PERBANDINGAN TINGKAT PENGETAHUAN CALON PEKERJA DI SEKTOR PARIWISATA TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK MELAWAN EKSPLOITASI SEKSUAL SECARA KOMERSIAL DI DUNIA PARIWISATA (Studi Kasus pada mahasiswa Akademi Pariwisata Indonesia (AKPINDO) Jakarta ) Oleh : Dra. Yanthi Setyawati (Dosen AKPINDO) Abstract The objective of the research is to find out whether there is any difference of knowledge level on the protection of children from commercial sexual exploitation in tourism. The research was carried out at the Indonesia Tourism Academy (AKPINDO), one of higher learning institutions in Jakarta which graduates prospective workers in the tourism sector. From 800 students of AKPINDO who have become the population in this research, those taken as samples are 267 students. So as to determine the number of samples, it is used a “Slovin” formula with error margin of 5%, applying the technique of systematic Random Sampling. From 6 statements as submitted to the students, in 5 statements it is found that there has been an increase of knowledge of AKPINDO students concerning on the protection of children from sexual exploitation in tourism; on the other hand, there is 1 statement which has undergone a decreasing number of correct answers between the pre-test and the post-test, namely the statement of P4. By comparing the value of Z with Ztable by applying Wilcoxson rank test, at α = 0.05 it is acquired that Z > Ztable (10.610 > 1.96) at the level of significance as above mentioned; it means that H0 is rejected and H1 is accepted, for which it implies that there is a significant increase on the knowledge of AKPINDO students concerning on the protection of children from commercial sexual exploitation in the sector of tourism upon participation in the training. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah erkembangan industri pariwisata di Indonesia beberapa kali mengalami perubahan-perubahan berupa lonjakan yang sangat menggembirakan, terutama pada kurun waktu tahun 1990 sampai dengan tahun 1997 sebelum terjadinya era reformasi. Bahkan dalam kurun waktu 25 tahun, berdasarkan Analisis Pasar Wisatawan Mancanegara tahun 1996, terjadi lonjakan peningkatan sekitar 40 kali. Sejak dikeluarkannya kebijaksanaan terpadu untuk mengembangkan sektor industri pariwisata, telah terjadi peningkatan yang cukup tajam dalam jumlah kedatangan wisatawan mancanegara di Indonesia. Kebijaksanaan ini mencakup bebas visa bagi wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia, pembukaan pintu masuk udara, darat, laut, kemudahan investasi, peningkatan pelayanan berupa penyediaan sarana-sarana pendukung dan juga pengembangan sumber daya manusia di bidang pariwisata. Sektor pariwisata dianggap sebagai komoditi penting yang menjadi prospek dan tumpuan harapan sebagai penghasil devisa
P
terbesar karena peranan ekspor minyak dan gas sebagai penghasil devisa utama menjadi berkurang. Pemerintah menyadari betul bahwa kekayaan alam berupa tambang-tambang yang tersebar di wilayah Indonesia merupakan nonrecycled product. Berkenaan dengan alasan tersebut, pemerintah memandang perlu untuk mengupayakan sektor pariwisata sebagai komoditas andalan kedua selain sektor industri minyak dan gas. Namun di sisi lain perkembangan sektor pariwisata juga berdampak negatif terhadap perubahan nilai-nilai hidup kemasyarakatan. Wisatawan yang datang dari berbagai latar belakang budaya, ras, bahasa, sosial berinteraksi dengan masyarakat Indonesia dengan segala kemajemukannya. Interaksi dua budaya yang berbeda, di satu sisi mengakibatkan pengayaan secara positif terhadap budaya yang ada, namun di sisi lain juga telah memberikan dampak negatif terhadap pola perilaku masyarakat, contohnya berkembangnya perilaku seks bebas dan maraknya prostitusi. Semakin maraknya kegiatan prostitusi yang mendompleng pada sektor pariwisata telah menunjukkan angka
17 Panorama Nusantara, Vol. 1 No. 1 Juli – Desember 2006
