HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK KELUARGA DENGAN UMUR PENYAPIHAN, PRAKTEK PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI DAN STATUS GIZI BALITA DI KELURAHAN SUMUR BATU BANTAR GEBANG BEKASI
NOVITA PUJI HANDAYANI
D E P AR T E M E N G I Z I M AS Y AR AK A T FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ABSTRACT NOVITA PUJI HANDAYANI. The Association between Family Characteristics with Weaning Practices, Infant Feeding Practices and Nutritional Status of Children in Sumur Batu, Bantar Gebang Bekasi. Supervised by ALI KHOMSAN. The purpose of this study was to identify the characteristic of family and the association between mother and family characteristics, with weaning practices, infant feeding practices and nutritional status of children. The study design was a cross sectional study. Total sampel of the study were 58 children. Almost all children were born with enough birthweight and they had been given a feeding food when the age of them less than 6 month. The reason of their mothers giave them feeding food in ealier age are to make their babies calm. Almost all mother started to wean their children when their children become in 24 months. They did that because they think their children was already became a kid. The analysis by Spearman association between mother and family characteristic with weaning practices showed no significant association (p>0.05). The analysis between mother and family characteristic with nutritional status (W/A) showed significant association (p<0.05), but there is no significant association (p>0.05) between mother and family characteristic with nutritional status (H/A) and (W/A). The analysis between weaning practices and nutritional status showed no significant association (p>0.05). Keywords : weaning, infant feeding practices ,nutritional status, children
RINGKASAN NOVITA PUJI HANDAYANI. Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Umur Penyapihan, Praktek Pemberian Makanan Pendamping ASI dan Status Gizi Balita di Kelurahan Sumur Batu, Bantar Gebang Bekasi. Dibimbing oleh Ali Khomsan. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga dengan umur penyapihan, praktek pemberian makanan tambahan dan status gizi balita. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui karakteristik keluarga(pendidikan dan pekerjaan, pendapatan dan jumlah anggota keluarga); (2) Mengetahui umur penyapihan dan praktek pemberian makanan tambahan pada balita ; (3) Mengetahui status gizi balita berdasarkan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB ; (4) Mengetahui kejadian infeksi internal serta kebersihan lingkungan sekitar tempat tinggal balita ; (5) Mengetahui hubungan antara kejadian infeksi dengan status gizi balita ; (6) Mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga dengan umur penyapihan balita ; (7) Mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga (pendidikan dan pekerjaan, pendapatan dan jumlah anggota keluarga),dengan status gizi balita. Penelitian ini didesain dengan metode cross-sectional study. Penelitian ini dilakukan di RW 03 Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang, Bekasi Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan selama bulan Agustus 2012. Contoh dalam penelitian ini adalah 58 anak balita berusia 24-60 bulan. Contoh merupakan populasi dari seluruh balita yang ada di wilayah kerja posyandu Anggrek, yang kemudian disaring kembali menggunakan kriteria eksklusi. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah ibu – ibu yang tidak bersedia dalam mengikuti penelitian atau menarik diri dari penelitian. Persentase tertinggi tingkat pendidikan ibu hanyalah tamat SD/sederajat (48.3%). Sebagian besar ibu balita tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga (70.7%). Berdasarkan garis kemiskinan Propinsi Jawa Barat tahun 2012 maka pada keluarga balita diperoleh persentase keluarga miskin sebanyak 39.7% dan sebagian besar lainnya tergolong dalam keluarga tidak miskin (60.3%). Sebagian besar (79.3%) keluarga balita merupakan keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang. Usia anak balita diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu 24-36 bulan, 37-48 bulan, dan 49-60 bulan. Sebagian besar anak balita berada pada rentang usia 25-36 bulan dan 37-48 bulan dengan persentase masing-masing sebesar 53.4% dan 20.7% serta sebagian besar berjenis kelamin perempuan dengan persentase 67.2%. Sebelum bayi berusia 4 bulan dan 6 bulan anak diberikan ASI saja dengan persentase ,masing-masing sebesar 53.4% dan 51.7%. Pada saat dilakukan penelitian sebagian besar anak sudah tidak diberikan ASI lagi (67.2%). Penyapihan pada balita rata-rata dilakukan saat anak berada pada rentang usia 13-24 tahun dengan persentase sebesar 65.8%. Alasan ibu melakukan penyapihan kepada anaknya adalah karena anak sudah besar (55%). Usia pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) mulai diberikan ibu saat anak masih berusia 2 bulan (34.5%) dan yang diberikan pertama kali sebagian besar adalah bubur susu (60.3%). Saat ini anak diberikan makanan utama sebanyak 3 kali dalam sehari (55.2%) dan sudah mengkonsumsi makanan keluarga (94.8%). Pemberian makanan selingan sebanyak 60.3% ibu memberikan selingan kepada anaknya sebanyak 2 kali. Jenis jajanan yang paling banyak dikonsumsi oleh anak dalam seharinya adalah chiki dengan frekuensi sebanyak 4.5 kali perharinya. Frekuensi pangan sumber protein yang paling banyak dikonsumsi setiap harinya adalah tempe dengan frekuensi sebanyak 1.64 kali perharinya.
Pola pemberian MP-ASI balita pada penelitian ini sebagian besar tergolong tidak baik dengan persentase sebanyak 53.4%.Status gizi balita berdasarkan indeks BB/U sebagian besar anak tergolong kategori gizi baik dengan persentase sebesar 89.7%. Berdasarkan indeks TB/U sebanyak 55.2% anak balita tergolong dalam kategori normal. Indeks BB/TB sebanyak 77.6% anak balita tergolong dalam kategori normal. Berdasarkan praktek higiene dan kebersihan diri, sebanyak 77.6% balita memotong kukunya 1 kali dalam seminggu, mandi 2 kali dalam sehari (91.4%) dan hampir seluruh balita mandi menggunakan sabun mandi (98.3%). Frekuensi menyikat gigi balita sebagian besar balita menyikat gigi 1 kali dalam sehari (53.4%). Tempat buang besar balita sebagian besar di WC dengan persentase sebessar 84.5%. Berdasarkan praktek higiene, sebagian besar ibu balita mencuci tangan setelah buang air besar atau setelah membantu anak buang air besar (98.3%), 77.6% ibu mencuci tangan sebelum makan, 56.9% mencuci tangan sebelum menyuapi anak. Namun untuk mencuci tangan sebelum menyiapkan makan anak hanya sebesar 32.8% ibu yang melakukannya. Penggunaan air dalam wadah dan sabun untuk mencuci tangan dilakukan ibu untuk mencuci tangan setelah buang air besar atau setelah membantu anak buang air besar dan sebelum makan dengan persentase masing-masing sebesar 70.7% dan 46.6%. Namun untuk mencuci tangan sebelum menyuapi anak 43.1% ibu hanya menggunakan air saja tanpa sabun. Kejadian sesak nafas pada balita sebagian besar balita tidak mengalami sesak nafas (72.4%). Kejadian diare saat penelitian dan dalam satu bulan terakhir sebagian besar balita juga tidak mengalami diare dengan persentase masing-masing sebesar 91.4% dan 79.3%. Kehadiran ibu balita diposyandu masih tergolong dalam kategori rendah (41.4%). Kehadiran selama 6 bulan terakhir juga masih tergolong dalam kategori rendah (58.6%). Alasan ibu balita tidak hadir adalah malas dengan persentase sebesar 36.2%. Hasil uji Korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik keluarga (pendidikan) dengan umur penyapihan balita (p>0.05), sedangkan untuk karakteristik keluarga (pekerjaan) terdapat hubungan yang signifikan dengan umur penyapihan balita (p<0.05). Hasil uji korelasi antara karakteristik keluarga dengan umur penyapihan balita juga tidak terdapat hubungan yang signifikan. Hasil uji korelasi antara karakteristik keluarga dengan status gizi balita menunjukkan hasil yang signifikan dan positif pada pekerjaan ibu dengan status gizi BB/U (p<0.05), dan terdapat hubungan yang signifikan dan negatif antara pendidikan ibu, jumlah anggota keluarga dan pendapatan keluarga dengan status gizi BB/U. Sementara itu tidak terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik keluarga dengan status gizi TB/U dan BB/TB (p>0.05). Hasil uji korelasi menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur penyapihan dengan status gizi baik dengan indeks BB/U, TB/U maupun BB/TB. Antara kejadian infeksi dengan status gizi balita baik dengan indeks BB/U, TB/U maupun BB/TB terdapat hubungan yng signifikan antara keduanya.
HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK KELUARGA DENGAN UMUR PENYAPIHAN, PRAKTEK PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI DAN STATUS GIZI BALITA DI KELURAHAN SUMUR BATU BANTAR GEBANG BEKASI
NOVITA PUJI HANDAYANI
Skripsi Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi Departemen Gizi Masyarakat
D E P AR T E M E N G I Z I M AS Y AR AK A T FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
LEMBAR PENGESAHAN
Judul
: Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Umur Penyapihan Praktek Pemberian Makanan Pendamping ASI dan Status Gizi Balita di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi
Nama
: Novita Puji Handayani
NIM
: I14104001
Menyetujui : Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS NIP. 19600202 198403 1 001
Mengetahui : Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia yang telah diberikan oleh-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang yang berjudul “Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Umur Penyapihan , Praktek Pemberian Makanan Pendamping ASI dan Status Gizi Balita di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi”. Penyusunan skripsi ini merupakan syarat bagi penulis untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan kesempatan, motivasi, bimbingan, dan arahan sejak awal hingga akhir penyelesaian skripsi.
2.
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan sejak masa awal perkuliahan.
3.
Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS selaku Dosen Pemandu Seminar atas segala masukan yang telah diberikan.
4.
Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS selaku Dosen Penguji Sidang atas segala masukan yang diberikan.
5.
Kedua orangtua, adik serta tante yang senantiasa memberikan doa, dukungan dan semangat dengan penuh kasih sayang.
6.
Sahabat J’co : Hanum, Intan dan Soffi yang selalu memberikan semangat serta motivasi baik susah maupun senang.
7.
Teman-teman seperjuangan Alih Jenis Gizi Masyarakat angkatan 4 tahun 2010.
8.
Berbagai pihak yang telah membantu, namun tidak sempat disebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Akhir kata dengan segala kerendahan hati, penulis memohon maaf yang
sebesar-besarnya atas kekurangan dan keterbatasan yang terdapat dalam skripsi .
Bogor, September 2012
Novita Puji Handayani
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan
tanggal 15 November 1989 di Jakarta. Penulis
merupakan anak pertama dari dua bersaudara dengan orang tua Bapak Eko Handoyo Winarto dan Ibu Sutijah. Pada Tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan dasar SD Negeri Ciracas 03 Pagi Jakarta Timur dan melanjutkan ke jenjang menengah pertama di SMP N 9 Jakarta Timur hingga tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan ke SMA N 58 Jakarta Timur dan tamat di tahun 2007. Penulis diterima sebagai mahasiswa Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Jakarta II angkatan 2007, kemudian lulus pendidikan pada tahun 2010. Selama masa studi penulis melaksanakan Internship di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan Puskesmas Kecamatan Ciracas Jakarta Timur. Penulis juga melaksanakan program MIG (Manajemen Intervensi Gizi) di desa Tieng Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah. Tahun 2010 penulis mendaftar sebagai mahasiswa program Alih Jenis Mayor Ilmu Gizi Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ....................................................................................................... i DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... v PENDAHULUAN Latar Belakang............................................................................................ 1 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 4 Hipotesis Penelitian .................................................................................... 5 Kegunaan Penelitian .................................................................................. 5 KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................................. 6 Bagan Kerangka Pemikiran ........................................................................ 8 TINJAUAN PUSTAKA Makanan Bayi ............................................................................................. 9 Air Susu Ibu (ASI) ....................................................................................... 10 Makanan Tambahan ................................................................................... 10 Penyapihan................................................................................................. 11 Pemberian MP ASI .................................................................................... 12 Jenis dan Pola Pemberian MP ASI ............................................................. 13 Karakteristik keluarga ................................................................................. 15 Status Gizi ................................................................................................. 17 Infeksi......................................................................................................... 19 METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................ 21 Jumlah dan Cara Penngambilan Sampel .................................................... 21 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ........................................................... 21 Pengolahan dan Analisis Data .................................................................... 23 Definisi Operasional .................................................................................... 24 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................................... 26 Karakteristik keluarga ................................................................................. 27 Umur ibu ............................................................................................. 27 Pekerjaan ibu ...................................................................................... 28 Pendidikan ibu .................................................................................... 29 Besar keluarga .................................................................................... 30
Pendapatan keluarga .......................................................................... 31 Karakteristik anak balita ............................................................................. 31 Usia .................................................................................................... 31 Jenis kelamin ...................................................................................... 32 Berat badan lahir ................................................................................. 32 Riwayat pemberian ASI dan MP-ASI .......................................................... 33 Frekuensi konsumsi pangan sumber protein .............................................. 41 Status gizi balita ......................................................................................... 42 Higiene dan sanitasi lingkungan tempat tinggal .......................................... 47 Kejadian infeksi anak balita ........................................................................ 47 Keaktifan ibu balita dalam kehadiran di posyandu ...................................... 48 Hubungan Umur Penyapihan Balita dengan Variabel lain........................... 49 Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Status Gizi Balita ...................... 51 Hubungan Kejadian Infeksi dengan Status Gizi Balita ................................ 54 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ................................................................................................ 55 Saran ......................................................................................................... 56 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 57
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Pola pemberian makanan pada anak ................................................. 14 Tabel 2 Kategori status gizi pada berbagai ukuran antropometri untuk balita dan anak............................................................................................ 18 Tabel 3 Variabel dan cara pengumpulan data................................................. 22 Tabel 4 Sebaran umur ibu ............................................................................. 28 Tabel 5 Sebaran pekerjaan ibu balita ............................................................. 28 Tabel 6 Sebaran pendidikan ibu balita ............................................................ 29 Tabel 7 Sebaran jumlah anggota keluarga .................................................... 30 Tabel 8 Sebaran keluarga berdasar garis kemiskinan ................................... 31 Tabel 9 Sebaran anak balita menurut kelompok usia...................................... 32 Tabel 10 Sebaran balita berdasarkan jenis kelamin ........................................ 32 Tabel 11 Sebaran berat badan lahir anak balita .............................................. 33 Tabel 12 Sebaran riwayat pemberian ASI ...................................................... 34 Tabel 13 Sebaran alasan pemberian selain ASI ............................................. 34 Tabel 14 Sebaran balita berdasar pemberian ASI .......................................... 35 Tabel 15 Sebaran balita berdasar usia penyapihan ........................................ 36 Tabel 16 Sebaran balita berdasar alasan penyapihan .................................... 36 Tabel 17 Sebaran balita berdasar MP-ASI...................................................... 38 Tabel 18 Sebaran balita berdasar makanan utama ........................................ 39 Tabel 19 Sebaran balita berdasar makanan selingan ..................................... 40 Tabel 20 Sebaran frekuensi konsumsi pangan sumber protein ....................... 42 Tabel 21 Sebaran status gizi balita ................................................................. 44 Tabel 22 Sebaran balita berdasar praktek kebersihan diri .............................. 45 Tabel 23 Sebaran berdasar tempat BAB dan kepemilikan tempat sampah ..... 45 Tabel 24 Sebaran perilaku higiene ................................................................. 46 Tabel 25 Sebaran kejadian sakit anak balita dalam satu bulan terakhir .......... 47 Tabel 26 Sebaran kejadian diare pada anak balita ......................................... 47 Tabel 27 Sebaran balita berdasarkan keaktifan ibu di posyandu .................... 48 Tabel 28 Analisis hubungan umur penyapihan dengan variabel lain ............... 49 Tabel 29 Analisis hubungan karakteristik keluarga dengan status gizi balita... 51 Tabel 36 Analisis korelasi kejadian infeksi dengan status gizi balita ............... 54
