KEMITRAAN KOMODITAS SAYURAN ORGANIK DALAM UPAYA PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DI DESA KAREHKEL, KECAMATAN LEUWILIANG, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT
Oleh: Abdul Djamiun Nurzain I34051284
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
i
KEMITRAAN KOMODITAS SAYURAN ORGANIK DALAM UPAYA PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DI DESA KAREHKEL, KECAMATAN LEUWILIANG, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT
Oleh: ABDUL DJAMIUN NURZAIN I34051284
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ii
ABSTRACT ABDUL DJAMIUN NURZAIN. Organik Vegetable Partnership to Develop Agropolitan Area in Karehkel, Leuwiliang, Bogor, West Java, adviced by SAHARUDDIN Agropolitan concept is seen as a concept that can solve problems of ruralurban imbalance. This study describes some steps taken by the Government of Bogor District in developing agropolitan region. In addition, researchers also conducted identification and analysis of the forms of partnership in the organic vegetable commodity that occurred in Regions Agropolitan Bogor Regency. Partnership process until the problems in the partnership are identified and analyzed revitalization efforts taken by each stakeholders. This study uses a qualitative method approach. Policy to develop agropolitan area taken by the Government of Bogor District are increased productivity agriculture commodities, trade and marketing systems development that can increase people's income in agropolitan region, the development of agricultural product processing industry, basic infrastructure and agricultural infrastructure development, and institutional management systems development at agropolitan area. The partnership pattern in Karehkel involves Sugih Tani Farmer Group and International Cooperation and Development Fund (ICDF) in the cultivation and production of organic vegetables. Partnership which is run by both parties can be categorized in a partnership involving the nucleus-plasma. Sugih Tani Farmers Group as a group of partner and ICDF as corporate partner. Some aspects of the main points in the nucleus-plasma partnerships between farmer groups with the ICDF is product pricing, product marketing, transfer of knowledge and transfer of technology. Keyword: Bogor Agropolitan Region, Partnership, ICDF, Kelompok Tani Sugih Tani, Partnership Pattern, Organik.Vegetable Commodities,
iii
RINGKASAN ABDUL DJAMIUN NURZAIN. Kemitraan Komoditas Sayuran Organik dalam Upaya Pengembangan Kawasan Agropolitan di Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (di bawah bimbingan SAHARUDDIN) Konsep agropolitan dipandang sebagai konsep yang menjanjikan teratasinya permasalahan ketidakseimbangan perdesaan-perkotaan selama ini. Agropolitan adalah: (1) suatu model pembangunan yang mengandalkan desentralisasi dan pembangunan infrastruktur setara kota di wilayah perdesaan, (2) menanggulangi dampak negatif pembangunan, seperti migrasi desa kota yang tak terkendali, polusi, kemacetan lalu lintas, pengkumuhan kota, kehancuran massif sumberdaya alam, pemiskinan desa, dan lain sebagainya. Guna mewujudkan hal tersebut, penguatan kelembagaan lokal serta berlangsungnya sistem kemitraan menjadi persyaratan utama yang harus ditempuh dalam pengembangan kawasan agropolitan. Kemitraan dapat mencegah eksploitasi pelaku usahatani di tingkat perdesaan oleh pelaku usaha lain di satu pihak, dan memungkinkan terjadinya nilai tambah. Hal ini akan meningkatkan pendapatan sehingga memungkinkan kawasan perdesaan melakukan investasi, baik berupa pendidikan, kesehatan maupun penciptaan lapangan usaha baru. Namun, kemitraan yang awalnya diharapkan dapat mengatasi permasalahan dalam pemenuhan
kebutuhan
masing-masing
stakeholders,
justru
kerap
kali
menimbulkan permasalahan di dalamnya yang disebabkan oleh benturan-benturan kepentingan antar stakeholders. Oleh karena itu, kemitraan (serta permasalahan di dalamnya) pada kawasan agropolitan ini menjadi menarik untuk dikaji, guna mengetahui sejauh mana kemitraan dapat mengembangkan kawasan agropolitan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Penelitian ini menjelaskan beberapa langkah yang ditempuh oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dalam mengembangkan kawasan agropolitan. Selain itu peneliti juga melakukan indentifikasi serta analisis terhadap bentuk kemitraan dalam komoditas sayuran organik yang terjadi dalam Kawasan Agropolitan Kabupaten Bogor. Proses hingga permasalahan yang muncul dalam kemitraan diidentifikasi serta dianalisa upaya revitalisasi yang dilakukan bersama oleh stakeholdesr dalam kemitraan. Studi ini menggunakan pendekatan dengan
iv
metode kualitatif. Metode kualitatif yang dilakukan peneliti didukung pula dengan teknik pengamatan berperan serta, namun bersifat terbatas.
Peneliti tidak
merahasiakan identitasnya kepada masyarakat di sekitar kawasan agropolitan, sehingga peneliti akan berusaha menjalin hubungan yang baik dengan pihak yang diteliti dan turut serta dalam kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh subyek penelitian. Data primer dikumpulkan oleh peneliti dengan menggunakan metode snowballing hingga sampai pada titik jenuh dari data. Data Sekunder diperoleh dengan cara mengumpulkan data dan informasi awal yang terdapat pada kantor desa, kantor kecamatan, buku, laporan-laporan ilmiah, jurnal ilmiah ataupun sumber kepustakaan lainnya. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi metodologi (kombinasi beberapa metode pengumpulan data), yaitu antara lain : wawancara mendalam (indeph interview), observasi langsung dan studi kepustakaan (penelusuran dokumen atau literatur). Kebijakan pengembangan kawasan agropolitan yang diambil oleh Pemerintah Kabupaten Bogor yaitu peningkatan produktifitas budidaya pertanian komoditas unggulan, pengembangan sistem tata niaga dan pemasaran yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat kawasan agropolitan, pengembangan usaha produk industri olahan pertanian, pengembangan infrastruktur dasar dan infrastruktur pertanian, pengembangan sistem kelembagaan pengelola kawasan agropolitan. Upaya yang dilakukan oleh pemerintahtersebut
apabila ditinjau
secara luas, belum dapat memberikan multiplier effect bagi masyarakat yang mata pencahariannya pada sektor pertanian. Hal ini disebabkan oleh buruknya sistem perdagangan yang melibatkan masyarakat, sistem tidak berpihak pada produsen (petani) dan masyarakat lokal. Keuntungan dari hasil perdagangan yang terbesar lebih dinikmati oleh para pedagang pengumpul dan pedagang di pasar. Penyebab lain yaitu keterbatasan berbagai infrastruktur dasar dan penunjang guna mendukung kegiatan industri secara efisien, seperti jaringan transportasi dan informasi. Keterbatasan sumberdaya manusia yang kompeten, rendahnya tingkat pendidikan penduduk di kawasan agropolitan dan terbatasnya sumberdaya manusia siap dilatih atau terlatih, menjadi penyebab hilangnya potensi pengembangan wilayah.
v
Selain permasalahan tersebut, upaya yang dilakukan oleh Pemkab Bogor telah mampu meningkatkan akses jalan dan jembatan, meskipun tidak dapat dipungkiri apabila pembangunan jalan tidak merata pada seluruh kawasan. Pemerintah juga telah mampu memperluas jaringan pemasaran produk hasil budidaya komoditas unggulan melalui pengembangan sistem kemitraan. Kemitraan dijalankan guna meningkatkan kesejahteraan petani. Pola kemitraan pada Desa Karehkel melibatkan Kelompok Tani Sugih Tani dengan International Cooperation and Development Fund (ICDF) dalam budidaya dan produksi komoditas sayuran organik. Kemitraan yang dijalankan oleh kedua belah pihak dapat dikategorikan pada pola kemitraan inti plasma yang melibatkan Kelompok Tani Sugih Tani sebagai kelompok mitra dan ICDF sebagai perusahaan mitra dengan tujuan pemasaran supermarket atau swalayan. Beberapa aspek yang menjadi poin utama dalam kemitraan inti plasma antara kelompok tani dengan ICDF yaitu penentuan harga produk, pemasaran produk, transfer of knowledge dan transfer of technology. Beberapa permasalahan yang terjadi dalam proses kemitraan diantaranya yaitu, (1) posisi tawar petani yang rendah menyebabkan harga produk sayuran menjadi relatif rendah. Jumlah yang didapat petani dari hasil penjualan sejauh ini hanya akan mengembalikan modal awal petani untuk membudidayakan sayuran organik.; (2) Minimnya keuntungan yang didapat petani berimplikasi pada kecilnya modal yang dimiliki petani, sehingga petani tidak dapat melakukan pengembangan usaha dengan menambah kuantitas serta luasan lahan produksi; (3) Permasalahan iklim dan cuaca menjadi permasalahan yang menimpa kedua stakeholder; (4) ICDF mengalami kendala dalam kualitas sayuran organik. Petani seringkali tidak menjaga kualitas sayuran sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh ICDF; (5) Minimnya keterlibatan pemerintah dalam pengembangan usaha masyarakat.
vi
LEMBAR PENGESAHAN DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama
: Abdul Djamiun Nurzain
NRP
: I34051284
Departemen
: Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul Skripsi
: Kemitraan Komoditas Sayuran Organik dalam Upaya Pengembangan Kawasan Agropolitan di Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Saharuddin, MSi 1959 0506 1987031 001 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. 19580827 198303 1001 Tanggal Lulus:_______________________
vii
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ” KEMITRAAN KOMODITAS SAYURAN ORGANIK DALAM UPAYA PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DI DESA KAREHKEL, KECAMATAN LEUWILIANG, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Januari 2011
Abdul Djamiun Nurzain I34051284
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 02 Agustus 1987, sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Zainuddin Djafar dan Ibu Sofia Nursyamsuddin. Pada tahun 1999 penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN 01 Pagi Kelapa Dua Wetan, Jakarta Timur. Kemudian pada tahun 2002 penulis juga menamatkan pendidikannya di SLTP Negeri 1 Palembang, Sumatera Selatan. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Plus Negeri 17 Palembang Sumatera Selatan dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Selama menempuh kegiatan akademik, penulis pernah aktif sebagai staf Divisi Multimedia dan Advertising pada Himpunan Profesi Mahasiswa, HIMASIERA pada tahun 2007. Penulis juga aktif menjadi panitia berbagai kegiatan kemahasiswaan pada lingkup fakultas dan IPB.
ix
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Judul yang diambil dalam skripsi ini yaitu “Kemitraan Komoditas Sayuran Organik dalam Upaya Pengembangan Kawasan Agropolitan di Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat”. Kemitraan lahir diantara petani dan perusahaan dalam berbagai bentuk sistem, pola, ketentuan, dan aturan main. Dalam berjalannya kemitraan seharusnya dapat memberikan sesuatu yang bermakna dan berharga bagi petani dibanding sekedar hanya economic oriented. Kemitraan idealnya dapat mendorong petani mitra agar dapat memiliki pengalaman, pemahaman dan ketrampilan yang baru, selain dari pemenuhan subsistensinya. Kemitraan yang di dalamnya terdapat upaya pembinaan dan fasilitasi dalam penguatan kapasitas petani, akan dapat memberikan daya kepada petani untuk menjadi mandiri dan berpikir lebih maju. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Saharuddin, MSi selaku pembimbing skripsi. Ungkapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman seperjuangan di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 42, atas semua semangat dan senyum yang kalian hadirkan. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2011
Abdul Djamiun Nurzain I34051284
x
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kesabaran, dan pengetahuan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul ”Kemitraan Komoditas Sayuran Organik dalam Upaya Pengembangan Kawasan Agropolitan di Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat”. Dengan segala ketulusan hati penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini terutama pada: 1. Bapak Dr. Ir. Saharuddin, MSi selaku dosen pembimbing yang telah dengan penuh kesabaran dan pengertiannya yang luar biasa dalam memberikan bimbingannya kepada penulis, sejak awal penulisan proposal penelitian hingga akhir proses skripsi ini. 2. Bapak Ivanovich Agusta, SP. Msi selaku Dosen Penguji Utama atas saran dan kritik dalam penulisan skripsi ini sehingga menjadi lebih baik. 3. Bapak Ir. Hadiyanto, MS selaku Dosen Uji Petik dan Penguji Akademik Wakil
Departemen
KPM
atas
nasihat
dan
masukannya
dalam
penyempurnaan skripsi ini. 4. Pihak Instansi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Bogor, terutama Bapak M. Zairin selaku Ketua BAPPEDA yang sangat membantu dalam penelitian ini. Saya ucapkan banyak terimakasih atas segala kemudahan dan perhatian yang diberikan selama proses penelusuran data. 5. Keluarga tercinta: Ir. Zainuddin Djafar, Sofia Nursyamsuddin, Nurillah Nurzain, Muhammad Idris Nurzain, Zahratul Hayati Nurzain, dan Alfiansyah Muhammad, atas segala do’a, dorongan, semangat selama penyelesaian skripsi ini. 6. Teman-temanku tercinta: Sinta Rahmi Putri, Wahyu Suprapto, Hasanul Fajri Nuras, Tjut Ahmad Perdana, Eva Puspitasari, Heri Kusaeri. Terima kasih atas canda tawa dan rasa persahabatan yang telah kalian berikan
xi
selama ini. Kalian merupakan sahabat yang selalu setia menemani dalam penulisan skripsi ini. 7. Nur Ahmad Azizul Furqon dan Trisna Damayanti, yang telah memberikan banyak pengetahuan serta meluangkan waktunya untuk berdiskusi dalam memahami penelitian ini. 8. Warga Kecamatan Leuwiliang dan Desa Karehkel atas semua informasi dan keramahan serta kerjasamanya selama berlangsungnya penelitian. 9. Serta berbagai pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, terima kasih pada kalian atas sumbangsih ide, tenaga dan doa yang sangat bermanfaat bagi saya hingga berakhirnya penulisan skripsi ini. Bogor, Januari 2011
Abdul Djamiun Nurzain I34051284
xii
DAFTAR ISI Halaman PERNYATAAN.................................................................................................... vii RIWAYAT HIDUP.............................................................................................. viii KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................... x DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv 1.1
Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2
Perumusan Masalah .................................................................................. 5
1.3
Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6
1.4
Kegunaan Penelitian ................................................................................. 6
2.1
Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 8
2.1.1
Konsep Kawasan Agropolitan ........................................................... 8
2.1.2
Karakteristik Kawasan Agropolitan ................................................... 9
2.1.3
Definisi Usaha Tani Organik ........................................................... 11
2.1.4
Kemitraan dalam Kawasan Agropolitan ......................................... 12
2.1.5
Revitalisasi Kemitraan: Upaya Meminimalisir Dampak dari Permasalahan ................................................................................... 18
2.2
Kerangka Pemikiran ............................................................................... 20
2.3
Hipotesa Penelitian ................................................................................. 22
2.4
Definisi Konseptual ................................................................................ 23
3.1
Metode Penelitian ................................................................................... 25
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 26
xiii
3.3
Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 26
3.4
Teknik Analisis Data .............................................................................. 28
4.1
Gambaran Umum Kawasan Agropolitan Kabupaten Bogor .................. 29
4.1.1
Penetapan Zonasi Kawasan Agropolitan ......................................... 29
4.1.2
Kondisi Lahan Kawasan Agropolitan .............................................. 32
4.1.3
Jumlah dan Sebaran Penduduk ........................................................ 34
4.1.4
Tingkat Pendidikan Penduduk ......................................................... 35
4.1.5
Struktur Mata Pencaharian Penduduk .............................................. 36
4.1.6
Pola Pemusatan Ekonomi Penduduk................................................ 38
4.2
Gambaran Umum Desa Karehkel........................................................... 38
5.1
Kebijakan Pembangunan Wilayah Kabupaten Bogor ............................ 41
5.2
Realisasi Program Pengembangan Kawasan Agropolitan ...................... 46
5.3
Analisis Pengembangan Kawasan Agropolitan Kabupaten Bogor......... 52
6.1
Profil Kelompok Tani Sugih Tani .......................................................... 59
6.2
Profil International Cooperation and Development Fund (ICDF) ......... 61
6.3
Proses Awal Kemitraan Sayuran Organik .............................................. 64
6.4
Proses Budidaya Sayuran Organik ......................................................... 67
6.5
Proses penentuan harga produk sayuran organik .................................... 71
6.6
Saluran Pemasaran Produk Sayuran Organik ......................................... 72
6.7
Analisis Kemitraan Sayuran Organik ..................................................... 75
7.1
Kesimpulan ............................................................................................. 86
7.2
Saran ....................................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 90 LAMPIRAN ........................................................... Error! Bookmark not defined.
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Pembagian kawasan agropolitan per zonasi................................................. 31
2.
Luas jenis penggunaan lahan di kawasan agropolitan ................................. 32
3
Persentase Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan tiap kecamatan di kawasan agropolitan tahun 2004 ............................................................. 35
4.
Data mata pencaharian penduduk Desa Karehkel........................................ 39
5.
Data tingkat pendidikan penduduk Desa Karehkel ...................................... 39
6.
Kondisi jalan di kawasan agropolitan zona I ............................................... 48
7.
Kekuatan dan kelemahan masing-masing stakeholders............................... 65
8.
Tahapan Produksi Sayuran Organik oleh Kelompok Tani Sugih Tani ........ 69
9.
Peran masing-masing stakeholders dalam kemitraan sayuran organik ....... 79
10. Rincian biaya produksi petani ....................................................................... 79 11. Pendapatan petani setelah panen sayuran organik ....................................... 80
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Pola Kemitraan Inti-Plasma ......................................................................... 14
2.
Pola Kemitraan Subkontrak ......................................................................... 15
3.
Pola Kemitraan Dagang Umum ................................................................... 15
4.
Pola Kemitraan Keagenan ............................................................................ 16
5.
Pola Kemitraan Kerjasama Operasional Khusus (KOA) ............................. 17
6.
Pola Kemitraan (Penyertaan) Saham ........................................................... 17
7.
Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 22
8.
Ruang Lingkup Kawasan Agropolitan ......................................................... 42
9.
Struktur Organisasi Kelompok Tani Sugih Tani.......................................... 60
10.
Mitra ICDF dalam kemitraan inti-plasma .................................................... 62
11.
Skema harga sayuran pada lembaga pemasaran .......................................... 72
12.
Tahap penyortiran sayuran oleh ICDF ......................................................... 73
13.
Skema kuantitas sayuran pada lembaga pemasaran ..................................... 74
14.
Skema Distribusi Sayuran Organik Desa Karehkel ..................................... 75
15.
Skema Kemitraan ICDF-Kelompok Tani Sugih Tani.................................. 76
1
1. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pembangunan
nasional
cenderung
memfavoritkan
pembangunan
perkotaan sebagai satu-satunya mesin pertumbuhan (engine of development)1, akan tetapi Rustiadi (2004) berpandangan bahwa proses pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini ternyata telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah tidak berimbang. Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan keseluruhan proses pembangunan. Oleh karena itu, pengembangan perdesaan menjadi penting untuk dilakukan. Salah satu ide pendekatan pengembangan perdesaan yang dikemukakan ialah mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang berdasarkan pada potensi wilayah desa itu sendiri, di mana ketergantungan dengan perekonomian kota harus bisa diminimalkan. Berkaitan dengan inilah Friedmann dan Douglas dalam Nugroho (2008) menyarankan suatu bentuk pendekatan agropolitan sebagai aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan. Konsep pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antar kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan pertanian yang tertinggal.
