NONGKRONG DALAM PERSPEKTIF HADIS
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh: Ana Fauziah NIM. 107034001574
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H./2014 M.
NONGKRONG DALAM PERSPEKTIF HADIS
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh: Ana Fauziah NIM. 107034001574
Pembimbing:
Dr. Atiyatul Ulya, MA NIP. 19700112 199603 2 001
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H./2014 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 13 Mei 2014
Ana Fauziah
i
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah diuji pada Sidang Terbuka pada: Hari, tanggal
: Selasa, 13 Mei 2014
Pukul
: 10.00 – 11.30 WIB
Pembimbing
: Dr. Atiyatul Ulya, MA
Ketua Sidang
: Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA
Sekretaris
: Jauhar Azizy, MA
Tim Penguji
: 1. Rifqi Muhammad Fathki, MA 2. Muhammad Zuhdi Zaini, MA
ii
PERSETUJUAN PARA PENGUJI Skripsi berjudul “NONGKRONG DALAM PERSPEKTIF HADIS” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 13 Mei 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Program Studi TafsirHadis.
Jakarta, 13 Mei 2013 Sidang Munaqasyah, Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA NIP. 19711003 199903 2 001
Jauhar Azizy, MA NIP. 19820821 200801 1 012 Anggota,
Penguji I
Penguji II
Rifqi Muhammad Fatkhi, MA NIP. 19770120 200312 1 003
Muhammad Zuhdi Zaini, MA NIP. 19650817 200003 1 001 Pembimbing,
Dr. Atiyatul Ulya, MA NIP. 19700112 199603 2 001
iii
ABSTRAK Ana Fauziah“Nongkrong dalam Perspektif Hadis”. Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014.
Penelitian ini didasari atas fenomena kebiasaan kaum remaja masa kini, yang cenderung memilih nongkrong dan berkumpul bersama temantemannya untuk mengekspresikan luapan emosi. Namun, dari fenomena nonnegatif, mulai obrolan yang tidak jelas, ledekan terhadap teman sendiri, membicarakan kekurangan orang lain atau yang disebut dengan ghibah. Bahkan tidak hanya itu, dalam kegiatan nongkrong terkadang ditemui kegiatan negatif seperti: merokok, berjudi, minum-minuman keras, dan lainlain. Dengan kebiasaan kegiatan ini kemungkinan terbentuklah sebuah komunitas tertentu atau disebut dengan “genk”, baik sekumpulan genk motor, premanisme dan lain-lain. Inilah yang disebabkan kenakalan remaja yang suka nongkrong di pinggir jalan. Nonkrong adalah sebuah kegiatan yang melibatkan pembicaraan segala macam hal, mulai dari yang remeh sampai yang serius. Pengertian lain mengatakan nongkrong adalah sebuah kegiatan berkumpul yang tidak mempunyai tujuannya Penelitian ini berisi penggambaran nongkrong sebagaimana makna yang terkandung dalam kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī serta memberikan informasi tambahan tentang topik yang dibahas, berkaitan dengan nongkrong di pinggir jalan seperti Kenakalan Remaja, Problem Remaja, Kriminologi dan Remaja. Juga menjelaskan hadis Nabi tentang tema tersebut dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam hadis tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya. Bahwa pada masa nabi dahulu, kegiatana nongkrong sudah merupakan kebiasaan yang wajar. Namun dalam hal ini, nabi memperbolehkan menongkrong dengan ketentuan-ketentuan yang sudah nabi tentukan seperti; menjawab salam, menundukkan pandangan, tidak mengganggu dan beramar ma’ruf nahi munkar.
ii
KATA PENGANTAR Kematian ini tidak akan menghilangkan seorang lelaki Akan tetapi kematian telah menghilangkan ilmunya Sepanjang masa orang-orang bisa meminum airnya Tapi sekarang bagaikan gelas yang kosong Hidupnya dipenuhi dengan ilmu yang menjadikan cahaya Dan takwa yang menjadikan tujuan (Penyair: Ibn Dārid)
Puji Syukur kehadirat Allah swt., Dzat yang memberikan nikmat, yakni hembusan nafas, pandangan mata, sehingga dapat memandang indahnya alam semesta dan nikmat-nikmat lain yang tidak mampu dihitung oleh hamba-Nya. Penulis panjatkan atas segala rahmat dan karunia-Nya. Ṣalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li al-‘Ālamīn, cahaya di atas cahaya, manusia paling sempurna, Nabi Muhammad saw., Rasul penutup para Nabi, serta doa untuk keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga zaman menutup mata. Alḥamdulillāh, berkat rahmat dan ‘inayah Allah swt. penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini adalah karena keterlibatan berbagai pihak yang jika tanpanya karya ini tidak akan terwujud. Kepada beliau-beliau penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Melalui upaya dan usaha yang melelahkan, akhirnya dengan limpahan karunia-Nya lah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaikbaiknya. Berbagai kesulitan, cobaan dan hambatan yang penulis rasakan dalam penyusunan skripsi ini, alḥamdulillāh dapat teratasi berkat tuntunan
iii
serta bimbingan-Nya dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang sedalamdalamnya kepada: 1.
Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu Dekan.
3.
Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis yang baru. Bapak Jauhar Azizy, MA., selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.
4.
Bapak Dr. Bustamin, M.Si., yang selalu tersenyum demi para mahasiswa untuk semangat dalam belajar.
5.
Ibu Dr. Atiyatul Ulya, MA., selaku pembimbing yang selalu memberikan didikasinya kepada penulis, bersabar memberikan ilmu dan bimbingannya selama penulis berada di bawah bimbingannya.
6.
Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang
telah memberikan
didikasinya mendidik penulis, memberikan ilmu, pengalaman, serta pengarahan kepada penulis selama masa perkuliahan. 7.
Dan yang paling terpenting adalah kedua orang tuaku tercinta, ayahanda Alm. H. Mifthussurur dan ibunda Hj. Atikah Hasanah, serta Mama Tjijik Mursyidah, yang telah mengarahkan, dengan penuh kasih sayang tanpa pamrih, tak
pernah
iv
lelah dan tak bosan dalam
memberikan dukungan moral maupun materil, serta do’a yang selalu membanjiri hati buah hatimu ini. 8.
Suami tercinta Muhammad Zacky, anal-anakku Rufaidatul Jinan dan Nawwal Fakhriya. Kakakku M. Fawaid - Mbak Ike dan si bungsu Muhtar, Adik ipar Naily Yasin beserta suami, Mbak Kiki yang selalu mensupport, Adik-adikku tercinta Fahmi dan Lukman, yang setia antar jemput dan nemenin anak-anak saat ke kampus. mana kalian senantiasa memberikan dukungan dan do’a.
9.
Untuk sahabatku Siti Fatimah Zahro, yang senasib seperjuangan mengarungi lika-liku kuliah dan skripsi. Dan kepada teman-teman se angkatan 2007 Tafsir Hadis yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang selalu kompak memberikan warna-warni indahnya persahabatan.
10.
Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan dalam proses penyelesaian skripsi ini, namun luput untuk penulis sebutkan, tanpa mengurangi rasa terima kasih penulis. Harapan penulis semoga skripsi ini sedikit banyak dapat bermanfaat
bagi pembaca dan semoga Allah swt. selalu memberkahi dan membalas semua kebaikan pihak-pihak yang turut serta membantu penyelesaian skripsi ini. Āmīn yā Rabb al-Ālamīn.
Ciputat, 13 Mei 2014
v
PEDOMAN TRANSLITERASI A. Konsonan ’═ء
═رr
═ غgh
═بb
═زz
═فf
═تt
═سs
═قq
═ ثth
═ شsh
═كk
═جj
═صṣ
═لl
═حḥ
═ضḍ
═مm
═ خkh
═طṭ
═نn
═دd
═ظẓ
═وw
═ ذdh
( ‘ ═ عayn)
ه/ ═ ةh
Vokal Panjang
Diftong
═يy B. Vokal dan Diftong Vokal Pendek
ُ
َ
═a
═ َ —اā
ى
ِ
═i
═ َ —ىá
وْو
═u
═ ُ —وū
يْو
ِ
َ
َ
═ī ═ aw ═ ay
C. Keterangan Tambahan 1. Kata sandang ( الalif lam maʽrifah) ditransliterasi dengan al-, misalnya ( )الجزيةal-jizyah, ( )اآلثارal-āthār dan ( )الذمةal-dhimmah. Kata sandang ini menggunakan huruf kecil, kecuali bila berada pada awal kalimat. vi
2. Tashdīd atau shaddah dilambangkan dengan huruf ganda, misalnya almuwaṭṭaʽ. 3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, ditulis sesuai dengan ejaan yang berlaku, seperti al-Qur’an, hadis dan lainnya.
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................
i
ABSTRAK ...................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ................................................................................
iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................
vi
DAFTAR ISI ...............................................................................................
viii
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B. Pembatasaan dan Perumusan Masalah ....................................
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...............................................
9
D. Kajian Pustaka .........................................................................
10
E. Metodologi Penelitian .............................................................
11
F.
12
Sistematika Penulisan ..............................................................
BAB II NONGKRONG DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI REMAJA ...................................................................................
14
A. Pengertian Nongkrong .............................................................
14
B. Faktor yang Menyebabkan Remaja Suka Menongkrong ........
16
1. Faktor Internal …………………………………………...
18
2. Faktor Eksternal …………………………………………
18
C. Dampak Positif dan Negatif dari Nongkrong ..........................
19
1. Ghibah (membicarakan keburukan orang lain) .................
21
2. Merokok ............................................................................
26
viii
3. Berjudi dan Minum-minuman Keras ................................
31
4. Terciptanya Aksi Geng Motor ..........................................
35
BAB III KAJIAN MATAN HADIS TENTANG NONGKRONG DI PINGGIR JALAN ....................................................................
38
A. Nongkrong dalam Pandangan Hadis .......................................
38
1. Menundukan Pandangan ...................................................
42
2. Tidak Mengganggu ...........................................................
46
3. Menjawab Salam ...............................................................
47
4. Menyuruh Kebaikan dan Melarang Kejelekan .................
49
B. Penjelasan Faedah Hadis dan Istinbth Hukum ........................
52
C. Kehujjahan Hadis ....................................................................
63
D. Asbabul Wurud .......................................................................
63
BAB IV PENUTUP ....................................................................................
68
A.
Kesimpulan ..............................................................................
68
B.
Saran ........................................................................................
68
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
70
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hadis1 atau Sunnah2 merupakan salah satu sumber ajaran Islam yang menduduki posisi yang sangat signifikan, baik secara stuktural maupun fungsional. secara struktural menduduki posisi kedua setelah al-Qur‟an, namun jika dilihat secara fungsional, ia merupakan bayan terhadap ayat-ayat al-Qur‟an yang bersifat „am, mujmāl, atau muṭlāq.3 Hadis Nabi saw dalam pandangan umat Islam merupakan salah satu sumber ajaran Islam yang secara struktural menduduki posisi kedua setelah alQur‟an. Secara fungsional hadis merupakan bayan (penjelas) terfhadap al-Qur‟an. Sehingga hadis mempunyai posisi yang sangat signifikan dan strategis dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an yang masih global. Oleh karena itu, sebagai ummat Islam sangat berkepentingan untuk menggali butir-butir ajaran Islam yang terdapat dalam hadis-hadis tersebut.4 Dalam kaitannya dengan fungsi dan kedududkan hadis Nabi terhadap alQur‟an, Allah swt telah menerangkannya dalam QS. al-Naḥl/ 44: 1
Hadis berasal dari bahasa arab; al-Ḥadīth jamaknya al-Aḥādīth, al-Ḥadīthan dan alḤudthan. Secara bahasa kata ini memiliki banyak arti, antara lain: al-Jadîd (yang baru) dan alKhabar (kabar atau berita). Lihat Endang Soetari, Ilmu Hadis (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), cet. 2, h. 1. 2 Sunnah secara etimologi berarti “tata cara”. Walaupun secara bahasa Hadis dan Sunnah berbeda, akan tetapi dari sudut terrminologis menurut ahli hadis tidak membedakan keduanya. Menurut mereka baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan, maupun sifat-sifat beliau dan sifatsifat ini baik berupa sifat-sifat fisik, moral, maupun perilaku, dan hal itu baik sebelum beliau menjadi Nabi maupun sebelumnya. Lihat Ali Mustafa Yakub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), cet. Ke-5, h. 32-33. 3 Said Agil Husain al-Munawwar, Asbabul Wurud (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet I, h. 3. 4 Sayyid Agil Husein al-Munawwar, Studi Hadis Nabi (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001), cet. ke -1, h. 8.
1
2
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur‟an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,” (QS. al-Naḥl: 44).
Hadis Nabi saw sebagai penjelas al-Qur‟an, secara teologis juga dapat memberi inspirasi untuk membantu menyelesaikan problematika yang muncul dalam masyarakat kontemporer sekarang. Karena, bagaimanapun tampaknya disepakati bahwa pembaharuan pemikiran Islam atau rektualisasi ajaran Islam harus mengacu kepada teks-teks yang menjadi landasan ajaran Islam, yakni alQur‟an dan hadis.5 Al-Fāruqī mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk religius, yaitu makhluk yang kesadarannya terfokus pada kehadiran Tuhan sebagai suatu yang bersifat sentral. Ungkapan tersebut menegaskan bahwa bagi manusia, posisi Tuhan adalah pusat dalam kehidupannya. Tuhan adalah tempat bergantung segala sesuatu.6 Sudah merupakan fitrah bagi manusia untuk saling berinteraksi. Berbagi cerita, bersenda gurau, dan bertukar pikiran, adalah hal yang wajar untuk dilakukan. Apalagi manusia memang diperintahkan untuk saling menasehati, saling belajar dan mengajarkan, saling meringankan beban serta kesusahan, dan mendukung kebahagiaan satu sama lain. 7
5
M. Syuhudi Ismail, Hadīts Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 14. 6 Al-Faruqi, Prinsip-prinsip Islam (Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1997), h. 78. 7 Agus Hery, “Nongkrong” di Pinggir Jalan Sambil Menebar Kebaikan”, artikel ini diakses pada tanggal 23 februari 2014 dari http://alifmagz.com/?p=14258
3
Untuk memenuhi kebutuhan berinteraksi dan bersosialisasi itu, berkumpul dengan teman atau saudara di berbagai tempat untuk menghabiskan waktu bersama adalah hal wajar untuk saling bertukar pikiran, mengobrol dan lain sebagainya. Salah satu tempat yang biasa digunakan untuk keperluan tersebut, seperti yang sudah sangat umum ditemui dalam kebiasaan pergaulan masyarakat adalah di pinggir jalan. 8 Sering para laki-laki, khususnya yang berusia muda, duduk berkumpul di pinggir jalan, menghabiskan waktu mereka sambil mengobrol atau melakukan kegiatan lainnya. kegiatan inilah yang mengantarkan mereka menjadi sosok yang “nakal”. Namun banyak faktor yang menjadi pencetus dari kenakalan remaja. Salah satu yang akan dibahas ini adalah nongkrong di pinggir jalan yang berkaitan dengan keluarga. Keluarga merupakan sosialisasi manusia yang terjadi pertama kali sejak lahir hingga perkembangannya menjadi dewasa. Itulah sebabnya sebelum berlanjut kepada kenakalan remaja yang disebabkan oleh faktor yang lebih banyak lagi, maka akan lebih baik mulai memperhatikan dari permasalahan yang paling mendasar yaitu akibat dari nongkrong tersebut. William J. Goode mengartikan keluarga sebagai suatu satuan sosial terkecil yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial yang ditandai adanya kerjasama ekonomi. Fungsi keluarga adalah berkembang biak, mensosialisasi atau mendidik anak, menolong, melindungi, dan sebagainya. 9 Keluarga dapat dibagi menjadi bermacam-macam, seperti keluarga inti, keluarga besar, dan lain-lain.
8
Agus Hery, “Nongkrong” di Pinggir Jalan Sambil Menebar Kebaikan”, artikel ini diakses pada tanggal 23 Februari 2014 dari http://alifmagz.com/?p=14258 9 William J. Goode, Sosiologi Keluarga, terj. Lailahanoum Hasyim (Jakarta: Bina Aksara, 1983), h. 44.
4
Tetapi dalam kenyataannya, lebih sering keluarga dideskripsikan dengan gambaran keluarga inti yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan saudara kandung. Secara idealnya, keluarga adalah ayah dan ibu yang bersatu dan bahumembahu dalam mendidik dan membimbing. Ayah dan ibu adalah panutan anak sejak kecil hingga remaja dan hal tersebut akan berlangsung terus menurus sampai mereka memiliki anak lagi dan berlanjut terus seperti ini. Peran keluarga sangat penting bagi sosialisasi anak di masa perkembangnnya. 10 Berdasarkan asumsi ini, maka keluarga memiliki peran yang sangat signifikan dalam menciptakan individu-individu dengan berbagai macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat.11 Di zaman era globalisasi dan modernisasi seperti sekarang ini kenakalan remaja semakin mengkhawatirkan. Perlu adanya bimbingan dan pendekatan secara psikologis agar kenakalan remaja tidak semakin parah. Banyak hal yang menjadi penyebab kenakalan remaja, salah satu di antaranya adalah mengenai latar belakang remaja itu sendiri. Setiap remaja memiliki lingkungan yang berbeda-beda serta latar belakang ekonomi yang berbeda-beda, pergaulan, keluarga, pendidikan dan seterusnya. Pergaulan yang salah menjadi salah satu penyebab terjadinya kenakalan remaja. Apalagi di zaman sekarang ini dengan alasan modernisasi para remaja ingin mencoba sesuatu yang seharusnya tak pantas dikerjakan. Misalnya penggunaan obat terlarang seperti narkoba, minumminuman keras, pergaulan bebas dan sebagainya. Apabila kenakalan remaja
10 11
Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 89. Darmansyah, Ilmu Sosial Dasar (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h. 77.
