IMPLIKASI OTONOMI DAERAH TERHADAP PRAKTEK PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT LOKAL DI KALIMANTAN TIMUR (Suatu Studi Kasus di Kampung Dempar dan Sakak Lotoq di Kabupaten Kutai Barat)
Oleh Catur Budi Wiati RINGKASAN Di era desentralisasi, sangat mudah ditemui adanya ketidakcocokan dan ketidaksinkronan antara kebijakan pusat dan kebijakan daerah yang berdampak negatif pada pengelolaan hutan khususnya yang dilakukan oleh masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kembali implikasi otonomi daerah terhadap pola dan keberadadaan sumberdaya potensial yang dilakukan oleh masyarakat tradisional di Kalimantan Timur. Penelitian ini berlokasi di Kampung Dempar dan Kampung Sakak Lotoq, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Hasil penelitian ini menununjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya hutan secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat dayak di Kabupaten Kutai Barat telah dipengaruhi oleh kebijakan pusat dan daerah, khususnya oleh adanya kebijakan Hak Ijin Pemungutan Hasil Hutan (HIPHH) yang dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten Kutai Barat. Dampak dari kebijakan tersebut adalah: (a) Adanya konflik kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Konflik ini melibatkan masyarakat lokal dan masyarakat lokal atau masyarakat lokal dengan para pihak (konflik vertikal dan horizontal ) dan (2) Munculnya sistem kapital baru dalam masyarakat kampung terkait kemudahan dalam mengakses sumberdaya hutan Kata kunci : otonomi, desentralisasi, masyarakat dayak, Hak Ijin Pemungutan Hasil Hutan (HIPHH) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan sebagai sumberdaya alam (SDA) memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan manusia, terutama bagi keberadaan dan kesejahteraan masyarakat lokal yang hidup di sekitarnya. Masyarakat sekitar hutan yang telah hidup secara turun temurun dengan lingkungannya pada dasarnya memiliki pengalaman, pengetahuan dan ketrampilan yang arif dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya hutan. Meski kemampuan masyarakat dalam mengelola hutan hanya didasarkan pada pengetahuan empiris dan pengetahuan tradisional sebagai akibat ketergantungan masyarakat terhadap
hutan dalam berbagai bentuk guna memenuhi kebutuhan hidup, namun kemampuan ini sekian lama terbukti mampu menjaga kelestarian hutan di sekitarnya. Terkait dengan kebijakan otonomi daerah yang memperbesar kewenangan daerah dalam mengatus pengelolaan sumberdaya alamnya sendiri dikhawatirkan kerusakan hutan akan semakin meningkat terutama apabila daerah lebih mementingkan Pendapat Asli Daerah (PAD) dibandingkan daya dukung sumberdaya alam yang dieksploitasi. Permasalahan yang ada sekarang adalah timbulnya kekhawatiran bahwa proses otonomi daerah bersamaan dengan kegiatan eksploitasi sumber daya alam dapat meningkatkan laju kerusakan hutan sekaligus dapat mengikis pengetahuan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam. Karena itu informasi mengenai pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan yang dikeluarkan daerah (kabupaten) pasca otonomi daerah perlu diketahui untuk mengetahui sejauh mana kebijakan tersebut berpengaruh terhadap pola pengelolaan sumberdaya hutan ynag selama ini telah dilakukan oleh masyarakat lokal. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menelaah kembali implikasi otonomi daerah terhadap keberadaan potensi dan pola pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan oleh masyarakat lokal di Kalimantan Timur. II. METODOLOGI PENELITIAN A. Kerangka Analisis Penelitian ini lebih bersifat sosiologis/antropologis, artinya dalam mencapai tujuan penelitian kegiatan lebih banyak berdasakan kenyataan yang ada di lapangan. Untuk menggambarkan urutan kerangka analisis dari kegiatan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Hutan lestari atau tidak ? Sejarah dan Latar Belakang Prose Perijinan dan Hubungan
Pengelolaan hutan skala kecil
Kelembagaan dan Distribusi Fee
Pemerintah Kabupaten
Pengelolaan tradisional
Masyarakat lokal
Gambar 1. Alur Kerangka Analisis untuk Mencapai Tujuan Penelitian
2
B. Lokasi Penelitian Berdasarkan pertimbangan sejarah, letak geografis, keterwakilan etnis dan aksesbilitas untuk mencapai lokasi penelitian, maka kampunga yang dipilih sebagai lokasi studi masing-masing adalah Kampung Dempar Kecamatan Damai di daerah hulu Sungai Nyuatan dan Kampung Sakak Lotoq Kecamatan Melak di Sungai Sakak. Kedua kampung memiliki berbagai karakteristik tersendiri yang dipertimbangkan penting sebagai lokasi penelitian. Pertimbangan penting lain adalah banyaknya ijin HIPHH yang beroperasi di wilayah tersebut dan perbedaan sistem pengelolaan HIPHH oleh ke dua masyarakat kampung. Secara rinci dasar pertimbangan pemilihan lokasi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kampung-Kampung yang Dipilih sebagai Lokasi Studi dan Karakteristik yang Melatarbelakangi Nama Kampung dan Wilayah Administrasi 1.
