi intervening. Sedangkan dalam penelitian ini, PAD menjadi variabel dependen dan variabel independennya adalah DAU, DAK dan DBH, belanja modal tetap sebagai variabel intervening, sedangkan tahun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tahun 2007, 2008 dan 2009. Selain penelitian David Harianto dan Priyo Hari Adi (2007) dan penelitian yang dilakukan oleh Dwi Tri Nilasari (2010), penelitian lain yang digunakan sebagai acuan adalah penelitian Abdullah dan Halim (2006), Prakoso (2004), Halim, Abdul & Syukriy Abdullah (2004), Kusumadewi dan Rahman (2007) dan penelitian Maimunah, Mutiara (2006), Maulida, Novi Pratiwi (2007), Rohmawati, Anita (2009) serta penelitian yang dilakukan oleh Situngkir, Anggiat (2009).
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
Dana Alokasi Umum (DAU) Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 dikatakan bahwa Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Alokasi Umum diberikan pemerintah pusat untuk membiayai kekurangan dari pemerintah daerah dalam memanfaatkan PAD-nya. DAU bersifat “Block Grant” yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Dana Alokasi Khusus (DAK) Pasal 162 UU No. 32 tahun 2004 menyebutkan bahwa DAK dialokasikan dalam APBN untuk daerah tertentu dalam rangka pendanaan desentralisasi untuk (1) membiayai kegiatan khusus yang ditentukan pemerintah pusat atas dasar prioritas nasional dan (2) membiayai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu. Kebutuhan khusus yang dapat dibiayai oleh DAK adalah kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan menggunakan rumus DAU, dan kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Berdasarkan ketentuan pasal 162 ayat (4) UU No. 32 tahun 2004 yang mengamanatkan agar DAK diatur lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Untuk itu, pemerintah telah mengeluarkan PP No. 55 tahun 2005 tentang dana perimbangan. Pelaksanaan DAK diarahkan pada kegiatan investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan, dan/atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang, dan tidak termasuk penyertaan modal. Dana Bagi Hasil (DBH) Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No.33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah). Dana Bagi Hasil (DBH) yang ditransfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terdiri dari : a. Dana Bagi Hasil b. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA) yaitu : Belanja Modal (BM) Dalam Permendagri No.13 Tahun 2006 menyatakan bahwa belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Halim (2004a:73) mengatakan bahwa belanja modal merupakan belanja yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah asset atau
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
kekayaan daerah serta akan menimbulkan konsekuensi menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan. Sedangkan menurut Nordiawan (2006;162), belanja modal adalah belanja yang dilakukan pemerintah yang menghasilkan aktiva tetap tertentu. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dalam Permendagri No. 13 tahun 2006 dikatakan bahwa pendapatan daerah adalah merupakan semua penerimaan uang melalui rekening kas daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pendapatan daerah tersebut dirinci menurut urusan pemerintah daerah, organisasi kelompok, jenis, objek, dan rincian objek pendapatan. Pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan lain-lain Pendapatan daerah yang sah. Menurut Darise (2008;135) Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah. Salah satu ukuran kemampuan daerah untuk melaksanakan otonomi adalah dengan melihat besarnya nilai Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dapat dicapai oleh daerah tersebut. Dengan PAD yang relatif kecil akan sulit bagi daerah tersebut untuk melaksanakan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara mandiri, tanpa didukung oleh pihak lain (dalam hal ini Pemerintah Pusat dan Propinsi). Padahal dalam pelaksanaan otonomi , daerah dituntut untuk mampu membiayai dirinya sendiri. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara. Pernyataan bahwa PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar bagi pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan bahwa PAD merupakan tolok ukur terpenting bagi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah. Di samping itu PAD juga mencerminkan kemandirian suatu daerah. Santoso (1995 : 20) mengemukakan bahwa PAD merupakan sumber penerimaan yang murni dari daerah, yang merupakan modal utama bagi daerah sebagai biaya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai total pengeluaran daerah, namun proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah tetap merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan suatu pemerintah daerah. Pendapatan Asli Daerah diharapkan dapat menjadi modal utama bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, akan tetapi pada saat ini kondisinya masih kurang memadai. Dalam arti bahwa proporsi yang dapat disumbangkan PAD terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) masih relatif rendah. Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari : a. Pajak daerah; b. Retribusi daerah; c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan, d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
Hasil penelitian Abdullah dan Halim (2006) mengatakan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) berasosiasi positif terhadap Belanja Modal. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh David dan Adi (2007) menunjukan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif terhadap belanja modal dan Belanja Modal berasosiasi positif terhadap perubahan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini berarti bahwa meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat ditentukan oleh faktor Belanja Modal. Prakoso (2004) serta Harianto dan Adi (2007) memberikan fakta empirik yang sama dimana Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai pengaruh positif terhadap belanja modal pemerintah daerah. Dari beberapa penelitian tersebut di atas dapat diasumsikan bahwa besarnya Dana Alokasi Umum (DAU) yang dialokasikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan berpengaruh terhadap semakin besarnya pengalokasian dana tersebut terhadap belanja modal oleh pemerintah daerah. Dalam Permendagri Nomor 26 Tahun 2006, disebutkan bahwa dana alokasi umum diprioritaskan penggunaanya untuk mendanai gaji dan tunjangan pegawai, kesejahteraan pegawai, kegiatan operasi dan pemeliharaan serta pelaksanaan pembangunan fisik seperti sarana dan prasarana dalam rangka peningkatan pelayanan dasar dan pelayanan umum yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam anggaran pemerintah daerah, pelaksanaan pembangunan fisik termasuk dalam belanja modal. Penelitian Kusuma Dewi dan Rahman (2007) mengatakan bahwa pemerintah daerah dapat melakukan belanja tahun berjalan dipengaruhi oleh jumlah DAU yang diperoleh pada tahun yang sama. Dari uraian diatas penulis membuat hipotesis 1 sebagai berikut : H1 : Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif terhadap Belanja Modal Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan bagian dari dana perimbangan yang dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada propinsi/kabupaten/kota tertentu yang bertujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan pemerintah daerah sesuai dengan program nasional. Pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) diarahkan pada kegiatan investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan, dan/atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang, dan tidak termasuk penyertaan modal. Penelitian Abdullah dan Halim (2006) menunjukan bahwa dana dari pemerintah atasan berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) berasosiasi positif terhadap belanja modal. Beberapa penelitian terdahulu menemukan bahwa transfer dari pemerintah pusat berupa dana perimbangan yang diterima oleh daerah sangat mempengaruhi besarnya anggaran biaya yang dianggarkan oleh pemerintah daerah. Semakin tinggi Dana Alokasi Khusus yang dialokasikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan berpengaruh terhadap meningkatnya belanja modal pada pemerintah daerah. Kegiatan investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan, dan/atau perbaikan sarana dan prasarana fisik termasuk dalam belanja modal. Dari uraian diatas penulis membuat hipotesis 2 sebagai berikut : H2 : Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif terhadap Belanja Modal