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Kuesioner persetujuan orangtua .................................................. 63 Lampiran 2 Kuesioner penelitian..................................................................... 64 Lampiran 3 Dokumentasi ................................................................................ 71
PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik tangguh, mental kuat dan kesehatan prima disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu faktor yang dapat merusak kualitas sumber daya manusia (SDM) adalah kekurangan gizi (Atmarita 2004). Menurut Atmarita (2004), pada saat ini sebagian besar atau 50 % penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat umumnya disebut kekurangan gizi. Kejadian kekurangan gizi sering terluputkan dari penglihatan atau pengamatan biasa, tetapi secara perlahan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita serta rendahnya umur harapan hidup. Dalam siklus kehidupan manusia, bayi berada dalam masa pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat. Bayi yang dilahirkan dengan sehat, pada umur 6 bulan akan mencapai pertumbuhan atau berat badan 2 kali lipat dari berat waktu dilahirkan. Oleh karena itu peralihan ASI kepada makanan tambahan harus dilakukan sesuai dengan kondisi anatomi dan fungsional alat pencernaan bayi (Notoatmodjo 2003). Status gizi yang kurang baik atau buruk pada bayi dan anak dapat menimbulkan pengaruh yang sangat menghambat pada pertumbuhan fisik, mental maupun kemampuan berpikir yang pada gilirannya akan menurunkan produktivitas kerja. Keadaan ini berdampak pada menurunnya kualitas sumber daya manusia. Oleh karenanya gizi merupakan unsur yang penting bagi pembentukan tubuh manusia yang berkualitas. Pertumbuhan dimulai sejak dalam kandungan sehingga memerlukan pemenuhan kebutuhan pangan dan zat gizi di samping pemenuhan kebutuhan – kebutuhan lainnya. Makanan bayi sangat penting diperhatikan karena mereka merupakan generasi yang akan mengisi masa depan bangsa ini. Anak dapat berkembang dengan normal bila pertumbuhannya tidak terganggu. Salah satu penyebab gangguan pertumbuhan yang penting adalah tidak tepatnya pola penyapihan seperti waktu, jumlah, kualitas dan metode – metode pemberian makanan tambahan pendamping ASI. Kebutuhan gizi secara
kuantitatif dan kualitatif bagi bayi sangat berbeda dengan kebutuhan bagi anak dan orang dewasa (Launer 1989). Data kasus kekurangan gizi di Indonesia pada tahun 2010 tidak terjadi penurunan prevalensi gizi kurang dari tahun 2007 ke tahun 2010 yaitu dengan prevalensi sebesar 13 %, sedangkan untuk gizi buruk terjadi penurunan prevalensi dari 18.4 % pada tahun 2007 menjadi 17.9% pada tahun 2010. Prevalensi nasional balita pendek (stunting) tahun 2010 adalah sebesar 35.7 % dan prevalensi nasional balita kurus (wasting)
sebesar 13.3 % (Riskesdas
2010). Berdasarkan data Riskesdas tahun 2010, prevalensi balita gizi buruk dan gizi kurang berdasarkan indikator BB/U di provinsi Jawa Barat. 3.1 % dan 9.9%. Prevalensi balita sangat pendek dan pendek berdasarkan indikator TB/U di provinsi Jawa Barat adalah sebesar 16.6 % dan 17.1%, sedangkan prevalensi balita sangat kurus dan kurus berdasarkan indikator BB/TB di provinsi Jawa Barat adalah 4.6 % dan 6.4%. Dilihat dari kebutuhan gizi, kematangan fisiologis dan keamanan immunologi, pemberian makanan selain ASI sebelum bayi berusia 6 bulan adalah tidak perlu dan juga dapat membahayakan karena kemampuan kemampuan pencernaan bayi masih terbatas, dan juga kondisi bayi yang baru lahir masih lemah dan belum sepenuhnya menyesuaikan diri dengan kehidupan diluar rahim ibu. Banyak resiko – resiko yang akan terjadi pada anak apabila telah diberikan makanan pelengkap terlalu dini diantaranya adalah meningkatkan terjadinya diare, meningkatkan resiko infeksi dan alergi pada bayi dan obesitas yang berupa efek jangka panjang (Akre 1993). Peneilitian yang dilakukan di Bangladesh, India menujukkan sebanyak 28 responden yang diteliti (48.1%) memberikan ASI kepada anaknya ketika baru lahir sisanya sekitar 28 ibu (51.9%) menyatakan telah memberikan madu, susu sapi, dan air gula sesaat setelah melahirkan bayinya (Kamruzzaman et al. 2009). Pada tahun 2003 WHO menetapkan bahwa ASI eksklusif yang semula hanya sampai 4 bulan ditingkatkan sampai bayi berusia 6 bulan (Robinson et al. 2007). Berdasarkan SK Menkes No. 450/Menkes/SK/IV/2004 maka Departemen kesehatan mulai pada bulan April 2004 menetapkan pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan dan bayi mendapatkan MP-ASI pada umur 6 bulan (Depkes 2004). Tarwotjo (1983) dalam Prihartono (1994) menyebutkan bahwa timbulnya masalah kurang gizi pada anak dan bayi diakibatkan oleh 3 faktor utama, yaitu
penghentian ASI (penyapihan) sementara bayi belum siap menerima makanan pendamping ASI atau tambahan yang terlalu dini yang mengakibatkan kurangnya konsumsi jumlah ASI untuk bayi dan pengenalan makanan pendamping atau tambahan yang terlambat terutama bila produksi ASI sudah tidak seimbang dengan kebutuhan gizi anak yang semakin meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh Dr M. Abdus Shalam Khan di Dhaka (2007) menunjukkan bahwa hanya sebanyak 59% ibu di sana yang memiliki pengetahuan yang kurang dalam pola penyapihan anak. Hal ini disebabkan karena status ekonomi keluarga yang rendah sehingga berpengaruh terhadap pengetahuan dalam pola penyapihan pada anak. Semakin tinggi status ekonomi keluarga maka pengetahuan dalam pola penyapihan anak akan semakin baik dan sebaliknya. Saat ini di Indonesia ada kecenderungan penurunan penggunaan ASI dan meningkatnya pemberian susu formula pada sebagian besar masyarakat terutama di kota – kota besar. Prevalensi pemberian ASI eksklusif di Indonesia cenderung menurun dari tahun ke tahun. Data SDKI tahun 1986 terdapat 86%, tahun 1991 menjadi 53.8% tahun 1997 tinggal 52% dan tahun 2002 hanya 39.5%. Pada kenyataannya di lapangan pemberian ASI eksklusif atau pemberian hanya ASI tanpa tambahan cairan lain/makanan lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia 6 bulan masih belum sesuai target yang diharapkan. Menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003, didapati data jumlah pemberian ASI pada bayi di bawah usia dua bulan sebesar 64% dari total bayi yang ada. Persentase tersebut menurun seiring dengan bertambahnya usia bayi, yakni 46% pada bayi usia 2-3 bulan dan 14% pada bayi usia 4-5 bulan, yang lebih memprihatinkan, 13% bayi di bawah dua bulan telah diberi susu formula dan satu dari tiga bayi usia 2-3 bulan telah diberi makanan tambahan (Lukman 2007). Data UNICEF tahun 2006 menyebutkan bahwa kesadaran ibu untuk memberikan ASI di Indonesia baru 14%, itupun diberikan hanya sampai bayi berusia empat bulan. Berdasarkan data tersebut ada kurang lebih 86% ibu yang gagal ASI eksklusif,
dengan
kata
lain
ada
86%
ibu
yang
memberi
makanan/minuman lain selain ASI kepada bayinya sebelum usia 6 bulan (UNICEF 2007). Kebanyakan ibu balita menyatakan alasan bahwa mereka memberikan makanan pendamping ASI terlalu dini atau sebelum usia 6 bulan karena anaknya rewel dan menangis ketika melihat orang lain makan, alasan
lainnya karena ASI tidak keluar sehingga sang ibu merasa sang anak butuh makanan tambahan (Maseta dkk 2008). Adanya penurunan prevalensi ibu-ibu yang memberikan ASI eksklusif sangat disayangkan, hal ini tentu akan menghambat peningkatan kualitas sumber daya manusia. Penyapihan yang terlalu dini dan pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan bayi dan anak tentunya akan berdampak pada kehidupan mereka selanjutnya. Kebanyakan ibu yang tinggal di daerah pinggiran kota yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya sampai usia 6 bulan sedangkan ibu- ibu yang tinggal diperkotaan sebagian besar tidak memberikan ASI secara eksklusif kepada anaknya dan telah memberikan makanan pendamping seperti bubur susu, buah dan susu formula ( Batal et al. 2005). Dari
kenyataan
tersebut
diatas,
tampak
bahwa
keberhasilan
pembangunan, kemajuan teknologi dan modernisasi yang terjadi pada masyarakat di Indonesia akan memberikan dampak yang kurang baik terhadap pola pemberian ASI dan pemberian makanan tambahan pada balita. Dampak tersebut pastinya akan sangat berpengaruh di kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor dan Bekasi. Berdasarkan hal tersebut penulis sangat tertarik untuk melihat secara langsung bagaimana karakteristik keluarga yang mempunyai anak balita tentang umur penyapihan dan praktek pemberian makanan pendaping ASI dan dihubungkan dengan status gizinya.
Tujuan Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga dengan umur penyapihan, praktek pemberian makanan pendamping ASI dan status gizi balita. Tujuan Khusus a.
Mengetahui karakteristik keluarga (pendidikan,pekerjaan, pendapatan dan jumlah anggota keluarga).
b.
Mengetahui
umur
penyapihan
dan
praktek
pemberian
makanan
pendamping ASI pada balita. c.
Mengetahui status gizi balita berdasarkan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB.
d.
Mengetahui kejadian infeksi internal serta kebersihan lingkungan sekitar tempat tinggal balita.
e.
Mengetahui hubungan antara kejadian infeksi dengan status gizi balita.
f.
Mengetahui
hubungan
antara
karakteristik
keluarga
dengan
umur
penyapihan balita g.
Mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga (pendidikan, pekerjaan pendapatan dan jumlah anggota keluarga),dengan status gizi balita. Hipotesis
1. Terdapat hubungan
hubungan antara karakteristik keluarga dengan umur
penyapihan, praktek pemberian makanan pendamping ASI dan status gizi balita di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai dasar pemikiran pelaksana program terutama dalam menyusun penyuluhan gizi kepada masyarakat di daerah penelitian. Bagi penulis penelitian ini dapat memberikan suatu pengalaman dan menambah wawasan penulis tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemberian makanan tambahan dan status gizi balita.
TINJAUAN PUSTAKA Makanan Bayi Air Susu Ibu (ASI) Air Susu Ibu (ASI) merupakan gizi terbaik bagi bayi karena komposisi zat gizi di dalamnya secara optimal mampu menjamin pertumbuhan tubuh bayi, selain itu juga mudah diserap dan dicerna oleh usus bayi. Kandungan protein ASI yang lebih rendah dari susu sapi memiliki kualitas yang sangat tinggi karena kandungan asam-asam amino essensial yang dibutuhkan oleh bayi dan sesuai dengan daya cerna usus bayi (Widjaya 2002). Tahun pertama khususnya enam bulan pertama, adalah masa yang sangat kritis dalam kehidupan bayi. Bukan hanya pertumbuhan fisik yang berlangsung sangat cepat, tetapi juga pembentukan psikomotorik dan juga akulturasi terjadi dengan cepat sehingga ASI harus merupakan makanan utama pada usia dini (Muchtadi 2002). ASI dihasilkan oleh setiap ibu setiap ibu setelah melahirkan. Kemampuan produksi ASI sangat dipengaruhi oleh refleks isapan bayi. Refleks isapan bayi akan mencapai puncaknya pada 20 – 30 menit pertama setelah bayi lahir. Volume ASI mencapai 100 ml pada hari kedua setelah melahirkan dan jumlah tersebut akan meningkat sampai kira – kira 500 ml pada minggu kedua (Roesli 2001). Konsep ASI eksklusif, yakni memberikan ASI saja sampai anak berusia 6 bulan kini semakin sulit dipraktikkan oleh ibu – ibu. Kesibukan karir menjadi hambatan utama seorang ibu untuk menyusui anaknya dengan sempurna. Di samping itu ada pula ibu – ibu yang tidak bisa menyusui anaknya karena putting tidak keluar, produksi ASI kurang, dan lain-lain (Khomsan 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Anak Universitas Limpopo di Afrika Selatan (2005) menunjukkan hanya terdapat 4.6 % dari subjek penelitiannya yang benar – benar menerapkan konsep ASI eksklusif sedangkan sisanya adalah sebanyak 88 % bayi diberikan tambahan berupa air putih, 43 % diberikan susu formula dan sebanyak 37 % sudah diberikan makanan tambahan. Definisi yang diberikan oleh WHO pemberian ASI secara predominan memiliki arti pemberian ASI yang didampingi dengan pemberian cairan semacam air putih, jus, teh, suplemen seperti vitamin dan mineral serta obat. Hellen Keller (2002) dalam penelitian yang berbeda menyatakan bahwa lama pemberian ASI tidak hanya dipengaruhi dari produksi ASI yang dihasilkan tetapi juga faktor luar
yang dapat mempengaruhi keputusan ibu dalam memberikan ASI seperti dukungan yang diberikan keluarga, kondisi sosial lingkungan tempat tinggal, serta persepsi ibu terhadap makanan pendamping ASI. Eckhardt et al. (2001) menyebutkan bahwa perbedaan pola serta lama pemberian ASI akan mempengaruhi
perkembangan
dan
pertumbuhan
anak.
Penelitian
yang
dilakukan Griffiths et al. (2008) menunjukkan bahwa anak yang tidak diberikan ASI mengalami pertambahan yang sangat cepat dan cenderung kelebihan berat badan. Makanan Tambahan Makanan tambahan (MP ASI) adalah makanan yang diberikan kepada bayi atau anak disamping ASI untuk memenuhi kebutuhan gizinya. MP ASI diberikan mulai umur 6 – 24 bulan dan merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian MP ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlah. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan kemampuan alat cerna bayi dalam menerima MP ASI (Depkes RI 2004). Makanan tambahan adalah makanan untuk bayi selain ASI atau susu botol sebagai penambah kekurangan ASI atau susu pengganti (PASI) (Husaini 2001). Pemberian makanan tambahan adalah memberi makanan selain ASI untuk megisi kesenjangan antara kebutuhan nutrisi dengan jumlah yang didapat dari ASI (Rosidah 2004). Makanan tambahan berarti memberi makanan lain selain ASI dimana selama periode pemberian makanan tambahan seorang bayi terbiasa memakan makanan keluarga. MP ASI merupakan proses transisi dari asupan yang semata berbasis susu menuju ke makanan yang semi padat. Proses ini membutuhkan ketrampilan motorik oral. Ketrampilan motorik oral berkembang dari reflex menghisap menjadi menelan makanan yang berbentuk bukan cairan dengan memindahkan makanan dari lidah bagian depan ke lidah bagian belakang. Pengenalan dan pemberian MP ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi atau anak. Pemberian MP ASI yang cukup dalam hal kualitas dan kuantitas penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasaan anak yang bertambah pesat pada periode ini (Ariani 2008). Menurut Murniningsih et al. (2007) manfaat pemberian makanan tambahan pada bayi sebagai berikut :
a. Melengkapi zat-zat gizi yang kurang, karena kebutuhan bayi yang semakin meningkat. b. Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima bermacam-macam makanan dengan beragam rasa dan bentuk. c. Mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan. d. Melakukan penyesuaian terhadap makanan yang mengandung kadar energi yang tinggi. Membantu menanamkan kebiasaan makan yang baik. Penyapihan Penyapihan digunakan untuk menyebut proses dimana seorang bayi perlahan – lahan dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Selama masa tersebut makanan anak berubah secara perlahan dari hanya diberi ASI menjadi campuran antara ASI dan makanan yang berbentuk padat. Penyapihan adalah masa berbahaya bagi bayi dan anak kecil. Telah diketahui bahwa terdapat resiko infeksi yang lebih tinggi, terutama penyakit diare, selam proses ini dibandingkan dengan masa sebelumnya dalam kehidupan bayi (Muchtadi 2002). Menurut Lewis (2004) menyapih merupakan proses peralihan pemberian makan bayi dari susu ke bubur yang sangat halus, kemudian ke bubur yang lebih kasar, sampai bayi berumur sekitar 12 bulan dan sudah sepenuhnya mampu menyantap makanan keluarga. Penyapihan dimulai pada umur yang berbeda dalam masyarakat yang berbeda. Pada segolongan masyarakat, hal ini tidak dilakukan sebelum bayi menginjak usia enam bulan, dan dapat berlangsung sampai anak berumur lebih dari dua tahun, atau kadang – kadang sampai empat tahun. Pada golongan masyarakat lain, hal ini seringkali dilakukan lebih awal. Penelitian yang dilakukan oleh Mushaphi et al. (2008) menunjukkan hasil hanya sebesar 7.6 % ibu balita yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, sedangkan sebanyak 43.2 % telah diberikan makanan padat pada usia tiga bulan dan 15 % sebelum usia dua bulan. Makanan tambahan diberikan sewaktu bayi masih berumur beberapa minggu. Bila makanan tersebut bernilai gizi rendah dan disiapkan dengan cara yang tidak higienis, seringkali membawa akibat terjadinya infeksi, kurang gizi atau marasmus pada bayi. Pada masyarakat pedesaan umumnya penyapihan jarang dilakukan terhadap bayi sebelum umur satu tahun, bahkan berlangsung sampai umur lebih dari dua tahun, sedangkan pada masyarakat perkotaan terdapat kecenderungan yang jelas bahwa penyapihan anak dilakukan pada umur yang lebih dini, bahkan adapula yang menyapihkan anaknya pada umur
minggu (Muchtadi 2002). Penelitan yang dilakukan Mushaphi et al. (2008) juga menyebutkan sebanyak 45 % ibu bayi mengatakan bahwa mereka memberikan makanan padat kepada bayinya karena mendapat saran dari kerabat atau teman, 35 % karena merasa bayinya lapar dan 3.5 % lainnya karena bayinya susah tidur. Pemberian MP – ASI Pemberian MP ASI pertama kali diberikan kepada bayi merupakan suatu proses dimana bayi mulai secara perlahan – lahan dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Selama masa tersebut makanan anak berubah secara perlahan dari hanya ASI menjadi campuran antara ASI dengan makanan lain yang berbentuk padat (Muchtadi 2002). Waktu yang baik dalam memulai pemberian makanan tambahan pada bayi adalah saat umur 6 bulan. Pemberian makanan tambahan pada bayi sebelum umur tersebut akan menimbulkan resiko seperti produksi ASI yang berkurang sehingga akan sulit untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak, kejadian infeksi meningkat, dan ibu mempunyai resiko lebih tinggi untuk hamil kembali (Ariani 2008). Hanya sedikit ibu yang sadar dan memberikan anaknya makanan pendamping ASI setelah usia anaknya diatas 6 bulan. Hal ni terbukti dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad (2006) di Malaysia menunjukkan bahwa sebanyak 117 anak (21.3%) dari 551 anak di sana telah diberikan makanan pendamping sebelum berusia 4 bulan dan hanya 12.8% yang diberikan makanan pendamping setelah berusia 6 bulan. Jenis dan Pola Pemberian MP – ASI Bentuk dan frekuensi makanan bayi (0-12 bulan) disesuaikan dengan bertambahnya umur, perkembangan dan kemampuan menerima makanan. Cara memberikan makanan tambahan bagi bayi adalah dari makanan itu berbentuk cairan dan kental lalu menjadi keras, seiring dengan proses dan umur juga perkembangan bayi, sehingga usus bayi pun terlatih dengan sendirinya terhadap makanan yang diterimanya. Pola pemberian makanan bayi merupakan cara pemberian makanan pada bayi dimana jenis, frekuensi dan jadwal pemberiannya telah ditetapkan. ASI yang merupakan makanan terbaik bagi bayi usia 0-6 bulan setelah 6 bulan ASI tidak mampu mencukupi kebutuhan energi dan zat gizi bagi bayi sehingga diperlukan MP-ASI.