Kampung Dempar Kecamatan Damai Kabupaten Kutai Barat
Karakteristik Kampung dan Latar Belakang Pemilihan •
• •
2. Kampung Sakak Lotoq Kecamatan Melak, Kabupaten Kutai Barat
• • •
Kampung ini dikenal sebagai kampung tua di Hulu Sungai Nyuatan. Mayoritas penduduk kampung adalah Suku Dayak Benuaq. Mata pencaharian utama adalah petani lahan kering (perladangan), perkebunan dan mengumpulkan hasil hutan secara komersial (rotan, kemiri, buah-buahan). Letak geografis kampung yang berada di sekitar HPH dan eks HPH mempunyai potensi hutan yang cukup luas dan potensial Semenjak adanya HIPHH, sebagian kecil penduduk terutama dari golongan bangsawan yang menganggap sebagai pemilik waris banyak yang mengklaim hutan warisan mereka sebagai areal hak milik untuk dieksploitasi secara pribadi. Mayoritas penduduk adalah Suku Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung dengan mata pencaharian utama sebagai petani ladang, pengumpul hasil hutan (karet, gula aren, rotan, kemiri) dan hasil hutan secara komersial Merupakan kampung tua dan paling lama di Melak Seberang dengan potensi hutan yang cukup luas karena letak geografis kampung yang berada di sekitar HPH dan eks HPH Aksesibilitas yang mudah dan sistem pengelolaan hutan model HIPHH yang semi kolektif sangat penting sebagai bahan pertimbangan.
B. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kombinasi metode documentation study untuk mengumpulkan data sekunder dan direct method atau metode langsung. Data primer dikumpulkan dengan teknik wawancara dan observasi lapangan serta pendekatan gabungan antara teknik PRA (Participatory Rural Appraisal) yaitu pemahaman pedesaan secara partisipatif dan teknik RRA (Rapid Rural Appraisal) yaitu pemahaman pedesaan secara cepat dan akurat, dengan alat bantu berupa caption (peraga), petunjuk ringkas dan beberapa kuesioner sederhana. C. Metode Analisis Data Data yang terkumpul diedit dan dikompilasikan terlebih dahulu dengan data atau informasi yang ada guna perbaikan kualitas data serta menghilangkan keragu-raguan
3
data. Selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan cara pengklasifikasian dan pentabulasian data sesuai dengan sasaran dan tujuan studi. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif berdasarkan informasi teoritik, silogistik, dan komparasi terhadap data/informasi yang telah tersedia. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Situasi Umum Lokasi Studi Kampung Dempar yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Damai memiliki luasan 339,07 km2. Kampung ini sebelah barat berbatasan dengan Kampung Mantar, batas timur dengan Kampung Temula, batas selatan dengan Kampung Jontai dan batas utara dengan Kampung Muara Tokong. Berpenduduk 908 jiwa dengan 504 KK (termasuk Dusun Sentalar). Penduduk asli/lokal Kampung Dempar adalah dari etnis Dayak Benuaq sedang suku pendatang berasal dari suku Jawa, Bugis, Dayak Tunjung, Dayak Kenyah, Timor dan Batak. Sedangkan Kampung Sakak Lotoq yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Melak dengan luas 63,45 km2, berbatasan sebelah barat dengan Kampung Kelumpang, batas timur dengan Kampung Abit, batas selatan dengan Kampung Gadur dan batas utara dengan Kampung Muara Batuk. Jumlah penduduk 648 jiwa dengan 206 KK. Suku asli yang mendiami kampung ini adalah dari etnis Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung, sedang suku pendatang berasal dari suku Jawa, Banjar, Kutai dan Bugis. Secara umum tingkat pendidikan penduduk di kedua kampung lokasi kegiatan masih rendah dan belum memadai terutama dari segi sarana dan prasarana. Fasilitas pendidikan yang ada terbatas hanya Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yang baru dibangun tahun 2000/2001. Tingkat pendidikan rata-rata umumnya hanya SD atau setinggi-tingginya SLTP. Meskipun tidak sedikit yang tidak tamat dan bahkan tidak berkesempatan sama sekali memperoleh pendidikan tingkat dasar. Agama yang dianut penduduk dikedua kampung lokasi studi dapat dikelompokkan dalam dua bagian besar yaitu Katolik dan Kristen Protestan. Masyarakat Dayak di Dempar mayoritas menganut agama Kristen Protestan serta sebagian kecil Katolik dan Islam, sedangkan masyarakat Dayak di Sakak Lotok mayoritas menganut Kristen Protestan, serta sebagian kecil saja yang memeluk Katolik. Penganut agama Islam di kedua kampung umumnya adalah masyarakat pendatang seperti Jawa, Bugis, Banjar dan Kutai yang tinggal di kampung karena pekerjaan, perkawinan, dinas pemerintah, dagang dan lain-lain. Perkembangan perekonomian di setiap kampung lokasi studi umumnya masih dicirikan dengan kegiatan di sektor pertanian terutama pertanian lahan kering (perladangan). Dalam jumlah yang terbatas (luasan maupun pelakunya), kegiatan pertanian lahan basah (persawahan) hanya dijumpai di kampung Sakak Lotoq. Pembukaan lahan untuk pertanian dilakukan umumnya masih sebatas untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsistens) dan sebagian kecil saja apabila terdapat kelebihan dapat dijual. Kegiatan pembukaan lahan dilakukan secara tradisional dengan cara tebas, tebang, bakar dan tanam (slash and burn).
