ANALISIS KESEDIAAN PENGUSAHA INDUSTRI BATIK MEMBAYAR PENINGKATAN KUALITAS PENGELOLAAN UNIT PENGOLAHAN LIMBAH DENGAN PENDEKATAN CONTINGENT VALUATION METHOD (Kasus Kelurahan Jenggot, Kecamatan Pekalongan Selatan, Kota Pekalongan)
Oleh :
Farida A14304039
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
FARIDA. Analisis Kesediaan Pengusaha Industri Batik Membayar Peningkatan Kualitas Pengelolaan Unit Pengolahan Limbah Dengan Pendekatan Contingent Valuation Method (Kasus Kelurahan Jenggot, Kecamatan Pekalongan Selatan, Kota Pekalongan). Di bawah bimibingan SUTARA HENDRAKUSUMAATMAJA. Kota Pekalongan selama ini dikenal sebagai Kota Batik karena sebagai salah satu pusat industri-industri batik. Di kota ini sentra industri batik terdapat hampir di setiap pelosok Kota Pekalongan. Sektor industri batik di Kota Pekalongan berperan penting dalam percepatan peningkatan ekonomi masyarakat, karena sektor tersebut lebih banyak menyerap tenaga kerja dan peningkatan pendapatan daerah. Selain pada peningkatan perekonomian, sektor industri ini juga telah banyak menyumbang limbah industri ke berbagai wilayah di kota pekalongan maupun sekitarnya. Masalah mengenai pencemaran air sungai oleh limbah batik bukan merupakan masalah baru di Kota Pekalongan, oleh karena itu pemerintah telah membuat kebijakan dalam pembuatan sarana Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), namun peraturan pemerintah untuk membuat IPAL kurang didengar oleh para pengusaha. Hal tersebut karena dibutuhkan dana tidak sedikit dalam pembuatan IPAL dan biaya pengolahan, yang akhirnya membuat para pengusaha urung membuat IPAL. Dengan berbagai alasan diatas, Pemerintah Kota Pekalongan dalam hal ini Dinas Penataan Kota dan Lingkungan Hidup (DPKLH) membuat Unit Pengolahan Limbah (UPL) yang dapat diterima oleh masyarakat, karena murah dan alami. UPL ini termasuk pertama kali di Jawa Tengah. UPL tersebut dibangun di tempat bekas IPAL yang dulu tidak dioperasikan dan berada di Daerah Jenggot, untuk mengetahui tentang keberadaan UPL tersebut di Daerah Jenggot maka diperlukan analisis persepsi dari para pengusaha batik dan masyarakat Jenggot mengenai keadaan sebelum dan sesudah terdapat UPL di daerah tersebut dengan analisis deskriptif yang nantinya akan diketahui berapa peluang pengusaha batik dan masyarakat Jenggot menerima atau tidak menerima keberadaan UPL di daerah tersebut. Mengingat dilakukannya adanya perbaikan dalam penyediaan sarana prasarana dan perbaikan pelayanan maka perlu adanya penelitian tentang faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat kesediaan dan ketidaksediaan pengusaha batik untuk membayar iuran pengelolaan dengan menggunakan regresi logit. Selain itu perlu adanya penilaian ekonomi mengenai besarnya iuran pengelolaan UPL dengan menggunakan metode CVM dan analisis regresi berganda. Sehingga akan diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai WTP tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) mengkaji persepsi pengusaha industri batik serta rumah tangga di daerah Jenggot terhadap keberadaan UPL Jenggot saat ini; 2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengusaha industri batik bersedia dan tidak bersedia untuk membayar besarnya rencana biaya pengelolaan UPL; 3) menganalisis besarnya kesediaan pengusaha industri batik mengenai tingkat kesediaan membayar biaya pengelolaan air limbah; dan 4) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kesediaan pengusaha industri batik dalam membayar biaya pengelolaan UPL. Karakteristik pengusaha batik di daerah Jenggot menunjukan bahwa sebagian besar adalah pengusaha industri kecil dengan jumlah biaya produksinya yaitu sebagian besar kurang dari 100 juta rupiah, dengan jumlah
kapasitas produksi kurang dari 500 kodi. Jumlah kapasitas buangan limbah dari responden terbanyak adalah kurang dari 1500 liter dimana sebagian besar adalah batik cap dan hanya membuat motif. Sedangkan karakteristik responden dari Desa Jenggot khususnya rumah tangga, sebagian responden masih rendah tingkat pendidikannya yaitu, lulusan SLTP dan kesejahteraannya masih rendah dengan tingkat pendapatan rumah tangga terbanyak dengan kisaran Rp.600.001-Rp.800.000, dan dengan jenis pekerjaan sebagai buruh industri batik atau tekstil sebanyak 42 persen. Persepsi dari responden mengenai keadaan lingkungannya cukup beragam, dan berbeda antara responden pengusaha batik dengan rumah tangga di wilayah tersebut, dimana sebagian besar pengusaha menganggap bahwa limbah batik yang dibuang tidak berbahaya, sedangkan responden rumah tangga sebagian besar berpendapat bahwa limbah tersebut sudah sangat meresahkan, dan keadaan air maupun udara di sekitar wilayah Jenggot juga sudah bermasalah, dimana sumber air bersih sudah mulai tercemar sehingga sebagian besar pengusaha menggunakan air PAM maupun sumur bor, sedangkan rumah tangga yang kurang mampu masih menggunakan air sumur. Faktor-faktor yang mempengaruhi secara nyata pada persepsi pengusaha industri batik untuk menerima keberadaan UPL adalah tingkat pendidikan, tingkat sosialisasi, dan jumlah kapasitas buangan limbah. Berdasarkan penelitian diperoleh 70 persen responden pengusaha industri batik menerima keberadaan UPL. Faktor-faktor yang mempengaruhi secara nyata persepsi rumah tangga terhadap keberadaan UPL adalah jenis pekerjaan, biaya untuk mengurangi pencemaran dan pengetahuan mengenai pencemaran limbah batik. Alasan responden menerima keberadaan UPL terutama untuk memperbaiki kualitas lingkungan di daerah tersebut, sedangkan alasan responden tidak menerima keberadaan UPL Jenggot dikarenakan kinerja dari UPL kurang atau tidak berjalan dengan baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan responden pengusaha batik untuk membayar biaya pengelolaan UPL adalah biaya yang dikeluarkan untuk mengurangi dampak dari limbah batik dan pengetahuan mengenai pencemaran. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 85 persen responden bersedia membayar biaya pengelolaan UPL. Nilai WTP yang didapat akan dijadikan acuan untuk besarnya biaya pengelolaan UPL Jenggot, yaitu sebesar Rp. 53.088,2,- per pengusaha. Berdasarkan nilai WTP yang ditawarkan oleh responden didapatkan estimasi perolehan biaya pengelolaan total sebesar Rp.1.805.000,- perbulan. Faktorfaktor yang mempengaruhi besarnya nilai WTP secara nyata adalah tingkat pendapatan, tingkat pengetahuan, jumlah kapasitas buangan limbah perhari, dan biaya pengurangan pencemaran. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam penelitian ini adalah dalam sistem pengolahan limbah, perlu adanya dana tambahan dari pemerintah setempat maupun dari pihak swasta dan masyarakat yang ada di Kelurahan Jenggot, dikarenakan total WTP pengusaha industri batik belum memenuhi kebutuhan dalam pengelolaan UPL.
ANALISIS KESEDIAAN PENGUSAHA INDUSTRI BATIK MEMBAYAR PENINGKATAN KUALITAS PENGELOLAAN UNIT PENGOLAHAN LIMBAH DENGAN PENDEKATAN CONTINGENT VALUATION METHOD (Kasus Kelurahan Jenggot, Kecamatan Pekalongan Selatan, Kota Pekalongan)
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : Farida A14304039
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
JUDUL
:
ANALISIS KESEDIAAN PENGUSAHA INDUSTRI BATIK MEMBAYAR PENINGKATAN KUALITAS PENGELOLAAN UNIT PENGOLAHAN LIMBAH DENGAN PENDEKATAN CONTINGENT VALUATION METHOD (Kasus Kelurahan Jenggot,
Kecamatan
Pekalongan
Pekalongan) NAMA
:
FARIDA
NRP
:
A14304039
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Sutara Hendrakusumaatmaja, M.Sc NIP. 130 367 086
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan
:
Selatan,
Kota
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI SAYA YANG BERJUDUL ‘‘ANALISIS
KESEDIAAN
PENGUSAHA
INDUSTRI
BATIK
MEMBAYAR
PENINGKATAN KUALITAS PENGELOLAAN UNIT PENGOLAHAN LIMBAH DENGAN
PENDEKATAN
CONTINGENT
VALUATION
METHOD
(Kasus
Kelurahan Jenggot, Kecamatan Pekalongan Selatan, Kota Pekalongan)”. BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA SUATU PERGURUAN TINGGI, LEMBAGA, ATAU INSTITUSI MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Juli 2008
Farida A14304039
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Pekalongan, 13 Juli 1986, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Halimi bin H. Zuhri dan Khabsah. Penulis mengawali pendidikannya di TK Roudhotul Ulama Simbang Kulon pada tahun 1990, dilanjutkan di Madrasah Ibtidaiyah Simbang Kulon dari tahun 1992 sampai 1994, lalu melanjutkan studi di SD Negeri 1 Simbang Kulon pada tahun 1994 sampai 1998. Pada tahun 1998, melanjutkan di SLTP Negeri 14 Pekalongan, kemudian penulis menyelesaikan sekolah menengah atas di SMU Negeri 1 Pekalongan pada tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama
menjadi
mahasiswa,
penulis
aktif
dalam
kegiatan
kemahasiswaan. Penulis adalah salah satu anggota aktif UKM KOPMA IPB (Koperasi Mahasiswa Institut Pertanian Bogor) pada masa 2004/2006 dan salah satu anggota perkumpulan daerah IMAPEKA (Himpunan Mahasiswa Pekalongan dan Batang) sampai sekarang.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan ridho-Nya lah penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian di Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini Berjudul “Analisis Kesediaan Pengusaha Industri Batik Membayar Peningkatan Kualitas Pengelolaan Unit Pengolahan Limbah Dengan Pendekatan Contingent Valuation Method (Kasus Kelurahan Jenggot, Kecamatan Pekalongan Selatan, Kota Pekalongan)”. Bertujuan untuk mengukur WTP (Willingness to Pay) pengusaha industri batik dalam kesediaannya membayar biaya pengelolaan UPL Jenggot agar berjalan lebih baik. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena adanya keterbatasan-keterbatasan yang dihadapi selama penelitian. Untuk itu penulis sangat mengharapan tanggapan, saran, dan kritik demi kesempurnaan dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing atas bimbingannya, orang tua yang selalu mengirimkan do’a dan juga kepada semua pihak yang telah turut memberikan peran dalam penulisan skripsi ini.
Bogor, Juli 2008
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulisan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Keluarga tersayang ; AyahQ (Halimi bin H. Zuhri), IbuQ (Khabsah) atas Do’a, perhatian, dan motivasi yang tak terbatas maturnuwun sanget, semoga ida bisa lebih berbakti, Mbak (Mbak Ephie) atas semangat dan bantuannya yang tak terbatas dan Adek (Lia). 2. Ir. Sutara Hendrakusumaatmaja, M.Sc., sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan pengertiannya. 3. Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr., sebagai dosen penguji utama yang telah memberikan banyak masukan dan saran yang sangat bermanfaat. 4. A. Faroby Falatehan, SP, ME sebagai dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan saran dan masukan yang sangat bermanfaat. 5. Ir. Yety Lis Purnamadewi selaku dosen pembimbing akademik selama masa perkuliahan yang telah memotivasi penulis untuk lebih baik. 6. Keluarga Wo Kus di Kota Solo atas do’a dan semangatnya. 7. Dosen-dosen maupun staf pengajar EPS yang telah menyalurkan ilmunya kepada penulis, serta staf-staf dari program studi EPS maupun ESL yang telah banyak membantu. Mbak Pini, Mbak Tuti, Pak Husen, Pak Basyir, dan Pak Dayat. 8. Teman-teman seperjuanganku “Cha-does” (cibe alias Cita terimakasih telah menjadi pembahas dalam seminar penulis, vindut alias Vina atas bantuan dalam mempersiapkan segalanya, pepelepew alias Avenia atas semangat, bantuan dan segalanya, Uchie atas semangat dan do’anya, Irak alias Irna atas semangatnya, dan Wulan atas semangatnya) dan Rissa Gumanti atas semangat dan bantuannya. 9. Muhammad Arif Alamsyah atas semangat, bantuan dan segalanya. 10. Teman- teman EPS ’41 sebagai angkatan terakhir, terima kasih atas pertemanan manis kurang lebih selama 4 tahun ini, dan teman yang telah meramaikan seminar penulis, Mbak Agis, Mbak Erna, Budi, Retno, Mail, Lina, Deli, B’J, Anti, Evi, Iboy, dan lainnya, Yudi atas bantuannya selama satu pembimbing akademik dengan penulis dan Natalia (nat-nat) atas do’a dan motivasinya.
11. Teman-teman yang berada di Pekalongan, (Fifi atas bantuan dalam menemani penulis mencari data, Dias atas semangat dan bantuannya, Ricko atas bantuannya, Husni atas semua hal yang telah diberi dan Dinar atas konsultasi statistiknya) 12. Ridho atas bantuannya, Bowo atas semangatnya, dan Mbak Ratri beserta keluarga yang telah banyak membantu. 13. Acc kost (teman-teman seperjuangan Testi, Dilla, Amal, Nisa, Mayang, Opie, Nope dan lainnya yang telah memberi semangat). 14. Teman satu perjuanganku sewaktu KKP 2007 di Desa Kongsijaya Indramayu; Ferdi, mama Lia, mama Tika, dan papa Dho. Semoga kita bisa menjadi lebih berguna bagi semua. 15. Maharani kost (Pipit alias Vidya sebagai satu pembimbing terima kasih atas semangat, do’a, dan bantuannya, Santi atas semangatnya, Nia, Mute’, Mbak Umi atas sarapan-sarapan paginya, dan Cian). 16. Dinas Penataan Kota dan Lingkungan Hidup (DPKLH) Kota Pekalongan, Kepala Bagian Pengelolaan UPL Jenggot Bapak Supriyatno dan Bapak Heru atas data-data yang sangat bermanfaat. 17. Kelurahan Jenggot, Kecamatan Pekalongan Selatan Kota Pekalongan, Bapak Lurah atas data-data yang bermanfaat dan izin-izinnya) 18. Seluruh pengusaha industri batik di Kelurahan Jenggot, atas kerja samanya dalam membantu penulis selama melakukan penelitian. 19. Semua pihak yang telah berkenan membantu demi kelancaran penelitian dan penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT menerima amal ibadah mereka semua. Amien.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………........ iii DAFTAR GAMBAR .……………………….……………………………….. v DAFTAR LAMPIRAN …………………………..………………………......... vii I.
PENDAHULUAN…………………….…………………………………. 1.1 Latar Belakang ……………………………………………………. 1.2 Perumusan Masalah ……………………………………………... 1.3 Tujuan ………………………..……….…………………………… 1.4 Kegunaan Penelitian ………….……….…………………………..
1 1 4 6 6
II.
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………….. 2.1 Batik ……………………………………………………………….. 2.2 Teknik Pembuatan Batik .......……………………….………….. 2.3 Karakteristik Limbah Cair Batik …………………….…………... 2.4 Efek Buruk Air Limbah ………….…………….………………... 2.5 Pengolahan Air Limbah …………………………………………. 2.6 Penelitian Terdahulu ………………………………………………
8 8 9 10 12 14 16
III.
KERANGKA PEMIKIRAN ………………….…………………………. 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritik …………………………..………… 3.1.1 Teknik Penilaian Non-Pasar Sumber Daya Alam dan Lingkungan …………………………………………… 3.1.1.1 Konsep Contingent Valuation Method (CVM).... 3.1.1.2 Kelebihan dan Kekurangan Contingent Valuation Method ……………….………………………….... 3.1.1.3 Asumsi dalam Pendekatan Kesediaan Membayar (Willingness To Pay) Pengusaha Batik…………. 3.1.2 Analisis Regresi Logit ……………..…………………..….. 3.2 Hipotesis ……………….…………………………….………... 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ……………………………….
20 20
IV.
METODE PENELITIAN ………………..……………………………… 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian …………..………………………. 4.2 Metode Pengambilan Contoh ……..………………………….… 4.3 Jenis dan Sumber Data …………..………………………….…. 4.4 Pengolahan dan Analisis Data ……...………………………..… 4.4.1 Analisis Persepsi Responden terhadap Keberadaan UPL …………………………………………………………. 4.4.2 Kesediaan atau Ketidaksediaan Pengusaha Industri Batik Membayar Biaya Pengelolaan UPL …………….… 4.4.3 Analisis Nilai Kesediaan Membayar Pengusaha Batik Terhadap Biaya Pengelolaan UPL ………………………. 4.4.3.1 Metode Pendugaan Besarnya Nilai Kesediaan Membayar …………………………………..…........ 4.4.3.2 Tahap-tahap dalam Penerapan Penilaian Ketidak-tentuan ( CVM) ……………………....... 4.4.4 Analisis Fungsi WTP ……………………………….……… 4.5 Pengujian Parameter …………………………………….….…… 4.6 Batasan Penelitian …………………………….…………………
20 20 21 23 24 25 26 30 30 30 30 31 31 35 37 37 38 42 43 48
V.
GAMBARAN UMUM …………………………………………………… 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……………………………. 5.1.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah ………….…………. 5.1.2 Keadaan Penduduk ………………………….…………… 5.2 Keadaan Lingkungan Unit Pengolahan Limbah (UPL) ……..…. 5.3 Karakteristik Pengusaha Industri Batik Desa Jenggot ……........ 5.3.1 Usia ………………………………………………………… 5.3.2 Pendidikan Terakhir …………………….……………..…… 5.3.3 Jenis Pekerjaan …………………………………………….. 5.3.4 Tingkat Pendapatan ……………………………… …………. 5.3.5 Jumlah Tanggungan ………………………………………. 5.3.6 Jumlah Kapasitas Produksi ………………………………. 5.3.7 Biaya Produksi ………………………………………….…. 5.3.8 Kapasitas Buangan Air Limbah …..………………………. 5.4 Karakteristik Rumah Tangga Desa Jenggot ……………………. 5.4.1 Jenis Kelamin ………………………………………..…….. 5.4.2 Usia …….……………………………………………….…… 5.4.3 Pendidikan Terakhir ………………………………….……. 5.4.4 Jenis Pekerjaan ……………………………………….……. 5.4.5 Tingkat Pendapatan ……………………………………… 5.4.6 Jumlah Tanggungan ……………..………………………... 5.4.7 Jarak Rumah dengan Industri Batik dan Tekstil ………....
VI.
PENILAIAN RESPONDEN TERHADAP LINGKUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN ………………………………….… 6.1 Persepsi Responden terhadap Derajat Masalah Akibat Limbah Industri Batik ……………………….……………………... 6.2 Persepsi Responden terhadap Dampak Negatif Limbah …….. 6.3 Persepsi Responden terhadap Keadaan Lingkungan Jenggot Sebelum terdapat UPL ……………………………………………. 6.4 Persepsi Responden terhadap Keadaan Lingkungan Jenggot Sesudah terdapat UPL ……………..…………………………….. 6.5 Penilaian Responden mengenai Keadaan Air dan Udara…….. 6.6 Penilaian Responden terhadap Keberadaan UPL di Jenggot.… 6.6.1 Analisis Persepsi Pengusaha Batik terhadap Keberadaan UPL di Jenggot ……………………………… 6.6.2 Analisis Persepsi Rumah Tangga Desa Jenggot terhadap Keberadaan UPL di Jenggot ……………………………….
49 49 49 49 50 51 52 52 53 54 55 55 56 56 57 57 58 58 59 60 60 61
62 62 63 64 65 66 66 66 74
VII. ANALISIS WILLINGNESS TO PAY (WTP) ………………………….. 7.1 Analisis Kesediaan Membayar Responden terhadap Biaya Pengelolaan UPL ………………………………………….. 7.2 Analisis Willingness to Pay dengan Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) …………………………… 7.3 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Willingness to Pay ……………………………………………… 7.4 Kebijakan Pengolahan Limbah Industri Batik …………………..
80
89 92
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan ………………………………………………………… 8.2 Saran ………………………………………………………………. DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..… LAMPIRAN …………………………….…………………………………........
94 95 97 99
80 86
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman Banyak Perusahaan dan Tenaga kerja menurut Klasifikasi di Kota Pekalongan Tahun 2006 ....................................................
1
2.
Jenjang Pendidikan Penduduk Desa Jenggot Tahun 2007 .....……
50
3.
Penilaian Responden terhadap Derajat Masalah Limbah Tahun 2008 ……...........................................................................…
63
Penilaian Responden terhadap Dampak Limbah Batik maupun Tekstil Tahun 2008 ………………………………………………
64
Persepsi Responden terhadap Keadaan Lingkungan Sebelum terdapat UPL Tahun 2008 ………………………………………..
66
Persepsi Responden terhadap Keadaan Lingkungan Sesudah terdapat UPL Tahun 2008 …………………………………………
66
Penilaian Keadaan Lingkungan di sekitar Responden Tahun 2008 ……………………………………………………….…
67
Persepsi Responden Menerima Keberadaan UPL, Tahun 2008 ………………………………………………………………
68
Persepsi Responden Tidak Menerima Keberadaan UPL, Tahun 2008 …………………………………………………………….
69
Hasil Logit Persepsi Pengusaha Batik terhadap Keberadaan UPL di Jenggot Tahun 2008 …………………………………………….…
70
Frekuensi Observasi dan Harapan Peluang Pengusaha Batik Menerima atau Tidak Menerima Keberadaan UPL di Jenggot, 2008 …………………………………………………….…
74
Koreksi Nilai Observasi dan Harapan Peluang Pengusaha Batik Dalam Memilih Menerima atau Tidak Menerima Keberadaan UPL di Jenggot, 2008 ………………………………………………………..
75
Hasil Hasil Logit Persepsi Rumah Tangga di Desa Jenggot Terhadap Keberadaan UPL Jenggot Tahun 2008 ……………..…
76
Frekuensi Observasi dan Harapan Peluang Rumah Tangga Menerima atau Tidak Menerima Keberadaan UPL Jenggot, 2008…
79
Koreksi Nilai Observasi dan Harapan Peluang Rumah Tangga dalam Memilih Menerima atau Tidak Menerima Keberadaan UPL di Jenggot, 2008 ………………………………………………………..
80
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Alasan Pengusaha Bersedia Membayar Biaya Pengelolaan UPL Tahun 2008 …………………………………………………………….
82
Alasan Pengusaha Tidak Bersedia Membayar Biaya Pengelolaan UPL, Tahun 2008 …………………………….
83
Hasil Hasil Logit Kesediaan Pengusaha Industri Batik Membayar Biaya Pengelolaan UPL Jenggot, Tahun 2008 ………………………………………………………….…
84
Frekuensi Observasi dan Harapan Peluang Pengusaha Industri Batik dalam Memilih Bersedia atau Tidak Bersedia Membayar Biaya Pengelolaan UPL, Tahun 2008 ……………….…
86
Koreksi Nilai Observasi dan Harapan Peluang Pengusaha Industri Batik Bersedia atau Tidak Bersedia Membayar Biaya Pengelolaan UPL di Jenggot, Tahun 2008 ………………….
87
21.
Distribusi WTP Pengusaha Industri Batik ……………………………
88
22.
Total WTP Pengusaha Industri Batik ………………………………..
90
23.
Hasil Analisis Nilai Pengusaha Industri Batik ……………………….
91
17.
18.
19.
20.
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1.
Halaman Perubahan Distribusi Kurva Bentuk S Menjadi Distribusi Linier ……………………………………………………..
25
2.
Bagan Kerangka Pemikiran Operasional
29
3.
Karakteristik Responden Berdasarkan Distribusi Usia Di Desa Jenggot Tahun 2008 …………………………………………………………... 52
4.
Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Jenggot Tahun 2008 ……………………………………....
53
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Desa Jenggot Tahun 2008 ……………………………………...
54
Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan di Desa Jenggot Tahun 2008 ……………………………………...
55
Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan di Desa Jenggot Tahun 2008 ………………….…………………..
55
Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Kapasitas Produksi dalam Perbulan di Desa Jenggot Tahun 2008 ………….
56
Karakteristik Responden Berdasarkan Besarnya Biaya Produksi dalam Perbulan di Desa Jenggot Tahun 2008 ………….
56
Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Kapasitas Buangan Limbah Perhari di Desa Jenggot Tahun 2008 …............
57
Karakteristik Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Jenggot Tahun 2008 ………………………………………..
58
Karakteristik Rumah Tangga Berdasarkan Distribusi Usia Di Desa Jenggot Tahun 2008 ……………………..………………...
58
Karakteristik Rumah Tangga Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Jenggot Tahun 2008 ……………………………………...
59
Karakteristik Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Desa Jenggot Tahun 2008 ……………………………………...
60
Karakteristik Rumah Tangga Berdasarkan Tingkat Pendapatan di Desa Jenggot Tahun 2008 ………………….…………………..
61
Karakteristik Rumah Tangga Berdasarkan Jumlah Tanggungan di Desa Jenggot Tahun 2008 ………………………………………..
61
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
………………………….
17.
18.
19.
Karakteristik Rumah Tangga Berdasarkan Jarak Rumah dengan Industri Batik di Desa Jenggot Tahun 2008 ………………..……….
62
Distribusi Pilihan Bersedia dan Tidak Bersedia Pengusaha Industri Batik dalam Membayar Biaya Pengelolaan UPL, Tahun 2008 …………………………………………………………….
81
Dugaan Bid Curve WTP ……………………………………………….
89
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Hasil Logit Persepsi Rumah Tangga terhadap Keberadaan UPL …….
100
1.
Hasil Logit Persepsi Pengusaha Industri Batik terhadap Keberadaan UPL …………………………………………………….…….
101
Hasil Logit Persepsi Pengusaha Industri Batik terhadap Kesediaan Membayar Pengelolaan UPL ………………………….…….
102
3.
Hasil Regresi Berganda WTP….………………………………………….
103
4.
Kuesioner Penelitian WTP Pengusaha Industri Batik …………………..
104
5.