Adapun jenis – jenis makanan tambahan atau makanan pendamping ASI (MP-ASI) terbagi atas (Chintia 2008) : a. Makanan lunak yaitu semua makanan termasuk yang disajikan dalam bentuk halus dan diberikan pada bayi pertama kali, misalnya bubur susu dan sari buah. b. Makanan lembik yaitu makanan peralihan dari makanan lunak menuju makanan biasa seperti nasi tim. c. Makanan biasa yaitu makanan seperti yang disajikan untuk orang dewasa seperti nasi. Makanan pertama yang baik untuk bayi adalah biji-bijian, sereal bayi yang diperkaya zat besi, biasanya sereal beras (nasi bubur). Makanan tambahan harus mudah dicerna oleh bayi dan mengandung zat-zat gizi dalam keseimbangan yang baik. Karena lambung bayi masih kecil makanan yang diberikan harus cepat meninggalkan lambung. Makanan baru berupa nasi yang bersama-sama ditim dengan sayuran (misalnya bayam, wortel, tomat) dan ati ayam seyogyanya tidak diberikan sebelum umur 6 atau 7 bulan (Pudjiadi 2001). Tabel 1 Pola pemberian makanan anak balita Umur
Jumlah
Pemberian Dalam Sehari (kali)
0 – 6 bulan
ASI
Sekehendak
6 – 8 bulan
ASI Bubur Susu Nasi Tim Saring
Sekehendak 1 1
8 – 10 bulan
ASI Buah Bubur Susu Nasi Tim dihaluskan
Sekehendak 1 1 2
ASI Buah Nasi Tim ASI Nasi Tim atau Makanan Makanan Kecil
Sekehendak 1 3 Sekehendak 3 1
10 – 12 bulan 12 – 24 tahun
Sumber : Depkes 2000 Menurut Depkes (2000) pola pemberian makanan kepada anak dibawah umur dua tahun dibagi dalam lima tahap sedangkan untuk anak di atas dua tahun pola makannya sudah menyerupai makanan orang dewasa. Frekuensi pemberian makan pada anak umur lebih dari 6 bulan adalah 4 – 6 kali sebagai
tambahan untuk ASI, sedangkan untuk anak umur 2 – 3 tahun dapat dikurangi menjadi 3 kali sehari. Pemberian makan kepada anak dengan frekuensi yang sering tetapi dengan porsi kecil. Hal ini dikarenakan anak umur 1 – 3 tahun hanya bisa mengkonsumsi 200 – 300 ml makanan (Muchtadi 2002). Berikut merupakan tabel pola pemberian makanan pada anak balita Karakteristik Keluarga Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu unsur penting yang dapat meningkatan mutu modal manusia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa semakin tinggi pendidikan
seseorang,
maka
akan
semakin
banyak
pengetahuan
dan
kemampuan yang dimiliki. Orangtua dengan pendidikan yang lebih tinggi umumnya akan memberikan stimulasi lingkungan baik dari segi fisik, sosial, emosional dan psikologis bagi anak – anaknya dibanding dengan orangtua yang tingkat pendidikannya rendah (Hartoyo & Hastuti 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Khan et al. (2007) menyatakan bahwa sebanyak 62 % ibu dalam kategori pendidikan rendah memiliki pengetahuan dalam pola penyapihan yang rendah juga. Penelitian yang dilakukan Kumar et al. (2006) menyatakan bahwa ibu yang berasal dalam kategori pendidikan rendah cenderung memiliki anak yang bergizi kurang bahkan bergizi buruk. Pekerjaan Faktor yang memiliki peranan penting dalam kehidupan keluarga adalah keadaan sosial ekonomi. Keadaan sosial ekonomi akan berpengaruh terhadap kehidupan mental dan fisik individu yang berada dalam keluarga tersebut. Ibu yang bekerja cenderung memiliki waktu yang terbatas untuk bersama anaknya. Hal ini menyebabkan mereka cenderung memberikan makanan tambahan bagi anaknya terlalu dini. Penelitian yang dilakukan oleh Senorita dan Laukau (2005) menyatakan bahwa balita yang orangtuanya khususnya ibu bekerja sebanyak 67 % memberikan makanan tambahan pada anaknya pada umur tiga bulan. Pengetahuan Kesalahan yang sering dilakukan oleh orang tua dalam memberikan makanan kepada bayi diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan para orang tua Ketidaktahuan tentang cara pemberian makanan bayi dan anak serta adanya
kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara langsung dan tidak langsung menjadi penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi pada anak, khususnya pada umur dibawah 5 tahun (Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI 2000). Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutu daripada orang yang berpendidikan lebih rendah. Namun, tingkat pendidikan umum ibu yang lebih tinggi tanpa disertai dengan pengetahuan di bidang gizi ternyata tidak berpengaruh terhadap pemilihan makanan untuk keluarga (Riyadi et al. 2003). Selanjutnya,
Sediaoetama
(2006)
menyatakan
bahwa
semakin
tinggi
pengetahuan gizi ibu akan semakin baik pula susunan menu keluarga. Hal ini dapat
meningkatkan
kesejahteraan
anggota
keluarga,
sehingga
dapat
mengurangi atau mencegah gangguan gizi pada keluarga. Menurut Khomsan et al. (2007) tingkat pengetahuan gizi seseorang akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Tingginya tingkat pengetahuan gizi seseorang maka diharapkan lebih baik juga keadaan gizinya Besar Keluarga Besar keluarga mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga. Semakin besar jumlah keluarga yang tidak ditunjang oleh tingkat pendapatan yang baik maka pangan bagi setiap anak akan berkurang. Anak yang tumbuh dalam keluarga yang kurang mampu sangat rawan terhadap masalah gizi kurang. Anak paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan (Suhardjo 1989). Pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi yang kurang, jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian anak, juga kebutuhan makanan, sandang dan perumahanpun tidak terpenuhi oleh karena itu keluarga berencana tetap diperlukan (Soetjiningsih 1999). Pendapatan Keluarga Pola makanan keluarga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga. Semakin kecil pendapatan, maka semakin besar persentase pengeluaran untuk makanan. Sebaliknya semakin besar pendapatan maka persentase pengeluaran
untuk makanan atau pangan semakin kecil (Berg 1986). Faktor kemiskinan keluarga diakui memiliki dampak terhadap penurunan ketahanan pangan dan status gizi anak (Soekirman 2000). Hal ini disebabkan daya beli keluarga yang rendah untuk memperoleh makanan dengan harga terjangkau, sehingga porsi yang dibelanjakan untuk pangan semakin tidak memadai untuk memenuhi kecukupan gizi seluruh anggota keluarga. Padahal anak – anak yang sedang dalam masa pertumbuhan cepat, terutama anak balita, memerlukan protein dan gizi mikro yang sangat penting untuk pertumbuhan otak dan perkembangan kecerdasan individu di kemudian hari (Djalal 2009). Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat interaksi antara asupan energi dan protein serta zat-zat gizi esensial lainnya dengan keadaan kesehatan tubuh. Status gizi adalah kondisi tubuh sebagai akibat penyerapan zat-zat gizi esensial. Status gizi merupakan ekspresi dari keseimbangan zat gizi dengan kebutuhan
tubuh,
yang
diwujudkan
dalam
bentuk
variabel
tertentu.
Ketidakseimbangan (kelebihan atau kekurangan) antara zat gizi dengan kebutuhan tubuh akan menyebabkan kelainan patologi bagi tubuh manusia. Keadaan demikian disebut malnutrition (gizi salah atau kelainan gizi). Secara umum, bentuk kelainan gizi digolongkan menjadi 2 yaitu overnutrition (kelebihan gizi) dan under nutrition (kekurangan gizi). Overnutrition adalah suatu keadaan tubuh akibat mengkonsumsi zat-zat gizi tertentu melebihi kebutuhan tubuh dalam waktu yang relative lama. Undernutrition adalah keadaan tubuh yang disebabkan oleh asupan zat gizi sehari-hari yang kurang sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh (Gibson 2005). Menurut Supariasa (2002), penentuan status gizi dapat dikelompokkan dalam metode langsung dan metode tidak langsung. Metode penilaian status gizi secara langsung meliputi metode biokimia, antropometri, klinik dan biofisik. Sedangkan metode tidak langsung adalah metode konsumsi makanan, statistik vital dan faktor-faktor ekologi. Indikator status gizi yang didasarkan pada ukuran Berat Badan (BB) dan Tinggi Badan (TB) biasanya disajikan dalam bentuk indeks yang terkait dengan umur (U) atau kombinasi antara keduanya. Indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) . Indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi yang memiliki karakteristik masing-masing.
Dengan batasan (cut-off point) tertentu, nilai-nilai indeks antropometri dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan status gizi (Jahari 2002). Kegiatan pemantauan status gizi, jarak waktu yang cukup panjang (dua tahun atau lebih) pilihan utama adalah indeks TB/U. Indeks ini cukup sensitif untuk mengukur perubahan status gizi dalam jangka panjang, stabil, tidak terpengaruh oleh fluktuasi perubahan status gizi yang sifatnya musiman. Perubahanperubahan yang disebabkan oleh keadaan secara musiman yang dapat mempengaruhi status gizi dapat ditunjukkan oleh indeks BB/U. Kalau tujuan penilaian status gizi adalah untuk assessment seperti dalam evaluasi suatu kegiatan program gizi, gabungan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB dapat memberikan informasi yang rinci tentang status gizi, baik gambaran masa lalu maupun masa kini atau keduanya (kronis dan akut). Penelitian yang dilakukan oleh Medhi (2004) menunjukkan hasil bahwa anak usia 0-6 bulan yang hanya mendapatkan ASI saja memiliki status gizi yang lebih baik dibandingkan anak yang telah diberikan susu formula dan makanan pendamping. Tabel 2 Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U,PB/U, BB/TB No Indeks yang dipakai Batas Pengelompokan Sebutan Status Gizi 1 BB/U < -3 SD Gizi buruk - 3 s/d <-2 SD Gizi kurang - 2 s/d +2 SD Gizi baik > +2 SD Gizi lebih 2 TB/U < -3 SD Sangat Pendek - 3 s/d <-2 SD Pendek > +2 SD Normal 3 BB/PB < -3 SD Sangat Kurus - 3 s/d <-2 SD Kurus - 2 s/d +2 SD Normal > +2 SD Gemuk Sumber : Depkes 2007 Infeksi Infeksi mempunyai efek terhadap status gizi untuk semua umur, tetapi lebih nyata pada kelompok anak-anak. Infeksi juga mempunyai kontribusi terhadap defisiensi energi, protein, dan gizi lain karena menurunnya nafsu makan sehingga asupan makanan berkurang. Kebutuhan energi pada saat infeksi bisa mencapai dua kali kebutuhan normal karena meningkatnya metabolisme basal. Hal ini menyebabkan deplesi otot dan glikogen hati (Thaha 2005).
Penyakit infeksi yang menyerang anak menyebabkan gizi anak menjadi buruk. Memburuknya keadaan gizi anak akibat penyakit infeksi dapat menyebabkan turunnya nafsu makan, sehingga masukan zat gizi berkurang padahal anak justru memerlukan zat gizi yang lebih banyak. Penyakit infeksi sering disertai oleh diare dan muntah yang menyebabkan penderita kehilangan cairan dan sejumlah zat gizi seperti mineral, dan sebagainya (Moehji 2003). Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan salah satu panyakit infeksi yang erat kaitannya dengan masalah gizi. Tanda dan gejala penyakit ISPA ini bermacam-macam antara lain batuk, kesulitan bernafas, tenggorakan kering, pilek demam dan sakit telinga. ISPA disebabkan lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan ricketsia Dua penelitian menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara berat badan dan infeksi saluran pernafasan. Pada anak umur 12 bulan dan batuk sebagai salah satu gejala infeksi saluran pernafasan hanya memiliki asosiasi yang signifikan dengan perubahan berat badan, tidak dengan perubahan tinggi badan (Depkes 2004). Berbagai hasil studi menujukkan terjadinya penurunan berat badan anak setiap hari selama ISPA berlangsung (Noor 2006). Diperkirakan panas yang menyertai ISPA memegang peranan penting dalam penurunan asupan nutrien karena menurunnya nafsu makan anak (Thaha 2005). Hasil penelitian Thamrin (2002) di Kabupaten Maros menyimpulkan bahwa penyakit infeksi merupakan faktor resiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian KEP pada anak balita. Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara berkembang. Sekitar 80% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi pada dua tahun pertama kehidupan. Penyebab utama kematian karena diare adalah dehidrasi sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit melalui tinjanya. Diare menjadi penyebab penting bagi kekurangan gizi. Hal ini disebabkan oleh adanya anoreksia pada penderita diare, sehingga anak makan lebih sedikit daripada biasanya dan kemampuan menyerap sari makanan juga berkurang. Padahal kebutuhan tubuh akan makanan meningkat akibat dari adanya infeksi. Setiap episode diare dapat menyebabkan kekurangan gizi, sehingga bila episodenya berkepanjangan maka dampaknya terhadap pertumbuhan anak akan meningkat (Depkes 2006).
KERANGKA PEMIKIRAN Ibu menyusui dan anak balita merupakan 2 dari 4 kelompok sasaran utama program perbaikan gizi dan kesehatan ibu dan anak., diharapkan ibu-ibu memberikan air susu ibu (ASI) kepada bayinya sampai umur 2 tahun. Meskipun kerugian-kerugian langsung yang ditimbulkan akibat dari menyusui tidak ada, akan tetapi banyak ibu-ibu yang menyapih anaknya lebih awal dengan berbagai alasan. Kecenderungan semakin menurunnya ibu –ibu menyusui anaknya, tentu akan berpengaruh terhadap status gizi balita. Anak yang telah disapih sebelum waktunya, kekebalan anak terhadap infeksi, penyakit diare, dan penyakit lainnya sangat rendah dan pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan status gizi, terutama bila pemberian makanan tambahan setelah disapih tidak sesuai dengan kebutuhan tubuhnya. Depkes RI (2004) menyatakan bahwa makanan tambahan atau makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan yang diberikan kepada bayi disamping ASI untuk memenuhi kebutuhan gizinya. MP-ASI diberikan mulai usia 6-24 bulan, dan merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga, pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya.
Pemberian MP-ASI yang jenis, bentuk dan
frekuensinya tidak sesuai dengan kebutuhan bayi akan mempengaruhi pola makan bayi. Selain itu pemberian MP-ASI yang tidak tepat baik jumlah maupun kualitasnya dalam jangka waktu yang panjang akan mempengaruhi status gizi bayi. Fokus utama yang akan diteliti mencakup variabel perilaku ibu dalam pemberian makanan tambahan yang meliputi usia pertama kali diberikan makanan tambahan, jenis makanan tambahan, jumlah makanan tambahan, waktu pemberian makanan tambahan, frekuensi makanan tambahan serta jenis makanan tambahan dan selingan yang diberikan kepada balita saat penelitian berlangsung. Makanan pendamping ASI (MP ASI) berarti memberi makanan lain selain ASI dimana selama periode pemberian makanan tambahan seorang bayi terbiasa memakan makanan keluarga. MP-ASI merupakan proses transisi dari asupan yang semata berbasis susu menuju ke makanan yang semi padat. Untuk proses ini juga dibutuhkan ketrampilan motorik oral. Ketrampilan motorik oral berkembang dari refleks menghisap menjadi menelan makanan yang berbentuk bukan cairan dengan memindahkan makanan dari lidah bagian depan ke lidah
bagian belakang. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap
baik bentuk maupun
jumlahnya,
sesuai dengan
kemampuan
pencernaan bayi/anak. Pemberian MP-ASI yang cukup dalam hal kualitas dan kuantitas penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak yang bertambah pesat pada periode ini Penyakit infeksi pada balita juga memberikan pengaruh kepada status gizi balita. Kejadian penyakit ISPA serta diare pada balita memberikan pengaruh secara tidak langsung yang dapat menurunkan statu gizi pada balita. Kejadian diare pada bayi dapat disebabkan karena kesalahan dalam pemberian makan, dimana bayi sudah diberi makan selain ASI ( Air Susu Ibu ) sebelum berusia 4 bulan. Perilaku tersebut sangat beresiko bagi bayi untuk terkena diare karena alasan sebagai berikut; (1) pencernaan bayi belum mampu mencerna makanan selain ASI,(2) bayi kehilangan kesempatan untuk mendapatkan zat kekebalan yang hanya dapat diperoleh dari ASI ,(3) adanya kemungkinan makanan yang diberikan bayi sudah terkontaminasi oleh bakteri karena alat yang digunakan untuk memberikan makanan atau minuman kepada bayi tidak steril. Berbeda dengan makanan padat ataupun susu formula, ASI bagi bayi merupakan makanan yang paling sempurna. Pemberian ASI secara dini dan eksklusif sekurang-kurangnya 4-6 bulan akan membantu mencegah penyakit pada bayi.
