PERBANDINGAN HASIL TEKNIK PENJAHITAN JELUJUR SUBKUTIKULAR DAN TRANSKUTANEUS TERPUTUS PADA LASERASI SPONTAN PERINEUM DERAJAT II PERSALINAN PRIMIPARA OLEH BIDAN
Oleh: Aida Ratna Wijayanti, S.Keb.Bd
AKADEMI KEBIDANAN DHARMA HUSADA KEDIRI 2014
i
PERBANDINGAN HASIL TEKNIK PENJAHITAN JELUJUR SUBKUTIKULAR DAN TRANSKUTANEUS TERPUTUS PADA LASERASI SPONTAN PERINEUM DERAJAT II PERSALINAN PRIMIPARA OLEH BIDAN
Oleh: Aida Ratna Wijayanti, S.Keb.Bd
AKADEMI KEBIDANAN DHARMA HUSADA KEDIRI 2014 ii
PERBANDINGAN HASIL TEKNIK PENJAHITAN JELUJUR SUBKUTIKULAR DAN TRANSKUTANEUS TERPUTUS PADA LASERASI SPONTAN PERINEUM DERAJAT II PERSALINAN PRIMIPARA OLEH BIDAN
Oleh: Aida Ratna Wijayanti, S.Keb.Bd PROPOSAL TESIS Guna memenuhi syarat pendaftaran Magister Kebidanan FK Universitas Brawijaya Malang
Pembimbing I
Pembimbing II
AKADEMI KEBIDANAN DHARMA HUSADA KEDIRI 2014 PERNYATAAN iii
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Karya ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapat gelar akademik (Sarjana, Magister dan/ atau doktor) baik di Akademi Kebidanan Dharma Husada Kediri maupun di perguruan tinggi manapun. 2.
Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali tim pembimbing.
3.
Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan jelas disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4.
Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Perguruan Tinggi ini. Kediri, 3 Januari 2014 Yang membuat pernyataan,
Aida Ratna Wijayanti, S.Keb.Bd
iv
ABSTRAK
Morbiditas ibu pascasalin pervaginam yang berkaitan dengan trauma perineum dapat terjadi jangka pendek maupun jangka panjang. Penjahitan laserasi perineum diperlukan untuk mendekatkan jaringan. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis hasil teknik penjahitan jelujur subkutikular dan transkutaneus terputus laserasi spontan perineum derajat II persalinan menggunakan catgut kromik pada primipara yang dilakukan oleh bidan Penelitian ini bersifat observasional analitik komparatif dengan pendekatan prospektif. Jumlah sampel sebanyak 40 subjek yaitu 20 subjek kelompok yang telah dilakukan teknik penjahitan jelujur subkutikular dan 20 subjek yang telah dilakukan teknik penjahitan transkutaneus terputus. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif berdasarkan kriteria inklusi penelitian di 10 tempat bidan praktik swasta di Kediri selama bulan Juni sampai Agustus 2014. Derajat nyeri perineum dinilai dengan skala visual analog dan penyembuhan luka perineum meliputi lima item redness, oedema, ecchymosis, discharge dan approximation (skala REEDA). Derajat nyeri perineum pada hari 1-10 pascasalin sedangkan penyembuhan luka perineum hari ke-1, 3, 5, 7 dan 10 pascasalin. Analisis data menggunakan uji Mann-Whitney, uji chi kuadrat atau uji eksak Fisher. Kata kunci: catgut kromik, laserasi, nyeri perineum, penyembuhan luka, teknik penjahitan, jelujur subkutikular, transkutaneus terputus.
v
ABSTRACT
Maternal morbidity after vaginal delivery associated with perineal trauma will occurred short term (primary outcome) or long term (secondary outcome). Repair of perineal laceration requires to approximation of tissues. Objective this study is to analyze outcome a continuous suture technique and transcutaneous interrupted sutures using chromic catgut for postpartum perineal repair of spontaneous second-degree lacerations in delivery performed by midwives This is an observasional comparative analytical study with prospective approach. A total of 40 were selected by consecutive based on inclusion criteria during period June to August 2011 at 10 private midwife services in Kediri. 20 subject have to used continuous subcuticular technique and 20 subject have to used transcutaneous interrupted sutures. Pain was evaluated using a visual analogue scale and perineal wound healing was evaluated using five items redness, oedema, ecchymosis, discharge and approximation (REEDA scale). Perineal pain at 1-10 days after delivery and perineal wound healing at 1, 3, 5, 7, and 10 after delivery. Statistical analysis used a comparative test of Mann-Whitney, Chi-square (χ2) and Fisher’s exact tests were used for inferential analysis. Key words: chromic catgut, laceration, perineal pain, wound healing, suture technique, continuous subcuticular, interrupted transcutaneous
vi
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan bimbinganNya penulis dapat menyelesaikan proposal tesis dengan judul “Perbandingan hasil teknik penjahitan jelujur subkutikular dan transkutaneus terputus pada laserasi spontan perineum derajat II persalinan primipara oleh bidan”. proposal tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kebidanan (M.Keb) pada program studi S2 Pendidikan Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Bersama ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya dengan hati yang tulus kepada: 1.
Prof……………, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program studi magister kebidanan.
2.
Dr………………., selaku Ketua Program Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya yang telah memberikan kesempatan dan dorongan kepada kami untuk menyelesaikan program studi magister kebidanan.
3.
Dr……………., selaku pembimbing yang dengan penuh kesabaran dalam meluangkan waktu, tenaga untuk memberikan dorongan, perhatian, motivasi, bimbingan dan pengarahan serta saran-saran dalam penyusunan proposal tesis ini.
4.
………………. yang telah membimbing metodelogi penelitian statistik. Serta Staf dosen magister Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, yang telah memberikan bimbingannya.
5.
…………., selaku Bidan Koordinator Kota Kediri yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengadakan penelitian vii
6.
Pihak Perpustakaan Universitas Brawijaya yang sangat membantu penulis dalam pencarian sumber-sumber baik dari buku, jurnal maupun penelitian terdahulu yang penulis gunakan untuk menyusun proposal tesis ini.
7.
Ibu-ibu yang telah bersalin atas kesediannya menjadi responden dalam penelitian ini.
8.
Suamiku Toni Setiawan dan orangtuaku, yang telah memberikan do’a restu dan pengorbanan selama menyelesaikan pendidikan dan penyusunan proposal tesis ini.
9.
Semua yang turut membantu dalam penyelesaian proposal tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Semoga Allah SWT membalas budi baik semua pihak yang telah memberi kesempatan, dukungan dan bantuan dalam menyelesaikan proposal tesis ini. Penulis sadari bahwa proposal tesis ini jauh dari sempurna tapi kami berharap bermanfaat bagi pembaca.
Surabaya, ............................
Penulis
viii
DAFTAR ISI Halaman i
HALAMAN JUDUL LEMBARAN PENGESAHAN
iii
LEMBAR PERNYATAAN
iv
ABSTRAK
v
ABSTRACT
vi vii
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
ix
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR SINGKATAN
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
BAB
1
BAB
I
II
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
1
1.2 Rumusan Masalah
6
1.3 Tujuan Penelitian
7
1.4 Kegunaan Penelitian
7
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
9
2.1 Perineum
9
2.1.1 Dasar Panggul
9
2.1.2 Badan Perineum
12
2.1.3 Trauma Perineum.....................................................
14
2.1.4 Nyeri Perineum Pascasalin
19
2.1.5 Penyembuhan Luka
25
2.1.6 Penilaian Penyembuhan Luka Perineum Pascasalin
33
2.1.7 Benang dan Teknik Penjahitan
36
2.1.8 Anestesi, Benang dan Teknik Penjahitan Laserasi Perineum 2.1.9 Penilaian Nyeri........................................................ 2.2 Kerangka Pemikiran dan Premis ix
42 50 53
BAB
III
2.3 Hipotesis
56
SUBJEK DAN METODE PENELITIAN
57
3.1
Subjek Penelitian
57
3.1.1 Populasi dan Sampel Penelitian
57
3.1.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
57
3.1.3 Cara Pemilihan dan Ukuran Sampel
58
Metode Penelitian
60
3.2.1 Rancangan Penelitian
60
3.2.2 Identifikasi Variabel
60
3.2.3 Definisi Operasional................................................
60
3.2.4 Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data
72
3.2.5 Analisis Data
72
3.2.6 Tempat dan Waktu Penelitian
73
Implikasi/Aspek Etik Penelitian
73
3.2
3.3
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2-1. Tabel 2-2.
Pembagian Robekan Perineum……………………………….. 16 Skala REEDA Penilaian Penyembuhan Luka Perineum Pascasalin
Tabel 2-3.
………………………………………..................... 34 Tinjauan Kejadian Nyeri Perineum dan Penyembuhan Luka
Tabel 2-4.
Perineum……………………………………………………… 36 Karakteristik Benang Dapat Diserap (Absorbable Suture
Tabel 3-1.
Materials).................................................................................. Definisi Operasional..................................................................
45 61
DAFTAR GAMBAR Halaman xi
Gambar 2.1. Gambar 2.2. Gambar 2.3. Gambar 2.4. Gambar 2.5. Gambar 2.6. Gambar 2.7.
Otot-otot dasar panggul ..................................................... Badan Perineum................................................................. Jaringan Cedera. ................................................................ Fase inflamasi. ................................................................... Fase proliferasi................................................................... Fase maturasi...................................................................... (a) Jahitan jelujur (over-and-over running stitch), (b) Jahitan
12 13 28 28 30 30
jelujur interlocking (running locked), (c) Jahitan jelujur Gambar 2.8.
subkutikular.…..…….............................................. 40 (a) Jahitan terputus satu-satu, (b) Jahitan terputus matras vertikal,
Gambar 2.9.
(c) Jahitan terputus matras horizontal………...... Kekuatan Benang yang dapat diserap dalam
Gambar 2.10 Gambar 2.11. Gambar 3.1.
Invivo................................................................................ Skala Visual Analog……………………………………... Kerangka Pemikiran..…………………………................. Bagan Alur Penelitian........................................................
DAFTAR SINGKATAN AGF
: angiogenesis growth factor
ACTH
: adrenocorticotropic hormone
BPS
: bidan praktik swasta xii
41 Penelitian 44 52 55 71
EAS
: external anal sphincter
IAS
: internal anal sphincter
IASP
: international association for the study of pain
JNPK-KR
: jaringan nasional pelatihan klinik-kesehatan reproduksi
PDGF
: platelet-derived growth factor
RCT
: randomized controlled trial
RCOG
: royal college of obstetrics and gynaecology
RB
: rumah bersalin
TGF-β
: transforming growth factor-β
VAS
: visual analog scale
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3
Surat Permohonan Ikut Serta Dalam Penelitian………..... Surat Persetujuan Ikut Serta Dalam Penelitian ..………... Penuntun Penilaian Nyeri Perineum (Visual Analog Scale) …………………………………………………….. xiii
82 83 84
Lampiran 4 Lampiran 5
Prosedur Pemeriksaan Penyembuhan Luka Perineum…... Formulir Pemeriksaan Penyembuhan Luka
89
Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8
Perineum (Skala REEDA) ................................................ Formulir Hasil Penilaian Nyeri Perineum.......................... Master Tabel Teknik Penjahitan Jelujur Subkutikular....... Master Tabel Teknik Penjahitan Jelujur Subkutikular.......
90 92 92 93
xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Persalinan merupakan hal yang alami dan fisiologis yang dialami oleh seorang wanita, namun adakalanya persalinan dapat menimbulkan masalah traumatik bagi seorang wanita yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu. Salah satu masalah morbiditas yang sering timbul karena proses persalinan pervaginam adalah terjadinya laserasi pada perineum, vagina, dan serviks, laserasi ini dapat terjadi spontan pada waktu persalinan, terutama pada ibu primipara atau ibu yang baru pertama kali melahirkan. Kebanyakan cedera dan robekan terjadi pada perineum, vagina dan uterus serta jaringan penyokong terjadi sewaktu melahirkan dan penanganannya merupakan masalah kebidanan. Beberapa cedera jaringan penyokong, baik akut maupun nonakut, baik telah diperbaiki maupun belum dapat menjadi masalah ginekologis dikemudian hari yang akan mempengaruhi kualitas hidup seorang wanita.1 Sekitar 85% wanita yang melahirkan spontan pervaginam mengalami trauma perineum berupa 32-33% karena tindakan episiotomi dan 52% merupakan laserasi spontan. Sekitar ¾ diantaranya memerlukan penjahitan perineum untuk membantu penyembuhan jaringan. Kejadiannya akan meningkat apabila dilakukan manipulasi persalinan berupa persalinan buatan dengan menggunakan forseps, vakum, dan juga pertolongan persalinan sungsang. Untuk membantu proses penyembuhan luka maka penjahitan laserasi perineum sebagai tindakan 1
2
utama harus dilakukan sesuai kondisi yang terjadi. Bagian luka harus diperhatikan dengan seksama karena dilaporkan bahwa proporsi wanita yang mengalami nyeri perineum pascasalin cukup tinggi.1-3 Hasil penelitian Buhling dkk melaporkan bahwa sekitar 70% wanita bersalin memerlukan perbaikan dan penjahitan perineum, namun tingginya angka tersebut tidak didukung dengan prosedur penjahitan dan monitoring penyembuhan luka yang baik. Kondisi tersebut akan mempengaruhi nyeri dan terjadinya dispareuni baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sebagian besar wanita juga akan mengalami nyeri perineum pada periode segera setelah melahirkan. 4 Nyeri perineum pascasalin juga akan berhubungan dengan luasnya laserasi dan komplikasi yang terjadi saat persalinan.5-7 Setelah penjahitan, 37% wanita mengeluhkan masalah yang terjadi pada luka perineum, termasuk nyeri perineum, jahitan yang tidak nyaman dan luka yang terbuka. Komplikasi yang terjadi pada ibu tergantung pada tingkat keparahan trauma perineum dan efektivitas pengobatan yang dilakukan. Tipe dari material benang, teknik penjahitan, dan keterampilan operator sebagai tiga faktor dominan yang berpengaruh terhadap hasil penjahitan perineum, dan ketiga faktor tersebut berpengaruh terhadap morbiditas jangka pendek maupun jangka panjang.7-9 Material benang dibagi dalam beberapa klasifikasi diantaranya dapat digolongkan berdasarkan bahan benang yaitu sintetik dan alami. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa benang yang sebaiknya digunakan untuk penjahitan perineum dalam rangka mengurangi nyeri perineum dan terlepasnya jahitan
3
adalah benang yang dapat diserap. Hal ini sesuai Cochrane Database Systematic Reviews menunjukkan bahwa jahitan jelujur untuk perbaikan perineum dan penggunaan benang sintetis yang diserap (dalam bentuk asam polyglycolic dan polyglactin) mengurangi rasa nyeri perineum dalam 10 hari pertama postpartum. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk diserap harus menjadi perhatian dalam pemilihan material benang.6,10-11 Walaupun telah diketahui bahwa penggunaan material benang dari bahan sintetis yang dapat diserap mengurangi nyeri perineum namun terdapat keterbatasan dalam ketersediaannya dan biaya yang dikeluarkan cukup besar. Catgut kromik masih ditemukan sebagai bahan jahitan untuk perbaikan perineum di negara dengan sumber daya terbatas. Begitu juga penjahitan jelujur, teknik ini ditemukan lebih murah sehingga benang yang diperlukan tidak banyak. Di Indonesia benang kromik masih sering digunakan dalam kasus-kasus kebidanan terutama untuk penjahitan laserasi perineum.12-14 Selain pemilihan material benang, faktor lain yang turut berpengaruh terhadap hasil dari penjahitan laserasi perineum yaitu teknik penjahitan. Penjahitan perineum karena ruptur spontan setelah persalinan merupakan salah satu tindakan yang paling sering dilakukan. Sebuah meta analisis chochrane melaporkan bahwa penjahitan subkutikular pada permukaan kulit perineum berkaitan dengan pengurangan nyeri perineum jangka pendek. Teknik yang baik dalam penjahitan laserasi perineum akan memerlukan waktu dan material benang yang sedikit untuk melakukannya, serta akan mengurangi nyeri perineum jangka pendek (primary outcome) maupun jangka panjang.8,15-16
4
Pada
tahun
1990
Fleming
melaporkan
hasil
temuannya
setelah
menggunakan suatu teknik penjahitan sederhana, teknik penjahitan jelujur untuk semua lapisan perineum tanpa penguncian yang kemudian diakhiri dengan jahitan subkutan pada lapisan kulit perineum. Hasil penjahitan tersebut dilaporkan bahwa kejadian nyeri perineum lebih rendah. Namun demikian belum ada kesepakatan tentang penggunaan teknik penjahitan yang harus digunakan untuk mengurangi nyeri perineum selain berdasar pada bukti-bukti penelitian.7,17 Asuhan persalinan normal merekomendasikan menggunakan sedikit mungkin jahitan untuk mendekatkan jaringan, jahitan jelujur untuk menutup mukosa vagina dan otot perineum, penjahitan secara terputus dapat dilakukan jika luka mencapai lapisan otot perineum, serta jahitan subkutikular untuk menutup lapisan kulit perineum. Benang yang digunakan adalah benang kromik 2-0 atau 30 yang bersifat lentur, kuat dan tahan lama. Penilaian dan pengelolaan trauma perineum dengan menekankan perbaikan pada robekan jalan lahir derajat satu dan dua yang harus dilakukan oleh bidan sebagai penolong persalinan.18-19 Kondisi berbeda ditemukan dalam praktik sehari-hari bidan. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan sekitar 3 dari 10 bidan di pelayanan kesehatan melakukan penjahitan terputus pada perineum dengan alasan kemudahan dalam melakukannya dan keamanan bagi ibu pascasalin. Sekitar 30% ibu yang dilakukan penjahitan subkutikular mengeluh nyeri sedang pada hari pertama pascasalin, sedangkan pada ibu yang dilakukan penjahitan transkutaneus terputus mengeluhkan adanya nyeri sedang pada daerah perineum kejadiannya lebih tinggi yakni 75% (dari 4 orang).