Wilayah perdesaan dengan kegiatan utama sektor primer,
khususnya pertanian mengalami produktivitas yang nilai tukarnya terus menurun.
2
Di sisi lain, wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan pusat pertumbuhan menerima beban berlebih sehingga menimbulkan ketidaknyamanan akibat permasalahan sosial dan lingkungan. Dari berbagai alternatif model pembangunan, konsep agropolitan dipandang
sebagai
konsep
yang
menjanjikan
ketidakseimbangan perdesaan-perkotaan selama ini.
teratasinya
permasalahan
Agropolitan adalah: (1)
suatu model pembangunan yang mengandalkan desentralisasi dan pembangunan infrastruktur setara kota di wilayah perdesaan, (2) menanggulangi dampak negatif pembangunan, seperti migrasi desa kota yang tak terkendali, polusi, kemacetan lalu lintas, pengkumuhan kota, kehancuran massif sumberdaya alam, pemiskinan desa, dan lain sebagainya. Guna mewujudkan hal tersebut, penguatan kelembagaan lokal serta berlangsungnya sistem kemitraan menjadi persyaratan utama yang harus ditempuh dalam pengembangan kawasan agropolitan. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu sistem kemitraan yang melibatkan petani perdesaan, pelaku usaha bermodal dan pemerintah. Kemitraan akan menjamin terhindarnya eksploitasi pelaku usahatani di tingkat perdesaan oleh pelaku usaha lain di satu pihak, dan memungkinkan terjadinya nilai tambah yang bisa dinikmati pelaku usahatani.
Hal ini akan
menjamin peningkatan pendapatan sehingga memungkinkan kawasan perdesaan melakukan investasi, baik berupa pendidikan, kesehatan maupun penciptaan
1
Dikutip dari http://www.scribd.com/doc/19134579 [diakses tanggal 22 mei 2009 08:53]
3
lapangan usaha baru2. Terdapat berbagai bentuk kemitraan yang pada umumnya telah dijalankan dalam kawasan agropolitan, diantaranya yaitu: (1) kemitraan antara masyarakat; pemerintah maupun pihak swasta dalam mengupayakan pelaksanaan sistem pertanian organik.
Kemitraan diharapkan dapat menekan
biaya produksi serta memperbaiki struktur tanah; (2) kemitraan dalam bidang pengairan; penggunaan pompa vakum sehingga lahan pertanian dapat diolah dua atau tiga kali dalam setahun; (3) pihak yang bermitra pada umumnya bertindak penyedia dan pendistribusi benih berlabel, pemasaran produk, membeli gabah dari petani dengan harga yang lebih tinggi dari pasaran, memberi peluang kerjasama dalam hal pemasaran benih yang diproduksi petani, serta menyiapkan kios atau Koptan untuk pemasaran hasil produksi petani. Kemitraan dijalankan dalam aturan main yang disepakati bersama dengan berlandaskan pada berbagai prinsip dasar kemitraan.
Prinsip kemitraan yang
ditumbuhkan dalam pengembangan kawasan agropolitan diharapkan menjadi “ideologi bersama” yang memberikan solusi pengaturan usaha pertanian masyarakat yang lebih baik.
Kemitraan menawarkan kebersamaan berbasis
perbedaan, dimana pertukaran yang adil (just and humane exchange) menjadi instrumen perekat dari keseluruhan sistem sosial (Coleman dan Willer 1998
2
Kawasan Agropolitan: Konsep Pembangunan Desa-Kota Berimbang. 2006. LPPM IPB. Bogor: Crespent Press Kampus IPB Baranangsiang.
4
dalam Darmawan 2006)3. Melalui kemitraan, akumulasi stok modal sosial bisa ditingkatkan sehingga disintegrasi sosial dapat ditekan. Secara faktual, kemitraan yang awalnya diharapkan dapat mengatasi permasalahan dalam pemenuhan kebutuhan masing-masing stakeholders, justru kerap kali menimbulkan permasalahan lain di luar itu. Hal ini disebabkan oleh benturan-benturan kepentingan yang terjadi di antara stakeholders sebagai akibat perbedaan status, nilai, maupun kekuasaan. Dalam konsep agropolitan, selain erat kaitannya dengan kemitraan juga terdapat pertanian yang menjadi pemersatu kedua konsep tersebut. Pertanian adalah hal yang substansial dalam pembangunan perekonomian, yang berperan dalam pemenuhan kebutuhan pangan, penyedia bahan mentah industri, penyedia lapangan kerja serta penyumbang devisa bagi negara. Namun sistem pertanian yang dikembangkan saat ini disinyalir dapat membahayakan lingkungan pada jangka panjang. Hal ini disebabkan oleh berbagai bahan kimia yang digunakan dalam pertanian. Penggunaan bahan kimia secara berlebihan dapat merusak keseimbangan ekosistem dan menciptakan ketergantungan serta meningkatnya imunitas hama penganggu tanaman. Sebagai alternatif dari hal tersebut dan kemudian dikembangkan adalah sistem pertanian organik yang dewasa ini mengalami kenaikan dalam jumlah permintaannya di pasaran.
3
Dikutip dari laporan penelitian ”Pembaruan Tata Pemerintahan Desa: Transformasi Struktur dan Agensi Kelembagaan Pemerintahan Desa Berbasiskan Kemitraan” oleh Dr. Arya Hadi Darmawan, yang diterbitkan bersama antara PSP3-IPB dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, 2006.
5
Melihat peluang serta keunggulan yang diberikan melalui sistem pertanian ini Kelompok Tani Sugih Tani di Desa Karehkel Kecamatan Leuwiliang juga turut mengembangkan pertanian sayuran organik. Sistem pertanian ini tentu saja tidak dapat dilakukan oleh masyarakat dengan sendirinya. Mereka mendapat bantuan teknis dari International Cooperation and Development Fund (ICDF) dari Taiwan yang juga merupakan salah satu program agropolitan yang diselenggarakan oleh pemerintah Kabupaten Bogor. Dalam pengembangannya ketiga stakeholders memiliki peran dan kepentingannya masing-masing. Bagaimana dinamika dan proses kemitraan yang terjalin antara ketiga stakeholders adalah pokok kajian yang menjadi sorotan utama oleh peneliti, terlebih lagi hal ini juga terhimpun dalam satu program agropolitan. Oleh karena itu, kemitraan (serta permasalahan di dalamnya) pada kawasan agropolitan ini menjadi menarik untuk dikaji, guna mengetahui sejauh mana kemitraan dapat mengembangkan
kawasan
agropolitan
serta
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat perdesaan khususnya dalam sistem pertanian organik di kawasan Karehkel. 1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, terdapat beberapa
pertanyaan yang akan dijawab pada penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana langkah Pemerintah Kabupaten Bogor dalam mengembangkan kawasan agropolitan?
6
2. Bagaimana bentuk kemitraan pada sayuran organik yang terjadi dalam Kawasan Agropolitan Kabupaten Bogor? 3. Bagaimana upaya revitalisasi serta strategi pengembangan kemitraan sayuran organik dalam Kawasan Agropolitan Kabupaten Bogor? 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi dan menganalisis langkah pemerintah Kabupaten Bogor dalam mengembangkan kawasan agropolitan. 2. Mengidentifikasi bentuk kemitraan pada sayuran organik yang terjadi dalam Kawasan Agropolitan Kabupaten Bogor. 3. Mengidentifikasi dan menganalisis upaya revitalisasi serta strategi pengembangan kemitraan sayuran organik dalam Kawasan Agropolitan Kabupaten Bogor.
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para pembaca
maupun peminat topik pertanian, terutama dalam hal pengembangan kawasan agropolitan. 1. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi, dan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi penulisan ilmiah terkait lainnya. 2. Bagi peneliti, penelitian ini sangat diharapkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman dan pengalaman dalam menulis dan menelaah
7
tentang pola-pola kemitraan serta permasalahan yang terjadi pada sektor pertanian. 3. Bagi masyarakat yang berada di kawasan agropolitan, diharapkan dapat belajar dari kemitraan maupun menemukan solusi permasalahan (dalam kemitraan) yang terjadi di lingkungan mereka, guna peningkatan taraf hidup menuju arah yang lebih baik dan berkeadilan. 4. Bagi pemerintah, diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk mengantisipasi munculnya permasalahan dalam pengorganisasian kawasan agropolitan pada masa yang akan datang, maupun dalam perumusan rintisan kawasan agropolitan pada wilayah lain di Indonesia.
8
2. PENDEKATAN TEORITIS 2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1
Konsep Kawasan Agropolitan Kondisi pertanian di Indonesia pada umumnya belum merupakan suatu
kegiatan yang integratif antara budidaya, penanganan pasca panen, pengolahan sampai pemasaran. Selain karena kurangnya perhatian dari pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan pertanian, terdapatnya sistem yang terpisah antara perdesaan dengan kota. Seperti yang diketahui bahwa semua aktivitas ekonomi, informasi dan teknologi banyak yang terpusat di perkotaan, termasuk agroindustri dan agrokimia. Sehingga masyarakat perdesaan mengalami kesulitan dalam hal pemasaran dan pengolahan produk. Oleh karena itu, diperlukan suatu keterkaitan fungsional yang menyatu antara hubungan perdesaan dan kota dalam segala aspek khususnya pertanian4. Konsep kawasan agropolitan sebetulnya merupakan konsep yang ditawarkan oleh Friedman dan Douglas dalam Nugroho (2008) atas pengalaman kegagalan pengembangan sektor industri di beberapa negara berkembang (di Asia) yang mengakibatkan terjadinya berbagai kecenderungan, antara lain (a) terjadinya hyperurbanization, sebagai akibat terpusatnya penduduk di kota-kota yang padat; (b) pembangunan “modern” hanya terjadi di beberapa kota saja, sementara daerah pinggiran relatif tertinggal; (c) tingkat pengangguran dan
4
Dikutip dari Rustiadi, E. 2004. Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Pembangunan Berimbang. Bogor: Crespent Press Kampus IPB Baranangsiang.
9
setengah pengangguran yang relatif tinggi; (d) pembagian pendapatan yang tidak merata
(kemiskinan);
(e)
kekurangan
bahan
pangan,
akibat
perhatian
pembangunan terlalu tercurah pada percepatan pertumbuhan sektor industri (rapid industrialization); (f) penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat desa (petani) dan (g) terjadinya ketergantungan pada dunia luar. Upaya pengembangan agropolitan dilakukan melalui pengembangan agribisnis. Pengembangan agribisnis tidak hanya terbatas pada pengembangan pertanian primer atau subsistem on farm agribusiness, tetapi juga mencakup subsistem agribisnis hulu (up stream agribusiness). Dengan dibentuknya kawasan agropolitan, sektor agribisnis diharapkan dapat berkembang dalam kesatuan yang integratif dari hulu sampai hilir dengan didukung oleh peran serta pihak swasta, pemerintah dan masyarakat. Rustiadi (2004) mengemukakan bahwa gambaran konseptual dari struktur pengembangan kawasan agropolitan mencakup: 1. Pusat-pusat kegiatan utama 2. Sebaran kegiatan-kegiatan permukiman dan pertanian 3. Keterkaitan pusat-pusat kegiatan produksi 4. Orientasi pusat-pusat permukiman (hilir dan hulu) 5. Orientasi hubungan keluar dari wilayah (pemasaran) 2.1.2
Karakteristik Kawasan Agropolitan Kawasan agropolitan merupakan daerah yang memiliki ciri-ciri khusus
yang dapat mempengaruhi kondisi perekonomian lokal, ciri tersebut diantaranya yaitu:
10
1. Mempunyai skala ekonomi yang besar, sehingga produktif dan potensial untuk dikembangkan. 2. Memiliki dampak spasial yang besar dalam mendorong pengembangan wilayah yang berbasis pertanian sebagai sumber bahan baku. 3. Memiliki produk-produk unggulan yang mempunyai pasar jelas dan prospektif. Serta mempunyai skala ekonomi yang memungkinkan untuk dikembangkan dengan orientasi ekspor. 4. Memenuhi prinsip-prinsip efisiensi ekonomi untuk menghasilkan output yang maksimal. 5. Melimpahnya sumber daya alam di lingkungan sekitar kawasan5 Selain beberapa poin di atas, kawasan agropolitan juga ditetapkan menjadi wilayah yang berfungsi sebagai6: (1) pusat perdagangan dan transportasi pertanian (agricultural trade and transport center), (2) penyedia jasa pendukung pertanian (agricultural support services), (3) pasar konsumen produk non-pertanian (non agricultural consumers market), (4) pusat industri pertanian (agro-based industry), (5) penyedia pekerjaan non pertanian (non-agricultural employment), (6) pusat agropolitan dan hinterlandnya terkait dengan sistem permukiman nasional, propinsi, dan kabupaten (RTRW Propinsi atau Kabupaten), (7) pusat produksi pertanian (agricultural production), (8) pusat pendapatan perdesaan dan
5
6
Sumber:http://ciptakarya.pu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=27&Itemid = 38 [diakses tanggal 15 mei 2009 11:19] Dikutip dari artikel Pengembangan Kawasan Agropolitan dalam Rangka Pengembangan Wilayah. Oleh : Dr. Ir. Soenarno, Dipl. HE
11
permintaan untuk barang-barang dan jasa non pertanian (rural income and demand for non-agricultural goods and services), dan (9) produksi tanaman siap jual dan diversifikasi pertanian (cash crop production and agricultural diversification). 2.1.3
Definisi Usahatani Organik Pertanian organik adalah pertanian yang ramah lingkungan untuk
menghasilkan produk-produk dengan kualitas yang baik dan jumlah yang cukup (Sutanto, 2006). Definisi lain pertanian organik adalah suatu sistem pertanian yang mendorong kesehatan tanah dan tanaman melalui praktek pendaur-ulangan unsur hara dari bahan-bahan organik seperti kompos dan sampah tanaman, rotasi tanaman, pengolahan yang tepat, dan menghindari pupuk sintesis serta pestisida (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2002). Secara ringkas dapat diartikan bahwa pertanian organik yaitu sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktiitas agroekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan. Istilah pertanian organik menghimpun seluruh imajinasi petani dan konsumen yang secara serius dan bertanggung jawab menghindarkan bahan kimia dan pupuk yang bersifat meracuni lingkungan. Berikut adalah lima prinsip pertanian organik (Elsener, 1999). 1. Semua unsur di alam berbeda 2. Semua unsur di alam berguna 3. Semua unsur di alam saling berkaitan
12
4. Semua unsur di alam memliki keseimbangan 5. Semua unsur di alam membentuk suatu kekuatan 2.1.4
Kemitraan dalam Kawasan Agropolitan Suatu upaya menunjang keberhasilan pencapaian sasaran dan tujuan
pengembangan kawasan agropolitan, maka dirumuskanlah suatu pola kemitraan. Harjono dalam Fadloli (2005) mendefinisikan kemitraan sebagai “Persetujuan antara dua pihak yang mempunyai kebutuhan saling mengisi dan bekerjasama bagi kepentingan kedua belah pihak atas saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Kemitraan diciptakan karena pihak pertama memerlukan sumber-sumber yang dimiliki pihak lain meliputi modal, tanah, tenaga kerja, akses terhadap teknologi baru, kapasitas pengolahan dan sarana untuk pemasaran hasil produksi.” Kemitraan diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang terjadi dalam pengembangan kawasan agropolitan. Dalam suatu pola kemitraan terdapat para pelaku yang harus menyadari adanya keterbatasan pada dirinya masing-masing, dapat berupa keterbatasan di bidang sumberdaya, penghasilan, ilmu dan teknologi maupun manajemen. Keseluruhan itu diharapkan akan lebih memacu semangat para pelaku untuk memperbaiki diri serta saling mengisi dan melengkapi kekurangan yang ada pada diri mereka masing-masing (Hafsah, 1999). Oleh karena itu, dalam kawasan agropolitan diperlukan adanya kemitraan antar petani perdesaan, pelaku usaha bermodal dan pemerintah.
13
Pola kemitraan dalam permodalan, produksi, pengolahan, dan pemasaran akan menjamin terhindarnya eksploitasi pelaku usahatani di tingkat perdesaan oleh pelaku usaha lain di satu pihak, dan memungkinkan terjadinya nilai tambah yang bisa dinikmati pelaku usahatani.
Hal ini diharapkan dapat menjamin
peningkatan pendapatan yang memungkinkan kawasan perdesaan melakukan investasi baik yang berupa pendidikan, maupun penciptaan lapangan usaha baru. Hal ini umumnya dikenal dengan dampak ganda (multiplier effect) dari kemitraan yang dijalankan pada kawasan agropolitan7. Sebagai
upaya
untuk
mewujudkan
kemitraan
yang
mampu
memberdayakan ekonomi rakyat tersebut, sangat dibutuhkan adanya kejelasan peran masing-masing pihak yang terlibat dalam kemitraan tersebut.
Dengan
demikian diharapkan terukur seberapa jauh pihak-pihak yang terkait telah menjelaskan tugas dan peranannya dengan baik. Kejelasan peran masing-masing pelaku kemitraan dirumuskan dalam suatu pola yang disepakati bersama oleh mereka. Dalam pola kemitraan tersebut, akan terlihat peranan, fungsi, hak dan kewajiban dari masing-masing stakeholders. Kemitraan
berlangsung
dalam
suatu
pola
umum
(Direktorat
Pengembangan Usaha, 2002) yang telah dirumuskan dalam SK Menteri Pertanian8, yaitu:
7
8
Dikutip dari Rustiadi, E. 2004. Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Pembangunan Berimbang. Bogor: Crespent Press Kampus IPB Baranangsiang. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/Kpts/OT.210/10/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian
14
1.
Inti plasma Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (a) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun
1995, yang dimaksud dengan pola inti plasma adalah “Hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar sebagai inti membina dan mengembangkan usaha kecil yang menjadi plasmanya dalam menyediakan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha”. Kerjasama inti plasma diatur melalui suatu perjanjian kerjasama antara pihak inti dan pihak plasma. PLASMA
PLASMA
PERUSAHAAN MITRA
PLASMA
PLASMA
Gambar 1 Pola kemitraan inti-plasma. 2.
Subkontrak Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (b) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun
1995 bahwa “Pola subkontrak adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar sebagai bagian dari produksinya”. Dapat pula dikatakan bahwa dalam pola
15
subkontrak, usaha kecil memproduksi barang dan atau jasa yang merupakan komponen atau bagian produksi usaha menengah atau usaha besar.
Memproduksi komponen produksi
Kelompok Mitra
Kelompok Mitra
Memproduksi komponen produksi
PERUSAHAAN MITRA
Memproduksi komponen produksi
Kelompok Mitra
Kelompok Mitra
Memproduksi komponen produksi
Gambar 2 Pola kemitraan subkontrak. 3.