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah merupakan dana perimbangan yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialkokasikan kepada daerah berdasarkan persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berdasarkan regulasi yang berlaku pada pemerintahan daerah di Indonesia, yang mengatur tentang pengelolaan keuangan dan anggaran daerah, setiap realisasi atas kebijakan yang berhubungan dengan belanja harus diatur dengan Peraturan Daerah (Perda). Perda tentang anggaran daerah merupakan penentu boleh tidaknya dilakukan pengeluaran dana atau kas untuk membayar biaya-biaya termasuk biaya untuk memperoleh asset tetap atau belanja modal. Hal ini berarti bahwa pemerintah daerah melalui peraturan daerah memiliki wewenang untuk mengelolah anggaran daerahnya termasuk dana bagi hasil tersebut. Penelitian Abdullah dan Halim (2006) menunjukan bahwa dana dari pemerintah atasan berupa Dana Bagi Hasil berasosiasi positif terhadap belanja modal. Selain itu, beberapa penelitian terdahulu menemukan bahwa transfer dari pemerintah pusat berupa dana perimbangan yang diterima oleh daerah sangat mempengaruhi besarnya anggaran biaya yang dianggarkan oleh pemerintah daerah. Sehingga dengan semakin tingginya Dana Bagi Hasil yang dialokasikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan berpengaruh terhadap meningkatnya belanja modal pada pemerintah daerah. Dari uraian diatas penulis membuat hipotesis 3 sebagai berikut : H3 : Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh positif terhadap Belanja Modal Pemerintah daerah diarahkan untuk menggali sumber daya yang dimiliki oleh daerah guna meningkatan Pendapatan Asli Daerah. Dengan dialokasikannya dana perimbangan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah diharapkan mampu memanfaatkan dana tersebut dalam menggali sumber-sumber penerimaan daerah dengan lebih mengalokasikan dana tersebut pada kegiatan Belanja Modal yang produktif sehingga nantinya dapat berdampak pada kenaikan pajak yang berimbas pada meningkatknya Pendapatan Asli Daerah. Wong (2004) dalam David dan Adi menunjukan bahwa pembangunan infrastruktur industri mempunyai dampak yang nyata terhadap kenaikan pajak daerah. Penelitian Rahmawati (2009) menunjukan bahwa belanja modal berpengaruh positif terhadap pendapatan asli daerah. (Mardiasmo, 2002) menjelaskan bahwa semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi publik terhadap pembangunan yang tercermin dari adanya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi kegiatan belanja modal pada anggaran pemerintah daerah akan berpengaruh terhadap meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Penelitian yang dilakukan oleh David dan Adi (2007) menunjukan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif terhadap belanja modal dan Belanja Modal berasosiasi positif terhadap perubahan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini berarti bahwa meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat ditentukan oleh faktor Belanja Modal. Dari uraian diatas penulis membuat hipotesis 4 sebagai berikut :
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
H4 : Belanja Modal (BM) berpengaruh positif terhadap Pendapatan Asli Daerah. Untuk menambah aset tetap, pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Biasanya setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemerintahan daerah, sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak jangka panjang secara finansial. Hasil penelitian Abdullah dan Halim (2006) mengatakan bahwa pendapatan dari pemerintah pusat berupa dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) berasosiasi positif terhadap Belanja Modal (BM). Selain itu penelitian yang dilakukan oleh David dan Adi (2007) menunjukan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif terhadap Belanja Modal (BM) dan Belanja Modal berasosiasi positif terhadap perubahan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini berarti bahwa meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat ditentukan oleh faktor Belanja Modal. Prakoso (2004) memberikan fakta empirik yang sama dimana Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai pengaruh positif terhadap belanja modal pemerintah daerah. Wong (2004) dalam David dan Adi menunjukan bahwa pembangunan infrastruktur industri mempunyai dampak yang nyata terhadap kenaikan pajak daerah. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Rohmawati, Anita (2009) menunjukan bahwa belanja modal berpengaruh positif secara langsung terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dari penelitian terdahulu tersebut dapat disimpulkan bahwa dana perimbangan berpengaruh secara tidak langsung positif terhadap pendapatan asli daerah melalui belanja modal. (Mardiasmo, 2002) menjelaskan bahwa semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi publik terhadap pembangunan yang tercermin dari adanya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Semakin tinggi dana perimbangan yang dialokasikan kepada daerah akan mengakibatkan semakin tinggi pula pengalokasian dana oleh pemerintah daerah terhadap kegiatan belanja modal, sehingga dengan semakin banyaknya kegiatan belanja modal yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah akan berpengaruh terhadap meningkatnya sumber – sumber penerimaan baru yang pada akhirnya dapat meningkatkan penerimaan daerah melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dalam penelitian ini, Belanja Modal (BM) adalah merupakan variabel yang memediasi hubungan antara Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dari uraian tersebut diatas penulis dapat membuat hipotesis 5,6 dan 7 sebagai berikut : H5 = Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh tidak langsung positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui Belanja Modal.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
H6 = Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh tidak langsung positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui Belanja Modal. H7 = Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh tidak langsung positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui Belanja Modal. METODE PENELITIAN JENIS PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan data sekunder yaitu data realisasi Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), Belanja Modal (BM) dan data realisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun anggaran 2007, 2008 dan 2009 pada 38 Kabupaten/Kota se-Jawa Timur. TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 38 Kabupaten/Kota se-Propinsi Jawa Timur yang terdiri dari 9 Kota dan 29 Kabupaten. Syarat daerah yang dijadikan sample adalah daerah yang memiliki data – data lengkap yaitu data realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), Belanja Modal (BM) dan Belanja Barang dan Jasa serta data realisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tersedia di Biro Keuangan pada Pemerintah Propinsi Jawa Timur. TEKNIK PENGUMPULAN DATA Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik dokumentasi yaitu dengan melakukan penelitian dari data laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), Belanja Modal (BM) dan Belanja Barang dan Jasa serta data realisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten/Kota se-Propinsi Jawa Timur pada Biro Keuangan Propinsi Jawa Timur. Waktu periode pengamatan adalah periode 3 tahun data yakni tahun 2007, 2008 dan 2009 dengan pertimbangan bahwa tahun – tahun tersebut merupakan tahun – tahun awal diterapkannya Permendagri No. 13 tahun 2006 yang merupakan dimulainya penerapan otonomi daerah. Sedangkan pengukuran variabelnya menggunakan skala rasio yaitu nilai perbandingan antara data yang digunakan dengan data yang tersedia. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL 1. Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi Umum adalah merupakan dana yang ditransfer oleh pemerintah pusat sebagai dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Pengalokasikan Dana Alokasi Umum (DAU) ke daerah dilakukan dengan menggunakan formula yang didasarkan pada data dasar perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU). Sebelum tahun 2006, formula Dana Alokasi Umum (DAU) terbagi menjadi dua komponen utama, yaitu Alokasi Minimum (AM) dan alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) berdasarkan Kesenjangan Fiskal (KF). Alokasi
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
Minimum (AM) dihitung berdasarkan komponen lumpsum dan proporsional belanja pegawai. Data Dana Alokasi Umum (DAU) yang digunakan dalam penelitian ini adalah total realisasi Dana Alokasi Umum (DAU) dibandingkan dengan total pendapatan tahun anggaran 2007, 2008 dan 2009. 2. Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Data Dana Alokasi Khusus (DAK) yang digunakan dalam penelitian ini adalah total realisasi Dana Alokasi Khusus (DAK) dibandingkan dengan total pendapatan tahun anggaran 2007, 2008 dan 2009. 3.