4
B. Pengelolaan Hutan Skala Kecil (HIPHH) di Kampung Dempar 1. Sejarah dan Latar Belakang Pengelolaan Pengelolan HIPHH di Kampung Dempar dimulai semenjak tahun 2000 setelah hak pengelolaan diserahkan dari Kabupaten Kutai Kartanegara ke Kabupaten Kutai Barat dengan dikeluarkannya SK Bupati Kutai Barat Nomor 10 Tahun 2001 Tentang Tata Cara Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu/IUPHHK pada Areal Hutan Produksi Alam dalam Wilayah Kabupaten Kutai Barat, atau tepatnya pada bulan Mei tahun 2000. Informasi awal tentang kegiatan HIPHH diperoleh dari pihak luar terutama dari investor yang berkeinginan mengelola hutan di Kampung Dempar. Kedatangan investor baru yang berkeinginan mengelola hutan kampung dengan janji pemberian uang kompensasi dan fee bagi masyarakat kampung disambut dengan penuh suka cita oleh masyarakat. Sebelumnya pengelolaan melalui HPH yang telah ada di sekitar kampung (HPH PT Inhutani I) dianggap hanya merugikan dan tidak ada kontribusi apapun kepada masyarakat sekitar. Padahal keberadaan mereka di sekitar kampung ini semenjak tahun 1999/2000. Investor yang mula-mula datang dan langsung memperoleh kepercayaan dari masyarakat adalah PT Roindo yang sebenarnya merupakan kontraktor dari PT Inhutani I dan PT RKR yang pemiliknya adalah Amin Lukman, kontraktor HIPHH. Lokasi yang akan dikerjakan untuk kegiatan HIPHH dikelola secara umum/kolektif dan dan fee kubikasinya dibagi rata kepada seluruh masyarakat. Namun pada perkembangan berikutnya, sebagian masyarakat lebih dahulu memperoleh informasi dari kampung-kampung sekitar bahwa dasar kepemilikan petak adalah adanya lahan warisan yang didasarkan adanya kebun buah (simpukng munaan) di lokasi yang dipetak untuk HIPHH. Semenjak itulah beberapa orang yang merasa ahli waris dan punya lokasi di sekitar hutan yang akan dikelola untuk HIPHH berramai-ramai mempetak-petakan sendiri bersama anggota kelompok yang dipilihnya (di Kampung Dempar ini yang berhak atas hal tersebut hanya keturunan dari keluarga Wonokerti). Dalam perkembangannya kemudian di Kampung Dempar model pengelolaan dan sistem pembagian fee kubikasi kayu dilakukan secara pribadi. Hasil kesepakatan dengan investor dengan pemilik petak disepakati bahwa pembagian fee di bagi atas empat bagian, yaitu fee pemilik petak sebesar Rp 50.000 per m3, fee kampung sebesar Rp 5.000 per m3, fee kepala kampung dan pengurusnya sebesar Rp 5.000 per m3 dan fee kepala adat dan pengurusnya sebesar Rp 5.000 per m3. Lokasi petak yang dikelola untuk HIPHH di Kampung Dempar tidak dalam satu lokasi yang sama, melainkan berpencar-pencar berdasarkan kepemilikan ahli waris dan potensi kayu yang ada. Meski demikian keseluruhan lokasi petak masih dalam satu kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Nyahing, yaitu di Kebu dan telah digarap 22 petak. Terbagi atas kepemilikan waris orang dari Dempar, dan Dusun Sentalar, kegiatannya dikerjakan oleh PT Roindo. Selanjutnya di Palele yang ijinnya sejumlah 22 buah telah habis masa ijinnya hingga sekarang belum dikelola. Sedangkan di Gunung Tuhan dengan petak sejumlah 15 buah hingga sekarang belum ada investor yang menggarap. Lokasi yang lain berada di Kampung Intu Lingau yang lokasinya sangat jauh
5
dari kampung, untuk lokasi ini dikerjakan oleh kontraktor PT. RKR (Rimba Karya Rayatama). 2. Proses Perijinan dan Hubungan Kerja Proses perijinan penyelesaian administrasi dalam pengelolaan HIPHH di Kabupaten Kutai Barat sebenarnya sangat ketat, banyak pertimbangan dan lama. Pemohon harus terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi dan persetujuan dari kepala adat yang juga diketahui petinggi kampung setempat dengan melampirkan peta/sketsa lokasi. Selanjutnya pemohon dengan permohonan resmi dalam bentuk proposal meminta surat permohonan advis teknis dari Bupati cq bagian sosial ekonomi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) untuk selanjutnya diarahkan oleh Kaur TU pada blangko disposisi ke Dinas Kehutanan. Berdasarkan disposisi dari Pemkab, Dinas Kehutanan melalui Kepala Sub Seksi (KSS) PPHH dilakukan pemeriksaan persyaratan dan pengaturan koordinasi. Setelah melalui proses di bagian Tata Usaha dan penilaian berkas