Nilai Pendidikan Tauhid dalam Sya’ir Cinta Jalaluddin Rumi (M. Amir Langko), h. 15-30
NILAI PENDIDIKAN TAUHID DALAM SYA’IR CINTA JALALUDDIN RUMI M. Amir Langko* Abstract: In this article, a remarkable figure in the history of Islamic mysticism, Maulana Jalaluddin Rumi, is discussed. His "greatest" works, Mathnawi, is said to be the best book in the history of the works of Persian language, and even it is known as the "Koran" in Persian language. The central theme of his mystical teachings was al-mahabbah or love. For Rumi, love is not in the sense of attraction to the opposite sex, but rather intended as a complete surrender and the union of individual to the Creator, that he even called this as the road of liberation to the pure monotheism (ma'rifat). It was here in the articulation of Rumi's teachings and its relevance to the essence of Islam, namely monotheism. It at once answers a lot of criticism addressed to him that his mystical teachings has fallen fallen into the pantheism cliff, something that is considered as another form of idolatry and has deviated from Islamic teachings. Kata Kunci; pendidikan tauhid, sya’ir cinta, Jalaluddin Rumi Cannon (2002:76), seorang ahli kajian agama menyebutkan enam cara beragama, yaitu (1) perbuatan benar, (2) ketaatan, (3) mediasi semanik, (4) pencarian mistik, (5) ritus suci, dan (6) penelitian intelektual. Menurut Cannon, pencarian mistik adalah mencarian anagogik atau makna “batin”. Petunjuk spiritual dan kebenaran harus diuji kembali melalui pengalaman meditatifnya sendiri. Metode atau teknik untuk memecah “ketidaksadaran” duniawi. Orangorang yang menjadi model jalan pencarian mistik, demikian juga alasan-alasan pencarian mistik dijadikan sarana penyatuan dengan realitas mutlak. Aspek realitas yang dipentingkan adalah “subjek absolut.” Dalam wacana pemikiran Islam, pencarian mistik disebut dengan jalan sufi (tasawuf). Sufisme atau tasawwuf adalah jalan pembebasan ketika manusia terperangkap kekaguman materialistik *M. Amir Langko, Dosen Tetap pada Jurusan Tarbiyah STAIN Watampone
Didaktika Jurnal Kependidikan Vol 5 No. 1 Juni 2010
pada diri sendiri (Mulhkam, 2001:vi). Memfokuskan diri pada prosedur formal, maka jalan tasawwuf lebih berfokus pada kesadaran batin tentang kehendak kuat mengabdikan diri dan seluruh hidup hanya bagi Tuhan. Walaupun demikian, jalan tasawwuf bukan berarti mengabaikan prosedur-prosedur formal. Karena itu, jalan tasawwuf seringkali nampak lebih lentur dan subyektif tanpa aturan baku yang berlaku umum bagi semua orang dari semua kelas sosial. Para pengamat sufisme menganggap bahwa sumber keterkaitan manusia kepada hasrat bendawi adalah nafs, walaupun istilah nafs sendiri mempunyai banyak makna, esensi jiwa yang menghidupkan, psikis, ruh, pikiran, kehidupan, hasrat, tetapi dalam terminologi sufisme, istilah nafs secara impilisit merujuk pada alnafs al-ammarah, yaitu “jiwa rendah” yang dikendalian sifat-sifat jahat (Nurbakhasy, 1998:7). Dalam hal ini, perwujudan nafs yang paling rendah adalah ketertarikan yang berlebihan pada dunia materi. Menurut Piliang (2000:55) bahwa ketika seseorang