NOTULEN Rapat Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) – ASDEPKES KPDT Merdesa Koffie, 25 Juni 2014
Presentasi slide oleh Pak Dedy, UKP4
Ini merupakan fakta alur birokrasi kita, UU baru ini bukan hanya menyangkut orang, tetapi juga menyangkut kultur didalamnya. Dan ini semua menjadi sulit ketika sudah masuk ke Gubernur. BKKBN kalau sudah berbicara “kami sudah punya UPT sampai Provinsi” sama saja. Sudah mulai kesulitan dalam mengkoordinasikan itu semua. Fakta lagi, KPDT melakukan tugas sampai walikota, maaf, menurut kami ini mission impossible pekerjaan KPDT itu. Secara Infrasutruktur sudah tidak mungkin dan tidak masuk akal, jadi kalau ada tadi keluhan A, B dan C memang faktanya seperti itu dan kita harus hidup dengan itu sementara ini.
Akhirnya ini dari kacamata kami promotif, preventif dan kuratif, rehebilitatif ini cara pandang kami memandang pembangunan kesehatan secara keseluruhan, fasilitas pelayanan kesehatan atau infrastrukur yang harus dibangun, itu semua. Primer, sekunder, tersier dengan ketebalan itu menunjukkan besaran primer yang signifikan yang notabene-nya tidak fokus, bingung mau di handle semua. Infrastruktur fisik itu ada infrastruktur pendukungnya. Usaha daerah itu nyatanyata tidak lain, tapi setidaknya kita melihat itu semua dari koridor sisi kebijakan, sisi penganggaran, perencanaan implementasi dan monitoring evaluasi. Jangan berharap apa yang kami sampaikan ini, tamat dengan rekomendasi, tidak. Kita sudah punya draft rekomendasi tapi kita tidak akan diskusikan disini. Justru kami ingin dengar itu kami ingin men-drive fakta-fakta seperti ini. Kami tampung, lalu kita masak sendiri.
Kita bicara sedikit KPDT. Ini RPJM kita sebenarnya semua rekan-rekan KPDT masuk, tapi yang jelas dari konteks ini, merupakan Prioritas Nasional kita. Kita monitor tiga bulanan dan melibatkan Kementrian. Jumlah kita sudah naik ditahun 2013, dan di 2014 naik lagi, inilah kinerjanya. Sudah baikkah? Hijau belum tentu baik, kadang lower target kadang sesuai target tapi datanya ngawur, beragam. Tapi nyatanya, ini outcome-nya. Kematian Ibu drastis, akses air bersih drastis, tidak tercapai semua, sanitasi yang layak drastis. Rumah Sakit Internasional inikan gampang, tercapai. JKN kondisinya seperti ini.
Factual yang lebih spesifik kondisinya, dan ini faktanya tidak ada yang sampai. Orang bisa katakan indikatornya tidak tepat, tapi orang tidak tau itu. Didepan angkaya di-publish tidak sesuai target. Jadi mereka tidak tahu angka indikator yang dipakai, tapi yang jelas peran KPDT dimana? Ini faktanya. Kami tidak tahu peran KPDT dalam konteks pembangunan kesehatan Nasional. On-Off, On-Off terjadi, tidak spesifik, kemudian signifikansinya kita bingung melihatnya.
Bapak bicara kekuatan kami ada di koordinasi. Waduh, kalau dihadapkan infrastruktur yang pertama tadi, wajar jawabannya Pak. Memang On-Off, On-Off terjadi kadang di PN 10, kemudian kadang di kemiskinan, kemudian kami tarik untuk kesehatan 3. Karena kami juga bingung naruhnya dimana. Coba lihat lagi KPDT ada disini selama 3 tahun, tapi kami terima kasih setidaknya datanya factual. Ini baru BKKBN ada di sini. Jadi setelah kita door to door BKKBN, POM, melakukan kajian untuk menentukan validitas data. Kita percaya dengan adanya bisnis proses kalau bisnis prosesnya tidak mendukung, tahu tahu hasilnya bagus banget, ya nggak nalar. Gara-gara seminggu kesana road show jadi ini benefit konkritnya seperti ini.
Porsi anggaran belanja KPDT Anggarannya hanya segitu (menunnjukkan slide grafik anggaran KPDT)
Kerangka pengeluaran jangka menengah program kesehatan KPDT Anggaran 11% khusus untuk program kesehatan, tetapi kesehatan lain selain infrastruktur tidak tergambar. Tapi yang jelas dari konteks seperti ini. Ini pola kedua terkait pembagian jenis anggaran. Tadi disebutkan konteks fasilitasi, jadi kalau bensinnya banyak difasilitasi, ini membutuhkan anggaran seperti tadi, berat tantangannya. Realisasi anggaran tidak terlalu bagus jauh dari harapan, kami melihat 1 semester ini kemana KPDT? Kesehatan juga seperti itu. Ini Negara kita seperti itu.
