NORMA SAMAR (VAGE NORMEN) SEBAGAI DASAR HUKUM PENGAMBILAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA Slamet Suhartono Abstract The purpose of this research is recognising the existence of obscure norm (vage normen) on positive law in Indonesia and the implementation as legal foundation in administrative law. This research applies conceptual and philosophical approach and its included into normative legal research using secondary data. It is also using primary data to broaden the analysis as another tools.The technique of analysis applies qualitative juridical analysis that is based on legal interpretation, legal reasoning, and legal argumentation. The result of this research shows that the existence of obscure norm (vage normen) in Indonesian positive law is perplexity. Keywords: positive law, obscure norm A.
Pendahuluan Setiap negara hukum, apapun tipe yang dianutnya (rechtstaat, atau the rule of law), membawa konsekuensi bagi berlakunya prinsip, bahwa setiap penggunaan wewenang pemerintahan harus berlandaskan pada hukum yang berlaku, pada prinsipnya “memerintah ada hukumnya”(Philipus M Hadjon, l991:3). Prinsip ini menghendaki, agar setiap penggunaan wewenang dalam bentuk tindakan tata usaha negara harus bertumpu pada asas keabsahan hukum (rechtmatigeheid), dengan demikian setiap penggunaan wewenang pemerintahan harus dapat ditemukan dan ditentukan dasar hukumnya secara jelas, dan pasti, dengan tujuan untuk mencegah terjadinya tindakan sewenang-wenang yang dapat merugikan masyarakat. Di Indonesia penegasan terhadap diakuinya prinsip negara hukum tercantum di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar l945 Perubahan, yang dirumuskan:”Indonesia adalah negara hukum”, prinsip ini membawa konsekuensi bahwa setiap penggunaan wewenang pemerintahan dan juga setiap perbuatan masyarakat, harus memiliki dasar hukum yang jelas. Dalam kaitannya dengan penggunaan wewenang pemerintahan, asas keabsahan hukum tindakan tata usaha negara tercantum di dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2) Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 5 Tahun l986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Ketentuan ayat 2 tersebut selengkapnya dirumuskan sebagai berikut: Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a)
94 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Norma Samar (Vage Normen) sebagai....
b)
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; dan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Memperhatikan rumusan di atas, sesungguhnya ketentuan pasal tersebut merupakan dasar hukum pengajuan gugatan masyarakat terhadap Badan/Pejabat Tata Usaha Negara ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang diduga merugikan, tetapi secara interpretatif dan argumentatif ketentuan ini dapat digunakan untuk membatasi dan sekaligus sebagai tolok ukur untuk menguji keabsahan tindakan hukum tata usaha Negara, baik dari segi rechtmatigheid maupun segi doelmatigeheid-nya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penggunaan peraturan perundang-undangan (hukum undang-undang) sebagai tumpuan asas rechtmatigheid van bestuur dalam praktek sering ditemukan berbagai permasalahan, yang dapat diidentifikasi ke dalam beberapa hal, yaitu: kekosongan undang-undang, norma-norma hukum yang samar, norma-norma hukum yang telah usang, serta konflik norma hukum. Terkait dengan kekosongan undang-undang, ketidakmampuan peraturan perundang-undangan sebagai hukum positip dalam mengikuti kebutuhan praktek ini terutama dapat dilihat dari banyaknya tindakan tata usaha negara yang tidak didasarkan pada peraturan perundang-undangan, melainkan hanya berdasarkan instruksi, surat edaran, petunjuk atasan, perundang-undangan semu, dan sebagainya
(Indroharto, 2002:105). Bahkan dalam praktek, kenyataan demikian sudah menjadi konvensi kenegaraan, v an W ijk dan Konijnenbelt menyatakan: “hal yang tidak mungkin dilaksanakan, bahwa untuk setiap tindakan tata usaha negara itu diharuskan adanya dasar legalitas secara absolut, karena hal itu tidak akan menghasilkan apa-apa (Indroharto, 2002:106). Sedangkan dalam hubungannya dengan norma yang usang, dalam penerapan hukum sering ditemukan beberapa pasal dalam berbagai produk perundang-undangan yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan, dan dalam hubungan dengan konflik norma hukum sering ditemukan dalam penerapan hukum undangundang yang saling bertentangan satu sama lain (disharmonisasi), dan saling tumpang tindih (disinkronisasi) antara peraturan perundangundangan yang satu dengan lainnya. Permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini terkait dengan norma samar (vage normen), yang dalam praktek sering ditemukan dalam berbagai produk perundang-undangan. Permasalahan yang mendasar terkait dengan perumusan norma samar dalam hukum positif ini menyangkut pertanyaan apakah perumusan norma samar (vage normen) tersebut memang mengandung unsur kesengajaan ataukah disebabkan oleh faktor-faktor lain. Permasalahan ini sengaja dikemukakan mengingat keberadaan norma samar (vage normen) ini bersifat dilematis, sebab norma samar (v age normen) dapat melahirkan diskresi administrasi bagi Badan/ Pejabat Tata Usaha Negara, yaitu tindakan tata usaha negara yang didasarkan atas pertimbangan subyektif. Dilematika norma samar (vage nomen) ini disebabkan oleh kenyataan, bahwa di satu sisi tindakan diskresi dapat dianggap tidak atau kurang sesuai dengan perinsip negara hukum atau asas rechtmatigeheid van bestuur, namun pada sisi yang lain tindakan tersebut harus dilakukan dalam rangka menyelenggarakan tugas-tugas kepentingan umum (tugas besturzorg). Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini mengetengahkan dua permasalahan sebagai pangkal tolak analisis, yang selanjutnya dirumuskan sebagai beriktut: 1) bagaimana eksistensi norma samar dalam hukum positif di Indonesia?; 2) bagaimana penggunaannya sebagai dasar hukum tindakan tata usaha negara? B.
