STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2013 (PP-46/2013) DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sudarman ABSTRAKSI Pajak Penghasilan (PPh) menurut PP 46 adalah bersifat final dengan tarif 1 persen untuk pendapatan yang tidak melebihi Rp 4.800.000.000,- setahun yang sudah diberlakukan sejak 1 Juli 2013 dan harus sudah mulai pembayarannya paling lambat 15 Agustus 2013. PP 46 ini telah diundangkan pada tanggal 13 Juni 2013 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan ditindaklanjuti oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 107/PMK.011/2013 yang ditetapkan pada tanggal 30 Juli 2013 dan baru diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2013 serta ditindak lanjuti oleh Direktur Jendral Pajak dengan mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor : SE-42/PJ/2013 pada tanggal 2 September 2013. Diundangkan dan pemberlakuan PP 46/2013 ini ternyata banyak masalah yang timbul sebagai akibat dari kurangnya kesiapan pemerintah, diantaranya adalah penerbitan PMK yang terlambat serta penerbitan Surat Edaran Dirjen Pajak yang juga baru diterbitkan pada tanggal 2 September 2013 sementara itu petugas Pajak terutama Accounts Representative (AR) yang nota bene sebagai bagian dari palang pintu Dirjen Pajak juga belum siap karena terlambatan sosialisasinya yang mengakibatkan keresanan Wajib Pajak. Kata kunci: APBN, PP 46/2013, Petugas Pajak, Wajib Pajak.
PENDAHULUAN Latar Belakang Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugastugasnya untuk menjalankan pemerintahan (Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R). Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan
1
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat. Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut (Diaz Priantara dalam Soemitro 1992) merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk
penyelenggaraan
pemerintahan.
Dari
pendekatan
hukum
ini
memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak. Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat'' Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan uraian diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi diantaranya adalah ; fungsi anggaran, fungsi mengatur , fungsi stabilitas dan fungsi redistribusi pendapatan . Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak.
2
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013, anggaran penerimaan negara dari sektor pajak ditetapkan sebesar Rp 1.193 trilyun atau 78% dari seluruh Pendapatan Negara yang dianggarkan. Pemerintah memberikan Kebijakan Insentif Perpajakan yang berorientasi pada daya beli masyarakat berpendapatan rendah melalui peningkatan pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dari Rp 15.840.000 per tahun menjadi Rp 24.300.000 per tahun, Kebijakan perpajakan juga diarahkan untuk industri yang ramah lingkungan melalui pembebasan PPnBM untuk kendaraan bermotor ramah lingkungan serta falisitas tidak dipungut PPN dan PPnBM terhadap barang kena pajak (BKP) untuk ekplorasi hulu migas dan panas bumi. Berkurangnya penerimaan dari sektor tersebut diatas maka pemerintah menetapkan Kebijakan Negara dari sektor penerimaan pajak diantaranya adalah memperluas basis pajak dengan kebijakan PPh yang memberikan fasilitas bagi usaha kecil dan menengah serta menyederhanakan dalam pembayarannya. Kebijakan insentif perpajakan yang diberikan pemerintah ini memicu penurunan penerimaan negara dari sektor pajak, maka kebijakan pemberian insentif tersebut harus dapat diimbangi dengan kebijakan lainnya yang memicu kenaikan penerimaan pajak yaitu dengan mengeluarkan PP 46 tentang PPh final, siapkah Dirjen Pajak dengan hadirnya PP 46 ini dan adilkah kebijakan tersebut ?
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian pajak menurut Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan pengertian pajak menurut Prof. DR. Rachmat Sumitro,SH (1992), pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum
3
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
dan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah, untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan negara. Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Pajak mempunyai beberapa fungsi penting diantaranya, yaitu (Diaz Priantara, 2012; 4) 1. Fungsi anggaran (budgetair) Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak. 2. Fungsi mengatur (regulerend) Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. 3. Fungsi stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
4
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
4. Fungsi redistribusi pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan terhadap orang pribadi dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak. Objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk : (UU PPh nomor 36 tahun 2008) a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Pajak Penghasilan; b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan; c. laba usaha; d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : -
keuntungan
karena
pengalihan
harta
kepada
perseroan,
persekutuan,dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; -
keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota;
-
keuntungan
karena
likuidasi,
penggabungan,
peleburan,
pemekaran,pemecahan atau pengambilalihan usaha; -
keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan
5
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak pihak yang bersangkutan; e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya; f. bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; g. dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; h. royalti; i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; n. premi asuransi; o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak
Sedangkan Pajak Penghasilan (PPh) menurut Pasal 2 PP 46/2013 adalah : 1. Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat Final. 2. Wahib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
6
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
a. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan tidak termasuk Badan Usaha Tetap; dan b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000,- dalam 1 tahun pajak.