acara permohonon (BAP), Kepala Dinas menandatangani rekomendasi permohonan untuk selanjutnya dibuatkan surat ijin resmi dari bupati. Sebelumnya juga dilakukan pengecekan terhadap lokasi dan potensi kubikasi kayu dalam petak untuk menentukan jumlah maksimum yang dapat dipungut. Ketatnya proses pengajuan ijin di Kabupaten Kutai Barat tidak menjamin pelaksanaan pengelolaan HIPHH berjalan dengan baik. Panjangnya rantai birokrasi yang harus dilalui bila mengajukan permohonan serta besarnya biaya yang diperlukan (ratarata per petak Rp 20–25 juta) menyebabkan banyak masyarakat yang berminat mengajukan ijin melakukan jalan pintas. Mereka menyerahkan urusan sepenuhnya kepada investor bila hendak mengajukan ijin. Akibatnya pengalaman di lapangan menunjukkan sering terjadi penyalahgunaan ijin HIPHH oleh investor. Beberapa investor yang mengajukan ijin sering memalsukan tanda tangan dan cap kepala kampung dan atau kepala adat. Terkadang Kepala kampung dan kepala adat juga tidak mengetahui bahwa demi mendapatkan kayu lebih, ijin dari pada suatu lokasi juga dipergunakan untuk membuka areal baru ke lokasi lain (cuci mangkok). Saat penelitian ini dilaksanakan (Nopember – Desember 2002), masyarakat mengungkapkan bahwa masih ada investor yang berencana baru memulai kegiatan di Gunung Tuhan yang berada di arah utara Kampung Dempar. Padahal sesuai SK Menhut No. 541/KPTS-IX/2002 yang mencabut SK Menhut No. 05.1/KPTS-II/2000, pemerintah Kabupaten Kutai Barat sudah menghentikan pemberian dan pencabutan ijin HIPHH terhitung sejak 31 Desember 2002. Selain kerusakan hutan semakin meningkat, pemberian ijin HIPHH di Kabupaten Kutai Barat juga menyebabkan timbulnya konflik di antara masyarakat akibat perebutan fee. Pola pemilikan waris yang berlaku di Kampung Dempar menyebabkan pemberian ijin HIPHH hanya menguntungkan bagi segolongan masyarakat saja. Keturunan keluarga Wonokerti yang menguasai hampir seluruh tanah waris di Kampung dempar menyebabkan masyarakat tidak mampu berbuat banyak. Meski semula telah disepakati bahwa selain ahli waris, fee juga harus disisihkan untuk kas Kampung. Namun seringkali terjadi saat suatu kawasan hendak diajukan ijin HIPHH, kegiatan pemetaan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Akibatnya fee hanya dinikmati oleh kelurga yang mengajukan ijin dan orang-orang terdekatnya saja.
6
3. Kelembagaan dan Distribusi Fee Kelembagaan merupakan aspek penting sebagai wujud kongkrit akuntabilitas sebuah sistem dijalankan. Dalam hal ini, aspek kelembagaan di Kampung Dempar dalam pengelolaan HIPHH tidak cukup terlihat karena dalam kenyataannya pengelolaan dilakukan secara individu/keluarga tertentu saja. Hal ini yang cukup memperburuk kondisi di kampung dan menjadikan beberapa ‘kubu’ yang terbentuk ada di kampung. Beberapa tokoh masyarakat di kampung Dempar memberikan gambaran tentang proses pelaksanaan HIPHH yang dilaksanakan hanya memberikan keuntungan bagi sekelompok orang yang sebenarnya tidak memberikan kontribusi bagi pembangunan kampung. Hal menarik adalah pada setiap pembagian uang fee tidak pernah diperoleh kepastian berapa jumlah KK yang berhak untuk memperoleh bagian. Terlihat bahwa yang menerima hanya pihak kepala kampung dengan besaran Rp 10.000 per m3 yang merupakan fee untuk kampung dan pengurus kampung yang ‘dimakan’ sendiri oleh kepala kampung. Sedangkan yang Rp 5.000 per m3 lagi diberikan kepada kepala adat yang sebenarnya masih saudara dekat sendiri pemilik petak. Ketidak transparan pihak kepala kampung ini membuat beberapa pengurus kampung dan tokoh masyarakat lainnya menjadi kecewa sehingga menimbulkan konflik dan kegelisahan diantara masyarakat sendiri. Akibatnya setiap ada proyek yang masuk masyarakat menjadi ‘curiga’ jangan sampai proyek tersebut ‘dimakan’ sendiri oleh pihak kepala kampung. Badan Perwakilan Kampung (BPK) sendiri yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga pengawas di tingkat kampung, tidak berfungsi dengan baik bahkan menjadi kendaraan bagi kepala kampung untuk melapangkan jalannya. 3. Beberapa Aspek Penting dalam Pengelolaan HIPHH di Kampung Dempar Berdasarkan hasil pengamatan dan hasil diskusi dengan masyakat di Kampung Dempar ada beberapa hal penting yang menjadi kelemahan atau kendala bagi masyarakat yaitu: •