5
Hal terpenting setelah penjahitan laserasi perineum adalah monitoring penyembuhan luka melalui pemeriksaan perineum pada masa postpartum. Davidson 1974 memperkenalkan REEDA (redness, oedema, ecchymosis, discharge and approximation) sebagai alat untuk menilai penyembuhan luka perineum dengan sistem skor. Alat tersebut telah digunakan oleh peneliti di luar negeri baik oleh dokter maupun bidan karena meliputi lima aspek yang penting dalam penyembuhan luka perineum.1,7 Pemeriksaan hasil penjahitan laserasi perineum diperlukan dalam rangka menilai kondisi penyembuhan laserasi perineum serta mengidentifikasi sedini mungkin permasalahan yang terjadi. Selama proses penyembuhan terdapat faktor yang akan mempengaruhi kondisi luka perineum. Faktor pasien yang turut berpengaruh dalam penyembuhan luka pascapenjahitan antara lain perawatan luka yang dilakukan, status nutrisi, kondisi penyakit atau adanya infeksi yang akan memperlambat atau memperburuk proses penyembuhan luka.1,11 Metode yang biasa digunakan untuk mengukur nyeri di klinik dan rumah sakit adalah skala visual analog. Skala ini berisi sebelas angka 0-10 yang menggambarkan kondisi tidak nyeri sampai nyeri yang berat. VAS hanya berisi satu pernyataan tentang nyeri sehingga memudahkan pasien untuk mengisinya dalam waktu singkat. Penggunaan VAS menunjukkan perbedaan yang bermakna dalam menilai kondisi nyeri perineum pada masa pascasalin. Penggunaan skala wajah Wong-Baker untuk mengukur nyeri pada rentang 0-10 juga mudah diterima dan dapat digunakan pada klinik multisenter.3,4,9
6
Teknik penjahitan jelujur subkutikular pada penutupan kulit laserasi perineum dikatakan berhubungan dengan derajat nyeri dan penyembuhan luka perineum jangka pendek, akan tetapi evaluasi objektif yang kritis dan mendukung pernyataan tersebut jarang dilakukan. Indonesia sebagai negara berkembang yang mempunyai sumber daya kesehatan terbatas menuntut bidan bekerja sesuai kondisi lapangan tanpa mengabaikan evidence based. Penelitian yang berkaitan dengan permasalahan morbiditas ibu setelah mengalami trauma perineum pada persalinan normal oleh bidan jarang dilakukan, terutama yang berkaitan dengan nyeri perineum dan penyembuhan luka pascapenjahitan laserasi spontan perineum yang terjadi pada primipara. Nyeri dan penyembuhan luka perineum merupakan masalah pada sebagian besar wanita pascasalin yang telah dilakukan penjahitan karena mengalami trauma perineum saat persalinan. Monitoring penyembuhan luka dilakukan setelah penjahitan laserasi spontan perineum untuk menilai proses penyembuhan berjalan baik atau tidak.
1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah penelitian berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan adalah: 1)
Apakah terdapat perbedaan derajat nyeri hasil teknik penjahitan jelujur subkutikular dan teknik penjahitan transkutaneus terputus pada laserasi spontan perineum derajat II persalinan primipara oleh bidan ?
7
2).
Apakah terdapat perbedaan penyembuhan luka perineum hasil teknik penjahitan jelujur subkutikular dan teknik penjahitan transkutaneus terputus pada laserasi spontan perineum derajat II persalinan primipara oleh bidan ?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1)
Untuk menganalisis derajat nyeri hasil teknik penjahitan jelujur subkutikular dan teknik penjahitan transkutaneus terputus pada laserasi spontan perineum derajat II persalinan primipara oleh bidan.
2)
Untuk menganalisis penyembuhan luka perineum hasil teknik penjahitan jelujur subkutikular dan transkutaneus terputus pada laserasi spontan perineum derajat II persalinan primipara oleh bidan
1.4. 1.4.1.
Kegunaan Penelitian Aspek Teoritis Secara keilmuan hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan pengetahuan terutama bagi bidan tentang hasil teknik penjahitan jelujur subkutikular dan teknik transkutaneus terputus pada laserasi spontan perineum derajat II persalinan dengan menggunakan benang catgut kromik terhadap derajat nyeri perineum pascasalin dan penyembuhan luka perineum, sebagai identifikasi morbiditas (primary outcome) ibu pascasalin. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi sumber acuan ilmiah bagi bidan dan tenaga kesehatan umumnya dalam rangka menurunkan morbiditas ibu dan meningkatkan kualitas pelayanan kebidanan.
8
1.4.2
Aspek Praktis Setelah mengetahui hasil teknik penjahitan jelujur subkutikular dan
transkutaneus terputus menggunakan benang catgut kromik terhadap derajat nyeri dan penyembuhan luka perineum pascasalin, diharapkan penelitian ini secara praktis dapat berguna bagi bidan khususnya dalam melakukan tindakan penjahitan pada laserasi spontan perineum derajat II persalinan primipara, merencanakan tindakan untuk asuhan pascasalin sehingga dapat mengurangi morbiditas ibu baik jangka pendek maupun jangka panjang, terutama yang berkaitan dengan nyeri perineum pascasalin. Serta memilih dan menentukan teknik penjahitan yang sesuai dengan kondisi ibu dalam rangka memberikan hasil penyembuhan laserasi perineum yang baik dan mengurangi komplikasi yang terjadi.
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1.
Perineum
2.1.1. Dasar Panggul Pada saat persalinan, bangunan yang seringkali robek adalah korpus perinealis (sering disebut sebagai perineum), muskulus external anal sphincter, muskulus levator ani, muskulus transversus perinei superficialis profundi dan muskulus bulbocavernosus.20 Perineum merupakan suatu ruang yang dibatasi oleh dasar panggul pada bagian proksimal, bagian lateral dibatasi oleh angulus subpubis, ramus ischiopubicus, tuber ischiadicum, ligamentum sacrotuberosum dan os coccygeus dengan bagian inferior dibatasi oleh fasia dan kulit. Terdiri dari dua buah segitiga, trigonum urogenital di anterior dan trigonum anal di posterior.21,22 Trigonum urogenital dibatasi oleh angulus subpubis di anterior, ramus ischiopubicus serta tuber ischiadicum di lateral dan muskulus transversus perinei serta basis diafragma urogenital di posterior. Pada bangunan ini terdapat beberapa bangunan seperti introitus vagina, pars terminalis uretra, crus clitoris dengan muskulus ischiocavernosus, bulbus vestibuli yang ditutupi oleh muskulus bulbocavernosus, kelenjar bartholini, diafragma urogenital, otot-otot yang membentuk korpus perineum, pembuluh darah, saraf, kavum perinei, otot-otot superfisialis dan profunda.20,21
10
Trigonum anal dibatasi oleh muskulus transversus perinei serta basis diafragma urogenital di bagian anterior, tuber ischiadicum dengan ligamentum sacrotuberosum di lateral, serta os coccygeus pada bagian posterior. Pada bangunan ini terdapat kanalis analis beserta sfingternya, corpus anococcygeus, fossa ischiorectalis beserta pembuluh-pembuluh darah, limfe dan nervus.21,22 Dasar panggul terletak di antara anus dan vagina dan mendatar serta bergeser saat kelahiran bayi. Dasar panggul mencegah terjadinya prolaps semua organ pelvis serta sangat signifikan dalam fungsi vagina, kandung kemih, uterus dan rektum. Dasar panggul berfungsi sebagai penyangga organ-organ dalam panggul, menghasilkan tekanan intra abdominal yang efektif jika berkontraksi bersama dengan diafragma dan dinding abdomen. Otot-otot profunda dasar panggul (deep muscle layers), yang sering disebut muskulus levator ani, terdiri dari:21-23 a)
Muskulus pubococcygeus, berjalan dari permukaan dalam tulang pubis bagian anterior dan median membentang ke belakang menuju bagian rektum, mengelilingi rektum dan vagina kembali ke tulang pubis di sisi lain. Otot ini terdapat tiga bagian yaitu muskulus pubovaginalis, muskulus puborectalis
dan
muskulus
pubococcygeus
propria.
Muskulus
puborectalis mengelilingi kanalis analis dan rektum. Insersinya terletak pada dinding lateral dan posterior dari kanalis analis di antara sfingter ani internus, sfingter ani eksternus dan corpus anococcygeus. Muskulus puborectalis merupakan penggantung rektum, namun bukan penyangga organ yang lain. Kerja pokok dari muskulus ini adalah sebagai pengontrol
11
turunnya feses, sehingga dapat dinamakan memiliki fungsi sebagai sfingter tambahan untuk kanalis analis. Muskulus pubococcygeus propria terletak paling lateral. Insersinya di tepi lateral os coccygeus. Pada waktu kontraksi, otot akan menarik os coccygeus ke depan bersama-sama dengan muskulus sfingter ani eksternus ikut pula mengendalikan lewatnya feses. Otot ini merupakan otot yang paling penting di antara semua otot dasar panggul karena mengelilingi dan memperkuat uretra, vagina dan rektum. Pengendalian miksi, defekasi maupun fungsi seksual yang normal tergantung otot-otot ini. b)
Muskulus iliococcygeus.
c)
Muskulus ischiococcygeus. Sedangkan otot-otot superfisial dasar panggul terdiri dari:21-23
a)
2 Muskulus bulbocavernosus, berasal dari pusat perineum dan memberikan serabut-serabut longitudinal pada kedua sisi uretra dan vagina.
b)
2 Muskulus ischiocavernosus
c)
2 Muskulus transversus perinei, berasal dari permukaan tuber iskhiadikum dan berjalan tranversal melintasi pintu keluar pelvis, serabut-serabut ototnya saling menyilang. Muskulus tranversus perinea membantu memfiksasi perineum dan memberi topangan kepada muskulus levator ani yang letaknya lebih dalam.
12
Gambar 2.1. Otot-otot Dasar Panggul Sumber: Leeman L17
2.1.2. Badan Perineum (Perineal Body) Dasar panggul yang mengalami kerusakan atau kelemahan dapat menyebabkan morbiditas jangka panjang. Otot dan fasia berbentuk seperti buaian, oleh karena itu dasar panggul menjadi struktur penunjang panggul wanita. Otot tersusun dalam dua lapisan yaitu lapisan profunda dan superfisial, menggantung ke dan dari batas panggul, mengelilingi struktur lainnya termasuk vagina dan membentuk badan perineum.22 Struktur perineum sebagian besar didukung oleh diafragma pelvis dan diafragma urogenital. Diafragma pelvis terdiri dari otot levator ani dan otot koksigeus yang terletak di belakangnya serta fasia yang menutupi otot-otot tersebut. Otot levator ani akan membentuk bantalan jaringan yang besar dan menyebar dari permukaan posterior ramus superior os pubis, dari permukaan dalam spina iskhiadika dan antara fasia obturator. Otot-ototnya akan berinsersi pada beberapa tempat, antara lain di sekitar vagina dan rektum untuk membentuk
13
sfingter fungsional pada setiap tempat tersebut. Sedangkan diafragma urogenital terletak di luar diafragma pelvis, merupakan daerah segitiga antara tuber iskhiadikum dan simfisis pubis bagian trigonum anterior perineum. Diafragma urogenital tersusun dari otot perineum transversum profunda, otot konstriktor uretra (sphincter urethrae), yang ditutupi lapisan fasia di bagian dalam dan luarnya. Lapisan inferior fasia sering disebut membrane perinealis. Bagian yang penting dari struktur tersebut yang dapat mengalami robekan terutama saat persalinan pervaginam adalah otot sfingter ani eksterna dan interna.20-22
Gambar 2.2. Badan Perineum. Sumber: Leeman L17
Masa jaringan fibrosa yang terdapat diantara vagina dan anus disebut perineal body dan merupakan masa jaringan ikat yang tebal tanpa batas yang jelas. Jaringan ikat perineal body menyatu di anterior dengan dinding vagina. Badan perineum berbentuk segitiga dasarnya adalah kulit dan puncaknya mengarah ke atas. Terletak di antara vagina dan canalis rectalis, terdiri dari kulit, dua otot superfisial dan satu otot profunda. Pada bagian lateral otot superfisial dibangun oleh otot bulbokavernosus dan otot perineum trasversum. Sedangkan
14
otot profunda adalah pubokoksigeus. Ketiga otot tersebut pada tiap sisinya ratarata mempunyai panjang sekitar 3,5-4cm. Sebagai tambahan otot puborektalis dan sfingter ani eksterna sebagai penunjang struktur perineum. Bagian yang berarti secara klinis dari perineal body adalah otot sfingter ani eksterna.21,23,24 Vaskularisasinya berasal dari arteria pudenda, cabang arteri iliaka interna. Drainase venosa masuk ke dalam vena-vena yang sesuai. Persarafan pada daerah perineum berasal dari cabang-cabang nervus pudendus yaitu nervus rectalis inferior, nervus dorsalis clitoris dan nervus perinealis. Persarafan berasal dari segmen nervus sakralis yaitu S2, S3 dan S4 yang meninggalkan pelvis melalui foramen iskhiadika mayor dan masuk perineum melalui foramen iskhiadika minor. Inervasi ketiga segmen sakralis ini pada otot-otot profunda sedangkan nervus sakralis ke-5 dan nervus coccygeus hanya melewatinya.21-24 Saraf pudenda berada sepanjang otot obturator internal otot. Sepanjang otot ini, saraf terletak dalam pudenda kanal, juga dikenal sebagai kanal Alcock, yang dibentuk oleh fasia obturator. Saraf pudenda meninggalkan kanal masuk ke perineum dan terbagi menjadi tiga cabang. Saraf dorsal klitoris (dorsal nerve of the clitoris) menuju kulit klitoris. Saraf perineal (perineal nerve) menuju otot-otot anterior dan kulit labia. Cabang rektal inferior (inferior rectal) menuju sfingter ani eksternal, membran mukus kanal anal, dan kulit perianal.23
2.1.3. Trauma Perineum Trauma perineum didefinisikan sebagai perlukaan yang terjadi pada labia, vagina, uretra, klitoris, otot perineum atau sfingter ani. Robekan ini dapat terjadi
15
secara spontan pada saat persalinan pervaginam, atau karena tindakan bedah berupa episiotomi yang bertujuan memperbesar vaginal outlet dan membantu proses persalinan.5,8 Laserasi perineum merupakan robekan yang terjadi pada perineum karena kala II persalinan.24,25 Lebih dari 85% persalinan pervaginam akan mengalami trauma perineum, dan hampir 69% memerlukan penjahitan. Angka kejadiannya berbeda-beda, tergantung pada praktik individu dan fasilitas kesehatan yang ada.21,26 Empat puluh empat persen laserasi perineum terjadi karena persalinan spontan maupun buatan.1 Perlukaan perineum umumnya terjadi unilateral, namun dapat juga bilateral. Perlukaan pada diafragma urogenitalis dan muskulus levator ani yang terjadi saat persalinan normal atau dengan alat, dapat terjadi tanpa luka pada kulit perineum sehingga tidak tampak dari luar. Perlukaan yang demikian dapat melemahkan dasar panggul sehingga timbul prolapsus genitalia.
Umumnya
perlukaan perineum terjadi pada tempat dimana muka janin menghadap. Diagnosis ruptur perineum ditegakkan dengan pemeriksaan langsung. Pada tempat terjadinya perlukaan akan timbul perdarahan yang bersifat arterial atau merembes, dengan dua jari tangan kiri atau kanan daerah luka dibuka, bekuan darah diangkat lalu dilakukan penjahitan.25,27 Robekan spontan yang terjadi pada perineum diklasifikasikan menjadi empat derajat, perbedaannya terletak pada luasnya robekan yang terjadi di sfingter anal eksternal (EAS), sfingter anal internal (IAS) dan epitel anal, dengan pembagian sebagai berikut:8
16
Tabel 2.1.Pembagian Trauma Perineum Derajat
Trauma
1
Robekan hanya pada epitel vagina atau kulit perineum
2
Robekan pada perineum mengenai otot perineum, tetapi belum mengenai sfingter ani
3
Robekan pada perineum mengenai daerah sfingter ani 3a: Robekan mengenai kurang dari 50% ketebalan sfingter ani eksterna 3b: Robekan mengenai lebih dari 50% ketebalan sfingter ani eksterna 3c: Robekan mengenai sfingter ani interna (IAS)
4
Robekan perineum mengenai sfingter ani eksterna dan interna termasuk mukosa rektum (anal ephitelium) Sumber: RCOG8
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat. Sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasanya, sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar dari sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan vaginal.1,25
17
Berikut
faktor
risiko
yang
berkaitan
dengan
terjadinya
robekan
perineum:1,21,28 1)
Robekan yang luas lebih sering pada primipara, persalinan pervaginam pada primipara merupakan risiko untuk terjadinya ruptur sfingter. Ditemukan bahwa lebih dari 35% primipara mempunyai defek pada sfingter ani.
2)
Persalinan buatan (ekstraksi forseps atau vakum). Dilaporkan bahwa forseps adalah faktor risiko utama untuk terjadinya ruptur sfingter ani pada saat persalinan pervaginam. Persalinan dengan menggunakan alat berhubungan dengan meningkatnya risiko untuk terjadinya ruptur sfingter sampai 8 kali lipat, sementara penelitian lain mengatakan untuk terjadinya ruptur sfingter pada persalinan dengan ekstraksi forseps sebanyak 2,73-3% dan ekstraksi vakum sebanyak 1,79%.
3)
Arkus subpubis yang sempit
4)
Berat badan bayi lebih dari 4 kg
5)
Posisi kepala bayi yang kurang fleksi dan posisi oksipitoposterior
6)
Distosia bahu
7)
Dilakukannya episiotomi: persalinan pervaginam dengan episiotomi mediolateral dikaitkan dengan kemungkinan 4 kali terjadinya robekan derajat tiga dan empat.
