Nomor 02, Juni 2006
BULETIN
PLAN
LOG
ISSN: 1858-3261
Oleh : Iman Santosa Tj. *)
Sesuai Keputusan Menteri Kehutanan No. 6188/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002, tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pemantapan Kawasan Hutan, salah satu tugas BPKH adalah penyajian data dan informasi di bidang kehutanan sesuai dengan wilayah kerjanya. Untuk dapat menjalankan tugas tersebut, BPKH tentunya melakukan pengelolaan data/informasi sumberdaya hutan sesuai dengan kemampuan dan kewenangannya. Namun demikian sampai saat ini belum ada ketentuan atau prosedur standar mengenai pengelolaan data/informasi sumberdaya hutan pada BPKH, sehingga untuk kelancaran dan ketertiban pengelolaan data perlu ditelaah beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan data/informasi. Tulisan ini akan mengulas secara ringkas beberapa aspek dasar dalam pengelolaan data/informasi sumberdaya hutan pada BPKH yang tentu saja dapat dikembangkan lebih lanjut oleh masing-masing BPKH.
1.
Penanggungjawab
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan tersebut di atas maka penanggungjawab langsung pengelolaan data pada BPKH ialah Kepala Seksi Informasi Sumberdaya Hutan. Tugas dan tanggungjawab tersebut antara lain mencakup : Mengidentifikasi dan mengupayakan pemenuhan kebutuhan data/informasi BPKH sesuai tupoksinya, Memeriksai kelengkapan dan keutuhan data/infromasi, Melaksanakan pemutakhiran, validasi, sinkronisasi dan rekonsiliasi data/informasi, menjaga kerahasiaan data/informasi yang perlu dirahasiakan, mengontrol pemberian dan/atau peminjaman data/informasi dan pengembaliannya, mengoptimalkan pelayanan data/informasi kepada institusi lain dan masyarakat umum. Pelaksanaan tugas dan tanggungjawab tersebut perlu dilaporkan kepada Kepala BPKH baik secara periodic maupun insidentil. Kewenangan yang dimiliki antara lain : Memberi dan/atau meminjamkan data kepada pihak luar atas persetujuan Kepala BPKH. serta memberikan saran kepada kepala BPKH dalam pengelolaan data.
2.
Klasifikasi
Seluruh Data/Informasi yang berkaitan dengan SDH pada BPKH perlu dibuat kalsifikasinya berdasarkan sifat transparansinya atau kerahasiannya, yaitu : (1) Terbuka untuk umum (public domain)/Tidak rahasia dan (2) Tidak terbuka untuk umum (bukan public domain)/Rahasia. Data yang bersifat terbuka untuk umum pada prinsipnya adalah semua data teknis sumberdaya hutan kecuali yang karena sifatnya telah diklasifikasikan sebagai Rahasia. Pada umumnya semua data yang ada pada BPKH bersifat untuk umum. Data yang bersifat rahasia adalah data yang karena sifatnya perlu dirahasiakan, misalnya data yang terkait dengan keamanan Negara atau data dari analisis yang akan digunakan dalam suatu proses hukum. Beberapa contoh data yang perlu diklasifikasikan sebagai rahasia antara lain ialah data spasial berupa peta topografi wilayah perbatasan Indonesia Malaysia di Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur atau perbatasan Indonesia Timor Leste di Provinsi Nusa Tenggara Timur, daftar koordinat pal batas negara Indonesia dan negara tetangga khususnya yang terletak dalam kawasan hutan serta data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan atas dugaan pelanggaraan dalam kawasan hutan. Klasifikasi ini sangat penting untuk dibuat dan dipahami oleh seluruh pegawai BPKH karena jika tidak diperhatikan dapat berakibat buruk bagi institusi dan atau pegawai.
3.
Format
Format data, baik spasial maupun numerik sedapat mungkin perlu dibuat dalam format digital atau berbasis komputer, sehingga mudah dalam penyimpanan, pengaksesan, pemutakhiran, dan pengolahan lainnya. Hasil penataan batas dan/atau rekonstruksi batas perlu didigitasi sehingga tersimpan juga dalam format digital.
DARI REDAKSI K
ejelasan Tujuan, subjek dan objek pembangunan merupakan wujud hakiki dan untuk apa suatu rencana disusun dan ditetapkan. Kejelasan suatu rencana selain memudahkan sosialisasi dan implementasinya, juga membuat evaluasi menjadi bermakna bagi umpan balik penyempurnaan langkah langkah pencapaian tujuan secara efektif dan efisien. Berangkat dari runtut fikir di atas, mudah-mudahan Pembaca setia, setuju bila Buletin kita mulai saat ini akan mempunyai tema khusus setiap edisinya. Semoga upaya pencerahan yang dinamis dapat mewarnai motivasi kita sekarang dan kedepan. Selamat membaca
Redaksi
Nomor 02, Juni 2006 4.
Perolehan
Data dapat diperoleh secara langsung maupun tidak langsung. Data yang diperoleh secara langsung merupakan data yang diperoleh melalui kegiatan yang dilaksanakan oleh BPKH, misalnya inventarisasi potensi, enumerasi PSP/TSP, penataan batas, penfasiran citra satelit untuk memperoleh data penutupan lahan dll. Data yang diperoleh secara tidak langsung merupakan data yang berasal dari pemberian pihak lain atau pembelian oleh BPKH. Data yang diperoleh dari pembelian tentunya memerlukan perhatian yang lebih besar, karena harus dapat dipertanggungjawabkan, baik secara administrasi pertanggungajwaban anggaran, maupun dari aspek kesesuaian teknisnya.
5.
Pengolahan
Pengolahan data terutama dilakukan sesuai dengan tujuan pengumpulan data itu sendiri, yang tentunya didasarkan pada pedoman atau petunjuk yang telah dikeluarkan secara resmi. Pengolahan data dapat juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan atau permintaan pihak luar sebagai salah satu bentuk pelayanan oleh BPKH.
6. a.
Pemeliharaan/penyimpanan Data berupa hardcopy
Data yang berupa hardcopy dapat berupa peta cetak, lemabaran data, laporan dan arsip lainnya yang nyata secara fisik.. Standar pemeliharaan/ penyimpanannya adalah : (1). Disimpan dalam lemari/rak khusus. (2). Secara periodik diperiksa kebersihan, keutuhan dan kelengkapannya. (3). Dibuat catatan indeks koleksi data/peta secara lengkap dengan sejarah data yang keluar-masuk. (4). Data/peta yang rusak/robek/hilang harus segera diperbaiki/diganti.
b.
Data berupa softcopy
Data berupa softcopy adalah data yang masih tersimpan dalam hardddisk computer atau disket/CD/USB (flash disk). Penyimpanannya adalah : (1). Dibuat back up pada 2 atau lebih computer (hard disk) dan atau floppy disk/CD/ USB (flash disk). (2). Dibersihkan dari virus secara periodic/insidentil. (3). Dibuat kode/penamaan yang disepakati bersama, misalnya kode/nomor disk yang digunakan, nama folder, nama file dst. Dengan demikian data akan lebbih mudah untuk ditemukan. Penyimpanan data/informasi yag bersifat rahasia tentunya perlu diatur tersendiri, misalnya dengan menunjuk petugas yang betul-betul dapat dipercaya atau disimpan oleh Kepala Seksi ISDH atau disimpan langsung oleh Kepala BPKH dengan pengamanan yang maksimal.
7. Pemutakhiran dan validasi, Pemutakhiran data sekaligus validasinya merupakan upaya untuk memperbaharui data sehingga akurasinya dapat ditingkatkan sehingga tetap valid. Pemutakhiran data perlu dilakukan berdasarkan perkembangan data baru yang diperlukan dan tersedia, misalnya pemekaran administrasi pemerintahan, review RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota, pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi/ Lindung/Produksi, penunjukan/penetapan kawasan konservasi yang baru, survei potensi, reenumerasi PSP/TSP dll. Pemutakhiran data dapat dilakukan secara periodik atau insidentil. Pemutakhiran ini sangat penting, mengingat cepatnya perubahan kondisi kawasan hutan di lapangan serta sulitnya memonitor perijinan yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah daerah khususnya kabupaten. Selain itu pemutakhiran data juga perlu dilakukan sebagai akibat kemajuan teknologi atau perubahan kebijakan.
8.
Rekonsiliasi dan sinkronisasi
Rekonsiliasi data, yaitu menyepakati suatu nilai data yang akan digunakan bersama oleh berbagai instansi produsen/konsumen data secara konsekuen dan konsisten. Data yang diutamakan untuk diacu adalah data yang dikeluarkan oleh instansi atau unit kerja yang paling berkompeten mengenai data yang bersangkutan. Sinkronisasi data merupakan proses penyelarasan data, sehingga tidak terjadi redundansi (pengulangan yang tidak perlu), kesenjangan dan inkonsistensi data. Beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan dalam rekonsiliasi/sinkronisasi data antara lain ialah : istilah, dasar dan tema (khususnya untuk data spasial), jenis data (spasial dan numerik), cakupan data, waktu data diperoleh/diproses/dikeluarkan, konsistensi data antar berbagai dokumen yang disusun oleh BPKH, kesesuaian data pusat daerah serta di dalam lingkup wilayah kerja BPKH.
9.
Pelayanan
Pelayanan data yang baik antara lain dicirikan oleh kelengkapan dan akurasi data yang diberikan serta kecepatan pelayanannya. Walaupun pada dasarnya setiap pihak harus dilayani dengan baik, pelayanan data/informasi sumberdaya hutan tetap perlu dilakukan secara selektif, sehingga tidak sampai memberikan data/informasi yang mungkin dapat digunakan untuk tujuan yang bertentangan dengan kebijakan resmi Departemen Kehutanan. Terkait dengan hal tersebut, perlu dibedakan pelayanan untuk data yang bersifat terbuka untuk umum dan data yang bersifat rahasia, baik berupa peminjaman maupun pemberian. Demikian pula perlu diatur pelayanan untuk internal BPKH, antar instansi pemerintah pusat/daerah serta untuk pihak swasta/Lembaga Swadaya Masyarakat/masyarakat umum. Pelayanan data dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : pemberian langsung kepada peminta, melalui korespondensi/ surat menyurat serta melalui koneksi jaringan internet/SIAPHUT. Pengelolaan data/informasi sumberdaya hutan perlu benar-benar diperhatikan, mengingat sampai saat ini BPKH tetap akan diproyeksikan sebagai pusat data kehutanan di tingkat regional sesuai wilayah kerjanya masing-masing.. Hal ini semakin diperkuat lagi dengan adanya rencana pengembangan jumlah BPKH di berbagai provinsi yang disertai dengan pengembangan tugas pokok dan fungsinya.
# *) Kepala Bidang Statistik Kehutanan pada Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan Badan Planologi Kehutanan
Halaman
2
Nomor 02, Juni 2006
Langkah radikal yang perlu diambil akan menyangkut antara lain: perubahan peraturan perundangan menyangkut segala pengaturan mengenai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan TNI/POLRI; Perombakan dalam sistem administrasi pengelolaan penganggaran khususnya yang mengatur penggunaan APBN/APBD; Pegurangan jumlah PNS untuk memperoleh jumlah PNS yang proporsional dan sesuai dengan tugasnya. Langkah-langkah tersebut bukannya berdiri sendiri-sendiri tetapi sangat terkait satu dengan lainnya.
LOG
tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Birokrasi menjadi “penyumbang” timbulnya KKN tersebut. Aparat birokrasi di Indonesia sangat terkenal dengan keterlambatan, malas, tidak efisien, kurang tanggap, tidak inovatif, rendah moral, budaya minta dilayani dll. Intinya sangat minim dengan profesionalisme. Selama bertahun-tahun masyarakat yang sadar bahwa birokrasi Indonesia tidak profesional hanya bisa “bermimpi” memperoleh pelayanan birokrasi yang profesional. Bisakah mimpi masyarakat diwujudkan?, nampaknya perlu langkah plus tindakan radikal yang harus dilakukan oleh unsur penyelenggara negara untuk mewujudkannya. Walaupun disadari langkah dan tindakan tersebut tetap berpotensi menghadapi implikasi-implikasi sosial politik yang sangat tinggi khususnya dari lingkungan birokrasi.
BULETIN
Ada banyak penyebab mengapa bangsa Indonesia terpuruk seperti saat ini, salah satu yang paling mendasar adalah tingginya
PLAN
Oleh : Ali Djajono *)
Peraturan perundangan yang menyangkut mengenai pengaturan birokrasi lebih banyak merupakan produk-produk selama orde baru, dimana pada masa itu PNS telah dijadikan alat politik kekuasaan untuk dapat dijadikan mesin politik dan sekaligus untuk melanggengkan kekuasaannya. Oleh karena itu pengaturan tersebut tidak mencerminkan penyelenggaraan birokrasi yang profesional. Walaupun semenjak reformasi telah dicanangkan untuk melakukan perombakan birokrasi, namun upaya tersebut tidak dilakukan menyeluruh sehingga hasilnya belum tampak secara signifikan. Kelemahan pengaturan yang menghambat menuju ke taraf birokrasi profesional meliputi antara lain: Belum adanya sistem yang akurat dalam menilai “kinerja” masing-masing aparat birokrasi sesuai dengan kompetensinya. Contoh: lemahnya penerapan sistem “reward and punishment”. Sampai saat ini masih terlihat bahwa tidak ada perbedaan antara kerja dan malas, karena tetap berpenghasilan sama. Belum jelasnya sistem pola karir dalam menjaring aparat-aparat yang berkualitas sesuai kompetensinya, dengan tujuan akhir mendapatkan pimpinan-pimpinan yang berkualitas. Masih lemahnya penerapan penegakan hukum disiplin aparat. Contoh: sangat sulit untuk memecat PNS, walaupun yang bersangkutan katakanlah telah ingkar kerja beberapa hari dalam setiap minggunya. Aturan yang ada membuat senang “aparat malas kerja” sekaligus menyulitkan para atasan yang ingin menegakkan disiplin. Maka langkah perubahan peraturan perundangan birokrasi yang harus dilakukan adalah dengan menciptakan aturan yang memuat ketentuan-ketentuan untuk memperbaiki kelemahan tersebut. Aturan baru yang tercipta harus mampu membuat jera para birokrat, misal: a) menciptakan kemudahan untuk dapat memberi sanksi kepada aparat yang ingkar kerja tanpa alasan jelas, kalau perlu diciptakan kemudahan untuk dapat memecat, atau b) aparat yang sudah jadi minimal tersangka kasus tindak pidana kejahatan (korupsi, narkoba, pungli, memeras dll) langsung dilakukan pemecatan. Disamping itu aturan baru juga dapat menggairahkan birokrat yang berkinerja bagus malalui kemudahan untuk memperoleh insentif-insentif yang konkret misal: naik pangkat, naik gaji, promosi, beasiswa untuk keluarganya dsb. Tentu saja pengaturan yang ketat dan tegas ini harus diiringi dengan gaji yang memadai, yang salah satunya dapat diperoleh melalui perombahakan dalam sistem administrasi pengelolaan anggaran APBN/APBD. Sistem administrasi pengelolaan anggaran APBN/APBD yang berlaku saat ini (walaupun menurut Departemen Keuangan telah dilakukan beberapa perbaikan) masih menampakkan celah-celah bagi para birokrat melakukan manipulasi terhadap pelaksanaan kegiatan yang dibiayai oleh APBN/APBD. Ditinjau dari struktur masih menampakkan item-item kegiatan yang sangat boros menggunakan biaya, misal: kemudahan pengadaan sarana/prasarana yang tidak prioritas (pengadaan kendaraan dinas, pembangunan gedung, pembelian alat-tulis kantor), masih dominannya biaya untuk perjalanan dinas para birokrat yang tumpang tindih bahkan ada anekdot “1 bulan bisa mencapai 40 hari”, kemudahan mengadakan seminar/lokakarya atau rapat pembahasan yang dibiayai oleh negara. Ditinjau dari sisi pelaksanaan kegiatan dan administrasi pertanggungjawaban masih menggunakan cara-cara lama, misal: aparat yang melakukan perjalanan dinas keluar kota akan memperoleh penggantian ongkos transport dan lumpsum harian dengan bukti “visum” pada surat perintah perjalanan dinas (SPPD), padahal bisa saja dipraktekkan ybs tidak melakukan perjalanan tapi cukup “mengirim” SPPDnya. Praktek pengelolaan penggunaan dana APBN/APBD seperti beberapa contoh di atas baik secara struktur maupun praktek harus dirubah total, dengan menggunakan misalnya sistem yang dipraktekkan dalam perusahaan-perusahaan swasta. Contoh kecil yang mungkin efektif dapat digambarkan sebagai berikut: aparat yang akan melakukan perjalanan dinas sudah disediakan tiket tranportnya sekaligus tempat ybs menginap dengan dibekali uang harian sekadarnya. Perombakan dalam sistem pengelolaan penganggaran APBN/APBD akan sangat menghemat anggaran, sekaligus penghematan tersebut dapat dipergunakan untuk memperbaiki struktur gaji birokrat sehingga layak untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Yang terakhir terkait dengan banyaknya jumlah birokrat di jajaran pusat maupun daerah. Secara kasat mata akan nampak bahwa birokrasi kita sangat gemuk namun miskin kinerja dan pelayanan prima kepada masyarakat. Gemuknya birokrasi merupakan warisan “orde baru”, pada masa itu rekruitmen pegawai sangat kental diwarnai kepentingan politis (termasuk salah satunya tindakan populis melalui penyerapan tenaga kerja) dan bernuansa korupsi-kolusi-nepotisme (KKN), sehingga terjadi pengabaian terhadap uji kompetensi terhadap calon birokrat yang bersangkutan. Kesalahan dalam sistem rekruitmen seperti itu telah melahirkan sebagian besar birokrat yang tidak sadar bahwa dia sebenarnya adalah “abdi negara”, palayan masyarakat yang dalam melaksanakan tugasnya dibiayai oleh uang rakyat. Yang terjadi adalah minimnya kreatifitas, efektivitas dalam melaksanakan pekerjaan.
Halaman
3
PLAN
BULETIN
LOG
Nomor 02, 03, Juni September 2006 2006 Oleh karena itu, tindakan pengaturan jumlah birokrat sangat urgen untuk dilaksanakan, dengan konsekwensi pengurangan secara besar-besaran terhadap para birokrat yang tidak produktif serta yang kerjanya hanya mengganggu pelayanan kepada masyarakat. Pengurangan secara radikal tersebut harus dilandasi oleh kajian, argumentasi serta dukungan peraturan perundangan yang jelas, transparan dan berkeadilan, termasuk mengidentifikasi jenis-jenis pekerjaan yang sangat dibutuhkan masyarakat (misal: guru, dosen, perawat, dokter). Hal ini untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam penerapan kebijakan tersebut. Pengurangan ini harus secara significan menjaring para birokrat yang potensial untuk bekerja efektif serta layak untuk mendukung birokrasi yang profesional. Bagaimana dengan birokrat yang tersingkir ?, untuk para birokrat disediakan beberapa alternatif pilihan yang dirancang untuk menghindarkan kesan bahwa pemerintah sengaja ingin menciptakan pengangguran baru dan harus ada penyadaran pada semua pihak bahwa pengurangan para birokrat tersebut semata-mata untuk menyelamatkan uang rakyat, serta bahwa para birokrat tersebut apabila digaji maupun tidak digaji tidak merpengaruh terhadap pelayanan kepada masyarakat. Alternatif-alternatif yang dapat diajukan antara lain: pensiun dini dengan pesangon beberapa kali gaji (ingat bahwa birokrat tersebut masih mendapatkan uang pensiun walaupun sudah tidak bekerja). Tindakan-tindakan radikal tersebut harus didahului dengan sosialisasi dan kalau perlu semacam gerakan nasional kepada para pihak yang terkait untuk mendapatkan respon sekaligus untuk mengetes sampai seberapa jauh reaksi ekonomi-politik berbagai pihak terhadap kebijakan dimaksud. Respon dan reaksi ekonomi-politik dapat untuk memperkaya kajian dan analisis lebih lanjut terhadap tindakan radikal itu, sehingga kebijakan yang akan diambil dapat meminimalisir resistensi beberapa pihak serta mendapatkan dukungan publik yang luas. Mendambakan birokrasi profesional memang seolah “mimpi di siang bolong”, dia termasuk barang langka di negeri ini. Tapi kalau ada tindakan radikal yang dapat mewujudkan mimpi tersebut, mengapa tidak dicoba?.