Dagang Umum Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (c) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun
1995, Pola Dagang Umum adalah “Hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar memasarkan hasil produksi Usaha Kecil atau Usaha Kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya”. Kelompok Mitra
Memasok
PERUSAHAAN MITRA Memasarkan Produksi Kelompok Mitra
Konsumen/ Industri
Gambar 3 Pola Kemitraan Dagang Umum.
16
Dalam pola dagang umum, usaha menengah atau usaha besar memasarkan produk atau menerima pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar mitranya. 4.
Keagenan Berdasarkan penjelasan Pasal 27 huruf (e) Undang-Undang Nomor. 9
Tahun 1995, pola keagenan adalah “Hubungan kemitraan, yang di dalamnya usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa usaha menengah atau usaha besar mitranya”. Pola keagenan merupakan hubungan kemitraan, dimana pihak prinsipal memproduksi atau memiliki sesuatu, sedangkan pihak lain (agen) bertindak sebagai pihak yang menjalankan bisnis tersebut dan menghubungkan produk yang bersangkutan langsung dengan pihak ketiga (konsumen atau industri lain).
Kelompok Mitra
Pemberian Hak Khusus
PERUSAHAAN MITRA
Memasarkan Konsumen/ Industri
Gambar 4 Pola kemitraan keagenan. 5.
Kerjasama Operasional Khusus Dalam pola ini, perusahaan mitra akan menyediakan lahan, sarana dan
tenaga, biaya atau modal dan atau sarana kepada kelompok mitra untuk
17
mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditas pertanian yang telah disepakati bersama oleh kedua belah pihak. Kelompok Mitra
Kelompok Mitra
Lahan Sarana Tenaga
Biaya Modal Teknologi
Pembagian Hasil Sesuai dengan Kesepakatan
Gambar 5 Pola kemitraan kerjasama operasional khusus (KOA). 6.
Pola Kemitraan (Penyertaan) Saham Dalam pola kemitraan ini, penyertaan modal (equity) antara usaha kecil
dengan usaha menengah atau besar, penyertaan modal usaha kecil dimulai sekurang-kurangnya 20 persen dari seluruh modal saham perusahaan yang baru dibentuk dan ditingkatkan secara bertahap, sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan dalam berbagai hal: Pembagian keuntungan Pembinaan teknis Akses dan kontrol terhadap komponen produksi Penentuan harga jual dsb
Gambar 6 Pola kemitraan (penyertaan) saham.
18
2.1.5 Revitalisasi Kemitraan: Permasalahan
Upaya
Meminimalisir
Dampak
dari
Dari berbagai penelitian terdahulu telah mengemukakan upaya revitalisasi dalam suatu pola kemitraan, yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan dalam interaksi antar stakeholders pada kemitraan. Secara garis besar, kemitraan harus dapat memenuhi kriteria berikut agar dapat mengantisipasi maupun meminimalisir terjadinya permasalahan di dalamnya: 1. Format kemitraan disesuaikan dengan potensi dan karakteristik daerah9 2. Struktur kemitraan yang dibentuk mampu memperbesar peluang dan manfaat usaha, sehingga dapat mendistribusikan peluang dan manfaat usaha serta aset produksi kepada petani kecil10 3. Terdapat upaya-upaya pemberdayaan (empowering) masyarakat dalam skala mikro dan kecil dalam suatu kebijakan yang “berpihak”. Keberpihakan kebijakan diperlukan untuk mengatasi berbagai kendala dan tantangan pengembangan ekonomi yang berorientasi ekonomi kerakyatan, keadilan, dan sekaligus meningkatkan daya saing11.
9
10
11
Dikutip dari Artikel berjudul Usaha Kecil di Indonesia: Profil, Masalah dan Strategi Pemberdayaan Oleh: Mudrajad Kuncoro Dikutip dari hasil penelitian berjudul Kemitraan Usaha Perkebunan: Perubahan Struktur yang belum Lengkap Oleh: Undang Fadjar, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia Jalan Salak, Bogor Dikutip dari Artikel berjudul Koperasi dan Korporasi Petani: Kunci Pembuka Pengembangan Agribisnis Berdaya Saing, Berkerakyatan, dan Berkeadilan Oleh: Rudi Wibowo, Sekjen PERHEPI 2004-2007 dan Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Jember.
19
4. Ditentukan jadwal pertemuan berkala antara kedua belah pihak untuk saling evaluasi diri atas hubungan kerja sama yang telah dijalankan selama ini, sehingga hubungan yang telah terjalin dapat lebih ditingkatkan12 Selain itu, Darwis dkk (2006) merumuskan berbagai upaya dalam revitalisasi kemitraan, yaitu sebagai berikut: 1. Peningkatan kerjasama antar petani, kelompok tani, pengrajin, tenaga fungsi pemasaran untuk menghasilkan produk ekspor yang memenuhi standar ekspor; 2. Revitalisasi kelompok tani guna meningkatkan bargaining position petani; 3. Dukungan dan peran lebih aktif dari lembaga terkait sebagai fasilitator, stimulator dan regulator pembangunan; 4. Peningkatan integrasi dari pelaku pemasaran dan dibangun kepercayaan antar pelaku kemitraan dan partisipasi aktif terutama dari perilaku kemitraan usaha dalam pembangunan; 5. Pemberian reward dan sangsi bagi pelanggar kemitraan dapat dilakukan dengan melalui kontrak kerja atau kelembagaan komunitas yang ada; dan 6. Interaksi antar pelaku kemitraan dapat dilakukan baik secara personal maupun dengan alat komunikasi modern yang dilandasi kepercayaan dan kejujuran yang kuat.
12
Puspitawati, Eka. 2004. Analisis Kemitraan antara PT. Pertani (Persero) dengan Petani Penangkar Benih Padi di Kabupaten Karawang. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. IPB.
20
2.2
Kerangka Pemikiran Ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan
dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan pertanian yang tertinggal, memicu banyak pemikiran dan inovasi yang bertujuan untuk
meningkatkan
kehidupan
perdesaan
sehingga
ketimpangan
dapat
diminimalisir dengan baik, salah satu upaya yang tengah dilakukan adalah dengan mengembangkan konsep agropolitan. Konsep agropolitan dimaksudkan untuk menjadi alternatif model pembangunan wilayah perdesaan yang menitikberatkan pada upaya desentralisasi dan pembangunan infrastruktur bagi wilayah perdesaan agar setara dengan wilayah perkotaan. Agropolitan diharapkan dapat mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, yang digerakkan oleh masyarakat serta difasilitasi oleh pemerintah. Pemerintah Kabupaten Bogor menjadi salah satu pihak yang berupaya mengembangkan konsep agropolitan tersebut, sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Upaya ini tentu saja melibatkan beberapa stakeholder penting yakni pemerintah sebagai pihak penentu kebijakan, pihak swasta atau industri, akademisi, dan masyarakat. Keberadaan berbagai pihak ini memunculkan berbagai kepentingan yang berbeda sesuai dengan peranan masingmasing pihak dalam konsep agropolitan. Perbedaan yang dibawa oleh masingmasing stakeholder baik kepentingan, nilai, status, kekuasaan dan ego pada
21
kenyataannya mampu membuka kesempatan untuk timbulnya permasalahan. Pola kemitraan dirumuskan guna mengakomodir berbagai kepentingan yang berbeda dari stakeholders tersebut. Menurut Darmawan (2006), kemitraan muncul karena masing-masing stakeholder menyadari adanya keterbatasan pada bidang sumberdaya, modal, ilmu dan teknologi maupun manajemen, namun keseluruhan itu diharapkan akan lebih memacu semangat para pelaku untuk memperbaiki diri serta saling mengisi dan melengkapi kekurangan yang ada pada diri mereka masing-masing. Kemitraan dalam
agropolitan
ini
diharapkan
dapat
mengakomodir
masing-masing
stakeholder yang terlibat dengan berbagai potensi yang mereka miliki serta kepentingan yang merupakan tujuan masing-masing pihak, sehingga dapat terhimpun menjadi satu sistem yang bertujuan meningkatkan pembangunan perdesaan. Tujuan ini akan lebih jelas terlihat dengan menguraikan bagaimana pola kemitraan yang terbentuk, bagaimana masing-masing pihak memposisikan diri dan bagaimana keinginan untuk memenuhi kepentingan masing-masing yang tergambar dalam kegiatan agropolitan dan kemudian dianalisis. Analisis dilakukan dengan mengukur sejauhmana tujuan pembanguan perdesaan dapat tercapai dan bagaimana dinamika yang terjadi. Hal ini diukur dengan mengidentifikasi manfaat yang diperoleh masing-masing stakeholder dan disesuaikan dengan bentuk potensi dan kontribusi yang disumbangkan masingmasing pihak. Kemudian bagaimana pola kemitraan yang dipilih dapat
22
mengembangkan perdesaan sesuai dengan harapan dan tujuan pemerintahan Kabupaten Bogor. Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor
PETANI
KELOMPOK TANI
PIHAK INDUSTRI
Gambar 7 Kerangka pemikiran. 2.3
Hipotesa Penelitian Hipotesa dari penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Langkah pengembangan kawasan agropolitan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor diduga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. 2. Kemitraan diduga dapat meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat dalam lingkup Kawasan Agropolitan Kabupaten Bogor.
23
2.4
Definisi Konseptual Sejumlah definisi konseptual yang menjadi acuan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut: 1.
Kawasan Agropolitan: Kota pertanian yang tumbuh dan berkembang yang mampu memacu berkembangnya sistem dan usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.
2.
Pengembangan Kawasan Agropolitan: Pembangunan berbasis pertanian di kawasan agropolitan, yang dirancang dan dilaksanakan dengan jalan mensinergikan
berbagai
potensi
yang
ada
untuk
mendorong
berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, yang digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah 3.
Petani: Stakeholder yang menjadi sasaran utama pembangunan serta pihak yang menjadi produsen utama komoditas pertanian. Fokus dalam penelitian ini yaitu petani yang mengelola usaha tani dan tergabung dalam Kelompok Tani Sugih Tani
4.
Kelompok Tani: Sekumpulan petani yang tumbuh berdasarkan keakraban dan keserasian, serta kesamaan kepentingan dalam memanfaatkan sumber daya pertanian untuk berkerja sama meningkatkan produktivitas usahatani dan
kesejahteraan
anggotanya
(SK
93/Kpts/OT.210/3/97, tanggal 18 Maret 1997).
Menteri
Pertanian
No.
24
5.
Pihak Industri: Stakeholder yang mengambil peran dalam rantai pemasaran komoditas yang dihasilkan oleh petani.
6.
Kemitraan: Persetujuan antara dua pihak yang mempunyai kebutuhan saling mengisi dan bekerjasama bagi kepentingan kedua belah pihak atas saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
25
3. PENDEKATAN LAPANGAN 3.1
Metode Penelitian Studi ini menggunakan pendekatan dengan metode kualitatif. Hal pokok
yang menjadi alasan pemilihan metode kualitatif dalam penelitian ini yaitu adanya suatu proses kemitraan yang berlangsung. Keseluruhan proses kemitraan harus digali secara mendalam dan terperinci, yang kemudian dihubungkan dengan hal lain yang berkaitan dengan hal tersebut. Pembahasan terhadap kajian seperti itu hanya dapat terpenuhi dengan penggunaan metode yang tidak bebas nilai dan mengakomodir sudut pandang tineliti sebagai suatu subyek. Realitas sosial adalah fakta subyektif. Realitas sosial adalah fakta tentang perilaku manusia yang selalu bersifat subyektif. Sebab, fenomena dan praktek-praktek sosial, sebagai sasaran penelitian kualitatif tidak bersifat mekanistik, melainkan penuh dinamika dan keunikan, dan karenanya tidak bisa diciptakan dalam otak dan menurut kehendak peneliti semata (Sitorus 1998). Metode kualitatif yang dilakukan peneliti diperkuat dengan teknik pengamatan berperan serta, namun bersifat terbatas. Peneliti tidak merahasiakan identitasnya kepada masyarakat di sekitar kawasan agropolitan, sehingga peneliti berusaha menjalin hubungan yang baik dengan pihak yang diteliti dan turut serta dalam kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh subyek penelitian.
Teknik
pengamatan seperti ini relatif aman dari bahaya ketakimbangan antara “diri” dan “peranan” (Sitorus 1998).
26
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terletak di Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang,
Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat.
Pemilihan lokasi dilakukan secara
sengaja (purposive), atas dasar desa tersebut menjadi bagian dari Kawasan Agropolitan (Zona I). Pada kedua desa tersebut terdapat bentuk kemitraan yang menunjang pengelolaan Kawasan Agropolitan Kabupaten Bogor. Desa Karehkel merupakani sentra sayuran organik di Kabupaten Bogor. Penelitian telah berlangsung dari 19 Maret 2010 hingga 30 Mei 2010. Penelitian berlangsung dalam beberapa tahapan berikut, yaitu: 1. Tahap persiapan penelitian. Pada tahap ini dilakukan survey awal yang dilanjutkan dengan penyusunan proposal penelitian. Tahap ini dilakukan dari tanggal 19-22 Maret 2010. 2. Tahap pelaksanaan penelitian, penelitian dimulai dari tanggal 1 April 2010 dan berakhir pada 30 Mei 2010.
Data digali dan didapat selama
pelaksanaan penelitian. 3. Tahap penyusunan laporan, dilakukan selama berlangsungnya kegiatan penelitian di lapangan. 3.3
Teknik Pengumpulan Data Data Primer diperoleh melalui cara kualitatif dengan mengumpulkan data
secara langsung dari informan utama.
Data primer dikumpulkan dengan
menggunakan metode snowballing hingga sampai pada titik jenuh dari data. Subyek penelitian difokuskan pada pihak-pihak yang terlibat dalam kemitraan,
27
masyarakat, serta aparat pemerintahan (desa dan kecamatan) setempat yang terlibat dalam pengembangan kawasan agropolitan. Catatan harian disusun pada setiap tahapan pengumpulan data primer dari subyek penelitian, hal ini dilakukan agar tidak terjadi kehilangan data-data penting dari key person. Data Sekunder diperoleh dengan cara mengumpulkan data dan informasi awal yang terdapat pada kantor desa, kantor kecamatan, buku, laporan-laporan ilmiah, jurnal ilmiah ataupun sumber kepustakaan lainnya. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi metodologi (kombinasi beberapa metode pengumpulan data), yaitu antara lain : wawancara mendalam (indepth interview), observasi langsung dan studi kepustakaan (penelusuran dokumen atau literatur). 1. Wawancara Mendalam.
Pada awalnya dilakukan wawancara terbuka
berdasarkan data hasil observasi lapangan, selanjutnya dilakukan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap beberapa responden kunci (key person). Data pribadi responden kunci dalam penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 7. 2. Observasi Langsung. Melalui teknik ini, data yang dibutuhkan, terutama mengenai gambaran umum dari objek yang diamati, didokumentasikan dan digunakan sebagai bahan untuk melakukan wawancara dan penyusunan laporan hasil penelitian. 3. Studi Kepustakaan.
Hal ini merupakan salah satu bentuk rujukan
konseptual dan teoritis bagi keseluruhan proses studi, mulai dari
28
perencanaan, pengumpulan data, dan analisis data, sehingga hasil studi ini dapat dipertanggung-jawabkan. 3.4
Teknik Analisis Data Sejak awal pengumpulan data, peneliti juga melakukan analisis data.
Analisis data primer dan sekunder (bahan empirik) diolah dengan melakukan tiga tahapan kegiatan dan dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan melalui verifikasi (Sitorus 1998). Tahap pertama, reduksi data dilakukan dengan tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, mengeliminasi data yang tidak diperlukan dan mengorganisir data sehingga didapatkan kesimpulan akhir. Peneliti juga membagi data ke dalam beberapa fokus penelitian yang disesuaikan untuk menjawab perumusan masalah yang ada. Data yang terkait dengan sejarah, dinamika dan gambaran umum desa dikelompokkan tersendiri, dan begitu pula dengan data yang menerangkan sub-bab lain yang sejenis dikumpulkan sesuai sub-bab yang ditentukan. Tahap kedua, data yang telah direduksi akan disajikan dalam bentuk deskriptif (teks naratif) maupun matriks yang menggambarkan proses dari awal penetapan kawasan agropolitan dan dikaitkan dengan proses kemitraan dan permasalahan yang terjadi di dalamnya. Tahap ketiga, kesimpulan yaitu menarik kesimpulan melalui verifikasi.
29
4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1
Gambaran Umum Kawasan Agropolitan Kabupaten Bogor
4.1.1
Penetapan Zonasi Kawasan Agropolitan Pembagian zonasi kawasan agropolitan didasarkan kepada pertimbangan
sektor pertanian guna menunjang percepatan perkembangan wilayah Kabupaten Bogor melalui pengembangan sektor pertanian dan meningkatkan ekonomi masyarakat secara terpadu melalui pemanfaatan potensi sumberdaya lokal. Penetapan zonasi mengacu pada kriteria berikut: 1. Setiap zonasi harus memiliki struktur maupun infrastruktur yang telah berkembang yang selanjutnya ditetapkan sebagai pusat pertumbuhan, 2. Setiap zonasi memiliki potensi lokal dan karakteristik khas yang membedakan dengan zonasi lainnya sehingga diharapkan memiliki keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif, 3. Ada hubungan yang saling menguntungkan dan melengkapi (sinergitas) antara satu zonasi dengan zonasi lainnya, 4. Keberadaan zonasi tersebut dapat mempercepat pembangunan kawasan atau wilayah sekitarnya. Dasar
pertimbangan
pembagian
zonasi
pengembangan
agropolitan didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: 1. Kesesuaian lahan bagi pengembangan komoditas unggulan, 2. Ketersediaan lahan sesuai dengan arahan pemanfaatan lahan, 3. Kesesuaian dengan struktur tata ruang RTRW,
kawasan
30
4. Dukungan prasarana jaringan jalan, listrik, pengairan, komunikasi dan lain sebagainya, 5. Akses ke pusat-pusat pelayanan dan sentra-sentra produksi, 6. Berpotensi untuk pengembangan agribisnis dan agrondustri, 7. Kelembagaan ekonomi produksi dan tata niaga yang telah berkembang. Berdasarkan pertimbangan dan kriteria tersebut, pengembangan kawasan pengembangan agropolitan di Kabupaten Bogor mencakup ruang lingkup wilayah 53 desa yang berada dalam 9 wilayah tingkat kecamatan dengan luas 18.620,14 Ha. Pembagian zonasi kawasan agropolitan tercantum pada Tabel 1, sedangkan untuk peta zonasi kawasan agropolitan dapat dilihat pada Lampiran I.
31
Tabel 1 Pembagian kawasan agropolitan per zonasi Zona I Luas 10.287,10 Ha No. I.
II.
III. IV.
V.