Kuesioner Penelitian Rumah Tangga ……………………………………
107
2.
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kota Pekalongan selama ini dikenal sebagai Kota Batik karena sebagai
salah satu pusat industri-industri batik, disamping kota-kota lainnya, seperti Solo, dan Jogjakarta. Di kota ini sentra industri batik terdapat hampir di setiap pelosok Kota Pekalongan. Sektor industri batik di Kota Pekalongan berperan penting dalam percepatan peningkatan ekonomi masyarakat, karena sektor tersebut lebih banyak menyerap tenaga kerja dan peningkatan pendapatan daerah. Jumlah industri di Pekalongan semakin berkembang, seperti yang terlihat dalam Tabel 1, semakin banyaknya industri-industri yang berkembang. Tabel 1. Banyak Perusahaan dan Tenaga Kerja menurut Klasifikasi di Kota Pekalongan Tahun 2006 Perusahaan No Klasifikasi 2004 2005 2006 1 Industri Logam Mesin Dan Kimia a. Besar 0 0 0 b. Menengah 8 9 9 c. Kecil 313 287 284 2 Industri Aneka a. Besar 3 3 3 b. Menengah 30 30 30 c. Kecil 1720 1728 1736 3 Industri Hasil Pertanian a. Besar 0 0 1 b. Menengah 11 11 13 c. Kecil 1528 1541 1563 Sumber: BPS Kota Pekalongan, Tahun 2006.
Seperti yang terdapat dalam Tabel 1, terjadi peningkatan terhadap jumlah industri aneka, yang sebagian besar adalah industri batik maupun tekstil. Peningkatan tersebut terjadi pada skala kecil, yaitu yang mempunyai nilai investasi kurang dari sama dengan 200 juta rupiah.
Seiring dengan adanya keberhasilan dalam pembangunan, terdapat juga suatu perubahan dalam aspek lingkungan. Adanya pertumbuhan penduduk dan usaha untuk meningkatkan kualitas kehidupan serta keterbatasan sumberdaya alam, akan menimbulkan permasalahan yang berupa penurunan daya dukung lingkungan. Target dari suatu industri adalah pertumbuhan output untuk meningkatkan keuntungan. Semakin meningkatnya jumlah yang diproduksi, maka akan meningkatkan pula sisa hasil usaha atau limbah yang nantinya akan mencemari lingkungan. Disadari bahwa sebab dari rusaknya lingkungan adalah adanya kegiatan ekonomi yang semakin menggebu baik di sektor pertanian maupun di sektor industri. Tidak ada lagi yang menolak bahwa pola dan skala kegiatan-kegiatan tersebut yang bertanggung jawab terhadap meningkatnya pencemaran dan pengurasan sumberdaya alam ( Suparmoko, 2000). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
dalam
Suparmoko
(2000)
pencemaran
lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke titik tertentu yang menyebabkan ingkungan hidup tidak berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Masalah lingkungan hidup yang disebabkan oleh berbagai macam pencemaran dari tahun ke tahun semakin kompleks dan semakin meningkat. Kondisi tersebut tidak hanya menyebabkan menurunnya berbagai fungsi dan kualitas lingkungan, tetapi juga memberikan dampak yang serius pada kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya. Pencemaran lingkungan beberapa tahun terakhir ini diantaranya adalah: (1) pencemaran air oleh pembuangan limbah domestik, limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun), limbah industri dan
pertambangan, (2) pencemaran pesisir dan laut, (3) pencemaran udara seperti: penurunan kualitas udara ambien di lokasi-lokasi tertentu di kota besar yang disebabkan oleh sektor transportasi, industri, kebakaran hutan dan aktifitas rumah tangga; dan (4) pencemaran sumber limbah domestik seperti: permasalahan sampah akibat rendahnya jumlah sampah yang terangkut, terutama kurangnya peran dari masyarakat dalam pengelolaan sampah, kurangnya sarana dan prasarana, sistem pengelolaan TPA yang kurang tepat, dan belum diterapkannya konsep reduce, recycle, dan reuse (3R). Masalah mengenai pencemaran air sungai oleh limbah batik bukan merupakan masalah baru di Kota Pekalongan dan pemerintah telah membuat kebijakan dalam pembuatan sarana instalasi pengolahan air limbah. Pembuatan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) merupakan salah satu cara dalam mengolah limbah agar sesuai dengan baku mutu air yang ditetapkan guna memperbaiki lingkungan yang tertuang dalam SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun 2003, yaitu dengan mengolah limbah batik agar air yang dikeluarkan dari hasil pembuangan tersebut dapat dibuang langsung ke sungai dan sehingga dapat terus terjaga kelestarian lingkungannya. Upaya perbaikan kualitas lingkungan yang lebih baik oleh pemerintah sangat diperlukan untuk menguntungkan berbagai pihak, khususnya masyarakat sekitar. Pemerintah telah mencari alternatif-alternatif instalasi yang sesuai dengan keadaan yang ada, dan yang bisa dijangkau oleh para pengusaha sendiri. Salah satu alternatif dalam pengolahan air limbah adalah membuat Unit Pengolahan Limbah (UPL), dan UPL tersebut termasuk satu-satunya di Jawa Tengah. Beberapa kelebihan dari UPL adalah lebih alami, dengan metode peresapan
alamiah sehingga
lebih
murah.
Upaya
pemerintah tersebut
diharapkan tidak hanya dapat mengurangi pencemaran yang di timbulkan oleh
industri-industri batik pada khususnya, akan tetapi juga dapat terus mendukung perekonomian wilayah, dan para pengusaha batik dapat terus bekerja tanpa merusak lingkungan yang dapat menimbulkan dampak-dampak ke masyarakat luas sehingga akhirnya dapat terbentuk suatu keberlanjutan dalam segala aspek kehidupan.
1.2
Perumusan Masalah Tahun 1998 sampai saat ini, masalah lingkungan di Kota Pekalongan
tidak pernah habis dibahas. Pada tahun 1998, pernah terjadi suatu ketidakadilan lingkungan di Pekalongan, korban dari ketidakadilan tersebut adalah masyarakat yang bertempat tinggal di sepanjang aliran Kali Banger, Pekalongan. Sejak tahun 1998 sampai 2003 mereka tidak bisa memanfaatkan air dari Kali Banger, karena terdapatnya pabrik-pabrik yang dengan sewenang-wenang membuang limbah industri langsung ke Kali Banger tanpa proses pengolahan terlebih dahulu.1 Kejadian pencemaran tersebut tidak hanya terdapat di kota, tetapi juga pada beberapa di wilayah kabupaten yang jumlah industrinya lebih banyak, sampai saat ini sebagian besar industri-industri tersebut masih membuang air limbah langsung ke sungai. Pemerintah Kota Pekalongan telah berupaya dalam menjaga kelestarian lingkungan
dengan
mewajibkan
setiap
perusahaan
membuat
instalasi
pengolahan air limbah, tetapi para pengusaha kurang menindaklanjuti peraturan pemerintah tersebut, dengan alasan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk mengolah air limbah. Banyak instalasi-instalasi yang tidak berjalan sesuai dengan fungsinya dan dibiarkan menganggur sehingga industri-industri masih banyak yang langsung membuang air limbah tersebut ke sungai-sungai.
1
Menggugat Pencemar Kali Banger dalam Siaran Pers, WALHI (14 Mei 2003)
Pada tahun 2003 Pemerintah Kota Pekalongan dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bekerja sama untuk membuat Unit Pengolahan Limbah (UPL) dengan biaya yang lebih murah, sebab pemerintah sebelumnya telah membuat suatu Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dengan teknik kimia di tempat tersebut, namun karena membutuhkan biaya pengolahan yang mahal dan kesulitan dalam pengelolaan, pengelolaan IPAL tersebut tidak dilaksanakan. Menurut data penelitian dari Pusat Studi Bencana UGM (2006), IPAL dulu hanya menempati tanah seluas 900 meter persegi, sedangkan kini UPL menempati seluas 3,1 Ha dan mampu menampung 400 meter kubik perhari dari perajin batik yang ada di Jenggot dan sekitarnya. Jumlah tersebut diakui masih kurang dalam menampung seluruh limbah yang dihasilkan, karena mengingat jumlah seluruh limbah mencapai 700 meter kubik perhari. Sampai saat ini UPL tersebut masih beroperasi dan berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan UPL tersebut cukup bagus untuk dikembangkan. Untuk mengatasi kekurangan dalam menampung kapasitas buangan limbah, pemerintah berencana menambah beberapa fasilitas seperti membuat pipa-pipa penyaluran air limbah menuju UPL. Dengan hal itu diharapkan dapat berjalan lebih baik lagi. Oleh pemerintah, pengusaha batik diharapkan ikut serta dalam upaya membantu pengolahan air limbah sehingga limbah cair dari industri-industri tidak menggangu lingkungan sekitarnya. Penarikan iuran pembuangan limbah sebagai perangkat ekonomi diharapkan akan mendorong industri untuk menerapkan produksi bersih dalam mengurangi iuran pembuangan limbah yang harus dibayar.2 Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka perumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah :
2
Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah - http://www.ecoton.or.id dalam berita KAI 19 MEI 2003
1. Bagaimana
penilaian
pengusaha
industri
batik
serta
masyarakat
khususnya rumah tangga terhadap keberadaan UPL Jenggot saat ini? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pengusaha industri batik bersedia maupun tidak bersedia untuk membayar besarnya rencana biaya pengelolaan UPL? 3. Berapa besar nilai rencana kesediaan pengusaha industri batik dalam membayar biaya pengelolaan serta faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai biaya pengelolaan UPL?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. mengkaji penilaian pengusaha industri batik serta rumah tangga di daerah Jenggot terhadap keberadaan UPL Jenggot saat ini; 2. menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengusaha industri batik bersedia dan tidak bersedia untuk membayar besarnya rencana biaya pengelolaan UPL; 3. menganalisis besarnya kesediaan pengusaha industri batik mengenai tingkat kesediaan membayar biaya pengelolaan air limbah serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kesediaan pengusaha industri batik dalam membayar biaya pengelolaan UPL;
1.4
Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini antara lain : 1. bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang keberadaan UPL di
mata pengusaha maupun masyarakat sekitar, untuk masukan dan perbaikan dalam pengelolaan UPL. 2. bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai pentingnya UPL dengan sistem alamiah bagi pengolahan air limbah . 3. bagi pengusaha industri batik pada khususnya, agar memperhatikan aspek kelestarian lingkungan pada saat berproduksi dan menyadari pentingnya melakukan pengolahan limbah cair batik. 4. sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi kalangan akademisi dalam melakukan penelitian selanjutnya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Batik Batik berasal dari bahasa Jawa "amba" yang berarti menulis dan "titik".
Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan "malam" (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam Bahasa Inggrisnya "wax-resist dyeing". Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuanperempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya "Batik Cap" yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Teknik membatik telah dikenal sejak ribuan tahun yang silam. Tidak ada keterangan sejarah yang cukup jelas tentang asal usul batik. Ada yang menduga teknik ini berasal dari bangsa Sumeria, kemudian dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh para pedagang India. Saat ini batik bisa ditemukan di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan Iran. Selain di Asia, batik juga sangat populer di beberapa negara di Benua Afrika. Walaupun demikian, batik yang sangat terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia, terutama dari Jawa.3
3
Kategori: Pakaian tradisional Indonesia dalam "http://id.wikipedia.org/wiki/Batik" diakses 10:51, 18 April 2008
2.2
Teknik Pembuatan Batik Sebelum membuat batik, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan
diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Memotong Kain Kain batik atau mori yang masih berbentuk piece (geblokan) dipotongpotong menurut panjang kain yang akan dibuat. Untuk membuat kain panjang wanita (tapih, jarit), mori kualitas primissima panjang 17,5 yard lebar 105 cm dibagi menjadi 6 potong kain. Untuk mori kualitas biru atau medium, mempunyai ukuran tiap piece panjang 43 m dan lebar 105 cm, biasanya dipotong menjadi 19 (ukuran batik normal) atau menjadi 20 (ukuran batik sandang). 2. Mencuci (ngirah) atau ngetel (ngloyor) kain Biasanya mori batik diperdagangkan dengan diberi kanji berlebihan agar kain tampak tebal dan berat. Karena kanji tersebut dianggap tidak baik untuk kain yang akan dibatik, maka perlu dihilangkan, kemudian diganti dengan kanji ringan. Cara menghilangkan kanji tersebut, kain direndam semalam dengan air bersih kemudian pada pagi harinya “dikeprok” lalu dibilas dengan air sampai bersih. Bila mori tersebut akan dibuat batik yang halus ( kualitas prima atau primisima), maka mori itu tidak cukup hanya dicuci saja, tetapi di “ketel” atau di “loyor”, pekerjaan ngetel mori ini tidak hanya menghilangkan kanji, melainkan kain memiliki daya serap lebih tinggi dan menjadi supel, tetapi kekuatan kain menjadi berkurang. Proses ini menyerupai proses mensir (mencerize) dimana kain dikerjakan dalam larutan alkali dingin
Seluruh proses pembuatan batik yang umumnya terdiri dari pembuatan motif, pewarnaan kain, proses nglorot malam dan penjemuran.4 Proses pembuatan motif dilakukan dengan bahan utama lilin atau malam yang digunakan sebagai zat perintang warna. Dalam membuat batik tulis, maka pembuatan motif digunakan dengan alat bantu canting sementara batik cap menggunakan cap batik yang telah didesain sesuai motif yang diinginkan. Proses dilanjutkan dengan memberi warna pada kain, yaitu kain yang telah dimotif dicelupkan dalam ember yang berisi zat warna. Setelah memberi warna, proses pembuatan batik dilanjutkan dengan nglorot malam, atau melarutkan lilin yang melekat di kain. Air yang mendidih dicampur dengan abu soda dan kain dicelupkan hingga seluruh lilin larut dalam air. Bila lilin belum juga larut, maka harus dibersihkan dahulu pasca pelorotan. Tahap akhirnya adalah pencucian. Bila menggunakan pewarna alami, maka pencuciannya tidak bisa menggunakan deterjen, sebab akan merusak warna. Setelah dicuci, kain dijemur dengan cara diangin-anginkan agar warna tidak memudar.
2.3
Karakteristik Limbah Cair Batik Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat
tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomi. Limbah yang mengandung bahan polutan yang memiliki sifat racun dan berbahaya dikenal dengan limbah B3, yang dinyatakan sebagai bahan yang dalam jumlah relatif sedikit tetapi berpotensi untuk merusak lingkungan hidup dan sumberdaya (Kristanto, 2002). Sedangkan menurut Suparmoko (2000) limbah adalah segala macam sisa dari adanya suatu kegiatan yang tidak dimanfaatkan lagi baik untuk
4
"Visit Yogyakarta, http://www.yogyes.com/ dalam Kursus Batik, Menyelami Budaya Batik Tulis hingga Lukis diakses tanggal 4 juni 2008.
kegiatan produksi lebih lanjut, untuk konsumsi maupun distribusi dan sisa tersebut kemudian dibuang ke badan air, udara ataupun tanah. Beberapa kerancuan dalam mengidentifikasikan limbah cair atau air limbah, dimana limbah cair yaitu buangan air yang digunakan untuk mendinginkan
mesin
suatu
pabrik,
seh
ingga
dapat
dikatakan
untuk
mendinginkan mesin dapat dipakai sumber air yang mungkin sudah tercemar sebelum digunakan untuk mendinginkan mesin. Disamping itu terdapat bahan baku yang mengandung air, sehingga dalam pengolahannya air tersebut harus dibuang. Misalnya ketika digunakan untuk mencuci suatu bahan sebelum proses lanjut, pada air tersebut ditambahkan unsur-unsur kimia, kemudian diproses dan setelah itu dibuang, sehingga akan mengakibatkan adanya air buangan yang mengandung sejumlah partikel baik yang mengendap maupun yang larut (Kristanto,2002). Sektor sandang dan kulit seperti pencucian batik, batik printing, penyamakan kuit dapat mengakibatkan pencemaran karena dalam proses pencucian memerlukan air sebagai mediumnya dalam jumlah yang besar. Proses ini menimbulkan air buangan (bekas proses) yang besar pula, dimana air buangan mengandung sisa-sisa warna, BOD tinggi, kadar minyak tinggi dan beracun (mengandung limbah B3 yang tinggi).5 Zat warna tekstil maupun batik merupakan suatu senyawa organik yang akan memberikan nilai COD dan BOD. Penghilangan zat warna dari air limbah tekstil maupun batik akan menurunkan COD dan BOD air limbah tersebut. Sebagai contoh dari air limbah tekstil maupun batik yang mengandung beberapa zat warna reaktif sebanyak 225 mg/L mempunyai COD 534 mg/L dan BOD 99 mg/L, setelah dikoagulasi dengan penambahan larutan Fero (Fe2+) 500 ma/L
5
Asisten Deputi Urusan Pengendalian Pencemaran Limbah Domestik dan Usaha Skala Kecil dalam situs Departeman Lingkungan Hidup, diakses 04 juni 2008.
dan kapur (Ca2+) 250 mg/L air limbah tinggal mengandung zat warna 0,17 mg/L dengan COD 261 mg/L dan BOD 69 mg/L. Pengamatan di lapangan dapat dilihat bahwa secara fisik air telah terjadi perubahan warna dan berbau. Warna air yang dulunya jernih telah berubah menjadi kecoklatan, kemerahan, kehitaman bahkan berwarna hitam pekat. Perubahan warna tersebut mengindikasikan telah terjadi pencemaran bahan buangan dan air limbah dari kegiatan industri yang berupa bahan anorganik maupun organik yang larut dalam air. Apabila bahan tersebut larut dalam air maka akan timbul perubahan warna air. Timbulnya bau pada air lingkungan dapat pula dipakai sebagai salah satu tanda terjadinya pencemaran air. Bau yang keluar dari dalam air dapat langsung berasal dari bahan buangan maupun air limbah dari kegiatan industri, atau dapat pula dari hasil degradasi bahan buangan oleh mikroba yang hidup dalam air.
2.4
Efek Buruk Air Limbah Sesuai dengan batasan dari air limbah yang merupakan benda sisa,
maka tentu air limbah adalah benda yang sudah tidak dipergunakan lagi, akan tetapi tidak berarti bahwa air limbah tersebut tidak perlu dilakukan pengelolaan. Apabila limbah ini tidak dikelola secara baik, maka akan dapat menimbulkan gangguan, baik terhadap lingkungan maupun terhadap kehidupan yang ada. a. Gangguan terhadap kesehatan Air limbah sangat berbahaya terhadap kesehatan manusia mengingat bahwa banyak penyakit yang dapat ditularkan melalui air limbah. Air limbah ada yang hanya dapat berfungsi sebagai media pembawa saja seperti penyakit kolera, radang usus, Hepatitis infektionisa, serta Shistosomiasis dan selain sebagai pembawa penyakit di dalam air limbah itu sendiri banyak terdapat bakteri pathogen penyebab penyakit.
b. Gangguan terhadap Kehidupan Biotik Semakin banyak zat pencemar yang terdapat di dalam air limbah, maka akan menyebabkan menurunnya kadar oksigen yang terlarut di dalam air limbah. Dengan demikian akan menyebabkan kehidupan di dalam air yang membutuhkan oksigen akan terganggu, dalam hal ini akan mengurangi perkembangannya. Selain kematian kehidupan di dalam air karena kurangnya oksigen dalam air, dapat juga disebabkan karena adanya zat beracun yang berada di dalam air limbah tersebut. Selain matinya ikan dan bakteri-bakteri yang baik di dalam air, juga dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman dan tumbuhan air. Akibat matinya bakteri-bakteri, maka proses penjernihan yang seharusnya bisa terjadi pada air limbah menjadi terhambat, sehingga air limbah akan sulit untuk diuraikan. Selain bahan-bahan kimia yang dapat mengganggu kehidupan di dalam air maka juga akan terganggu dengan adanya pengaruh fisik seperti temperatur tinggi yang dikeluarkan oleh industri yang memerlukan proses pendinginan. Proses tersebut akan dapat mematikan semua organisme jika tidak dilakukan proses pendinginan terlebih dahulu sebelum dibuang ke saluran air limbah. c. Gangguan terhadap Keindahan Semakin banyaknya jumlah produk yang dihasilkan maka akan semakin banyak pula jumlah limbah yang akan terbuang. Limbah yang terbuang dari pabrik tersebut perlu dilakukan pengendapan terlebih dahulu sebelum dibuang ke saluran air limbah. Selama pengendapan yang membutuhkan waktu yang sangat lama tersebut maka akan terjadi proses pembusukan, sehingga akan menimbulkan bau, warna air limbah yang kotor dan memerlukan tempat yang sangat besar dan banyak, dapat mengganggu keindahan tempat sekitarnya.
d. Gangguan terhadap Kerusakan Benda Apabila air limbah mengandung gas oksida yang agresif, maka akan mempercepat proses terjadinya karat pada benda yang terbuat dari besi.
Dengan
pemeliharaannya
cepat akan
rusaknya semakin
benda besar
tersebut
juga,
yang
maka
biaya
berarti
akan
menimbulkan kerugian material.
2.5
Pengolahan Air Limbah Air limbah mungkin terdiri dari satu atau lebih parameter pencemar yang
melampui ambang batas yang telah ditetapkan. Oleh karena itu limbah harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang. Suatu perkiraan harus dibuat terlebih dahulu dengan mengidentifikasi sumber pencemaran, fungsi, dan jenis bahan, sistem pengolahan, kuantitas, dan jenis buangan, serta fungsi B-3 dalam proses. Meskipun kebanyakan limbah perlu diolah sebelum dibuang, namun tidak selamanya limbah harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan. Ada limbah yang dapat langsung dibuang tanpa pengolahan terlebih dahulu, ada limbah yang setelah diolah dapat dimanfaatkan kembali. (Kristanto, 2002). Tujuan utama pengolahan air limbah adalah untuk mengurangi BOD, partikel tercampur, serta membunuh organisme patogen (Sugiharto, 1987). Selain itu diperlukan juga tambahan pengolahan untuk menghilangkan bahan nutrisi, komponen beracun, serta bahan yang tidak dapat didegradasikan agar konsentrasi yang menjadi rendah, untuk itu diperlukan pengolahan secara bertahap agar bahan tersebut dapat berkurang kapasitasnya. Pengolahan limbah cair memerlukan biaya investasi dan biaya operasi yang tidak sedikit. Oleh karena itu pengolahan limbah cair harus dilakukan dengan cermat, dimulai dari perencanaan yang tepat dan teliti, pelaksanaan
pembangunan fasilitas IPAL atau UPL yang benar, serta pengoperasian UPL yang cermat. Pada umumnya pengolahan air limbah industri tekstil memerlukan tahaptahap pengolahan sebagai berikut : 1. Pemisahan padatan kasar yaitu sisa serat dan padatan kasar lainnya 2. Segregrasi, hal ini dilakukan apabila air limbah dari suatu proses tertentu mempuyai sifat yang spesifik, mempunyai beban pencemaran yang sangat tinggi dibandingkan dengan air limbah dari proses lainnya, atau bersifat racun (toxic), sehingga apabila digabungkan akan memberatkan atau menyulitkan proses pengolahan. 3. Ekualisasi
untuk
menghomogenkan
konsentrasi
zat
pencemar,
temperatur dan sebagainya, serta untuk menyamakan laju alir atau debit. 4. Penghilangan, penurunan atau penghancuran bahan organik terdispersi. 5. Penghilangan bahan organik dan anorganik terlarut. Tahap 1, 2 dan 3 merupakan Pre-treatment. Tahap ini tidak banyak memberikan efek penurunan COD, BOD, tetapi lebih banyak ditujukan untuk membantu
kelancaran
dan
meningkatkan
efektifitas
tahap
pengolahan
selanjutnya.6 Unit Pengolahan Limbah Unit Pengolahan Limbah (UPL) merupakan pengganti bagi IPAL, karena UPL ini lebih murah dalam pembuatan dan pengolahan. Metode yang digunakan dalam pengolahan ini adalah peresapan alami. Sebidang tanah dibuat penampungan terlebih dahulu, dasar tanah penampungan dipasang geo membran yang tidak dapat ditembus oleh air. Sehingga tidak khawatir lingkungan sekitarnya tercemar limbah (Pusat Studi Bencana UGM, 2006).
6
Paket Terapan Produksi Bersih Pada Industri Tekstil dalam Forlink diakses tanggal 19 februari 2008
Di dalam bak diuruk batu kerikil atau semacam batu zeolit hingga lebih dari satu meter. Kemudian di atasnya ditanami tanaman pisang-pisangan maupun tanaman-tanaman yang tahan hidup di air yang akan mengisap beberapa unsur kimia yang terkandung dalam bak. Setelah air limbah masuk ke bak penampungan tersebut, dan melewati masa penyerapan maka air akan mengalir melalui pipa-pipa yang di beri lobang untuk mengalirkan air yang sudah sesuai dengan baku mutu air yang ditetapkan oleh pemerintah, kemudian air tersebut baru mengalir ke pembuangan atau ke sungai. Meski demikian, dalam proses sebelum masuk ke bak, pH air dinormalkan terlebih dulu.