# *) Perencana Madya pada Badan Planologi Kehutanan
BAGAIMANA WUJUD NYATA TATA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE) ? Upaya mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (good governance) membutuhkan komitmen kuat, 'stamina', dan waktu yang cukup lama karena diperlukan pembelajaran, pemahaman, serta implementasi nilai-nilai tata kepemerintahan yang baik secara utuh oleh seluruh komponen bangsa termasuk oleh para aparatur pemerintah dan masyarakat luas. Di samping itu, perlu adanya kesepakatan bersama serta rasa optimis yang tinggi dari seluruh komponen bangsa bahwa penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik dapat diwujudkan demi mencapai masa depan bangsa dan negara yang lebih baik.
PRINSIP-PRINSIP TATA KEPEMERINTAHAN YANG BAIK R R R R R R R R R R R R R R
Halaman
4
Berwawasan ke Depan (Visioner) Transparan Cepat Tanggap (Responsif) Bertanggung Gugat (Akuntabel) Profesional dan Kompeten Efisien dan Efektif Desentralistis Demokratis Mendorong Partisipasi Masyarakat (Partisipatif) Mendorong Kemitraan dengan Swasta dan Masyarakat Menjunjung Supremasi Hukum Berkomitmen pada Pengurangan Kesenjangan Berkomitmen pada Pasar Berkomitmen pada Lingkungan Hidup
Nomor 02, Juni 2006 BULETIN
P
LOG
erencanaan merupakan kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Setiap orang bahkan mengetahui maksud dari perencanaan tersebut. Namun jika kita kaji lebih mendalam lagi, maka hanya sebagian orang saja yang mungkin mengetahui arti ”Perencanaan” yang dimaksud. Dengan tulisan ini kita coba gali segala sesuatu tentang perencanaan secara umum dengan harapan kita menjadi lebih mengenal dekat kedudukan perencanaan dalam suatu manajemen secara umum. Manajemen adalah proses yang terdiri dari tindakan-tindakan planning, organizing, actuating dan controlling. Bahkan kita lebih dekat dengan kata penyingkatan dari arti tersebut yaitu POAC. Uraian dari setiap tidakan tersebut adalah sebagai berikut : R Planning (perencanaan) : merupakan proses penetapan apa yang harus dilakukan seluruh komponen/ anggota organisasi/ lembaga/ perusahaan di masa yang akan datang. R Organizing (pengorganisasian) : merupakan pendistribusian atau pengalokasian tugas dan menetapkan hubungan kerja kepada para anggota kelompok/ anggota organisasi/ lembaga/ perusahaan. R Actuating (penggerakan) : kegiatan menggerakan kelompok-kelompok secara efisien dan efektif menuju arah pencapaian tujuan. R Controlling (pengawasan) : kegiatan pengendalian agar jalannya organisasi tersebut sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
PLAN
Oleh : Efsa Caesariantika *)
Sebelum kita mengenal lebih jauh kedudukan perencanaan dalam manajemen secara umum, cobalah kita ingat bahwa dalam mencapai tujuan manajemen terdapat beberapa unsur seperti man, material, machines, methods, money dan market. Sehingga jika digambarkan secara jelas maka akan terlihat pola penggunaan unsur-unsur manajemen dalam pencapaian sasaran tersebut adalah sebagai berikut.
Sedangkan proses manajemen sendiri dapat digambarkan sebagai berikut :
Dengan demikian berdasarkan gambar tersebut, maka sedikit demi sedikit kita sudah bisa meraba-raba arti dari perencanaan. Berdasarkan definisi manajemen di atas, maka perencanaan merupakan tindakan pertama dalam mencapai suatu tujuan.Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu perencanaan adalah proses persiapan-persiapan yang teratur dari setiap usaha yang akan mewujudkan/ mencapai tujuan.Unsur-unsur perencanaan yang harus dipenuhi meliputi unsur tujuan, kebijakan, prosedur, progress dan program. Agar perencanaan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan tingkatan manajemen, maka suatu perencanaan yang dibuat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Tujuan harus dirumuskan secara jelas b. Sifatnya harus sederhana c. Memuat analisis, penjelasan dan penggolongan ”tindak usaha” yang direncanakan untuk dilakukan, kegiatan-kegiatan yang hendak dilaksanakan dan memuat pedoman-pedoman d. Bersifat luwes (flexible) e. Ada keseimbangan ke luar dan ke dalam. Halaman
5
PLAN
BULETIN
LOG
Nomor 02, Juni 2006 Dalam menyusun perencanaan didasarkan kepada data atau fenomena yang terjadi sebelumnya, sehingga melalui analisis akan diperoleh gambaran kecenderungan arah kondisi di masa yang akan datang. Namun demikian dalam pelaksanaanya seringkali dihadapkan pada kondisi yang berbeda dari kondisi pada saat perencanaan dibuat. Oleh karena itu, pada setiap periode tahapan perencanaan tersebut dievaluasi, apakah dapat diimplementasikan dan sesuai dengan target-target (standar) yang telah ditetapkan. Hasil evaluasi tersebut diharpkan akan menjadi bahan penyempurnaan (umpan-balik) perencanaan tersebut. Sedikit berbicara tentang hutan, kita semua sepakat bahwa hutan Indonesia yang merupakan sumber kekayaan alam yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi perlu dikelola dengan bijaksana agar bisa digunakan secara lestari. Untuk itu dalam mengelola hutan juga langkah yang paling awal yaitu melakukan perencanaan hutan. Perencanaan hutan adalah pola tentang peruntukan, penyediaan, pengadaan dan penggunaan hutan; serta penyusunaan pola kegiatan-kegiatan pelaksanaannya menurut ruang dan waktu, dengan tujuan agar dengan segala kegiatan tersebut dapat dilaksanakan secara rasional, dalam rangka pemanfaatan hutan yang sebesar-besarnya secara lestari. Berdasarkan definisi di atas maka dalam perencanaan hutan terdapat dua kegiatan utama yaitu perencanaan kawasan hutan dan perencanaan kegiatannya. Perencanaan kawasan hutan ini ditujukan untuk mengalokasikan kawasan hutan berdasarkan : a. Statusnya yakni hutan negara dan hutan hak b. Fungsi pokok hutan yakni hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi c. Wilayah pengelolaannya yakni tingkat propinsi, kabupaten/kota dan unit pengelolaan. Perencanaan kegiatan dibedakan atas rencana makro, rencana bidang, rencana regional/propinsi/kabupaten dan rencana mikro. Rencana makro (master plan) merupakan rencana arahan (kebijakan) Departemen Kehutanan sebagai arahan kegiatan nasional jangka panjang. Rencana makro ini dijabarkan dalam rencana bidang yang menyangkut rencana kegiatan masing-masing bidang kehutanan seperti Badan Palnologi Kehutanan (BAPLAN), Perlindungan hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS), Badan Penelitian dan Pengembangan serta Bina Produksi Kehutanan (BPK). Rencana regional/wilayah pengelolaan adalah rencana kegiatan di tingkat wilayah pengelolaan propinsi/kabupaten yang mengacu kepada rencana makro dan rencana bidang. Rencana mikro merupakan rencana implementasi di masing-masing bidang kegiatan dan wilayah pengelolaan berupa program dan proyek. Tujuan disusunnya rencana tersebut agar segala kegiatan yang akan dilaksanakan terpadu, memiliki sequence (secara beruruturutan) dan dapat diimplementasikan dalam rangka mencapai tujuan manajemen hutan yakni untuk kesejahteraan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
# *) Staf pada Bidang Rencana Umum Kehutanan - Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan - Badan Planologi Kehutanan
Halaman
6
Nomor 02, Juni 2006
P engenaan provisi sumber daya hutan (PSDH) saat ini didasarkan pada harga patokan jual kayu hasil tebangan dari hutan alam dan/atau hutan tanaman industri. Dasar pengenaan PSDH adalah PP 34 Tahun 2002. Penetapan harga patokan jual kayu tersebut ditentukan oleh Departemen Perdagangan. Nilainya adalah 10% dari harga patokan jual kayu, khususnya kayu-kayu yang berasal dari hutan alam. Misalnya harga patokan jual kayu dari Hutan Alam (HPH) sebesar Rp650.000 per m3, maka PSDH-nya sebesar Rp65.000 per m3. Sedangkan kayu yang berasal dari hutan tanaman, PSDH-nya ditetapkan sebesar Rp2.800 per m3. Pembagian porsi PSDH adalah 20% untuk pemerintah (pusat), 16% untuk pemerintah provinsi, 32% untuk pemerintah kabupaten penghasil, dan 32% untuk pemerintah kabupaten bukan penghasil di daerah tersebut. Dengan porsi yang demikian, jelas akan merugikan desa-desa yang berada di dalam atau sekitar hutan, karena pengalokasiannya oleh kabupaten daerah tersebut. Kalau pun mendapatkan jatah tersebut, akan sangat kecil bahkan terabaikan. Ini menjadi benar karena pemerintah kabupaten melihatnya masih ada perusahaan di lokasi itu yang 'harus' bertanggung-jawab kepada masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Dengan demikian, akan muncul opini bahwa kehutanan tidak ada kontribusinya kepada daerah/masyarakat desa. Di sisi lain, pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dikenakan kepada kawasan produktif, juga belum menyentuh pembangunan desa secara signifikan. Dasar pengenaan PBB untuk kawasan hutan yang produktif adalah UU Nomor 12 Tahun 1994. Jadi, baik kawasan hutan produksi di hutan alam maupun hutan tanaman tetap dikenakan PBB. Perhitungannya adalah sebesar 40% dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Dan, perhitungan besarnya nilai tarif lahan produktif yang dikenakan PBB adalah PP 25 Tahun 2002 tentang Penetapan Besarnya NJOP untuk Perhitungan PBB. Kisaran PBB pada kawasan hutan yang produktif adalah Rp 60.000 per hektar. Pajak ini pun pada akhirnya akan dibagikan menurut proporsi tersebut di atas, sehingga masyarakat di desa-desa di dalam dan sekitar hutan akan tetap berada dalam kemiskinan.
LOG
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di kawasan hutan seyogyanya digabung saja dengan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).. PBB ini seharusnya tidak tepat pengenaannya pada kawasan hutan karena tidak ada 'property right' atau hak yang melekat tentang hukum keagrariaan, karena hanya merupakan izin usaha. PBB setelah digabung dengan PSDH, perhitungannya didasarkan pada persentase nilai instriksik yang dapat dilakukan melalui pendekatan nilai tegakan (stumpage value). Pembagian hasilnya harus sampai menyentuh pedesaan, khususnya di dalam dan sekitar hutan. Porsi (persentase) pembagian PSDH untuk desa paling tidak 25% dari penerimaan provisi tersebut untuk daerah penghasil. Dengan ini maka akan nyata kontribusi kehutanan terhadap pembangunan daerah (kabupaten dan desa).
BULETIN
Dr. Ir. Bambang Widyantoro, MMAgr.
PLAN
PBB di Kawasan Hutan Gabung Saja dengan PSDH
Pengenaan PBB di Kawasan Hutan Sebelum adanya UU No 12 Tahun 1994 tentang PBB, dan revisi peraturan pemerintah di bawahnya, yang saat ini diatur dengan PP Nomor 25 Tahun 2002, seluruh kawasan hutan tidak dikenakan PBB. Dengan dikenakannya PBB pada kawasan hutan produktif, maka perusahaan saat itu terkena beban pajak ganda. Saat kawasan hutan belum dikenakan PBB, provisi (kala itu Iuran Hasil Hutan 'IHH') tersebut telah lebih dahulu dikenakan. Tarif PSDH tidak dikurangi, namun PBB tetap dikenakan, sehingga banyak di antara perusahaan-perusahaan HPH maupun HTI yang menunggak karena beratnya biaya/pajak yang harus dibayar oleh perusahaan. Saat itu harga kayu sedang anjlok akibat maraknya tebangan liar. Namun, dengan berbagai upaya maka perusahaan mendapattkan keringanan setelah dilakukan beberapa perhitungan yang wajar. Bayangkan saja, jika luas areal HPH rata-rata luas 100.000 hektar (luas efektif 70.000 hektar), maka dalam satu tahun perusahaan HPH akan membayar sebesar 40% kali Rp4.2 milyar = Rp1.68 milyar setahun. Jika perusahaan memproduksi rata-rata per tahun 100 000 m3, maka setara dengan Rp16.800 per m3 untuk membayar PBB. Oleh karenanya banyak perusahaan-perushaan HPH yang keberatan atas pengenaan pajak tersebut. PBB yang dikenakan untuk HPHTI rata-rata sebesar Rp48.000 per hektar. Jika rata-rata luas HTI adalah 150.000 hektar (efektif tanaman), maka besarnya PBB sekitar Rp2.88 miliar, atau setara dengan Rp2.880 per m3, dengan asumsi perusahaan memproduksi rata-rata 1 juta m3 setiap tahunnya. Pengenaan PBB untuk HTI lebih rendah dari HPH untuk memberikan insentif pada pengusaha HTI, karena pada umumnya areal HTI berada di lahan-lahan marjinal.
Pengenaan DR dan PSDH pada Hutan Alam Di lain pihak, perusahaan masih dikenakan lagi Dana Reboisasi (DR) untuk hasil hutan kayu di hutan alam yang besarnya US$16 per m3 dan PSDH sebesar 10% dari harga patokan jual kayu. Saat ini PSDH untuk kayu alam diameter > 30 cm (logs) sebesar Rp 65.000 per m3 dan kayu bulat kecil (bila dimanfaatkan) sebesar US$ 2 per m3. Untuk kayu-kayu bulat kecil ini konon akan dinaikkan menjadi US$ 5 per m3. Hal ini jelas tidak memberikan insentif (disinsentive) kepada perusahaan yang diharuskan untuk tidak melakukan pembakaran hasil land clearing. Jika kayu-kayu kecil ini dimanfaatkan, misalnya untuk bahan bakar boiler, dijual sebagai kayu untuk bahan baku kilang penggergajian, partikel, dan pulp, maka akan memberikan insentif. Dengan jenis pajak, dana reboisasi dan provisi ini saja, perusahaan HPH dikenakan sebesar Rp235.400, terdiri atas DR sebesar Rp147.200 per m3, PSDH-kayu bulat kecil sebesar Rp18.400 per m3, PSDH-kayu bulat besar Rp65.000 per m3, dan PBB setara dengan Rp4.800 per m3. Belum lagi masih dikenakan iuran, dan pungutan-pungutan, bahkan biaya sosial lainnya yang menimbulkan higt cost economy. Oleh karena itu, tidak jarang kemudian perusahaan HPH melakukan operasi yang tidak legal. Ini semua akibat dari lemahnya pengawasan, dan tingginya biaya ekonomi perusahaan.
Pengenaan PSDH dan Iuran lainnya di Hutan Tanaman Untuk HPHTI tidak dipungut DR, namun masih dipungut PSDH dan PBB, serta iuran IUPHHK-HT. Provisi tersebut ditetapkan sebesar Rp2.800 per m3 dan PBB setara dengan Rp48.000 per hektar. Jika luas HTI 150.000 hektar (efektif tanaman), maka PBB-nya sebesar Rp2.88 miliar atau berkisar Rp 2.880 per m3, jika HPHTI memproduksi rata-rata 1 juta m3 Halaman
7
PLAN
BULETIN
LOG
Nomor 02, Juni 2006 dalam setahun. Dengan pengenaan pajak dan provisi tersebut, perusahaan HPHTI berkewajiban membayar kedua pungutan tersebut sebesar Rp5.680 per m3, belum termasuk iuran IUPHHK-HT dan pungutan-pungutan lain atau biaya sosial lainnya, seperti untuk community development (CD) dan royalty fee untuk masyarakat. Biaya-biaya ini berkisar Rp12.500 per m3, terdiri atas biaya CD sebesar Rp2.000 per m3, iuran IUPHHK-HT sebesar Rp2.800 per hektar, dan royalty fee sebesar Rp7.500 per m3. Dengan demikian, total biaya setiap tahunnya untuk pungutan dan iuran-iuran tersebut berkisar Rp18.180 per m3. Ini jelas akan memberatkan perusahaan HPHTI, dimana seharusnya investor mendapatkan insentif. PBB atau PSDH Saja ? Pengenaan PBB di kawasan hutan sebenarnya tidak tepat, karena untuk hutan tidak ada property right (hak) yang melekat pada perusahaan. Perusahaan hanya sebagai pengelola hutan atas lahan yang diberi izin usaha pemanfaatan oleh Pemerintah (Cq. Departemen Kehutanan). Hutan menurut UU 41 Tahun 1999 dikuasai oleh negara, sehingga hutan merupakan state property, bukan private property seperti layaknya hak guna usaha (HGU), atau hak-hak lainnya. Oleh karena itu, biarkan untuk kawasan hutan produksi mengatur dirinya dengan hanya membayar PSDH, dan tidak dikenakan PBB. Namun, untuk mengkompensasikan PBB ini akan dilakukan perhitungan yang lebih memiliki dasar yang lebih kuat dalam pengenaan pungutan di kawasan hutan produksi, baik di hutan alam maupun hutan tanaman. Pendekatan pada hutan alam dilakukan melalui harga sewa lahan, sedangkan hutan tanaman melalui harga perolehan. Perhitungan PSDH di Hutan Alam Untuk menghitung PSDH yang dikenakan pada hasil hutan kayu dari hutan alam dapat dilakukan melalui pendekatan nilai tegakan (stumpage value) dari harga patokan jual kayu. Ini dilakukan karena nilai intrinsik yang merupakan asupan (faktor input) sangat sedikit yang diberikan oleh perusahaan HPH. Perhitungannya dapat disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 tampak bahwa PSDH yang diusulkan menurut hitungan adalah Rp103.200 per m3, dengan perimbangan alokasi untuk PSDH-murni sebesar Rp48.750 per m3 dan PBB-murni sebesar Rp54.400 per m3. Sedangkan yang berlaku saat ini adalah sejumlah Rp81.200 per m3, terdiri atas Rp65.000 untuk PSDH dan sekitar Rp16.000 per m3 untuk PBB. Dengan demikian terdapat tambahan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari PSDH (termasuk PBB) sebesar Rp22.000 per m3. Tabel 1. Perhitungan pengenaan PSDH (setelah digabung dengan PBB) pada Hutan Alam Produksi.
