HASIL DAN PEMBAHASAN Kisaran Inang B. tabaci di Pertanaman Cabai Merah Berdasarkan hasil inventarisasi terhadap gulma yang tumbuh di sekitar pertanaman cabai merah selama musim kemarau dari bulan Juni sampai Oktober 2009 terdiri dari 48 spesies meliputi 18 famili dan 42 genus. Berdasarkan tipe gulma seperti menurut Zimdahl (2007), spesies-spesies gulma tersebut diklasifikasikan menjadi empat golongan yaitu gulma berdaun lebar, berdaun sempit, teki, dan paku-pakuan. Gulma berdaun lebar dikelompokkan dalam
kelas
Dicotyledoneae
dan
berdaun
sempit
dalam
kelas
Monocotyledoneae, sedangkan teki pada umumnya dari famili Cyperaceae. Gulma berdaun lebar lebih banyak dijumpai dibandingkan gulma berdaun sempit dan teki. Famili Gramineae, Asteraceae, dan Euphorbiaceae merupakan famili yang memiliki spesies gulma paling banyak dijumpai di pertanaman cabai merah. Spesies gulma dari famili tersebut banyak dijumpai pada tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan seperti dikemukakan oleh Aldrich (1994). Selanjutnya Sutater (1988) melaporkan bahwa spesies-spesies gulma yang dominan tumbuh di pertanaman cabai keriting adalah dari famili Asteraceae. Berdasarkan siklus hidup gulma seperti menurut Kostermans et al. (1987), spesies-spesies gulma yang tumbuh di pertanaman cabai merah diklasifikasikan menjadi gulma anual dan perenial. Menurut Zimdahl (2007) dan Radosevich et al. (2007) gulma anual adalah gulma yang menyelesaikan siklus hidupnya memerlukan waktu kurang dari satu tahun atau lebih yaitu mulai kecambah sampai dengan memproduksi biji pertama dan kemudian mati. Gulma perenial merupakan gulma yang menyelesaikan siklus hidupnya lebih dari dua tahun dan hampir tidak terbatas. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa gulma anual lebih banyak tumbuh di pertanaman cabai merah dibandingkan perenial (Tabel 2). Seperti dikemukakan oleh Sastroutomo (1990) yang menyatakan bahwa jenis gulma anual tumbuh lebih cepat dan dapat menghasilkan biji dalam waktu yang singkat, produksi biji sangat melimpah serta dapat bertahan hidup lebih lama di dalam tanah (dormansi), sehingga banyak membutuhkan biaya pengendalian dibandingkan gulma perenial. Spesies gulma yang dijumpai memiliki perbedaan terhadap nisbah jumlah dominansi (NJD) gulma yang tumbuh di pertanaman cabai merah.
Spesies
gulma yang dominan dijumpai adalah Ageratum conyzoides, Portulaca oleraceae, Synedrella nodiflora, Cleome viscosa, Cyperus compressus, dan
26 Eleusine indica dengan nilai NJD berturut-turut adalah 10,38%; 10,10%; 6,07%; 5,71%; 5,51%; dan 4,96%. Gulma A. conyzoides dan P. oleraceae merupakan spesies yang paling dominan dijumpai serta memiliki pertumbuhan dan penyebaran lebih cepat dibandingkan spesies lainnya (Tabel 2). Menurut Sastroutomo (1990), beberapa hal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan penyebaran gulma adalah jenis dan kesuburan tanah, ketinggian tempat, keadaan air tanah, serta kegiatan budidaya seperti pengolahan tanah dan pengendalian gulma. Tanaman budidaya lainnya yang tumbuh di sekitar pertanaman cabai merah selama musim kemarau dari bulan Juni sampai Oktober 2009 terdiri dari tujuh spesies meliputi enam famili dan tujuh genus. Tanaman budidaya lainnya adalah kacang tanah (Arachis hypogaea), ubi kayu (Manihot esculenta), ubi jalar (Ipomoea batatas), jagung (Zea mays), talas (Colocasia esculenta), terung (Solanum melongena), pisang (Musa paradisiaca), dan padi (Oryza sativa). Tanaman padi, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, jagung, dan talas tumbuh sebelum tanaman cabai merah di tanam. tanaman cabai merah ditanam.
Tanaman terung tumbuh setelah
Tanaman budidaya tersebut merupakan
tanaman yang sering dibudidayakan petani sepanjang musim tanam. Tabel 2 Spesies gulma yang tumbuh di sekitar pertanaman cabai merah pada musim kemarau Juni sampai Oktober tahun 2009 di Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DIY a
No.
Famili
Spesies
Tipe gulma
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Amaranthaceae Amaranthaceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Boraginaceae Brassicaceae Capparidaceae Capparidaceae Commelinaceae Commelinaceae
Amaranthus spinosus A. viridis Ageratum conyzoides Bidens pilosa Crassocephalum crepidiodes Eclipta prostrata Emilia sonchifolia Erigeron sumatrensis Grangea maderaspatana Synedrella nodiflora Vernonia cinerea Heliotropium indicum Rorippa indica Cleome rutidosperma C. viscosa Commelina benghalensis Cyanotis diffusa
Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun sempit Berdaun sempit
c
Siklus hidup b gulma
NJD (%)
Anual Anual Anual Anual Anual Anual/Perenial Anual Perenial Anual Anual Anual Anual Anual Anual/Perenial Anual/Perenial Anual/Perenial Anual/Perenial
0,38 1,62 10,38 0,04 0,03 0,29 0,66 0,04 0,11 6,07 0,35 3,38 2,72 4,60 5,71 0,18 0,07
27 Tabel 2 Spesies gulma yang tumbuh di sekitar pertanaman cabai merah pada musim kemarau Juni sampai Oktober tahun 2009 di Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DIY (lanjutan) No.
Famili
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
Cyperaceae Cyperaceae Cyperaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Fabaceae Gramineae Gramineae Gramineae Gramineae Gramineae Gramineae Gramineae Gramineae Gramineae Gramineae Lamiaceae Lamiaceae Loganiaceae Oxalidaceae Portulacaceae Rubiaceae Rubiaceae Scrophulariaceae Scrophulariaceae Solanaceae Sterculiaceae
a b c
Spesies Cyperus compressus Cyperus rontundus Fimbristylis maliacea Acalypha boehmerioides Euphorbia hirta E. hypericifolia E. prunifolia Phyllanthus debilis P. niruri Mimosa pudica Brachiaria distachya Cynodon dactylon Dactyloctenium aegyptium Digitaria ciliaris Echinochloa colona Eleusine indica Eragrostis tenella Panicum repens Paspalum conjugatum Pennisetum polystachyon Hyptis brevipes Leucas lavandulaefolia Spigelia anthelmia Oxalis barrelieri Portulaca oleracea Borreria laevis Richardia brasiliensis Lindernia crustacea Scorparia dulcis Physalis angulata Melochia concatenata
Tipe gulma
a
Teki Teki Teki Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun sempit Berdaun sempit Berdaun sempit Berdaun sempit Berdaun sempit Berdaun sempit Berdaun sempit Berdaun sempit Berdaun sempit Berdaun sempit Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar Berdaun lebar
c
Siklus hidup b gulma
NJD (%)
Anual Perenial Perenial Anual Anual Anual Anual Anual Anual Perenial Perenial Perenial Anual Anual Anual Anual Anual Perenial Perenial Anual/Perenial Anual Anual Anual Anual Anual Perenial Perenial Perenial Perenial Anual Perenial
5,51 4,66 1,39 2,47 1,85 0,54 0,91 4,33 4,60 1,48 2,19 2,03 1,05 1,19 0,99 4,96 1,04 1,10 1,33 1,33 0,36 0,03 3,41 0,20 10,10 0,40 0,36 0,15 0,24 3,29 0,49
Pengelompokkan tipe gulma berdasarkan Zimdhal (2007) Pengelompokkan siklus hidup gulma berdasarkan Kostermans et al. (1987) Nisbah Jumlah Dominan ( NJD)
Kisaran inang B. tabaci yang tumbuh di sekitar dan di lahan pertanaman cabai merah selama musim kemarau adalah 27 spesies yang terdiri dari 13 famili dan 22 genus.
