KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh: Abdul Basit NIM. 108034000018
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H./2014 M.
KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN: PERSPEKTIF IBN KATHĪR
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh: Abdul Basit NIM. 108034000018
Pembimbing:
Dr. M. Suryadinata, MA NIP. 19600908 198903 1 005
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H./2014 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 21 Agustus 2014
Abdul Basit
i
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah diuji pada Sidang Terbuka pada: Hari, tanggal
: Kamis, 21 Agustus 2014
Pukul
: 14. 00-15.30 WIB
Pembimbing
: Dr. M. Suryadinata, MA
Ketua Sidang
: Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA
Sekretaris
: Jauhar Azizy, MA
Tim Penguji
: 1. Dr. Abd. Moqsith, MA 2. Jauhar Azizy, MA
ii
PERSETUJUAN PARA PENGUJI Skripsi berjudul “KEMATIAN DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF IBN KATHĪR” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 21 Agustus 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Program Studi Tafsir-Hadis.
Jakarta, 01 Oktober 2014 Sidang Munaqasyah, Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA NIP. 19711003 199903 2 001
Jauhar Azizy, MA NIP. 19820821 200801 1 012 Anggota,
Penguji I
Penguji II
Dr. Abd. Moqsith, MA NIP. 19710607200501 1 002
Jauhar Azizy, MA NIP. 19820821 200801 1 012 Pembimbing,
Dr. M. Suryadinata, MA NIP. 19600908 198903 1 005
iii
ABSTRAK Abdul Basit, “Kematin dalam al-Qur’an Perspektif Tafsir Ibn Kathīr”. Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014.
Kematian adalah keluarnya atau terpisahnya ruh dari jasad. Di dalam kehidupan makhluk yang bernafas pastilah akan bertemu dengan yang namanya kematian. Akan tetapi sepertinya banyak yang seakan-akan tidak peduli dengan kematian. Kematian bagi manusia sebagai makhluk yang berfikir dianggap sesuatu hal yang menakutkan dan menyeramkan. Karena manusia berfikir bahwa kalau sudah menemui ajal atau kematian pastilah semua kesenangan dan semua hal-hal yang mengenakan di dunia akan ditinggalkan, pemikiran yang seprti itu adalah merupakan pemikiran bagi manusia yang tidak percaya dengan keimanan ataupun ketaqwaan dan juga manusia yang hanya mementingkan kepentingan duniawi. Di zaman ini banyak sekali manusia yang tidak memikirkan mati sesudah hidup, Karena godaan kehidupan dunia, seperti pergaulan/tata cara berpakaian/kedudukan/pangkat/jabatan dan uang, padahal semua orang akan mengalami kematian cepat ataupun lambat ini hanya masalah waktu saja. Supaya untuk meraih kematian yang khusnul khatimah kita harus selalu mengingat mati dengan cara melakukan amal kebaikan. Mengingat Kematian tidak berarti bahwa kita tidak boleh bekerja untuk memenuhi keperluan hidup di dunia, tetapi dalam mencari harta/pergaulan/tata cara berpakaian/mencari jabatan, tidak melakukan perbuatan yang haramkan oleh Allah. Dalam menyusun Skripsi ini penulis memfokuskan/memakai dengan motode argumentasi dan juga menggunakan penelitian Kepustakaan (Library Research). Buku rujukan yang paling utama adalah Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓīm Karya Ibn Kathīr dan juga sebagai buku yang membantu yaitu Tesis, Majalah, Web dan dari artikel. Skripsi ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai kematian. Selain itu skripsi ini diharapkan mampu meningkatkan kadar keimanan dan ketakwaan manusia sehingga dengan keimanan dan ketakwaan tersebut manusia mampu menghadapi kematian dengan khusnul khatimah.
iv
KATA PENGANTAR Alḥamdulillāh Rabb al-Ālamin Allahumma Ṣalli ‘alā Muḥammad wa ‘alā Āli Muḥammad Dengan penuh kesadaran diri dan segala kerendahan hati, bahwa Allah-lah pemilik kesempurnaan, dan saya hanya manusia biasa yang penuh akan kekhilafan yang mencoba untuk memahami setiap perintah-Nya. Segala puji dan syukur kepada Allah, Sang Pencipta, karena Dialah saya ada di dunia ini, dan karena Dialah saya selalu bersemangat dalam hidup. Shalawat serta salam teruntuk Nabi Muhammad saw, yang telah mengajarkan suatu kebenaran yang telah beliau jalankan, dan terbukti akan kehebatan Allah swt. Melalui upaya dan usaha yang melelahkan, akhirnya dengan limpahan karunia-Nyalah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Berbagai kesulitan, cobaan dan hambatan yang penulis rasakan dalam penyusunan skripsi ini, alḥamdulillāh dapat teratasi berkat tuntunan serta bimbingan-Nya dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu Dekan.
v
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis. Bapak Jauhar Azizy, MA., selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis. 4. Dr. M. Suryadinata, MA., mencakup juga sebagai dosen pembimbing skripsi atas bimbingan dan arahannya dalam proses penyelesaian skripsi ini. 5. Bapak Dr. Abd. Moqsith, MA., dan Jauhar Azizy, MA., selaku dosen penguji atas arahan perbaikan skripsi. 6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan didikasinya mendidik penulis, memberikan ilmu, pengalaman, serta pengarahan kepada penulis selama masa perkuliahan. 7. Kepada Ayahanda saya (Alm) H. Abdul Karim bin H. Abdul Hamid Hasyim, Ibunda saya Hj.Choiriyah binti KH. Abdurrahim Shofa, Ayah angkat saya Bapak Endang bin H. Atmaja, Umi angkat saya Umi Nunung binti H. Elang yang tak henti mendo’akan saya, mendidik saya, sampai saya dapat berpijak pada diri saya sendiri. 8. Segenap pimpinan dan karyawan perpustakaan. Yang telah melayani penulis dalam mempergunakan buku-buku dan literatur yang penulis butuhkan selama penyusunan skripsi ini. 9. Tak lupa pula kepada segenap karyawan Perpustakaan Utama, Perpustakaan FUF UIN, Perpustakaan Umum Iman Jama, Perpustakaan Umum PSQ, Perpustakaan Pascasarjana UIN dan Perpustakaan LIPI. 10. Kepada Abang dan Kakak saya yang telah memberikan motivasi dan dorongan semangat kepada saya.
vi
11. Kepada Saudara-saudara saya yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu, yang telah membantu saya dalam penulisan skripsi ini dan telah memberikan pemikirannya serta masukannya dan atau kritikannya dalam penulisan skripsi ini. 12. Seluruh keluarga besar Tafsir Hadis angkatan 2008 yang selalu memberikan warna-warni indahnya persahabatan. 13. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan dalam proses penyelesaian skripsi ini, namun tidak luput untuk penulis sebutkan, tanpa mengurangi rasa terimakasih penulis. Harapan penulis semoga skripsi ini sedikit banyak dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semoga Allah swt selalu memberkahi dan membalas semua kebaikan pihak-pihak yang turut serta membantu penyelesaian skripsi ini. Āmīn yā Rabb al-Ālamīn. Ciputat, 20 September 2014
Abdul Basit
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI A. Konsonan ’═ء
═رr
═ غgh
═بb
═زz
═فf
═تt
═سs
═قq
═ ثth
═ شsh
═كk
═جj
═صṣ
═لl
═حḥ
═ضḍ
═مm
═ خkh
═طṭ
═نn
═دd
═ظẓ
═وw
═ ذdh
( ‘ ═ عayn)
ه/ ═ ةh
═يy B. Vokal dan Diftong Vokal Pendek
َ ِ ُ
Vokal Panjang
Diftong
═a
═ َ —اā
ى
═i
═ َ —ىá
وْو
═u
═ ُ —وū
يْو
ِ
َ
َ
═ī ═ aw ═ ay
C. Keterangan Tambahan 1. Kata sandang ( الalif lam maʽrifah) ditransliterasi dengan al-, misalnya ( )الجزيةal-jizyah, ( )اآلثارal-āthār dan ( )الذمةal-dhimmah. Kata sandang ini menggunakan huruf kecil, kecuali bila berada pada awal kalimat. viii
2. Tashdīd atau shaddah dilambangkan dengan huruf ganda, misalnya almuwaṭṭaʽ. 3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, ditulis sesuai dengan ejaan yang berlaku, seperti al-Qur’an, hadis dan lainnya.
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................
i
TIM PENGUJI SKRIPSI .....................................................................................
ii
PERSETUJUAN PARA PENGUJI .....................................................................
iii
ABSTRAK ..............................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ...........................................................................................
v
PEDOMAN TRANSLITERASI ...........................................................................
viii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................
x
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................................
6
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................
7
D. Metode Penelitian .................................................................................
7
1. Metode Pengumpulan Data..............................................................
7
2. Metode Pembahasan ........................................................................
8
3. Teknik Penulisan .............................................................................
8
E. Tinjauan Pustaka ..................................................................................
9
F. Sistematika Penulisan ...........................................................................
11
BAB II TEMA-TEMA KEMATIAN DALAM AYAT AL-QUR’AN ...............
13
A. Ketentuan yang Pasti QS. 4: 78, dan QS. 23: 15 ..................................
13
B. Tiap-tiap Umat Mempunyai Ajal yang Pasti QS. 7: 34, QS. 10: 49, QS. 15: 5, QS. 16: 61, QS. 17: 58, dan QS. 35: 45 ..............................
x
19
BAB
C. Sesaat Menjelang Mati QS. 50: 19, dan QS. 56: 83-87 ........................
27
D. Cobaan-cobaan QS. 67: 2 .....................................................................
30
III
PENGERTIAN
DAN
PENDAPAT
ULAMA
TENTANG
KEMATIAN .....................................................................................
31
A. Makna Kematian ..................................................................................
31
1. Pengertian Kematian Menurut Kebahasaan .....................................
31
2. Sebab Perubahan Keadaan pada Saat Kematian ..............................
37
B. Tanda-tanda Kematian ..........................................................................
39
C. Cara Menghadapi Kematian dengan Bertobat ......................................
43
BAB IV KEMATIAN MENURUT IBN KATHĪR .............................................
47
A. Kematian dalam Pandangan Ibn Kathīr ................................................
47
B. Ayat-ayat Kematian ..............................................................................
48
1. QS. al-Nisa’ [4]: 78 .........................................................................
48
2. QS. Ali ‘Imran [3]: 185 ...................................................................
59
3. QS. Ali ‘Imran [3]: 156-158 ............................................................
65
4. QS. al-Jumu’ah [62]: 5-8 .................................................................
68
BAB V PENUTUP .................................................................................................
73
A. Kesimpulan ...........................................................................................
73
B. Saran-saran ...........................................................................................
73
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
75
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara mengenai kematian bukanlah suatu hal yang mudah karena di samping pengetahuan manusia tentang hal tersebut sangat terbatas. Hidup dan menghembuskan nafas itu adalah satu hakikat yang sulit dibantah dan hampir tidak diperdebatkan oleh manusia.1 Sedangkan manusia terkadang tidak sadar setelah tidak menghembuskan nafas, akan mengalami suatu proses yaitu kematian, yang mana proses itu terkadang tidak diperhatikan oleh sekalian manusia dan terkadang bahkan dilupakan.2 Sebagai seorang Muslim yang beriman, mereka harus percaya akan adanya kematian yang selalu setia menunggunya. Banyak orang yang beranggapan bahwa kematian hanyalah sebatas kelenyapan semata dan tidak ada hari kebangkitan (pembalasan amal) setelahnya. Seperti halnya kaum Humanis di Barat, mereka tidak percaya bahwa setelah kematian akan ada pembalasan atas amal kebaikan dan kejahatan.3 Bagi mereka, kematian sama halnya dengan matinya hewan atau keringnya dedaunan maupun tanaman. Mereka meyakini kematian pasti datang menjemput, tetapi tidak mempercayai akan kehidupan selanjutnya yaitu akhirat. Begitu besar perhatian al-Qur‟an dalam menerangkan fenomena kematian. Sebagaimana tercatat, bahwa al-Qur‟an berbicara tentang kematian kurang lebih 1
M. Quraish Shihab, Menjemput Maut Bekal Perjalanan menuju Allah SWT (Tanggerang: Lentera Hati, 2005) h. 18 2 M. Quraish Shihab, Menjemput Maut Bekal Perjalanan menuju Allah SWT, h. 19 3 Qomaruddin SF. dalam Alwi Shihab, Zikir Sufi-Menghampiri Ilahi dengan Tasawuf, (Jakarta: Serambi, 2003), h. 145.
1
2
sebanyak 300 ayat. disamping itu pula ada juga hadis Nabi saw. baik yang shahih maupun dhaif.4 Salah satu hadis Nabi yang penulis paparkan tentang kematian adalah:
اْل َك ِّي ُس ا َك ْل ا َك َكاا َنَك ْل َك ُسا َك َك ِم َكااِم َك ا َنَك ْل َك ا اْل َك ْل ِما “Orang yang cerdas ialah orang yang mengendalikan dirinya dan bekerja untuk kehidupan setelah kematian.” (HR. al-Tirmidhī)5 Dengan adanya skripsi yang sederhana ini, penulis akan mencoba membahas beberapa ayat al-Qur‟an yang memiliki hubungan erat tentang perihal kematian. Di antara beberapa surat dan ayat yang akan penulis bahas tentang tema-tema kematian adalah: QS. al-Nisā‟ [4]: 78; QS. Āli „Imrān [3]: 185, dan 156-158; QS. al-Jumu‟ah [62]: 5-8. Kematian sebuah kata yang sederhana tetapi mengandung banyak makna yang sangat dalam. Di dalam kehidupan makhluk yang bernyawa pastilah akan bertemu dengan yang namanya kematian. Akan tetapi sepertinya mereka banyak yang seakan-akan tidak peduli (tidak mau berfikir untuk mempersiapkan diri) bertemu dengan kematian. Bagi sebagian manusia menganggap seolah-olah kematian merupakan sesuatu hal yang menakutkan dan menyeramkan. Karena manusia berfikir bahwa jika sudah menemui ajal atau kematian pastilah semua kesenangan dan semua hal-hal yang meng-enakkan di dunia akan ditinggalkan. Pemikiran yang seperti itu adalah merupakan pemikiran bagi manusia yang memiliki keimanan dan ketaqwaan yang sangat tipis dan juga manusia yang hanya mementingkan kehidupan duniawi semata. Akan tetapi akan berbeda bagi 4
M. Qurais Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Mizan: Bandung, 2007), h. Muḥammad bin „Isā Abū „Isā Tirmidhī Salimī, Jāmi‟ al-Ṣaḥīḥ Sunan Tirmidhī, juz 9, nomor 2647, (Beirut: tth), h. 337 5
3
manusia yang berfikir dengan kesadaran dan keimanannya, pastilah mereka akan selalu memikirkan dan memaknai arti sebuah kematian dengan segala upaya untuk bisa mengambil pelajaran dan mempersiapkannya secara lebih matang dan mendalam. Melalui proses kematian, manusia di-ingatkan akan keberadaannya di alam dunia ini. Ternyata jika direnungkan, kehidupan ini hanyalah sebatas persinggahan. Dikatakan persinggahan karena waktu kesempatan hidup yang tersedia untuk mereka hanya sementara. Tiap-tiap manusia tidak akan pernah tahu kapan-kah waktu kesempatan hidup ini akan berakhir. Tidak ada satu pun manusia di alam dunia ini yang dapat hidup kekal abadi. Karena yang hidup kekal abadi hanyalah Allah swt, dan semua yang bernama makhluk apapun itu pasti akan rusak binasa (menghadapi kematian).6 Penulis menganalisa bahwa orang yang terjerumus ke dalam kesibukan di dunia, yang terpedaya oleh kemewahan dunia,
dan yang lebih menyukai
kenikmatan yang diperoleh dengan perantaraan dunia pasti hatinya tidak ingat akan kematian. Yang dapat disimpulkan bahwa dikodratkan dalam penciptaan di dunia untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah swt. Jika ada seseorang yang membahas kepada mereka mengenai kematian kemudian dia benci dan berpaling dari kematian dan bertambah jauhlah dari Allah swt jika dia diingatkan kematian, maka dia akan menjadi orang yang celaka. Biasanya orang tersebut akan berbuat yang sewenang-wenangnya dengan kata lain mempunyai sifat-sifat yang tidak terpuji. 6
Imām al-Qurṭubī, Al-Tadhkirah fī Aḥwal al-Mauta wa „Umur al-Akhirah, (Beirut Lebanon: Dār el-Marefah, 1996) h. 14.
4
Adapun di antara orang-orang yang baik ialah bagi orang yang selalu mengingat kematian, sebab dengan mengingat mati orang tersebut di arahkan untuk selalu mengerjakan perbuatan yang terpuji dan menjauhi perkara yang tercela atau menyebabkan murka Allah swt.7 Sebagaimana penulis mengambil salah satu ayat kematian dari pembahasan skripsi ini yaitu firman Allah swt dalam QS. al-Nisā‟ [4]: 78.
Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh” (QS. al-Nisā‟ [4]: 78) Seluruh manusia yang memegang teguh ajaran agama Islam diperintahkan untuk senantiasa ingat kepada kematian agar mempersiapkan bekal untuk hidup setelah mati semaksimal mungkin. Karena kematian itu pasti akan mendatangi makhluk yang bernyawa sekalipun mereka bersembunyi di tempat yang kokoh tetap akan diterobos oleh mati. kematian merupakan kejadian yang sangat berat dan paling menakutkan serta mengerikan. Padahal kematian itu pasti akan dialami oleh setiap makhluk yang bernyawa. Apabila kematian sudah dikatakan suatu peristiwa yang paling menakutkan serta akan dialami oleh setiap manusia. Maka melupakan mati atau tidak pernah ingat mati sekalipun, dikatakan orang yang sangat bodoh dan merupakan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sama sekali. Seseorang yang tidak pernah mengingat mati sedang dia pasti akan mengalaminya, berarti ia akan menempuh kejadian yang hebat secara membabi 7
Imām al-Qurṭubī, Al-Tadhkirah fī Aḥwal al-Mauta wa „Umur al-Akhirah, h. 15.