5
dibiarkan begitu saja, tentu akan merusak masa depan mereka sendiri, terlebih masa depan bangsa ini.12 Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani prosesproses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflikkonflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja para pelakunya. Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungannya, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri. 13 Kegiatan nongkrong di pinggir jalan ini, bukannya dilarang sama sekali. Namun, karena berada di tempat umum yang terbuka dan bersinggungan dengan kepentingan banyak orang lain yang juga menggunakan jalan tersebut untuk berbagai keperluan, maka ada adab-adab yang perlu diperhatikan. 14 Rasulullah saw. bersabda:
ٍ ٍ ِ َسلَ َم َع ْن ْ َحدَّثَنَا َعْب ُد اللَّه بْ ُن َم ْسلَ َم َة َحدَّثَنَا َعْب ُد الْ َع ِزي ِز يَ ْع ِِن ابْ َن ُُمَ َّمد َع ْن َزيْد يَ ْع ِِن ابْ َن أ ِ َّ ِ َّ َّ َ ول اللَِّه َّ ااُ ْد ِا ّ أ وس ْ َع َ ِاا بْ ِن يَ َسا ٍا َع ْن أَِ َسعِ ٍد َ َن َا ُس َ ُصلى اللهُ َعلَْه َو َسل َم قَ َال إيَّا ُك ْم َوا ْْلُل 12
Didi, “Kenakalan Remaja dan Solusi Perspektif Islam”, artikel ini diakses pada tanggal 17 februari 2014 dari http://rururudididi.blogspot.com/ 13 Eva Emania Eliasa, “Kenakalan Remaja: Penyebab dan Solisinya”, artikel ini diakses pada tanggal 25 Februari 2014 dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/Microsoft%20Word%20%20KENAKALAN%20REMAJA_PENYEBAB%20DAN%20SOLUSI_.pdf 14 Agus Hery, “Nongkrong” di Pinggir Jalan Sambil Menebar Kebaikan”, artikel ini diakses pada tanggal 23 februari 2014 dari http://alifmagz.com/?p=14258
6
ِ َبِال ُّرق ِ ُ َّث فِ ها فَ َق َال اس ِِ ِ ِ َ ات قَالُوا يا اس ُصلَّى اللَّه َ ول اللَّه َ ُ ول اللَّه َما بُ َّد لَنَا م ْن ََمَالسنَا نَتَ َحد َُ َُ َ ُ ِ ص ِر َ يق َحقَّهُ قَالُوا َوَما َح ُّق ال َِّر ِيق يَا َا ُس ُّ ول اللَّه قَ َال َغ ْ َعلَْ ِه َو َسلَّ َم إِ ْن أَبَ ْتُ ْم فَأ َ َع ُوا ال َِّر َ َض الْب ِ ِ َّ ُّوَك ُّ ْااَ َ وا ِ .15 َّه َع ْن الْ ُمنْ َ ِر ََ َ ُ ْ الس َ َو ْاا َْمُر بالْ َم ْعُروو َوالن Dikisahkan oleh Abdullah Ibn Maslamah mengatakan kepada kami „Abd al-„Azīz berarti putra Muḥammad Zaid berarti anak Aslam dari „Aṭā bin Yasār dari Abū Sa‟id al-Hudrī bahwa Rasulullah saw bersabda: Berhatihatilah duduk-duduk di pinggir jalan. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagi kami sesuatu yang tidak dapat kami tinggalkan. Dalam berkumpul (majelis) itu kami berbincang-bincang.” Nabi Saw menjawab, “Kalau memang suatu keharusan maka berilah jalanan itu haknya.” Mereka bertanya lagi, “Apa yang dimaksud haknya itu, ya Rasulullah?” Nabi Saw menjawab, “Palingkan pandanganmu (dari memandang kaum wanita) dan jangan menimbulkan gangguan. Jawablah tiap ucapan salam dan beramar ma‟ruf nahi mungkar.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim). Berkumpul tanpa tujuan yang jelas, tentu saja membuang waktu yang sangat berharga dengan percuma. Ketika hal ini dilakukan di pinggir jalan, maka tidak hanya membuang waktu, kemungkinan untuk menimbulkan keburukan juga meningkat. Hal-hal seperti ini telah menjadi sebuah kelaziman dikalangan remaja.
Padahal
remaja
atau
pemuda
adalah harapan
agama
dan
bangsa. Merupakan sebuah tonggak harapan, yang menjadi agent of change, social control dan iron stock. Dampak negatif lain yang dapat ditimbulkan oleh orang-orang yang melakukan aktifitas di jalan seperti duduk-duduk di pinggir jalan ialah adanya perbuatan-perbuatan atau ucapan-ucapan yang dapat menghina dan meremehkan orang lain. Padahal perbuatan dan perkataan seperti itu sangat bertentangan dengan al-Qur‟an, yaitu: 15
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitāb al-Maẓālim (46), Bāb Afnaitu al-Dūr wa alJulūs Fihā (22). Lihat Muḥammad Fu‟ād „Abd al-Bāqi, Al-Lū‟lū‟ wa Marjān Fimā Ittaqafa „Alaihi al-Shaikhānī al-Bukhārī wa Muslim, terj. Arif Rahman Hakim, Kumpulan Hadis Shahih BukhariMuslim (Sukoharjo Jawa Tengah: Insan Kamil Solo, 2013), cet. 11, h. 641-642.
7
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Hujurāt [49]: 11-12).
Melihat fenomena yang terjadi seperti itu, maka penting sekali untuk mengetahui hal-hal yang mungkin dapat dijadikan sebagai pegangan dan pedoman dalam menyikapi hal tersebut, mengingat bahwa aktifitas seperti duduk-duduk di pinggir jalan yang sering dilakukan oleh sebagian masyarakat merupakan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan. Informasi yang menjelaskan secara tegas tentang kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang-orang yang duduk-duduk di pinggir jalan dan apa saja dampak negatif yang ditimbukan di dalamnya serta bagaimana bagaimana perkembangan nongkrong itu sendiri dari masa kemasa. Membahas satu hadis
8
yang menjelaskan tentang nongkrong di pinggir jalan termasuk sesuatu yang sangat penting. Karena hadis tersebut diharapkan dapat menjadi solusi untuk menjawab salah satu problem yang dihadapi masyarakat pada masa sekarang ini. Penelitian ini juga sekaligus dapat dijadikan sebagai bukti bahwa sumber hukum Islam ini masih tetap relevan atau tidak jika dikontekskan pada zaman sekarang. Dari pemaparan di atas, penulis merasa tergugah untuk melihat lebih jauh lagi bagaimana sesungguhnya hadis memberikan landasan atau pedoman hukum terhadap persoalan nongkrong di pinggir jalan. Oleh karena itu penulis memilih judul “NONGKRONG DALAM PERSPEKTIF HADIS”. B. Pembatasaan dan Perumusan Masalah Ada banyak masalah atau dampak buruk dari kegiatan nongkrong dipinggir jalan yang sering ditimbulkan oleh mereka atau para remaja (khususnya) yang hobi nongkrong ini seringkali menimbulkan efek yang negatif. Semisal, bergunjing/ghibah, merokok, berjudi, minum-minuman keras dan lain sebagainya. Penulis dalam melakukan penelitian ini melakukan pembatasan agar dalam penelitian ini lebih terfokus dan tidak melebar dari koridor penelitian yang penulis lakukan. Dalam pelacakan kata
إٍيَا ُكم َوال ُجلُوسdalam kutūb al-Sittah, penulis
menemukan terdapat dalam riwayat al-Bukhārī dalam Kitāb al-Maẓālim, Bāb Afnaitu al-Dūr wa al-Julūs Fihā (2333 dan 2465) dan Bāb Qauluhu [Ya Iyuhā alLadhīna] (6229). Riwayat Muslim dalam Bāb al-Nahy „an al-Julūs (2121 dan 5685) dan Bāb Man Ḥaq al-Julūs (2161 dan 5774). Riwayat Abī Dawūd dalam Bāb fī al-Julūs fī al-Ṭuruqāt (4817) dan Bāb fī al-Julūs (4815).
9
Untuk menghindari pembiasan dalam memahami penelitian ini, penulis memberikan batasan mengenai penelitian ini hanya menggunakan hadis riwayat al-Bukhārī dalam Kitāb al-Maẓālim, Bāb Afnaitu al-Dūr wa al-Julūs Fihā. Hadis ini yang berkaitan Nongkrong di pinggir jalan sebagai sebuah metode ilmiah dalam tataran teoritis, bagaimana kondisi disaat hadis ini ada pada masa nabi sehingga penulis perlu menyajikan asbabul wurud dari hadis ini untuk menyingkronisasikannya dengan kondisi kekinian, termasuk menggali substansi matan hadis dan muatan-muatan yang terkandung di dalamnya. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pemaknaan nongkrong dalam pandangan hadis Nabi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sejalan dengan permasalahan di atas, orientasi penelitian ini diarahkan pada upaya memahami serta menganalisis kandungan hadis. Jelasnya, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Untuk
mengetahui
bagaimana
pemaknaan
nongkrong
dalam
pandangan hadis. Manfaat dari penulisan skripsi ini: 1. Memberikan gambaran bahwa bagaimana pemaknaan nongkrong yang baik dan sesuai dengan anjuran nabi. 2. Agar dapat mengungkap data-data hadis yang bekaitan dengan nongkrong di pinggir jalan dan menemukan bukti data kualitas hadis yang dapat dijadikan pedoman.
10
3. Memenuhi tugas akhir perkuliahan untuk mencapai gelar kesarjanaan Strata Satu (S-1) pada jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Kajian Pustaka Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini dengan skripsi yang lain, terlebih dahulu penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan menjadi acun penulis untuk tidaka mengangkat metodologi atau pendekatan yang sama, sehingga kajian yang penulis lakukan tidak terkesan plagiat dari kajian yang telah ada. Berdasarkan pengamatan pencarian yang penulis lakukan, penulis belum menemukan skripsi yang secara khusus membahas tentang nongkrong di pinggir jalan dalam perspektif hadis. Hanya ada satu skripsi yang membahas tentang tema “Hak Bagi Pengguna Jalan dalam Kitāb Sunan Abū Dawud”16. yang mana judul tersebut hanya menjelakan hadis tentang hak bagi pengguna jalan saja dan meneliti atau mentakhrij sanad dan matannya. Kajian yang penulis lakukan dalam skripsi ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Akhmad Nggufron, walaupun membahas tema yang hampir sama, namun Akhmad Nggufron hanya fokus kepada pentakhrijan hadis, sedangkan skripsi ini lebih fokus mendalami bagaimana hadis memandang kebiasaan nongkrong yang sering dilakukan oleh masyarakat khususnya para remaja yang
16
Akhmad Nggufron “Hak Bagi Pengguna Jalan Dalam Kitab Sunan Abu Daud” (Skripsi Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010)
11
sering dijumpai di pinggir jalan, sehingga nabi perlu memberi batasan seperti apa nongkrong yang dianjurkan. melihat dampak negatif dari nongkrong di pinggir jalan ini sering meresahkan warga yang melintasi jalan. E. Metodologi Penelitian Metode penelitian adalah suatu cara atau teknis yang dilakukukan dalam penelitian ilmiah yaitu proses dalam ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran. 17 Untuk mencapai hasil yang optimal, sistematis, metodis, juga secara moral dapat diperanggungjawabkan, maka sebuah penelitian atau penulisan haruslah mempunyai metode tertentu sebagai sebuah sistem atuaran yang menentukan jalan untuk mencapai pengertian baru pada bidang ilmu pengetahuan tertentu. Dalam
penulisan skripsi ini, penulis menggunakan Library Research
(penelitian kepustakaan), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji dan menelaah sumber atau buku-buku yang ada relevansinya dengan tema yang akan dikaji lebih dalam. 18 Karena data yang digunakan berasal dari bahan-bahan kepustakaan. Adapun sumber penulis terbagi menjadi dua kategori, yaitu sumber primer dan sumber data sekunder. Sumber data primernya adalah penggambaran pemaknaan nongkrong sebagaimana makna yang terkandung dalam kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Sedangkan data sekunder,19 yaitu data yang memberikan informasi
17
Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal (Jakarta: Bumi Aksara, 1995),
h. 24. 18
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), h. 245. 19 Winarno Surahman, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1982), h. 140.
12
tambahan tentang topik yang dibahas, berkaitan dengan nongkrong seperti Kenakalan Remaja, Problem Remaja, Kriminologi dan Remaja serta buku-buku yang bersifat melengkapi seperti yang sejenisnya. Lankah pembahasan yang penulis lakukan dalam penulisan skripsi ini adalah memakai metode deskriptif-analitis20 yaitu menjelaskan hadis Nabi tentang pemaknaan nongkrong dalam hadis tersebut sebagaimana dalam Sharaḥ Fatḥ alBārī karya Ibn Ḥajar al-Asqalānī yang penulis pilih. Adapun pedoman yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah buku “Pedoman Akademik-Tehnik Penulisan Makalah dan Skripsi” yang disusun oleh Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah jakarta, tahun 20062007. F. Sistematika Penulisan Skripsi ini terbagi menjadi empat bab, setiap bab terdiri dari beberapa subsub bab yang dimaksudkan untuk mempermudah dalam penyususnan serta mempelajarinya, dengan sistematika sebagai berikut: Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penilitian, kajian pustaka dan sistematika penulisan. Bab kedua membahas tentang Nongkrong dalam Perspekif Sosiologi Remaja. Juga akan dibahas tentang pengertian nongkrong, faktor yang menyebabkan seseorang/remaja suka nongkrong, dampak positif dan negatif nongkrong, serta bagaimana cara mengatasi remaja yang suka menongkrong. 20
Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan (Yogyakarta: YPI alRahmah, 2001), h. 29.
13
Bab ketiga membahas Kajian Matan Hadis Tentang Nongkrong di Pinggir Jalan yang meliputi di antaranya: Nongkrong dalam pandangan hadis Nabi; seperti Menundukan Pandangan, tidak mengganggu orang yang melintas di jalan, menjawab salam dan menyuruh kebaikan. pembahasan selanjutnya penulis juga membahas tentang penjelasan faedah hadis dan istinbath hukum, kehujjahan hadis, serta Asbabul Wurud hadis Nongkrong di Pinggir jalan. Bab empat, bab ini merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan yang didasarkan pada keseluruhan uraian dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, juga memuat saran-saran yang diperlukan.
BAB II NONGKRONG DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI REMAJA Pada bab ini, penulis mengulas berbagai permasalahan yang dialami oleh kalangan remaja saat ini. Dengan ini penulis bermaksud untuk mengetahui bagaimana kondisi remaja yang suka nongkrong, apakah ada dampak positif ataukah ada dampak negatif yang ditimbulkan. Maka, perlu adanya kajian lebih serius agar memberi manfaat bagi setiap kalangan. Oleh karena itu penulis memberi gambaran sebagai berikut:
A. Pengertian Nongkrong Pengertian nongkrong dalam kamus besar Bahasa Indonesia berasal dari kata tongkrong/ tong.krong/me.nong.krong artinya: “ berjongkok, duduk-duduk saja karena tidak bekerja, berada di suatu tempat 1. Mira mengartikan nongkrong sebagai
kongko-kongko
bersama
teman,
biasanya
seumur,
melibatkan
pembicaraan segala macam hal, mulai dari yang remeh sampai yang serius. 2 Berbeda dengan Andre, ia mengartikan kata itu berarti “sedang duduk nongkrong di suatu tempat/lokasi”. Bisa dilakukan sendiri atau dengan teman-teman. 3 Selain Mira dan Andre, Mantos mengartikan nongkong sebuah kegiatan jongkok sambil ngobrol tidak jelas tujuannya. Bisa memakan waktu sangat lama. 4 Nongkrong, kata ini pasti sudah tidak asing lagi buat anak anak yang bisa di bilang gaul. 1
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari 2014 dari http://kbbi.web.id/tongkrong 2 Mira, “Arti Kata Nongrong”, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari 2014 dari http://kitabgaul.com/word/nongkrong 3 Andre, “Kongkow”, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari 2014 dari http://kitabgaul.com/word/kongkow 4 Mantos, “Nongkrong”, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari 2014 dari http://kamusslang.com/arti/nongkrong
14
15
Dalam beberapa orang nongkrong itu punya arti, sebagian arti nongkrong adalah sebagai tempat ketemu teman dan sharing dan sebagiannya lagi sedang galau.5 Dalam arti lain, nongkrong merupakan gabungan dari dua kata yaitu „ngonkong‟ dan „nagkring‟, namu lebih dikenal sebagai kegiatan berkumpul, berbincang, bercanda dan bersantai disuatu tempat yang dilakukan sendiri ataupun beramai-ramai. 6 Istilah nongkrong mungkin sudah tidak asing lagi dilingkungan masyarakat, ketika mendengar kata nongkrong mungkin yang terbayang adalah anak muda, gitar-gitaran, nyanyi-nyanyian, teriak-teriak, atau kegiatan yang mengacu pada hal yang tidak bermanfaat atau bahkan meresahkan orang sekitar. 7 Di zaman Rasulullah Budaya nongkrong ini sudah tidak bisa lagi dilepaskan dalam lingkungan masyarakat umum. sehingga pada suatu hari Rasul mendapati para sahabat yang asyik menongkrong di pinggir jalan. Rasul bersabda, “Berhati-hatilah duduk-duduk di pinggir jalan”. Para sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, bagi kami sesuatu yang tidak dapat kami tinggalkan. Dalam berkumpul itu kami berbincang-bincang.” Nabi saw menjawab, “Kalau memang suatu keharusan, maka berilah jalan itu haknya.” Mereka bertanya lagi, “Apa yang dimaksud haknya itu, ya Rasulullah?” Nabi saw menjawab, “Palingkan pandanganmu dan jangan menimbulkan gangguan. Jawablah tiap ucapan salam dan ber-amar ma’rūf nahī munkar.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim)
5
Yudha Prayogi, “Arti Nongkrong”, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari 2014 dari http://wekawek.blogspot.com/2012/08/arti-nongkrong.html 6 Shane, “Arti Nongkrong”, artikel ini diakses pada tanggal 15 Januari 2014 dari http://shanexa.wordpress.com/author/shanexa/ 7 Shane, “Apa Sih itu Nongkrong”, artikel ini diakses pada tanggal 15 Januari 2014 dari http://shanexa.wordpress.com/2013/02/13/apa-sih-itu-nongkrong/
16
Melihat penjelasan Nabi di atas, nongkrong bukanlah kegiatan yang dilarang sama sekali dalam Islam, namun ada batasan-batasan disana yang harus ditaati seperti menundukkan pandangan, menjawab salam dan lain sebagainya. namun dikalangan masyarakat umum, nongkrong lebih banyak dilakukan oleh anak-anak muda atau remaja untuk menghabiskan waktu senggang mereka. jika saja hal yang mereka lakukan mengacu pada apa yang telah nabi anjurkan dalam menongkrong, itu akan menjadi kegiatan nongkrong yang positif. Namun faktanya, nongkrong tak lagi banyak memberi manfaat baik bagi pengguna jalan ataupun warga sekitar. kejahatan seperti mabuk-mabukan, mengggoda pengguna jalan, merokok bahkan berjudi menjadi pemandangan yang biasa ditemukan ketika ada sekelompok orang nongkrong di pinggir jalan. Dengan fenomena remaja yang suka nongkrong di tepi jalan, hendaklah ada tindakan-tindakan pencegahan yang dapat mengurangi penjamuran remaja yang suka nongkrong ini karena jika dibiarakan akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Hendaklah para remaja-remaja ini dibimbing dan dibina ke perkumpulan ceramah-ceramah atau tausiah agama, karena selain mempererat kekuatan umat Muslim juga akan menghindari dari dampak negatif nongkrong yang tidak bermanfaat ini. B. Faktor Yang Menyebabkan Remaja Suka Menongkrong Perkembangan sosial pada masa remaja menuntut remaja untuk memisahkan diri dari orang tuanya dan menuju ke arah teman-teman sebayanya. Hal itu merupakan proses perkembangan remaja, yaitu bahwa secara naluriah
17
anak itu mempunyai dorongan untuk berkembang dari posisi “dependent” (ketergantungan) ke posisi “independent” (bersikap mandiri). Melepaskan diri dari orang tuanya merupakan salah satu bentuk dari proses perkembangan tersebut.8 Menurut Erikson ditinjau dari perkembangan sosial menamakan proses ini sebagai pencarian identitas diri, yaitu menuju pembentukan diri ke arah individualitas yang mantap dimana hal ini merupakan aspek penting dalam perkembangan diri menuju kemandirian.