yang memprihatinkan, terlebih lagi kegiatan pelacuran telah melibatkan anak-anak di bawah usia. Eksploitasi seksual terhadap anak telah menjadi isu global di banyak negara, termasuk Indonesia, dan terutama terjadi di sektor pariwisata. Eksploitasi seksual terhadap anak meliputi kegiatan pelacuran dan pergadangan anak, serta pornografi. Untuk melindungi anak-anak menjadi korban eksploitasi seksual, dibutuhkan satu usaha yang sistematis, misalnya melalui peningkatan pengetahuan para pekerja di sektor pariwisata terkait dengan isu-isu yang relevan dengan eksploitasi seksual pada anak-anak. 2. Permasalahan Apakah ada perbedaan tingkat pengetahuan mahasiswa AKPINDO tentang perlindungan terhadap anak melawan eksploitasi seksual secara komersial di dunia pariwisata? 3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan tingkat pengetahuan mahasiswa AKPINDO tentang perlindungan terhadap anak melawan eksploitasi seksual secara komersial di dunia pariwisata. TINJAUAN TEORITIS Eksploitasi Seksual Terhadap Anak-Anak secara Komersial Eksploitasi seksual terhadap anakanak secara komersial telah dikenal sebagai sebuah fenomena global yang terjadi pada jutaan anak di setiap negara di dunia tiap tahunnya. Eksploitasi seksual pada anak-anak secara komersial sudah merupakan sebuah isu yang sudah berkembang secara meluas di seluruh dunia. Organisasi-organisasi industri pariwisata internasional telah mulai mengangkat masalah-masalah eksploitasi seks pada anak-anak di dunia pariwisata. The Universal Fderation of Travel Agents’ Associations (UFTAA) adalah persatuan industri yang pertama kali mengambil langkah nyata, dengan mengadopsi isi piagam The Child and Travel Agents pada tahun 1994. Pada tahun yang sama usaha-usaha UFTAA didukung oleh The International Hotel and Restaurant Association- IH&RA (dulunya dikenal dengan nama The International Hotel Association), dan The World Tourism Organization (WTO). Penggunaan anak-anak untuk tujuan seksual oleh orang-orang dewasa dengan
alasan sebagai pemberian upah tunai atau sejenisnya pada anak-anak merupakan sejenis paksaan dan kekerasan yang bertentangan dengan kehendak anak-anak. Kegiatan ini termasuk di dalamnya pelacuran anak, pornografi, dan perdagangan anak serta penjualan anak layaknya bentuk eksploitasi seksual lainnya. (Diambil dari Deklarasi Kongres Dunia Melawan Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak-anak, Juni 1996). Eksploitasi seksual terhadap anak-anak secara komersial adalah sebuah kekerasan fundamental atas hak-hak anak yang tidak manusiawi yang memperlakukan mereka sebagai objek komersil. Eksploitasi seksual terhadap anak-anak secara komersial ini terjadi dalam beberapa cara, termasuk pornografi, perdagangan anak, dan pelacuran anak. Kebanyakan pelakunya adalah klien lokal. Jumlah pelanggan yang banyak ini biasanya dari kalangan pebisnis atau pengunjung (pelancong) yang hanya ingin bersenangsenang. Eksploitasi seksual anak-anak melalui pariwisata juga dikenal dengan sebutan “child sex tourism”. Hal ini menjadi penting bagi mereka yang memasuki atau bekerja di dalam industri pariwisata sehingga dapat memahami apa itu eksploitasi seksual anak-anak di pariwisata, dan untuk mengidentifikasi cara-cara agar industri tersebut dapat mengambil langkah positif untuk mengakhirinya. Konvensi PBB atas Hak-hak Anak PBB mendefinisikan seorang anak sebagai seseorang yang berada di bawah usia 18 tahun, jika tidak hukum nasional negara tersebut mendeklarasikannya. Bagaimanapun, banyak negara-negara memiliki hukum yang mendefinisikan seorang anak sebagai seorang individu yang lebih muda dari 18 tahun sebagai orang dewasa. ( Konvensi atas Hakhak Anak, Pasal 1, 1989) Konvensi PBB atas Hak-hak Anak (UNCRC—The United Nation on Right of the Child) adalah salah satu dokumen multilateral yang terpenting tentang hak asasi manusia anak-anak di seluruh dunia. Konvensi ini telah disetujui Majelis Umum PBB, dan telah ditandatangani oleh 198 negara anggota (seluruh negara, kecuali Amerika Serikat dan Somalia). Terdapat 54 pasal dalam UNCRC, yang ditujukan untuk perlindungan terhadap anakanak dan hak-hak mereka. Yang termasuk dalam pasal ini adalah hak-hak asasi yang berhubungan dengan kesehatan dan keamanan,
18 Panorama Nusantara, Vol. 1 No. 1 Juli – Desember 2006
keluarga, pendidikan, kebebasan dalam berekspresi dan perlindungan dari eksploitasi dan diskriminasi. “Pada semua ukuran yang berhubungan dengan hak-hak anak, keamanan bagi anak-anak akan menjadi fokus atau perhatian utama.” (Pasal 3, Konvensi PBB atas Hak-hak Anak). Pasal 34, sebagaimana pasal 35, 36, dan 37, mengkhususkan pada perlindungan anak-anak dari berbagai jenis eksploitasi seksual. Teks pasal 34 dari UNCRC yang lengkap adalah: “Negara bertanggung jawab untuk melindungi anak dari semua jenis eksploitasi seksual dan kekerasan seksual. Untuk tujuan ini, negara pada khususnya akan mengambil atau menjalankan semua ukuran yang benar, baik secara nasional, bilateral, dan multilateral, untuk mencegah: a. membujuk dan memaksa seorang anak untuk terlibat dalam berbagai aktivitas seksual yang melanggar hukum; b. eksploitasi yang menggunakan anak-anak, baik dalam prostitusi