5
buta. Ibarat orang yang berpergian jauh disuatu daerah yang tidak pernah dipelajari sebelumnya dan tidak pernah dipikir sebelumnya dalam keadaan yang gelap gulita pula. Maka sudah pasti dia tidak akan dapat melangkah atau berjalan ke alam yang gelap gulita itu dan dia pasti akan mempunyai perasaan yang gentar, takut, bingung, dan tidak tahu jalan apa yang harus dilakukan. Allah menghendaki kebaikan pada seseorang kalau orang itu sendiri suka berbuat baik, sehingga orang itu senantiasa terpelihara dalam kebaikan sampai akhir hayatnya dan meninggal dengan cara khusnul khatimah. Sebaliknya Allah menghendaki seseorang berbuat keburukan dan kejahatan kalau orang itu sendiri suka berbuat buruk. Sehingga dia terus menerus berbuat buruk sampai akhir hayatnya dan meninggal dengan cara su‛ul khatimah. Makhluk-Nya tidak hanya manusia saja melainkan malaikat yang baik yang diperintahkan oleh Allah untuk dilaksanakannya dan segala perbuatan mereka juga akan merasakan kematian. Semua mahluk-Nya tidak akan kekal di dunia ini kecuali Allah semata. Dengan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, penulis mencoba untuk mengkaji “Kematian dalam Al-Qur’an: Perspektif Ibn Kathīr” Hal ini merupakan sebuah kekaguman penulis kepada seorang tokoh ahli tafsir yaitu Ibn Kathīr8 sebagai al-Ḥafiẓ, al-Muḥaddīth, al-Faqih, al-Mu‟arrikh, al8
Nama lengkap Ibn Kathīr adalah Ismāil bin „Amr al-Quraisy bin Kathīr al-Baṣrī alDimashqī „Imad al-Dīn Abul Fidā al-Ḥafiẓ al-Muḥaddīth al-Shāfi‟ī. Ia terkenal dengan panggilan Ibn Kathīr „Imad al-Dīn al-Fidā‟. Ibn Kathīr lahir di Bashra tahun 700 H/1300 M dan meninggal pada hari kamis 26 Sya‟ban tahun 774 H/1373 M di Damaskus, beberapa tahun setelah menulis. Ia dikuburkan di pemakaman sufi di samping makam Gurunya Ibn Taimīyah berdasarkan wasiatnya. Lihat „Umar Riḍā Kabalah, Mu‟jam al-Mu‟allifīn (Beirut, Maktabah al-Mutsannā Dār Iḥyā alTurāth al-„Arābī, 1376 H/ 1957 M). jilid I, h. 283-284 dan Ibn Kathīr, al-Bidāyah Wa al-Nihayah (Beirut Libanon, Dār al-Kutūb al-„Ilmīyah). Jilid I, h. 2. Karya monumental Ibn Kathīr adalah:
6
Mufassīr dan juga dari terjemahan Kitab Tafsīr Ibn Kathīr dapat di pahami dari penafsiran ayat al-Qur‟an yang jelas dan mudah dimengerti. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar pembahasan dalam skripsi ini terarah maka penulis membatasi ayatayat tentang kematian dalam skripsi ini dari sudut pandang kitab tafsir terjemahan al-Qur‟ān al-„Aẓīm karya Imām Ibn Kathīr. Dalam al-Qur‟an terdapat beberapa surat dan ayat yang membahas tentang tema-tema kematian antara lain QS. al-Baqarah [2]: 94, 95, 96, 110, 223, 243 dan 281; QS. Āli „Imrān [3]: 156-158 dan 185; QS. al-Nisā‟ [4]: 78; QS. al-An‟ām [6]: 47; QS. al-A‟rāf [7]: 185; QS. al-Ḥijr [15]: 99; QS. al-Naḥl [16]: 70; QS. alKahfī [18]: 7; QS. al-Anbiyā‟ [21]: 34 dan 35; QS. al-Mu‟minūn [23]: 15 dan 99; QS. al-Qaṣaṣ [28]: 88; QS. al-Ankabūt [29]: 57; QS. al-Aḥzāb [33]: 16; QS. alZumar [39]: 30; QS. Qāf [50]: 19; QS. al-Raḥmān [55]: 26; QS. al-Ḥashr [59]: 18; QS. al-Jumu‛ah [62]: 5-8; QS. al-Munāfiqūn [63]: 10; QS. Nūḥ [71]: 4 dan 18; QS. al-Muddaththīr [74]: 47; QS. al-Qiyāmah [75]: 26, 27, 28, 29 dan 30; QS. „Abasa [80]: 21; QS. al-Takāthur [102]: 2. Dari beberapa ayat di atas yang membahas tentang tema-tema kematian penulis hanya membatasi dari beberapa ayat yang mengangkat tema-tema kematian dalam al-Qur‟an yaitu QS. al-Nisā‟ [4]: 78; QS. Āli „Imrān [3]: 185, dan 156-158; QS. al-Jumu‟ah [62]: 5-8. a. Al-Bidayah wa al-Nihayah, dalam bidang sejarah, merupakan rujukan terpenting bagi para sejarawan, sebanyak 14 jilid. b. Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm yang lebih dikenal dengan nama Tafsīr Ibn Kathīr, pengaruhnya sangat besar dan sampai sekarang kitab tafsir ini masih banyak digunakan sebagai rujukan. Tafsir ini masuk dalam kategori bi al-ma‟tsur. Menurut Al-Zhahabi tidak memiliki corak.
7
Dalam skripsi ini penulis dapat menetapkan dengan mengajukan pertanyaan yaitu: - Bagaimana penafsiran Ibn Kathīr terhadap ayat-ayat kematian? C. Tujuan Penulisan Penulisan skripsi ini bertujuan untuk: 1.
Mengetahui sejauh mana al-Qur‟an membicarakan tentang kematian yang di firmankan Allah swt dan ditafsirkan oleh Ibn Kathīr.
2.
Mengetahui penafsiran yang diberikan oleh Ibn Kathīr terhadap ayatayat yang berkaitan dengan kematian secara umum dan menjelaskan tentang makna kematian, cara mati, tanda-tanda kematian serta cara menghadapi kematian.
3.
Dalam rangka memenuhi syarat-syarat kelulusan dan memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam dari Fakultas Ushuluddin khususnya jurusan Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian 1.
Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengadakan penelitian kepustakaan
(Library Research) dalam rangka penggalian data dengan membaca dan meneliti (literatur) bahan-bahan yang telah tertulis.
8
Adapun sumber primer penulis merujuk pada kitab tafsir al-Qur‟ān alAẓīm karya Imām Ibn Kathīr,9 dan juga sumber sekunder penulis merujuk Lubāb al-Tafsīr min Ibn Kathīr karya „Abdullāh bin Muḥammad bin „Abd al-Raḥmān bin Isḥāq Āl al-Sheikh,10 Taisir al-Alīy al-Qādī li Ikhtiṣarī Tafsīr Ibn Kathīr karya Muḥammad Nasib al-Rifā‟i,11 Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr karya Ibn Kathīr12 merujuk kepada buku-buku yang berkaitan dengan topik kematian dan sumber informasi lainnya. 2.
Metode Pembahasan Bahan-bahan tersebut yang berkaitan dengan penulisan dalam skripsi ini
diseleksi dan diklasifikasi sesuai dengan pokok bahasannya. Karena itulah, pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode Argumentatif. Metode argumentatif digunakan untuk mendapatkan sebuah gagasan yang dikemukakan oleh Ibn Kathīr dalam kitab terjemahan tafsir al-Qur‟ān al-Aẓīm sehingga nantinya pembahasan akan menjadi jelas dan terarah. Teknik Penulisan
3.
Sedangkan teknik penulisan skripsi ini didasarkan pada buku “Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008 untuk Skripsi, Tesis dan Disertasi.
9
Al-Imām Abū al-Fida Ismā‟il Ibn Kathīr al-Dimashqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm, terj. Bahrun Abu Bakar, dkk. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000) 10 „Abdullāh bin Muḥammad bin „Abd al-Raḥmān bin Isḥāq Āl al-Sheikh, Lubāb alTafsīr min Ibn Kathīr,, terj. Abdul Ghaffar (Bogor: Pustaka Imam al-Syafi‟i, 2001) 11 Muḥammad Nasib al-Rifā‟i, Taisīr al-Alīy al-Qādī li Ikhtiṣāri Tafsīr Ibn Kathīr, terj, Syihabuddin, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir (Bandung: Gema Insani Press, 1999) 12 Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1994).
9
E. Tinjauan Pustaka Dari penelusuran yang penulis lakukan, terdapat beberapa karya-karya terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Di antara karya tersebut adalah: Skripsi; Umar Ubaidillah dengan judul “Pengisahan Nabi Yusuf dalam alQur‟an dan Injil (Analisis Perbandingan Tafsir Ibn Kathīr dan Cerita-cerita alKitab)”, ia menjelaskan terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dalam kisah Yusuf baik dalam tafsir Ibn Kathīr dan cerita-cerita al-Kitab. Di antara persamaannya adalah kedua kitab menjelaskan mimpi Nabi Yusuf. Namun perbedaannya dalam cerita-cerita menjelaskan Nabi Ya‟qūb tidak melarang menceritakan mimpinya pada saudaranya sedangkan dalam tafsir Ibn Kathīr Nabi Ya‟qūb melarang. Persamaan lainnya, kedua kitab ini mengisahkan pelemparan Yūsuf ke dalam sumur. Namun, berbeda dalam penutupan sumur setelah Yūsuf dilemparkan. Tafsir Ibn Kathīr mengisahkan bahwa sumur tidak ditutup dengan batu, sedangkan dalam cerita-cerita al-Kitab sumur tersebut ditutup dengan batu. Alur pengisahan Nabi Yūsuf dalam kitab Injil lebih panjang dari pada di dalam kitab al-Qur‟an. Karena dalam injil /cerita-cerita al-Kitab, kisah nabi Yūsuf ini merupakan bagian dari sebuah sejarah. Sedangkan dalam al-Qur‟an kisah Nabi Yūsuf tidak menjadi bagian dari hubungan sejarah yang berkelanjutan.13 Skripsi; Haromain dengan judul “Kiamat dalam Kajian Imam Ibn Kathīr (Kajian Tematik Ayat-ayat Kiamiat dalam Kitab Tafsir al-Qur‟ān al-„Aẓīm)”, dalam skripsi ini, ia menjelaskan bagaimana Ibn Kathīr ketika menjelaskan ayat13
Umar Ubaidillah, “Pengisahan Nabi Yusuf dalam al-Qur‟an dan Injil (Analisis Perbandingan Tafsir Ibn Kathīr dan Cerita-cerita al-Kitab)” (Skripsi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2013).
10
ayat tentang kiamat. Ibn Kathīr menjelaskan proses terjadinya hari kiamat dengan beragumentasi hadis, karena tafsir karyanya merupakan kitab tafsir dengan sumber al-Qur‟an dan Hadis dalam menafsirkan beberapa ayat.14 Skripsi; Irfan Abdurrahmat dengan judul “Penggambaran Malaikat dalam al-Qur‟an (Studi Perbandingan antara Penafsiran Ibn Kathīr dan Hamka)”, ia menjelaskan tentang hakikat malaikat penafsiran Ibn Kathīr adalah hamba Allah yang sangat dimulyakan di sisi-Nya yang menempati kedudukan yang tinggi serta memiliki tingkat kemuliaan yang luhur. Sedangkan menurut Hamka, malaikat adalah hamba-hamba Allah yang bertambah tinggi perhambaannya, bertambah pula kemuliaannya, dan selalu setia melaksanakan perintah. Kemulian ini dilihat dari penugasan malaikan oleh Allah sebagai duta-duta istimewa dalam memelihara dan mengatur wahyu.15 Skripsi; Mohamad Yasir dengan judul “Kualitas Hadis dalam Tafsir Ibn Kathīr: Studi Kritik Sanad dan Matan Hadis dalam Surat Yasin”, ia menemukan hadis pertama, kedua dan keempat tidak memenuhi kriteria ke-shahih-an sanad, hanya hadis yang ketiga yang memenuhi kriteria ke-shahih-an sanad. Dari segi matan ia menemukan hadis ketiga yang memenuhi kriteria ke-shahih-an sanad dan ia menyimpulkan bahwa hadis ini berkualitas shahih karena telah memenuhi kriteria ke-shahih-an matan.16 14
Haromain, “Kiamat dalam Kajian Imam Ibn Kathīr (Kajian Tematik Ayat-ayat Kiamiat dalam Kitab Tafsir al-Qur‟an al-Azim)” (Skripsi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2009). 15 Irfan Abdurrahmat, “Penggambaran Malaikat dalam al-Qur‟an (Studi Perbandingan antara Penafsiran Ibn Kathīr dan Hamka)” (Skripsi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2011). 16 Mohamad Yasir, “Kualitas Hadis dalam Tafsir Ibn Kathīr; Studi Kritik Sanad dan Matan Hadis dalam Surat Yasin” (Skripsi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2010).
11
Tesis; Zarkasi dengan judul “Al-Maut dalam al-Qur‟an Kajian Tafsir Tematik”, ia mengkaji al-maut dalam perspektif al-Qur‟an. Menurutnya penciptaan al-maut dan ketetapan bagi makhluk adalah dalil yang jelas tentang ketauhidan Allah dalam uluhiyyah dan rububiyyah-Nya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa perbedaan antara khaliq dan makhluq adalah kematian. Oleh karenanya makhluk tidak lazim menuhankan jiwa yang tertimpa kematian.17 Dari data yang penulis lacak, mungkin masih banyak lagi tulisan akademis yang belum penulis ketahui, namun ternyat yang membahas tentang kematian dalam penafsiran Ibn Kathīr secara khusus belum ada. F. Sistematika Penulisan Untuk lebih memudahkan dalam melakukan penelitian kepustakaan (library research) ini, dalam Dalam BAB I berisi pendahuluan yang dimulai dengan menjelaskan istilahistilah kunci yang termuat dalam judul skripsi ini. Selanjutnya membahas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metodelogi penelitian, tinjauan kepustakaan dan sistematika penulisan. Dengan harapan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai latar belakang penulisan hingga manfaat penelitian kepustakaan dalam al-Qur‟an perspektif Ibn Kathīr. Dalam BAB II ini menjelaskan Tema-tema Kematian dalam Ayat alQur‟an. Pembahasannya tentang ketentuan yang pasti, tiap-tiap umat mempunyai ajal yang pasti, sesaat menjelang mati, dan cobaan-cobaan. 17
Zarkasi, “Al-Maut dalam al-Qur‟an Kajian Tafsir Tematik” ( Tesis Tafsir Hadis Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).
12
Dalam BAB III ini menjelaskan Pengertian dan Pendapat Ulama tentang Kematian. Pembahasannya mengacu pada makna kematian dilihat dari pengertian secara kebahasaan, sebab perubahan keadaan pada saat kematian, tanda-tanda kematian, dan cara menghadapi kematian dengan bertobat. Dalam BAB IV merupakan bagian inti dari penelitian skripsi ini. Yaitu menjelaskan Kematian menurut Ibn Kathīr. Adapun yang akan dijelasan tentang pandangan kematian menurut Ibn Kathīr dan penafsirannya. Dalam BAB V adalah bab terakhir yang berisi kesimpulan-kesimpulan dari hasil penelitian yang penulis lakukan dan ditambah juga dengan saran-saran yang ditujukan untuk para pembaca skripsi ini.
BAB II TEMA-TEMA KEMATIAN DALAM AYAT AL-QUR’AN Pada bab ini, penulis mengambil beberapa surat dan ayat tentang tematema kematian yang dijadikan pembahasan, kemudian menguraikannya dengan penafsiran Ibn Kathīr dan mufassir lain. Surat dan ayat yang akan dibahas yaitu QS. al-Nisā‟ [4]: 78, QS. al-Mu‟minūn [23]: 15, QS. al-A‟rāf [7]: 34, QS. Yūnus [10]: 49, QS. al-Ḥijr [15]: 5, QS. al-Naḥl [16]: 61, QS. al-Isrā‟ [17]: 58, QS. Fāṭir [35]: 45, QS. Qāf [50]: 19, QS. al-Wāqi‟ah [56]: 83, 84, 85, 86 dan 87, QS. alMulk [67]: 2. A. Ketentuan Yang Pasti 1. (QS. al-Nisā’ [4]: 78)1 Ibn Kathīr menafsirkan maksud dari QS. al-Nisā‟ [4]: 78 yaitu kalian pasti akan mati, dan tidak ada seorang pun dari kalian yang selamat dari maut, adalah sama maknanya dengan yang disebutkan di dalam ayat lain yaitu QS. al-Raḥmān [55]: 26, QS. Āli „Imrān [3]: 185, dan QS. al-Anbiyā [21]: 34, maknanya yaitu setiap orang pasti akan mati.
1
(QS. al-Nisā‟ [4]: 78)
“Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, 1 mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan1 sedikitpun”? (QS. al-Nisā‟ [4]: 78)
13
14
Tiada sesuatu pun yang dapat menyelamatkan dia dari kematian, baik dia ikut dalam berjihad ataupun tidak ikut berjihad. Karena sesungguhnya umur manusia itu ada batasnya dan mempunyai ajal yang telah ditentukan serta kedudukan yang telah ditetapkan baginya.2 Sayyid Quṭb menjelaskan dalam karyanya Tafsīr fī Ẓilāl al-Qur‟ān, kematian menurutnya adalah suatu kepastian yang sudah ditentukan waktunya, dan tidak ada hubungannya dengan perlindungan tempat yang dapat melindungi seseorang atau tidak dapat melindungi. Kalau demikian, kematian juga tidak dapat ditunda dengan ditundanya tugas perang, dan tidak dapat pula dimajukan dengan dimajukkanya tugas jihad sebelum waktunya.3 Kematian dan peperangan adalah dua urusan yang berbeda, dan tidak ada hubungan di antara keduanya. Hubungan yang ada hanyalah antara kematian dan ajal (umur), antara waktu yang ditakdirkan Allah dan habisnya waktu itu. Selain itu, tidak ada hubungan lain. Oleh karena itu, tidak ada artinya manusia menginginkan diundurkannya kewajiban perang, dan tidak ada artinya takut kepada manusia baik dalam peperangan maupun di luar peperangan. Dengan sentuhan kedua ini, manhaj Qur‟ani mengobati semua lintasan yang melintas dalam pikiran mengenai urusan itu, dan mengobati semua ketakutan dan kegentaran yang ditimbulkan oleh pandangan yang tidak mantap.4 Menurut pendapat lain yang dimaksud lafaz dari بروج
ialah bintang-
bintang yang ada di langit. Pendapat ini disampaikan Ibn Kathīr, tetapi lemah. 2
„Abdullāh bin Muḥammad bin „Abd al-Raḥmān bin Isḥāq Āl al-Sheikh, Lubāb al-Tafsīr min Ibn Kathīr, terj. Abdul Ghaffar (Bogor: Pustaka Imam al-Syafi‟i, 2001), cet. 1, h. 356. 3 Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, terj. As‟ad Yasin, et. all., (Jakarta: Gema Insani, 2008), juz IV, h. 31. 4 Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz IV, h. 32.
15
Pendapat yang shahih ialah yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengannya adalah benteng yang kuat. Dengan kata lain, tiada guna sikap waspada dan berlindung di tempat yang kokoh dari ancaman maut. Menurut pendapat ulama lain yang di sampaikan oleh Ibn Kathīr yaitu kemakmuran dan rezeki yang berlimpah berupa buah-buahan, hasil pertanian dan lain-lainnya. Yang merupakan musim paceklik (kekurangan), kekeringan, dan rezeki yang kering, atau tertimpa kematian anak atau tidak mempunyai penghasilan atau lain-lainnya yang merupakan bencana. Yang dimaksud dengan kata حسنةdalam QS. al-Nisā‟ ayat 78 yaitu kemakmuran dan kesuburan yang membuat ternak mereka berkembang biak dengan pesatnya. Begitu juga dengan kuda mereka dan keadaan mereka yang menjadi membaik serta istri-istri mereka yang melahirkan anak-anaknya.5 Kata سيئةdalam QS. al-Nisā‟ ayat 78 menjelaskan yaitu tentang kekeringan dan bencana yang menimpa harta mereka. Maksud dari semuanya yaitu adalah atas ketetapan dan takdir Allah, Dia melakukan keputusan-Nya terhadap semua orang baik terhadap orang yang bertakwa maupun terhadap orang yang durhaka, dan orang mukmin maupun terhadap orang kafir tanpa pandang bulu.6 Bahwa semua musibah yang datang terhadapnya berawal yang diberikan semuanya dari Allah swt yaitu merupakan kebaikan atau keburukan. Kemudian dari pada itu banyak yang mengingkari, mereka yang mengatakan demikian yang
5
„Abdullāh bin Muḥammad bin „Abd al-Raḥmān bin Isḥāq Āl al-Sheikh, Lubāb al-Tafsīr min Ibn Kathīr, cet. 1, h. 357. 6 „Abdullāh bin Muḥammad bin „Abd al-Raḥmān bin Isḥāq Āl al-Sheikh, Lubāb al-Tafsīr min Ibn Kathīr, cet. 1, h. 357.