2.5
Penelitian Terdahulu Analisis
mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kesediaan
pengusaha tahu dalam pembangunan dan operasional IPAL biogas pernah dilakukan oleh Hudayanti (2007), dalam penelitiannya peneliti menganalisis karakteristik sosial demografi dan ekonomi pengusaha tahu di daerah Pasir Jaya, Kecamatan Bogor Barat, respon responden terhadap pengolahan dan kesediaan membayar terhadap IPAL. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik pengusaha tahu yang berpengaruh nyata adalah biaya produksi. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kesediaan
atau
ketidaksediaan
pengusaha tahu terhadap WTP adalah tingkat pendidikan, biaya produksi, tingkat pendapatan, tingkat masalah dengan limbah, dan pengetahuan manfaat IPAL. Pada skenario pertama variabel yang berpengaruh nyata adalah tingkat masalah terhadap limbah dan pengetahuan manfaat IPAL. Pada skenario kedua variabel yang berpengaruh nyata terhadap WTP untuk pembangunan IPAL adalah tingkat pendapatan. Dalam penelitian Kurniarto (2006) tentang analisis ekonomi lingkungan pengelolaan limbah industri kecil tapioka/aci: pendekatan CVM (kasus Kelurahan
Ciluar,
Kecamatan
Bogor
Utara,
Kota
Bogor)
menganalisis
mengenai
karakteristik dan penilaian pengusaha mengenai pengolahan limbah cair industri yang dilakukan oleh kelurahan Ciluar, mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi bersedia ataupun tidak bersedia membayar (WTP) pengolahan limbah dan mengkaji besarnya dan faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya WTP pengusaha. Pengrajin aci di Kelurahan Ciluar dominan oleh laki-laki, dan seluruhnya adalah berkeluarga. Karakteristik dapat dilihat dari kondisi sosial dan ekonomi pengrajin, yaitu : tingkat umur, pendidikan, jumlah tanggungan, lama usaha, biaya tenaga kerja, waktu produksi, kapasitas produksi, luas tempat usaha dan pendapatan usaha. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata pada penilaian pengrajin terhadap pengolahan limbah adalah pendapatan dan jarak pabrik ke badan air. Penelitian lainnya adalah Ayu (2004) dalam penelitiannya menganalisis tentang willingness to pay (WTP) masyarakat terhadap perbaikan ekosistem hutan mangrove muara angke Jakarta Utara melalui pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) dengan analisis regresi logit. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis nilai keberadaan dari ekosistem hutan mangrove dan aspek sosial ekonomi masyarakatnya, menganalisis tingkat hubungan (asosiasi) antara frekuensi kunjungan, besarnya nilai WTP dengan variabel-variabel yang diduga mempengaruhi frekuensi kunjungan, dan memfomulasikan penilaian ekonomis mengenai besarnya nilai willingness to pay masyarakat melalui pendekatan CVM dengan analisis regresi logit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan pengunjung untuk ikut atau tidaknya berpartisipasi dalam perbaikan kualitas HMMA adalah kegiatan pemanfaatan HMMA untuk berwisata, biaya
yang dikeluarkan untuk sekali kunjungan, kemudahan mencapai lokasi, tingkat kenyamanan, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, dan jumlah tanggungan dalam keluarga. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai WTP pengunjung untuk kawasan HMMA adalah pengetahuan mengenai manfaat mangrove, tingkat umur, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan. Penelitian mengenai analisis willingness to pay konsumen rumah tangga terhadap
peningkatan
pelayanan
PDAM
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya di wilayah pelayanan III PDAM Tirta Kerta Raharja Kabupaten Tangerang, Banten pernah dilakukan oleh Lestari (2006) dengan menggunakan metode kuantitatif. Tujuan dari penelitiannya adalah untuk mengestimasi besarnya nilai WTP pelanggan terhadap peningkatan pelayanan PDAM Tirta Kerta Raharja, dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan pelanggan untuk membayar tambahan biaya pemeliharaan dan pengelolaan air untuk peningkatan pelayanan PDAM Tirta Kerta Raharja. Hasil dari analisis regresi linier berganda diperoleh kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pelanggan rumah tangga dalam membayar tambahan biaya pemeliharaan dan pengelolaan air adalah variabel tingkat pendapatan, pengetahuan, dan tingkat pelayanan. Variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah variabel umur, jumlah tanggungan keluarga, tingkat kepercayaan, tingkat kepuasan, lama berlangganan dan kelompok pelanggan. Penelitian
terdahulu
yang
terkait
dengan
penilaian
masyarakat
Pekalongan dan pengolahan air limbah di Desa Jenggot pernah dilakukan oleh Tim Pelaksana Fakultas Perikanan Universitas Pekalongan (2000), dengan melakukan penelitian mengenai penilaian masyarakat Kota Pekalongan Selatan terhadap keberadaan IPAL di Desa Jenggot. Penelitian tersebut bekerja sama dengan Bagian Perekonomian Setda Kota Pekalongan untuk memberi gambaran mengenai tingkat pemahaman masyarakat tentang arti dan fungsi dari IPAL,
tentang tingkat partisipasi masyarakat dalam perawatan IPAL dan tingkat kesadaran masyarakat terhadap lingkungan yang bersih dan sehat. Lokasi yang diangkat dalam penelitian Universitas Pekalongan sama dengan yang diangkat dalam penelitian ini, tetapi permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah UPL, yang dibuat sebagai pengganti IPAL yang kurang dioperasikan tersebut. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat dengan adanya IPAL di Desa Jenggot termasuk kategori
kurang
baik,
hanya
25
persen
masyarakat
yang
tahu
dan
memperhatikan IPAL. Penilaian mayarakat dengan adanya IPAL di Desa Jenggot menunjukkan kategori baik, 52,5 persen menganggap penting dan hanya 22,5 persen sanggup memelihara, berdasarkan uji statistik diketahui bahwa tidak terdapat korelasi antara tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap partisipasi dan kesanggupan mereka dalam memelihara IPAL. Penelitian yang menggunakan metode CVM dalam penelitian ekonomi lingkungan memang sudah banyak dilakukan terutama di IPB, namun belum ada yang menganalisis mengenai limbah batik, perubahan keadaan lingkungan yang diakibatkan oleh limbah dari industri batik yang umumnya mengandung zat-zat berbahaya, sehingga akan merugikan masyarakat sekitar dan kelestarian lingkungan.
Untuk
itu penelitian ini akan menambah pembendaharaan
pengetahuan dalam memberikan alternatif pengolahan limbah yang baik ditinjau dari kesesuaian dengan industri dilihat secara ekonomi.
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1
Kerangka Pemikiran Teoritik
3.1.1
Teknik Penilaian Non-Pasar Sumberdaya Alam dan Lingkungan Teknik valuasi ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non-
market valuation) dapat digolongkan ke dalam dua kelompok (Fauzi, 2004). Kelompok pertama adalah teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit, atau dikenal dengan mengandalkan revealed WTP. Beberapa teknik yang termasuk ke dalam kelompok pertama ini adalah travel cost, hedonic price, dan random utility model. Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survey dimana keinginan membayar atau WTP diperoleh secara langsung dari responden. Salah satu teknik yang popular adalah Contingent Valuation Method (CVM), dan Discrete Choice Method.
3.1.1.1 Konsep Contingent Valuation Method (CVM) Dalam penelitian ini akan dibahas mendalam tentang CVM, dimana diperkenalkan oleh Davis pada tahun 1963 dalam penelitian mengenai perilaku perburuan (hunter) di Miami. Pendekatan ini disebut contingent (tergantung) karena pada prakteknya informasi yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesis yang dibangun (Fauzi, 2004). Pendekatan CVM sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (non-user) sumberdaya alam atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaan. Tujuan dari CVM adalah untuk menghitung nilai atau penawaran barang yang mendekati nilai sebenarnya, jika pasar dari barang-barang tersebut benar-benar ada, maka diperlukan pasar hipotetik untuk bisa mendekati kondisi pasar yang sebenarnya. Responden harus mengenal dengan baik barang yang akan ditanyakan dalam
kuesioner dan alat hipotetik yang digunakan untuk pembayaran, seperti pajak dan biaya masuk langsung, juga dikenal sebagai alat pembayaran (Hanley and Spash, 1993). Pada kasus bidding game, kuesioner menyarankan penawaran pertama (nilai awal dari penawaran) dan responden setuju atau tidak setuju jumlah yang akan mereka bayarkan. Kemudian nilai awal (starting point price) dinaikkan untuk melihat apakah responden masih bersedia membayar hal tersebut, dan seterusnya sampai responden menyatakan bahwa ia tidak bersedia membayar dan tidak mau menerima lagi dalam penawaran yang terus diajukan. Penawaran terakhir yang disetujui oleh responden merupakan nilai maksimum dari WTP mereka.
3.1.1.2 Kelebihan dan Kekurangan Contingent Valuation Method (CVM) Hal yang penting dari CVM adalah penggunaan dalam berbagai macam penilaian barang-barang lingkungan disekitar masyarakat. Secara khusus CVM menyarankan bahwa nilai keberadaan barang-barang lingkungan merupakan hal yang penting untuk diketahui (Hanley dan Spash, 1993). Kelebihan dari penggunaan CVM yaitu : 1. Sifatnya yang fleksibel dan dapat diterapkan pada beragam kekayaan lingkungan, tidak hanya terbatas pada benda atau kekayaan alam yang terukur secara nyata di pasar saja. 2. Dapat diaplikasikan pada semua kondisi dan memiliki dua hal yang penting, yaitu menjadi satu-satunya teknik yang mengestimasi manfaat dan dapat diaplikasikan pada kebanyakan konteks kebijakan lingkungan. 3. Dapat digunakan dalam berbagai macam penilaian barang-barang lingkungan di sekitar masyarakat.
4. Dibandingkan dengan teknik yang lain, CVM memiliki kemampuan untuk mengestimasi dan menduga nilai non pengguna dan dapat mengukur utilitas dari penggunaan barang lingkungan bahkan jika digunakan secara langsung. 5. Responden dapat dipisahkan dalam kelompok pengguna dan non pengguna
sesuai
dengan
informasi
dari
wawancara,
sehingga
perhitungan dapat dipisahkan. Munculnya kebiasaan dalam mengumpulkan data merupakan kelemahan dari teknik CVM, bias dalam CVM tersebut antara lain: 1. Strategic bias yang muncul akibat dari ketidakjujuran responden yang mencoba memanipulasi hasil dari analisis dan mencoba mempengaruhi kebijakan pemerintah di masa yang akan datang. Solusi : dapat dihilangkan dengan menggunakan format referendum (jawaban “ya” atau “tidak”) terhadap nilai WTP yang terlalu tinggi. 2. Information bias yang muncul dari reaksi subjek survei pada alat pembayaran yang dipilih atau pilihan yang ditawarkan. Solusi : desain yang berhati-hati dari alat survei dan alat penjelas yang tepat. 3. Instrument bias yang muncul dari reaksi subyek survei pada alat pembayaran yang dipilih atau pilihan yang ditawarkan. Solusi : desain dari alat sedemikian rupa hingga alat pembayaran dan aspek yang lainnya dari kuesioner tidak mempengaruhi tanggapan subjek wawancara. 4. Starting point bias yang muncul pada kasus bidding game, sebagai contoh pilihan dari harga awal atau selang harga yang dipilih oleh pewawancara
mungkin
mempengaruhi
hasil
wawancara,
juga
dikarenakan oleh saran pada subjek akan jawaban yang benar atau dikarenakan subjek yang menjadi bosan dengan proses wawancara. Solusi : desain dari alat survei sedemikian hingga pertanyaan open-ended memungkinkan dan starting point yang realistis. 5. Hypothetical bias yang muncul karena hipotetik alami dari situasi yang dikondisikan dengan reaksi dari subjek terhadap kondisi tersebut. Subjek mungkin tidak menanggapi proses survei dengan serius dan jawaban yang mereka berikan cenderung tidak memenuhi pertanyaan yang diajukan. Solusi : desain dari alat survei sedemikian hingga memaksimalkan realitas dari situasi yang akan diuji dan melakukan pengulangan kembali untuk kekonsistenan responden.
3.1.1.3 Asumsi dalam Pendekatan Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) Asumsi-asumsi yang diperlukan dalam pelaksanaan pengumpulan nilai WTP dari masing-masing responden adalah : 1. Responden dalam hal ini pengusaha industri batik yang bersedia membayar iuran pengelolaan mengenal dengan baik kawasan Desa Jenggot. 2. Pemerintah
Derah
Pekalongan
memberikan
perhatian
terhadap
peningkatan kualitas lingkungan di Kota Pekalongan. 3. Responden dalam hal ini rumah tangga dipilih secara random dari penduduk yang relevan.
3.1.2
Analisis Regresi Logit Analisis regresi logistik merupakan bagian dari analisis regresi. Menurut
Hutcheson dan Sofroiniou (1999) dalam Utari (2006) regresi logit merupakan suatu teknik permodelan linier secara umum yang memungkinkan dibuatnya prediksi-prediksi dari variabel respon dan taksiran-taksiran tingkat kemampuan mempengaruhi dari variabel-variabel penjelas (individu maupun kelompok). Datadata yang dapat dianalisis dengan alat analisis logit adalah data yang relatif umum dan terdiri atas klasifikasi dikotomi (Ramanthan, 1997). Terdapat tiga komponen dari model linier umum, yaitu komponen acak dari variabel respon, komponen sistematis yang merepresentasikan nilai tetap dari variabel penjelas pada bagian fungsi linier, dan link function yang merupakan alat pemeta komponen sistematis menjadi komponen acak. Regresi logit mengasumsikan bahwa galat dari komponen acak terdistribusi secara binomial, berbeda dengan regresi Ordinary Least Square (OLS) yang mengasumsikan bahwa galat dari komponen acak terdistribusi secara nomal. Komponen sistematis dari regresi logit sama dengan regresi OLS, dengan variabel penjelas diasumsikan kontinu dan minimal berskala interval. Sebagaimana regresi OLS, variabel penjelas yang tidak mungkin kontinu dalam regresi logit dapat dimasukan ke dalam model menggunakan teknik pengkodean variabel dummy. Perbedaan logit dengan OLS adalah komponen acak dan sistematis yang tidak dapat dipetakan secara langsung satu sama lain. Dalam regresi logit digunakan non-linier link function menurut Hutcheson dan Sofroiniou (1999) dalam Utari (2006). Menurut Ramanathan (1997) Model dalam analisis logit dituliskan dengan
, dimana p merupakan peluang, e adalah logaritma
natural, α dan β merupakan parameter komponen linier dari model, dan x
sebagai nilai dari varabel penjelas. Konversi dari peluang agar dapat diestimasikan dalam linier dengan logit dinamakan odds. Metode untuk menganalisis logit adalah Maximum Likelihood (ML). Menurut Hutcheson dan Sofroiniou (1999) dalam Utari (2006) untuk mengestimasi peluang dengan metode ML digunakan dengan proses:
ln (odds) = ln ( log(odds) = log(odds) = logit(p) =
log e (persamaan linier sehingga dapat diestimasi) (persamaan yang dapat diestimasi dengan ML)
Parameter dari model logit dapat diintrepetasikan dengan cara yang sama seperti OLS, yaitu dengan slope parameter β, slope ini diintrepetasikan sebagai perubahan logit (p) akibat perubahan satu unit variabel. Dengan kata lain β menggambarkan perubahan dalam log odds dari adanya perubahan satu unit x. Hutcheson dan Sofroiniou (1999) dalam Utari (2006) transformasi distribusi kurva bentuk S menjadi distribusi linier dapat dilihat dalam gambar berikut ini. Odss dari peluang
Peluang
X
Log odds dari peluang
X
X
Gambar 1. Perubahan Distribusi Kurva Bentuk S Menjadi Distribusi Linier
3.2
Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran dan perumusan masalah penelitian,
dapat dikembangkan hipotesis penelitian, yaitu:
1. Penilaian pengusaha industri batik untuk menerima atau tidak menerima keberadaan UPL diduga dipengaruhi secara positif oleh tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, lama tinggal, pengetahuan mengenai pencemaran, tingkat sosialisasi dan besaran buangan limbah. Penilaian masyarakat Jenggot dalam menerima dan tidak menerima keberadaan UPL diduga dipengaruhi secara positif oleh variabel tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jenis pekerjaan, lama tinggal dan pengetahuan mengenai pencemaran. 2. Kesediaan pengusaha industri batik untuk membayar biaya pengelolaan air limbah dipengaruhi secara positif oleh tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah buangan limbah perhari dan pengetahuan mengenai pencemaran. 3. Besarnya nilai WTP pengusaha industri batik diduga dipengaruhi secara positif oleh tingkat pendapatan, tingkat pengetahuan responden akan pencemaran, jumlah buangan limbah perhari, dan penilaian pengelolaan UPL yang selama ini dikelola oleh pemerintah.
3.3
Kerangka Pemikiran Operasional Kota Pekalongan selama ini dikenal sebagai Kota Batik karena sebagai
salah satu pusat industri-industri batik. Di kota ini sentra industri batik terdapat hampir di setiap pelosok Kota Pekalongan. Sektor industri batik di Kota Pekalongan
berperan
penting
dalam
percepatan
peningkatan
ekonomi
masyarakat, karena sektor tersebut lebih banyak menyerap tenaga kerja dan peningkatan pendapatan daerah. Selain pada peningkatan perekonomian, sektor industri ini juga telah banyak menyumbang limbah industri ke berbagai wilayah di kota pekalongan maupun sekitarnya. Limbah cair batik merupakan suatu limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dimana jika keadaan limbah tersebut sangat
banyak dan terakumulasi akan menyebabkan berbagi dampak atau gejala ke lingkungan, atau biasa kita sebut sebagai pencemaran lingkungan, baik udara maupun air. Dampak lingkungan tersebut terlihat pada saat pembuatan produk batik dalam menghasilkan suatu sisa atau limbah dari proses pencucian kain maupun pencucian peralatan yang digunakan, dimana bekas dari air cucian tersebut mengandung zat-zat yang sangat berbahaya. Berbagai dampak ke lingkungan tersebut juga akhirnya akan menimbulkan berbagai konflik antar masyarakat atau rumah tangga dengan pengusaha industri batik, sehingga memunculkan berbagai konflik sosial di Kota Pekalongan. Pemerintah kota mulai memperhatikan masalah pencemaran setelah dampak yang ada terlihat secara nyata dan berbagai keluhan yang datang akibat berbagai pencemaran tersebut, sehingga pemerintah mewajibkan untuk industriindustri membuat instalasi pengolahan air limbah agar nantinya air limbah tersebut dapat diproses terlebih dahulu sebelum dibuang ke sungai. Peraturan pemerintah untuk membuat IPAL kurang didengar oleh para pengusaha, karena dibutuhkan dana tidak sedikit dalam pembuatan IPAL dan biaya pengolahan, yang akhirnya membuat para pengusaha mengurungkan membuat IPAL. Dengan berbagai alasan diatas, Pemerintah Kota Pekalongan dalam hal ini Dinas Penataan Kota dan Lingkungan Hidup (DPKLH) membuat Unit Pengolahan Limbah (UPL) yang dapat diterima oleh masyarakat, karena murah dan alami. UPL ini termasuk pertama kali di Jawa Tengah. UPL tersebut dibangun di tempat bekas IPAL yang dulu tidak dioperasikan dan berada di Daerah Jenggot. Sesuai tujuan awalnya, bahwa pembuatan UPL adalah untuk menanggulangi tingkat pencemaran akibat limbah cair batik maupun tekstil yang langsung terbuang tanpa proses pengolahan. Dengan konsep penyerapan alamiah dan biaya yang lebih sedikit, diharapkan UPL ini dapat memperbaiki
kondisi lingkungan. UPL dibuat pada tahun 2003, untuk mengetahui tentang keberadaan UPL tersebut di Daerah Jenggot maka diperlukan analisis penilaian dari para pengusaha batik dan masyarakat Jenggot mengenai keadaan sebelum dan sesudah terdapat UPL di daerah tersebut dengan analisis deskriptif yang nantinya akan diketahui berapa peluang pengusaha batik dan masyarakat Jenggot menerima atau tidak menerima keberadaan UPL. Mengingat dilakukannya penyerahan pengelolaan ke pemerintah dan adanya perbaikan dalam penyediaan sarana prasarana dan perbaikan pelayanan maka perlu adanya penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesediaan dan ketidaksediaan pengusaha batik untuk membayar iuran pengelolaan dengan menggunakan regresi logit. Selain itu perlu adanya penilaian ekonomi mengenai besarnya iuran pengelolaan UPL dengan menggunakan pendekataan kesediaan responden untuk membayar dengan menggunakan metode CVM dan analisis regresi berganda. Sehingga akan diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai WTP tersebut. Hasil dari analisis tersebut akan menghasilkan rekomendasi mengenai kebijakan pengelolaan pengolahan air limbah yang tepat dan yang berkelanjutan dengan melihat dari pandangan masyarakat setempat dan pengusaha industri batik sebagai pihak yang menimbulkan pencemaran. Sehingga kondisi lingkungan akan dapat lebih terjaga dengan baik dan menghindari berbagai konflik sosial yang dimungkinkan akan terjadi. Dalam rangka mempermudah pelaksanaan penelitian, maka penulis membuat alur berpikir yang dapat dilihat pada Gambar 2.
Pertumbuhan Industri Batik Kota Pekalongan Limbah batik berbahaya mencemari lingkungan
Pengolahan Air Limbah dengan IPAL
Biaya Pembuatan dan Pengolahan Tinggi
Unit Pengolahan Limbah (UPL)
Perbaikan Pengelolaan UPL Jenggot
Kurang Maksimal
Rumah Tangga sekitar wilayah Jenggot
Pengusaha Batik dan tekstil Jenggot
Tanggapan Mengenai Keadaan Lingkungan sekitar
Faktor-Faktor Kesediaan Pengusaha Industri Batik Membayar Biaya Pengelolaan UPL
Analisis Deskriptif
Regresi Linier Berganda
Peluang Rumah Tangga Dan Pengusaha Industri Batik Menerima Atau Tidak Menerima Keberadaan UPL
Analisis Regresi Logit
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi nilai WTP
Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan Air Limbah Batik
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional
CVM (Contingent Valuation Method)
Estimasi Nilai WTP
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Jenggot, Kecamatan Pekalongan Selatan, Kota Pekalongan, Propinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa di daerah tersebut terdapat Unit Pengolahan Limbah (UPL) satu-satunya di Jawa Tengah yang dijadikan percontohan dan mempunyai beberapa kelebihan yaitu lebih murah dan mudah dalam pengelolaan dibandingkan instalasi pengolahan air limbah. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Maret-April 2008.
4.2 Metode Pengambilan Data Metode pengambilan data dilakukan secara sengaja (purposive) dengan mengambil 40 sampel dari beberapa populasi pengusaha industri batik yang ada di Kelurahan Jenggot dan masyarakat khususnya rumah tangga sekitar wilayah Jenggot yang dilakukan secara cluster sampling sebanyak 60 responden.
4.3
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer yang dibutuhkan meliputi: karakteristik seluruh responden, tanggapan akan keadaan lingkungan sekitar baik sebelum ada UPL maupun sesudah ada UPL, dan respon terhadap tingkat kesediaan dan ketidaksediaan responden
untuk
membayar
pengolahan
yang
sesuai
rencana melalui
wawancara langsung dengan responden sebagai pendukung dari penggunaan Contingent Valuation Method (CVM).
Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi data UPL Jenggot, pengelolaan limbah yang dilakukan, data mengenai jumlah industri di sekitar wilayah Jenggot, data jumlah penduduk Jenggot, keadaan sosial ekonomi masyarakat Jenggot, dan tingkat pendidikan masyarakat Jenggot. Data-data tersebut diperoleh dari wawancara dengan Lurah Jenggot, Tokoh Masyarakat, Dinas Penataan Kota dan Lingkungan Hidup Kota Pekalongan (DPKLH), Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota Pekalongan, dan literatur-literatur yang relevan.
4.4
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.
Pengolahan data dilakukan menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excel, dan Minitab14.
4.4.1
Analisis Penilaian Responden terhadap Keberadaan UPL Untuk mengidentifikasi penilaian pengusaha industri batik serta rumah
tangga sekitar wilayah Jenggot yang menjadi responden di lokasi penelitian terhadap keberadaan UPL diperlukan analisis kualitatif dan kuantitatif. Data responden meliputi karakteristik responden, penilaian responden tentang keadaan lingkungannya baik sebelum dan sesudah terdapatnya UPL di daerah Jenggot, dan penilaian tingkat pencemaran sekitar wilayah Jenggot, akan dianalisis secara deskriptif. Penilaian penilaian responden terhadap keberadaaan UPL yang ada saat ini dianalisis secara kuantitatif dengan alat analisis regresi logit, untuk melihat kesediaan para pengusaha dalam menerima maupun tidak menerima keberadaan UPL Jenggot yang sudah ada semenjak tahun 2003. Bentuk logit yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Li
=
β0 β1,.., β8 PDDK PDPT LT TAHU
= = = = = =
JU SOSI LIMB BIAYA i e
= = = = = =
Peluang responden menerima keberadaan UPL (bernilai 1 untuk “menerima”, nilai 0 untuk “tidak’’ ) Konstanta Koefisien regresi Tingkat pendidikan(tahun) Tingkat pendapatan (Rp/bulan) Lama tinggal (tahun) Pengetahuan mengenai pencemaran (bernilai 1 jika tahu, bernilai 0 jika tidak) Jarak industri maupun rumah dengan UPL (meter) Tingkat sosialisasi (frekuensi) Jumlah buangan limbah (liter/hari) Biaya pengurangan pencemaran (Rp/bulan) Responden ke I (i=1,2,3,…n) Galat
Variabel-variabel yang berbanding lurus dengan peluang pengusaha batik menerima keberadaan UPL adalah tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, lama tinggal, pengetahuan mengenai pencemaran, tingkat sosialisasi dan jumlah buangan limbah pengusaha. Hal ini berarti semakin besar nilai dari variabelvariabel tersebut, maka peluang seorang pengusaha industri batik untuk menerima keberadaan UPL akan semakin besar. Variabel
tingkat
pendidikan,
semakin
tinggi
tingkat
pendidikan
responden berarti menunjukkan responden peduli dan mengerti akan kelestarian lingkungan, sehingga responden menerima akan keberadaan UPL tersebut. Variabel tingkat pendapatan menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan responden, kebutuhannya selain kebutuhan pokok juga akan menjadi prioritas responden, seperti kebutuhan akan lingkungan yang bersih dan sehat, sehingga akan membuat responden menerima keberadaan UPL untuk memperbaiki keadaan lingkungannya.
Variabel lama tinggal, jika responden semakin lama sudah tinggal di daerah tersebut, maka akan menunjukkan respon responden menerima keberadaan UPL yang ada saat ini. Variabel pengetahuan mengenai pencemaran berbeda dengan tingkat pendidikan. Dalam variabel ini menjelaskan tentang tingkat pengetahuan responden mengenai dampak dari limbah, maka akan menunjukkan seberapa besar kepedulian responden terhadap lingkungan yang pada akhirnya mempengaruhi responden menerima keberadaan UPL untuk memperbaiki
keadaan
lingkungannya.