Spesies-spesies inang meliputi 22 spesies gulma dan lima
spesies tanaman budidaya lainnya. Spesies gulma lebih banyak tumbuh dibandingkan spesies tanaman budidaya lainnya.
Dari jumlah keseluruhan
spesies inang B. tabaci yang dijumpai selama penelitian, diketahui bahwa ratarata populasi B. tabaci paling tinggi terdapat pada spesies-spesies inang seperti Manihot esculenta, Solanum melongena, Euphorbia prunifolia, dan Physalis
28 Tabel 3 Populasi nimfa B. tabaci dan tingkat parasitisasi parasitoid Eretmocerus sp., pada spesies gulma yang tumbuh di lahan pertanaman cabai merah pada musim kemarau Juni sampai Oktober tahun 2009 di Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DIY No.
a b c
Famili
Spesies
Kepadatan spesies inang
Rata-rata nimfa B. tabaci/daun
a
Parasitisasi Eretmocerus sp. b c (%) (r) (n)
1
Amaranthaceae
Amaranthus spinosus
Rendah
0,24
16,7
(2)
(12)
2
Amaranthaceae
A. viridis
Sedang
0,41
9,7
(4)
(41)
3
Asteraceae
Ageratum conyzoides
Tinggi
0,89
4
Asteraceae
Crassocephalum crepidiodes
Rendah
0,46
0
(0)
(14)
5
Asteraceae
Eclipta prostrata
Sedang
0,57
15,8
(9)
(57)
6
Asteraceae
Erigeron sumatrensis
Rendah
0,40
0
(0)
(24)
7
Asteraceae
Synedrella nodiflora
Tinggi
0,44
3,4
(3)
(88)
8
Brassicaceae
Rorippa indica
Sedang
0,92
14,1 (13)
(92)
9
Capparidaceae
Cleome rutidosperma
Tinggi
0,48
10
Capparidaceae
C. viscosa
Tinggi
0,63
11
Euphorbiaceae
Acalypha boehmerioides
Sedang
0,23
4,3
(1)
(23)
12
Euphorbiaceae
Euphorbia hirta
Sedang
0,32
10,2
(5)
(49)
13
Euphorbiaceae
E. hypericifolia
Rendah
0,26
30,7
(4)
(13)
14
Euphorbiaceae
E. prunifolia
Sedang
1,60
15
Euphorbiaceae
Phyllanthus debilis
Tinggi
0,27
17,5
(7)
(40)
16
Euphorbiaceae
P. niruri
Tinggi
0,61
14,3 (13)
(91)
17
Lamiaceae
Hyptis brevipes
Sedang
0,32
18,7
(6)
(32)
18
Lamiaceae
Leucas lavandulaefolia
Rendah
0,32
0
(0)
(16)
19
Oxalidaceae
Oxalis barrelieri
Rendah
0,40
0
(0)
(20)
20
Rubiaceae
Richardia brasiliensis
Rendah
0,30
25,0
(3)
(12)
21
Solanaceae
Physalis angulata
Tinggi
1,01
22
Sterculiaceae
Melochia concatenata
Sedang
0,36
11,2 (25) (223)
8,3
(6)
(72)
13,7 (13)
(95)
8,7 (21) (240)
8,6 (22) (254) 0
(0)
Parasitisasi parasitoid Eretmocerus sp. pada nimfa B. tabaci Jumlah nimfa B. tabaci yang terparasit oleh parasitoid Eretmocerus sp. Jumlah nimfa B. tabaci keseluruhan
angulata, yaitu berturut-turut sebesar 8,17; 3,80; 1,60; dan 1,01 nimfa B. tabaci per daun.
Rata-rata populasi nimfa B. tabaci paling rendah dijumpai pada
spesies seperti Acalypha boehmerioides, Amaranthus spinosus, dan Euphorbia hypericifolia yaitu berturut-turut sebesar 0,23; 0,24; dan 0,26 nimfa B. tabaci per daun (Tabel 3 dan 4). Jumlah spesies-spesies inang B. tabaci pada pertanaman cabai merah masih lebih rendah dibandingkan dengan jumlah spesies inang di
(36)
29 pertanaman kapas seperti dilaporkan oleh Attique et al. (2003) yang menemukan 160 spesies inang terdiri dari 113 genus dan 42 famili. Dibandingkan dengan spesies kutukebul lainnya, yang hampir semua bersifat monofag atau oligofag dan menyerang tanaman berkayu perenial, serangga dari genus Bemisia merupakan serangga polifag dan hanya menyerang tanaman anual.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa spesies gulma menjadi inang B. tabaci lebih banyak dari gulma anual seperti gulma dari famili Asteraceae dan Euphorbiaceae dibandingkan gulma perenial. Spesies inang B. tabaci meliputi 13 famili dengan lima famili memiliki satu spesies inang yaitu Araceae, Brassicaceae, Convolvulaceae, Oxalidaceae, Papilionaceae, Rubiaceae, dan Sterculiaceae. spesies
inang
yaitu
Amaranthaceae,
Lima famili lain memiliki dua
Capparidaceae,
Lamiaceae,
dan
Solanaceae. Dua famili sisanya yaitu Asteraceae memiliki lima spesies inang dan Euphorbiaceae memiliki tujuh spesies inang (Tabel 3 dan 4). Hasil penelitian ini mendukung simpulan dari Oliveira et al. (2001) dan Perring (2001) yang menyatakan bahwa spesies-spesies dari famili Asteraceae, Euphorbiaceae, Lamiaceae, dan Solanaceae merupakan inang dari B. tabaci. Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesies gulma dari famili Asteraceae dan Euphorbiaceae memiliki spesies inang B. tabaci paling banyak dijumpai di pertanaman cabai merah (Tabel 3). Tabel 4 Populasi nimfa B. tabaci dan tingkat parasitisasi Eretmocerus sp., pada tanaman budidaya lainnya yang tumbuh di sekitar pertanaman cabai merah pada musim kemarau Juni sampai Oktober tahun 2009 di Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DIY No.
a b c
Famili
Spesies
Kepadatan spesies inang
Rata-rata nimfa B. tabaci/daun
a
Parasitisasi Eretmocerus sp. b c (%) (r) (n)
1
Araceae
Colocasia esculenta
Rendah
0,70
0
(0)
(21)
2
Convolvulaceae
Ipomoea batatas
Sedang
0,74
5,4
(3)
(74)
3
Euphorbiaceae
Manihot esculenta
Sedang
8,17
0
(0) (485)
4
Papilionaceae
Arachis hypogaea
Tinggi
0,51
4,9
(5) (102)
5
Solanaceae
Solanum melongena
Tinggi
3,80
Parasitisasi parasitoid Eretmocerus sp. pada nimfa B. tabaci Jumlah nimfa B. tabaci yang terparasit oleh parasitoid Eretmocerus sp. Jumlah nimfa B. tabaci keseluruhan
12,6 (24) (190)
30
A
C Gambar 5
A
D Gambar 6
B
D
E
Spesies gulma yang menjadi inang B. tabaci dari famili Brassicaceae yaitu Rorippa indica (A), Sterculiaceae yaitu Melochia concatenata (B), Rubiaceae yaitu Richardia brasiliensis, (C), Solanaceae yaitu Physalis angulata (D), dan Oxalidaceae yaitu Oxalis barrelieri (E).