Tarif dan dasar pengenaan PPh sesuai dengan PP 46/2013 adalah : 1. Besarnya tarif pajak yang bersifat Final adalah 1 % 2. Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan. 3. Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp 4.800.000.000,- dalam 1 Tahun Pajak. Wajib Pajak tetap dikenai tarif pajak penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat 1 sampai akhir tahun Pajak yang bersangkutan.
PEMBAHASAN Alur diberlakukannya PP 46/2013 yang mengakibatkan beberapa exses terhadap penerimaan pajak, kemudahan Wajib Pajak dan keresahan Wajib Pajak :
APBN 2013
Kebijakan Insentif Perpajakan
7
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
Kebijakan Penerimaan Pajak
PP 46/2013
Sebagaimana yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2013, pemerintah menetapkan anggaran penerimaan Negara sebesar Rp 1.529,7 trilyun, dari jumlah tersebut telah ditetapkan penerimaan dari sektor perpajakan sebesar Rp 1.193,0 trilyun. Dari sejumlah anggaran penerimaan tersebut pemerintah telah mengeluarkan kebijakan insentif perpajakan : 1. yang berorientasi pada peningkatan daya beli masyarakat dengan pendapatan rendah melalui peningkatan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp 15.840.000 per tahun menjadi Rp 24.300.000,- per tahun 2. Kebijakan perpajakan yang diarahkan pada industri yang ramah lingkungan melalui pembebasan/pengurangan PPnBM untuk kendaraan bermotor ramah lingkungan (Hubrid and Low Cost Green Car) 3. Fasilitas tidak dipungut PPN dan PPnBM terhadap Barang Kena Pajak (BKP) untuk ekplorasi hulu migas dan panas bumi.
Kebijakan pemberian insentif pajak sebagaimana tertuang dalam APBN 2013 tersebut berakibat menurunya penerimaan pajak yang signifikan, oleh karena itu sebagai pengganti penurunan penerimaan pajak tersebut, pemerintah mengeluarkan PP 46/2013 yang tujuan awalnya adalah untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang memiliki peredaran bruto tertentu. Namun jika didalami lebih lanjut dengan pemberlakuan PP 46/ 2013 ini justru akan meningkatkan penerimaan pajak karena dasar pengenaan pajak tidak lagi didasarkan pada laba yang diperoleh Wajib Pajak akan tetapi didasarkan pada omzet perusahaan dalam bulan yang bersangkutan tanpa memperhatikan laba atau rugi Wajib Pajak.
8
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
Permasalahan Yang Timbul dari PP 46/2013 Pertimbangan Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam PP 46 tahun 2013 adalah ; bahwa untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak orang pribadi dan Badan yang memiliki peredaran bruto tertentu, perlu memberikan perlekuan tersendiri
ketentuan mengenai perhitungan,
penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang. Pajak Penghasilan (PPh) menurut PP 46 adalah bersifat final dengan tarif 1 persen untuk pendapatan yang tidak melebihi Rp 4.800.000.000,- setahun yang sudah diberlakukan sejak 1 Juli 2013 dan harus sudah mulai pembayarannya paling lambat 15 Agustus 2013. PP 46 ini telah diundangkan pada tanggal 13 Juni 2013 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan ditindaklanjuti oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 107/PMK.011/2013 yang ditetapkan pada tanggal 30 Juli 2013 dan baru diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2013 serta ditindak lanjuti oleh Direktur Jendral Pajak dengan mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor : SE-42/PJ/2013 pada tanggal 2 September 2013.