Variabel
tingkat
sosialisasi
akan
mempengaruhi responden dalam menerima keberadaan UPL, hal tersebut dikarenakan oleh adanya intensitas dari pemerintah dalam memberikan pengarahan mengenai menjaga kebersihan lingkungan maupun mengenai pentingnya UPL. Terakhir adalah variabel kapasitas buangan limbah. Jika semakin banyak jumlah buangan limbah pengusaha industri batik tiap harinya, diduga akan mempengaruhi responden untuk menerima keberadaan UPL dalam mengolah limbah agar layak dibuang ke lingkungan. Variabel yang berpengaruh negatif adalah jarak rumah maupun industri dengan UPL dan biaya untuk mengurangi atau mencegah pencemaran. Variabel jarak rumah dengan UPL diduga akan mempengaruhi responden untuk tidak menerima keberadaan UPL, karena jika semakin jauh responden diduga kurang peduli dengan UPL. Jadi akan sangat mempengaruhi responden untuk menerima keberadaan UPL. Variabel biaya untuk mengurangi tingkat pencemaran dipilih dengan alasan, jika biaya yang dikeluarkan responden untuk mencegah adanya pencemaran semakin besar maka akan mempengaruhi responden untuk tidak menerima keberadaaan UPL. Bentuk logit untuk responden masyarakat (rumah tangga) di sekitar wilayah Jenggot adalah sebagai berikut :
Li
=
β0 β1,…, β7 PDDK PKJ PDPTN JRKI BIAYA TAHU
= = = = = = = =
LT i e
= = =
Peluang responden menerima keberadaan UPL (bernilai 1 untuk “menerima”, nilai 0 untuk “tidak’’ ) Konstanta Koefisien regresi Tingkat pendidikan (tahun) Pekerjaan (bernilai 1 jika buruh dari industri, bernilai 0 jika lainnya) tingkat pendapatan (Rp/bulan) Jarak rumah dengan industri (meter) Biaya pengurangan pencemaran Pengetahuan mengenai pencemaran (bernilai 1 jika “tahu”, bernilai 0 “jika tidak”) Lama tinggal (tahun) Responden ke i (i=1,2,3,…n) Galat
Variabel tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan responden berarti menunjukkan responden peduli dan mengerti akan kelestarian lingkungan, sehingga responden akan menerima keberadaan UPL tersebut. Variabel lama tinggal diduga akan mempengaruhi secara positif untuk menerima keberadaan UPL di Jenggot, karena semakin lama dia tinggal di daerah tersebut, akan membuat responden lebih sensitif akan perubahan lingkungannya. Variabel pengetahuan mengenai pencemaran berbeda dengan tingkat pendidikan, dalam variabel ini menjelaskan tentang tingkat pengetahuan responden mengenai dampak dari limbah, maka akan menunjukkan seberapa besar kepedulian responden terhadap lingkungan yang pada akhirnya mempengaruhi responden menerima keberadaan UPL untuk mengatasi lingkungan yang kotor, dan variabel tingkat pendapatan, jika semakin tinggi tingkat pendapatan maka menandakan kebutuhan selain kebutuhan primer akan meningkat pula, hal itu akan menunjukkan kesediaan rumah tangga dalam menerima keberadaan UPL untuk memenuhi kebutuhannya akan lingkungan yang bersih. Variabel yang diduga merespon negatif adalah pekerjaan, jarak rumah dengan industri, dan biaya pengurangan pencemaran. Variabel pekerjaan
menunjukkan bahwa jika responden bekerja diluar sektor industri batik akan menerima keberadaan UPL tersebut karena responden sangat membutuhkan suatu keadaan lingkungan yang lebih baik, sedangkan responden yang bekerja sebagai buruh di industri batik tersebut diduga kurang begitu merespon keberadaan UPL atau kurang begitu merespon tentang keadaan lingkungan yang ada. Variabel jarak rumah dengan industri, semakin rumah responden dekat dengan industri, responden akan lebih merasakan atau melihat langsung dampak dari limbah tersebut, sehingga responden akan sangat membutuhkan UPL untuk mengolah limbah-limbah tersebut agar layak dibuang ke sungai dan tidak menimbulkan dampak-dampak yang sangat tidak baik untuk sekitar, sehingga jika semakin jauh rumah dengan industri diduga responden kurang begitu mengetahui dampak yang dilihat atau dirasakan karena jauh dari sumber limbah dan tidak membutuhkan keberadaan UPL. Variabel yang lain adalah besarnya biaya untuk mengurangi atau mencegah pencemaran, variabel ini dipilih dengan alasan jika ada biaya yang dikeluarkan responden semakin besar untuk mencegah adanya pencemaran, maka akan mempengaruhi responden untuk tidak menerima keberadaaan UPL.
4.4.2
Kesediaan atau Ketidaksediaan Pengusaha Industri Batik Membayar Biaya Pengelolaan UPL Analisis yang digunakan adalah model regresi logit dimana variabel
respon bersifat dikotomi, dengan model ini akan diduga peluang responden untuk memilih bersedia atau tidak bersedia membayar biaya pengelolaan UPL. Berdasarkan penelitian terdahulu dan teori yang berkaitan dengan WTP, maka bentuk persamaan regresi logit untuk responden pengusaha industri batik adalah sebagai berikut :
Li
=
β0 β1,…, β6 PDDK PDPT JT LIMB BIAYA TAHU
= = = = = = = =
i e
= =
Peluang pengusaha bersedia membayar biaya pengelolaan UPL (bernilai 1 jika “bersedia” dan bernilai 0 jika “tidak”) Konstanta Koefisien regresi Tingkat pendidikan(tahun) Tingkat Pendapatan (Rp/bulan) Jumlah tanggungan (orang) Kapasitas buangan limbah ke UPL (perliter) Biaya untuk pencemaran (Rp/bulan) Pengetahuan mengenai pencemaran (bernilai 1 jika “tahu’’ bernilai 0 jika “tidak tahu’’) Responden ke I (i=1,2,3,…n) Galat
Variabel
tingkat
pendidikan,
semakin
tinggi
tingkat
pendidikan
responden berarti menunjukkan responden peduli dan mengerti akan kelestarian lingkungan, sehingga akan mempengaruhi responden dalam kesediaannya membayar pengelolaan UPL untuk memperbaiki keadaan lingkungan yang rusak. Variabel tingkat pendapatan menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan responden, kebutuhan selain kebutuhan pokok akan menjadi prioritas responden, seperti kebutuhan akan lingkungan yang bersih dan sehat, sehingga akan membuat responden setuju membayar biaya pengelolaan UPL untuk memperbaiki keadaan lingkungan. Variabel jumlah buangan limbah diduga akan mempengaruhi secara positif pengusaha bersedia membayar biaya pengelolaan UPL untuk mengolah sisa limbah yang dibuang pengusaha, sehingga semakin banyak limbahnya, maka akan mempengaruhi responden untuk bersedia membayar biaya pengelolaan UPL. Variabel pengetahuan mengenai pencemaran berbeda dengan tingkat pendidikan, dalam variabel ini menjelaskan tentang tingkat pengetahuan responden mengenai dampak dari limbah, maka akan menunjukkan seberapa besar
kepedulian responden
terhadap
lingkungan yang
pada akhirnya
mempengaruhi responden untuk membayar biaya pengelolaan UPL agar keadaan lingkungan terbebas dari pencemaran limbah. Variabel yang berpengaruh negatif adalah jumlah tanggungan, dan besanya biaya untuk mengurangi atau mencegah pencemaran, jadi semakin banyak jumlah tanggungan responden maka tingkat pengeluarannya juga akan semakin besar, sehingga akan mempengaruhi responden untuk tidak membayar biaya pengelolaan UPL dalam mengolah limbah. Variabel biaya untuk mengurangi pencemaran dipilih dengan alasan karena jika semakin besar biaya yang dikeluarkan responden untuk mencegah adanya pencemaran, akan mempengaruhi responden untuk tidak bersedia membayar biaya pengelolaan UPL karena sudah ada biaya yang responden keluarkan sendiri. 4.4.3
Analisis Nilai Kesediaan Membayar Pengusaha Batik terhadap Biaya Pengelolaan UPL
4.4.3.1 Metode Pendugaan Besarnya Nilai Kesediaan Membayar Menurut Hufscmidt (1987) dalam Ayu (2004), Contingent Valuation Method (CVM) menilai suatu barang lingkungan melalui dua pertanyaan, yaitu: a.
Apakah anda bersedia membayar sejumlah Rp. X tiap bulan/tiap tahun untuk memperoleh peningkatan kualitas lingkungan?
b.
Apakah anda bersedia menerima sejumlah Rp. X tiap bulan/tiap tahun
sebagai
kompensasi
atas
diterimanya
kerusakan
lingkungan? Dalam penelitian ini, hanya menganalisis berapa kesediaan membayar untuk memperoleh peningkatan kualitas lingkungan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode referendum tertutup (dichotomous choice), karena menurut beberapa penelitian, metode ini lebih mudah dipahami oleh responden mengenai maksud dan tujuan dari penelitiannya dibandingkan dengan metode yang lain.
4.4.3.2 Tahap-tahap dalam Penerapan Penilaian Ketidak-tentuan ( CVM) Terdapat 5 langkah dalam menetapkan metode menurut Hanley dan Spash (1993) diantaranya adalah : 1. Membentuk Pasar Hipotetik( Hypothetical Market ) Gagasan utama di sini adalah membangun suatu skenario yang bersesuaian dengan situasi. Dalam banyak kasus akan tidak terdapat suatu mata rantai langsung antar jawaban dari responden, dan suatu keputusan untuk tidak menerapkan atau menerapkan perubahan lingkungan yang dihargai.7 a) Menetapkan alasan untuk pembayaran. Dengan standard menjual barang-barang. Kita harus membayar untuk mendapatkan lebih banyak suatu kebaikan. Peningkatan ditetapkan tergantung pada pembayaran yang benar-benar sedang dibuat. Skenario ini harus dipahami oleh responden. b) Harus membangun suatu yang disebut sarana atau metoda penawaran pembayaran. Sarana ini harus memenuhi kondisi-kondisi berkenaan dengan kecocokan perangsang, realisme, dan keadilan hubungan antar responden. Dalam penelitian ini, pasar hipotetik yang dibentuk adalah suatu pasar dengan pelayanan dan pengelolaan pengolahan air limbah di UPL Jenggot. Responden sebelumnya telah menjawab pertanyaan mengenai penilaian
7
Lecture on Environmental Economics “The Basic of The Contingent Valuation Method, WWW.uio.no.pdf (7 mei 2004)
keberadaan UPL saat ini, kondisi sekitar sungai, dan kualitas pengelolaan UPL. Untuk
teknik
survei ini, responden mula-mula diminta untuk
mendengarkan atau membaca pernyataan yang dicantumkan dalam kuesioner yang dapat memberikan deskripsi jika seluruh pengusaha industri batik di Jenggot akan membayar untuk mendapatkan kualitas lingkungan yang lebih baik dengan pengelolaan UPL yang lebih baik. Informasi yang diberikan kepada responden meliputi keseluruhan aspek dari pasar hipotetik bersama-sama dengan informasi bagaimana hal tersebut disediakan oleh barang yang dinilai keberadaannya. Berdasarkan pernyataan tersebut diperoleh ukuran perilaku konsumen dalam situasi hipotetik. Skenario Dinas Penataan Kota dan Lingkungan Hidup telah menerapkan pengelolaan limbah tekstil maupun batik di wilayah Jenggot dengan UPL. Jika Pemerintah Kota Pekalongan memberlakukan kebijakan baru dalam memperbaiki kualitas lingkungan dengan pengelolaan UPL yang lebih baik, yaitu peningkatan pelayanan, pengelolaaan serta peningkatan penyediaan sarana prasarana dalam menyalurkan limbah langsung ke UPL seperti pembuatan pipa-pipa penyaluran air limbah, dimana kegiatan operasional UPL tersebut tetap menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun dana operasional tidak seluruhnya berasal dari pemerintah, dengan demikian pengusaha akan dikenakan suatu biaya pengelolaan UPL dalam rangka ikut berpartisipasinya para pengusaha dan membantu upaya pemerintah menjaga kelestarian lingkungan. Biaya tersebut selanjutnya akan digunakan untuk pemeliharaan dalam pengolahan limbah, dan penyediaan prasarana dengan teknologi yang ramah lingkungan, dengan tujuan agar pengusaha dapat terus menjaga kualitas lingkungan, keberlanjutan lingkungan dan usaha sehingga
tidak terjadi suatu konflik sosial antar masyarakat. Besarnya biaya yang patut diberlakukannya akan ditanyakan kepada responden mengenai WTP sesuai dengan jumlah kapasitas buangannya. Apakah mereka akan menjawab “ya”/”tidak” terhadap kebijakan pemerintah daerah tersebut. Pertanyaan yang Menyangkut Skenario Seandainya kebijakan pemerintah mengenai penambahan fasilitas dan perbaikan pengelolaan, maka responden akan ditanyakan kesediaan mereka untuk membayar biaya pengelolaan sebagai bentuk partisipasi mereka dan membantu pemerintah, sebagaimana yang dirumuskan dibawah ini : Bersediakah atau tidak Bapak/Ibu/Saudara/i untuk ikut berpartisipasi melalui pengelolaan air limbah secara bersama-sama di sekitar wilayah Jenggot dengan iuran atau biaya pengelolaan UPL untuk mendapatkan keadaan lingkungan yang lebih baik?
2. Memperoleh Penawaran Besarnya Nilai WTP (Obtaining Bids) Tahap berikutnya dalam melakukan CVM adalah memperoleh nilai lelang. Dengan melakukan survey, dapat dilakukan dengan tatap muka, surat maupun perantara telepon. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan tatap muka, dan untuk mendapatkan hasil yang lebih mendalam dengan metode dichotomous choice. Metode pertanyaan pilihan dikotomi (dichotomous choice) menawarkan responden jumlah uang tertentu dan menanyakan apakah bersedia atau tidak bersedia membayar sejumlah uang untuk memperoleh peningkatan kualitas lingkungan yang lebih baik. 3. Menghitung Dugaan Rataan WTP (Expected WTP, EWTP) Setelah data mengenai nilai WTP terkumpul, tahap selanjutnya adalah perhitungan nilai tengah dan rata-rata dari WTP tersebut. Selanjutnya dugaan rataan WTP dihitung dengan rumus :
Dimana: EWTP = Dugaan rataan WTP Wi = Nilai WTP ke-i n = Jumlah responden i = Responden ke-i yang bersedia membayar retribusi (1,2,3,..n) 4. Memperkirakan Kurva WTP ( Estimating Bid Curve) Sebuah kurva dapat diperkirakan dengan menggunakan nilai WTP sebagai variabel dependen dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tersebut sebagai variabel independen. Kurva ini dapat digunakan untuk memperkirakan perubahan nilai WTP karena perubahan sejumlah variabel independen yang berhubungan dengan mutu lingkungan. Selain itu, dapat juga berguna untuk menguji sensitifitas jumlah WTP terhadap variasi perubahan mutu lingkungan. 5. Menentukan WTP Agregat atau WTP Total (TWTP) Menurut pearce dan turner dalam Arianti (1999) WTP agregat atau total dapat digunakan untuk menduga WTP populasi secara keseluruhan dengan rumus:
Dimana: TWTP WTPi ni N P i
= = = = = =
Kesediaan populasi untuk membayar Kesediaan responden untuk membayar Jumlah sampel yang bersedia membayar sebesar WTP Jumlah sampel Jumlah Populasi Responden ke-i yang bersedia membayar biaya pengelolaan UPL (i=1,2,3..,n)
6. Pengevaluasian CVM Hal ini memerlukan pendekatan seberapa besar tingkat keberhasilan pengaplikasian CVM. Apakah hasil survei mengandung tingkat penawaran sanggahan yang tinggi? Apakah ada bukti bahwa responden benar-benar
mengerti pasar hipotetik? Seberapa besar tingkat kesalahan responden dalam menjawab pertanyaan yang diajukan? Seberapa baik pasar hipotetik untuk menangkap setiap aspek dalam barang lingkungan? Asumsi apa yang digunakan untuk dapat menghasilkan nilai rata-rata dan bentuk pengumpulan penawaran? Seberapa baik
penanganan permasalahan yang terjadi
diasosiasikan dengan CVM? Untuk mengevaluasi pelaksanaan model CVM dapat dilihat dari tingkat keandalan fungsi WTP untuk mengetahui apakah CVM yang dilakukan dapat memberikan gambaran yang sebenarnya dari ukuran penilaian DPKLH.
4.4.4
Analisis Fungsi WTP Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi WTP pengusaha
industri batik terhadap pembiayaan pengelolaan UPL secara mandiri digunakan model regresi berganda. Berdasarkan penelitian terdahulu dan teori yang berkaitan, maka persamaan regresi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
midWTP = β0 = β1,…, β7 = PDPT = BPROD = JT = PLYN = LIMB TAHU
= =
BIAYA i e
= = =
Nilai tengah WTP Konstanta Koefisien regresi Tingkat pendapatan(Rp/bulan) Biaya produksi ( Rp/bulan) Jumlah tanggungan (orang) Penilaian pengelolaan UPL (bernilai 1 jika “puas”, nilai 0 jika” tidak puas”) Kapasitas buangan limbah ke UPL (liter perhari) Pengetahuan mengenai tingkat pencemaran (bernilai satu jika “tahu” dan bernilai nol jika “tidak tahu”) Biaya untuk mengurangi pencemaran (Rp/bulan) Responden ke-i (i=1,2,3,…n) Galat
Intepretasi untuk variabel tingkat pendapatan, adalah jika semakin tinggi tingkat pendapatan dari responden, diduga akan mempengaruhi responden membayar lebih untuk mendapatkan kualitas lingkungan yang lebih baik. Variabel tingkat pengetahuan responden akan pencemaran akibat limbah cair batik termasuk variabel dummy, dimana jika responden tahu maka diberi nilai satu, jika tidak tahu, maka diberi nilai nol , jika responden semakin tahu tentang pencemaran lingkungan akibat limbah diduga akan bersedia untuk membayar lebih tinggi agar mendapatkan kualitas lingkungan yang lebih baik. Pemilihan variabel penilaian pengelolaan UPL ini diduga akan mempengaruhi responden untuk berani membayar lebih untuk pengelolaan selanjutnya. Variabel ini termasuk variabel dummy, diberi nilai 1 jika responden merasakan puas, dan jika tidak merasakan puas, maka diberi nilai nol. Variabel jumlah buangan limbah diduga akan mempengaruhi responden untuk membayar lebih, jika kapasitas buangannya semakin banyak. Variabel yang diduga mempengaruhi secara negatif adalah variabel biaya produksi, jika semakin banyak yang dikeluarkan biaya produksinya, maka akan mempengaruhi responden untuk memberikan nilai kesediaan membayar yang lebih rendah dibandingkan responden yang biaya produksinya lebih kecil. Variabel jumlah tanggungan diduga akan mempengaruhi responden dalam memberikan nilai kesediaan yang lebih rendah jika jumlah tanggungannya banyak, dan terakhir variabel besarnya biaya untuk mengurangi tingkat pencemaran,
jika
semakin
besar
biaya
yang
dikeluarkan
maka
mempengaruhi responden untuk memberikan nilai kesediaan lebih rendah.
akan
4.5
Pengujian Parameter Pengujian terhadap parameter model dilakukan untuk memeriksa
kebaikan model. Uji statistik yang dilakukan adalah dengan menggunakan statistik uji G dan statistik uji wald. 1.
Uji G Statistik uji G adalah uji rasio kemungkinan maksimum (likelihood ratio test)
yang digunakan untuk menguji peranan variable penjelas secara serentak (Hosmer & Lemeshow, 1989) dalam Hudayanti (2007). Rumus umum untuk uji G adalah:
Dimana : L0 = nilai likelihood tanpa variable penjelas L1 = nilai likelihood model penuh The log-likelihood biasa dikenal sebagai – 2LL (- two times the loglikelihood) dimana nilai tersebut dapat memperkirakan distribusi chi-square (X2) dan memungkinkan penentuan level signifikasi. Menurut Hutcheson & Sofroniou (1999) dalam Qomariah (2005), ukuran dari pengaruh semua variabel penjelas dalam model yang memakai variable respon dapat diperoleh dengan membandingkan –2LL untuk model tanpa variable penjelas ( model nol atau biasa dikenal sebagai the initial log-likelihood function) dengan –2LL untuk model dengan semua variable penjelas. Perbedaan dalam –2LL antara kedua model tersebut menunjukkan pengaruh dari variable penjelas. Pengujian terhadap hipotesis pada uji G responden pengusaha batik dan maupun rumah tangga adalah sebagai berikut:
H1= minimal ada satu nilai
tidak sama dengan nol, dimana i = 1,2,3,…8
Statistik G akan mengikuti sebaran x2 dengan derajat bebas p. Kriteria keputusan yang diambil adalah G>x2
p(α)
maka hipotesis nol ditolak. Uji G juga
dapat digunakan untuk memeriksa apakah nilai yang diduga dengan variable di dalam model lebih baik jika dibandingkan dengan model tereduksi. 2. Uji Wald Uji wald digunakan untuk uji nyata parsial bagi masing-masing koefisien variable. Dalam pengujian hipotesa, jika koefisien dari variable penjelas sama dengan nol, hal ini berarti variable penjelas tidak berpengaruh pada variable respon (Hosmer & Lemeshow, 1989). Statistik uji wald dapat didefinisikan sebagai berikut:
Dimana : = penduga βj = penduga galat baku dari Uji wald melakukan pengujian terhadap hipotesis : H0 H1
: βj =0 : βj ≠ 0, dimana j = 1, 2,…9
Uji wald mengikuti sebaran normal baku dengan kaidah keputusan menolak H0 jika [W] > Z α/2. 3. Uji Keandalan Uji ini dilakukan dalam evaluasi pelaksanaan CVM. Berhasil tidaknya pelaksanaan CVM dilihat dengan nilai koefisien determinasi (R2) dari OLS (Ordinary Least Square) WTP. 4. Uji Statistik t Uji statistik t dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh masing-masing variabel bebasnya (Xi) mempengaruhi sosial ekonomi masyarakat setempat (Yi)
sebagai peubah tak bebas, prosedur pengujiannya adalah sebagai berikut : (Ramanathan, 1997). H0 : H1 :
= 0 artinya variabel bebas (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya (Yi) ≠ 0 artinya variabel bebas (Xi) berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya (Yi)
Jika
< tabel, maka H0 diterima, artinya variabel (Xi) tidak berpengaruh
nyata terhadap variabel (Yi) > tabel, maka H0 ditolak, artinya variabel (Xi) berpengaruh nyata Jika terhadap variabel (Yi). 5. Uji Statistik F Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel (Xi) secara bersama-sama terhadap variabel (Yi). prosedurnya adalah sebagai berikut :
Dimana: JKK JKG n k
= Jumlah Kuadrat untuk nilai tengah kolom = jumlah kuadrat Galat = jumlah sampel = jumlah peubah
< F tabel, maka H0 diterima, artinya variabel (Xi) secara serentak Jika tidak berpengaruh nyata terhadap variabel (Yi) > F tabel, maka H0 ditolak, artinya variabel (Xi) secara serentak Jika berpengaruh nyata terhadap variabel (Yi). 6. Uji terhadap Multikolinear Data model yang melibatkan banyak peubah bebas sering terjadi masalah multikolinear, yaitu terjadinya korelasi yang kuat antar peubah-peubah bebas. Menurut Koutsoyiannis (1977) dalam Hudayanti (2007) deteksi adanya multikolinier dalam sebuah model dapat dilakukan dengan membandingkan besarnya nilai koefisien determinasi (R2) dengan koefisien determinasi parsial
antar dua peubah bebas (r2). Untuk hal ini dapat dibuat suatu matriks koefisien determinasi parsial antar peubah bebas. Multikolinier dianggap sebagai masalah serius jika koefisien determinasi parsial antar dua peubah bebas melebihi atau sama dengan nilai koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua peubah secara simultan, secara matematis dapat dituliskan dalam pertidaksamaan berikut :
Menganalisa derajat multicollinearity dengan cara mengevaluasi nilai Variance Inflation Factors (VIF) dimana merupakan suatu cara mendeteksi multikolinier dengan melihat sejauh mana sebuah variabel penjelas dapat diterangkan oleh semua variabel penjelas lainnya di dalam persamaan regresi Semakin tinggi VIF suatu variabel tertentu, semakin tinggi varian koefisien estimasi pada variabel tersebut, dan berarti semakin berat dampak dari multikolinier. Dikatakan berat apabila angka VIF dari suatu variabel melebihi 10 (Sarwoko, 2005). 7. Uji Heteroskedastisitas Salah satu asumsi yang penting dari model regresi linier klasik adalah varian residual bersifat homoskedastisitas. Asumsi ini tidak selalu realistis. Apabila terjadi suatu pelanggaran dalam asumsi klasik maka varian residual tidak lagi bersifat konstan (disebut heteroskedastisitas) dan apabila diestimasi dengan OLS, varian estimator tidak lagi minimum, kendatipun estimator itu sendiri tidak bias (Sarwoko, 2005). 8. Uji Odds Ratio Odds ratio merupakan interpretasi dari peluang dan kemunculan dari peubah respon (Y=1) sebesar exp (β) kali jika taraf atribut tersebut yang semua peubah dummy bernilai nol muncul.
Odds ratio mengindikasikan seberapa lebih mungkin, dalam kaitannnya dengan nilai odds, munculnya kejadian sukses pada suatu kelompok dibandingkan dengan kelompok lainnya. Secara ringkas dapat diinterpretasikan sebagai berikut : a) Jika koefisien bertanda (+) maka odds ratio akan lebih dari 1 b) Jika variabelnya merupakan skala nominal (dummy), maka dummy = 1 memiliki kecenderungan untuk Y = 1 sebesar exp (β1) kali dibandingkan dengan dummy = 0 c) Jika variabelnya bukan dummy, maka semakin besar X maka exp (βi ) ≥ 1, sehingga semakin besar nilai X semakin besar pula kecenderungan untuk Y=1. 4.6 Batasan Penelitian Asumsi-asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Wilayah penelitian adalah Desa jenggot, Pekalongan Selatan. 2. Objek penelitian adalah pengusaha industri batik dan rumah tangga sekitar Jenggot. 3. Responden
adalah
pengusaha
batik
yang
mempunyai
tempat
pembabaran batik sendiri dan rumah tangga di sekitar wilayah Jenggot. 4. WTP adalah sejumlah uang yang ingin diberikan seseorang agar terjadi peningkatan kualitas lingkungan, sehingga semua pihak dapat merasakan manfaat baik dari membaiknya keadaan lingkungan sehingga tidak terjadi suatu konflik sosial akibat dampak negatif ke lingkungan. 5. CVM digunakan untuk menampung preferensi responden pada keadaan tertentu.