•
• •
•
Investor yang mengelola lahan hanya mengejar keuntungan dari potensi kayunya saja, tanpa mempedulikan hal-hal lain yang menjadi ekses adanya kegiatan HIPHH seperti timbulnya konflik, rusaknya hutan dan terjadinya banjir dibeberapa tempat, air sungai yang semakin keruh serta permasalahan lainnya. Masyarakat dianggap tidak perlu mekanisme/teknis perijinan dan sistem birokrasi yang diperlukan dalam prosedur pengurusan ijin HIPHH. Bilamana perlu masyarakat tinggal menyerahkan KTP dan terima beres. Terutama sekali pada saat penebangan, pengecekan lokasi, jumlah pohon yang ditebang serta aspek teknis lainnya. Adanya biaya-biaya ‘siluman’ yang dipraktekkan beberapa komponen terkait yang secara tidak langsung pada akhirnya dibebankan kepada masyarakat dalam bentuk fee kayu yang rendah. Mengingat luasnya lahan dan lokasi yang jauh dari perkampungan, mengakibatkan tidak adanya pengawasan secara langsung dari masyarakat ataupun pengurus terhadap berbagai jenis pekerjaan. Hal ini ditunjang juga pemilik petak merasa telah mendapatkan uang sehingga tidak perlu mengecek ulang potensi kayu yang dikeluarkan. Secara struktural tidak ada pembagian peran dan tanggungjawab yang jelas dari setiap orang dalam kelembagaan pengurus kampung terkait HIPHH ini. Dimana peran
7
kepala kampung, kepala adat dan sebagainya tidak berfungsi secara baik terutama dalam proses perijinannya. Hal ini dapat dilihat bahwa kepala kampung dan kepala adat diberi uang kompensasi ‘tutup mulut’ walaupun mereka disalahkan oleh pemegang petak yang ada C. Pengelolaan Hutan Skala Kecil (HIPHH) di Kampung Sakak Lotoq 1. Sejarah dan Latar Belakang Pengelolaan Kegiatan pengelolan HIPHH di Kampung Sakak Lotoq dimulai semenjak tahun 2000, atau tepatnya pada bulan Mei tahun 2000. Awalnya sebenarnya masyarakat sendiri tidak mengetahui secara persis dan pasti mengenai pengelolaan hutan skala kecil 100 ha atau yang dikenal luas dengan sebutan HIPHH ini. Informasi itu justru mereka peroleh dari pihak luar terutama dari investor yang berkeinginan mengelola hutan di Sakak Lotoq ini. Kedatangan investor baru yang berkeinginan mengelola hutan kampung dengan janji pemberian uang kompensasi dan fee bagi masyarakat kampung disambut dengan penuh suka cita oleh masyarakat. Sehingga adanya peluang kebijakan Pemda Kutai Barat untuk mengeluarkan ijin HIPHH, menjadi alasan utama bagi masyarakat Sakak Lotoq untuk menerima tawaran investor yang datang. Terlebih saat itu masyarakat kampung Sakak Lotoq sedang terlibat konflik dengan HPH PT MTI yang dianggap hanya mengambil kayu untuk keuntungan sendiri saja. Investor yang mula-mula datang dan langsung memperoleh kepercayaan dari masyarakat adalah PT Bina Insan Lestari milik H. Tajuddin Noor atau lebih populer dikenal dengan sebutan ‘Udin Mek’. Sebagian besar kegiatan HIPHH di kampungkampung di Kutai Barat disponsori oleh ‘Udin Mek’ ini melalui beberapa anak perusahaannya. Peran yang dimainkan untuk meyakinkan masyarakat adalah isu pemberian fee atau kompensasi yang lebih baik dibandingkan dengan HPH/HPHTI yang sudah ada. Mula-mula waktu itu investor menawarkan hanya 10 orang pemilik KTP yang dijadikan pemegang ijin petak seluas 1000 ha (1 petak luasnya 100 ha atau seluas 1 km x 1km). Jumlah fee yang ditawarkan adalah Rp 10.000 per m3. Tetapi sewaktu disosialisasikan oleh Petinggi Kampung kepada masyarakat luas, ditolak dengan alasan hanya menguntungkan bagi sebagian kecil orang saja. Atas keputusan musyawarah kampung, akhirnya ditetapkan pengelolaan HIPHH ini akan diatur oleh pengurus yang akan dibentuk dari beberapa komponen masyarakat di kampung. Selain itu diputuskan pula bahwa harus ada fee untuk masyarakat umum dengan nilai minimal sejumlah Rp 60.000 per m3, dan karena sistem birokrasi dan administrasi proses perijinan tidak diketahui oleh masyarakat, proses perijinan sepenuhnya dilakukan oleh investor PT Bina Insan Lestari. Melihat perkembangan yang terjadi, pengurus kampung yang telah dibentuk akhirnya bermusyawarah dengan anggota masyarakat untuk menentukan kembali model pengelolaan dan sistem pembagian fee kubikasi kayu. Hasil musyawarah disepakati bahwa pembagian fee di bagi tiga, yaitu fee umum untuk masyarakat yang tidak memiliki petak sebesar Rp 60.000 per m3, fee pengurus untuk mereka yang terlibat sebagai pengurus yang mengelola dan mengatur kegiatan HIPHH di kampung, dan fee petak untuk pemilik petak atau waris yang dibagi bersama anggotanya. Besar kecilnya fee petak