atau praktik seksual yang melanggar hukum lainnya.; c. eksploitasi yang menggunakan anak-anak, baik dalam penampilan gambar pornografi dan material lainnya. Eksploitasi seksual komersial terhadap anak-anak (CSEC—Commercial Sexual Ekploitation of Children) sudah menjadi sebuah isu yang mengglobal. Eksploitasi Seksual terhadap Anak di Pariwisata (SECT) terjadi di berbagai tempat yang memiliki obyek wisata. Perjalanan dan wisata adalah bagian integral dari kehidupan sehari-hari di banyak negara, dan perjalanan dalam level internasional telah menjadi hal yang umum untuk banyak orang. Jumlah pelancong internasional (wisatawan mancanegara) bertambah dengan signifikan di beberapa negara pada beberapa dekade terakhir ini, dan proyeksi Organisasi Pariwisata Dunia (WTO— World Turism Organization) bertujuan untuk sebuah pertumbuhan yang berkelanjutan. Hubungan pariwisata dan CSEC telah menjadi fokus kepedulian internasional. Bukti menunjukkan bahwa arus utama keterlibatan para wisatawan dalam CSEC terutama wisatawan dari negara-negara yang secara ekonomi sedang berkembang di bagian Eropa Barat, Amerika Utara, Asia, Oceania, dan Timur Tengah untuk mengurangi negaranegara berkembang lainnya di Asia, Afrika, Eropa Timur, Amerika Latin, dan Karibia. Masalah ini juga merupakan masalah regional. Misalnya, para pelancong seks dari Jepang yang melakukan perjalanan ke
Indonesia dan Thailand; atau orang-orang Amerika Utara dari Kanada dan Amerika Serikat yang melakukan wisata ke Meksiko atau Karibia. Eksploitasi seksual komersil terhadap anak-anak terjadi karena adanya kesempatan. Dampak dari Eksploitasi Seksual Secara Komersial Terhadap Anak Eksploitasi seks pada anak-anak secara komesial berdampak pada fisik, mental, dan sosial. Anak memiliki resiko yang tinggi dalam penyebaran penyakit seksual atau HIV/AIDS, sama halnya perlakuan kejam secara fisik. Keadaan tubuh anak yang belum matang memudahkan penyakit-penyakit menginfeksi tubuh karena kekebalan tubuh belum sepenuhnya berkembang. Seorang wanita yang belum dewasa dengan alat reproduksi yang masih berkembang dapat mengalami robeknya alat kelamin dan lecet yang disebabkan oleh aktivitas seks yang memungkinkan terjadinya pentransferan penyakit. Banyak anak-anak korban pelacuran menjadi pelaku penyalahgunaan narkoba oleh para calo dan pemilik rumah pelacuran sebagai sebuah alat kontrol. Mereka dengan “suka rela”menjadi pengguna narkoba dan alkohol untuk keluar dari kenyataan hidup dan untuk membuat tak sadar akan luka yang mereka rasakan. Eksploitasi seksual anak secara komersil, termasuk yang terjadi dalam kepariwisataan, merupakan pengikisan terhadap nilai-nilai dan hak manusia yang sangat mengancam kesehatan masyarakat. Pendidikan, pencegahan dan program bantuan yang dibentuk melalui kolaborasi antara pemerintah, non-pemerintah dan agen-agen lokal sangat dibutuhkan. Untuk negara tujuan, eksploitasi seksual anak dalam kepariwisataan dapat menghancurkan citra negara tersebut dan menurunkan kualitas produk kepariwisataan. Yang Terlibat Dalam Eksploitasi Seksual Secara Komersial Terhadap Anak Tidak ada ciri khusus untuk mengenali para wisatawan yang biasa melakukan eksploitasi seksual terhadap anak. Mereka layaknya seperti wisatawan pada umumnya yang datang dari budaya, pekerjaan dan kelas sosial yang berbeda. Mereka dari berbagai usia baik yang sudah menikah dan masih lajang. Mereka dapat digolongkan menjadi, wisatawan dengan tujuan bisnis dan liburan. Mayoritas wisatawan yang melakukan hubungan seks dengan anak-anak adalah pria tetapi wanita juga termasuk di dalamnya.
19 Panorama Nusantara, Vol. 1 No. 1 Juli – Desember 2006
Kebanyakan wisatawan bukan melakukan perjalanan semata-mata hanya untuk melakukan seks dengan anak-anak. Mereka disebut “situational abusers” yaitu para wisatawan yang mengambil kesempatan dari negara wisata yang menyediakan anak sebagai rekan seks. Mereka biasanya memanfaatkan berbagai elemen dari industri kepariwisataan seperti perencanaan, booking, dan pengalaman liburan atau perjalanan bisnis. Situational abuser umumnya dipengaruhi oleh media, pendidikan dan hukum yang berlaku dinegara tujuan. Situational abusers berbeda dengan ‘prefential child sex abusers’ dan ‘pedophiles.’ prefential child sex abusers adalah individuindividu yang lebih menyukai anak-anak yang sudah melewati masa puber sebagai objek seks mereka. Individu-individu ini umumnya memiliki jaringan komunikasi dan rencana yang menyediakan akses ke anak-anak, dan mereka tidak menggunakan organisasiorganisasi kepariwisataan standar seperti travel agent untuk memesan perjalanan. Mereka menggunakan internet, klub-klub pribadi dan majalah seks untuk memperoleh informasi dan akses tentang anak-anak ditempat tujuan perjalanan mereka diseluruh dunia. Di tempat tujuan, mereka memanfaatkan sarana transportasi, akomodasi dan tempat-tempat makan. Keputusan mereka melakukan perjalanan dengan tujuan untuk melakukan hubungan seks dengan anak-anak mungkin dipengaruhi oleh hukum yang ada di negara tersebut. Tanggung jawab Industri kepariwisataan Industri kepariwisataan tidak bertanggung jawab terhadap pertumbuhan eksploitasi seks anak dalam kepariwisataan. Bisnis pariwisata yang memiliki reputasi tidak akan terlibat dalam eksploitasi seks terhadap anak. Tetapi fasilitas dan pelayanan yang mereka berikan dapat dimanfaatkan oleh para wisatawan. Rencana wisatawan dan rencana perjalanan, perjalanan dengan berbagai alat transportasi dan menggunakan fasilitas pariwisata di tempat tujuan termasuk akomodasi dan restoran, tempat-tempat hiburan dan toko-toko pengecer. Semua hal tersebut memberikan kesempatan bagi industri kepariwisataan untuk melakukan tindakan untuk mencegah atau menghentikan SECT (Sex Exploitation of Children Tourists). Tingkat tanggung jawab sektor kepariwisataan dibagi menjadi: 1.Direct responsibility (tanggung jawab langsung) berhubungan
dengan mereka yang dengan sengaja mengumumkan, mengatur, dan menerima perjalanan-perjalanan untuk seks (walaupun pada saat ini hanya ada sedikit bukti yang menyatakan aktivitas seperti itu), dan juga dengan para penyelenggara dari tempat-tempat dimana pengunjung dapat bertemu dan melakukan eksploitasi seksual terhadap anak, yaitu fasilitas-fasilitas akomodasi, tempattempat hiburan, area-area bersantai dan seterusnya. Memberikan toleransi pada aktivitas seperti itu menyatakan keterlibatan secara tidak langsung terhadap operasi dan kepuasan sendiri dari pengatur perjalanan.; 2.Indirect or potential responsibility (tanggung jawab tak langsung) juga berhubungan dengan penyelenggara perjalanan, travel agent, pembawa barang (khususnya di bandara); mereka adalah orang yang sadar bahwa mereka diguanakan sebagai alat untuk membawa calon penyalahgunaan seks di negara tempat tujuan. Eksploitasi Seksual terhadap Anak-anak Pariwisata (SECT): Kenapa hal ini terjadi? Alasan eksploitasi seksual terhadap anak di industri pariwisata termasuk: (1)Anonimiti: Ketika seorang wisatawan jauh dari rumahnya atau negerinya, kebanyakan dari mereka merasa merdeka dan terbebas dari segala tanggung jawab dan paksaan sosial serta budaya yang mereka rasakan di negerinya. (2)Ketidakpedulian/ketidaktahuan terhadap Budaya: Perjalanan para wisatawan ke negara lain adalah untuk mendapatkan pengalaman baru dalam hal budaya dan lingkungan yang berbeda dari negara dimana mereka tinggal. Ketika ada banyak perbedaan budaya yang terjadi, misalnya bahasa, keadaan sosial, ekonomi atau perbedaan agama, para wisatawan ini mungkin berasumsi tentang apa yang dapat diterima di dalam kebudayaan tuan rumah di negara yang mereka kunjungi. Wisatawan tersebut kemudian merasionalisasikan tingkah lakunya berdasarkan atas informasi dan asumsi yang salah.(3) Rasionalisasi/ “Menolong yang Lemah”: Beberapa wisatawan merasionalisasi bahwa eksploitasi seks terhadap anak adalah menolong mereka yang lemah. (4) Rasa Superioritas: Para wisatawan, khususnya mereka yang datang dari negara yang lebih berkembang ke negara yang kurang berkembang, mungkin akan memiliki sejenis perasaan ‘superioritas’ terhadap individuindividu di negara-negara yang dituju. (5) Kekhawatiran terhadap AIDS:
20 Panorama Nusantara, Vol. 1 No. 1 Juli – Desember 2006
Kekhawatiran terhadap AIDS telah meningkatkan permintaan akan pasangan seks yang lebih muda dan masih perawan. Konsep yang salah ini adalah dengan memiliki pasangan seks anak-anak berarti mereka akan bebas dari segala resiko tertular atau terkena atau terinfeksi berbagai penyakit. (6) Permintaan: Di beberapa negara, anak-anak dengan mudah tersedia bagi para wisatawan sebagai pasangan seks mereka. Anak-anak ini tersedia di rumah-rumah bordil, di jalanan, dan di daerah-daerah di mana wisatawan banyak berdatangan (tempat-tempat wisata). (7) Permintaan Meningkatkan Suplai: Permintaan yang besar terhadap pasangan seksual mengakibatkan meningkatnya penggunaan anak-anak dalam indusrti seks. Penyebab lokal adanya eksploitasi seksual terhadap anak-anak termasuk: (a) Kemiskinan; (b) Perbedaan ekonomi; (c) Rendahnya pendidikan; (d) Migrasi rural-urban; (e) Diskriminasi gender; (f) Hancurnya dan tidak