BAB V GAMBARAN UMUM
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5.1.1
Letak Geografis dan Luas Wilayah Desa Jenggot termasuk wilayah Kota Pekalongan tepatnya di wilayah
Kecamatan Pekalongan Selatan. Secara astronomi terletak di antara koordinat 109˚ 37’ 55’’ - 109˚ 42’ 9’’ Busur Timur (BT) dan 6˚ 5’ 42’’ - 6˚ 55’ 44’’ Lintang Selatan (LS). Luas wilayah Desa Jenggot adalah 123.500 Ha dan secara administrasi Desa Jenggot dibatasi oleh : •
Sebelah Utara
: Kelurahan Medono
•
Sebelah Selatan
: Desa Simbang Wetan
•
Sebelah Barat
: Kelurahan Kradenan
•
Sebelah Timur
: Kelurahan Kuripan
Kondisi geografis menunjukkan keadaan suhu berkisar 29˚C - 34˚C. Keadaan topografi yang relatif datar dengan kemiringan 3˚ memungkinkan kondisi tersebut akan memperkecil proses oksidasi pada badan air permukaan, sehingga akan menyebabkan proses kemampuan mencuci sendiri terhadap beban limbah yang masuk Desa Jenggot akan berjalan lambat, dan menganggu kehidupan ekosistem sungai dan sekitarnya. 5.1.2
Keadaan Penduduk Jumlah penduduk Desa Jenggot pada tahun 2007 adalah sebanyak
11.076 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 3135, dan jumlah penduduk tersebut terdiri dari ( menurut data monografi Kelurahan Jenggot, 2007 ):
• •
Laki-laki sebanyak 5504 jiwa Perempuan sebanyak 5572 jiwa Dari jumlah penduduk di atas hampir 99 persen lebih penduduk
beragama Islam. Menurut mata pencahariannya, sebagian besar penduduk bermata pencaharian : • • • • • •
Pegawai Negeri Sipil TNI Polri Swasta Wiraswasta/ pedagang Tani Dan lain-lain
: 221 orang : 21 orang : 845 orang : 1255 orang : 16 orang : 171 orang
Tingkat pendidikan penduduk Desa Jenggot dapat digolongkan sebagai berikut : Tabel 2. Jenjang Pendidikan Penduduk Desa Jenggot Tahun 2007 NO Jenjang Pendidikan Jumlah 1. Taman Kanak-kanak (TK) 2. Sekolah Dasar (SD) 3. SLTP 4. SMU 5. Akademik 6. Sarjana 7. Lain-lain Sumber : Data Monografi Kelurahan Jenggot, Tahun 2007
Persentase 481 2926 1151 765 289 32 1490
7% 41% 16% 11% 4% 0,45% 21%
Seperti yang terlihat dalam tabel diatas, bahwa sebagian masyarakat hanya mengenyam pendidikan sampai SD, yaitu sebanyak 41 persen. Selain itu terdapat 21 persen untuk tingkat jenjang pendidikan lain-lain, dalam hal ini adalah tingkat pendidikan pondok pesantren, sekolah luar biasa, kursus, dan lain-lain. 5.2 Keadaan Unit Pengolahan Limbah (UPL) Pada tahun 2003 Pemerintah Kota Pekalongan dan Pemerintah Provinsi bekerja sama untuk membuat Unit Pengolahan Limbah (UPL). Menurut data penelitian dari UGM dan kerjasama pemerintah Kota Pekalongan (2006), UPL ini menempati lokasi bekas IPAL yang dulu tidak beroperasi, IPAL dulu hanya
menempati tanah seluas 900 meter persegi, sedangkan kini UPL tersebut menempati seluas 3,1 Ha dan mampu menampung 400 meter kubik perhari dari perajin batik yang ada di Jenggot dan sekitarnya. Jumlah tersebut diakui masih kurang dalam menampung seluruh limbah yang dihasilkan, karena mengingat jumlah seluruh limbah mencapai 700 meter kubik perhari. Sehingga tidak heran jika ada beberapa pengusaha batik yang masih membuang limbah langsung ke sungai. Meski demikian pemerintah telah sepakat dalam membuat UPL lagi agar semua limbah yang ada dapat diolah semua. Sampai saat ini UPL tersebut masih beroperasi dan berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan UPL tersebut cukup bagus untuk dikembangkan. Pada tahun 2003, UPL tersebut pernah diserahkan kepada pengusaha sekitar wilayah Jenggot selama 2,5 tahun, penyerahan tanggung jawab ke pengusaha mengalami kegagalan dalam pengelolaannya, sehingga pada tahun 2007, UPL mulai dibenahi lagi oleh pemerintah. Sehingga diharapkan dapat berjalan lebih baik lagi, dengan menambah beberapa fasilitas. Oleh pemerintah, pengusaha batik diharapkan ikut serta dalam upaya membantu pengolahan air limbah sehingga limbah cair dari industri-industri tidak menggangu lingkungan sekitarnya.
5.3
Karakteristik Pengusaha Industri Batik Desa Jenggot Karakteristik umum responden dalam hal ini adalah pengusaha industri
batik Desa Jenggot diperoleh berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 40 pengusaha industri batik yang terdapat di Desa Jenggot. Karakteristik umum responden ini dinilai dari beberapa variabel usia, pendidikan terakhir, jenis pekerjaan lain, tingkat pendapatan setiap bulannya, jumlah tanggungan, lama tinggal, lama usaha, biaya produksi, dan jenis hasil produksi.
5.3.1
Usia Tingkat Usia responden tergolong beragam, dengan distribusi usia
dibawah usia 30 tahun sampai usia lebih dari 50 tahun. Jumlah responden tertinggi terdapat pada sebaran usia 40 tahun sampai usia 49 tahun, yaitu berjumlah 16 orang dari 40 responden (40 persen). Respoden yang berusia kurang dari 30 tahun berjumlah 5 orang (13 persen). Sebagian besar responden berumur 40 sampai 50 tahun karena biasanya usaha tersebut dipegang oleh seorang kepala keluarga, dan diantaranya terdapat responden yang berumur dibawah 30 tahun, karena usaha tersebut diserahkan ke tangan anaknya sebagai penerus usaha orang tuanya. Perbandingan distribusi usia responden pengusaha industri batik Desa Jenggot pada tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Karakteristik Responden Berdasarkan Distribusi Usia Di Desa Jenggot Tahun 2008 5.3.2
Pendidikan Terakhir Tingkat pendidikan responden sangat bervariasi, mulai dari jenjang
Sekolah Dasar (SD) sampai ke jenjang Perguruan Tinggi (PT). sebanyak 9 orang responden (23 persen) hanya mencapai jenjang SD. Sejumlah 13 orang (33 persen) pernah mencapai jenjang SLTP, 11 orang (28 persen) pernah mencapai jenjang SMU, 4 orang (13 persen) hanya mencapai jenjang pesantren dan dua responden (5 persen) mencapai jenjang perguruan tinggi. Distribusi tingkat pendidikan responden di Desa Jenggot dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Jenggot Tahun 2008 Seperti terlihat di Gambar 4, sebagian besar responden mencapai tingkat SLTP, melihat rata-rata antar responden yang pernah mengeyam SLTP hanya beberapa persen ini dikarenakan sebagian besar di wilayah tersebut pendidikan kurang begitu diperlukan, sebagian besar setelah SMU atau SLTP mereka langsung menikah maupun langsung bekerja sebagai buruh di sektor industri batik, sehingga akhirnya membawa pendapat “buat apa sekolah tinggi-tinggi nantinya juga kerja nerusin usaha orang tua sebagai pengusaha batik”.
5.3.3
Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan dari para pengusaha adalah untuk melihat tingkat
keberagaman pekerjaan responden sebagai pengusaha industri batik, diantara 40 responden ada sebagian dari responden yang memiliki usaha sebagai pedagang hasil produksinya sendiri dan selain dibidang industri batik, misalnya memiliki usaha di bidang lain maupun usaha dalam pembuatan bahan baku batik, dan selainnya adalah hanya menjadi buruh. Buruh dalam hal ini adalah pengusaha kecil atau industri rumah tangga, yang hanya mengerjakan pesanan dari pengusaha lain atau disebut sebagai produsen, dan pedagang yang dimaksud dalam hal ini adalah pedagang yang menjual hasil produksinya sendiri, atau biasa disebut dengan supplier. Terlihat dalam diagram, bahwa yang mempunyai pekerjaan selain di bidang batik terdapat 3 orang (7 persen), sebagai
buruh atau produsen sebanyak 9 orang (23 persen) dan yang paling banyak adalah responden yang memproduksi sendiri juga menjual hasil produksinya sendiri, yaitu sebanyak 28 orang (70 persen). Perbandingan persentase jumlah responden pada setiap jenis pekerjaan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Desa Jenggot Tahun 2008
5.3.4
Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan responden di Desa Jenggot mayoritas berada pada
level antara Rp 11.000.000 – Rp 25.000.000,-perbulan, yaitu sebanyak 11 orang (28 persen), sebanyak 8 orang (20 persen) menempati tingkat pendapatan dibawah Rp 11.000.000,-/bulan, dan 7 orang (18 persen) dengan tingkat pendapatan diatas Rp 70.000.000,-/bulan. Dalam hal ini pendapatan diukur dalam bentuk omzet yang diterimanya dalam perbulan. Distribusi tingkat pendapatan responden dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan perbulan di Desa Jenggot Tahun 2008 5.3.5 Jumlah Tanggungan
Jumlah tanggungan responden bervariasi, dan mayoritas berada pada selang 5-6 orang yaitu sebanyak 23 orang (58 persen). Jumlah tanggungan yang dimaksudkan adalah mencakup keluarga inti (istri, suami dan anak) serta tambahan tanggungan bukan keluarga inti yang tinggal di rumah responden. Perbandingan persentase jumlah tanggungan responden dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan di Desa Jenggot Tahun 2008 5.3.6
Jumlah Kapasitas Produksi Jumlah kapasitas produksi responden mayoritas kurang dari 500 kodi
perbulan, yaitu sebanyak 17 orang (43 persen), hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar adalah pengusaha kecil, yaitu diantaranya sebagai buruh tempat mencuci batik (buruh tempat mbabar), selang 2001-2500 kodi perbulan sebanyak 5 orang (13 persen), sedangkan kapasitas produksi lebih dari 2500 kodi perbulan sebanyak 8 orang (20 persen). Distribusi besaran kapasitas produksi responden dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Kapasitas Produksi dalam Perbulan di Desa Jenggot Tahun 2008
5.3.7
Biaya Produksi Biaya produksi responden beragam dan mayoritas kurang dari 100 juta
rupiah perbulan, yaitu sebanyak 15 orang (38 persen), sedang sebanyak 7 orang (18 persen) berada pada selang lebih dari 501 juta rupiah perbulan. Hal tersebut menandakan bahwa sebagian besar pengusaha industri batik di daerah Jenggot adalah industri kecil dan menengah. Distribusi presentase biaya produksi responden dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Karakteristik Responden Berdasarkan Besarnya Biaya Produksi dalam Perbulan di Desa Jenggot Tahun 2008
5.3.8
Kapasitas buangan air limbah Kapasitas buangan air limbah mayoritas kurang dari sama dengan 600
liter sehari dan 601 – 1500 liter tiap harinya yaitu sebanyak 10 responden (25 persen), sebesar kapasitas tersebut banyak dilakukan oleh pengusaha batik cap dan sisanya adalah pengusaha atau buruh yang menghasilkan sisa buangan air untuk mencuci plangkan (alat untuk menyablon kain batik). Persentase jumlah kapasitas buangan limbah perharinya yang dibuang oleh pengusaha batik dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Kapasitas Buangan Limbah Perhari di Desa Jenggot Tahun 2008 5.4 Karakteristik Masyarakat Khususnya Rumah Tangga Desa Jenggot Karakteristik umum responden dalam hal ini adalah masyarakat Desa Jenggot diperoleh berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 60 masyarakat yang terdapat di Daerah Jenggot.
5.4.1
Jenis Kelamin Sebagian besar responden rumah tangga adalah laki-laki, yaitu berjumlah
37 orang (62 persen) dari 60 responden yang diambil, sedangkan responden perempuan sebesar 23 orang (38 persen). Perbandingan responden laki-laki dan perempuan dapat dilihat padaa Gambar 11.
Gambar 11. Karakteristik Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Jenggot Tahun 2008
5.4.2
Usia Tingkat Usia responden tergolong beragam, dengan distribusi usia
dibawah usia 30 tahun sampai usia lebih dari 50 tahun. Jumlah responden
tertinggi terdapat pada sebaran usia 30 tahun sampai usia 40 tahun, yaitu berjumlah 20 orang dari 60 responden (33 persen). Responden yang berusia lebih dari 50 tahun hanya berjumlah 3 orang (5 persen). Sebagian besar responden berumur antara 30 sampai 50 tahun, karena sampel disebar secara random dan sengaja pada kepala keluarga yang dimana kira-kira berumur antara 30 sampai 50 tahun, karena dimungkinkan mereka lebih mengetahui keadaan lingkungan sekitarnya. Perbandingan distribusi usia responden pengusaha industri batik di Desa Jenggot pada tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Karakteristik Rumah Tangga Berdasarkan Distribusi Usia di Desa Jenggot Tahun 2008 5.4.3
Pendidikan Terakhir Tingkat pendidikan responden sangat bervariasi, mulai dari jenjang
Sekolah Dasar SD sampai ke jenjang Perguruan Tinggi (PT). Tetapi sebagian responden pernah mencapai jenjang SLTP sebanyak 23 orang (38 persen), sebanyak 17 orang responden (28 persen) hanya mencapai jenjang SD, 16 orang (27 persen) pernah mencapai jenjang SMU, 1 orang (2 persen) hanya mencapai jenjang akademik dan 3 responden (5 persen) mencapai jenjang perguruan tinggi. Distribusi tingkat pendidikan responden di Desa Jenggot dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Karakteristik Rumah Tangga Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Jenggot Tahun 2008 Seperti terlihat di Gambar 13, sebagian besar responden mencapai tingkat SLTP saja, ini dikarenakan sebagian besar di wilayah tersebut pendidikan kurang begitu diperlukan. Sebagian besar penduduk mereka setelah SMU atau SLTP menikah maupun langsung bekerja di sektor industri batik, dimana dari sektor industri tersebut lebih banyak tenaga kerja yang diserap, sehingga ada tuntutan partisipasi anggota keluarga dan waktu yang lama dalam bekerja, sehingga menurunkan minat dan motivasi anak untuk belajar.
5.4.4
Jenis Pekerjaan Variabel jenis pekerjaan untuk melihat tingkat keberagaman pekerjaan
responden, terlihat dalam Gambar 15, bahwa sebagian besar responden atau masyarakat di daerah jenggot bekerja sebagai buruh di industri batik baik di sekitar daerahnya maupun di luar daerah Jenggot, yaitu sebesar 25 responden (42 persen) dari 60 responden yang diambil, sebanyak 13 responden (22 persen) diantaranya pedagang kaki lima, pedagang kecil dan ibu rumah tangga, 12 responden (20 persen) bekerja di bidang wiraswasta, 7 responden (12 persen) dan hanya 3 responden dari 60 responden yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (5 persen). Perbandingan persentase jumlah responden pada setiap jenis pekerjaan dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Desa Jenggot Tahun 2008
5.4.5
Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan responden di Desa Jenggot mayoritas berada pada
level Rp 600.000 – Rp 800.000,- /bulan, yaitu sebanyak 23 orang (38 persen), hal ini dimungkinkan karena gaji atau pendapatan sebagai buruh dari industri batik, biasanya mereka dibayar Rp. 15,000-25,000,- /hari dan hanya 5 responden (8 persen) berpendapatan diatas Rp. 2.000.001,- /bulan. Distribusi tingkat pendapatan responden dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan di Desa Jenggot Tahun 2008
5.4.6
Jumlah Tanggungan Jumlah tanggungan responden bervariasi, dan mayoritas berada pada
selang 5-6 orang yaitu sebanyak 30 responden dari 60 responden yang diambil (50 persen). Jumlah tanggungan yang dimaksudkan adalah mencakup keluarga inti (istri, suami dan anak) serta tambahan tanggungan bukan keluarga inti yang
tinggal di rumah responden. Perbandingan persentase jumlah tanggungan responden dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Karakteristik Rumah Tangga Berdasarkan Jumlah Tanggungan di Desa Jenggot Tahun 2008
5.4.7
Jarak Rumah dengan Industri Batik Dilihat dari jumlah rumah responden yang dekat dengan tempat industri
menandakan bahwa sebagian besar industri-industri tersebut baik rumahan maupun industri menengah berada disekitar lingkungan masyarakat, dan menyebar. Sekitar 55 persen responden rumahnya dekat dengan industri batik, yakni sebanyak 33 responden. Hal tersebut bisa menandakan bahwa tingkat kepedulian masyarakat terhadap keadaan lingkungannya akan sangat tinggi, karena rumah mereka yang dekat dengan industri-industri tersebut karena merasakan dampak langsung dari limbah atau sisa buangan dari industri tersebut. Distribusi responden berdasarkan jarak rumah dengan industri batik dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Karakteristik Rumah Tangga Berdasarkan Jarak Rumah dengan Industri Batik Tahun 2008
BAB VI PENILAIAN RESPONDEN TERHADAP LINGKUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
6.1
Penilaian Responden Terhadap Derajat Masalah Akibat Limbah Industri Batik Dampak dari limbah yang dihasilkan oleh industri batik sudah pasti akan
menimbulkan suatu masalah. Namun tidak semua pengusaha batik merasa terganggu dan mengetahui dampak yang diakibatkan oleh limbah tersebut, padahal aliran limbah tersebut melewati sekitar perumahan masyarakat sekitar, termasuk wilayah mereka sendiri. Air sisa buangan itu jika dibiarkan saja akan dapat menimbulkan berbagai masalah diantaranya bau yang tidak sedap dan akan menimbulkan banjir jika pada masa penghujan nanti. Tabel 3. Penilaian Responden terhadap Derajat Masalah Limbah Tahun 2008 Jumlah
Derajat Masalah Limbah
Pengusaha
Tidak berbahaya Berbahaya Sangat berbahaya Jumlah
21 19 0 40
Persentase RT
Pengusaha 17 25 18 60
RT
53% 47% 0% 100%
28% 42% 30% 100%
Sumber : Data Primer (diolah)
Berdasarkan data primer yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa tingkat kesadaran para pengusaha akan masalah limbah masih kurang, karena sebagian berpendapat limbah tersebut tidak berbahaya, sebagian yang menyatakan
pendapat
tersebut
adalah
pengusaha
batik
cap,
mereka
menganggap limbah yang mereka buang akan hilang dengan sendirinya, dan bisa menyuburkan lahan pertanian. Berdasarkan penelitian dari UGM, tetap saja limbah tersebut berbahaya bagi lingkungan dan untuk pertanian maupun lainnya. Pengusaha yang menganggap limbah tersebut berbahaya adalah mereka yang
melihat bahwa limbah cair batik sablon lebih berbahaya, karena mengandung minyak dan zat-zat kimia lebih banyak dari pada batik lainnya. Dua puluh delapan persen dari rumah tangga menganggap limbah tersebut tidak berbahaya, hal tersebut dikarenakan mereka sendiri kurang begitu tahu akan dampak limbah, tidak terganggu dengan adanya limbah tersebut, dan terbiasa dengan keadaan tersebut. Diantaranya terdapat 43 persen yang menganggap limbah tersebut berbahaya dan 30 persen berpendapat bahwa limbah tersebut sangat berbahaya baik bagi kesehatan dan mengurangi keindahan lingkungan di sekitar mereka.
6.2
Penilaian Responden terhadap Dampak Negatif Limbah Limbah cair yang dibuang oleh industri batik sangat berpotensi
mencemari lingkungan dan menimbulkan banyak penyakit. Tidak banyak masyarakat baik pengusaha maupun rumah tangga mengetahui bahwa limbah cair batik tersebut sangat membahayakan bagi lingkungan sekitar. Dampak yang terlihat dapat terjadi dalam waktu yang tidak cepat dan dapat lebih berbahaya jika terakumulasi dalam jumlah yang banyak, sehingga membuat masyarakat kurang begitu mengetahui bahwa limbah tersebut mempunyai dampak negatif. Tabel 4. Penilaian Responden terhadap Dampak Limbah Cair Batik Tahun 2008 Pengusaha Rumah Tangga No Dampak Limbah Batik Jumlah Persentase Jumlah Persentase a. Menganggu kesehatan 4 10% 4 7% Menimbulkan b. pencemaran 9 22% 11 18% Menganggu c. pemandangan dan keindahan 8 20% 5 8% Air sungai keruh, kotor, d. dan membuat ikan mati 12 30% 7 12% e. a, b, c, dan d 7 18% 33 55% Total 40 100% 60 100% Sumber : Data Primer (diolah)
Seperti yang terdapat dalam Tabel 4, sebanyak 12 orang dari 40 responden pengusaha industri batik (30 persen) memandang bahwa limbah membuat sungai kotor, keruh dan banyak ikan yang mati, dan hanya 4 orang (10 persen) berpendapat limbah tersebut akan menganggu kesehatan. Penilaian 33 rumah tangga (55 persen) berpendapat bahwa limbah tersebut mengganggu kesehatan, menimbulkan pencemaran, mengurangi keindahan dan mengotori sungai. Penyakit yang biasanya mereka alami adalah gatal-gatal, cikungunya yang diakibat oleh saluran limbah yang mampet yang akhirnya menimbulkan sarang nyamuk atau penyakit kulit lainnya yang membuat kesehatan mereka terganggu. Gangguan yang lain adalah mengurangi keindahan karena limbah yang keluar dari saluran air, diakibatkan oleh mampetnya saluran air, sehingga membanjiri lingkungan mereka dan merusak pagar rumah mereka, serta diantaranya berpendapat mereka tidak bisa memancing, mencuci baju dan berenang seperti waktu dulu sebelum pencemaran akan limbah sangat parah seperti sekarang.
6.3
Penilaian Responden terhadap Keadaan Lingkungan Jenggot Sebelum terdapat UPL Dari data yang didapat dari lapangan, menggambarkan bahwa keadaan
sebelum terdapat UPL yaitu, responden dalam hal ini pengusaha batik dan masyarakat khususnya rumah tangga, menilai bahwa keadaan lingkungan mereka sudah kotor sebelum terdapatnya UPL di wilayah tersebut. Keadaan biasa saja yang dimaksud dalam penilaian timbul karena mereka sudah terbiasa dengan keadaan tersebut, dimana banyaknya pengusaha maupun masyarakat yang mencuci batiknya langsung ke sungai, dan setiap tahun mereka biasa mengalami banjir yang diakibatkan mampetnya saluran air disekitar wilayah mereka akibat buangan limbah yang tidak tersalurkan dengan benar.
Tabel 5.
No 1 2 3 4
Penilaian Responden terhadap Keadaan Lingkungan Sebelum terdapat UPL, Tahun 2008 Pengusaha Rumah Tangga Keadaan Sebelum terdapat UPL Jumlah Persentase Jumlah Persentase 11 Sangat Kotor 3 7% 18% 16 Kotor 20 50% 27% 28 Biasa Saja 17 43% 47% 5 Bersih 0 0 8% Total
40
100%
60
100%
Sumber: Data Primer (Diolah)
6.4
Penilaian Responden terhadap Keadaan Lingkungan Jenggot Sesudah terdapat UPL Seperti yang terlihat dalam Tabel 6, ternyata setelah adanya UPL di
Jenggot sebagai ganti IPAL yang tidak berfungsi, masih menunjukkan bahwa keadaan lingkungan sekitar wilayah tersebut masih sama saja seperti sebelum terdapatnya UPL. Hal tersebut ditunjukan dari hasil lapangan, bahwa 24 orang (60 persen) dari 40 pengusaha industri batik dan 24 rumah tangga (40 persen) dari 60 rumah tangga, menyatakan keadaan lingkungan sekitar mereka masih sama, seperti saluran air yang masih mampet sehingga menimbulkan banjir saat musim hujan tiba, dan masih terdapatnya pengusaha-pengusaha industri batik yang mengalirkan limbahnya langsung ke sungai, mencuci batik di sungai, serta air sungai yang masih terlihat sangat kotor. Tabel 6. Penilaian Responden terhadap Keadaan Lingkungan Sesudah terdapat UPL Tahun 2008 No
Keadaan Sesudah terdapat UPL
1 Sangat Kotor 2 Kotor 3 Sama Saja 4 Lumayan Bersih Total Sumber : Data Primer (Diolah)
Pengusaha Rumah Tangga Jumlah persentase Jumlah Persentase 1 3% 6 10% 7 24 8 40
17% 60% 20% 100%
16 24 14 60
27% 40% 23% 100%
6.5
Penilaian Responden mengenai Keadaan Air dan Udara Dari keadaan lingkungan, baik kualitas air dan udara, menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan antara penilaian dari pengusaha dengan rumah tangga, dimana 15 orang (38 persen) dari 40 pengusaha industri batik berpendapat bahwa keadaan air dan udara mereka baik, tanpa ada gangguan, sedangkan 22 orang (37 persen) dari 60 rumah tangga berpendapat bahwa keadaan air dan udara mereka bermasalah. Hal tersebut diakibatkan karena sebagian besar para pengusaha menggunakan air PAM, dan diantaranya membuat sumur bor. Rumah tangga hanya menggunakan air sumur, yang sudah mulai berwarna dan udara sekitar lingkungan mereka yang bau akibat adanya limbah cair batik yang melewati saluran air, sehingga hal tersebut sangat menggangu rumah tangga sekitar wilayah tersebut. Tabel 7. Penilaian Keadaan Lingkungan di sekitar Responden, Tahun 2008
No
Keadaan lingkungan sekitar Responden
1 Bermasalah 2 Sedikit bermasalah 3 Biasa saja 4 Baik Total
Pengusaha Jumlah
Rumah Tangga
Persentase Jumlah
Persentase
6
15%
22
37%
14
35%
16
27%
5
12%
7
11%
15
38%
15
25%
40
100%
60
100%
Sumber : Data Primer (Diolah)
6.6
Penilaian Responden terhadap Keberadaan UPL di Jenggot
6.6.1
Analisis Penilaian Pengusaha Industri Batik terhadap Keberadaan UPL di Jenggot Analisis penilaian responden terhadap UPL Jenggot dilakukan untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi responden yaitu pilihan rumah tangga dan pengusaha industri batik di wilayah Jenggot untuk menerima atau tidak menerima keberadaan UPL Jenggot. Sebanyak 60 responden rumah tangga ternyata 45 orang (75 persen) menyatakan menerima keberadaan UPL
dan 15 orang (25 persen), sedangkan responden pengusaha sebanyak 40 responden, ternyata 28 orang (70 persen) menerima keberadaan UPL dan 12 orang (30 persen) tidak menerima keberadaan UPL di wilayah tersebut. Alasan mereka menerima keberadaan UPL dapat dilihat dalam Tabel 8, dan yang menyatakan tidak menerima keberadaan UPL di tempat tersebut dapat dilihat di Tabel 9. Tabel 8. Penilaian Responden Menerima Keberadaan UPL, Tahun 2008 Pengusaha Rumah Tangga Alasan Menerima No Keberadaan UPL Jumlah Persentase Jumlah Persentase 1. Penting keberadaannya 3 11% 10 22% Memperbaiki kualitas 2. lingkungan 13 46% 27 60% 3. Memperbaiki kesehatan 2 7% 5 11% Adanya anggaran dari 4. pemerintah 0 0% 1 2% Asalkan berjalan 5. dengan baik 3 11% 2 5% Mengurangi tingkat 6. pencemaran 7 25% 0 0% JUMLAH 28 100% 45 100% Sumber : Data Primer (Diolah)
Sebanyak 46 persen dari 28 pengusaha dan 60 persen dari 45 rumah tangga yang menerima keberadaan UPL, beralasan untuk memperbaiki keadaan lingkungan yang mengalami penurunan kualitasnya, seperti sumber air bersih yang sekarang ini susah didapat. Diantaranya 11 persen dari 28 pengusaha dan 22 persen dari 45 rumah tangga beranggapan bahwa keberadaan UPL sangat diperlukan di tempat tersebut sehingga mereka berkeputusan untuk menerima keberadaan UPL Jenggot.