16
timbul dari keraguan dan kebimbangan mereka serta minimnya pemahaman dan ilmu mereka yang diliputi kebodohan dan aniaya.7 Sesungguhnya ayat di atas sudah sangat jelas maknanya namun demikian penulis menarik kesimpulan dari QS. al-Nisā‟ 78 bahwa setiap makhluk yang hidup di dunia ini mempunya batas umur yang ditentukan oleh Allah swt dan tidak ada yang selamat dari genggaman maut. Baik makhluk itu bersembunyi dalam benteng atau pun bersembunyi dari tempat yang sunyi yang terhindar dari keramaian makhluk lainnya pasti maut itu akan menjemputnya. 2. (QS. Al-Mu’minūn [23]: 15)8 Pada penafsiran QS. al-Mu‟minūn [23]: 12-15, Ibn Kathīr menjelaskan ayat yang menceritakan bagaimana manusia itu diciptakan yang berasal dari saripati tanah yaitu Adam, namun keturunannya diciptakan dari air mani yang tersimpan dalam tempat yang kokoh yang sudah bercampur dengan cairan seorang wanita yaitu ovum.
7
„Abdullāh bin Muḥammad bin „Abd al-Raḥmān bin Isḥāq Āl al-Sheikh, Lubāb al-Tafsīr min Ibn Kathīr, cet. 1, h. 357. 8 (QS. al-Mu‟minūn [23]: 12-15) Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. (QS. al-Mu‟minūn [23]: 12-15)
17
Setelah melewati suatu masa tertentu dijadikan air mani itu segumpal darah, kemudian dari segumpal darah itu menjadi segumpal daging dan dari segumpal daging itu terciptalah tulang belulang yang berbentuk kepala tangan dan kaki, kemudian dibungkusnya tulang-tulang itu dengan daging, otot dan urat-urat, maka terciptalah suatu makhluk yang berbentuk lain dan Allah meniupkan roh terhadapnya. Kemudian Allah memberikan sarana berupa pendengaran, penglihatan, penciuman, suara, pikiran dan gerak, sehingga lengkaplah ia menjadi manusia yang utuh, sempurna sebagai makhluk Allah yang pilihan dan termulia. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain, janin yang lahir dari perut ibunya sebagai bayi tumbuh menjadi balita kemudian balita itu menjadi remaja lalu menjadi manusia lanjut usia dan akan sampai akhir dari kehidupan yaitu kematian. Itulah penjelasan sebuah perjalanan dari kehidupan yang berawal dari saripati tanah yaitu proses penciptaan lalu kembali lagi kepada tanah yaitu kematian.9 Menurut Sayyid Quṭb, kematian adalah akhir dari kehidupan dunia. Dan, kehidupan di alam barzah merupakan jembatan antara dunia dan akhirat. Dengan demikian, ia hanya merupakan fase dari kehidupan, bukan akhir dari kehidupan itu. Kemudian kebangkitan merupakan fase akhir dari pertumbuhan itu. Setelah itu dimulailah kehidupan sempurna yang bersih dari segala kekurangan hidup duniawi, dan dari kebutuhan akan daging dan darah, dari rasa takut dan gelisah, dan dari perubahan dan pertumbuhan. Karena, ia merupakan fase puncak kesempurnaan yang telah ditentukan atas manusia.
9
Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1994), h. 400-401.
18
Hal itu akan terjadi hanya bagi orang yang menempuh jalan yang sempurna. Jalan yang telah digambarkan oleh paragraf pertama dari surat ini, yaitu jalan orang-orang yang beriman. Sedangkan, orang-orang yang terjerumus dalam fase kehidupan dunia ke tingkat binatang, maka dia dalam kehidupan akhirat akan terjerumus sedalam-dalamnya. Maka, hancurlah kemanusiaannya dan menjadi bahan bahan neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Dan, manusia yang seperti ini sama persis dengan batu.10 Dalam al-Qur‟an QS. al-Mu‟minūn [23]: 15 penulis tidak mendapati penjelasan yang panjang lebar. Penulis berkesimpulan bahwa antara QS. alMu‟minūn [23]: 15 dengan ayat sebelumnya memiliki pertalian yang saling berkaitan. Oleh karena itu, penulis mencoba menarik kesimpulan dari al-Qur‟an QS. al-Mu‟minūn [23]: 15 yang menyatakan proses terjadinya manusia dari awal diciptakan, proses pembentukan tulang, daging dan saraf sehingga menjadikan satu makhluk yang sempurna dalam bentuk yang beraneka ragam perbedaan. Kemudian manusia tersebut menjadikan dewasa dan akhirnya manusia juga akan menghadapi suatu kematian. Itulah perjalanan kehidupan yang berawal dari saripati tanah lalu kembali kepada tanah lagi.
10
Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz XVIII, h. 167.
19
B. Tiap-tiap Umat Mempunyai Ajal yang Pasti 1. (QS. Al-A’rāf [7]: 34)11 Ibn Kathīr menjelaskan QS. al-A‟rāf [7]: 34 yakni bagi tiap-tiap kurun dan generasi terdapat batasan waktu yang telah ditakdirkan bagi mereka. Kemudian Allah swt memperingatkan kepada umat manusia bahwa Dia akan mengutus Rasul-rasul-Nya kepada mereka yang akan membacakan atau mengabarkan kepada mereka ayat-ayat-Nya, membawa berita gembira dan peringatan.12 Berbeda pandangan Sayyid Quṭb dalam penjelasan QS. al-A‟rāf [7]: 34 adalah sebuah hakikat yang mendasar dari hakikat-hakikat akidah ini, yang disampaikan ke senar hati yang lalai – yang tidak mau ingat dan bersyukur – supaya sadar, sehingga tidak teperdaya oleh lamanya kehidupan. Apa yang dimaksud dengan ajal di sini boleh jadi ajal tiap-tiap generasi manusia yang berupa kematian yang memutuskan kehidupan sebagaimana yang terkenal itu, dan boleh jadi ajal setiap umat dalam arti masa tertenut kekuatan dan kekuasaannya di muka bumi. Baik yang ini maupun yang itu, semuanya sudah ditentukan waktunya. Mereka tidak dapat memajukannya dan memundurkannya.13 Kesimpulan dari QS. al-A‟rāf [7]: 34 setiap manusia atau makhluk lainnya mempunyai keterbatasan waktu untuk hidupnya yang berbeda dan itu pasti
akan 11
terjadi.
Lalu
Allah
mengutus
para
Rasul-rasulnya
untuk
(QS. Al-A‟rāf [7]: 34)
“tiap-tiap umat mempunyai batas waktu maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al-A‟rāf [7]: 34) 12 Al-Imām Abū al-Fida Ismā‟il Ibn Kathīr al-Dimashqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm, terj. Bahrun Abu Bakar, dkk. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), h. 296-297. 13 Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz VIII, h. 308.
20
memberitahukan dan mengabarkan ayat-ayat Allah yang diturunkan untuk hambaNya dalam hal berupa kabar gembira maupun suatu peringatan. 2. (QS. Yūnus [10]: 49)14 Sebelum ayat 49 dalam QS. Yūnus penulis akan membahas ayat sebelumnya terlebih dahulu, yakni dari ayat 48 yang menggambarkan tentang sikap orang-orang kafir dan musyrik yang bertanya-tanya bila datangnya siksaan Allah yang telah dijanjikan di dalam al-Qur‟an. Kemudian berlanjut ke ayat 49 bahwa Allah swt menyuruh Rasul-Nya dan Rasul-Nya menjawab, “Aku tidak berdaya mendatangkan mudharat bagi diri aku sendiri, dan aku tidak mengetahui selain apa yang telah diberitahukan oleh Allah kepada para Nabi. Aku hanya hamba-Nya dan Rasul-Nya dan aku telah memberitahukan kepada manusia bahwa hari kiamat itu pasti akan tiba, namun Allah tidak mengungkapkan kepada para Nabi saatnya dan harinya yang pasti. Akan tetapi Allah telah menentukan dan menetapkan ajal bagi tiap umat yang tidak dapat dilampauinya atau dimajukannya.15 Sayyid Quṭb menjelaskan ajal itu kadang-kadang berakhir dengan kehancuran secara indrawi, seperti dibabat habisnya sebagian umat terdahulu. Ajal
14
(QS. Yūnus [10]: 49)
“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah". tiap-tiap umat mempunyai ajal. apabila telah datang ajal mereka, Maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya).” (QS. Yūnus [10]: 49) 15 Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 220-221.
21
kadang-kadang berakhir dengan kehancuran secara maknawi, mengalami kerusakan dan hilang dari peredaran, seperti yang terjadi pada beberapa bangsa. Mungkin untuk sementara waktu kemudian kembali lagi, dan mungkin dalam kondisi seperti itu secara terus-menerus sehingga hilang pamornya dan hilang pula wujudnya sebagai umat (bangsa), meskipun pribadi-pribadinya masih ada. Semua itu terjadi sesuai dengan sunnah Allah yang tidak akan pernah berganti, tidak akan berbenturan, tidak serampangan, tidak zalim, dan tidak pilih kasih. Maka, bangsa-bangsa yang melakukan hal-hal yang menjadikan mereka hidup (eksis), niscaya mereka akan eksis. Namun, bangsa yang menyimpang dari sebab-sebab itu, niscaya mereka aka menjadi lemah, lenyap (pamornya), atau mati, sesuai dengan penyimpangannya.16 Kesimpulan dari QS. Yūnus [10]: 49 Allah swt mengutus seorang Rasul untuk menyampaikan kabar gembira atau suatu peringatan dari ayat-ayat Allah yang di turunkan untuk hamba-Nya. Lalu Rasul tidak kuasa mengabarkan dari ayat-ayat Allah yang berupa kapan waktu yang pasti terjadinya kiamat dan kapan makhluk yang ada di dunia ini akan mengalami kematian itu. 3. (QS. al-Hijr [15]: 5)17 Bahwa Allah tidak membinasakan suatu kota dengan penduduknya melainkan sesudah cukup alasan yang menjadikan mereka patut mendapatkan azab dan sesudah pula usai masa yang telah ditetapkan bagi kebinasaan mereka. 16 17
Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz XI, h. 136. (QS. al-Hijr [15]: 5)
“Tidak ada suatu umatpun yang dapat mendahului ajalnya, dan tidak (pula) dapat mengundurkan (Nya).” (QS. al-Hijr [15]: 5)
22
Tidaklah suatu umat dapat mendahului masa binasanya atau menangguhkannya ke suatu masa yang lain. Ayat ini merupakan peringatan yang keras kepada orangorang Quraisy agar mereka menghentikan syirik mereka yang akan menyebabkan kebinasaan dan kehancuran mereka.18 Maka, janganlah (meminta) kemunduran siksa untuk mereka pada suatu saat. Karena, hal itu adalah sunnatullah yang berlaku pada jalannya yang ditentukan, dan mereka pasti akan mengetahuinya. Demikianlah kitab ketentuan masa yang ditetapkan dan ajal yang ditentukan, yang diberikan Allah bagi negeri-negeri dan bangsa-bangsa, agar mereka berkarya. Atas dasar karya dan perbuatannya, mereka tetap ingat tempat kembali mereka. Jika bangsa-bangsa dan negeri itu beriman dan berbuat baik, melakukan
perbaikan
dan
menegakkan
keadilan,
niscaya
Allah
akan
memanjangkan usia (kejayaan) bangsa dan negeri itu, sampai ia menyimpang dari asas-asas tersebut dan tak ada lagi kebaikan yang diharapkan. Saat itulah sampai ajalnya, hilang eksistensinya, kemungkinan binasa sebinasa-binasanya atau melemah secara bertahap.19 Kesimpulan dari QS. al-Hijr [15]: 5 bahwa Allah swt tidak akan memberikan suatu azab di dunia ini melainkan orang-orang yang berbuat syirik ataupun kezhaliman yang sudah melampaui batas yang dapat diampuni oleh Allah.
18
Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 510-511. 19 Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz XIV, h. 124.
23
4. (QS. al-Naḥl [16]: 61)20 Dalam firman-Nya ini, Ibn Kathīr menjelaskan sifat-sifat kasih sayangNya terhadap hamba-hamba-Nya walaupun mereka telah melakukan kezhaliman dan penganiayaan.21 Allah swt
masih memberikan kesempatan agar mereka
kembali ke jalan yang benar, dengan menangguhkan pembalasan-Nya dan azab siksa-Nya. Karena jika Allah hendak menjatuhkan hukuman-Nya yang setimpal dengan perbuatan hamba-hamba-Nya yang durhaka itu, niscaya binasalah semua yang ada di atas bumi ini dan tidak ditinggalkan sesuatu makhluk pun, akan tetapi bila waktu yang ditentukan tiba, maka tiada suatu kekuatan pun yang dapat mengundurkannya barang sesaat pun atau mendahulukannya.22 Pandangan Sayyid Quṭb bahwa Allah telah menciptakan mahkluk bernama manusia dan melimpahkan untuknya berbagai nikmat-Nya. Tetapi, manusia sendiri yang berbuat kerusakan dan berbuat zalim di muka bumi, menyimpang dari ajaran Allah dan menyekutuhkan-Nya, mereka saling menindas dan berbuat aniaya kepada makhluk lainnya. Sekalipun demikian, Akkah tetap berlaku arif dan kasih
20
(QS. al-Naḥl [16]: 61)
“Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya.” (QS. al-Naḥl [16]: 61) 21 Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 572. 22 Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 573.
24
sayang kepadanya. Dia menangguhkan siksa atasnya, tetapi Dia tidak membiarkannya. Inilah sifat kebijaksanaan beriring dengan sifat kuat, dan sifat kasih sayang bersanding dengan sifat adil. Tetapi, sayang dan kebijaksaan Allah, sehingga Allah menyiksa manusia atas dasar keadailan dan kekuatan-Nya. Yaitu, sesudah waktu yang ditentukan oleh Allah dengan kebijaksaan dan kasih sayang-Nya itu tiba, “Maka, apabila telah tiba waktu yang ditentuak bagi mereka, maka tidaklah mereka
dapat
mengudurkannya
barang
sesaat
pun
dan
tidak
pula
mendahulukannya.23 Kesimpulan dari QS. al-Naḥl [16]: 61 walaupun hamba-Nya telah melakukan kezhaliman yang sangat berat atau besar Allah akan tetap memaafkannya karena Allah mempunyai sifat kasih sayangnya yang besar yang melebihi kemurkaannya kepada hamba-Nya yang berbuat kesalahan. 5. (QS. al-Isrā’ [17]: 58)24 Dalam penafsiran QS. al-Isrā‟ [17]: 58, Ibn Kathīr menerangkan bahwa ayat ini menjelaskan dan memperingatkan, bahwa Allah telah menentukan dan menggariskan di dalam Lauḥ Maḥfūẓ-Nya.
23 24
Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz XIV, h. 191. (QS. al-Isrā‟ [17]: 58)
“Tak ada suatu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. al-Isrā‟ [17]: 58)
25
Tiada suatu negeri yang penduduknya durhaka, melakukan kemaksiatan dan kezhaliman, melainkan akan dibinasakan negeri itu dengan seluruh penduduknya atau melimpahkan azab yang sangat keras atasnya,25 dan Allah juga berfirman dalam QS. al-Ṭalāq [65]: 9.
“Maka mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan adalah akibat perbuatan mereka kerugian yang besar.” (QS. al-Ṭalāq [65]: 9) Sayyid Quṭb juga memberi penjelasan bahwa sesungguhnya Allah semata yang berkuasa mengatur nasib para hambanya. Jika Allah menghendaki, maa Dia merahmati mereka; dan jika menghendaki lain, maka Dia mengazab mereka. Sesungguhnya Tuhan-tuhan mereka yang mereka seru selain Allah itu tidak memiliki kekuasaan untuk menghilangkan marabahaya dari mereka dan memindahkannya kepada orang lain, selain mereka. Sekarang rangkaian ayat-ayat dalam surat ini berlanjut kepada penjelasan tentang nasib akhir yang akan dialami umat manusia seluruhnya, sebagaimana yang telah ditakdirkan Allah dan sesuai dengan ilmu dan qadha-Nya. Yaitu, berkahirnya negara-negara dan kehancurannya sebelum datangnya hari kiamat. Atau, turun azab atas sebagian negeri-negeri itu jika ia melakukan dosa yang menyebabkan turunya azab itu. Sehingga, tak ada satu negeri pun yang ada kecuali akan menemui ajalnya, dengan sendirinya atau hancur karena turunnya azab kepadanya.26
25
Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 60. 26 Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz XV, h. 296.
26
Kesimpulan dari QS. al-Isrā‟ [17]: 58, surat ini menjelaskan kepada hamba-Nya bahwa Allah swt sebelumnya sudah menentukan ketentuan-ketentuan yang ada di dunia ini. Baik itu berupa musibah, bencana, kesenangan, kesedihan dan ajal di dalam Lauḥ Maḥfūẓ-Nya. 6. (QS. Faṭir [35]: 45)27 Kalau Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya dan ulahnya, niscaya binasalah semua manusia di permukaan bumi ini, akan tetapi Allah menangguhkan penyiksaan mereka sampai waktu yang telah ditentukan, yaitu hari kiamat yang mana mereka akan dihisab dan dibalas masing-masing menurut amal perbuatannya selama hidup di dunia. Dan Allah Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya.28 Kesimpulan dari QS. al-Faṭir [35]: 45 jikalau Allah ingin mengazab hamba-Nya di dunia entah itu dari perbuatan atau tingkah laku manusia yang sudah melampaui batas, niscaya pasti akan binasa semua yang ada di muka bumi ini. Tetapi Allah menunda azab tersebut sampai pada hari kiamat nanti yang mana amal perbuatannya akan dihisab.
27
(QS. Faṭir [35]: 45)
“Dan kalau Sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun 27 akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; Maka apabila datang ajal mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan) hambahamba-Nya.” (QS. Faṭir [35]: 45) 28 Ibn Kathīr, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, terj. H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, h. 394-395.