Tinjauan Pustaka Prinsip negara berdasar atas hukum, bahwa setiap tindakan tata usaha negara harus berlandaskan pada asas “rechtmatigheid van bestuur”, oleh karena itu setiap tindakan tata usaha
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
harus dapat diukur keabsahan hukumnya. Untuk itu setiap penggunaan kekuasaan harus didasarkan atas rambu-rambu hukum sebagai pedoman atau landasan dalam melakukan tindakan tata usaha negara. Mengingat Indonesia merupakan negara bekas jajahan Belanda yang menganut civil law system, maka sandaran prinsip keabsahan hukum sebagaian besar didasarkan pada hukum positif. Hukum positif menurut John Austin, merupakan hukum yang dibentuk oleh sebuah organ/lembaga yang berwenang membentuk hukum, semua kaidah di luar hukum yang dibentuk oleh badan atau organ yang memiliki otoritas membentuk hukum bukanlah hukum. Menurutnya hukum positif berkaitan dengan hal ditetapkannya aturan hukum dalam keputusan. Dalam kaitannya dengan penggunaannya sebagai tumpuan asas rechtmatigheid van bestuur, yang merupakan asas legalitasnya hukum administrasi, maka keberadaan hukum Undang-Undang menjadi sangat penting. Hukum positif berisi pernayataan-pernyataan atau proposisi-proposisi yuridik, yang dirumuskan sesuai dengan isi pikiran para pembentuk undangundang, sementara apa yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang belum tentu dapat dipahami oleh orang lain, tidak semua pernyataanpernyataan yuridik selalu dapat dipahami dengan baik dan benar oleh masyarakat, bahkan tidak jarang pengambil keputusan hukum sendiri sering mengalami kesulitan dalam memahami maksud pembentuk undang-undang. Tidak jarang ketidak jelasan perumusan hukum positif dalam bentuk proposisi-proposisi hukum membingungkan penerap hukum. Dalam hal demikian upaya menemukan cara untuk memahami hukum positif menjadi sangat penting, yang salah satu diantaranya dengan menggunaan metode penafsiran hukum. Mengenai kemungkinan digunakannya penafsiran/interpretasi hukum (oleh hakim) terhadap norma hukum yang kurang jelas atau norma yang samar, Lie Oen Hock (Lie Oen Hock:32-33), menyatakan: Seorang hakim bagaimanapun juga, jaitu apabila untuk perkara jang diadjukan kepadanja tidak terdapat suatu ketentuan undangundang atau ketentuan-ketentuan undang-undang itu tidak jelas, wadjib memberi peradilan. Jang mendjadi pertanjaan:”Bagaimana hakim itu harus berlaku dalam keadaan-keadaan jang demikian itu? Dalam hal suatu ketentuan undang-undang tidak jelas, maka adalah tugas hakim untuk menetapkan sendiri maknanja ketentuan tersebut atau artinja suatu kata jang tidak djelas dalam suatu ketentuan undang-undang, jaitu ia harus menafsir ketentuan atau kata tersebut”. Kutipan di atas telah cukup menggambarkan bagaimanakah lembaga peradilan yang merupakan
Norma Samar (Vage Normen) sebagai....
95
manifestasi atau simbol kekuasaan yudisial melakukan tindakan hukum dalam hal terjadi ketidak jelasan atau kekaburan norma hukum, yaitu harus menemukan hukum dengan cara menafsirkan hukum, dan upaya menafsirkan hukum ini menurut Yudha Bhakti Adhiwisastra merupakan kewajiban hukum bagi hakim (Yudha Bhakti Adiwi Adhiwisatra, 2002:2). Dalam kaitannya dengan norma samar, Dworkin berpandangan bahwa dalam hal terjadi ketidakjelasan norma hukum, penerap hukum menggunakan diskresi yang lemah (awake discretion), yaitu dengan menggunakan interpretasi dengan terlebih dulu merujuk pada prinsip-prinsip atau asas-asas hukum terkait, setelah itu baru merumuskan norma hukumnya. Perlu diketahui bahwa, pemikiran Dworkin (Zafeer, l994:28-29) terhadap norma dikatakan selalu bersumber dari moralitas, Dworkin yakin bahwa, hukum berakar pada prinsip-prinsip moralitas, oleh karena itu dalam hal hakim mengadili perkara-perkara yang belum ada aturannya, hakim harus menggunakan penafsiran (hermeneutik), untuk menilai hukum yang tidak jelas tersebut, dengan cara memahami nilai-nilai moral dan cita keadilan yang tersembunyi di balik norma tersebut. Berbeda dengan Dworkin, H.L.A. Hart (Zafeer, 1994:28-29) mempunyai pemikiran yang pada dasarnya dinyatakan:”According to Hart, in a case which falls within the area of penumbra, there is no uniquely correct answers as suggested by Dworkin. In cases where the rules are not clear, the judges have a wider and stronger discretion. The judge make the law and function in a sort of quasi legislatif capacity. They take decision which they consider to be the best on certeain grounds and quite fit in view of the circumstancis. Dworkin contends that even in hard cases, the judge must find out the legal principles, and not invent them. The judges may also use the discretion, but that is in a weak sense. Above all in all hard cases, there is a uniquely correct decision” (Zafeer, l994:28-29). Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan, bahwa Hart berpendapat, bahwa dalam hal terjadi ketidakjelasan norma hukum, penerap hukum dapat secara langsung menggunakan metode penemuan hukum tanpa melalui metode penafsiran hukum, penerap hukum menggunakan diskresi yang kuat/diskresi yang luas (steong discreation) untuk menciptakan hukum. Sebagai catatan akhir terkait dengan pendapat Hart dan Dworkin ini, peneliti sependapat dengan Dworkin, bahwa dalam hal terdapat norma samar (vage normen), penerap hukum harus melakukan interpretasi terlebih dulu terhadap norma samar,
dengan merujuk pada nilai-nilai moral yang terpelihara di dalam masyarakat dimana norma hukum tersebut berlaku, Sebab pada dasarnya normanya sudah ada, hanya saja norma tersebut masih perlu diperjelas maknanya, untuk itu perlu dilakukan interpretasi untuk mengetahui isinya yang sebenar-benarnya. Sedangkan norma samar sendiri sebenarnya berasal dari bahasa asing (vage normenBelanda, atau vigue norm-Inggris), yaitu merupakan hukum positif yang terumus secara tidak atau kurang jelas atau kabur.
96 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Norma Samar (Vage Normen) sebagai....