Tabel 9. Penilaian Responden Tidak Menerima Keberadaan UPL,Tahun 2008 Pengusaha Rumah Tangga Alasan Tidak Menerima NO Keberadaan UPL Jumlah Persentase Jumlah Persentase Tidak berjalan atau 1. dikelola dengan baik 6 50% 6 40% 2. Tidak terlalu penting 2 17% 0 0% 3. Tidak berguna 0% 3 20% 0 4. Kurang sosialisasi 33% 1 7% 4 Limbah cair batik masih 5. 0% 5 33% belum teratasi 0 JUMLAH 12 100% 15 100% Sumber : Data Primer (Diolah)
Alasan responden dari pengusaha dan rumah tangga dalam tidak menerima keberadaan UPL sebagian besar dikarenakan UPL Jenggot tidak berjalan dengan baik maupun tidak dikelola dengan baik yaitu sebanyak 50 persen dari responden pengusaha industri batik dan 40 persen dari responden rumah tangga. Diantaranya 33 persen dari 12 pengusaha industri batik kurang begitu mengetahui fungsi UPL, dikarenakan kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Terdapat 33 persen dari 15 rumah tangga beralasan bahwa masih banyaknya limbah yang belum teratasi dengan baik, sehingga sungai masih terlihat kotor, hal tersebut terjadi karena adanya kekurangan dari kapasitas tampungan UPL untuk mengolah semua limbah yang terdapat di Jenggot dan terdapatnya aliran-aliran limbah batik dari wilayah lain yang melewati sungai di wilayah Jenggot, sehingga menimbulkan penilaian bahwa UPL tersebut kurang berfungsi. Variabel tidak bebas dalam analisis ini adalah pilihan responden pengusaha batik maupun rumah tangga menerima atau tidak menerima keberadaan UPL Jenggot, sedangkan variabel bebas dari responden pengusaha batik meliputi tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, lama tinggal, pengetahuan mengenai pencemaran, jarak rumah dengan UPL, tingkat sosialisasi, kapasitas buangan limbah dan biaya untuk mengurangi atau mencegah pencemaran. Variabel dummy dalam analisis ini adalah pengetahuan mengenai pencemaran.
Tabel 10. Hasil Logit Penilaian Responden Pengusaha Industri Batik terhadap Keberadaan UPL Jenggot Tahun 2008 Parameter Koefisien P Odds Ratio Ket Constant 1,44389 0,619 2,47 PDDK Berpengaruh nyata ** 0,902533 0,140 1,29 PDPTN 0,257425 0,705 Tidak berpengaruh 0,68 LT -0,379461 0,474 Tidak berpengaruh 1,31 PGTH 0,267360 0,820 Tidak berpengaruh 1,22 JU 0,202367 0,572 Tidak berpengaruh 5,35 SOSI 1,67687 0,055 Berpengaruh nyata * 1,00 LIMBH -0,0017304 0,051 Berpengaruh nyata * 1,00 BIAYA -0,0001407 0,212 Tidak berpengaruh α=5% Log-Likelihood = -16,370 Test that all slopes are zero: G = 16,130 DF = 8, P-Value = 0,041 Method Pearson Deviance Hosmer-Lemeshow * **
Goodness-of-Fit Tests DF P Ket Chi-Square 32,1177 31 0,411 Model Baik 32,7393 31 0,382 Model Baik 2,6080 8 0,957 Model Baik
pada tingkat kepercayaan 90 persen pada tingkat kepercayaan 85 persen
Hasil pengolahan menggunakan program Minitab 14 menunjukkan pengujian ketika semua slope model bernilai nol menghasilkan statistik G sebesar 16,130 dan P-value 0,041 yang berarti bahwa minimal satu slope model tidak
sama dengan nol atau variabel-variabel bebas secara serentak
berpengaruh nyata terhadap peluang responden pengusaha industri batik menerima atau tidak menerima keberadaan UPL di daerah Jenggot pada taraf α sama dengan 0,05. Sementara itu secara individu, variabel yang nyata mempengaruhi peluang responden menerima atau tidak menerima keberadaan UPL Jenggot adalah tingkat pendidikan (α = 0,15), tingkat sosialisasi yang dilakukan pemerintah (α = 0,1), dan jumlah buangan limbah perhari (α = 0,1). Selain itu, berdasarkan uji kebaikan model dengan Pearson, Deviance, dan Hosmer-Lemeshow diperoleh nilai P lebih besar dari α (0,05) yang berarti
parameter model layak berada dalam model. Hasil logit penilaian responden pengusaha industri batik terhadap keberadaan UPL Jenggot dapat dilihat dalam Tabel 10. Dari hasil tersebut maka diperoleh model logit yang sesuai untuk analisis ini, yaitu :
Pada model tersebut variabel-variabel yang memiliki pengaruh nyata berada di level kepercayaan 85 persen adalah tingkat pendidikan, yaitu memiliki nilai P-value sebesar 0,140 yang artinya bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap peluang responden menerima keberadaan UPL Jenggot pada taraf α sama dengan 0,15. Nilai koefisien bertanda positif, berarti semakin tinggi tingkat pendidikan dari responden maka akan mempengaruhi responden untuk menerima keberadaan UPL Jenggot saat ini. Berdasarkan nilai odds ratio tingkat pendidikan pengusaha industri batik yaitu sebesar 2,47 yang artinya bahwa pengusaha industri batik dengan tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki kecenderungan dalam menerima keberadaan UPL Jenggot. Variabel-variabel yang berada pada level kepercayaan 90 persen diantaranya adalah tingkat sosialisasi dengan nilai P-value sebesar 0,055, yang artinya variabel tingkat sosialisasi berpengaruh nyata pada α 0,1 dengan bertanda koefisien positif yang berarti bahwa semakin tinggi tingkat sosialisasi yang dilakukan pemerintah maka akan mempengaruhi responden untuk menerima keberadaan UPL di Jenggot dan berdasarkan nilai odds ratio tingkat sosialisasi adalah sebesar 5,35, hal ini berarti artinya bahwa pengusaha industri batik dengan tingkat sosialisasi lebih tinggi memiliki kecenderungan dalam menerima keberadaan UPL Jenggot.
Variabel besaran buangan limbah memiliki P-value sebesar 0,051 yang artinya variabel tersebut berpengaruh nyata pada α 0,1 dengan koefisien bertanda negatif, yang berarti bahwa semakin besar buangan limbah maka akan mempengaruhi responden untuk tidak menerima keberadaan UPL di Jenggot dan berdasarkan nilai odds ratio besarnya buangan limbah adalah sebesar 1,00, hal ini berarti artinya bahwa pengusaha industri batik dengan besaran buangan limbah lebih sedikit memiliki kecenderungan dalam menerima keberadaan UPL Jenggot. Hal tersebut ternyata berbeda dengan hipotesis yang dibuat, bahwa jika semakin besar jumlah buangan limbahnya maka akan mempengaruhi pengusaha untuk menerima keberadaan UPL di wilayah tersebut untuk memperbaiki kualitas airnya. Menurut perhitungan statistik didapat bahwa nilai koefisien dari jumlah buangan limbah adalah negatif. Hal tersebut dikarenakan sebagian adalah para pengusaha batik cap dan pengusaha lainnya yang hanya mbabar batik, dimana jumlah kapasitas limbahnya lebih sedikit, sehingga sangat mempengaruhi hasil penelitian. Lima
variabel
lainnya
yang
diduga
berpengaruh
adalah
tingkat
pendapatan, biaya mengurangi pencemaran, jarak industri ke UPL, lama tinggal, dan pengetahuan mengenai pencemaran yang ternyata secara statistik tidak berpengaruh nyata dalam pengambilan keputusan pengusaha industri batik menerima keberadaan UPL di wilayah tersebut. Tingkat pendapatan tidak berpengaruh nyata dikarenakan sebagian besar responden adalah pengusaha kecil, sehingga mereka dapat melihat secara obyektif untuk menerima atau tidak menerima keberadaan UPL. Besarnya biaya untuk mengurangi tingkat pencemaran tidak berpengaruh nyata dikarenakan respon dari responden, baik biaya tersebut besar maupun kecil, ternyata tidak terlalu mempengaruhi responden untuk menerima maupun tidak menerima
keberadaan
UPL.
Responden
yang
tidak
menerima
dikarenakan
dari
fungsionalitas UPL sendiri yang kurang optimal. Variabel jarak industri ke UPL tidak berpengaruh dikarenakan variabel jarak tidak terlalu berpengaruh terhadap responden untuk menerima maupun tidak menerima keberadaan UPL, karena diantaranya terdapat responden yang semakin jauh dari UPL tidak menerima keberadaan UPL karena kurang begitu tahu mengenai kinerja UPL. Variabel lama tinggal tidak berpengaruh nyata, karena sebagian besar para pengusaha industri batik di Jenggot adalah penduduk asli daerah tersebut, sehingga variabel tersebut tidak terlalu berpengaruh nyata. Terakhir variabel yang juga tidak berpengaruh nyata adalah tingkat pengetahuan mengenai pencemaran, variabel ini termasuk variabel dummy, dimana jika responden mengetahui mengenai dampak dari limbah batik, diberi nilai 1, sedangkan jika tidak diberi nilai nol. Variabel tersebut tidak berpengaruh
nyata
dikarenakan
para
pengusaha
beranggapan
bahwa
pencemaran masih terlihat dimana-mana akibat dari kurang optimalnya UPL, sehingga sebagian tidak menerima keberadaan UPL di wilayah tersebut, dan sebagian menerima dikarenakan responden optimis akan adanya perbaikan kinerja dari UPL untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Berdasarkan analisis logit dapat diketahui nilai kondisi potensial dan aktual dari jumlah responden yaitu pengusaha industri batik yang menerima atau tidak menerima keberadaan UPL Jenggot. Kondisi frekuensi potensial dan aktual tersebut dapat dilihat pada Tabel 11, dan koreksi nilai potensial dan aktual dapat dilihat pada Tabel 12, kondisi potensial ditunjukan dengan nilai harapan (expectation) dan kondisi aktual penilaian responden ditunjukan dengan nilai observasi (observation).
Tabel 11. Frekuensi Observasi dan Harapan Peluang Pengusaha Industri Batik Menerima atau Tidak Menerima Keberadaan UPL Jenggot, 2008 Group Total 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Value 1 Obs 0 2 2 3 3 3 3 4 4 4 28 Exp 0,6 1,5 2,0 2,4 3,0 3,2 3,6 3,8 3,9 4,0 28 Value 0 Obs 4 2 3 1 1 1 1 0 0 0 12 Exp 3,4 2,5 2,0 1,6 1,0 0,8 0,4 0,2 0,1 0,0 12 Total 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 40
Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan antara kondisi aktual dengan potensial jumlah responden yang menerima atau tidak menerima keberadaan UPL Jenggot. Seluruh responden dikelompokkan menjadi 10 grup. Pada grup pertama terlihat dalam kondisi aktual, tidak ada responden yang menerima keberadaan UPL Jenggot, tetapi pada kondisi potensial terlihat bahwa 0,6 dari 4 responden akan menerima keberadaan UPL. Demikian halnya dengan keadaan responden tidak menerima keberadaan UPL Jenggot pada kondisi aktual berjumlah 4 orang, sementara pada kondisi potensial 3,4 dari 4 responden tidak menerima keberadaaan UPL Jenggot. Selisih nilai 0,6 (0,6 – 0,0 = 0,6) pada grup pertama dapat dikarenakan ada 0,6 responden yang secara potensial ingin menerima keberadaan UPL Jenggot, tetapi karena merasa pengelolaan UPL oleh pemerintah kurang memuaskan, maka responden tersebut tidak menerima keberadaan UPL Jenggot. Pemahaman yang sama dapat dilakukan untuk grup kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan dan kesepuluh. Secara keseluruhan dapat diperoleh bahwa secara potensial dengan jumlah aktual adalah jumlah responden yang menerima keberadaan UPL adalah 28 dan yang tidak menerima keberadaan UPL adalah 12.
Tabel 12. Koreksi Nilai Observasi dan Harapan Peluang Pengusaha Industri Batik dalam Memilih Menerima atau Tidak Menerima Keberadaan UPL di Jenggot, 2008 Harapan (Responden) Koreksi Menerima Tidak Menerima Observasi 100 % Menerima 28 0,0 100% Tidak menerima 0,0 12 Nilai Keseluruhan Terkoreksi 100%
Tabel 12 menunjukkan nilai observasi dan harapan peluang responden pengusaha industri batik menerima keberadaan UPL di Jenggot secara keseluruhan. Dari tabel diperoleh bahwa antara nilai observasi dan nilai harapan responden tidak terdapat perbedaan (bias) sehingga nilai kebenaran observasi (nilai koreksi keseluruhan) bernilai 100 persen dan menunjukkan bahwa model yang dihasilkan sudah baik.
6.6.2
Analisis Penilaian Rumah Tangga di Desa Jenggot terhadap Keberadaan UPL di Jenggot Dugaan variabel yang berpengaruh nyata untuk responden rumah tangga
di wilayah Jenggot terhadap keberadaan UPL dapat dilihat dalam Tabel 13.
Tabel 13. Hasil Logit Penilaian Rumah Tangga di Keberadaan UPL Jenggot Tahun 2008 Parameter Koefisien P Odds Ratio Constant 1,89924 0.331 PDDK -0,0236401 0,950 0,98 PKJ -1,45517 0,083 0,23 PDPT 1,00 0,0000000 0,946 JRKI -0,0071835 0,577 0,99 BIAYA -1,07937 0,007 0,34 TAHU 2,77 1,01738 0,186 LT 1,14 0,129616 0,817 α = 10%
Desa Jenggot terhadap Ket Tidak berpengaruh Berpengaruh nyata** Tidak berpengaruh Tidak berpengaruh Berpengaruh nyata* Berpengaruh nyata*** Tidak berpengaruh
Log-Likelihood = -27,574 Test that all slopes are zero: G = 12,332 , DF = 7, P-Value = 0,090 Method Pearson Deviance Hosmer-Lemeshow * ** ***
Goodness-of-Fit Tests P Ket Chi-Square DF 65,9876 51 0,077 Model Tidak Baik 55,1482 51 0,321 Model Baik 5,2058 8 0,706 Model Baik
pada tingkat kepercayaan 95% pada tingkat kepercayaan 90% pada tingkat kepercayaan 80%
Berdasarkan hasil Log-likelihood sebesar -27,574 menghasilkan statistik G sebesar 12,332 dengan P-value sebesar 0,090 yang berarti secara bersamasama variabel penjelas yang dimasukan ke dalam model berpengaruh nyata terhadap peluang rumah tangga menerima atau tidak menerima keberadaan UPL Jenggot. Selain itu dengan melihat hasil perhitungan statistik Pearson, dengan Pvalue sebesar 0,077 menandakan bahwa model kurang baik karena P-value lebih kecil dari α 0,1, sedangkan dari perhitungan statistik Deviance dan Hosmer Lemeshow dimana P-value tersebut lebih besar dari α 0,1, maka model regresi yang dihasilkan cukup layak. Dari hasil tersebut, maka diperoleh model logit yang sesuai untuk analisis ini, yaitu :
Pada model tersebut variabel-variabel yang memiliki pengaruh nyata berada di level kepercayaan 80 persen yaitu pengetahuan mengenai pencemaran limbah cair batik, dengan memiliki P-value sebesar 0,186 yang artinya bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap peluang rumah tangga menerima keberadaan UPL di Jenggot pada taraf α sama dengan 0,2. Variabel pengetahuan mengenai pencemaran limbah cair batik termasuk variabel dummy, dimana jika responden tahu maka diberi nilai satu, jika tidak tahu maka diberi nilai nol. Variabel ini menunjukkan tanda positif, yang artinya jika rumah tangga tahu akan dampak dari limbah cair batik maka akan mempengaruhi responden untuk menerima keberadaan UPL dalam memperbaiki keadaan lingkungan akibat limbah cair batik. Berdasarkan nilai odds ratio sebesar 2,77, yang berarti bahwa rumah tangga yang mengetahui mengenai pencemaran limbah batik mempunyai kecenderungan menerima keberadaan UPL Jenggot dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak tahu mengenai pencemaran limbah batik. Variabel yang berpengaruh nyata pada α sama dengan 0,1 adalah variabel jenis pekerjaan dimana adalah variabel dummy, jika responden adalah buruh dari industri batik maka bernilai satu, dan jika lainnya diberi nilai nol. Pvalue dari variabel ini sebesar 0,083 yang artinya bahwa variabel ini berpengaruh nyata pada taraf α sama dengan 0,1. Nilai koefisien bertanda negatif berarti jika responden adalah buruh, maka akan mempengaruhi responden untuk tidak menerima keberadaaan UPL. Nilai odds ratio sebesar 0,23 diartikan bahwa rumah tangga yang bekerja sebagai buruh di industri batik
memiliki
kecenderungan tidak menerima keberadaan UPL Jenggot dibandingkan dengan rumah tangga yang bekerja selain sebagai buruh dari industri batik.
Variabel yang berpengaruh nyata pada level kepercayaan 95 persen adalah biaya yang dikeluarkan oleh rumah tangga untuk mengurangi tingkat pencemaran lingkungan, dengan P-value sebesar 0,007, yang artinya bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap peluang rumah tangga menerima keberadaan UPL di Jenggot pada taraf α sama dengan 0,05. Koefisien dari variabel biaya adalah negatif yang berarti jika semakin besar biaya yang dikeluarkan maka akan mempengaruhi rumah tangga untuk tidak menerima keberadaan UPL Jenggot. Nilai odds ratio sebesar 0,34 dapat diartikan artinya bahwa rumah tangga yang mengeluarkan biaya lebih kecil untuk mengurangi tingkat pencemaran memiliki kecenderungan dalam menerima keberadaan UPL Jenggot. Variabel lain yang diduga berpengaruh adalah tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jarak rumah dengan industri dan lama tinggal. Variabel-variabel tersebut ternyata tidak berpengaruh nyata dalam pengambilan keputusan rumah tangga untuk menerima keberadaan UPL. Variabel tingkat pendidikan tidak berpengaruh nyata dikarenakan sebagian dari rumah tangga di wilayah Jenggot berpendidikan cukup rendah, jadi baik mereka berpendidikan rendah maupun tinggi tidak terlalu mempengaruhi keputusan rumah tangga dalam menerima atau tidak menerima keberadaan UPL di wilayah tersebut. Tingkat
pendapatan
juga
demikian,
sebagian
besar
mereka
berpendapatan cukup rendah, hal tersebut kurang begitu berpengaruh untuk rumah tangga mengambil keputusan, jadi baik mereka berpendapatan rendah maupun tinggi, sebagian besar mereka menerima keberadaan UPL untuk memperbaiki kualitas lingkungannya. Variabel jarak rumah dengan industri tidak berpengaruh nyata dikarenakan sebagian besar industri-industri batik dari para pengusaha industri batik menyebar dan berada disekitar rumah-rumah
penduduk, hal tersebut kurang begitu mempengaruhi keputusan mereka untuk menerima maupun tidak akan keberadaan UPL, dan terakhir variabel lama tinggal tidak berpengaruh dikarenakan rumah tangga sebagian besar sudah lama menetap di wilayah tersebut semenjak lahir, jadi baik mereka penduduk baru maupun lama di wilayah tersebut tidak terlalu mempengaruhi mereka untuk menerima maupun tidak menerima keberadaan UPL tersebut. Berdasarkan analisis logit dapat diketahui nilai kondisi potensial dan aktual dari jumlah responden yaitu rumah tangga yang menerima atau tidak menerima keberadaan UPL di Jenggot. Kondisi frekuensi potensial dan aktual tersebut dapat dilihat pada Tabel 14 dan koreksi nilai potensial dan aktual dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 14. Frekuensi Observasi dan Harapan Peluang Rumah Tangga Menerima atau Tidak Menerima Keberadaan UPL Jenggot, 2008 Group Total 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Value 1 Obs 2 2 4 5 6 5 5 5 5 6 45 Exp 1,8 3,5 4,0 4,2 4,6 5,0 5,2 5,4 5,6 5,7 45 Value 0 Obs 4 4 2 1 0 1 1 1 1 0 15 Exp 4,2 2,5 2,0 1,8 1,4 1,0 0,8 0,6 0,4 0,3 15 Total 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 60
Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan antara kondisi aktual dengan potensial jumlah responden yang menerima atau tidak menerima keberadaan UPL Jenggot. Seluruh responden dikelompokkan menjadi 10 grup. Pada grup pertama terlihat dalam kondisi aktual, tidak ada responden yang menerima keberadaan UPL Jenggot, tetapi pada kondisi potensial terlihat bahwa 1,8 dari 6 responden akan menerima keberadaan UPL. Demikian halnya dengan keadaan responden tidak menerima keberadaan UPL Jenggot pada kondisi aktual berjumlah 6 orang, sementara pada kondisi potensial, 4,2 dari 6 responden tidak menerima keberadaaan UPL Jenggot. Selisih nilai 0,2 (2 – 1,8 =
0,2) pada grup pertama dapat dikarenakan ada 0,2 responden yang secara potensial ingin menerima keberadaan UPL Jenggot, tetapi karena merasa pengelolaan UPL oleh pemerintah tidak memuaskan, maka responden tersebut tidak menerima keberadaan UPL di Jenggot. Pemahaman yang sama dapat dilakukan untuk grup kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, dan kesembilan. Secara keseluruhan dapat diperoleh bahwa secara potensial jumlah responden yang menerima atau tidak menerima keberadaan UPL akan sama dengan jumlah aktualnya. Tabel 15. Koreksi Nilai Observasi dan Harapan Peluang Rumah Tangga Desa Jenggot dalam Memilih Menerima atau Tidak Menerima Keberadaan UPL di Jenggot, 2008 Harapan (Responden) Koreksi Menerima Tidak Menerima Observasi Menerima 45,0 0,0 100% Tidak menerima 0,0 15,0 100% Nilai Keseluruhan Terkoreksi 100%
Tabel 15 menunjukkan nilai observasi dan harapan peluang responden rumah tangga menerima keberadaan UPL di Jenggot secara keseluruhan. Dari tabel diperoleh bahwa antara nilai observasi dan nilai harapan responden tidak terdapat perbedaan (bias) sehingga nilai kebenaran observasi (nilai koreksi keseluruhan) bernilai 100 persen dan menunjukkan bahwa model yang dihasilkan sudah baik.
BAB VII ANALISIS WILLINGNESS TO PAY RESPONDEN
7.1
Analisis Kesediaan Pengelolaan UPL
Membayar
Responden
terhadap
Biaya
Variabel respon yang digunakan dalam analisis ini adalah peluang responden memilih bersedia atau tidak bersedia membayar biaya pengelolaan UPL Jenggot. Jika responden bersedia membayar biaya pengelolaan UPL maka diberi nilai satu, dan jika responden tidak bersedia membayar biaya pengelolaan, maka diberi nilai nol. Variabel yang akan menjelaskan variabel respon terdiri atas enam variabel penjelas, yaitu tingkat pendidikan, biaya produksi, jumlah tanggungan, kapasitas buangan limbah, biaya mengurangi pencemaran dan pengetahuan mengenai pencemaran. Dengan menggunakan analisis regresi logit akan diperoleh model yang tepat untuk peluang responden bersedia atau tidak bersedia membayar biaya pengelolaan UPL dan variabel-variabel yang secara nyata dapat mempengaruhi peluang. Selain itu dapat juga diketahui jumlah responden yang secara aktual dan potensial akan bersedia atau tidak bersedia membayar biaya pengelolaan UPL.