Kecamatan Leuwiliang
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Desa Cibarengkok Karacak Karyasari Cibeber 2 Pabangbon Cibeber 1 Leuwiliang Karehkel Leuwimekar
10 Sadengkolot 11 Leuwisadeng 12 Wangunjaya 13 Babakan Sadeng Rumpin 14 Cidokom Cibungbulang 15 Ciaruteun Ilir 16 Cijujung 17 Cimanggu 18 Leuweung Kolot 19 Dukuh 20 Galuga 21 Cimanggu 2 22 Cibatok 1 23 Cibatok 2 24 Cemplang 25 Sukamaju 26 Situ Hilir 27 Situ Udik 28 Giri Mulya 29 Ciaruteun Udik Pamijahan 30 Cibitung Wetan 31 Pamijahan 32 Cimayang 33 Pasarean 34 Gn Menyan Sumber: Data BAPPEDA Kabupaten Bogor, 2005
Zona II Luas 8.333,04 No. VI.
Kecamatan Nanggung
VII
Jasinga
VIII.
Cigudeg
IX.
Sukajaya
Leuwisadeng
No. 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
Nama Desa Nanggung Sukaluyu Parakan Muncang Pamegarsari Jasinga Setu Sipak Kolong Sawah Bunar Sukaraksa Cintamanik Argapura Cigudeg Mekarjaya
49 50 51 52 53
Sukamulih Cipayung Sukajaya Harkat jaya Kiara Pandak
32
4.1.2
Kondisi Lahan Kawasan Agropolitan Secara umum lahan-lahan pertanian di kawasan agropolitan terbagi
menjadi dua kelompok, yaitu lahan yang dipengaruhi oleh air sungai dan lahanlahan yang hanya mengandalkan air hujan. Lahan-lahan pertanian yang dipengaruhi oleh air sungai secara langsung terletak di daerah aluvial yang terdapat di sekitar jalur aliran sungai. Umumnya lahan-lahan di daerah ini berupa areal pesawahan irigasi. Umumnya lahan-lahan tersebut dimanfaatkan sebagai sawah irigasi atau sawah tadah hujan dengan diselingi tanaman palawija atau hortikultura dalam satu musim setiap tahunnya. Selebihnya lahan-lahan lain di kawasan agropolitan mengandalkan air hujan dalam pemenuhan kebutuhan airnya. Lahan-lahan tersebut biasanya dimanfaatkan untuk tanaman tahunan berupa buah-buahan, tanaman keras, atau kayu-kayuan. Tabel 2 Luas jenis penggunaan lahan di kawasan agropolitan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Penggunaan Lahan Hutan Kebun / Perkebunan Pemukiman Sawah Tadah Hujan Sawah Irigasi Tegalan/Ladang Belukar Rawa Sungai/Danau Jumlah
Luas Ha 14.512,9 25.107,0 10.485,8 16.202,1 5.505,2 5.186,3 24.339,2 476,0 655,1 102.469,7
% 14,2 24,5 10,2 15,8 5,4 5,1 23,8 0,5 0,6 100,0
Sumber: Data BAPPEDA Kabupaten Bogor, 2005
Berdasarkan tabel penggunaan lahan, dapat dilihat bahwa penggunaan lahan yang paling dominan di kawasan agropolitan adalah kebun atau perkebunan
33
(24,5%), belukar (23,8%), sawah tadah hujan (15,8%), dan hutan (14,2%). Sedangkan untuk penggunaan lain rata-rata luasnya ada di bawah 10 persen. Jika melihat komposisi penggunaan lahan seperti terlihat pada Tabel 2, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada kawasan agropolitan, sebagian besar lahannya berupa lahan kering atau tegalan. Untuk lahan sawah atau tanaman pertanian lahan basah hanya berjumlah sekitar 5 persen. Sebaran secara detil di masing-masing kecamatan dapat dilihat pada uraian berikut ini. Dari 24,5 persen kebun atau perkebunan, sekitar 4.483 Ha berada di Kecamatan Jasinga 4.338 Ha di Rumpin, 3.106 Ha di Kecamatan Cigudeg dan sisanya tersebar di kecamatankecamatan lainnya. Untuk belukar, dari proporsi luas 23,8 persen, paling besar seluas 7.691 Ha di Kecamatan Cigudeg, 5.624 Ha di Sukajaya, 3.473 Ha di Jasinga dan sisanya tersebar di kecamatan-kecamatan lainnya. Untuk sawah tadah hujan, dari total proporsi sebesar 15,8 persen, paling besar terdapat di Kecamatan Pamijahan (2.891 Ha), dan Nanggung (2.095 Ha). Sisanya tersebar di kecamatan lainnya. Penggunaan lahan untuk sawah atau tanaman pertanian lahan basah hanya berjumlah sekitar 2,36 persen. Sebaran secara detil di masing-masing kecamatan adalah sebagai berikut. Sejumlah 24,04 persen semak belukar, sekitar 8.665 Ha berada di Kecamatan Cigudeg , 6.967 Ha di Jasinga, 3.894 Ha di Leuwiliang dan sisanya tersebar di kecamatan-kecamatan lainnya. Untuk kebun campuran, dari proporsi luas 20,19 persen, seluas 3.984 Ha di Kecamatan Cigudeg, 3.543 Ha di Kecamatan Rumpin, 3.250 Ha di Kecamatan Pamijahan dan sisanya tersebar di
34
kecamatan-kecamatan lainnya. Untuk sawah irigasi, dari total proporsi sebesar 2,36 persen, paling besar terdapat di Kecamatan Jasinga (678 Ha), dan Kecamatan Rumpin (494 Ha). 4.1.3
Jumlah dan Sebaran Penduduk Jumlah penduduk di kawasan agropolitan tahun 2004 berdasarkan data
hasil sensus BPS Kabupaten Bogor adalah sebesar 948.990 jiwa, yang terdiri dari 482.194 jiwa penduduk perempuan dan 466.796 jiwa penduduk laki-laki. Pola sebaran penduduk paling banyak adalah di Kecamatan Pamijahan sebanyak 121.104 jiwa, Rumpin sebanyak 108.431 jiwa, Cibungbulang sebanyak 106.553 jiwa, dan Kecamatan Cigudeg sebanyak 105.148 jiwa. Sedangkan untuk Kecamatan dengan jumlah penduduk paling kecil adalah Kecamatan Sukajaya sebanyak 51.513 jiwa. Jumlah rumah tangga total di kawasan agropolitan sebanyak 217.302 KK (Kepala Keluarga) dengan rata-rata anggota keluarga 4-5 jiwa atau KK. Kecamatan-kecamatan dengan jumlah rumah tangga (KK) paling banyak, yaitu di Kecamatan Pamijahan sebanyak 29.047 KK dan kecamatan dengan jumlah rumah tangga paling sedikit adalah di Kecamatan Sukajaya. Tingkat kepadatan penduduk di kawasan agropolitan mencapai 1.078 jiwa/ km², secara berurutan wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk paling tinggi adalah di Kecamatan Cibungbulang sebesar 3.332 jiwa/km², selanjutnya diikuti oleh wilayah kecamatan Pamijahan 2.127 jiwa/km², Leuwisadeng 1.847 jiwa/ km², Leuwiliang 1.725 jiwa/km², dan Kecamatan Parung Panjang 1.306 jiwa/km². Sedangkan kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk paling rendah adalah
35
di Kecamatan Sukajaya dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 411 jiwa/km². 4.1.4
Tingkat Pendidikan Penduduk Tingkat pendidikan penduduk di kawasan agropolitan pada data Tabel 3,
terlihat bahwa secara umum tingkat pendidikan penduduk untuk setiap kecamatan dominan tidak tamat sekolah dan tamat SD. Hal ini ditunjukkan dengan nilai persentase dari rataan penduduk tidak tamat SD mencapai 48,2 persen dan nilai rataan penduduk dengan tingkat pendidikan tamat SD mencapai 34,1 persen. Jumlah penduduk dengan tingkat pendidikan tamat SLTP rata-rata 10,8 persen, tingkat pendidikan tamat SLTA 6,1 persen, tingkat pendidikan tamat Perguruan Tinggi untuk Diploma 0,4 persen, dan tingkat pendidikan dengan tamat Perguruan Tinggi Sarjana 0,4 persen. Secara umum tingkat pendidikan penduduk di kawasan agropolitan tergolong relatif masih rendah, yang hanya tamatan sekolah dasar. Tabel 3
Persentase Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan tiap kecamatan di kawasan agropolitan tahun 2004 Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan (persentase)
Kecamatan
Sukajaya Jasinga Leuwiliang Leuwisadeng Nanggung Cigudeg Rumpin Cibungbulang Pamijahan
Tidak Tamat SD 51,2 42,2 42,1 43,1 76,2 48,6 47,0 35,3 45,6
Tamat SD
Tamat SLTP
Tamat SLTA
PT (D1-D3)
PT (S1-S3)
37,3 38,5 39,2 42,7 20,5 42,0 29,4 34,1 36,3
7,8 12,6 10,0 8,7 1,3 6,3 15,5 19,5 11,5
3,6 6,1 7,5 5,0 1,6 2,7 7,5 10,0 6,1
0,1 0,3 0,7 0,3 0,3 0,3 0,3 0,7 0,3
0,1 0,2 0,5 0,1 0,1 0,1 0,3 0,4 0,2
Sumber : Data BAPPEDA Kabupaten Bogor, 2005
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100
36
4.1.5
Struktur Mata Pencaharian Penduduk Struktur mata pencaharian penduduk di kawasan agropolitan pada Tahun
2000 dan 2003 secara umum bekerja pada sektor pertanian, sektor perdagangan, dan sektor jasa-jasa.
Persentase jumlah penduduk yang bekerja pada sektor
pertanian pada tahun 2000 dan 2003 sebesar 64 persen, sedangkan persentase jumlah penduduk yang bekerja di sektor perdagangan tahun 2000 sebesar 20 persen menurun pada tahun 2003 menjadi 16 persen, dan penduduk yang bekerja pada sektor jasa-jasa pada tahun 2000 dan 2003 sebesar 9 persen. Hal ini menggambarkan bahwa kawasan agropolitan merupakan kawasan agraris, dan dilihat dari jumlahnya, dapat dikatakan bahwa sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian. Pola sebaran penduduk yang bekerja di sektor pertanian, relatif dominan terdapat di Kecamatan Cigudeg, Jasinga, Cibungbulang, Leuwiliang, dan Pamijahan. Penduduk di Kecamatan Cigudeg dan Jasinga, mata pencaharian utamanya kebanyakan bekerja sebagai petani buah-buahan dan tanaman tahunan lainnya, sedangkan di Kecamatan Cibungbulang, Leuwiliang, dan Pamijahan, selain banyak ditemukan petani tanaman tahunan, juga banyak ditemukan petani hortikultura dan palawija, serta peternak ikan air tawar. Penduduk Kecamatan Parung Panjang dan Pamijahan dominan bekerja di sektor industri. Sedangkan untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan basis pencaharian utama penduduk di Kecamatan Cibungbulang, Rumpin, Pamijahan dan Leuwiliang, di
37
wilayah tersebut dengan mudah dapat dijumpai berbagai pasar dan pusat pertokoan serta rumah makan, dari skala kecil sampai menengah. Struktur pekerjaan penduduk di kawasan agropolitan berdasarkan data hasil sensus BPS Kabupaten Bogor pada tahun 2004, masih dominan bekerja sebagai petani atau peternak dan pedagang atau jasa, pola seperti ini hampir sama untuk tiap wilayah kecamatan di kawasan agropolitan. Sedangkan penduduk yang bekerja sebagai PNS dan TNI-POLRI, jumlahnya relatif kecil dan hampir sama untuk setiap wilayah.
Kondisi ini menggambarkan bahwa pada tahun 2004
kegiatan ekonomi untuk sektor primer, khususnya pertanian dan peternakan dan sektor tersier khususnya jasa merupakan basis utama sumber penghasilan penduduk di kawasan agropolitan. Menurut pola sebarannya, persentase terbesar penduduk dengan pekerjaan utamanya sebagai jasa atau buruh adalah di Kecamatan Jasinga, Parung Panjang, Leuwiliang, Pamijahan, Cigudeg, dan Leuwisadeng, sedangkan untuk jenis pekerjaan dagang atau wiraswasta persentase terbesar yaitu di Kecamatan Cibungbulang, Cigudeg, Leuwisadeng, dan Kecamatan Tenjo. Sedangkan untuk jenis pekerjaan sebagai petani atau peternak persentase terbesar yaitu di Kecamatan Tenjo dan Rumpin, sedangkan persentase terbesar sebaran penduduk yang bekerja sebagai PNS, pegawai atau karyawan relatif di Kecamatan Tenjo Cibungbulang dan Rumpin.
38
4.1.6
Pola Pemusatan Ekonomi Penduduk Pola pemusatan penduduk dengan mata pencaharian utama sektor
pertanian relatif memusat di Kecamatan Nanggung, Kecamatan Cigudeg, dan Kecamatan Sukajaya. Sedangkan pola pemusatan penduduk dengan mata pencaharian utamanya sektor industri hanya memusat di Kecamatan Pamijahan. Pola pemusatan untuk pencaharian utama sektor perdagangan, hotel dan restoran relatif memusat di Kecamatan Cibungbulang, Kecamatan Leuwisadeng, dan Kecamatan Rumpin. Pola pemusatan untuk mata pencaharian utama sektor angkutan relatif memusat di Kecamatan Jasinga, Kecamatan Cigudeg, Leuwisadeng, dan Kecamatan Pamijahan. Pola pemusatan aktivitas dengan mata pencaharian utama sektor jasa-jasa memusat di Kecamatan Jasinga, Kecamatan Tenjo, Kecamatan Leuwiliang, dan Kecamatan Leuwisadeng. 4.2
Gambaran Umum Desa Karehkel Desa Karehkel memiliki luas wilayah sebesar 420.000 hektar.
Desa
Karehkel berbatasan dengan Desa Cidokom pada bagian barat, Desa Leuwi Baru pada sebelah utara dan timur, serta berbatasan dengan Desa Leuwiliang pada sebelah selatan. Desa Karehkel berada pada ketinggian antara 300-700 meter dpl, dengan luas areal sawah 57 hektar, tanah darat 3 hektar dengan keadaan wilayah datar. Temperatur minimum rata-rata antara 20-25oC dan temperature tertinggi antara 28-30oC. Hal ini mengindikasikan bahwa Desa Karehkel sangat cocok untuk pertanian jenis padi sawah dan sayuran.
39
Tabel 4 Data mata pencaharian penduduk Desa Karehkel Pekerjaan
Jumlah 25 Orang
Karyawan/PNS Tenaga Produksi/Buruh
70 Orang
Pengusaha/Wiraswasta Petani
100 Orang 1.330 Orang
Pedagang Total
215 Orang 1.740 Orang
Sumber: Data Kantor Kepala Desa Karehkel, 2008
Jumlah penduduk desa sebanyak 11.640 jiwa dan terdiri dari 2.630 KK. Komposisi penduduk terdiri dari 5.969 Pria dan 5.671 Wanita.
Mayoritas
penduduk Desa Karehkel bermata pencaharian utama sebagai petani (Tabel 7). Tabel 5 Data tingkat pendidikan penduduk Desa Karehkel Pendidikan Tidak Tamat SD SD SLTP SLTA Akademi/Sarjana Muda S1 S2 S3 Total
Jumlah 4.735 Orang 4.066 Orang 969 Orang 419 Orang 34 Orang 15 Orang 1 Orang 10.239 Orang
Sumber: Data Kantor Kepala Desa Karehkel, 2008
Penduduk Desa Karehkel umumnya masih memiliki tingkat pendidikan yang tergolong rendah, mayoritas mereka tidak tamat SD dan hanya tamat SD. Sisanya berada pada tingkat pendidikan SLTP, SLTA serta sarjana dengan jumlah yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan penduduk Desa Karehkel. Desa
ini
termasuk
dalam
wilayah
pengembangan
pembangunan
Kabupaten Bogor Bagian Barat. Desa Karehkel memiliki akses transportasi yang baik dan mudah dijangkau, selain itu desa ini sangat berdekatan dengan Pasar Leuwiliang. Kondisi perekonomian wilayah ini didukung dari sektor pertanian.
40
Basis pertanian pada wilayah ini tergolong kuat dan mengakar. Hal ini didukung telah masuknya lembaga perbankan atau keuangan yang memudahkan transaksi hasil pertanian. Lembaga perbankan yang ada di wilayah ini yaitu, 1 unit Bank BRI, 1 unit BPD, 5 unit Bank Swasta, 1 unit LPK kecamatan, dan 19 unit koperasi simpan pinjam.
41
5. UPAYA PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN 5.1
Kebijakan Pembangunan Wilayah Kabupaten Bogor Dalam konteks pengembangan Kabupaten Bogor, wilayah barat
Kabupaten Bogor mengalami kesenjangan pertumbuhan dibandingkan dengan wilayah tengah dan timur. Kesenjangan pertumbuhan wilayah ini disebabkan oleh terkonsentrasinya kegiatan ekonomi serta jaringan prasarana wilayah di bagian tengah dan timur Kabupaten Bogor. Selain itu, kurangnya penguatan struktur kelembagaan pertanian dan ekonomi lokal mengakibatkan mata rantai produksi, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian di wilayah barat Kabupaten Bogor belum memberikan nilai tambah yang signifikan. Hal ini mengakibatkan keunggulan komparatif wilayah barat Kabupaten Bogor terutama pada sektor pertanian (sebagai basis ekonomi lokal) belum dimanfaatkan dan dikelola secara optimal (Anonim, 2005). Berbagai faktor yang menyebabkan belum berkembangnya wilayah barat Kabupaten Bogor yaitu: (1) kurangnya akses masyarakat terhadap input produksi; (2) ketidakpastian jaminan pemasaran hasil produksi; (3) tidak stabilnya harga produk pertanian; (4) lemahnya posisi tawar menawar petani yang diakibatkan lemahnya organisasi masyarakat perdesaan dalam penguasaan jaringan produksi pemasaran; dan (5) keterbatasan akses petani terhadap sarana dan prasarana wilayah. Faktor-faktor tersebut menyebabkan kurang optimalnya pemanfaatan potensi ekonomi perdesaan, rendahnya produkivitas lahan dan akumulasi modal
42
sehingga sektor pertanian kurang berkembang dapat meningkatkan angka kemiskinan dan memacu migrasi masyarakat desa ke wilayah perkotaan. Pada sisi lain, kota-kota kecamatan di wilayah barat Kabupaten Bogor belum berfungsi optimal sebagai pusat-pusat pertumbuhan dan pelayanan dalam membangun mata rantai produksi dan pemasaran yang mampu memberikan nilai tambah, terutama bagi masyarakat petani. Pengembangan sektor pertanian di bagian barat Kabupaten Bogor memerlukan keterpaduan pengembangan produk unggulan pertanian, peningkatan kualitas sumberdaya manusia petani dan pengembangan kelembagaan pertanian. Oleh karena itu dibutuhkan pembangunan pertanian dengan pendekatan kawasan agropolitan (Anonim, 2005).