27
C. Sesaat Menjelang Mati 1. (QS. Qāf [50]: 19)29 Datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu lari darinya. Yang diajak oleh ayat ini adalah manusia, apakah dia seorang mukmin ataukah seorang kafir. Ibn Kathīr menjelaskan bahwasanya manusia itu tidak dapat melarikan diri dari kematian, ke mana pun dia akan berlari. Karena dia pasti akan bertemu dengan kematian itu.30 Berbeda Sayyid Quṭb, kematian merupakan sesuatu yang diupayakan manusia untuk dihindari atau dujauhkan dari benaknya. Namun, bagaimana mungkin hal itu berhasil. Kematian senantiasa mencari. Ia tiada bosannya mencari, tidak pernah terlambat melangkah, dan tidak mengingkari janji. Sakratul maut bagaikan rombongan kafilah yang merambat di seluruh persendian. Sementara itu, pemandangan terbentang dan manusia mendengar, “Itulah yang kamu selalu lari dari padanya.”31 Kematian mengguncangkan raganya, padahal sebelumnya dia berada dalam alam kehidupan. Mengapa dikatakan demikian, padahal dia tengah menghadapi sakaratul maut? Dalam hadis sahih ditegaskan bahwa setelah Rasulullah sadar dari pingsan karena menghadapi sakaratul maut, beliau mengusap keringat dari wajahnya seraya bersabda, “Sebhanallah! Kematian itu memiliki beberapa hal yang memabukkan.” Beliau bersabda demikian, padahal
29
(QS. Qāf [50]: 19)
“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.” (QS. Qāf [50]: 19) 30 Muḥammad Nasib al-Rifā‟i, Taisīr al-Alīy al-Qādī li Ikhtiṣāri Tafsīr Ibn Kathīr, terj, Syihabuddin, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir (Bandung: Gema Insani Press, 1999), h. 454-455. 31 Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz XXVI, h. 23.
28
dirinya memilih menjadi teman di kalangan malaikat yang tinggi dan merindukan perjumaan dengan Allah. Lalu, bagaimana manusia selainnya? Perhatikanlah kata al-ḥāqq pada ungkapa, “Dan datanglah sakaratul mau yang sebenar-benarnya.” Kata itu mengisyaratkan bahwa diri manusia melihat kebenaran yang utuh dalam sakaratul maut tanpa hijab. Dia memahami apa yang semula tidak diketahuinya dan yang diingkarinya. Namun, pemahaman ini diraih setelah hilangnya kesempatan, yaitu tatkala pengliahatan tidak berguna, pemahaman tidak bermanfaat, tobat tidak diterima, dan keimanan tidak dipertibangkan. Kebenaran itulah yang dahulu mereka dustakan, sehingga mereka pun berakhir dalam perkara kacau-balau. Tatkala mereka memahami dan membenarkannya, pemahaman itu tidak lagi berguna dan bermanfaat sedikit pun.32 Kesimpulan dari QS. Qāf [50]: 19 penulis melihat adanya kesamaan dengan kesimpulan QS. al-Nisā‟ ayat 78 bahwasanya manusia tidak akan mampu melarikan diri dari kematian dan tidak akan dapat bersembunyi walaupun berada di dalam benteng karena sesuai dengan firman-Nya bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mengalami kematian dan maut akan mendatangi mereka sesuai dengan ketetapan dari-Nya.
32
Sayyid Quṭb, Tafsīr fi Ẓilāl al-Qur‟ān, juz XXVI, h. 23-24.
29
2. (QS al-Wāqi’ah [56]: 83-87)33 Ibn Kahīr menafsirkan ayat di atas dengan munasabah ayat lain sebagaima permasalahan yang menyangkut nyawa sudah sampai dikerongkongan yaitu ketika sakaratul maut tiba, sebagaimana firman-Nya, “sekali-kali jangan. Apabila nafas telah mendesak sampai ke kerongkongan dan dikatakan, „siapakah yang dapat menyembuhkan.‟ Dan dia yakin itulah saat perpisahan dengan dunia. Dan bertaut antara betis yang satu dan betis yang lain. Kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. “(QS. al-Qiyāmah [75]: 26-30)” Selain ayat di atas Ibn Kathīr juga menafsirkan ayat dengan permasalahan yang sama, hal ini bisa disebutkan dalam firman Allah swt, “padahal kamu ketika itu melihat,” yaitu melihat kehadiran malaikat maut dan apa yang dibawanya. “Dan kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu,” yaitu kami lebih dekat kepada para malaikat kami, “tetapi kamu tidak melihat” mereka. Hal ini seperti firman-Nya, “sehingga apabila datang kematian kepada salah satu seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat kami dan malaikat-malaikat kami itu tidaklah melalaikan kewajibannya. (QS. al-An‟ām [6]: 61). Dalam penafsiran Ibn Kathīr, bahwasanya orang yang sudah dalam sakratul maut tidak ada satu pun yang dapat menyembuhkannya baik itu Nabi
33
(QS. al-Wāqi‟ah [56]: 83-87)
“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, Padahal kamu ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. tetapi kamu tidak melihat, Maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)? kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (QS. al-Wāqi‟ah [56]: 83-87)
30
maupun Rasul. Mereka yang sedang merasakan sakratul maut itu bagaikan kulit yang sedang diseseti, dan mereka yang sedang mengalami sakratul maut itu pasti melihat malaikat maut tersebut. D. Cobaan-cobaan 1. (QS. al-Mulk [67]: 2)34 Di dalam QS. al-Mulk [67]: 2 menjelaskan bahwa Allah swt berfirman “Yang menjadikan mati dan hidup.” Ayat ini menjadi dalil bagi orang yang beranggapan kematian itu adalah sesuatu yang wujud karena dia adalah makhluk. Adapun maknanya adalah sesungguhnya Dialah yang telah mewujudkan semua makhluk dari yang asalnya tidak ada dengan tujuan menguji mereka siapakah diantara mereka yang paling bagus amalnya namun paling baik amalnya.35 Meskipun demikian Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat dan kembali kepada Allah setelah sebelumnya melakukan maksiat dan durhaka kepada perintah Allah. Kesimpulan dari QS. al-Mulk [67]: 2 yakni bahwa Allah Maha Mengetahui segala-galanya yang mengetahui untuk apa manusia itu diciptakan dan diturunkan ke muka bumi dengan tujuan memberikan ujian kepada mereka, adakah diantara manusia yang paling bagus amalnya atau tidak, dan juga tujuan hidup mereka di dunia ini yaitu untuk beribadah dan berbakti kepada Allah swt.
34
(QS. al-Mulk [67]: 2)
Artinya: “yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. alMulk [67]: 2) 35 Muḥammad Nasib al-Rifā‟i, Taisīr al-Alīy al-Qādī li Ikhtiṣāri Tafsīr Ibn Kathīr, h. 762.
BAB III PENGERTIAN DAN PENDAPAT ULAMA TENTANG KEMATIAN
A. Makna Kematian 1. Pengertian Kematian Menurut Kebahasaan Sebelum menggali petunjuk al-Qur‟an tentang kematian, dan untuk memahami makna kematian yang Allah telah tetapkan bagi makhluk-Nya, diperlukan pemahaman tentang arti kematian menurut kebahasaan dalam pandangan ulama. Kehidupan dan kematian bertentangan seperti pertentangan cahaya dan kegelapan,
dingin
dan panas.
Karena itu
kamus-kamus
bahasa Arab
mendefiniskan salah satu dari keduanya dengan lawan kata bagi yang lain. Pengertian al-maut atau mawatan atau muwat menurut bahasa Arab, berasal dari kata مات يموت موتاyang berarti lawan kata dari hayat (hidup). Sedangkan menurut al-Azharī dari al-Lathī; bahwa al-maut merupakan makhluk Allah swt. Sibawih mengelompokkan al-maut ke dalam fi‟il mu‟tal yang aslinya adalah َمم ِووتَمmenurut wazan فَم ِوع َمل يَم ْف ُع ُل.1 Aḥmad Idrīs Ibn Zakariyyā mengartikan kata al-maut secara bahasa sebagai “Hilangnya kekuatan dari sesuatu, dan hilang itu berarti mati; lawan katanya adalah hidup (ḥayy). Ia mendasari pengertian ini kepada kandungan makna sebuah hadis: “Siapa yang memakan (buah) dari kayu yang tidak baik ini,
1
Muḥammad Ibn Mukram Ibn Manẓūr al-Afriqī al-Miṣrī, Lisān al-„Arāb (Beirut: Dār Ṣādir, tt), Jilid 6, h. 4294.
31
32
jangan dekati masjid kami. Jika dipaksa juga memakannya, maka kekuatannya hendaknya dimatikan (dihilangkan).”2 Al-Jurjānī memberikan pengertian al-maut dalam ta‟rīfāt-nya dengan: memaksa dan memalingkan hawa nafsu dari semua keinginannya, maka barangsiapa yang mematikan hawa nafsunya maka sungguh ia telah hidup dengan petunjuk Allah swt.3 Lebih lanjut al-maut dibagi menjadi 4 macam, sebagai berikut: a. Al-maut al-abyaḍ; adalah lapar, karena lapar menerangi batin dan memutikan wajah hati, barangsiapa mati perutnya maka hidup kecerdasannya. b. Al-maut al-aḥmar; adalah memalingkan keinginan nafsu. c. Al-maut al-aḥḍar; adalah berpakaian dengan baju tambalan yang tak berharga, karena hidupnya penuh dengan sifat qana‟ah (merasa cukup dengan apa yang dikaruniakan swt). d. Al-maut al-aswad; sabar menghadapi perlakuan mahluk, dan lebur ke dalam kekuasaan Allah swt karena menyaksikan siksaan darinya, dan melihat leburnya af‟āl dalam af‟āl Kekasihnya Allah swt.4 Berbeda dari Muḥammad Ismā‟il Ibrāhīm, ia mengartikan kata al-maut sebagai “terpisahnya kehidupan dari sesuatu, lalu menjadi mati. Bumi dapat dikatakan mati jika sunyi dari kehidupan, sehingga ia menjadi vakum. Sementara al-Asfahanī membagi arti mati secara bahasa menjadi limabagia, yakni: a) 2
Abū Ḥusain Aḥmad Ibn Faris Ibn Zakariyyā, Mu‟jam al-Muqāyīs fī al-Lughah (Beirut: Dār al-Fikr, 1994), h. 968. 3 Muḥammad bin „Alī al-Jurjānī, Kitāb al-Ta‟rīfāt (Beirut: Dār al-Kitāb al-„Arābī, 1996), cet. 3, h. 304. 4 Muḥammad bin „Alī al-Jurjānī, Kitāb al-Ta‟rīfāt, h. 304.
33
hilangnya kekuatan hidup pada makhluk (QS. al-Rūm [30]: 19,5 QS. Qāf [50]: 11);6 b) hilangnya kekuatan rasa (h issiyah), seperti ucapan Mariam ketika akan melahirkan Nabi „Isā as: “Celakalah diriku, lebih baik aku mati sebelum ini” (QS. Maryam [19]: 23);7 c) hilangnya kekuatan akal (bodoh), seperti QS. al-An‟ām [6]: 122);8 d) munculnya ketakutan yang menggerogoti hidup seperti bahaya kematian, tetapi belum datang juga (QS. Ibrāhīm [14]: 17);9 e) tidur dalam (QS. al-Zumar
5
QS. al-Rūm [30]: 19
“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. dan seperti Itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur)” 6 QS. Qāf [50]: 11 “untuk menjadi rezki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). seperti Itulah terjadinya kebangkitan.” 7 QS. Maryam [19]: 23 “Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, Dia berkata: "Aduhai, Alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan".” 8 QS. al-An‟ām [6]: 122 “dan Apakah orang yang sudah mati kemudian Dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu Dia dapat berjalan di tengahtengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” 9 QS. Ibrāhīm [14]: 17 “diminumnnya air nanah itu dan hampir Dia tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi Dia tidak juga mati, dan dihadapannya masih ada azab yang berat.”
34
[39]: 42).10 Khusus untuk kematian binatang, al-Qur‟an menggunakannya dengan kata al-maitah QS. al-Mā‟idah [5]: 3.1112 Secara istilah, al-Qur‟an tidak mendefinisikan kata maut dalam arti kematian secara biologis. Dari sudut ini kematian manusia tidak ada perbedaannya dengan kematian makhluk lain. Jadi kata maut, sebagaimana dikemukakan oleh al-Asfahanī, dikhususkan kepada manusia, karena dikaitkan dengan kehidupan yang abadi di akhirat kelak. Menurutnya, kematian merupakan akhir dari kehidupan di dunia dan merupakan tanda menuju kebahagiaan yang 10
QS. al-Zumar [39]: 42 “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.”
11
H. Abuddin Nata, et al., Ensklopedi al-Qur‟an (Jakarta: Yayasan Bimantara, 1997), h.
12
QS. al-Mā‟idah [5]: 3
263. “diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
35
abadi. Mati berarti perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga merupakan awal kehidupan yang baru bagi manusia. Manusia dalam kehidupannya di dunia dan dalam kematiannya mirip dengan telur dan anak ayam. Kesempurnaan wujud anak ayam meninggalkan tempatnya selama di dalam telur. Demikian juga manusia, kesempurnaan hidupnya hanya dapat dicapai melalui perpindahannya dari tempat ia hidup di dunia menuju kehidupan yang abadi di akhirat, maka terlebih dahulu ia akan menempuh kematian.13 Sedangkan pandangan Ibn Kathīr, kematian menurutnya adalah segala sesuatu yang ada di bumi itu binasa dan zat yang kekal hanyalah Allah yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.14 Sebagian lainya menyangka bahwa mati menyerang manusia dan mulai dari kubur hingga saat dibangkitkan dari kubur tidak ada pahala atau siksa. Sebagian lainnya berpendapat bahwa jiwa manusia tidak mati, pahala atau siksa akan ditimpakan atas jiwa, bukannya atas raga, sehingga mereka mempunyai pendapat bahwa kebangkitan fisik tidak akan terjadi nanti pada hari kiamat. Ini semua adalah pendapat yang tak berdasar dan jauh dari kebenaran yaitu dari alQur‟an dan Hadis.15 Kedua paragraf di atas sudah barang tentu dapat kita pahami sebagai pendapatnya orang yang tidak beriman. Mengapa demikian? hal tersebut dapat kita perhatikan dari pandangan mereka terhadap makna kematian itu sendiri. Sesungguhnya makna kematian menurut ayat-ayat al-Qur‟an dan Hadits adalah berpisahnya ruh dengan jasad untuk sementara waktu yang telah 13
H. Abuddin Nata, et al., Ensklopedi al-Qur‟an, h. 263. Ibn Kathīr, Tafsir Ibn Kathīr, Jilid 1, h. 628. 15 Imam al-Ghazali, Ihyā „Ulum al-Dīn, terj. Purwanto. (Bandung: Marja, 2007), h. 93. 14
36
ditentukan oleh Allah swt atau juga perubahan keadaan, bahwa ketika jiwa terpisah dari raga, maka ia akan menerima pahala dan siksa, dan bahwa terpisahnya nyawa dari badan berarti hilangnya kekuatan dan daya nyawa atas badan.16 Hakikat mati bukan berarti ketiadaan semata-mata atau kehancuran keseluruhan dan kehilangan sepenuhnya. Tetapi masih ada hubungannya selepas itu. Sidi Gazalba17 menyatakan kematian ialah terhentinya jasmani berfungsi, yakni nafas, jalan darah, gerak, fikiran, perasaan dan tenaga. Mati berbeda dengan tidur, karena tidur adalah terputusnya roh sementara dengan hubungan lahiriah, Allah berfirman:
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan.18 Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” (QS. al-Zumar [39]: 42) Manusia menganggap kematian adalah sesuatu yang menakutkan. Namun, keadaan sebenarnya mengenai kehidupan di alam barzakh hanya diketahui oleh Allah sendiri. Kemudian Allah memberikan gambaran melalui nas al-Qur‟an dan 16
Imām al-Ghazālī, Iḥyā „Ulūm al-Dīn, terj. Purwanto. (Bandung: Marja, 2007), h. 94. gus-aam.blogspot.com/2012/.../makna-kematian-menurut-sains-filosof.ht... diakses pada hari selasa tanggal 28 januari 2014 18 Maksudnya: orang-orang yang mati itu rohnya ditahan Allah sehingga tidak dapat kembali kepada tubuhnya; dan orang-orang yang tidak mati hanya tidur saja, rohnya dilepaskan sehingga dapat kembali kepadanya lagi. 17
37
nabi menjabarkan kembali perkara yang masih kurang jelas dari ayat-ayat alQur‟an yang menjadi hadis nabi. Manusia mulai diingatkan agar mempersiapkan diri untuk menempuhnya dengan jalan memperbanyak amalan kebajikan dan menjauhi kemungkaran agar terjamin keselamatannya kelak.19 2. Sebab Perubahan Keadaan pada Saat Kematian Ada dua sebab sehingga perubahan keadaan ini terjadi. Sebab pertama adalah bahwa seluruh anggota tubuh seorang manusia, telinga, hidung, mata, lidah, dan sebagainya direnggut atau diambil dari jiwanya pada saat ajal dan ia berpisah dari semua sanak-saudara dan sahabatnya, dan dari semua harta benda yang dimilikinya. Jadi, ada rasa sedih, sakit, dan pedih pada saat berpisah dengan semua yang dicintai dari dunia ini. Pada saat perpindahan ke alam lain yang ia merasakan kesedihan, kesakitan, dan kepedihan berpisah dalam bentuk yang lebih hebat. Dengan demikian, terdapat perubahan keadaan pada saat seseorang mengalami kematian. Sebab kedua adalah bahwa hakikat atau sifat hakiki dari segala sesutu terungkap dan tersingkap kehadapan seseorang setelah ia mati, sehingga apapun yang selama hidup di dunia ini tersembunyi darinya sebagaimana yang tidak terungkap dan tersingkap bagi seseorang yang tidur, dapat terungkap dan tersingkap saat ia tidak tidur. Saat ini, maksudnya ketika manusia hidup di dunia ini, ia dapat diibaratkan seperti dalam keadaan tidur, dan ketika mati, mereka diibaratkan seperti bangun dari tidurnya. Yang pertama-tama tampak dan diperlihatkannya adalah amal perbuatannya. Jika di hadapannya sesuatu yang 19
http://evisyari.wordpress.com/2008/07/13/mati/
38
membawa mudharat baginya misalnya perbuatan dosa dan jika sesuatu di hadapannya membawa manfaat misalnya perbuatan baik dan taat.20 Penjelasan dari kalimat tersebut di atas adalah selama masih hidup di dunia semua amal perbuatan manusia yang baik ataupun buruk belum akan di tampakkan kepadanya selama masih hidup. Kemudian baru akan ditampakkan segala amal perbuatan tersebut ketika sedang mengalami sakaratul maut. Apabila amal perbuatannya baik maka ketika sakaratul maut akan merasakan mudah dan cepat. Sebaliknya, apabila amal perbuatannya buruk maka akan merasakan kesulitan ketika sakaratul maut. Kesibukan duniawi selama hidup di dunialah yang menyebabkan seseorang tidak menyaksikan segala amal perbuatannya di dunia. Maka tatkala kesibukan-kesibukan tersebut terhenti karena datangnya kematian, semua amal perbuatan seseorang diperlihatkan ke-hadapannya. Allah swt berfirman:
"Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu". (QS. al-Isrā‟ 14) Menurut pandangan penulis, makna dari penggalan ayat di atas adalah bahwa semua amal perbuatan manusia akan ditampak-kan kepadanya pada saat jiwanya terpisah dari tubuhnya sebelum dikuburkan. Rasa sakit dan pedih muncul saat seseorang berpisah dari dunia yang selama ini begitu menyibuk-kan dan menyenangkannya, yang pada hakikat sesungguhnya dalam kaca mata orang beriman dunia ini adalah tempat yang fana. Pada saat itulah, yang diinginkan
20
Imām al-Ghazālī, Iḥyā „Ulūm al-Dīn, terj. Purwanto. (Bandung: Marja, 2007), h. 95.