8)
Pemanjangan kala dua
9)
Usia kehamilan
10)
Penggunaan oksitosin
18
Oxorn dan Forte membagi dua faktor yang menyebabkan laserasi perineum yaitu faktor maternal dan faktor janin. Faktor maternal mencakup: partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak ditolong (sebab paling sering), pasien tidak mampu berhenti mengejan, partus diselesaikan secara tergesa-gesa dengan dorongan fundus yang berlebihan, edema dan kerapuhan pada perineum, varikositas vulva yang melemahkan jaringan-jaringan perineum, arkus pubis sempit dengan pintu bawah panggul yang sempit pula sehingga menekan kepala bayi ke arah posterior, perluasan episiotomi. Faktor janin mencakup : bayi yang besar, posisi kepala yang abnormal misalnya presentasi muka, kelahiran bokong, ekstraksi forseps yang sukar, distosia bahu, anomali kongenital seperti hidrosephalus.20 Lamanya waktu mengedan berhubungan dengan meningkatnya nyeri perineum.29,30 Penjahitan trauma perineum membutuhkan pemeriksaan dan tindakan yang baik, pencahayaan pada daerah yang luka, ketersediaan instrumen, material benang, analgesi yang adekuat. Penjahitan laserasi perineum derajat dua dapat dilakukan oleh bidan atau dokter yang terlibat dalam pertolongan persalinan, sedangkan untuk laserasi perineum derajat tiga dan empat sebaiknya dilakukan oleh operator yang lebih berpengalaman mengingat luasnya kerusakan jaringan perineum yang terjadi, dan untuk menghindari komplikasi (morbiditas ibu) yang lebih lanjut setelah penjahitan. Penundaan penjahitan dapat dilakukan pada derajat tiga dan empat beberapa jam sampai kondisi dan syarat penjahitan terpenuhi.8,17
19
2.1.4. Nyeri Perineum Pascasalin Nyeri merupakan penyebab umum sebagai alasan seseorang mencari pertolongan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Namun istilah nyeri sulit didefinisikan karena nyeri merupakan sensasi yang bersifat subjektif. The International Association for the Study of pain (IASP, 1979) mendefinisikan bahwa nyeri merupakan pengalaman emosional dan sensori subjektif yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan secara aktual atau potensial atau menunjukkan adanya kerusakan. Nyeri merupakan mekanisme protektif bagi tubuh dan menyebabkan individu bereaksi untuk menghilangkan rangsang nyeri tersebut.31,32 Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh, yang timbul bila ada jaringan rusak, dan hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara memindahkan stimulus. Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor ini tersebar luas pada permukaan superfisial kulit dan jaringan dalam tertentu, misalnya dinding arteri, periosteum, permukaan sendi, dan falks serta tentorium tempurung kapala.33 Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral. Karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul memiliki sensasi yang berbeda. Nosiseptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan biasanya mudah untuk dilokalisasi dan didefinisikan. Struktur reseptor
20
nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya kompleks, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi. Reseptor viseral meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal, dan lain sebagainya. Nyeri yang timbul biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ tetapi sangan sensitif terhadap penekanan, iskemia, dan inflamasi.32,34,35 Nyeri mengandung dua komponen yaitu nyeri nosiseptif yang rangsangnya berasal dari perifer seperti pada proses persalinan, dan nyeri afektif yang rangsangannya berasal dari dalam tubuh dan dari luar tubuh. Rangsangan nyeri dari perifer berjalan melewati proses transduksi dimana pada daerah trauma timbul reaksi biokimiawi dan terbentuk mediator, yaitu prostaglandin, leukotrien dan tromboksan yang menimbulkan sensitisasi ujung aferen nosiseptif dalam kutis dan menyebabkan terlepasnya kalium, bradikinin, histamin, substansi P (peptida) dan serotonin.34,36 Mediator
tersebut
menyebabkan
timbulnya
hiperalgesia,
yaitu
menurunnya ambang nyeri atau meningkatnya sensitifitas nyeri dan timbulnya nyeri spontan, dan alodinia yaitu nyeri karena rangsang yang normalnya tidak menimbulkan nyeri. Rangsang nyeri akibat hiperalgesia ditransmisikan lewat serabut aferen nosiseptif primer menuju medulla spinalis kornu posterior dimana terdapat substansi grisea. Dalam substansi grisea rangsang nyeri mengalami proses modulasi, dimana intensitas rangsangan dapat mengecil atau membesar. Tergantung serabut saraf yang dilalui, serabut kecil Aδ dan serabut C, atau juga
21
serabut besar Aα dan Aβ, rangsang nyeri mengalami filtrasi di dalam substansi grisea. Apabila intensitas nyeri berat dan dapat melewati sistem modulasi, rangsang berjalan terus menuju sel transmisi T, apabila sebagian kecil saja yang mampu melewati, intensitas nyeri diperkecil. Pada tempat tersebut juga berakhir serabut saraf desenden yang berasal dari Nukleus Raphe Magnus yang membawa subtansi seperti opioid yaitu β-endorphin. Serabut tersebut berjalan menurun dari otak lewat fasikulus laterasi dan posterior, memberikan cabang ke setiap kornu posterior medulla spinalis, sebagai sistem modulasi.36,37 Rangsangan dari sel T diproyeksikan ke sistem sensoris diskriminatif melalui serabut
neospinotalamikus dan diproyeksikan ke sistem afektif
motivasional lewat sistem paramedian asenden. Ketiga sistem ini saling terinteraksi dan rangsang nyeri akan diproyeksikan ke sistem mekanisme motorik untuk diteruskan ke efektor.36,37 Transmisi adalah perembetan rangsangan nyeri melalui serabut saraf sensoris menyusul proses transduksi. Sensasi nyeri dari uterus dan jalan lahir dihantar ke medulla spinalis
melalui nervus, informasinya diberikan dalam
bentuk impuls listrik. Medulla spinalis berfungsi sebagai penghantar impuls listrik antara saraf perifer dan otak. Impuls yang mengandung informasi nyeri tiba ke medulla spinalis via nervus, kemudian ditransfer melalui nervus intermedier atau neuron ke otak. Sebelum transmisi nyeri mencapai otak, neuron-neuron nyeri atau sel target (T-sel) harus distimulasi. Sel target berada dalam keadaan eksitasi, mengeluarkan impuls nyeri, dan dipengaruhi oleh subtansi kimiawi yang dilepaskan oleh ujung saraf, yang dikenal sebagai neurotransmitter.37,38
22
Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi intensitas nyeri antar lain adalah faktor fisik, psikologi, kultur dan etnik:32,39,40 a)
Faktor Fisik Faktor fisik yang ikut mempengaruhi insiden, berat dan lama nyeri
adalah usia, paritas, kondisi fisik pasien. Umur ibu yang terlalu muda atau primipara diatas 30 tahun lebih cemas dan lebih takut menghadapi persalinan dan masa nifas sehingga cenderung akan mengalami nyeri lebih lama dan lebih hebat. Ukuran janin besar atau presentasi janin abnormal akan menimbulkan nyeri lebih hebat dibandingkan dengan kondisi normal b)
Faktor Fisiologi dan Biokomia Sejumlah penelitian menunjukkan kadar plasma β-endorphin, β-lipotropin
dan ACTH meningkat progresif empat sampai sepuluh kali
pada puncak
persalinan dan segera turun pasca persalinan dibandingkan sebelum bersalin dan wanita tidak hamil. c)
Faktor Psikologi Faktor psikologi dapat mempangaruhi insiden dan intensitas nyeri
termasuk kesiapan mental, sikap, perasaan dan emosi ibu saat menghadapi masa nifas. Ketakutan, kecemasan dan kegelisahan dapat menambah persepsi nyeri dan sifat nyeri. Hal tersebut timbul mungkin karena ibu kurang memperoleh penjelasan mengenai proses dihadapinya terutama primipara. Faktor emosional lain seperti motivasi kuat dan pengaruh budaya dapat mempengaruhi modulasi transmisi sensoris dan mempengaruhi dimensi afektif serta tingkah laku menghadapi nyeri. Intervensi kognitif seperti memberikan penjelasan kepada ibu
23
dapat mengurangi keraguan, mengalihkan atau menjauhkan perhatian sementara waktu dapat menurunkan sifat nyeri. d)
Faktor Etnik Faktor ras dan etnik sudah sejak lama diketahui berperan penting dalam
hal mentoleransi nyeri dan sifat nyeri. Data-data penelitian dan pengamatan klinik menunjukkan perbedaan ras dan etnik dalam menghadapi nyeri tampaknya menjadi dasar perbedaan mengekspresikan nyeri bukan karena nyeri atau persepsi nyeri yang dialami berbeda. Beberapa ras di dunia menunjukkan ekspresi nyeri yang
hebat.
Pendidikan
dan
kondisi
psikologi
ibu
dikaitkan
dengan
psikoprofilaksis secara signifikan menurunkan sifat nyeri.
Pada kala I timbul persalinan dilatasi mulut rahim dan segmen bawah rahim menyebabkan distensi, peregangan dan robekan pada struktur tersebut selama uterus berkontraksi. Kontraksi isometrik uterus yang terjadi melawan obstruksi mulut rahim dan perineum mungkin juga penyebab nyeri kontraksi uterus. Memasuki kala II persalinan saat dilatasi mulut rahim lengkap, jumlah stimulus nosiseptif berkurang tetapi stimulasi nosiseptif dari kontraksi korpus uteri dan distensi segmen bawah uterus tetap berlangsung menimbulkan nyeri, sama seperti kala I persalinan. Tekanan tinggi pada struktur panggul yang sensitif terhadap nyeri akibat turunnya bagian terendah anak, distensi jalan lahir dan perineum progresif menyebabkan regangan kuat, robekan fasia dan jaringan subkutis serta penekanan pada otot skelet perineum menjadi sumber nyeri. Peregangan perineum akan menstimulasi nyeri somatik melalui nervus pudensus
24
pada segmen S2, S3, dan S4. Efek kombinasi beberapa stimulus ini akan menyebabkan timbulnya sensasi nyeri di bagian bawah abdomen, daerah panggul, sakrum, perineum, anus, dan paha.25,34 Sensasi nyeri yang timbul setelah persalinan dapat diprediksi berdasarkan terjadinya jejas jaringan dan penjalaran saraf yang mengirimkan sinyal aferen ke sistem saraf pusat, Laserasi perineum akibat persalinan akan merangsang kompleks modulasi dari saraf aferen dan eferen pada korda spinalis dan otak yang mengakibatkan dirasakannya persepsi nyeri. Persalinan pervaginam lazimnya akan diikuti oleh timbulnya sensasi somatik yang lebih singkat, muncul akibat peregangan dan robekan jaringan kulit perineum. Sensasi nyeri ini akan ditransmisikan melalui jalur aferen saraf pudendus (S 2, S3, dan S4) dan akan bertahan 2-4 minggu pascasalin tergantung derajat jejas jaringan. Pada awal pascasalin, sensasi nyeri akan mempengaruhi kemampuan sebagian besar wanita dalam aktivitas duduk, berkemih, berjalan, dan tidur.37,39 Nyeri perineum (perineal pain) didefinisikan sebagai nyeri yang terjadi pada badan perineum (perineal body), daerah otot dan jaringan fibrosa yang menyebar dari simpisis pubis sampai ke coccygis. Kondisi nyeri ini dirasakan ibu berbeda dengan nyeri lainnya. Nyeri perineum cenderung lebih jelas dirasakan oleh ibu dan bukan seperti rasa nyeri dialami saat berhubungan (intercourse). Nyeri perineum akan dirasakan setelah persalinan sampai beberapa hari pascasalin. Nyeri ini berbeda dengan dispareunia yaitu nyeri atau rasa tidak nyaman yang terjadi selama hubungan seksual (sexual intercourse), termasuk
25
nyeri saat penetrasi. Dispareunia dapat dikategorikan menjadi dyspareunia superfisial dan dalam.15,41
2.1.5. Penyembuhan Luka Penyembuhan luka adalah proses kinetik dan metabolik yang kompleks yang melibatkan berbagai sel dan jaringan dalam usaha untuk menutup tubuh dari lingkungan luar dengan cara mengembalikan integritas
jaringan. Pada setiap
perlukaan baik yang bersih maupun yang terinfeksi tubuh akan berusaha melakukan penyembuhan luka.41 Dikenal ada tiga cara penyembuhan luka yaitu:11,42,43 1)
Penyembuhan luka secara primer Adalah penyembuhan yang terjadi tanpa penyulit. Pembentukan jaringan
granulasi sangat minimal, misalnya pada luka sayat atau luka aseptik dikelola dengan penutupan yang akurat, dalam waktu 10-14 reepitelisasi secara normal sudah terjadi, dan biasanya hanya menyisakan jaringan parut yang tipis dan dengan cepat memudar dari warna merah muda menjadi putih. 2)
Penyembuhan luka secara sekunder Adalah penyembuhan yang terjadi dengan pembentukan jaringan granulasi
dan miofibroblast sebelum terjadi jaringan epitelialisasi. Misalnya pada kasus luka terinfeksi, luka yang terbuka, trauma yang eksesif, aproksimasi luka yang tidak tepat, dan luka suatu dead space. Keadaan ini bisa terjadi karena kerusakan atau kehilangan jaringan yang cukup luas atau infeksi yang tidak mampu dilakukan debridemen dengan baik, atau akan dilakukan penilaian lebih lanjut.
26
Luka dibiarkan terbuka atau tidak dijahit karena apabila penyembuhan dilakukan secara primer (dengan menjahit luka) kemungkinan komplikasi akan terjadi dan memperpanjang waktu penyembuhan. 3)
Penyembuhan luka secara tertier Disebut juga penyembuhan primer tertunda (delayed primary closure)
Adalah penyembuhan yang dalam prosesnya dibantu dengan tindakan bedah agar luka tertutup. Misalnya pada luka terkontaminasi, kotor dan trauma terinfeksi yang dibiarkan terbuka pada fase-fase pertama penyembuhan luka (3-4 hari). Selanjutnya dijahit atau luka ditutup dengan skin graft. Pada proses penyembuhan ini ditandai dengan berkembangnya kapiler dan jaringan granulasi. Penyembuhan dilakukan dengan tujuan menyatukan kedua permukaan jaringan granulasi dan luka dijahit dengan hati-hati dan memperhatikan pertautan antar jaringan yang tepat. Luka merupakan kondisi kerusakan kontinuitas jaringan yang rusak, dapat dikarenakan trauma, kimiawi, listrik atau radiasi. Penyembuhan secara primer berlangsung dalam waktu 10-14 reepitelisasi secara normal sudah terjadi, yang dibagi menjadi tiga fase yaitu fase inflamasi, proliferasi dan maturasi.41,44,45 1)
Fase Inflamasi atau lag phase Sebagai reaksi awal tubuh terhadap adanya trauma luka, antara hari 1-3,
reaksi untuk menghilangkan mikroorganisme, benda asing dan jaringan nonvital yang terdapat dalam luka sebagai persiapan reparasi. Dibagi menjadi tiga aktivitas: respon vaskuler, respon hemostatik dan respon seluler. Akibat luka terjadi perdarahan, ikut keluarnya trombosit dan sel-sel radang. Trombosit
27
mengeluarkan
prostaglandin,
tromboksan,
bahan
kimia
tertentu
yang
mempengaruhi pembekuan darah, mengatur tonus dinding pembuluh darah dan kemotaksis terhadap leukosit. Diawali dengan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah yang masih utuh di sekeliling luka untuk mencapai hemostasis (sebagai efek dari epinefrin dan tromboksan). Sel radang keluar dari pembuluh darah, secara diapedesis dan menuju daerah luka secara kemotaksis. Sel mast mengeluarkan serotonin dan histamin yang meninggikan permeabilitas kapiler, sehingga terjadi eksudasi cairan edema (meningkatnya penyediaan darah ke area luka). Permeabilitas kapilerkapiler darah meningkat dan cairan yang kaya protein mengalir ke dalam spasium interstitial, menyebabkan edema lokal dan menghilangkan fungsi jaringan. Dengan demikian timbul tanda-tanda radang: dolor, rubor dan kalor (sakit, kemerahan, hangat). Terbentuknya trombus dan pengaktifan rangkaian pembuluh darah, sehingga terjadi deposit fibrin pada daerah luka. Keping darah melepaskan PDGF dan TGF-β yang menarik sel-sel inflamasi terutama makrofag. Sehingga leukosit polimorfnuklear (polimorf) dan makrofag mengadakan migrasi ke luar dari kapiler dan masuk ke dalam daerah yang rusak sebagai reaksi terhadap agen kemotaksis. Jumlah neutrofil memuncak pada 24 jam pertama sehingga membantu debridemen pada jaringan yang rusak. Monosit memasuki luka, menjadi makrofag dan jumlahnya memuncak dalam 2 hingga 3 hari. Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut pagositosis. Makrofag menghasilkan PDGF dan TGF-β, akan menarik fibroblast dan merangsang
28
pembentukan kolagen. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Granulasi juga dibentuk dipermukaan luka membantu hemostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme. Di bawah granulasi, epitelial sel berpindah dari luka ke tepi. Epitelial sel membantu sebagai barier antara tubuh dengan lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme. Selama fase inflamasi, jaringan tidak mempunyai daya tarik yang cukup, tapi hanya tergantung pada bahan benang yang digunakan untuk penjahitan dalam rangka mendekatkan tepi laserasi perineum. Secara umum luka akan menutup dalam 24 jam dan pada kondisi yang baik epitelisasi perineum dapat terjadi antara 48-72 jam.11,43
Gambar 2.3. Jaringan Cedera. Sumber: Diegelmann RF, Evans MC.45
2)
Gambar 2.4. Fase Inflamasi. Sumber: Diegelmann RF, Evans MC.45
Fase Proliferasi (fibroplasia, kolagen) Fase ini terdiri dari proses epitelialisasi, kontraksi luka dan
reparasi
jaringan ikat. Dimulai hari ketiga, setelah fibroblast datang dan berlangsung dua sampai tiga minggu. Terjadi proliferasi dan pembentukan fibroblast yang berasal dari sel-sel mesenkim, sintesis kolagen terutama tipe III, angiogenesis, dan epitelisasi. Fibroblast ditarik dan diaktifkan oleh PDGF dan TGF-β yang
29
memasuki luka pada hari ketiga dan mencapai puncak terbanyak pada hari ketujuh. Fibroblast (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah trauma. Epitel sel basal di tepi luka lepas dari dasarnya dan pindah menutupi dasar luka, tempatnya diisi oleh hasil mitosis sel lain. Proses migrasi epitel hanya berjalan ke permukaan yang rata atau lebih rendah, tidak dapat naik. Kapilarisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan. Seiring perkembangan kapilarisasi jaringan perlahan berwarna merah. Jaringan ini disebut granulasi jaringan yang lunak dan mudah pecah. Pembentukan jaringan granulasi berhenti setelah seluruh permukaan luka tertutup epitel dan mulailah fase penyembuhan luka yaitu pengaturan kembali, penyerapan yang berlebih. Pada akhir fase ini kekuatan regangan luka mencapai 25% jaringan normal. Selanjutnya dalam proses penyudahan, kekuatan serat kolagen bertambah karena ikatan intramolekul dan antarmolekul. Fase proliferasi ditunjukkan pada gambar 2.5.
Gambar 2.5. Fase Proliferasi Sumber: Diegelmann RF, Evans MC.45
3)
Gambar 2.6. Fase Maturasi Sumber: Diegelmann RF, Evans MC.45
Fase Maturasi (penyudahan, remodelling, resorbsi, diferensiasi)
30
Proses ini berlangsung setelah integritas jaringan tercapai. Fase maturasi atau remodeling 14 hari sampai luka sembuh. Tidak ada perbedaan yang tajam antara tahap kedua dan tahap ketiga. Penyembuhan dimulai cepat selama fase proliferasi, selanjutnya akan berkurang. Kolagen terbentuk seperti semula, tetapi kekuatan jaringan meningkat dari pembentukan dan ikatan silang serat kolagen. Banyak faktor yang dapat memperlambat penyembuhan luka. Faktor tersebut dapat dibagi kedalam faktor yang ada hubungannya dengan pasien (intrinsik) sebagai pertimbangan untuk melakukan prosedur pembedahan atau tindakan penjahitan dan faktor-faktor dari luar (ekstrinsik) seperti pengelolaan luka yang kurang tepat dan efek-efek terapi lainnya yang tidak menguntungkan. Mengatasi pengaruh-pengaruh yang merugikan dari faktor-faktor tersebut sangat diperlukan untuk penyembuhan yang optimum. Berikut faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka:11,41,46 1) Faktor pasien yang mempengaruhi penyembuhan luka (faktor intrinsik) a. Usia: anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua karena seiring dengan penuaan elastisitas kulit dan tonus otot akan berkurang, proses metabolisme dan sirkulasi akan menurun. b. Berat Badan: Obesitas atau berat badan yang berlebih dapat terjadi pada berbagai usia, menyebabkan penutupan luka kurang baik. Adanya lemak yang berlebihan akan menghalangi suplai darah yang baik sehingga luka mudah infeksi atau timbul luka baru. c. Status Nutrisi: Nutrisi yang adekuat sebagai faktor yang esensial untuk mendukung aktifitas seluler dan sintesis kolagen pada penyembuhan luka.