C. Metode Penelitian Jenis penelitian ini, merupakan penelitian hukum normatif, titik berat peneltian hukum normatif, sesuai dengan karakter keilmuan hukum yang khas terletak pada telaah hukum atau kajian hukum (rechtsboefening) terhadap hukum positif yang meliputi 3 (tiga) lapisan keilmuan hukum, yang terdiri dari telaah dogmatika hukum, teori hukum, dan telaah falsafah hukum. Pendekatan yang digunakan meliputi: Pedekatan falsafati (philosipical approach) terkait dengan norma hukum yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai kehidupan yang bersifat melarang, mengharuskan, dan membolehkan. Pendekatan konseptual dan/atau teoritik (conceptual/teoritical approach), pendekatan yang dilakukan terhadap teori-teori dimaksudkan untuk memperjelas permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini terkait dengan penggunaan norma samar sebagai dasar hukum pengambilan keputusan hukum. Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, yaitu peraturan perundangundangan yang terkait dan relevan dengan permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian, bahan hukum sekunder terkait dengan bahanbahan pustaka yang sif atnya membantu menjelaskan bahan hukum primer, tetapi untuk mempertajam analisis tidak tertutup kemungkinan digunakannya data primer yang sifatnya sebagai penunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis yuridis kualitatif, yaitu analisis yang mendasarkan atau bertumpu pada penafsiran hukum (legal interpretation), penalaran hukum (legal reasoning), dan argumentasi hukum (legal argumentation) secara runtut dan runtun, dengan ciriciri (Jazim Hamidi, 2005:29): positiv itas, mengandung maksud bahwa hukum harus memiliki otoritas; koherensi, artinya hukum harus mewujud sebagai tatanan kehidupan; dan keadilan, berisi nilai-nilai yang digunakan untuk mengatur hubungan antar manusia secara tepat.
D. 1.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Keberadaan Norma Samar Dalam Undang-Undang Keberadaan norma samar dalam undang-undang sangat dilematis, di satu sisi dalam hal tertentu dapat diangap sebagai keharusan yang tidak mungkin dihindarkan, di sisi lain dapat menimbulkan permasalahan. Dikatakan sebagai keharusan, karena pembentuk undang-undang memiliki keterbatasan untuk mengakomodasikan semua persoalan-persoalan hukum dalam sebuah rumusan norma yang selengkaplengkapnya dan sejelas-jelasnya, sebagai akibat luasnya cakupan permasalahan hukum. Terkait dengan permasalahan yang ditimbulkan norma samar dapat menimbulkan kekawatiran, bahwa penggunan norma samar cenderung rawan disalahgunakan, sebab dapat melahirkan keleluasaan bagi pengemban kewenangan untuk menginterpretasi norma tersebut sesuai dengan selera dan kepentingan penafsir. Terkait dengan keberadaan norma samar dalam hukum positif, berdasarkan kajian, telaah, dan analisis hasil penelitian, keberadaan norma samar dalam hukum positif lebih banyak disebabkan oleh kesengajaan, dengan mempertimbangkan berbagai faktor, diantaranya: a. Keterbatasan Bahasa Hukum Perundang-undangan Di dalam keilmuwan hukum, bahasa memiliki peranan yang sangat penting, mengingat bahasa merupakan sarana penuangan ide-ide atau gagasangagasan yuridik bagi pembentuk undangundang, hukum merupakan rangkaian logika positif yang dirumuskan dalam bentuk kalimat-kalimat yuridik, yang membentuk norma hukum positif, sehingga ilmu hukum (normatif) sering disebut sebagai ilmu proposisi atau ilmu aksiomatik. Oleh karena itu tidak berlebihan apabila dikatakan, bahwa hukum positif tidak lebih sebagai permainan bahasa (language or play of game), permainan ungkapan, bahkan merupakan permainan kata-kata atau kalimat-kalimat, yang tidak mudah untuk dipahami dan dimengerti. Tidak mudah bagi seseorang untuk memahami sebuah norma hukum hanya dengan mengandalkan kemampuan bahasa yang dimilikinya, tanpa memahami
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
hakekat dan makna sesungguhnya dari bahasa hukum undang-undang. Pemahaman bahasa hukum undangundang sangat penting dalam rangka mencari dan menemukan makna yang tersimpan dalam bahasa hukum yang dipergunakan oleh pembentuk undangundang dalam menuangkan gagasangagasan yuridiknya. Bahasa hukum memiliki karakter yang berbeda dengan bahasa pada umumnya, yang dipergunakan dalam komunikasi sehari-hari, bahasa hukum undang-undang memiliki karakter yang khas, yang dikembangkan oleh para pengemban keilmuwan hukum. Rumusan hukum positif sering menimbulkan kerancuan makna dan pengertian yang berawal dari ketidakjelasan kata, atau kalimat yang dipergunakan dalam perumusannya, sehingga gagasan dan pesan-pesan yuridik dari pembentuk hukum positif tidak terkomunikasikan dengan baik. Bahkan dapat dikatakan ketidakjelasan dalam penggunaan bahasa hukum dalam sebuah undang-undang menyebabkan pesan (massage) yang disampaikan oleh pembentuk undang-undang tidak dapat diterima oleh masyarakat penguna hukum. Ketidakmampuan penggunaan bahasa dalam merumuskan normanorma hukum positif ini disebabkan keterbatasan bahasa dalam memanif estasikan obyek yang diwakilinya, sehingga tidak jarang rumusan-rumusan peraturan perundangundangan tersurat secara samar atau kurang jelas, bahkan tidak jelas. Ketidak jelasan ini juga dapat disebabkan oleh keterbatasan kemampuan pembentuk hukum positif dalam menguasai bahasa yang akan digunakan dalam merumuskan hukum positif. Sebagai contoh dapat dikemukakan tentang rumusan kosep “malam”, “luka berat”, dan lain sebagainya, yang secara awam tidak mudah memberi pengertian katakata tersebut, apakah kriteria malam hari itu, dimulai kapan dan berakhir sampai kapan, atau apakah yang dimaksud dengan kata luka berat, bagaimana mengukur sebuah luka, sehingga dikategorikan sebagai luka berat sebagai lawan lukan ringan, yang juga sulit ditentukan batasannya.
Norma Samar (Vage Normen) sebagai....