Sumber: diolah dari data BAPPEDA Kabupaten Bogor, 2005
Gambar 8 Ruang lingkup kawasan agropolitan.
43
Berbagai kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dalam upaya pengembangan kawasan agropolitan Kabupaten Bogor (Anonim, 2005) diantaranya yaitu: 1. Pembangunan sistem dan usaha agribisnis berorientasi pada kekuatan pasar (market driven), yang dapat menembus batas kawasan agropolitan, bahkan kabupaten atau kota, provinsi dan negara, untuk mencapai pasar global. Pengembangan dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat sehingga mereka mampu mengembangkan usaha komoditas unggulan berdasarkan kesesuaian atau kemampuan lahan dan kondisi sosial budaya daerah. Pemberdayaan masyarakat tidak hanya diarahkan pada upaya peningkatan produksi dan produktifitas komoditas pertanian, tetapi juga pada pengembangan usaha dengan sistem agribisnis lain. Sistem lain yang mendukung usaha agribisnis komoditas unggulan kawasan agropolitan yaitu agribisnis hulu (agroinput), agribisnis hilir (pemasaran, pengolahan hasil, sortasi dan grading) serta industri jasa dan pelayanan. 2. Pengembangan sarana-prasarana publik berwawasan lingkungan yang diperlukan, seperti jaringan jalan, irigasi, transportasi, telekomunikasi, pasar, dan gudang. 3. Reformasi regulasi yang berhubungan dengan penciptaan iklim kondusif bagi pengembangan usaha, pengembangan ekonomi daerah dan wilayah seperti dalam urusan perizinan, bea masuk, peraturan dari pemerintah
44
pusat, provinsi dan kabupaten atau kota yang harus saling mendukung dan konsisten, dan menghilangkan regulasi yang saling menghambat. Secara mendetail, berikut adalah rincian beberapa kegiatan yang merupakan penjabaran dari kebijakan pengembangan kawasan agropolitan di atas. 1. Peningkatan produktifitas budidaya pertanian komoditas unggulan Upaya peningkatan produktifitas budidaya komoditas-komoditas unggulan kawasan agropolitan dilakukan guna mendekati tingkat produksi potensialnya, sehingga memiliki daya saing di pasar nasional. Maka dilakukan
upaya-upaya
pengembangan
pusat-pusat
penangkaran
benih/bibit komoditas unggulan, penguatan dan pengembangan kelompokkelompok penyuluhan
tani dan
komoditas
unggulan,
penguatan
program-program
pelatihan
budidaya
komoditas
unggulan,
serta
pengembangan Integrated Farming dan peningkatan pemanfaatan input lokal (pupuk, pestisida alami, benih dan lain sebagainya) serta produk sampingannya (minimized waste). 2. Pengembangan sistem tata niaga dan pemasaran yang dapat meningkatkan
pendapatan
masyarakat
kawasan
agropolitan
Merupakan upaya mewujudkan sistem tata niaga yang lebih efisien dengan distribusi marjin tata niaga yang lebih berpihak kepada petani dan masyarakat lokal di kawasan agropolitan. Oleh
karena itu dilakukan
upaya-upaya pengembangan pusat informasi dan bisnis komoditas dan produk unggulan, pengembangan/penguatan kelembagaan kelompok
45
petani produsen dalam meningkatkan posisi tawar petani, peningkatan kapasitas usaha petani dan pengumpul lokal (dana talangan), serta pengembangan jaringan dan kemitraan bisnis antar petani, pengumpul, industri dan eksportir. 3. Pengembangan usaha produk industri olahan pertanian Langkah ini merupakan upaya mengembangkan usaha-usaha ekonomi pengolahan produk olahan yang menggunakan bahan mentah dan bahan baku lokal (terutama komoditas-komoditas unggulan) sebagai inputnya. Oleh karena itu dilakukan berbagai kajian mengenai pengembangan produk olahan unggulan, pelaksanaan kegiatan pelatihan dan penyuluhan pengembangan industri produk olahan unggulan, penyediaan modal UKM industri olahan pertanian unggulan, serta berbagai upaya peningkatan daya tarik investasi melalui promosi. 4. Pengembangan infrastruktur dasar dan infrastruktur pertanian Pengembangan
agropolitan
mensyaratkan
adanya
pengembangan
infrastruktur-infrastruktur permukiman dan infrastrukur sistem agribisnis yang memadai. Sehingga diperlukan pengembangan prasarana dan sarana permukiman yang memenuhi standar kelayakan minimum baik ditingkat pusat pelayanan (agropolis), pusat-pusat permukiman desa, kampung dan permukiman lainnya. Sistem jaringan jalan yang diperlukan terutama memperbaiki jaringan jalan arteri yang merupakan jalan serta perbaikan jalan-jalan kolektor, jalan desa, jalan kampung dan
farm road dalam
46
kawasan agropolitan. Di samping itu dilakukan pula peningkatan kualitas prasarana dan sarana sistem agribisnis, yakni pembangunan sub-terminal agribisnis, pusat informasi dan komunikasi agribisnis. 5. Pengembangan Sistem Kelembagaan Pengelola Kawasan Agropolitan Penguatan dan pengembangan kelembagaan dilakukan pada dua tataran, yakni pada tataran kawasan dan tataran komunitas. Pada tataran kawasan dilakukan pengembangan organisasi dengan otoritas maupun dukungan sumberdaya yang cukup serta mendapatkan legitimasi masyarakat dan legalitas dari pemerintah daerah. Pada tataran komunitas diperlukan penguatan lembaga-lembaga kelompok tani, asosiasi pedagang pengumpul dan lembaga-lembaga ekonomi komunitas lokal lainnya. Keseluruhan hal tersebut menuntut adanya mekanisme sistem pengambilan keputusan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip good governance yang partisipatif. 5.2
Realisasi Program Pengembangan Kawasan Agropolitan Pengembangan kawasan agropolitan dilakukan melalui beberapa program
yang mengacu pada visi dan misi pengembangan agropolitan dan menyesuaikan dengan karakteristik wilayah setempat. Program yang dijalankan melibatkan beberapa stakeholder yang disesuaikan dengan kebutuhan program. Beberapa program atau kegiatan yang telah dijalankan dalam kawasan agropolitan dipaparkan pada paragraf selanjutnya.
47
Pembentukan Kelompok Kerja (POKJA) Pengembangan Kawasan Agropolitan Demi
kelancaran
pelaksanaan
kegiatan
pengembangan
kawasan
agropolitan, maka dibentuk sebuah kelompok kerja (POKJA) yang ditetapkan melalui SK. Bupati Bogor (pada lampiran II). Pembentukan POKJA atas inisiasi dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Bogor, dimana BAPPEDA merupakan instansi yang bertanggung jawab langsung atas Kawasan Agropolitan. Pembentukan Pos Simpul Koordinasi (POSKO) Pengembangan Kawasan Agropolitan Kelompok kerja (POKJA) yang telah dibentuk pada awal berjalannya kawasan agropolitan, merumuskan terkait diperlukan adanya suatu pusat koordinasi yang bertanggung jawab di lapangan dalam kegiatan pengembangan kawasan agropolitan. Oleh karena itu, POKJA membentuk Pos Simpul Koordinasi (POSKO) Pengembangan Kawasan Agropolitan. Pembentukan POSKO disahkan melalui Surat Keputusan Kepala BAPPEDA Kabupaten Bogor selaku Ketua POKJA Agropolitan Kab. Bogor (pada lampiran III). Program pengembangan infrastruktur dasar dan infrastruktur pendukung pertanian Program ini bertujuan untuk mendukung program pengembangan pertanian
dalam
lingkup
kawasan
agropolitan.
Program
pengembangan
infrastuktur yang telah dilaksanakan sejauh ini dintaranya yaitu: a. Peningkatan dan perbaikan kualitas jaringan jalan. Pada umumnya, kondisi jalan pada wilayah agropolitan terutama zona I dapat dikategorikan dalam
48
kondisi rusak (gambar dapat dilihat pada lampiran IV). Oleh karena itu Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor melakukan perbaikan jalan guna mendukung berbagai kegiatan yang dijalankan dalam lingkup kawasan agropolitan. Menurut data BAPPEDA Kabupaten bogor pada tahun 2005, berikut adalah rincian kondisi jalan-jalan pada kawasan agropolitan zona I. Tabel 6. Kondisi Jalan di Kawasan Agropolitan Zona I Kondisi Baik Sedang Rusak Ringan (Km) (%) (Km) (%) (Km) (%) 1. Leuwiliang 19,30 35,48 5,50 10,11 5,50 10,11 2. Leuwisadeng 9,70 45,92 2,03 9,59 2,80 13,25 3. Rumpin 20,75 27,30 8,70 11,45 7,55 9,93 4. Cibungbulang 12,00 45,28 7,60 28,68 2,60 9,81 5. Pamijahan 27,75 43,53 16,90 26,51 3,90 6,12 Total 89.5 40.73 22.35 Sumber: diolah dari data BAPPEDA Kabupaten Bogor, 2005 No.
Kecamatan
Rusak Berat (Km) (%) 24,10 44,30 6,60 31,24 39,00 51,32 4,30 16,23 15,20 23,84 89.2 -
Panjang (Km) 54,40 21,13 76,00 26,50 63,75 241.78
b. Pembangunan farm road dari dan menuju sentra produksi pertanian. Farm road dibangun dengan tujuan untuk mempermudah petani dalam menjangkau lahan pertanian mereka. Selain itu, farm road ini dibangun guna menjadi jalur yang dilalui bagi wisatawan yang kerap kali mengunjungi kawasan agropolitan ini. Masyarakat bersama sebuah kelembagaan
masyarakat
di
Desa
Karacak,
yaitu
kelembagaan
Cendawasari Mandiri mengembangkan wilayah mereka menjadi kawasan agrowisata. Farm road ini lah yang sangat berguna bagi pengunjung untuk berwisata mengelilingi kebun warga sambil mendapat edukasi tentang pertanian langsung dari masyarakat setempat. Kondisi farm road masih terawat dengan baik dan dapat digunakan hingga saat ini (gambar dapat dilihat pada lampiran IV).
49
c.
Peningkatan kualitas terminal di Leuwiliang. Pemerintah membangun terminal di Kecamatan Leuwiliang dengan tujuan meingkatkan akses transportasi dari dan menuju daerah tersebut. Secara fisik, kondisi terminal ini dapat dikatakan baik (dapat dilihat pada lampiran IV). Namun secara fungsional, terminal tidak dipergunakan dengan optimal. Hal ini terlihat dari sedikitnya angkutan kota maupun angkutan antar daerah yang memasuki terminal ini. Justru muncul beberapa terminal bayangan pada lahan-lahan kosong yang menjadi pusat keramaian masyarakat. Sehingga tujuan awal pemerintah yang membangun terminal baru guna menopang kawasan agropolitan tidak mencapai sasarannya.
d. Pembangunan Sub Terminal Agribisnis (STA). STA yang telah dibangun ini tidak dimanfaatkan dengan optimal oleh para stakeholders dalam kawasan agropolitan. Hal ini disebabkan karena belum efektifnya kegiatan yang telah dicanangkan oleh pemerintah, sehingga kondisi STA menjadi terbengkalai. Gambaran kondisi STA yang berada di Desa Karacak dapat dilihat pada lampiran IV. Program pengembangan produk olahan pertanian Dalam usaha peningkatan kesejahteraan petani, perlu diupayakan pengolahan produk yang berbasis lokal (kewilayahan). Hal itu pula yang terjadi pada masyarakat di dalam kawasan agropolitan. Petani mengupayakan pengembangan produk berbasis industri rumah tangga. Pada Desa Karacak terdapat berbagai produk olahan yang telah dikembangkan oleh rumah tangga
50
petani, diantaranya yaitu keripik pisang dan keripik melinjo. Keripik ini dapat dengan mudah dijumpai pada warung-warung yang berada di wilayah Desa Karacak. Selain itu, keripik ini seringkali dijadikan oleh-oleh bagi pihak luar yang datang mengunjungi desa untuk berbagai kepentingan, mulai dari tujuan wisata hingga tujuan penelitian. Program peningkatan produktivitas pertanian komoditas potensial Peningkatan
produktivitas
komoditas
unggulan
dilakukan
dengan
melibatkan pihak akademisi. Beberapa kegiatan peningkatan produktivitas pertanian yang telah dilakukan dalam kawasan agropolitan, khususnya pada desa yang menjadi lingkup penelitian yaitu: 1. Penyuluhan teknik budidaya tanaman potensial. Tanaman yang menjadi komoditas potensial untuk dibudidayakan pada kawasan agropolitan ini yaitu manggis. Petani manggis mendapatkan arahan terkait dengan caracara penanaman, kualitas atau mutu bibit manggis serta prosedur utama dalam pengelolaan kebun manggis. 2. Pelatihan pembuatan pupuk organik (kompos). Masyarakat diberi pengetahuan teknis terkait pembuatan kompos secara tradisional. Sampah organik yang berasal dari hewan ternak maupun limbah rumah tangga dapat dijadikan bahan pembuatan kompos. Hal ini sangat membantu dalam mengurangi pencemaran lingkungan oleh sampah. Sampah organik dimasukkan ke dalam rumah yang telah disiapkan untuk mengendapkan kompos, setelah sebelumnya dipotong kecil untuk mempercepat proses
51
pembusukan. Selanjutnya ditambahkan gula merah yang telah dilarutkan dalam satu ember air, dapat pula ditambahkan air bekas cucian beras yang mengandung vitamin B1 dan kandungan gizi yang mempercepat pembusukan sampah. Dalam dua hari, kompos sudah dapat terbentuk. Pembuatan kompos secara mandiri dapat mengurangi biaya produksi petani untuk membeli pupuk, selain itu kualitas pupuk kompos lebih baik dibanding pupuk kimia lain. 3. Pengembangan
bibit
komoditas
potensial.
bimbingan teknis dari kalangan akademisi
Masyarakat
mendapat
yang terlibat
dalam
pengembangan kawasan agropolitan. Masyarakat diharapkan dapat melakukan sendiri proses perbanyakan bibit yang menjadi komoditas unggulan dan potensial dalam kawasan agropolitan. Pihak yang memberikan bimbingan teknis tersebut yaitu Pusat Kajian Buah Tropika IPB (PKBT-IPB). PKBT pada awalnya hanya memberikan bimbingan kepada beberapa orang masyarakat yang dianggap menonjol dan memiliki potensi dalam melakukan perbanyakan bibit ini, yaitu sebanyak lima orang. Kemudian lima orang tersebut dilatih secara intensif dengan tujuan agar mereka dapat mentransfer kemampuan tersebut pada masyarakat lain yang berminat melakukan sendiri perbanyakan bibit. Proses seperti ini merupakan hal yang cukup efektif dalam mengembangkan kemampuan teknis masyarakat.
52
Selain program-program yang telah dijelaskan, masih terdapat berbagai program lain terkait pengembangan kawasan agropolitan yang dicanangkan oleh pemerintah Kabupaten Bogor. Keseluruhan program tersebut sebagian telah direalisasikan, namun banyak pula program yang belum dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala yang terjadi di lapangan, maupun dari aspek SDM yang belum siap menerima program tersebut karena tidak mengakarnya program tersebut (top-down). Rincian lengkap seluruh program yang telah dicanangkan pemerintah dari tahun 2005-2010 terdapat pada lampiran V. 5.3
Analisis Pengembangan Kawasan Agropolitan Kabupaten Bogor Berdasarkan hasil analisis serta pengamatan pada lingkup wilayah
penelitian yang merupakan kawasan agropolitan, terdapat berbagai aktifitasaktifitas ekonomi potensial berdasarkan berbagai kriteria. Dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani, pada umumnya mereka mengusahakan komoditas-komoditas yang mempunyai ciri sebagai berikut: 1. Memiliki keunggulan komparatif yang dicirikan dengan luas tanam dan tingkat produksinya, serta memilki kecenderungan pertumbuhan produksi yang unggul (keunggulan kompetitif). 2. Tingkat produktivitas yang unggul (bersaing). 3. Tingkat harga yang kompetitif dan baik. 4. Serapan tenaga kerja. 5. Keterkaitan hulu-hilir. 6. Akses pasar.
53
7. Penguasaan teknologi. 8. Ketersediaan modal usaha. Menurut hasil penelitian di lapang, tidak terdapat komoditas yang bersifat unggul pada semua kriteria diatas, namun beberapa komoditas memiliki tingkat keunggulan yang signifikan berdasarkan kriteria yang ada di atas. Komoditaskomoditas potensial dan unggulan dipilih dengan tujuan agar kegiatan pengembangan kawasan agropolitan berlangsung secara lebih terfokus dan terarah pada peningkatan kualitas komoditas-komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, sehingga alokasi sumberdaya dapat digunakan secara efisien dan efektif sesuai dengan kapasitas dan keterbatasan yang ada. Berdasarkan hasil pengamatan di lapang, dapat diidentifikasi beberapa komoditaskomoditas potensial pada kawasan agropolitan yaitu pisang, ubi jalar, ubi kayu, cengkeh, manggis, durian, kayu serta bamboo. Walaupun potensial dan unggul, tingkat produktivitas komoditaskomoditas tersebut pada umumnya masih pada tingkat yang di bawah potensi produksi optimalnya, sehingga jumlah produksinya masih dapat ditingkatkan. Oleh karena itu lebih diperlukan lagi upaya peningkatan produktivitas komoditaskomoditas potensial tersebut, misalnya: 1. Upaya-upaya mengintroduksikan bibit unggul dan tersertifikasi. 2. Penyuluhan dan penguatan kelompok (diseminasi teknologi). 3. Pengadaan sarana produksi yang mendukung. 4. Peningkatan akses petani terhadap lahan.
54
Namun menurut observasi pada wilayah lingkup penelitian, komoditaskomoditas potensial tersebut apabila di produksi dalam skala besar sekalipun, belum dapat langsung berimplikasi pada peningkatan pendapatan masyarakat (income multiplier) sebagaimana yang diharapkan. Berdasarkan kenyataan di lapangan terdapat berbagai hal yang menyebabkan tidak terjadinya income multiplier. Hal tersebut akan dipaparkan pada paragraf selanjutnya. Pertama, buruknya sistem perdagangan yang melibatkan masyarakat, sistem tidak berpihak pada produsen (petani) dan masyarakat lokal. Keuntungan dari hasil perdagangan yang terbesar lebih dinikmati oleh para pedagang pengumpul dan pedagang di pasar. Proporsi keuntungan pada tingkat petani umumnya sangat rendah dan tidak memadai, serta masih kurang dalam menunjang kesejahteraan petani. Hal ini disebabkan oleh tidak sebandingnya antara tingkat resiko usaha dengan pengorbanan yang dikeluarkan oleh petani. Rendahnya keuntungan pada tingkat petani maupun produsen diakibatkan oleh lemahnya posisi tawar (bargaining position) petani dalam penentuan harga, serta struktur pasar yang mengarah pada kondisi monopsoni13 dan oligopoli14.