31
d. Dehidrasi: Pada kondisi kurang cairan, terjadi gangguan keseimbangan elektrolit yang akan berdampak pada fungsi jantung, ginjal, metabolisme seluler, dan fungsi hormon. e. Respon imun: Adanya respon imun akan melindungi tubuh dari infeksi. Kondisi
penurunan
respon
imun
(immunodeficiencies)
harus
dipertimbangkan untuk hasil penutupan luka (prosedur pembedahan). f. Penyakit Kronis: Sistem tubuh seseorang ditekan oleh adanya penyakit kronis, terutama gangguan endokrin, diabetes, kanker, infeksi lokal, sehingga proses penyembuhan lebih lambat dan akan lebih rentan terhadap komplikasi luka. g. Faktor lokal yang merugikan pada tempat luka. a) Suplai darah yang tidak adekuat pada daerah luka, Oksigen sangat diperlukan untuk sel, sirkulasi yang buruk akan memperlambat atau bahkan menghentikan proses penyembuhan. Oksigenasi akan terhalangi jika posisi tubuh tidak diperhatikan misal daerah bokong. b) Jaringan nekrotik, krusta yang berlebihan, dan adanya benda asing. c) Hematoma, merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka. 2) Faktor ekstrinsik dari terapi lain
32
a. Radioterapi, terapi radiasi sebelum atau segera setelah prosedur pembedahan cukup besar pengaruhnya pada penyembuhan luka bahkan mungkin menimbulkan komplikasi. b. Obat-obatan sitotoksik dan terapi steroid. Pemberian sitotoksik dan steroid mempunyai pengaruh yang jelas terhadap penyembuhan luka karena mempengaruhi proliferasi sel, memperlambat fase inflamasi dengan cara multiplikasi fibroblast dan sistem kolagen. c. Penatalaksanaan
dan
perawatan
luka
yang
tidak
tepat.
Gagal
mengidentifikasi kondisi luka, penggunaan antiseptik dan antibiotik yang tidak bijaksana, serta perawatan luka yang tidak baik adalah penyebab terlambatnya proses penyembuhan. 3) Selain faktor intrinsik dan ekstrinsik Morison menambahkan faktor psikososial yang mempengaruhi penyembuhan. Faktor psikososial meliputi kepribadian dan konsep diri yang ada pada diri pasien dalam menghadapi kondisinya serta segala karakteristik yang ada pada diri pasien meliputi pekerjaan, pendidikan, fleksibilitas peran, peristiwa kehidupan lainnya yang terjadi secara bersamaan, pengetahuan, pemahaman tentang masalah yang dihadapi, pengharapan berdasarkan pengalaman masa lalu, serta ketersediaan dukungan sosial dari medis maupun nonmedis.42
2.1.6. Penilaian Penyembuhan Luka Perineum Pascasalin Laserasi perineum yang terjadi saat persalinan pervaginam akan memerlukan tindakan penjahitan. Setelah penjahitan pemeriksaan luka perineum
33
perlu dilakukan untuk menilai hasil jahitan yang mungkin akan menimbulkan masalah selama masa pascasalin. Pemeriksaan perineum dilakukan dengan membaringkan ibu miring, posisi lutut ditekuk dan diangkat. Pemeriksaan perineum meliputi redness, oedema, ecchymosis, drainage, dan wound approximation.47,48 Davidson tahun 1974 menggunakan sistem skoring untuk mengevaluasi penyembuhan luka pada masa pascasalin. REEDA tool, alat ini untuk mengkaji redness, edema, ecchymosis (purplish patch of blood flow), discharge ,dan approximation (closeness of skin edge) yang berhubungan dengan trauma perineum
setelah
persalinan.
REEDA menilai
lima
komponen
proses
penyembuhan dan trauma perineum setiap individu. Sistem skoring Davidson dijelaskan pada tabel berikut:1,3,49,50
Tabel 2.2. Skala REEDA Penilaian Penyembuhan Luka Perineum Pascasalin (evaluating postpartum healing of perineum) Nilai
Redness (Kemerahan)
Oedema (Pembengkakan)
0 1
Tidak ada Kurang dari 0,25cm pada kedua sisi laserasi Kurang dari 0,5cm pada kedua sisi laserasi Lebih dari 0,5cm pada kedua sisi laserasi
Tidak ada Pada perineum, <1cm dari laserasi
2
3
Sumber:Carr KC50
Pada perineum dan atau vulva, antara 1-2cm dari laserasi Pada perineum dan atau vulva, >2cm dari laserasi
Ecchymosis (Bercak perdarahan) Tidak ada Kurang dari 0,25cm pada kedua sisi atau 0,5cm pada satu sisi
Discharge (Pengeluaran)
0,25-1cm pada kedua sisi atau 0,52cm pada satu sisi
Serosanguinus
Terdapat jarak antara kulit dan lemak subkutan
>1cm pada kedua sisi atau 2 cm pada satu sisi
Berdarah, Purulent
Terdapat jarak antara kulit, lemak subkutan dan fasia
Tidak ada Serum
Approximation (Penyatuan luka) Tertutup Jarak kulit 3mm atau kurang
34
REEDA menggunakan kertas perekat disposibel (disposable paper tapes) dengan panjang 4cm yang ditandai 0,25cm setiap bagiannya. Saat ibu posisi miring kiri atau kanan ((sims position) disposable paper tapes ditempatkan tegak lurus (perpendicular) terhadap garis luka perineum sehingga ukuran sentimeter dapat menandai luka.1 Penilaian sistem REEDA meliputi: redness tampak kemerahan pada daerah penjahitan, edema adalah adanya cairan dalam jumlah besar yang abnormal di ruang jaringan intraselular tubuh, menunjukkan jumlah yang nyata dalam jaringan subkutis, edema dapat terbatas yang disebabkan oleh obstruksi vena atau saluran limfatik atau oleh peningkatan permeabilitas vaskular. Ecchymosis adalah bercak perdarahan yang kecil, lebih lebar dari petekie (bintik merah keunguan kecil dan bulat sempurna tidak menonjol), pada kulit perineum membentuk bercak biru atau ungu yang rata, bulat atau tidak beraturan. Discharge adalah adanya ekresi atau pengeluaran dari daerah yang luka perineum. Approximation adalah kedekatan jaringan yang dijahit.51 Rhode dan Barger menganjurkan bidan untuk melakukan pemeriksaan perineum dan berperan dalam kebersihan perineum ibu, penilaian dilakukan dengan interval waktu yang teratur sampai 10 hari pasacasalin. 41 Tabel berikut menggambarkan permasalahan penyembuhan laserasi perineum dan juga nyeri perineum pada dua minggu pascasalin. Tabel 2.3. Tinjauan Kejadian Nyeri Perineum dan Penyembuhan Luka Perineum Pascasalin hari ke1
Nyeri Perineum Nyeri (+)4,13,15 Slep et al nyeri perineum ringan dan
Penyembuhan Luka Perineum Fase inflamasi: respon vaskuler, respon hemostatik dan respon seluler. Tanda-tanda
35
4 5
berat ditemukan dua kali pada primipara daripada multipara46 33% wanita dilaporkan nyeri perineum pada 24 jam pascasalin46. Hari pertama pascasalin ditemukan nyeri perineum pada tiap kelompok trauma (intact, laserasi, episiotomi, derajat III dan IV)46 Nyeri (+)6,9,15. Kejadian nyeri perineum ditemukan penjahitan jelujur subkutikular dan terputus3,16. Nyeri (+)4,6,9 Nyeri perineum ditemukan signifikan lebih tinggi pada penjahitan perineum menggunakan benang kromik catgut 9,46. 30% nyeri berat (moderate) dilaporkan4. Nyeri (+)6,9 Nyeri (+)6,9,13
6 7
Nyeri (+)6.9 Nyeri (+)6,9
8 9 10
Nyeri (+)6,9 Nyeri (+)6,9 Nyeri (+) 3,6,9,16,46 Nyeri perineum dilaporkan lebih rendah setelah pejahitan perineum pada hari ke10 pascasalin6,9.
2 3
radang (+)40,41,45 Edema perineum yang ringan, pembengkakan labia, kemerahan yang normal (slight bruising), bukan sebagai tanda infeksi11,49 Gaping dapat terjadi7 Luka perineum tertutup dalam waktu 24 jam pertama11,41 Fase inflamasi terus berlangsung. Pada kondisi yang baik epitelisasi luka antara 48-72 jam41. Gaping dapat terjadi7,13 Fase inflamasi terus berlangsung. Epitelisasi luka terjadi (72 jam)41
Kejadian luka terbuka tidak bermakna9 Fase Proliferatif 11,41 Terjadi gangguan pada laserasi perineum (insufficient wound healing) dan gaping dapat terjadi13 Fase Proliferatif (+)1,11,41 Greenberg et al penyatuan luka (+)9 Tensile strength 60%10,43 Fase Proliferatif (+)1,11,41 Fase Proliferatif (+)1,11,41 Gaping berkurang7. Terjadinya luka terbuka pada otot superfisial perineum cukup signifikan dengan penggunaan benang kromik9 Reepitelisasi secara secara primer terjadi. 11,41
Bick et al dalam PEARLS melaporkan beberapa studi dilakukan untuk mengetahui morbiditas nyeri ibu yang berhubungan dengan trauma perineum dalam rangka memantau perkembangan kesehatan ibu. Studi mengenai keluaran primer (the primary out come study) pengalaman nyeri perineum saat ibu beraktifitas sehari-hari terjadi pada hari ke-10 sampai-12.2 Pada hari ke-10 sebagai titik akhir nyeri jangka pendek (the primary endpoint). 3 23% nyeri perineum berat (moderate) dari 900 persalinan spontan pervaginam dilaporkan Berdasarkan tinjauan tabel tersebut maka penilaian nyeri pada laserasi perineum dapat dilakukan pada hari ke-1, 2, 3 dan 10 pascasalin. Sedangkan
36
pemeriksaan penyembuhan luka perineum dapat dilakukan pada hari ke-1, 2, 3, 5, 7, dan 10 pascasalin.
2.1.7. Benang dan Teknik Penjahitan Benang jahit dapat dibagi dalam beberapa klasifikasi berikut10,11,52: 1)
Kemampuan untuk diserap a)
Dapat diserap Benang yang dapat diserap penggunaannya praktis karena tidak perlu
dicabut lagi, sehinggga menjadi pilihan dalam penjahitan organ visceral atau penjahitan jaringan bawah kulit. Benang jenis ini akan dicerna secara enzimatik ataupun reaksi hidrolisis, menimbulkan reaksi jaringan yang nyata, dan kekuatannya akan berkurang seiring proses penyerapan sehingga tidak dipilih untuk menjahit kulit ataupun menjahit jaringan yang memerlukan kekuatan dalam waktu lama. Contoh golongan ini adalah catgut, polyglycolic acid, polyglactin 910, dan polydioxanone. Benang jenis ini dalam waktu 3 minggu kekuatannya tersisa 20% walaupun proses penyembuhan luka sampai sembuh masih lama, sehingga perlu dipikirkan pemanfaatannya yang spesifik. b)
Tidak dapat diserap Benang yang tidak dapat diserap biasanya dicabut kembali, dan
reaksi jaringan minimal serta kekuatannya relative tidak berkurang sehingga golongan ini merupakan salah satu bahan pilihan untuk menjahit kulit. Contoh golongan ini adalah nilon, polypropylene dan sutera/ silk.
37
Benang yang tidak dapat diserap terutama digunakan untuk menjahit jaringan yang perlu mempertahankan tensile strength lebih dari 60 hari. 2)
Ukuran benang Ukuran benang jahit dinyatakan dengan angka, yang paling umum
digunakan adalah ukuran 5.0 sampai 1. Semakin besar angka di depan 0 berarti benang tersebut semakin kecil, misalnya benang 4.0 lebih kecil dari benang 2.0. 3)
Bentuk benang a)
Berpilin Contoh benang berpilin adalah benang catgut, keunggulannya adalah
bila disimpul maka simpul cenderung tetap berada di tempatnya, tidak mudah bergeser dan tidak mudah lepas. b)
Beranyam (braided) Contoh benang beranyam adalah polyglactin 910, keunggulan dan
kekurangan jenis benang tersebut hampir sama dengan benang berpilin namun benang jenis tersebut mempunyai keuntungan tambahan yaitu anyamannya lebih kuat dibandingkan benang berpilin sehingga tidak mudah terurai. c)
Filamen tunggal Contoh
benang
filamen
tunggal
adalah
polypropylene,
keuntungannya mudah menembus jaringan, kemungkinan infeksi lebih kecil, dan sedikit sekali menimbulkan trauma karena penampangnya bulat dan licin. Kekurangannya bila disimpul akan mudah bergeser dan mudah
38
lepas, sehingga bila banyak menyimpul benang jenis tersebut harus cukup banyak agar tidak mudah lepas. 4)
Sumber bahan benang a)
Alami/ Natural Bahan alami yang masih dipakai adalah silk/ sutera dan catgut. Untuk
benang yang dapat diserap bahan alami menimbulkan reaksi jaringan yang lebih nyata dibandingkan benang sintetik karena benang sintetik diuraikan dengan proses hidrolisis, bukan dengan reaksi enzimatik seperti benang alami. Karena alasan yang sama, bahan sintetik juga diuraikan lebih lama dibandingkan bahan alami sehingga mempunyai kekuatan mentautkan tepi luka lebih lama. b)
Sintetik Sebagian besar benang yang beredar saat ini berasal dari bahan
sintetik dengan bermacam jenis, bahan-bahan ini bervariasi dalam kekuatannya, kemudahan untuk disimpul, proses penyerapan, dan berbagai fitur lainnya. Benang yang sering dipakai adalah polypropylene, nylon, dan polyglactin. Pertimbangan yang harus diperhatikan dalam pemilihan benang untuk melakukan penjahitan pada jaringan, operator harus mampu menilai beberapa hal antara lain: kekuatan keregangan jaringan yang akan dijahit, kecepatan penyembuhan jaringan, ada atau tidaknya infeksi pada jaringan yang akan dijahit, mudah atau tidaknya daerah yang akan dijahit, keamanan simpul jahitan yang akan dibuat dengan benang yang digunakan.10-12
39
Faktor-faktor yang sangat penting diperhatikan dalam teknik menjahit:11,46 1)
Kekencangan jahitan: jahitan yang terlalu kencang dapat mengakibatkan nekrosis jaringan dan luka yang lebih lemah. Penjahitan hanya dimaksudkan untuk merapatkan kedua tepi luka, yang harus diperhatikan bahwa setelah penjahitan akan terjadi sedikit edema.
2)
Ukuran jaringan yang dijepit: pada umumnya jepitan jaringan yang lebih lebar dalam jahitan akan menghasilkan luka yang lebih kuat daripada jepitan yang kecil.
3)
Pemilihan benang: setiap benang mempunyai keuntungan dan kerugian, pemilihan harus sesuai area anatomis spesifik dan keadaan klinis yang spesifik pula.
4)
Jarak antar jahitan: terdapat jarak optimum antar jahitan untuk setiap tipe luka, mengurangi jarak antar jahitan dapat melemahkan luka. Teknik menjahit luka ada beberapa macam, penggunaannya tergantung
keadaan luka, tempat luka, dan pertimbangan operator. Berikut jenis teknik penjahitan:10-11 1)
Jahitan jelujur (continuous suture), disebut juga jahitan terus menerus (running stitch) dibagi menjadi beberapa macam.: a)
Jahitan jelujur sederhana (continuous simple suture) Jahitan dibuat menembus kulit dan keluar dari tepi luka bersamaan .
b)
Jahitan jelujur interloking (running locked suture). Benang dilingkarkan pada setiap jahitan, simpul dilakukan pada akhir jahitan.
40
c)
Jahitan jelujur subkutikular (running subcuticular stitch) , disebut juga jahitan kutikular dalam, karena yang dijahit adalah dermis dari sebelah dalam bukan subkutikular yang berarti menjahit lemak (continuous dermal suture).
(a) (b) (c) Gambar 2.7. (a) Jahitan jelujur (over-and-over running stitch), (b) Jahitan jelujur interlocking (running locked), (c) Jahitan jelujur subkutikular. Sumber: Skinner I10
2)
Jahitan terputus (interrupted suture), dibagi dalam beberapa macam: a)
Jahitan terputus sederhana (simple interrupted suture). Jahitan ini adalah bentuk jahitan paling sederhana dan paling sering digunakan, menembus kulit dan simpul diposisikan pada satu sisi.
b)
Jahitan terputus matras vertikal (interrupted vertical mattress). Jarum keluar dari kulit, kemudian ditusukkan kembali ke kulit pada bidang vertikal yang sejajar dengan jahitan pertama.
c)
Jahitan terputus matras horizontal ( interrupted horizontal mattress). Jahitan terdiri dari dua jahitan satu-satu yang paralel disimpul menjadi satu.
41
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.8. (a) Jahitan terputus satu-satu, (b) Jahitan terputus matras vertical, (c) Jahitan terputus matras horizontal. Sumber: Ethicon12
3)
Jahitan dermal dalam Teknik apapun yang digunakan untuk menutup kulit, parut bekas jahitan
akan menjadi jelek apabila saat kedua tepi luka ditautkan terdapat ketegangan. Untuk mencegah terjadinya tegangan pada luka diperlukan sebuah jahitan pada dermis yang disebut jahitan dermal dalam. Jahitan ini dilakukan di bawah lapisan kulit, dapat dilakukan dengan penjahitan jelujur atau terputus.