B
E
C
F
Spesies gulma yang menjadi inang B. tabaci dari famili Amaranthaceae yaitu Amaranthus spinosus dan A. viridis (A dan B), Capparidaceae yaitu Cleome rutidosperma dan C. viscosa (C dan D), dan Lamiaceae yaitu Hyptis brevipes dan Leucas lavandulaefolia (E dan F).
31
A
B
D
C
E
I Gambar 7
F
G
J
H
K
Spesies gulma yang menjadi inang B. tabaci dari famili Asteraceae yaitu Ageratum conyzoides, Eclipta prostrata, Synedrella nodiflora, Crassocephalum crepidiodes, dan Erigeron sumatrensis (A sampai E). Tujuh spesies inang B. tabaci dari famili Euphorbiaceae yaitu Euphorbia hypericifolia, E. hirta, Acalyha boehmerioides, E. prunifolia, Phyllanthus debilis, dan P. niruri (F sampai K).
32 Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa spesies gulma yang menjadi inang B. tabaci adalah gulma berdaun lebar, sedangkan gulma dari golongan daun sempit dan teki diketahui bukan sebagai inang B. tabaci. Spesies gulma tersebut tumbuh setelah tanaman cabai merah ditanam dengan waktu kemunculannya yang berbeda. Beberapa spesies gulma memiliki periode aktivitas pertumbuhan yang berbeda, terdapat spesies gulma yang periode aktivitas pertumbuhan dan perkembangannya terjadi sejak awal pertumbuhan sampai tanaman cabai merah dipanen (Lampiran 1).
Spesies gulma yang
menjadi inang B. tabaci adalah Amaranthus viridis, A. spinosus, Ageratum conyzoides,
Eclipta
prostrata,
sumatrensis,
Synedrella
Crassocephalum
nodiflora,
Rorippa
indica,
crepidioides, Cleome
Erigeron
viscosa,
C.
rutidosperma, Acalypha boehmerioides, Euphorbia hirta, E. hypericifolia, E. prunifolia, Phyllanthus niruri, P. debilis, Hyptis brevipes, Leucas lavandulaefolia, Melochia concatenata, Oxalis barrelieri, Richardia brasiliensis, dan Physalis angulata (Gambar 5, 6, dan 7).
Spesies-spesies gulma tersebut umumnya
dijumpai di pertanaman cabai merah seperti dilaporkan oleh Setyowati et al. (2007). Hasil yang sama juga dijumpai pada hasil penelitian Attique et al. (2003) yang menunjukkan bahwa hanya gulma berdaun lebar yang menjadi inang B. tabaci di pertanaman kapas. Spesies gulma yang menjadi inang B. tabaci paling banyak tersebar di pertanaman cabai merah adalah A. conyzoides, S. nodiflora, C. viscosa, C. rutidosperma, P. niruri, P. debilis, dan Physalis angulata.
Spesies-spesies
tersebut dijumpai dalam jumlah yang banyak pada semua petak pengamatan dan dikelompokkan dalam spesies inang dengan kepadatan tinggi (Tabel 2). Penyebaran spesies-spesies gulma dipengaruhi oleh kecepatan pertumbuhan dan awal berkecambah. Seperti menurut Sastroutomo (1990), kecepatan pertumbuhan yang maksimum merupakan potensi yang dimiliki gulma untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada, menguasai ruang, dan secara kompetitif akan menekan pertumbuhan tumbuhan lainnya.
Perkecambahan yang awal
terjadi merupakan salah satu cara adaptasi sementara yang pada akhirnya akan mengarah untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada. Tanaman budidaya lainnya yang tumbuh di sekitar pertanaman cabai yang diketahui sebagai inang B. tabaci adalah ubi kayu (Manihot esculenta), ubi jalar (Ipomoea batatas), kacang tanah (Arachis hypogaea), terung (Solanum
33 melongena), dan talas (Colocasia esculenta) (Tabel 4). Spesies-spesies inang tersebut tumbuh sebelum tanaman cabai merah ditanam kecuali terung (Lampiran 1). Rata-rata populasi nimfa paling tinggi dijumpai pada ubi kayu dan terung yaitu berturut-turut sebesar 8,17 dan 3,80 nimfa per daun.
Rata-rata
populasi nimfa pada tanaman cabai merah mencapai 1,04 nimfa per daun. Attique et al. (2003) melaporkan bahwa tanaman budidaya yang menjadi inang B. tabaci yang tumbuh di sekitar pertanaman kapas adalah C. esculenta, I. batatas, dan S. melongena.
Hasil penelitian Alegbejo & Banwo (2005) juga
menunjukkan bahwa tanaman budidaya seperti M. esculenta, A. hypogaea, I. batatas, dan S. melongena merupakan inang dari B. tabaci yang terdapat di Samaru, Nigeria. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh McKenzie et al. (2004) yang menyatakan bahwa A. hypogaea dan S. melongena merupakan inang B. tabaci di Florida. Pada proses pemilihan dan penentuan inang oleh B. tabaci, peranan karakteristik spesies inang seperti morfologi dan biokimia merupakan sumber rangsangan utama (Meagher et al. 1997; Henneberry & Castle 2001).
Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa karakteristik morfologi seperti trikoma pada daun dan biokimia seperti kelenjar atau getah merupakan sumber rangsangan utama pemilihan dan penentuan inang oleh B. tabaci.
B. tabaci memiliki
preferensi yang tinggi terhadap spesies inang yang mengandung kelenjar atau getah seperti pada famili Euphorbiaceae.
B. tabaci memiliki preferensi yang
tinggi terhadap spesies inang yang memiliki trikoma pada permukaan bawah daun seperti A. conyzoides, S. nodiflora, dan S. melongena. B. tabaci kurang menyukai spesies inang yang tidak memiliki trikoma pada daun seperti H. brevipes, L. lavandulaefolia, O. barrelieri, A. viridis, dan R. brasiliensis. Karakteristik morfologi dan biokimia dari spesies-spesies inang dapat menghasilkan rangsangan untuk mendukung aktivitas biologi B. tabaci seperti peletakan telur.
Seperti yang dikemukan oleh Schoonhoven et al. (2005),
karakteristik morfologi dan biokimia dari spesies inang yang menunjukkan variasi dalam bentuk daun, warna daun, trikoma pada daun, dan senyawa-senyawa kimia yang dihasilkan dari proses metabolisme sekunder dapat menghasilkan rangsangan untuk mendukung aktivitas makan dan peletakan telur. Bentuk dan warna daun dari empat genotip tanaman kapas dapat mempengaruhi peletakan telur oleh imago B. tabaci (Meagher et al. 1997). Jumlah, panjang, dan tipe
34 trikoma pada daun dapat mempengaruhi kepadatan populasi B. tabaci pada tanaman (Heinz & Zalom 1995 dalam Meagher et al. 1997).