dikuasai nafs-nya maka hidupnya akan dikuasai oleh sifat-sifat alam materi tersebut. Kehidupannya akan terputus pada dunia benda, dengan segala irama perubahan dan pergantiannya, serta dengan segala sistem yang membentuknya. Namun demikian, kecenderungan nafs terhadap sifat-sifat dan hasrat rendah, dalam pandangan sufisme, tidaklah berarti bahwa ia harus dilenyapkan sama sekali. Ia hanya perlu dikendalikan dan ”dimurnikan” atau dibersihkan dari sifat rendah materi, sehingga mencapai tingkat nafs yang lebih tinggi, yaitu nafs yang tenang (mutmainnah), yang dapat membawa hasrat menjauh dari kesenangan materi dan hewani menuju kedekatan dengan tempat yang maha kuasa (Piliang, 2000). Itulah jalan sufisme; jalan para pengembara spiritual. Gelimang bendawi tak mereka hiraukan. Pengembaraan mereka tak mengenal henti dan lelah. Mereka terus berjalan sambil mengasah jiwa, melemparkan jauh-jauh segala bentuk sifat hewani dan mengganti dengan cahaya kasih dan cinta. Namun demikian, jalan sufisme tidaklah berarti lari dari kehidupan duniawi, tapi bagi mereka bukanlah segalanya. Bukan pula tujuan hidup dan tambatan bahagia. Dalam aspek sosial kemasyarakatan, jalan sufisme justru 16
Nilai Pendidikan Tauhid dalam Sya’ir Cinta Jalaluddin Rumi (M. Amir Langko), h. 15-30
sering menjadi inspirasi bagi para kaum tertindas untuk bangkit mengadakan perlawanan heroik. Salah seorang sosiolog Robert N. Bellah dalam (Zaini, 2000:viii) menyebutkan, “jalan sufisme bagi kaum tertindas, jauh lebih berpengaruh dari pada jalan syari’at. Menurut Bellah, salah satu di antara kekuatan utama jalan sufisme adalah doktrin “mahabbah” atau kecintaan kepada Sang Khalik. Kecintaan kepada Tuhan yang begitu hebat merembes pada kecintaan terhadap sesama yang luar biasa. Mahabbah adalah sebuah tema, di antara sekian banyak tema yang diusung oleh para pengamal sufisme dalam mengekspresikan kerinduan mistik mereka kepada sosok misteri realitas mutlak. Mahabbah (cinta) bagi mereka bukanlah sebuah dorongan hasrat untuk melampiaskan nafsu ketertarikan kepada lawan jenis, seperti yang banyak dilakukan muda mudi yang sedang dimabuk asmara. Cinta bagi para sufi adalah jalan mistik yang berujung pada pengendalian ego manusia, lalu membumbung tinggi mengitari altar “singgasana” Tuhan memukik naik ke karajaan Arsy. Di sana, sang sufi hilang dalam lautan nikmat dari rahmat dan kasih sayang sang penguasa alam. Berkaitan dengan tema cinta sufistik, dalam tulisan ini akan dikaji sosok sufi besar Maulana Jalaluddin Rumi dengan berfokus pada ajaran-ajaran mahabbah/cintanya. CINTA DALAM WACANA SUFISME Dalam bahasa Arab cinta disebut al-hub atau mahabbah. Kata berasal dari akar kata habba, hubban, hibban, yang bermakna waddaha, artinya kasih atau mengasihi (Ma’luf, 1973:113). Cinta dinamakan mahabbah karena ia berarti keperdulian yang paling besar dari cinta hati. Ada juga yang berpendapat bahwa cinta berasal dari akar-akar habba yang berarti biji-bijian, jamak dari habbat. Kata habbat al-qalb berarti sesuatu yang menjadi penopangnya. Jadi, cinta dinamakan hub dikarenakan ia tersimpan dalam kalbu (hati) (Jazil, 2000:71).