Topik Diskusi Utama Promotif dan preventif kami sebut mati suri? Seluruh kementrian sudah kena ada 9 kementrian dan saya yakin masih banyak lagi yang tidak tercatat.
Peta program promotif dan preventif Dari 39 program 30 program melibatkan puskesmas, dan 9 program tidak melibatkan puskesmas. Puskesmas tidak jalan akan mati semua program dan ini pun ada sedikit kesalahan. Kondisi puskesmas seperti ini dimana 33% dari seluruh puskesmas tidak ada tenaganya. Tenaga yang ada, itupun harus kerja yang lain. Ini data yang tercatat. Deviasinya segini, orangnya tidak ada. Puskesmas sudah kekurangan orang, terbebani Administrasi seperti ini. Kami turun ke 1300 puskesmas, turun kelapangan, ada laporan dibuat 98 laporan ada 745 lembar yang dibuat karena datanya harus direkap 65% BOK dan semua manual. Detail ini ada.
Slide Berharap kapasitas super SDM pendukung Dari 39 tadi, 64% (25 program) melibatkan kader ! 17 program 68% kader desa Rekruitment nasional S1/S2 PKH dan sebagainya.
Kader desa: handle layanan orang lahir sampai orang meninggal, kompetensi ada di dia, melakukan secara sukarela. Seluruh program mengandalkan kader seperti ini. Membantu layanan. Profil 3-5 orang/ desa. Struktur dan kultur mempengaruhi peran kader.
BPOM mengkaji seluruh program, datanya ada atau tidak, kualitasnya seperti apa? Dananya mana yang besar yang dikerjain, laporan datanya ada. BKKBN mengevaluasi ulang menurut saya hal yang baik dan itu dilakukan sekarang, data dilihat ulang lagi, mereka melihat 2014 melakukan uji petik validitas data capaian. Ini quick respons dari mereka setelah ketemu eksekutor malah konkrit. Nakes tidak merata. Di website ada 183 daerah tertinggal, data tersebut beda dengan
kesehatan. Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK) ada 156 daerah, saya bingung. Kita coba petain satu-satu. Dari fakta itu daerah bermasalah kesehatan identik dengan ketersediaan lokasi puskesmas, fasilitas. Kita datangi puskesmas, kami rutin datangi puskesmas.
Di Pulau Ende, tenaganya tidak ada, penggantinya pegawai TU ex- SMA yang dulu kompetensinya kasihan banget, meng-handle puskesmas, handle layanan disitu, tenaga dibawahnya hilang semua, ada yang menikah, tapi di formasi ada. ini ketemu di tiga tempat dan didaerah bapak semua. Tercatat.
Kita kembali sedikit ke BPJS, saya dulu mengurus pertama BPJS kesehatan, senang harapannya bagus, tapi kenyataannya di akhir 2013 tidak bergerak, di akhir November tidak ada regulasi, itu melanggar UU BPJS kesehatan. Ini adalah jumlah penduduk, dan nilai kapitasi yang ditentukan berdasarkan fasilitas dokter.
Jumlah berdasarkan kaderisasi jumlah mulai dari 3000-6500. Penduduk itu dilayani diarea sini, dilayani diarea lain, yang diarea sini tidak ada disentuh sama sekali. Harapannya dengan kapitasi 6500, satu puskesmas di Jakarta nerima 2 Miliar perbulan. 100 juta dari biasa 12 juta per bulan. Dapat informasi minimal 60% untuk operasional. Daerah tertinggal bagaimana? Tidak ada Pak, apalagi disitu ada unsur promotif, tunjangannya termasuk unsur promotif bukan kuratif, ya sudah, duit dibagi rata habis gak ada insentif sama sekali.
Jadi untuk DBK pakai paket regular, hidup mati menggunakan dana kapitasi yang ada, dana BOK yang tidak dapat, karena tidak ada kompetensi membuat laporan proposal PoA, dana APBD daerah saja melarat. Program kekemiskinan tidak terintegtasi, program bansos outputnya ada tapi outcomenya tidak kelihatan. Jika kondisinya merah-merah seperti ini ya sudah, secara infrastruktur kelihatan tidak akan hidup DT. Jadi konteks seperti ini kita melihat, ini terus gak jalan-jalan. Ini
yang harus kami utarakan. Ini baru berbicara infrastruktur fisik, belum bicara orang.
Slide Obat dan alkes Ini identik kejadian di KPDT, insfrastruktur ngenes, nakes tidak ada, program kanan kiri atas bawah tidak nyambung, ditambah obat dan alkes. Fenomena otonomi daerah memberikan otorisasi dimana seluruh program obat alkes terbagi kewenangan pemda, pusat daerah yang tidak jelas.