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Uraian Harga sewa lahan (10% dari sewa lahan) Biaya eksploitasi Selisih (1 2) Laba perusahaan (30% dari harga jual) Selisih (3 4) Pengenaan DR Selisih (5 6) Biaya Pembinaan Hutan US$ 18/m3 PSDH (7 9) menurut hitungan PSDH yang berlaku Selisih (9 10) PBB yang berlaku (kisaran)
Nilai/Harga (Rp/M3) 1.380.000 550.000 830.000 414.000 416.000 147.200 268.800 165.600 103.200 65.000 38.200 16.200
Keterangan
Rente ekonomi PSDH (+) Termasuk biaya sosial Termasuk PBB Kompensasi untuk PBB 25% dari PSDH berlaku
Perhitungan PSDH di Hutan Tanaman Berbeda dengan ide perhitungan PSDH pada hutan alam, perhitungan PSDH pada hutan tanaman lebih sederhana. Yaitu, melalui pendekatan nilai intrinsik yang merupakan nilai asupan (faktor input) atau harga perolehan tegakan HTI per hektarnya atau nilai per m3 kayu yang dihasilkan setelah satu daur. Pendekatan lain juga bisa dilakukan melalui penetapan harga patokan jual kayu, sebagimana yang berlaku saat ini. Tabel 2 di bawah ini menyajikan perhitungan PSDH dengan pendekatan nilai perolehan. Asumsi dasar potensi minimum pada hutan tanaman adalah 100 m3 per hektar. Pendekatan ini sudah mempertimbangkan risiko kegagalan tanaman. Harga perolehan sebesar Rp7.5 juta terdiri atas seluruh biaya pembangunan HTI, sejak tanam hingga siap tebang), termasuk biaya-biaya berupa pajak bumi dan bangunan, iuran izin pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan tanaman, biaya masyarakat (community development), dan royalty fee. Tabel 2. Perhitungan Pengenaan PSDH (Sebagai Pengganti Nilai Intrinsik atau Nilai Perolehan) pada Hutan
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Halaman
8
Uraian Harga perolehan tanaman per hektar Nilai perolehan per m3 (1 daur) Nilai perolehan per m3/ tahun (Usulan PSDH baru) PSDH berlaku PBB (setara per m3) Iuran IUPHHK-HT (setara per m3) Biaya community development (CD) Royalty fee untuk masyarakat Beban biaya perush. (4 s/d 8)
Nilai/Harga (Rp/M3) 7.500.000 75.000 9.375 2.800 2.880 2.800 2.000 7.500 18.180
Keterangan
Potensi
Daur 8 tahun
Biaya Sosial
100 m3/ha
Nomor 02, Juni 2006
LOG
Pembagiannya diusulkan secara proporsional, yaitu untuk pemerintah (Pusat) 18%, pemerintah provinsi 14%, kabupaten penghasil 44%, dan kabupaten bukan penghasil 24%. Alokasi untuk kabupaten penghasil memiliki porsi yang paling besar, dimana kabupaten penghasil berkewajiban harus memasukkan program pembangunan desa-desa di dalam dan sekitar hutan. Dengan demikian, beban perusahaan akan berkurang dalam pelaksanaan program community development, termasuk social cost lainnya karena sebagian akan diambil oleh pemerintah kabupaten setempat atau daerah penghasil. Konsekuensi dari perhitungan ini adalah melakukan perubahan PP Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pengenaan PBB, atau peraturan turunan di bawahnya, khususnya terkait dengan pengenaan PBB pada kawasan hutan produktif. Di sisi lain, pemerintah harus mampu menjaga harga ideal tersebut di atas jika tetap ingin mempertahankan closed market untuk komoditas bahan baku kayu untuk pengolahan industri primer di Indonesia.
BULETIN
Proporsi Pembagian Hasil dan Konsekuensinya
PLAN
Tanaman. Dalam Tabel 2 dapat dilihat bahwa nilai perolehan tanaman adalah Rp9.375 per m3 yang merupakan nilai intrinsik setara dengan nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman. Ini merupakan ide PSDH baru, yaitu gabungan dari pungutan PSDH dan PBB pada hutan tanaman. Jika dibandingkan dengan pungutan yang berlaku saat ini, PSDH + PBB sebesar Rp5.680 per m3 (Rp2.800 + Rp2.880), maka pungutan PSDH baru tersebut lebih besar (naik 65%). Kenaikan tersebut untuk menjawab tuntutan daerah, khususnya kabupaten penghasil karena menganggap bahwa pungutan PSDH untuk hasil hutan kayu dari hutan tanaman saat ini masih rendah. Daerah penghasil juga melihat bahwa kayukayu dari hutan tanaman dapat digunakan untuk bahan baku kilangplywood dan kayu gergajian, sehingga harganya dapat lebih tinggi daripada jika hanya untuk bahan baku kilangpulp.
Diskusi Pendekatan Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa perhitungan-perhitungan masih dengan angka-angka kasar. Di samping itu, pendekatan yang dilakukan memungkinkan masih menjadi berdebatan, khususnya bagi penentu kebijakan karena pada pungutan PSDH saja (PBB sudah termasuk di dalamnya) hanya didasarkan satuan hasil per m3. Bagaimana jika hutan tersebut tidak ada atau gagal menghasilkan kayu? Jika pendekatan harga patokan jual kayu tetap dilpertahankan, maka kebijakan closed market akan menemui kesulitan karena Pemerintah harus tetap menjaga harga pasar pada kondisi ideal. Pada sisi lain, pasar akan melaju dengan hukum pasar yang hampir tidak bisa didikte. Diskusi selanjutnya akan mengarah pada perubahan Undang-undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan berikut peraturan turunannya, terkait dengan pengenaan obyek pajak dan proporsi pembagian hasil. Ini harus dilakukan terobosan jika tidak menemui kesulitan melakukan perubahan peraturan dan perundang-undangannya. Dengan pendekatan perhitungan ini sebenarnya Pemerintah (baca Negara) sangat diuntungkan, maka perubahan peraturan seharusnya tidak menjadi penghambat.
Kesimpulan dan Saran Pungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebaiknya digabung dengan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH). Pengenaan PBB di kawasan hutan tidak tepat karena hutan berstatus state property bukan private property sehingga hanya merupakan izin usaha pemanfaatan saja, dan tidak terkait dengan hukum keagrariaan. Penggabungan tersebut merupakan bentuk kompensasi pungutan PBB ke dalam PSDH, dan besarnya pungutan PSDH baru lebih tinggi daripada PSDH + PBB yang berlaku. Pendekatan hitungan PSDH dengan harga patokan hanya cocok untuk hasil hutan yang berasal dari hutan alam, sedangkan untuk hutan tanaman sebaiknya digunakan pendekatan nilai intrinsik (nilai perolehan tegakan dari seluruh asupan 'input' biayabiaya dan kapital atau setara dengan stumpage value. Nilai asupan yang diberikan oleh pengusaha terhadap hutan alam sangat rendah, oleh karenanya pendekatan hitungan PSDH dapat dilakukan selain melalui harga patokan jual kayu, juga dapat melalui harga sewa lahan. Untuk hutan tanaman karena investor harus memperoleh insentif, maka pendekatan harga patokan menjadi kurang tepat, karena nilainya pasti akan lebih tinggi. Hitungan-hitungan tersebut perlu dipertajam dengan melalukan kajian pertimbangan kebijakan yang mengarah pada pemberian insentif namun tidak mengorbankan kepentingan perusahaan, pemerintah dan masyarakat setempat.
#
Halaman
9
LOG
Nomor 02, Juni 2006
PROSPEK PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI RAKYAT (Intisari Hasil Kajian Para Pakar untuk Menyusun Kebijakan)
1)
PLAN
BULETIN
Oleh : Tedi Setiadi, S.Hut. *) Untuk mendukung revitalisasi Industri Kehutanan, salah satunya adalah melalui usaha pengembangan hutan tanaman industri rakyat yang diharapkan dapat meningkatkan kapasitas industri kehutanan sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat/rakyat terutama masyarakat sekitar hutan. Berbagai dinamika dan problematika yang terus berkembang seputar hutan tanaman industri rakyat dan prospek kedepan telah dilakukan pengkajian oleh para pakar dibidangnya. Hasil kajian telah merumuskan berbagai formulasi untuk mengembangkan Hutan Tanaman Industri Rakyat di Indonesia yang sekaligus sebagai saran dan masukan yang sangat berharga untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan bertalian pembangunan industri kehutanan di Indonesia.
I. Latar Belakang Hutan Tanaman Industri (HTI) selama ini dilakukan oleh pengusaha besar di bidang kehutanan. Usaha HTI skala kecil praktis belum ada, kecuali usaha hutan rakyat yang telah berkembang pada beberapa wilayah di luar kawasan hutan, di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Usaha hutan rakyat merupakan contoh usaha kecil, dimana pada awalnya rakyat menanam pohon lebih ditujukan untuk konsumsi sendiri, namun dalam perkembangannya kemudian beralih menjadi komoditi komersial, bersamaan dengan tumbuhnya pasar. HTI Rakyat belum memiliki istilah baku, sehingga pengertian HTI Rakyat setidaknya dapat diartikan sebagai HTI yang dilaksanakan oleh rakyat pada kawasan hutan; disamping itu dapat juga diartikan sebagai HTI yang dilaksanakan oleh rakyat baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Selanjutnya yang dimaksud rakyat lebih diartikan sebagai rakyat yang tinggal di daerah setempat. Lebih lanjut, hingga saat ini belum ada peraturan perundangan yang mengatur HTI Rakyat, sehingga diharapkan kajian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam rangka kebijakan dan pelaksanaan pembangunan HTI Rakyat. Dengan demikian lingkup kajian ini mencakup seluruh aspek yang secara umum meliputi aspek: finansial-ekonomi, sosial-budaya, dan sistem pengusahaan. II. Faktor Penentu Keberhasilan pengusahaan hutan rakyat sangat ditentukan oleh (1) persepsi masyarakat terhadap pentingnya pelestarian nilainilai atau budaya yang diwariskan oleh nenek moyangnya, (2) kepekaan masyarakat untuk memahami masalah sosial ekonomi, (3) kepekaan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pelestarian sumberdaya alam bagi, (4) kemampuan masyarakat untuk melihat peluang dan mengupayakan pemecahan masalah yang diupayakan, (5) efektifitas dorongan, rangsangan dan dukungan serta kesempatan yang diberikan pihak luar. III. Permasalahan Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan hutan rakyat di Indonesia (Supriadi, 2002): (1) data dan informasi mengenai hutan rakyat belum sepenuhnya dikuasai, (2) sosialisasi pelaksanaan program hutan rakyat belum berjalan semestinya, (3) belum ada rencana pengembangan hutan rakyat untuk setiap kabupaten, (4) pembuatan rancangan unit percontohan pengelolaan hutan rakyat di beberapa daerah masih belum mantap, (5) kurangnya perhatian terhadap unit percontohan hutan rakyat, (6) kualitas SDM petani yang masih belum mencukupi, (7) pemasaran hasil produksi kayu hutan rakyat masih bersifat perorangan, (8) masih terdapat penyimpangan bersifat administratif dalam penyelenggaraan KUHR (Kredit Usaha Hutan Rakyat), (9) kelembagaan petani peserta KUHR masih lemah, (10) keterbatasan peraturan perundangan tentang hutan rakyat masih terbatas baik di tingkat pusat maupun daerah, dan (11) kesiapan aparat daerah dalam menyelenggarakan KUHR masih belum memadai.
IV. Pelaksanaan Pelaksanaan pembangunan HTI Rakyat diharapkan dapat memenuhi beberapa kondisi sebagai berikut: R HTI Rakyat sebagai salah satu sumber bahan baku industri, reboisasi lahan kosong, dan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui peningkatan lapangan kerja. R Pembangunan HTI Rakyat melalui pendekatan lintas sektoral, multidisiplin, stakeholders yang beragam dan pendekatan sistem. R HTI Rakyat mampu memberikan keuntungan ekonomi, ekologi, dan sosial-budaya. R Pengembangan HTI Rakyat mampu mewujudkan keseimbangan dinamis antara pertumbuhan ekonomi-bisnis dengan peningkatan kelestarian ekologi dan kestabilan sosial-budaya. R HTI Rakyat memiliki sistem penguasaan dan tata guna lahan yang mantap, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. R HTI Rakyat dibangun sebaiknya menerapkan sistem Agroforestry yang memanfaatkan keunggulan komparatif dari berbagai jenis komoditi yang dikelola. R HTI Rakyat dibangun berdasarkan kemitraan sejajar antara pengusaha dengan masyarakat di sekitar hutan, yang menuju ke bentuk kontrak kerja pada kelompok masyarakat yang adil dan berimbang. R Jenis tanaman HTI tidak terpaku pada jenis cepat tumbuh saja tetapi juga perlu pengaturan jenis yang seimbang dengan jenis kayu campuran lainnya. R Pengusahaan HTI Rakyat diarahkan pada kawasan hutan produksi yang berupa tanah kosong, padang alang-alang, dan semak belukar. R Usaha HTI Rakyat merupakan suatu penerapan model usaha tani.
Halaman
10
Nomor 02, Juni 2006 BULETIN
Hitungan ekonomi secara kasar dalam pembangunan hutan tanaman secara kolaboratif: Asumsi-asumsi: 1. Jenis tanaman adalah fast growing species, dengan daur 8 tahun ditujukan untuk kayu perkakas 2. Kemampuan seorang petani mengelola lahan seluas 0,75 ha/tahun. Dalam 1 KK diasumsikan terdiri dari 2,5 HOK. Jadi 1 KK mempunyai kemampuan 1,875 ha/tahun. 3. Biaya pembangunan tanaman per hektar adalah Rp. 7,5 juta. 4. Produksi minimal adalah 150m3/ha. 5. Harga pasar minimal Rp. 200.000/m3 di TPN atau TPK. 6. Tidak terjadi force major hingga saat panen dan seterusnya. 7. Kucuran subsidi maupun pemodalan akan diterima dalam 5 tahun ke depan.
PLAN
V. Estimansi Biaya Pembangunan HTI Rakyat
Uji Petik Pembangunan HTI Rakyat di Propinsi Kaltim.
Luas tanaman yang harus dibangun: 1. Untuk ukuran propinsi Kaltim, kebutuhan industri 4,5juta m3/tahun, maka luas tebangan per tahun mencapai 30.000 ha (asumís 150m3/tahun) 2. Jika dibagi ke dalam 8 Kabupaten, maka setiap Kabupaten menebang 3.750 ha/tahun. 3. Dengan daur 8 tahun, maka diperlukan luas tanaman: 8x30.000 ha = 240.000 ha efektif tanaman (netto). Dibutuhkan areal sarana prasarana dan konservasi sejumlah 25%, sehingga total kebutuhan lahan adalah 320.000 ha, maka tiap Kabupaten membutuhkan 40.000 ha (sangat kecil dibandingkan luas areal tidak produktif di tiap Kabupaten).
LOG
Propinsi Kaltim diasumsikan sebagai daerah contoh dengan 8 Kabupaten akan membangun secara serentak hutan tanaman kolaboratif.
Kebutuhan biaya pembangunan tanaman: 1. 2.
Dengan asumsi biaya pembangunan sebesar Rp. 7,5juta/ha, maka setiap Kabupaten menyediakan biaya sebesar Rp. 7,5 juta x 40.000 ha = Rp. 300 Milyar. Distribusi saham dengan komposisi penyertaan modal: Pemkab: 40% atau Rp. 120 Milyar; Pemprov: 10% atau Rp 30 Milyar; dan pemegang industri sebesar 50% atau Rp. 150 Milyar.
Kebutuhan tenaga kerja dan pendapatan petani: 1. 2.
Dengan asumsi kemampuan 1 KK seluas 1,875 ha/tahun, maka 1 daur (8 tahun) kebutuhan lahan untuk 1 KK adalah 1,875 ha x 8 = 15 ha. Dengan demikian untuk luasan 30.000 ha/tahun diperlukan 16.000 KK, bila dibagi 8 Kabupaten, maka setiap unit pembangunan hutan di Kabupaten diperlukan 2.000 KK (jumlah yang cocok untuk padat karya). Pendapatan petani per KK berasal dari (a) tenaga kerja harian = 2,5 HOK x Rp. 30.000 = Rp. 75.000; (b) hasil panen tanaman padi atau jagung (tanaman tumpangsari); (c) hasil produksi tanaman pokok per tahun = 2/3 x 1,875 ha x 150 m3 x Rp. 200.000 = Rp. 37.499.999,- atau dibulatkan sebesar Rp. 37,5 juta atau rata-rata per bulan sebesar Rp. 3,125 juta.
VI. Prasyarat Penentu Dengan berbagai hambatan dan kendala, secara garis besar dapat dinyatakan bahwa HTI Rakyat memiliki prospek yang bagus untuk dikembangkan, namun harus memperhatikan berbagai persyaratan sebagai berikut: SOSIAL BUDAYA : Untuk tahap awal sebaiknya diterapkan di wilayah penduduk atau masyarakatnya telah memiliki budaya menanam pepohonan kehutanan dan juga sangat membutuhkan program itu untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. INFRASTRUKTUR : Keberadaan dan kesanggupan industri-industri yang akan menampung hasil hutan kayu, sehingga HTI Rakyat benar-benar terintegrasi dengan konsumen atau pasar. KELEMBAGAAN :·Keterlibatan para pihak dalam pengembangan HTI Rakyat sangat diperlukan. R Sistem pembangunan HTI Rakyat mengikuti sequential system dan sistem suksesi yang dikelola. R HTI Rakyat tidak dibangun dalam bentuk monokultur. R Kebijakan insentif perlu diberikan kepada para petani HTI Rakyat sebelum mereka memetik hasil hutan. R Sejak awal sebelum HTI Rakyat itu dibangun harus sudah dilakukan penguatan kelembagaan petani HTI Rakyat. R Pembangunan HTI Rakyat harus terintegrasi dengan berbagai program pembangunan hutan yang ada (GERHAN, DAK DR, CDM, dsb) R Tersedia pendamping lapangan yang tangguh, bisa dari sarjana kehutanan yang diangkat menjadi pegawai tidak tetap (PTT) dan ditempatkan di lapangan. R Kebijakan yang menyangkut biaya retribusi hasil hutan dari HTI Rakyat, sebaiknya pada tahap awal dilakukan seringan mungkin, hal ini untuk memberi insentif kepada para petani agar lebih bergairah dalam membangun hutan. R HTI Rakyat sebaiknya tidak dikembangkan sebagai gerakan nasional, tetapi sebaiknya diprioritaskan bagi daerah yang telah siap dari berbagai aspek, seperti petani, SDM kehutanan, kelembagaan, teknik-biofisik. R Sosialisasi HTI Rakyat kepada petani khususnya, harus dilakukan secara intensif, meliputi aspek teknis-biofisik, sosialbudaya, ekonomi dan finansial. R Monitoring dan evaluasi yang bersifat multipihak terhadap kegiatan HTI Rakyat harus dilakukan secara berkala dan berkelanjutan, agar dapat dilakukan upaya-upaya perbaikan secara dini, jika ditemukan kelemahan atau penyimpangan. R Prosedur, aturan dan proses untuk pembangunan HTI Rakyat harus bersifat sederhana dan biaya murah. R Inisiatif dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan HTI Rakyat harus menjadi prioritas utama. R Jenis-jenis pohon yang ditanam memiliki harapan kepastian pasar. R Adanya program pendampingan lapangan yang berkelanjutan.
TENURIAL
R Sistem pewarisan terhadap hak mengelola HTI Rakyat harus jelas dan mampu mencegah terjadinya fragmentasi lahan. R Adanya kepastian status lahan hutan sebagai lokasi HTI Rakyat, sehingga memberikan kepastian usaha bagi petani. # *) Perencana Pertama pada Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan Halaman
11
LOG
Nomor 02, Juni 2006
KOMPLEKSITAS PERSOALAN TENURIAL DALAM PERENCANAAN RUANG KEHUTANAN Oleh : Ali Djajono
PLAN
BULETIN
Pendahuluan
Pengaturan ruang di Indonesia telah ditetapkan melalui UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Urgensi pengaturan ruang ini secara jelas telah dituangkan dalam alasan menimbang yang mendasari penetapan UU ini. Disebutkan antara lain bahwa letak dan kedudukan strategis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman ekosistemnya merupakan sumberdaya alam (SDA) yang perlu dikelola dan dilindungi untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional, untuk itu pengelolaan SDA yang berada di daratan, lautan dan udara perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan dalam pola yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup. Kompleksitas permasalahan pengelolaan ruang ternyata telah berpengaruh besar pada proses penetapan perencanaan tata ruang suatu wilayah dalam bentuk sulitnya ruang yang akan ditetapkan menjadi acuan pihak-pihak yang akan memanfaatkan ruang tersebut. Beragam alasan dapat disebutkan sebagai penyebabnya, antara lain: Interest ekonomi politik terhadap ruang yang bersangkutan, belum ditampungnya kondisi riil masyarakat yang mendiami ruang tersebut dalam peraturan perundangan, Konflik lahan yang terdapat di dalam kawasan hutan, belum sinkronnya kewenangan pengelolaan ruang oleh berbagai sektor terhadap ruang yang sama. Salah satu persoalan pelik adalah berlarutnya permasalahan tenurial dalam kawasan hutan. Tulisan ini mencoba menelaah salah satu kompleksitas permasalahan pengelolaan ruang khususnya ruang kehutanan (Kawasan Hutan) dalam perencanaan tata ruang dengan Persoalan tenurial, dengan urutan penyajian sbb: memahami sekilas penataan ruang, kawasan hutan sebagai bagian dari tata ruang nasional, tenurial dalam kawasan hutan.