Berawal dari diteribitkannya PP 46 sampai dengan penerbitan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak ini saja sudah terlihat adanya permasalahan yang timbul diantaranya adalah : 1. Kebijakan Insentif Perpajakan yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2013 yang tertuang dalam UU nomor. 19 tahun 2012 seharusnya PP 46 tersebut sudah dipersiapkan terlebih dahulu sebelum pemberlakuan APBN 2013 2. Dengan diterbitkannya PP 46, PMK Nomor 107/PMK.011/2013 dan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE-42/PJ/2013 dari tanggal mulainya pemberlakuan sampai dengan Surat Edaran sangat tidak wajar dan pemerintah terkesan memaksakan pemberlakuan PP 46 tersebut.
9
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
3. Pemberlakuan PP 46 belum diikuti kesiapan petugas pajak untuk mengawal keberhasilan dari PP tersebut, hal ini terbukti dari belum siapnya
Accounts
Representative
(AR)
diseluruh
KPP
sampai
diterbitkannya SE-42/PJ/2013. 4. Pemberlakuan suatu aturan biasanya disosialisasikan terlebih dahulu kepada Wajib Pajak agar Wajib Pajak mengerti dan tergerak untuk melaksanakan aturan tersebut. 5. Pemberlakuan PP 46 yang terlihat dipaksakan tersebut membuat Wajib Pajak was-was, karena dengan diundangkannya dan diberlakukannya tersebut sudah terlambat, sehingga Wajib Pajak kawatir dengan Denda akibat keterlambatan pembayaran dan kesiapan administrasinya, walaupun akhirnya pemerintah memberikan keringanan pembebasan denda sampai dengan akhir tahun 2013.
Yang dikenakan PPh Final sesuai PP 46/2013 Pada dasarnya, semua wajib pajak baik perorangan maupun badan (kecuali yang berbentuk Badan Usaha Tetap (BUT) dengan “peredaran bruto” yang memenuhi kriteria
“Wajib pajak Non-BUT yang menerima penghasilan dari
usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp 4.8 miliar dalam 1 tahun fiskal.” ini dikenakan PPh Final sesuai PP 46. Lalu Apa itu peredaran bruto? Dalam bahasa dagang umum sering disebut “omzet”, sedangkan dalam akuntansi disebut “pendapatan” (revenue) saja. Sejak rencana pemberlakuan peraturan PP 46/2013 ini
sudah banyak
memperoleh penolakan, khususnya dari UKM, karena dianggap memberatkan. Lalu apa yang memberatkan UKM ? 1. UKM merasa berat karena besarnya tarif pajak 1 persen dari pendapatan jika dibandingkan dengan PPh pasal 25 bulanan yang harus dibayar jumlahnya sangat besar kenaikannya. 2. UKM sangat belum siap dengan pemberlakuan PP 46/2013 ini karena sosialisasi belum dilakukan akan tetapi peraturan ini sudah diterapkan.
10
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
3. Perubahan ini mengakibatkan adanya dualisasi laporan yaitu untuk periode Januari sampai dengan Juni 2013 masih harus membuat laporan SPT tahunan, sementara WP belum paham betul bagaimana pembuatan SPT tersebut dimana WP merasa masih sangat kurang informasi yang diperoleh dari Direjen Pajak karena kurangnya sosialisasi termasuk pelatihanpelatihan yang diberikan kepada WP.