97
Kemampuan penguasaan bahasa, khususnya tata bahasa, sintaksis, dan perbendaharaan kata, serta kemampuan berkomposisi menjadi syarat penting bagi seoang anggota legislatif, tentunya selain kemampuan substansial dalam perencanaan sebuah produk undangundang. Anggota legislatif tidak cukup hanya bermodalkan popularitas dalam masyarakat, karena performance, atau kekayaan yang dimilkinya. Dengan demikian kemampuan penguasaan bahasa dengan segala atributnya, akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan anggota legislatif dalam merumuskan pasal, ayat, istilah, ungkapan, dan lain sebagainya, dalam sebuah undangundang. Kemampuan penguasaan bahasa hukum akan dapat meminimalisir kekaburan atau ketidak jelasan maksud norma yang tertuang dalam pasal, ayat, dan pada umumnya isi Undang-Undang yang dihasilkannya. Sebuah gagasan yuridik akan mempunyai arti dan makna yang dapat dengan mudah dipahami apabila diungkapkan dengan bahasa yang baik dan benar, sebaliknya kesalahan penggunaan bahasa dalam pengungkapan maksud gagasan pembentuk undang-undang akan dapat menyesatkan masyarakat pengguna Undang-Undang. b.
Antisipasi Perkembangan Undang-Undang memiliki keberlakuan yang bersifat umum, dan diharapkan dapat mengakomodir semua permasalahan yang diaturnya, namun dalam hal-hal tertentu undang-undang tidak selamanya mampu menjangkau perkembangan permasalahan hukum yang akan terjadi di masa-masa yang akan datang. Ketidakmampuan ini disebabkan oleh berbagai f aktor, khususnya perkembangan ilmu pengetahuan, dan teknologi, kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik, dan bahkan ideology, yang mampu mempenagaruhi kehidupan masyarakat. Perkembangan-perkembangan demikian harus diantisipasi dengan perumusan norma-norma samar yang memberikan ruang bagi kemungkinan dilakukannya tindakan-tindakan antisipatif oleh pengambil keputusan, khususnya pejabat tata usaha negara, dengan menyesuaikan perkembangan yang ada.
98 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Sebagai contoh dapat dikemukakan dalam perizinan lingkungan hidup, undang-undang tidak perlu merumuskan secara limitatif terhadap persyaratan lingkungan bagi izin pendirian sebuah usaha industri, tetapi undang-undang cukup menentukan bahwa pendirian usaha industri wajib dilengkapi dengan instrument izin, namun mengenai persyaratan izin cukup ditentukan akan diatur kemudian dengan peraturan perundangan yang lebih rendah, misalnya dengan Peraturan Menteri, atau Keputusan Gubernur dengan harapan persyaratan tersebut dapat disesuaikan dengan perkembangan yang ada. Dengan demikian terdapat ruang kebebasan bagi pengambil keputusan untuk menetapkan persyaratan perzinan yang disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi. c.
Pluralisme Masyarakat Keberadaan hukum tidak dapat dilepaskan dari masyarakatnya, Cicero dalam ungkapan lamanya menyebutkan, “Ibi ius ubi Societas”, dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Ungkapan ini mengindikasikan keterkaitan antara masyarakat dengan hukum yang mengaturnya, masyarakat merupakan landasan sosiologis bagi terbentuknya hukum. Tidak berbeda dengan kondisi masyarakat Indonesia, yang bercorak multikultural, multi etnik, multi agama, multi ras, dan multi golongan, dengan sesanti Bhineka Tunggal Ika, secara de facto mencerminkan kemajemukan budaya bangsa dalam naungan negara kesatuan Republik Indonesia(Nyoman Nurjaya, 2007:1). Kemajemukan masyarakat Indonesia dengan segala atribut yang menyertainya sangat mempengaruhi tatanan kehidupan sosialnya, termasuk kehidupan hukum yang terpelihara dalam masyarakat. Nilai-nilai kehidupan masyarakat akan sangat mempe-ngaruhi, dan mewarnai substansi hukum, maupun terhadap sistem hukum nasional yang ada. Fakta menunjukan, bahwa keragaman masyarakat melahirkan kebhinekaan hukum (legal plurality), karena selain berlaku sistem hukum negara (state law), secara de facto juga terdapat sistem hukum adat (adat law), hukum agama (religius law), dan juga
Norma Samar (Vage Normen) sebagai....
mekanisme-mekanisme regulasi sendiri (self regulation) dalam komunitaskomunitas masyarakat di daerah (Nyoman Nurjaya, 2007:23). Penyeragaman terhadap keanekaragaman nilai-nilai kehidupan masyarakat melalui satu tatanan dan takaran norma hukum merupakan sebuah ironi yang mengingkari fakta dan realitas kehidupan masyarakat Indonesian yang majemuk. Setiap lingkungan masyarakat memiliki batasan atau tolok ukur masing-masing terhadap konsep norma, yang membingkai perilaku kehidupan sosialnya. Perumusan norma samar dalam sebuah undang-undang akan memberikan keleluasaan pengemban kewenangan untuk menyesuaikan berlakunya norma hukum positif dalam masyarakat, norma hukum positif akan lebih bersifat fleksibel dalam situasi dan kondisi dimana norma hukum positif tersebut berlaku. Dalam Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Pornoaksi, tentunya akan bijaksana apabila pengertian dan batasan “pornografi dan pornoaksi” tidak dirumuskan secara kaku dan limitatif, sebab masing-masing masyarakat memiliki ukuran dan takaran nilai yang berbeda. Sebagai contoh mengenai ukuran dan takaran “porno” antara masyarakat yang hidup di komuntas Papua, Bali, Suku Anak Dalam akan sangat berbeda dengan ukuran dan takaran nilai “porno” pada masyarakat yang hidup di dalam komunitas agamis. Dalam hal demikianlah norma samar diperlukan guna memberi kesempatan pengambil keputusan untuk menafsirkan norma yang samar tentang kriteria porno sesuai dengan konteksnya, dalam arti situasi dan kondisi di mana norma tersebut berlaku. d.