Sekilas Penataan Ruang Dalam UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, terdapat pengertian yang berkaitan dengan ruang, antara lain: Ruang, Tata Ruang, Penataan Ruang, Rencana Tata Ruang, Wilayah dan Kawasan. Ruang adalah wadah yag meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak. Sedangkan Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Selanjutnya Rencana Tata Ruang adalah adalah hasil perencanaan tata ruang. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Sedangkan Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya. Kawasan ini terdiri dari Kawasan Lindung, Kawasan Budidaya, Kawasan Perdesaan, Kawasan Perkotaan, Kawasan Tertentu. Penjabaran kawasan secara rinci diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, detailnya diuraikan dibawah ini: 1. Kawasan Lindung a Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya ¡ Kawasan hutan lindung (HL) ¡ Kawasan bergambut ¡ Kawasan resapan air b. Kawasan perlindungan setempat ¡ Sempadan pantai ¡ Sempadan sungai ¡ Kawasan sekitar danau/waduk ¡ Kawasan sekitar mata air ¡ Kawasan terbuka hijau kota termasuk didalmnya hutan kota c. Kawasan Suaka Alam ¡ Cagar Alam (CA) ¡ Suaka Margasatwa (SM) d. Kawasan Pelestarian Alam ¡ Taman Nasional (TN) ¡ Taman Hutan Raya (Tahura) ¡ Taman Wisata Alam (TWA) e. Kawasan Cagar Budaya f. Kawasan Rawan Bencana Alam g. Kawasan Lindung lainnya ¡ Taman Buru (TB) ¡ Cagar biosfir ¡ Kawasan Perlindungan Plasma Nutfah ¡ Kawasan Pengungsian Satwa ¡ Kawasan Pantai Berhutan Bakau Halaman
12
Nomor 02, Juni 2006 BULETIN
Dengan demikian pada dasarnya seluruh wilayah di Indonesia sesuai dengan manfaat dan fungsinya, penataan ruang telah diatur dalam peraturan perundangan ini. Didalamnya juga telah diatur kemungkinan untuk dilakukan peninjauan kembali secara berkala mengingat dinamika pembangunan dan pengembangan wilayah.
LOG
3. Kawasan Tertentu
PLAN
2. Kawasan Budidaya a. Kawasan Hutan Produksi ¡ Kawasan Hutan Produksi Terbatas ¡ Kawasan Hutan Produksi Tetap ¡ Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi b. Kawasan Hutan Rakyat c. Kawasan Pertanian ¡ Kawasan Pertanian Lahan Basah ¡ Kawasan Pertanian Lahan Kering ¡ Kawasan Tanaman Tahunan/Perkebunan ¡ Kawasan Peternakan ¡ Kawasan Perikanan d. Kawasan Pertambangan e. Kawasan Peruntukkan Industri f. Kawasan Pariwisata g. Kawasan Permukiman
Namun prosedur pelaksanaan peninjauan kembali tersebut yang berakibat pada perubahan fungsi dan pemanfaatannya (khususnya yang berskala besar dan berdampak penting) harus melalui persetujuan legeslatif. Kawasan hutan yang merupakan bagian dari wilayah negara RI, pengaturannya juga telah menjadi bagian dari Tata Ruang Nasional. Hanya dalam peraturan perundangan ini tidak diatur mengenai keberadaan hak penguasaan atau hak pengelolaan/pemanfataan terhadap ruang yang akan diatur. Penetapan ruangnya lebih ditujukan pada pembagian ruang dalam suatu wilayah sesuai dengan fungsi dan manfaatnya. Padahal permasalahan yang muncul terkait dengan ruang tidak dapat dilepaskan dari penegasan terhadap hak penguasaan terhadap ruang tersebut, apakah itu sebagai state property, common property, private property ataupun sebagai wilayah open acces.
Kawasan Hutan Sebagai Bagian Tata Ruang Nasional Seperti telah ditetapkan dalam PP. No. 47 tahun 1997 tentang Tata Ruang Nasional, Kawasan Hutan merupakan bagian dari Tata Ruang Nasional. Dalam pembagian wilayah kawasan sesuai fungsinya yaitu Lindung dan Budidaya, maka kawasan hutan diatur sebagai berikut: 1. Kawasan Hutan yang berfungsi sebagai kawasan lindung adalah: a.. Hutan Lindung (HL). b. Kawasan Pelestarian Alam, yang meliputi: Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (TAHURA), Taman Wisata Alam (TWA). c. Kawasan Suaka Alam, yang meliputi: Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM). d. Taman Buru 2. Kawasan Hutan yang berfungsi sebagai kawasan budidaya adalah: a. Hutan Produksi, yang meliputi: Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi. Sesuai dengan PP No. 47 tahun 1997 tentang RTRWN dan PP. No. 34 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, kriteria dari masing-masing kawasan hutan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Kriteria Hutan Lindung (HL): ¡ Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angka peningbang mempunyai jumlah nilai (skor) 175 atau lebih, dan/atau ¡ Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % atau lebih, dan/atau ¡ Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2000 m atau lebih. 2. Kriteria Cagar Alam (CA): ¡ Kawasan yang ditunjuk mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta tipe ekosistemnya, dan/atau ¡ Mewakili formasi biota tertentu adan/atau unit-unit penyusunnya, dan/atau ¡ Mempunyai kondisi alam, baikbiota mauoun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia, dan/atau ¡ Mempunyai luas dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dengan daerah penyangga yang cukup luas, dan/atau ¡ Mempunyai ciri khas dan dapat merupakan satu-satunya contoh di suatu daerah serta kenberadaannya memerlukan konservasi. 3. Kriteria Suaka Margasatwa (SM): ¡ Kawasan yang ditunjuk merupakan tempat hidup dan perkembang-biakan dari satu jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasinya dan atau ¡ Memiliki keanekaragamansatwa yang tinggi, dan atau ¡ Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu, dan atau ¡ Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat habitan jenis satwa yang bersangkutan. 4. Kriteria Taman Nasional (TN): ¡ Wilayah yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup unuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami ¡ Memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun jenis satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan lestari ¡ Satu atau beberapa ekosistem yang terdapat didalamnya secara materi atau secara fisik tidak dapat diubah oleh eksploitasi
Halaman
13
PLAN
BULETIN
LOG
Nomor 02, Juni 2006 maupun pendudukan oleh manusia ¡ Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam ¡ Merupakan kawasan yang dapat dibagi kedalam zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain yang dapat mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam hayati da ekosistemnya. 5. Kriteria Taman Hutan Raya (TAHURA): ¡ Merupakan wilayah dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang sudah berubah ¡ Memiliki keindahan alam, tumbuhan, satwa dan gejala alam ¡ Mudah dijangkau dan dekat dengan pusat-pusat emukiman penduduk ¡ Mempunyai luas yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan/atau satwa baik jenis asli dan/atau bukan asli 6. Kriteria Taman Wisata Alam (TWA): ¡ Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa beserta ekosistemnya yang masih asli serta formasi geologi yang indah, unik dan nyaman ¡ Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam ¡ Kondisi lingkungan disekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam ¡ Mudah dijangkau dan dengan pusat-puast pemukiman penduduk. 7. Kriteria Taman Buru: ¡ Areal yang ditunjuk mempunyai luas yang cukup dan lapangannya tidak membahayakan dan/atau ¡ Kawasan yang terdapat satwa buru yang dikembangbiakkan sehingga memungkinkan perburuan secara teratur dengan mengutamakan segi rekreasi, olahraga dan kelestarian satwa. 8. Kriteria Hutan Produksi Terbatas (HPT): ¡ Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (skor) 125-175 diluar Hutan Suaka Alam dan Hutan Pelestarian Alam 9. Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP): ¡ Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (skor) 124 atau kurang, diluar Hutan Suaka Alam dan Hutan Pelestarian Alam 10. Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK): ¡ Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (skor) 124 atau kurang, diluar Hutan Suaka Alam dan Hutan Pelestarian Alam ¡ Kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan transprtasi, transmigrasi, permukiman, pertanian, perkebunan, industri dan lain-lain. Kriteria-kriteria tersebut hanya berdasarkan kriteria teknis lapangan. Selanjutnya pengaturan terhadap pengelolaan ruang kawasan hutan diatur dan tunduk pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan peraturan perundangan turunannya, termasuk didalamnya pengaturan mengenai perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan untuk keperluan review atau peninjauan kembali tata ruang. Namun pengaturan ruang kawasan hutan dalam UU No. 41 tentang Kehutanan tidak mengatur secara rinci pengaturan yang terkait dengan tenurial. Hanya disana disebutkan bahwa hutan merupakan kekayaan alam yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya penguasaan hutan oleh negara tersebut memberi wewenang kepada Pemerintah untuk: a) mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, b) Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan, c) Mengatur dan menetapkan hubunganhubungan hukum antara orang dengan hutan, serta pengaturan perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Penguasaan tersebut tetap harus memperhatikan hak masyarakat hukum adat dengan catatan sepanjang masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Kejelasan status penguasaannya menunjukkan bahwa kawasan hutan merupakan hutan negara atau dalam istilah umum dikenal sebagai “state property”. Penguasaan oleh negara inilah yang kemudian menimbulkan konflik lahan terkait dengan pengakuan sebagian masyarakat di dalam kawasan hutan yang merasa dan mengakui bahwa mereka telah secara turun temurun memiliki hutan adat dalam kawasan hutan negara tersebut. Konflik ini timbul karena antara lain walaupun pada dasarnya keberadaan hutan adat diakui oleh UU, tetapi keleluasaan masyarakat hukum adat yang merasa memiliki hutan adat tersebut dalam mengelola hutannya masih dibatasi oleh ketentuan-ketentuan dalam pengelolaan hutan secara nasional. Usaha dan upaya untuk menjembatani penyelesaian konflik lahan dalam kawasan hutan sudah sering dilakukan, namun hingga saat ini masih belum ditemukan solusi konkret untuk mengatasinya. Masing-masing pihak masih berpegang teguh pada prinsipprinsip yang dipegangnya. Pemahaman terhadap prinsip tenurial oleh masyarakat kemudian menjadi sangat penting untuk mencoba memahami dimana letak kesenjangannya dengan peraturan perundangan nasional yang mengaturnya.
Tenurial Dalam Kawasan Hutan Tidak ada batasan yang baku mengenai definisi tenurial, namun secara umum tenurial atau “tenure” dapat dimaknai sebagai hak pemangkuan dan penguasaan terhadap lahan dan sumberdaya alam yang dikandungnya. Ada juga beberapa pendapat yang memaknai sebagai “land ownership” yang diartikan sebagai kepemilikan terhadap lahan atau kepemilikan atas hak atau kepentingan atas lahan. Pengakuan hak terhadap lahan tersebut bisa bersifat individu, kelompok atau negara. Pengakuan secara individu terhadap lahan yang bukan merupakan lahan yang dikuasai negara biasanya tidak menimbulkan banyak masalah karena sudah diatur secara tunggal dalam UU Agraria. Namun pengaturan hak penguasaan oleh kelompok atau negara masih menjadi polemik yang berkepanjangan. Bagi pemerintah acuannya jelas pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa “Kawasan hutan” dikuasai oleh negara termasuk pengaturan-pengaturan terhadapnya, sedangkan hutan adat merupakan wilayah masyarakat adat atau masyarakat hukum adat yang berada dalam hutan negara. Namun bagi sebagian besar masyarakat (khususnya masyarakat hukum adat) lahan “kawasan hutan” tersebut secara “de facto” adalah merupakan hutan adat yang dikuasai oleh masyarakat, bukan merupakan bagian dari hutan negara. Halaman
14
Nomor 02, Juni 2006
Pemecahan permasalahan ini sebenarnya sedang diupayakan melalui Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai hutan adat, namun sampai saat ini pembahasannya menemui jalan buntu. Multi-interpretasi dan belum diakomodasikannya secara penuh beberapa keiinginan masyarakat yang diperkirakan menghambat penyelesaian PP tersebut.
Pemberian hak kepada pihak swasta oleh pemerintah untuk mengelola kawasan hutan dalam bentuk HPH/IUPHHK Hutan Alam maupun Hutan Tanaman biasanya selalu dipertentangkan dengan keberadaan hutan adat dalam kawasan hutan tersebut. Masyarakat merasa tidak pernah dilibatkan dalam pengaturan hak tersebut, mereka merasa dimarginalkan dari tanah yang mereka tinggali, mereka merasa tidak selalu mendapatkan manfaat dari keberadaan pengelolaan kawasan hutan tersebut.
LOG
Apabila diamati terdapat beberapa tipe keberadaan masyarakat adat dan hutan adatnya dalam keterkaitannya dengan kawasan hutan. Pertama, yang terdapat dalam kawasan hutan yang telah diserahkan pengelolaannya kepada HPH/IUPHHK Hutan alam dan Hutan tanaman. Kedua, yang terdapat dalam kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung (HL). Ketiga, yang terdapat di hutan produksi yang tidak dibebani hak pengelolaan/pemanfaatan.
BULETIN
Kesimpang-siuran pengaturan lahan kawasan hutan inilah yang selalu menimbulkan permasalahan tenurial yang sangat komplek dalam kawasan hutan. Dari sisi peraturan perundangan secara “de jure” pengakuan penguasaan terhadap kawasan hutan oleh pemerintah sudah jelas, namun secara “de facto” permasalahannya tidaklah sederhana. Apalagi model-model pengakuan penguasaan oleh masyarakat sangatlah lokal specifik, antara daerah satu dengan daerah lainnya sangatlah berbeda. Namun secara umum masyarakat hukum adat menginginkan kedaulatan dan hak penuh atas hutan yang berada di wilayahnya.
PLAN
Pengakuan hutan adat oleh masyarakat dalam UU memang telah disebutkan, namun pengaturannya belum jelas dan mendetail, sehingga muncul multi-interpretasi terhadap pengaturan “kawasan hutan” yang ada “hutan adat”nya..
Pada saat ini terdapat arus perjuangan yang sangat kuat dari masyarakat adat dengan dibantu oleh LSM/NGO untuk menggolkan keinginan pengakuan secara lebih jelas dan tegas terhadap keberadaan masyarakat adat dan lahan sebagai bagian dari gantungan kehidupan dan aktifitas kesehariannya. Arus tersebut mencoba menghilangkan pengakuan penguasaan lahan oleh negara khususnya terhadap lahan yang diakui sebagai bagian dari masyarakat adat. Melalui berbagai pertemuan atau forum atau aksi baik secara Nasional, Regional maupun Global, mereka mencoba meyakinkan dan memperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan melalui kejelasan dalam suatu peraturan perundangan Nasional. Kalau perlu dengan mengamandemen atau merubah UU yang terkait dengan pengaturan lahan yang berhubungan dengan keberadaannya. Tap MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya merupakan salah satu “entry point” yang selalu dipegang untuk memperjuangkan kejelasan yang lebih konkret terhadap pengakuan tenurial dalam kawasan hutan. Banyak argumen yang melandasi keiinginan tersebut, antara lain: a. Negara dianggap gagal dalam mengelola hutan, diindikasikan dengan: hancurnya hutan akibat eksploitasi berlebihan, makin sering terjadinya banjir dan tanah longsor, semakin terdegradasinya hutan, gagalnya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam dan sekitar hutan. b. Pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat sejak lama, menunjukkan kelestarian dalam pengelolaannya contoh: Repong damar di Lampung. c. Peraturan perundangan yang ada memarginalkan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Masyarakat cenderung hanya dianggap sebagai obyek dari suatu pengelolaan hutan. d. Makin terkikisnya kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan, program, kegiatan yang digagas oleh pemerintah. Melihat persoalan tenurial tersebut, tampaknya akan sangat sulit untuk mempertemukan dan mensinkronkan pengaturan hutan oleh Pemerintah yang didasari landasan formal dengan aspirasi masyarakat yang berpegangan pada kondisi “de facto” di lapangan. Permasalahan bertambah rumit dengan masuknya unsur yang tidak bertanggung jawab yang coba menunggangi kekisruhan yang terjadi, karena ditengarai bahwa masih banyak terdapat masyarakat yang murni merambah hutan namun mengaku sebagai masyarakat lokal atau masyarakat adat. Lebih parah lagi mereka biasanya didanai oleh oknum-oknum pemilik modal dari kota. Diperlukan keberanian, kejujuran dan keterbukaan semua pihak termasuk saling memahami pihak yang satu dengan pihak lainnya. Penyelesaian permasalahan harus didukung adanya keterbukaan dari semua pihak dan tiadanya unsur pemaksaan pihak satu ke pihak lainnya, tanpa hal tersebut penyelesaian masalah akan “dead lock” (menemui jalan buntu). Berlarut-larutnya penyelesaian RPP Hutan Adat mencerminkan persoalan tenurial dalam kawasan hutan yang menemui jalan buntu.
Apa Yang Dapat Diupayakan ? Dari sisi Pemerintah kiranya diperlukan beberapa upaya yang harus diambil, upaya tersebut antara lain: a. Mengidentifikasikan kembali semua peraturan perundangan bidang kehutanan yang terkait dengan penataan ruang kehutanan dan tenurial. Kemudian melakukan kajian dan penelaahan yang mendetail terhadap peraturan tersebut. b. Mengidentifikasi keragaman masyarakat adat yang ada di dalam dan sekitar hutan seluruh Indonesia, termasuk deskripsinya (sejarahnya, pola kehidupannya, kekerabatannya, peraturan adatnya dsb). Kemudian memetakannya dalam kawasankawasan hutan yang telah ditunjuk oleh Pemerintah. c. Melakukan dialog intensif dengan LSM/NGO dan Pakar/Pergurauan Tinggi yang concern dengan permasalahan tenurial. Termasuk merumuskan secara lebih konkret kriteria-kriteria umum maupun khusus apa itu masyarakat adat dan apa itu hutan adat, tentunya dalam konteks Indonesia. d. Mengkaji implikasi sosial, ekonomi dan politik adanya permasalahan tenurial dalam kawasan hutan terhadap hak atau ijin yang telah diterbitkan oleh Pemerintah. e. Melakukan evaluasi komprehensif terhadap skema-skema kebijakan atau kegiatan-kegiatan atau proyek Pemerintah yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. f. Menjadikan “permasalahan tenurial” sebagai suatu bagian dari fokus perhatian dalam pengambilan-pengambilan kebijakan pengelolaan dan pembangunan kehutanan. Karena “permasalahan tenurial” yang tidak terpecahkan akan menjadi salah satu hambatan bagi kemajuan pengelolaan dan pembangunan kehutanan. g. Melakukan kajian-kajian dan riset bidang hukum terkait tenurial dan mencoba merumuskan rancangan/konsep peraturan perundangan untuk perbaikan dan penyempurnaan peraturan perundangan kehutanan di masa yang akan datang.
# *) Perencana Madya pada Badan Planologi Kehutanan Halaman
15
LOG
Nomor 02, Juni 2006
Oleh : Haris Surono Wardi Atmodjo *)
PLAN
BULETIN
Pembangunan Kehutanan Partisipatif 1.
2.
3.
4.
5.