berfungsinya keluarga; (g) Konsumerisme; (h) Korupsi. Kemiskinan seringkali disebut sebagai penyebab dominan adanya eksploitasi seksual komersil terhadap anak-anak. Faktor-faktor sosio-kultural termasuk perubahan-perubahan dalam keluarga dan dominasi dalam komunitas, serta migrasi rural-urban juga menjadi faktor-faktor yang penting. Dalam beberapa budaya atau adat istiadat, para perempuan mengalami diskriminasi gender. Rasa dimiliki dan ketidakberdayaan terhadap situasi ini menyebabkan seorang gadis yang sangat muda untuk memasuki dunia seks yang bertentangan dengan kehendaknya. Kurangnya lapangan pekerjaan, perubahan-perubahan di dalam struktur keluarga termasuk kehilangan orang tua, atau tidak berfungsinya keluarga juga membuat kondisi anak-anak menjadi lemah dan mudah dipengaruhi. Kekerasan seksual atau kekerasan fisik dapat membuat seorang anak meninggalkan (lari) dari rumahnya. Pada banyak daerah pedesaan, kesempatan yang terbatas untuk mencari nafkah kehidupan mengakibatkan para kawula muda dan keluarganya untuk berpindah ke daerah-daerah perkotaan. Kurangnya pendidikan dan tidak adanya keahlian kerja, maka pelacuran adalah lahan terbaik agar mereka dapat terus bertahan hidup. Walaupun ada bukti-bukti bahwa ada banyak keluarga yang menjual anak-anaknya
di pasar seks atau dalam perdagangan seks tanpa mereka sadari bahwa mereka telah menjual anaknya itu. Banyak keluarga dan anak-anak yang kemudian menjadi korban penipuan. Pada awalnya mereka percaya bahwa anak mereka akan pergi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan baik, atau sekadar menjadi buruh pabrik; dan akan memiliki “kehidupan” yang lebih baik. Namun, bisa saja anak itu diculik, lalu kemudian dijual. METODOLOGI PENELITIAN 1. Metode Penelitian Metode penelitian adalah metode eskperimen, dalam hal ini peneliti mengadakan uji coba terhadap materi modul tentang eksploitasi seksual secara komersil terhadap anak di industri pariwisata kepada mahasiswa AKPINDO. 2. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian adalah mahasiswa AKPINDO sebagai calon tenaga kerja di bidang indsustri parwisata sebanyak 800 orang. Dengan menggunakan rumus Slovin dengan rumus sebagai berikut : n
N 1 Ne 2
rumus (1), di mana n= ukuran sampel; N= ukuran populasi dan e= persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel sebesar 5%. Dengan menggunakan rumus (1) di atas, ditemukan mahasiswa yang menjadi sampel adalah 267 orang. Untuk menetapkan mahasiswa yang menjadi sampel digunakan teknik sampel acak sistematis (systematic random sampling). 3. Metode Analisis Data Untuk mengetahui apakah terjadi perbedaan yang signifikan tingkat pengetahuan mahasiswa AKPINDO tentang perlindungan terhadap anak melawan eksploitasi seksual secara komersial di bidang pariwisata sebelum dan sesudah diberi pelatihan, digunakan teknik analisa statistik non parametrik yaitu uji tanda ranking Wilcoxson. Teknik ini digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel yang berkorelasi bila datannya berbentuk ordinal (berjenjang). Bila sampel pasangan > 25, distribusi akan mendekati distribusi normal yang menggunakan rumus Z dalam pengujiannya. Untuk itu digunakan formulasi sebagai berikut:
21 Panorama Nusantara, Vol. 1 No. 1 Juli – Desember 2006
n(n 1) rumus(2) dan 4 n(n 1)( 2n 1) rumus(3); T 24 T T rumus (4) di mana, T = Z
T
T
P jumlah jenjang/ rangking yang kecil. R Hipotesis yang diajukan dalam E penelitian ini adalah: H0 : Tidak ada perbedaan antara perbedaan tingkat T E pengetahuan mahasiswa AKPINDO S tentang perlindungan terhadap anak T melawan eksploitasi seksual secara komersial di dunia pariwisata.; H1: ada perbedaan yang signifikan antara tingkat pengetahuan mahasiswa AKPINDO tentang perlindungan terhadap anak melawan eksploitasi seksual secara komersial di dunia pariwisata. Dari perhitungan pada rumus (1), dihasilkan Zhitung, selanjutnya nilai Zhitung tersebut dibandingkan dengan Ztabel pada taraf nyata = 0.05 dari tabel distribusi normal. Jika nilai Zhitung >Ztabel maka H0 ditolak dan H1 diterima. Hal ini berarti ada perbedaan yang signifikan antara tingkat pengetahuan mahasiswa AKPINDO tentang perlindungan terhadap anak melawan eksploitasi seksual secara komersial di dunia pariwisata. Begitu juga sebaliknya, jika Zhitung < Ztabel maka H0 diterima dan H1 ditolak, berarti tidak ada - perbedaan yang signifikan antara tingkat pengetahuan mahasiswa AKPINDO tentang perlindungan terhadap anak melawan eksploitasi seksual secara komersial di dunia pariwisata.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Tingkat Pengetahuan Mahasiswa AKPINDO tentang Eksploitasi Seksual Secara Komersil Terhadap Anak-Anak Hasil angket yang disebarkan kepada 267 orang responden untuk menguji coba perubahan tingkat pengetahuan calon-calon tenaga kerja di industri pariwisata tentang eksploitasi seksual secara komersial terhadap anak-anak disajikan pada tabel sebagai berikut: Tabel 1: Tingkat Pengetahuan Mahasiswa AKPINDO tentang Eksploitasi Seksual Secara Komersil Terhadap Anak-Anak