B. tabaci
mempunyai preferensi tinggi terhadap tanaman inang yang daunnya berbulu, dan kurang menyukai yang tidak berbulu (Indrayani & Sulistyowati 2005). Karakteristik biokimia seperti kandungan tanin dan fenol dapat mempengaruhi populasi B. tabaci (Butter et al. 1992 dalam Meagher et al. 1997). Hasil pengumpulan nimfa B. tabaci dari setiap spesies inang yang dijumpai selama pertumbuhan tanaman cabai merah menunjukkan bahwa terdapat satu jenis parasitoid dari golongan Hymenoptera dan famili Aphelinidae yaitu Eretmocerus sp. Terdapat 20 spesies inang dari jenis gulma dan tanaman budidaya lainnya yang berperan sebagai reservoir parasitoid Eretmocerus sp. dari nimfa B. tabaci di pertanaman cabai merah. Spesies inang yang paling banyak berperan sebagai reservoir parasitoid Eretmocerus sp. adalah spesies gulma yang terdiri dari 17 spesies. Tingkat parasitisasi parasitoid Eretmocerus sp. pada nimfa B. tabaci dari spesies-spesies inang tersebut berkisar antara 3,4% sampai 30,7% (Tabel 3). Tanaman budidaya lainnya hanya tiga tanaman yaitu ubi jalar, kacang tanah, dan terung. Tingkat parasitisasi parasitoid Eretmocerus sp. pada nimfa B. tabaci dari spesies-spesies inang tersebut berkisar antara 4,9% sampai 12,6% (Tabel 4). Tingkat parasitisasi parasitoid Eretmocerus sp. pada nimfa B. tabaci di tanaman cabai merah mencapai 29,1%. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa spesies inang dari tanaman budidaya lainnya dan gulma memiliki peran sebagai reservoir parasitoid Eretmocerus sp. dari nimfa B. tabaci di pertanaman cabai merah. Tanaman budidaya lainnya dan gulma dapat menjadi reservoir parasitoid Eretmocerus sp. untuk pertanaman cabai merah musim berikutnya atau saat insektisida tidak digunakan. Spesies-spesies gulma yang tumbuh di pertanaman cabai merah lebih banyak berperan sebagai reservoir parasitoid Eretmocerus sp. dibandingkan dengan tanaman budidaya lainnya. Keberadaan spesies-spesies gulma di pertanaman cabai merah dapat memberikan keuntungan bagi komunitas serangga yang mendiaminya, terutama serangga parasitoid.
Spesies-spesies
gulma bermanfaat sebagai tempat berlindung bagi serangga parasitoid pada saat tanaman budidaya dipanen atau tidak ada di lapangan. Griffiths et al. (2008) menyatakan bahwa ketersediaan tempat berlindung bagi musuh alami di ekosistem pertanian dapat meningkatkan efektivitas musuh alami dalam
35 pengendalian hayati hama tanaman.
Selanjutnya Emden (1991) menyatakan
bahwa spesies-spesies gulma dapat menjadi inang alternatif bagi parasitoid, pada saat inang utama pada tanaman budidaya menurun akibat aplikasi insektisida. Spesies-spesies gulma dapat menyediakan makanan tambahan bagi imago parasitoid seperti tepung sari dan nektar dari gulma yang berbunga. Spesies gulma dan tanaman budidaya lainnya yang menjadi reservoir parasitoid dapat bermanfaat dalam konservasi parasitoid nimfa B. tabaci di pertanaman cabai merah.
Teknik konservasi musuh alami bertujuan untuk
menghindari tindakan-tindakan yang dapat menurunkan populasi musuh alami seperti aplikasi insektisida.
Salah satu cara konservasi musuh alami seperti
menurut Driesche & Bellows (1996) adalah melestarikan spesies-spesies gulma atau tanaman budidaya yang mendukung inang parasitoid atau mangsa alternatif predator. Konservasi musuh alami pada area yang berdekatan dapat meningkatkan keberadaan parasitoid dan predator yang dapat membantu menurunkan populasi B. tabaci dalam jangka panjang. Konservasi merupakan salah satu teknik pengendalian hayati hama tanaman dengan parasitoid dan predator. Pengendalian hayati B. tabaci dengan parasitoid dan predator merupakan kunci strategis potensial yang sebagian besar belum direalisasikan pada tanaman budidaya (Naranjo 2001).
A
B
Gambar 8 Gulma Ageratum conyzoides (A) dan Acalypha boehmerioides (B) yang menjadi inang alternatif Geminivirus di pertanaman cabai merah pada musim kemarau Juni sampai Oktober tahun 2009 di Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DIY. Gejala penyakit seperti terinfeksi virus tanaman dijumpai pada gulma A. conyzoides dan A. boehmerioides yang tumbuh di pertanaman cabai merah.
36 Gulma A. conyzoides dan A. boehmerioides yang terinfeksi virus menunjukkan gejala berupa penguningan lamina dan tulang daun yang menyerupai jala (Gambar 8). Sulandari (2006) menyatakan bahwa gulma A. conyzoides yang terinfeksi Geminivirus memiliki variasi gejala seperti malformasi, mosaik, dan daun menguning seperti jala.
Spesies gulma memiliki peran sebagai inang
alternatif Geminivirus juga telah diketahui seperti pada gulma Sida sp., Macroptilium lathyroides, Wissadula amplissima (Roye 1997), Hyptis brevipes, Physalis floridana, Crotalaria juncea, dan Ageratum conyzoides (Saunders et al. 2000; Sukamto 2005; Sulandari et al. 2006).
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa gulma A. conyzoides berperan sebagai inang B. tabaci, inang alternatif Geminivirus, dan reservoir parasitoid Eretmocerus sp. Gulma A. boehmerioides hanya berperan sebagai inang B. tabaci dan inang alternatif Geminivirus. Dinamika Populasi B. tabaci Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa imago B. tabaci mulai dijumpai di pertanaman cabai merah sejak 1 minggu setelah pindah tanaman (MST) dengan rata-rata kerapatan 18,78 imago/kartu kuning berperekat. Sampai pada 5 MST, populasi imago masih relatif tinggi dan peningkatan populasi imago maksimum terjadi pada 6 MST dengan rata-rata kerapatan 23,39 imago/kartu kuning berperekat (Gambar 9A). Peningkatan populasi imago B. tabaci yang terjadi pada 1 MST sampai 6 MST karena jumlah spesies-spesies inang yang banyak muncul pada 1 MST sampai 6 MST. Jumlah spesies inang paling banyak dijumpai pada 1 MST sebesar 5,7 spesies, sedangkan jumlah spesies inang paling rendah sebesar 1,2 spesies pada 3 MST (Gambar 9C).
Terdapat
perbedaan kemunculan spesies inang B. tabaci di pertanaman cabai merah selama pertumbuhan tanaman. Spesies inang yang terdapat pada 1 MST meliputi M. esculenta, C. esculenta, I. batatas, Arachis hypogaea, Ageratum conyzoides, Cleome viscosa, Phyllanthus debilis, P. niruri, dan Physalis angulata (Lampiran 2).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa populasi imago di
pertanaman cabai merah berasal dari populasi imago pada gulma dan tanaman budidaya lainnya yang menjadi inang B. tabaci.
Populasi imago B. tabaci
mengalami penurunan tajam setelah 6 MST sampai mencapai populasi paling rendah pada 12 MST (5,39 imago/kartu kuning berperekat).