Salah satu akar masalah yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan adalah masalah kemiskinan masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Sesuai data dari Natural Resource Management III Project/USAID (2005), bahwa di antara 48,8 juta penduduk yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan negara, lebih kurang 10,2 juta orang (21%) adalah kaum miskin, 6,0 juta di antaranya hidup bergantung pada hasil hutan. Tekanan kemiskinan yang demikian besar itu pada akhirnya akan berdampak negatif pada kelestarian hutan, karena menjadi faktor pemicu terjadinya perambahan kawasan, penebangan liar dan perdagangan kayu secara illegal. Untuk terciptanya situasi yang kondusif bagi penyelenggaraan pembangunan kehutanan yang berbasis masyarakat (community based development), diperlukan berbagai prasyarat. Pemihakan (enabling), kepercayaan dan keberanian pemerintah untuk memposisikan masyarakat desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan ( baik hutan konservasi, hutan lindung maupun hutan produksi ), yang umumnya mayoritas sebagai petani, adalah merupakan prasyarat utama. Konkretnya, bahwa sumber daya manusia (SDM) petani tersebut seharusnya menempati posisi yang paling strategis, yakni diperankan sebagai pelaku dan penggerak utama pembangunan kehutanan (prime mover of forestry development). Komitmen seperti itulah menjadi kunci pertama dan utama yang akan menentukan keberhasilan pembangunan kehutanan. Untuk itu dalam menetapkan kebijakan pembangunan kehutanan yang benar-benar berbasis kerakyatan, harus dirancang dan dirumuskan sedemikian rupa sehingga berawal dan berakhir pada petani di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Kebijakan seperti itulah yang akan mengubah paradigma “farmer last-top down” menjadi “farmer first-bottom up”. Dalam implementasi di lapangan hingga saat ini, program dan proyek pembangunan kehutanan masih banyak yang bersifat “top down and farmer last” dan dilaksanakan satu arah (linier) yaitu dengan pola “government to farmer”. Dalam situasi seperti itu, pembangunan kehutanan terkesan menjadi “paket instruksi” dari pemerintah kepada masyarakat petani, sehingga mereka masih diposisikan sebagai obyek pembangunan. Para petugas di lapangan belum sepenuhnya berperan sebagai fasilitator, namun masih bertugas sebagai “pelatih” atau “instruktur” dalam pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan kehutanan. Kondisi yang demikian itu besar kemungkinan dapat mematikan kreativitas dan dinamika internal masyarakat pedesaan, modal utama dalam proses pemberdayaan masyarakat. Penyelenggaraan kehutanan seperti tersebut di atas, telah menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi pelaksanaan kebijakan pembangunan kehutanan berbasis masyarakat yang bersifat partisipatif . Oleh karena itu diperlukan suatu paradigma pembangunan yang dipandang lebih tepat, yang memiliki karakteristik antara lain: § § § § §
6.
7.
Halaman
16
Digerakkan oleh masyarakat petani yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan ( baik hutan konservasi, hutan lindung maupun hutan produksi ). Bertumpu pada pengetahuan/kearifan/teknologi lokal (indigenous knowledge) dan kekuatan kerjasama (net working) antar petani. Diwadahi oleh suatu lembaga penyuluhan/pemberdayaan desa, yang berasal dari, oleh dan untuk masyarakat petani di dalam dan di sekitar kawasan hutan itu sendiri. Berwawasan agro-ekosistem, agrosilvo-bisnis, kelestarian hutan dan lingkungan. Bertumpu pada otonomi daerah.
Dengan karakteristik seperti itu, barulah dapat dinyatakan sebagai pembangunan kehutanan yang bersifat partisipatif. Pengertian 'partisipatif' dimaksud, bahwa masyarakat desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk menganalisis kehidupannya sendiri, sehingga mereka secara bertahap mampu menentukan rencana kegiatannya, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasinya secara mandiri, termasuk pengambilan keputusan di setiap tahap kegiatan. Untuk terselenggaranya pembangunan kehutanan partisipatif memerlukan perubahan yang mendasar dalam perumusan kebijakan, yaitu antara lain : § Pengambilan keputusan bersifat terdesentralisasi di masyarakat, sesuai potensi dan masalah masing-masing desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan. § Pendekatan pembangunan, dari “top-down” yang berawal dari pemerintah dan berakhir pada petani, menjadi “bottom-up” yang berawal dan berakhir pada petani di dalam dan di sekitar kawasan hutan. § Model pelaksanaan pembangunan, dari alih teknologi dibebankan kepada para petugas lapangan yang bersifat linier, menjadi proses berbagi pengetahuan, pengalaman, penemuan, dan ketrampilan yang bersifat interaktif. § Strategi pembangunan, dari bersifat penyeragaman menjadi bertumpu pada potensi dan kebutuhan masyarakat desa setempat (local specific). § Sumber informasi dan teknologi, dari mengandalkan pada lembaga-lembaga pemerintah yang terbatas, menjadi bersumber lebih luas yaitu dari sesama petani, dunia usaha, LSM, lembaga pendidikan, lembaga penyuluhan dan pusatpusat penelitian. § Peran para petugas lapangan ( PKL, PPL, POLHUT, PEH ), dari mengajar/melatih menjadi fasilitator dan berfungsi sebagai pendamping dan dinamisator masyarakat pada proses penyuluhan kehutanan partisipatif yang dilakukan sendiri oleh masyarakat desa setempat. § Metode pelatihan, dari bentuk ceramah dan demonstrasi dengan pola “government to farmer” menjadi belajar bersama melalui pengalaman dan penemuan dengan pola “farmer to farmer”. § Program pembangunan kehutanan, dari berorientasi sektor menjadi program terpadu ( kehutanan, pertanian tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perkebunan, dan perikanan ) dan memfokuskan perhatian pada kebutuhan para petani dan keluarganya ( bapak, ibu, anak ), khususnya keluarga petani miskin.
Nomor 02, Juni 2006
2.
Proses Pemberdayaan Masyarakat Desa di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan.
LOG
3.
Sasaran pembangunan kehutanan berbeda dengan pembangunan pertanian pada umumnya. Pembangunan kehutanan seharusnya berfokus kepada masyarakat desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Masyarakat desa yang umumnya petani dimaksud berada pada tatanan struktur sosial tertentu, dan interaksi dengan lingkungannya (termasuk dengan kawasan hutan) akan mempengaruhi sistem usaha tani mereka. Penyelenggaraan pembangunan kehutanan seharusnya diarahkan pada upaya untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengelola usaha taninya, di dalam suatu sistem pengelolaan hutan yang lestari, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Agar masyarakat desa dimaksud benar-benar mampu sebagai pelaku dan penggerak utama pembangunan kehutanan, maka mereka perlu memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengembangkan potensinya guna memecahkan berbagai permasalahan usaha taninya, sehingga akan terwujud kemandirian masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, proses pemberdayaan masyarakat Desa di dalam dan di sekitar kawasan menjadi “kata kunci”nya, dan hal ini benar-benar perlu diperhatikan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Proses pemberdayaan masyarakat desa dimaksud, akan mencapai tujuan dan sasarannya, apabila didukung oleh penyelenggaraan penyuluhan yang bersifat partisipatif. Penyuluhan kehutanan itu sendiri, tidak lain adalah merupakan proses pemberdayaan guna meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan masyarakat sehingga menjadi tahu, mau dan mampu melakukan kegiatan pembangunan kehutanan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya.
BULETIN
1.
PLAN
Penyuluhan Kehutanan Partisipatif
Proses pemberdayaan masyarakat desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan ( baik hutan konservasi, hutan lindung maupun hutan produksi ) dapat digambarkan sebagaimana bagan terlampir, yaitu dengan urutan kegiatan sebagai berikut : (1) Pelatihan Calon Fasilitator Pengkajian Desa Secara Partisipatif ( Participatory Rural Appraisal - PRA ), dengan peserta : Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL), Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), Polisi Kehutanan (POLHUT), dan Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) yang akan ditugaskan sebagai tenaga penyuluh. Para fasilitator pelatihan ini yaitu : Penyuluh Kehutanan Ahli (PKA) dan Penyuluh Pertanian Ahli (PPA), yang telah memahami proses PRA. (2) Pelaksanaan PRA oleh masyarakat desa itu sendiri; kegiatan ini dilakukan oleh Tim PRA yang terdiri dari para pemuda/pemudi dan tokoh-tokoh masyarakat. Para fasilitator : PKL, PPL, POLHUT, PEH. Hasil PRA adalah berupa : Profil Keluarga, Profil Kelompok dan Profil Desa. Profil adalah gambaran tentang kehidupan, kebiasaan, kecenderungan, kebutuhan, potensi, masalah, dan aspirasi, baik dari keluarga, kelompok maupun masyarakat Desa. (3) Penyusunan Rencana Usaha Keluarga (RUK), Rencana Kegiatan Kelompok (RKK), Rencana Kegiatan Desa (RKD), yang bersifat terpadu (kehutanan, pertanian tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perkebunan, dan perikanan). Dalam RKD disebutkan antara lain : jenis kegiatan, lokasi, waktu pelaksanaan, sumber pembiayaan, penanggungjawab, dan pengawas. (4) Penyusunan Rencana Kegiatan Penyuluhan Desa (RKPD) yang bersifat terpadu ( kehutanan, pertanian, perikanan ). (5) Pembangunan lembaga penyuluhan/pemberdayaan Desa yang bersifat terpadu. Lembaga/organisasi ini dibentuk atau dikembangkan berdasarkan hasil musyawarah masyarakat Desa melalui dialog multipihak. Pihak-pihak yang terkait antara lain : Kepala Desa, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), para Kepala Dusun/Kampung, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), PKL, PPL, POLHUT, PEH, penyuluh sektor lain, tokoh-tokoh masyarakat ( adat, wanita, pemuda, agama, pendidikan, dll. ), LSM, dunia usaha, dan Kelompok-kelompok Tani. (6) Penyusunan Rencana Kegiatan Penyuluhan Kehutanan Desa (RKPKD), yang mendasarkan pada RKPD. Untuk tahap awal penyusunan RKPD masih diperlukan bantuan fasilitator (PKL, PPL, POLHUT, PEH). Namun setelah itu seyogyanya benarbenar penyusunannya dilakukan oleh masyarakat Desa sendiri, dengan difasilitasi oleh pengurus dan anggota lembaga penyuluhan/pemberdayaan Desa. (7) Penyusunan Rencana Kegiatan Penyuluhan Kehutanan tingkat Kecamatan/Kabupaten/Balai Taman Nasional/ Balai KSDA. (8) Pelaksanaan penyuluhan kehutanan. (9) Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan penyuluhan kehutanan. __________________ *) Forester berdomisili di Bogor, tengah berupaya menjadi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat Desa
Halaman
17
Nomor 02, Juni 2006
LOG
PELAKSANAAN DAN HASIL RUMUSAN :
DIALOG DAN WORKSHOP REVITALISASI SEKTOR KEHUTANAN Dirangkum Oleh : Tedi Setiadi *)
PLAN
BULETIN
Latar Belakang dan Tujuan
Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan, telah berupaya menangani permasalahan di bidang kehutanan antara lain dengan menetapkan kebijakan prioritas sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 456/Menhut-VII/2004, yang menetapkan 5 (lima) Kebijakan Prioritas Bidang Kehutanan dalam Program Pembangunan Nasional Kabinet Indonesia Bersatu yang akan menjadi landasan dan pedoman bagi pemerintah pusat maupun daerah serta pelaku pembangunan kehutanan lainnya, yaitu: 1) Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu illegal, 2) Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan, 3) Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan, 4) Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan, serta 5) Pemantapan Kawasan Hutan. Secara nasional, Presiden RI pada tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur telah mencanangkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan dalam rangka mewujudkan 'Tripple Strategy' bidang ekonomi pemerintahan Indonesia Bersatu SBY-JK, yaitu: 1) Pertumbuhan 6,6 persen per tahun, 2) Menggerakkan kembali sektor riil, dan 3) Revitalisasi pertanian dan perekonomian pedesaan. Revitalisasi Pertanian Perikanan Kehutanan (RPPK) bertujuan untuk mengurangi kemiskinan, mengurangi pengangguran, meningkatkan daya saing usaha dan produk, membangun ketahanan pangan, membangun pedesaan, membangun daerah dan mengurangi ketimbangan antar wilayah, serta membangun kesinambungan kegiatan pertanian perikanan kehutanan berikut melestarikan lingkungan hidup di Indonesia. Revitalisasi sektor kehutanan yang merupakan bagian integral dari Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) diarahkan untuk mempercepat terwujudnya penyelenggaraan kehutanan yang menjamin kelestarian hutan bagi kemakmuran rakyat serta untuk membangun kondisi industri kehutanan untuk berperan kembali sebagai salah satu penggerak perekonomian nasional melalui Pengelolaan Hutan Lestari, yang dicirikan pada beberapa indikator: Nilai tambah industri kehutanan, Penyerapan tenaga kerja, Peningkatan devisa, Peningkatan ekonomi wilayah, Kesejahteraan masyarakat, Efisien dan kompetitif, Perbaikan koalitas SDH. Untuk menjalankan revitalisasi sektor kehutanan, dukungan dan komitmen para pihak di sektor kehutanan maupun sektor-sektor terkait memegang peranan penting dan strategis. Sejalan dengan hal tersebut, untuk mengembangkan komitmen dan terumuskannya arah dan kebijakan revitalisasi sektor kehutanan yang lebih komprehensif, rasional dan layak untuk diimplementasikan, maka Departemen Kehutanan melalui Badan Planologi Kehutanan telah menyelenggarakan dialog dan workshop revitalisasi sektor kehutanan dengan tema : “ Melalui pengelolaan Hutan Lestari dapat mempercepat terwujudnya penyelenggaraan
kehutanan yang menjamin kelestarian hutan bagi kemakmuran rakyat serta untuk membangun kondisi industri kehutanan sebagai salah satu penggerak perekonomian nasional “ Tujuan penyelenggaraan dimaksud adalah untuk : 1). Memperoleh gambaran obyektif mengenai situasi dan kondisi serta permasalahan dalam penyelenggaraan kehutanan; 2) Merumuskan arah dan kebijakan revitalisasi sektor kehutanan khususnya pada pengembangan beberapa komoditi strategis kehutanan; 3). Merumuskan investasi dan pembiayaan serta infrastruktur yang dibutuhkan dan insentif teknis maupun regulasi yang dapat mendorong revitalisasi sektor kehutanan ; 4). Membangun komunikasi, kesepahaman dan komitmen para pihak untuk mewujudkan langkah-langkah revitalisasi sektor kehutanan. Adapun hasil yang diharapkan adalah : 1). Informasi potensi dan kondisi sektor kehutanan di 19 Provinsi; 2). Arah dan kebijakan revitalisasi sektor kehutanan ; 3). Rencana investasi dan pembiayaan, kebutuhan infrastruktur dan insentif teknis dan regulasi yang dikembangkan bagi revitalisasi sektor kehutanan; 4). Komitmen dan rekomendasi para pihak untuk mewujudkan revitalisasi sektor kehutanan.
Pelaksanaan Pelaksanaan kegiatan Dialog dan Workshop Revitalisasi Sektor Kehutanan berlangsung selama 1 (satu) hari tanggal 19 April 2006. Dialog dilaksanakan secara terbatas di Ruang Rapat Utama Dephut Blok I Lantai IV yang dihadiri oleh Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur dan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi terkait, Eselon I lingkup Dephut, Direktur Utama BUMN Kehutanan, dan beberapa asosiasi. Sedangkan Workshop Revitalisasi Sektor Kehutanan dilaksanakan di Hotel Sahid Jaya, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 86, Jakarta Pusat. Workshop Revitalisasi Sektor Kehutanan dilaksanakan setelah dialog dan dihadiri oleh 182 orang peserta Diskusi melibatkan sekitar 182 peserta yang meliputi 19 Gubernur dan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi, unsur Eselon I lingkup Departemen Kehutanan, departemen/instansi terkait, beberapa fakultas kehutanan, LSM, beberapa donor, asosiasi dan swasta kehutanan, dengan perincian sebagai berikut : Proses Dialog dan Diskusi meliputi berbagai tahapan : · Dialog diawali sambutan oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Dalam Negeri. · Setelah sambutan dilanjutkan dialog langsung antara Menteri Kehutanan dan Menteri Dalam Negeri dengan 19 Gubernur dan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi terkait Revitalisasi Sektor Kehutanan · Setelah istirahat acara dilanjutkan dengan workshop di Hotel Sahid Jaya yang didahului presentasi tentang Kebijakan dan Strategi Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) dan Infrastruktur RPPK oleh Kantor Menko perekonomian dan presentasi Kepala Badan Planologi Kehutanan tentang Kebijakan Revitalisasi Sektor Kehutanan. · Presentasi oleh Gubernur dan diskusi kelompok. · Diskusi kelompok diakhiri dengan penyusunan rangkuman hasil diskusi dan perumusan kelompok, oleh Tim Perumus Kelompok. · Rangkuman hasil diskusi kelompok dan rumusan kelompok dipaparkan secara terbuka pada pleno, selanjutnya dibahas dalam diskusi dan dilanjutkan dengan perumusan/rekomendasi akhir. · Penutupan oleh Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan.
Halaman
18
Nomor 02, Juni 2006
1.
2.
4.
5.
6.
7.
8.
LOG
3.
Sumberdaya hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia merupakan sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat yang patut disyukuri, dipertahankan keberadaan dan daya dukungnya secara optimal serta diurus dengan akhlak mulia. Selama tiga dekade pada era ORBA sektor kehutanan mempunyai kontribusi nyata sebagai salah satu penggerak perekonomian nasional. Peran tersebut kini meredup, seiring semakin kompleksnya permasalahan dan kejahatan kehutanan yang menghancurkan SDH. Saat ini kondisi kawasan hutan sangat memprihatinkan dengan laju deforestasi yang tinggi sehingga menjadi perhatian masyarakat internasional. Sektor Pertanian, Perikanan dan Kehutanan masih menjadi tumpuan dalam pembangunan nasional karena kontribusinya yang nyata (signifikan) pada Produk Domestik Bruto (PDB) termasuk perannya dalam penyerapan tenaga kerja, devisa negara dan pertumbuhan serta pembangunan ekonomi wilayah. Untuk meningkatkan kembali peran ketiga sektor tersebut, Pemerintah telah mencanangkan kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan pada 11 Juni 2005 di Jatiluhur Jawa Barat. Memahami kondisi dan permasalahan di sektor kehutanan serta dalam rangka memanfaatkan momentum Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK), peserta dialog dan workshop Revitalisasi Sektor Kehutanan sepakat untuk bekerjasama membangun sektor kehutanan yang kokoh, sekaligus mendukung terwujudnya Tripple Strategy Bidang Ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu (pertumbuhan 6,6% per tahun, menggerakkan kembali sektor riil, revitalisasi pertanian dan perekonomian pedesaan). Sebagai bagian integral dari RPPK Nasional, Revitalisasi Sektor Kehutanan diarahkan untuk membangun industri kehutanan agar berperan kembali sebagai salah satu penggerak perekonomian nasional yang dicirikan oleh peningkatan nilai tambah industri kehutanan, penyerapan tenaga kerja, peningkatan devisa dan peran dalam ekonomi wilayah, kesejahteraan masyarakat, efisiensi, kompetitif dan perbaikan kualitas SDH. Revitalisasi Sektor Kehutanan merupakan kebijakan tepat dan didukung alasan : a. Menurunnya peran sektor kehutanan dalam perekonomian nasional yang pada Era ORBA menjadi salah satu penggerak perekonomian nasional. b. Kawasan hutan seluas 120,35 juta ha, merupakan sumberdaya yang kaya akan keanekaragaman hayati dan mempunyai potensi tinggi untuk dikembangkan. c. Permintaan pasar (lokal dan global) terhadap produk industri hasil hutan cenderung meningkat. d. Industri hasil hutan Indonesia cukup kompetitif dan dapat bersaing di pasar global (mempunyai daya saing yang tinggi). e. Luasnya kawasan hutan yang perlu direhabilitasi dikhawatirkan berdampak negatif pada lingkungan hidup dan kehidupan sosekbud masyarakat. f. Terdapat sekitar 48,8 juta orang hidup di sekitar kawasan hutan dan sekitar 10,2 juta orang diantaranya miskin yang berdampak pada kelestarian hutan g. Secara global, hutan Indonesia merupakan faktor penting yang menjadi salah satu perhatian utama (sektor kehutanan pekat dengan unsur politis).