Pernyataan
P1
Salah Benar
Total
Salah 4 15 19
Pernyataan P2
Salah Benar
Total P3 Salah Benar Total P4 Salah Benar 218
Total P5
Salah Salah Benar 11
Total P6
Total
Post Test P1 Benar 16 232 248
20 247 267
Benar 27 20 47
211 56 267
Benar 33 42 75
188 79 267
P2 Salah 184 36 220 P3 Salah 155 37 192 P4 Salah 195 23 49 P5 Benar 4 7 256
Benar 32 17 267
66 190 267
P6 Salah Benar Salah 11 43 Benar 13 200 Total 24 243 Sumber : Angket penyataan Pre Test dan Post Test
227 40
70 197
54 213 267
Dari tabel 1 di atas dapat diuraikan beberapa hal sebagai berikut : 1. a. Dari 20 mahasiswa yang menyalahkan pernyataan tersebut pada saat pre-test, 4 mahasiswa tetap menyalahkan dan 16 mahasiswa berubah pandangan menjadi membenarkan pernyataan tersebut pada post test.; b. Dari 247 mahasiswa yang membenarkan, 232 pada saat post test tetap bertahan untuk membenarkan pernyataan tersebut dan 15 mahasiswa malah akhirnya berbalik menyalahkan pernyataan tersebut. Berarti, ada selisih 1 peserta yang membenarkan pernyataan tersebut panda saat post test dibandingkan hasil pre-test, yaitu menjadi 248 peserta. Hal ini disebabkan jumlah mahasiswa yang berubah dari menyalahkan menjadi membenarkan sebanyak 15 orang hampir sama dengan jumlah mahasiswa yang berubah dari yang menyalahkan menjadi membenarkan (16 orang). 2. Pernyataan 2 (P2): Anak-anak memilih untuk terlibat di dunia pelacuran, dengan jawaban : Salah. Hasil pre test menunjukkan bahwa dari 267 mahasiswa peserta pelatihan, 211 mahasiswa yang menyalahkan Dan 56 mahasiswa yang membenarkan. Setelah pelatiahn terjadi pergeseran jumlah mahasiswa
22 Panorama Nusantara, Vol. 1 No. 1 Juli – Desember 2006
yang membenarkan Dan menyalahkan pernyataan tersebut, yaitu :a. Dari 211 mahasiswa yang menyalahkan pernyataan tersebut pada saat pre test, 27 mahasiswa tetap menyalahkan dan 16 mahasiswa berubah pandangan menjadi membenarkan pernyataan tersebut pada post test.; b. Dari 56 mahasiswa yang membenarkan, 20 pada saat post test tetap bertahan untuk membenarkan pernyataan tersebut dan 36 mahasiswa malah akhirnya berbalik menyalahkan pernyataan tersebut. Secara keseluruhan setelah pelatihan ada peningkatan jumlah peserta yang menyalahkan pernyataan tersebut pada saat post test, yaitu menjadi 220 peserta. Tapi hal itu juga diiringi sejumlah mahasiswa yang berubah pendapatnya dari yang menyalahkan menjadi membenarkan sejumlah 27 mahasiswa. 3. Pernyataan 3 (P3): Pelacuran anak dapat diterima pada beberapa budaya, dengan jawaban : Salah, Hasil pre-test menunjukkan bahwa dari 267 mahasiswa peserta pelatihan, 188 mahasiswa yang menyalahkan dan 79 mahasiswa yang membenarkan. Setelah pelatihan terjadi pergeseran jumlah mahasiswa yang membenarkan dan menyalahkan pernyataan tersebut, yaitu : a. Dari 188 mahasiswa yang menyalahkan pernyataan tersebut pada saat pre test, 155 mahasiswa tetap menyalahkan dan 33 mahasiswa berubah pandangan menjadi membenarkan pernyataan tersebut pada post test.; b. Dari 79 mahasiswa yang membenarkan, 42 pada saat post test tetap bertahan untuk membenarkan pernyataan tersebut dan 37 mahasiswa malah akhirnya berbalik menyalahkan pernyataan tersebut. Secara keseluruhan setelah pelatihan ada peningkatan jumlah peserta yang menyalahkan pernyataan tersebut pada saat post tets, yaitu menjadi 192 peserta. Tetapi terlihat bahwa 33 mahasiswa yang semula menyalahkan pernyataan tersebut setelah mengikuti pelatihan menjadi membenarkan pernyataan tersebut. 4. Pernyataan 4 (P4): Eksploitasi seksual secara komersial terhadap anak tidak terjadi di negara kita (Indonesia), dengan jawaban : Salah, Hasil pre-test menunjukkan bahwa dari 267 mahasiswa peserta pelatihan 227 mahasiswa yang menyalahkan dan 40 mahasiswa yang membenarkan. Setelah pelatihan terjadi pergeseran jumlah mahasiswa yang membenarkan dan menyalahkan pernyataan tersebut, yaitu : a. Dari 227 mahasiswa yang menyalahkan pernyataan tersebut pada saat pre test, 195 mahasiswa