Konsekuensi dibagi kewenangan mempengaruhi instalasi farmasi managementnya seperti apa? Proses pengadaannya seperti apa delivery-nya seperti apa? Satu dan yang lain tidak nyambung kapasitasnya. Apalagi kualitas, kita jangan bicara mengenai kualitas. Bagaimana handling sistemnya? Apalagi didaerah tertinggal.
Slide Ini di Kota, kami datang ada lampu operasi, puskesmasnya ok, kita cek tidak hidup karena listriknya tidak cukup. Jadi operasinya pakai ini (senter). Gara-gara ada yang kelebihan ada yang tidak sama sekali, transfer antar puskesmas tidak bisa. Nilai kapitasi puskesmas identik dengan kesiapan infrastrukturnya. Pengadaan obat, infrastrukturnya seperti ini. Ini beban sumber anggaran APBD tinggat 2 atau tingkat 1 atau pusat, itu dibagi-bagi, saya lihat secara teknis saja membingungkan. Rekap keatas pemkab merekap kalau duitnya ada, pusat juga seperti itu, pengadaan dilakukan. Semua barang yang dibeli dari pemkab, pemkot dan pemerintah pusat itu berhenti di instalasi farmasi, gudangnya kabupaten/kota. Terus transefer puskesmas yang butuh mengandalkan APBD, kalau daerah tertinggal uangnya dari mana? ya ngendon di instalasi farmasi, atau sudah expired pas sampai ke fasyankes. Kondisinya seperti ini.
Kesimpulan 3: Terobosan e-catalog dan e-logistic. Apakah itu menjawab?
Puskesmas butuh barang sesuai jenis, waktu, jumlah. Tidak! Hanya melindung eksekutor, memperkuat speed dan akuntabilitas dalam pengadaan obat dan alkes. Jadi, rekap 3 hal sampai kapanpun KPDT kalau tidak ada trobosan signifikan secara struktural pondasi tidak mapan. Kami mencoba melakukan trobosan manual. Peta DBK kami bawa dokumennya ke PU. Kami berkoordiasi dengan PU, Membuat program yang terintegrasi air bersih, limbah, saluran air, program kesehata lingkungan yang memiliki 1 titik, PU yang menentukan desanya yang mana dari PU, kami bawa ke kesehatan, untuk program pemicuan, penyadaran masyarakat. Siklus BOK beda dengan siklus eksekusi Infrastruktur, padahal itu harus komprehensif. BOK beda, ditentukan programnya PoA pada awal triwulan pertama, daerahnya sudah ditentuin, PU baru punya daerah lokasinya bulan Mei dan Juni tidak nyambung.
Kesehatan mengeluh karena sudah membangun program kesadaran air, yang ditunggu nggak datang-datang, dan PU juga mengeluh, jamban air yang sudah dibuat tidak terpakai, atau kadang tong airnya ada tapi airnya nggak ngalir, instalasi farmasi itu seperti tadi. Instalasi farmasi, handing-nya seperti apa, siapa yang tahu monitor kualitasnya? Tidak ada. Standardnya macam-macam tergantung kualitasnya, kalau daerah tertinggal ya, saya tidak tau managemennya seperti apa. Jangankan management, infrastruktur tools dari Kemenkes saja belum sampai kesana. Kita jika minta data berapa stock ketersediaan obat dan vaksin, tidak bisa, tidak ada data. Bagaimanaa kita bicara perencanaan kalau seperti itu. Ujung-ujungnya apa? Obat terlambat, jenisnya tidak pas, kemudian muncul kebutuhan gudang, muncul biaya pemusnahan, biaya pemusnahan tidak punya duit, dibuang diselokan. Pola kita memang seperti itu, lebih senang mengadakan pengadaan.
Tata kelola Yang penting dari itu adalah tata kelola pusat daerah. Kader puskesmas daerah bosnya dinas kesehatan kota. Bos kabupaten kota adalah dinas provinsi, mentri
kesehatan. BKKBN sama, POM sama, jadi Sosial sama Dagri sama, satu dan yang lain tidak nyambung. KPDT ada dimana?
Ini fakta di ENDE, Sekda-nya sudah ngaku “Tidak bisa Pak, saya ngumpulin teman-teman ngumpulin perencanaan anggaran” dan Pak Camat: “saya tidak tau, Pak”. Jadi, tulisan bapak terakhir yang menyangkut 3 orang di Bima gizi buruk dan ada yang meninggal di tutupi, wajar malah menyalahkan masyarakat. Karena memang Pak Camat dan kades tak punya control untuk handle itu.