8
diserahkan sepenuhnya kepada hasil negosiasi masing-masing pemilik petak dengan pihak investor. Menurut keterangan Petinggi kampung besarnya fee untuk pemilik petak rata-rata berkisar antara Rp 35.0000 – Rp 40. 000 per m3 tergantung potensi kayu di dalam petak. Lokasi petak yang dikelola untuk HIPHH di Kampung Sakak Lotoq tidak dalam satu lokasi yang sama, melainkan berpencar-pencar berdasarkan kepemilikan ahli waris dan potensi kayu yang ada. Meski demikian keseluruhan lokasi petak masih dalam satu kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Sakak, yaitu di Sungai Laweh, S. Jaih, S. Bentekng, S. Belang, S. Ebek, S. Beko, S. Cohan, S. Ririkng, S. Empulung dan bberapa anak sungai Sakak lainnya. Total keseluruhan petak yang dikelola lebih kurang 50 petak atau seluas lebih kurang 5.000 ha. 2. Proses Perijinan dan Hubungan Kerja Sedikit berbeda dengan Kampung Dempar, meski proses perijinan juga dilakukan oleh pihak investor, namun proses di tingkat kampung untuk memperoleh rekomendasi dari kepala kampung (Petinggi) dan kepala adat masih dilakukan sepenuhnya oleh pemilik petak selaku pemohon. Walau demikian proses pengajuan rekomendasi dari Petinggi dan kepala Adat masih sedikit terjadi penyimpangan. Mestinya sebelum pemilik petak mengajukan permohonan, pemohon terlebih dahulu melapor kepada pengurus kampung perihal kegiatannya tersebut yaitu sebelum pemetakan. Namun pada prakteknya karena takut diserobot atau hilang hak miliknya oleh orang lain, para pemilik petak bersama anggota kelompoknya bekerja sendiri-sendiri lebih dahulu melakukan pemetaan dan melakukan negosiasi dengan investor. Baru setelah ada negosiasi dan kesepakatan dengan pihak investor mereka melaporkannya kepada pengurus kampung. Dalam melakukan kegiatannya, para pemilik petak (yang mengkalim sebagai ahli waris) biasanya merekrut beberapa orang sebagai anggota kelompok yang bekerja mengelola dan mengawasi kegiatan penebangan di petaknya. Apabila jumlah petak cukup banyak dan luas beberapa orang tersebut ikut didaftarkan sebagai pemohon dengan melampirkan KTP untuk mendukung perijinan. Kebanyakan anggota kelompok adalah anggota keluarga atau orang-orang terdekat. Tidak sedikit pula anggota yang direkrut sengaja orang-orang tertentu yang dianggap “mau ikut”, patuh dan “nrimo” tetapi cukup diandalkan. Bentuk hubungan dan keterkaitan diantara pelaku-pelaku pengelolaan hutan model HIPHH di Sakak Lotoq dapat dilihat jelas pada Gambar 1. Pemkab
Investor Dinas Kehutanan Ketua (pemilik petak)
Pengurus
Masyarakat Umum
Anggota
Anggota
Anggota
9
Gambar 1. Pola Hubungan Beberapa Komponen yang Terkait dalam Pengelolaan HIPHH di Kampung Sakak Lotoq Pada gambar tersebut di atas, terlihat bahwa ada beberapa komponen penting yang saling terkait dalam kegiatan HIPHH di Kampung Sakak Lotoq. Komponenkomponen tersebut membentuk rangkaian hubungan yang saling tergantung, sekaligus memperoleh arus manfaat keuntungan dari pengelolaan HIPHH. 3. Kelembagaan dan Distribusi Fee Kelembagaan merupakan aspek penting sebagai ujud kongkrit akuntabilitas sebuah sistem dijalankan. Dalam hal ini, aspek kelembagaan di Kampung Sakak Lotoq dalam pengelolaan HIPHH lebih baik dibandingkan di kampung-kampung lain termasuk Dempar. Lebih baik bukan berarti secara kinerja telah memenuhi berbagai kriteria kebenaran dan kejujuran. Tetapi setidaknya dilihat dari tertib administrasi dan akuntabilitas pubil terhadap pengelolaan sumber daya alam di kampung. Dibentuknya pengurus sebagai badan pengelola yang ditunjuk dan dipercaya oleh masyarakat umum dan diberi kewenangan penuh dalam pengelolaan hasil kompensasi fee kayu, merupakan cerminan sebuah kepercayaan masyarakat terhadap terhadap lembaga yang ada di kampung. Terlepas dari isu-isu “miring” terhadap pengurus di kemudian hari, model kelembagaan yang