tetap menyalahkan dan 32 mahasiswa berubah pandangan menjadi membenarkan pernyataan tersebut pada post test.; b. Dari 40 mahasiswa yang membenarkan, 17 pada saat post test tetap bertahan untuk membenarkan pernyataan tersebut dan 23 mahasiswa malah akhirnya berbalik menyalahkan pernyataan tersebut. Secara keseluruhan terjadi penurunan jumlah peserta yang menyalahkan pernyataan tersebut pada saat post test yaitu menjadi 218 peserta. Tetapi hal ini tidak menandakan bahwa tingkat pengetahuan mahasiswa terhadap pernyataan tersebut menjadi menurun. Hal ini terjadi diduga disebabkan banyaknya debate yang terjadi selama modul disajikan terkait dengan pernyataan tersebut yang secara langsung mempengaruhi jawaban mahasiswa selama post test. 5. Pernyataan 5 (P5): Seseorang yang usianya di bawah 18 tahun adalah anak, dengan jawaban : Benar, Hasil pre-test menunjukkan bahwa dari 267 mahasiswa peserta pelatihan 70 mahasiswa yang menyalahkan dan 197 mahasiswa yang membenarkan. Setelah pelatihan terjadi pergeseran jumlah mahasiswa yang membenarkan dan menyalahkan pernyataan tersebut, yaitu :a. Dari 70 mahasiswa yang menyalahkan pernyataan tersebut pada saat pre test, 4 mahasiswa tetap menyalahkan dan 66 mahasiswa berubah pandangan menjadi membenarkan pernyataan tersebut pada post test.; b. Dari 197 mahasiswa yang membenarkan, 190 pada saat post test tetap bertahan untuk membenarkan pernyataan tersebut, namun 7 mahasiswa malah akhirnya berbalik menyalahkan pernyataan tersebut. Secara keseluruhan setelah pelatihan ada peningkatan jumlah peserta yang membenarkan pernyataan tersebut pada saat post test, yaitu menjadi 256 peserta. Kenaikan ini cukup tinggi. 6. Pernyataan 6 (P6) dengan jawaban : Benar, hasil pre test menunjukkan bahwa dari 267 mahasiswa peserta pelatihan, 54 mahasiswa yang menyalahkan dan 231 mahasiswa yang membenarkan. Setelah pelatihan terjadi pergeseran jumlah mahasiswa yang membenarkan dan menyalahkan pernyataan tersebut, yaitu :a. Dari 54 mahasiswa yang menyalahkan pernyataan tersebut pada saat pre test, 4 mahasiswa tetap menyalahkan dan 43 mahasiswa berubah pandangan menjadi membenarkan pernyataan tersebut pada post test.; b. Dari 213 mahasiswa yang membenarkan, 200 pada saat post test tetap bertahan untuk membenarkan pernyataan
23 Panorama Nusantara, Vol. 1 No. 1 Juli – Desember 2006
tersebut dan 13 mahasiswa malah akhirnya berbalik menyalahkan pernyataan tersebut.; c. Secara keseluruhan setelah pelatihan ada peningkatan jumlah peserta yang membenarkan pernyataan tersebut pada saat post test, yaitu menjadi 243 peserta. Tapi hal itu juga diiringi sejumlah mahasiswa yang berubah pendapatnya dari yang menyalahkan menjadi membenarkan sejumlah 27 mahasiswa. Analisis Perbandingan Pengetahuan Mahasiswa AKPINDO tentang Eksploitasi Seksual Secara Komersial Terhadap Anak di Dunia Pariwisata Pengetahuan tentang eksploitasi seksual secara komersial terhadap anak yang terjadi di industri pariwisata sangat perlu diketahui olah orang-orang yang ingin bekerja pada bidang tersebut. Sebagai calon tenaga kerja di industri pariwisata, mahasiswa AKPINDO diharapkan memiliki pengetahuan yang memadai tentang eksploitasi seksual secara komersial terhadap anak, hal ini sangat penting diketahui untuk lebih memudahkan mengenali ciri-ciri yang melibatkan pelacuran terhadap anak di dunia pariwisata. Melalui pelatihan dengan modul yang telah baku, peneliti menguji coba efektifitas modul yang berisi hipotesis: Ho : tidak ada perbedaan pengetahuan mahasiswa AKPINDO tentang perlindungan terhadap anak melawan eksplotasi seksual secara komersial di dunia pariwisata sebelum dan setelah pemberian pelatihan ; H1 : ada perbedaan pengetahuan mahasiswa AKPINDO tentang perlindungan terhadap anak melawan eksploitasi seksual secara komersial di dunia pariwisata sebelum dan setelah pemberian pelatihan. Untuk menganalisa data digunakan Analisa Data Test Ranking Wilcoxon, dengan menggunakan bantuan software SPSS, diperoleh data perbandingan nilai pre Test dan post Test sebagai berikut: Tabel 2.: Tabel Rank Skor pre Test-skor Post Test Pengetahuan mahasiswa AKPINDO tentang eksploitasi seksual secara komersial terhadap anak di dunia pariwisata N Score of pre Test – score of Post test
Negative Rank Positive Rank Ties
Total Sumber: Angket
55
a
119
b
c
93 267
Mean Rank 81.61
Sum of Ranks 4488.50
90.22
10736.50
a. Score of post test < Score of pre test; b. Score of post test > Score of pre test; c. Score of pre test = Score of pre test Perhatikan tabel rank. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari 267 peserta uji modul, 55 peserta menurun pengetahuannya, 119 peserta meningkatkan pengetahuannya dan 93 peserta tidak mengalami perubahan dalam pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan peserta mengalami peningkatan pengetahuan dalam pelatihan modul ini. Dengan menggunakan bantuan software SPSS ditemukan harga T sama dengan 4488.5. Dengan menggunakan rumus (1) ditemukan bahwa nilai rata-rata ( T ) = 17889, besaran