Profesionalitas Pembentuk UndangUndang Euforia reformasi yang dimotori oleh kaum reformis telah mengurai belenggu keterbatasan warga negara dalam mengaktualisasikan hak-haknya baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan lain sebagainya. Kebebasan bagi setiap orang untuk mendirikan partai politik, telah membuka luas ruang partisipasi publik dalam
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
proses politik, kebebasan pilihan untuk penyaluran aspirasi masyarakat sangat luas, kesempatan seseorang untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan politik pun juga semakin terbuka. Keikut sertaan seseorang untuk menjadi anggota legislatif merupakan hak asasi setiap orang, memilih anggota legislatif juga hak asasi setiap orang, menentukan calon anggota legislatif bagi partai politik, juga merupakan hak dari partai politik. Permasalahannya ketika setiap orang bebas mendirikan partai politik, maka tingkat persaingan untuk memperoleh dukungan suara juga semakin ketat, keadaan demikian dipergunakan sebagai alibi untuk menggunakan segala cara, yang legal maupun yang tidak legal, yang etis maupun yang tidak etis, semata-mata hanya didasarkan atas keinginan partai untuk memperoleh dukungan suara terbanyak dari masyarakat. Fakta demikian telah mencederai idealisme, bahwa wakil rakyat harus representatif, aspiratif, dan kualitatif ke dalam ranah bahwa anggota legislatif yang demikian seolah terkesan hanya untuk memikirkan diri sendiri, dan lupa akan kepercayaan rakyat yang diberikan kepadanya. Hal ini dapat disebabkan, dalam rekruitmen calon lembaga legislatifnya sering mengabaikan kualitas calon legeslatif, dan hanya bertumpu pada adagium yang penting memperoleh suara yang banyak. Memang intelektualitas seseorang bukan jaminan, dan kepopulerannya di luar bidang politik dan kenegaraan tidak berarti tidak piawai ketika merepresentasikan kepentingan rakyat bangsa dan negara. Partsipasi masyarakat untuk menjadi anggota legislatif merupakan hak asasi setiap orang, namun tentunya seleksi terhadap anggota legislatif, tetap harus diarahkan pada misi yang diemban oleh wakil rakyat sebagai penentu kebijakan yang terkait dengan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara, dan bukan sematamata oleh karena kepopulerannya. Profesionalitas lembaga legislatif sebagai pengemban asparasi rakyat mulai dipertanyakan, hal ini dapat dilihat dalam proses-proses pembentukan undang-undang melalui kurang
Norma Samar (Vage Normen) sebagai....
99
intensitasnya kehadiran anggota legislatif menunjukkan kekurang keseriusannya dalam proses persidangan legislatif. Rendahnya intensitas kehadiran anggota dewan juga dapat dilihat pada sidang paripurna DPR pada pengesahan Undang Undang Mahkamah Agung, dari data berdasarkan tanda tangan yang dibubuhkan terdapat 320 tanda tangan pada daftar hadir, yang hadir secara fisik di ruangan yang berkapasitas 550 orang anggta dewan itu, hanya 65 orang saja, dan yang lebih parah dari 65 orang yang hadir tersebut saat pengesahan hanya tinggal 20 orang saja, sehingga produk hukum yang merupakan produk tertinggi setelah UUD Negara Republik Indonesia Tahun l945, hanya disahkan oleh 20 orang. (Jawa Pos, 2009:2). Rendahnya intensitas kehadiran anggota dewan dalam pembahasanpembahasan rancangan undang-undang sangat signifikan dengan kualitas produk Undang-Undang yang dihasilkan. Bagaimana dapat menghasilkan kualitas sebuah produk hukum yang baik, apabila proses produk tersebut tidak baik, dan proses yang tidak baik juga dapat disebabkan oleh kualitas yang memproses juga kurang baik. Sebagai ilustrasi ketika pembahasan Undang Undang Mahkamah Agung pada akhir 2008 yang lalu, dengan sidang paripurna yang hanya dihadiri oleh kira-kira 10 persen angota dewan, dapat dibayangkan bagaimana kualitas produk hukum tersebut. Disahkannya ketentuan pasal yang mengatur usia pensiun Hakim Agung dalam usia 70 tahun, telah mengabaikan suara rakyat di luar gedung parlemen yang tidak menghendaki batas usia pensiun tersebut dengan alasan produktifitas. Bagaimana dapat terjadi perdebatan argumentasi, dan interpretasi terhadap substansi sebuah Undang-Undang, jika yang berkompeten melakukan perdebatan tidak ada. Akankah hal ini sebagai indikasi rendahnya profesionalitas anggota dewan yang terhormat sebagai wakil rakyat yang tidak memperjuangkan aspirasi rakyat. Alasan apapun tidak dibenarkan, kecuali overmacht bagi ketidak hadiran anggota legislatif yang sangat penting, sebab sangat realistis alasan masyarakat ketika menyampaikan
100 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
keberatan mengenai batas usia seorang hakim, sebab di tangan merekalah tunggakan kasus yang mencapai ribuan jumlahnya, memerlukan energi ekstra, walaupun disadari bahwa tidak semua usia lanjut identik dengan menurunnya energi yang dimiliki, namun tidak dapat dipungkiri usia sangat berpengaruh terhadap ketahanan seseorang, terlebih bagi seorang hakim agung yang tidak hanya diperlukan tenaganya, tetapi juga akal pikirannya. 2.
Penggunaan Norma Samar Norma samar merupakan norma hukum positif yang dirumuskan secara kabur atau tidak jelas. Dalam kaitannya dengan penggunaannya sebagai dasar hukum pengambilan keputusan hukum, menurut Dworkin dengan mendasarkan pada awake discreation (diskresi yang lemah), norma tersebut harus ditafsirkan dulu untuk dicari maknanya melalu pemahaman terhadap asasasas hukumnya untuk kemudian dirumuskan normanya. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo, yang menyatakan bahwa: “dalam hal peraturan perundangan-undangannya tidak jelas, maka tersedialah metode interpretasi atau metode penafsiran hukum, yang lazim disebut hermeneutic yuridis (Soedikno Mertokusumo, 2006:6). Penggunaan metode atau cara ini dimaksudkan untuk memperjelas artikulasi atau makna norma samar atau norma yang terumus kurang jelas dalam hukum positif. Mengenai hal ini, Sudikno Mertokusumo menyatakan,”penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi juga oleh peneliti hukum, dan mereka yang berhubungan dengan kasus atau konf lik dan peraturan-peraturan hukum”(Soedikno Mertokusumo, 2006:6). Penaf siran hukum diawali dengan mengumpulkan fakta-fakta yang terkait dengan permasalahan yang ada, selanjutnya hakim atau penerap hukum lain memilah dan memilih, serta memisahkan antara fakta-fakta hukum (legal fact), dan fakta-fakta non hukum (non legal fact), kemudian dilakukan identifikasi terhadap peraturan hukum yang terkait dengan permasalahan hukum tersebut. Setelah dilakukan identifikasi terhadap permasalahan hukum, langkah berikutnya dilakukan penerapan hukum, dan langkah terakhir ini disebut dengan langkah deduksi, dengan asumsi norma hukum yang terumus dalam hukum positif sebagaimana
Norma Samar (Vage Normen) sebagai....