BULETIN
Memperhatikan arahan Menteri Kehutanan dan Menteri Dalam Negeri, butir-butir dialog Menteri Kehutanan dan Menteri Dalam Negeri dengan 19 Gubernur dan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi yang mengurusi Kehutanan, paparan Deputi II Kantor Menko Bidang Perekonomian, paparan Kepala Badan Planologi Kehutanan, paparan Gubernur, dan hasil diskusi kelompok, maka telah tersusun rumusan hasil pertemuan yaitu sebagai berikut :
PLAN
RUMUSAN DIALOG DAN WORKSHOP REVITALISASI SEKTOR KEHUTANAN
Tiga jenis komoditi sektor kehutanan yang akan dikembangkan dalam rangka Revitalisasi Sektor Kehutanan adalah pembangunan hutan tanaman, termasuk hutan tanaman rakyat (seluas 5 juta ha), pengembangan hasil hutan non kayu serta pengembangan jasa lingkungan dan wisata alam. Untuk mewujudnya tujuan revitalisasi sektor kehutanan, diperlukan investasi (pemerintah dan swasta) serta dukungan infrastruktur yang layak. Mengingat keterbatasan anggaran Pemerintah (APBN dan APBD), maka perlu keterlibatan investor secara nyata. Untuk itu perlu diciptakan iklim investasi yang kondusif agar mendorong investor masuk. Beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan secara sinergi antara Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah adalah : a. Menyusun kebijakan yang akrab pada investor (investor friendly). Sejalan hal tersebut, perlu dilakukan legal audit dan revisi beberapa peraturan perundangan yang menghambat investasi dan pemberdayaan masyarakat al. PP No. 34/2002, PP 18/1994, PP 68/1994, PP No. 35/2002, Permen/Kepmen turunan dari PP tersebut serta peraturan yang diterbitkan daerah (Perda). b. Segera menyusun lokasi pembangunan hutan tanaman (termasuk hutan tanaman rakyat), pengembangan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan/wisata alam termasuk infrastruktur dan biaya yang dibutuhkan. c. Menyusun kebijakan pemantapan kawasan hutan sebagai prakondisi untuk menjamin keberlangsungan usaha. Untuk itu pemerintah Pusat dan Daerah akan mendorong terwujudnya pengelolaan kawasan hutan yang lestari dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sesuai dengan fungsinya. d. Pembangunan hutan tanaman diarahkan melibatkan masyarakat secara optimal melalui hutan tanaman rakyat. Dari sisa target hutan tanaman yang belum terbangun (sampai 2009) sekitar 2,5 juta ha, minimal 50% diusahakan oleh atau bersama rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. e. Departemen Kehutanan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah akan mencabut ijin pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan perkebunan yang tidak dikembangkan sehingga menjadi lahan tidur dan akan melelang (memberikan) kepada pihak yang serius untuk mengusahakannya. f. Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah perlu mengalokasikan anggaran untuk kegiatan yang bersifat prakondisi pada lokasi yang akan dikembangkan guna menarik investor menanamkan modalnya. Sinergi anggaran dapat dilakukan melalui diskusi maupun pertemuan seperti Rakorenbanghutda, Rakoreg, Rakontek, Musrebang, Rakernas, dsb. g. Dana Reboisasi perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk pembangunan hutan oleh karena itu upaya pembentukan lembaga keuangan alternatif (LKA) untuk mengelola Dana Reboisasi guna membiayai pembangunan hutan perlu segera direalisasikan. h. Penjabaran UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam bentuk PP sebagai pengganti PP No. 25 tahun 2000 khususnya menyangkut penanganan urusan (wewenang) perlu diupayakan untuk segera diterbitkan sebagai pegangan bagi para pihak di Pusat dan Daerah. 9. Untuk memberikan arah pembangunan sektor kehutanan khususnya kebijakan Revitalisasi Sektor Kehutanan, perlu disusun blue print dan Kebijakan Revitalisasi Sektor Kehutanan yang disepakati para pihak. Disamping itu perlu upaya untuk meningkatkan komunikasi (networking) antara Pusat dan Daerah, mendorong serta memfasilitasi penguatan kelembagaan dan kualitas SDM kehutanan di daerah serta meningkatkan koordinasi lintas sektor dan parapihak. Halaman
19
PLAN
BULETIN
LOG
Nomor 02, Juni 2006
Dampak Aksi Boikot Ekspor Pulp dan Kertas Indonesia: Analisis Simulasi Tekanan Internasional Oleh: Bambang Widyantoro *) Tujuan paper ini adalah untuk menganalisis tekanan internasional berupa aksi boikot ekspor pulp dan kertas Indonesia. Dengan menggunakan analisis ekonometrik persamaan simultan. Model disusun dengan 40 persamaan, diolah dengan SAS metode 2-SLS. Hasilnya, industri pulp Indonesia akan defisit sekitar Rp300 miliar per tahun. Devisa pulp dan kertas turun rata-rata US$83 juta, provisi dan pajak juga turun Rp120 miliar per tahun. Produsen BBS dan kertas masih mendapatkan surplus. Secara keseluruhan tidak menurunkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Untuk menghindari aksi boikot, Indonesia perlu berbenah dalam pengelolaan hutan, kilangpulp dan kertas. Sudah saatnya diperlukan sertifikasi yang mencerminkan adanya kelola ekonomi, sosial dan lingkungan.
I.
Pendahuluan
Indonesia saat ini berturut-turut menempati posisi ke-9 dan ke-12 sebagai negara pengekspor pulp dan kertas terbesar dunia. Dalam 10 tahun terakhir, rata-rata ekspor pulp dan kertas mencapai berturut-turut sebesar 1.6 juta ton dan 1.7 juta ton (APPI, 2005) Negara pengimpor pulp Indonesia terbesar adalah China, disusul Jepang dan Korea Selatan. Industri pulp dan kertas Indonesia akan menjadi andalan ekspor di masa mendatang (Ibnusantoso, 1999). Namun, hingga saat ini terdapat ganjalan adanya isu boikot ekspor pulp dan kertas yang dimotori oleh Jepang, negara-negara Eropa dan Amerika Utara (ADB, 2000). Perkembangan kini bahwa negara-negara Amerika Utara sedang mengalami penurunan yang drastis akibat kurangnya ketersediaan BBS untuk input kilangpulp. Ancaman boikot bisa saja menjadi kenyataan yang akhirnya akan merugikan industri pulp dan kertas Indonesia. Masalah ini harus diantisipasi oleh perusahaan-perusahaan dan Pemerintah agar tidak memperoleh dampak negatif. Kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan akan dianalisa dengan menggunakan ekonometrik. Analisa selanjutnya adalah pada perubahan-perubahan ukuran kesejahteraan ekonomi masyarakat Indonesia, meliputi perubahan-perubahan terhadap surplus produsen dan surplus konsumen. Perubahan lainnya juga diukur terhadap penerimaan negara (devisa), provisi sumberdaya hutan (PSDH) dan pajak-pajak pemerintah.
II. Metoda Data seri diperoleh dari berbagai sumber, seperti BPS, Departemen Kehutanan dan FAO, sejak tahun 1984-2005 (selama 22 tahun). Metoda analisa yang digunakan adalah ekonometrik dengan persamaan dinamis dan simultan. Terdapat 40 persamaan struktural yang terdiri dari 25 persamaan perilaku,10 persamaan identitas, 5 persamaan instrumen kebijakan. Pengolahan data dengan menggunakan two-stage least squares (2-SLS) untuk mengurangi bias nilai residualnya (Sinaga, 1985). Program software SAS (Statistical Analysis System) digunakan untuk mempermudah operasi pengolahan data. Hipotesis diuji dengan uji statistik yang meliputi uji heteroskedastisitas, multikolinieritas, auto-korelasi dan bentuk fungsi persamaan-persamaan dalam konstruksi model (Koutsoyiannis, 1977). Untuk menganalisis perubahan kesejahteraan digunakan analisis surplus produsen dan konsumen setiap sektor. Perubahan diukur menurut naik-turunnya indikator tersebut dibanding dengan nilai dasar sebelum dilakukan simulasi. Hasilnya dituangkan dalam tabel-tabel yang merupakan hasil kajian setiap sektor dan produk pulp dan kertas.
III. Hasil-hasil Kajian Jika aksi boikot ekspor pulp (bubur kertas) Indonesia yang dimotori oleh Jepang benar-benar terjadi, maka Indonesia akan merugi (losses): surplus produsen dan penerimaan total industri pulp menurun berturut-turut sebesar Rp302 miliar dan Rp710 miliar per tahun. Jumlah ini mewakili transfer pendapatan implisit dari konsumen bahan baku serpih (pengolah domestik) terhadap produsen bahan baku serpih (perusahaan small logs atau HTI-pulp'). Tidak saja industri pulp yang terkena dampak negatif dari aksi boikot tersebut, namun juga penerimaan negara berupa devisa yang berasal dari ekspor pulp dan pajak/provisi sumberdaya hutan turun berturut-turut sekitar US$12.35 juta (= Rp110 miliar, kurs 1 US$ = Rp9000,-) dan Rp120.31 miliar per tahun. Sektor BBS dan kertas masih memperoleh surplus, hanya karena konsumsi domestik BBS dan kertas yang meningkat. Dampak negatif terbesar tampaknya pada industri pulp. Di Indonesia terdapat 10 unit kilangpulp dengan kapasitas produksi yang bervariasi, yaitu antara 40 ribu ton hingga 1 juta ton pulp per tahun. Jadi, rata-rata setiap perusahaan pulp di Indonesia akan menderita penurunan surplus produsen dan penerimaan total berturut-turut Rp30 miliar dan Rp70 miliar. Jika nilai ini 1% saja dapat ditransfer ke unit HTI-pulp sebagai sumber bahan-bakunya, maka hanya Rp300 juta untuk menghindari kemungkinan aksi boikot tersebut. Kerugian ini tidak main-main karena andalan ekspor hasil olah kayu kecil dari Indonesia di masa depan tertumpu pada komoditas ini.
3.1. Perubahan dalam Sektor Bahan Baku Serpih Pemboikotan tersebut tidak merubah Indonesia dalam memproduksi bahan baku serpih dari HTI-pulp dan HA, bahkan naik, yaitu pada produksi rata-rata 15.5 juta ton, walaupun harga bahan baku serpih mencapai US$30/ton (f.o.b) dan sejumlah produksi ini disuplai untuk kilangpulp. Halaman
20
Nomor 02, Juni 2006
14 800 0 700 0 0
0 2 380 0 0 2 130
0 4 230 0 0 1 580
Kertas 680 5 570 -12 6 408 1 610 3 798 0 0 840 2 958 0
BULETIN
0 279 30 15 500 0 15 500
PRODUK Pulp Kertas Bekas 454 0 3 520 50 -5 0 4 500 1 650 1 120 0 2 380 1 650
BBS
LOG
URAIAN (Unit) Harga ekspor (US$/ton) Harga domestik (1000 Rp/ton) Intervensi harga Domestik (%) Produksi (1000 ton) Kuantitas ekspor (1000 ton) Suplai domestik (1000 ton) Konsumsi (1000 ton) Kilangpulp Kilangkertas Lainnya Akhir Impor (1000 ton)
PLAN
Tabel 1. Perubahan Rata-rata yang Disebabkan oleh Pemboikotan Ekspor Pulp dan Kertas Indonesia, Tahun Simulasi 1995-2005
Perubahan pada kuantitas BBS yang diproduksi tidak menyebabkan perubahan konsumsi BBS untuk kilangpulp, yaitu sebesar 14.8 juta ton, namun untuk penggunaan lain naik menjadi 700 ribu ton (2.75%). Pemboikotan mengakibatkan perubahan kebijakan produksi dan suplai di dalam negeri karena kebutuhan akan pulp dan kertas domestik relatif besar dan belum seluruhnya dapat dipenuhi, baik dalam negeri maupun luar negeri. 3.2. Perubahan dalam Sektor Pulp dan Kertas Perubahan yang ada adalah menurunkan produksi pulp menjadi sebesar 4.5 juta ton (7.1%). Ini disebabkan terutama oleh 'keterpaksaan' perusahaan untuk menurunkan produksi pulp yang sebagian besar diekspor. Di lain pihak, produksi kertas naik menjadi sebesar 6.4 juta ton (21.25%) karena tuntutan pabrik yang harus tetap berproduksi. Tambahan pulp sebagai input, terutama dari impor pulp meningkat menjadi 2.1 juta ton (167.92 %) dan impor kertas bekas turun menjadi 1.58 juta ton (3.70%). Volume suplai pulp dalam pasar domestik turun menjadi 2.7 juta ton (10.10%) dan ekspor pulp dari Indonesia turun sedikit, yaitu menjadi sebesar 1.5 juta ton ton (2.57%). Di lain pihak, suplai kertas dalam pasar domestik tetap, yaitu 4.8 juta ton dan ekspor kertas dari Indonesia turun, yaitu menjadi 1.6 juta ton ton (9.87%). Hasil-hasil tersebut memberikan sinyal yang kuat bahwa dengan adanya pemboikotan, maka baik suplai pulp maupun kertas lebih ditujukan untuk pasar domestik. Tabel 2. Perubahan Rata-rata pada Surplus Produsen, Penerimaan Total, Penerimaan Pemerintah, Dan Devisa akibat Pemboikotan Ekspor Pulp dan Kertas Indonesia, Tahun Simulasi 1995-2005.
PRODUK
Bahan Baku Serpih Pulp Kertas Kertas Bekas Jumlah
PERUBAHAN DALAM Penerimaan Penerimaan Total Provisi dan Pajak ----------------- (Miliar Rp) --------------891.38 693.49 120.31 -302.55 -710.95 -61.19 48.31 851.86 385.19 -5.75 -2.79 -0.08 631.39 831.61 404.22 Surplus Produsen
Penerimaan Devisa (Juta US $) 0 -12.35 -71.63 0 -83.98
Tabel 3. Perubahan Rata-rata dalam Surplus Konsumen dan Pengeluaran Konsumen akibat Pemboikotan Ekspor Pulp dan Kertas Indonesia, Tahun Simulasi 1995-2005
PRODUK BBS untuk kilangpulp Pulp untuk kilangkertas Kertas Kertas Bekas untuk kilang-kertas Jumlah
PERUBAHAN DALAM Surplus Pengeluaran Konsumen Konsumsi ----------------- (Miliar Rp) ----------------661.26 665.38 173.75 1 514.70 21.65 -543.09 -3.18 -1.48 -469.04 2 721.70
Halaman
21
PLAN
BULETIN
LOG
Nomor 02, Juni 2006
3.3. Perubahan Harga Harga ekspor pulp dan kertas turun tajam, yaitu menjadi berturut-turut sebesar sekitar US$454/ton dan US$680/ton, karena bergesernya suplai ekspor pulp dan kertas Indonesia. Dalam pasar domestik, harga pulp turun hampir sebesar Rp120 000/ton sebagai akibat perluasan atau ekspansi dalam suplai pulp yang diikuti oleh kontraksi permintaan pulp. Konsekuensinya adalah dengan meningkatkan konsumsi pulp sebesar 1.4 juta ton (41.63%), atau menjadi 2 380 ribu ton. Harga kertas domestik naik sebesar Rp15 000/ton, hal ini diakibatkan oleh adanya pergeseran/ekspansi permintaan kertas domestik. Konsekuensinya adalah dengan meningkatkan konsumsi kertas rata-rata sebesar 520 ribu ton, sehingga konsumsi kertas naik menjadi sebesar 2 958 ribu ton (15.9%). Seperti halnya pada pasar BBS, perubahan harga pulp dalam pasar domestik dan dunia direfleksikan oleh kenaikan dalam tingkat intervensi harga sekitar Rp120 000/ton. Turunnya harga ekspor pulp yang diukur dalam nilai uang domestik tidak secara penuh dikompensasikan oleh tingkat intervensi dalam pasar pulp seperti yang diindikasikan oleh turunnya harga pulp domestik. Turunnya harga ekspor kertas yang diukur dalam nilai uang domestik dikompensasikan dengan kenaikan konsumsi domestik yang lebih tinggi. 3.4. Provisi Sumberdaya Hutan dan Pajak Penerimaan provisi sumberdaya hutan dan pajak pada periode simulasi naik rata-rata sebesar Rp404.22 miliar per tahun, yang terdiri atas sektor BBS naik sebesarRp120.31 miliar, dari sektor pulp turun sebesar Rp61.19 miliar, kertas naik sebesar Rp385.19 miliar, dan dari sektor kertas bekas turun sebesar Rp0.08 miliar per tahun. Ini mengindikasikan bahwa penurunan pajak dan provisi sumberdaya hutan dari sektor pulp dan kertas dikompensasikan oleh penerimaan pajak dari sektor BBS dan kertas bekas. Tampak bahwa tekanan internasional ini tidak merugikan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Namun diperkirakan lambat laun akan memperoleh dampak negatif, ketika konsumsi domestik pulp dan kertas mengalami kejenuhan. Memang, kondisi saat ini permintaan di pasar domestik masih besar. 3.5. Perolehan Devisa Kontraksi dalam suplai pulp dan kertas ekspor menghasilkan penurunan devisa dari ekspor produk olahan (pulp dan kertas) sebesar US$79.98 juta, yang terdiri dari ekspor pulp yang turun sebesar US$12.35 juta dan dari ekspor kertas naik sebesar US$71.63 juta per tahun. Turunnya penerimaan devisa dari sektor kertas diakibatkan oleh kontraksi suplai kertas ekspor dan kenaikan harga eskpor. Di sini tampak bahwa tekanan internasional sangat merugikan terutama pada sektor ekspor pulp dan kertas. 3.6. Manfaat (Gains) dan Kerugian (Losses) Produksi bahan baku serpih menjadi lebih tinggi setelah adanya pemboikotan pulp dan kertas, dengan tetap mendasarkan pada penetapan kenaikan harga bahan baku serpih sebesar 30% dan penurunan harga pulp sebesar 5%. Jadi, perusahaan bahan baku serpih (small logs) memperoleh manfaat (gains) dari kondisi ini, diindikasikan oleh naiknya produsen surplus dan penerimaan total rata-rata berturut-turut sebesar Rp691.38 miliar dan Rp693.49 miliar per tahun. Sebaliknya, kilangpulp domestik menderita kerugian, diindikasikan oleh turunnya surplus produsen dan penerimaan total berturut-turut sebesar Rp252.55 miliar dan Rp611.95 miliar per tahun. Di pihak lain, kilang-kertas memperoleh manfaat dengan memperoleh tambahan produsen surplus dan penerimaan total berturut-turut sebesar Rp28.31 miliar dan sebesar Rp2 851.86 miliar per tahun. Di sisi lain, sektor kertas bekas menderita kerugian (losses), diindikasikan dengan turunnya produsen surplus yaitu sebesar Rp1.75, sedangkan penerimaan total naik sebesar Rp0.79 miliar per tahun. Pada sisi konsumen, kilangpulp menderita kerugian yang diindikasikan dengan turunnya surplus konsumen rata-rata sebesar Rp661.26 miliar per tahun, yang dihasilkan dari kombinasi harga dan tingkat konsumsi yang lebih tinggi pada bahan baku serpih. Jumlah ini mewakili transfer pendapatan implisit dari konsumen bahan baku serpih (pengolah domestik) terhadap produsen bahan baku serpih (perusahaan small logs). Kilangkertas memperoleh manfaat, yaitu dengan naiknya surplus konsumen kertas sebesar Rp173.75 miliar, sedangkan dari sektor kertas bekas menderita kerugian, yaitu surplus konsumen turun sebesar Rp3.18 miliar per tahun. Di lain pihak, konsumen kertas domestik masih memperoleh manfaat dengan naiknya surplus konsumen sebesar Rp21.65 miliar. Dengan demikian, manfaat bersih dari kondisi ini turun rata-rata sebesar Rp469.04 miliar per tahun, berarti bahwa kerugian yang diderita oleh kilangpulp dan konsumen kertas bekas (kilangkertas) tidak terkompensasikan oleh naiknya surplus konsumen yang diperoleh dari sektor lain. IV. 4.1.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan
Pemboikotan ekspor pulp dan kertas yang dimotori oleh secara umum mengkasilkan gambaran ekonomi domestik yang masih baik. Produksi BBS belum sesuai yang diharapkan, karena tidak seluruh hasil produksi dapat dikonsumsi oleh kilangpulp dan masih ada untuk penggunaan lain yang cukup besar. Dalam kondisi ini, kilangpulp adalah yang paling menderita; terjadi penurunan surplus konsumen dan penerimaan total yang cukup besar. Halaman
22
Nomor 02, Juni 2006 BULETIN
4.2.