Dana Bagi Hasil (DBH) Dana Bagi Hasil (DBH) adalah merupakan dana yang ditransfer oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berdasarkan persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi. Dana Bagi Hasil (DBH) yang dimaksud disini adalah dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan dan dana bagi hasil sumber daya alam. Sebagaimana diatur dalam Undang - Undang Nomor 33 Tahun 2004, Dana Bagi Hasil (DBH) dihitung berdasarkan persentase tertentu dari realisasi penerimaan dalam negeri yang dibagihasilkan, baik dari penerimaan pajak maupun penerimaan Sumber Daya Alam (SDA). Penerimaan negara yang berasal dari penerimaan pajak yang dibagihasilkan ke daerah meliputi Pajak Penghasilan, yaitu PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Data Dana Bagi Hasil (DBH) yang digunakan dalam penelitian ini adalah realisasi penerimaan Dana Bagi Hasil dibandingkan dengan total pendapatan tahun anggaran 2007, 2008 dan 2009. 4.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang dipungut oleh daerah berdasarkan peraturan daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) tersebut terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain – lain pendapatan asli daerah yang sah yang mencakup hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, tuntutan ganti rugi, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. Data Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang digunakan dalam penelitian ini adalah data realisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dibandingkan dengan total pendapatan pemerintah daerah tahun anggaran 2007, 2008 dan 2009. 5.
Belanja Modal (BM) Belanja modal adalah belanja yang dilakukan oleh pemerintah untuk pembelian/pengadaan atau pembangunan asset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan. Belanja Modal tersebut terdiri
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
dari :belanja modal tanah, belanja modal peralatan dan mesin, belanja modal gedung dan bangunan, belanja modal jalan, irigasi dan jaringan dan belanja modal fisik lainya seperti belanja kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku dan jurnal ilmiah. Data belanja modal yang digunakan dalam penelitian ini adalah data realisasi belanja modal dibandingkan dengan total belanja pemerintah daerah tahun anggaran 2007, 2008 dan 2009. TEKNIK ANALISIS DATA Uji Asumsi Klasik a. Uji multikolinearitas Uji multikolineritas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi yang tinggi atau sempurna antar variabel independent (Ghozali, 2009:25). Uji multikorelasi dapat melihat ada atau tidaknya korelasi yang tinggi antara variabel bebas dalam suatu model regresi linear berganda. Jika ada korelasi yang tinggi di antara variabel bebasnya, maka hubungan antara variabel bebas terhadap variabel terikatnya menjadi terganggu. Alat statistik yang sering digunakan untuk menguji gangguan multikolinearitas adalah dengan variance inflation factor (VIF). Nilai cutoff yang umum dipakai adalah nilai VIF > 10. Jika nilai VIF menunjukan < 10 maka terjadi korelasi antar variabel independent, begitu juga sebaliknya jika nilai VIF > 10 maka tidak terjadi korelasi antar variabel independent. b. Uji heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk melihat apakah terdapat ketidaksamaan varians dari residual satu ke pengamatan yang lain. Model regresi yang memenuhi persyaratan adalah di mana terdapat kesamaan varians dari residual satu ke pengamatan yang lain tetap atau disebut homoskedastisitas. Deteksi heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan menggunakan metode scatter plot, yaitu dengan memplotkan nilai ZPRED (nilai prediksi) dengan SRESID (nilai residualnya). Model yang baik didapatkan jika tidak terdapat pola tertentu pada grafik seperti mengumpul di tengah, menyempit kemudian melebar atau sebaliknya melebar kemudian menyempit. c. Uji normalitas Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah nilai residual terdistribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah yang memiliki nilai residual yang terdistribusi normal. Uji normalitas dapat dilakukan dengan menggunakan uji histogram, uji normal P Plot, uji Chi Square, Skewness dan Kurtosis atau uji Kolmogrov Smirnov. Pengujian dengan metode grafik sering menimbulkan perbedaan persepsi di antara beberapa pengamat, sehingga penggunaan uji normalitas dengan uji statistik bebas dari keragu-raguan meskipun tidak ada jaminan bahwa pengujian dengan uji statistik lebih baik daripada pengujian dengan metode grafik. Jika nilai residual tidak normal tetapi dekat dengan nilai kritis (misalnya signifikansi Kolmogorov Smirnov sebesar 0,049) maka dapat dicoba dengan menggunakan metode lain yang mungkin memberikan jutifikasi normal. Tetapi jika jauh dari nilaI normal maka dapat dilakukan beberapa langkah