Umur Penyapihan Karakteristik keluarga : -
Pendidikan Pekerjaan Jumlah anggota keluarga Pendapatan keluarga
Praktek Pemberian Makanan Pendamping ASI : Status Gizi Balita
- Awal pemberian makanan tambahan - Jenis makanan tambahan pertama kali - Jenis makanan yang diberikan pada saat penelitian - Frekuensi pemberian - Pemberian makanan selingan - Jenis makanan selingan - Frekuensi pemberian
Infeksi Internal : Kebersihan Lingkungan
-
ISPA Diare
Gambar 1 Bagan konsep analisis hubungan antara karakteristik keluarga dengan umur penyapihan, praktek pemberian makanan pendamping ASI dan status gizi balita
: variabel diteliti : hubungan diteliti : hubungan tidak diteliti
METODE PENELITIAN Desain Penelitian, Waktu danTempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sumur Batu, Bantar Gebang Bekasi. Penelitian dilakukan pada bulan Agustusi 2012. Desain penelitian ini bersifat deskriptif sedangkan rancangan penelitian dilakukan secara cross sectional (potong lintang), dimana antara variabel bebas dan terikat diukur pada saat yang sama. Jumlah dan Cara Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian adalah ibu – ibu yang mempunyai balita dan terdaftar di posyandu Anggrek RW 01 Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. Sampel penelitian ini diambil dari sebagian populasi yang memenuhi kriteria inklusi yaitu ibu – ibu yang mempunyai balita usia 2-5 tahun di posyandu Anggrek RW 01 Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi yang bersedia mengikuti penilitian. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini yaitu ibu – ibu yang tidak bersedia dalam mengikuti penelitian atau menarik diri dari penelitian . Besarnya populasi yang ada yaitu sebesar 150 anak balita. Besarnya sampel yang dijadikan responden penelitian diperoleh dengan menggunakan rumus: n = Z2 1-α/2 P (1-P) d2 dimana
n
: Jumlah sampel 2
Z
1-α/2
: derajat kepercayaan (1.96)
D
: presisi (0.10)
P
: proporsi ibu balita pada populasi (0.5)
Dari rumus tersebut diperoleh jumlah sampel sebanyak 58 orang dengan derajat kepercayaan 95%. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari karakteristik balita yaitu umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan. Data jenis kelamin balita terdiri atas dua yakni perempuan dan laki – laki. Data jenis kelamin dan umur balita diambil menggunakan alat bantu berupa kuesioner dan diambil dengan metode wawancara. Berat badan dan tinggi badan balita diambil dengan menggunakan
alat bantu berupa timbangan dacin dengan kapasitas maksimal 25 kg dengan kelitelitan 0.1 kg, sedangkan data tinggi badan balita diambil dengan menggunakan alat ukur panjang badan untuk balita yang belum dapat berdiri tegak dan microtoise untuk anak yang sudah dapat berdiri tegap. Pembedaan alat ukur tinggi badan ini dilakukan karena jika balita yang belum dapat berdiri tegap diukur menggunakan
microtoise
maka
akan
terjadi bias dalam
pengukurannya sehingga data yang diperoleh pun tidak valid. Data karakteristik ibu yang terdiri dari data umur ibu, pekerjaan ibu,pendidikan ibu diperoleh dengan menggunakan alat bantu berupa kuesioner dan diambil dengan metode wawancara. Data karakteristik ibu ini berguna dalam mencari hubungan dengan variabel lainnya. Data pendidikan ibu dikelompokkan menjadi tidak sekolah, SD,SMP, SMA/sederajat, Akademi, dan Sarjana, sedangkan pekerjaan ibu dibedakan menjadi ibu rumah tangga, PNS, karyawan swasta, wiraswasta, dan lain-lain. Data karakteristik keluarga terdiri dari pendapatan keluarga dan jumlah anggota
keluarga, umur penyapihan
dan praktek pemberian
makanan
pendamping ASI kepada balita yang terdiri dari umur pertama kali diberikan makanan pendamping ASI, jenis makanan pertama, jenis makanan pendamping ASI yang saat ini dikonsumsi, frekuensi pemberian makanan pendamping ASI, pemberian makanan selingan dan frekuensi pemberian makanan selingan diperoleh
menggunakan
wawancara.
Data
umur
alat
bantu
penyapihan
berupa dan
kuesioner
praktek
dengan
pemberian
metode makanan
pendamping ASI kepada balita ditanyakan kepada ibu balita dengan pertanyaan yakni hingga usia berapa balita diberikan ASI, usia berapa balita mulai diberikan makan pendamping ASI, jenis makanan pendamping ASI yang pertama kali diberikan, berapa kali dalam sehari atau frekuensi pemberian makanan pendamping
ASI
dan
makanan
selingan,
alasan
pemberian
makanan
pendamping ASI dan makanan selingan Data sekunder yang dikumpulkan adalah data umum wilayah penelitian terdiri dari keadaan goegrafi, jumlah penduduk, pendidikan penduduk, agama, fasilitas dan sarana kesehatan masyarakat yang diperoleh dari kelurahan dan puskesmas setempat. Data kehadiran ibu diposyandu yang diperoleh dari data register posyandu
Tabel 3 Variabel dan cara pengumpulan data No
Variabel
Indikator
Cara Pengumpulan Data
1
Karakteristik contoh
-
Jenis kelamin Umur Berat badan Tinggi badan
Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner dan pengukuran menggunakan microtoise.
2
Karakteristik keluarga
-
Pendidikan orang tua Pekerjaan orang tua Pendapatan keluarga Besar keluarga Umur Jumlah anggota keluarga
Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner
3
Umur penyapihan
- Usia awal penyapihan - Pemberian ASI
Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner
4
Pemberian makanan tambahan
-
Usia awal pemberian Jenis makanan Frekuensi pemberian Kebersihan balita Kebersihan ibu balita Praktek cuci tangan Keberadaan tempat sampah dan mck Diare Demam Batuk Pilek
Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner.
Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner.
5
Kebersihan diri dan lingkungan
-
7
Penyakit infeksi
-
8
Pola pemberian MPASI
8
Frekunsi pangan sumber protein
9.
Frekuensi jajanan
- Umur pertama kali diberikan MP-ASI - Frekuensi pemberian - Jenis makanan - Kebiasaan konsumsi pangan sumber protein dalam satu hari, satu minggu dan satu bulan - Kebiasaan konsumsi jajanan dalam satu hari
Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner.
Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner.
Wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner.
Kebiasaan konsumsi pangan sumber protein dalam satu hari, satu minggu dan satu bulan
Pengolahan dan Analisis Data Proses pengolahan data terdiri atas editing semua data yang sudah terkumpul diteliti kembali dengan cara memeriksa kuesioner (data identitas responden) untuk menghindari terjadinya kesalahan/ adanya data yang belum terisi, coding dimana setelah dilakukan editing, selanjutnya adalah memberikan kode tertentu pada tiap-tiap data, sehingga memudahkan dalam melakukan analisa data. Tahap selanjutnya tabulating dimana pada tahap ini hasil dikelompokkan dengan teliti dan teratur, dijumlahkan dan dituliskan dalam bentuk tabel dan yang terakhir adalah analiting dimana data status gizi yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan cara manual, data asupan zat gizi menggunakan komputer dengan program food prosessor paket dan dianalisis dengan menggunakan paket analisis program statistik.Pengolahan dan analisis data akan dilakukan dengan computer menggunakan program Microsoft Excel dan program Statistical program for Social Science (SPSS) for Windows versi 17.0. Untuk memperoleh data status gizi balita diperlukan data berat badan (BB) serta tinggi badan (TB) serta umur yang diperoleh dari penimbangan dan wawancara. Setelah mendapatkan data berat badan dan tinggi badan responden, peneliti menghitung status gizi menggunakan z-score berdasarkan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB, kemudian setelah didapat data status gizi dkelompokkan
menurut
klasifikasi
yang
telah
ada.
Umur
penyapihan
diklasifikasikan atas 3 kategori yaitu : <12bulan, 12-24 bulan dan >24bulan. Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis data terbagi menjadi dua yakni analisis univariat dan analisis bivariat. Analisa Univariat yaitu analisa yang dilakukan terhadap masing – masing variabel. Hasil analisa univariat adalah berupa tabel distribusi frekuensi umur balita, pekerjaan ibu, pendidikan ibu, pengetahuan ibu, besar keluarga, pendapatan keluarga, umur awal pemberian makanan tambahan, jenis makanan tambahan yang diberikan pertama kali, frekuensi pemberian makanan tambahan dan status gizi balita. Analisis Bivariat digunakan untuk mencari hubungan variabel bebas dan variabel terikat dengan uji statistik yang disesuaikan skala data yang ada. Analisa Bivariat, dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan, data yang diolah yaitu : Hubungan antara karakteristik keluarga (pendidikan, pekerjaan,jumlah anggota keluarga dan pendapatan) dengan umur penyapihan balita,dengan praktek pemberian makanan tambahan dan dengan status gizi balita. Hubungan antara
umur penyapihan dengan status gizi balita dan yang terakhir adalah mengetahui hubungan antara praktek pemberian makanan tambahan dengan status gizi balita. Analisa bivariat digunakan untuk mencari hubungan dan membuktikan hipotesis dua variabel. Data yang didapat kemudian dianalisisdengan uji statistik yaitu Spearman. Definisi Operasional Umur
adalah
Lamanya
responden
hidup
sejak
lahir
sampai
dengan
pengumpulan data yang dinyatakan dalam tahun. Jenis kelamin adalah status gender seseorang yang dapat dilihat dari postur fisik atau dengan kartu identitas. Status Gizi adalah keadan gizi responden pada saat pengambilan data yang didapat berdasarkan skor z –score MP-ASI adalah makanan yang diberikan kepada bayi sebagai pendamping ASI setelah bayi berusia lebih dari enam bulan. Pola Pemberian MP-ASI adalah cara pemberian MP –ASI yang meliputi usia pertama kali pemberian, bentuk MP-ASI yang diberikan, dan frekuensi pemberian MP-ASI. Karakteristik keluarga adalah ciri yang dimiliki oleh keluarga seperti besar keluarga, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pengetahuan ibu, dan pendapatan keluarga. Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang tinggal bersama dan menjadi tanggunan dari kepala keluarga. Pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan keluarga per kapita perbulan baik dalam bentuk uang atau bahan makanan yang dikonfersikan kedalam nilai uang. Pengetahuan gizi ibu adalah sejumlah skor yang diperoleh ibu bayi dari sejumlah pertanyaan yang diberikan meliputi manfaat ASI, cara pemberian ASI dan MP-ASI serta alasan pemberian ASI dan MP-ASI. Penyapihan adalah keadaan dimana anak balita sudah tidak diberikan ASI lagi oleh ibu. Infeksi adalah kejadian terkenanya penyakit pada balita berupa infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan diare. Penyakit ini biasanya disebabkan karena kurangnya dalam menjaga kebersihan diri dan lingkungan serta keadaan sekitar yang tidak medukung
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kelurahan Sumur Batu merupakan salah satu dari delapan kelurahan yang ada di Kecamatan Bantar Gebang Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat. Kelurahan ini terdiri dari 7 Rukun Warga dan 41 Rukun Tetangga dengan batas – batas wilayah sebagai berikut : -
Sebelah Utara
: Kelurahan Padurenan Kecamatan Mustika Jaya
-
Sebelah Timur
: Desa Burangkeng Kabupaten Bekasi
-
Sebelah Selatan
: Desa Taman Rahayu Kabupaten Bekasi
-
Sebelah Barat
: Kelurahan Cikiwul Kecamatan Bantar Gebang
Letak kota pemerintahan Kelurahan Sumur Batu berada di sebelah tenggara dari kota pemerintahan Kecamatan Bantar Gebang, dengan luas ± 568 995 ha. Dari luas ± 568 995 ha areal yang ada, sekitar 318 ha dipergunakan untuk pemukiman penduduk dan pertanian, sedangkan sisanya dipergunakan untuk sarana gedung perkantoran dan prasarana pendidikan serta tempat pembuangan akhir (TPA) Pemda DKI 20 ha dan Kota Bekasi 17 ha. Keberadaan lokasi TPA Bantar Gebang membawa dampak tersendiri bagi masyarakat sekitarnya. Permasalahan lain yang dihadapi dengan adanya lokasi TPA sampah adalah adanya udara yang tidak bersahabat di wilayah Kelurahan Sumur Batu dan sekitarnya akibat bau yang tidak sedap apabila tersengat hidung. Wilayah peneilitian terletak pada RW 03 Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Bantar Gebang, dimana termasuk kedalam wilayah kerja Puskesmas Bantar Gebang I. Puskesmas Bantar Gebang I terletak di jalan Narogong Raya Km.10 No.75 Kelurahan Bantar Gebang. Luas wilayah kerja Puskesmas Bantar Gebang I adalah 18.54 km2 . Jumlah penduduk di Kelurahan SumurBatu adalah sebesar 7 703 jiwa dengan kategori penduduk usia 0-6 tahun sebanyak 1 460 jiwa, 7-12 tahun sebanyak 817 jiwa, 13-15 tahun sebanyak 1 266 jiwa, 16-21 tahun sebanyak 961 jiwa, 22-59 tahun sebanyak 2 778 jiwa dan yang berusia ≥ 60 tahun sebanyak 421 jiwa. Angka kesakitan di wiliayah kerja Puskesmas Bantar Gebang 1 tertinggi dari tahun 2008 – 2011 adalah penyakit ISPA. Penyakit diare dari tahun 2006 – 2008 selalu meningkat dan pada tahun 2010 penyakit diare merupakan urutan ke-4 tinggi dari 10 penyakit di Puskesmas Bantar Gebang I. Jumlah angka kesakitan diare pada tahu 2010 adalah sebanyak 2.890 jiwa. Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskemas gambaran status gizi di wilayah kerja Puskesmas
Bantar Gebang I tergolong dalam kategori baik, yakni sebanyak 91. 8 % balita berstatus gizi baik. Wilayah RW 03 termasuk dalam wilayah kerja Puskesmas Bantar Gebang I yang paling banyak memiliki masalah baik dalam kesehatan maupun ekonomi. Sebagian besar warga di RW 03 tergolong kategori berpendapatan minimum dengan pekerjaan rata – rata sebagai pemulung sampah. Kejadian diare serta kecacingan di wilayah ini pun tergolong tinggi yakni sebesar 89.8%. Hal ini mungkin disebabkan karena RW 03 merupakan wilayah yang terdekat dengan tempat pembuangan akhir. Karakteristik Keluarga Ibu merupakan orang yang memiliki peranan utama dan penting dalam keluarga. Tingkat pendidikan ibu dapat berpengaruh pada perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, termasuk dalam konsumsi pangan, perawatan kesehatan dan higiene, serta pemberian stimulasi yang tepat kepada anak. Tingkat pendidikan juga sangat mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak yang akan membantu ibu memberikan pengasuhan yang maksimal. Umur Ibu Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai anak balita berusia 24 – 60 bulan di wilayah kerja posyandu Melati 3 dan Melati 9 RW 03 Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Bantar Gebang Jawa Barat. Responden yang ada sebanyak 50 orang dan jumlah balita sebanyak 58 orang, dimana terdapat 4 ibu yang memiliki 2 orang anak balita. Tabel 4 menunjukkan bahwa kategori umur ibu bervariasi. Umur ibu dalam penelitian ini berada dalam rentang mulai dari 19 tahun sampai dengan 49 tahun. Pada Tabel 4 terlihat bahwa sebaran umur ibu balita, persentase tertinggi ada pada rentang kategori 19 – 29 tahun sebanyak 55.2%. Berdasarkan data yang ada ibu balita paling banyak berusia 25 dan 30 tahun.
Tabel 4 Sebaran umur ibu balita Umur (tahun)
n
%
19-29
32
55.2
30-49
26
44.8
Total
58
100.0
Pekerjaan Salah satu faktor yang memiliki peran penting dalam kehidupan keluarga adalah keadaan sosial ekonomi. Keadaan sosial ekonomi akan berpengaruh terhadap kehidupan mental dan fisik individu yang ada di dalam keluarga tersebut. Berdasarkan Tabel 5, sebagian besar ibu balita tidak bekerja atau hanya menjadi ibu rumah tangga (70.7%), 12.1% bekerja sebagai buruh pabrik, 10.3% sebagai karyawan swasta, 3.4% sebagai pemulung, dan sisanya masing – masing sebanyak 1.7% sebagai wiraswasta dan guru.