Imago B. tabaci/kartu kuning berperekat
37 25
A
20 15 10 5 0
Nimfa B. tabaci/daun
1
2
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16
3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
B
1
2
25 Jumlah spesies inang B. tabaci
3
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16
Jumlah spesies inang yang muncul per minggu Jumlah kumulatif spesies inang yang muncul
20
C
15 10 5 0
Parasitisasi oleh Eretmocerus sp. (%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16
70 60 50 40 30 20 10 0
D
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16
Minggu setelah tanam Gambar 9 Perkembangan populasi imago dan nimfa B. tabaci (A dan B), jumlah spesies inang B. tabaci (C), dan tingkat parasitisasi oleh Eretmocerus sp. (D) di pertanaman cabai merah pada setiap minggu setelah tanam.
38 Penurunan populasi imago B. tabaci yang terjadi setelah 6 MST sampai 12 MST karena jumlah spesies-spesies inang juga mengalami penurunan pada waktu yang sama serta beberapa spesies inang sudah mencapai pertumbuhan generatif sehingga berkurang sumber makanan bagi B. tabaci seperti A. viridis, A. spinosus, A. conyzoides, S. nodiflora, R. indica, C. viscosa, C. rutidosperma, M. concatenata, dan P. angulata atau tanaman budidaya lainnya yang sudah dipanen seperti kacang tanah dan ubi jalar. Populasi imago B. tabaci mengalami kenaikan kembali sejak 13 MST sampai 16 MST. Kenaikan populasi imago B. tabaci terjadi karena pada 13 MST mulai dijumpai spesies-spesies inang baru yang tumbuh di pertanaman cabai merah seperti C. crepidodes, H. brevipes, E. prostrata,
E.
sumatrensis,
dan
L.
lavandulaefolia.
Hasil
penelitian
ini
menunjukkan bahwa spesies-spesies inang berperan sangat penting dalam perkembangan populasi imago B. tabaci di pertanaman cabai merah. 30
Populasi imago
25
20 15 10
ŷ = 12,60 + 1,53x R2 = 0,216 P = 0,000
5 0 0
2
4 6 Jumlah spesies inang
8
10
Gambar 10 Hubungan antara populasi imago B. tabaci (Y) dan jumlah spesies inang (X) yang muncul di pertanaman cabai merah.
Berdasarkan hasil analisis regresi dan korelasi linear diketahui bahwa hubungan antara populasi imago B. tabaci dengan jumlah spesies inang B. tabaci yang muncul di pertanaman cabai merah dapat dinyatakan dengan persamaan ŷ = 12,60 + 1,53x dan koefisien korelasi r = 0,46 (Gambar 10). Dari
39 nilai koefisien korelasi tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan populasi imago B. tabaci di pertanaman cabai merah berasosiasi dengan keberadaan spesies inang B. tabaci yang ada di pertanaman cabai merah. Dari persamaan regresi yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa meningkatnya satu spesies inang B. tabaci akan meningkatkan populasi imago B. tabaci sebesar 1,53 imago per kartu kuning berperekat. Spesies-spesies inang B. tabaci dari tanaman budidaya lainnya seperti M. esculenta, C. esculenta, I. batatas, dan A. hypogaea yang tumbuh sebelum tanaman cabai merah ditanam dapat membangun populasi B. tabaci sebelum tanaman cabai merah ditanam. Sesuai pernyataan Attique et al. (2003) bahwa spesies-spesies inang dari B. tabaci di pertanaman kapas berperan dalam membangun populasi B. tabaci sebelum tanaman kapas ditanam dan dapat mendatangkan B. tabaci ke pertanaman kapas.
Tersedianya spesies inang
alternatif, baik tanaman budidaya maupun gulma sepanjang pertumbuhan tanaman cabai merah akan berpengaruh terhadap perkembangan populasi B. tabaci. Seperti menurut Henneberry & Castle (2001) dan Leite et al. (2005), perubahan populasi B. tabaci salah satunya dipengaruhi oleh ketersediaan spesies inang lainnya yang tumbuh di sekitar pertanaman. Pengamatan terhadap populasi nimfa B. tabaci menunjukkan bahwa populasi nimfa mulai dijumpai di pertanaman cabai merah sejak 1 MST dengan rata-rata kerapatan 0,11 nimfa/daun, namun belum dijumpai nimfa yang terparasit. Peningkatan populasi nimfa terjadi pada 4 MST, peningkatan populasi nimfa juga diikuti dengan peningkatan jumlah nimfa yang mati karena terparasit oleh parasitoid Eretmocerus sp., sehingga populasi nimfa mengalami penurunan pada 5 MST (Gambar 9B). Populasi nimfa mengalami peningkatan yang tajam serta mencapai populasi maksimum pada 8 MST dengan rata-rata kerapatan 2,96 nimfa/daun, namun jumlah nimfa yang terparasit rendah sehingga parasitisasinya juga rendah (Gambar 9D). Nimfa B. tabaci yang terparasit oleh parasitoid
Eretmocerus
sp.
mengalami
peningkatan
sehingga
tingkat
parasitisasinya lebih tinggi dijumpai pada 7 MST, 10 MST, dan 13 MST (Gambar 9D) sehingga populasi imago mengalami penurunan sejak 7 MST sampai 13 MST seperti terlihat pada Gambar 6A. Berdasarkan hasil analisis regresi dan korelasi linear diketahui bahwa hubungan antara populasi parasitoid Eretmocerus sp. dengan populasi nimfa B.
40 tabaci di pertanaman cabai merah dapat dinyatakan dengan persamaan ŷ = -0,05 + 0,34x dan koefisien korelasi r = 0,85 (Gambar 11). Berdasarkan nilai koefisien korelasi yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa populasi parasitoid Eretmocerus sp. meningkat dengan semakin meningkatnya populasi nimfa B. tabaci. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan populasi Eretmocerus sp. diikuti dengan peningkatan jumlah nimfa yang mati karena terparasit oleh parasitoid Eretmocerus sp., sehingga dapat menyebabkan penurunan populasi imago B. tabaci. Berdasarkan model persamaan regresi dapat disimpulkan bahwa meningkatnya satu ekor nimfa B. tabaci akan meningkatkan populasi Eretmocerus sp. sebesar 0,34 imago per daun. 2,5
Populasi parasitoid
2,0
ŷ = -0,05 + 0,34x R2 = 0,732 P = 0,000
1,5
1,0
0,5
0,0 0
1
2
3
4
5
Populasi nimfa
Gambar 11 Hubungan antara populasi parasitoid Eretmocerus sp. (Y) dan populasi nimfa B. tabaci (X) di pertanaman cabai merah. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa parasitoid Eretmocerus sp. memiliki potensi dalam pengendalian hayati B. tabaci di pertanaman cabai merah. Seperti yang dikemukakan oleh Castineiras (1995), Gerling et al. (2001), dan Kirk et al. (2001), genus Eretmocerus merupakan parasitoid B. tabaci yang telah digunakan untuk pengendalian hayati B. tabaci. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa parasitoid Eretmocerus sp. mulai memarasit nimfa B. tabaci instar ke-2. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Gerling et al. (2001),
41 parasitoid Eretmocerus sp. umumnya memarasit nimfa B. tabaci instar ke-2 sampai ke-4, namun preferensinya lebih tinggi pada nimfa instar ke-2. Nimfanimfa B. tabaci yang terparasit oleh parasitoid Eretmocerus sp. mengalami kematian pada instar ke-4.