Gambar 18. Distribusi Pilihan Bersedia dan Tidak Bersedia Pengusaha Industri Batik dalam Membayar Biaya Pengelolaan UPL, Tahun 2008
Dari 40 responden yang dimintai pendapatnya mengenai kesediaan atau ketidaksediaan membayar biaya pengelolaan UPL, terdapat 34 responden (85 persen) bersedia membayar biaya pengelolaan UPL dan 6 responden (15 persen) tidak bersedia membayar biaya pengelolaan UPL. Perbandingan jumlah responden ini dapat dilihat pada Gambar 18. Alasan responden bersedia membayar terutama dikarenakan untuk memperbaiki keadaan lingkungan agar kembali bersih dan tidak mampet sebanyak 15 orang (44 persen) dari 34 responden. Selain itu karena mereka yakin akan pengelolaan UPL kedepannya untuk lebih baik, lebih transparan, dan hasil yang memuaskan, dan diantaranya beralasan untuk menjaga kesehatan, tidak menimbulkan pencemaran, mengamankan mata air, serta tidak perlunya pengusaha sendiri untuk membuat unit pengolahan limbah sendiri. Tabel 16. Alasan Pengusaha Bersedia Membayar Biaya Pengelolaan UPL Tahun 2008 No
Alasan 1 Memperbaiki lingkungan
Jumlah
Persentase
15
44%
2 Menjaga kesehatan
1
3%
3 Akan berjalan lebih baik
5
15%
4 Tidak ada pencemaran
1
3%
5 Mengamankan mata air
1
3%
6 Kewajiban pengusaha
7
20%
7 Kewajiban bersama
3
9%
1 34
3% 100%
6 Tidak perlu pembuatan IPAL sendiri JUMLAH Sumber : Data Primer (Diolah)
Alasan dari pengusaha tidak bersedia membayar biaya pengelolaan UPL sebagian besar berpendapat karena UPL tidak berjalan dengan baik, yaitu sebanyak 3 orang (50 persen). Selain itu karena menganggap usahanya termasuk industri rumah tangga kecil, kapasitas buangan limbahnya yang sedikit dan kurang setujunya dibuat pipa penyaluran limbah cair batik, karena akan membuat aliran air semakin mampet akibat limbah padat yang ikut terbuang. Dari
6 responden yang tidak bersedia membayar adalah responden yang termasuk pengusaha industri batik yang kecil. Tabel 17. Alasan Pengusaha Tidak Bersedia Membayar Biaya Pengelolaan UPL Tahun 2008 No Alasan Jumlah Persentase 1 Termasuk industri rumah tangga 1 17% Kurang setuju dengan pembuatan pipa 2 penyaluran 17% 1 3 Sedikit buangan limbahnya 1 17% 4 Tidak berjalan dengan baik 3 50% 100% JUMLAH 6 Sumber : Data Primer (Diolah)
Dari hasil analisis regresi logit, ketika semua slope model bernilai nol menghasilkan statistik G sebesar 15,357 dan P-value bernilai 0,018 yang berarti bahwa terdapat minimal satu slope model yang tidak sama dengan nol, atau variabel-variabel bebas secara serentak berpengaruh nyata terhadap peluang responden bersedia atau tidak bersedia membayar biaya pengelolaan UPL pada taraf α sama dengan 0,05. Sementara itu, secara individu variabel yang nyata mempengaruhi peluang responden bersedia atau tidak bersedia membayar biaya pengelolaan UPL adalah tingkat pengetahuan mengenai pencemaran akibat air limbah industri batik dengan taraf α sama dengan 0,1, dan variabel biaya mengurangi dampak air limbah batik dengan taraf α sama dengan 0,05. Selain itu berdasarkan uji kebaikan model dengan metode Pearson, Deviance, dan Hosmer-Lemeshow diperoleh nilai P lebih besar dari α (0,05) yang berarti tidak cukup bukti untuk menyimpulkan model yang diperoleh tidak cukup baik. Hasil Logit untuk peluang responden bersedia atau tidak bersedia membayar biaya pengelolaan UPL dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Hasil Logit Kesediaan Pengusaha Industri Batik Membayar Biaya Pengelolaan UPL Jenggot, Tahun 2008 Parameter Koefisien P Ket Odds Ratio Constant 4,97486 0,097 PDDK PDPTN PGTH LIMB BIAYA JT α = 5%
0,290482 0,559548 2,98843 -0,0013932 -0,0004793 0,827129
0,689 0,509 0,099 0,235 0,035 0,255
1,34 1,75 19,85 1,00 1,00 2,29
Tidak berpengaruh Tidak berpengaruh Berpengaruh nyata ** Tidak berpengaruh Berpengaruh nyata * Tidak berpengaruh
Log-Likelihood = -9,230 Test that all slopes are zero: G = 15,357, DF = 6, P-Value = 0,018
Method Pearson Deviance Hosmer-Lemeshow * **
Goodness-of-Fit Tests DF Chi-Square 32,2315 33 18,4595 33 10,0570 8
P Ket 0,505 Model Baik 0,981 Model Baik 0,261 Model Baik
pada tingkat kepercayaan 95 persen pada tingkat kepercayaan 90 persen
Dari hasil tersebut, diperoleh model logit yang sesuai untuk analisis ini adalah :
Variabel biaya yang dikeluarkan untuk mengurangi tingkat pencemaran memiliki P-value sebesar 0,035 yang artinya bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap peluang responden bersedia membayar biaya pengelolaan UPL pada taraf α sama dengan 0,05. Nilai koefisien menunjukkan tanda negatif, berarti semakin besar biaya yang dikeluarkan dalam mengurangi tingkat pencemaran, maka akan mempengaruhi responden untuk tidak bersedia membayar biaya pengelolaan UPL. Nilai odds ratio sebesar 1,00 dapat diartikan artinya bahwa pengusaha industri batik yang mengeluarkan biaya lebih sedikit
dalam mengurangi tingkat pencemaran memiliki kecenderungan dalam bersedia membayar biaya pengelolaan UPL Jenggot. Variabel lain yang berpengaruh nyata adalah variabel pengetahuan mengenai pencemaran, dengan memiliki nilai P-value sebesar 0,099 yang artinya bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap peluang responden bersedia membayar biaya pengelolaan UPL pada taraf α sama dengan 0,1. Variabel ini termasuk variabel dummy, yaitu akan diberi nilai satu jika responden tahu akan dampak limbah cair batik, dan diberi nilai nol jika responden kurang tahu dampak dari limbah cair batik. Nilai koefisien menunjukkan tanda positif berarti semakin tahu responden akan dampak dari limbah cair batik, maka akan mempengaruhi responden untuk bersedia membayar biaya pengelolaan UPL. Berdasarkan nilai odds ratio sebesar 19,85 dapat diartikan bahwa pengusaha industri batik yang tahu dampak dari limbah cair batik memiliki kecenderungan bersedia membayar biaya pengelolaan UPL dibandingkan dengan yang tidak mengetahui dampak dari limbah cair batik. Variabel lain menurut perhitungan statistik ternyata tidak berpengaruh nyata dalam analisis ini, yaitu tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan dan jumlah buangan limbah. Variabel tingkat pendidikan tidak berpengaruh karena walaupun mereka berpendidikan cukup rendah, mereka bersedia untuk membayar biaya pengelolaan UPL untuk memperbaiki keadaan atau kualitas lingkungannya, sedangkan variabel tingkat pendapatan tidak berpengaruh karena walaupun mereka berpendapatan dibawah rata-rata, tidak terlalu mempengaruhi mereka untuk tidak membayar biaya pengelolaan UPL, sehingga baik mereka berpendapatan rendah maupun cukup tinggi, sebagian bersedia untuk mambayar biaya pengelolaan UPL agar lebih baik dalam memperbaiki kualitas lingkungan.
Variabel jumlah tanggungan, tidak berpengaruh nyata hal tersebut dikarenakan sebagian besar jumlah tanggungan dari para pengusaha tidak terlalu besar, dan hal tersebut tidak berpengaruh dalam keputusan para pengusaha untuk bersedia maupun tidak bersedia membayar pengelolaan UPL. Sedangkan variabel jumlah buangan limbah dalam perhari tidak berpengaruh nyata dikarenakan baik mereka buangannya sedikit dalam perharinya, mereka tetap bersedia untuk membayar biaya pengelolaan UPL, dan juga sebagai bentuk kewajiban para pengusaha yang mengeluarkan limbah, sehingga mereka bersedia walaupun jumlah buangan mereka sedikit maupun cukup banyak. Kondisi potensial dan aktual dari jumlah responden yaitu rumah tangga yang menerima atau tidak menerima keberadaan UPL di Jenggot. Kondisi frekuensi potensial dan aktual tersebut dapat dilihat pada Tabel 19 dan koreksi nilai potensial dan aktual dapat dilihat pada Tabel 20. Dari Tabel 19 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan antara kondisi aktual dengan potensial jumlah responden yang memilih bersedia membayar atau tidak bersedia membayar biaya pengelolaan UPL. Seluruh responden yang ada dikelompokkan menjadi 10 grup. Terlihat bahwa pada grup pertama sampai dengan grup kesepuluh ada perbedaan antara kondisi potensial dan aktual dari responden yang bersedia ataupun tidak bersedia membayar biaya pengelolaan UPL. Tabel 19. Frekuensi Observasi dan Harapan Peluang Pengusaha Industri Batik Memilih Bersedia atau Tidak Bersedia Membayar Biaya Pengelolaan UPL, Tahun 2008 Group Total 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Value 1 Obs 0 4 3 4 3 4 4 4 4 4 34 Exp 1,0 2,5 3,2 3,6 3,9 3,9 4,0 4,0 4,0 4,0 34,1 Value 0 Obs 4 0 1 0 1 0 0 0 0 0 6 Exp 3,0 1,5 0,8 0,4 0,1 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 5,9 Total 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 40
Pada grup pertama terlihat dalam kondisi aktual, ada satu responden yang bersedia membayar biaya pengelolaan UPL, tetapi pada kodisi potensial terlihat bahwa 1,0 dari 4 responden akan bersedia membayar biaya pengelolaan UPL. Demikian halnya dengan keadaan responden tidak bersedia membayar biaya pengelolaan UPL, pada kondisi aktual berjumlah 4 orang, sementara pada kondisi potensial, 2,4 dari 3 responden tidak bersedia membayar biaya pengelolaan UPL. Selisih 1,0 (1,0 – 0 = 1,0) pada grup pertama dapat ada 1,0 responden yang secara potensial tidak bersedia membayar, tetapi karena responden merasakan masalah yang berarti jika limbah tersebut tidak diolah akan semakin merusak kualitas lingkungannya, dan menerima keberadaan UPL untuk lebih baik, maka responden bersedia membayar biaya pengelolaan UPL. Tabel 20. Koreksi Nilai Observasi dan Harapan Peluang Pengusaha Industri Batik Bersedia atau Tidak Bersedia Membayar Biaya Pengelolaan UPL di Jenggot, 2008 Harapan (Responden) Koreksi Bersedia Tidak Bersedia Observasi Bersedia 34 0,0 100% Tidak bersedia 0,1 5,9 98,33% Nilai Keseluruhan Terkoreksi 99,165% Tabel 20 menunjukkan nilai observasi dan harapan peluang responden pengusaha batik dan tekstil menerima keberadaan UPL di Jenggot secara keseluruhan. Dari tabel diperoleh bahwa antara nilai observasi dan nilai harapan responden terdapat perbedaan (bias) sebesar 0,1, sehingga nilai kebenaran observasi (nilai koreksi keseluruhan) bernilai 99,165 persen dan menunjukkan bahwa model yang dihasilkan masih baik.
7.2
Analisis Willingness to Valuation Method (CVM)
Pay
dengan
Pendekatan
Contingent
Sampel yang digunakan untuk tujuan penelitian analisis kesediaan membayar biaya pengelolaan UPL yaitu sebanyak 34 responden dari 40
responden pengusaha industri batik. Untuk menganalisis WTP dalam penelitian ini digunakan Contingent Valuation Method (CVM). Hasil pelaksanaan enam langkah CVM dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pembentukan Pasar Hipotetik (Hypothetical Market) Seluruh responden diberi informasi bahwa pemerintah akan melakukan perbaikan pengelolaan UPL, peningkatan pelayanan, dan penambahan fasilitas UPL. Besarnya biaya pengelolaan UPL adalah Rp 4.000.000,-/bulan, yang rencananya tiap pengusaha akan ditarik suatu biaya pengelolaan UPL sebagai bentuk partisipasi para pengusaha selaku pelaku yang membuang air limbah dalam membantu upaya pemerintah dalam mengatasi masalah lingkungan. Dengan demikian responden mengetahui gambaran tentang situasi hipotetik mengenai biaya pengelolaan tersebut. 2. Perolehan Nilai Penawaran (Obtaining Bids) Teknik yang digunakan dalam penelitian adalah metode dichotomous choice yaitu metode yang menggunakan satu alat pembayaran yang disarankan kepada responden. Dengan menggunakan alat yang disarankan tersebut, respon dari responden diarahkan untuk menjawab apakah setuju atau tidak dengan jawaban. 3. Menghitung Dugaan Rataan WTP (Estimating Mean WTP/EWTP) Dugaan nilai rata-rata WTP (EWTP) responden dihitung berdasarkan data distribusi WTP responden. Data distribusi WTP responden dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Distribusi WTP Pengusaha Industri Batik Kelas WTP(Rp) Frekuensi (orang) No 1 20.000-40.000 15 2 41.000-60.000 14 3 61.000-80.000 1 4 81.000-100.000 4 Jumlah Sampel 34 Sumber : Data Primer (Diolah)
Persentase 44% 41% 3% 12% 100%
Dengan demikian dapat diperoleh rataan WTP (EWTP) sebesar Rp. 53.088,2,-. 4. Menduga Bid Curve Kurva WTP berdasarkan nilai WTP responden terhadap biaya pengelolaan UPL dan menggambarkan hubungan tingkat WTP yang terjadi dengan jumlah pengusaha industri batik. Berdasarkan jawaban yang diperoleh dari responden, didapatkan kurva WTP yang dapat dilihat pada Gambar 19. S c a tte r p lo t o f W T P v s P e n g u s a h a 90000 80000
Nilai WTP
70000 60000 50000 40000 30000 0
2
4
6
8
10
12
14
16
J u m la h P e n g u s a h a In d u s t r i B a t ik ( O r a n g )
Gambar 19. Dugaan Bid Curve WTP Jumlah pengusaha tersebut menggambarkan jumlah jasa lingkungan yang diminta dan WTP (Rp/bulan) menunjukkan harga dari jasa lingkungan tersebut. Sehingga kurva WTP diatas dapat dikategorikan sebagai kurva permintaan, karena semakin rendah harga dari suatu lingkungan maka jumlah jasa lingkungan yang diminta akan semakin banyak. 5. WTP Agregat atau Total WTP (TWTP) Hasil perhitungan TWTP dapat dilihat pada Tabel 22. Berdasarkan hasil perhitungan
diperoleh
nilai
total
WTP
dari
populasi
adalah
sebesar
Rp.1.805.000,- di bawah total dana yang dibutuhkan untuk pengelolaan UPL, yaitu sebesar Rp. 4.000.000,-.
Tabel 22. Total WTP Pengusaha Industri Batik No Kelas WTP(Rp) Frekuensi(Sampel) Persentase 1 20.000-40.000 15 44% 2 41.000-60.000 14 41% 3 61.000-80.000 1 3% 4 81.000-100.000 4 12% Jumlah Sampel 34 100%
Jumlah (Rp) 555.000 790.000 70.000 390.000 1.805.000
6. Evaluasi Pelaksanaan CVM Berdasarkan hasil analisis regresi berganda, diperoleh nilai R2 sama dengan 57,3 persen. Penelitian yang berkaitan dengan benda-benda lingkungan dapat mentolerir nilai R2 sampai dengan 15 persen (Mitchell dan Carson, 1989), sehingga dalam pelaksanaan penelitian ini menggunakan CVM dapat diyakini kebenarannya atau keandalannya (reliable).
7.3
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Willingness to Pay Model yang dihasilkan dalam penelitian ini cukup baik. Hal ini ditunjukan
oleh R2 sebesar 57,3 persen, yang berarti 57,3 persen keragaman WTP pengusaha industri batik dapat diterangkan oleh keragaman variabel-variabel penjelas yang terdapat dalam model, sedangkan 42,7 persen diterangkan oleh faktor lain yang tidak terdapat dalam model. Nilai Fhitung sebesar 6,14 dengan nilai P sebesar 0,000, hal tersebut menunjukkan variabel-variabel penjelas dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap nilai WTP pengusaha batik dan tekstil terhadap biaya pengelolaan UPL pada α sama dengan 5 persen. Data
yang
digunakan
dalam
analisis
ini
telah
diuji
multikolinier
dan
heteroskedastisitas, dari hasil keduanya tidak diperoleh suatu pelanggaran. Model yang dihasilkan dalam analisis ini adalah:
Tabel 23. Hasil Analisis Nilai WTP Pengusaha Industri Batik Predictor Constant PDPT JT TAHU PLYN LIMB BIAYA BPROD
Coef 45716 10235 441 -16533 633 -5758 -9402 -1042
P 0,000 0,071 0,869 0,022 0,938 0,044 0,001 0,830
VIF
6,0 1,6 1,3 1,3 1,7 1,2 5,1
KET
Berpengaruh Nyata ** Tidak Berpengaruh Berpengaruh Nyata * Tidak Berpengaruh Berpengaruh Nyata * Berpengaruh Nyata * Tidak Berpengaruh
S = 19180,9 R-Sq = 57,3% R-Sq(adj) = 48,0% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 7 15801374605 2257339229 6.14 0.000 Residual Error 32 11773000395 367906262 Total 39 27574375000 * tingkat kepercayaan 95 persen ** tingkat kepercayaan 90 persen
Variabel bebas yang mempengaruhi model pada tingkat kepercayaan 95 persen adalah tingkat pengetahuan, jumlah buangan limbah dan biaya mengurangi tingkat pencemaran. Variabel tingkat pengetahuan memiliki P-value sebesar 0,022 yang berarti bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap nilai WTP responden pada taraf α sama dengan 0,05. Variabel pengetahuan merupakan variabel dummy, jika responden tahu mengenai dampak limbah maka diberi nilai satu, dan jika responden tidak tahu maka diberi nilai nol. Nilai koefisien menunjukkan tanda positif yang artinya jika responden tahu akan dampak limbah maka responden akan memberikan nilai WTP yang lebih tinggi. Variabel jumlah buangan limbah memiliki nilai P-value sebesar
0,044
yang artinya bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap nilai WTP responden pada taraf α sama dengan 0,05. Nilai koefisien bertanda negatif yang berarti bahwa jika kapasitas buangan limbah responden semakin sedikit, maka responden tersebut memberikan nilai WTP yang lebih tinggi. Hal tersebut bertantangan dengan hipotesis, dikarenakan sebagian besar adalah pengusaha batik cap, dan hanya membuat motif, yang buangan limbahnya lebih sedikit.
Variabel biaya yang dikeluarkan oleh responden untuk mengurangi dampak akibat limbah cair batik berpengaruh nyata terhadap nilai WTP responden pada taraf α sama dengan 0,05, hal tersebut dikarenakan memiliki Pvalue sebesar 0,001. Nilai koefisien menunjukkan tanda negatif, hal tersebut diartikan jika semakin besar biaya yang dikeluarkan oleh responden dalam menanggulangi dampak akibat limbah cair batik maka akan mempengaruhi responden untuk memberikan nilai WTP yang lebih rendah. Variabel yang mempengaruhi model pada tingkat kepercayaan 90 persen adalah tingkat pendapatan. Variabel tingkat pendapatan memiliki P-value sebesar 0,071, yang artinya bahwa variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap nilai WTP responden pada taraf α sama dengan 0,1. Nilai koefisien menunjukkan tanda positif, jika semakin tinggi tingkat pendapatan dari responden maka responden akan memberikan nilai WTP yang lebih tinggi. Variabel yang tidak berpengaruh nyata diantaranya adalah jumlah tanggungan, penilaian pengelolaan UPL, dan biaya produksi. Variabel jumlah tanggungan
ternyata
tidak
mempengaruhi
responden
untuk
mengambil
keputusan berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan, walaupun sebagian jumlah tanggungannya terdapat cukup banyak, tetapi mereka tetap bersedia membayar
untuk
memperbaiki
kualitas
lingkungan.
Variabel
penilaian
pengelolaan UPL termasuk variabel dummy, dimana jika responden puas akan pengelolaan UPL maka diberi nilai 1, sedangkan jika tidak puas maka diberi nilai nol. Dalam penelitian ini variabel tersebut tidak berpengaruh nyata dikarenakan responden
yang
kurang
puas
akan
pengelolaan
UPL
tetap
bersedia
mengeluarkan biaya untuk pengelolaan UPL agar lebih baik dan tidak mempengaruhi berapa besarnya biaya pengelolaan UPL. Variabel biaya produksi juga tidak berpengaruh dikarenakan walaupun sedikit maupun besar biaya
produksi yang mereka keluarkan, tidak terlalu mempengaruhi seberapa besar biaya yang bersedia responden keluarkan.
7.4
Kebijakan Pengolahan Limbah Industri Batik Dari hasil penelitian, diperoleh bahwa rumah tangga di sekitar wilayah
Jenggot menilai lingkungannya mengalami kerusakan, tertanda dari timbulnya pencemaran udara dan air di wilayah tersebut. Seperti bau yang disebabkan oleh limbah yang mampet di saluran air sekitar masyarakat dan pada sungai, dan sudah banyak yang merasakan gangguan terhadap air yang tidak layak diminum. Sebagian kecil saja yang hanya memasang aliran PAM, hal tersebut dikarenakan biaya yang cukup besar, sehingga hanya para pengusaha besar dan rumah tangga yang mampu sedangkan yang lainnya banyak yang membuat model saringan air sendiri. Dapat dilihat bahwa jika keadaan tersebut terus berlanjut, maka akan bertambah parah. Sehingga perlu cepat dilakukan pembenahan dari berbagai pihak. Walaupun kinerja dari UPL dipandang oleh masyarakat dan pengusaha masih kurang memuaskan, tetapi mereka optimis jika pemerintah akan memperbaiki pengelolaan UPL, sehingga mereka menerima akan keberadaan UPL tersebut, dan bersedia membayar biaya pengelolaan sebagai bentuk partisipasi pengusaha dan sebagai pelaku pembuang limbah. Tetapi sebagian yang tidak menerima keberadaan UPL dan tidak bersedia membayar biaya tersebut dikarenakan mereka tidak menerima jika akan dibuat pipa-pipa penyaluran, mereka berpendapat jika dibuatnya pipa-pipa maka akan semakin membuat mampet saluran air, karena adanya limbah padat yang ikut terbuang. Sebaiknya oleh pemerintah lebih disosialisasikan mengenai pipanisasi tersebut. Dilihat dari penilaian ekonomi dengan menggunakan CVM, maka penelitian ini menghasilkan sejumlah biaya yang sanggup dibayarkan oleh para
pengusaha sebagai bentuk partisipasi mereka. Hal yang perlu dijadikan pertimbangan adalah dalam sistem pengolahan ini diperlukannya dana tambahan dari masyarakat sekitar maupun pemerintah kota, dikarenakan total WTP dari pengusaha industri batik belum memenuhi kebutuhan dari biaya pengelolaan UPL. Oleh karena itu perlunya partisipasi dari berbagai pihak seperti LSM maupun pihak swasta. Jika hal tersebut dibiarkan, maka akan menyebabkan berbagai persoalan, seperti tingkat pencemaran yang sangat tinggi, dan akan terjadi suatu konflik dari masyarakat sekitar, karena mereka merasakan dampakdampak tersebut.
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa : 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi secara nyata pada penilaian pengusaha industri batik untuk menerima keberadaan UPL adalah tingkat pendidikan, tingkat sosialisasi, dan jumlah kapasitas buangan limbah. Berdasarkan penelitian diperoleh 70 persen responden pengusaha industri batik menerima keberadaan UPL. Faktor-faktor yang mempengaruhi secara nyata penilaian rumah tangga terhadap keberadaan UPL adalah jenis pekerjaan, biaya untuk mengurangi pencemaran dan pengetahuan mengenai pencemaran limbah cair batik yang terdiri 75 persen dari 60 rumah tangga yang menerima keberadaan UPL di Jenggot. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan responden pengusaha industri batik untuk membayar biaya pengelolaan UPL adalah biaya yang dikeluarkan untuk mengurangi dampak dari limbah dan pengetahuan mengenai pencemaran. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 85 persen responden bersedia membayar biaya pengelolaan UPL. 3. Nilai WTP yang didapat akan dijadikan acuan untuk besarnya biaya pengelolaan UPL Jenggot, yaitu sebesar Rp 53.088,2,- per pengusaha. Berdasarkan nilai WTP yang ditawarkan oleh responden didapatkan estimasi perolehan biaya pengelolaan total sebesar Rp 1.805.000,perbulan. Jumlah biaya yang terkumpul ternyata masih kurang untuk memenuhi besarnya biaya pengelolaan sebesar Rp 4.000.000,- perbulan. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai WTP secara nyata adalah
tingkat pendapatan, jumlah tanggungan, jumlah kapasitas buangan limbah perhari, dan biaya pengurangan pencemaran.