PLAN
Sektor BBS dan kertas tidak banyak terpengaruh dengan adanya pemboikotan pulp dan kertas, karena baik konsumsi dan produksi produk ini masih memperoleh manfaat (gains) dengan naiknya masing-masing ukuran kesejahteraan tersebut. Pengaruh stimulatif pada produksi dan suplai domestik BBS, kertas tidak cukup untuk menutupi pengaruh negatif dalam penurunan harga domestik, walaupun terjadi ekspor pulp dan kertas ke negara selain Jepang dan Korea Selatan. Indonesia menderita kerugian penerimaan devisa dari sektor pulp dan kertas atas pemboikotan pulp. Distribusi pendapatan tertinggi masih diterima oleh produsen BBS, namun kesejahteraan konsumen pulp umumnya menurun. Dalam hal nilai, jumlah bersih kerugian yang diperoleh konsumen (consumers' gains) lebih kecil daripada manfaat yang diperoleh produsen dan pemerintah. Saran
LOG
Model selanjutnya dapat dikembangkan dengan memasukkan produsen pulp dan kertas negara-negara North-Scan (Amerika Serikat, Kanada, Swedia, dan Finlandia) sebagai variable endogen dalam model. Dengan demikian, model tersebut memungkinkan dapat menganalisa lebih tajam terhadap hubungan antar Negara-negara produsen dalam hubungannya dengan tindakan kebijakan unilateral dan multilateral. Penelitian ini menyarankan bahwa karena industri tersebut rentan terhadap tekanan internasional, maka Pemerintah Indonesia harus mampu mengkontrol seluruh aktivitas, termasuk praktik-praktik illegal logging dan pengkelolaan industri bahan baku serpih, pulp dan kertas. Pemerintah harus memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan yang menerapkan kelola peduli sosial dan lingkungan. Dorong terus pembangunan HTI, termasuk HTI-Rakyat untuk percepatan pembangunan hutan tanaman hingga mencapai 5 juta hektar. 4.3.
Implikasi Kebijakan: Sertifikasi dan Kendalanya Latar belakang terjadinya aksi boikot ini antara lain (1) adanya pengelolaan industri pulp di Indonesia yang tidak memperhatikan lingkungan sesuai standar ISO 140001, (2) asal bahan baku (input produksi) berupa kayu-kayu kecil (small logs) dari HTI dan HA belum/tidak mengikuti pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management 'SFM'), dan (3) persaingan bisnis internasional. Kita tidak perlu berdalih ini hanya persaingan bisnis. Oleh karenanya, kita harus berbenah untuk menghadapi setiap perubahan yang menjadi tuntutan global berupa ekolabel. Tahun 2009 mereupakan batas akhir dimana pabrik pulp di Indonesia akan memperoleh bahan baku berupa kayu-kayu kecil dari hutan alam (Departemen Kehutanan, 2005). Artinya, bahwa seluruh bahan baku pabrik pulp akan dipenuhi dari hutan tanaman. Untuk hutan tanaman ini pun diharuskan memperoleh sertifikat 'SFM'. Adanya sertifikat hutan yang dikelola secara lestari akan menuntun perusahaan ke arah yang lebih kokoh (handal) karena mendapat dukungan dari berbagai pihak (stakeholders) dan lingkungannya. Terdapat beberapa sebab mengapa sertifikasi SFM di Indonesia macet, yaitu antara lain (1) para pengusaha HTI dan Hutan Alam (HA) enggan mengurus sertifikasi karena persyaratan yang bertele-tele, (2) perusahaan yang memperoleh sertifikasi belum memperoleh penghargaan (reward) atau insentif apapun dari Pemerintah, (3) beberapa negara pengimpor pulp dan kertas dari Indonesia memperlakukan sama antara yang tidak ada sertifikat dan yang memperoleh sertifikat, dan (4) masalah mendasar terhadap aspek sosial dan lingkungan sudah sejak lama belum teratasi. Lihat saja, dari sekitar 150-an HPH baru 5 HPH yang bersertifikat SFM dari LEI dan/atau FSC. Untuk perusahaan HTI yang berjumlah 23 HTI-pulp di Indonesia baru terdapat 1 perusahaan yang memperoleh sertifikasi dari LEI. Selain itu, terdapat 3 pengelola hutan berbasis masyarakat lestari (PHBML) yang mendapatkan sertifikat FSC dan/atau LEI. Hal ini tentu saja memprihatinkan sistem pengelolaan hutan di Indonesia, yang menyaratkan tiga pilar kelola, yaitu (1) ekonomi, (2) sosial, dan (3) lingkungan. Ini yang dipersyaratkan dalam proses menuju sertifikasi 'SFM'. Sedangkan pada industri/kilangpulp dan kertas harus memiliki ekolabel, misal ISO 14001. Unttuk masa yang akan datang, tuntutan global demikian tidak bisa dihindari lagi. Oleh karenanya, perusahaan yang ingin mengekspor produknya ke negara-negara peduli lingkungan harus sudah memiliki sertifikasi dari lembaga yang berkompeten. Beberapa perusahaan HPH dan HPHTI lainnya ada yang memperoleh sertifikat bukan dari lembaga independen tersebut, sehingga tidak mempunyai pengaruh positif terhadap perolehan harga premium. Ini jelas merugikan perusahaan tersebut, karena biaya untuk itu tidak sedikit. Untuk kasus ini, seharusnya Pemerintah menjembatani kemudahan tanpa mengabaikan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam proses sertifikasi tersebut.
Daftar Pustaka
Asian Development Bank. 2000. Microeconamic Foundation for Indonesian Competition Law and Policy. ADB, Manila. Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APPI). 2005. Dictionary 2005. The Indonesian Pulp and Paper Association (IPPA) Secretariat,
Jakarta. FAO. 2003. Yearbook of Forest Products. FAO, Rome. Ibnusantoso, G. 1999. Prospek dan Perkembangan Industri Pulp dan Kertas Indonesia.
Perdagangan, Jakarta. Koutsoyiannis. A. 1977. Theory of Econemetrics. Happer and Row Publishers, Inc, London. Maddala, G.S. 1977. Econometrics International Student Edition. McGraw-Hill Kogakusha, Tokyo. Sinaga, B.M. 1989. Econometric Model of the Indonesian Hardwood Products Industry: A Policy Simulation Analysis, PhD
Departemen Perindustrian dan
Dissertation, University of the Philippines, Los Banos.
# *) Anggota Persaki, Doktor Ekonomi Pertanian, dan Pengajar di Beberapa Perguruan Tinggi di Jakarta dan Bogor. Halaman
23
Nomor 02, Juni 2006
LOG
KAJIAN PENYEDERHANAAN SISTEMATIKA PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN (SISTEM KEHUTANAN) Oleh : Ir. H. Syaiful Ramadhan, MM *)
PLAN
BULETIN
LATAR BELAKANG Pada era di mana populasi manusia masih di bawah ambang batas daya dukung sumberdaya alam, baru dikenal pemanfaatan terbatas (subsistence) sekedar memenuhi kebutuhan untuk survive atau dengan kata lain kebutuhan manusia masih pada tingkat yang terendah pada hierarki sesuai dengan teori Maslow, namun secara bertahap kebutuhan manusia meningkat ke tingkat-tingkat yang lebih tinggi dan beragam. Kondisi tersebut di atas berlaku umum dan berdampak pada berbagai aspek kehidupan serta unsur-unsur penunjang kebutuhan, sehingga termasuk juga pada berkembangnya disiplin ilmu pengelolaan sumberdaya alam termasuk ilmu kehutanan. Berdasarkan sejarah perkembangan ilmu kehutanan, sumberdaya hutan sebagaimana yang didefinisikan Undang-Undang dan kita kenali sebagai ekosistem, pada mulanya dikenal sebagai wild land yang bersiklus secara alami dalam memberikan kemanfaatan pada hidup dan kehidupan makhluk lainnya. Pertumbuhan populasi penduduk tersebut, ternyata secara naluriah berkonsekuensi pada meningkatnya tuntutan keragaman dan jumlah serta mutu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh utamanya manusia. Kondisi yang berkembang tersebut secara kodrat memaksa umat manusia untuk menggunakan sumberdaya akal dan tenaga yang ada pada dirinya untuk mengadakan eksplorasi manfaat berbagai sumberdaya hutan yang tersedia di sekitarnya, baik di daratan maupun di perairan. Pengertian Kehutanan per-definisi adalah pengelolaan sumberdaya hutan untuk mengambil manfaatnya, sehingga terminasi Sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan pada hakekatnya sama dengan sistem Kehutanan. Persepsi dan terminasi Stakeholder (pihak-pihak yang berkepentingan) atas sumberdaya, atas Daya Dukung Sumber Daya (Carrying Capacity of Resources) dan keseimbangan (equilibrium) merupakan kata-kata kunci (keywords) yang harus difaham, dihayati dan diterapkan dalam mengantisipasi kondisi paradoks antara tekanan kebutuhan manusia yang terus meningkat sejalan dengan bertambahnya populasi dengan sediaan sumberdaya yang makin menipis. Terbukti sejalan dengan persepsi tersebut, gelombang reformasi yang terjadi sebagai salah satu dampak arus globalisasi pun secara mutlak menuntut penerapan normanorma keadilan (just), kesetaraan (equity), kelestarian (sustainability), keterbukaan dan kejujuran (transparancy and fairness) dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Tuntutan-tuntutan tersebut sangatlah wajar dan layak, karena sebagai komoditi sumberdaya hutan digolongkan sebagai ”Public Goods (Hak penggunaan bersama) bukan Private Goods (Hak kepemilikan pribadi)”. Dilatar belakangi oleh uraian pemikiran di atas, maka mutlak dibutuhkan alternatif pola pengelolaan yang sistematis dan efisien yang mengakomodir secara proporsional seluruh unsur teknis/norma yang dipersyaratkan oleh stakeholder.
MAKSUD DAN TUJUAN Maksud dan tujuan penulisan kajian ini adalah dalam rangka mencari bentuk pengelolaan sumberdaya hutan yang diharapkan lebih berhasil guna dan berdaya guna secara nyata bagi pemberdayaan ekonomi rakyat di masa mendatang.
PANDANGAN TENTANG POLA PENGELOLAAN PRA-REFORMASI UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 dengan peraturan-peraturan derivasinya, ternukti belum dapat secara ketat mengarahkan pengelolaan sumberdaya hutan yang efisien dan adil, sehingga masih diperlukan langkah penyusunan penyempurnaannya yang Alhamdulillah pada saat ini telah disempurnakan menjadi UU No. 41 Tahun 1999. Kondisi perekonomian RI di akhir dekade 60-an dan awal 70-an memang berkonsekuensi logis pada semua sektor pengelola sumberdaya untuk memprioritaskan upaya peningkatan kontribusi pemasukan/penerimaan negara dalam hal ini harus kita terima dengan penuh kesadaran sebagai bentuk perjuangan pembangunan demi eksisnya republik yang kita cintai ini. Keterbatasan pengenalan secara teknis ekonomis atas segala sesuatu tentang sumberdaya hutan mengkondisikan terciptanya pola pengelolaan sumberdaya hutan yang menitikberatkan pada eksploitasi kayu (timber extracts) saja, sehingga manfaat-manfaat lain dari fungsi hutan cenderung terabaikan. Di lain fihak eksploitasi hutan secara besar-besaran dan mekanis membutuhkan investasi yang besar dan mahal, sehingga berakibat pada terpusatnya pengelolaan sumberdaya hutan pada segelintir pemodal besar dan terbatas sampai tidak ada/hilangnya akses masyarakat setempat terhadap sumberdaya hutan. Sangatlah rasional akibat dari akumulasi penerapan pola yang berkepanjangan tersebut sudah barang tentu akhirnya bermuara pada satu pihak derasnya laju degradasi sumberdaya hutan baik kuantitatif dan di lain pihak, dampak nyata pemanfaatan sumberdaya hutan terhadap khususnya masyarakat sekitar hutan serta umumnya daerah yang minim. Tanpa mengkesampingkan kenyataan kontribusi pengelolaan sumberdaya hutan pada perekonomian nasional secara makro, yaitu sebagai sumber penerimaan devisa nomor dua setelah ekspor migas, berbagai kajian tentang pola pengelolaan sumberdaya hutan era pre-reformasi menunjukkan kelemahan-kelemahan mendasar sebagai berikut : 1.
2. 3. 4.
Halaman
24
Definisi SISTEM dan batas sistem pengelolaan sumberdaya hutan belum pernah ditetapkan secara tegas dan jelas. Hal ini berakibat pada tidak jelasnya penetapan batasan sub-sistem, padahal batasan tersebut sangat penting dalam rasionalisasi kebijaksanaan dan dampak kebijaksanaan antar sub-sistem maupun sistem secara keseluruhan. Sebagai contoh : Keterlibatan terlampau jauh sampai dengan sub-sistem industri hulu/hilir mengakibatkan terkondisikannya sub-sistem bahan baku/budidaya yang kurang tergarap secara baik (ctt : ungkapan keprihatinan yang sering dicetuskan bapak mantan Menhut RI Ir. H. Djamaluddin S) Sebagai dampak dari kondisi pada butir 1. seringkali kebijaksanaan pengelolaan yang dikeluarkan Eselon I sebagai struktur yang mewakili sub sistem kurang memperhitungkan ekses kebijaksanaan pada sub-sistem (baca : Eselon I) yang lain, baik dari segi kesiapan, sinerjisitas. Kondisi minimnya telaah/kajian kebijaksanaan dalam rangka penyempurnaannya, malah yang terjadi adalah penggantian kebijaksanaan pengelolaan tanpa dasar hasil evaluasi yang layak dari kebijaksanaan yang sedang berjalan, contoh : TPTI, TUK, TU-DR IHH. Kebijaksanaan yang dikeluarkan belum mengacu pada kesimpulan hasil-hasil penelitian, sehingga penerapannya cenderung tersendat, karena kelayakan operasionalnya secara teknis masih seringkali diperdebatkan.
Nomor 02, Juni 2006
7.
8.
a. Ketika prioritas-prioritas sasaran untuk pencapaian tujuan Departemen yang ditetapkan, seharusnya sudah jelas terkondisi unit kerja/sub-sistem yang menjadi leader dan penunjang dan prioritas dan kondisi tersebut menjadi komitmen dan harus dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten. b. Untuk menjamin terselanggaranya secara tertib/sistematis dan optimal pencapaian prioritas oleh leader dan penunjang, maka selayaknya tolok ukur penilaian kinerja leader dan penunjang harus dilihat sebagai satu kesatuan sistem yang utuh (baca : pendekatan sistem), sedangkan yang berbeda adalah indikator kinerja pada setiap sub-sistem/unit kerja. Berkaitan dengan hal tersebut, maka ketika sasaran prioritas tercapai 100 % seharusnya seluruh bagian sistem mendapat apresiasi/reward yang setara pula, sebaliknya apabila sasaran prioritas tidak tercapai maka hanya sub-sistem penyebab pokok hambatan sajalah yang terkena sanksi agar menjadi proseden dalam penerapan sistem nilai secara konsisten. c. Sistem tata nilai yang terkondisikan, ternyata tidak sebagaimana halnya pada butir 2, namun ketika sasaran prioritas tercapai, hanya sub-sistem/Unit Kerja leader saja yang mendapat reward, sedangkan penunjang seakan tidak mempunyai peran sama sekali. Kondisi ini tidak pelak lagi memacu kompetisi yang tidak sehat antar sub-sistem, dimana tanpa mengacu pada realitas yang ada, semua pihak berebut untuk menjadi leader, hal ini barang tentu sangat merugikan proses sinergisitas pencapaian tujuan secara keseluruhan, karena demi menjadi yang ”paling utama”, proses keterpaduan terabaikan (non visional situation).
LOG
9.
BULETIN
6.
Kerancuan kebijaksanaan juga terjadi pada tumpang tindih/ketidakjelasan pemilahan pola pengeloaan, yaitu tidak jelas antara pola investasi, pola pengusahaan, dan pola budidaya. Hal ini berdampak pada banyaknya istilah seperti HPHTI, HKM, TPTI, 5 pola kerjasama dan sebagainya yang mencerminkan kondisi tidak sistematisnya pengelolaan SDH. Peraturan-peraturan yang ada, khususnya beratnya persyaratan bagi sebagian besar masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan manfaat sumberdaya hutan sangat kecil atau kalaupun ada terbatas pada kegiatan konservasi yang bersifat keproyekan seperti reboisasi dan penghijauan, dimana itupun masih didominasi oleh pola top down (aspirasi/kebutuhan riel masyarakat tidak terwakili). Pembuatan rencana dan atau rancangan yang kurang memperhatikan aspek keterpaduan dan keragaman (local specific) serta aspek sosial budaya sehingga cenderung membuka peluang pemborosan uang Negara. Hal ini terlihat nyata dari kegiatan penatagunaan, penata batasan kawasan hutan, pembuatan pola rehabilitasi lahan dan konservasi tanah serta derivasi rencananya seperti Rancangan Teknik Lima Tahunan dan Rencana Teknik Tahunnya yang seakan tanpa akhir, padahal setiap tahun dialokaskan anggaran negara yang relatif besar untuk kegiatan-kegiatan tersebut. Kurangnya perhatian terhadap sediaan SDM yang berkualitas dan relevan dengan kegiatan yang dibutuhkan, baik dari pengadaan, pengembangan maupun penempatan, padahal di awal tahun 90-an Dephut melalui Pusdiklat telah melakukan kerjasama dengan konsultan PT. Hobase Delta perihal kebutuhan diklat yang salah satu butir kesimpulannya adalah belum optimalnya pendayagunaan SDM yang tersedia akibat kelalaian dalam penempatannya. Asepek yang paling akhir yang tidak kalah pentingnya adalah system tata nilai kinerja/prestasi yang cenderung menampilkan arogansi Eselon I secara intern dan arogansi sektoral secara ekstern dan berdampak pada pada rendahnya sinerjisitas pencapaian tujuan. Hal ini dapat dijelaskan secara kronologis sebagai berikut :
PLAN
5.
Kalaulah boleh kita menarik kesimpulan secara makro, maka pengelolaan sumberdaya hutan pra-reformasi ”belum sistematis”, sehingga berdampak pada hilang dan rusaknya beragam fungsi dan manfaat yang seharusnya dapat lebih dinikmati untuk peningkatan harkat hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan keberadaan sumberdaya hutan tersebut. Jadi pertanyaan yang paling mendasar yang harus dijawab saat ini adalah : ”Bagaimana kita memberdayakan pengelola (stakeholder) dan pengelolaan sumberdaya hutan secara optimal secara sistematis dan adil, sehingga fungsi alaminya dapat termanfaatkan sepenuhnya secara proporsional bagi kesejahteraan pengelola di masa kini dan masa mendatang”.