39
sesungguhnya adalah perbekalan berupa kebaikan yang diperlukan guna mengantarkannya
ke
tempat
yang
dicita-citakannya
yang
memberikan
kebahagiaan. Dengan demikian dirinya terbebas dari rasa sakit dan pedih sebelum saat kematiannya datang. Setelah seseorang dikuburkan, jiwanya dikembalikan pada tubuhnya, sehingga ia dapat merasakan pedihnya hukuman dan nikmatnya pahala. Kadang-kadang seseorang diampuni dari dosa dan kekhilafan yang dilakukannya di dunia.21
B. Tanda-tanda Kematian Tanda-tanda kematian menurut ulama adalah benar dan nyata, hanya amalan dan ketakwaan seseorang saja yang akan dapat membedakan kepekaan kita kepada tanda-tanda ini. Rasulullah saw diriwayatkan, masih mampu memperlihatkan dan menceritakan kepada keluarga dan sahabat secara langsung akan kesukaran menghadapi sakaratul maut dari awal hingga akhir hayat baginda. Imām al-Ghazālī diriwayatkan memperolehi tanda-tanda ini sehingga beliau mampu mempersiapkan dirinya untuk menghadapi sakaratul maut secara sendirian. Ia menyediakan dirinya segala persiapan termasuk mandinya, wudhu serta kafannya, hanya ketika sampai bagian tubuh dan kepala saja ia telah memanggil saudaranya yaitu Imām Aḥmad Ibn Ḥanbal untuk menyambung tugas
21
Imam al-Ghazali, Ihyā „Ulum al-Dīn, terj. Purwanto. (Bandung: Marja, 2007), h. 96.
40
tersebut. Ia wafat ketika Imām Aḥmad bersedia untuk mengkafankan bagian mukanya.22 Adapun
riwayat-riwayat
ini
memperlihatkan
kepada
seseorang
sesungguhnya Allah swt tidak pernah berlaku dhalim kepada hamba-Nya. Tandatanda yag diberikan adalah untuk menjadikan umat Islam supaya dapat bertobat dan selalu siap dalam perjalanan menghadap Allah swt. Walau bagaimanapun, semua tanda-tanda ini akan berlaku kepada orangorang Islam saja, sedangkan orang-orang kafir yaitu orang yang menyekutukan Allah, nyawa mereka ini akan dicabut tanpa peringatan sesuai dengan kekufuran mereka kepada Allah swt. Adapun tanda-tanda ini terdiri beberapa keadaan: 1. 100 hari sebelum hari kematian Ini adalah tanda pertama dari Allah swt kepada hambanya dan hanya akan disadari oleh mereka-mereka yang dikehendakinya. Walau bagaimanapun semua orang Islam akan mendapat tanda ini, hanya apakah mereka sadar atau tidak saja. Tanda ini akan berlaku lazimnya setelah waktu asar. Seluruh tubuh mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki akan mengalami getaran seakan-akan menggigil. Contohnya sepeti gaging sapi atau kambing yang baru disembelih, di mana jika diperhatikan dengan teliti akan mendapati daging tersebut seakan-akan bergetar. Tanda ini rasanya nikmat, dan bagi mereka yang sadar dan berdetak di
22
Rijal Ridwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 12 28 Agustus 2014 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnyakematian.html
41
hatinya bahwa mungkin ini adalah tanda kematian maka getaran ini akan berhenti dan hilang setelah sadar akan kehadiran tanda ini. Bagi mereka yang tidak diberi kesadaran atau mereka yang hanyut dengan kenikmatan tanpa memikirkan soal kematian, tanda ini akan lenyap bagitu saja tanpa ada manfaat. Bagi yang sadar dengan kehadiran tanda ini maka ini adalah peluang terbaik untuk memanfaatkan masa yang ada untuk mempersiapkan diri dengan amalan dan urusan yang akan dibawa atau ditinggalkan sesudah mati.23 2. 40 hari sebelum hari kematian Tanda ini juga akan terjadi sesudah waktu asar. Bagian pusat seseorang akan berdenyut-denyut atau berdetak-detak. Pada ketika ini daun yang tertulis nama akan gugur dari pohon yang letaknya di atas arsyh Allah swt. Maka malaikat maut akan mengambil daun tersebut dan mulai membuat persediannya ke atas antaranya adalah ia akan mulai mengikuti sepanjang waktu. Akan terjadi malaikat maut ini akan memperlihatkan wajahnya sekilas dan jika ini akan terjadi, mereka yang terpilih ini akan merasakan seakan-akan bingung sekitika. Adapun malaikat maut ini wujudnya cuma seorang tetapi kuasanya untuk mencabut nyawa adalah bersamaan dengan jumlah nyawa yang akan dicabutnya.24
23
Rijal Agustus 2014 kematian.html 24 Rijal Agustus 2014 kematian.html
Ridwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 28 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnyaRidwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 28 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnya-
42
3. 7 hari sebelum kematian Adapun tanda ini akan diberikan hanya kepada mereka yang diuji dengan musibah sakit di mana orang sakit yang tidak makan secara tiba-tiba dia berselera untuk makan.25 4. 3 hari sebelum hari kematian Pada masa ini akan terasa denyutan di bagian tengah dahi kita yaitu di antara dahi kanan dan dahi kiri. Jika tanda ini dapat diketahui / dipahami maka berkuasalah seseorang setelah itu supaya perut tidak mengandung banyak najis. Dan ini akan memudahkan urusan orang yang akan memandikan orang mati nanti.26 Ketika ini juga mata hitam seseorang tidak akan bersinar lagi dan bagi orang yang sakit hidungnya akan perlahan-lahan turun. Dan ini dapat diketahui jika seseorang melihatnya dari bagian sisi. Telinganya akan layu di mana bagian ujungnya akan berangsur-angsur masuk ke dalam. Telapak kakinya yang terlunjur akan perlahan-lahan jatuh ke depan dan sukar ditegakkan.27
25
Rijal Agustus 2014 kematian.html 26 Rijal Agustus 2014 kematian.html 27 Rijal Agustus 2014 kematian.html
Ridwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 28 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnyaRidwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 28 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnyaRidwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 28 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnya-
43
5. 1 hari sebelum hari kematian Akan berlaku sesudah waktu asar di mana seseorang akan merasakan satu denyutan di sebelah belakang yaitu di bagian ubun-ubun di mana ini menandakan tidak akan sempat untuk menemui waktu asar keesokan harinya.28 6. Tanda akhir Akan berlaku keadaan di mana seseorang akan merasakan satu keadaan dingin di bagian pusat dan akan turun ke pinggang dan seterusnya akan naik ke bagian khalkum. Ketika ini hendaklah kita terus mengucap kalimat syahadat dan berdiam diri dan menantikan kedatangan malaikat maut untuk menjemput seseorang kembali kepada Allah swt yang telah menghidupkan dari sekarang akan mematikan pula.29
C. Cara Menghadapi Kematian dengan Bertaubat Tobat berasal dari kata taba-yatubu yang berarti kembali dari perbuatan maksiat kepada Allah swt.30 Sedangkan dalam arti kata lain bermakna menyesal.31 Dari sekian kata tobat yang muncul dalam al-Qur‟an, pada pokoknya dirujukan kepada dua kelompok. Pertama, tobat yang mengacu kepada arti tobat manusia (meninggalkan perbuatan buruk). Kedua, kata tobat yang mengacu kepada arti
28
Rijal Ridwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 28 Agustus 2014 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnyakematian.html 29 Rijal Ridwan, “Tanda-tanda Akan Datangnya Kematian”, artikel ini diakses pada 12 28 Agustus 2014 dari http://rijalridwanullah.blogspot.com/2013/02/tanda-tanda-akan-datangnyakematian.html 30 Louis Makluf, al-Munjid fī al-Lughah Wa al-A‟lām, (Beirut: Dār al-Syuruq, 1987), cet ke-34, h. 66 31 Atabik Ali dan Ahmad Zudhi Muhdlor, Kamus al-Ashri: Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996), cet ke-2, h. 379.
44
tobat Allah (Allah mengampuni dosa manusia).32 Sebagaimana dalam al-Qur‟an menggambarkan,
“Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim. mereka itu, balasannya Ialah: bahwasanya la'nat Allah ditimpakan kepada mereka, (demikian pula) la'nat Para Malaikat dan manusia seluruhnya, mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh, kecuali orang-orang yang taubat, sesudah (kafir) itu dan Mengadakan perbaikan. karena Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Āli-Imrān [3]: 86-89) Kebanyakan ulama menjelaskan tobat dengan arti meninggalkan dosa dalam segala bentuknya, menyesali dosa yang pernah dilakukan, dan bertekad untuk tidak melakukan dosa lagi. Inilah pengertian tobat yang paling umum dan sering dipakai di kalangan para ulama. Tetapi, dalam buku-buku yang membicarakan masalah tasawuf, dikatakan bahwa tobat manusia tidak saja
32
Burhan Djamaluddin, konsepsi taubat: pintu pengampunan dosa besar, dosa syirik masih terbuka, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1996), cet ke-1, h. 1.
45
terbatas pada kembali dari dosa kepada yang benar. Lebih dari itu, tobat adalah kembali dari yang benar kepada yang lebih benar.33 Terlepas dari perbedaan pendapat dalam memberikan penjelasan dari pengertian tobat secara umum. Rumusan tobat sebagaimana dipaparkan oleh para ulama, berarti bahwa tobat akan datang dari pihak manusia. Itu pun terbatas pada tobat manusia yang beriman kepada Allah dengan cara meninggalkan dosa dan tobat manusia tidak beriman dengan cara meninggalkan kekafiran menuju keimanan. Jadi, pada dasarnya pembicaraan mengenai tobat adalah pembicaraan mengenai pengampunan Allah atas dosa manusia, yaitu kepada siapa saja pengampunan hanya diperuntukkan bagi orang mukmin yang bertobat dengan cara meninggalkan dosa atau bagi orang yang kafir yang bertobat dengan cara meninggalkan kekafiran. Dalam buku lain disebutkan bahwa tobat adalah perasaan hati kecil yang merupakan penyesalan atas segala yang telah terjadi, kemudian mengharapkan ampunan Allah swt dengan menjauhi segala perbuatan dosa dan selalu berbuat kebaikan. Dengan berbuat baik inilah tobat seseorang dan seluruh penyesalannya akan diterima oleh Allah swt. Apabila bertobat hanya sekedar mengisi kekosongan saja dan tidak mengerjakan apa yang diperintahkan Allah, maka dia tidak dikatakan bertobat, terkecuali kalau dia benar-benar kembali kepada Allah
33
Burhan Djamaluddin, konsepsi taubat pintu pengampunan dosa besar, h. 3.
46
swt dan berusaha meninggalkan dari apa yang dilarang Allah dan menanamkan makna tobat di dalam dirinya.34
34
Shaleh Ghanim as-Sadlani, Bagaimana Seharusnya Kita Bertobat, (Jakarta: Firdaus, 1992), h. 5-6.
BAB IV KEMATIAN MENURUT IBN KATHĪR Pada bab ini akan dijelaskan tentang kematian menurut pandangan Ibn Kathīr dalam beberapa surat dan ayat yang yang dijadikan sampel terkait dengan kematian, hanya saja pembahasannya kali ini berbeda dalam bab tiga. Surat dan ayat yang akan dibahas yaitu QS. al-Nisā‟ [4]: 78; QS. Āli „Imrān [3]: 185, dan 156-158; QS. al-Jumu‟ah [62]: 5-8. A. Kematian dalam Pandangan Ibn Kathīr Ibn Kathīr menjelaskan pandangan tentang kematian, menurutnya kematian adalah tidak seorang pun manusia yang selamat dari maut. Ibn Kathīr menyebutkan perihalnya sama dengan yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: َُٖا فَاْٞ َ“ ُموُّ ٍَ ِْ َػيSemua yang ada di bumi itu akan binasa.” (QS. alRaḥmān: 26). س َذائِقَةُ ْاى ََْ٘ ت ٍ “ ُم ّو َّ ْفTiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Āli „Imrān: 185).
َ ل ْاى ُل ْي َ ِ“ َٗ ٍَا َ َؼ ْيَْا ىِ َ َ ٍ ٍِ ِْ َ ْيKami tidak menjadikan hidup
abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu.”(QS. al-Anbiyā: 34).1 Pandangan Ibn Kathīr lain menjelaskan bahwa semua makhluk secara umum baik manusia, hewan, jin, malaikat dan segalah sesuatu yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Hanya Allah sendirilah yang Hidup Kekal dan tidak mati. Hanya Allah sematalah Yang Maha Esa lagi Maha perkasa Yang Kekal Abadi. Dengan demikian, berarti Allah Yang Maha akhir, sebagaimana Dia Maha Pertama
1
Al-Imām Abū al-Fida Ismā‟il Ibn Kathīr al-Dimashqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm, terj. Bahrun Abu Bakar, dkk. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), juz 5, h. 322-323.
47
48
(Akhirnya Allah tidak ada kesudahannya dan Permulaan Allah tidak ada awalnya). B. Ayat-ayat Kematian 1. QS. al-Nisā’ [4]: 78
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? (QS.al-Nisā‟ [4]: 78) Ibn Kathīr menjelaskan bahwa kalian pasti akan mati, dan tiada seorang pun dari kalian yang selamat dari maut. Dalam pembahasan ayat ini, Ibn Kathīr menyebutkan perihalnya sama dengan yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: َُٖا فَاْٞ َ“ ُموُّ ٍَ ِْ َػيSemua yang ada di bumi itu akan binasa.” (QS. alRaḥmān: 26). س َذائِقَةُ ْاى ََْ٘ ت ٍ “ ُم ّو َّ ْفTiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Āli „Imrān: 185).
َ ل ْاى ُل ْي َ ِ“ َٗ ٍَا َ َؼ ْيَْا ىِ َ َ ٍ ٍِ ِْ َ ْيKami tidak menjadikan hidup
abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu.”(QS. al-Anbiyā: 34).2
2
Al-Imām Abū al-Fida Ismā‟il Ibn Kathīr al-Dimashqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm, terj. Bahrun Abu Bakar, dkk. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), juz 5, h. 322-323.
49
Makna yang dimaksud ialah setiap orang pasti akan mati, tiada sesuatu pun yang dapat menyelamatkan dia dari kematian, baik dia ikut dalam berjihad ataupun tidak ikut berjihad. Karena sesungguhnya umur manusia itu ada batasnya dan mempunyai ajal yang telah ditentukan serta kedudukan yang telah ditetapkan3 baginya. Seperti yang dikatakan oleh Khālid Ibn al-Walīd ketika menjelang kematiannya di atas tempat tidurnya:
ُ ْ ِٖ َ ْ َىَق ِْ ٍِ ِٔ َ ْ ٌحْٞ ِ ئِ ّّل َٗفِٚضائ َ َٗ ٍَا ٍِ ِْ َػضْ ٍ٘ ٍِ ِْ أَ ْػ٬ ت َم َ ا َٗ َم َ ا ٍَْ٘ ِفا ًا ُ ٍُْ٘ َ ََٕٗا أََّا أ٬َ ٍةٍْٞ َ ََْٗ ْؼَْ ٍة أ . ُُِ ْاى ُل ََْا ٍاٞ فَ َ َّا ٍَث أَ ْػٜ ِ فِ َ اَٚت َػي Sesungguhnya aku telah mengikuti perang anu dan perang anu, dan tiada suatu anggota tubuhku melainkan padanya terdapat luka karena tusukan atau lemparan panah. Tetapi sekarang aku mati di atas tempat tidurku, semoga mata orang-orang yang pengecut tidak dapat tidur. Ibn Kathīr menjalanjutkan penafsiran pada firman Allah swt.: َِٜٗىَْ٘ ُم ْْحٌُ ف ٍ َ َّيٞ َ ٍُ ٍ ُْٗ ُ , “kendatipun kalian di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” Yakni benteng yang kuat, kokoh, lagi tinggi. Ia menyebutkan pendapat lain, yang dimaksud dengan burūj ialah bintang-bintang yang ada di langit. Pendapat ini dikatakan oleh al-Saddī, tetapi lemah. Pendapat yang sahih ialah yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengannya adalah benteng yang kuat. Dengan kata lain, tiada gunanya sikap waspada dan berlindung di tempat yang kokoh dari ancaman maut. Seperti yang dikatakan oleh seorang penyair (Jahiliah), yaitu Zuhair Ibn Abū Salmā:
ٌٍ اا اى َّيل ََا ِا ِلُيَّي َ َ ْ َُِْ ْئَُْ َٗىَْ٘ َ ا ًَ أٝ َاٝاا ْاى َََْا َ َ ْ ََاا أ َ ٕ ِْ ٍَ َٗ Barang siapa yang takut terhadap penyebab kematian, niscaya dia akan didapatkannya sekalipun dia naik ke langit yang tinggi dengan memakai tangga. 3
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 323.
50
Kemudian menurut pendapat yang lain, al-mushayyadah sama artinya dengan al-mashīdah. Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya: ٍ َْٗ َص ٍ ْٞ ِ ٍ“ َّيdan istana yang tinggi.” (QS. al-Ḥājj: 45). Menurut pendapat yang lainnya lagi, di antara keduanya terdapat perbedaan, yaitu: Kalau dibaca al-mushayyadah4 dengan memakai tashdīd artinya yang ditinggikan, sedangkan kalau dibaca takhfīf (tanpa tashdīd) artinya yang dibangun dengan memakai batu kapur.5 Ibn Kathīr menceritakan sebuah kisah. Ia mengutip pendapat Ibn Jarīr dan Ibn Abū Ḥātim sehubungan dengan ayat ini mengetengahkan sebuah kisah panjang dari Mujahid, bahwa zaman dahulu terdapat seorang wanita yang sedang melahirkan, lalu si wanita itu memerintahkan kepada pelayannya untuk mencari api. Ketika si pelayan keluar, tiba-tiba ia bersua dengan seorang lelaki yang sedang berdiri di depan pintu (entah dari mana datangnya). Lalu lelaki itu bertanya, “Apakah wanita itu telah melahirkan bayinya?” Si pelayan menjawab, “Ya, seorang bayi perempuan.” Selanjutnya lelaki itu berkata, “Ingatlah, sesungguhnya bayi perempuan itu kalau sudah dewasa nanti akan berbuat zina dengan seratus orang laki-laki, kemudian ia dikawini oleh pelayan si wanita itu, dan kelak matinya disebabkan oleh laba-laba.” Mujahid melanjutkan kisahnya, bahwa pelayan itu kemudian kembali ke dalam rumah dan dengan serta-merta ia merobek perut si bayi dengan pisau hingga menganga lebar, lalu ia pergi melarikan diri karena ia merasa yakin bahwa bayi itu telah mati. Melihat hal itu ibu si bayi segera mengobati luka tersebut 4 5
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 324. Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 325.