2.1.8. Anestesi, Benang dan Teknik Penjahitan Laserasi Perineum 2.1.8.1.Anestesi Untuk Penjahitan Laserasi Perineum Anestesi lokal diberikan pada setiap ibu yang memerlukan penjahitan laserasi perineum atau karena episiotomi. Penjahitan sangat menyakitkan bagi ibu dan menggunakan anestesia lokal merupakan salah satu bentuk asuhan sayang ibu. Obat standar untuk pemberian anestesia lokal adalah 1% lidokain tanpa epinefrin (silokain). Jika lidokain 1% tidak tersedia, dapat menggunakan lidokain 2% yang dilarutkan dengan air steril atau NaCl fisiologis dengan perbandingan 1:1 (sebagai contoh, larutkan 5 ml lidokain 2% dengan 5 ml air steril atau normal salin untuk membuat larutan lidokain 1%).18 Penggunaan lidokain bersama
42
adrenalin akan menambah durasi kerja dan perdarahan akan berkurang, namun tidak boleh digunakan pada daerah ujung pembuluh darah (end artery).53 Anestetik lokal mencegah penjalaran potensial aksi dengan menghambat saluran natrium (di ekstraseluler). Zat golongan ini terutama efektif dalam menghambat nyeri yang disalurkan oleh serat C, karena serat yang tidak bermielin memudahkan penetrasi. Lignokain (lidokain) yang disuntikkan ke perineum efektif untuk menghambat nyeri karena episiotomi. Lidokain pertama kali ditemukan oleh ahli kimia Swedia yaitu Nils Lofgren.54-55 Lidokain adalah anestetik lokal golongan amida yang pertama kali ditemukan. Sering dipakai untuk surface analgesi, blok infiltrasi, spinal, epidural dan caudal analgesia dan nerve blok lainnya, merupakan obat pilihan utama untuk anesthesia permukaan maupun infiltrasi. Dibandingkan prokain, khasiatnya lebih cepat kerjanya (setelah beberapa menit) onset 5-10 menit, lebih kuat (dalam plasma waktu paruhnya 1,5-2 jam), lama kerjanya 60-90 menit bisa juga durasinya mencapai 2-4 jam. Potensi dan toksisitas 10 kali prokain. Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium, mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga terjadi depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya tak terjadi konduksi saraf. Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten.54-55 Anestesi infiltrasi diberikan pada penjahitan laserasi perineum dengan memberikan beberapa injeksi pada atau sekitar jaringan yang akan dianestesi sehingga mengakibatkan hilangnya rasa di kulit dan jaringan yang terletak lebih dalam.55
43
2.1.8.2.Benang Catgut Kromik Benang catgut sering digunakan untuk menjahit laserasi perineum. Awalnya dihasilkan secara manual dari lapisan submukosa dan serosa sapi dan kambing yang telah diolah dengan menggunakan larutan formaldehyde untuk meningkatkan tensile strength bahan mukosa tersebut, dan kemudian dipilin dalam suatu untaian benang yang dibuat dengan berbagai kaliber. Chromic catgut merupakan benang natural yang terbuat dari lapisan submukosa dan serosa usus sapi dan kambing yang telah diolah dengan menggunakan larutan formaldehyde untuk meningkatkan tensile strength bahan mukosa tersebut, dan kemudian dipilin dalam suatu untaian benang yang dibuat dengan berbagai ukuran.12 Benang catgut kromik memiliki tensile strength yang bertahan 14–28 hari, dan diabsorbsi dalam 90 hari. Perbedaan kekuatan beberapa jenis benang dalam penelitian invivo selama 1 sampai dengan 6 minggu, dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.9. Kekuatan Benang yang dapat diserap dalam Penelitian Invivo Sumber: Ethicon20.
Waktu penyerapan dan reaksi jaringan yang ditimbulkan oleh Kromik Catgut dapt dilihat pada tabel Karakteristik benang yang dapat diserap berikut:
44
Tabel 2.4. Karakteristik Benang dapat Diserap (Absorbable Suture Materials) Jenis Benang
Sumber Benang
Plain catgut
Jaringan usus sapi atau kambing Chromic catgut Jaringan usus (Catgut) yang direndam dengan garam kromium Vicryl Polyglactin 910 Dexon Asam poliglikolat PDS II Polidiakson Maxon Poliglikonat Sumber: Dikutip dari Mulyana Y12
Waktu untuk Penyerapan 70 hari
Reaksi Jaringan Sedang
90 hari
Sedang
56-72 hari 40-90 hari
Ringan Ringan Tidak ada Tidak ada
180 hari
Seiring dengan kemajuan teknologi kedokteran, catgut kromik telah dikembangkan oleh perusahaan-perusaan produksi benang. Chromic catgut sebagai benang steril, dapat diserap, multifilamen, terdiri dari jaringan kolagen yang berasal dari jaringan kolagen usus sapi atau domba. Kemudian direndam dengan larutan garam kromium agar tahan terhadap reaksi enzimatik tubuh sehingga memperpanjang waktu penyerapan lebih dari 90 hari. Untaian kolagen murni yang telah direndam dalam larutan kromik secara elektronik akan diputar untuk meratakannya (chromicized). Sehingga akan meningkatkan integritas dari untaian tersebut, mengurangi dan menurunkan iritasi atau reaksi yang timbul pada jaringan.10-12,43 Persentase kolagen dalam benang catgut sering menentukan kualitas benang tersebut. Persentase kolagen yang lebih tinggi memungkinkan untuk tensile strength yang tinggi pula, waktu penyerapan lebih lama, dan reaksi jaringan yang lebih rendah (in vivo).11,43
45
2.1.8.3.Teknik Penjahitan Laserasi Perineum Reparasi laserasi perineum merupakan tindakan bedah yang sering dilakukan setelah persalinan oleh para dokter obgin maupun bidan, tindakan penjahitan ini dilakukan setelah terjadinya robekan spontan atau karena episiotomi saat persalinan. Penjahitan yang efektif membutuhkan pengetahuan anatomi dan pemahaman tehnik penjahitan. Terdapat beberapa tingkatan laserasi perineum tegantung kedalamannya dan jaringan pada perineum yang terlibat. Beberapa gejala sisa yang sering didapatkan pada laserasi perineum seperti nyeri perineum kronik, nyeri saat bersenggama (dispareunia), inkontinensia urin bahkan sampai yang paling berat inkontinensia alvi. Menghindari episiotomi yang rutin dan persalinan dengan ekstraksi forseps dapat mengurangi terjadinya laserasi perineum yang berat.17 Tujuan penutupan laserasi perineum adalah pemulihan integritas fisik dan mengembalikan fungsi jaringan yang mengalami trauma karena persalinan. Penjahitan laserasi perineum segera setelah persalinan dikatakan penutupan primer sehingga terjadi penyembuhan secara primer. Penyembuhan secara primer pada perineum akan meminimalkan komplikasi dan berlangsung dalam 10-14 hari.1,44 Teknik menjahit yang buruk dapat menyebabkan terjadinya laserasi perineum dengan kekuatan regangan yang menurun sehingga cenderung lebih mudah terbuka.20,44 Perbaikan laserasi perineum dilakukan untuk memastikan bahwa jaringan telah berada kembali pada posisi yang benar, membantu penyembuhan luka secara primer, menghentikan perdarahan (hemostasis), mengurangi ruangan tidak
46
berguna tempat terjadinya perdarahan, mencegah terjadinya infeksi. Sedangkan tujuan umum dari perjahitan laserasi perineum adalah untuk mempertahankan integritas dasar panggul wanita.22 Luka labia bilateral akan saling bersentuhan ketika ibu berdiri atau duduk sehingga harus dijahit agar tidak terjadi perlekatan labia. Bila perbaikan perineum tidak dilakukan dengan baik, dampak serius jangka pendek atau jangka panjang akan terjadi serta dapat mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan ibu. Perbaikan perineum sering dilakukan dalam tiga tahap yaitu: dinding vagina posterior, lapisan otot perineum dan kulit perineum.18,28,53 Melakukan reparasi laserasi perineum diperlukan cahaya dan visualisasi yang baik, peralatan yang tepat, jenis benang dan anestesi yang adekuat. Anestesi lokal dapat digunakan pada sebagian besar kasus reparasi laserasi perineum. Akan tetapi anestesi umum atau regional mungkin dibutuhkan terutama pada kasus laserasi yang berat atau rumit yang membutuhkan relaksasi otot yang adekuat.8,17 Bagian apeks vagina yang mengalami laserasi diidentifikasi, jika laserasinya cukup dalam dan jauh gunakan retraktor untuk membantu melihatnya dengan jelas. Dibuat jahitan jangkar kira-kira 1 cm diatas apeks laserasi, kemudian mukosa vagina dan fasia rektovagina dibawahnya dijahit jelujur (dengan benang polyglactin 3-0). Jika apeks laserasi terlalu jauh untuk dilihat, dapat membuat jahitan jangkar pada daerah yang paling mungkin dapat dilihat, kemudian dilakukan tarikan pada jahitan jangkar tersebut sampai bagian apeks tersebut dapat terlihat. Jahitan jelujur interlocking dapat digunakan jika dibutuhkan untuk hemostasis.17,53
47
Penjahitan harus mengikutsertakan fasia, dimana fasia ini jaringan yang berfungsi menyokong bagian posterior dari vagina. Dilakukan jahitan jelujur sampai pada cincin himen kemudian diikat dibagian proksimal cicin tersebut. Dilanjutkan dengan penjahitan mukosa vagina secara lengkap. Ujung otot transversus perinei yang terputus didekatkan kembali dengan satu atau dua buah jahitan terputus secara melintang.8,17,53 Penjahitan otot bulbocavernosus dilakukan dengan jahitan terputus. Umumnya tepi otot ini mengalami retraksi kearah posterior dan superior, untuk penjahitannya diperlukan jarum yang besar. Jika laserasi meluas sampai dengan fasia rektovagina di perineum, fasia tersebut dijahitkan pada perineum dengan dua buah jahitan interrupted secara vertikal. Jika penjahitan otot-otot perineum dilakukan dengan pendekatan anatomis ini, penyatuan kulit perineum biasanya akan baik dan umumnya penjahitan kulit perineum tidak diperlukan. Penjahitan kulit perineum ini akan meningkatkan kejadian nyeri daerah perineum pada 3 bulan pascasalin.8,17 Pada kondisi sumber daya terbatas kromik masih menjadi pilihan untuk penjahitan laserasi perineum, benang kromik yang digunakan 2-0 atau 3-0 karena bersifat lentur, kuat tahan lama, dan sedikit menimbulkan reaksi jaringan.3,12,18 Penjahitan pada kulit perineum dapat dilakukan dengan teknik jelujur subkutikular atau terputus. a)
Teknik penjahitan jelujur subkutikular Jahitan jelujur disebut sebagai jahitan terus-menerus (running stitches).
Jahitan jelujur merupakan serangkaian jahitan dengan menggunakan satu helai
48
benang. Benang dapat diikat sendiri di setiap akhir, atau dilingkarkan, dengan memotong kedua ujung benang dan disimpul bersama-sama. Satu garis jelujur dapat ditempatkan dengan cepat. Kekuatan diperoleh dari ketegangan benang yang didistribusikan merata sepanjang jahitan. Namun penjahitan harus diperhatikan dengan seksama, jarak antar jahitan dan ketegangan benang agar tidak terlalu ketat untuk menghindari jaringan yang terjepit. Ketegangan benang yang berlebihan, kerusakan instrumen, harus dihindari untuk mencegah kerusakan jahitan, yang dapat mengganggu seluruh baris dari jahitan jelujur.10-11 Penjahitan jelujur meninggalkan massa benda asing pada luka. Pada kondisi infeksi mungkin benang monofilamen digunakan karena tidak mempunyai ruang untuk mikroorganisme. Hal tersebut harus diperhatikan karena jahitan jelujur merupakan satu garis yang dapat menularkan infeksi sepanjang benang. 11 Jika penjahitan kulit perlu dilakukan, penjahitan secara subkutikular lebih baik dibandingkan dengan cara terputus transkutaneus dengan menggunakan benang polyglactin 4-0.8,17 Jahitan jelujur atau terus-menerus merupakan jahitan yang mudah dilakukan, nyaman bagi pasien, cepat untuk menyatukan tepi luka, dan dilakukan pada luka yang mempunyai ketegangan kecil. Jahitan subkutikular memberikan hasil kosmetik yang lebih unggul karena berada di dalam luka. Sebagai sebuah cara yang sangat baik untuk menutup luka pada kulit agar bekasnya samar atau tidak terlihat, mengurangi iskemi dan tekanan pada jaringan.10-11,52 Jahitan subkutikular dilakukan pada tepi luka yang mudah disatukan, tepi luka yang mengarah keluar, jaringan mati telah dihilangkan terlebih dahulu, dan
49
ketegangan luka kecil. Jahitan subkutikular tidak dapat digunakan pada luka yang teregang karena kekuatannya tidak sekuat jahitan lain. Jahitan jelujur mempunyai kerugian bila benang putus seluruh luka akan terbuka kembali.10-11,52 Jahitan subkutikular sangat baik pada daerah dengan ketegangan minimal, ruang yang kosong dalam jaringan sudah tidak ada, aproksimasi tepi luka lebih baik dan memberikan hasil kosmetik yang terbaik. Jahitan yang menembus pada epidermis hanya pada awal dan akhir jahitan. Jahitan subkutikular menghilangkan risiko jahitan yang menyilang (crosshatching). 56-57 b)
Teknik penjahitan terputus Teknik penjahitan jelujur disarankan karena cepat dan menghemat bahan
benang yang digunakan. Grant menyarankan teknik terputus satu-satu lebih mudah digunakan dan dipelajari dari teknik jelujur subkutikular untuk menutup kulit perineum.3,16.45 Pada jahitan terputus benang digunakan dalam beberapa untaian untuk menutup luka. Setiap untai benang diikat dan digunting setelah penyimpulan. Kondisi ini lebih aman untuk menutup luka karena jika satu ikatan terlepas maka jahitan lain yang tersisa yang tidak terlepas akan terus menyatukan luka dan membantu proses penyembuhan. Penjahitan terputus dapat digunakan pada luka yang terinfeksi, karena perjalanan mikroorganisme dapat dikurangi dengan jahitan terputus.11
Penjahitan satu-satu dapat mempertahankan eversi
kulit. Jahitan ini dapat digunakan pada daerah kulit yang secara alami mengalami inversi seperti lekukan tubuh atau lipatan kulit. Kerugiannya iskemia lebih banyak sehingga penyembuhan luka dapat terganggu.53,56
50
Dibandingkan jahitan jelujur, jahitan terputus mudah ditempatkan, memiliki kekuatan lebih besar (tensile strength), dan potensi untuk menyebabkan edema dan gangguan sirkulasi kulit yang rendah. Jahitan terputus satu-satu juga memungkinkan operator untuk melakukan penyesuaian yang diperlukan saat menjahit tepi luka dengan benar. Kekurangan jahitan terputus termasuk lamanya waktu yang dibutuhkan untuk penempatan dan risiko yang lebih besar dari bekas penjahitan (seperti rel kereta api) di garis jahitan.56
2.1.9. Penilaian Nyeri Nyeri sangat individual, subjektif dipengaruhi oleh kultur, situasi, perhatian dan berbagai variabel psikologi. Menurut Katz dan Melzack, ada tiga faktor psikologi yang mempengaruhi dimensi nyeri yaitu sensori diskriminasi, motivasi dan evaluasi kognitif yang akan saling berinteraksi untuk menghasilkan informasi, persepsi yang akan mempengaruhi pola kompleks tentang karakter nyeri. Metode pemeriksaan berdasarkan jawaban pasien secara langsung merupakan indikator yang paling dipercaya untuk penilaian intensitas nyeri. Untuk menilai nyeri dapat digunakan beberapa metode, yaitu secara subjektif dan objektif. Untuk penilaian secara subjektif dapat dinilai dengan beberapa pengukuran berdasarkan pertanyaan terhadap pasien. Sedangkan penilaian secara objektif adalah penilaian oleh penilai tentang beratnya nyeri yang dirasakan oleh pasien atau dengan menilai aktifitas pasien.33 Metode yang biasa digunakan
untuk mengukur nyeri ada dua, yaitu
unidimensi yang mempunyai satu variabel pengukur intensitas nyeri dan
51
multidimensi. Metode unidimensi adalah Verbal Ratting Scales (VRS), Numerical Rating Scale (NRS), Visual Analogue Scale (VAS). Metode sederhana ini biasa digunakan secara efektif dari rumah sakit, klinik dan
memberikan
informasi mengenai nyeri. Selain VAS skala wajah Wong-Baker juga dapat digunakan untuk menilai nyeri, skala ini mudah dan cepat diterjemahkan bagi anak-anak, orang tua maupun tenaga kesehatan. 31,59 Skala analog visual (VAS) menggunakan format analog seperti namanya, artinya mewakili suatu nilai yang berkelanjutan. Model yang paling umum dalam pengukuran nyeri dengan menggunakan garis horizontal pengukuran tepat 10 cm (100 mm). Pasien diminta untuk membuat tanda pada baris ini, lalu garis diukur dan dicatat dalam milimeter atau cm (misalnya, 37 mm atau 3,7 cm) . Panjang garis adalah penting bagi hasil mengukur, karena alat ini telah dievaluasi dalam format dan pengukuran bersandar pada baris yang tepat sepanjang 10 cm. Oleh karena itu untuk VAS sebagai ukuran kertas perlu dipantau karena proses ini dapat mengubah panjang skala dan membatalkan instrumen. Ketika skala diformat tanpa nomor, itu adalah sebuah format analog.58
Gambar 2.10. Skala Visual Analog58,59
52
Salah satu aspek yang paling penting dari validitas dari VAS adalah sebagai ukuran kuantitatif dari rasa sakit. Sebuah skor VAS 0 cm merupakan angka nol yang benar karena indikasi dari tidak adanya rasa sakit. Ini berarti bahwa VAS pengukuran rasio di alam, yang berarti bahwa skor 6 cm dua kali lebih parah dari skor 3 cm. Perbedaan antara nilai VAS dari 2 dan 3 adalah sama besar perbedaannya antara nilai VAS 7 dan 8. Sehingga VAS digunakan untuk tingkat rasio pengukuran.59,60 Pengukuran nyeri penggabungan NRS dan VAS dibuat dalam bentuk Numerik Visual Analog Scale. Skala wajah Wong-Baker menggambarkan kondisi yang tidak ada nyeri sampai nyeri yang berat dalam ekspresi wajah. Huskisson memberikan alternatif penggunaan VAS dengan memberikan kategori nyeri, pemberian skala deskripsi ini memudahkan klien mengisi tanpa bantuan (tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat, nyeri sangat berat).59 2.2.