Parasitoid Eretmocerus sp. dapat menyelesaikan
siklus hidupnya sampai fase imago pada satu nimfa B. tabaci atau bersifat soliter. Seperti yang dikatakan oleh Driesche & Bellows (1996) dan Hajek (2004), suatu parasitoid yang perkembangan hidupnya terjadi pada satu tubuh inang disebut parasitoid soliter dan bersifat endoparasitoid. Selanjutnya Zolnerowich & Rose (2008) menyatakan bahwa parasitoid Eretmocerus sp. merupakan parasitoid soliter dan endoparasitoid yang memarasit nimfa B. tabaci instar kedua dan imago parasitoid muncul dari nimfa instar ke-4 yang telah mati. Keanekaragaman dan Kelimpahan Parasitoid dan Predator Berdasarkan hasil pengumpulan serangga diketahui bahwa jumlah spesies predator dari B. tabaci pada metode jaring ayun, nampan kuning, dan pengamatan langsung pada tajuk tanaman adalah berturut-turut 9 spesies, 4 spesies, dan 9 spesies (Tabel 5).
Spesies-spesies predator tersebut adalah
Linyphiidae, Harmonia octomaculata, Menochilus sexmaculata, Scymnus sp., Micraspis inops, Coccinella sp., Paederus fuscipes, Orius sp., dan Syrphidae (Lampiran 3, 4, dan 5). Jumlah spesies parasitoid yang terkoleksi pada metode jaring ayun, nampan kuning, dan pengumpulan nimfa-nimfa B. tabaci adalah berturut-turut 2 spesies, 2 spesies, dan 1 spesies (Tabel 5). Spesies parasitoid tersebut adalah Encarsia sp. dan Eretmocerus sp. (Lampiran 3, 4, dan 6). Pada metode pengumpulan nimfa-nimfa B. tabaci dari daun cabai merah hanya terdapat satu spesies parasitoid yang berasal dari nimfa-nimfa B. tabaci yang terparasit yaitu parasitoid Eretmocerus sp. (Lampiran 6). Jumlah spesies predator lebih tinggi pada metode pengambilan serangga dengan metode jaring ayun dan pengamatan langsung pada tajuk tanaman dibandingkan metode nampan kuning. Jumlah spesies parasitoid lebih tinggi pada
metode
jaring
ayun
dan
pengumpulan nimfa-nimfa B. tabaci.
nampan
kuning
dibandingkan
metode
Metode pengambilan sampel serangga
dengan jaring ayun merupakan metode yang umum digunakan untuk pengumpulan serangga.
Jaring ayun serangga digunakan untuk menangkap
serangga pada daun-daunan atau rumput-rumputan dan pada areal pertanaman
42 yang berbentuk perdu seperti pertanaman cabai merah. Metode pengamatan langsung dilakukan terhadap spesies predator yang terdapat pada tajuk tanaman.
Pemerangkapan merupakan metode pengumpulan serangga dengan
menggunakan perangkap seperti nampan kuning.
Metode tersebut memiliki
kemampuan memikat secara fisik terhadap predator dan parasitoid.
Metode
pengumpulan nimfa-nimfa B. tabaci dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis parasitoid dari B. tabaci.
Metode pengumpulan serangga dapat dilakukan
dengan berbagai cara tergantung pada jenis serangga dan habitatnya (Gullan & Granston 2005). Tabel 5 Jumlah ordo (O), famili (F), dan spesies (S) predator dan parasitoid dari B. tabaci pada setiap metode pengambilan sampel di pertanaman cabai merah pada musim kemarau Juni sampai Oktober tahun 2009 di Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DIY Metode pengambilan sampel Jumlah
Jaring ayun
Nampan kuning
Pengamatan langsung pada tajuk tanaman
Pengumpulan nimfanimfa B. tabaci pada daun cabai merah
Ordo
4
1
4
-
Famili
5
2
5
-
Spesies
9
4
9
-
Ordo
1
1
-
1
Famili
1
1
-
1
Spesies
2
2
-
1
Predator
Parasitoid
Hasil pengumpulan dan pengamatan musuh alami diketahui bahwa kelompok musuh alami B. tabaci terdiri dari predator dan parasitoid. Kelompok predator dari B. tabaci meliputi ordo Coleoptera yaitu famili Coccinellidae dan Staphylinidae; ordo Diptera yaitu famili Syrphidae; ordo Hemiptera yaitu famili Anthocoridae; serta ordo Araneae yaitu famili Linyphiidae (Tabel 6). Sebagian besar predator dari B. tabaci menurut Castineiras (1995), Gerling et al. (2001), dan Naranjo et al. (2002) adalah famili Coccinellidae, Staphylinidae, Melyridae,
43 Tabel 6 Keanekaragaman dan kelimpahan spesies parasitoid dan predator dari B. tabaci di pertanaman cabai merah pada musim kemarau Juni sampai Oktober tahun 2009 di Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DIY Keanekaragaman spesies parasitoid dan predator No.
Ordo
Famili
Spesies
Kelimpahan spesies parasitoid dan predator pada ke-i minggu setelah tanam
a
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Ratarata
Kelompok predator 1
Araneae
Linyphiidae
Linyphiidae
2,40
1,65
1,60
3,85
4,05
2,60
2,80
3,30
3,30
1,20
1,10
1,20
1,50
1,15
1,85
0,75
2,14
2
Coleoptera
Coccinellidae
H. octomaculata
0,80
2,10
1,40
4,20
4,45
4,25
5,25
8,40
4,25
2,90
1,30
1,30
1,45
2,35
4,15
1,50
3,13
3
Coleoptera
Coccinellidae
M. sexmaculata
3,83
3,68
4,65
8,03
3,38
9,55
5,15
10,20
9,85
5,03
7,88
1,55
6,60
6,20
6,53
3,25
5,96
4
Coleoptera
Coccinellidae
Scymnus sp.
0,25
2,55
0,50
0,60
0,85
1,60
2,75
3,05
0,65
0,75
1,25
0,75
0,00
0,00
0,00
0,00
0,97
5
Coleoptera
Coccinellidae
Micraspis inops
3,15
2,95
1,70
4,05
3,10
4,90
3,15
6,35
7,10
4,85
3,00
1,25
6,75
4,75
4,75
2,25
4,00
6
Coleoptera
Coccinellidae
Coccinella sp.
3,30
3,00
3,40
3,05
3,60
8,50
7,00
6,65
6,15
4,30
4,15
1,50
2,00
0,75
0,75
0,75
3,68
7
Coleoptera
Staphylinidae
P. fuscipes
2,48
4,38
1,78
5,90
5,43
6,08
8,48
6,83
8,15
6,15
7,30
2,15
5,00
4,00
6,05
4,45
5,29
8
Hemiptera
Anthocoridae
Orius sp.
1,00
1,25
0,25
0,30
0,05
0,95
1,30
1,50
0,55
0,10
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,45
9
Diptera
Syrphidae
Syrphidae
0,75
2,75
0,25
0,90
1,50
2,45
3,75
2,50
1,00
0,95
1,40
0,70
0,00
0,00
0,00
0,00
1,18
1,99
2,70
1,73
3,43
2,93
4,54
4,40
5,42
4,56
2,91
3,04
1,16
2,59
2,13
2,68
1,44
Rata-rata Kelompok parasitoid 10
Hymenoptera
Aphelinidae
Encarsia sp.