Cara Menentukan Peredaran Bruto Telah disebutkan di atas bahwa WP yang dikenakan PPh Final sesuai dengan PP 46/2013 ini adalah “Pendapatan bruto tidak melebihi 4.8 miliar.” Pertanyaannya: bagaimana caranya menentukan besarnya “peredaran bruto” yang akan dijadikan dasar perhitungan? Menurut PP ini, pendapatan yang dihitung sebagai dasar untuk menentukan Rp 4.8 miliar adalah semua pendapatan termasuk pendapatan perusahaan cabang (bila ada), namun TIDAK TERMASUK pendapatan yang telah dikenakan PPh final dan pendapatan yang berupa jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas. Contoh 1: PT. Semarang Setara pada tahun fiskal 2013 memperoleh Omzet penjualan sebesar Rp 4.750.000.000,- Jasa Giro Rp 25.000.000,- dan Bunga Deposito sebesar Rp 35.000.000,- sehingga total pendapatan tahun fiskal 2013 adalah sebesar Rp 4.810.000.000,Jika dilihat dari total pendapatan total pendapatan PT. Semarang Setara jelas sudah di atas Rp 4.800.000.000,- akan tetapi dari jumlah tersebut termasuk di dalamnya Pendapatan Jasa Giro dan Bunga Deposito yang jumlahnya sebesar Rp 60.000.000,- yang sudah dikenakan PPh final oleh pihak bank, maka peredaran bruto yang dapat diperhitungkan adalah hanya sebesar Rp 4.750.000.000,sehingga masih masuk dalam kriteria WP yang dikenakan PPh final dengan tarif 1 persen sesuai dengan PP 46/2013. Contoh : 2 PT.Semarang Kentara yang berkantor pusat di jalan Pemuda Semarang memiliki kantor cabang di beberapa kota dan mempunyai omzet penjualan sebagai berikut :
11
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
-
Omzet Penjualan Kantor Pusat
Rp 2.500.000.000,-
-
Omzet Penjualan Cabang Pamularsih
Rp 1.950.000.000,-
-
Omzet Penjualan Cabang Majapahit
Rp
750.000.000,-
-
Omzet Penjualan Cabang Demak
Rp
575.000.000,-
Jumlah
Rp 5.775.000.000,-
Berdasarkan total omzet penjualan PT. Semarang Kentara tahun fiskal 2013 sebesar Rp 5.775.000.000,- maka PT. Semarang Kentara telah memenuhi kriteria wajib pajak yang dikenakan PPh Final dengan tarif 1 persen. Masalah peredaran bruto berdasarkan PP 46/2013 ini akan menjadi sedikit rumit karena diberlakukan di tengah-tengah tahun fiskal yaitu tanggal 1 Juli 2013. Inilah yang dikeluhkan para Wajib Pajak, sementara peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000,- yang digunakan adalah total peredaran bruto selama satu tahun fiskal (12 bulan) dan belum lagi jika Wajib Pajak baru terdaftar di tengah-tengah tahun fiskal.
Cara Menghitung PPh Final menurut PP 46/2013 ini dan apa yang terjadi jika dalam suatu bulan Omzet telah memenuhi Rp 4.800.000.000,Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang digunakan, sesuai dengan PP 46/2013 ini, adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. Sedangkan besarnya PPh final dihitung dengan cara mengalikan DPP dikalikan dengan 1 persen.
Contoh : PT. Semarang Setara memiliki peredaran bruto Rp 5,100,000,000 dalam jumlah tersebut di dalamnya termasuk bunga atas jasa giro sebesar Rp 285.000.000,- sedangkan omzet penjualan bulan Juli 2013 sebesar Rp 350.000.000,-(tidak termasuk bunga jasa giro) maka PPh final bulan Juli 2013 yang harus dibayar adalah : PPh Final = Rp 350,000,000 x 1% PPh Final = Rp 3,500,000 Apabila berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh pihak Dirjen Pajak pada tahun 2013, peredaran bruto PT. Semarang Setara belum mencapai Rp 4.800.000.000,- sehingga mulai Januari 2014 dikenakan PPh Final tarif 1 persen.
12
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
Namun, apa yang terjadi jika total pendapatan kumulatif PT. Semarang Setara di bulan Juli 2014 ternyata telah melebihi Rp 4.800.000.000 ? Menurut PP 46/2013 ini, PT. XYZ tetap dikenakan PPh Final tarif 1 persen hingga tahun fiskal 2014 berakhir. Baru akan dikenakan PPh sesuai dengan UU PPh di tahun fiskal berikutnya, yakni 2015. Inilah yang dikeluhkan UKM, pada umumnya dengan adanya PP 46/2013 yang semula menyelenggarakan pembukuan UKM merubah tidak melakukan pembukuan dengan alasan efisiensi dan menganggap PP 46/2013 ini menjadi lebih sederhana. Nah dengan aturan ini jika ternyata Omzet telah mencapai Rp 4.800.000.000,- maka UKM mau tidak mau harus menyelenggarakan pembukuan kembali sehingga menambah permasalah kembali.