13
14
Monopsoni adalah keadaan dimana satu pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam suatu pasar komoditas. Pada keadaan ini, petani tidak memiliki posisi tawar menawar dalam harga. Oligopoli adalah penawaran satu jenis barang dikuasai oleh beberapa perusahaan. Praktek oligopoli dilakukan untuk menahan perusahaan potensial masuk dalam pasar, dan untuk menikmati laba normal. Hal ini menyebabkan kompetisi harga diantara pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli menjadi tidak ada.
55
Selain ketidakberpihakan sistem perdangan pada tingkat petani tersebut, pelaku ekonomi lokal juga tidak memperoleh keuntungan yang memadai dari hasil perdagangan. Pelaku perdagangan yang menikmati marjin penjualan terbesar adalah pelaku yang bermukim di perkotaan dan khususnya kota Bogor dan Jakarta. Lemahnya kapasitas sumberdaya manusia, kelembagaan dan infrastruktur dalam kawasan agropolitan, menyebabkan akumulasi nilai tambah terkuras dan bocor ke luar kawasan. Penguatan
sumberdaya
manusia
dan
lembaga-lembaga
ekonomi
masyarakat lokal dapat mencegah terjadinya kebocoran wilayah (regional leakage)15 berupa terjadinya aliran capital (capital outflow)16 ke luar kawasan. Peningkatan akses masyarakat lokal terhadap informasi, teknologi, pengetahuan, dan modal dapat memperkuat kapasitas masyarakat lokal karena dapat meningkatkan posisi tawar dan kapasitas masyarakat lokal di dalam mengelola sumberdaya. Selain itu, upaya peningkatan nilai tambah yang terbentuk di tingkat lokal akan meningkatkan peluang masyarakat lokal menikmati nilai tambah tersebut dalam bentuk pendapatan rumah tangga berupa keuntungan usaha.
15
16
Regional leakage merupakan efek penggerusan sumber daya ekonomi, yakni mengalirnya sumber daya ekonomi dari suatu wilayah ke wilayah lainnya. Keuntungan terbesar diperoleh daerah tujuan, sedangkan daerah asal mengalami penggerusan sumber daya ekonomi. Terdapat tiga bentuk kebocoran wilayah. Pertama, nilai transaksi arus barang masuk lebih besar dibandingkan arus barang keluar. Kedua, hasil pertanian yang dijual adalah bahan mentah sehingga nilai tambah terbesar dinikmati oleh pihak luar. Ketiga, barang konsumsi hasil olahan yang dijual pada umumnya didatangkan dari luar. Aliran capital adalah mengalir keluarnya modal dari/meninggalkan sistem perekonomian suatu kawasan. Mengalir keluarnya modal disebabkan oleh berbagai alasan ekonomi.
56
Kedua, keterbatasan berbagai infrastruktur dasar dan penunjang guna mendukung kegiatan industri secara efisien, seperti jaringan transportasi dan informasi. Hal tersebut menyebabkan rendahnya keunggulan kompetitif komoditas-komoditas yang diproduksi. Buruknya kondisi jalan menyebabkan tingginya biaya distribusi dari lahan petani ke pengumpul serta pasar. Tingginya biaya transportasi berimplikasi pada rendahnya harga di tingkat petani dan berakibat rendahnya marjin keuntungan yang diterima petani. Rendahnya marjin keuntungan di tingkat petani tidak akan memberikan modal yang cukup memadai untuk petani melakukan peningkatan produksi. Oleh karena itu, perbaikan serta pemeliharaan pada aspek infrastruktur dasar dan produksi memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan daya saing dan produktivitas komoditaskomoditas unggulan. Masalah ketiga adalah keterbatasan sumberdaya manusia yang kompeten, rendahnya tingkat pendidikan penduduk di kawasan agropolitan dan terbatasnya sumberdaya manusia siap dilatih atau terlatih, menjadi salah satu penyebab hilangnya potensi pengembangan wilayah. Minimnya SDM yang kompeten menyebabkan perusahaan yang tumbuh cenderung mendatangkan sumberdaya manusia dari luar kawasan. Selain permasalahan tersebut, terdapat pula hal-hal positif yang telah dilaksanakan dalam upaya pengembangan kawasan agropolitan ini. Beberapa hal positif tersebut yaitu: Pertama, terjadinya peningkatan kualitas sarana transportasi dari dan menuju kawasan agropolitan. Hal ini dapat terlihat dari kondisi jalan dan
57
jembatan
yang
mengalami
perbaikan
hingga
pelosok-pelosok
kawasan.
Pemerintah Kabupaten Bogor menjalin kerjasama dengan Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Bogor dalam membangun jalan dan jembatan dalam kawasan agropolitan. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa perbaikan belum mencakup pada keseluruhan wilayah agropolitan. Peningkatan kualitas jalan sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang tinggal di desa dalam lingkup kawasan agropolitan. Peningkatan kegiatan ekonomi dapat dirasakan oleh masyarakat, serta kelancaran arus barang keluar dan masuk kawasan agropolitan. Hal ini senada dengan pernyataan masyarakat berikut. “…..Sebelum jalannya bagus kayak sekarang, daerah sini mah sepi banget, hampir kayak gak ada kegiatan. Tapi sekarang udah banyak mobil barang yang bolak-balik…..” (Sudrajat, 45 tahun) Kedua, program pengembangan kawasan agropolitan yang dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor mampu membuka pemikiran masyarakat terkait alur pemasaran dari produk pertanian yang mereka hasilkan. Tujuan pemasaran yang pada awalnya hanya pasar tradisional dalam lingkup kecamatan, kini telah semakin meluas hingga luar kawasan, luar kota, bahkan hingga luar negeri (produk ekspor). Hal ini berimbas pada peningkatan pengetahuan petani terkait dengan saluran pemasaran hasil. Selain itu, produk olahan hasil pertanian juga dapat dipasarkan hingga luar kawasan, bahkan telah menjadi ciri khas daerah setempat.
58
Ketiga, salah satu upaya positif yang dilakukan guna pengembangan kawasan agropolitan yaitu pelaksanaan sistem kemitraan. Kemitraan diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan diatas serta mampu meningkatkan partisipasi stakeholder, terutama pihak swasta, kalangan akademisi dan pihak petani. Penguatan partisipasi stakeholder diharapkan muncul dalam proses berlangsungnya kemitraan, sehingga dapat mendorong penguatan bargaining position dari petani. Melalui kemitraan pula petani dapat memperoleh kepastian terkait pemasaran dan harga produk pertanian yang mereka budidayakan. Pembahasan terkait sistem kemitraan yang terdapat dalam kawasan agropolitan akan dipaparkan pada bab selanjutnya. Pada bab selanjutnya ini akan dianalisis sistem dan permasalahan dari kemitraan yang berlangsung dalam Kawasan Agropolitan Kabupaten Bogor Jawa Barat.
59
6. KEMITRAAN SAYURAN ORGANIK DESA KAREHKEL 6.1
Profil Kelompok Tani Sugih Tani Kelompok Tani Sugih Tani secara administratif berada di Kampung
Pabuaran Dukuh, Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Jarak dari kantor desa 0,7 Km, dari kantor kecamatan sekitar 3,5 Km dan berjarak 50 Km dari kabupaten. Kelompok Tani Sugih Tani berdiri pada tahun 1975 yang didirikan oleh Bapak M. Soleh. Kelompok Tani Sugih Tani memiliki jumlah anggota sebanyak 51 orang, namun hanya 25 orang yang aktif. Luas lahan garapan yang efektif digunakan hanya seluas 25 hektar. Hal ini disebabkan karena jumlah anggota yang terlalu besar dan letak lokasi tempat tinggal serta lahan budidaya yang berjauhan. Sehingga jumlah anggota yang aktif merupakan anggota kelompok yang lokasinya saling berdekatan. Berdasarkan hasil observasi, kelompok tani belum memiliki pernyataan visi dan misi yang tertulis. Namun, berdasarkan hasil wawancara dan diskusi dengan beberapa petani dan ketua kelompok tani, dapat disimpulkan pernyataan visi dan misi Kelompok Tani Sugih Tani. Visi kelompok tani yaitu “Meningkatkan kualitas hidup petani dan masyarakat, serta menjaga kelestarian lingkungan”, sedangkan misi Kelompok Tani Sugih Tani yaitu: 1. Meningkatkan kesejahteraan petani dengan harga jual produk organik yang lebih tinggi. 2. Menjaga kelestarian dan kesuburan tanah dengan menggunakan pupuk organik dan penghentian penggunaan pestisida.
60
3. Mengurangi ketergantungan petani terhadap bahan baku, karena bahan baku seperti pupuk organik dapat dibuat sendiri. PELINDUNG KEPALA DESA
KETUA KELOMPOK TANI SEKRETARIS
BENDAHARA
SEKSI PERTANIAN
SEKSI PEMASARAN
SEKSI SAPROTAN
SEKSI HUMAS
Gambar 9. Struktur organisasi Kelompok Tani Sugih Tani. Pada awal berdirinya, kelompok tani ini membudidayakan komoditas pertanian konvensional (non-organik). Selama 33 tahun, kelompok tani mengalami perkembangan dengan bertambahnya luas lahan, sehingga lahan dapat dibagi dua untuk membudidayakan pertanian dan kebun sayur-sayuran (organik maupun non-organik). Namun, komoditas yang lebih diutamakan yaitu sayuran organik. Jenis sayuran yang dibudidayakan bayam, kangkung, selada, kemangi, lobak, kucai, ganda dan caisim. Pemilihan jenis sayuran tersebut dikarenakan komoditasnya memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan dengan tanaman pangan. Pada tahun 2009, kegiatan pertanian mulai difokuskan pada pertanian organik. Pertanian organik dinilai sangat potensial, karena tingginya permintaan akan sayur-sayuran organik.
61
6.2
Profil International Cooperation and Development Fund (ICDF) Sejak tahun 1980-an, Taiwan tumbuh sebagai kekuatan ekonomi dan
mulai meningkatkan program internasional dengan pembangunan koperasi. Pemerintah Taiwan pada tahun 1997 membentuk sebuah organisasi ekonomi independen yang diberi nama International Cooperation and Development Fund (ICDF). ICDF bertujuan untuk memperkuat kerjasama internasional dan meningkatkan hubungan luar negeri serta mengawasi program-program pengembangan koperasi yang dijalankan Pemerintah Taiwan di luar negeri. ICDF telah bekerja sama dengan banyak organisasi pembangunan internasional, pemerintah asing, organisasi non-pemerintah dan badan hukum. Kompetensi utama dari ICDF yaitu memberikan bantuan teknis, investasi dan pinjaman, pendidikan dan pelatihan, serta bantuan kemanusiaan. Program kerjasama teknis yang dikelola oleh ICDF dijalankan dengan harapan dapat direplikasi pada tempat lain. Program pendidikan dan pelatihan dikembangkan ICDF bersama dengan lembaga-lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan, dengan tujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia pada negara-negara di seluruh dunia. Investasi dan pinjaman yang diberikan oleh ICDF berupa penyediaan kredit mikro di masyarakat pedesaan untuk pembiayaan proyek infrastruktur nasional, dalam bentuk pengembangan usaha kecil. Tujuan utama dan menyeluruh dari pemberian dana oleh ICDF adalah
62
untuk berbagi pengalaman pertumbuhan ekonomi Taiwan dan membuat dunia lebih aman, makmur, serta memilki tempat tinggal inklusif17. Misi Teknik Taiwan sendiri sudah menjalin kerja sama dengan Indonesia sejak tahun 1976, yang mencakup petani pada daerah Surabaya, Cianjur, Boyolali, Yogyakarta, hingga Bogor. Pada program pengembangan produk hortikultura, luas lahan sayur-sayuran dan buah-buahan sudah mencapai 154 Ha. Sebanyak 256 petani berhasil dibina dalam kerja sama bersama Indonesia ini. Hasil produk binaan mencapai 280 ton dengan total penjualan mencapai US$ 320.000.
KELOMPOK TANI SUGIH TANI
Kelompok Tani Harapan Mekar
ICDF Koperasi Mitra Tani Parahyangan
Plasma Lain
Gambar 10. Mitra ICDF dalam kemitraan inti-plasma Beberapa kelompok yang selama ini telah menjalin kemitraan inti-plasma dengan ICDF diantaranya yaitu: 1. Kelompok Tani Sugih Tani (Desa Karehkel, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten
Bogor,
Provinsi
Jawa
Barat).
Komoditas
yang
dikembangkan yaitu sayuran organik. Kemitraan dimulai pada tahun 2009 dan mencakup 51 orang petani sayuran organik.
17
Sumber: http://www.icdf.org.tw/english/e_about_bg.asp [diakses tanggal 14 Juni 2010 9:22]
63
2. Kelompok Tani Harapan Mekar (Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Produk-produk hortikultura dari Desa Cikarawang saat ini baru dapat memenuhi kebutuhan di Jakarta dan sekitarnya. Tetapi, pemasaran sedang dikembangkan untuk menjangkau pasar ekspor. 3. Koperasi Mitra Tani Parahyangan (Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat). Komoditas yang dikembangkan yaitu produk-produk hortikultura berupa sayuran, seperti jagung muda, cabe merah, tomat, terong, kacang panjang, juga kacang kapri. Wilayah ini menjadi proyek percontohan "satu desa satu produk" alias “one village one product” (OVOP) yang dilaksanakan oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM (Kemennegkop dan UKM). Aneka komoditas tersebut dipasarkan terutama ke Jakarta, baik pasar tradisional maupun pasar modern. International Cooperation and Development Fund (ICDF) Taiwan berperan besar dalam kegiatan pemberian bimbingan teknis-teknologis18. Hingga saat ini, Institut Pertanian Bogor (IPB) pun telah menjalin kerjasama dengan Misi Teknik Taiwan (ICDF) di Indonesia. Agribusiness Development Center (Pusat Pengembangan Agribisnis) "University Farm" dibuka di Desa Cikarawang, Bogor, Jawa Barat. University Farm diharapkan menjadi
18
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=223493 [09:25 131210]
64
sarana untuk meningkatkan mutu sumberdaya petani Indonesia agar bisa menembus pasar lokal dan internasional19. Pusat pengembangan agribisnis di Cikarawang ini didirikan pada September 2006 dan diresmikan pada 24 Oktober 2007. Di area enam hektar lahan yang ada di pusat agribisnis tersebut, ditanam berbagai tanaman hortikultura, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Sedikitnya ada delapan produk unggulan, yakni jambu biji varietas kristal, pepaya, pare putih, asparagus, tomat cherry, timun kecil, jujube, dan sayur-sayuran organik. Dalam kerja sama ini, lahan dan alat disediakan oleh IPB. Sedangkan, Misi Teknik Taiwan menangani program pertanian, penyediaan bibit unggul, dan dana pembangunan fisik (hardware). Jumlah dana yang telah terpakai mencapai US$ 500.000. Dibutuhkan waktu dua tahun untuk mengawali pembangunan pusat agribisnis Cikarawang ini, mulai dari pembersihan lahan, pembajakan tanah hingga menjadi lahan siap tanam. 6.3
Proses Awal Kemitraan Sayuran Organik Kemitraan dibutuhkan karena masing-masing stakeholders memiliki
berbagai keterbatasan yang akan dapat dipenuhi oleh pihak lain. Berikut adalah analisis kekuatan dan kelemahan dari Kelompok Tani Sugih Tani serta ICDF.
19
Sumber: http://www.antaranews.com/view/?i=1193208906&c=TEK&s= [diakses tanggal 14 Juni 2010 9:27]
65
Tabel 7. Kekuatan dan kelemahan masing-masing stakeholders Faktor Internal
Kekuatan Pemasaran Hasil produksi telah sesuai standar pemasaran dengan mutu baik (warna lebih cerah, segar dan lebih tahan lama) Memiliki pasar yang tetap (tradisional).
Produksi dan operasi
SDM
Keuangan
Litbang
International Cooperation and Development Fund (ICDF) Kelemahan Kekuatan Kelemahan Kemasan berikut Memiliki mitra Belum memiliki label dan merek berbagai swalayan standar packing yang dipakai yang tersebar pada dan packaging merupakan hasil beberapa kota di yang jelas. swadaya masyarakat. Indonesia. Biaya Belum memiliki Pengetahuan teknis pemasaran sertifikasi organik manajemen masih cukup untuk perlindungan pemasaran yang tinggi. bagi konsumen. baik Harga produk dikontrol ketat oleh ICDF sehingga masih rendah. Produktivitas masih Memiliki Tidak terlibat tergolong rendah. pengetahuan teknis dalam proses dan teknologi produksi, hanya dalam budidaya melakukan sayuran. pelatihan dan quality control.
Kelompok Tani Sugih Tani
Kondisi tanah serta iklim yang cocok memungkinkan pembudidayaan sayuran organik dapat berkembang dengan baik Teknologi telah menggunakan screen house Jumlah petani yang tergabung dalam kelompok tani sebesar 51 orang merupakan suatu potensi yang perlu ditingkatkan partisipasi mereka.
Koordinasi dalam organisasi petani setempat tidak terstruktur dengan baik. Kemampuan dan keterampilan petani dalam administrasi organisasi masih kurang. Modal terbatas Keterbatasan modal yang ada selama ini bagi petani untuk dapat mengembangkan dikembangkan sistem pertanian. dengan efektif dan efisien guna menunjang proses produksi sayuran. Mendapat Rendahnya dukungan pelatihan pengetahuan petani dari ICDF untuk dalam aplikasi pupuk dan pengembangan pestisida organik usaha.
Memiliki SDM yang ahli dalam penelitian dan pengembangan usaha.
Memiliki anggaran khusus bagi pengembangan usaha. Memiliki penopang dana operasional (Taiwan) Memiliki unit R&D Memiliki link yg luas dalam pengembangan teknologi
Minimnya SDM yang di lapangan yang mengawasi proses produksi kelompok mitra.