0,88
0,75
0,50
1,50
0,75
1,25
3,38
2,00
2,25
2,38
2,63
0,88
3,38
2,38
2,38
0,75
1,75
11
Hymenoptera
Aphelinidae
Eretmocerus sp.
3,00
2,96
2,06
5,11
2,68
2,76
6,63
7,76
5,72
7,41
3,34
0,70
5,51
2,64
2,19
2,46
3,93
1,94
1,85
1,28
3,30
1,72
2,00
5,00
4,88
3,98
4,89
2,98
0,79
4,44
2,51
2,28
1,60
Rata-rata a
Kelimpahan spesies parasitoid dan predator adalah jumlah individu spesies parasitoid dan predator dari empat metode pengumpulan serangga yaitu metode jaring ayun, nampan kuning, pengamatan langsung pada tajuk tanaman cabai merah, dan pengumpulan nimfa-nimfa B. tabaci pada tanaman cabai merah.
44 Anthocoridae,
Miridae,
Chrysopidae,
Coniopterygidae,
Phytoseiidae,
dan
Araneae. Kelompok parasitoid dari B. tabaci meliputi dua spesies parasitoid dari ordo Hymenoptera dan Aphelinidae yaitu genus Encarsia dan Eretmocerus. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Castineiras (1995) dan Gerling et al. (2001) bahwa parasitoid utama dari B. tabaci adalah Encarsia sp. dan Eretmocerus sp. Keanekaragaman spesies predator B. tabaci lebih tinggi yaitu sembilan spesies dibandingkan keanekaragaman spesies parasitoid yaitu dua spesies (Tabel 6). Keanekaragaman spesies predator lebih tinggi dikarenakan predator memiliki banyak pilihan mangsa dibandingkan dengan parasitoid yang memiliki inang spesifik. Peningkatan keanekaragaman spesies predator B. tabaci selama pertumbuhan tanaman cabai merah berkaitan dengan peningkatan kelimpahan mangsa. Seperti dikemukan oleh Altieri et al. (1993) dan LaSalle (1993) yang menyatakan bahwa keanekaragaman musuh alami tidak hanya dipengaruhi oleh keanekaragaman habitat, tetapi juga dipengaruhi oleh kelimpahan mangsa atau inang. Namun pada keanekaragaman spesies yang tinggi, spesies yang hidup pada habitat yang sama akan menyebabkan interaksi antar spesies tersebut seperti kompetisi terhadap mangsa yang jumlahnya terbatas (Dixon 2000) atau terjadinya kanibalisme. Kanibalisme pada predator umumnya terjadi karena kekurangan mangsa dan kelaparan predator.
Sifat memangsa sesama predator muncul
dengan tujuan untuk mempertahankan keberadaan predator seperti pada kasus kekurangan makanan bagi predator secara alami (New 1991). Hal ini dapat diketahui bahwa terdapat beberapa spesies predator yang tidak dapat mempertahankan hidup sampai pertumbuhan generatif tanaman cabai seperti predator Scymnus sp., Orius sp., dan Syrphidae. Kelompok predator dari famili Coccinellidae memiliki jumlah spesies paling tinggi dibandingkan spesies predator dari famili lainnya. Spesies predator Coccinellidae merupakan predator oligofag yang banyak memangsa nimfa B. tabaci pada tanaman kapas dan Dialeurodes citri pada tanaman jeruk (Gerling et al. 2001).
Kisaran mangsa predator dari B. tabaci dapat dipengaruhi oleh
kualitas nutrisi mangsa seperti dinyatakan oleh Cohen & Brummett (1997) bahwa pada saat populasi B. tabaci menurun, banyak spesies predator mencari mangsa yang sesuai untuk perkembangan dan reproduksi seperti mangsa kutudaun. Spesies predator yang memiliki kisaran mangsa yang luas dapat menjadi lebih lama berada pada tanaman dan secara efektif mengatur peledakan populasi B.
45 tabaci.
Selanjutnya Gerling et al. (2001) menyatakan bahwa predator yang
generalis sering memperlihatkan perilaku tidak tetap terhadap mangsanya dan dapat memangsa beberapa spesies yang mudah berubah karena perubahan ketersediaan mangsa. Predator Linyphiidae, H. octomaculata, M. sexmaculata, M. inops, Coccinella sp., dan P. fuscipes, merupakan predator yang dominan dijumpai di pertanaman cabai merah selama pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman cabai merah.
Predator Scymnus sp., Orius sp., dan Syrphidae merupakan
predator yang hanya dominan dijumpai pada pertumbuhan vegetatif tanaman, sedangkan pada pertumbuhan generatif tidak dijumpai. Predator-predator tersebut hanya dapat bertahan hidup selama pertumbuhan vegetatif tanaman cabai merah. Jumlah individu predator Scymnus sp., Orius sp., dan Syrphidae di pertanaman cabai merah mencapai 0,97; 0,45; dan 1,18 individu (Tabel 6). Jumlah individu predator tersebut masing lebih rendah dibandingkan dengan kelimpahan predator yang dominan dijumpai selama pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman cabai merah. Predator M. sexmaculata memiliki jumlah individu paling tinggi sebesar 5,96 individu kemudian diikuti dengan predator P. fuscipes dan M. inops sebesar 5,29 dan 4,00 individu. Hal ini menunjukkan bahwa predator M. sexmaculata merupakan predator yang sangat potensial dalam pengendalian hayati hama tanaman seperti B. tabaci. Seperti yang dikemukakan oleh Kalshoven (1981) dan Gerling et al. (2001) yang menyatakan bahwa predator M. sexmaculata merupakan salah satu predator dari B. tabaci. Dari hasil penelitian Setiawati et al. (2006) diketahui juga bahwa predator M. sexmaculata memiliki daya pemangsaan sebesar 65% terhadap nimfa B. tabaci. Predator M. sexmaculata juga selektif terhadap insektisida seperti yang dilaporkan oleh Setiawati et al. (2007).
Selanjutnya, Hidayat et al. (2009) menyatakan bahwa berdasarkan
distribusi, kelimpahan dan uji efektivitas, diketahui spesies predator yang berpotensi tinggi sebagai agens hayati B. tabaci adalah M. sexmaculata dan M. inops. Kelompok parasitoid terdiri dari ordo Hymenoptera sebagai parasitoid B. tabaci yaitu Aphelinidae (Encarsia sp. dan Eretmocerus sp.). Jumlah individu parasitoid lebih tinggi dijumpai pada Eretmocerus sp. sebesar 3,93 individu dibandingkan Encarsia sp. sebesar 1,75 individu (Tabel 6). Parasitoid
46 Eretmocerus sp. yang lebih dominan dibandingkan Encarsia sp. di pertanaman cabai merah diduga terjadi karena adanya faktor kompetisi terhadap inang dari parasitoid tersebut.
Parasitoid Eretmocerus sp. bersifat oligofag yang dapat
memarasit spesies kutukebul lainnya (Evans & Serra 2002), sehingga menyebabkan parasitoid Eretmocerus sp. mudah dijumpai pada daerah yang tersebar B. tabaci. Parasitoid Encarsia sp. diketahui lebih banyak memarasit kutukebul Trialeurodes vaporariorum dibandingkan dengan B. tabaci (Gerling et al. 2001), sehingga kelimpahan parasitoid lebih tinggi dijumpai pada Eretmocerus sp. dibandingkan Encarsia sp. di pertanaman cabai merah. Perkembangan Kejadian Penyakit Daun Keriting Kuning Cabai Terdapat perbedaan perkembangan kejadian penyakit daun keriting kuning cabai di antara petak pertanaman cabai merah. Kejadian penyakit daun keriting kuning cabai mulai dijumpai pada 1 MST sebesar 0,5% pada petak pertanaman cabai merah yang berasal dari pesemaian tanpa diberikan sungkup plastik. Hal ini diduga tanaman cabai merah sudah terinfeksi Geminivirus pada saat pesemaian.