termanifestasikan dalam pasal-pasal dan ayatayat undang-undang sebagai premise mayor, fakta-fakta hukum konkrit sebagai premise minor, dan putusan hakim atau penerap hukum lain sebagai pengambil keputusan hukum merupakan konklusi. Interpretasi hukum harus tetap berpijak pada koridor konsep hukum dan makna hukum, sehingga teknik dan alat yang digunakan, seperti penggunaan kamus, penggunaan ahli yang diperlukan diseyogyakan kamus, dan ahli, yang memang direkomendasikan sebagai kamus hukum, dan ahli yang memahami karakter keilmuwan hukum. Selanjutnya mengenai jenis interpretasi yang akan dipergunakan misalnya interpretasi hstoris, teologis, futuristic, otentik dan lain sebagaiya sangat tergantung pada normanya dan konteks berlakunya norma hukum tersebut, dan harus dipahami bahwa hukum itu tidak hanya terbatas pada apa yang tertulis dalam buku Undang-Undang (the written law), tetapi juga yang hidup di dalam masyarakat. Sebagai contoh dikemukakan apabila pengambil keputusan dihadapkan pada kasus tindak pidana kesusilaan, maka ketika pengambil keputusan akan memaknai pengertian pasal tentang batasan susila atau asusila, maka pengambil keputusan tersebut harus terlebih dulu memperatikan sejarah pembentukan norma (historis), atau memperhatikan perdebatan-perdebatan falsafah yang mewarnai perumusan norma susila tersebut (filosofis), atau menafsirkan norma sesuai dengan teksnya, misalnya tentang perjanjian (otentik) dan lain sebagainya. Oleh karena itu upaya pemahaman terhadap makna sebuah norma hukum dapat dipergunakan berbagai jenis interpreasi hukum untuk memperoleh makna yang paling sesuai dengan rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan yang menjadi tujuan hukum. Apabila dalam lapangan yudisiil, hakim sebagai pengambil keputusan hukum tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak jelas atau tidak mengatur, untuk itu hakim menggunakan diskresi untuk menafsirkan hukum dalam rangka melakukan rechtvinding/law finding, maka dalam lapangan hukum administrasi Badan/Pejabat Tata Usaha Negara juga memiliki wewenang untuk menginterpretasi norma hukum sebagaimana yang dimiliki oleh kekuasaan yudisiil, sebagai dasar hukum untuk melakukan tindakan tata usaha negara yang disebabkan hukumnya
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
tidak atau kurang jelas atau belum mengatur. Tindakan demikian mendasarkan pada wewenang bebas atau wewenang diskresi, yang dalam hal ini disebut diskresi administrasi.(Diskresi administrasi merupakan istilah yang dipergunakan dalam Rancangan Undang Undang Administrasi Pemerintahan 2007 (RUUAP-2007). Namun harus dibedakan antara diskresi yudisiil dengan diskresi administrasi, pada diskresi yudisiil, kedudukan hakim dalam kapasitasnya sebagai penyelesai sengketa, sehingga diskresi hakim diarahkan pada penemuan hukum (rechtvinding) untuk dijadikan dasar pembuatan keputusannya, sedangkan pada diskresi administrasi Badan/ Pejabat Tata Usaha Negara terikat pada tugas dan fungsinya sebagai badan/pejabat yang menyelenggarakan kesejahteraan umum, oleh karena itu pada diskresi administrasi harus lebih diarahkan pada kegiatan penafsiran hukum (rechtinterpretasi) dari pada menemukan aturan hukum (rechtvinding), lebih mengedepankan pencapaian tujuan hukum (doelmatigheid) dari pada pencapaian ukuran keabsahan hukum (rechtmatigheid). Penggunaan interpretasi didasarkan atas pertimbangan bahwa semua putusan hukum merupakan hasil dari sebuah proses hukum, siapapun pejabat atau lembaganya, baik sebagai hakim maupun sebagai pejabat tata usaha negara. Untuk menghindari penyalahgunaan diskresi administrasi harus memenuhi syaratsyarat tertentu yang harus diindahkan, yaitu: a. Terbukti dapat ditemukan dasar hukumnya; b. Meskipun ada dasar hukumnya tetapi tidak dirumuskan dengan jelas/samar; c. Peraturan perundangan yang mengatur tindakan tata usaha negara tersebut memeberikan kebebasan/diskresi sepenuhnya kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara; d. Badan/Pajabat Tata Usaha Negara tersebut memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan diskresi baik yang diperoleh secara atribusi, delegasi, maupun mandat; e. Tindakan diskresi tersebut diarahkan pada tujuan yang lebih luas, yaitu untuk kepentingan umum; f. Tindakan tersebut didasari inisiatif sendiri bukan paksaan dari luar; g. Situasi tertentu memang menghendaki tindakan diskresi, dan tidak dipaksakan;
Norma Samar (Vage Normen) sebagai....
101
h.
3.
Diskresi tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara hukum dan moral Uraian di atas menjelaskan bagaimana perbedaan penggunaan interpretasi hukum dengan penemuan hukum (rechtvinding), pada interpretasi hukum bertolak pada norma atau aturan hukum yang sudah ada, tetapi norma tersebut tidak atau kurang jelas, sedangkan penemuan hukum bertolak dari kekosongan undang-undang (wet vacuum). Dalam penelitian ini sengaja digunanakan istilah kekosongan undangundang (wet vacuum), dan tidak menggunakan istilah kekosingan hukum (recht vacuum), sebab tidak pernah terjadi kekosongan hukum, atau dengan kata lain hukum tidak pernah kosong. Hukum selalu ada dalam setiap kehidupan masyarakat, hukum merupakan manifestasi dari gejala kehidupan, maka tepat sekali ungkapan Cicero di atas tentang “ibi ius ubi societas”.