-
Tidak melakukan analisa pengembangan. local knowledge
66
Kelompok Tani Sugih Tani mulai mengembangkan pertanian sayuran organik pada awal juni 2009 yang menjalin kerjasama dengan pihak ICDF. Pada awalnya IDCF memiliki tujuan untuk mengembangkan pertanian organik serta mencari petani/kelompok tani yang dapat diajak untuk menjalin kemitraan dalam memasok sayuran kepada ICDF. Pada Januari 2009, pihak ICDF mencari informasi ke BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Jawa Barat terkait kelompok tani yang dapat diajak untuk bermitra. BPTP merupakan badan pengembangan pertanian dan juga lembaga yang membina program Prima Tani di Desa Karehkel. Program Prima Tani merupakan sebuah program pengembangan pertanian di Desa Karehkel. Sehingga BPTP memberi rekomendasi kepada ICDF untuk mengembangkan pertanian organik pada Kelompok Tani Sugih Tani. Pada bulan Mei 2009, kedua belah pihak melakukan persiapan konversi lahan menuju lahan untuk pertanian organik. Selain itu ICDF juga memberi pinjaman fasilitas teknologi screen house seluas 800m2 serta memberikan bimbingan teknis terkait budidaya organik yang sesuai dengan prosedur. Pada 1 juni 2009 diadakan penandatanganan perjanjian tertulis (MOU) antara pihak ICDF dengan Kelompok Tani Sugih Tani. Isi perjanjian kedua belah pihak tersebut yaitu: 1. Komoditas yang dibudidayakan terdiri dari 4 jenis sayuran yaitu bayam, kangkung, caisim, dan pokcoy. 2. Pihak kelompok tani harus mampu menyediakan pasokan untuk masingmasing komoditas sebanyak satu kuintal setiap minggunya
67
3. Pihak ICDF memberi pinjaman fasilitas teknologi produksi berupa screen house sepanjang 800m2 yang akan dikreditkan hingga lunas, dan kemudian akan menjadi hak milikm petani 4. Harga setiap komoditas Rp 7000/kg, dan dipotong 25 persen tiap kilogram nya untuk membayar biaya cicilan untuk screen house hingga lunas (harga screen house Rp. 16.000/m2). 6.4
Proses Budidaya Sayuran Organik Usaha sayuran organik yang dijalankan oleh Kelompok Tani Sugih Tani
tergolong baru, namun kelompok tani ini telah memperhatikan dan menjaga kualitas dengan diterapkannya sistem quality control. Quality control telah dilakukan sejak pembelian benih, benih dibeli dari toko pertanian yang sudah dikenal oleh petani karena menjual bibit sayuran dengan mutu yang baik. Sayuran yang diproduksi oleh kelompok tani atas permintaan ICDF terdiri dari empat jenis sayuran, yaitu: caisim, bayam, kangkung, dan pokcoy. Namun, petani belum dapat memenuhi permintaan produksi pokcoy, dikarenakan petani belum memiliki pengetahuan terkait teknik budidaya tanaman pokcoy yang tepat. Sehingga kelompok tani sejauh ini baru mampu memenuhi produksi 3 jenis sayuran organik. “ ...selama ini kita sudah biasa menanam caisim, bayam dan kangkung, kalo pokcoy masi baru. Belum banyak juga petani yang bisa nanam pokcoy, salah-salah malah suka busuk...” (Dadang Rosadi, 52 Tahun)
68
Hasil produksi 3 jenis sayuran tersebut walaupun belum dapat memenuhi kebutuhan ICDF dalam hal kuantitas, namun telah memiliki kualitas yang baik. Oleh karena itu guna mendukung usaha sayuran organik petani, ICDF memfasilitasi penyediaan screen house20, namun petani memiliki kewajiban untuk mencicil biaya screen house tersebut sebesar 25 persen yang dikurangi dari harga jual per kilogram produk sayuran yang dipanen. Sayuran organik yang dibudidayakan oleh petani, sejak awal juga telah memberlakukan standar pengelolaan dan budidaya yang berasal dari ICDF. Quality control juga telah dilakukan pada tahapan pengolahan lahan, penanaman bibit, pemupukan, penutupan lahan dengan screen house, dan terakhir pada saat panen sayuran. Proses panen sayuran organik berlangsung dalam waktu 3-7 hari sekali sesuai dengan permintaan pihak ICDF. Pada proses penanaman, dilakukan secara bertahap dalam jeda sekitar 7-10 hari. Hal ini dilakukan agar produk sayuran yang dihasilkan tidak mengalami panen secara bersamaan, sehingga dapat menjamin ketersediaan produk dalam setiap minggunya. Pada pargraf selanjutnya akan disajikan tabel tahapan lengkap terkait berbagai kegiatan yang dilakukan dalam tahapan produksi sayuran organik.
20
Screen house adalah plastik berwarna putih yang memiliki lebar 3 meter. Fungsi screen house yaitu sebagai penghalang hama, menjaga kelembaban tanah, mengatur intensitas cahaya matahari dan menghindari cipratan air hujan. Membutuhkan modal yang cukup besar untuk membeli screen house, oleh karena itu ICDF memfasilitasi pengadaannya untuk petani.
69
Tabel 8. Tahapan Produksi Sayuran Organik oleh Kelompok Tani Sugih Tani No. 1.
Tahapan Produksi Persiapan lahan
1. 2. 3.
2.
Pembuatan gundukan tanah (guludan)
1. 2. 3. 4.
3.
Penjemuran lahan serta guludan
1. 2. 3.
4.
Penyebaran bibit sayuran
1.
2.
5.
Pemberian pupuk
1. 2.
3. 6.
Penempatan Screen house
1.
2. 3.
7.
Pemberantasan hama
1.
2.
Langkah Produksi Pengolahan tanah. Tanah dipacul dan dibersihkan dari sampah dan gulma. Pembersihan dari sisa-sisa tanaman terdahulu. Pengukuran luas gundukan tanah. Pengurukan tanah. Merapikan guludan. Pengerasan guludan dengan diinjak oleh kaki. Lahan dibersihkan kembali terlebih dahulu. Lahan disiran dengan air yang tidak terlalu banyak. Lahan dibiarkan selama 4-7 hari.
Setiap guludan ditanami oleh sayuran yang berbeda satu sama lain. Pengaturan waktu tanam selama selang waktu 7-10 hari.
Tanaman diberi pupuk kompos yang dibuat sendiri oleh petani. Pupuk disebar merata pada seluruh guludan dan menutupi semua benih tanaman. Lahan disiranm kembali dengan air secukupnya. Persiapan pembuatan pasak untuk menahan screen house. Dibutuhkan kurang lebih 50 pasak bambu untuk setiap guludan. Screen house direntangkan menutupi seluruh guludan. Pasak bambu dipasang pada pinggiran guludan hingga tidak ada rongga yang cukup besar pada setiap pinggiran. Petani melakukan pengontrolan hama secara rutin dalam kurun waktu 1 minggu. Apabila ditemukan hama dalam jumlah kecil, maka pemberantasan dilakukan secara manual dengan membuang hama tersebut.
Keterangan -
Ukuran guludan: Panjang : 25 meter Lebar : 1 meter Jarak antar guludan 50 cm Tujuan penjemuran yaitu untuk melihat apakah terdapat hama pada lahan, sehingga dapat diberantas terlebih dahulu sebelum ditanami sayuran. Tujuan pengaturan waktu tanam yaitu agar tidak terjadi panen secara bersamaan sehingga pasokan sayuran dapat dilakukan secara rutin. Pemupukan dilakukan hanya sekali pada awal penanaman hingga panen.
Pasak bambu berguna untuk menjadi pondasi yang menahan screen house agar tidak bergerak. Pengadaan screen house difasilitasi oleh pihak ICDF.
Hama pada sayuran organik biasanya tidak terlalu banyak yang berupa ulat yang dapat diberantas secara manual oleh petani.
70
8.
Pengairan
1.
2.
9.
Panen sayuran
1.
2. 3.
10.
Penanganan pasca panen
1.
2.
3.
4.
Pengairan dapat dilakukan dengan menggunakan sprayer yang disemprot diatas screen house, dapat juga disiram pada pinggiran guludan. Pengairan dilakukan dalam kurun waktu 3 hari sekali.
Panen dilakukan setelah sayuran mencapai usia tanam dan siap untuk dipetik. Panen juga dapat dipercepat sesuai dengan permintaan ICDF. Panen dilakukan oleh petani yang kemudian hasilnya akan dibawa ke kantor ICDF untuk dilakukan sortasi. Sortasi, dilakukan di kantor ICDF oleh petani untuk memisahkan sayuran dari akar-akarnya serta pemilihan kualitas sayuran. Sayuran yang tidak lolos sortasi akan dibawa kembali oleh petani untuk dijual di pasar tradisional. Sayuran yang telah melewati sortasi, akan dibersihkan dengan alat penyiram air untuk membuat sayur leboh steril. ICDF melakukan packing dan pengiriman kepada swalayanswalayan yang menjadi mitra ICDF seperti Hero, Carrefour, Total Buah, dll.
Pengairan dilakukan menyeseuaikan dengan kondisi cuaca. Dalam musim hujan, tidak perlu dilakukan pengairan rutin karena air telah dikontrol oleh screen house. Namun pada musim kemarau pengairan dilakukan apabila kondisi tanah telah kering, umunya 23 hari sekali. Usia panen: Caisim : 30-40 hari Bayam : 20-30 hari Kangkung : 20-30 hari
-
Dalam proses budidaya, masih terdapat berbagai kekurangan serta keterbatasan dari masing-masing pihak. Beberapa permasalahan yang sejauh ini terjadi dalam proses budidaya sayuran organik yaitu: 1. Kualitas bibit sayuran yang kurang baik. Bibit yang diberikan oleh ICDF memiliki kualitas yang kurang baik, sehingga memerlukan
71
perhatian lebih dari petani untuk merawat sayuran secara kontinyu agar terjaga kualitasnya. 2. Teknik pemupukan yang belum baik sehingga mempengaruhi pertumbuhan sayuran organik. Dari segi pembuatan pupuk kompos, kualitas pupuk sudah terbilang baik. Namun ICDF tidak memberikan pengetahuan teknis terkai dengan teknik pemupukan yang tepat, sehingga petani selama ini hanya memberi pupuk pada awal penanaman
sayuran
dan
tidak
diberikan
lagi
hingga
panen
berlangsung. 3. Sistem penanggulangan hama yang belum tepat. Petani selama ini melakukan penangana hama hanya dilakukan secara manual tidak menggunakan pestisida organik, padahal ICDF memiliki teknologi tersebut. Namun pestisida organik belum digunakan dalam pencegahan hama sayuran. 6.5
Proses penentuan harga produk sayuran organik Sayuran yang lolos hasil sortasi oleh ICDF akan langsung dibeli dan
dibayar dengan sistem tunai di tempat. Pihak ICDF dengan petani dalam perjanjian kemitraan (MOU) telah menetapkan harga produk sayuran organik yang akan dibeli oleh ICDF, yaitu sebesar Rp. 7.000/kg untuk ketiga jenis sayuran tersebut. Setelah dikurangi cicilan pembayaran screen house sebesar 25 persen, maka petani akan mendapat harga jual bersih sebesar Rp. 5.250/kg. Setelah itu
72
sayuran organik akan didistribusikan kepada supermaket yang menjadi mitra ICDF. Sayuran yang tidak lolos sortasi oleh ICDF akan dijual oleh petani kepada pedagang pengumpul desa yang akan disalurkan ke pasar tradisonal. Harga komoditas sayuran yang dibeli oleh pedagang dari petani yaitu sebesar Rp. 2.500/kg. Penentuan harga jual di tingkat pedagang pengumpul sama dengan harga pada petani, yang ditentukan berdasarkan mekanisme pasar. Berikut adalah gambaran lengkap terkait harga produk pada setiap lembaga pemasaran.
Petani Sayuran Organik (Kelompok Tani)
Harga Rp. 7.000/kg
Harga Rp. 12.000/kg
Harga Rp. 15.000/kg
ICDF
Swalayan Mitra ICDF
Konsumen Akhir
Harga Rp. 2.500/kg
Harga Rp. 3.500/kg
Harga Rp. 5.000/kg
Pedagang Pengumpul Desa
Pasar Tradisional
Konsumen Akhir
Gambar 11. Skema harga sayuran pada lembaga pemasaran 6.6
Saluran Pemasaran Produk Sayuran Organik Pemasaran merupakan kegiatan yang mengarahkan aliran barang-barang
dari produsen kepada konsumen termasuk kegiatan operasi dan transaksi yang terlibat dalam pergerakan, penyimpanan, proses, dan distribusi barang. Sedangkan saluran pemasaran adalah jalur yang digunakan produsen dalam penyaluran produk, sehingga dapat sampai pada pihak konsumen. Dalam saluran pemsaran terdapat berbagai kelembagaan lain yang terlibat, hal ini disebabkan karena
73
produsen tidak dapat melakukan pemasaran secara langsung akibat keterbatasan sumberdaya yang dimilikinya (Limbong dan Sitorus, 1987). Sayuran yang telah dipanen akan melalui tahapan penyortiran berdasarkan kualitas. Sortasi dilakukan pada kantor ICDF yang berlokasi di wilayah kampus IPB Dramaga. Di sana petani melakukan penyortiran sederhana dan membersihkan sayuran kemudian diserahkan kepada pihak ICDF. Oleh pihak ICDF, sayuran akan dibersihkan kembali dengan menggunakan alat khusus. Sayuran organik yang dihasilkan oleh petani anggota Kelompok Tani Sugih Tani dapat dibedakan menjadi dua macam kualitas, yaitu: 1. Sayuran yang memiliki kualitas baik dan telah memenuhi standar akan dipasarkan di pasar swalayan 2. Sayuran yang memiliki kualitas sedang dan jelek dan tidak lolos setelah disortir akan dipasarkan pada pasar tradisional. Sayuran Hasil Panen Sayuran tidak sesuai standar
PENYORTIRAN OLEH ICDF PASAR TRADISIONAL Sayuran sesuai standar
PASAR SWALAYAN
Gambar 12. Tahap penyortiran sayuran oleh ICDF. Kuantitas sayuran organik yang disalurkan melalui ICDF rata-rata mencapai 75 persen dari kapasitas produksi petani, sedangkan 25 persen yang
74
tidak lolos sortasi akan dipasarkan ke pasar tradisional langsung oleh petani. Berikut adalah saluran pemasaran dari sayuran organik. Petani Sayuran Organik (Kelompok Tani)
75%
ICDF
60%
Swalayan Mitra ICDF
50%
Konsumen Akhir
Pedagang Pengumpul Desa
20%
Pasar Tradisional
15%
Konsumen Akhir
25%
Gambar 13. Skema kuantitas sayuran pada lembaga pemasaran Pada halaman selanjutnyadapat dilihat rantai pemasaran lengkap dari sayuran organik yang diusahakan oleh Kelompok Tani Sugih Tani.
75
PETANI SAYURAN ORGANIK
Sayuran kualitas rendah (tidak sesuai standar)
KELOMPOK TANI SUGIH TANI Sayuran kualitas baik (sesuai standar)
PASAR TRADISIONAL
Pasar Pasar Swalayan
Swalaya n
ICDF ICDF
Pasar Pasar Swalayan
Swalaya n
Pasar Pasar Swalayan
Swalaya n
KONSUMEN DALAM NEGERI
Keterangan: =
Proses kemitraan yang dikaji dalam penelitian
Gambar 14 Skema distribusi sayuran organik Desa Karehkel. 6.7
Analisis Kemitraan Sayuran Organik Kemitraan yang dijalankan dalam keseluruhaan proses dimana telah
dipaparkan diatas, dapat dikategorikan pada pola kemitraan inti plasma yang melibatkan Kelompok Tani Sugih Tani sebagai kelompok mitra dan ICDF sebagai perusahaan mitra dengan tujuan pemasaran supermarket atau swalayan. Berikut adalah skema kemitraan inti plasma antara kedua belah pihak.
76
Kelompok Tani Sugih Tani
Plasma Lain
ICDF Plasma Lain
Plasma Lain
Gambar 15 Skema kemitraan ICDF-Kelompok Tani Sugih Tani. Beberapa aspek yang menjadi poin utama dalam kemitraan inti plasma antara kelompok tani dengan ICDF yaitu: 1. Penentuan harga produk. Harga sayuran ditetapkan bersama antara ICDF dan kelompok tani yang disesuaikan dengan harga pasaran. Harga untuk tiap kilogram sayuran organik yaitu sebesar Rp. 7000,-. Sedangkan harga sayuran yang tidak lolos sortir oleh ICDF dan dijual ke pasar tradisional yaitu sebesar Rp. 2500/kg. 2. Pemasaran produk. Sayuran organik yang diusahakan oleh Kelompok Tani Sugih Tani hanya dipasarkan pada swalayan yang telah menjadi mitra ICDF. Swalayan yang memasarkan produk kepada lingkup lebih luas. Hal ini menjadi ketentuan yang dibuat bersama oleh kedua belah pihak. Sayuran yang tidak lolos penyortiran, langsung akan dijual oleh petani ke pasar tradisional. 3. Transfer of knowledge. ICDF telah melakukan pelatihan kepada petani terkait sistem pertanian organik. ICDF bekerjasama dengan UPTD
77
pertanian dan kehutanan serta Gapoktan Pandan Wangi dalam memberikan pelatihan. Pelatihan yang telah diberikan yaitu teknik pembuatan kompos dan pestisida organik. 4. Transfer of technology. ICDF memfasilitasi pengadaan screen house guna mendukung usaha penanaman sayuran organik. Teknologi screen house merupakan suatu hal yang tergolong baru bagi petani, sehingga petani belum mengetahui teknis penggunaannya. ICDF memberikan pelatihan langsung di lapangan guna memperagakan cara penggunaan screen house. Aturan main yang ditetapkan antara kelompok tani dengan ICDF dalam kemitraan komoditas sayuran merupakan hubungan yang tercantum dalam kontrak pemasaran serta kontrak harga. Aturan main yang diterapkan oleh kedua belah pihak secara lebih lengkap yaitu : 1. Pihak ICDF memiliki kewajiban untuk membeli sayuran organik yang diusahakan oleh petani anggota Kelompok Tani Sugih Tani. 2. Harga sayuran organik ditetapkan bersama oleh kedua belah pihak sejak awal, yaitu sebesar Rp. 7000/kg sayuran yang lolos sortasi oleh ICDF. 3. Setiap penjualan tiap kilogram sayuran akan dipotong biaya kredit untuk pengadaan screen house sebesar 25 persen. Sehingga harga yang didapat oleh petani setelah dipotong cicilan screen house menjadi Rp. 5.250/kg. Masing-masing stakeholder memiliki tanggung jawab atau kewajiban yang harus dipatuhi satu sama lain. Berikut adalah kewajiban ICDF kepada petani:
78
1. Memberikan pelatihan terkait teknis penanaman sayuran yang sesuai dengan standar ICDF. 2. Melakukan quality control pada setiap tahapan penanaman dan budidaya sayuran organik. 3. Menampung dan memasarkan hasil sayuran organik yang didapat dari kelompok mitra. Sementara itu, petani berkewajiban melakukan hal-hal berikut kepada pihak ICDF: 1. Melakukan penanaman dan budidaya sayuran organik yang sesuai dengan standar ICDF yang sebelumnya telah dijelaskan melalui bimbingan teknis. 2. Membayar cicilan pengadaan screen house ke ICDF sebesar 25 persen dari harga jual tiap kilogram sayuran. 3. Menyerahkan hasil produksi sayuran organik kepada ICDF untuk disortir sesuai standar. Pola interaksi pelaku kemitraan usaha komoditas sayuran antara ICDF dan Kelompok Tani Sugih Tani dilakukan secara kelompok. ICDF hanya menyampaikan informasi kepada salah satu perwakilan kelompok tani kemudian anggota lain mendapat informasi dari perwakilan tersebut. Hal ini dilakukan agar terjadi kesamaan penerimaan informasi. Sistem pembayaran dilakukan secara tunai oleh ICDF kepada petani. Sayuran yang telah lolos hasil sortasi dan telah berada di kantor ICDF, akan langsung dibayar di tempat kepada petani. Peran masing-masing pelaku kemitraan dapat dilihat pada tabel berikut.