Kerangka Pemikiran Persalinan akan menimbulkan trauma pada ibu baik trauma fisik maupun
trauma psikis. Trauma fisik berupa laserasi perineum paling sering dialami oleh wanita saat persalinan pervaginam spontan terutama pada persalinan anak pertama yang akan menimbulkan masalah jangka pendek maupun jangka panjang.1,15 Nyeri perineum berpengaruh pada hari-hari pertama pascasalin dan beberapa minggu pascasalin.13,15 Wanita yang mengalami trauma perineum spontan dilaporkan lebih rendah mengalami nyeri perineum pada masa pascasalin.1,46,52 Masalah kesehatan yang menetap ditemukan Thompson dkk pada wanita yang mengalami robekan perineum spontan atau telah dilakukan episiotomi,
53
mengeluhkan adanya nyeri perineum yang meningkat, menurunnya kepuasan seksual setelah melahirkan, dan tertundanya aktivitas seksual.7,16 Penelitian Watanatitan et al mendapatkan bahwa trauma perineum derajat satu dan dua lebih banyak ditemukan pada persalinan pervaginam. 15 Penjahitan laserasi perineum merupakan salah satu tindakan yang paling sering dilakukan setelah persalinan. Bagian kulit perineum ditutup dapat menggunakan teknik penjahitan terputus (interrupted transcutaneous sutures) atau teknik jelujur subkutikular (continuous subcuticular suture) dengan benang yang dapat diserap (absorbable material).1,8 Penggunaan analgesi hari-hari pertama pascasalin dilaporkan lebih rendah pada teknik penjahitan subkutikular dibandingkan dengan teknik penjahitan terputus.9,56 Penjahitan laserasi perineum dengan teknik jelujur subkutikular pada kulit perineum dilaporkan kejadian nyeri yang lebih rendah dibandingkan dengan penjahitan terputus satu-satu.1 Tensile stength catgut kromik akan bertahan lebih setengahnya pada hari ke-7 sampai 10, beberapa akan mencapai 21 hari. Catgut kromik benang natural yang diserap diuraikan dengan proses enzim proteolitik yang menimbulkan inflamasi sel. Penjahitan jelujur subkutikular di bawah kulit dengan kromik catgut mengurangi reaksi peradangan pada luka.43 Penjahitan terputus (interrupted/ individual) harus ditempatkan pada jarak yang sama, insersi benang pada kulit harus tepat dan tidak longgar untuk penyatuan luka. Setelah penjahitan pada epidermis biasanya menimbulkan bekas luka seperti rel kereta api (train-tracks). Penyimpulan yang terlalu ketat akan menimbulkan tekanan pada jaringan sehingga menimbulkan iskemia, tepi luka
54
akan menjadi nekrosis dan berpotensi timbulnya infeksi. Jarak antara jahitan yang tidak sama menimbulkan dead space sehingga hematoma terbentuk, timbul infeksi dan luka dapat terbuka.10 Penggunaan teknik jelujur subkutikular, jahitan menembus epidermis hanya pada awal dan akhir jahitan sehingga memberikan aproksimasi luka yang baik. Studi acak kontrol yang dilakukan Perveen dan Shabbir tentang benang dan teknik
penjahitan
menyimpulkan
bahwa
penjahitan
jelujur subkutikular
menggunakan benang catgut kromik mengurangi nyeri dan kejadian luka terbuka, sama dengan pada penggunaan benang yang dapat diserap.3,13 Penelitian T Wong dkk mengenai penjahitan menilai outcome maternal (masalah penyembuhan luka) dilakukan pada 1 hari, 5 hari, 2 minggu dan 3 bulan pascasalin, dilaporkan bahwa teknik penjahitan perineum dan infeksi lokal adalah faktor utama yang mempengaruhi penyembuhan dalam 2 hari pertama pascasalin. Permasalahan nyeri dan penyembuhan luka perineum yang tidak baik (poor and insufficient wound healing) dapat terjadi selama masa pascasalin. 13
55
Faktor yang mempengaruhi nyeri Usia Paritas Konsisi Fisik Fisiologi dan biokimia Psikologis Ras dan Etnik Trauma/ Laserasi Perineum Spontan: Derajat 1 Derajat 2
Nyeri Perineum
Perjahitan Perineum: Teknik Penjahitan jelujur subkutikular transkutaneus terputus
Hasil Penjahitan
Derajat 3 Derajat 4
Material/ Bahan benang Keterampilan operator Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka: Usia, berat badan, status nutrisi, dehidrasi, respon imun, penyakit kronis, faktor lokal pada luka, radioterapi, obatobatan, perawatan luka
Gambar 2.11. Kerangka Pemikiran
Keterangan gambar: : variabel yang diteliti, 2.3.
: variabel perancu
Hipotesis Pada penelitian ini rumusan hipotesa sebagai berikut:
Penyembuhan Luka Perineum: redness, oedema, ecchymosis, discharge ,dan approximation
56
1)
Derajat nyeri hasil teknik penjahitan jelujur subkutikular lebih ringan daripada teknik penjahitan transkutaneus terputus pada laserasi spontan perineum derajat II persalinan primipara oleh bidan.
2)
Penyembuhan luka perineum hasil teknik penjahitan jelujur subkutikular lebih baik daripada teknik penjahitan transkutaneus terputus pada laserasi spontan perineum derajat II persalinan primipara oleh bidan.
BAB III SUBJEK DAN METODE PENELITIAN
57
3.1.
Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah ibu pascasalin yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi serta bersedia ikut serta dalam penelitian setelah diberi penjelasan mengenai penelitian yang akan dilakukan (informed consent). 3.1.1. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi Penelitian Populasi target dalam penelitian ini adalah ibu pascasalin. Populasi terjangkau adalah ibu pascasalin yang bersalin di sepuluh tempat yaitu delapan bidan praktik swasta (BPS) dan dua rumah bersalin di wilayah Kediri. Sampel Penelitian Sampel dalam penelitian adalah ibu primipara pascasalin spontan pervaginam yang mengalami laserasi spontan perineum derajat II persalinan dan telah dilakukan penjahitan perineum menggunakan benang catgut kromik dengan salah satu teknik penjahitan yaitu teknik jelujur subkutikular atau transkutaneus terputus oleh bidan. 3.1.2. Kriteria Inklusi dan eksklusi Kriteria inklusi pada penelitian adalah sebagai berikut: 1)
Ibu primipara partus spontan pervaginam tidak anemia
2)
Ditolong bidan dengan kriteria bidan berpendidikan minimal DIII dan berpengalaman lebih dari 5 tahun praktik.
58
3)
Telah dilakukan penjahitan dengan teknik jelujur subkutikular teknik atau teknik transkutaneus terputus pada kulit perineum menggunakan benang catgut kromik 2-0.
Kriteria eksklusi pada penelitian adalah: 1)
Ibu yang mengalami komplikasi persalinan.
2)
Ibu dengan tindakan episiotomi
3)
Ibu yang mengalami persalinan buatan.
4)
Riwayat penyakit infeksi panggul atau kelamin
5)
Alamat rumah tidak terjangkau peneliti.
3.1.3. Cara Pemilihan dan Ukuran Sampel Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive admission sampling terhadap subjek penelitian yang bersalin di 8 BPS dan 2 rumah bersalin, yaitu berdasarkan pasien yang datang dan memenuhi kriteria penelitian sehingga jumlah sampel terpenuhi. Pembagian sampel ditentukan dengan cara membagi subjek ke dalam 2 kelompok penelitian yaitu kelompok I adalah ibu primipara pascasalin dengan laserasi spontan perineum derajat II persalinan yang telah dilakukan teknik
penjahitan jelujur subkutikular oleh bidan penolong, dan
kelompok II adalah ibu primipara pascasalin dengan laserasi spontan perineum derajat II yang telah dilakukan teknik penjahitan transkutaneus terputus oleh bidan. Perkiraan besar sampel menggunakan rumus untuk menghitung data numerik pada uji hipotesis satu arah rerata dua kelompok independen.
59
s d
2
Rumus besar sampel : n1 n2 2 Keterangan:
N : jumlah sampel Zα : derivat baku alfa (derajat tingkat kemaknaan untuk 1-α= 95% maka Zα=1,65) Zβ : derivat baku beta (kekuatan uji dari penelitian 1-β= 80% maka Zβ= 0,84) S
: Besarnya standar deviasi kedua kelompok (berdasarkan Deming rule)= 0,24x
d
nilai rentang : Beda skor yang secara klinis bermakna (x1-x2).
α
Skala REEDA nilai 15, maka d=3. VAS nilai 10, maka d=2 : Batas kemaknaan 5% (= 0,05)
Perhitungan sampel sebagai berikut: s n1 2 d
2
1,65 0,84 0,24 10 n1 2 2
n1 18
s n2 2 d 2
2
1,65 0,84 0,24 15 n1 2 3
2
n2 18
Besar sampel minimal dengan taraf kepercayaan 95% dan power test 80% diperoleh 18 untuk masing-masing kelompok hasil teknik penjahitan. Untuk mengantisipasi adanya sampel yang drop out maka jumlah sampel ditambah 10% sehingga sampel dalam penelitian untuk masing-masing kelompok adalah 20.
3.2. Metode Penelitian
60
3.2.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik komparatif dengan pendekatan prospektif. Penelitian observasi ini dilakukan terhadap ibu primipara
pascasalin spontan pervaginam yang mengalami laserasi spontan
perineum derajat II persalinan dan telah dilakukan penjahitan laserasi perineum dengan teknik jelujur subkutikular atau transkutaneus terputus menggunakan benang catgut kromik.
3.2.2. Identifikasi Variabel Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Variabel independen/ bebas (X): teknik penjahitan (teknik jelujur subkutikular dan transkutaneus terputus). 2) Variabel dependen/ terikat (Y): Y1
: nyeri perineum
Y2
: penyembuhan luka perineum
Variabel lain yang akan diteliti adalah karakteristik pasien sebagai meliputi: umur ibu, pendidikan ibu, dan berat badan bayi. 3.2.3. Definisi Operasional Definisi operasional variabel-variabel yang berkaitan dengan penelitian dijelaskan pada tabel berikut.
Tabel 3.1. Definisi Operasional
61
Variabel Karakteristik Usia Pendidikan
BB Bayi Variabel bebas Laserasi Perineum derajat II Teknik penjahitan
Subvariabel 1) Teknik jelujur subkutikular
2) Teknik transkutaneus terputus
Variabel Terikat Nyeri perineum
Definisi Operasional
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala
1. < 20 tahun 2. 20-30 tahun 3. > 30 tahun 1 = 0-6 th (dasar) 2 = 7-12 th (menengah) 3 = >12 th (tinggi)
Ordinal
Usia reponden pada saat penelitian dilakukan Pendidikan formal tertinggi yang pernah dicapai responden
Anamnesis
Kuesioner
Anamnesis
Kuesioner
Berat badan bayi yang dilahirkan ibu
Anamnesis/ Pemeriksaan
Kuesioner/ Timbangan
1. <2500 gr 2. 2500-3500 gr 3. >3500 gr
Ordinal
Robekan spontan yang terjadi pada vagina dan otot superfisial perineum Cara penjahitan yang telah dilakukan oleh bidan untuk menutup/mendekatk an jaringan
Pemeriksaan
-
1. Teknik jelujur
Nominal
Cara penjahitan laserasi perineum derajat II yang telah dilakukan bidan dengan menggunakan satu helai benang, ditempatkan di bawah permukaan kulit perineum. Cara penjahitan laserasi perineum derajat II yang telah dilakukan bidan dengan menggunakan beberapa helai benang, yang setiap helai disimpul dan ditempatkan di atas permukaan kulit.
Pemeriksaan
-
1. Ya 2. Tidak
Nominal
Pemeriksaan
-
1. Ya 2. Tidak
Nominal
Anamnesa
Skala Visual Analog Scale (VAS) 0-10
0= tidak nyeri 1,2,3= nyeri ringan 4,5,6=nyeri sedang 7,8,9= nyeri berat 10= nyeri sangat berat
Rasio
Rasa sakit yang dirasakan ibu setelah melahirkan pada daerah luka jahitan perineum, yang menyebar dari depan sampai belakang
Pemeriksaan
Ordinal
subkutikular 2. Teknik transkutaneus terputus
62
(simpisis pubis sampai ke coccygis). Dirasakan saat ibu beraktivitas/ berbagai posisi (duduk, berjalan, berkemih, buang air besar, pergantian gerak) Penyembuhan luka perineum
Kondisi laserasi perineum setelah dilakukan penjahitan dengan salah satu teknik penjahitan
Pemeriksaan
Skala REEDA
Penjumlahan skor dari 5 subvariabel: 0 = penyembuhan luka baik (good wound healing) 1-5 = penyembuhan luka kurang baik (insufficient wound healing) >5= penyembuhan luka buruk (poor wound healing)
Rasio
Adanya kemerahan pada daerah luka penjahitan perineum
Pemeriksaan
Skala REEDA dan Paper tape
0= tidak ada 1=Kurang dari 0,25cm pada kedua sisi laserasi 2= Kurang dari 0,5cm pada kedua sisi laserasi 3= Lebih dari 0,5cm pada kedua sisi laserasi
Rasio
2) Oedema
Pembengkakan pada daerah perineum karena adanya cairan dalam jaringan
Pemeriksaan
Skala REEDA dan Paper tape
0= tidak ada 1= Pada perineum, <1cm dari laserasi 2= Pada perineum dan atau vulva, antara 1-2cm dari laserasi 3= Pada perineum dan atau vulva, >2cm dari laserasi
Rasio
3) Ecchymosis
Bercak perdarahan, merah keunguan pada kulit perineum
Pemeriksaan
Skala REEDA dan Paper tape
0= tidak ada 1=Kurang dari 0,25cm pada kedua sisi atau 0,5cm pada satu sisi 2= 0,25-1cm pada kedua sisi atau 0,52cm pada satu sisi
Rasio
Subvariabel 1) Redness
63
4) Discharge
Adanya ekresi atau pengeluaran cairan dari laserasi perineum
Pemeriksaan
Skala REEDA 0-3
5) Approximation Kedekatan/ penyatuan jaringan perineum yang telah dijahit
Pemeriksaan
Skala REEDA 0-3
3= >1cm pada kedua sisi atau 2 cm pada satu sisi 0= tidak ada 1= Serum 2= Serosanguinus 3= Berdarah, Purulen 0= tertutup 1= Jarak kulit 3mm atau kurang 2= terdapat jarak antara kulit dan lemak subkutan 3= terdapat jarak antara kulit, lemak subkutan dan fasia
3.2.4. Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data 3.2.4.1.Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer. Data primer mengenai karakteristik subjek, diagnosa laserasi perineum dan teknik penjahitan perineum diperoleh dengan melakukan pengkajian oleh bidan penolong didampingi peneliti untuk memenuhi kriteria inklusi penelitian. Data nyeri dan penyembuhan laserasi perineum spontan derajat II diperoleh melalui studi observasional oleh peneliti. Pengumpulan data primer untuk nyeri perineum dan penyembuhan luka perineum dilakukan 5 kali yaitu pada hari ke-1, 3, 5, 7 dan 10 pascasalin oleh peneliti. Sedangkan nyeri hari ke-2, 4, 6, 8 dan 9 dilakukan dengan cara mewawancarai subjek penelitian untuk membantu mengingat nyeri perineum yang dirasakannya, bersamaan dengan pengkajian pada hari ke-1, 3, 5, 7, dan 10. Hari ke-1 pemeriksaan luka perineum untuk melihat kondisi umum perineum sebelum ibu pulang. Pada hari ke-3 pemeriksaan terhadap kemungkinan
Rasio
Rasio
64
infeksi luka perineum. Hari ke-5 dan 7 pemeriksaan terhadap kemungkinan luka terbuka. Hari ke-10 melihat penyembuhan luka perineum.
3.2.4.2.Instrumen Pengumpulan Data Pengumpulan data karakteristik subjek penelitian yang meliputi usia dan pendidikan, berat badan bayi yang dilahirkan, diagnosis laserasi perineum dan teknik penjahitan perineum menggunakan formulir pengumpulan data. Penilaian nyeri laserasi spontan perineum derajat II dilakukan dengan cara anamnesis kepada ibu primipara pascasalin menggunakan kuesioner Skala Visual Analog berupa beberapa pertanyaan yang menuntun ibu untuk menentukan angka yang menunjukkan nyeri perineum yang dirasakannya dengan rentang angka 0-10. Penyembuhan luka laserasi spontan perineum derajat II dilakukan dengan pemeriksaan perineum menggunakan formulir Skala REEDA yang berisi lima item pemeriksaan penyembuhan luka perineum yaitu redness, oedema, ecchymosis, discharge, dan approximation. 3.2.4.3.Prosedur Penelitian 1)
Persiapan
a.
Sebelum penelitian dilakukan, peneliti menentukan kriteria bidan sebagai penolong/ operator. Bidan di tempat praktik dipilih berdasarkan kriteria yaitu: pendidikan minimal DIII Kebidanan, bidan telah bekerja melakukan praktik di pelayanan lebih dari 5 tahun.
b.
Selanjutnya peneliti melakukan survey ke BPS dan RB yang memungkinkan untuk menjadi tempat penelitian. Bidan pada BPS dan RB
65
yang dipilih adalah bidan yang memenuhi kriteria, menggunakan benang catgut kromik
2-0 untuk penjahitan laserasi perineum, menggunakan
anastesi infiltrasi saat penjahitan, menggunakan salah satu atau kedua teknik penjahitan (jelujur subkutikular dan transkutaneus terputus) untuk menutup kulit perineum, dan melakukan konseling perawatan perineum. c.
Peneliti melakukan pertemuan (briefing) dengan bidan yang akan terlibat dalam penelitian untuk menginformasikan kriteria penelitian dan menyamakan prosedur penelitian, serta hal-hal yang berkaitan dengan penelitian. Penjelasan tentang diagnosis laserasi spontan perineum derajat II persalinan dan teknik penjahitan perineum dilakukan oleh seorang dokter spesialis Kebidanan yang disertai demonstrasi/ simulasi teknik penjahitan. (i)
Penjelasan tentang topik dan masalah penelitian, tujuan penelitian, sampel penelitian.
(ii)
Penjelasan kepada bidan diagnosis laserasi spontan perineum derajat II pada primipara setelah kelahiran bayi yang ditegakkan oleh bidan yaitu
meliputi
vagina,
bulbocavernosus, otot
otot
superfisialis
perineum
(otot
ischiocavernosus, dan otot transversus
perinea). (iii)
Memberikan penjelasan kepada bidan tentang prosedur penjahitan perineum yang sesuai dengan standar asuhan persalinan normal
Penggunaan anastesi infiltrasi saat penjahitan laserasi perineum spontan yaitu lidokain 1%.
66
Bahan benang yang digunakan untuk penjahitan laserasi perineum yaitu kromik catgut no 2-0 dalam bentuk kemasan.
Prosedur penjahitan laserasi perineum spontan derajat II dibagi menjadi dua yaitu teknik penjahitan jelujur subkutikular dan terputus yang dilakukan bidan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Teknik penjahitan jelujur subkutikular: dilakukan melalui tiga tahap, yaitu teknik jelujur nonlocking untuk menutup mukosa vagina yang diletakkan 1cm di atas apeks laserasi. Penempatan jahitan pertama dangan dua kali simpul, ujung benang digunting ± 1 cm. Jahitan jelujur dilakukan sampai daerah cincin himen. Kemudian dilanjutkan jahitan jelujur untuk menyatukan otot perineum
sampai ujung laserasi, jarum
diarahkan ke atas untuk melanjutkan jahitan subkutikular pada kulit perineum. Dilakukan dua kali penyimpulan di belakang cincin himen. Ujung benang digunting ± 1 cm dari luka. Teknik penjahitan terputus: dilakukan melalui tiga tahap, yaitu teknik jelujur nonlocking untuk menutup mukosa vagina yang diletakkan 1cm di atas apeks laserasi, penempatan jahitan pertama dangan dua kali simpul. Jahit jelujur sampai daerah cincin himen kemudian disimpul. Otot perineum disatukan dengan teknik penjahitan terputus (3-4 jahitan). Teknik penjahitan terputus untuk menutup kulit perineum dengan dua
67
kali simpul setiap jahitan, panjang jahitan dua kali kedalaman laserasi dan jarak tiap jahitan dua kali kedalaman luka. Benang digunting ± 1 cm dari luka.