Tabel 5 Sebaran pekerjaan ibu balita Jenis pekerjaan
n
%
Buruh pabrik
7
12.1
Guru
1
1.7
Ibu Rumah Tangga
41
70.7
Karyawan Swasta
6
10.3
Pemulung
2
3.4
Wiraswasta
1
1.7
58
100.0
Total
Ibu yang bekerja cenderung memiliki waktu yang terbatas untuk bersama anaknya dan perhatian kepada anak juga berkurang yang menyebabkan ibu cenderung kurang memperhatikan makanan tambahan yang diberikan kepada balitanya dan juga cenderung memberikan makanan tamabahan kepada anak terlalu dini. Penelitian yang dilakukan oleh Laukau (2005) menyatakan bahwa sebanyak 53% ibu balita yang bekerja telah memberikan makanan tambahan kepada balitanya saat berusia tiga bulan.
Pendidikan ibu Pendidikan sangat mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi gizi makanan. Tingkat pendidikan yang rendah akan lebih kuat mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan sehingga sulit menerima informasi dalam bidang gizi. Kemampuan ibu dalam memberikan makanan tambahan kepada balitanya salah satunya dipengaruhi oleh pendidikan. Pada tabel 6 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu balita sampel dalam penilitian ini masih rendah. Persentase tertinggi tingkat pendidikan ibu hanyalah tamatan SD/sederajat (48.3%). Pada Tabel 6 juga terlihat hanya sebanyak 25.9% ibu yang berpendidikan SLTP/sederajat dan masih terdapat 8.6% ibu yang tidak tamat SD serta 1.7% yang tidak bersekolah. Jenjang pendidikan tertinggi pada ibu balita adalah D1 sebanyak 1.7%. Tabel 6 Sebaran tingkat pendidikan ibu balita Jenjang pendidikan
n
%
Tidak Sekolah
1
1.7
Tidak Tamat SD
5
8.6
SD
28
48.3
SLTP
15
25.9
SLTA
8
13.8
D1
1
1.7
58
100.0
Total
Tingkat pendidikan orang tua sampel penelitian ini paling banyak adalah tamat SD. Hal ini menunjukkan masih rendahnya tingkat pendidikan orang tua.Penelitian yang dilakukan oleh Murniningsih & Sulastri (2007) menunjukkan bahwa sebanyak 54.2% ibu memiliki latar belakang pendidikan setingkat SD Besar keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang tinggal bersama dan menjadi tanggungan dari kepala keluarga. Definisi anggota rumah tangga menurut BPS (2002) adalah semua orang yang biasa bertempat tinggal di suatu rumah tangga baik yang berada di rumah pada saat pencacahan maupun sementara tidak ada. Sebagian besar keluarga balita merupakan keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga ≤4 orang (79.3%), 19% merupakan keluarga
sedang dengan anggota keluarga 5-7 orang dan sisanya 1.7% merupakan keluarga besar dengan jumlah anggota ≥8 orang. Tabel 7 Sebaran jumlah anggota keluarga balita Besar keluarga
n
%
Kecil (≤4 orang)
46
79.3
Sedang orang)
11
19.0
1
1.7
58
100.0
(5-7
Besar (≥8 orang) Total
Salah satu faktor yang mempengaruhi kecukupan konsumsi pangan pada suatu rumah tangga adalah besarnya keluarga atau jumlah anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga biasanya adalah faktor penentu dalam memilih jenis bahan makanan dan distribusi pangan antar anggota keluarga. Biasanya pada kondisi tersebut, faktor kuantitas lebih diutamakan daripada faktor kualitas sehingga diharapkan seluruh anggota keluarga dapat terbagi secara merata. Pendapatan keluarga Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan per kapita keluarga balita berkisar dari Rp 50 000 sampai dengan Rp 750 000 dengan rata-rata Rp 297 841. Apabila dibandingkan dengan garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat pada tahun 2012 yaitu sebesar Rp 231 438 (BPS 2012) maka diperoleh persentase keluarga miskin sebanyak
39.7%. Sebaran status ekonomi keluarga balita
disajikan pada Tabel 8. Faktor kemiskinan keluarga diakui memiliki dampak terhadap penurunan ketahanan pangan dan status gizi anak (Soekirman 2000). Hal ini disebabkan daya beli keluarga yang rendah untuk memperoleh makanan dengan harga terjangkau, sehingga porsi yang dibelanjakan untuk pangan semakin tidak memadai untuk memenuhi kecukupan gizi seluruh anggota keluarga.
Tabel 8 Sebaran keluarga balita berdasarkan garis kemiskinan Jawa Barat (2012) n
%
Miskin (< Rp.231 438)
23
39.7
Tidak miskin (> Rp.231 438)
35
60.3
58
100.0
Status ekonomi keluarga
Total Rata-rata ± SD Pendapatan
yang
Rp 297 841 ± Rp 163 680 kurang
tidak
memungkinkan
keluarga
dapat
menyiapkan makanan yang terbaik untuk anak. Pendapatan dalam satu keluarga akan mempengaruhi aktifitas keluarga dalam pemenuhan kebutuhan keluarga (Yuliana 2004). Akan tetapi besarnya pendapatan pada keluarga tidak miskin, juga tidak menjamin pola konsumsi pangan yang lebih baik. Kadang-kadang perubahan utama yang justru terjadi dalam kebiasaan makan adalah pangan yang dimakan itu lebih mahal terutama apabila tidak didukung oleh pengetahuan gizi yang baik. Berg (1986) menyatakan bahwa semakin besar pendapatan maka persentase pengeluaran untuk makanan atau pangan akan semakin kecil. Namun menurut Suhardjo (1989) mengatakan bahwa sebagian pada umumnya keluarga miskin mnggunakan dua per tiga dari pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan makanan. Karakteristik Anak Balita Usia Usia anak balita diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu 24-35 bulan, 36-47 bulan, dan 48-60 bulan. Usia anak balita pada penelitian sebagian besar berada pada rentang usia 24-35 bulan dengan persentase sebesar 60.3% dan rata–rata 34.7 bulan. Sisanya berada pada rentang 36-47 bulan sebesar 24.1% dan pada rentang 48-60 bulan sebesar 15.5%. Sebaran usia balita dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran anak balita menurut kelompok usia Usia (bulan)
n
%
24-35
35
60.3
36-47
14
24.1
48-60
9
15.5
58
100.0
Total Rata-rata± SD
34.8 ± 10.4
Jenis kelamin Masalah gizi dapat terjadi pada setiap orang baik karena kurangnya asupan maupun karena faktor adanya penyakit infeksi. Anak laki- laki maupun perempuan mempunyai peluang yang sama dalam mengalami masalah gizi. Persentase jenis kelamin anak balita pada penelitian ini sebagian besar adalah perempuan dengan persentase sebesar 67.2%, sedangkan untuk jenis kelamin laki-laki adalah sebesar 32.8%. Tabel 10 Sebaran anak balita berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin
n
%
Laki-laki
19
32.8
Perempuan
39
67.2
58
100.0
Total Berat badan lahir
Berat badan lahir adalah salah satu indikator penting bagi kesehatan anak. Bayi dengan berat badan lahir kurang dari dua ribu lima ratus gram (<2500 gram) termasuk dalam kategori berat badan lahir rendah. Bayi dengan berat badan lahir rendah memiliki resiko tinggi dalam mengalami masalah gizi seperti kurang gizi. Tabel 11 menunjukkan bahwa seluruh anak balita lahir dengan berat badan yang normal atau cukup (100%). Hasil ini menunjukkan bahwa keadaan masalah gizi yang ada tidak terjadi sejak kandungan, namun lebih disebabkan karena kualitas serta kuantitas dari makanan pendamping maupun pengganti ASI. Tabel 11 Sebaran berat badan lahir anak balita Berat badan lahir
n
%
Normal (≥ 2500 gram)
58
100
Kurang ( ≤ 2500 gram)
0
0
Total
58
100.0
Riwayat Pemberian ASI dan MP-ASI ASI adalah emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa, dan garamgaram oganik yang dieksresi oleh kedua belah kelenjar payudara ibu yang berguna sebagai makanan utama bagi bayi (Roesli 2000). ASI mengandung nutrisi, hormon, unsur kekebalan faktor pertumbuhan, anti alergi, serta anti
inflamasi, sehingga ASI merupakan makanan yang mencukupi seluruh unsur kebutuhan bayi baik fisik, psikologi, sosial maupun spiritual (Purwanti 2004). Pemberian ASI secara tepat kepada bayi akan memberikan banyak dampak positif bagi kesehatan dan proses tumbuh kembangnya. ASI eksklusif atau lebih tepatnya pemberian ASI secara eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biscuit, bubur nasi, dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya selama 4 bulan tetapi bila memungkinkan sampai 6 bulan. Setelah bayi berumur 6 bulan, ia harus mulai diperkenalkan dengan makanan padat, sedangkan ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2 tahun atau lebih dari 2 tahun (Depkes 2004). Tabel 12 menunjukkan bahwa hampir seluruh ibu balita memberikan ASI saja kepada anaknya saat berusia sebelum 4 bulan dan sebelum berusia 6 bulan yakni masing – masing sebesar 53.4% dan 51.7%. Peringkat kedua adalah dengan memberikan ASI dan susu formula kepada bayi masing-masing sebesar 41.4% dan 43.1%. Sisanya adalah dengan hanya memberikan susu formula saja kepada bayinya sebelum berusia 4 dan 6 bulan yakni masing-masing sebesar 5.2%. Pada tahun 1999, setelah pengalaman selama 9 tahun, UNICEF memberikan klarifikasi tentang rekomendasi jangka waktu pemberian ASI eksklusif. Rekomendasi terbaru UNICEF bersama WHA dan banyak negara lainnya adalah menerapkan jangka waktu pemberian ASI ekskusif selama 6 bulan (Roesli 2005). Tabel 12 Sebaran anak balita berdasarkan riwayat pemberian ASI Pemberian
n
%
Sebelum 4 bulan -
ASI saja
31
53.4
-
ASI+ Susu Formula
24
41.4
-
Susu Formula
3
5.2
Total
58
100.0
Sebelum 6 bulan -
ASI saja
30
51.7
-
ASI+ Susu Formula
25
43.1
-
Susu Formula
3
5.2
Total
58
100.0
Dari data diatas menunjukkan bahwa tidak semua ibu memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya. Alasan ibu balita tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya sebagian besar disebabkan karena bayi rewel (51.8%). Hal tersebut membuat ibu beranggapan bahwa ASI yang diberikannya tidak cukup sehingga ibu memberikan tambahan susu formula kepada bayinya. Alasan selanjutnya adalah karena ASI tidak keluar (22.2%), ibu bekerja (14.8%), bayi menolak saat diberi ASI (7.4%). Alasan terakhir sebanyak 3.7% atau satu orang ibu mengatakan bahwa dirinya memberikan susu formula sebelum bayi berusia 4 bulan karena diberikan susu formula oleh bidan. Tabel 13 Sebaran alasan pemberian selain ASI Alasan
n
%
ASI tidak keluar
6
22.2
Bayi rewel
14
51.8
Bayi tidak mau ASI
2
7.4
Diberi oleh bidan
1
3.7
Ibu bekerja
4
14.8
27
100
Total
WHO dan UNICEF menganjurkan pemberian ASI ekslusif kepada bayi hingga usia 6 bulan dan pemberiannya tetap diteruskan hingga usia 2 tahun atau lebih dengan didampingi makanan padat yang benar dan tepat. Hal ini disebabkan banyak kandungan dan manfaat ASI yang masih dibutuhkan anak dan justru meningkat di tahun kedua (12-24 bulan), seperti zat anti bodi, lemak, dan vitamin A (Roesli 2000).Tabel 14 menunjukkan persentase apakah ibu masih memberikan ASI sampai saat anak berusia ≥ 24 bulan. Hasil yang ada menunjukkan bahwa sebagian besar ibu sudah tidak memberikan ASI lagi kepada anaknya (67.2%) dan sisanya sebanyak 32.8% masih memberikan ASI kepada anaknya.
Tabel 14 Sebaran balita berdasarkan pemberian ASI Masih diberikan ASI n
%
Ya
19
32.8
Tidak
39
67.2
58
100.0
Total
ASI sebaiknya diberikan kepada balita saat ia berusia 0 – 6 bulan. Setelah itu dilanjutkan sampai anak berusia 24 bulan. Setelah anak berusia lebih dari 24 bulan maka kebutuhannya tidak hanya diperoleh dari ASI saja. Usia 24 tahun adalah usia dimana terjadi periode perkembangan otak anak. Pada saat inilah anak membutuhkan lebih banyak nutrisi untuk perkembangan otaknya. Menyapih secara harfiah berarti membiasakan. Menurut Allan (2006) penyapihan adalah istilah yang digunakan untuk menyebut periode transisi dimana bayi masih diberi makanan cair, ASI ataupun susu formula, tetapi juga secara bertahap diperkenalkan pada makanan padat. Tabel 15 menunjukkan persentase usia penyapihan anak balita sebagian besar pada rentang usia 13-24 bulan yakni sebesar 65.8%. Sebagian besar dari anak balita tersebut mulai disapih saat berusia 24 bulan. Sisanya sebanyak 29.3% mulai menyapih pada saat anak berusia 1-12 bulan dan >24 bulan sebanyak 4.9%.
Tabel 15 Sebaran anak balita berdasarkan usia penyapihan Kategori umur
n
%
1-12
12
29.3
13-24
27
65.8
>24
2
4.9
41
100
Total
Penyapihan dimulai pada umur yang berbeda dalam masyarakat yang berbeda. Pada segolongan masyarakat hal ini seringkali dilakukan lebih awal. Tindakan penyapihan yang dilakukan ibu pada berbagai rentang usia tertentu pada umumnya dilatarbelakangi dengan alasan tertentu. Ibu yang menyapih
pada usia 1-12 bulan sebagian besar mengaku menghentikan ASI karena alasan bekerja (20%). Tabel 16 Sebaran anak balita berdasarkan alasan penyapihan Alasan disapih
n
%
Anak sudah besar
22
55
ASI tidak keluar
3
7.5
Bayi tidak mau ASI
3
12.5
Ibu bekerja
8
20
Ibu hamil
2
5
40
100.0
Total
Alasan lainnya ibu menyapih saat berusia 1-12 bulan adalah karena ASI tidak keluar, anak tidak mau bayinya ASI dan ibu sedang hamil lagi dengan persentase masing-masing sebesar 5%. Ibu yang mulai menyapih saat anak berusia 13-24 bulan mengaku menyapih anak dengan alasan karena anaknya sudah besar (55%). Alasan lain yang membuat ibu tidak memberikan ASI kepada bayi adalah karena bayi sudah diberikan susu formula atau makanan tambahan lain yang menurut mereka dapat mencegah resiko bayi menderita kekurangan gizi dibanding ASI. Sebagian ibu juga mengaku mangalami ketakutan akan perubahan pada ukuran dan bentuk pada payudara apabila mereka menyusui anaknya (WHO IDAI 2005). Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan yang diberikan kepada bayi sebagai pendamping ASI setelah bayi berusia lebih dari 6 bulan. Pudjiati (2000) menyatakan bahwa bayi belum siap untuk menerima makanan semi padat sebelum berusia 6 bulan. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya berbagai penyakit seperti gangguan dalam meyesuaikan beban ginjal yang terlalu berat dan mungkin gangguan terhadap selera makan. Pemberian makanan tambahan kepada bayi bertujuan untuk melengkapi ASI dan diperlukan setelah kebutuhan energi dan zat-zat gizi tidak mampu dipenuhi dengan pemberian ASI saja (Sembiring 2009). Makanan tambahan pada bayi bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan zat gizi bayi, penyesuaian kemampuan alat cerna dalam menerima makanan tambahan dan merupakan masa peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Selain untuk memenuhi kebutuhan bayi terhadap zat-zat gizi pemberian makanan
tambahan merupakan salah satu proses pendidikan dimana bayi diajarkan untuk mengunyah dan menelan makanan padat serta membiasakan selera-selera baru (Suharjo 2002). Kehidupan masyarakat sampai saat ini masih banyak ibu yang meyakini mitos tentang menyusui sehingga dapat mengurangi rasa percaya diri maupun dukungan yang diterimanya. Ibu akhirnya lebih memilih pemberian makanan tambahan pada bayi dibanding pemberian ASI eksklusif (Hatta 2005). Pada pemberian makanan tambahan ASI terlalu dini, banyak ibu yang beranggapan bahwa bayi tidak apa-apa setelah diberikan makanan dari umur 2 atau 3 bulan sehingga hal tersebut menjadi alasan untuk mengikuti aturan yang berlaku dalam masyarakat. Tabel 17 menunjukkan bahwa sebanyak 30% ibu telah memberikan makanan kepada bayinya saat baru berusia 2 bulan. Namun masih ada sebanyak 29.3% ibu yang memberikan makanan pendamping saat bayi telah berusia 6 bulan. Sebanyak 13.8%ibu baru memberikan MP-ASI kepada bayinya saat telah berusia 7 bulan, 12.1% saat bayi berusia 4 bulan, 5.2% saat berusia 3 bulan dan sisanya sebanyak 3.4 % saat usia 5 bulan dan 1.7% saat bayi masih berusia 1 bulan. Makanan yang pertama kali diberikan kepada anak adalah bubur susu instan (60.3%). Sisanya sebanyak 32.8% memberikan pisang kerok kepada anak sebagai makanan yang pertama kali di berikan dan 6.9% memberikan biscuit bayi. UNICEF dan WHO IDAI (2005) menyatakan ada beberapa alasan ibu tidak ingin menyusui bayinya, yaitu ibu yang sudah berhenti menyusui namun tidak dapat atau ingin menyusui lagi, ibu yang pernah mengalami stress sehingga produksi ASI berkurang tidak ingin menyusui lagi setelah keadaan ibu sudah pulih kembali, kekurangan gizi ibu akan mengurangi produksi ASI sehingga susu formula dan makanan tambahan pada bayi menjadi jalan keluar pemenuhan nutrisi bayi.