Saya belum bisa masuk ke Bappenas, kami kan pola pikirnya grass root banget polanya. Pendekatan kami mungkin terlalu teknis. Waktu itu kami komunikasikan dari hasil ini. Tapi kalau dilihat, tidak nyambung.
Kalau RPJM sudah matang, bagus. Kalau ada visi progresif revolusioner, setidaknya perlu waktu 2 tahun 2016-2017 baru berjalan. Jadi siapapun presidennya, programnya sudah ditentukan sebelumnya. 2 tahun warnanya sudah jelas.
Yang kedua kebijakan dan regulasi daerah hidup di alam berbeda. Kalau menganggap ini normative, OK. Tapi kita jalani satu persatu, item-item ini seperti rencana aksi tapi tidak tertulis. Mereka sudah tahu bahwa UKP4 tidak percaya denga data mereka. Program anda pasti tidak jalan, syukurlah kita ketemu orangorang eksekutor yang mindset-nya beda, jadi masih bisa jalan. Kami datangi satusatu.
Bagaimana assessment kebijakan dapat terjangkau. Bagaimana bicara kebijakan yang satu, kalau kebijakan dari kementerian yang lain tidak tahu. Berikutnya asesmen terhadap persiapan lapangan, tidak ada, itu cuma mengandalkan anggaran, itu ada program kita pakai kader saja, kita pakai puskesmas saja. Porsi
kita hanya dilakukan dalam bentuk regulasi saja, dana yang harusnya masuk ke puskesmas nyantol ke dinas kesehatan. Jadi tumpang tindih. Monitoring batal.
Jadi sekarang ada juknis, juklak supaya ada yang monitor .perencanaan kegiatan dan penganggaran. Perencanaannya sama tidak terintegrasi itulah mengapa daerah tertinggal mudah diintervensi namun miskin publikasi untuk pengawasan.
Kemudian UU dari 2008 sampai 2012 tidak jalan, mulai dari 2% daerah DTTP sampai 52%. Kemudian tools monitoring perencanaan dan penganggaran daerah sama saja. Kemudian fasilitas atau asistensi penunjang daerah mikir sendiri, monitoring perumusan sama, eksplorasi best prectise daerah dan replikasi seperti Jakarta bagus, di Solo itu bagus juga terkait angka kelahiran jaminan kesehatan bagus. Hanya diumumkan, tidak ada intervensi.
Implementasi Ada satu titik dalam implementasi adalah asset lapangan, kesehatan punya kader sendiri, masing-masing punya, PU punya, Sosial punya. Yang kedua (Miskin pelibatan publik untuk pengawasan implementasi program), kita bekerjasama dengan salah satu NGO di Bandung untuk bekerjasama, dibantu khusus di sektor kesehatan. Ini terkait dengan pemanfaatan asset lapangan (pendukung) banyak yang membantu. Yang terakhir, penumpukan beban pelaporan (terutama puskesmas). Kami percaya 4 bulan ini seluruh pelaporan puskesmas, kita kejar pelayanannya. Yang kita lakukan konkrit.
Monitoring dan Evaluasi Pertama evaluasi bersifat partial, kemudian hasil monitoring dan cenderung ke output bukan outcome, jangankan outcome, output pun datanya tidak ada, baik data yang terintegrasi, tingkat laporan daerah ontime hanya 30%.. Rekomedasi yang praktis, ini teknis sekali yang disampaikan menyangkut system informasi yang terintegras, integrasi asset yang mendukung didalamnya.
4 poin yang diminta UKP4 terhadap KPDT untuk bulan kedepan : 1. Evaluasi program preventif dan promotif. Baik program yang menyangkut penganggaran maupun assessment. 2. Validitas data. Sampai kapanpun validitas akan menjadi poin pertama kami. 3. Evaluasi juknis dan pelaporan (Pamsimas bukunya 8 padahal kader pusing dengan 1 juknis saja). Kader kalau mau melapor selama ini bingung ke siapa, ke nomer siapa. 4. Berikan list ke kami apa saja yang harus kami lakukan di 4 bulan kedepan, yang realistis dan nyata serta signifikan benefitnya. Ini pekerjaan yang berat.
Tambahan Pak Okta, UKP4 Bagaimana kita membahas integrasi program? Sementara program masing-masing K/L jalan sendiri. PU jalan sendiri, Kesehatan jalan sendiri. Bicara pamsimas dan sanitasi, infrastukturnya dari PU, pemberdayaanya dari Kesehatan. Mereka jalan sendiri-sendiri.