simpangan baku ( T ) diperoleh dengan menggunakan rumus(2), yaitu sebesar 1262.974. Harga Zhitung diperoleh dengan menggunakan rumus (3), yaitu Zhitung= -10.610. Dengan menggunakan tabel distribusi normal pada tingkat signifikasi =0.05 ditemukan bahwa Ztabel pada =0.05 adalah 1.96. Dengan mengabaikan tanda (-), maka diperoleh kesimpulan bahwa Zhitung > Ztabel (10.610>1.96) pada tingkat signifikansi tersebut di atas, artinya Ho ditolak dan H1 diterima, berarti ada peningkatan yang signifikan pada pengetahuan mahasiswa AKPINDO tentang perlindungan terhadap anak melawan eksploitasi seksual secara komersial di bidang pariwisata setelah mengikuti pelatihan. Terjadinya peningkatan ini dimungkinkan terjadi karena beberapa hal sebagai berikut: 1. Materi yang disajikan kepada mahasiswa sebelum pelatihan dilaksanakan sudah tersedia dalam bentuk modul tentang eksploitasi seksual secara komersial terhadap anak di dunia pariwisata yang dibuat secara sistematis. Kondisi ini mengakibatkan mahasiswa menjadi lebih mudah menerima materi yang disampaikan oleh pelatih karena seluruhnya sudah tersedia di dalam modul yang disediakan.; 2. Sebelum mengikuti pelatihan, pengetahuan mahasiswa AKPINDO tentang terjadinya eksploitasi seksual secara komersial terhadap anak sangat minim sekali, hal ini mengakibatkan dalam menjawab pertanyaan umumnya mereka menduga-duga saja (menebak) karena tidak adanya informasi yang akurat tentang hal tersebut meskipun dalam kenyataannya jawaban yang benar hanya berupa tebakan saja.; 3. Sebelum mengikuti pelatihan, banyak mahasiswa yang belum mengetahui seperti apa defenisi suatu kenyataan yang menyatakan
24 Panorama Nusantara, Vol. 1 No. 1 Juli – Desember 2006
terjadinya eksploitasi seksual secara komersial terhadap anak di dunia pariwisata. Keadaan ini bisa diterima disebabkan kurangnya informasi yang menyatakan kondisi tersebut disamping tidak adanya keterbukaan dari masyarakat bahwa eksploitasi seksual tersebut telah terjadi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Berdasarkan setiap pernyataan yang diajukan kepada mahasiswa AKPINDO untuk melihat apakah ada peningkatan tingkat pengetahuannya tentang eksploitasi seksual terhadap anak di dunia pariwisata setelah materi modul diberikan, hasil pre test dan post test menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan pengetahuan mahasiswa khususnya untuk pertanyaan 1, 2, 3, 5 dan 6.; 2. Khusus untuk pernyataan ke 4 (P4), ditemukan terjadi penurunan jumlah peserta yang menyalahkan pernyataan tersebut pada saat post test. Tetapi hal ini tidak menandakan bahwa tingkat pengetahuan mahasiswa terhadap pernyataan tersebut menjadi menurun. Hal ini terjadi diduga disebabkan banyaknya debate yang terjadi selama modul disajikan terkait dengan pernyataan tersebut yang secara langsung mempengaruhi jawaban mahasiswa selama post test.; 3. Ditemukan bahwa ada peningkatan yang signifikan pada pengetahuan mahasiswa AKPINDO tentang pentingnya perlindungan terhadap anak melawan eksploitasi seksual secara komersial di bidang pariwisata setelah mengikuti pelatihan.
World Tourism Organization, Madrid, Spain, 2001 Santoso, Singgih, SPSS Versi 10, Mengolah Data Statistik Secara Profesional, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2001 Subiyakto, Haryono, Statistika 2, Penerbit Gunadarma, Jakarta, 1994 Sudjana, Metoda Statistika, Tarsito, Bandung, 1996 The Situation of Children and Woman in Indonesia, Chalanges for a New Generation, Civil Society Partners, Government of Indonesia and Unicef, September 2000 Wijaya, Statistika Non Parametrik (Aplikasi Program SPSS), Penerbit Alfabeta, Bandung, 2001
Saran Di samping kepada mahasiswa AKPINDO, disarankan agar pentingnya pengetahuan perlindungan terhadap anak-anak terhadap eksploitasi seksual secara komersil di bidang pariwisata juga disosialisasikan kepada mahasiswa maupun anak-anak SLTA di Indonesia, di luar mahasiswa pariwisata. DAFTAR PUSTAKA Irwanto dkk, Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus di Indonesia: Analisis Situasi, PKPM Unika Atma Jaya Jakarta, Departemen Sosial, UNICEF, Jakarta, 1999 Protection of Children from Sexual Exploitation in Tourism, Tourism Training Module for Future Tourism Professionals,
25 Panorama Nusantara, Vol. 1 No. 1 Juli – Desember 2006