51
dengan menjahitnya. Lama-kelamaan luka si bayi sembuh dan ia tumbuh hingga remaja. Setelah dewasa, ia menjadi wanita yang tercantik di kotanya.6 Sedangkan si pelayan yang kabur tadi pergi menjelajahi semua daerah, dan akhirnya ia menjadi penyelam, lalu berhasil memperoleh harta yang berlimpah (dari dalam laut). Dengan bekal harta itu ia menjadi orang yang paling kaya, lalu ia kembali ke negerinya semula dan benuaksud untuk kawin. Untuk itu ia berkata kepada seorang nenek, “Aku ingin kawin dengan wanita yang paling cantik di kota ini.” Si nenek berkata, “Di kota ini tidak ada wanita yang lebih cantik dari si Fulanah.” Ia berkata, “Kalau demikian pergilah kamu untuk melamarnya buatku.” Si nenek akhirnya berangkat ke rumah wanita yang dimaksud, dan ternyata si wanita itu menyetujui lamarannya. Ketika akan menggaulinya, ia sangat terpesona dengan kecantikan istrinya itu. Maka si istri itu bertanya kepadanya mengenai asal-usulnya. Lalu ia menceritakan kepada istrinya semua yang pernah ia7 alami hingga menyangkut masalah bayi perempuan tadi. Maka si istri menjawab, “Akulah bayi perempuan itu,” lalu si istri memperlihatkan bekas robekan yang ada pada penitnya, hingga ia percaya dengan bukti tersebut. Ia berkata, “Jika dulu engkau benar-benar bayi tersebut,
sesungguhnya
ada seorang lelaki
(barangkali
malaikat)
yang
memberitahukan kepadaku tentang dua perkara yang merupakan suatu keharusan akan menimpamu. Salah satunya ialah bahwa engkau telah berbuat zina dengan seratus orang laki-laki.” Si istri menjawab, “Memang aku telah berbuat itu, tetapi aku lupa dengan berapa banyak lelaki aku melakukannya.” Si suami menjawab, 6 7
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 325. Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 325.
52
“Jumlah mereka adalah seratus orang laki-laki.” Si suami melanjutkan kisahnya, “Hal yang kedua ialah engkau akan mati karena seekor laba-laba.” Karena si suami sangat mencintai istrinya, maka ia membangunkan untuk si istri sebuah gedung yang kokoh lagi tinggi untuk melindunginya dari penyebab tersebut. Tetapi pada suatu hari ketika mereka sedang asyik masyuk, tiba-tiba ada seekor laba-laba di atap rumah. Lalu ia memperlihatkan laba-laba itu kepada istrinya. Maka si istri berkata, “Inikah yang engkau takutkan akan menyerang diriku? Demi Allah, bahkan akulah yang akan membunuhnya.” Para pembantu menurunkan laba-laba itu dari atap ke bawah, kemudian si istri dengan sengaja mendekatinya dan menginjaknya dengan jempol kakinya hingga laba-laba itu mati seketika itu juga. Akan tetapi, takdir Allah berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Ternyata ada sebagian dari racun laba-laba itu yang masuk ke dalam kuku jari kakinya dan terus menembus ke dagingnya, hingga kaki si wanita itu menjadi hitam dan membusuk; hal tersebutlah yang mengantarkannya kepada kematian.8 Dalam pembahasan ini Ibn Kathīr mengetengahkan sebuah kisah tentang Raja al-Ḥaḍar yang bernama Saṭīrun, ketika ia diserang oleh Raja Sabūr yang mengepung bentengnya. Akhirnya Sabūr dapat membunuh semua orang yang ada di dalam benteng sesudah mengepungnya selama dua tahun. Sehubungan dengan kisah ini orang-orang Arab merekamnya ke dalam syair-syair mereka, yang antara lain mengatakan:
8
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 325-326.
53
ُ ُْ٘ ِٔ َٗ ْاى َلاْٞ َ اِىَٚ ْْ ـ ـيَةُ جُل ٍ ْ٘ ُذ َ آُ ُٗ ُمـْٜ ِ ِ فْٞ ًاـا فَيِيطَّي ُ ـ َُ ْي ٌ ُْ٘ل َػ ُْْٔ فَ َا ُُٔ ٍَْٖلـ
ض ِ ئِ ْذ ََْآُ َٗئِ ْذ َد َ َٗأَ ُخْ٘ ا ْاى َح َ ـا َدُٓ ٍَ ْ ٍَ ًاا َٗ َ يَّيـئَُ َم ْيـ ْاى ََُْْ٘ ُِ فَ َا َد ْاىـٛ ِ َِٝىَ ٌْ جَ ِٖ ُْٔ أ
Raja Al-Ḥaḍar, ketika membangun negerinya dan Sungai Tigris dialirkannya menuju negerinya, begitu pula Sungai Khabūr, ia membangun istananya dengan memakai batu marmar dan lantainya memakai keramik yang indah lagi anggun.9 Di atas puncak istananya yang tinggi itu banyak burung merpati bersarang. Tangan-tangan kematian tidak ditakuti oleh benteng yang kokoh lagi tinggi itu. Akan tetapi, si raja binasa dalam membela bentengnya yang kini menjadi reruntuhan yang ditinggalkan. Ketika „Alī masuk menemui „Uthmān, ia mengatakan, “Ya Allah, persatukanlah umat Muhammad.” Kemudian „Alī mengucapkan syair berikut:
َ ََْ٘ ْاىٙ َ َأ ْاى ِ َ ِد َٗ ٍُ َ ِّؼًاـاَِٜ َع ىِ َؼـا ٍد ٍَ َ ًاذا فٝ ٌْ َ ًازا َٗىْٝ َز ِ ػََٚ ْقٝت َّل ُ ِٞ َٝ ٌ َْث أَ ْٕ ُو ْاى ِحصْ ِِ َٗ ْاى ِحصْ ُِ ٍُ ْغي ِلَٖا ٍَ َؼاْٝ ِ َ ََاِٜ ْاى ِل َا ُه فَِٜأْجَٝٗ ق Aku melihat bahwa maut tidak menyisakan seorang yang perkasa pun, dan tidak pernah memberikan perlindungan kepada pemberontak di negeri ini dan kawasan ini. Penduduk benteng tinggal dengan aman, sedangkan pintu benteng dalam keadaan tertutup kemegahan dan tingginya menyamai bukit-bukit. Ibn Hishām mengatakan bahwa Kisrā Sabūr —yang dijuluki Ẓū al-Aktāf— yang membunuh Saṭīrun, Raja al-Ḥaḍar. Tetapi di lain kesempatan Ibn Hishām mengatakan pida bahwa sesungguhnya orang yang membunuh Raja al-Ḥaḍar adalah Sabūr Ibn Ardshīr Ibn Babik, generasi pertama Raja Banī Sasān; dia pulalah yang mengalahkan raja-raja Ṭawāif dan mengembalikan kekuasaan kepada kekaisarannya. Adapun Sabūr yang dijuluki Ẓū al-Aktāf, dia bani muncul jauh sesudah itu. Demikianlah menunit riwayat yang diketengahkan oleh al-Suhailī. Ibn Hishām menceritakan bahwa Sabūr mengepung benteng Saṭīrun selama dua tahun.
9
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 327.
54
Peperangan itu terjadi karena Saṭīrunlah yang memulainya; Satimn menyerang negeri Sabūr di saat Raja Sabūr sedang bepergian ke Irak. Pada suatu hari putri Raja Saṭīrun bernama Nadirah naik ke atas benteng, lalu ia melihat-lihat, dan pandangan matanya tertuju ke arah Raja Sabūr yang memakai pakaian kebesaran yang terbuat dari kain sutra, di atas kepalanya terdapat mahkota terbuat dari emas murni yang bertatahkan intan dan berbagai macam batu permata yang amat langka. Hati si putri terpikat, lalu ia menyusup menemuinya dan mengatakan kepadanya, “Jika aku bukakan pintu benteng ini, maukah kamu memperistri diriku?” Maka Raja Sabur menjawab, “Ya.” Pada sore harinya Raja Saṭīrun minum khamr hingga mabuk, dan sudah menjadi kebiasaannya bila hendak tidur ia mabuk terlebih dahulu. Maka putrinya mengambil kunci pintu gerbang benteng dari bawah bantal ayahnya. Setelah itu kunci tersebut ia kirimkan kepada Raja Sabūr melalui seorang bekas budaknya, maka Raja Sabūr dapat membuka benteng tersebut. Menurut riwayat yang lain, si putri menunjukkan kepada mereka sebuah rajah yang berada di dalam benteng itu. Benteng tersebut tidak akan dapat dibuka sebelum diambil seekor burung merpati abu-abu, lalu kedua kakinya dibasahi dengan kotoran darah haid seorang gadis yang bermata biru, kemudian baru dilepaskan terbang. Apabila burang merpati itu hinggap di atas tembok benteng, maka tembok benteng itu akan runtuh dan terbukalah pintu gerbangnya. Raja Sabūr melakukan hal tersebut. Setelah pintu gerbang benteng terbuka, maka Sabūr membunuh Raja Saṭīrun dan berlaku sewenang-wenang kepada
55
penduduk benteng, lalu merusaknya hingga menjadi puing-puing. Kemudian ia berangkat bersama putri tersebut yang telah ia kawini.10 Tersebutlah bahwa di suatu malam hari ketika si putri telah berada di atas peraduannya, tiba-tiba ia gelisah, tidak dapat tidur.11 Hal ini membuat resah si raja, lalu ia mengambil sebuah lilin dan memeriksa tempat tidur istrinya, ternyata ia menjumpai selembar daun pohon as (yang pada zaman itu sebagai kertas). Raja Sabūr berkata kepadanya, “Rupanya inilah yang menyebabkan kamu tidak dapat tidur. Apakah yang telah dilakukan oleh ayahmu di masa lalu?” Ia menjawab, “Dahulu ayahku menghamparkan kain sutra kasar buat permadaniku dan memakaikan kepadaku kain sutra yang indah-indah, serta memberiku makan sumsum dan memberiku minuman khamr.” Al-Ṭabarī menceritakan bahwa dahulu ayah si putri memberinya makan sumsum dan zubdah serta madu yang bermutu tinggi, dan memberinya minum khamr. Al-Ṭabarī menceritakan pula, bahwa Raja Sabūr dapat melihat sumsum betisnya (karena kecantikannya dan keindahan tubuhnya). Raja Sabūr akhirnya berkata, “Ternyata jasa ayahmu itu dibalas olehmu dengan air tuba, dan engkau pun pasd akan lebih cepat melakukan hal yang sama terhadap diriku.” Raja Sabūr akhirnya memerintahkan agar permaisurinya itu ditangkap, lalu gelungan rambutnya diikatkan ke buntut kuda, kemudian kudanya dihardik untuk lari sekencang-kencangnya, hingga matilah ia diseret kuda.
10 11
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 328. Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 328.
56
ٌص ٌُْٖ َ َلَْة ِ ُ“ َٗاِ ُْ جdan jika mereka memperoleh kebaikan.” (QS. al-Nisā‟: 78). Yaitu kemakmuran dan rezeki yang berlimpah berupa buah-buahan, hasil pertanian, banyak anak, dan lain-lainnya berupa rezeki. Demikianlah menurut pendapat Ibn Abbās, Abū al-Aliyah, dan al-Saddī.12 ٌِّ َةٞ َ ٌْ ُْٖ ص ِ َُقُْ٘ ىُ٘ا َٕا ِذ ِٓ ٍِ ِْ ِػ ْْ ِ ِ َٗئُِ جٝ, mereka mengatakan, “Ini adalah dari sisi Allah,” dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana. (QS. al-Nisā‟: 78). Berupa paceklik, kekeringan, dan rezeki yang kering, atau tertimpa kematian anak atau tidak mempunyai penghasilan atau lain-lainnya yang merupakan bencana. Demikianlah menurut pendapat Abū al-Aliyah, dan al-Saddī. َقُْ٘ ىُ٘ا َٕا ِذ ِٓ ٍِ ِْ ِػ ْْ ِ كٝ, mereka mengatakan, “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad).” (QS. al-Nisā‟: 78). Yakni dari sisi kamu, disebabkan kami mengikuti kamu dan memasuki agamamu. Seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya yang menceritakan perihal kaum Fir‟aun, yaitu: ُفَا ِ َذا َ ا َا ْجُٖ ٌُ ْاى َح َلَْة ُٔ َٗ ٍَ ِْ َّيٍ َؼٚ َ َُْ٘ ِ َّي ُْٗ اَّٞيطَّيٝ ٌِّ َةٞ َ ٌْ ُْٖ ص ِ ُ اَىُْ٘ ا ىََْا َٕ ِ ِٓ َٗئِ ُْ ج, Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata, "Ini adalah karena (usaha) kami." Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang mengikutinya. (QS. al-A‟rāf: 131). Juga semakna dengan apa yang terkandung di dalam firman-Nya:
ٍ ْ َ ََٚ َػي
ُ ُ َ ْؼٝ ِْ ٍَ اا ِ َٗ ٍَِِ اىَّْي, Dan di
antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi. (QS. alḤājj: 11), hingga akhir ayat. Demikian pula yang dikatakan oleh orang-orang munafik, yaitu mereka yang masuk Islam lahiriahnya, sedangkan hati mereka benci terhadap Islam. Karena itulah bila mereka tertimpa bencana, maka mereka
12
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 329.
57
kaitkan hal itu dengan penyebab karena mengikuti Nabi saw. Al-Saddī mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: ٌص ٌُْٖ َ َلَْة ِ ُ َٗاِ ُْ ج, “dan jika mereka memperoleh kebaikan.” (QS. al-Nisā‟: 78). Kemudian Ibn Kathīr menjelaskan kata al-ḥasanah ialah kemakmuran dan kesuburan yang membuat ternak mereka berkembang biak dengan pesatnya— begitu pula ternak kuda mereka— dan keadaan mereka menjadi membaik serta istri-istri mereka melahirkan anak-anaknya. ٌِّ َةٞ َ ٌْ ُْٖ ص ِ َُقُْ٘ ىُ٘ا َٕا ِذ ِٓ ٍِ ِْ ِػ ْْ ِ ِ َٗئُِ جٝ, mereka mengatakan, “Ini adalah dari sisi Allah,” dan kalau mereka tertimpa sesuatu bencana. (QS. al-Nisā‟: 78). Yang dimaksud dengan sayyi-ah ialah kekeringan (paceklik) dan bencana yang menimpa harta mereka; maka mereka melemparkan kesialan itu kepada Nabi Muhammad saw., lalu mereka mengatakan, “Ini gara-gara kamu.” Dengan kata lain, mereka bermaksud bahwa karena kami meninggalkan agama kami dan mengikuti Muhammad, akhirnya kami tertimpa bencana ini. Maka Allah swt. menurunkan firman-Nya: ِ ِ ْْ ُوْ ُم ٌّلو ٍِّ ِْ ِػ, Katakanlah, “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” (QS. al-Nisā‟: 78) Adapun firman Allah Swt.:
ِ ِ ْْ ُوْ ُم ٌّلو ٍِّ ِْ ِػ, Katakanlah, “Semuanya
(datang) dari sisi Allah.” (QS. al-Nisā‟: 78). Maksudnya, semuanya itu adalah atas ketetapan dan takdir Allah, Dia melakukan keputusan-Nya terhadap semua orang, baik terhadap orang yang bertakwa maupun terhadap orang yang durhaka, dan baik terhadap orang mukmin maupun terhadap orang kafir, tanpa pandang bulu.13
13
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 331.
58
Ibn Kathīr merujuk sebuah riwayat „Alī Ibn Abū Ṭalḥah meriwayatkan dari Ibn Abbās sehubungan dengan firman-Nya:
ِ ِ ْْ ُوْ ُم ٌّلو ٍِّ ِْ ِػ, Katakanlah,
“Semuanya (datang) dari sisi Allah.” (QS. al-Nisā‟: 78). Yaitu kebaikan dan keburukan itu semuanya dari Allah. Hal yang sama dikatakan oleh al-Ḥasan alBaṣrī. Kemudian Allah swt. berfirman, mengingkari mereka yang mengatakan demikian yang timbul dari keraguan dan kebimbangan mereka, minimnya pemahaman dan ibnu mereka yang diliputi dengan kebodohan dan aniaya, yaitu: ثًااْٝ ِ َ َُ ََُْٖ٘ ْفقٝ َُ َْٗ َنا ُدٝفَ ََا ِه َٕاؤ َُّل ِا ْاىقَْ٘ ًِ َّل, Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun. (QS. al-Nisā‟: 78). Sehubungan dengan firman-Nya: ِ ِ ْْ ُوْ ُم ٌّلو ٍِّ ِْ ِػ, Katakanlah, “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” (QS. al-Nisā‟: 78) terdapat sebuah hadis garib yang diriwayatkan oleh al-Ḥāfiẓ Abū Bakr al-Bazzār. Telah menceritakan kepada kami al-Sakan Ibn Sa„īd, telah menceritakan kepada kami „Umar Ibn Yūnus, telah menceritakan kepada kami Ismā‟il Ibn Ḥammad, dari Muqāḍ Ibn Ḥayyān, dari „Amr Ibn Shu‟aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang telah menceritakan, “Ketika kami sedang duduk di sisi Rasulullah saw., datanglah Abū Bakr bersama dua kabilah, suara mereka kedengaran amat gaduh. Lalu Abū Bakr duduk di dekat Nabi saw. dan „Umar pun duduk di dekat Abū Bakr. Maka Rasulullah saw. bertanya, „Mengapa suara kamu berdua kedengaran gaduh?‟ Seorang lelaki memberikan jawaban, „Wahai Rasulullah, Abū Bakr mengatakan bahwa semua kebaikan dari Allah dan semua keburukan dari diri kita sendiri.‟14 Rasulullah saw.
14
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 332.
59
bersabda, „Lalu apakah yang kamu katakan, hai „Umar?‟ „Umar menjawab, „Aku katakan bahwa semua kebaikan dan keburukan dari Allah.‟ Rasulullah saw. bersabda, „Sesungguhnya orang yang mula-mula membicarakan masalah ini adalah Jibrīl dan Mikāil. Mikāil mengatakan hal yang sama seperti apa yang dikatakan olehmu, hai Abū Bakr. Sedangkan Jibrīl mengatakan hal yang sama seperti apa yang dikatakan olehmu, hai „Umar.‟ Nabi saw. melanjutkan kisahnya, „Penduduk langit
pun berselisih
pendapat
mengenainya. Jika penduduk langit berselisih, maka penduduk bumi pun berselisih pula. Lalu keduanya mengajukan permasalahannya kepada Malaikat Isrāfil. Maka Isrāfil memutuskan di antara mereka dengan keputusan bahwa semua kebaikan dan semua keburukan berasal dari Allah.‟ Kemudian Rasulullah saw. berpaling ke arah Abū Bakr dan „Umar, lalu bersabda, „Ingatlah keputusanku ini olehmu berdua. Seandainya Allah berkehendak untuk tidak didurhakai, niscaya Dia tidak akan menciptakan iblis.‟ Shaikh al-Islām Taqīy al-Dīn Abū al-Abbās Ibn Taimiyah mengatakan bahwa hadis ini mawḍū‟ lagi buatan, menurut kesepakatan ahli ma‟rifah (para ulama).15 2. QS. Āli ‘Imrān [3]: 185
15
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 5, h. 333.