Implikasi Norma Samar terhadap Wewenang Pemerintahan Di muka telah disinggung bahwa, pemerintah dalam konsep negara hukum modern memiliki luas lingkup tugas yang sangat luas, yang tidak mungkin tertampung di dalam hukum tertulis, van Wijk dan Konijnenbelt menyatakan: “hal yang tidak mungkin dilaksanakan, bahwa untuk setiap tindakan tata usaha negara itu diharuskan adanya dasar legalitas secara absolut, karena hal itu tidak akan menghasilkan apa-apa. (Philipus M Hadjon, l991:6)”. Hal ini disebabkan keterbatasan hukum tertulis dalam mengakomodasikan permasalahanpermasalahan hukum yang berkembang di dalam masarakat. Oleh karena itu untuk meleksanakan tugas-tugas pemerintahan diperlukan adanya keleluasaan bertindak bagi Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, termasuk untuk bertindak tanpa dasar hukum tertulis apabila memang situasi dan kondisi menghendakinya. N.M. Spelt dan ten Berge dalam tulisannya yang berjudul “Inleiding Vergunningenrect, Utrecht, sebagaimana dikutip dan diterjemahkan Philipus M. Hadjon (Philipus M Hadjon, 1991:6), menyatakan: “De vrij die een wettelijke regeling aan een bestuursorgaan kanlaten bij het geven van een beschikking wordt wel onderscheiden in
102 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
beleidsvrijheid en beoordelingsvrijheid”. (kebebasan yang diizinkan peraturan perundang-undangan bagi organ pemerintahan untuk membuat keputusan dapat dibedakan dalam kebebasan kebijaksanaan dan kebebasan penilaian). Dari kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa, wewenang bebas kebijaksanaan, merupakan wewenang memutus secara mandiri bagi Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, untuk menggunakan atau tidak menggunakan wewenangnya untuk melakukan tindakan tata usaha negara yang menjadi kewenangannya. Normanya memberikan wewenang secara jelas bagi organ pemerintah atau Badan/Pejabat Tata Usaha Negara untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tata usaha negara, namun wewenang tersebut digunakan atau tidak digunakan sangat tergantung pada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara sebagai pengemban kewenangan. Apakah wewenang tersebut digunakan atau tidak digunakan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara bukan merupakan masalah bagi hukum, sebab tidak diwajibkan dan juga tidak dilarang untuk menggunakan atau tidak menggunakan wewenang tersebut. Sedangkan wewenang bebas penilaian (beoordeling vrijheid), merupakan kebebasan untuk melakukan penilaian terhadap norma yang terumus secara samar dalam hukum positif , dengan menggunakan metode interpretasi hukum. Dalam kaitannya dengan rumusan di atas, maka dapat dikatakan, bahwa wewenang pemerintahan yang lahir dari norma samar dapat dikategorikan ke dalam wewenang bebas penilaian (beoordeling vrij heid), karena pengemban kewenangan harus melakukan penilaian terhadap norma samar sebagai dasar hukum tindakannya. 4.
Segi Negatif Penggunaan Norma Samar Penggunaan interpretasi dapat menimbulkan kekawatiran terjadi penyalahgunaan wewenang, kekawatiran demikian tentunya tidak berlebihan mengingat dalam diri manusia selalu dikuasai oleh nafsu dan keinginan yang dikendalian ratio atau akal, dorongan nafsu dapat merubah sikap dan perilaku manusia dari yang baik ke dalam sikap dan perilaku yang buruk, dari yang jujur menjadi tidak jujur, dari yang adil menjadi dzolim, dan lain sebagainya. Perang hawa nafsu dengan akal atau ratio ini hanya dapat diseimbangkan dengan nurani, artinya ketika nurani mampu diberdayakan untuk menguasai
Norma Samar (Vage Normen) sebagai....
dan menyeimbangkan nafsu dan akal, maka manusia akan kembali dalam keseimbangan alamiahnya, sebab nurani pada dasarnya bersifat netral dan tidak berpihak. Apabila kemudian terjadi dampak negatif penggunaan norma samar, dalam wujud korupsi, kolusi, dan nepotisme sebenarnya hanya merupakan dampak sekunder, atau hanya sebagai akibat samping dari dampak primer, yaitu penggunaan penafsiran yang disalahgunakan. Sebenarnya tidak akan terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme, apabila interpretasi norma samar benar-benar diarahkan pada tujuan hukum (doelmatigeheid), filosofi dan hakekad pembentukan norma hukum yang mendasari tindakan hukum Badan/Pejabat Tata Usaha Negara tersebut, dan dalam konteks inilah penggunaan ratio atau akal sehat berperan sebagai pengendali nafsu dan keinginan seseorang. 5.
lamban memerlukan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Menyadari kekuasaan pemerintahan merupakan kekuasaan yang aktif dan luas ruang lingkupnya, maka kekuasaan pemerintah (bestuur) tidak semata-mata sebagai suatu kekuasaan yang terikat, tetapi juga merupakan suatu kekuasaan bebas vrijheid bestuur, fries ermessen, discretionare power. Kebebasan bertindak atau keleluasaan dalam penggunaan wewenang pemerintahan ini dimaksudkan agar supaya pemerintah dapat melakukan antisipasi terhadap perkembangan yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu perumusan hukum positif, khususnya Undang-Undang tidak seharusnya memasung kebebasan ini, hukum positif harus memberikan ruang gerak yang memadai bagi dilakukannya tindakan-tindakan konkrit untuk secara aktif dengan inisiatif sendiri menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terus berkembang, yang belum ada aturanya yang jelas, dan tentunya selalu dalam koridor negara hukum. Menyadari luasnya urusan pemerintahan, maka ruang keleluasaan bagi Badan/ Pejabat Tata Usaha Negara harus dilakukan dengan cara merumuskan norma-norma secara samar (vage normen) atau kabur. Namun demikian perumusan norma samar tersebut hanya terhadap jenis-jenis norma tertentu yang dianggap perlu. Hal ini didasarkan atas pertimbangan, jika hukum positif yang cenderung bersifat dogmatis, kaku, dan tertutup diikuti secara konsisten, dapat menyebabkan terganggunya penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan dalam rangka penyelenggaraan kepentingan umum. Oleh karena itu dengan norma samar diharapkan dapat memberikan ruang fleksibilitas terhadap Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dalam melakukan tindakan hukum tata usaha negara sesui dengan kebutuhan praktek. Hukum positif memang diperlukan untuk mencapai sebuah kepastian bagi tindakan tata usaha negara, tetapi hukum positif tidak dapat dibenarkan jika dalam kenyataannya memasung keleluasaan pemerintah dalam menyelenggarakan fungsifungsi social service atau penyelenggaraan kepentingan masyarakat.