Kejadian penyakit daun keriting kuning cabai pada petak
pertanaman cabai merah yang berasal dari pesemaian yang diberikan sungkup plastik mulai dijumpai pada 3 MST sebesar 0,3%.
Kejadian penyakit daun
keriting kuning cabai pada petak pertanaman cabai merah yang berasal dari pesemaian tanpa diberikan sungkup plastik mencapai konstan pada 12 MST, sedangkan pada petak pertanaman cabai merah yang berasal dari pesemaian yang diberikan sungkup plastik pada 13 MST (Gambar 12). Tanaman cabai merah yang terinfeksi Geminivirus menunjukkan gejala awal berupa bercak kuning di sekitar tulang daun, daun berwarna kekuningan dan berkembang menjadi kuning cerah, dan keriting. Pemberian sungkup plastik pada pesemaian benih cabai merah dapat mencegah masuknya imago B. tabaci ke dalam pesemaian, sehingga kejadian penyakit daun keriting kuning cabai baru mulai terjadi pada 3 minggu setelah bibit tanaman cabai merah dipindahkan ke lahan pertanaman.
Kegiatan
pemberian sungkup plastik pada pesemaian merupakan salah satu bentuk pengendalian penyakit daun keriting kuning cabai pada tanaman cabai merah yang dilakukan sejak pesemaian benih cabai merah. Pemberian sungkup plastik pada pesemaian benih cabai merah merupakan kegiatan yang sering dilakukan
47 oleh petani di Desa Hardjobinangun Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DIY untuk melindungi pesemaian dari berbagai gangguan seperti terpaan sinar matahari langsung, siraman air hujan, serta hama dan penyakit.
Kejadian penyakit kumulatif (%)
12 10 8 6 4 Tanaman berasal dari pesemaian tanpa diberikan sungkup plastik Tanaman berasal dari pesemaian yang diberikan sungkup plastik
2 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16
Minggu setelah tanam Gambar 12 Perkembangan kejadian penyakit daun keriting kuning cabai kumulatif di pertanaman cabai merah pada musim kemarau Juni sampai Oktober tahun 2009 di Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DIY. Rata-rata kejadian penyakit daun keriting kuning cabai petak pertanaman cabai merah yang berasal dari pesemaian tanpa diberikan sungkup plastik lebih tinggi (6,2%) dibandingkan pada petak pertanaman cabai merah yang berasal dari pesemaian diberikan sungkup plastik (4,2%). Perbedaan rata-rata kejadian penyakit daun keriting kuning cabai diduga terjadi karena faktor lingkungan dapat berperan terhadap kejadian penyakit daun keriting kuning cabai. Hal ini dapat diketahui bahwa di sekitar petak pertanaman cabai merah yang berasal pesemaian tanpa diberikan sungkup plastik ditanam tanaman padi dan jagung, sehingga relatif aman dari serangan Geminivirus karena tanaman padi dan jagung bukan merupakan inang dari Geminivirus.
Sebaliknya di sekitar petak
pertanaman cabai merah yang berasal dari pesemaian diberikan sungkup plastik terdapat tanaman selain padi dan jagung seperti tanaman cabai merah milik
48 petani setempat.
Dari pengamatan yang dilakukan petak pertanaman cabai
merah milik petani terdapat tanaman cabai merah yang terserang penyakit daun keriting kuning cabai. Sumber inokulum penyebab penyakit daun keriting kuning cabai pada petak pertanaman cabai merah yang berasal dari pesemaian diberikan sungkup plastik diduga dari tanaman cabai merah milik petani setempat, sehingga kejadian daun keriting kuning cabai lebih tinggi dijumpai pada petak tersebut. Perkiraan perkembangan penyakit pada petak pertanaman cabai merah yang berasal dari pesemaian yang berbeda diduga ditentukan oleh serangga vektor B. tabaci, ketersediaan sumber inokulum penyakit seperti tanaman lain atau gulma yang terinfeksi virus Geminivirus, dan tanaman cabai merah yang rentan terhadap Geminivirus. Keberadaan sumber inokulum merupakan faktor penting di dalam penularan virus seperti tanaman cabai merah dan gulma yang terinfeksi Geminivirus.
Jenis gulma yang diduga sebagai sumber inokulum
penyakit daun keriting kuning cabai di pertanaman cabai merah adalah spesies Acalypha boehmerioides dan Ageratum conyzoides. Sumber inokulum penyebab penyakit daun keriting kuning cabai dapat juga berasal dari tanaman cabai merah yang terdapat di sekitar pertanaman cabai merah. Menurut Sulandari (2002) epidemi penyakit daun keriting kuning cabai pada pertanaman cabai merah di berbagai daerah di Pulau Jawa dipengaruhi oleh terjadinya perubahan pola tanam, introduksi varietas baru, anomali musim, dan adanya galur/strain virulen. Penularan dan pemencaran penyakit daun keriting kuning cabai di lapangan terutama ditentukan oleh aktivitas serangga vektor.
Geminivirus
ditularkan oleh B. tabaci secara persisten sirkulatif tetapi tidak mengalami replikasi di dalam tubuh serangga vektor (Mehta et al. 1994; Idris & Brown 1998). Efisiensi penularan ditentukan oleh jumlah serangga.
Kemampuan satu imago
B. tabaci menularkan Geminivirus telah banyak dilaporkan, walaupun dengan tingkat keberhasilan yang beragam. Satu imago B. tabaci dapat menularkan TLCV-Jember dengan keberhasilan 50% (Aidawati et al. 2002) sementara serangga yang sama dapat menularkan virus keriting kuning cabai dengan keberhasilan 40% (Sulandari 2004).
Strain Geminivirus asal Kaliurang lebih
efisien ditularkan oleh B. tabaci dengan jumlah serangga 10–20 imago setiap tanaman (Aidawati 2006). Mehta et al. (1994) menyatakan bahwa satu imago B. tabaci biotipe B mampu menularkan TYLCV-Mesir sebesar 20%.
49 Tanaman cabai merah varietas TM 999 merupakan salah satu cabai keriting hibrida yang paling populer di kalangan petani di Desa Hardjobinangun Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DIY. Varietas TM 999 sangat adaptif, baik di dataran rendah maupun sedang, produktivitasnya tinggi, berbiji banyak, rasa pedas, dan mempunyai daya simpan yang relatif lama. Menurut Sulandari (2004) varietas TM 999 mulai diintroduksi pada tahun 2002 dan ditanam pada areal yang luas secara monokultur di Daerah Istimewa Yogyakarta serta menyebabkan kejadian penyakit berkisar antara 10% sampai 100%. Varietas TM 999 tergolong sangat rentan terhadap Geminivirus.
Oleh karena itu perlu
mendapat perhatian dalam strategi pengendalian yang akan dilakukan seperti menghindari penanaman cabai merah secara monokultur dengan varietas yang sama dalam areal yang luas.