Remaja
adalah
tingkat
perkembangan anak yang telah mencapai jenjang menjelang dewasa, pada jenjang ini kebutuhan remaja telah cukup kompleks, cakrawala interaksi sosial dan pergaulan remaja telah cukup luas. Dalam penyesuaian diri terhadap lingkungannya, remaja telah mulai memperlihatkan dan mengenal berbagai norma pergaulan, yang berbeda dengan norma yang berlaku sebelumnya di dalam keluarganya, Remaja menghadapi berbagai lingkungan, bukan saja bergaul dengan berbagai umur. Dengan demikian, remaja mulai memahami norma pergaulan dengan kelompok remaja, kelompok anak-anak, kelompok dewasa, dan kelompok orang tua.
8
h. 123.
Syamsu Yusuf, Psikologi perkembangan Anak dan Remaja (Jakarta: Citra Press, 2001),
18
Kehidupan sosial remaja ditandai dengan menonjolnya fungsi intelektual dan emosional. Remaja sering mengalami sikap hubungan sosial yang tertutup sehubungan dengan masalah yang dialaminya. Menurut Erick Erison, bahwa masa remaja terjadi masa krisis, masa pencarian jati diri. Dia berpendapat bahwa penemuan jati diri seseorang didorong oleh sosiokultural.Pergaulan remaja banyak diwujudkan dalam bentuk kelompok-kelompok, baik kelompok besar maupun kelompok kecil. 9 Faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja terbagi menjadi dua bagian, yakni faktor remaja itu sendiri (internal) dan faktor dari luar (eksternal). 1. Faktor Internal Krisis identitas: Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan ramaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua. Kontrol diri yang lemah: Remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku „nakal‟. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya. 2. Faktor Eksternal Faktor ini sangat berpengaruh besar terhadap remaja saat ini, antara lain:
9
Sari Yunita, Fenomena dan tantangan Remaja Menjelang Dewasa (Yogyakarta: Brilliant Books, 2011), h. 30-31.
19
a. Keluarga dan Perceraian orangtua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, atau perselisihan antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja. Ini menunjukkan bahwa faktor yang berkenaan dengan orangtua secara umum tidak mendukung banyak, sedangkan sikap sekolah ternyata dapat menjembatani hubungan antara kenakalan teman sebaya dan prestasi akademik.10 b. Teman sebaya yang kurang baik Teman sebaya adalah hubungan individu pada anak-anak atau remaja dengan tingkat usia yang sama serta melibatkan keakraban yang relatif besar dalam kelompoknya.11 c. Komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik. 12 C. Dampak Positif dan Negatif dari Nongkrong Kegiatan ini banyak sekali dilakukan oleh banyak orang bahkan hampir semua orang. Kegiatan “nongkrong” di sini ialah berkumpul dalam suatu kumpulan untuk menbicarakan pelajaran (berdiskusi),
berkumpul untuk
melakukan ekstrakulikuler dan lain-lain. Contohnya yaitu wawasan dapat
10
Atmasasmita Romli, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja (Bandung: Yuridis Sosk Kriminologi, 1993), h. 56. 11 Jhon W santrock, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), h. 114. 12 Haryanto, “Kenakalan Remaja”, artikel ini diakases pada tanggal 23 Maret 2014 dari http://belajarpsikologi.com/kenakalan-remaja/
20
bertambah, saling memahami sesama teman, saling bertukar pikiran dengan sesama teman “nongkrong” dan masih banyak lagi. Tujuan utama nongkrong dalam kegiatan positif adalah meningkatkan generasi muda yang berakhlak mulia, bermoral yang baik, berbudi pekerti yang baik, sedangkan tujuan yang lain adalah menunjang kreavitas generasi muda dan mengikuti semua kegiatan yang baik guna melancarkan komunikasi antarpelajar, di samping itu pula dapat meningkatkan minat siswa dan mengembangkan bakat pada diri siswa, namun bila dikaitkan program di sekolah tujuan “nongkrong” yang bersifat positif yaitu: 1. Menanamkan rasa cinta kepada Sang Pencipta contohnya mengikuti kegiatan Rohis dan Rokris. 2. Mempererat tali silaturrahmi antarpelajar. 3. Mengarahkan siswa agar tidak terjerumus pada hal-hal yang negatif. 4. Membuat siswa agar dapat bertemu dengan temannya. 5. Meningkatkan rasa kepedulian antar siswa.13 Adapun dampak nongkrong, nongkrong biasanya identik dengan menghabiskan waktu secara sia-sia bersama dengan teman-teman. Sebenarnya masih ada banyak kegiatan bermanfaat lain yang bisa dilakukan, namun karena faktor solidaritas sesama teman, bisa memaksa seseorang yang tidak suka nongkrong menjadi anak nongkrong. Orang yang gemar nongkrong akan rela menghabiskan banyak waktunya untuk berkumpul dengan teman-temannya.
13
Suli, “Mengharap Generasi Penerus Bangsa”, artikel ini diakses pada 14 Mei 2014 dari http://nongkrongdisiniyuk.blogspot.com/2012/05/mengharap-generasi-penerus-bangsa.html
21
Hal yang sering dijumpai ketika ada satu perkumpulan biasanya pembahasan yang mereka bicarakan tidak luput dari membicarakan seseorang terlebih mereka sering membahas tentang kekurangannya.
inilah yang
dikhawatirkan pula oleh nabi sehingga beliau pun juga menganjurkan untuk menjauhi nongkrong di pinggir jalan sebab tepi jalan adalah majelis setan seperti hadis beliau yang berbunyi; 14
)ا َف ِإ َّن َف ا َف ِإ يٌلا ِإ ْن ا ُس ِإُسيا ا َّن .(ل ْن َف ِإاا َف ِإ ا الَّن ِإاا
“Sesungguhnya (tepi) jalanan itu adalah salah satu dari jalan-jalan setan atau neraka”. Berkumpul tanpa tujuan yang jelas, tentu saja dapat menyebabkan membuang waktu yang sangat berharga dengan percuma.
Ketika hal ini
dilakukan di pinggir jalan, maka tidak hanya membuang waktu, kemungkinan untuk menimbulkan keburukan juga meningkat. Beberapa kegiatan/aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang yang suka nongkrong: 1. Ghibah (membicarakan keburukan orang lain) Nongkrong adalah tempat faforit untuk berkumpul bersama teman-teman. Banyak hal yang dilakukan disaat menongkrong salah satunya adalah mengobrol, biasanya obrolan yang paling asyik diperbincangkan adalah menceritakan kejelakan seseorang. Seorang muslim menggunjing saudaranya sesama muslim tanpa merasa berdosa sedikitpun. Mereka asyik dengan gunjingannya itu, dan puas mengupas tuntas kejelekan, kelemahan, dan kesalahan saudaranya, yang
14
Lihat Fatḥ al-Bārī, 11/12-13
22
semestinya dicintai, dikasihi dan dijaga nama baiknya karena Allah. Inilah yang disebut dengan ghibah. Secara bahasa, kata “ghibah” ( )غ ةberasal dari akar kata “ghāba, yaghību” ( )غ بايغ بyang artinya tersembunyi, terbenam, tidak hadir, dan tidak tampak. Kita sering menyebut kata “ghaib”, yang berarti tidak hadir. Pengertian ghibah secara istilah adalah mengatakan sesuatu yang benar tentang seseorang di belakangnya tetapi hal itu tidak disukai oleh orang yang dibicarakan. 15 Atau dalam definisi lain ghibah diistilahkan dengan perbuatan membicarakan sesuatu yang terdapat pada diri seorang Muslim, sedang ia tidak suka (jika hal itu disebutkan) baik dalam soal jasmaniahnya, agamanya, kekayaannya,
hatinya,
akhlaknya,
bentuk
lahiriahnya
dan
sebagainya.
Sebagaimana definisi ini telah diterangkan dalam sebuah hadis:
ِ ِ ٍ يل َع ِن الْ َعالَِء َع ْن أَبِ ِيو َع ْن أَِِب ُىَريْ َرةَ أ ََّن َ َُّحدَّثَنَا ََْي ََي بْ ُن أَي ُ وب َوقُتَ ْيبَةُ َوابْ ُن ُح ْجر قَالُوا َحدَّثَنَا إ ْْسَاع ال « ِذ ْك ُرَك َ َ ق. قَالُوا اللَّوُ َوَر ُسولُوُ أ َْعلَ ُم.» ُال « أَتَ ْد ُرو َن َما الْغِيبَة َ َ ق-صلى اهلل عليو وسلم- ول اللَّ ِو َ َر ُس ِ ِ َ أَخ ول فَ َق ِد ا ْغتَْبتَوُ َوإِ ْن ُ ال « إِ ْن َكا َن فِ ِيو َما تَ ُق َ َول ق ُ ُت إِ ْن َكا َن ِِف أ َِخى َما أَق َ ْيل أَفَ َرأَي َ َ ق.» ُاك ِبَا يَكَْره 16 ِ .» ََُلْ يَ ُك ْن ف ِيو فَ َق ْد بَ َهتَّو Dikisahkan Yaḥya bin Ayyūb dan Qutaiba dan Ibn Ḥajar mengatakan Ismā‟īl memberitahu kami tentang Ala dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “(Ghibah itu) adalah engkau mengatakan tentang saudaramu mengenai apa yang ia benci.” Dikatakan kepada beliau: “Apakah pendapatmu jika yang ada pada saudaraku sesuai apa yang saya katakan.” Beliau bersabda: “Jika yang ada padanya sesuai apa yang engkau katakan, maka itulah ghibah, dan jika tidak sesuai yang ada padanya, maka sungguh engkau telah mendustakannya.” (HR. Muslim).
15
Ahmad Syahrin Thoriq, “Ghibah”, artikel ini diakses pada 1 Februari 2014 dari http://nahnudai.blogspot.com/ 16 Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, bāb Taḥrim al-Ghaibah, juz 8, h. 21.
23
Shaikh Abū Isḥāq al-Ḥuwainī menjelaskan dalam sebuah atsar disebutkan bahwa Ibn Mas‟ūd ra berkata:”Ghibah adalah engkau menyebutkan apa yang kau ketahui pada saudaramu, dan jika engkau mengatakan apa yang tidak ada pada dirinya berarti itu adalah kedustaan”,17 Contoh ghibah misalnya kita mengatakan tentang seseorang: ”Dia dari keturunan orang rendahan, atau dia akhlaknya jelek, orang yang pelit, atau dia pendusta, dia tukang makan atau dengan perkataan „si fulan lebih baik dari pada dia‟ dan lain-lain. Ulama sepakat tentang keharaman perbuatan ghibah. Bahkan sebagian para ulama ahli tafsir dan ahli fiqih berpendapat bahwa ia termasuk dari golongan dosa besar. Imām al-Qurṭubī menjelaskan dalam tafsirnya, “Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama bahwa ghibah termasuk dosa besar, dan barang siapa mengghibah seseorang, maka ia harus bertaubat kepada Allah. 18 Sebagaimana firman-Nya: ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا اا ا ا ا ا ااااا ا Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. al-Hujurāt: [49]:12) 17
Kitab al-Samt no 211, berkata Shaikh Abū Isḥāq al-Ḥuwainī: “Rijal-nya (para perawinya) thiqah (terpercaya)” 18 Abū „Abdillāh Muḥammad al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, terj. Fathurrahman dan Ahmad Hotib, Ta‟līq: Muḥammad Ibrahīm al-Hifnawī, takhrīj: Maḥmūd Ḥamid „Uthmān, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), juz 16, h. 109.
24
Dari ayat yang telah disebutkan Allah swt telah menyamakan ghibah dengan perbuatan kanibal, yakni memakan daging sesama manusia yang bahkan telah menjadi bangkai. Ini adalah gambaran sangat buruknya ghibah seperti buruknya kanibalisme yang juga amat sangat dibenci oleh jiwa manusia. Gambaran buruknya perbuatan ghibah juga diberikan oleh Rasulullah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Qais: „Amrū bin Al-„Aṣ ra melewati bangkai seekor bighal (hewan hasil persilangan kuda dengan keledai), lalu beliau berkata, “Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging saudaranya (yang Muslim).” (HR. al-Bukhārī).19 Al-Ᾱmīr al-Ṣan‟ānī menjelakan sebagaimana al-Zarkashī berkata: “Dan sungguh aneh orang yang menganggap bahwasanya memakan bangkai dan daging manusia sebagai dosa besar, (tetapi) tidak menganggap bahwasanya ghibah juga sebagai dosa besar, padahal Allah menempatkan ghibah sebagaimana memakan bangkai daging manusia. Hadis-hadis yang memperingatkan ghibah sangat banyak sekali yang menunjukan kerasnya pengharaman ghibah. 20 Imām al-Ghazālī dan Imām al-Baihāqī meriwayatkan sebuah hadis bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah sekali-kali kamu melakukan pergunjingan, karena pergunjingan itu lebih berat dari perzinaan. Karena, jika seseorang yang berzina kemudian bertobat maka Allah mengampuninya. Sedangkan penggunjing
19
Lihat al-Qurṭubī, al-Jāmi’, h. 110. Muḥammad bin al-Amīr al-Ṣan‟ānī, Subūl al-Salām Syarah Bulūgh al-Marām (Beirut: Dār Ibn Jauzī, 1421), 45. 20
25
tidak
akan
diampuni
Allah,
sebelum
orang
yang
digunjingkan
itu
memaafkannya.” Adapun bahaya ghibah sebagaimana peringatan Allah dan Rasul-Nya tentang larangan berbuat ghibah dalam kehidupan, karena dapat merusak hubungan persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah islāmīyah). Padahal kita diperintahkan
untuk saling
bersaudara,
saling
menghargai,
dan
saling
menguatkan. Ghibah dapat merusak keharmonisan keluarga, tetangga, teman sekerja dan siapapun, bahkan dapat memecah-belah dan meruntuhkan sebuah organisasi atau negara. Sejarah telah membuktikan, bagaimana sebab-sebab terjadinya perpecahan yang melanda umat Islam dulu dan sekarang di antaranya adalah ketika ghibah sudah meraja-lela. Rasulullah saw pernah naik ke atas mimbar dan menyeru dengan suara yang lantang:
ِ ِِ ِ آم َن بِلِ َسانَِو َوََلْ يَ ْف ْي َوالَ تُ َعيِّ ُروا َوالَ تَتَّبِ ُعوا َع ْوَراِتِِ ْم َ ْ ض ا ِإلْْيَا ُن إِ ََل قَ ْلبِو الَ تُ ْؤذُوا املُ ْسلم َ يَا َم ْع َشَر َم ْن فَِنَّوُ َم ْن يَتَّبِ ْ َع ْوَرَة أ َِخْي ِو اْل ُم ْسلِ ِم تَتَّبَ َ اهللُ َع ْوَرتَوُ َوَم ْن يَتَّبَ ِ اهللُ يَ ْف َ ْ وُ لَوُ َولَو َ ْو ِ َر ْحلِ ِو “Wahai segenap manusia yang masih beriman dengan lisannya, namun iman itu belum meresap ke dalam hatinya, janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, dan janganlah kalian melecehkan mereka, dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka. Karena sesungguhnya barangsiapa yang sengaja mencari-cari kejelekan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengorek-ngorek kesalahan-kesalahannya. Dan barang siapa yang dikorek-korek kesalahannya oleh Allah maka pasti akan dihinakan, meskipun dia berada di dalam bilik rumahnya.” (HR. al-Tirmidhī)
26
Demikian juga ghibah bisa menyebabkan rusaknya akhlaq, hati dan jatuhnya kehormatan seorang muslim. Padahal kita diperintahkan untuk menjaga hal-hal tersebut dari kerusakan. 2. Merokok Di antara kemaksiatan yang tersebar di tengah masyarakat Muslim dan banyak orang yang terjebak padanya adalah perbuatan nongkrong dibarengi dengan ghibah dan merokok. Tidak tersembunyi bagi orang yang memahami (maqaṣid sharī’ah) kemaslahatan yang diinginkan oleh syari‟at bahwa merokok adalah perbuatan yang diharamkan, hal itu dilihat dari beberapa segi: Pertama; Rokok termasuk barang yang buruk dan Allah swt telah berfirman: ا ا ا ا ا ا ا اا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا اااا ا ا ا اا ا ا ا “(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggubelenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka Itulah orangorang yang beruntung.” (QS. al-A‟rāf: 157)
27
Tidak diragukan lagi bahwa merokok termasuk keburukan, dan tidak ada yang mengingkari bahayanya kecuali orang yang sombong, atau orang yang mengikuti hawa nafsu, dan banyak orang meminum khamar serta kecanduan dengan obat-obat terlarang karena diawali oleh rokok lalu berkembang kepada yang labih bahaya, sekalipun mereka telah diingatkan: bahwa penelitian medis menunjukkan 80% dari orang yang kecanduan obat-obat terlarang dimulai dari merokok. Kedua; Merokok adalah bentuk menjerumuskan diri pada kehancuran. Allah swt berfirman: “...dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan dan berbuat baiklah, sesungguhnya Allah mencintai orangorang yang berbuat kebaikan”.(QS. al-Baqarah: 195). Di dalam al-Ṣaḥīhainī dari Abī Hurayrah ra bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Barangsiapa yang menelan racun lalu dia membunuh dirinya dengan racun tersebut, maka racun itu akan berada pada tangannya yang akan ditelannya di dalam api nerakan Jahannam dia kekal untuk selamanya padanya, dan barangsiapa yang membunuh dirinya dengan besi, maka besi itu di tangannya yang akan memukul perutnya di dalam neraka Jahannam untuk selama-lamanya”.21 Di dalam al-Ṣaḥīhainī dari Thābit al-Dhahāk bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia maka dia akan disiksa dengannya pada hari kiamat”.22 Dan tidak diragukan lagi bahwa apabila orang yang merokok mati disebabkan oleh rokok tersebut maka dia dianggap telah membunuh dirinya 21 22
Al-Bukhārī no: 5778 dan Muslim: no: 109 Al-Bukhārī no: 6105 dan Muslim: no: 110
28
dengan kandungan racun yang terdapat di dalam rokok sekalipun proses terbunuhnya tersebut agak lambat, sebab tidak ada perbedaan antara para ulama bahwa orang yang melangkah untuk membunuh dirinya baik dia mati dengan cepat atau lambat, dia tetap berdosa dengan perbuatannya tersebut. Ketiga: Merokok dapat mengganggu kesehatan badan. Dan para dokter telah memperingatkan dengan keras terhadap akibat merokok ini, mereka berkata, “Rokok tersebut mengandung beberapa unsur racun, di antaranya adalah racun nikotin, dan seandainya dua tetes racun ini diteteskan pada mulut anjing maka dia pasti mati pada saat yang sama, dan jika diteteskan pada mulut onta sejumlah lima tetes maka dia akan mati pada saat yang sama dan seorang dokter pernah berkata, “Sesungguhnya jumlah nikotin yang teradapat pada satu batang rokok sudah cukup untuk membunuh manusia jika dituangkan pada manusia melalui urat leher, dan disebutkan dalam sebuah cerita bahawa dua orang bersaudara saling bertaruh siapakah di antara mereka berdua yang paling banyak merokok, maka salah seorang dari mereka mati sebelum mengisap rokok yang ke tujuh belas dan yang lain sebelum habis mengisap rokok yang ke delapan belas. Di antara penyakit yang ditimbulkan oleh merokok adalah penyakit kanker. Para dokter berkata, “Sesungguhnya banyak para penderita kanker yang mengidap penyakit ini disebabkan oleh merokok, begitu juga dengan penyakit lever dan saluran alat pernapasan. Diriwayatkan oleh Imām Aḥmad di dalam musnadnya dari Ibn Abbās bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Tidak ada mudharat dan memudharatkan orang lain”.23
23
Musnad Imām Aḥmad: 1/313
29
Keempat: Mengisap
rokok
adalah
bentuk
menyia-nyiakan
harta.