8.2
Saran
1. Masih diperlukannya intervensi dari Pemerintah Kota Pekalongan untuk menanggulangi kekurangan dalam biaya pengelolaan UPL. 2. Meminimalisasi anggaran biaya pengelolaan UPL agar terjadi keefisiensian dalam pengelolaan UPL. 3. Menciptakan maupun mencari teknologi produksi yang dapat mengurangi intensitas dan besaran buangan limbah cair. 4. Perlunya sosialisasi oleh pemerintah terhadap para pengusaha mengenai ecoefficient yang menerapkan efisiensi dalam berproses produksi, dengan hal tersebut akan terjadi suatu peningkatan secara ekonomi dan perbaikan ekologi, karena menggunakan konsep minimalisasi atau proses recycle bahan baku. 5. Kedepannya perlu dilakukan penetapan retribusi berdasarkan jumlah buangan limbah, sehingga dengan sistem tersebut pengusaha dapat insentif agar bersedia mengurangi jumlah buangan limbah dengan berbagai cara. 6. Pengelolaan UPL harus lebih ditingkatkan dan perlu membuat fasilitas umum seperti saluran air bersih untuk mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat, sehingga semuanya dapat turut mendukung. 7. Perlu adanya peningkatan sosialisasi oleh pemerintah mengenai fungsi UPL terhadap masyarakat sekitar baik pengusaha maupun rumah tangga, dengan pendekatan yang menyesuaikan adat dan kebiasaan wilayah tersebut, agar masyarakat sekitar lebih sensitif atas perubahan lingkungan
yang terjadi, dan akan terjadi suatu kebersamaan dan kesadaran yang tinggi dalam menanggulangi tingkat pencemaran. 8. Kajian lanjutan dapat dilakukan untuk mencari share biaya UPL terhadap biaya produksi pengusaha dan dengan menggunakan metode willingness to accept (WTA) yang dapat diperoleh suatu nilai perkiraan kesediaan masyarakat dalam menerima dana kompensasi akibat adanya perubahan lingkungan yang tercemar oleh limbah cair batik, yang dapat dijadikan pembanding dengan metode WTP yang sudah diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
Arianti.N.N.1999. Analisis Pilihan Sumberdaya Bersih dan Kesediaan Membayar Bagi Perbaikan Kualitas dan Kuantitas Air PDAM di Kodya Bengkulu. Tesis.Program Pasca Sarjana.Institut Pertanian Bogor.IPB. Ayu, E.R. 2004. Willingness to Pay Masyarakat terhadap Perbaikan Ekosistem Hutan Mangrove Muara Angke Jakarta Utara melalui Pendekatan Contingent Valution Method (CVM) dengan Regresi Logit. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. BPS. 2006. Pekalongan dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Pekalongan. Dimyati, Darmiah. 2006. Analisis Willingness to Pay Masyarakat terhadap Program Pembangunan Rumah Susun: Kasus Pemukiman di Bantaran Sungai Ciliwung, Kelurahan Kampung Melayu, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, DKI Jakarta. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. 2007. Modul Kuliah Ekonomi Lingkungan. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Teori dan Aplikasi). PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Firdaus M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Bumi Aksara: Jakarta. Hanley and C.L.Spash. 1993. Cost Benefit Analysis and Enviromental. England; Edward Elger Publishing Limited. Hudayanti, Eka Putri. 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesediaan pengusaha Tahu dalam Pembangunan dan Operasional IPAL Biogas (Kasus Kelurahan Pasir Jaya, Kecamatan Bogor Barat). Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kristanto, Philip. 2002. Ekologi Industri. ANDI : Yogyakarta. Kurniarto, Antonius Tulus. 2006. Analisis Ekonomi Lingkungan Pengelolaan Limbah Industri Kecil Tapioka/Aci: Pendekatan CVM (Kasus Kelurahan Ciluar, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor). Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lestari, Dina Kurnia. 2006. Analisis Willingness to Pay Konsumen Rumah Tangga terhadap Peningkatan Pelayanan PDAM Dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya di Wilayah Pelayanan III PDAM Tirta Kerta Raharja
Kabupaten Tangerang, Banten. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Monografi Kelurahan Jenggot.2007. Data Monografi Kelurahan Jenggot. Kelurahan Jenggot Pekalongan Selatan: Pekalongan. Prasetso, Bambang. 2006. Metodelogi Penelitian Kuantitatif (Teori dan Aplikasi). PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. Prawiro, Ruslan H. 1980. Ekonomi Sumberdaya. Bandung: Alumni. Pusat Studi Bencana UGM. 2006. Kajian Bencana Sosial Akibat Kegiatan Industri Batik di Pekalongan. Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial Departemen Sosial Republik Indonesia. Qomariah, S. 2005. Analisis Willingness to Pay dan Willingness to Accept Masyarakat terhadap Pengelolaan Sampah (Studi Kasus TPA Galuga,Cibungbulang, Bogor). Skripsi. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ramanathan, R. 1997. Introductionary Philadelphia : The Dryden Press.
Econometrics
with
Applications.
Sarwoko. 2005. Dasar-dasar Ekonometrika. ANDI: Yogyakarta. Sugiarto. 1987. Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah.UI-Press : Jakarta. Suparmoko, MA. 1989. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis). Pusat Antar Universitas Studi Ekonomi. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. _______, 2004. Ekonomika Lingkungan, Edisi Pertama. BPFE : Yogyakarta. Tim Pelaksana Fakultas Perikanan Universitas Pekalongan. 2000. Penilaian Masyarakat Kota Pekalongan Selatan terhadap Keberadaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Desa Jenggot. Utari, Asti Yunita. 2006. Analisis Willingness to Pay dan Willingness to Accept Masyarakat terhadap Tempat Pembuangan Akhir Sampah Pondok Rajeg Kabupaten Bogor. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lampiran 1. Hasil Logit Penilaian Rumah Tangga terhadap Keberadaan UPL Binary Logistic Regression: setuju? versus PDDK, PKJ, ... Link Function: Logit
Response Information Variable setuju?
Value 1 0 Total
Count 45 15 60
(Event)
Logistic Regression Table
Predictor Constant PDDK PKJ PDPTN JRKI BIAYA TAHU LT
Coef 1.89924 -0.0236401 -1.45517 0.0000000 -0.0071835 -1.07937 1.01738 0.129616
SE Coef 1.95265 0.378433 0.839792 0.0000005 0.0128921 0.402629 0.768882 0.560892
Z 0.97 -0.06 -1.73 0.07 -0.56 -2.68 1.32 0.23
P 0.331 0.950 0.083 0.946 0.577 0.007 0.186 0.817
Odds Ratio
95% CI Lower Upper
0.98 0.23 1.00 0.99 0.34 2.77 1.14
0.47 0.04 1.00 0.97 0.15 0.61 0.38
2.05 1.21 1.00 1.02 0.75 12.48 3.42
Log-Likelihood = -27.574 Test that all slopes are zero: G = 12.332, DF = 7, P-Value = 0.090
Goodness-of-Fit Tests Method Pearson Deviance Hosmer-Lemeshow
Chi-Square 65.9876 55.1482 5.4803
DF 51 51 8
P 0.077 0.321 0.705
Table of Observed and Expected Frequencies: (See Hosmer-Lemeshow Test for the Pearson Chi-Square Statistic)
Value 1 Obs Exp 0 Obs Exp Total
Group 5 6
1
2
3
4
2 1.8
2 3.5
4 4.0
5 4.2
6 4.6
4 4.2 6
4 2.5 6
2 2.0 6
1 1.8 6
0 1.4 6
7
8
9
10
Total
5 5.0
5 5.2
5 5.4
5 5.6
6 5.7
45
1 1.0 6
1 0.8 6
1 0.6 6
1 0.4 6
0 0.3 6
15
Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Concordant Discordant Ties Total
Number 512 156 7 675
Percent 75.9 23.1 1.0 100.0
Summary Measures Somers' D Goodman-Kruskal Gamma Kendall's Tau-a
0.53 0.53 0.20
60
Lampiran 2. Hasil Logit Penilaian Pengusaha Industri Batik terhadap Keberadaan UPL Binary Logistic Regression: Setuju? versus PDDK, PDPTN, ... Link Function: Logit
Response Information Variable Setuju?
Value 1 0 Total
Count 34 6 40
(Event)
Logistic Regression Table
Predictor Constant PDDK PDPTN JT PGTHN LIMBAH BIAYAA
Coef 4.97486 0.290482 0.559548 0.827129 2.98843 -0.0013932 -0.0004793
SE Coef 2.99795 0.725346 0.848182 0.726620 1.81081 0.0011730 0.0002273
Z 1.66 0.40 0.66 1.14 1.65 -1.19 -2.11
P 0.097 0.689 0.509 0.255 0.099 0.235 0.035
Odds Ratio
95% CI Lower Upper
1.34 1.75 2.29 19.85 1.00 1.00
0.32 0.33 0.55 0.57 1.00 1.00
5.54 9.23 9.50 690.64 1.00 1.00
Log-Likelihood = -9.230 Test that all slopes are zero: G = 15.357, DF = 6, P-Value = 0.018
Goodness-of-Fit Tests Method Pearson Deviance Hosmer-Lemeshow
Chi-Square 32.2315 18.4595 10.0570
DF 33 33 8
P 0.505 0.981 0.261
Table of Observed and Expected Frequencies: (See Hosmer-Lemeshow Test for the Pearson Chi-Square Statistic)
Value 1 Obs Exp 0 Obs Exp Total
Group 5 6
1
2
3
4
0 1.0
4 2.5
3 3.2
4 3.6
3 3.9
4 3.0 4
0 1.5 4
1 0.8 4
0 0.4 4
1 0.1 4
7
8
9
10
Total
4 3.9
4 4.0
4 4.0
4 4.0
4 4.0
34
0 0.1 4
0 0.0 4
0 0.0 4
0 0.0 4
0 0.0 4
6
Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Concordant Discordant Ties Total
Number 187 16 1 204
Percent 91.7 7.8 0.5 100.0
Summary Measures Somers' D Goodman-Kruskal Gamma Kendall's Tau-a
0.84 0.84 0.22
40
Lampiran 3. Hasil Logit Penilaian Pengusaha Industri Batik terhadap Kesediaan Membayar Pengelolaan UPL Binary Logistic Regression: menerima? versus PDDK, PDPTN, ... Link Function: Logit Response Information Variable menerima?
Value 1 0 Total
Count 28 12 40
(Event)
Logistic Regression Table
Predictor Constant PDDK PDPTN PGTHN SOSI LIMBAH BIAYAA JU LT
Coef 1.44389 0.902533 0.257425 0.267360 1.67687 -0.0017304 -0.0001407 0.202367 -0.379461
SE Coef 2.90437 0.611970 0.680172 1.17354 0.873699 0.0008872 0.0001128 0.358514 0.529799
Z 0.50 1.47 0.38 0.23 1.92 -1.95 -1.25 0.56 -0.72
P 0.619 0.140 0.705 0.820 0.055 0.051 0.212 0.572 0.474
Odds Ratio
95% CI Lower Upper
2.47 1.29 1.31 5.35 1.00 1.00 1.22 0.68
0.74 0.34 0.13 0.97 1.00 1.00 0.61 0.24
8.18 4.91 13.03 29.65 1.00 1.00 2.47 1.93
Log-Likelihood = -16.370 Test that all slopes are zero: G = 16.130, DF = 8, P-Value = 0.041
Goodness-of-Fit Tests Method Pearson Deviance Hosmer-Lemeshow
Chi-Square 32.1177 32.7393 2.6080
DF 31 31 8
P 0.411 0.382 0.957
Table of Observed and Expected Frequencies: (See Hosmer-Lemeshow Test for the Pearson Chi-Square Statistic)
Value 1 Obs Exp 0 Obs Exp Total
Group 5 6
1
2
3
4
0 0.6
2 1.5
2 2.0
3 2.4
3 3.0
4 3.4 4
2 2.5 4
2 2.0 4
1 1.6 4
1 1.0 4
7
8
9
10
Total
3 3.2
3 3.6
4 3.8
4 3.9
4 4.0
28
1 0.8 4
1 0.4 4
0 0.2 4
0 0.1 4
0 0.0 4
12
Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Concordant Discordant Ties Total
Number 283 52 1 336
Percent 84.2 15.5 0.3 100.0
Summary Measures Somers' D Goodman-Kruskal Gamma Kendall's Tau-a
0.69 0.69 0.30
40
Lampiran 4. Hasil Regresi Berganda WTP Regression Analysis: mid WTP versus PDPTN, JT, ... The regression equation is mid WTP = 45716 + 10235 PDPTN + 441 JT + 16533 PGTHN + 633 PLYN - 5758 LIMB - 9402 BIAYA - 1042 BPROD
Predictor Constant PDPTN JT PGTHN PLYN LIMB BIAYA BPROD
Coef 45716 10235 441 16533 633 -5758 -9402 -1042
S = 19180.9
SE Coef 11489 5481 2661 6845 8108 2743 2632 4828
R-Sq = 57.3%
T 3.98 1.87 0.17 2.42 0.08 -2.10 -3.57 -0.22
P 0.000 0.071 0.869 0.022 0.938 0.044 0.001 0.830
VIF 6.0 1.6 1.3 1.3 1.7 1.2 5.1
R-Sq(adj) = 48.0%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source PDPTN JT PGTHN PLYN LIMB BIAYA BPROD
DF 1 1 1 1 1 1 1
DF 7 32 39
SS 15801374605 11773000395 27574375000
MS 2257339229 367906262
F 6.14
P 0.000
Seq SS 7834532588 57689442 1902577038 97320707 1060857769 4831249598 17147462
Unusual Observations Obs 11 16 19
PDPTN 3.00 3.00 2.00
mid WTP 100000 0 20000
Fit 54189 41696 56513
SE Fit 5372 7390 7083
Residual 45811 -41696 -36513
St Resid 2.49R -2.36R -2.05R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Lampiran 5. Kuesioner Penelitian WTP Pengusaha Industri Batik KUESIONER Nama Alamat Lamanya Wawancara
: : :
Kuesioner ini digunakan sebagai bahan skripsi. Kami mohon partisipasi Saudara untuk mengisi kuesioner ini dengan teliti dan lengkap sehingga dapat memberikan data yang objektif. Informasi yang Saudara berikan akan dijamin kerahasiaannya, tidak dipublikasikan dan tidak digunakan untuk kepentingan politis. Atas perhatian dan partisipasinya Kami ucapkan terimakasih. A. 1. 2. 3. 4.
5. 6. 7.
8.
9. 10.
11.
12. B.
Karakteristik Responden Jenis kelamin : L / P Umur :....................tahun Pendidikan terakhir :............................................................................. Adakah pendapatan lain selain dari pekerjaan sebagai pengusaha di bidang batik? a. Ya, sebutkan......................................... b. Tidak Berapa kapasitas produksi saudara dalam sehari? ............................................................................................................................ Seberapa besar biaya produksi dalam membuat batik Saudara dalam 1 kodi ? Rp .......................................................................................... Harga untuk 1 kodi produksi industri batik Saudara anda sebesar? Rp..........................................untuk produk....................................................... Rp..........................................untuk produk....................................................... ........................................................................................................................... Aktivitas industri Saudara: a. Supplier c. distribusi b. Produksi Termasuk kategori penduduk apakah Saudara saat ini : a. Asli Jenggot b. Pendatang Berapa jumlah anggota keluarga Saudara saat ini : a. 1 – 2 orang c. 5 – 7 orang b. 3 – 4 orang d. > 7 orang Sudah berapa lama anda tinggal di Daerah Jenggot ? a. < 2 tahun c. 5 – 7 tahun b. 2 – 5 tahun d. > 7 tahun Seberapa dekat jarak rumah anda dengan UPL maupun sungai: ............km
Penilaian Responden Tentang Kondisi, Lingkungan, Fasilitas dan Pengelolaan UPL di Jenggot
1. Bagaimana keadaan lingkungan Saudara sebelum adanya penyaluran air melalui saluran air langsung ke UPL (Unit Pengolahan Limbah) ? a. Sangat kotor c. Biasa saja b. Kotor d. Bersih 2. Bagaimana keadaan lingkungan setelah pembungan limbah melalui saluran air ke UPL? ........................................................................................................................................ ........................................................................................................................... 3. Bagaimana kondisi Air maupun Udara yang Saudara gunakan sehari-hari ? ........................................................................................................................................ ........................................................................................................................... 4. Apakah ada tambahan biaya untuk membeli air minum atau air bersih setelah adanya penyaluran air limbah melalui saluran air ke UPL? a. Ya, sebesar Rp........................../ bulan b. Tidak
5. Apakah saudara atau keluarga pernah mengalami penyakit khusus akibat keadaan lingkungan yang kotor, atau akibat penyaluran air limbah dari saluran air ke UPL? a. Ya, yaitu............................................................................ b. Tidak CARD 1 Limbah saat ini menjadi permasalahan yang serius sejalan dengan bertambahnya industri-industri batik di Kota Pekalongan. Sementara itu kapasitas penanganan limbah batik yang biasa dilakukan oleh Pemerintah Daerah/Kota pada umumnya masih kurang atau tidak mampu menyesuaikan dengan laju produksi industri batik sehingga menyebabkan terjadinya ketimpangan antara kapasitas layanan dan kebutuhan pelayanan. Jika limbah tersebut tidak segera diatasi, maka akan menimbulkan pencemaran yang akhirnya akan menyebabkan berbagai kerusakan lingkungan. Rusaknya lingkungan sendiri akan menyebabkan menurunnya kualitas hidup, timbulnya berbagai konflik di masyarakat dan akan menurunkan keuntungan yang akan didapat oleh pengusaha sendiri. 1. Dampak negatif apa saja yang Saudara rasakan akibat limbah batik? a. Menggangu kesehatan b. Menimbulkan pencemaran air dan udara c. Menggangu pemandangan dan keindahan d. Air sungai menjadi keruh, dan ikan mati e. Semua jawaban diatas, atau lainnya, sebutkan............................................................. 2. Bagaimanakah dampak dari limbah batik tersebut ? a. Tidak berbahaya c. Sangat Berbahaya b. Berbahaya 3. Bagaimana sikap Saudara melihat sungai yang tercemar air limbah batik? a. Setuju c. Tidak Setuju b. Biasa saja d. Sangat tidak setuju 4. Apakah Saudara memiliki tempat penampungan limbah sendiri? a. Ya (langsung ke no 7) b. Tidak 5. Mengapa Saudara tidak mengolah limbah batik? a. Menambah biaya produksi b. Sungai merupakan milik umum c. Pelestarian lingkungan tanggung jawab pemerintah d. Tidak mengetahui teknik pengolahan limbah e. Lainnya.................................................... 6. Bagaimana pengelolaan limbah yang dilakukan oleh DPKLH (pemerintah)? a. Sangat kurang c. Baik b. Kurang d. Sangat Baik 7. Kira-kira Seberapa besar kapasitas buangan limbah Saudara dalam sehari? ........................................................................................................................ 8. Berapa kali Saudara membuang limbah batik? a. > 2 hari sekali c. 3 kali sehari b. 1 hari sekali d. > 3 kali dalam sehari 9. Apakah Anda mengetahui program tentang pembuangan limbah ke UPL? a. Ya b. Tidak 10. Seberapa sering Saudara mendukung program tersebut? a. Tidak pernah c. Sering b. Beberapa kali, sebutkan..... 11. Bimbingan dan penyuluhan kebersihan lingkungan oleh Dinas Lingkungan? a Sangat jarang c. Sering b. Beberapa kali, sebutkan.... 12. Adakah biaya yang dikeluarkan Saudara untuk mengelola UPL? a. Ada, Rp...................... b. Tidak 13. Menurut Saudara, siapa yang bertanggung jawab atas kebersihan lingkungan Saudara?
a. Masing-masing Pengusaha c. Pemerintah Daerah b. Seluruh Masyarakat 14. Adakah biaya yang dikeluarkan oleh Saudara untuk memperbaiki lingkungan? a. Ada, dalam bentuk....................................................... b. Tidak ada. C.
Informasi tentang kesediaan membayar iuran UPL CARD 2 Dinas Penataan Kota dan Lingkungan Hidup telah menerapkan pengelolaan limbah tekstil yaitu pengolahan air limbah di sekitar wilayah Jenggot dengan UPL. Jika Pemerintah Kota Pekalongan memberlakukan kebijakan baru dalam pengelolaan UPL, yaitu peningkatan pelayanan, pengelolaaan serta peningkatan penyediaan sarana prasarana dalam menyalurkan limbah langsung ke UPL seperti pembuatan pipa-pipa penyaluran air limbah, dimana kegiatan operasional UPL tersebut tetap menjadi tanggung jawab pemerintah dengan dana operasional selama satu bulan adalah Rp. 4.000.000,-. Namun dana operasional tersebut seluruhnya tidak berasal dari pemerintah, dengan demikian pengusaha akan dikenakan suatu biaya pengelolaan dalam rangka turut berpartisi membantu upaya pemerintah menjaga kelestarian lingkungan. Biaya tersebut selanjutnya akan digunakan untuk pemeliharaan dalam pengolahan limbah, penyediaan prasarana dengan teknologi yang ramah lingkungan, dengan tujuan agar pengusaha dapat terus menjaga kualitas lingkungan, untuk keberlanjutan lingkungan dan usaha sehingga tidak terjadi suatu konflik sosial antar masyarakat.
1. Apakah Saudara setuju dengan pengelolaan UPL yang dilakukan oleh DPKLH Pemerintah Kota Pekalongan? a. Ya,mengapa............................................................................................... b. Tidak, mengapa......................................................................................... 2. Jika Saudara setuju , berapakah besarnya iuran operasional UPL yang bersedia Saudara bayarkan per bulan? a. Rp.20.000 – Rp. 40.000 b. RP.41.000 – Rp. 60.000 c. Rp.61.000 – Rp. 80.000 d. Rp.81.000 – Rp. 100.000 4. Berikan alasan untuk pertanyaan NO. 2 , mengapa Saudara memilih besarnya iuran operasional tersebut ! ........................................................................................................................................ ........................................................................................................................................ ...................................................................................................................
Lampiran 6. Kuesioner Penelitian Rumah Tangga KUESIONER PENELITIAN Rumah Tangga Nomor Responden : Nama : Alamat : Tanggal : Kuesioner ini digunakan sebagai bahan skripsi. Kami mohon partisipasi Saudara untuk mengisi kuesioner ini dengan teliti dan lengkap sehingga dapat memberikan data yang objektif. Informasi yang Saudara berikan akan dijamin kerahasiaannya, tidak dipublikasikan dan tidak digunakan untuk kepentingan politis. Atas perhatian dan partisipasinya Kami ucapkan terimakasih. A. 1. 2. 3.
4.
5.
6. 7.
8.
9.
10. c. d.
Karakteristik Responden Jenis kelamin : L / P Umur :....................tahun Pendidikan terakhir : a. SD/Sederajat d. Akademik b. SLTP/Sederajat e. Perguruan tinggi c. SLTA/sederajat Apa pekerjaan Saudara sehari-hari ? a. PNS/Pegawai negeri Sipil d. Pegawai swasta b. Wiraswasta e. Lainnya,......... c. Buruh dari industri batik Dalam bentuk apa saja pengeluaran Saudara dalam sebulan, dan seberapa besar ? Rp.....................................untuk............................................................................... Rp.....................................untuk............................................................................... Rp.....................................untuk............................................................................... Termasuk kategori penduduk apakah Saudara saat ini : b. Asli Jenggot b. Pendatang Sudah berapa lama anda tinggal di Daerah jenggot ?. c. < 3 tahun d. 6 – 9 tahun d. 3 – 6 tahun d. > 9 tahun Seberapa dekat jarak rumah anda dengan UPL / Sungai: a. 0 – 20 meter c. 40 – 60 meter b. 20 – 40 meter d. > 60 meter Seberapa dekat rumah anda dengan Industri batik ( tempat pembabaran batik atau penyablonan batik ) a. 0 – 20 meter c. 40 – 60 meter b. 20 – 40 meter d. > 60 meter Berapa jumlah anggota keluarga Saudara saat ini : 1 – 2 orang c. 5 – 7 orang 3 – 4 orang d. > 7 orang
B. Penilaian Responden Tentang Kondisi, Lingkungan, dan Keberadaan UPL di Jenggot 6. Bagaimana keadaan lingkungan Saudara sebelum adanya penyaluran air melalui saluran air langsung ke UPL (Unit Pengolahan Limbah) ? a. Sangat kotor c. Biasa saja b. Kotor d. Bersih 7. Bagaimana keadaan lingkungan setelah pembungan limbah melalui saluran air ke UPL?............................................................................................................... 8. Bagaimana kondisi Air maupun Udara yang Saudara gunakan sehari-hari ? ........................................................................................................................................ .......................................................................................................................... 9. Apakah ada tambahan biaya untuk membeli air minum atau air bersih setelah adanya penyaluran air limbah melalui saluran air ke UPL?
b. Ya, sebesar Rp........................../ bulan b. Tidak 10. Apakah saudara atau keluarga pernah mengalami penyakit khusus akibat keadaan lingkungan yang kotor, atau akibat penyaluran air limbah batik dari saluran air ke UPL? b. Ya, yaitu........................................................................ b. Tidak CARD 1 Limbah saat ini menjadi permasalahan yang serius sejalan dengan bertambahnya industri-industri batik di Kota Pekalongan. Sementara itu kapasitas penanganan limbah batik yang biasa dilakukan oleh Pemerintah Daerah/Kota pada umumnya masih kurang atau tidak mampu menyesuaikan dengan laju produksi industri batik sehingga menyebabkan terjadinya ketimpangan antara kapasitas layanan dan kebutuhan pelayanan. Jika limbah tersebut tidak segera diatasi, maka akan menimbulkan pencemaran yang akhirnya akan menyebabkan berbagai kerusakan lingkungan. Rusaknya lingkungan sendiri akan menyebabkan menurunnya kualitas hidup, dan timbulnya berbagai konflik di masyarakat . 11. Dampak negatif apa saja yang Saudara rasakan dari limbah batik? a. Menggangu kesehatan b. Menimbulkan pencemaran air dan udara c. Menggangu pemandangan dan keindahan d. Air sungai menjadi keruh, dan ikan mati e. Semua jawaban diatas, atau lainnya, sebutkan........................................... 12. Bagaimanakah dampak dari limbah batik tersebut ? a. Sangat tidak berbahaya c. Berbahaya b. Tidak berbahaya d. Sangat berbahaya 13. Bagaimana sikap Saudara melihat sungai yang tercemar air limbah batik? a. Setuju c. Tidak Setuju b. Biasa saja d. Sangat tidak setuju 14. Gangguan apa saja yang Saudara rasakan akibat dari sungai yang kotor, maupun di sekitar wilayah Saudara yang diakibatkan oleh limbah batik? ........................................................................................................................................ .......................................................................................................................... 15. Menurut Saudara, Bagaimana pengelolaan Limbah yang dilakukan oleh DPKLH? a. Sangat kurang c. Baik b. Kurang d. Sangat Baik 16. Apakah Anda mengetahui program tentang pembuangan limbah ke UPL? a. Ya b. Tidak 17. Bimbingan dan penyuluhan kebersihan lingkungan oleh Dinas Lingkungan? a. Sangat jarang c. sering b. Beberapa kali, sebutkan..... d.sangat sering 18. Adakah biaya yang dikeluarkan Saudara untuk mengelola UPL? a. Ada, Rp...................... b. Tidak 19. Menurut Saudara, siapa yang bertanggung jawab atas kebersihan lingkungan Saudara? a. Pihak Pengelola UPL c. Seluruh Masyarakat b. Masing-masing Pengusaha d. Pemerintah Daerah 20. Adakah biaya untuk membersihkan lingkungan dan menjaga kelestarian lingkungan sekitar Saudara? a. Ada, dalam bentuk..............................Rp.................. b. Tidak