Menyamakan pemberian analgetik oral dan zat besi yang digunakan pascapenjahitan, yaitu berupa parasetamol generik 3x500mg 10 tablet dan tablet Fe 1x1 10 tablet. Penelitian ini menggunakan analgetik ringan pada hari-hari pertama pascasalin yakni berupa parasetamol seperti yang dilaporkan Sleep dan Grant bahwa parasetamol sebagai obat pilihan pertama (the first line treatment) yang risiko potensialnya rendah pada ibu.46
Menjelaskan tentang konseling perawatan perineum pada ibu pascapenjahitan yang akan dilakukan oleh bidan.
(iv)
Menjelaskan mengenai informed consent dan prosedur penelitian untuk mengikuti penelitian yang akan dilakukan oleh bidan dan didampingi peneliti.
d.
Lembar kuesioner dan formulir pengumpulan data dipersiapkan sesuai dengan jumlah sampel.
e.
Bidan penolong/ operator adalah bidan yang mempunyai BPS/ RB atau yang bekerja di BPS/ RB tersebut dan telah diberikan penjelasan tentang prosedur penelitian dengan jumlah 11 bidan.
f.
Pengkajian nyeri perineum dan penyembuhan luka perineum dilakukan oleh peneliti. Peneliti adalah peneliti utama dan dua orang bidan lainnya sebagai tim penelitian. Peneliti melakukan pertemuan untuk menyamakan
68
persepsi dan membahas mengenai kriteria penelitian, format pengkajian, prosedur penilaian nyeri dan pemeriksaan penyembuhan luka perineum. 2)
Tata Cara Pengumpulan Data
a.
Peneliti dibantu oleh bidan penolong untuk memberikan penjelasan tentang prosedur dan tujuan penelitian, keuntungan dan kerugian menjadi subjek penelitian, kemudian ibu diminta menandatangani lembar persetujuan (informed consent). Bidan penolong memberitahu ibu primipara parturient yang datang ke BPS/ RB tentang prosedur dan tindakan yang akan dilakukan jika ibu mengalami laserasi spontan perineum derajat II persalinan.
b.
Peneliti mendampingi bidan penolong saat persalinan dan penjahitan laserasi perineum untuk memastikan subjek memenuhi kriteria penelitian. Setelah persalinan jika ibu mengalami laserasi spontan perineum derajat II maka ibu masuk kedalam sampel penelitian.
c.
Bidan penolong melakukan penjahitan laserasi perineum dengan memberikan anastesi infiltrasi terlebih dahulu (lidokain 1%). Setelah anastesi bekerja (± 1-2 menit) bidan melakukan teknik penjahitan jelujur atau terputus sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
d.
Pascapenjahitan bidan penolong memberikan informasi tentang perawatan luka perineum. Diberikan analgetik oral berupa parasetamol 500mg dengan dosis 3x1 10 tablet dan tablet Fe1x1 10 tablet. Kemudian bidan mendokumentasikan seluruh tindakan.
69
e.
Peneliti menggolongkan ibu pascasalin yang telah dilakukan penjahitan laserasi perineum spontan derajat II menjadi dua kelompok, jika ibu telah dilakukan teknik penjahitan jelujur subkutikular merupakan kelompok I dan kelompok II adalah jika ibu telah dilakukan teknik penjahitan transkutaneus terputus. Dilakukan lima kali pemeriksaan yaitu hari ke-1, 3, 5, 7 dan 10 pascasalin oleh peneliti.
f.
Peneliti melakukan pengkajian nyeri hari ke-1 pascasalin setelah 8 jam pascasalin untuk menghindari efek dari anastesi infiltrasi yang telah dilakukan pada saat penjahitan laserasi perineum. 15 Penilaian nyeri perineum dengan menggunakan VAS. Derajat nyeri perineum ditanyakan pada ibu dengan meminta ibu untuk mengisi atau menunjukkan derajat nyeri yang dirasakannya pada formulir VAS yang tersedia. Peneliti dibantu/ didampingi oleh bidan yang bersangkutan untuk melakukan pengkajian hari pertama.
g.
Sebelum ibu pulang, ibu diminta berbaring miring kiri atau kanan dengan posisi lutut ditekuk. Peneliti dan dibantu bidan penolong melakukan pemeriksaan luka perineum sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dengan menggunakan formulir skala REEDA yang bersisi lima item dan diberi nilai sesuai kondisi luka perineum yang teramati.
h.
Peneliti meminta ibu kembali datang ke tempat pelayanan atau akan dilakukan kunjungan rumah pada hari ke-3, 5, 7 dan hari ke-10 pascasalin. Kontrak waktu dengan ibu untuk pemeriksaan berikutnya, jika ibu tidak
70
bersedia datang atau tidak datang pada waktu yang telah ditentukan maka dilakukan kunjungan rumah oleh peneliti. i.
Hari ke-3, 5, 7, peneliti menanyakan nyeri perineum yang dirasakan ibu pada hari tersebut dan hari sebelumnya (kemarin) dengan kuesioner penuntun skala visual analog. Kondisi penyembuhan luka perineum diperiksa dengan skala REEDA pada hari tersebut sesuai dengan prosedur.
j.
Hari ke-10 peneliti menanyakan kepada ibu nyeri perineum yang dirasakan pada hari tersebut, hari sebelumnya (hari ke-9) dan dua hari yang lalu (hari ke-8). Kemudian dilakukan pemeriksaan penyembuhan luka perineum dengan skala REEDA. Bila terdapat masalah nyeri yang dirasakan ibu atau pada penyembuhan luka perineum (salah satu item REEDA nilai >2), maka akan dilakukan pendokumentasian dalam bentuk digital foto dan kondisi tersebut akan dikolaborasikan/ dilaporkan kepada bidan yang bersangkutan untuk tindakan selanjutnya dan luka perineum akan dievaluasi lebih lanjut.
k.
Selama masa observasi apabila ditemukan tanda-tanda inflamasi yaitu terdapat nilai 1 pada 3 item REEDA atau lebih, dan atau disertai peningkatan suhu tubuh ibu > 37,5°C maka peneliti memberikan analgetik/ antipiretik tambahan berupa parasetamol dan antibiotik, hal tersebut dilaporkan ke bidan penolong.
Parturient anak pertama kala I (informed consent)
Pascasalin memenuhi kriteria inklusi (sampel penelitian)
71
Kelompok I Teknik Penjahitan Jelujur Subkutikular
Kelompok II Teknik Penjahitan Transkutaneus Terputus
Pemeriksaan I (hari ke-1 pascasalin)
Klien Kunjungan Ulang ke tempat pelayanan Tid ak
Kunjungan rumah
Pemeriksaan II sampai V (hari ke-3, 5, 7 dan 10 pascasalin)
Gambar 3.1. Bagan Alur Penelitian 3)
Pengolahan data Data yang telah dikumpulkan dilakukan pengolahan data dengan tahap
sebagai berikut: a.
Mengumpulkan dan mengkode data (editing dan coding) Kuesioner dan formulir yang telah dikumpulkan kemudian diperiksa
kelengkapannya termasuk pemberian kode/nomor. Langkah ini dimaksudkan untuk pengecekan kelengkapan data, kesinambungan dan keseragaman data. Selanjutnya memberikan kode untuk menjaga kerahasiaan identitas subjek penelitian dan mempermudah proses penelusuran biodata responden bila diperlukan. b.
Masukan data (data entry)
72
Data yang telah terkumpul selanjutnya dimasukkan sesuai dengan hasil setiap responden berdasarkan rentang skala/skor yang telah ditentukan. c.
Tabulasi data Dilakukan dengan mengelompokkan data sesuai dengan variabel yang
akan diteliti guna memudahkan dalam analisis. Tabulasi ini berguna untuk melihat gambaran karakteristik subjek, teknik penjahitan, skor skala visual analog nyeri perineum, dan skala REEDA penyembuhan luka perineum.
3.2.4. Analisis Data Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah: 1)
Analisis univariabel Untuk melihat distribusi frekuensi serta persentase dari variabel yang
diteliti, yaitu karakteristik klien meliputi umur dan pendidikan, berat badan bayi, variabel bebas (teknik penjahitan subkutikular dan terputus), dan sebaran data dari variabel terikat (skala VAS dan REEDA) menggunakan analisis deskriptif. Karakteristik subjek penelitian sebagai variabel perancu ditentukan dengan uji komparatif pada dua kelompok tidak berpasangan dengan uji T
pada data
numerik berdistribusi normal dan uji x2 pada data berupa kategori. 2)
Analisis bivariabel Rancangan analisis data dilakukan dengan menggunakan software
program SPSS versi 16.0. Uji chi kuadrat digunakan untuk menguji hipotesis komparatif variabel kategorik tidak berpasangan atau uji eksak Fiher pada tabel 2x2terdapat nilai ekpektasi sel < 5.
73
Analisis bivariabel untuk menguji hipotesis komparatif variabel numerik berdistribusi tidak normal digunakan uji Mann-Whitney untuk mencari perbedaan median skor nyeri pada dua kelompok independen (teknik penjahitan jelujur subkutikular dibandingkan dengan transkutaneus terputus). Prinsipnya adalah dengan membandingkan median peringkat dari kelompok sampel pertama dengan kelompok sampel kedua.
3.2.5. Tempat dan Waktu Penelitian 1)
Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di 8 BPS dan 2 RB di wilayah Kediri. Pemilihan BPS
dan RB berdasarkan kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti. 2)
Waktu Penelitian Penelitian dilakukan mulai bulan Juni-Agustus 2014 setelah jumlah
sampel terpenuhi.
3.3.
Implikasi/ Aspek Etik Penelitian Sebelum melakukan penelitian ke lapangan, peneliti melakukan survey
terlebih dahulu mengenai kondisi dan kemungkinan pelaksanaan penelitian pada tempat bidan praktik dan rumah bersalin yang dipilih. Permohonan ijin pengambilan data di tempat bidan praktik swasta dan RB langsung ditujukan kepada bidan/ pimpinan pemilik tempat praktik yang bersangkutan. Penelitian ini memberikan dampak etik pada subyek penelitian berupa ketidaknyamanan antara lain akibat tindakan pemeriksaan/ observasi. Untuk
74
mengatasi dampak ketidaknyaman akibat penelitian ini sebelumnya pada subyek penelitian diberikan informasi segala sesuatu mengenai penelitian yang akan dilaksanakan sesuai dengan prinsip etik pada manusia, antara lain: 1)
Prinsip Respect for person (menghormati harkat dan martabat manusia) Pengambilan sampel di BPS/ RB, subjek dipilih berdasarkan kriteria
inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan peneliti. Klien diberi penjelasan bahwa akan diperiksa perineum dan dinilai kondisi nyeri perineum yang dirasakannya. Saat melakukan penjelasan prosedur penelitian, informed consent, dan pengumpulan data peneliti dibantu oleh bidan. Pengkajian hari pertama didampingi oleh bidan penolong untuk mengurangi ketidaknyamanan dan mendapat kepercayaan dari ibu. Subjek yang akan turut serta dalam penelitian diberikan informasi mengenai penelitian yang akan dilakukan meliputi:
tata
cara/prosedur, manfaat, kesukarelaan, risiko, kerahasiaan data, ketidaknyamanan, penyulit dan kompensasi serta petugas/contact person yang dapat dihubungi jika ada yang perlu didiskusikan sehubungan dengan penelitian. Subjek penelitian bebas menentukan keikutsertaannya dalam penelitian ini, jika subjek penelitian bersedia mengikuti jalannya penelitian, maka harus dinyatakan secara tertulis dengan menandatangani lembar persetujuan sebagai responden. Saat dilakukan pemeriksaan ibu boleh didampingi suami/ keluarga. Selanjutnya pengkajian nyeri dan penyembuhan luka perineum dilakukan dengan prosedur dan formulir yang telah disiapkan. Nama subjek dalam penelitian ini hanya diketahui oleh peneliti, dan bidan yang bersangkutan jika diperlukan data hasil pengkajian postpartum.
75
2)
Prinsip manfaat dan tidak merugikan (maleficence dan Beneficence) Risiko secara nyata tidak ada, hanya ketidaknyamanan secara fisik yang
mungkin akan dirasakan oleh responden ketika dilakukan pemeriksaan luka perineum. Pengkajian nyeri dan pemeriksaan luka perineum yang dilakukan akan menyita waktu ibu. Keuntungan dari penelitian ini secara langsung dapat dirasakan responden yakni terpantaunya kondisi postpartum.
Peneliti akan
melakukan pengkajian fisik postpartum tidak hanya sebatas pengkajian nyeri dan penyembuhan luka perineum, tetapi meliputi kondisi lainnya (tanda vital, laktasi, involusi rahim, lokhia). Jika terdapat permasalahan dalam nyeri dan atau penyembuhan luka perineum, peneliti akan melakukan kolaborasi dengan bidan setempat untuk tindakan selanjutnya. 3)
Prinsip kerahasiaan data penelitian dan prinsip keadilan (justice). Semua subjek penelitian akan mendapatkan perlakuan yang sama sesuai
dengan moral dan hak mereka sebagai responden penelitian. Setelah pemeriksaan dilakukan akan diinformasikan semua hasil pemeriksaan. Jika terdapat permasalahan dalam penyembuhan luka peneliti akan melakukan dokumentasi dalam bentuk foto dan kerahasiaannya dijamin oleh peneliti. Setelah penelitian selesai dilakukan responden akan diberi cinderamata berupa bingkisan bagi buah hati, sebagai kompensasi dan kesediaan menjadi subjek dalam penelitian ini.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang melibatkan ibu sebagai subjek penelitian, maka penelitian ini dilaksanakan setelah mendapat
76
Ethical clearance dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Henderson C, Bick D. Perineal care: an in international issue. London: Cromwell Press; 2005.
77
2.
Bick DE, Kettle C, Macdonald S, Thomas PW, Hills RK, Ismail KMK. Perineal assessment and repair longitudinal study (PEARLS): protocol for a matched pair cluster trial. BMC Pregnancy and Childbirth. 2010;10(10):1-8.
3.
Perveen F, Shabbir T. Perineal repair: comparison of suture materials and suturing techniques.. J Surg Pakist. 2009;14 (1):23-8.
4.
Sohail S, Abbas T, Ata S. Comparison between synthetic vicryl & chromic catgut on perineal repair. Medical Channel. 2009;15(2):48-50.
5.
NHS Quality Improvement Scotland . Perineal repair after childbirth a procedure and standards tool to support practice development. Edinburgh: 2008.
6.
Kettle C, Hills RK, Jones P, Darby L, Gray R, Johanson R. Continuous versus interrupted perineal repair with standard or rapidly absorbed sutures after spontaneous vaginal birth: a randomized controlled trial. Lancet 2002;359(9325):2217-23.
7.
Flemming N. Can the suturing method make difference in postpartum perineal pain. J Nurse Midwifery. 1990;4: 65-9.
8.
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Methods and materials used in perineal repair. Green-top guidelines No. 23. London;RCOG:2004
9.
Kettle C, Dowswell T, Ismail KM. Absorbable suture materials for primary repair of episiotomy and second degree tears. Cochrane Database Syst Rev. 2010;(6):CD000006;1-67.
10.
Skinner I. Basic surgical skill manual. Australia: McGraw-Hill; 2000.
11.
Ethicon Johnson & Johnson. Wound closure manual. Somerville: Johnson & Johnson Company; 2005.
12.
Mulyana Y. Instrumentasi dan materi benang. makalah disampaikan dalam: workshop reparasi Ruptura Perineum. Hotel Topaz Bandung 11 Februari 2006.
13.
Wong T, Mak HL, Wong HK, Leung KY. Perineal repair with standard versus rapidly absorbed sutures after vaginal birth: a randomised controlled trial. HKJGOM [serial online]. 2006;6(1):4-9 [diunduh 12 Oktober 2010]. Tersedia dari: http://www.ogshk.org
78
14.
Valenzuela P, Puente MSS, Valero JL, Azorı´n R, Ortega R, Guijarrob R. Continuous versus interrupted sutures for repair of episiotomy or seconddegree perineal tears: a randomised controlled trial. J compilation BJOG. 2009;116(3):436-41.
15.
Watanatitan J, Armarttasn S, Manusirivithaya S. Incidence and factors associated with postpartum perineal pain in primipara. Thai J ObstetGynaecol. 2009;17:139-44.
16.
Morano S, Mistrangelo E, Pastorino D, Lijoi D, Costantini S, Ragni N. A randomized comparison of suturing techniques for episiotomy and laceration repair after spontaneous vaginal birth. Journal of Minimally Invasive Gynecology [serial online]. 2006; 13(5): 457–62 [diunduh 5 November 2010]. Tersedia dari: http://www.obgyn.ubc.ca
17.
Leeman L, Spearman M, Rogers R. Repair of obstetric perineal lacerations. Am Fam Physician 2003;68:1585-90.
18.
JNPK-KR/ POGI, JHPIEGO. Asuhan persalinan normal dan inisiasi menyusu dini. Edisi Ke-3. Jakarta; Jaringan Nasional Pelatihan Klinik; 2007.
19.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 369/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar profesi bidan. Kesehatan Republik Indonesia,
20.
Oxorn H, Forte WR. Ilmu kebidanan patologi dan fisiologi persalinan. Yogyakarta: Andi Offset; 2010.
21.
Kettle C. The Pelvic Floor. Dalam: Henderson C, Macdonald S, penyunting. Mayes’ midwifery a textbook for midwives. Edisi ke-13. Edinburg: Elseiver; 2004. hlm. 474-89.
22.
Coad J, Dunstall. Anatomy and Physiology for midwives. Churchill Livingstone: Elsevier; 2006.
23.
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Spong CY, Rouse DJ. Williams Obsetrics. Edisi ke-23. Newyork: McGraw-Hill; 2010. hlm. 1329. 674.
24.
Stabel D. The nature bone-the female pelvis and fetal skull. Dalam: Rankin J, [penyunting]. Physiology in Childbearing with anatomy and related biosciences. Edinburg: Elsevier; 2006. hlm. 339-42.
Nomor Menteri
79
25.
Rachimhadhi T . Anatomi jalan lahir. Dalam: Saifuddin AB, Wiknjosastro GH, [penyunting]. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2005. hlm. 200-45.
26.
Hartmann, K, Viswanathan M, Palmieri R, Gartlehner G, Thorp J, Lohr KN. Outcomes of routine episiotomy a systematic review. JAMA. 2005;293:2141-2148.
27.
Angsar MD. Perlukaan alat-alat genital. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi, [penyunting]. Ilmu kandungan. Edisi ke-2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008. hlm. 410-11.
28.
Liu D. Episiotomi dan Robekan. Dalam: David TY. Meilia E, [penyunting]. Manual Persalinan. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 2008. hlm. 129-39.
29.