Tabel 17 Sebaran anak balita berdasarkan makanan pendamping ASI. Umur pemberian ASI (bulan)
n
%
≤4
31
53.5
≤6
27
46.5
Total
58
100.0
Jenis MP-ASI yang pertama diberikan
n
%
Biscuit bayi
4
6.9
Bubur susu
35
60.3
Pisang kerok
19
32.8
58
100.0
Total
Saat anak telah berusia 24 bulan pemberian makanan keluarga sekurang-kurangnya 3 kali sehari dengan porsi sebagian makanan orang dewasa setiap kali makan. Pemberian makanan selingan tetap diberikan 2 kali sehari (Satyanegara 2004). Tabel 18 menunjukkan bahwa sebagian besar anak makan sebanyak 3 kali dalam seharinya (55.2%). Namun masih ada juga anak yang makan hanya 2 kali dalam sehari (27.6%). Sisanya masih ada anak yang makan 1 kali, 4 dan 5 kali dalam sehari dengan persentase masing-masing sebesar 6.9%, 5.2% dan 5.2%.
Hampir sebagian besar anak sudah makan
makanan keluarga yakni makanan yang sama seperti makanan yang dikonsumsi oleh anggota keluarga yang lainnya dengan persentase sebesar 94.8%. Sisanya sebanyak 5.2% anak yang masih makan nasi tim sebagai menu makanan utamanya. Tabel 18 Sebaran anak balita berdasarkan makanan utama Frekuensi makan utama
n
%
Frekuensi/hr 1-2 x
20
34.5
≥3
38
72.4
58
100.0
-
Total
Batal et al. (2005) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar anak balita yang ada sebanyak 87.9% rata-rata dalam sehari makan sebanyak 3 kali. Jenis makanan yang dikonsumsi oleh mereka adalah makanan yang sama dengan yang dimakan oleh orangtuanya. Dalam penelitiannya juga
masih terdapat anak yang belum makan makanan yang sama dengan yang dimakan oleh orangtuanya. Makanan lainnya tersebut adalah sejenis bubur nasi dan juga nasi tim. Tabel 19 Sebaran anak balita berdasarkan makanan selingan. Frekuensi selingan
%
1
20.7
2
60.3
3
12.1
>3
6.9
Total
100
Jenis makanan jajanan
Frekuensi (kali/hari)
Chiki
4.5
Biscuit
4.4
Roti
3.2
Wafer
3.1
Minuman kemasan
2.2
Permen
1.8
Makanan selingan diperlukan oleh anak untuk mencukupi kebutuhan energi seharinya. Makanan selingan setidaknya dapat diberikan sebanyak 2 kali dalam seharinya. Tabel 19 menunjukkan bahwa sebagian besar anak mendapatkan makanan selingan sebanyak 2 kali (60.3%). Selanjutnya ada 20.7% anak mendapatkan makanan selingan 1 kali, 12.7% sebanyak 3 kali dan yang terakhir 6.9% anak mendapatkan makanan selingan lebih dari 3 kali. Usia balita adalah usia dimana anak mulai sering jajan. Makanan jajanan yang sering dibeli oleh anak adalah chiki dengan frekuensi sebanyak 4.5 kali perharinya. Jajanan lain yang sering dibeli adalah biscuit. Pola Pemberian MP-ASI Pengaturan makan adalah upaya yang penting dalam memelihara gizi bayi dan anak balita. Makanan pendamping ASI adalah makanan yang diberikan kepada bayi atau anak disamping ASI untuk memenuhi kebutuhan gizinya.
Makanan pendamping ASI adalah makanan yang diberikan pada bayi yang telah berusia 6 bulan atau lebih karena ASI tidak lagi memenuhi kebutuhan zat gizi bayi. Perilaku pola pemberian MP-ASI yang baik hanya sebesar 46.6%. Pola pemberian MP-ASI yang baik dilihat berdasarkan umur pertama kali pemberian makanan tambahan, jenis makanan tambahan yang pertama kali diberikan dan frekuensi pemberian. Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Protein Seiring dengan bertambahnya usia anak, maka kebutuhan akan asupan proteinnya akan semakin meningkat. Pertambahan protein pada anak yang diberi makanan tambahan untuk pertama kalinya (usia 6-12 bulan) tidak terlalu besar. Setelah menginjak usia satu tahun anak membutuhkan protein sekitar dua kali lipat dari masa sebelumnya (Krisnatuti 2000). Konsumsi pangan hewani yang cukup merupakan syarat penting untuk terpenuhinya gizi tubuh sehari-hari. Pangan hewani merupakan pangan bermutu tinggi karena mengandung asam amino esensial yang lengkap, kaya akan vitamin B12 dan vitamin A, mengandung zat besi heme yang mudah diserap, dan mempunyai nilai cerna protein yang tinggi (Khomsan 2000) sehingga sangat penting peranannya untuk memberikan pertumbuhan secara optimal. Khomsan (2004) menyatakan bahwa frekuensi konsumsi pangan per hari merupakan salah satu aspek dalam kebiasaan makan. Frekuensi konsumsi pangan dapat menjadi penduga tingkat kecukupan gizi. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi frekuensi konsumsi pangan, maka peluang untuk terpenuhinya kecukupan gizi akan semakin besar. Sumber protein dapat diperoleh dari berbagai pangan, baik pangan sumber protein hewani maupun nabati. Berdasarkan tabel 19 menunjukkan bahwa konsumsi pangan sumber protein hewani sangatlah rendah. Frekuensi konsumsi protein terbesar terdapat pada tempe yakni sebanyak 1.64 kali dalam seharinya. Tempe adalah salah satu sumber protein yang kaya akan zat gizi. Tempe tergolong dalam jenis protein nabati. Protein nabati memiliki nilai bioavaibilitas yang rendah dibandingkan dengan protein hewani. Frekuensi pangan sumber protein hewani yang terbesar terdapat pada telur yakni sebanyak 0.74 kali. Telur merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling murah jika dibandingkan dengan pangan hewani yang lainnya. Sebaran frekuensi konsumsi pangan sumber protein balita disajikan pada Tabel 20
Tabel 20 Sebaran frekuensi konsumsi pangan sumber protein anak balita Pangan sumber protein
Frekuensi (kali/minggu)
Susu
1.75
Daging sapi
0.091
Daging ayam
4.06
Ikan
0.497
Telur
5.18
Tempe
11.62
Tahu
5.25 Status Gizi Balita
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi juga merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa 2002). Status gizi adalah salah satu aspek status kesehatan yang dihasilkan dari asupan, penyerapan, dan penggunaan pangan, serta terjadinya infeksi, trauma dan faktor metabolik. Indeks yang umum digunakan dalam menilai status gizi balita adalah Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). Berdasarkan pengukuran status gizi balita dengan indeks BB/U menggunakan baku antropometri WHO 2005, sebesar 89.7% anak balita berstatus gizi baik, namun masih terdapat juga 8.6% anak yang termasuk gizi kurang. Jika dilihat berdasarkan status gizi indeks TB/U dapat dilihat bahwa sebesar 55.2% anak balita tergolong normal. Anak balita yang tergolong pendek
atau stunted cukup tinggi angkanya yakni dengan
persentase sebesar 25.9% atau hampir seperempat dari sampel penelitian. Anak yang termasuk dalam kategori sangat pendek atau severe stunted masih tergolong cukup besar yakni sebesar 15.5%. Sebaran status gizi anak berdasarkan indeks BB/TB didapatkan hasil sebagian besar anak tergolong normal dengan persentase sebesar 77.6%.
Tabel 21 Sebaran status gizi anak balita Status gizi
n
%
BB/U - Gizi kurang
5
8.6
-
Gizi baik
52
89.7
-
Gizi lebih
1
1.7
58
100.0
Total Z-score ±SD
-0.34 ± 1.27
TB/U - Sangat pendek
9
15.5
-
Pendek
15
25.9
-
Normal
34
58.6
58
100.0
Total Z-score±SD
-1.41 ± 1.58
BB/TB - Kurus
2
3.4
-
Normal
45
77.6
-
Gemuk
11
19.0
58
100.0
Total Z-score±SD
0.82 ± 1.33
Anak balita dengan status gizi kurang disebabkan karena MP-ASI yang diberikan kurang baik jenis maupun kualitas, dan anak sakit. Indikator TB/U berguna untuk menggambarkan status gizi masa lalu, sehingga kejadian kependekan atau stunting pada anak menggambarkan riwayat kurang gizi kronik atau dalam jangka waktu yang lama. Stunting pada anak balita berarti kurangnya atau gagalnya pertumbuhan linear tubuh mencapai potensi genetik sebagai akibat asupan gizi yang kurang dan penyakit. Stunting mengindikasikan pertumbuhan
yang
rendah
dan
efek
kumulatif
dari
kurangnya
atau
ketidakcukupan asupan energi, zat gizi makro atau zat gizi mikro dalam jangka panjang atau hasil dari infeksi kronis atau infeksi yang terjadi berulang kali (Umeta et al. 2003). Sebaran status gizi balita dapat dilihat pada Tabel 21. Penelitian yang dilakukan Khor et al. (2009) di wilayah pemukiman kumuh menyatakan bahwa sebanyak 32.6% anak balita termasuk dalam kategori gizi
kurang, sedangkan prevalensi untuk stunted adalah sebesar 28.8%. Penelitian sejenis juga dilakukan di daerah kompleks perumahan dan diperoleh hasil prevalensi anak dengan gizi kurang hanya sebesar 19.8% dan yang tergolong stunted hanya sebesar 15.5%. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata anak balita yang tinggal dilingkungan dengan keadaan sosial yang rendah masih cukup tinggi angka permasalahan gizi yang terjadi. Higiene dan Sanitasi Lingkungan Tempat Tinggal Higiene adalah suatu pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada usaha kesehatan perseorangan atau manusia beserta lingkungan tempat seseorang berada. Sanitasi adalah usaha pencegahan penyakit yang berpusat pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia (Sukandar 2007). Kebersihan adalah faktor yang besar pengaruhnya terhadap kesehatan. Menurut Depkes (2007), anak harus dapat belajar menjaga kesehatannya sejak dini, antara lain dengan memotong kuku setiap minggu, menggosok gigi dua kali sehari, mandi dengan sabun dua kali sehari, mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan setelah buang air besar. Tabel 22 Sebaran balita berdasarkan praktek kebersihan diri
Praktek kebersihan diri
n
%
45
77.6
13
22.4
Total
58
100.0
Frekuensi mandi - 1
5
8.6
53
91.4
58
100.0
1
1.7
57
98.3
58
100.0
7
12.1
Memotong kuku - 1 kali/minggu -
-
Tidak pernah
2 Total
Penggunaan sabun mandi - Tidak -
Ya Total
Sikat gigi/hari - 0 -
1
31
53.4
-
2
20
34.5
58
100.0
Total
Tabel 22 menunjukkan bagaimana higiene dan sanitasi yang dilakukan oleh ibu balita dan balita itu sendiri. Sebagian besar balita telah memotong kuku secara rutin 1 kali dalam seminggu (77.4%), mandi 2 kali dalam sehari (91.4%), dan menggunakan sabun saat mandi (98.3%). Frekuensi menyikat gigi dalam sehari sebagian besar anak baru menyikat gigi 1 kali dalam sehari (53.4%). Tabel diatas menggambarkan keadaan perilaku higiene balita. dalam tabel tergambarkan bahwa sebagian besar balita telah melakukan pratek higiene dengan baik. Pengelolaan pembuangan limbah kotoran manusia merupakan hal penting yang harus diperhatikan karena banyak penyakit yang dapat disebabkan melalui pembuangan manusia. Pembuangan kotoran yang tidak sesuai dengan aturan akan memudahkan terjadinya water borne disease (Yulia 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anak sudah buang air besar di WC (84.5%). Sisanya sebesar 10.3% buang air besar di kebon dan 5.2% di empang. Sebaran tempat buang air besar balita disajikan pada Tabel 23 Tabel 23 Sebaran tempat buang air besar anak balita Tempat buang air besar
n
%
Empang
3
5.2
Kebon
6
10.3
WC
49
84.5
58
100.0
Total
Tempat pembuangan sampah yang merupakan salah satu indikator dari persyaratan rumah yang sehat. Menurut Latifah et al. (2000) rumah yang sehat sebaiknya
memiliki
tempat
pembuangan
yang
tertutup
sehingga
tidak
menyebarkan bau yang dapat mengundang lalat sebagai salah satu penyebab timbulnya penyakit. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan sebesar 53.4% ibu belum memiliki tempat pembuangan sampah di rumahnya. Mereka mengaku selama ini membuang sampah begitu saja di depan atau dibelakang rumah serta membuang sampah tersebut ke sungai. Tabel 24 Sebaran kepemilikan tempat sampah Kepemilikan tempat sampah
n
%
Ada
27
46.6
Tidak
31
53.4
58
100
Total
Perilaku Higiene Sanitasi dan higiene dapat berpengaruh terhadap kejadian infeksi, seperti diare dan ISPA yang nantinya menjadi salah satu penyebab terjadinya kekurangan gizi. Perilaku higiene ibu balita yang diteliti adalah mencuci tangan setelah buang air besar, mencuci tangan sebelum makan, mencuci tangan sebelum menyuapi anak, dan mencuci tangan sebelum menyiapkan makan untuk anak. Tabel 25 menunjukkan sebaran perilaku higiene ibu balita serta media dalam cuci tangan. Berdasarkan tabel yang ada terlihat bahwa sebagian besar ibu telah berperilaku higiene yang baik. Hal ini dibuktikan dengan perilaku mencuci tangan sebagian besar ibu baik mencuci tangan setelah buang air besar (98.3%), mencuci tangan sebelum makan (77.6%), dan mencuci tangan sebelum menyuapi anak (56.9). Namun sebelum menyiapkan makan untuk anak, sebagian besar ibu mengaku tidak mencuci tangan dahulu (67.2%). Ibu yang tidak mencuci tangan sebelum makan dan sebelum menyuapi anaknya memberikan alasan karena telah menggunakan alat bantu makan seperti sendok sehingga mereka tidak perlu untuk mencuci tangan lagi. Tabel 25 Sebaran perilaku higiene ibu balita Perilaku hygiene ibu Mencuci tangan setelah buang air besar/setelah membantu anak buang air besar Mencuci tangan sebelum makan Mencuci tangan sebelum menyuapi anak Mencuci tangan sebelum menyiapkan makan anak
n
%
57
98.3
45
77.6
33 19
56.9 32.8
Berdasarkan data yang ada terlihat bahwa perilaku higiene ibu masih tergolong kurang. Kesadaran ibu dalam praktek higiene masih tergolong rendah. Perilaku mencuci tangan merupakan hal tidak biasa dan dianggap remeh. Tangan merupakan salah satu kofaktor dalam penyebaran penyakit. Mencuci tangan setiap sebelum dan setelah melakukan kegiatan dalat mencegah terjadinya infeksi cacing ke dalam tubuh. Tangan merupakan salah satu jalur masuknya bakeri dan virus ke dalam tubuh serta menjadi penghantar penularan berbagai penyakit. Tangan manusia dalam waktu yang singkat dapat saja bersentuhan dengan berbagai bahan/benda yang mengandung bakteri/virus, seperti tinja, urin, tanah, air, dan sebagainya. Cuci tangan dengan menggunakan sabun dapat menghilangkan sejumlah besar virus dan bakteri yang menjadi
penyebab utama timbulnya berbagai penyakit seperti diare dan penyakit infeksi saluran nafas akut. Ibu yang mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar atau setelah membantu anak buang air besar sebesar 70.7%. Sebelum makan persentase ibu yang mencuci tangan menggunakan sabun sebesar 46.6%, sedangkan sebelum menyuapi anak sebagian besar ibu menjawab tidak pernah mencuci tangan dengan alasan telah memakai alat bantu berupa sendok (43.1%). Sebanyak 67.2% ibu juga tidak mencuci tangan mereka dengan air atau sabun sebelum menyiapkan makanan untuk anaknya. Kejadian Infeksi Anak Balita Kejadian infeksi anak balita atau status kesehatan pada anak balita merupakan aspek yag mempunyai efek terhadap status gizi untuk semua umur. Tabel 26 menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak balita (79.3%) mengalami sakit dalam satu bulan terakhir. Tabel 26 Sebaran kejadian sakit anak balita dalam satu bulan terakhir Kejadian sakit
n
%
Sakit
46
79.3
Tidak sakit
12
20.7
58
100.0
Total
Penyakit yang sering terjadi pada anak balita adalah penyakit infeksi. Data dari Puskesmas Bantar Gebang I menunjukkan bahwa penyakit yang sering diderita oleh anak balita yang tinggal disekitar tempat pembuangan akhir adalah diare dan penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Hasil menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil anak balita yang mengalami gejala seperti tersebut di atas yakni dengan persentase sebesar 27.6%. Menurut Moehji (2003) penyakit infeksi pada balita sering disertai dengan diare dan muntah yang menyebabkan anak kehilangan cairan dan sejumlah zat gizi seperti mineral dan sebagainya.