Pusatnya ada di Puskesmas, terkait fungsionalitas. Contoh salah satu puskesmas di Bau-Bau sudah puskesmas perawatan, tetapi ketersediaan SDM dan alkes tidak ada. Perawat tidak ada, dokter tidak ada, padahal peralatan disitu sudah ada. Akhirnya setahun itu, infratruktur rusak karena tidak dipakai. Bicara ketersediaan, berarti kita bicara fungsionalitas. Sarana air bersih sudah ada apakah sudah mengalir ke pendududuk? Ini perlu dipertanyakan. Ini sangat berpengaruh kepada kepala daerah. Kalau kepala daerahnya bagus akan cepat. Contoh Walikota Pontianak punya beberapa terobosan, dan menghemat perjalanan dinas 2 M dari alokasi 5 M. Melalui penghematan anggaran mobil, karena kepala dinas punya mobil. Pontianak bisa menerobos karena kepala daerahnya.
Mengenai BPJS, dana kapitasi. Bagaimana dana ini bisa turun langsung ke puskesmas. Dari 2013, hanya dana yang ada hanya 150 dari 5000-6000 puskesmas yang membutuhkan. Selama ini dana hanya tersimpan saja direkening. Dana Januari - April masih terbagi, sementara ini dana dari pusat, sadar tidak sadar program yang dibuat ini berimplikasi ke daerah.
Pusdatin punya tanggung jawab untuk mengintegrasikan semua sistem, program, aplikasi, tetapi mereka kesulitan. Karena masing-masing punya kegiatan berbeda. Sekian tambahan saya, diharapkan KPDT dpt lebih baik lagi.
Tanggapan Pak Yoga Kita akan melakukan pembicaraan lebih intens terkait ini, juga berkoordinasi dengan kementerian terkait. Kami juga sudah ada POKJA Perdesaan Sehat sebagai sarana untuk berbagi informasi bersama. Agar apapun yang sifatnya strategis dan taktis dapat kita capture bersama.
Masukan Ibu Lina • Ada impres pengawasan pemantauan per K/L, selama ini kurang konsisten dan tidak berlanjut. Ada target fungsi koordinasi, tetapi tidak berlanjut sampai saat ini padahal itu sangat penting. Seluruh KL diharapkan dari prioritas 10 itu menjadi taget, agar UKP4 bisa memantau kerja-kerja kami. • Terkait penyerapan KPDT, kami dalam tahun ini ada beberapa review pertama dana optimalisasi, kedua review MAK 57 (bansos), dipanggil menerangkan konsep kegiatan kami, sehingga membuat kami maju mundur dalam tanda kutip kurang nyaman untuk bergerak. Padahal kebutuhan sudah sangat mendesak. • Fungsi koordinasi menjadi highlight. Kami ada forum rapat koordinasi pusat, memang tidak optimal kami juga door to door, akhirnya kalau tidak
seperti itu kami tidak bisa mendapatkan apa yang kami inginkan. Terintegrasi sinergi dan sebagainya. • Terkait data, kendala kami jadi kami memiliki 6 indikator utama dan 27 sub indikator, yang manjadi kendala adalah jika UKP4 tidak percaya atas data kami, sedangkan data diambil dari daerah. Daerah mengambil data yang menguntungkan daerahnya. Dilevel tingkat atas harus ada kebijakan mana yang berhak data mana yang dipakai. Jangan sampai ada data sama diterbitkan badan yang berbeda. • Fungsi koordinasi, antar deputi dan direktorat berbeda target. Tanget kami menurunkan angka kemiskinan meningkatkan ekonomi sedangkan ditempat yang lain kementrian kesehtan dan yang lain tidak ditargetkan sepeti itu jadi hanya fokus pada target mereka sendiri sehingga target kita itu tidak nyambung. Mungkin koordinasinya bisa inline. • Target RPJM untuk KPDT pemenuhan 70% SPM, sedangkan SPM belum bisa dilakukan secara optimal. Baru dilakukan evaluasi tahun ini. Apakah Pelaksanaan itu didukung oleh anggaran? Itu yang menjadi pertanyaan K/ L. • Banyak lembaga yang ingin memberikan masukkan kepada Presiden baru. Akan menjadi sperti apa jika masing-masing memaksakan produk-produk sendiri? Peran UKP4 semakin menurun, kami melihat harus ada super power untuk melakukan 1 perintah bagi kementrian. Kami pusing harus menyiapkan data yang tidak sama. • Terkait masukan 4 bulan kedepan, secara internal akan berkoordinasi regional dengan mengumpulkan daerah, apa kebutuhan daerah yang dapat kami akomodir, berapa yang belum diakomodir. Kami akan memantau itu semua.
Ibu Eka
• PDT hanya khusus daerah tertinggal. Yang bapak lihat kota Bau-Bau, kami sudah ke semua kabupaten daerah tertinggal. Kalau misalnya ada yang kosong, bukan termasuk daerah KPDT.