79
Tabel 9. Peran masing-masing stakeholder dalam kemitraan sayur organik No. 1.
Pelaku Kemitraan Petani Sayuran Organik
2.
Kelompok Tani Sugih Tani
3.
ICDF
6.8
Peran Produksi, Pembelian Saprotan, Budidaya Sayuran. Penyortiran, Pengumpulan sayuran, dan penyaluran. Bimbingan teknis, diseminasi teknologi budidaya dan pemasaran sayuran organik.
Analisis Pendapatan Petani Sayuran Organik Analisa sederhana terkait pendapatan dilakukan dengan membandingkan
pengeluaran petani untuk kegiatan produksi dengan pendapatan petani setelah panen selesai. Berikut adalah rincian biaya produksi petani untuk selama 4x panen sayuran organik. Tabel 10. Rincian biaya produksi petani No. 1. 2. 3. 4.
Komponen Produksi Pupuk Bibit Pasak Bambu Screen house
Harga Dasar
Kebutuhan
Rp. 5.000/ 30 Kg 60 Kg Rp. 15.000/ 800 gram 2,4 Kg Rp. 5.000/ batang 5 Batang Rp. 16.000 / m2 30 m2 Total Biaya Produksi
Total (Rp.) 10.000 45.000 25.000 480.000 560.000
Modal untuk kegiatan produksi tersebut berasal dari petani masingmasing. Alasan keterbatasan modal dari petani menjadi penyebab minimnya kuantittas produksi dari petani sayuran organik Kelompok Tani Sugih Tani. Selain itu, rendahnya pendapatan petani (setelah panen) yang terlibat dalam kemitraan ini membuat petani lain tidak berminat untuk bergabung dalam sistem kemitraan antara kelompok tani dengan ICDF. Total pendapatan petani setelah panen hanya memberikan sedikit keuntungan guna peningkatan kesejahteraan mereka. Sehingga petani tidak memiliki alokasi dana lebih untuk anggaran lain seperti
80
pendidikan dan kesehatan. Berikut adalah tabel rincian penghasilan petani setelah panen yang telah empat kali berlangsung. Tabel 11. Pendapatan petani setelah panen sayuran organik Panen ke1.
Komoditas Kangkung Caisim
Kuantitas (kg)
47,7 11,3 Hasil panen ke-1 2. Bayam 10,0 Caisim 38,7 Hasil panen ke-2 3. Bayam 26,75 Kangkung 27,75 Hasil panen ke-3 4. Bayam 40,0 Kangkung 40,0 Caisim 20,0 Hasil panen ke-4 TOTAL PENDAPATAN PETANI
Pendapatan Kotor (Rp. 7000/kg) 333.900 79.100 413.000 70.000 270.900 340.900 187.250 194.250 381.500 280.000 280.000 140.000 700.000 1.835.400
Pendapatan Bersih (Rp. 5250/kg) 250.425 59.325 309.750 52.500 203.175 255.675 140.438 145.688 286.126 210.000 210.000 105.000 525.000 1.376.551
Keuntungan petani didapat dari pengurangan antara pendapatan bersih petani setelah panen dengan total biaya produksi, yaitu sebesar Rp 816.551. Besaran keuntungan ini didapat setelah empat kali panen, apabila diambil rata-rata keuntungan petani setiap panen maka akan didapat besaran Rp 204.138. Keuntungan bersih tersebut didapat petani dalam kurun sekali panen yang ratarata berlangsung setiap 30hari. Jumlah ini terbilang sangatlah minim apabila dibandingkan dengan upaya petani selama proses budidaya hingga panen sayuran organik. 6.9
Permasalahan dalam Proses Kemitraan Disamping berbagai hal positif yang telah dipaparkan diatas, dalam
kemitraan antara Kelompok Tani Sugih Tani dengan ICDF juga terjadi berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut diantaranya yaitu:
81
1. Petani merasa terbebani dengan cicilan screen house sebesar 25% dan langsung dipotong dari harga sayuran tiap kilogram. Selain itu, posisi tawar petani yang rendah menyebabkan harga produk sayuran menjadi relatif rendah. Jumlah yang didapat petani dari hasil penjualan sejauh ini hanya akan mengembalikan modal awal petani untuk membudidayakan sayuran organik. Sehingga petani belum mendapatkan keuntungan yang signifikan dari usahanya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Petani hanya mendapat 5.250/kg setelah dipotong cicilan screen house. Padahal petani sayuran organik lain mampu menjual hingga 10.00015.000/kg per komoditas (Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat, 2009). 2. Permasalahan iklim dan cuaca menjadi permasalahan yang menimpa kedua stakeholder. Cuaca yang tidak menentu sangat mengganggu pola tanam petani, serta merusak sayuran organik karena terlalu sering tergenang oleh air. 3. ICDF mengalami kendala dalam kualitas sayuran organik. Petani seringkali tidak menjaga kualitas sayuran sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh ICDF. Kualitas sayuran menjadi tidak terlalu baik karena minimnya perawatan oleh petani. Sehingga pada proses sortasi, banyak sayuran yang tidak lolos penyortiran dan kemudian dijual ke pasar tradisional dengan harga rendah. Hal ini mengakibatkan ICDF mengalami kekurangan stok sayuran organik sesuai dengan permintaan pasar swalayan yang menjadi mitra ICDF dalam memasarkan sayuran.
82
4. Minimnya keterlibatan pemerintah dalam pengembangan usaha mereka. Petani mengharapkan adanya kontrol dari pihak pemerintah terkait proses berlangsungnya kemitraan. Minimnya keterlibatan pemerintah di lapangan berimplikasi pada rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan Kawasan Agropolitan kabupaten Bogor. 5. Minimnya keuntungan yang didapat petani berimplikasi pada kecilnya modal yang dimiliki petani, sehingga petani tidak dapat melakukan pengembangan usaha dengan menambah kuantitas serta luasan lahan produksi. Lembaga keuangan yang berada di desa belum dapat menjadi solusi permasalahan keuangan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh lembaga pembiayaan
yang mensyaratkan adanya
jaminan untuk
mendapatkan dana. 6.10
Upaya Revitalisasi dan Strategi Pengembangan Kemitraan Sayuran Organik Desa Karehkel Guna meminimalisir dampak yang lebih luas akibat dari permasalahan
tersebut, maka dilakukan berbagai upaya revitalisasi. Upaya revitalisasi yang dilakukan oleh masing-masing ataupun kedua belah pihak tersebut yaitu: 1.
ICDF melakukan quality control secara rutin dalam jangka waktu tertentu guna menjaga kualitas sayuran yang dibudidayakan oleh petani.
2.
Petani mengusahakan komoditas lain atau menjadi buruh tani pada lahan milik orang lain, guna menutupi kebutuhan harian mereka, meskipun hal ini cukup merugikan ICDF karena petani menjadi tidak fokus. Namun, hal
83
ini sangat membantu bagi petani guna memberikan pemasukan tambahan bagi kelurga mereka. 3.
ICDF dan petani anggota Kelompok Tani Sugih Tani mengadakan pertemuan rutin guna memberi waktu diskusi terkait permasalahan yang dialami masing-masing pihak. Pertemuan rutin ini mampu membuat interaksi yang positif antara ICDF dengan petani, serta mampu memahami permasalahan satu sama lainnya dan saling bermusyawarah untuk menyelesaikannya. Permasalahan yang muncul diantara pihak-pihak yang terlibat dalam
kemitraan perlu dicermati mendalam hingga akar permasalahannya, serta memerlukan upaya guna perbaikan selanjutnya. Selain itu, diperlukan juga berbagai upaya preventif agar dampak permasalahan tidak meluas. Beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh masing-masing stakeholders dalam kemitraan, serta pemerintah (sebagai regulator) diantaranya yaitu sebagai berikut: 1. Meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam upaya produksi komoditas sayuran organik. Kapasitas produksi kelompok tani sejauh ini masih belum mampu memenuhi permintaan pesanan ICDF dan swalayan sebanyak 100kg/minggu. Hal ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas yang berawal dari minimnya modal petani. Dengan besarnya permintaan pasar, maka diperlukan keterlibatan lembaga pembiayaan mikro yang dapat dimanfaatkan petani untuk mendapatkan modal guna peningkatan kapasitas produksi dan menambah luasan lahan budidaya.
84
2. Melakukan quality control rutin terhadap proses produksi komoditas sayuran organik. Peran ICDF dalam pengawasan produksi perlu dimaksimalkan guna menjaga kualitas sayuran. Hal ini sangat berdampak pada prospek ke depan dari sayuran organik yang diupayakan oleh Kelompok Tani Sugih Tani untuk menghadapi persaingan pasar yang semakin luas. 3. Peningkatan kemampuan serta pengetahuan teknis petani dalam aspek manajerial serta pemsaran. Petani masih mengalami kekurangan pengetahuan dalam manajemen dan pengembangan pemasaran sayuran organik. Guna peningkatan kemampuan dan pengetahuan petani, maka pemerintah serta ICDF harus dapat mengadakan berbagai pelatihanpelatihan secara intensif. Selain itu, petani juga perlu memiliki kesadaran dan kemauan untuk berlajar dan mengembangkan diri mereka. Upaya persuasi yang dilakukan oleh pemerintah maupun ICDF harus dapat diimbangi dengan kemauan dari petani, hal merupakan pondasi yang dapat mendukung peningkatan kesejahteraan petani untuk masa mendatang. 4. Pengoptimalan STA (Sub Terminal Agribisnis) yang telah dibangun di Desa Karacak. Sub Terminal Agribisnis yang telah dibangun di Desa Karacak memiliki fungsi yaitu sebagai temapat pengumpulan hasil panen, tempat sortasi produk, pencucian, pengepakkan, pelabelan, hingga sebagai tempat transaksi dan pusat informasi pasar mengenai harga dan jumlah produksi.
STA
akan
memberi
banyak
manfaat
positif
apabila
85
dioptimalakan pemanfaatannya. Namun saat ini kondisi STA dalam keadaan terbengkalai dan sama sekali tidak digunakan sesuai fungsinya. Peran STA harus dapat dikembalikan agar tujuan utama pengembangan kawasan agropolitan dapat tercapai. Keterlibatan seluruh stakeholders dalam pemanfaatan STA dapat mendorong pemanfaatan yang optimal untuk kedepannya. 5. Packing serta packaging produk sayuran yang menarik. Pengemasan sayuran yang telah dilakukan selama ini masih sangat sederhana dan kurang menarik. Apabila produk sayuran organik akan dipasarkan secara meluas, maka kemasan menjadi faktor penting. Kemasan yang baik akan meningkatkan minat konsumen untuk membeli, selain dari kualitas sayuran itu sendiri. Pengemasan ini harus menjadi perhatian dari ICDF selaku pihak yang memasarkan sayuran kepada swalayan-swalayan. ICDF harus menetapkan standar minimal pengemasan yang harus diperhatikan oleh swalayan.
86
7. PENUTUP 7.1
Kesimpulan Setelah melakukan penelitian yang dirumuskan dalam suatu perumusan
masalah penelitian, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yang mampu menjelaskan proses yang terjadi dalam upaya pengembangan Kawasan Agropolitan Kabupaten Bogor yakni sebagai berikut. 1. Upaya pengembangan kawasan agropolitan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor
belum
memberikan
manfaat
dan
dampak
optimal
yang
diindikasikan oleh partisipasi masyarakat, perluasan kesempatan kerja, pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat. Hasil penjualan produk unggulan
belum
dapat
langsung
berimplikasi
pada
peningkatan
pendapatan masyarakat (income multiplier) sebagaimana yang diharapkan oleh tujuan pengembangan kawasan agropolitan. Hal ini disebabkan karena petani belum mendapatkan nilai tambah yang optimal dari usaha pertanian komoditas yang mereka upayakan. Nilai tambah terbesar justru didapatkan oleh pihak lain diluar kawasan. 2. Kemitraan yang dijalankan antara Kelompok Tani Sugih Tani dengan pihak ICDF dalam komoditas sayuran organik di Desa Karehkel, dapat dikategorikan pada pola kemitraan inti plasma yang melibatkan Kelompok Tani Sugih Tani sebagai kelompok mitra dan ICDF sebagai perusahaan mitra dengan tujuan pemasaran supermarket atau swalayan yang telah menjadi mitra ICDF dalam pemasaran hasil. ICDF telah menerapkan
87
standar mutu yang baik serta telah memberikan bimbingan teknis kepada petani guna peningkatan produktivitas hasil. Selain itu, petani juga cukup mendapatkan pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat untuk efektivitas dan efisiensi dalam budidaya sayuran organik yang ramah lingkungan. Berbagai permasalahan masih terjadi dalam berlangsungnya kemitraan ini. Namun, permasalahan yang terjadi diantara mereka tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap hubungan kedua belah pihak. Hal ini disebabkan karena mereka telah melakukan upaya-upaya revitalisasi yang bertujuan meminimalisir dampak dari permasalahan yang dialami masing-masing pihak. 3. Pendapatan petani dari hasil kemitraan sayuran organik terbilang kecil serta belum dapat memberi kesempatan mereka dalam mengembangkan usaha. Petani dalam satu bulan rata-rata hanya mendapat penghasilan sebesar Rp 204.138. Jumlah tersebut tidak sebanding dengan pengorbanan mereka, hal ini menjadi keluhan sebagian besar petani yang terlibat dalam kemitraan. Sehingga mereka mengupayakan komoditas pada lahan lain atau menjadi buruh tani pada lahan milik orang lain. 7.2
Saran Beberapa saran yang dapat diajukan oleh peneliti setelah melakukan kajian
pada Kawasan Agropolitan Kabupaten Bogor, diantaranya yaitu: 1. Dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang mampu berdaya saing dan memiliki pengetahuan yang kuat, peningkatan kualitas
88
pendidikan bagi masyarakat merupakan salah satu aspek penting yang perlu dipertimbangkan dan mendapat prioritas didalam penyusunan program pada kawasan agropolitan. Hal ini dimaksudkan guna mencegah kebocoran wilayah. Selain itu dapat menimbulkan income multiplier dalam kawasan. 2. Pemerintah juga perlu memfasilitasi serta berperan aktif dalam kemitraan dan mendorong pelaku usaha besar guna mendukung pendanaan program pengembangan
kawasan
agropolitan
secara
partisipatif
bersama
masyarakat. Sehingga petani tidak hanya menjadi objek, mereka berperan pula sebagai subjek dalam upaya bersama mengembangkan kawasan agropolitan. 3. Perlunya tenaga terampil dalam mengelola program pengembangan kawasan agropolitan. Sehingga program ini tidak hanya menjadi pekerjaan sampingan bagi pemerintah, selama ini pemerintah terlihat menyerahkan tanggung jawab pada pihak-pihak yang kurang kompeten dalam bidang ini, sehingga mereka hanya mengambil keuntungan sesaat dari pendanaan program. Keterlibatan tenaga yang ahli akan berdampak langsung pada keberlangsungan
dan
keberlanjutan
yang
baik
dari
program
pengembangan Kawasan Agropolitan Kabupaten Bogor. 4. Masing-masing pihak yang terlibat dalam kemitraan harus dapat menyadari hak serta kewajiban mereka, sehingga tidak terjadi masalah yang berarti dalam berlangsungnya kemitraan. Hal ini juga akan berimbas
89
pada langgengnya hubungan kedua belah pihak, yang pada akhirnya dapat menunjang kesejahteraan petani dan memenuhi kebutuhan perusahaan mitra. Sehingga kemitraan dapat menjadi sebuah win-win solution bagi kedua belah pihak.
90
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2006. Kawasan Agropolitan: Konsep Pembangunan Desa-Kota Berimbang. LPPM IPB. Bogor: Crespent Press Kampus IPB Baranangsiang. ______. 2005. Penyusunan Masterplan Kawasan Agropolitan Kabupaten Bogor. [Laporan Akhir]. BAPPEDA Kabupaten Bogor. ______. 2008. Data Kantor Kepala Desa Karehkel. Desa Karehkel Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor. ______. http://www.antaranews.com/ view/?i = 1193208906&c=TEK&s=. IPBTaiwan Buka "University Farm" di Bogor [diakses tanggal 14 Juni 2010 9:27] ______.http://ciptakarya.pu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id =27& Itemid=38. Agropolitan sebagai Solusi. [diakses tanggal 15 mei 2009 11:19] ______.http://www.icdf.org.tw/english/e_about_bg.asp. Profil ICDF. [diakses tanggal 14 Juni 2010 9:22] ______.http://www.scribd.com/doc/19134579. Contesting Values in Agropolitan Development Policy in Indonesia. [diakses tanggal 22 mei 2009 08:53] ______.http://www.suarakarya - online.com/ news. html? id=223493 [diakses tanggal 13 Desember 2010 09:25] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2002. Prospek Pertanian Organik Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Darmawan, A. H. 2006. Pembaruan Tata Pemerintahan Desa: Transformasi Struktur dan Agensi Kelembagaan Pemerintahan Desa Berbasiskan Kemitraan. [Laporan Penelitian]. PSP3-IPB dan Partnership for Governance Reform in Indonesia,. Darwis, Valeriana, Endang LH, Supena F. 2006. Revitalisasi Kelembagaan Kemitraan Usaha Dalam Pembangunan Agribisnis Hortikultura di Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Kebijakan Pertanian 03: 45-57 Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat 2009. Pedoman Pertanian Organik. www.diperta.jabaprov.go.id [11 Desember 2009 10:04]
91
Direktorat Pengembangan Usaha. 2002. Pedoman Kemitraan Usaha Agribisnis. Departemen Pertanian: Jakarta. Elsener, A. 1999. Upaya Meningkatkan Pangan Dunia. Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia, 14 Oktober 1999. Kanisius. Yogyakarta. Fadloli, F. 2005. Kajian Pelaksanaan Kemitraan antara PT. Saung Mirwan dengan Mitra Tani Edamame di Desa Sukamanah, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. [Skripsi]. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hafsah, Mochammad Jafar. 1999. Kemitraan Usaha: Konsepsi dan Strategi. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta. Limbong, W. H dan Sitorus, P. 1987. Pengantar Tata Niaga Pertanian. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nugroho, P. 2008. Contesting Values in Agropolitan Development Policy in Indonesia. [Jurnal]. volume 10 nomor 2 Mei 2008. UNDIP. Puspitawati, Eka. 2004. Analisis Kemitraan antara PT. Pertani (Persero) dengan Petani Penangkar Benih Padi di Kabupaten Karawang. [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sitorus, F. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Bogor: Kelompok Dokumentasi Ilmu-Ilmu Sosial. Sutanto, Rahmat. 2006. Pertanian organik menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta. Rustiadi, E. 2004. Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Pembangunan Berimbang. Bogor: Crespent Press Kampus IPB Baranangsiang.