Tabel 27 Sebaran kejadian diare pada anak balita Kejadian diare
Saat ini
6bln terakhir
N
%
n
%
Diare
5
8.6
12
20.7
Tidak diare
53
91.4
46
79.3
58
100
58
100
Total
Tabel 27 menunjukkan bahwa pada saat penelitian sebagian besar anak tidak sedang mengalami diare. Namun dalam satu bulan terakhir terdapat sebanyak 20.7% anak pernah mengalami diare dengan frekuensi lebih dari 4 kali dalam sehari dan dengan bentuk kotoran yang lembek dan cair. Keaktifan Ibu Balita dalam Kehadiran di Posyandu Posyandu merupakan salah satu pelayanan kesehatan di desa untuk memudahkan masyarakat untuk mengetahui atau memeriksakan kesehatan terutama untuk ibu hamil dan anak balita. Tabel 31 Sebaran balita berdasarkan keaktifan ibu di posyandu Partisipasi di Posyandu
n
%
Rendah
24
41.4
Sedang
15
25.9
Tinggi
19
32.7
Total
58
100
34
58.6
6 bulan terkahir - Rendah -
Sedang
3
5.2
-
Tinggi
21
36.2
58
100
21
36.2
Total Alasan tidak hadir - Malas -
Jauh
7
12.1
-
Ibu bekerja
8
13.8
-
Anak sakit
7
12.1
-
Tidak tahu jadwal
15
25.8
Keaktifan
keluarga
pada
setiap
kegiatan
posyandu
tentu
akan
berpengaruh pada keadaan status gizi anak balitanya. Pada saat ini pemantauan pertumbuhan merupakan kegiatan utama posyandu yang jumlahnya mencapai lebih dari 260 ribu yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 menunjukkan bahwa sebanyak 74.5% (sekitar 15 juta) balita pernah ditimbang minimal 1 kali selama 6 bulan terakhir, 60.9% diantaraanya ditimbang lebih dari 4 kali. Berdasarkan Tabel 28 menunjukkan hasil bahwa partisipasi ibu balita dalam kehadiran di posyandu masih tergolong rendah (41.4%) dan untuk partisipasi dalam 6 bulan terakhir juga masih tergolong rendah (58.6%). Alasan ibu balita tidak hadir ke posyandu adalah malas dengan persentase sebesar 36.2% Hubungan Umur Penyapihan Balita dengan Variabel lain Penyapihan digunakan untuk menyebut proses dimana seorang bayi perlahan-lahan dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Selama masa penyapihan, makanan bayi berubah dari ASI saja ke makanan yang lazim dihidangkan dalam keluarga, sementara air susu hanya sebagai makanan tambahan (Arisman 2006). Menurut Allan (2006) penyapihan adalah istilah yang digunakan untuk menyebut periode transisi dimana bayi masih diberi makanan cair, ASI ataupun susu formula, tetapi juga secara bertahap diperkenalkan pada makanan padat. Hasil uji korelasi Spearman antara karakteristik keluarga (pendidikan dan pekerjaan ) dengan umur penyapihan balita menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan umur penyapihan balita. Hasil ini diduga disebabkan karena pendidikan ibu yang masih didominasi hanya sampai tingkat SD dapat mengindikasikan bahwa responden belum mempunyai pengalaman dan kurang mengetahui kesiapan anak untuk menerima makanan tambahan karena kurangnya pengetahuan ibu. Pengetahuan atau kognitif berperan penting dalam membentuk perilaku atau tindakan seseorang. Pengetahuan ibu dapat diperoleh baik secara internal yaitu pengetahuan yang berasal dari dirinya sendiri berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari dan eksternal yaitu pengetahuan yang berasal dari orang lain (Notoatmojo 2007). Namun hasil uji korelasi Spearman antara pekerjaan ibu dengan umur penyapihan balita menunjukkan hasil yang sangat signifikan (p<0.01). Ibu yang bekerja cenderung memberikan makanan tambahan kepada bayinya saat mereka masih berumur kurang dari 6 bulan. Ibu yang bekerja cenderung memiliki
waktu yang sangat sedikit dirumah. Hal ini membuat mereka
kurang dalam
memperhatikan makanan yang diberikan kepada anaknya. Penelitian yang dilakukan Kwi di Malaysia (2006) menunjukkan bahwa sebanyak 28.3% ibu balita yang bekerja mulai memberikan makanan tambahan kepada anaknya saat berusia kurang dari 6 bulan. Alasan mereka memberikan makanan tambahan kepada anaknya saat berusia kurang dari 6 bulan adalah agar anaknya tidak rewel saat ditinggal bekerja dan jug karena keterbatasan waktu ibu dirumah. Hasil uji korelasi antara karakteristik ibu dengan umur penyapihan balita dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 Analisis hubungan umur penyapihan variabel lain Variabel
R
p- value
Pendidikan ibu
0.095
0.278
Pekerjaan ibu
0.454
0.007
Jumlah anggota keluarga
-0.039
0.405
Pendapatan keluarga
-0.008
0.480
BB/U
0.106
0.254
TB/U
-0.210
0.094
BB/TB
0.240
0.065
Adapun berdasarkan karakteristik keluarga, tidak ditemukan hubungan yang signifikan dengan umur penyapihan balita baik terhadap jumlah anggota keluarga dengan status ekonomi keluarga (p>0.05). Hal ini diduga dikarenakan proses penyapihan balita dimulai pada saat yang berlainan. Ada beberapa kelompok masyarakat (budaya) tertentu, bayi tidak akan disapih sebelum berusia 6 bulan, namun ada juga yang baru memulai usia penyapihan setelah bayi berusia 2 tahun (kasus ekstrem 4 tahun). Sebaliknya, pada masyarakat urban, bayi disapih terlalu dini, yaitu baru beberapa hari setelah kelahiran sudah diberi makanan tambahan (Jeliffe 1996). WHO merekomendasikan, penyapihan dilakukan setelah bayi berusia 2 tahun. Pada usia ini anak sudah mempunyai fondasi yang kuat bagi perkembangan selanjutnya. Penelitian yang dilakukan oleh Boulghourjian et al. (2005) menunjukkan bahwa sebagian besar ibu sudah menyapih anak pada saat anak belum berusia 2 tahun (87.5%). Hal ini disebabkan karena faktor pekerjaan ibu diluar rumah yang mengharuskan ibu untuk meninggalkan anak di rumah. Seringnya
ibu
meninggalkan
anak
dirumah
dalam
waktu
yang
lama
menyebabkan anak terbiasa untuk tidak lagi minum ASI dan pemberian MP-ASI yang dini mempercepat ketidakbergantungan anak kepada ASI. Penelitian yang dilakukan Jus’at di Jakarta (2004) menunjukkan bahwa sebagian besar ibu tidak memiliki pengetahuan tentang usia penyapihan yang baik. Penyapihan yang mereka tahu dan terapkan adalah kebiasaan dari dulu yaitu dengan berdasarkan pengalaman orang tua. Besar keluarga tidak berhubungan secara signifikan dengan umur penyapihan balita diduga karena besar keluarga yang ada sebagian besar tergolong keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga rata-rata sebanyak 3 orang. Keluarga yang baru memiliki anak 1 orang cenderung belum memiliki pengalaman dalam mengasuh dan pengetahuan tentang penyapihan pun masih sangat sedikit. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur penyapihan dengan status gizi balita (p>0.05). Keadaan ini mungkin disebabkan karena dalam penelitian hanya umur penyapihan saja yang diteliti, tanpa melihat kualitas makanan sapihan yang diberikan. Penelitian Rahmani (2007) menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara penyapihan dengan status gizi anak. Hasil ini menunjukkan walaupun frekuensi dan jenis pemberian MP-ASI tepat tetapi masih ditemukan anak dengan status gizi kurang, hal ini terjadi kemungkinan karena kualitas MPASI yang diberikan masih kurang kualitas MP-ASI yang diberikan masih kurang memadai baik kualitas maupun kuantitas. Jus’at (2004) menyebutkan bahwa ganggunan pertumbuhan atau masalah gizi utama selama anak menyusui adalah karena tidak tersedianya makanan sapihan yang sesuai engan kebutuhan bayi atau anak. Mahantha (2004) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa umur penyapihan tidak berhubungan dengan status gizi anak balita. Status gizi anak balita lebih ditentukan dari kualitas dan kuantitas dari makanan tambahan yang diberikan ibu kepada anaknya. Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Status Gizi Balita Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik keluarga (pendidikan dan pekerjaan) dengan status gizi berat badan menurut umur (p<005). Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mardeyanti (2007) yang menyebutkan bahwa tingkat pendidikan ibu yang rendah meningkatkan resiko ibu untuk memberikan makanan tambahan yang kurang tepat serta pola asuh yang kurang baik sehingga menyebabkan
sebagian ibu cenderung memiliki anak dengan status gizi kurang. Pendidikan bertujuan untuk mengubah pengetahuan atau pengertian, pendapat dan konsepkonsep, mengubah sikap dan persepsi serta menanamkan tingkah laku atau kebiasaan yang baru pada pendidikan rendah serta meningkatkan pengetahuan yang cukup atau kurang bagi masyarakat yang masih memakai adat istiadat lama (Notoatmodjo 2005). Miller (2009) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa hampir sebagian besar ibu (45.6%) yang berlatar belakang pendidikan rendah memiliki anak dengan status gizi yang kurang. Pekerjaan memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi berat badan menurut umur (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa akan terjadi penurunan status gizi jika disertai dengan peningkatan pekerjaan ibu. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Roani (2007) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dengan status gizi balita. ibu yang bekerja pada umumnya memiliki waktu yang sedikit untuk mengurus anaknya, sehingga membuat mereka kurang dalam memperhatikan tumbuh kembang anak.korelasi antara karakteristik keluarga dengan status gizi dapat dilihat pada Tabel 30. Adapun berdasarkan karakteristik keluarga, tidak ditemukan hubungan yang signifikan dengan status gizi balita baik terhadap jumlah anggota keluarga maupun pendapatan keluarga (p<0.05). Hal ini berarti peningkatan jumlah anggota dan pendapatan kelurga akan membuat status gizi seorang anak akan menurun berdasarkan berat badan menurut umur. Faktorfaktor yang mendukung terjadinya kekurangan gizi diantaranya adalah aspek ekonomi dengan aspek pendapatan sebagai salah satu komponennya. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadapa kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Kondisi inilah yang pada akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga (Riyadi et al. 1990). Sementara itu menurut Husaini et al. (2000), apabila pendapatan rendah, maka kebutuhan pangan cenderung lebih dominan dibandingkan kebutuhan non pangan. Faktor lainnya yang mempengaruhi kecukupan konsumsi pangan pada suatu keluarga adalah jumlah anggota keluarga. Bagi keluarga dengan anggota keluarga yang banyak, jumlah anggota keluarga sebagai faktor penentu dalam memilih jenis bahan makanan dan distribusi pangan antar anggota keluarga. Pada kondisi seperti ini faktor kuantitas lebih diutamakan daripada faktor kualitas
sehinngga seluruh anggota keluarga dapat terbagis secara merata (Fachrina 2005). Anak yang tumbuh dalam keluarga miskin adalah yang paling rawan terhadap kondisi kurang gizi, sebab jika jumlah anggota keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak akan berkurang dan banyak orang tua menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan relatif lebih banyak daripada anak-anak yang lebih tua, sehingga anak-anak yang lebih muda tidak diberi cukup makan. Tabel 30 Analisis hubungan karakteristik keluarga dengan status gizi balita BB/U Variabel
TB/U
BB/TB
R
p-value
R
p-value
R
p-value
Pendidikan ibu
-0.232
0.040
0.056
0.337
0.008
0.476
Pekerjaan ibu
0.292
0.025
0.128
0.198
0.197
0.095
Jumlah anggota keluarga Pendapatan keluarga
-0.154
0.042
0.013
0.460
0.004
0.489
-0.175
0.034
-0.108
0.211
0.030
0.410
Hubungan yang bermakna antara karakteristik ibu dan karakteristik keluarga hanya terdapat pada status gizi berdasarkan berat badan menurut umur. Status gizi berdasarkan berat badan menurut umur merupakan indikator penilaian status gizi yang paling sensitif diantara indikator yang lainnya. Hal ini karena perubahan berat badan lebih cepat terlihat dibandingkan dengan perubahan tinggi badan. Hubungan Kejadian Infeksi dengan Status Gizi Balita Selain berhubungan dengan asupan makanan, status gizi juga dipengaruhi oleh status kesehatan balita. Status kesehatan balita juga dipengaruhi oleh perilaku sehat keluarga dan keadaan sanitasi rumah serta lingkungan (Khomsan 2000). Anak balita merupakan kelompok rawan gizi dan rawan kesehatan. Penyakit yang sering diderita oleh anak balita adalah penyakit infeksi. Infeksi yang terjadi dalam tubuh anak balita dapat mempengaruhi status gizi anak balita. Suhardjo (2005) mengemukakan bahwa antara status gizi kurang dengan infeksi terdapat interaksi bolak-balik. Infeksi yang akut mengakibatkan kurang nafsu makan dan toleransi terhadap makanan.
Tabel 31 Analisis hubungan kejadian infeksi dengan status gizi balita Status gizi
R
p- value
BB/U
-0.159
0.117
TB/U
0.174
0.096
BB/TB
0.173
0.096
Penyakit yang diderita anak juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan fisik anak, kebiasaan hidup sehat, konsumsi dan kebiasaan makan, serta status gizi sebelumnya
(Hastuti
2006).
Berdasarkan
hasil
uji
korelasi
Spearman
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kejadian infeksi dengan status gizi balita. Hal ini mungkin saja disebabkan karena dalam penelitian sebagian besar sampel dalam kondisi yang baik sehingga status gizinya pun baik. Jika dibedakan status gizi pada saat diare dan sedang tidak diare dapat terlihat bahwa pada anak yang diare cenderung memiliki status gizi yang kurang berdasarkan indeks BB/U dan pendek menurut status gizi TB/U.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Usia anak balita berkisar antara 24-60 bulan. Sebagian besar berada pada rentang usia 25-36 bulan dan 37-48 bulan dengan persentase masingmasing sebesar 53.4% dan 20.7% serta sebagian besar berjenis kelamin perempuan dengan persentase 67.2%. Pada saat dilakukan penelitian sebagian besar anak sudah tidak diberikan ASI lagi (67.2%). Penyapihan pada balita ratarata dilakukan saat anak berada pada rentang usia 13-24 tahun dengan persentase sebesar 65.8%. Alasan ibu melakukan penyapihan kepada anaknya adalah karena anak sudah besar (55%). Usia pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) mulai diberikan ibu saat anak masih berusia 2 bulan (34.5%) dan yang diberikan pertama kali sebagian besar adalah bubur susu (60.3%).. Pola pemberian MP-ASI balita pada penelitian ini sebagian bessar tergolong tidak baik dengan persentase sebanyak 53.4%. Status gizi balita berdasarkan indeks BB/U sebagian besar anak tergolong kategori gizi baik dengan persentase sebesar 89.7%. Berdasarkan indeks TB/U sebanyak 55.2% anak balita tergolong dalam kategori normal. Indeks BB/TB sebanyak 77.6% anak balita tergolong dalam kategori normal. Hasil uji Korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik ibu (pendidikan) dengan umur penyapihan balita (p>0.05), sedangakan untuk karakteristik ibu (pekerjaan) terdapat hubungan yang signifikan dengan umur penyapihan balita (p<0.05). Hasil uji korelasi antara karakteristik keluarga dengan umur penyapihan balita juga tidak terdapat hubungan yang signifikan.
Hasil uji korelasi antara
karakteristik ibu dan karakteristik keluarga dengan status gizi balita menunjukkan hasil yang signifikan dan positif pada pekerjaan ibu dengan status gizi BB/U (p<0.05), dan terdapat hubungan yang signifikan dan negatef antara pendidikan ibu, jumlah anggota keluarga dan pendapatan keluarga dengan status gizi BB/U. Sementara itu tidak terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik ibu dan karakteristik keluarga dengan status gizi TB/U dan BB/TB (p>0.05). Hasil uji korelasi juga menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur penyapihan dengan status gizi baik dengan indeks BB/U, TB/U maupun BB/TB. Antara kejadian infeksi dengan status gizi balita baik dengan indeks BB/U, TB/U maupun BB/TB juga terdapat hubungan yng signifikan antara keduanya.
Saran Indikator penting kesehatan anak adalah status gizi. Masa balita adalah masa emas dimana pada saat itulah anak sedang berada pada masa puncak perkembangan dan pertumbuhan. Pemberian makanan tambahan yang tepat baik dalam segi kualitas maupun kuantitas diperlukan untuk mendukung tumbuh kembang anak yang maksimal. Peran tenaga kesahatan perlu ditingkatkan dalam dakan memberikan pengetahuan kepada ibu balita. Optimalisasi peran posyandu bukan hanya sebagai sarana tempat penimbangan dan imunisasi anak, namun juga sebagai sarana dalam menambah pengetahuan ibu dalam pengasuhan anak. Petugas kesehatan juga diharapkan dapat memberikan penyuluhan kepada ibu balita tentang kapan waktu yang tepat untuk menyapih balitanya. Kesadaran ibu dalam pemberian ASI eksklusif kepada balita sebaiknya mulai ditingkatkan mengingat akan banyaknya manfaat yang diberikan dari ASI itu
sendiri.