60
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.( QS. Āli „Imrān [3]: 185). Pada surat ini, Ibn Kathīr menjelaskan bahwa Allah swt. memberitahukan kepada semua makhluknya secara umum. bahwa setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Perihalnya sama dengan firman Allah swt. yang mengatakan: ُُّمو ْ ل ُذ ًٗاى َل َ ِه َٗا ِا ْم َ ِا َ ِّ َ ُٔ ْ َٗ ََٚ ْقَٝٗ ,ٍُ َٖا فَاْٞ َ“ ٍَ ِْ َػيSemua yang ada di bumi itu akan binasa. Tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. alRaḥmān [55]: 26-27). Hanya Dia sendirilah yang Hidup Kekal dan tidak mati, sedangkan jin dan manusia semuanya mati, begitu pula para malaikat umumnya dan para malaikat pemangku Arasy. Hanya Allah sematalah Yang Maha Esa lagi Maha perkasa Yang Kekal Abadi. Dengan demikian, berarti Allah Yang Maha akhir, sebagaimana Dia Maha Pertama (Akhirnya Allah tidak ada kesudahannya dan Permulaan Allah tidak ada awalnya). Ayat ini merupakan belasungkawa kepada semua manusia, karena sesungguhnya tidak ada seorang pun di muka bumi ini melainkan pasti mati. Apabila masa telah habis dan nuṭfah yang telah ditakdirkan oleh Allah keberadaannya dari sulbi Adam telah habis, serta semua makhluk habis, maka Allah melakukan hari kiamat dan membalas semua makhluk sesuai dengan amal perbuatannya masing-masing,16 yang besar, yang kecil, yang banyak, yang sedikit.serta yang tua dan yang muda, semuanya mendapat balasannya. Tiada seorang pun yang dianiaya barang sedikit pun dalam penerimaan pembalasannya. 16
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 4, h. 339.
61
Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:
َا ٍَ ِةَِْٞ٘ ًَ ْاىقٝ ٌ َٗئَِّّي ََا جُ َ٘فَّيْ٘ َُ أُ ُْ٘ َ ُم, Dan
sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian. (QS. Āli „Imrān [3]: 185). Ibn Abū Ḥatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami „Abd. al„Azīz al-Uwaisī, telah menceritakan kepada kami „Alī Ibn Abū „Alī al-Hashīmī, dari Ja‟far Ibn Muḥammad „Alī Ibn al-Ḥusain, dari ayahnya, dari „Alī Ibn Abū Ṭālib ra. yang menceritakan bahwa ketika Nabi saw. wafat, dan belasungkawa berdatangan, maka datanglah kepada mereka seseorang yang mereka rasakan keberadaannya, tetapi mereka tidak dapat melihat ujudnya. Orang tersebut mengatakan:
َٗئَِّّي ََا.ت ِ ََْ٘ س َذائِقَةُ ْاى ِ ْٞ َ ُن ٌْ أ ْٕ َو ْاىْٞ َاى َّيل َ ًُ َػي ٍ ث َٗ َ ْ ََةُ ِ َٗ َ َ َماجُُٔ ( َموُّ َّ ْف َٗ َخ ْيفًاا ٍِ ِْ ُم ِّو. َ ٍةْٞ ص ِ ٍُ ِ َػ َزا ًاا ٍِ ِْ ُم ِّوَِٜا ٍَ ِة) ئِ َّيُ فَِْٞ٘ ًَ ْاىقٝ ٌْ جُ َ٘فُّْ٘ َُ ا ُ ُْ٘ َ ُم ِْ ٍَ اا ٍ ِ َٗ َد ْ ًاما ٍِ ِْ ُم ِّو فَائ,ل ٍ َِٕاى َ ص َ َُ فَا ِ َّيُ ْاى,َّيآُ فَا ْ ُْ٘ اِٝ َٗئ, فَ ِاهللِ فَثِقُْ٘ ا:ث ْ َّي .ُُٔ ُن ٌْ َٗ َ ْ ََةُ ِ َٗ َ َ َماجْٞ َ َٗاى َّيل َ ًَ َػي,اا َ َ٘ ُ ِ ًَ اىث Semoga keselamatan terlimpah kepada kalian, hai Ahl al-Bait. Begitu pula rahmat Allah dan berkahnya, tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian. Sesungguhnya belasungkawa dari setiap musibah itu hanyalah kepada Allah, dan hanya kepada-Nya memohon ganti dari setiap yang telah binasa, dan hanya kepada-Nya meminta disusulkan dari setiap yang terlewatkan. Karena itu, hanya kepada Allah-lah kalian percaya, dan hanyakepada-Nyalah kalian berharap, karena sesungguhnya orang yang tertimpa musibah itu ialah orang yang terhalang tidak mendapat pahala. Dan semoga keselamatan terlimpah kepada kalian, begitu pula rahmat Allah dan berkah-Nya.17 Ja‟far Ibn Muḥammad mengatakan, telah menceritakan kepadaku ayahku, bahwa „Alī Abū Ṭālib berkata. “Tahukah kalian, siapakah orang ini?” „Alī mengatakan pula, “Dia adalah al-Khiḍir as.” Firman Allah Swt.: ِ فَ ََ ِْ ُز ْ ِز َح َػ ِِ اىَّْيا
17
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 4, h. 340-341.
62
َ َٗاُ ْد ِخ َو ْاى َلَّْيةَ فَقَ ْ فَاز, Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia lelah beruntung. (QS. Āli „Imrān [3]: 185). Artinya, barang siapa yang dijauhkan dari neraka dan selamat darinya serta dimasukkan ke dalam surga, berarti ia sangat beruntung. Ibn Abū Ḥatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muḥammad Ibn „Abdullāh al-Anṣārī, telah menceritakan kepada kami Muḥammad Ibn „Amr Ibn Alqamah, dari Abū Salamah, dari Abū Hurayrah yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: َاّْٞ ُّ ٌ ٍَِِ اىْٞ ْاى َلَّْي ِة َخِٜض ُغ َ ْ٘ ٍ ف ِ ٍَْ٘ ) اِ ْ َ ؤُا اِ ُْ ِ ْحُ ٌْ (فَ ََ ِْ ُز ْ ِز َح َػ ِِ اىَّْيا ِ َٗاُ ْد ِخ َو ْاى َلَّْيةَ فَقَ ْ فَاز,َٖاْٞ ِ َٗ ٍَا ف, “Tempat sebuah cemeti di dalam surga lebih baik daripada dunia dan apa yang ada di dalamnya. Bacalah oleh kalian jika kalian suka, yaitu firman-Nya, “Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguhlah ia lelah beruntung.” (QS. Āli „Imrān [3]: 186). Hadis ini ditetapkan di dalam kitab Ṣaḥīḥain melalui jalur lain tanpa memakai tambahan ayat. Telah diriwayatkan pula oleh Ibn Abū Ḥatim serta Ibn Ḥibbān di dalam kitab Ṣaḥīḥ-nya dan Imām Ḥakīm18 di dalam kitab Mustadraknya tanpa memakai tambahan ini melalui hadis Muḥammad Ibn „Amr. Telah diriwayatkan pula dengan memakai tambahan ini oleh Ibn Murdawaih melalui jalur yang lain. Untuk itu Ibn Murdawaih menceritakan, telah menceritakan kepada kami Muḥammad Ibn Aḥmad Ibn Ibrāhīm, telah menceritakan kepada kami Muḥammad Ibn Yaḥyā, telah menceritakan kepada kami Ḥumaid Ibn Mas‟adah, telah menceritakan kepada kami „Amr Ibn „Alī, dari
18
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 4, h. 341.
63
Abū Ḥāzim, dari Sahl Ibn Sa‟d yang menceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: َٖاْٞ َِا َٗ ٍَافّْٞ ُّ ٌ ٍَِِ اىْٞ ْاى َلَّْي ِة َخِٜض ُغ َ ْ٘ ِ أَ َ ِ ُم ٌْ ف ِ ََْ٘ َى, “Sesungguhnya tempat sebuah cemeti seseorang di antara kalian di dalam surga lebih baik daripada dunia ini dan semua yang ada di dalamnya.” Sahl Ibn Sa‟d melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu beliau saw. membacakan firman-Nya:
فَ ََ ِْ ُز ْ ِز َح َػ ِِ اىَّْيا ِ َٗاُ ْد ِخ َو ْاى َلَّْيةَ فَقَ ْ فَاز, “Barang siapa
dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga,maka sungguh ia telah beruntung.” (QS. Āli „Imrān [3]: 185). Dalam pembahasan yang lalu sehubungan dengan firman-Nya: ُ َُْ٘ ِ َٗ َّلجَ َُْ٘ جُ َّيِ ئِ َّيّل َٗأَ ّْحُ ٌْ ٍُ ْلي, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Āli „Imrān [3]: 102) Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Wakī‟ Ibn al-Jarraḥ di dalam kitab tafsirnya, dari al-A‟māsī Ibn Zaid Ibn Wahb, dari „Abd. al-Raḥmān iIbn „Abdū Rabb al-Ka‟bah, dari „Abdullāh Ibn „Amr Ibn al-Aṣ yang menceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
َُُّٔيحٍَِْٞ ُٔ فَ ْيحُ ْ ِ ْم.َُ ْ ِخ َو ْاى َلَّْيةَٝٗ ِ ُ َز ْ َز َح َػ ِِ اىَّْياٝ َِْ ٍَ ِْ أَ َ َّي ػ
ْ .ِٔ ْٞ َ ئِىَٚ ُْإجٝ ُْ َُ ِح ُّ اٝ اا ٍَا ِ اىَّْيَٚ ئِىَِٜأجٞ َٗ ْاى,ِ َْ٘ ًِ ْااَ ِخٞ ُْإ ٍُِِ ِاهللِ َٗ ْاىٝ َ٘ َُٕٗ , Barang siapa yang ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka hendaklah ia mati sedang ia dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari kemudian. Dan hendaklah ia memberikan kepada orang-orang apa yang ia suka bila diberikan kepada dirinya sendiri. Imām Aḥmad meriwayatkannya di dalam kitab musnadnya dari Waki‟ dengan lafaz yang sama.19 Firman Allah Swt.:
ُ َا ئِ َّيّل ٍَحَاّْٞ ُّ َا ُ اىٞ َٗ ٍَا ْاى َح, Kehidupan dunia itu tidak ِ ُْٗ ع ْاى ُغ
lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (QS. Āli „Imrān [3]: 185).
19
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 4, h. 343.
64
Makna ayat ini mengecilkan perkara duniawi dan meremehkan urusannya. Bahwa masalah duniawi itu adalah masalah yang rendah, pasti lenyap, sedikit, dan pasti rusak. Seperti yang diungkapkan oleh Allah swt. dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya: َٚ ُ َّيٗاَ ْقْٞ َا َٗ ْااَ ِخ َ ُ َخّْٞ ُ َا َ ْاىٞ َوْ جُ ْإثِ ُْٗ َُ ْاى َح, “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. al-A‟lā: 16-17).20 Juga firman:
َاّْٞ ُ َا ِ ْاىٞ ٍْئ فَ ََحَا ُا ْاى َحٞ َ ِْ ٍِ ٌْ ُحْٞ َِٗ ٍَا اُْٗ ج
َٚ ٌ َّيٗاَ ْقْٞ َْحَُٖا َٗ ٍَا ِػ ْْ َ ِ َخْٝ َٗ ِز, “Dan apa saja yang diberikan kepada kalian, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya, sedangkan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. al-Qaṣaṣ: 60). Dan dalam sebuah hadis disebutkan:
ٌْ َ ْغ َِسُ اَ َ ُ ُمٝ ْااَ ِخ َ ِ ئِ َّيّل َم ََاَِٜا فّْٞ ُّ َٗ ِ ٍَا اى
ِٔ ْٞ ََ ْْظُ ْ ِ ٌَ جَ ْ ِ ُغ ئِىٞ فَ ْي,ٌِّ َٞ ْاىِٜ اُ ْ ُ َؼُٔ ف, “Demi Allah, tiadalah dunia ini dalam kehidupan di akhirat, melainkan sebagaimana seseorang di antara kalian mencelupkan jari telunjuknya ke dalam laut, maka hendaklah ia melihat apa yang didapat olehnya dari laut itu.” Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: َاّْٞ ُّ َا ُ اىَٞٗ ٍَا ْاى َح ُ ئِ َّيّل ٍَحَا, “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang ِ ُْٗ ع ْاى ُغ memperdayakan.” (QS. Āli „Imrān [3]: 185). Bahwa kehidupan duniawi itu merupakan kesenangan yang akan ditinggalkan; tidak lama kemudian, demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, pasti menyurut dan hilang dari pemiliknya. Karena itu, ambillah dari kehidupan ini sebagai sarana untuk taat kepada Allah, jika kalian mampu dan tidak ada kekuatan (untuk melakukan ketaatan) kecuali berkat pertolongan Allah swt.
20
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 4, h. 343.
65
3. QS. Āli ‘Imrān [3]: 156-158
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada saudarasaudara mereka apabila mereka Mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang: "Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh." akibat (dari Perkataan dan keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan. Dan sungguh kalau kamu gugur di jalan Allah atau meninggal, tentulah ampunan Allah dan rahmatNya lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka kumpulkan. Dan sungguh jika kamu meninggal atau gugur, tentulah kepada Allah saja kamu dikumpulkan. (QS. Āli „Imrān [3]: 156-158) Ibn Kathīr menjelaskan ayat di atas bahwa Allah swt. melarang hambahamba-Nya yang mukmin meniru orang-orang kafir dalam akidah mereka yang rusak. Hal tersebut diketahui melalui ucapan mereka terhadap saudara-saudara mereka yang mati dalam perjalanan dan yang mati dalam peperangan. Seandainya mereka yang mati itu tidak melakukan hal tersebut, niscaya mereka tidak akan tertimpa apa yang menimpa mereka.21 Untuk itu Allah swt. berfirman: َِْٝ ِ َُّٖا اىَّيََٝأٝ ٌْ ِٖ َِِّ َمفَ ُْٗ ا َٗ َاىُْ٘ ا ِ ِا ْخ َ٘اْٝ ِ َاا ٍَُْْ٘ ا َّلجَ ُنُّ٘٘ا َماىَّي, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
21
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 4, h. 239.
66
kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka” (QS. Āli „Imrān: 156) Yakni perihal saudara-saudara mereka. ِ
ْ َ ْااِٚض َ ُ٘ا ف َ ئِ َذا, “apabila
mereka mengadakan perjalanan di muka bumi.” (QS. Āli „Imrān: 156). Maksudnya, mereka melakukan perjalanan untuk niaga atau tujuan lainnya. أَْٗ َماُّْ٘ ا ٙ ُغ ًّاز, “atau mereka berperang.” (QS. Āli „Imrān: 156) yaitu mereka berada dalam peperangan. ىَْ٘ َماُّْ٘ ا ِػ ْْ َ َّا, “Kalau mereka tetap bersama-sama kita”. (QS. Āli „Imrān: 156) yakni tetap tinggal di dalam kota. ٍَا ٍَاجُْ٘ ا َٗ ٍَا ُحِيُْ٘ ا, “tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh.” (QS. Āli „Imrān: 156) yakni mereka tidak mati dalam perjalanan dan tidak terbunuh dalam peperangan.22 Firman Allah Swt.: ٌْ ِٖ ِ ُْ٘ ُيِٜل َ ْل َ ًا ف َ ُِ َذاى
َلْ َؼ َوِٞى, “Sebagai akibat dari hal itu
Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka. (QS. Āli „Imrān: 156). Artinya, Allah menimbulkan keyakinan ini dalam hati mereka agar penyesalan mereka makin bertambah terhadap orang-orang mereka yang mati dan terbunuh. ُ َِ َُٝٗ ِٜ ُْحٝ ُ َٗ , Kemudian Allah menjawab mereka melalui firman-Nya: ثٞ “Allah menghidupkan dan mematikan.” (QS. Āli „Imrān: 156). Yakni semua makhluk berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, dan hanya kepada Allahlah urusan itu dikembalikan. Tidak ada seorang pun yang hidup dan tidak ada seorang pun yang mati kecuali berdasarkan kehendak dan takdir-Nya. Tidak ditambahkan pada umur seseorang, tidak pula dikurangi sesuatu dari usianya kecuali dengan keputusan dan takdir Allah. ٌ ْٞ ص ِ َ َُ ُْ٘ َٗ ُ ِ ََا جَ ْؼ ََي, “Dan Allah melihat
22
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, Juz 4, h. 239.