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
yaitu melakukan transformasi data, melakukan trimming data outliers atau menambah data observasi. d. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi. Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain. Masalah ini timbul karena residual (kesalahan pengganggu) tidak bebas dari satu observasi ke observasi lainnya. Hal ini sering ditemukan pada data runtut waktu atau time series. Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi. Uji Durbin-Watson dapat digunakan untuk menguji autokorelasi. Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis jalur (path analysis) SPSS, sedangkan pengujian variabel intervening digunakan pengujian yang dikembangkan oleh Sobel (1982) yang dikenal dengan Uji Sobel (Sobel test). Dari model pengujian diatas dapat dirumuskan persamaan statistiknya sebagai berikut : Persamaan 1 : BM = a + b1DAU + b2DAK + b3DBH + e1 Persamaan 2 : PAD = a + b1BM + e2 Setelah dilakukan pengujian hipotesis, selanjutnya adalah menghitung total pengaruh sebagai berikut : Pengaruh tidak langsung DAU ke BM ke PAD = (b1 x b4) Pengaruh tidak langsung DAK ke BM ke PAD = (b2 x b4) Pengaruh tidak langsung DBH ke BM ke PAD = (b3 x b4) Total Pengaruh = (b1 x b4) + (b2 x b4) + (b3 x b4) Pengaruh tidak langsung dihitung dengan mengalikan variabel – variabel yang berpengaruh langsung. Jika antar variabel tidak berpengaruh langsung maka hubungan antar variabel tersebut tidak dimasukan dalam perkalian hubungan tidak langsung. Untuk mengetahui apakah pengaruh mediasi yang ditunjukan dalam perkalian masing – masing pengaruh tidak langsung signifikan atau tidak, digunakan uji Sobel test dengan cara menguji kekuatan pengaruh tidak langsung variabel independent (X) kepada variabel dependen (Y) melalui variabel intervening (M). Pengaruh tidak langsung X ke Y melalui M dihitung dengan cara mengalikan jalur X M (a) dengan jalur M Y (b) atau ab. Standar error koefisien a dan b ditulis dengan Sa dan Sb, besarnya standar error tidak langsung Sab dihitung dengan rumus sebagai berikut : Sab = √ b² sa² + a² sb² + sa² sb²
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
Untuk menguji signifikansi pengaruh tidak langsung, maka kita perlu menghitung nilai t dari koefisien ab dengan rumus sebagai berikut : ab t = sab HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Uji Asumsi Klasik a. Uji Multikolineritas Persamaan I : BM = a + b1DAU + b2DAK + b3DBH + e1 Hasil Uji Multikolinearitas Persamaan I Coe fficie ntsa
Model 1
Collinearity Statistics Tolerance VIF .826 1.211 .826 1.211 .764 1.309
DAU DAK DBH
a. Dependent Variable: BM
b.
Uji Heteroskedastisitas Regression Studentized Residual
LIZCOM, bukan sekedar mengetik
Hasil pengujian multikolinearitas persamaan I, dimana dalam pengujian tersebut menunjukan bahwa variabel DAU memiliki nilai VIF sebesar 1,211, variabel DAK meiliki nilai VIF sebesar 1,211 dan variabel DBH memiliki nilai VIF sebesar 1,309. Nilai VIF ketiga variabel tersebut > dari 0,10, hal ini menyatakan bahwa dari hasil pengujian multikolinearitas tersebut tidak terjadi hubungan korelasi antara ketiga variabel independent. Hasil Uji Heteroskedastisitas Persamaan I Scatterplot Dependent Variable: BM 4
2
0
-2
-4 -3
-2
-1
0
1
2
3
4
Regression Standardized Predicted Value
Pada tampilan grafik scatter plot tersebut diatas dapat dilihat bahwa titik – titik menyebar secara acak baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi. c.
Uji Normalitas
Hasil Uji Normalitas Persamaan I
Expected Cum Prob
LIZCOM, bukan sekedar mengetik
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Dependent Variable: BM 1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Obse rved Cum Prob
Pada grafik normal plot terlihat bahwa titik – titik data mendekati atau menyentuh garis diagonalnya. Pada gambar tersebut menunjukan bahwa nilai residual terdistribusi normal. Agar tidak menimbulkan bias dalam membaca garis diagonal, dilakukan pengujian Kolmogorov-Smirnov dengan hasil sebagaimana dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini. Hasil Uji Normalitas Persamaan I One -Sample Kolmogorov-Smirnov Te st
N Normal Parameters
a ,b
Most Extreme Differences
Unstandardiz ed Residual 114 .0000000 5.65661791 .064 .064 -.041 .683 .740
Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Pada tabel uji normalitas tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa nilai Kolmogorov-Smirnov persamaan I sebesar 0,683 dengan signifikansi sebesar 0,740. Nilai siginifikansi 0,740 berada jauh di atas 0,05 dapat diartikan bahwa nilai residual terdistribusi secara normal atau memenuhi asumsi klasik normalitas residual. Sehingga berdasarkan uji normalitas dengan menggunakan uji plot dan uji Kolmogorov-Smirnov Test dapat disimpulkan bahwa persamaan I telah memenuhi persyaratan asumsi klasik normalitas. d.