Allah swt berfirman: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudarasaudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.(QS. al-Isrā‟: 27). Tidak diragukan lagi bahwa perokok adalah orang yang paling pemboros, seandainya kita melihat seseorang yang sedang memegang uang di tangannya lalu dia membakarnya maka kita akan mengatakan bahwa dia gila. Diriwayatkan oleh al-Turmudhī di dalam sunannya dari Abī Barzah alAslāmī bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Tidak akan melangkah dua kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga dia akan ditanya tentang umurnya di manakah dia habiskan, tentang ilmunya apakah yang diperbuat dengannya, tentang hartanya dari manakah dia dapatkan dan kemanakah disalurkan”.24 Kelima: Bahaya merokok tidak hanya terhenti pada pelakunya, bahkan bahayanya bisa menyebar kepada istrinya, anak-anaknya, keluarga dan teman duduknya dan hal itu telah diakui oleh para dokter, bahkan tindakan ini telah membawa pada tercemarnya udara dengan gas beracun yang dipancarkannya, dan telah
dijelaskan
dalam
hadits
sebelumnya: Tidak
ada
mudharat
dan
memudharatkan orang lain”.25 Keenam: Merokok akan menimbulkan bau tidak sedap yang bersumber dari mulut, badan dan pakaian perokok, dia akan menganggu teman duduknya, terlebih pada saat memasuki mesjid dan bercampur dengan orang-orang yang shalat.
Nabi
Muhammad saw telah
memerintahkan
kepada
orang
yang
menebarkan bau bawang untuk keluar dari mesjid, padahal kedua barang tersebut 24 25
Al-Turmudhī dalam Sunannya: 4/612 no: 2426 Musnad Imām Aḥmad: 1/313
30
dihalalkan oleh Allah swt, lantas sekeras apakah larangannya jika perkara tersebut berkaitan dengan perokok?. Dan Nabi Muhammad saw bersabda, “Barangsiapa yang telah memakan bawang merah dan bawang putih serta bawang bakung maka janganlah dia mendekati mesjid kita, sebab para malaikat merasa terganggu dengan sesuatu yang bisa menganggu anak Adam”.26 Di antara perkara yang perlu diingat bahwa harus memboikot semua tokotoko yang menjajakan racun kepada manusia, dan sebaliknya mendukung tokotoko yang tidak menjual rokok, dan inilah bentuk kerja sama dalam urusan kebaikan dan taqwa. Allah swt berfirman: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. al-Mā‟idah: 2) Sebagian orang terkadang berkata: Aku tidak bisa meninggalkan rokok, maka dikatakan kepadanya: Anda mampu meninggalkan rokok pada bulan ramadhan lebih dari sepuluh jam, maka masalahnya adalah membutuhkan tekad dan keinginan yang kuat, banyak orang yang telah mencobanya dan merasa bosan pada saat pertama, namun karena Allah swt telah mengetahui kebaikan niatnya maka Dia membantunya dan akhirnya meninggalkan merokok. Allah swt berfirman: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. al-Ankabūt: 69)
26
Ṣaḥīḥ Muslim: no: 564 dan Ṣaḥīḥ al-Bukhārī: no: 854
31
Terdapat banyak klinik untuk menanggulangi kecanduan merokok, yang dikelola oleh orang-orang profesional, dan Allah swt memberikan manfaat dengan keberadaanya sebab banyak para pecandu rokok meninggalkan rokok setelah mereka mendatangi poliklinik ini dan berobat dengan semestinya. Diriwayatkan oleh Imām Aḥmad dari Abī Qatadah dan Abī Daḥma‟ bahwa
Nabi
Muhammad saw bersabda,
“Sesungguhnya
tidaklah
engkau
meninggalkan sesuatu karena Allah kecuali Dia akan menggantikan bagimu dengan sesuatu yang lebih baik darinya”.27 3. Berjudi dan Minum-minuman Keras Secara etimologi, khamr berasal dari kata “khamar” ( ) َف َف َفاyang bermakna satara () َف َف َفا, artinya menutupi. Sedang khammara ( ) َف َّن َفاberarti memberi ragi. Adapun al-khamr diartikan arak, segala yang memabukkan. 28 Adapun menurut tafsir al-Lubāb terdapat empat sebab mengapa disebut khamr. Pertama karena menutupi
akal, kedua dari
kata
“khimār”
yang
bermakna
menutupi
wanita, ketiga dari “al-khamaru” yang berarti sesuatu yang bisa dipakai bersembunyi dari pohon dan tumbuhan atau dengan kata lain semak-semak, dan yang keempat dari “Khāmir” yang bermakna orang yang menyembunyikan janjinya. 29 Secara terminologi, terdapat berbagai qaul ulama mengenai pengertian khamr. Di dalam tafsir al-Alūsī, disebutkan bahwa makna khamr ialah zat yang
27
Musnad Imām Aḥmad dan sanadnya shahih dengan syarat Muslim: 1/62 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 368 29 Tafsir al-Lubāb dalam CD ROM al-Maktabah al-Syamilah (Pustaka Ridwan:2008), h. 57. 28
32
memabukkan dan terbuat dari sari anggur atau semua zat (minuman) yang dapat menutupi dan menghilangkan akal (ا اعقيا
هوا ا سك ا ا خذا اعص ا اعلبا اكيا ايخ
) يغ ها ا ألش بة.30 Sedangkan menurut pendapat Abū Ḥanifah, yang dimaksud khamr adalah nama jenis minuman yang dibuat dari perasan anggur sesudah dimasak hingga mendidih serta mengeluarkan buih dan kemudian menjadi bersih kembali. Sari dari buih itulah yang memabukkan. 31 Dengan definisi ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa menurut Abū Ḥanifah jenis minuman yang tidak terbuat dari anggur tidak disebut khamr melainkan masuk kategori nabīdz () ذ. Ini juga merupakan pendapat ulama-ulama Kuffah, al-Nakhā‟ī, al-Thaurī dan Abī Lailā. Namun menurut penulis sendiri,
baik itu khamr maupun nabīdz ketika
mengandung zat yang dapat memabukkan dan menghilangkan akal, maka hukumnya sama saja, yaitu haram. Sebagaimana sabda Rasulullah ketika ditanya Ᾱ‟ishah tentang hal tersebut:
ِ حدَّثَنَا أَبو اْليم - َالر ْْحَ ِن أ ََّن َعائِ َشة َ َى ق ُّ ب َع ِن َّ َخبَ َرِِن أَبُو َسلَ َمةَ بْ ُن َعْب ِد ِّ الزْى ِر ْ ال أ ْ ان أ َ ٌ َخبَ َرنَا ُش َعْي ََ ُ ِ ِ ، َع ِن اْلبِْت ِ َوْى َو نَبِي ُذ اْل َع َس ِل- صلى اهلل عليو وسلم- ول اللَّو ُ ت ُسئ َل َر ُس ْ َ قَال- رضى اهلل عنها ٍ « ُك ُّل َشر- صلى اهلل عليو وسلم- ول اللَّ ِو َس َكَر فَ ْه َو ُ ال َر ُس َ فَ َق، َُوَكا َن أ َْى ُل اْليَ َم ِن يَ ْشَربُونَو ْ اب أ َ
. » َحَر ٌام
Dikisahkan Abū al-Yamān mengatakan kepada kami Shu‟aib dari Zuhrī mengatakan kepadaku Abū Salamah bin Abd al-Raḥmān meriwayatkan dari Ᾱ‟ishah ra, ia berkata, pernah ditanyakan kepada Rasulullah saw. tentang bit'u (minuman keras yang terbuat dari madu dan biasa dikonsumsi
30
Al-Alūsi, Rūḥ al-Ma’ānī dalam CD ROOM al-Maktabah al-Syamilah (Pustaka Ridwan, 2008) h. 123. 31 Al-Alūsi, Rūḥ al-Ma’ānī dalam CD ROOM al-Maktabah al-Syamilah (Pustaka Ridwan, 2008), h. 167.
33
penduduk Yaman). Lantas Rasulullah saw. bersabda, “Semua minuman yang memabukkan hukumnya haram.”32ا Yang menjadi illat pada hadits tersebut adalah “memabukkan”. Oleh karena itu, minum nabīdz selagi tidak memabukkan itu dipebolehkan. Adapun hadis yang memperbolehkan meminum nabīdz adalah sabda Rasulullah yang diriwayatkan dari Muslim:
ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ان َعن ُُمَا ِر ب ْ ََو َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن َعْبد اللَّو بْ ِن ُُنٍَْْي َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن فُ َ ْي ٍل َحدَّثَنَا ضَر ُار بْ ُن ُمَّرَة أَبُو سن « نَ َهْيتُ ُك ْم َع ِن-صلى اهلل عليو وسلم- ول اللَّ ِو ُ ال َر ُس َ َال ق َ َبْ ِن ِدثَا ٍر َع ْن َعْب ِد اللَّ ِو بْ ِن بَُريْ َد َة َع ْن أَبِ ِيو ق 33 ٍ ِ ِ .» َس ِقيَ ِة ُكلِّ َها َوالَ تَ ْشَربُوا ُم ْس ِكًرا ْ النَّبِيذ إِالَّ ِِف س َقاء فَا ْشَربُوا ِِف األ Sedangkan menurut al-Thabari dalam tafsirnya, al-khamr ialah segala jenis minuman yang dapat menutupi akal
كياش با ّ ا اعقيا س ها اغ ىاعل ه.34
Adapun menurut jumhur ulama‟ (Mālikī, Shāfi‟ī dan Ḥanbalī), yang dimaksud dengan khamr ialah semua zat/barang yang memabukkan baik sedikit maupun banyak. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah saw dari Ibn „Umar:
ِ ِ ٍِ و َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْن الْمثَ ََّّن وُُمَ َّم ُد بْن َح َخبَ َرنَا ْ َع ْن ُعبَ ْيد اللَّو أ- َوُى َو الْ َقطَّا ُن- اِت قَاالَ َحدَّثَنَا ََْي ََي ُ َ ُ ُ َ ال « ُك ُّل ُم ْس ِك ٍر َخٌَْر َوُك ُّل َ َ ق-صلى اهلل عليو وسلم- َِّب َ َنَافِ ٌ َع ِن ابْ ِن ُع َمَر ق ِّ ِال َوالَ أ َْعلَ ُموُ إِالَّ َع ِن الن 35 .» َخَْ ٍر َحَر ٌام Menceritakan Muḥammad bin al-Muthannā dan Muḥammad bin Ḥatim mengatakan kepada kami Yaḥyā al-Qaṭṭān dari „Ubaidillah mengatakan Nāfi‟ dari Ibn „Umar berkata, aku tahu tidak hanya tentang Nabi saw bersabda: Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr itu haram. (HR. Muslim).
32
Lihat Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, hadits no. 5158. Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, bāb al-Nahī „an al-Intibādhī, juz 13, no. 286. 34 Ibn Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī dalam CD ROOM al-Maktabah al-Syamilah (Pustaka Ridwan:2008) h. 34. 35 Lihat Ṣaḥīḥ Muslim, hadits no. 3735. 33
34
Setidaknya ada 26 sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut dengan berbagai macam lafaznya. Kemudian al-Maysir, dalam bahasa Arab, judi disebut ا س, yang berasal daripada
akar
kata yasira atau yasura
yang
bererti
menjadi
mudah
atau yasara (memudahkan). Hal ini dapat difahami kerana judi menjanjikan keuntungan tanpa melalui cara yang wajar sebagaimana diajarkan dalam Islam. Muḥammad Rashīd Riḍā, cendekiawan Islam yang berasal dari Mesir menafsirkan kata maysir dalam al-Qur‟an sebagai permainan untuk mencari keuntungan tanpa menggunakan akal dan bekerja keras. 36 Al-Maisir (perjudian) terlarang dalam syariat Islam, dengan dasar alQur‟an, al-Sunnah, dan ijma‟. Dalam al-Qur‟an, terdapat firman Allah swt, ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا ا اااا ا ا ا Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. al-Ma‟idah: 90). Dari al-Sunnah, terdapat sabda Rasulullah saw dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī,
ٍ ث َعن ُع َقْي ٍل َع ِن ابْ ِن ِشه الر ْْحَ ِن أ ََّن َ َاب ق َّ َخبَ َرِِن ُْحَْي ُد بْ ُن َعْب ِد ْ ال أ َ ْ ُ َحدَّثَنَا ََْي ََي بْ ُن بُ َك ٍْْي َحدَّثَنَا اللَّْي ِ َّال ِِف حلِ ِف ِو بِالال ِ َ « من حل- صلى اهلل عليو وسلم- ول اللَّ ِو ت ُ ال َر ُس َ َال ق َ َأَبَا ُىَريْ َرَة ق َ َ َْ َ َ ف مْن ُك ْم فَ َق ِ َ احبِ ِو تَع ِ ال لِص .» ْ ص َّد َ َ فَ ْليَت. ال أُقَام ْرَك َ َ َ َ َوَم ْن ق. ُ فَ ْليَ ُق ْل الَ إِلَوَ إِالَّ اللَّو. َوالْ ُعَّزى Menceritakan Yahya bin Bakir memberitahu kami Laith tentang „Aqīl Ibn Shihāb mengatakan, mengatakan kepada saya Ḥumaid bin „Abd al36
Rahman, “Pengertian Berjudi dalam Islam dan Jenis Berjudi” artikel ini diakses pada tanggal 12 Februari 2014 dari http://hildadamayanti48.wordpress.com/2012/09/15/pengertianberjudi-dalam-islam-dan-jenis-berjudi/
35
Raḥmān sesungguhnya Abū Hurayrah berkata: Rasulullahsaw bersabda: “Barangsiapa yang menyatakan kepada saudaranya, „Mari, aku bertaruh denganmu.‟ maka hendaklah dia bersedekah.” (HR. Bukhārī dan Muslim).37 4. Terciptanya Aksi Geng Motor Berawal dari sekedar nongkrong, anak-anak muda yang mengatas namakan solidaritas akan menciptakan satu perkumpulan demi mendukung aksi mereka. Menurut beberapa psikolog, remaja itu cenderung hidup berkelompok (geng) dan selalu ingin diakui identitas kelompoknya di mata orang lain. Oleh sebab itu, sikap perilaku yang muncul diantara mereka itu sulit untuk dilihat perbedaannya. Tidak sedikit para remaja yang terjerumus ke dunia hitam, karena pengaruh teman pergaulannya. Karena takut dikucilkan dari kelompok/gengnya, maka seorang remaja cenderung menurut saja dengan segala tindak-tanduk yang sudah menjadi konsensus anggota geng tanpa berfikir lagi plus-minusnya. Maraknya kriminalitas yang dilakukan geng motor terjadi akibat rasa frustasi para remaja yang tidak dapat menyalurkan energinya. “Kita harus melihat fenomena kriminalitas geng motor ini secara menyeluruh. Fenomena sosial ini terjadi akibat perilaku atau tindakan kekerasan yang dicontohkan oleh orang dewasa, termasuk guru dan orang tua serta media yang ditonton masyarakat,” ujar Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak Aris kepada Republika, Jumat (21/2). Lebih lanjut Aris mengatakan, anak-anak dan remaja yang tidak dapat menyalurkan energinya ke arah positif akan cenderung mendaur ulang perilaku kekerasan yang dicontohkan oleh orang dewasa. 37
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, bāb kullu lahwī bi ithli idza shahalihi, juz 21, no. 74. Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, bāb man ḥalafa bi illati wa al-izzī, juz 5, no. 81.