Segi Positif Penggunaan Norma samar Pemerintah (eksekutif) dalam konsep hukum administrasi Belanda digunakan istilah bestuur/stuuren, yaitu lapangan kekuasaan negara setelah dikurangi kekuasaan pembentukan undang-undang (regelgeving) dan kekuasaan mengadili (rechtspraak), dalam hal ini van Vollen Hoven memperkenalkan dengan teori “residu”. Untuk memahami luas lingkup lapangan tugas kekuasaan bestuur di Belanda, dapat dilihat rumus sebagai berikut: B = Kn – (Rg + Rh) B Kn Rg Rh
= Bestuur (kekuasaan pemerintahan/ eksekutif) = Kekuasaan Negara = Regelgeving (kekuasaan pembentuk undang-undang) = Rechtspraah (kekuasaan peradilan)
Rumus demikian menunjukan betapa luasnya kekuasaan bestuur (eksekutif dalam Trias Politika), yang tidak hanya sebagai pelaksana Undang-Undang, melainkan juga melaksanakan tugas dan fungsinya di luar tugas dan fungsi yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang. Dalam konsep bestuur, kekuasaan pemerintah merupakan kekuasaan yang aktif, sifat aktif ini terkait dengan kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan kepentingan umum dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sifat aktifnya pemerintah ini sering tidak dapat diikuti oleh hukum positif (hukum UndangUndang), sebab hukum positif berproses cukup
Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
E.
Simpulan Keberadaan norma samar dalam hukum positif di Indonesia memang bersifat dilematis, di satu sisi dapat melahirkan keleluasaan bagi
Norma Samar (Vage Normen) sebagai....
103
pengambil keputusan, dalam hal ini Badan/ Pejabat Tata Usaha Negara. Keleluasaan demikian dapat menimbulkan kekawatiran terhadap kemungkinan disalahgunakan, mengingat dalam penggunaannya memerlukan interpretasi atau penafsiran yang penilaiannya bersifat subyektif tergantung pada penafsirnnya. Namun pada sisi yang lain norma samar dalam hukum positif tidak mungkin dapat dihindarkan, hal ini disebabkan oleh berapa faktor, diantaranya keterbatasan hukum Undang-Undang, antisipasi perkembangan, pluralisme masyarakat, serta profesionalitas pembentuk Undang-Undang. Penggunaan norma samar sebagai dasar hukum pengambilan keputusan dilakukan dengan metode interpretasi untuk mencari makna dari norma yang terumus secara samar tersebut. Dalam rangka mencari makna pengambil keputusan dapat menggunakan
berbagai jenis interpretasi baik secara bersama-sama atau secara sendiri-sendiri tergantung konteksnya dengan tujuannya. F.
Saran Sehubungan norma samar penggunaannya dilakukan dengan interpretasi dan interpretasi sifatnya subyektif, maka seyogyanya penafsiran harus tetap pada konteks negara hukum, dan memperhatikan kaidah-kaidah moral, etika, serta tetap berorientasi pada tujuan hukum. Dalam kaitannya dengan penggunaan wewenang pemerintahan, dalam penafsirkan norma samar harus dikedepankan aspek kemanfaatan tujuan (doelmatigeheid) bagi kepentingan masyarakat secara luas, untuk itu dalam penafsiran harus mengesampingkan kepentingan pribadi, kelompok, maupun kepentingan golongan.
Daftar Pustaka Adolf Heuken. 1987. Kamus Jerman Indonesia. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka Gramedia. Bagir Manan. 2004. Hukum Positif Indonesia ( Kajian Teoritik). Yogyakarta: FH UII Press. Indroharto. 2002. Usaha Memahami Undang Undang Nomor 5 Tahun l986 entang Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Mas Maria Farida Indrati Soeprapto. 2004. Ilmu Perundangundangan (Dasar-dasar dan Pembentukanya). Yogyakarta: Kanisius. Jazim Hamidi. 2005. Makna Dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus l945 Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Disertasi Program Pascasarjana. Universitas Padjadjaran Bandung. —————————.dan Budiman NPD Sinaga. 2005. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dalam Sorotan. Jakarta: Tatanusa. ————————— . 2006. Hermeneutika Hukum. Yogyakarta: UII Press. ————————. 2006. Revolusi Hukum Indonesia. Yogyakarta: Konstitusi Press dan Citra Media. Jhony Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian disertasi Hukum Normatif. Malang: Bayu Media . Lexy J Moleong. 2000. Metodoogi Peneliian Kualitatief. Bandung: Remadja Rosda Karya
.
Nyoman Nurjaya. 2007. Reorientasi Pembangunan Hukum Negara Dalam Masyarakat Mltikultural Perspektif Antropologi Hukum. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Brawijaya Malang. Phlipus Hadjon. 2000. Pemerintahan Menurut Hukum. Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga. ——————————. 1987. Pengertian-pengertian Dasar Tindak Pemerintahan. Surabaya: Percetakan Jumali. ———————————. 1991. Hukum Perizinan. Kerjasama Hukum Indoneia Belanda. Surabaya: Universitas Airlangga. Sudikno Mertokusumo. 2006. Penemuan Hukum. Yogyakarta: Liberty. Yudha Bhakti Adhiwisastra. 2000. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Bandung: Alumni. Zafeer. 1994. Jurisprudence: An Outline, International Law Book Service. Kuala Lumpur Malaysia: Genting Raya SDN BHD.
104 Yustisia Edisi Nomor 79 Januari-April 2010
Norma Samar (Vage Normen) sebagai....