Bolehkah Wajib Pajak Melakukan Kompensasi Kerugian Wajib Pajak yang dikenai PPh Final berdasarkan PP 46/2013 ini dan menyelenggarakan pembukuan, dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang Tidak Dikenakan PPh Final, dengan ketentuan sebagai berikut:
Kompensasi kerugian dilakukan mulai tahun fiskal berikutnya berturutturut sampai dengan 5 (lima) tahun fiskal. Contohnya: Apabila PT. Semarang Setara mengalami kerugian pada tahun fiskal 2010, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan pada tahun fiskal 2011 sampai dengan 2015.
Tahun fiskal dikenakannya PPh final berdasarkan PP 46/2013 ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud. Contohnya: Jika PT. Semarang Setara pada tahun fiskal 2014 dikenai PPh Final berdasarkan ketentuan PP 46/2013 ini, maka jangka waktu kompensasi kerugian tetap dihitung sampai dengan tahun fiskal 2015.
Kerugian pada suatu tahun fiskal dikenakannya PPh final berdasarkan PP 46/2013 ini tidak dapat dikompensasikan pada tahun fiskal berikutnya. Contohnya: Jika PT. Semarang Setara pada tahun fiskal 2014 dikenai PPh Final berdasarkan PP 46/2013 ini dan mengalami kerugian berdasarkan
13
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
pembukuan, maka atas kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan dengan tahun fiskal berikutnya. Nah inilah yang dikeluhkan oleh UKM karena kebijakan ini justru sangat merugikan UKM yang merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah. Lalu sebenarnya selain beberapa kekurangan tersebut ternyata PP 46/2013 ini memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh Peraturan Pemerintah (PP) lainnya diantaranya adalah : 1. Pemerintah memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya pajak penghasilan yang harus dibayar tiap bulan karena tidak harus menunggu akhir tahun setelah laporan keuangan diterbitkan karena dasarnya hanya 1 % dari omzet tiap bulan. 2. Wajib Pajak kecil tidak harus susah-susah menyusun laporan keuangan. 3. Wajib Pajak dapat meningkatkan efisien karena tidak harus memberikan gaji untuk bagian akuntansi. 4. Perhitungan, pembayaran Pajak Penghasilan dan pelaporannya menjadi sederhana.
PENUTUP Pajak Penghasilan (PPh) menurut PP 46 adalah bersifat final dengan tarif 1 persen untuk pendapatan yang tidak melebihi Rp 4.800.000.000,- setahun yang sudah diberlakukan sejak 1 Juli 2013 dan harus sudah mulai pembayarannya paling lambat 15 Agustus 2013. PP 46 ini telah diundangkan pada tanggal 13 Juni 2013 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan ditindaklanjuti oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 107/PMK.011/2013 yang ditetapkan pada tanggal 30 Juli 2013 dan baru diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2013 serta ditindak lanjuti oleh Direktur Jendral Pajak dengan mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor : SE-42/PJ/2013 pada tanggal 2 September 2013. Kelebihan diundangkannya dan pemberlakuan PP 46/2013 ini adalah memberikan kemudahan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang memiliki
14
STIE DHARMAPUTRA SEMARANG DHARMA EKONOMI – NO. 38/ TH. XX/ OKTOBER 2013
peredaran bruto tertentu mengenai perhitungan, penyetoran dan pelaporan pajak penghasilannya, sedangkan masalah yang timbul adalah sebagai akibat dari kurangnya kesiapan pemerintah,
diantaranya adalah penerbitan PMK yang
terlambat serta penerbitan Surat Edaran Dirjen Pajak yang juga baru diterbitkan pada tanggal 2 September 2013 sementara itu petugas Pajak terutama Accounts Representative (AR) yang nota bene sebagai bagian dari palang pintu Dirjen Pajak juga belum siap karena terlambatnya sosialisasi. Oleh karena itu ke depan sebaiknya setiap penerbitan PP sebaiknya pemerintah mempersiapkan jauh-jauh sebelumnya sehingga tidak terkesan memaksakan.
REFERENSI Diaz Priantara, 2012, “Perpajakan Indonesia”, Edisi 2, Mitra Wacana Media Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia , “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 tahun 2013. Menteri Keuangan Republik Indonesia 2013. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 107/PMK.011/2013 Direktur Jendral Pajak, “Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor : SE42/PJ/2013.. Undang-Undang Nomor : 19 tahun 2012 tentang “ Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara(APBN) tahun Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah dirubah beberapa kali terakhir Undang-utandang Nomor 36 tahun 2008.
15