36
Mereka mengimplementasikan perilaku kekerasan itu dalam berbagai bentuk, misalnya perkumpulan geng motor, pencurian, mabuk-mabukan dan bentuk kriminalitas lainnya. Untuk mengatasi kenakalan remaja, termasuk kriminalitas geng motor, tutur Aris, diperlukan pengembangan ketahanan keluarga yang kuat dari segi pendidikan agama, etika, moral dan rumah yang ramah terhadap perilaku anak. Dengan ketahanan keluarga yang kuat, jelas Aris, anak-anak tidak akan mudah terjerumus melakukan tindakan kriminal. 38 Kemudian kita harus mengenal apa itu Geng Motor? Pengertian geng motor adalah sekumpulan orang memiliki hobi bersepeda motor yang membuat kegiatan berkendara sepeda motor secara bersama sama baik tujuan konvoi maupun touring dengan sepeda motor. pengertian geng motor ini sebenarnya berawal dari sebuah kecenderungan hobi yang sama dari beberapa orang, namun belakangan geng motor semakin meresahkan masyarakat. Pengertian geng motor memang melekat dengan kekerasan, hal ini karena beberapa geng motor belakangan telah berubah dari kumpulan hobi mengendarai motor menjadi hobi menganiaya orang, hingga hobi melakukan aksi perampokan. Geng motor awalnya berkembang di kota bandung, namun sekarang geng motor bisa kita temukan hampir di setiap kota seperti Jakarta, Surabaya, Medan bahkan merembet ke kota-kota kecil seperti kediri, malang, siantar dan sebagainya. Semua geng motor sebaiknya dimusnahkan saja, sebab tidak memiliki manfaat
38
Januri, “Kriminalitas Geng Motor Akibat Rasa Frustasi Remaja” artikel ini diakses pada tanggal 14 Februari 2014 dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabeknasional/14/02/21/n1by5d-kriminalitas-geng-motor-akibat-rasa-frustasi-remaja
37
apapun bagi masyarakat, bahkan hanya menyebabkan kenakalan remaja yang parah, juga bahkan menyebabkan pemborosan BBM. 39
39
Siraj “Pengertian Geng Motor-Kenakalan Remaja”, artikel ini diakses „pada tanggal 30 februari 2014 dari http://www.kemhan.com/2012/04/pengertian-geng-motor-kenakalanremaja.html
BAB III KAJIAN MATAN HADIS TENTANG NONGKRONG DI PINGGIR JALAN Pada bab ini adalah bab inti dari penelitian yang penulis lakukan. Penulis dalam bab ini melakukan kegiatan penelitian mengenai kualitas hadis (dari segi sanad dan matan). Langkah pertama dalam bab ini, penulis menampilkan hadis-hadis yang akan diteliti dengan menampilkan juga terjemahnya. Kegiatan selanjutnya, penulis melakukan kegiatan takhrij hadis (untuk memudahkan mengetahui hadis-hadis dengan jalur-jalur sanad yang lain, redaksi-redaksi yang sama, ataupun makna hadis yang sama). A. Nongkrong dalam Pandangan Hadis Abū Sa‘id al-Khudrī ra berkata, bahwa Nabi saw bersabda:
ٍ ٍ ِ َسلَ َم َع ْن َعطَ ِاء بْ ِن ْ َحدَّثَنَا َعْب ُد اللَّو بْ ُن َم ْسلَ َمةَ َحدَّثَنَا َعْب ُد الْ َع ِزي ِز يَ ْع ِِن ابْ َن ُُمَ َّمد َع ْن َزيْد يَ ْع ِِن ابْ َن أ ٍِ ِ َ اا ْد ِري أ ََّن رس ِ َاْللُوس بِالطُّرق ِ َ َصلَّى اللَّوُ َعلَْ ِو وسلَّم ق ات قَالُوا َ ول اللَّو ُ َ ّ ُْ يَ َسا ٍر َع ْن أَِ َسع د َ ََ ُ َ ُْ ال إيَّا ُك ْم َو ِ ول اللَّ ِو ما ب َّد لَنا ِمن ََمالِ ِسنا نَتحد ِ ُ ال رس صلَّى اللَّوُ َعلَْ ِو َو َسلَّ َم إِ ْن أَبَْتُ ْم َ يَا َر ُس ُ ََ َ َ ْ َ ُ َ َ ول اللَّو ُ َ َ َّث ف َها فَ َق الس ََلِم ُّ ص ِر َوَك َ َول اللَّ ِو ق َ يق َحقَّوُ قَالُوا َوَما َح ُّق الطَّ ِر ِيق يَا َر ُس ُّ ال َغ َّ ف ْاْلَذَى َوَرُّد َ فَأ َْعطُوا الطَّ ِر َ َض الْب ِ .1َّه ُ َع ْن الْ ُمْن َ ِر ْ َو ْاْل َْم ُر بِالْ َم ْع ُروو َوالن Dikisahkan oleh ‗Abdullāh ibn Maslamah mengatakan kepada kami ‗Abd al-‘Azīz berarti putra Muḥammad Zaid berarti anak Aslam dari ‗Atā bin Yasār dari Abū Sa‘id al-Hudrī bahwa Rasulullah saw bersabda: Berhatihatilah duduk-duduk di pinggir jalan. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagi kami sesuatu yang tidak dapat kami tinggalkan. Dalam 1
Diriwayatkan oleh al-Bukhārī dalam Kitāb al-Mudhālim (46), Bāb Afnaitu al-Dūr wa al-Julūs Fihā (22). Lihat Muḥammad Fu‘ād ‗Abd al-Bāqi, Al-Lū‟lū‟ wa Marjān Fimā Ittaqafa „Alaihi al-Shaikhānī al-Bukhārî wa Muslim, terj. Arif Rahman Hakim, Kumpulan Hadis Ṣaḥiḥ Bukhārī-Muslim (Sukoharjo Jawa Tengah: Insan Kamil Solo, 2013), cet. 11, h. 641-642.
38
39
berkumpul (majelis) itu kami berbincang-bincang.” Nabi Saw menjawab, “Kalau memang suatu keharusan maka berilah jalanan itu haknya.” Mereka bertanya lagi, “Apa yang dimaksud haknya itu, ya Rasulullah?” Nabi Saw menjawab, “Palingkan pandanganmu (dari memandang kaum wanita) dan jangan menimbulkan gangguan. Jawablah tiap ucapan salam dan beramar ma‟ruf nahi mungkar.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim). Makna lafadz Hadis ِإ َّي ُكا ْم
Adalah kalimat yang digunakan untuk mentahdzir (memberikan peringatan keras) terhadap sesuatu.
ا الُّط ُكس َق ِإ
Adalah jama' dari طسق, mufrodnya adalah طس قsehingga kalimat ini adalah merupakan (جمع اجمعdobel jama').
ُّط ا َقل َق ِإس
ال بُك َّيد
Tempat menghindar atau lari.
ا َقل ُّط
Yaitu menahan.
َق
Menundukkan pandangan dari yang diharamkan.
َقز ُّطد ا َّيسالَق ِإم
Menjawab salam orang yang lewat.
َقا ُّط ألَق َقذى
Tidak mengganggu orang yang lewat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Ibn Ḥajar menjelaskan bahwa konteks hadis dapat diketahui bahwa larangan itu bersifat tanzih (menjahui hal-hal yang dibenci atau tidak baik), agar orang yang duduk tidak kewalahan menunaikan kewajibannya. Adapun perintah untuk menundukkan pandangan adalah sebagai isyarat untuk menghindari fitnah (godaan) yang ditimbulkan oleh orang yang lewat, seperti wanita dan lainnya.
40
Sedangkan perintah menahan gangguan adalah sebagai isyarat untuk menjahukan diri dari perbuatan menghina dan membicarakan keburukan orang lain. Lalu, perintah menjawab salam adalah sebagai isyarat untuk menghormati orang yang lewat. Sementara amar ma'rūf nahī munkar adalah isyarat untuk menerapkan semua yang diisyaratkan dan meninggalkan semua yang tidak disyaratkan. 2 Ibn Ḥajar juga menjelaskan bahwa hadis di atas terdapat hujjah bagi mereka yang mengatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan metode sādd al-dzari‟ah (menutup pintu kerusakan) hanya merupakan anjuran melakukan perbuatan yang lebih utama, bukan suatu keharusan, sebab pada awalnya Nabi saw melarang nongkrong (duduk-duduk) untuk menghilangkan kerusakan dari akarnya. Namun, ketika mereka mengatakan ―Tidak ada pilihan lain bagi kami kecuali duduk di tempat itu‖.3 Dengan demikian, larangan pertama hanya sebagai bimbingan kepada apa yang lebih baik, termasuk kebiasaan remaja saat ini. Dari hadis ini dapat disimpulkan pula bahwa menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada meraih kemaslahatan. Hal itu dikarenakan pada mulanya Nabi saw menganjurkan mereka untuk tidak nongkrong di jalanan, meskipun bagi yang menunaikan hak jalan akan mendapatkan pahala. Yang demikian itu karena berhati-hati untuk mencapai keselamatan lebih ditekankan dari pada ingin mendapatkan tambahan kebaikan. 4
2
Al-Imām al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-Asqalanī, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, terj. Amiruddin, Fatḥ al-Bārī: Penjelasan Kitab Ṣaḥiḥ al-Bukhārī (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 57. 3 Al-Imām al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-Asqalanī, Fatḥ al-Bārī Syar Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, terj. Amiruddin, Fatḥ al-Bārī: Penjelasan Kitab Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, h. 57. 4 Al-Imām al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-Asqalanī, Fatḥ al-Bārī Syar Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, terj. Amiruddin, Fatḥ al-Bārī: Penjelasan Kitab Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, h. 58.
41
Redaksi matan hadis tentang nongkrong di pinggir jalan
tersebut
menjelaskan tentang salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang yang duduk di pinggir jalan. Kewajiban tersebut ialah mencegah diri dari ucapan maupun perbuatan yang dapat menyakiti para pengguna jalan. Namun, apabila redaksi matan tersebut dilihat dengan pendekatan dilālah al-ishārah, maka akan dapat ditarik suatu makna yang dapat memberikan suatu pemahaman tentang hak yang seharusnya diterima oleh para pengguna jalan. Hak tersebut adalah terhindar dari ucapan maupun perbuatan negatif dari orang-orang yang duduk di pinggir jalan. Atau dengan kata lain mereka merasa aman dan nyaman melewati jalan sebab tidak ada ucapan maupun perbuatan yang dapat mengganggu mereka dalam melewati jalan. Suatu saat Rasulullah saw berjalan melewati beberapa orang sahabat yang sedang duduk-duduk di pekarangan rumah salah seorang dari mereka. Di antara mereka adalah Abū Ṭalḥaḥ ra, lalu beliau menegur mereka agar tidak melakukan hal itu. Namun para sahabat menyampaikan kepada Rasulullah saw, bahwa mereka perlu duduk-duduk untuk memperbincangkan suatu urusan. Lalu Nabi saw berpesan kepada mereka, bahwa jika memang hal itu diperlukan dan tidak bisa ditinggalkan, maka mereka wajib memenuhi hak-hak orang lain yang melewati mereka, di antaranya yang disebutkan dalam hadis ini ada empat macam hak, yaitu:
42
1. Menundukan Pandangan Secara bahasa, ُّط الَق َق ِإس
( َقgadhdh al-baṣar) berarti menahan, mengurangi
atau menundukkan pandangan5. Namun bukan berarti menutup atau memejamkan mata hingga tidak melihat sama sekali. Yang dimaksud ال س
di sini adalah
menjauhkan atau menjaga pandangan dari sesuatu yang di haramkan, 6 seperti melihat wanita-wanita yang melintas atau menggunakan jalan. Memandang pada sesuatu yang diharamkan rentan dengan timbulnya fitnah dan perbuatan maksiat. Untuk menghindari timbulnya fitnah tersebut, maka bagi orang-orang yang duduk-duduk di jalan harus mampu untuk menjaga pandangan mereka dari sesuatu yang dapat menimbulkan fitnah dan perbuatan dosa. Nabi Muhammad saw memerintahkan kepada orang-orang yang sedang duduk di pinggir jalan untuk menjaga pandangan, agar mereka terhindar dari timbulnya fitnah
sebab memandang orang-orang yang lewat baik laki-laki
maupun perempuan.7 Substansi makna yang terkandung dalam redaksi tersebut menjelaskan tentang kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang yang duduk-duduk di pinggir jalan. Kewajiban tersebut adalah menjaga pandangan mereka dari sesuatu yang bisa menimbulkan fitnah. Sedangkan redaksi yang menjelaskan tentang hak yang harus diterima oleh para pengguna jalan secara teks tidak disebutkan. Namun, apabila teks tersebut dipahami dengan menggunakan dilālah al-ishārah,
Berasal dari kata َق َّيyang berarti ( َقا َّيmenahan) atau ( َقو َق َقmengurangi) atau َق َق َق (menundukkan). Lihat: Tajul „Arus 1/4685, dan Maqāyis al-Lughah 4/306. 6 Abū Ṭayyib Muḥammad Symas al-Ḥāq, „Aun al-Ma‟būd Sharḥ Sunan Abī Dāwud, vol. 13 (Lebanon: Dār al-Fikr, t.th), 115; Ibn Ḥamzah, al-Bayān wa…, vol. 2, 118. 7 Badr al-Dīn, „Umdah al-Qāri…, vol. 13, 13; Aḥmad bin ‗Alī bin Ḥajar al-‗Asqalānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥīḥ Bukhārī (Lebanon: Dār al-Fikr, 1996), vol. 5, h. 407. 5
43
maka substansi makna yang terkandung di dalamnya akan memberikan suatu pemahaman tentang hak yang seharusnya diterima oleh para pengguna jalan. Pemahaman tentang adanya hak tersebut diambil dari kesimpulan redaksi matan yang menjelaskan tentang kewajiban bagi orang yang duduk di pinggir jalan. Ibn Ḥajar menceritakan ,‖Maka Nabi saw menyebutkan gadhdh al-baṣar (menundukkan pandangan) untuk mengisyaratkan keselamatan dari fitnah karena lewatnya para wanita (yang bukan mahram) maupun yang lainnya. Menyebutkan kaff al-adhā (tidak mengganggu atau menyakiti orang) untuk mengisyaratkan keselamatan dari perbuatan menghina, menggunjing orang lain ataupun yang serupa. Menyebutkan perihal ‗menjawab salam‘ untuk mengisyaratkan keharusan memuliakan atau mengormati orang yang melewatinya. Menyebutkan perihal ‗memerintahkan
kepada
mengisyaratkan
keharusan
kebaikan
dan
mengamalkan
melarang apa
kemungkaran‘
yang
disyari‘atkan
untuk dan
meninggalkan apa yang tidak disyari‘atkan.‖ Beliau melanjutkan,‖Dalam hal ini terdapat dalil bagi yang berpendapat bahwa sādd al-dzarā‟ī (menutup jalan menuju keburukan) merupakan bentuk keutamaan saja bukan suatu kewajiban, karena (dalam hadis ini), pertama kali yang Nabi saw larang adalah duduk-duduk (di tempat tersebut) guna memberhentikan mereka dari hal itu. Lalu ketika para sahabat mengatakan ―kami perlu duduk-duduk‖, barulah Nabi saw menjelaskan tujuan pokok dari larangan beliau. Sehingga diketahuilah, bahwa larangan yang pertama kali itu adalah untuk
44
mengarahkan kepada yang lebih baik. Dari sini pula diambil kaidah, bahwa ‗mencegah keburukan lebih diutamakan daripada mendatangkan kebaikan. 8 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa redaksi hadis tersebut apabila dipahami dengan menggunakan dilālah al-'ibārah, maka akan memberikan pemahaman bahwa orang yang duduk di pinggir jalan harus bisa menjaga pandangan mereka dari sesuatu yang diharamkan agar terhindar dari timbulnya fitnah.9 Sedangkan hak yang seharusnya diterima oleh para pengguna jalan dapat dipahami dengan menggunkan dilālah al-isyārah bahwa mereka berhak terhindar dari pandangan orang yang duduk di pinggir jalan yang bisa menimbulkan fitnah. Dengan kata lain— ُّط الَق َق ِإس
( َقgadhdh al-baṣar) adalah—menahan pandangan
dari apa yang diharamkan oleh Allah swt dan rasul-Nya10. Sebagaimana firmanNya dalam QS. al-Nūr: 30-31:
8
Aḥmad bin ‗Alī bin Ḥajar al-‗Asqalānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥīḥ Bukhārī, vol. 11,
h.135 9
Luqman, ―Menahan Pandangan‖, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari 2014 dari http://hikmah32.wordpress.com/2010/05/31/menahan-pandangan-gadh-dhul-bashar/ 10 Tafsir al-Ṭabarī 19/154, Ibn Kathīr 6/41
45
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau puteraputera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau puteraputera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. al-Nūr: 30-31). Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. al-Isrā‘: 36) Bagaimana jika tidak sengaja melihat kepada sesuatu yang diharamkan untuk melihatnya? Jawabannya ada pada hadits yang diriwayatkan oleh al-Imām Abū Dawd tentang pesan Nabi saw kepada ‗Alī bin Abī Ṭālib ra. :
ِ ِِ ِ ِ ُ ال رس ك َ ك ْاْل َ َت ل ْ ُوَل َولَْ َس َ َصلَّى اللَّوُ َعلَْو َو َسلَّ َم ل َعل ٍّ يَا َعل ُّ ََل تُْتبِ ْع النَّظَْرَة النَّظَْرَة فَِإ َّن ل َ ول اللَّو ُ َ َ َق ُْاا ِ َرة Rasulullah saw bersabda kepada ‗Alī: ―Wahai ‗Alī, janganlah engkau ikutkan pandangan pertama dengan pandangan yang lain (berikutnya), sesungguhnya bagimu pandangan yang pertama tidak pandangan yang lainnya (berikutnya).‖
46
2. Tidak Mengganggu Abū Ṭayyīb menjelaskan yang dimaksud
ألذى
اialah mencegah
perbuatan, ucapan maupun isyarat yang bisa menyakiti orang-orang yang lewat dan menggauli mereka dengan baik. 11 Definisi tersebut memberikan suatu pengertian bahwa bagi orang-orang yang duduk di jalan harus menjauhi segala perbuatan, ucapan maupun isyarat yang bisa menyakiti para pengguna jalan. Termasuk kategori
ألذى
اadalah menjauhi ghībah, berprasangka buruk,
menghina orang yang lewat, mempersempit jalan, menakut-nakuti dan mencegah orang yang lewat jalan tersebut. Al-Hāfizh Ibn Ḥajar berkata bahwa kemungkinan yang dikehendaki dengan ألذى
اialah mencegah seseorang jangan sampai menyakiti orang lain.