Pak Yoga 1. Terkait output/outcome yang diharapkan dari FGD lanjutan, sejauh mana hal-hal strategis yang di-capture UKP4 punya implementasi kita dalam rangka menuju target kita. Secara konkret punya 3 target; pertumbuhan ekonomi, ekonomi dan kemiskinan dan peningkatan IPM. Termassuk target 50 daerah tertinggal harus dituntaskan. Sehingga dapat saling mengisi. Penajaman yang dibutuhkan. Kita diminta pertanggungjawaban kinerja. 2. Sejauh mana sektor kesehatan komponen pencapaian IPM. Walaupun tidak hanya kesehatan tapi juga pendidikan dan daya beli juga. Sejauh mana bidang kesehatan ini bisa menjadi konteks akselerasi. Jika sudah tidak on track, harus diluruskan. Sehingga apapun yang kita laporkan benar-benar meluruskan lagi, spirit masalah bansos yang tidak tepat sasaran dan beberapa yang dikemukakan di situ. Hal seperti ini dapat jadi masukan dalam konteks bidang kesehatan. 3. Terkait masalah kewenangan, sejauh mana pemetaan yang dilakukan UKP4 terhadap kami? Kami merasa sudah benar arahnya. Termasuk fungsi; Penetapan dan perumusan regulasi dan fasilitasi. Selama ini kedua menemukan kesulitan, koordinasi juga sulit mempertemukan KL. Mempertemukan KL dengan daerah. Peran ini juga kami dapat tolong dilihat apakah kami masih on track. Fungsi ketiga Fasilitasi, kami melakukan filling the gap, yang tidak bisa diisi lembaga yang lain seperti kesehatan.
Kita masuk ke alkes, bidan-bidan, dimana banyak demand
yang belum terisi, ita mencoba untuk mengisi. Ada pepres 90 tahun 2006 itu ada fungsi dalam konteks 3 hal yang dapat diekseskusi. Kita diberikan peran dalam bidang pemberdayaan masyarakat, infrastruktur
perdesaan, bidang ekonomi lokal pengembangan daerah tertinggal. Kita mencoba mengisi apa yang tidak bisa diisi Kementrian Kesehatan. 4. Kerangka regulasi, kelembagaan, pembiayaan. Sejauh mana UKP4 melihat regulasi-regulasi banyak hal yang dilakukan dalam regulasi. Kemudian dari sisi kelembagaan (Pokja, konsultan tingkat daerah, dan fasilitator) untuk pemenuhan gap. Menjadi jembatan untuk kedepannya. UKP4 lebih ke saat ini. How to achieve the target.
Bagaimana menjadi konteks
bridging the next. Kalau ada kesalahan bisa dirubah dan menjadi PR kedepannya. 5. Apa yang dihasilkan, sejauhmana dapat menjadi platform untuk jadi next. Banyak hal yang disampaikan tapi apakah yang kami masukan sampai ke atas? Ini salah satu masukan, kala kita gak bia masuk BAPPENAS, di BAPPENAS punya bidang evaluasi dengan pekerjaan yang sama. Ada evaluasi sektoral dan daerah. Belum ada koordinasi dengan BAPPENAS. Mengenai SPM, SPM kesehatan menjadi yang paling tua, paling utama, namun implementasinya masih tertatih-tatih. Sehingga jangan membatasi kontribusi dari APBN, ada DAK kesehatan sebagai alat bantu pemenuhan SPM, pencapaian target. Kontribusi cukup signifikan. Bagaimana kita bisa mengeksplorenya. Selain SPM juga bagaimana fungsi dari Dana alokasi khusus dana kesehatan. Ini lima hal daari kami makro dan mezzonya.
Pak Hanibal • Uji petik untuk melakukan evaluasi dari UKP4 pada saat dipertanyakan Ibu Lina. Contoh: dengan permen, ada landasan berfikir. Ditahun 2012 sudah kami kirim policy paper terhadap landasan ini, disitu memuat banyak hal. Apakah menjadi bahan bacaan serius bagi UKP4. Posisi KPDT harus dipahami betul. Rekomendasi UKP4 tidak detail, tetapi rekomendasi strategis. UKP4 belum clear memandang KPDT, sebagai satu-satunya kementerian kewilayahan.