diterapkan masyarakat Dayak Benuaq dan Tunjung di Sakak Lotoq sangat menarik. Pengurus bukan saja mengakui keberadaan hak waris seseorang terhadap hutan yang diklaim sebagai petak milik seseorang, melainkan pula mengakui hak kepemilikan secara kolektif dengan keharusan adanya pembagian keuntungan dari setiap kubikasi di setiap petak. Selain itu sebagai bentuk kompensasi dari profesionalisme pengurus dalam mengelola kekayaan sumberdaya alam kampung, pengurus diberi hak eksklusif untuk memperoleh pembagian tersendiri terpisah dari hak masyarakat umum. Anggota pengurus terdiri dari unsur-unsur lembaga yang ada di kampung. Pada awal pembentukan jumlahnya sebanyak 18 orang yang terdiri dari unsur staf kampung 5 orang, lembaga adat 8 orang, ketua RT 3 orang, dan keamanan 2 orang. Setelah pembentukan BPK pada pertengahan tahun 2002 jumlah tersebut ditambahkan sebanyak 7 orang dari unsur BPK. Semula keberadaan pengurus di Sakak Lotoq mendapat legitimasi yang kuat dari masyarakat umum. Hal ini tercermin dari dukungan masyarakat terhadap kebijakan pengurus dalam berbagai hal seperti kesepakatan hasil negosiasi, keputusan penolakan untuk tidak akan memberikan ijin HIPHH apabila fee umum tidak mencapai minimal Rp 60.000 per meter kubik. Serta berbagai tuntutan pengurus kepada perusahaan HPH aktif perihal denda adat, pembagian kompensasi, uang debu jalan logging dan lain-lain. Pada perkembangan berikutnya, terutama pada akhir tahun 2002 keberadaan pengurus kurang mendapat legitimasi dan ditiadakan setelah adanya berbagai tuduhan yang “kurang menyenangkan” kepada anggota pengurus yang dimata sebagian masyarakat luas menguntungkan kelompok/ keluarganya sendiri saja. Hal menarik adalah pada setiap pembagian uang fee tidak pernah diperoleh kepastian berapa jumlah KK yang berhak untuk memperoleh bagian. Kecenderungan kembalinya beberapa warga ke kampung yang sepanjang tahun meningkat menjadi alasan
10
utama bagi pengurus untuk memilih dan memilahnya. Terlihat bahwa yang konsisten sepanjang tahun adalah jumlah penerima dari kalangan binaan yang memegang ijin telah ditetapkan oleh masyarakat sendiri. Di kalangan pengurus sendiri semenjak masuknya anggota Badan Perwakilan Kampung (BPK) terjadi pembagian kelompok, yaitu kelompok pengurus inti yang berjumlah 8 dan kelompok pengurus biasa. Penbagian uang fee untuk pengurus ini berbeda antara pengurus inti dengan pengurus biasa. Tabel 2.
Bulan
Realisasi Penerimaan Uang Fee Umum dan Fee Pengurus dari HIPHH di Kampung Sakak Lotoq Kubikas i (M3)
Agt-00 Sep-00 Nop-00 Des-00 Des-00 Jan-01@ Jan-01 Apr-01 Mei-01
2047 2012 4000 3300,44 1350
Juli-01 Agt-01 Okt-01
6431,65 5085 10000
Jumlah
42.026,09
4300 1500 2000
Masyarakat umum Jumlah Fee Jumlah Rata-rata (Rp) KK 133.055.000 111 838.000 120.720. 000 147 650. 000 240.000. 000 180 1.100. 000 202.586.400 184 890. 000 81. 000. 000 185 380. 000 207@ 480. 000 258000. 000 193 1.140. 000 90. 000. 000 191 370. 000 120. 000. 195 487. 000 000 385.899. 000 211 1.500. 000 305.100. 000 214 1.010. 000 600. 000. 224 2.009. 000 000 2.536.360.40 10.914. 000 0
Pengurus Jumlah Fee (Rp) 51.175. 000 50.300. 000 100. 000. 82.511. 000 33.750. 000 107.500. 000 37.500. 000 50. 000. 000
Santunan Jml fee Jml (Rp) org 50. 000 31 100. 000 12 200. 000 14 200. 000 14 150. 000 14 100. 000 14 300. 000 14 150. 000 11 200. 000 11
160.791.250 127.150. 000 250. 000. 000 1.050.677.25 0
500. 000 435.000 700.000
13 14 14
3.085.00 0
Sumber : Data Primer (2002)
Keterangan @: Dana kompensasi dari PT MTI, sehingga tidak ada jumlah kompensasi dan fee untuk pengurus yang dibagi rata kepada seluruh KK di kampung
4. Beberapa Aspek Penting dalam Pengelolaan HIPHH di Kampung Sakak Lotoq Berdasarkan hasil pengamatan dan hasil diskusi dengan masyakat di Sakak Lotoq perlu dikemukakan beberapa hal penting yang menjadi kelemahan atau kendala bagi masyarakat yaitu: •
Investor yang mengelola lahan hanya mengejar keuntungan dari potensi kayunya saja, tanpa mempedulikan hal-hal lain yang menjadi ekses adanya kegiatan HIPHH seperti timbulnya konflik, meningkatnya arus remigrasi penduduk, dll. Rata-rata target keuntungan bersih yang ditargetkan oleh investor adalah Rp 200.000 per m3.