Maksudnya, bahwa bagi orang yang duduk di jalan harus mampu untuk mencegah dirinya maupun orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang dapat menyakiti orang lain. Menurut al-Qādlī ‗Iyāḍ bahwa yang dikehendaki dengan ألذى
اialah
mencegah dari menyakiti orang yang lewat dengan cara duduk-duduk di jalan sehingga menyebabkan jalan menjadi sempit. Termasuk ألذى
اadalah berkata
dengan baik. Karena perkataan yang baik bisa menyebabkan keharmonisan hubungan diantara sesama. 12 Nabi saw. memerintahkan ألذى
11
اkepada orang-
Al-Allamah al-Muḥaqqīq al-Muḥāddīth al-Kabīr Abū Ṭayyib Muḥammad Shams alḤāq bin Amīr ‗Alī bin Maqsūd ‗Alī Al-Ṣiddīq al-‗Aẓīm Abādī, „Aun Al Ma‟būd „Ala Sharḥ Sunan Abī Dawud, Ta‘līq: Imām Ibn Qayyīm al-Jauzīyah (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), vol. 13, 116. Juga lihat Ibn Ḥamzah al-Ḥusainī, al-Bayān wa al-Ta'rīf fī Asbābi Wurūd al-Ḥadīth, vol. 2, h. 118. 12 Ibn Ḥajar, Fatḥ al-Bārī…, vol. 11, 12.
47
orang yang duduk di pinggir jalan bertujuan agar mereka terhindar dari melakukan perbuatan atau ucapan yang bisa menyakiti orang lain. 13 3. Menjawab Salam Ibn Ḥajar menjelaskan yang dikehendaki dengan زد اسالمdi sini ialah menjawab salam dari orang-orang yang lewat yang mengucapkan salam kepadanya. Dalam menjawab salam ini mengindikasikan adanya menghormati kepada orang-orang yang lewat sehingga mereka merasa aman dan nyaman dalam melewati jalan.14 Dalam redaksi matan Hadis menjelaskan tentang kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang-orang yang ingin tetap melakukan aktifitas duduk-duduk di pinggir jalan. Kewajiban tersebut ialah menjawab salam dari orang-orang yang lewat. Dari pemaknaan semacam itu apabila diambil mafhūm muwāfaqah-nya maka akan memberikan suatu pemahaman bahwa menghormati orang yang sedang lewat merupakan kewajiban yang harus dipenuhi juga. Redaksi matan tersebut juga memberikan suatu isyarat tentang suatu hak yang seharusnya diterima oleh para pengguna jalan. Hak tersebut ialah dihormati dan dijawab salamnya apabila ia mengucapkan salam kepada orang-orang yang duduk dipinggir jalan. Sedangkan dalam redaksi hadis lain menyebutkan bahwa termasuk kewajiban yang harus dilakukan oleh orang-orang yang duduk di pinggir jalan ialah menebarkan salam. Sebagaimana redaksi Hadis di bawah ini:
13 14
Badr al-Dīn, 'Umdah…, vol. 13, 13. Ibn Ḥajar, Fatḥ al-Bārī…, vol. 5, 406; Ibn Hamzah, Al-Bayān wa…, vol. 2, h. 118.
48
ول اللَّ ِو صلى اهلل َ أ ََّن َر ُس: اق َع ِن الْبَ َر ِاء َ أَ ْ بَ َرنَا أَبُو الْ َولِ ِد الطََّالِ ِس ُّى َحدَّثَنَا ُش ْعبَةُ َحدَّثَنَا أَبُو إِ ْس َح ِِ ِ ٍ ُاس جل ِ السبِ َل َوأَفْ ُشوا َ صا ِر فَ َق َّ ني فَ ْاى ُدوا َ « إِ ْن ُكْنتُ ْم َلَ بُ َّد فَاعل: ال َ ْوس م َن اْلَن ُ ٍ َعل و وسلم َمَّر بن 15 ِ » وم َّ َ ُ َوأَع نُوا الْ َمظْل، السَلَ َم Abū al-Walīd al-Ṭayālisī telah menceritakan kepada kami, Shu‘bah telah bercerita pada kami, Abū Ishāq telah bercerita pada kami dari al-Barā: Bahwa Rasulullah saw. lewat bertemu dengan sahabat Anshar yang sedang duduk-duduk, kemudian beliau bersabda: ―Apabila kamu semua tetap melakukannya, maka tunjukkanlah orang yang berjalan, tebarkanlah salam, dan tolonglah orang yang dianiaya.‖ Baik menjawab salam maupun mengucapkan salam pada dasarnya mempunyai tujuan yang tidak berbeda yaitu menghormati orang yang lewat sehingga mereka merasa aman dan nyaman dalam melewati jalan tersebut. Karena mereka merasa bahwa orang-orang yang duduk di pinggir jalan telah memberikan izin untuk melewati jalan tanpa adanya gangguan. Abū ‗Umar berkata bahwa memulai mengucapkan salam itu hukumnya sunat menurut kesepakatan para ulama. Adapun etika dalam memulai salam adalah sebagaimana yang telah disebutkan dalam sebuah Hadis Nabi saw. sebagai berikut:
حدثِن عقبة بن م رم حدثنا أبو عاصم عن ابن جريج ح وحدثِن ُممد بن مرزوق حدثنا روح حدثنا ابن جريج أ ربين زياد أن ثابتا موَل عبد الرمحن بن زيد أ ربه أنو مسع أبا ىريرة يقول قال رسول اهلل صلى اهلل عل و وسلم يسلم الراكب على املاشى واملاشى على القاعد والقل ل على ال ثري ―Uqbah bin Mukram telah menceritakan pada saya, Abū ‗Ᾱṣim telah menceritakan pada kami dari Ibn Juraij. Tahwīl al-sanad Muḥammad bin Marzūq telah menceritakan kepada saya, Rauh telah menceritakan pada kami, Ibn Juraij telah bercerita pada kami, Ziyād telah memberitakan pada saya, bahwa Tsabit telah bercerita kepadanya, bahwa ia telah mendengar Abū Hurayrah berkata: ―Rasulullah saw bersabda: ― Hendaknya orang 15
Al-Dārimī, Sunan…, vol. 2, h. 282.
49
yang naik kendaraan memberi salam pada orang yang berjalan kaki, orang yang berjalan mengucapkan salam pada orang yang duduk, dan orang yang jumlahnya sedikit memberi salam pada orang yang jumlahnya banyak.‖ (HR. Muslim No.4019).16 Adapun menjawab salam hukumnya adalah wajib jika sendirian. Hukum wajib tersebut akan menjadi fardlu kifayah apabila orang yang menjawab salam tersebut jumlahnya banyak. Sebab menjawab salam yang telah dilakukan oleh salah satu dari mereka sudah bisa menggugurkan kewajiban bagi yang lainnya. 17
4. Menyuruh Kebaikan dan Melarang Kejelekan Tentang ―memerintahkan kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari yang munkar‖, maka Allah swt memerintahkannya dalam firman-Nya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali ‗Imrān: 104)
Dan di antara wasiat Luqman kepada anaknya: Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Luqmān: 17). 16
Yang Berkendaraan Memberi Salam Kepada yang Berjalan, dan yang Sedikit Kepada yang Banyak 17 Muḥammad bin Khulaifah al-Washtānī, Ikmāl al-Mu‟allim (Lebanon: Dār al-Kutūb al‗Ilmīyyah, 2008), h. 323.
50
Merealisasikan amar ma‟rūf nahī munkar merupakan salah satu sebab utama diperolehnya kebaikan dan kejayaan oleh pendahulu umat ini (para sahabat), sebagaimana difirmankan oleh Allah swt: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali ‗Imrān : 110). Dari Abū Zhar ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
ِ ِ ((ٌص َدقَة َ ص َدقَةٌ َونَ ْه ٌ َع ْن ُمْن َ ٍر َ )) َوأ َْمٌر بالْ َم ْع ُروو Dan menyuruh (manusia) kepada yang baik adalah shadaqah, dan mencegah (mereka) dari perbuatan mungkar adalah shadaqah … [HR Muslim, hadis no. 1674] Demikianlah hak-hak dan adab-adab ketika seseorang duduk-duduk di tepi jalanan, atau yang semisalnya. Al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar menyebutkan adab-adab atau hak-hak jalan yang lain sebagai berikut: -
Berkata yang baik. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Abū Ṭalḥah ra.18
-
Memberi petunjuk jalan kepada musafir dan menjawab orang yang bersin jika dia bertahmid19sebagaimana terkandung dalam hadis Abū Hurayrah ra.
-
Menolong orang yang kesusahan dan menunjukkan jalan bagi orang yang tersesat, sebagaimana tertuang dalam hadis ‗Umar ra dalam riwayat Abū 18
Shahih Muslim, no. 2161 Yakni, bila seorang yang bersin mengucapkan ―alhamdulillah‖, maka yang mendengar wajib mendo‘akannya dengan mengucapkan ―yarhamukallah‖ –semoga Allah merahmatimu 19
51
Dawud20, demikian juga dalam Mursal Yaḥyā bin Ya‘mur dan dalam riwayat al Bazzār. -
Menolong orang yang terzhalimi dan menebarkan salam, seperti dijelaskan dalam hadis al-Barrā‘ ra dalam riwayat Aḥmad dan al-Tirmidhī.
-
Membantu orang yang membawa beban berat, sebagaimana tertuang dalam hadits Ibn Abbās ra dalam riwayat al Bazzār.
-
Banyak berdzikir kepada Allah, sebagaimana teriwayatkan dalam hadis Sahl bin Ḥanif ra dalam riwayat al-Ṭabaranī.
-
Membimbing orang yang bingung, seperti yang terpaparkan dalam hadis Wahshī bin Ḥarb ra dalam riwayat al-Ṭabaranī. Kemudian Ibn Ḥajar mengatakan: ―Semua yang terdapat dalam hadis-
hadis tersebut ada empat belas adab‖. 21 Hal-hal yang tersebut di atas mengandung faidah tentang kesempurnaan Islam yang mengajarkan kepada umatnya tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk yang berkaitan dengan hak-hak jalan dan adab-adab ketika duduk-duduk di tempat-tempat yang biasa dilewati oleh khalayak manusia. Sekaligus menunjukan, kebaikan dan keindahan ajaran Islam, yakni apabila hal-hal di atas diamalkan oleh manusia, niscaya akan mendatangkan kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan mereka di dunia.
20 21
h.13
Hadits no. 4181 Aḥmad bin ‗Alī bin Ḥajar al-‗Asqalānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥīḥ Bukhārī, vol. 11,
52
B. Penjelasan Faedah Hadis dan Istinbath Hukum Di antara tujuan agama kita adalah untuk mengangkat derajat masyarakat Islam kepada hal-hal yang agung, kemuliaan akhlaq dan keluhuran etika. Sebaliknya, menjauhkan seluruh elemennya dari setiap budipekerti yang jelek dan pekerjaan yang hina. Islam juga menginginkan terciptanya masyarakat yang diliputi oleh rasa cinta dan damai serta mengikat mereka dengan rasa persaudaraan (ukhuwwah) dan kecintaan. Hadits diatas menunjukkan kesempurnaan dienul Islam dalam syari‘at, akhlaq, etika, menjaga hak orang lain serta dalam seluruh aspek kehidupan. Ini merupakan tasyr‘i yang tidak ada duanya dalam agama atau aliran manapun. Asal hukum terhadap hal yang berkenaan dengan ―jalan‖ dan tempattempat umum adalah bukan untuk dijadikan tempat duduk-duduk, karena implikasinya besar, diantaranya: 1) Menimbulkan fitnah 2) Mengganggu orang lain baik dengan cacian, kerlingan ataupun julukan 3) Mengintip urusan pribadi orang lain 4) Membuang-buang waktu dengan sesuatu yang tidak bermanfaat. Rasulullah saw dalam hadis diatas memaparkan sebagian dari kode etik yang wajib diketahui dan dipatuhi oleh para pengguna jalan, yaitu: 1) Memicingkan mata dan mengekangnya dari melihat hal yang haram; sebab ―jalan‖ juga digunakan oleh kaum wanita untuk lewat dan memenuhi kebutuhan mereka. Jadi, memicingkan mata dari hal-hal yang diharamkan termasuk kewajiban yang patut diindahkan dalam setiap situasi dan
53
kondisi. Allah berfirman: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: “Hendaklah
mereka
menahan
pandangannya,
dan
memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS. al-Nūr [24]: 30). 2) Mencegah adanya gangguan terhadap orang-orang yang berlalu lalang dalam segala bentuknya, baik skalanya besar ataupun kecil seperti menyakitinya dengan ucapan yang tidak layak; cacian, makian, ghibah, ejekan dan sindiran. Bentuk lainnya adalah gangguan yang berupa pandangan ke arah bagian dalam rumah orang lain tanpa seizinnya. Termasuk juga dalam kategori gangguan tersebut; bermain bola di halaman rumah orang, sebab dapat menjadi biang pengganggu bagi tuannya, dan lainnya. 3) Menjawab salam; para ulama secara ijma‘ menyepakati wajibnya menjawab salam. Allah swt berfirman: “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah pernghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah (dengan yang serupa)…”. (QS. al-Nisa‘ [4]: 86). Dalam hal ini, seperti yang sudah diketahui bahwa hukum memulai salam adalah sunnah dan pelakunya diganjar pahala. Salam adalah ucapan hormat kaum muslimin yang berisi doa keselamatan, rahmat dan keberkahan. 4) Melakukan amar ma‘ruf nahi mungkar; ini merupakan hak peringkat keempat dalam hadits diatas dan secara khusus disinggung disini karena
54
jalan dan semisalnya merupakan sasaran kemungkinan terjadinya banyak kemungkaran. 5) Banyak nash-nash baik dari al-Kitab maupun al-Sunnah yang menyentuh prinsip yang agung ini, diantaranya firman Allah swt: ―dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan dan menyuruh kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari yang mungkar…‖. (QS. Āli ‗Imrān: [3]: 104). 6) Dalam hadis Nabi saw bersabda: ―barangsiapa diantara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mencegahnya dengan tangannya; jika dia tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya; yang demikian itulah selemah-lemah iman‖. Banyak sekali nash-nash lain yang menyebutkan sebagian dari kode etik yang wajib diketahui dan dipatuhi oleh para pengguna jalan, di antaranya: 1) Berbicara dengan baik, 2) Menjawab orang yang bersin (orang yang bersin harus mengucapkan alhamdulillah sedangkan orang yang menjawabnya adalah dengan mengucapkan kepadanya yarhamukallāh), 3) Membantu orang yang mengharapkan bantuan, 4) Menolong orang yang lemah, 5) Menunjuki jalan bagi orang yang sesat di jalan, 6) Memberi petunjuk kepada orang yang dilanda kebingungan,
55
7) Mengembalikan kezhaliman orang yang zhalim, yaitu dengan cara mencegahnya.22 Kemudian kata ( ِإ َّي ُكا ْم َق ْما ُكج ُك ْم َق...) biasanya digunakan untuk memberi peringatan sebagai perintah agar menjauhi sesuatu yang buruk dan maknanya sama dengan melarangnya. Jadi maknanya adalah ―jauhilah oleh kalian hal tersebut‖ atau ―janganlah kalian melakukan hal itu‖. Seperti dalam sebuah hadis Nabi saw bersabda ( ) ِإ َّي ُكا ْم َق ْما َقل ِإر َقyang artinya, “jauhilah perkataan dusta” atau “janganlah kalian berdusta”. Tapi apakah suatu perintah itu harus berarti wajib, atau apakah suatu larangan harus berarti haram? berikut penjelasannya: -
Kata ( ) الُّط ُكس َق اadalah bentuk jamak dari () الُّطسُكق, sedangkan ( ) الُّطسُكقadalah bentuk jamak dari ( ) الَّي ِإس قyang artinya adalah jalan. Al-Imām al-Bukhārī menyebutkannya dalam judul bab untuk hadis ini di kitab al-Maẓālim dengan ungkapan ( ) ا ُّط ُكع َقد اguna menunjukkan kesamaan makna antara keduanya. Hal itu dikuatkan oleh hadis Abū Ṭalḥah ra dalam Ṣaḥiḥ Muslim, hadis no. 2161 ketika Nabi saw mengungkapkan dengan kata ( ) ا ُّط ُكع َقد اdan Imām Muslim menyebutkannya dalam judul bab untuk hadis ini di kitab al-Salām dengan kata (ق ) الَّي ِإس ِإ. Kemudian Imām al-Bukhārī –dalam judul bab yang sama di kitab al-Maẓālim– menyebutkan kata ( ) َق ْم ِإى َق ا ُّطد ِإز, yang artinya adalah pekarangan (halaman rumah), guna menunjukkan kesamaan hukumnya dengan jalanan (selama pekarangan atau halaman rumah tersebut terbuka dan biasa dilewati oleh orang banyak). Itu didukung dengan hadis Abū Ṭalḥah ra dalam riwayat Muslim, ketika Abū Ṭalḥah ra berkata: 22
Muslim, ―Kode Etik Bagi Pengguna Jalan‖, artikel ini diakses pada 14 Mei 2014 dari http://ranselhijau.wordpress.com/2009/04/18/kode-etik-bagi-pengguna-jalan/#more-231
56
ِول اهلل ِ ُّ ِ ِ مالَ ُ م ولِم ال:ال ُ فَ َ اءَ َر ُس،ودا بِاْلَفْنَِ ِة ً الص ُع َدات ُكنَّا قُ ُع َ َ َ ْ َ َ فَ َق ―Ketika kami sedang duduk-duduk di halaman (pekarangan rumah), lalu datanglah Rasulullah saw kemudian berkata,‘Kenapa kalian duduk-duduk di (tepi) jalanan?‘.‖ Sa‘id bin Manṣūr menambahkan –dengan menukil– dari Mursāl Yaḥyā bin Ya‘mūr ungkapan berikut:
ِ ِ َالش ط ((ان أَ ِو النَّا ِر ْ َّ َّها َسبِ ٌل م ْن ُسبُ ِل َ ))فَِإن Sesungguhnya (tepi) jalanan itu adalah salah satu dari jalan-jalan setan atau neraka.23 Itulah alasan kenapa Nabi saw melarang mereka duduk-duduk di tepi jalanan atau semisalnya. Termasuk pula warung-warung dan balkon-balkon yang tinggi yang berada di atas orang-orang yang lewat.24 -
Perkataan para sahabat ―sesungguhnya kami perlu duduk-duduk untuk berbincang-bincang‖. Dalam riwayat Muslim (hadis no. 2161) dari hadis Abū Ṭalḥah ra terdapat tambahan kata-kata ―dan untuk saling mengingatkan (menasihati)‖. Dari riwayat ini pula diketahui, bahwa yang mengucapkan perkataan tersebut adalah Abū Ṭalḥah ra.25 Al-Qāḍī ‗Iyāḍ berkata,‖Dalam perkataan sahabat tersebut terdapat dalil yang menunjukkan, bahwa perintah Rasulullah saw kepada mereka itu tidak untuk kewajiban, melainkan bersifat anjuran dan keutamaan. Karena, kalau mereka memahaminya sebagai kewajiban, tentu mereka tidak akan merajuk kepada
23
[Lihat Fatḥ al-Bārī, 11/12-13] [Fatḥ al-Bārī, 5/135]. 25 [Lihat Fatḥ al-Bārī, 5/135]. 24
57
Rasulullah saw seperti itu. Dan hal ini dijadikan dalil oleh mereka yang berpendapat bahwa perintah-perintah itu tidak mengandung kewajiban.‖ Ibn Ḥajar berkomentar: ―Namun, ada kemungkinan bahwa mereka mengharapkan adanya nasakh (penghapusan hukum kewajiban tersebut) untuk meringankan apa yang mereka adukan perihal keperluan mereka melakukan hal itu, dan hal ini didukung oleh apa yang tersebut dalam Mursal Yaḥyā bin Ya‘mūr, di sana terdapat kata-kata ‗maka mereka mengira bahwa hal itu merupakan keharusan (kewajiban)‘.‖ -
Perkataan ―jika kalian tidak bisa melainkan harus duduk-duduk, maka berilah hak jalan tersebut‖. Ibn Ḥajar berkata, ‖Dari alur pembicaraan ini jelaslah, bahwa larangan (duduk-duduk di tepi jalanan atau semisalnya) dalam hadis ini adalah untuk tanzih (yang bermakna makruh bukan haram), agar tidak mengendurkan orang yang duduk-duduk untuk memenuhi hak (jalan) yang wajib ia penuhi‖ .26 Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, ―… dan maksudnya adalah bahwa duduk-duduk di tepi jalanan itu dimakruhkan‖.