• Kemudian di 11 prioritas nasional, bagi saya bagaimana menarik keberpihakan terhadap 10 prioritas nasional, terutama di 183 kabupaten tertinggal. Keluaran dari tupoksi KPDT adalah memastikan outcome peraturan mentri, peraturan dirjen, gubernur, yang afirmatif. Landasannya adalah rumusan yang ditetapkan. Problemnya, rumusannya hanya 1, rumusan Perdesaan Sehat. Ini menjadi problem dan harus di pahami teman-teman. • Problem lainya, dalam dokumen RPJM, dalam buku 1 arah kebijakan dan bagaimana kelembagaannya, itu ditetapkan dan menjadi perhatian UKP4. Dan didalam matriks 9 buku 2, dimana setiap prioritas nasional memuat apa yang harus dilakukan oleh Kementrian, dan itu tidak dijaga konsistensinya oleh UKP4. Tidak ada korelasi yang kuat dalam tapkin, lakip-nya. Jika dilihat matriks 9 buku 2, dari landasan ini jadi problem isu kesehatan seharusnya DTTTPK bukan DTPK. Itu masalah concern dengan DTPK. Karena DTTTPK itu proritas Nasional, DTPK itu prioritas KL. Ini jadi pemahaman individu. Itu sebabnya tahun 2013 awal kami mengusulkan yaitu semua policy paper 2012 kemudian KPDT. Ini menjadi problem mendasar dalam men-drive. Sungguh kami mewujudkan pedesaan sehat ini tidak mudah. Pendekatan kesehatan sementara hanya 5 pilar. 2 pilar dokter puskesmas dan bidan desa. Memastikan dokter desa dan bidan bekerja berfungsi itu sungguh berat. Terkait dengan kesehatan, yang utama terhadap bagaimana sebisa mungkin berubah. Apakah SPM kesehatan masih digunakan? Anggaran kesehatan sudah berapa besar? Kemudian anggaran BPJS masuk dimana? Itu mungkin kendalinya ke Menkokesra atau Kemenkes, silakan. Merekomendasikan beberapa hal ke kantor pusat. • Tugas bidan desa merepresentasikan basic six. Ketersediaan BOK sejak awal atas perjuangan Prof. Ascobat bukan dari Kemenkes. Biaya dokter puskesmas belum representatif atas beban kerja. Dimana saat ini dilihat dari jumlah penduduk, bukan luas wilayah. Daerah kepulauan seharusnya
menjadi perhatian. Untuk memastikan bidan desa dan dokter berfungsi, susah oleh Kemenkes. Kami berharap dapat meneruskan keatas. • Terkait dengan kesehatan, yang utama bagaimana sesegera mungkin merubah. Standar Pelayanan Minimum (SPM), kami sampaikan, apakah SPM kesehatan dipakai? Jika SPM berlandaskan indikator saat ini, tidak dapat meng-cover UU yang terkait, UU 52, UU BPJS, meskipun UU BPJS adalah lembaga sendiri. Sehingga dapat diukur, anggaran seberapa besar? Air besih, sanitasi, gizi juga seharusnya disiapkan oleh Kesehatan. Misalnya anggaran sudah cukup kuat, namun tidak terkendali dari 1 sumber, maka saran saya pastikan SPM sudah mengakomodasi SKN. • Akan kami sampaikan, pembinaan Pak Deputi. Advokasi relawan di daerah, terhadap dokter. Mengalami problem untuk melakukan perubahan yang signifikan. Sehingga SKN kembalikan ke Kemenkes atau melakukan rekonstruksi ulang. kami telah menghasilkan 8 peraturan bupati. Didalamnya berisi Bapeda, Kemen PU, Kementan, masyarakat melakukan apa terkait 5 pilar. Ada 1 SK gubernur, yaitu Forum Multistakeholder. Dan ada
Perguruan Tinggi
yang sudah mengirimkan relawan di 200
puskesmas.
Tambahan Pak Yoga Saya menambahkan 4 Hal pokok: 1. SPM 2. Dari sisi Pembiayaan dan Pendanaan termasuk APBD kontribusinya seperti apa. 3. Urusan kesehatan. PP 38 tahun 2006, kalau kita membagi tugas malah menjadi semakin kabur. Kita mengkompas, urusan PP itu merupakan kewenangan daerah. Tapi kita juga mengisi. 4. Pengawalan kewilayahan, sebagai pamong atau supervisor daerah. Tidak melihat daerah secara generik karena kita ada berbagai daeerah seperti Daerah tertinggal, terpencil dan terisolir belum punya keberpihakan
dengan daerah tersebut. Harus ada pengawalan wilayah yang tidak seragam dan punya kekhusussan sesuai keragaman masing-masing. Kita sebagai satu-satunya kementrian yang mengawal wilayah itu.