Uji Autokorelasi Hasil Uji Autokorelasi Persamaan I Model Summaryb Model 1
R .183a
R Square .033
Adjusted R Square .007
Std. Error of the Estimate 5.7332
DurbinWatson 1.9456
a. Predictors: (Constant), DBH, DAK, DAU b. Dependent Variable: BM
Angka Durbin-Watson menunjukkan 1.946 yang berarti masih berada pada batas normal yaitu antara -2 sampai dengan 2. Sehingga dapat dikatakan tidak terjadi Autokorelasi. PENGUJIAN HIPOTESIS DAN PEMBAHASAN Pengujian Hipotesis
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
Berikut ini merupakan hasil output SPSS 13 untuk pengujian statistic persamaan I sebagai berikut : Persamaan I : BM = a + b1DAU + b2DAK + b3DBH + e1 Mode l Summa ry Model 1
R .183a
Adjusted R Square .007
R Square .033
Std. Error of the Estimate **********
a. Predictors: (Constant), DBH, DAK, DAU
b. Dependent Variable: PAD
Nilai Adjusted R Square pada Tabel di atas sebesar 0,007. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel anggaran belanja modal yang dapat dijelaskan oleh variabel independen yang ada yaitu DAU, DAK dan DBH adalah hanya sebesar 0,07%. Sisanya sebesar 99,93% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dijelaskan oleh model penelitian ini. ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 124.575 3615.698 3740.273
df 3 110 113
Mean Square 41.525 32.870
F 1.263
Sig. .291a
a. Predictors: (Constant), DBH, DAK, DAU b. Dependent Variable: BM
Pada tabel Anova dapat dilihat bahwa nilai F hitung sebesar 1,263 dengan probabilitas 0,291. Oleh karena probabilitas jauh lebih besar dari drajat signifikansi 5% yaitu 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa variabel independent yaitu DAU, DAK dan DBH secara simultan tidak berpengaruh terhadap belanja Modal. Coefficientsa
Model 1
(Constant) DAU DAK DBH
Unstandardized Coefficients B Std. Error 28.294 5.082 -.110 .069 .169 .210 .049 .085
Standardized Coefficients Beta -.163 .083 .061
t 5.567 -1.583 .806 .571
Sig. .000 .116 .422 .569
Correlations Zero-order Partial -.163 .012 .092
-.149 .077 .054
Part -.148 .076 .054
a. Dependent Variable: BM
a. Hipotesis 1 Hipotesis 1 menyatakan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif terhadap Belanja Modal. Pada tabel dapat dilihat bahwa nilai unstandardized beta untuk pengaruh DAU terhadap Belanja Modal adalah sebesar -0,110 dengan signifikansi jauh di atas derajat alpha 5% (0,05) yakni sebesar 0,116. Hal ini berarti bahwa DAU tidak signifikan berpengaruh negatif terhadap Belanja Modal sehingga hipotesis 1 ditolak. Artinya bahwa setiap ada kenaikan satu satuan dalam DAU tidak akan mengakibatkan penurunan dalam Belanja Modal. b. Hipotesis 2 Hipotesis 2 menyatakan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif terhadap Belanja Modal. Pada tabel dapat dilihat bahwa nilai
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
unstandardized beta untuk pengaruh DAK terhadap Belanja Modal adalah sebesar 0,169 dengan signifikansi jauh di atas derajat alpha 5% (0,05) yakni sebesar 0,442. Hal ini berarti bahwa DAK tidak signifikan berpengaruh positif terhadap Belanja Modal sehingga hipotesis 2 ditolak. Artinya bahwa setiap ada kenaikan satu satuan dalam DAK tidak akan mengakibatkan kenaikan dalam Belanja Modal. c. Hipotesis 3 Hipotesis 3 menyatakan bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh positif terhadap Belanja Modal. Pada tabel dapat dilihat bahwa nilai unstandardized beta untuk pengaruh DBH terhadap Belanja Modal adalah sebesar 0,049 dengan signifikansi jauh di atas derajat alpha 5% (0,05) yakni sebesar 0,569. Hal ini berarti bahwa DBH tidak signifikan berpengaruh positif terhadap Belanja Modal sehingga hipotesis 3 ditolak. Artinya bahwa setiap ada kenaikan satu satuan dalam DBH tidak akan mengakibatkan kenaikan dalam Belanja Modal. Persamaan II : PAD = a + b1BM + e2 Model Summary Model 1
R .049a
Adjusted R Square -.006
R Square .002
Std. Error of the Estimate **********
a. Predictors: (Constant), BM
b. Dependent Variable: PAD
Hasil statistic dari model summary menunjukan bahwa besarnya adjusted R² adalah sebesar -0,006. Hal ini menunjukan bahwa variabel independent BM hanya mampu menjelaskan variabel PAD sebesar 0,7% sedangkan sisanya sebesar 99,93 % dijelaskan oleh variabel lain diluar model. ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 6.617 2709.663 2716.279
df 1 112 113
Mean Square 6.617 24.193
F .273
Sig. .602a
a. Predictors: (Constant), BM b. Dependent Variable: PAD
Pada tabel anova ditampilkan output SPSS anova dengan nilai F statistic sebesar 0,273 dengan probabilitas sebesar 0,602. Karena probabilitas jauh lebih besar di atas 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa variabel independent BM tidak berpengaruh terhadap variabel dependen yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD). Coefficientsa
Model 1
(Constant) BM
Unstandardized Coefficients B Std. Error 7.538 1.862 .042 .080
a. Dependent Variable: PAD
d. Hipotesis 4
Standardized Coefficients Beta .049
t 4.048 .523
Sig. .000 .602
Correlations Zero-order Partial .049
.049
Part .049
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
Hipotesis 4 menyatakan bahwa Belanja Modal berpengaruh positif terhadap Pendapatan Asli Daerah. Dari tabel dapat dilihat bahwa nilai unstandardized beta untuk pengaruh Belanja Modal terhadap Pendapatan Asli Daerah adalah sebesar 0,042 dengan signifikansi 0,602 jauh di atas derajat alpha 5%. Hal ini menunjukan bahwa Belanja Modal tidak berpengaruh signifikan positif terhadap Pendapatan Asli Daerah, sehingga hipotesis 4 ditolak. Artinya bahwa setiap ada kenaikan satu satuan dalam Belanja Modal tidak akan mengakibatkan kenaikan dalam Pendapatan Asli Daerah. e. Hipotesis 5, 6 dan 7 Hipotesis 5 mengatakan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh tidak langsung positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui Belanja Modal, hipotesis 6 mengatakan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh tidak langsung positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui Belanja Modal dan hipotesis 7 mengatakan bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh tidak langsung positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui Belanja Modal. Hubungan tidak langsung adalah jika ada variabel ketiga yang memediasi hubungan kedua variabel tersebut. Variabel ketiga (intervening) dalam penelitian ini adalah variabel Belanja Modal. PEMBAHASAN Hasil pengujian empiris menunjukan bahwa hipotesis 1, 2 dan hipotesis 3 ditolak, dimana Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) tidak signifikan berpengaruh positif terhadap peningkatan Belanja Modal. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian Abdullah dan Halim dalam (Tri Nilasari, 2009) yang mengatakan bahwa Dana Perimbangan berasosiasi positif terhadap Belanja Modal. Penelitian ini juga tidak konsisten dengan penelitian Tri Nilasari yang mengatakan bahwa Dana Alokasi Umum berpengaruh signifikan negative terhadap Belanja Modal. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap Daerah Otonom (provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. DAU merupakan salah satu komponen belanja pada APBN, dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD. Tujuan DAU adalah sebagai pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan Daerah Otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Hasil pengujian empiris menunjukan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) tidak signifikan berpengaruh positif terhadap Belanja Modal. Hal ini dimungkinkan karena jumlah DAK yang sangat kecil menyebakan DAK tidak signifikan berpengaruh terhadap Belanja Modal. Dari data pada lampiran 3 dapat dilihat bahwa jumlah Dana Perimbangan yang dialokasikan oleh pemerintah pusat kepada 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur dari tahun anggaran 2007 sampai dengan 2009 adalah sebagai berikut, Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp.56.970.461.565.196,00 tryliun, Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp.5.159.497.888.000,00 tryliun dan Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp.9.154.020.774.585,10 tryliun, sehingga total keseluruhan Dana Perimbangan adalah Rp. 71.283.980.227.781,10 tryliun. Dari jumlah tersebut, realisasi anggaran belanja terbesar adalah pada porsi Belanja Pegawai
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
dibandingkan dengan Belanja Modal dan Belanja Barang dan Jasa. Total proporsi Belanja Pegawai pada 38 Kabupaten/Kota adalah sebesar 58 % dengan rata – rata penyerapan sebesar 58 %. Sedangkan untuk proporsi Belanja Modal dan Belanja Barang dan Jasa adalah sebesar 25 % dan 17 % dengan rata – rata penyerapan sebesar 25 % dan 17 %. Dari besarnya proporsi dan rata – rata proporsi tersebut dapat dijelaskan bahwa proporsi belanja untuk Belanja Pegawai pada setiap Kabupaten/Kota lebih besar dari pada proporsi belanja modal dan belanja barang dan jasa. Hal ini mengindikasikan bahwa alokasi dana pemerintah sebagian besar diperuntukan bagi kepentingan aparatur dari pada kepentingan publik. Demikian pula ketika dilaksanakan program kegiatan belanja barang dan jasa serta belanja modal, harus disisihkan lagi untuk kepentingan aparatur seperti honor panitia sehinngga anggaran untuk kepentingan publik menjadi lebih kecil lagi. Disamping faktor besarnya alokasi pada belanja pegawai, terdapat pula beberapa permasalahan klasik atas kecilnya anggaran belanja modal dan belanja barang dan jasa seperti penyerapan anggran belanja modal dan belanja barang dan jasa yang tidak sempurnah. Data pada lampiran 4 menunjukan besarnya penyerapan anggaran Belanja Modal, Belanja Pegawai dan belanja Barang dan Jasa pada 38 Kabupaten/Kota. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa penyerapan anggaran yang tertinggi adalah pada belanja pegawai yaitu sebesar 93 % dengan rata rata penyerapan sebesar 93 %. Sedangkan untuk belanja barang dan jasa serta belanja modal penyerapan anggaran sebesar 86 % dan 84 % dengan rata – rata penyerapan 87 % dan 88 %. Rendahnya penyerapan belanja modal mengakibatkan pelayanan terhadap kebutuhan publik masih sangat kurang. Sedangkan tingginya penyerapan belanja pegawai menandakan bahwa sebagian besar anggaran lebih banya diperuntukan bagi kepentingan aparatur. Dari data pada lamiran 3 (tiga) dapat dilihat bahwa DAU dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Bertambahnya DAU seharusnya diikuti dengan bertambahnya jumlah alokasi anggaran pada kegiatan belanja modal, akan tetapi kenyataannya pada beberapa Kabupaten/Kota justru alokasi anggaran terhadap belanja modal dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Hal ini dimungkinkan dengan adanya pemberlakukan Keppres No.80/2003, menyebabkan banyak keluhan dari kalangan birokrasi dan pemerintahan terhadap ketatnya aturan pengadaan barang dan jasa, sehingga banyak pejabat yang takut ditunjuk sebagai pimpinan atau bendaharawan proyek karena adanya gelombang penangkapan pimpro dan bendaharawan proyek oleh KPK atau aparat hukum lainnya. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah sangat berhati – hati dalam melaksanakan kegiatan pengadaan belanja barang dan jasa sehingga penyerapan terhadap anggaran belanja modal dan belanja barang dan jasa tidak maksimal. Munculnya ketakutan aparat birokrasi yang ditunjuk menjadi satuan kerja, kuasa pengguna anggaran atau pejabat pengadaan barang dan jasa cukup beralasan karena besarnya sorotan terhadap mereka yang menangani proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah. Hal ini didukung oleh pernyataan Didi Carsidiawan (http://www.wordpress.com) yang mengungkapkan bahwa sejak diterbitkannya Keppres 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, proses pengadaan barang dan jasa seakan menjadi
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
momok bagi para pengguna barang/jasa, panitia pengadaan, maupun pejabat pengadaan. Ketakutan unsur-unsur yang terlibat dalam proses PBJ kepada aparat pengawasan seperti BPK, Itjen, BPKP, dan lebih-lebih terhadap KPK, disinyalir menjadi penyebab terhambatnya proses tender pengadaan. Mereka lebih memilih bersifat hati-hati, ragu-ragu, dan bahkan menunggu. Ketakutan itu pula yang menyebabkan banyak pejabat yang enggan ditunjuk menjadi pemimpin proyek atau panitia pengadaan. Selain itu, keterlambatan pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa juga bisa terkait dengan persyaratan yang tercantum dalam pasal 9 (1) butir c Keppress 80 tahun 2003 yang menyatakan bahwa pengguna barang/jasa harus memenuhi persyaratan memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah. Padahal, untuk mendapatkan sertifikat keahlian Pengadaan Barang dan Jasa tersebut harus melalui serangkaian ujian sertifikasi yang cukup berat dengan tingkat kelulusan yang sangat rendah. Hal itu menyebabkan terjadinya kelangkaan pegawai maupun pengguna barang/jasa yang bersertifikat. Akibat yang terjadi adalah pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa terhambat yang berakibat pada rendahnya penyerapan anggaran belanja. Dari pengamatan terhadap realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur, Belanja Barang dan Jasa hanya menyerap anggaran sebesar 86 % dengan rata – rata penyerapan sebesar 87%. Sedangkan Belanja modal menyerap anggaran sebesar 84 % dengan rata – rata 88 %. Berbeda dengan Belanja Modal dan Belanja Barang dan Jasa, Belanja Pegawai menyerap anggaran sebesar 93 % dengan rata –rata