-
Perkataan ―(hak jalan adalah) ghaḍḍ al-baṣar (menundukkan pandangan), kaff al-adza (tidak mengganggu atau menyakiti orang), menjawab salam, memerintahkan
kepada
kebaikan
dan
melarang
kemungkaran‖. 27
Ibn Ḥajar rahimahullah berkata, ‖Maka Nabi saw menyebutkan ghaḍḍ albaṣar (menundukkan pandangan) untuk mengisyaratkan keselamatan dari fitnah karena lewatnya para wanita (yang bukan mahram) maupun yang 26 27
[Fatḥ al-Bārī, 5/135]. [Syarh Shahih Muslim, 14/120].
58
lainnya. Menyebutkan kaff al-adza (tidak mengganggu atau menyakiti orang) untuk mengisyaratkan keselamatan dari perbuatan menghina, menggunjing orang lain ataupun yang serupa. Menyebutkan perihal ‗menjawab salam‘ untuk mengisyaratkan keharusan memuliakan atau mengormati orang yang melewatinya. Menyebutkan perihal ‗memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran‘ untuk mengisyaratkan keharusan mengamalkan apa yang disyari‘atkan dan meninggalkan apa yang tidak disyari‘atkan.‖ Beliau melanjutkan, ‖Dalam hal ini terdapat dalil bagi yang berpendapat bahwa sadhdh al-dzarā‟i (menutup jalan menuju keburukan) merupakan bentuk keutamaan saja bukan suatu kewajiban, karena (dalam hadits ini), pertama kali yang Nabi saw larang adalah duduk-duduk (di tempat tersebut) guna memberhentikan mereka dari hal itu. Lalu ketika para sahabat mengatakan ―kami perlu duduk-duduk‖, barulah Nabi saw menjelaskan tujuan pokok dari larangan beliau saw. Sehingga diketahuilah, bahwa larangan yang pertama kali itu adalah untuk mengarahkan kepada yang lebih baik. Dari sini pula diambil kaidah, bahwa ‗mencegah keburukan lebih diutamakan daripada mendatangkan kebaikan‘.‖ 28 Imām al-Nawāwī berkata, ‖Nabi saw telah mengisyaratkan tentang alasan larangan beliau, bahwa hal itu dapat menjerumuskan kepada fitnah dan dosa ketika ada para wanita (yang bukan mahramnya) atau selainnya yang melintasi mereka, dan bisa berlanjut hingga memandang ke arah wanita-wanita tersebut (secara bebas), atau membayangkannya, berprasangka buruk terhadap wanitawanita tersebut, atau terhadap setiap orang yang lewat. Dan di antara bentuk 28
[Fatḥ al-Bārī, 5/135].
59
mengganggu atau menyakiti manusia adalah menghina (mengejek) orang yang lewat, berbuat ghibah (menggunjingya) atau yang lainnya, atau terkadang tidak menjawab salam mereka, tidak melakukan amar ma‟rūf nahī munkar, serta alasan-alasan lainnya yang bila dia berada di rumah dapat selamat dari hal-hal seperti itu. Termasuk menyakiti (orang lain) pula bila mempersempit jalan orangorang yang ingin lewat, atau menghalangi para wanita, atau yang lainnya yang ingin keluar menyelesaikan kebutuhan mereka dikarenakan ada orang-orang yang duduk di tepi jalanan.‖29 Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa hasil penelitian matan tidak mesti sejalan dengan hasil penelitian sanad. Karena penelitian Hadis integral satu dengan lainnya yaitu antara unsur-unsur Hadis, maka otomatis penelitian terhadap sanad harus diikuti dengan penelitian terhadap matan. Untuk mengetahui kualitas matan Hadis ini bisa dilakukan dengan cara: 1.
Membandingkan Hadis satu dengan Hadis yang lain yang temanya sama. Kalau dilihat dari beberapa redaksi Hadis di atas, maka Hadis yang driwayatkan dari al-Bukhārī, Muslim dan Aḥmad bin Ḥanbal tidak ada perbedaan yang signifikan dalam matan Hadisnya. ada satu hadis yang diriwayatkan oleh Abū Dawud, al-Tirmidhī dan al-Dārimī berbeda redaksi matannya. Namun, substansi Hadis tersebut tidak bertentangan dengan makna Hadis yang lainnya.30
29
[Syarah Shahih Muslim, 14/120]. Hadis yang diriwayatkan dalam kitab Ṣaḥiḥ al-Bukhārī ِ ٍِ ِ ِ اا ْد ِر ِّي ِ صلَّى اللَّوُ َعلَْ ِو َِّب ن ُْ َسلَ َم َع ْن َعطَاء بْ ِن يَ َسا ٍر َع ْن أَِ َسع د ْ َحدَّثَنَا ُم َعاذُ بْ ُن فَ َ الَ َة َحدَّثَنَا أَبُو عُ َمَر َح ْ ُ بْ ُن َمْ َسَرةَ َع ْن َزيْد بْ ِن أ َ ي َر َ اللَّوُ َعنْوُ َع ْن ال ِّي ِ ِ ِ ِ َال إِيَّا ُكم وا ْْللُوس علَى الطُّرق َّها قَالُوا َوَما َح ُّق الطَّ ِر ِيق َ ََّث فِ َها ق َ ََو َسلَّ َم ق ْ ال فَإِذَا أَبَْتُ ْم إََِّل ال َْم َ ال َ فَأ ُ ات فَ َقالُوا َما لَنَا بُ ٌّد إََِّّنَا ى َ ََمَال ُسنَا نَتَ َحد َ َ ُ َْ َ َعطُوا الطَّ ِر َ يق َحق ُ ِ الس ََلِم وأَمر بِالْمعر وو َونَ ْه ٌ عَ ْن ال ُْمنْ َ ِر ُّ ص ِر َوَك َ َق ُّ َال غ َ َض الْب ُ ْ َ ٌ ْ َ َّ ف ْاْلَذَى َوَرُّد 30
60
Hadis tersebut juga tidak bertentangan dengan akal dengan alasan bahwa
2.
larangan melakukan aktifitas nongkrong di pinggir jalan bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan kewajibannya, maka akan membawa kebaikan bagi dirinya dan juga orang lain. Begitu juga, adanya pembolehan melakukan aktifitas seperti itu disyaratkan harus dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan dari Nabi saw sehingga dapat terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan. Tidak bertentangan dengan sharī‟at Islam, karena tujuan agama Islam ialah
3.
menciptakan kedamaian dan menolak sesuatu yang di benci. 31 Dengan adanya
ِ ٍ َّ ِ َسلَم َع ْن َعطَ ِاء بْ ِن يَسا ٍر َع ْن أَِ َسعِ ٍد ْ ِ ٍِ ي َر ِ اللَّوُ َعْنوُأ َّ صلَّى اللَّوُ َعلَْ ِو َو َسلَّ َم َن النِ َّ َِّب َ َ َحدَّثَنَا َعْب ُد اللو بْ ُن ُُمَ َّمد أَ ْ بَ َرنَا أَبُو َعامر َحدَّثَنَا ُزَىْ ٌر َع ْن َزيْد بْ ِن أ ْ َ ااُ ْدر ِّي َ ِ ِ ِ ال إِيَّا ُكم وا ْْللُوس بِالطُّرقَ ِ يق َحقَّوُ قَالُوا َوَما َح ُّق الطَّ ِر ِيق يَا ات فَ َقالُوا يَا َر ُس َ قَ َ َّث ف َها فَ َق َ ال إِ ْذ أَبَْتُ ْم إََِّل ال َْم ْ ل َ فَأ ْ ول اللَّ ِو َما لَنَا ِم ْن ََمَال ِسنَا بُ ٌّد نَتَ َحد ُ َعطُوا الطَّ ِر َ َْ ُ َ ُ ِ ِ ِ ِ الس ََلم َو ْاْل َْم ُر بال َْم ْع ُروو َوالن َّْه ُ َع ْن ال ُْمنْ َ ِر ص ِر َوَك ُّ ول اللَّو قَ َ َر ُس َ ال غَ ُّ ف ْاْلَذَى َوَرُّد َّ ض الْبَ َ Ṣaḥiḥ Muslim ِ ٍِ ال إِيَّا ُك ْم ي َسلَ َم عَ ْن عَطَ ِاء بْ ِن يَ َسا ٍر عَ ْن أَِ َسعِ ٍد ْ صلَّى اللَّوُ عَلَْ ِو َو َسلَّ َم قَ َ ااُ ْد ِر ِّي عَ ْن النِ ِّي َح َّدثَِِن ُس َويْ ُد بْ ُن َسع د َح َّدثَِِن َح ْ ُ بْ ُن َمْ َسَرةَ عَ ْن َزيْد بْ ِن أ ْ َِّب َ ول اللَّ ِو ما لَنَا ب ٌّد ِمن ََمالِ ِسنَا نَتحد ُ ِ ِ ال رس ُ ِ صلَّى اللَّوُ َعلَْ ِو َو َسلَّ َم فَإِ َذا أَبَْتُ ْم إََِّل ال َْم ْ لِ َ فَأ ْ وس ِِف الطُُّرقَات قَالُوا يَا َر ُس َ َ ُ ْ َ يق َحقَّوُ َعطُوا الطَّ ِر َ ول اللَّو َ ََ َّث ف َها قَ َ َ ُ َوا ْْلُلُ َ ٍ ِ الس ََلِم َو ْاْل َْم ُر بِال َْم ْع ُروو َوالن َّْه ُ َع ْن ال ُْمنْ َ ِر و َحدَّثَنَاه ََْي ََي بْ ُن ََْي ََي أَ ْ بَ َرنَا َعْب ُد ال َْع ِزي ِز بْ ُن ُُمَ َّمد ال َْم َدِينُّ ح و ص ِر َوَك ُّ قَالُوا َوَما َحقُّوُ قَ َ ال غَ ُّ ف ْاْلَذَى َوَرُّد َّ ض الْبَ َ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ َسلَ َم ِبَ َذا ْاْل ْسنَاد مثْ لَوُ َحدَّثَنَاه ُُمَ َّم ُد بْ ُن َراف ٍع َحدَّثَنَا ابْ ُن أَِ فُ َديْك أَ ْ بَ َرنَا ى َشامٌ يَ ْع ِِن ابْ َن َس ْعد ك ََل ُُهَا عَ ْن َزيْد بْ ِن أ ْ Sunan al-Tirmidhī ول اللَّ ِو صلَّى اللَّو علَ ِو وسلَّم مَّر بِنَ ٍ ِ ود بْ ُن َغْ ََل َن َحدَّثَنَا أَبُو َد ُاوَد َحدَّثَنَا ُش ْعبَةُ َع ْن أَِ إِ ْس َح َق َع ْن الْبَ َر ِاء َوَْ يَ ْس َم ْعوُ ِمْنوُ أ َّ صا ِر َو ُى ْم َن َر ُس َ َحدَّثَنَا َُْم ُم ُ اس م ْن ْاْلَنْ َ ُ َْ ََ ََ َ ِ ِ ِ السبِ َل وس ِِف الطَّ ِر ِيق فَ َق َ وم َو ْاى ُدوا َّ ني فَ ُرُّدوا َّ ال إِ ْن ُكنْتُ ْم ََل بُ َّد فَاعل َ الس ََل َم َوأَع نُوا ال َْمظْلُ َ ُجلُ ٌ Sunan al-Dārimī ِ اس جلُ ٍ ِ َن رس َ ِ ِ ِ َل م ت ن ك ن إ « : ال صا ِر فَ َق َ ْ ُ ُْ ْ َ أَ ْ بَ َرنَا أَبُو ال َْولِ ِد الطََّالِ ِس ُّى َحدَّثَنَا ُش ْعبَةُ َحدَّثَنَا أَبُو إِ ْس َح َ وس م َن اْلَنْ َ ول اللَّو صلى اهلل عل و وسلم َمَّر بنَ ٍ ُ اق َع ِن الْبَ َراء :أ َّ َ ُ ِِ ِ وم » السبِ َل َوأَفْ ُشوا َّ ني فَ ْاى ُدوا َّ بُ َّد فَاعل َ السَلََم َ ،وأَع نُوا ال َْمظْلُ َ Musnad Aḥmad bin Ḥanbal ِ ٍ ِ ول اللَّ ِو َ َّ َّ ِ َّ وس َسلَ َم عَ ْن عَطَ ِاء بْ ِن يَ َسا ٍر عَ ْن أَِ َسعِ ٍد ْ ال َر ُس ُ ال قَ َ ي قَ َ ااُ ْد ِر ِّي َحدَّثَنَا عَبْ ُد َّ الر ْمحَ ِن َحدَّثَنَا ُزَىْ ُر بْ ُن ُُمَ َّمد عَ ْن َزيْد بْ ِن أ ْ صلى اللوُ عَلَْو َو َسل َم إيَّا ُك ْم َوا ْْلُلُ َ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ َّ َّ ال ر ط ال ا و ط َع أ ف ل ْم ل ا َل إ م ت َب أ ا ذ إ ا َم أ ف ال ق ا ه ف َّث د ح ت ن د ٌّ ب ا ن س ال َم ن م ا ن ل ا م و ل ال ول س ر ا ي ا و ل ا ول اللَّ ِو فَ َما َح ُّق الطَّ ِر ِيق قَ َ يق َحقَّوُ قَالُوا يَا َر ُس َ َ َ َْ ََُْ َ َ ََ ْ ََ َ ُ ََ َ ُ َ َ َ َّ َ َْ ُ ْ ِِف الطُُّرقَات قَ ُ َ َ ُ ِ ِ ِ الس ََلم َو ْاْل َْم ُر بال َْم ْع ُروو َوالن َّْه ُ َع ْن ال ُْمنْ َ ِر ص ِر َوَك ُّ غَ ُّ ف ْاْلَذَى َوَرُّد َّ ض الْبَ َ ال إِيَّا ُكم وا ْْللُوس بِالطُّرقَ ِ حدَّثَنَا َعب ُد الْملِ ِ ول ك َحدَّثَنَا ِى َش ٌام َع ْن َزيْ ٍد َع ْن َعطَ ِاء بْ ِن يَ َسا ٍر َع ْن أَِ َسعِ ٍد ْ ات قَالُوا يَا َر ُس َ صلَّى اللَّوُ َعلَْ ِو َو َسلَّ َم قَ َ ااُ ْد ِر ِّي ي َع ْن النِ ِّي َِّب َ َ ْ َ َْ ُ َ ُ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ ِ َّ ِ َّ َّ ف ْاْلَذَى َو ْاْل َْم ُر بِال َْم ْع ُروو َوالن َّْه ُ َع ْن ْب ل ا ض غ ال ق و ل ال ول س ر ا ي يق ر ط ال ق ح ا م و ا و ل ا ق ا َّه ق ح يق ر ط ال ا و ط َع أ ف ال ق ا ه ف َّث د ح ت ن د ٌّ ب ا ن س ال َم ن م ا ن ل ا م و ل ص ِر َوَك ُّ َ َ َ ُّ ُّ ُ ُ َ َ َ َ َ َ ْ ََ ََ َ َ َ َ ال َ َ ْ ََ َ ُ ََ َ ُ َ َ َُ ال ُْمنْ َ ِر 31 Shihāb al-Dīn Abī al-‗Abbās Aḥmad bin Muḥammad, Irshād al-Sāri li Sharḥ Ṣaḥīḥ alBukhārī, vol. 13 (Lebanon: Dār al-Kutūb al-‗Ilmīyyah, 2009), h. 238.
61
tuntunan dalam Hadis tersebut, maka akan tercipta saling menghormati dan terhindar dari sesuatu yang dibenci. 4.
Kandungan Hadis di atas tidak bertentangan dengan al-Qur‘ān, bahkan ada kesesuaian dengan surat al-Nūr (24) ayat 30 dan 31, al-Ḥujurāt (49) ayat 11 dan 12, al-Nisā‘ (4) ayat 86, dan al-Taubah (9) ayat 71.