Pak Dedi • Apakah mekanisme distribusi dokter itu menjadi isu yang coba dipecahkan? • PDT mengapa ada on, off, on off, kami menyadari layanan BPJS tidak menyentuh daerah-daerah yang diujung. Disitu kami menyadari peran PDT. Karena mekanisme pembangunan kesehatan kami fokus yang mainstream. Kami hadir disini ingin memastikan eksekusi dilevel bawah seperti apa? • Filling the gap, gap seperti apa? Apakah gambaran gap itu pas? Apa peran Kemenkes, KPDT, dan yang lainnya. Kami tidak tahu karena jarang bertemu. • Tentang Perdesaan Sehat dan peraturan bupati tadi, kami ingin tahu key factor-nya seperti apa sehingga regulasi itu ada, level eksekusinya seperti apa, kami ingin dilibatkan jika nyata impact-nya. • 8 target kepala daerah menyangkut tanda tangan bupati walikota, tanda tangan gubernur, dan tanda tangan Pak Mentri kemudian masuk ke Bappenas. Kita melihat indikator yang mengikat, impact program besar. Mungkin ini solusi taktis.
Pak Hanibal DAK, problem mendasar kesesuaian atas nomenklatur. Khusus mengacu ke wilayah dengan kondisi tertentu. Jika kita masuk dengan bahasa yang tadi, kemudian disimulasikan, outputnya pasti hilang spirit-nya, ini menjadi bagian dari politik teknokrasi. Contoh UU Desa, bubar spirit-nya hilang yang namanya kedaulatan atas sebuah desa.
Pak Okta Mengenai pembangunan desa, mau tidak mau kegiatan di pusat implikasinya di unit. Saya tertarik dengan desa sehat. Saya ingin tahu Ketersediaan dokter atau distribusi.
Pak Hanibal Problemnya ada 2, ketersediaan dan fungsi. Ketersediaan pada saat motivasi terjaga ini problem, dimana kedokteran menjadi sapi perah bagi universitas, biaya sangat tinggi. Jadi 2 hal yang coba didorong dalam peraturah bupati. Mereka memastikan ketersediaan dan fungsi. Kemudian, dalam matriks RAD-nya, siapa yang diharapkan berperan? Pada saat Kemenkes tidak memiliki otoritas atas semua ini, sementara fakta tentang dokter dan bidan bila dilihat proporsi di daerah cukup. Pemda selain memastikan ketersedian, dibutuhkan juga dukungan dari Kemenkes sebagai penentu regulasi yang bisa di acu oleh pemerintah daerah. Pemda juga takut tanpa ada regulasi yang jelas dari Kemenkes mengenai hal itu. Regulasi yang dimaksud adalah memastikan dokter puskesmas dengan ketentuan tertentu harus berada di puskesmas. Di tingkat pemerintah daerah problemnya adalah saat rekrutmen. Berdasarkan laporan, banyak mahasisswa kedokteran di daerah tertinggal di DO. Bagaimana mau membantu keberpihakan agar mereka stay di puskesmas? Desain ini berdasarkan indikator kewilayahan, memastikan indikator kendali dari Promotif dan preventif air bersih, sanitasi dan gizi. Ini merupakan alat ukur paling sederhana. Dan hal tersebut harus dilakukan oleh dokter puskesmas dan bidan desa. Jadi sederhana, tapi an melakuharus melakukan rekonstruksi ulang, makro policy. Jika tidak, tidak mungkin seorang dokter dapat berfungsi (sesuai basic six) untuk promotif preventif, bukan kuratif atau pengobatan. Mengenai masalah dokter dan bidan menjadi konsern kami melalui: pertama, ramai-ramai dimedia. Kedua, komunikasi aktif kepada kemenkes, dan hasilnya Alhamdulillah, keluar regulasi dari 6 buan menjadi 2 tahun dokter PTT, dan
Mentri PDT dapat diterima di rapat Kemenkes, dan dokter-dokter. Ketiga, Distribusi dokter PNS ada 3000. Namun problemnya adalah menunggu pemerintah daerah yang ada usulan dokternya, sedangkan dokter asli daerah tidak mau bekerja di daerahnya sendiri, akhirnya tidak terisi. Kalau ingin mencapai Angka Harapan Hidup kami minta kepastian atas ketersediaan fungsional dokter puskesmas, dan butuh dukungan biaya operasional, insentif dan sebagainya. Kemudian bidan desa, di semua desa. Jika itu terjadi, kami pastikan target Angka Harapan Hidup di 2025 73,7 terlampaui. Tidak perlu biaya besar, seperti yang terjadi saat ini di kuratif rehabilitative, kami hanya butuh sepertiga-nya saja. Dengan konsep itu akan banyak melibatkan masyarakat dan tidak butuh banyak dana dari Pemerintah. Pak Deputi banyak membantu per wilayah dengan mempertemukan Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi dan pendukungnya, kami memfasilitasi apa kesepakatannya, di tanda tangani bersama, lalu dioperasionalkan. Kemudian masuk ke Peraturan Bupati-nya. Ini cara berpikir kewilayahan. Sekian, Terimakasih.
Email:
[email protected] /
[email protected]