penyerapan sebesar 93 %. Hal ini mengindikasikan bahwa pada 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur, penyerapan anggaran terhadap Belanja Pegawai masih yang tertinggi dibandingkan dengan penyerapan anggaran Belanja Modal dan Belanja Barang dan Jasa. Artinya bahwa pengalokasian anggaran lebih berpihak kepada kepentingan pembiayaan aparatur dari pada kepentingan publik. Selain itu hasil survey Penyerapan Anggaran di Propinsi Jawa Timur yang dilakukan oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Jawa Timur dalam (http://kanwiljatim perbendaharaan.go.id) menemukan faktor – faktor yang menyebabkan rendahnya penyerapan anggaran adalah keterbatasan pejabat pengadaan barang/jasa yang bersertifikat, keengganan untuk menjadi pejabat pengadaan karena tidak seimbangnya resiko pekerjaan dengan imbalan yang diterima, ketakutan pejabat untuk melaksanakan pengadaan akibat banyaknya pemberitaan penangkapan pejabat dengan tuduhan korupsi, rangkap tugas dalam jabatan panitia pengadaan, perencanaan kegiatan tidak sesuai dengan kebutuhan, serta SDM pelaksana pengadaan yang kurang kompeten. Hasil pengujian statistik pada hipotesis 4 menunjukan bahwa Belanja Modal tidak signifikan berpengaruh positif terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Permasalahan yang mungkin terjadi sama dengan hipotesis 1, hipotesis 2 dan hipotesis 3 yakni adanya penyesuaian atas perubahan Kepres 80/2003, dimana sebagian besar Kabupaten/Kota belum siap untuk melaksanakan pengadaan barang dan jasa sehingga menyebabkab tidak terserapnya anggaran belanja modal, selain itu pengguna barang/jasa diharuskan untuk memenuhi persyaratan memiliki
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah melalui ujian sertifikasi keahlian pengadaan barang dan jasa nasional. Kebijakan pengalokasian anggaran untuk belanja modal juga sering dibarengi dengan kepentingan politis sehingga kegiatan belanja modal menjadi tidak tepat sasaran. Sejalan dengan itu, Mardiasmo (2002) mengatakan bahwa saat ini masih banyak masalah yang dihadapi pemerintah daerah terkait dengan upaya meningkatkan penerimaan daerah. Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya infra struktur seperti sarana dan prasarana yang tidak mendukung untuk investasi, sehingga menimbulkan pertanyaan bahwa seberapa besarkah dana yang disiapkan oleh pemerintah daerah untuk dialokasikan terhadap anggaran belanja modal, apakah disebabkan oleh kapasitas fiskal yang rendah ataukah pengalokasian dana yang syarat dengan kepentingan politis. Selain itu juga bahwa dari anggaran belanja modal yang ada sebagian besar digunakan untuk pembelanjaan sarana dan vasilitas untuk kepentingan apartur seperti rumah dinas, kendaraan dinas dan lain sebagainya. Adanya situasi politik yang tidak menentu sehingga muncul berbagai kerusuhan yang mengakibatkan pengrusakan terhadap fasilitas publik, menyebabkan anggaran yang ada digunakan oleh pemerintah untuk merehabilitasi, sehingga upaya meningkatkan mutu pelayanan publik dan perbaikan dalam berbagai sektor yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi terhambat. Hal lain yang menjadi alasan rendahnya pendapatan asli daerah adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparatur. Ini disebabkan banyaknya kasus korupsi yang terjadi mengakibatkan berkurangnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan. Masyarakat menganggap bahwa pajak yang mereka bayarkan banyak disalahgunakan untuk memperkaya diri olel oknum aparatur pemerintah. Selain itu perencanaan tata ruang yang tidak sempurna mengakibatkan terjadinya penggusuran, sehingga masyarakat menjadi tidak nyaman dalam melakukan usaha yang berakhir dengan penutupan tempat usaha yang berimbas pada berkurangnya sumber penerimaan PAD. Hipotesis 5 menunjukan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) tidak signifikan berpengaruh secara tidak langsung positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui Belanja Modal, hipotesis 6 mengatakan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) tidak signifikan berpengaruh secara tidak langsung positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui Belanja Modal dan hipotesis 7 mengatakan bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) tidak signifikan berpengaruh secara tidak langsung positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui Belanja Modal. Hubungan tidak langsung adalah jika ada variabel ketiga yang memediasi hubungan kedua variabel tersebut. Pengaruh tidak langsung dihitung dengan mengalikan variabel-variabel yang berpengaruh langsung, jika antar variabel tidak berpengaruh langsung maka hubungan antara variabel tersebut tidak dimasukan dalam perkalian hubungan tidak langsung. Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa DAU tidak signifikan berpengaruh tidak langsung positif terhadap Belanja Modal, DAK tidak signifikan berpengaruh tidak langsung positif terhadap Belanja Modal dan DBH tidak signifikan berpengaruh tidak langsung positif terhadap Belanja Modal. Pada tabel
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
10 dapat dilihat bahwa Belanja Modal tidak berpengaruh langsung terhadap Pendapatan Asli Daerah. Karena variabel – variabel tersebut tidak berpengaruh langsung maka hubungan antar variabel tersebut tidak dapat dimasukan dalam perkalian tidak langsung. Hal ini berarti bahwa Belanja Modal tidak dapat dijadikan sebagai variabel intervening untuk memediasi pengaruh DAU, DAK dan DBH terhadap Pendapatan Asli Daerah, artinya bahwa meningkatnya Belanja Modal tidak mempengaruhi peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Dengan demikian hipotesis 5, hipotesis 6 dan hipotesis 7 ditolak. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN KETERBATASAN KESIMPULAN a. Dari hasil penelitian diketahui bahwa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) tidak signifikan berpengaruh positif terhadap Belanja Modal dan Belanja Modal tidak signifikan berpengaruh positif terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Begitu juga dengan hubungan pengaruh tidak langsung, dari tabel 3 dapat dilihat bahwa DAU tidak signifikan berpengaruh tidak langsung positif terhadap Belanja Modal, DAK tidak signifikan berpengaruh tidak langsung positif terhadap Belanja Modal dan DBH tidak signifikan berpengaruh tidak langsung positif terhadap Belanja Modal. Pada tabel 10 dapat dilihat bahwa Belanja Modal tidak berpengaruh langsung terhadap Pendapatan Asli Daerah. Karena variabel – variabel tersebut tidak berpengaruh langsung maka hubungan antar variabel tersebut tidak dapat dimasukan dalam perkalian tidak langsung. Hal ini berarti bahwa Belanja Modal tidak dapat dijadikan sebagai variabel intervening untuk memediasi