•
Masyarakat dianggap tidak perlu mekanisme/teknis perijinan dan sistem birokrasi yang diperlukan dalam prosedur pengurusan ijin HIPHH. Bilamana perlu masyarakat tinggal menyerahkan KTP dan terima beres.
•
Adanya biaya-biaya ‘siluman’ yang dipraktekkan beberapa komponen terkait yang secara tidak langsung pada akhirnya dibebankan kepada masyarakat dalam bentuk fee kayu yang rendah.
11
•
Pada awal kegiatan, dinyatakan bahwa jenis, diameter dan ukuran panjang kayu sesukanya, tetapi setelah ditebang dilakukan seleksi dan pemilihan standar. Hal ini sangat merugikan baik dari sisi biaya, tenaga dan potensi kayu.
•
Mengingat luasnya lahan dan lokasi yang jauh dari perkampungan, mengakibatkan tidak adanya pengawasan secara langsung dari masyarakat ataupun pengurus terhadap berbagai jenis pekerjaan.
•
Pengukuran diameter kayu banyak dilakukan menyamping atau tidak tegak lurus diameter batang log, sehingga memperkecil nilai kubikasi kayu.
•
Secara struktural tidak ada pembagian peran dan tanggungjawab yang jelas dari setiap orang dalam kelembagaan pengurus kampung terkait HIPHH ini.
•
Adanya pembagian uang fee secara periodik justru menjadikan sektor riil yang seperti membuat gula aren, menyadap karet, mengumpulkan kemiri dan rotan banyak berkurang dengan dalih ingin istirahat mumpung dapat uang-cuma-cuma.
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan beberapa penjelasan mengenai implikasi dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat/kabupaten terhadap keberadaan potensi dan pola pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan oleh masyarakat lokal di Kalimantan Timur, perlu diambil beberapa catatan penting yang dapat dijadikan bahan diskusi bagi perkembangan dan pertumbuhan praktek-praktek tersebut. Beberapa hal yang dimaksud diantaranya; 1. Proses pelaksanaan HIPHH dilapangan menunjukkan masih jauh dari yang diharapkan karena banyaknya permasalahan di tingkat lapangan yang perlu diperhatikan terkait dengan kepemilikan petak/lahan, konflik antar dan inter masyarakat baik secara horizontal maupun vertikal. 2.
Kebijakan yang ada belum mendukung sepenuhnya aspirasi masyarakat dan justru memunculkan kapitalis baru di tingkat kampung dengan terbentuknya ‘raja’raja kecil’ di tingkat kampung yang menguasai kampung dan memperalat kehidupan masyarakat dan fungsi pemerintahan kampung dan adat.
3.
Belum adanya perbaikan dan peningkatan ekonomi masyarakat terutama untuk mensejahterakan masyarakat. Hal ini dapat dilihat adanya perbedaan kemajuan di tingkat kelompok masyarakat dikedua kampung sehingga menimbulkan kecemburuan masyarakat yang berkepanjangan pada setiap kegiatan yang akan masuk di kampung.
2. Saran 1. Perlu adanya perbaikan kebijakan di tingkat kabupaten terkait dengan kebijakan yang sudah ada, serta perlunya peninjauan ulang untuk memperbaiki kebijakan yang telah ada dengan kebijakan baru yang berpihak kepada masyarakat. Hal ini penting agar dalam pelaksanaan berikutnya yang terkait dengan kebijakan Kehutanan Masyarakat (KM) tidak mengulangi permasalahan yang sama dengan kebijakan HIPHH.
12
2. Sebelum aturan yang ada diturunkan kepada masyarakat diperlukan sosialisasi kepada masyarakat dan masukan yang penting dari masyarakat agar kebijakan yang dibuat dapat memenuhi standar keinginan masyarakat sehingga aturan ini bersifat buttom up. Di lapangan menunjukkan bahwa sebagian masyarakat belum siap dengan aturan yang ada sehingga segala kegiatan sepenuhnya diserahkan kepada kontraktor dan masyarakat hanya menerima beres saja 3. Di tingkat lapangan proses perbaikan juga diperlukan terkait dengan pengaturan kepemilikan lahan dalam bentuk tataguna lahan di tingkat kampung sehingga pada saat aturan diberlakukan masyarakat telah tahu lahan mana yang diperuntukan untuk kegiatan tersebut. Hal ini dapat ditunjang dengan sosialisasi tentang aturan yang ada dan perlunya aturan di tingkat kampung yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya kampung yang dituangkan dalam Peraturan Kampung.
13
DAFTAR PUSTAKA BPS Kabupaten Kutai Barat, 2001. Kecamatan Damai dalam Angka 2002. Kutai Barat. BPS Kabupaten Kutai Barat, 2001. Kecamatan Melak dalam Angka 2002.
14