Sebaiknya
dilakukan
penelitian
mengenai
bagaimana
pola
pengasuhan balita yang tinggal di lingkungan tempat pembuangan akhir serta melihat praktek perilaku hidup bersih dan sehat
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Z, Kyi WD, Isa AR. 2006. Breastfeeding practices in rural communities of Kelantan. Malaysia Journal of Nutrition 2:148-154. Akre J.1994. Pemberian Makanan untuk Bayi : Dasar – Dasar Fisiologis. Jakarta : WHO.
Arisman. 2006. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.
Atmarita & Tatang SF. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. dalam Prosiding Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi
VIII ed.
Soekirman dkk. Jakarta. Ariani YD. 2008. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI), http://parentingislami. wordpress.com/2008/05/27/makanan-pendamping-asi-mp-asi/. [10 Januari 2012]. Boulghourjian C et al. 2005. Feeding practices of infants. American Journal of Clinical Nutrition 19 (3): 133-139. BataL M et al. 2005. Breast-feeding and feeding practices of infants in a developing country: a national survey in Lebanon. American Journal of Clinical Nutrition 9 (3): 313-319. Chintia
KY. 2008. Cerdas Memberi Makanan Pendamping Bayi. http://818.blogspot .com /2008/06/cerdas-dalam-memberi-polamakanan-html [15 Januari 2012].
Djalal F. 2009. Pengaruh gizi dan stimulasi pada tumbuh kembang otak dan kecerdasan anak . Buletin PAUD 8 (1): 33-15. [Depkes] Departemen Kesehatan RI 2001. Keunggulan dan Manfaat Menyusui. Jakarta : Direktorat Bina Gizi Masyarakat , Depkes RI. [Depkes] Departemen Kesehatan RI 2000. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI).Jakarta : Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Direktorat Jendral Kesehatan Masyarakat,Direktorat Bina Gizi Masyarakat , Depkes RI. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta.
Departement of Pediatrics and Child Health University of Limpopo. 2005. Early infant feeding practices of mothers attending a postnatal clinis in GaRankuwa. South African Journal of Clinical Nutrition 18 (2): 70-75. Jus’at. 2004. Maternal and Child Malnutrition Problem in Indonesia a Literature Survey. Jakarta: Depkes RI. Krisnatuti D. 2000. Menyiapkan Makanan Pemdamping ASI. Jakarta: Puspa Swara. Kumar D, Goel NK, Mittal CP, Misra P. 2006. Influence of infant feeding practices on nutritional status of under five children. Indian Journal of Pediatrics 73 (5): 417-421. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2004. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Ed ke-VIII. Jakarta: LIPI. Eckhardt L, Rivera J, Adair LS, Martorell R. 2001. Full breast-feeding for at least four months has differential effects on growth before and after six months of age among children in Mexican community. The Journal of Nutrition 15 (4): 2304-2309. Facrina A. 2005. Pola konsumsi pangan pada rumah tangga miskin di pedesaan dan perkotaan di lima provinsi Pulau Jawa [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Gibson R. 2005. Nutritional Assesment. Laboratory Manual. New York: Oxford University Press Griffiths LJ et al. 2008. Effect of infant feeding practice on weigth gain from birth to 3 years. Arch Dis Child Journal of Medicine 94 (3): 577-582. Hartoyo & Hatuti D. 2004. Perilaku Investasi pada Anak Keluarga Nelayan dan Implikasinya terhadap Pengentasan Kemiskinan. Bogor : Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hastuti D. 2006. Pengasuhan : Teori, Prinsip, dan Aplikasinya. [diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Hatta M. 2005. Pekan ASI sedunia dalam http://asuh.wikia.com/ . [4 Mei 2009]. [HKI]
Hellen Keller International. 2002. Crisis Bulletin: Spesial Series Brestfeeding and Complementari Feeding Practices in Indonesia. 14 (2) :13-15.
Husaini YK, Widodo Y, Triwinarto A, Salimar. 2000. Perubahan Pola Konsumsi Pangan Keluarga pada Sebelum dan Sewaktu Krisis Ekonomi. Penelitian Gizi dan Makanan 23: 8-17. Husaini M. 2001. Makanan Bayi Bergizi. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.
Jahari A.B. et al. 1997. Status Gizi Balita di Indonesia Sebelum dan selama krisis. dalam Prosiding Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII ed. Soekirman dkk. Jakarta. Jeliffe D. 1996. Kesehatan Anak di daerah Tropis. Jakarta: Bumi Aksara. Kamruzzaman MK et al. 2009. Feeding pattern of children under two years in some selected villages. Bangladesh Journal of Medical Science 8 (4): 15-18. Khan MAS, Hossain MM, Banik AK. 2007. Factors influencing the weaning knowledge of mothers of under 5 children : A hospital based study. The Orion medical Journal 28( 2): 487-489. Khomsan A. 2000. Teknik pengukuran pengetahuan gizi [diktat]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kwi et al. 2006. Breastfeeding and weaning practices in rural communities of Kelantan. Malaysian Journal Nutrition 15(2): 148-154 Latifah et al. 2002. Penanganan Sampah dan Air Limbah. Bogor: Pusat Kurikulum Balitbang, Departemen Pendidikan Nasional dan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Lukman T. 2007.Program ASI Eksklusif hingga Bayi Enam Bulan dalam http://situs.kesrepro.info/kia/agu/2005/kia01.htm. [27 Desember 2011]. Maseta E, Makau W Kogi, Omwega AM. 2008. Childcare practices and nutritional status of children aged 6–36 months among short- and long-term beneficiaries of the Child Survival Protection and Development Programmes (the case of Morogoro, Tanzania). South African Journal of Clinical Nutrition 21 (1): 16-20. Medhi GK, Mahanta J. 2004. Breastfeeding, weaning practices and nutritional status of infants of tea garden workers of Assam. Indian Journal of Nutrition 41 (7): 1277-1279. Miller W et al. 2009. Infant and child feeding practices: A preliminary investigation. Australian Dental Journal 42(1): 54-58. Moehji S. 2003. Pemeliharaan Gizi Bayi dan Balita. Jakarta: Bharata Karya Aksara. Muchtadi D. 2002. Gizi untuk Bayi : Air Susu Ibu, Susu Formula dan Makanan Tambahan. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Murniningsih & Sulastri. 2007. Hubungan antara pemberian makanan tambahan pada usia dini dengan tingkat kunjungan ke pelayanan kesehatan di Kelurahan Sine Sragen. Jurnal Berita Ilmu Keperawatan 1 (3): 113118. Musaphi LF, Mbhenyane XG, Khoza LB, Amey AKA. 2008. Infant-feeding practices of mothers and the nutritional status of infants in the
Vhembe District of Limpopo Province. South African Journal of Clinical Nutrition 21 (2): 36-41.
Noor NN. 2006. Epidemiologi Penyakit Menular. [sripsi]. Makassar : Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin . Notoatmodjo S. 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Notoatmodjo S. 2007. Ilu Pengetahuan Masyarakat dan Prinsip-pronsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta. Prihartono V. 1994. Umur penyapihan dan Praktek Pemberian Makanan dan Kaitannya dengan Status Gizi Balita [tesis]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pudjiati S. 2001. Bayiku Sayang. Jakarta: UI Press. Purwanti H. 2004. Konsep Penerapan ASI Eksklusif. Jakarta: EGC. [Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar Indonesia. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2007. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Riyadi H. 2003. Penilaian Status Gizi. Di dalam : Baliwati YF, Khomsan A, Dwiriani CM, editor. Pangan dan Gizi. Bogor :Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Robinson S et al .2007. Dietary patterns in infancy: the importance of maternal and family influences on feeding practice. British Journal of Nutrition 98 (10): 1029-1037. Rosidah D. 2004. Pemberian Makanan Tambahan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Roesli U. 2001. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Trubus Agriwidya. Satyanegara S. 2004. Panduan Lengkap Perawatan Bayi dan Balita. Jakarta: Arcan Sedioetama A.D. 1996. Ilmu gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta : Dian Rakyat. Sembiring T. 2009. Ragam Pediatrik Praktis. Medan: USU Press. Senorita H, Laukau BA. 2005. Weaning pracrices in rural and urban Vava’u, Tonga island. Australian and New Zealand Journal of Public Health 21(2): 233-236. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta : Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Soetjiningsih. 1997. ASI Petunjuk untuk tenaga kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi PAU, Institut Pertanian Bogor. Sukandar D. 2007. Studi Sosial Ekonomi, Aspek Pangan, Gizi, dan Sanitasi: Petani Sawah Beririgasi di Banjar Jawa Barat. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Supariasa IDN. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Thaha AR. 2005. Pertumbuhan Anak Keluarga Nelayan. [tesis]. Jakarta : Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Thamrin Y. 2002. Faktor Risiko Terjadinya KEP pada Balita di Kabupaten Maros. [tesis]. Makassar : Universitas Hasanuddin . UNICEF. 2007. ASI Eksklusif Tekan Angka Kematian Bayi Indonesia dalam http://situs.kesrepro.info/kia/agu/2006/kia03.htm. [27 Desember 2011]. UNICEF WHO IDAI. 2005. Rekomendasi tentang Pemberian Makanan Bayi pada Situasi Darurat dalam http://www.gizi.net/ . [4 Mei 2009]. Umeta M et al. 2003. Factors Associated with Stunting in Infants Aged 5–11 Months in the Dodota-Sire District, Rural Ethiopia. Journal of Nutrition 133: 1064–1069. Widjaya MC.2002. Gizi tepat untuk perkembangan Otak dan Kesehatan Balita. Jakarta : Kawan Pustaka Yulia C. 2008. Pola asuh makan dan kesehatan anak balita pada keluarga wanita pemetik teh di kebun malabar PTPN VIII [tesis]. Bogor:Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1
LEMBAR PERSETUJUAN ORANGTUA Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama :……………………………………………………………… Usia :………….tahun Alamat :……………………………………………………………… ......................................................................................... Telepon/HP :……………………………………………………………… selaku Bapak/ibu/lainnya(sebutkan………..) dari……………………….. usia…………..bulan, setelah mendapatkan penjelasan tentang penelitian ini, saya menyetujui anak saya ikut serta dalam penelitian dengan judul “Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Umur Penyapihan , Praktek Pemberian Makanan Tambahan dan Status Gizi Balita di Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang Bekasi. Demikian surat pernyataan ini dibuat tanpa paksaan dan digunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta,...............................2012 Yang menyatakan Orang tua/ wali anak
(…………………………………...)
Lampiran 2
Kode:
: Kuisioner
KUISIONER PENELITIAN IDENTITAS KELUARGA Tanggal penelitian Nama Ibu
: :
Umur ibu
:
Alamat
:
Pekerjaan ibu
:
1. Ibu rumah tangga 2. PNS 3. Karyawan swasta 4. Wiraswasta 5. Lain – lain, sebutkan………. Pendidikan terakhir ibu
:
Pendapatan keluarga/bulan : Jumlah anggota keluarga IDENTITAS ANAK Nama anak Jenis kelamin
:
: : 1. Laki- laki 2. Perempuan
Tanggal lahir
:
Umur balita
:
bulan
Berat badan lahir
:
gr
Berat badan saat 6 bln
:
kg
Berat badan saat 12 bln
:
kg
Berat badan saat 18 bln
:
kg
Berat badan saat 24 bln
:
kg
Berat badan saat ini
:
kg
Panjang/tinggi badan
:
cm
Jarak antara responden dengan anak sebelumnya : Kehadiran diposyandu
:
kali
Kehadiran di posyandu selama 6 bulan terakhir
:
kali
Alasan tidak hadir di posyandu : UMUR PENYAPIHAN 1. Saat anak ibu berusia kurang dari 4 bulan, apakah ibu memberikan : a. ASI saja (langsung ke nomer 3) b. ASI + susu formula c. Susu formula saja 2. Saat anak ibu berusia kurang dari 4 bulan, apakah ibu memberikan : a. ASI saja (langsung ke nomer 3) b. ASI +susu formula c. Susu fomula saja 3. Apa alasan ibu memberikan susu formula kepada bayi : a. ASI tidak keluar b. Bayi rewel c. Ibu bekerja d. Putting sakit e. Lain – lain, sebutkan………. 4. Apakah sekarang ini anak ibu masih mendapatkan ASI : a. Ya (langsung ke nomer 6) b. Tidak 5. Jika tidak, sampai umur berapakah bayi ibu mendapatkan ASI :………bulan 6. Apa alasan ibu menyapih : a. Anak sudah besar b. Ibu bekerja c. Ibu sakit d. Lain – lain, sebutkan………. PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN 7. Sejak usia berapa anak pertama kali mendapakan makanan selain ASI: ……bulan 8. Makanan tambahan apa yang pertama kali ibu berikan :
a. Bubur susu instan b. Biscuit bayi c. Pisang kerok/ dihaluskan d. Nasi lunak e. Sari buah f. Lain – lain, sebutkan………. 9. Makanan apa saja yang ibu berikan kepada anak ibu saat ini : a. Sari buah b. Bubur susu c. Bubur saring d. Nasi tim e. Makanan keluarga (Nasi biasa) f. Lain – lain, sebutkan………. 10. Berapa kali dalam sehari anak ibu mendapatkan makanan utama : a. 1 kali b. 2 kali c. 3 kali d. > 3kali 11. Frekuensi konsumsi pangan sumber protein: KONSUMSI PROTEIN PANGAN
Frekuensi per Hr
Mgg
Gram/makan
Bln
1. Susu 2. Daging sapi 3. Daging ayam 4. Ikan 5. Telur 6. Tahu 7. Tempe
12. Diantara jam makan tersebut apakah anak ibu mendapakatkan makanan selingan :
a. Ya b. Tidak 13. Makanan selingan apa saja yang biasanya sering ibu berikan : a. Buah – buahan b. Biscuit c. Bubur kacang hijau d. Lain – lain, sebutkan………. 14. Berapa kali dalam sehari anak ibu mendapatkan makanan selingan: a. 1 kali b. 2 kali c. 3 kali d. > 3 kali 15. Frekuensi makanan jajanan: KONSUMSI MAKANAN JAJANAN PANGAN
Frekuensi per Hr
Mgg
Gram/makan
Bln
1. Chiki 2. Biscuit 3. Roti 4. Wafer 5. Minuman kemasan 6. Permen 7. Es krim
KEBERSIHAN DIRI DAN LINGKUNGAN SEKITAR 16. Berapa kali ibu memotong kuku anak ibu dalam seminggu : a. Tidak pernah b. 1x seminggu 17. Berapa kali anak mandi dalam sehari : a. < 2 kali b. > 2kali
18. Apakah setiap mandi anak ibu selalu menggunakan sabun mandi : a. Ya b. Tidak 19. Berapa kali anak menggosok gigi dalam sehari : a. < 2 kali b. > 2 kali 20. Dimana biasanya anak ibu buang air besar : a. Kebun / kali b. Kakus/ wc c. Lain – lain, sebutkan……… 21. Apakah setelah buang air besar/ membantu anak BAB, ibu mencuci tangan : a. Ya b. Tidak 22. Jika ya, menggunakan apa ibu mencuci tangan setelah BAB : a. Air saja b. Sabun dan air tidak mengalir (wadah/tempat) c. Sabun dan air mengalir 23. Apakah ibu selalu mencuci tangan sebelum makan : a. Ya b. Tidak 24. Jika ya, menggunakan apa ibu mencuci tangan sebelum makan : a. Air saja b. Sabun dan air tidak mengalir (wadah/tempat> c. Sabun dan air mengalir 25. Apakah ibu mencuci tangan sebelum memberi makan anak : a. Ya b. Tidak 26. Jika ya, menggunakan apa ibu mencuci tangan sebelum memberi makan : a. Air saja b. Sabun dan air tidak mengalir (wadah/tempat) c. Sabun dan air mengalir 27. Apakah ibu mencuci tangan sebelum menyiapkan makan anak : a. Ya b. Tidak 28. Jika ya, menggunakan apa ibu mencuci tangan sebelum memberi makan :
a. Air saja b. Sabun dan air tidak mengalir (wadah/ tempat) c. Sabun dan air mengalir 29. Apakah ada tempat pembungan sampah di sekitar rumah (observasi ): a. Ada b. Tidak ada RIWAYAT PENYAKIT INFEKSI BALITA 30. Apakah anak ibu pernah sakit dalam 1 bulan terakhir : a. Ya b. Tidak 31. Apakah anak ibu pernah mengalami sesak nafas atau nafas cepat dan dangkal: a. Ya b. Tidak 32. Apakah anak ibu sedang mengalami diare: a. Ya b. Tidak 33. Jika ya, berapa kali dalam sehari : a. > 3 kali b. 3 kali c. < 3 kali 34. Bagaimana bentuk kotoran anak ibu : a. Lembek dan cair b. Seperti biasa / padat 35. Apakah dalam 1 bulan terakhir anak ibu mengalami diare : a. Ya b. Tidak 36. Bila ya, berapa kali sehari : a. > 3 kali b. 3 kali c. < 3 kali 37. Bagaimana bentuk kotoran anak ibu : a. Lembek dan cair b. Seperti biasa / padat
Lampiran 3 Dokumentasi