Leeman L, Fullilove AM, Borders N, Manocchio R, Albers LL, Rogers RG. Postpartum perineal pain in a low episiotomy setting: association with severity of genital trauma, labor care, and birth variables. Birth. 2009; 36(4): 283-88.
30.
Sultan AH, Thakar R, Fenners DE. Perineal and anal spincter trauma diagnosis and clinical management. London; Spinger: 2009.
31.
Tamsuri A. Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC: 2007.
32.
Hamilton. Pain relief and comfort in labour. Fraser DM, Cooper MA, [penyunting] Dalam : Myles textbook for midwives. Edinburg: Elseiver; 2004. hlm. 435-80.
33.
Guyton AC, Hall JE. Fisiologi Kedokteran. Setiawan I, [penyunting]. Edisi 9. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC: 1997. hlm. 761-70.
34.
Boyle M. Postnatal pain. Dalam: Yerby M [penyunting]. Pain in Childbearing key issues in management. Edinburg: Baillire Tindall; 2001. hlm. 131-43.
35.
Hartwig MS, Wilson LM. Nyeri. Dalam: Price SA, Wilson LM, [penyunting]. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2005. hlm. 1063-90.
36.
Mulyata S, Slamet R. Pendekatan psikologis dapat berperan sebagai analgesia nyeri persalinan. Surakarta: Bagian Anestesi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Surakarta/ RSUD dr. Moewardi; 2004.
80
37.
Tanra AH, Bisri T. Konsep baru pengelolaan nyeri. Dalam: Soerasdi E, Bisri T, [penyunting]. Anestesiologi di Indonesia menjelang era global. Bandung: Bagian Anestesi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 200. hlm. 141-9.
38.
Helms JE, Barone CP. A Physiology and Treatment Of Pain. Critical care nurse [serial online]. 2008; 28(6): 38-50. diunduh 5 Desember 2010]. Tersedia dari: http://www.aacn.org
39.
Arthur MA. Postpartum Analgesia. Rev Mex de Anest. [serial online]. 2005; 28(1):S47-S53. [diunduh 6 Desember 2010]. Tersedia dari: http://www.medigraphic.com
40.
Wilson LM. Respon Tubuh Terhadap Cidera. Dalam: Price SA, Wilson LM, [penyunting]. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2005. hlm. 56-79.
41.
Boyle M. Wound Healing in Midwifery. London; Radcliffe Publishing Ltd: 2006.
42.
Morison MJ. Tyasmono AE, [penerjemah]. Manajemen Luka. Jakarta; Penerbit EGC: 2004.
43.
Lipscomb GH. Wound healing, suture material and surgical instrumentation. Dalam: Rock AJ, Jones HW, penyunting. Te linde’s operative gynecology. Edisi ke-10. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2008. hlm. 226-42.
44.
Sjamsuhidajat, Jong WD. Buku Ajar Ilmu bedah. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 2005.
45.
Diegelmann RF, Evans MC. Wound healing: an overview of acute, fibrotic and delayed healing. Frontiers in Bioscience. [serial online]. 2004; 9: 283289. [diunduh tanggal 5 November 2010]. Tersedia dari: http://www.citeseerx.ist.psu.edu
46.
Bick D, MacArtur C, Knowles H, Winter H. Postnatal Care evidence and guidelines for management. Churchill livingstone: Elsevier; 2004.
47.
Matteson PS. Women’s health during childbearing years a communitybased approach. St Louis: Mosby Inc; 2001.
48.
Fleming VEM, Hagen S, Niven C. Does perineal suturing make a difference? The SUNS trial. BJOG: an International J Obst Gynaecol. 2003;110:684–9.
81
49.
Armawan E. Perawatan Perineum Pascasalin. Makalah disampaikan dalam: Workshop Reparasi Ruptura Perineum. Hotel Topaz Bandung 11 Februari 2006.
50.
Carr KC. Home care of the new family. Dalam: Martison Im, Widmer AG, Portillo CJ. Home health care nursing. Philadelphia: WB Saunders; 2002. hlm. 225-226.
51.
Dorland, Newman WA. Hartanto H, Setiawan A, Bani AP, Adji AS, Widjaja AC, Soegiarto B, dkk [penyunting]. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi ke-29. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 2002.
52.
Sudjatmiko G, Syarif AN, Handayani S. Menjahit luka supaya bekasnya sulit dicari. Jakarta; Sagung Seto: 2009.
53.
Johnson R, Taylor W. Skills for midwifery practice. Edisi ke-2. Edinburg: Elsevier; 2006.
54.
Tjay TH, Rahardja K. Anestetika lokal. Obat-obat penting. Edisi ke-6. Penerbit elex media komputindo. Gramedia Jakarta 2007. hlm. 407-13.
55.
Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik. Sjabana D, Raharjo, Sastrowardoyo W, Hamzah, Isbandiati E, Uno I, Purwaningsih S. Jakarta: Penerbit Salemba Medika; 2001. 408-10.
56.
Enkin M, Keirse MJNC, Neilson J, Crowther C, Duley L, Hodnett E, Hofmeyr J. A guide to effective care in pregnancy and childbirth. Edisi ke3. New York: Oxford University press; 2000. hlm. 341-6.
57.
Alam M, Posten W, Martini MC, Wrone DA, Rademaker AW. Aesthetic and functional efficacy of subcuticular running epidermal closures of the trunk and extremity: a rater-blinded randomized control trial. Arch Dermatol. 2006;142(10):1272-8. Gould D. Visual Analogue Scale (VAS). J of Clinical Nursing, 2001;10:706.
58. 59.
McDowell I, Newell C. Measuring Health a guide to rating scale and quetionaires. Second Edition. Oxford University Press. New York 1996. hlm 335-46. Lampiran 1 SURAT PERMOHONAN IKUT SERTA DALAM PENELITIAN
82
Kepada Yth. ..................... Di tempat Dengan Hormat, Dalam rangka penelitian di bidang Kebidanan yang bertujuan untuk menganalisis “Perbandingan Antara Hasil Teknik Penjahitan Jelujur Subkutikular dan Transkutaneus Terputus Laserasi Spontan Perineum Derajat II Persalinan oleh Bidan Pada Primipara”, bersama ini saya mohon bantuan ibu untuk bersedia ikut serta sebagai responden dalam penelitian saya. Kerahasiaan data ibu terjamin, hasil penelitian hanya digunakan untuk penyusunan tesis dan tidak akan mempengaruhi status dan jabatan responden. Demikian permohonan ini disampaikan, atas bantuan dan kerjasamanya saya sampaikan terima kasih.
Kediri, Juni 2014 Hormat saya,
Aida Ratna Wijayanti, S.Keb.Bd
Lampiran 2 SURAT PERSETUJUAN IKUT SERTA DALAM PENELITIAN
83
Setelah mendapat penjelasan, saya menyetujui dengan sukarela untuk turut berpartisipasi sebagai subjek penelitian berikut: “Perbandingan Antara Hasil Teknik Penjahitan Jelujur Subkutikular dan Transkutaneus Terputus Laserasi Spontan Perineum Derajat II Persalinan oleh Bidan Pada Primipara”, Pernyataan ini saya buat dalam kondisi sehat jasmani dan rohani, serta tanpa paksaan dari pihak manapun.
..................,............2011
(.................................)
Lampiran 3 PENUNTUN PENILAIAN NYERI PERINEUM 1.
Penilaian Nyeri Perineum Hari ke-1 Pascasalin (Tgl…………………) Bagaimana nyeri yang ibu rasakan pada daerah luka penjahitan jalan lahir!
84
Lingkari salah satu angka berikut yang menggambarkan nyeri ibu sesungguhnya hari ini.
0
1
2
Tidak nyeri
2.
3
4
Nyeri ringan
5
6
7
8
Nyeri sedang
9
10
Nyeri berat
Nyeri sangat berat
Penilaian Nyeri Perineum Hari ke-3 Pascasalin (Tgl…………………) Bagaimana nyeri yang ibu rasakan pada daerah luka penjahitan jalan lahir! a) Apakah hari ini lebih sakit dari hari sebelumnya (kemarin)? Ya
Tidak
b) Apakah hari ini lebih sakit dari hari pertama pascasalin?
Ya
Tidak
Lingkari salah satu angka berikut yang menggambarkan nyeri ibu sesungguhnya hari ini.
0
1
Tidak nyeri
2
3
4
Nyeri ringan
5
6
7
Nyeri sedang
8
9
Nyeri berat
10
Nyeri sangat berat
Penilaian Nyeri Perineum Hari ke-2 Pascasalin Lingkari salah satu angka berikut yang menggambarkan nyeri ibu sesungguhnya pada hari sebelumnya (kemarin).
0 Tidak nyeri
1
2
Nyeri ringan
3
4
5
Nyeri sedang
6
7
8
Nyeri berat
9
10
Nyeri sangat berat
85
3.
Penilaian Nyeri Perineum Hari ke-5 Pascasalin (Tgl…………………) Bagaimana nyeri yang ibu rasakan pada daerah luka penjahitan jalan lahir! a) Apakah hari ini lebih sakit dari hari sebelumnya (kemarin)? Ya
Tidak
b) Apakah hari ini lebih sakit dari hari ketiga pascasalin (saat peneliti datang)?
Ya
Tidak
Lingkari salah satu angka berikut yang menggambarkan nyeri ibu sesungguhnya hari ini.
0 Tidak nyeri
1
2
3
Nyeri ringan
4
5
6
Nyeri sedang
7
8
Nyeri berat
9
10
Nyeri sangat berat
Penilaian Nyeri Perineum Hari ke-4 Pascasalin Lingkari salah satu angka berikut yang menggambarkan nyeri ibu sesungguhnya pada hari sebelumnya (kemarin).
0 Tidak nyeri
1
2
Nyeri ringan
3
4
5
Nyeri sedang
6
7
8
Nyeri berat
9
10
Nyeri sangat berat
86
4.
Penilaian Nyeri Perineum Hari ke-7 Pascasalin (Tgl…………………) Bagaimana nyeri yang ibu rasakan pada daerah luka penjahitan jalan lahir! a) Apakah hari ini lebih sakit dari hari sebelumnya (kemarin)? Ya
Tidak
b) Apakah hari ini lebih sakit dari hari kelima pascasalin (saat peneliti datang)?
Ya
Tidak
Lingkari salah satu angka berikut yang menggambarkan nyeri ibu sesungguhnya hari ini.
0 Tidak nyeri
1
2
3
Nyeri ringan
4
5
6
Nyeri sedang
7
8
Nyeri berat
9
10
Nyeri sangat berat
Penilaian Nyeri Perineum Hari ke-6 Pascasalin Lingkari salah satu angka berikut yang menggambarkan nyeri ibu sesungguhnya pada hari sebelumnya (kemarin).
0 Tidak nyeri
1
2
Nyeri ringan
3
4
5
Nyeri sedang
6
7
8
Nyeri berat
9
10
Nyeri sangat berat
87
5.
Penilaian Nyeri Perineum Hari ke-10 Pascasalin (Tgl…………………) Bagaimana nyeri yang ibu rasakan pada daerah luka penjahitan jalan lahir! a) Apakah hari ini lebih sakit dari hari sebelumnya (kemarin)? Ya
Tidak
b) Apakah hari ini lebih sakit dari hari ketujuh pascasalin (saat peneliti datang)?
Ya
Tidak
Lingkari salah satu angka berikut yang menggambarkan nyeri ibu sesungguhnya hari ini.
0 Tidak nyeri
1
2
3
Nyeri ringan
4
5
6
Nyeri sedang
7
8
Nyeri berat
9
10
Nyeri sangat berat
Penilaian Nyeri Perineum Hari ke-9 Pascasalin Bagaimana nyeri yang ibu rasakan pada daerah luka penjahitan kemarin! a) Apakah kemarin lebih sakit dari pada hari ini?
Ya
b) Apakah kemarin lebih sakit dari pada hari sebelumnya?
Tidak Ya
Tidak
Lingkari salah satu angka berikut yang menggambarkan nyeri ibu sesungguhnya pada hari sebelumnya (kemarin).
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
88
Tidak nyeri
Nyeri ringan
Nyeri sedang
Nyeri berat
Nyeri sangat berat
Penilaian Nyeri Perineum Hari ke-8 Pascasalin Bagaimana nyeri yang ibu rasakan dua hari yang lalu (sebelum kemarin)! a) Apakah nyeri dua hari yang lalu lebih sakit dari hari ini?
Ya
Tidak
b) Apakah nyeri dua hari yang lalu lebih sakit dari hari saat peneliti datang (hari ke-7)?
Ya
Tidak
Lingkari salah satu angka berikut yang menggambarkan nyeri ibu sesungguhnya pada hari sebelum kemarin (dua hari yang lalu).
0 Tidak nyeri
1
2
Nyeri ringan
3
4
5
Nyeri sedang
6
7
8
Nyeri berat
9
Nyeri sangat berat
Lampiran 4 Prosedur Pemeriksaan Penyembuhan Luka Perineum
Persiapan Alat dan bahan : -
Tempat tidur dan selimut Lampu sorot/ penlight Bak instrument Sarung tangan DTT Kapas DTT Air DTT Paper tape
10
89
-
Tempat sampah Formulir REEDA
Langkah Pemeriksaan: 1. Cuci tangan sebelum pemeriksaan 2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan 3. Posisikan ibu berbaring miring kiri/ kanan dengan lutut ditekuk 4. Pastikan pencahayaan cukup untuk memeriksa perineum 5. Pakai sarung tangan DTT 6. Bersihkan daerah perineum dengan kapas DTT jika perlu 7. Periksa perineum dengan cermat. Periksa adanya kemerahan pada kedua sisi area luka perineum. 8. Letakkan paper tape tegak lurus pada luka. Ukur dengan paper tape jika terdapat kemerahan pada sisi luka. 9. Beri nilai sesuai dengan penuntun penilaian skala REEDA 10. Periksa adanya edema pada perineum. 11. Ukur dengan paper tape jika terdapat pembengkakan pada luka 12. Beri nilai sesuai penuntun penilaian skala REEDA jika terdapat edema. 13. Periksa adanya ekimosis pada sisi luka perineum. 14. Ukur dengan paper tape jika terdapat ekimosis pada sisi luka 15. Beri nilai sesuai penuntun penilaian skala REEDA jika terdapat ekimosis. 16. Periksa adanya pengeluaran cairan dari daerah luka 17. Beri nilai sesuai penuntun penilaian skala REEDA jika terdapat pengeluaran. 18. Periksa penyatuan luka perineum, dan beri nilai. 19. Lepaskan sarung tangan, masukkan dalam tempat sampah. 20. Rapikan ibu kembali. 21. Cuci tangan, catat dan jelaskan hasil pemeriksaan
Lampiran 5 FORMULIR PEMERIKSAAN PENYEMBUHAN LUKA PERINEUM SKALA REEDA HASIL No
Hari ke-1
Item Penyembuhan
0
(tgl………) 1 2 3
Hari ke-3 0
(tgl………) 1 2 3
Hari ke-5 0
(tgl………) 1 2 3
Hari ke-7 0
(tgl………) 1 2 3
Hari ke-10 0
(tgl………) 1 2 3
90
1
Redness (Kemerahan)
2
Edema (Pembengkakan)
3
Ecchymosis (Bercak perdarahan)
4
Discharge (Pengeluaran)
5
Approximation (Penyatuan luka) Jumlah Jumlah Nilai:
0 = penyembuhan luka baik 1-5 = penyembuhan luka kurang baik >5= penyembuhan luka buruk
Penuntun Penilaian REEDA Nilai
Redness (Kemerahan)
Edema (Pembengkakan)
Ecchymosis (Bercak perdarahan)
Discharge (Pengeluaran)
Approximation (Penyatuan luka) Tertutup Jarak kulit 3mm atau kurang
0 1
Tidak ada Kurang dari 0,25cm pada kedua sisi laserasi
Tidak ada Pada perineum, <1cm dari laserasi
Tidak ada Kurang dari 0,25cm pada kedua sisi atau 0,5cm pada satu sisi
Tidak ada Serum
2
Kurang dari 0,5cm pada kedua sisi laserasi
Pada perineum dan atau vulva, antara 12cm dari laserasi
0,25-1cm pada kedua sisi atau 0,5-2cm pada satu sisi
Serosanguinus
Terdapat jarak antara kulit dan lemak subkutan
3
Lebih dari 0,5cm pada kedua sisi laserasi
Pada perineum dan atau vulva, >2cm dari laserasi
>1cm pada kedua sisi atau 2 cm pada satu sisi
Berdarah, purulent
Terdapat jarak antara kulit, lemak subkutan dan fasia
Lampiran 6 FORMULIR HASIL PENILAIAN NYERI PERINEUM PADA PRIMIPARA IDENTITAS Nama Ibu
:
Nama Suami :
Umur
:
Umur
Pendidikan
:
Alamat Lengkap
:
:
91
Telp/ Hp
:
Tgl lahir/ Jam Lahir
:
Berat Badan/ JK
:
Teknik Penjahitan
: Subkutikular/ Transkutaneus terputus satu-satu
Rencana menetap di Bandung/ di tempat tinggal sekarang 10 hari nifas Tidak mempunyai riwayat penyakit infeksi (ex. infeksi panggul/ kelamin) Bersedia untuk kunjungan ke tempat pelayanan/ kunjungan rumah Lidokain 1%
Catgut kromik 2-0
konseling perawatan perineum
Diberikan parasetamol 500 mg 10 tablet
Rekapitulasi Hasil Penilaian Nyeri Perineum Pascasalin Kunjungan
Hari ke-
Tgl / Waktu
Nilai Nyeri
Nilai Penyembuhan Luka Perineum
Redness (kemerahan)
Ke-1
1 2
Ke-2
3 4
Ke-3
5 6
Ke-4
7 8 9
Ke-5
10
Edema (Pembengk akan)
Ecchymosis (Bercak perdarahan)
Discharge (Pengeluaran)
Approximation (Penyatuan luka)
Total
92 Lampiran 7 MASTER TABEL KELOMPOK TEKNIK PENJAHITAN JELUJUR SUBKUTIKULAR
NO 1
Usia
Peddkn
BB Bayi Lahir (gr)
Nilai Nyeri Perineum Pascasalin Hari Ke1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1 R
E
E
Nilai Penyembuhan Luka Perineum Hari Ke5
3 D
A
Ʃ
R
E
E
D
A
Ʃ
R
E
E
D
A
Ʃ
R
E
7 E
10 D
A
Ʃ
R
E
E
D
A
Ʃ
93 Lampiran 8 MASTER TABEL KELOMPOK TEKNIK PENJAHITAN TRANSKUTANEUS TERPUTUS
NO 1
Usia
Peddkn
BB Bayi Lahir (gr)
Nilai Nyeri Perineum Pascasalin Hari Ke1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1 R
E
E
Nilai Penyembuhan Luka Perineum Hari Ke5
3 D
A
Ʃ
R
E
E
D
A
Ʃ
R
E
E
D
A
Ʃ
R
E
7 E
10 D
A
Ʃ
R
E
E
D
A
Ʃ