KONDISI BERJALAN SAAT INI Sejujurnya momentum gema reformasi merupakan ”trigger” sangat diharapakan untuk dapat menjadi momentum perubahan yang mendasar pada pola pengelolaan sumberdaya pengelolaan hutan. Harapan perubahan yang digambarkan oleh kondisi saat ini ternyata memberikan selain fenomena yang diharapkan juga fenomena yang kurang mendukung perubahan mendasar. Secara menyeluruh fenomena tersebut, yaitu antara lain : a. Tumbuhnya kesadaran bersama untuk kembalinya kita kepada khittah paradigma pengelolaan sebagai interest dan cara pandang yang objektif kepada sumberdaya hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dikelola kemanfaatannya secara penuh tanggung jawab serta memenuhi norma-norma keadilan, kesetaraan, nilai tambah, keberagaman dan kelestarian baik keberadaan sumberdata maupun kemanfaatannya. b. Perubahan paradigma di atas berkonsekuensi pada perubahan pendekatan penguasaan/pemilikan menjadi pendekatan optimalisasi manfaat ekonomis, ekologis dan sumberdaya hutan secara simultan dan berkelanjutan. c. Saat ini sosialisasi pergeseran paradigma (metanoia/shifting of mind) pengelolaan sumberdaya hutan dari Timber Extraction ke Nature Resources Based Management sedang berproses, malah cenderung pada situasi Revolusi dibanding situasi Pembelajaran (learning process), hal ini terlihat sejalan dengan paradigma baru, maka muncullah percepatan berbagai kebijaksanaan baru yang belum terdukung secara hukum oleh aturan-aturan dalam pelaksaannya, di lain fihak terhadap serta aturan yang tidak sejalan dengan paradigma lama atau didasarkan kebijaksanaan lama belum sepenuhnya dicabut. d. Banyaknya pola pengelolaan yang ditawarkan dan akan diterapkan, yang cenderung menimbulkan kerancuan, karena tidak tersistematikan secara baik, sebagai contoh nyata adalah : · Kebijaksanaan Restrukturisasi penatagunaan dan penataan lahan kawasan hutan serta pemanfaatan sumberdaya hutan tidak jelas hubungannya dengan pola KPHP dan atau pola RLKT yang juga tetap diacu sebagai dasar luasan pengelolaan. · Kebijakan Land Grant Collage sebagai upaya intensifikasi pengembangan IPTEK dan SDM, paling tidak di tingkat praktisi masih menimbulkan persepsi bersayap antara peluang kerjasam pengelolaan sebatas fee demi menambah penghasilan institusi Perguruan Tinggi melalui pembukaan akses pemanfaatan sumberdaya saja (catt : fenomena kegagalan HPH PT. Sylva Gama dan Sylva IPB serta Unmul berulang) yang dalam hal ini bisa disebut LHC adalah wahana pembiayaan saja atau akan menjadi suatu pengkondisian Institusi Perguruan Tinggi menjadi Kampus Terpadu sepenuhnya melalui LGC. Ketidaktegasan kebijaksanaan sangat berdampak luas pada pertimbangan arahan kawasan peruntukan LGC, baik dari segi ekotype dominan di suatu wilayah, maupun kondisi berhutan atau tidaknya kawasan. · Variabel pembeda kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya hutan melalui restrukturisasi BUMN, HPH besar, sedang, Halaman
25
LOG
Nomor 02, Juni 2006 kecil, HPH masyarakat adat, HPH koperasi, HPH swasta, HPHKM (hutan kemasyarakatan), pola PIR, pola koperasiinvestor, investor-koperasi, pola BTN, pola BOT yang hanya sebatas pada limitasi luasan (KPHP/RLKT/RTRWP/kriteria lain ???), besaran modal kerja/investasi (apakah masyarakat/koperasi mampu memenuhi porsi kewajiban setor investasi yang menjadi bagiannya sudahkah masuk dalam pertimbangan ???) Tidak dapat disangkal, bahwa sekelumit fenomena di atas yang belum lagi ditambah dengan penyelarasan kebijaksanaan untuk mendukung otonomi/desentralisasi yang lebih luas ke Dati I/II bukanlah suatu hal yang mudah untuk diupayakan. Hal penting yang harus digaris bawahi adalah kecenderungan terjadinya masalah yang paling mendasar di kondisi pra reformasi khususnya point ”sistematis” sebagaimana tersebut di atas relatif belum terjawab.
PLAN
BULETIN
SUMBANGAN PEMIKIRAN PENYEDERHANAAN POLA PENGELOLAAN Berangkat dari kenyataan di atas, menurut hemat kami yang paling mendesak untuk diantisipasi dalam rangka penyempurnaan salah satunya adalah pembenahan pola pengelolaan dengan pendekatan sistem sebagai berikut :
DASAR PEMIKIRAN 1. Pada prinsipnya pada syarat layak kelola, pada setiap pengelolaan harus ada pembatasan/pendefinitifan jelas terhadap obyek kelola. 2. Berkaitan dengan butir 1 di atas, tanpa batasan yang jelas tidak akan bisa kita menetapkan pola pengelolaan secara uth dan hal tersebut sudah barang tentu sangat tidak menguntungkan bagi sinerjisitas pencapaian tujuan pengelolaan. Hal ini membuka peluang tidak sinkronnya kebijaksanaan antar unsur pengelola, karena tidak ada kajian sensitifitas dampak kebijaksanaan terhadap aspek pengelolaan lainnya baik sebelum maupun ketika kebijaksanaan tersebut diterpakan. 3. Ketiadaan batasan sistem berkonsekuensi pada ketidakjelasan subsistem, memepersulit penetapan indikator untuk pengukuran pencapaian dan pengawasan/pengendalian pelaksanaan guna penyempurnaan pola, karena sulit untuk mendeteksi unsur/elemen mana dari sistem yang menyebabkan terjadinya hambatan pencapaian. 4. Dari runtut berfikir di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa mutlak pendefinisian sistem kehutanan beserta subsistemnya sebelum merancang pola pengelolaan yang mendekati efisien dan efektif sesuai tuntutan sistem dan visi pengelolaan.
SUMBANGAN PEMIKIRAN 1. Sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan Sistem Kehutanan Pertama-tama perlu dipahami sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa sumberdaya hutan merupakan ”komoditas Umum/Public Goods Bukan Komoditas Pribadi/Privat” tidak ada seorangpun yang boleh/dapat yang mengklaim manfaat keberadaannya hutanb bagi individu atau kelompoknya (UUD 1945 Pasal 33). Filosofi dari pemanfaatan tersebut sangat penting untuk dasar pemikiran maupun norma dasar pengelolaan sumberdaya hutan ditekankan bukan pada status kepemilikan sumberdaya sebagai diatur dalam UU Pokok Kehutanan, bahwa hutan terdiri dari Hutan Negara dan Hutan Milik, namun pada optimalisasi pemenfaatan akibat keberadaan sumberdaya hutan tersebut. Berangkat dari pemahaman definisi Undang-Undang di atas maupun Ilmiah, bahwa hutan adalah suatu bentukan ekosistem berupa lapangan yang ditumbuhi pepohonan dengan segala isinya dan atau yang ditetapkan dengan peraturan per UU an sebagai hutan. Sedangkan definisi sistem adalah kumpulan dari berbagai unsur/elemen dan subsistem yang berinteraksi serta tergantung satu sama lain, mempunyai batas sistem dan merupakan bagian sistem yang lebih besar. Dari definisi-definisi tersebut di atas bolehlah kita katakan, bahwa hutan diakui dan dapat berfungsi sebagai sumberdaya apabila adanya pengakuan secara hukum sebagai hutan dan dapat dikatakan sebagai sistem apabila ada kejelasan unsur/elemen, subsistem dan batas sistemnya. Pengelolaan sumberdaya sebagai terjemahan dari istilah resource management, mengandung pengertian pemberian perlakuan dalam batas-batas tertentu terhadap suatu sumberdaya untuk mendapatkan manfaat dari sumberdaya tersebut dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Dari pengertian-pengertian di atas, dapatlah kita mendefinisikan, bahwa Sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan adalah : ”Kumpulan perlakuan terhadap sumberdaya hutan yang saling berinteraksi dan saling bergantung baik antar unsur di dalam maupun dengan unsur di luar batas sistem”. Secara lebih jelas dan sederhana sistem pengelolaan sumberdaya hutan dapat diuraikan dalam gambaran sebagai berikut :
Halaman
26
Nomor 02, Juni 2006
Selain dari definisi sistem dan segala keterkaitannya dengan faktor internal dan eksternal, aspek yang sangat penting dikenal pula dalam rangka menerapkan pola pengelolaan, adalah pemahaman yang sama dari sifat komoditi yang akan dikelola yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
BULETIN
2. Pola Pengelolaan
LOG
Batas sistem akan ditentukan oleh luas otoritas Departemen, yaitu dapat saja cakupan sistem hanya meliputi SS I dan SS II (SS I sebagai SubSistem hulu sedangkan SS II SubSistem Hilir) yang berarti orientasi Sistem Pengelolaan dititik beratkan pada tanggung jawab terpenuhinya demand bahan baku industri baik hasil hutan kayu maupun non kayu (termasuk pangan) dari aspek ekonomi dan pemenuhan fungsi hutan lainnbya seperti tata air, rekreasi dan ilmu pengetahuan, cadangan pangan maupun pertahanan.
PLAN
Keterangan : Sub-Sistem Hulu (produksi Bahan Baku) SS I : SubSistem Budidaya (Terdiri dari elemen/Subsistem Penetaan dan Pembukaan Lahan, Pembibitan, Penanaman, Rehabilitasi, Peremajaan, Perluasan, Penjarangan, dan Pemanenan bagi produk jasa wisata, tata air dan pelestarian plasma nutfah bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan). SS II : SubSistem Pemasaran I (pemasaran produk fisik ; bahan baku ex hasil penjarangan dan pemanenan serta pemasaran produk : jasa) SS III : SubSistem Pengolahan (Industri Hulu dan Industri Hilir) SS IV : SubSitem Pemasaran II (Pemasaran Ex Industri) : Batas Sistem
Sifat Teknis Produk Kehutanan dan Perkebunan : a. b. c. d. e. f.
Produk sangat dominan dipengaruhi iklim Membutuhkan waktu relatif lama Irreversible (apabila sudah ditolak tidak dapat dibentuk lagi). Membutuhkan lahan yang relatif luas. Membutuhkan sarana transportasi yang cukup besar/banyak untuk pengangkutannya. Relatif mudah rusak/tidak tahan lama
Implikasi sifat produk terhadap resiko ekonomis : a. b. c.
Adanya faktor iklim yang tidak dapat dikendalikan dan waktu yang lama untuk berproduksi berakibat pada resiko pengembalian modal tinggi. Sifat mudah rusak dan tidak dapat dibentuk ulang berdampak pada resiko tinggi dalam angkutan dan pemenuhan order baru. Prasyarat lahan yang luas untuk ekstensifikasi di samping saprodi/teknologi tanam dan oleh produk untuk ekstensifikasi dan diverifikasi serta sarana transportasi dan kepastian pasar membutuhkan investasi modal sekaligus labor/naker yang relatif besar, sehingga jangka waktu pengembalian investasi secara menyeluruh relatif lama.
Potensi peluang partisipasi kemandirian rakyat dalam setiap sub sistem : a. b. c.
Sektor Jasa Sektor Barang Sektor Sosbud
: : :
Tenaga kerja, lahan, modal dan ketrampilan. Produk kerajinan rakyat ex limbah, produk pangan ex tumpangsari dan hutan kemasyarakatan. Budaya tanam/kultur pertanian merupakan sebagian besar mata pencaharian rakyat (ural based)
Berdasarkan pertimbangan berbagai aspek di atas, maka dalam rangka optimalisasi berjalannya sistem dalam mendukung tercapainya output dan outcome yang ditetapkan, mutlak diberlakukan pola atau sistem kerja yang jelas. Setiap kerancuan sistem/pola mekanisme akan berakibat pada gangguan jalannya sistem sampai dengan tidak berjalannya sistem secara menyeluruh. Selama ini sebagai akibat ketidakjelasan pendefinisian sistem kehutanan, wajar terjadi tumpang tindih sistem antara elemen/unsur/subsistem mulai dari arahan kebijaksanaan sampai dengan pelaksanaan tugas/kegiatan yang sangat tidak mendukung sinerjisitas pelaksanaan dan bermuara pada rendahnya pencapaian tujuan baik kualitas maupun kuantitas. Sebagaimana uraian sebelumnya, bahwa dengan adanya kejelasan definisi sistem serta batas sistem, maka akan dapat secara mudah diidentifikasi subsistem yang sekaligus berfungsi sebagai simpul-simpul vital dari kegiatan yang berguna sebagai dasar pemikiran solusi pengelolaan sumberdaya yang paling efisien dan produktif. Sebagaimana suatu sistem, kehutanan baru dapat dikatakan berjalan baik apabila memenuhi persyaratan, antara lain : a.
Manajemen aliran input dan aliran besaran keluaran antar subsistem tepat biaya (dihasilkan tanpa pemborosan biaya dan tenaga), tepat jumlah (pemenuhan demand apat terpenuhi) tanpa pemborosan sumberdaya dan tepat waktu (sesuai musim, sesuai waktu pemenuhan pemesanan) serta tepat mutu (sesuai selera/kebutuhan konsumen/user) dan terjamin kontinuitasnya (keserasian akselerasi pembangunan hutan dengan eksploitasunya).
b.
Sistem/cara pengelolaan yang digunakan maupun output sistem memenuhi aspirasi stakeholder dan stakeholder (ekologi, ekonomis dan keragaman sosial budaya) sebagai Faktor Lingkungan Sistem yang Internal dan Eksternal.
c.
Kebijaksanaan, peraturan per UU an pendukung sistem, sinerjis dan tidak berdampak negatif terhadap kinerja sistem dan subsistem dalam rangka pencapaian misi, tujuan bersama.
Berangkat dari uraian berbagai kriteria menyangkut sistem dan komoditi, akhirnya kita tiba pada alternatif sistematika pola yang berlaku dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang kami beri nama Tri-Pola dan mudah-mudahan layak untuk mendukung komoditi sumberdaya hutan baik produk fisik maupun jasa serta memberikan peluang akses yang besar bagi seluruh lapisan masyarakat untuk menikmati hikmah keberadaan hutan, yaitu antara lain :
Halaman
27
LOG
Nomor 02, Juni 2006 a.. Sistem Pembudidayaan Sumberdaya Hutan (Pola Budidaya) ·
PLAN
BULETIN
b.
Penerapan kombinasi silvikultur dan budidaya antar berbagai komoditi yang layak secara teknis, sosial budaya dan ekologis, contoh : Tumpang sari/Wana tani, Silvofishery, Hutan Kemasyarakatan, TPTI, TJTI, THPA dan THPB, Penangkaran Satwa, Pengelolaan Zonasi Inti Taman Nasional, Pengelolaan Kawasan Lindung, Budidaya Hutan Rakyat (Lahan Milik), Sistem mekanis/non mekanis
Sistem Pengusahaan Sumberdaya Hutan (Pola Pengusahaan) ·
Penerapan bentuk hukum usaha pengelolaan hutan dan hasil hutan yang layak secara ekonomis, tata ruang, sosial budaya dan ekologis, contoh : Hak Pengusahaan Hutan Alam BUMN, Swasta, Koperasi, Masyarakat Adat, Hak Pengusahaan Hutan Tanaman, Hak Pengusahaan Hutan Besar, Sedang dan Kecil, Hutan Cadangan Pangan, Pengusahaan Padat Karya/Padat Modal
DEWAN REDAKSI Pelindung : Kepala Badan Planologi Kehutanan Pengarah : Kepala Pusat Rencana Dan Statistik Kehutanan Sekretaris Badan Planologi Kehutanan Kepala Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan Kepala Pusat Wilayah Pengelolaan Hutan Kepala Pusat Inventarisasi Dan Perpetaan Hutan Kepala Bidang Rencana Umum Kehutanan Kepala Bidang Evaluasi Pelaksanaan Rencana Kehutanan Kepala Bidang StatistikKehutanan Pemimpin Redaksi : Ketua : Ir. Syaiful Ramadhan, M.M.Agr. Sekretaris : Tedi Setiadi, S.Hut.
c. Sistem Permodalan (Pola Investasi)
Redaksi Pelaksana : Ir. Ali Djajono, M.Sc. Ir. Watty Karyati Ir. Euis Fatimah Ir. Joko Kuncoro Ir. Lilit Siswanty Yuliarsyah, SP.,BSc.F.
· Penerapan distribusi pemilikan/saham barang modal (Capital Goods) yang mendukung kebijaksanaan retribusi asset secara adil, seperti lahan, investasi uang, komoditas TKA dan TK lLokal antara ; PMDN-PMA, Investor Swasta/BUMN-Koperasi, Koperasi-Investor, Murni Koperasi, Murni BUMN, Murni Swasta yang akan berpengaruh pada · Penerapan pola bagi hasil keuntungan secara proporsional dari berbagai kerjasama permodalan dan ”Kewajiban social cost dan opprunity cost” dari permodalan murni kepada stake holder (masyarakat/pemerintah
Editor : Ketua : Ir. Drs. Sudjoko Prayitno, MM. Anggota : Ir. Herman Kustaryo,MM. Ir. Endang Mahfud Drs. Sunuprapto,MSc.
3. Paradigma Penerapan Sistem Pengelolaan Hutan (Tri-Pola) o Komoditi lahan dan sumberdaya hutan adalah komoditi umum (Public Goods) o Pemanfaatan nilai tambah sebaiknya dilakukan secara simultan dengan pemerataan kesempatannya. o Monopoli pola pengusahaan sumberdaya hutan yang merupakan komoditi agribisnis mulai subsistem hulu sampai dengan pengolahan (Integrasi Vertikal) adalah alternatif paling efisien dalam menjamin setiap nilai tambah setiap sub-sistem akan diterima secara proporsional oleh setiap pelaku sub-sistem melalui bagi hasil secara transparan. o Monopoli Permodalan (Pola Investasi Murni) merupakan alternatif terakhir apabila kerjasama permodalan sama sekali tidak mungkin diselenggarakan, namun dengan kompensasi kontribusi hasil berupa social cost dan opportunity cost dari pemodal dengan reward berupa ”goodwill” dalam kolom Debit Neraca Perusahaan/Pemodal tersebut. o Dalam penerapan pola permodalan tetap harus ada dispensasi tahap subsidi silang dari modal mayoritas kepada modal minoritas. o Unutk menjamin kesetaraan, permodalan dan sekaligus menutup kesenjangan kemampuan teknik, manajemen dan mutu SDM juga perlu dispensasi grace period (masa tenggang) pengembalian kredit yang layak serta peran pro aktif Pemerintah dan Swasta dalam pembinaan serta bimbingan dan sosialisasi pengembangan teknik serta manajemen.
PENUTUP
Desain Grafis : Ristianto Pribadi, S.Hut, M.Tourism Ade Wahyu, S.Hut. Efsa Caesariantika, A.Md. John Piter G. Lubis, S.Hut Popi Susan ,S.Hut Kontributor : Seluruh Staf Badan Planologi Kehutanan dan Mitra Badan Planologi Kehutanan
MENU BULETIN ~ Pengeloaan Data/Informasi Sumberdaya Hutan Pada Balai Pemantapan Kawasan Hutan ~ Langkah Radikal Untuk Sebuah Profesionalisme Birokrasi ~ Mengenal Lebih Dekat Kedudukan Perencanaan ~ PBB di Kawasan Hutan Gabung Saja dengan PSDH ~ Prospek Pengembangan Hutan Tanaman Industri Rakyat ~ Kompleksitas Persoalan Tenurial dalam Perencanaan Ruang Kehutanan ~ Proses Pemberdayaan Masyarakat Desa Di Dalam dan Di
Penulis berharap kajian ini dapat berkontribusi dalam penyederhanaan sistem pengelolaan sumberdaya hutan dan atau setiap orang akan dapat melihat sistem pengelolaan hutan secara lebih sistematis, sehingga setiap hambatan kinerja sistem dapat segera diketahui secara dini sekaligus juga elemen/sub-sistem penyebab hambatan. Apapun pola yang diterapkan, menurut hemat kami kembali pada niat baik semua pihak untuk konsisten dan konsekuen berorientasi pada kepentingan bersama bukan interes kelompok atau individu yang terbukti malah cenderung menimbulkan kesenjangan sosial ekonomi serta kerusakan sumberdaya tanpa terkendali.
# *) Perencana Madya pada Badan Planologi Kehutanan
Halaman
28
Sekitar Kawasan Hutan ~ Pelaksanaan dan Hasil Rumusan : Dialog dan Workshop Revitalisasi Sektor Kehutanan ~ Dampak Aksi Boikot Ekspor Pulp dan Kertas Indonesia : Analisa Simulasi Tekanan Internasional ~ Kajian Penyederhanaan Sistematika Pengelolaan Sumberdaya Hutan (Sistem Kehutanan)
ALAMAT REDAKSI Gd. Manggala Wanabakti, Blok VII Lantai 5 Jl. Jenderal Gatot Subroto, P.O.BOX 6506 JAKARTA - 10065 Telp. (021) 5720216 - Fax (021) 5730319 E-mail :
[email protected]