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau puteraputera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau puteraputera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. al-Nūr [24]: 30-31)
62
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Hujurāt [49]: 11-12) “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan balasan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. al-Nisa‘ [4]: 86) “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
63
Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Taubah [9]: 71) Dengan demikian, matan Hadis yang diteliti berkualitas maqbūl. Karena telah memenuhi kriteria-kriteria yang dijadikan sebagai tolak ukur matan Hadis yang dapat diterima. C. Kehujjahan Hadis Dari segi kehujjahan hadis tentang nongkrong di pinggir jalan sudah jelas bahwa hadis ini adalah hadis yang shahih, dilihat dari para perawi yang meriwayatkan hadis ini seperti Imām Bukhārī, Muslim dan lainnya yang sudah teruji kredibilitasnya maka hadis tentang nongkrong di pinggir jalan ini layak untuk dijadikan pegangan atau hujjah. Dengan demikian Hadis ini bisa dijadikan sebagai ḥujjah atau landasan dalam pengambilan sebuah hukum serta bisa diamalkan. Sebab kandungan ajaran moral yang terkandung dalam Hadis ini tidak bertentangan dengan beberapa tolak ukur yang dijadikan barometer dalam penilaian, bahkan kandungan Hadis ini selaras dengan pesan moral yang terdapat dalam al-Qur‘an. D. Asbabul Wurud Sabāb al-wurūd Hadis yang dijadikan sebagai obyek penelitian ialah adanya pertanyaan dari sahabat tentang hak jalan yang harus dipenuhi oleh orangorang yang duduk di pinggir jalan setelah mereka menyatakan keberatan atas larangan dari Nabi saw. 32
32
Ibn Ḥamzah al-Ḥusainī al-Ḥanafī, Al-Bayān wa al-Ta'rīf fī Asbāb Wurūd al-Ḥadīth alSharīf, vol. 2 (Madinah: Al-Thaqafah, 1999), h. 118.
64
Dalam redaksi Hadis yang diteliti terdapat susunan kata
اج
ا
yang
menurut ulama ahli nahwu disebut sebagai susunan اتحر س. Taḥdhīr adalah ungkapan untuk mengingatkan mukhāṭāb agar menjauhi hal yang dibenci. Pada dasarnya susunan taḥdhīr mencakup pada tiga hal, yaitu: 1) Al-Muḥadhdhīr, ialah orang yang mengingatkan; 2) Al-Muḥadhdhār, ialah orang yang diingatkan; dan 3) Al-Muḥadhdhār minhu, ialah sesuatu yang diharapkan untuk dijauhi. 33 Tiga komponen di atas apabila diterapkan dalam susunan taḥdhīr yang terdapat dalam matan Hadis, maka al-Muḥādhdhīr-nya adalah Rasulullah saw. Sedangkan al-Muḥadhdhār-nya ialah sahabat Nabi, dan Muḥadhdhār minhu-nya berbentuk aktifitas duduk-duduk di jalan. Substansi makna yang terkandung dalam Hadis tersebut pada dasarnya berisi larangan untuk melakukan aktifitas duduk-duduk di jalan. Hal ini bisa dilihat dari adanya teguran Nabi kepada para sahabatnya yang sedang melakukan akifitas duduk-duduk di jalan. Imām al-Qurṭubī berkata bahwa para ulama memahami larangan tersebut bukan bersifat haram, tetapi larangan tersebut lebih mengarah kepada سد ارز ئع (mencegah sesuatu yang menjadi perantara timbulnya perbuatan yang negatif) dan menunjukkan sesuatu kebaikan.34 Perkataan para sahabat ―sesungguhnya kami perlu duduk-duduk untuk berbincang-bincang‖. Dalam riwayat Muslim (hadis no. 2161) dari hadis Abū Ṭalḥah ra terdapat tambahan kata-kata ―dan untuk saling mengingatkan
33
Jamāl al-Dīn ‗Abdullāh bin Hishām, Audlah al-Masālik, vol. 4 (Lebanon: Dār al-Fikr, 1994), h. 70. 34 Badr al-Dīn Abī Muḥammad Maḥmūd bin Aḥmad al-‗Ainī, „Umdah al-Qarī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, vol. 13 (Lebanon: Dār al-Fikr, t.th), 13.
65
(menasihati)‖. Dari riwayat ini pula diketahui, bahwa yang mengucapkan perkataan tersebut adalah Abū Ṭalḥah ra.35 Al-Qāḍī ‗Iyāḍ berkata,‖Dalam perkataan sahabat tersebut terdapat dalil yang menunjukkan, bahwa perintah Rasulullah saw kepada mereka itu tidak untuk kewajiban, melainkan bersifat anjuran dan keutamaan. Karena, kalau mereka memahaminya sebagai kewajiban, tentu mereka tidak akan merajuk kepada Rasulullah saw seperti itu. Dan hal ini dijadikan dalil oleh mereka yang berpendapat bahwa perintah-perintah itu tidak mengandung kewajiban.‖ Ibn Ḥajar rahimahullah berkomentar: ―Namun, ada kemungkinan bahwa mereka mengharapkan adanya nasakh (penghapusan hukum kewajiban tersebut) untuk meringankan apa yang mereka adukan perihal keperluan mereka melakukan hal itu, dan hal ini didukung oleh apa yang tersebut dalam Mursāl Yaḥyā bin Ya‘mūr, di sana terdapat kata-kata ‗maka mereka mengira bahwa hal itu merupakan keharusan (kewajiban)‘.‖ 36 •
Perkataan ―jika kalian tidak bisa melainkan harus duduk-duduk, maka berilah hak jalan tersebut‖. Ibn Ḥajar berkata,‖Dari alur pembicaraan ini jelaslah, bahwa larangan (duduk-duduk di tepi jalanan atau semisalnya) dalam hadis ini adalah untuk tanzih (yang bermakna makruh bukan haram), agar tidak mengendurkan orang yang duduk-duduk untuk memenuhi hak (jalan) yang wajib ia penuhi‖. Imām al-Nawāwī rahimahullah berkata, ―… dan maksudnya adalah bahwa duduk-duduk di tepi jalanan itu dimakruhkan‖. 37
35
[Lihat Fatḥ al-Bārī, 5/135]. Aḥmad bin ‗Alī bin Ḥajar al-‗Asqalānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥīḥ Bukhārī, vol. 11 (Lebanon: Dār al-Fikr, 1996), 11. 37 [Syarh Shahih Muslim, 14/120]. 36
66
Menurut Al-Qādli ‗Iyādl, larangan ini tidak menunjukkan hukum wajib. sebab jika di fahami demikian niscaya para sahabat tidak menyatakan rasa keberatannya atas larangan Nabi seraya berkata:
م بد اى مه مج اسى وتحدث ه,
ungkapan inilah yang menjadi landasan bahwa larangan itu tidak wajib. Al-Hāfizh Ibn Hajar berkata bahwa pernyataan sahabat tersebut mengandung kemungkinan adanya harapan sahabat supaya hukum larangan tersebut di-naskh oleh Nabi saw.38 Mendengar keberatan para sahabatnya atas larangan itu, maka Nabi saw. mensyaratkan pada mereka beberapa hal yang harus di patuhi ketika duduk-duduk dijalan seraya bersabda: الس ق ح ه
عل
ن ب تagar terhindar dari hal-hal yang
bisa menimbulkan kerusakan. Maksudnya adalah jika seseorang tidak dapat menghindar kecuali harus duduk-duduk dijalan untuk mengadakan perjanjian, membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan urusan-urusan agama maupun kemaslahatan urusan dunia, dan menghibur diri dengan berbicara sesuatu yang diperbolehkan oleh sharā‟, maka ia harus memenuhi hak-hak jalan yang diajarkan oleh Nabi saw.39 Dalam Hadis tersebut Rasulullah saw. melarang duduk di pinggir jalan. Kemudian beliau membolehkannya dengan catatan harus menunaikan hak-hak jalan tersebut sebagai syarat pembolehannya. Larangan tersebut ditujukan bagi mereka yang tetapi ingin duduk di pinggir jalan tetapi tidak menunaikan syaratsyarat tadi. Padahal duduk di tempat tersebut dibolehkan bagi mereka yang dapat menjamin dirinya menunaikan syarat-syarat dibolehkannya duduk di pinggir 38 39
Aḥmad bin ‗Alī bin Ḥajar al-‗Asqalānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥīḥ Bukhārī, h. 11. Aḥmad bin ‗Alī bin Ḥajar al-‗Asqalānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥīḥ Bukhārī, h. 12.
67
jalan. Dengan demikian, jelaslah perbedaan antara larangan Nabi saw. dan pembolehannya. Hadis ini juga menunjukkan bolehnya mempergunakan jalanjalan umum untuk menjalankan aktifitas selama tidak menimbulkan bahaya bagi para pengguna jalan. 40 Secara akal hak-hak yang harus dipenuhi tersebut bukan hak yang harus diberikan kepada jalan tetapi hak tersebut merupakan hak yang harus diterima oleh para pengguna jalan. Karena jalan merupakan benda yang mati yang tidak mungkin untuk dapat menerima hak-hak tersebut. Hal ini dapat dianalogikan dengan firman Allah swt yang berbunyi
سأل ا س
(dan bertanyalah pada desa),
secara logika tidak mungkin seseorang bertanya pada desa yang merupakan benda mati, tetapi yang dimaksud ialah bertanya pada penduduk desa. Oleh karena itu nabi memberi batasan kepada ummatnya yang gemar nongkrong di pinggir jalan seperti; menundukkan pandangan, tidak mengganggu, menjawab salam dan menyuruh pada kebaikan dan melarang kejelekan. jika di antara batasan-batasan diatas tidak dapat dipenuhi maka nabi menganjurkannya untuk menghindari nongkrong dipinggir jalan karena mudlorotnya lebih besar dari manfaatnya.
40
t.th), 43.
Abī Ja‘far al-Ṭahāwī, Musykil al-Āthār, vol. 1 (Lebanon: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah,
BAB IV PENUTUP A.
Kesimpulan Dari penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: Nongkrong dipinggir jalan adalah kegiatan yang biasa dilakukan oleh para
sahabat. Pada awalnya, nabi melarang sahabat yang biasa nongkrong dipinggir jalan karena melihat banyaknya mudlorot yang ditimbulkan di dalamnya. Namun, karena menjadi suatu kebiasaan dan tidak semua nongkrong menimbulkan dampak negatif maka nabi membolehkan dengan memberi ketentuan-ketentuan di dalamnya seperti: 1) Terhindar dari pandangan orang yang duduk di jalan yang bisa menimbulkan fitnah; 2) Terhindar dari ucapan maupun perbuatan yang negatif dari orang-orang yang duduk di pinggir jalan; 3) Dihormati dan dijawab salamnya apabila ia mengucapkan salam; dan 4) Diperintah untuk melakukan kebaikan dan dicegah dari perbuatan yang munkar. B.
Saran Manusia yang mulia bukanlah yang banyak harta bendanya, tinggi
kedudukannya, tampan rupanya ataupun keturunan bangsawan, akan tetapi yang
68
69
terpuji akhlaknya. Baik akhlak terhadap Allah swt. maupun akhlak terhadap sesama manusia. Kunci akhlak yang baik adalah dari hati yang bersih. Dan hati yang bersih adalah hati yang selalu mendapatkan cahaya dan sinar dari Allah SWT. Dengan sinar itu, hati akan dapat melihat dengan jelas mana akhlak yang baik dan mana akhlak yang buruk. Mana perbuatan terpuji dan mana perbuatan yang tercela. Maka dari itu,
berdoa kepada Allah swt. adalah upaya yang tepat untuk
mendapatkan cahaya dari-Nya Aktifitas duduk-duduk di pinggir jalan merupakan perbuatan yang sudah menjamur di masyarakat. Perbuatan tersebut seharusnya diimbangi dengan pengetahuan mereka terhadap tatanan agama yang mengatur berbagai perilaku manusia diantaranya ialah yang berkaitan dengan hak yang harus diberikan kepada para pengguna jalan. Sehingga perbuatan tersebut tidak membawa dampak yang negatif bagi orang lain. Kajian terhadap hadis tentang hak bagi pengguna jalan dalam skripsi ini tentunya masih banyak sekali kekurangan-kekurangan yang perlu untuk disempurnakan, untuk itu diharapkan kajian ini dapat lanjutkan dengan lebih teliti dan mendalam. Sehingga kajian ini akan menjadi kontribusi bagi masyarakat pada umumnya lebih-lebih bagi umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA al-„Abbās Aḥmad bin Muḥammad, Shihāb al-Dīn Abī. Irsyād al-Sāri li Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Lebanon: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2009. Al-Alūsi. Rūḥ al-Ma’ānī dalam CD ROOM al-Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwan, 2008. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996. Ali, Nizar. Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan, Yogyakarta: YPI alRahmah, 2001. Ahmadi, Abu. Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Akhmad Nggufron “Hak Bagi Pengguna Jalan Dalam Kitab Sunan Abu Daud” (Skripsi Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. al-Bāqi, Muḥammad Fu‟ād „Abd. Al-Lū’lū’ wa Marjān Fimā Ittaqafa ‘Alaihi alShaikhānī al-Bukhārī wa Muslim, terj. Arif Rahman Hakim, Kumpulan Hadis Shahih Bukhari-Muslim, Sukoharjo Jawa Tengah: Insan Kamil Solo, 2013. Darmansyah. Ilmu Sosial Dasar, Surabaya: Usaha Nasional, 1986. Al-Faruqi. Prinsip-prinsip Islam, Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1997. Goode, William J. Sosiologi Keluarga, terj. Lailahanoum Hasyim, Jakarta: Bina Aksara, 1983. al-Ḥanafī, Ibn Ḥamzah al-Ḥusaini. Al-Bayān wa al-Ta'rīf fī Asbāb Wurūd alHadīth al-Sharīf, Madinah: Al-Tsaqafah, 1999. Hishām, Jamāl al-Dīn „Abdullāh bin. Audlah al-Masālik, Lebanon: Dār al-Fikr, 1994. Ismail, M. Syuhudi. Hadīts Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Ibn Ḥajar al-Asqalanī, Al-Imam al-Ḥāfiẓ. Fatḥ al-Bārī Syar Shahih al-Bukhari, terj. Amiruddin, Fathul Baari: Penjelasan Kitab Shahih al-Bukhari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007. ----------, Fatḥ al-Bārī bi Syarh Shahīh Bukhāri, Lebanon: Dār al-Fikr, 1996.
70
71
al-Munawwar, Said Agil Husain. Asbabul Wurud, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. ----------. Studi Hadis Nabi, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Mardalis. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Mahmūd bin Ahmad al-„Ainī, Badruddīn Abī Muhammad. ‘Umdah al-Qarī Sharḥ Shahīh al-Bukhārī, Lebanon: Dār al-Fikr, t.th. al-Qurṭubī, Abū „Abdillāh Muḥammad. al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān, terj. Fathurrahman dan Ahmad Hotib, Ta‟līq: Muḥammad Ibrahīm alHifnawī, takhrīj: Maḥmūd Ḥamid „Uthmān, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. Romli, Atmasasmita. Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Bandung: Yuridis Sosk Kriminologi, 1993. Surahman, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1982. Soetari, Endang. Ilmu Hadis, Bandung: Amal Bakti Press, 1997. Symas al-Haq, Abū Thayyib Muhammad. ‘Aun al-Ma’būd Syarh Sunan Abī Dāwud, Lebanon: Dar al-Fikr, th. Santrock, Jhon W. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Prenada Media Group, 2009. al-Ṣan‟ānī, Muḥammad bin al-Amīr. Subūl al-Salām Syarah Bulūgh al-Marām, Beirut: Dār Ibn Jauzī, 1421. al-Ṭahāwī, Abī Ja‟far. Musykil al-Āthār, Lebanon: Dār al-Kutūb al-„Ilmiyyah, t.th. al-Ṭabarī, Ibn Jarīr. Tafsīr al-Ṭabarī dalam CD ROOM al-Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwan: 2008. Tafsir al-Lubāb dalam CD ROM al-Maktabah al-Syamilah, Pustaka Ridwan: 2008. al-Wasytani, Muhammad bin Khulaifah. Ikmāl Ikmāl al-Mu’allim, Lebanon: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2008. Yakub, Ali Mustafa. Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
72
Yusuf, Syamsu. Psikologi perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta: Citra Press, 2001. Yunita, Sari. Fenomena dan tantangan Remaja Menjelang Dewasa, Yogyakarta: Brilliant Books, 2011. Website Rahman, “Pengertian Berjudi dalam Islam dan Jenis Berjudi” artikel ini diakses pada tanggal 12 Februari 2014 dari http://hildadamayanti48.wordpress.com/2012/09/15/pengertian-berjudidalam-islam-dan-jenis-berjudi/ Januri, “Kriminalitas Geng Motor Akibat Rasa Frustasi Remaja” artikel ini diakses pada tanggal 14 Februari 2014 dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabeknasional/14/02/21/n1by5d-kriminalitas-geng-motor-akibat-rasa-frustasiremaja Siraj “Pengertian Geng Motor-Kenakalan Remaja”, artikel ini diakses „pada tanggal 30 februari 2014 dari http://www.kemhan.com/2012/04/pengertian-geng-motor-kenakalanremaja.html Haryanto, “Kenakalan Remaja”, artikel ini diakases pada tanggal 23 Maret 2014 dari http://belajarpsikologi.com/kenakalan-remaja/ Ahmad Syahrin Thoriq, “Ghibah”, artikel ini diakses pada 1 Februari 2014 dari http://nahnudai.blogspot.com/ Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari 2014 dari http://kbbi.web.id/tongkrong Mira, “Arti Kata Nongrong”, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari 2014 dari http://kitabgaul.com/word/nongkrong Andre, “Kongkow”, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari 2014 dari http://kitabgaul.com/word/kongkow Mantos, “Nongkrong”, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari 2014 dari http://kamusslang.com/arti/nongkrong Yudha Prayogi, “Arti Nongkrong”, artikel ini diakses pada tanggal 11 Januari 2014 dari http://wekawek.blogspot.com/2012/08/arti-nongkrong.html Shane, “Arti Nongkrong”, artikel ini diakses pada tanggal 15 Januari 2014 dari http://shanexa.wordpress.com/author/shanexa/
73
Shane, “Apa Sih itu Nongkrong”, artikel ini diakses pada tanggal 15 Januari 2014 dari http://shanexa.wordpress.com/2013/02/13/apa-sih-itu-nongkrong/ Didi, “Kenakalan Remaja dan Solusi Perspektif Islam”, artikel ini diakses pada tanggal 17 februari 2014 dari http://rururudididi.blogspot.com/ Eva Emania Eliasa, “Kenakalan Remaja: Penyebab dan Solisinya”, artikel ini diakses pada tanggal 25 Februari 2014 dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/Microsoft%20Word%20%20KENAKALAN%20REMAJA_PENYEBAB%20DAN%20SOLUSI _.pdf Agus Hery, “Nongkrong” di Pinggir Jalan Sambil Menebar Kebaikan”, artikel ini diakses pada tanggal 23 februari 2014 dari http://alifmagz.com/?p=14258 Agus Hery, “Nongkrong” di Pinggir Jalan Sambil Menebar Kebaikan”, artikel ini diakses pada tanggal 23 februari 2014 dari http://alifmagz.com/?p=14258 Agus Hery, “Nongkrong” di Pinggir Jalan Sambil Menebar Kebaikan”, artikel ini diakses pada tanggal 23 Februari 2014 dari http://alifmagz.com/?p=14258