pengaruh DAU, DAK dan DBH terhadap Pendapatan Asli Daerah, artinya bahwa meningkatnya Belanja Modal tidak mempengaruhi peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Dengan demikian hipotesis 5, hipotesis 6 dan hipotesis 7 ditolak. b. Sebagian besar anggaran dari 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur dialokasikan untuk kepentingan aparatur, sehingga porsi anggaran untuk kegiatan belanja publik semakin berkurang. c. Alokasi anggaran untuk belanja modal yang sangat minim tidak berdampak pada peningkatan mutu pelayanan publik dan perbaikan dalam berbagai sektor yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). d. Hal lain yang menjadi alasan rendahnya pendapatan asli daerah adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparatur. Ini disebabkan banyaknya kasus korupsi yang terjadi mengakibatkan berkurangnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan. IMPLIKASI a. Penelitian ini menggunakan sample yang sangat terbatas, sehingga diharapkan penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih banyak.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
b. Diharapkan untuk penelitian selanjutnya dengan variabel yang sama dapat dikembangkan kembali dengan menggunakan model analisis yang berbeda. KETERBATASAN a. Waktu penelitian yang sangat terbatas mengakibatkan peneliti tidak dapat melakukan klarifikasi sampai pada tingkat Kabupaten/Kota menyangkut rendahnya anggaran belanja yang dialokasikan pada Belanja Modal oleh setiap Kabupaten/Kota, sehingga klarifikasi yang diberikan oleh staf pada Biro Keuangan pada Pemerintah Propinsi Jawa Timur bisa saja tidak mewakili seluruh permasalahan yang ada pada setiap Kabupaten/Kota.. b. Periode pengamatan yang singkat dengan menggunakan data time series yaitu tahun 2007, 2008 dan tahun 2009. Hal ini dikarenakan data yang tersedia pada Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah pada Propinsi Jawa Timur masih sangat terbatas. c. Penelitian ini masih sangat sederhana dan masih jauh dari harapan, sehingga penelitian lebih lanjut diharapkan dapat lebih menyempurnakan hasil penelitian ini.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Syukriy. 2004. Perilaku Oportunistik Legislatif dalam Penganggaran Daerah: Pendekatan Principal-Agent Theory. Makalah disajikan pada Seminar Antarbangsa di Universitas Bengkulu. Bengkulu. 4-5 Oktober 2004. Adi, Priyo Hari. 2006, Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah (Studi pada Kabupaten dan Kota se Jawa Bali). Simposium Nasional Akuntansi IX Padang. Abdullah, Syukriy dan Abdul Halim. 2006. Studi atas Belanja Modal pada Anggaran Pemerintah dalam hubungannya dengan Belanja Pemeliharaan dan Sumber Pendapatan. Jurnal Akuntansi Pemerintah,2 (2): 17-32 Abdullah, Syukriy. Belanja Modal. http://id.wordpress.com/21/11/2010/20.45 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten http://www.bimakab.go.id/index.phb/22.29/11/11/2010
Bima.
Carsidiawan, Didi. (2009). Mengungkap Penyebab Lambatnya Penyerapan Anggaran Belanja Pemerintah. (http://didicarsidiawan.wordpress.com) 10 April 2011/ 03.34 Darise, Nurlan. 2008. Akuntansi Keuangan Daerah (Akuntansi Sektor Publik), Cetakan Pertama, Jakarta : PT. Indeks. Dana Alokasi Khusus dalam Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. http://www.docstoc.com/20.31/11/11/2010 Ghozali, Imam. 2009. Ekonometrika. Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Halim, Abdul. 2002. Akuntansi dan Pengendalian Keuangan Daerah. Penerbit UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Halim, Abdul & Syukriy Abdullah. 2004. Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Pemda: Studi Kasus Kabupaten dan Kota di Jawa dan Bali. Jurnal Ekonomi STEI No.2/Tahun XIII/25. Halim (2004a:73), Reformasi Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Penerbit UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
Harianto, David dan Priyo Hari Adi. 2007. Hubungan antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Perkapita. Simposium Nasional Akuntansi X Unhas Makasar 26-28 Juli. Kanwil Perbendaharaan Jatim, Survey Penyerapan Anggaran di Propinsi Jawa Timur. (http://kanwiljatim.perbendaharaan.go.id/html) tanggal 10 April 2011/ 03.31 Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Penerbit Erlangga Jakarta. Kepmendagri Nomor 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Kusumadewi dan Rahman. 2007. Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota. Maimunah, Mutiara. 2006. Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang. Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Andi. Yogyakarta. Mardiasmo. 2004. Akuntansi Sektor Publik, Edisi II. Penerbit Andi Yogyakarta. Maulida, Novi Pratiwi. 2007. Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah terhadap prediksi Belanja Daerah. Skripsi UII. Nanga, Muana. 2005. Analisis Posisi Fiskal Kabupaten/Kota di NTT : Adakah Posisi Fiskal Lebih Baik. Jurnal Studi Pembangunan Kritis. Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Nhadya. Anggaran Sektor Publik. http://blogspot.com/2010/03/11/html.20.43. Nordiawan, Deddi. 2006. Akuntansi Sektor Publik. penerbit Salemba Empat, Jakarta. _____.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentangPemerintah Daerah. Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 1 No. 12 (2012)
_____.
Undang-Undang Keuangan Negara Tahun 2003 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta.
_____.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta.
_____. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta. _____. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah. Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta. _____. Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 1999 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Anggaran. Citra Umbara. Bandung. Permendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Permendagri Nomor 59 tahun 2007 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Prakosa, Kesit Bambang. 2004. Analisis pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Prediksi Belanja Daerah (Studi Empirik di wilayah Propinsi Jawa Tengah dan DIY). Rohmawati, Anita. 2009. Pengaruh Belanja Modal dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah. (Studi pada Kabupaten dan Kota di Jawa Timur) Sabeni, Arifin dan Ghozali, Imam. 1996. Pokok-pokok Akuntansi Pemerintahan. Edisi keempat, penerbit BPFE Yogyakarta. Situngkir, Anggiat. 2009. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum Dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Anggaran Belanja Modal Pada Pemko/Pemkab Sumatera Utara. Tesis Universitas Sumatera Utara. Ulum,
Ihyaul. 2004. Akuntansi Muhammadiyah Malang.
Sektor
Publik.
penerbit
Universitas