67
apa yang kalian kerjakan.” (QS. Āli „Imrān: 156). Yaitu pengetahuan dan penglihatan Allah menembus semua makhluk-Nya, tidak ada sesuatu pun yang samar dari perkara mereka bagi Allah.23 Firman Allah swt.:
َُ َُْ٘لْ ََؼٝ ٌ ٍِّ َّيَاْٞ ِ َٗ َ ْ ََةٌ َخ
ٍَِِّ ٌ َ ِِ أَْٗ ٍُحُّ ٌْ ىَ ََ ْغف
ِوْٞ ِ َ ِٚ َٗىَ ِِ ُحِ ْيحُ ٌْ ف,
“Dan sungguh kalau kalian gugur di jalan Allah atau meninggal, tentulah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagi kalian) daripada harta rampasan yang mereka kumpulkan. (QS. Āli „Imrān: 157). Ayat ini mengandung makna yang menunjukkan bahwa mati terbunuh di jalan Allah merupakan sarana untuk memperoleh rahmat Allah, ampunan, dan rida-Nya. Hal ini jelas lebih baik daripada tetap hidup di dunia dan mengumpulkan semua perbendaharaannya yang fana itu.24 Kemudian Allah swt. memberitakan bahwa semua orang yang mati atau terbunuh, tempat kembali dan kepulangannya hanyalah kepada Allah swt. Lalu Allah akan memberikan balasan kepadanya sesuai dengan amal perbuatannya. Jika amal perbuatannya baik, maka balasannya baik pula; dan jika amal perbuatannya buruk, maka balasannya buruk pula. Untuk itu Allah Swt. berfirman: َُ ُْٗ َ ِْ جُح
َٚ َٗىَ ِِ ٍُّحُّ ٌْ أَْٗ ُحِ ْيحُ ٌْ َ ِاى,“Dan sungguh jika kalian meninggal atau
gugur, tentulah kepada Allah saja kalian dikumpulkan.” (QS. Āli „Imrān: 158).25
23
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, Juz 4, h. 240. Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, Juz 4, h. 241. 25 Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, Juz 4, h. 242. 24
68
C. QS. al-Jumu’ah [62]: 5-8
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa Kitab-Kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. Katakanlah: "Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kamu mendakwakan bahwa Sesungguhnya kamu sajalah kekasih Allah bukan manusia-manusia yang lain, Maka harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar". Mereka tiada akan mengharapkan kematian itu selama-lamanya disebabkan kejahatan yang telah mereka perbuat dengan tangan mereka sendiri. dan Allah Maha mengetahui akan orang-orang yang zalim. Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, Maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS. al-Jumu‟ah [62]: 5-8). Ibn Kathīr menafsirkan ayat di atas bahwa Allah seraya mencela orangorang Yahudi yang telah diberikan kitab Taurat dan dibebankan kepada mereka untuk diamalkan, namun mereka tidak mengamalkannya. Hal itulah yang menjadikan mereka diberi perumpamaan seperti keledai yang mengangkut kitab-
69
kitab yang tebal.26 Yakni seperti keledai membawa kitab, di mana ia tidak mengetahui isinya. Ia hanya memikul dengan pikulan inderawi, tidak memahami kandungan yang terdapat di dalamnya. Demikian juga dengan orang-orang Yahudi yang memegang kitab Taurat yang telah diberikan kepada mereka, lalu mereka menghafalnya secara harfiyah tetapi sama sekali tidak memahaminya serta tidak mengamalkan makna yang terkandung di dalamnya. Bahkan mereka menakwilkan menyelewengkan, dan merubahnya. Mereka sebenarnya lebih parah dari pada keledai, sebab keledai itu tidak mempunyai pemahaman sama sekali terhadap kitab yang dipikulnya, sedangkan mereka sebenarnya mempunyai pemahaman tetapi tidak dipakai untuk memahaminya. Oleh karena itu, Allah swt berfirman dalam surat yang lain. ( َُُ٘ل ُٕ ٌُ ْاىغَافِي َ ِ ض ٌّلو أُْٗ ى َ ِ “ )اُْٗ ىmereka itu َ َل َم ْااَ ّْ َؼ ِاً َوْ ُٕ ٌْ أ sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orangorang yang lalai.” (QS. al-A‟rāf [7]: 179). Ibn Kathīr merujuk sebuah riwayat Imām Aḥmad ra. meriwayatkan dari Ibn Abbās, ia berkata:
ِ ِْ اْلمام ََيْطُب فَهو َكمثَ ِل ِ ْ من تَ َكلَّم ي وم ِ ْ اْل َما ِر ََْيم ُل أ َُس َف َار َوالّْلَّذ ْي يَ ُق ْو ُل لَه ُ َ ِْ اْلُ ُم َعة َو َ َْ َ ْ َ َ َُ ُ ٌ لَْ َ لَهُ ُُ َعة, ْ ِ َْأ Barangsiapa bercakap-cakap pada hari jum‟at sedang imam sedang berkhutbah, maka dia seperti keledai yang tengah membawa kitab yang tebal. Dan orang yang mengatakan: diamlah kamu, kepada orang lain, maka tidak ada (pahala shalat) jum‟at (yang sempurna) baginya.27 Kemudian Allah swt berfirman:. ُِ َْٗا ُا ِهللِ ٍِ ِْ ُدَِِٞ َٕا ُدْٗ ا ئِ ُْ َز َػ َْحُ ٌْ أََّّي ُن ٌْ أَْٗ ىْٝ ِ َُّٖا اىَّيََٝاأٝ ُْو َِْٞ ِ َ ا ِد
ٌْ ُاا فَحَ َََّْي ُ٘ا ْاى ََْ٘ تَ ئِ ُْ ُم ْْح ِ اىَّْي, “katakanlah: hai orang-orang yang menganut
agama Yahudi, jika kamu mendakwakan bahwa sesungguhnya kamu sajalah 26 27
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 62, h. 6. Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 62, h. 6.
70
kekasih
Allah,
bukan
manusia-manusia
yang
lain,
maka
harapkanlah
kematiannmu jika kamu adalah orang-orang yang benar.” ( QS. al-Jumu‟ah [62]: 6). Maksudnya, jika kalian mengaku bahwa kalian berada dalam petunjuk sedangkan Muhammad dan para sahabatnya sesat. Maka berdo‟alah supaya lekas mati di antara dua golongan yang ada, jika anggapan kalian benar. Allah swt berfirman:
ْ ٍَ َحَ َََّْي َُّّ٘ئُ أَ َ ًاا ِ ََا َ َّيٝ َٗ َّل, “mereka tidak akan ٌِٖ ْٝ ِ ْٝ َث أ
mengharapkan kematian itu selama-lamanya disebabkan kejahatan yang telah mereka perbuat dengan tangan mereka sendiri”. Yakni kekufuran, kezaliman, dan kejahatan yang telah mereka kerjakan.
َِْٞ َِ ِ ٌٌ ِاىظَّياىْٞ ِ َٗ ُ َػي, “dan Allah maha
mengetahui orang-orang yang zalim”. Pembahasan masalah ini sudah diterangkan dalam surat al-Baqarah ayat 94 mengenai mubaḥalah28 dengan orangorang Yahudi, di mana Dia berfirman:
ْ ُّوْ ئِ ُْ َما ُِ ْٗصةًا ٍِّ ِْ ُد َ َِث ىَ ُن ٌُ اى َّي ا ُ ْااَ ِخ َ ُ ِػ ْْ َ ِ َخاى
ْ اا فَحَ َََّْي ٌْ ُ٘ا ْاى ََْ٘ تَ ئِ ُْ ُم ْْح ِ اىَّْي, “Katakanlah: "Jika kamu (menganggap bahwa)
َِْٞ ِ َ ا ِد
kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, Maka inginilah kematian(mu), jika kamu memang benar.” (QS. al-Baqarah [2]: 94). Sebagaimana murbaḥalah dengan orang-orang Nasrani juga telah dikemukakan dalam surat Āli „Imrān ayat 61,29 di mana Allah berfiman: ل َ فَ َْ ِْ َ ا َّي ُ ْ َّ ك ٍَِِ ْاى ِؼ ْي ٌِ فَقُوْ جَ َؼاىَْ٘ ا ْع أَ َْْا َاَّا َٗأَ َْْا َا ُم ٌْ َِّٗ َلا َاَّا َِّٗ َلا َا ُم ٌْ َٗأَ ّْفُ َلَْا َٗ ْأ ّْفُ َل ُن ٌْ ثُ َّيٌ َّ ْحَ ِٖو َ ِٔ ٍِ ِْ َ ْؼ ِ ٍَا َ ا َاْٞ ِف َِْٞ ِ ْاى َنا ِذَِٚ َػي
َفََْلْ َؼو ىَّي ْؼَْث, “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah
datang ilmu (yang meyakinkan kamu), Maka Katakanlah (kepadanya): "Marilah
28
Mubaḥalah ialah masing-masing pihak di antara orang-orang yang berbeda pendapat (berselisih) berdoa kepada Allah dengan sungguh-sungguh, agar Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang berdusta. Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 62, h. 6. 29 Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 62, h. 6.
71
kita memanggil anak-anak Kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri Kami dan isteri-isteri kamu, diri Kami dan diri kamu; kemudian Marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS. Āli „Imrān [3]: 61).30 Serta mubahalah dengan orang-orang Musyrik dalam surat Maryam:
اى َّيُِٚوْ ٍَ ِْ َماَُ ف ئِ َذا َ أَْٗ اَٚ َْ ُ ْد ىَُٔ اى َّي ْ ََاُُ ٍَ ًّا ا َ حَّيٞض َ ىَ ِة فَ ْي
َ ْؼيَ َُْ٘ َُ ٍَ ِْ ُٕ َ٘ َ ٌّل َّيٍ َناًّاا َٗأَضْ َؼفُ ُ ْْ ًااٞاا َٗئِ َّيٍا اىلَّيا َػةَ فَ َل َ َ ُْ٘ َػ ُ ْٗ َُ ئِ َّيٍا ْاى َؼٝ ٍَا, “Katakanlah: "Barang siapa yang berada di dalam kesesatan, Maka Biarlah Tuhan yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya; sehingga apabila mereka telah melihat apa yang diancamkan kepadanya, baik siksa maupun kiamat, Maka mereka akan mengetahui siapa yang lebih jelek kedudukannya dan lebih lemah penolongpenolongnya". (QS. Maryam [19]: 75) Ibn Kathīr merujuk lagi sebuah riwayat Imām Aḥmad yang riwayatannya dari Ibn Abbās, ia berkata: “Abū Jahal semoga Allah melaknatnya berkata: Jika aku melihat Muhammad berada di dekat Ka‟bah, pastilah aku akan mendatanginya dan menginjak lehernya, maka Rasulullah saw lanjut Ibn Abbās, bersabda:31
ِ حدَّثَنَا إِ ْْس ات َع ْن َعْب ِد الْ َك ِرِمي َع ْن ِع ْك ِرَمةَ َع ِن ابْ ِن َّ يد َ الرقِّ ُّي أَبُو يَِز َ اع ُل بْ ُن يَِز ٌ يد َحدَّثَنَا فَُر َ َ ِ ِول اللَّ ِه صلَّى اللَّه علَ ِه وسلَّم ي لِّي ِعْن َد الْ َكعبة ٍ ََّعب َ ال أَبُو َج ْه ٍل لَئ ْن َرأَيْ ُ َر ُس َ َال ق َ َاس ق َ َُ َ ََ َْ ُ َْ َّ َخ َذتْهُ الْ َم ََلئِ َكةُ ِعَا ًا َولَ ْو أ ود َتََن َّْوا َ ال فَ َق َ َََلتَِ نَّهُ َح ََّّت أَطَأَ َعلَى عُنُ ِق ِه ق َ َن الَْ ُه َ ال لَ ْو فَ َع َل ََل ِ اعدهم ِِف النَّا ِر ولَو خرج الَّ ِذين ي ب ِ َ اهلُو َن رس ِ صلَّى اللَّهُ َعلَْ ِه َ الْ َم ْو َ ول اللَّه َُ َ َ َ َ ْ َ َُ ْ ُ َ ت لَ َماتُوا َوَرأ َْوا َم َق َو َسلَّ َم لََر َجعُوا َ َِ ُدو َن َماً َوَ أ َْه ًَل 30
Mubaḥalah ialah masing-masing pihak di antara orang-orang yang berbeda Pendapat mendoa kepada Allah dengan bersungguh-sungguh, agar Allah menjatuhkan la'nat kepada pihak yang berdusta. Nabi mengajak utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka tidak berani dan ini menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. 31 Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 62, h. 7.
72
“Kalau saja dia berani melakukan hal itu, pastilah dia ditindak oleh para malaikat dengan terang-terangan. Kalau saja orang-orang Yahudi itu mengangankan kematian, pastilah mereka mati seketika itu juga dan akan melihat tempat mereka di neraka dan kalau saja orang-orang yang bermubahalah dengan Rasulullah itu keluar, pastilah mereka pulang tanpa melihat lagi keluarga dan harta (mereka).” [HR. al-Bukhārī, alTirmidhī, dan al-Nasā‟i] Firman Allah swt selanjutnya: َٚ ُن ٌْ ثُ َّيٌ جُ َ ُّدْٗ َُ ئِىْٞ ِ َ ٍُ ُْٔ جَفِ ُّ ْٗ َُ ٍِ ُْْٔ فَاَِّّيٛ ِ ُوْ ئِ َّيُ ْاى ََْ٘ تَ اىَّي َُ َُُْْ٘ ِّ ُ ُن ٌْ ِ ََا ُم ْْحُ ٌْ جَ ْؼ ََيَٞ ِ َٗاى ُّ َٖا َد ِ فْٞ ػَاىِ ٌِ ْاى َغ, Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, Maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS. al-Jumu‟ah [62]: 8). Penggalan ayat ini sama seperti firman-Nya dalam surat ُ ََْ٘ ُ ْ ِم ُّن ٌُ ْاىٝ َْ ََا جَ ُنّ٘ ُ٘اْٝ َأ, “di mana saja kamu al-Nisa‟ berikut ini: ٍ َ َّيٞ َ ٍُّ ٍ ُْٗ ُ ِٚت َٗىَْ٘ ُم ْْحُ ٌْ ف berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh,” (QS. al-Nisā‟ [4]: 78).32
32
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, juz 62, h. 8.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari rumusan masalah sebagaimana pemilihan ayat-ayat penulis bisa menyimpulkan skripsi ini adalah Ibn Kathīr menafsirkan tentang kematian. Menurutnya, bahwa setiap umat manusia akan mengalami kematian tidak satupun yang akan selamat atau terhindar dari maut (QS.al-Nisā’ [4]: 78). Juga Ibn Kathīr menjelaskan bahwa Allah swt. memberitahukan kepada semua makhluknya secara umum. bahwa setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati (QS. Āli ‘Imrān [3]: 185). Namun sisi lain, ada pesan yang harus diperhatikan bagi orang Mukmin adalah supaya tidak meniru orang-orang kafir dalam akidah mereka yang rusak. Seandainya mereka melakukan demikian niscaya mereka akan tertimpa apa yang menimpa mereka yaitu azab (QS. Āli ‘Imrān [3]: 156-158) Ibn Kathīr juga menggambarkan apabila suatu kaum melakukan kezhaliman dan penganiayaan, Allah memberikan kesempatan agar mereka kembali ke jalan yang benar. Namun apabila suatu penduduk negeri melakukan kemasiatan dan kezhaliman, maka Allah akan membinasakan negeri itu dengan azab yang sangat keras. Dengan demikian sakaratul maut datang dengan sebenarbenarnya sehingga manusia itu tidak dapat melarikan diri dari kematian, ke manapun ia akan berlari. Karena ia pasti akan bertemu dengan kematian itu. B. Saran-saran Setelah mengambil kesimpulan dalam skripsi ini, maka penulis menawarkan beberapa saran yang mungkin berguna dalam kehidupan sehari-hari. 73
74
Sehingga apa yang terkandung dalam skripsi ini benar-benar dapat memberikan sumbangan dalam menciptakan ketenangan baik lahir maupun batin. Tentulah di dalam konsep karya ini masih banyak dijumpai kelemahan di sana-sini. Oleh karena itu bagi penyusun merasa perlu untuk memberikan saran-saran yang berkaitan dengan skripsi ini. Perlunya setiap insan manusia mengingat akan mati karena dengan mengingatnya senantiasa manusia tidak akan melanggar apa yang dilarang oleh Allah dalam menjalani kehidupan ini. Kematian juga dapat kita jadikan tolak ukur diri kita untuk selalu taat dan beriman kepada Allah. Kemudian dengan mengingat kematian juga menjadikan nasihat agar kita tidak mudah terpeleset dalam keburukan sikap dan tingkah laku. Kita sering kali begitu mudah melupakan kematian. Padahal, kematian tak pernah melupakan kita. Kematian ibarat jalan yang akan dilalui oleh setiap manusia. Hanya saja kapan peristiwa itu terjadi tak ada yang tahu kecuali Allah swt. Penelitian ini tidak sampai disini saja oleh karena itu masih banyak kemungkinan yang akan diteliti di kemudian hari dengan penulis lainya, sebagai proses dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Akhir kata semoga skripsi ini yang sederhana dan jauh dari kesempurnaan ini dapat menjadi sumbangan bagi dunia ilmu pengetahuan dan semoga bermanfaat bagi penyusun, pembaca serta yang mengoreksinya, Aamiin...
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, Bahrun. Tafsir Ibnu Katsir, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000. Abuddin Nata. Ensiklopedi al-Qur’an, Jakarta: Yayasan Bimantara PT. Intermasa, 1997. Aḥmad bin Sha’ib Abū ‘Abd al-Raḥmān Nasā’i. al-Mujtabī Minassunan, juz 4, Beirut: 1824. Anis, Ibrāhīm. al-Mu’jam al-Wāsiṭ, Beirut: Dar el-Fikr, tth. Ash Shiddieqy, Hasbi. Ilmu ilmu al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1972. As-Sadlani, Shaleh Ghanim. bagaimana seharusnya kita bertobat, Jakarta: Firdaus, 1992. Bahreisy, Salim. Tafsir Ibnu Katsir, Malaysia: Victory Agencie, 1988. ---------------. Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990. Baidan, Nashiruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Cet II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. ---------------. Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2000. Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam, Cet III, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoe Ve, 1994. Djamaluddin, Burhan. Konsepsi Taubat: Pintu Pengampunan Dosa Besar, Dosa Syirik Masih Terbuka, Surabaya: Dunia Ilmu, 1996. Faudah, Maḥmūd Basunī. Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, diterj. H.M. Mochtar Zoerni, Abdul Qodir Hamid dari kitab alTafsīr wa Manahijuhu, Bandung: Penerbit Pustaka, 1987. Ghaffar, Abdul. Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir (Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir), Cet 1, Bogor: Pustaka asy-Syafi’i, 1994. al-Ghazālī, Imām. Taubat Nasuha, Gresik: Putra Pelajar, 1998. Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insani Madani, 2008.
75
76
Hamid, Zeid. Imam Al-Ghazali Mukhtasor Ihya Ulumuddin, Jakarta: CV. Pustaka Amani, 1986. Ḥawwā, Sa‛īd, Induk Pensucian Diri, Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 1992. Kabalah, ‘Ūmar Riḍā. Mu’jam al-Mu‛allifīn. 1 jilid, Beirut: Maktabah alMuthanna-Dār Iḥyā al-Turāth al-‘Arābī, 1376 H/ 1957 M. Karim, Maulana Fazlul. Ihya Ulumuddin, Bandung: Marja, 2001. Kathīr, Ibn. al-Bidayah Wa al-Nihayah, 1 jilid, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. --------------. Tafsir al-Qur’an al-Adzim, 1 jilid, Cet I, Beirut: Dār al-Fikr, 1997. Khātib, Muḥammad ‘Ajjaj. Uṣūl al-Ḥadīth, Beirut: Dār al-Fikr, 1409 H. Makluf, Louis. al-Munjid Fī al-Lughah Wa Al-A’lām, Beirut: Dār al-Shurūq, 1987. Maswan, Nur Faizin. Kajian Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir, Yogyakarta: Menara Kudus, 2000. Muhdlor, Ahmad Zudhi. Kamus al-Ashri: Arab-Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996. Qaṭṭān, Mannā Khalīl. Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, diterj Mudzakir, AS.Cet. V, Jakarta : PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 2000. Qomaruddin. Zikir Sufi-Menghampiri Ilahi dengan Tasawuf, Jakarta: Serambi, 2003. al-Qurṭubī, Imām. al-Tadzkirah Fī Aḥwāl al-Mawta wa ‘Umūr al-Akhirah, Beirut Lebanon: Dār el-Marefah, 1996. Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalah al-Hadis, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1981. ---------------. Ikhtishar Mushthalahul Hadits, Cet. I, Bandung: al-Ma’arif, 1974. Rifa’i, M. Nasib. Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani Press, 1999. Salimī, Tirmidhī, Muḥammad bin ‘Isā Abū ‘Isā. Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ Sunan Tirmidhī, Beirut, tth.
77
Sa‛id bin Muḥammad Dāib Ḥawwā. al-Mustakhlaṣ fī Tazkiyat al-Anfūs, Jakarta: Robbani Press, 1999. Shihab, M. Quraish. Menjemput Maut Bekal Perjalanan menuju Allah SWT, Tanggerang: Lentera Hati, 2005. Shihab, M. Qurais. Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007. Zuhri, Muhammad. Terjemah Ihya Ulumuddin, Jilid IX, Semarang: CV. Asy Syifa, 1994.
http://evisyari.wordpress.com/2008/07/13/mati/ http://yusuf-batam.blogspot.com/2012/11/download-tafsir-ibnu-katsir-lengkap30.html gus-aam.blogspot.com/2012/.../makna-kematian-menurut-sains-filosof/