17
Didaktika Jurnal Kependidikan Vol 5 No. 1 Juni 2010
Zakariyah dalam Mu’jam al-Maqayiz fi al-Lughah (1993: 248-249) disebutkan kata hub berasal dari akar kata “ha” dan “ba”. Kata ini mempunyai banyak arti, di antaranya, “al-ma’ruf” berarti yang dikenal atau terkenal, “al-luzum”, berarti yang sudah lazim. Jika dianalisa kedua makna cinta tersebut pada hakekatnya mempunyai esensi makna yang sama, yaitu ketika seorang mencintai sesuatu harus ada pengetahuan dan pengenalan terlebih dahulu terhadap objek yang dicintai, sehingga dengan mudah dapat bergaul, berdialog akrab, bahkan “menyatu” dengan yang dicintai, yang dalam wacana sufi selalu di alamatkan kepada Tuhan. Menurut Muhammad dalam (Sukardi, 2000:237-239) cinta dalam pandangan para sufi adalah cinta dan kerinduan kepada Allah. Cinta terbagi ke dalam tiga tingkat, yakni (1) cinta karena pemberian. Cinta seperti ini berada pada tingkat yang paling rendah. Ibarat cinta seorang anak kecil, jika mereka mencintai orang tua atau orang lain, dipastikan karena mereka sering memberikan hadiah kepadanya. Jika seseorang sehat, cantik, tampan atau kaya, lantas karena itu ia mencintai Allah sebab sadar bahwa semuanya itu berasal dari-Nya. Berarti cinta seperti itu tumbuh sebagai cinta karena pemberian, seperti cinta seorang kanak-kanak. Cinta pada tingkat ini sangat labil dan tidak konsisten, jika kesehatan, kecantikan, ketampanan atau kekayaan dihilangkan atau dicabut oleh Allah, ia akan berkeluh kesah seakan akan Allah tidak pernah mencintai dirinya, (2) cinta atas dasar kekaguman. Manusia mencintai Allah, karena Allah memang Maha Kuasa, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Mencintai sesuatu atas dasar kekaguman, seperti seseorang mencintai karena orang tersebut memiliki kelebihan dan keluarbiasaan, dan (3) cinta tanpa alasan. Jika seseorang ditanya “mengapa mencintai Allah” lalu menjawab “Saya tidak tau mengapa saya mencintai Allah”. Pokoknya saya cinta”. Ia sudah berusaha keras mencari jawaban atau alasan, tapi tidak juga bisa ditemukan. Sebenarnya bukan tanpa alasan, justru begitu banyak alasan sehingga tak mampu ia ungkapkan. Itulah cinta yang suci dan tulus. Begitulah cinta para sufi kepada Allah. Sebuah cinta tanpa mengharap apa-apa.
18
Nilai Pendidikan Tauhid dalam Sya’ir Cinta Jalaluddin Rumi (M. Amir Langko), h. 15-30
Dengan mengutip Imam al-Gazali, Rakhmat (2001:32) mengatakan bahwa ada dua bentuk cinta kepada Allah, yakni (1) orang yang jatuh cinta kepada-Nya (Allah) setelah merasakan lezatnya pertemanan dengan-Nya. Orang yang jatuh cinta kepada Allah karena perjumpaan dengannya, maka kecintaannya tidak dapat dibandingkan. Ia melihat (ma’rifat) dulu, kemudian jatuh cinta setelah pertemuan itu, dan (2) orang yang disebut al-dhu’afa’ (orang-orang yang lemah). Umumnya orang jatuh cinta setelah berusaha setengah mati belajar mencintai Dia. Cinta seperti ini direkayasa. Ia tidak jatuh cinta, tapi belajar mencintai. Al-Gazali menambahkan bahwa esensi cinta/mahabbah, “Sesungguhnya kecintaan yang paling tinggi setelah diraihnya mahabbah. Tidak ada maqam lain kecuali buah dari mahabbah itu. Tidak ada maqammaqam sebelum mahabbah, kecuali pengantar kepada mahabbah. Demikianlah bahwa konsep cinta dalam terminologi sufisme menunjuk pada kecintaan dan kerinduan untuk bertemu dan bahkan menyatu dengan Allah. Cinta merupakan puncak perjalanan ruhani dan pendakian mistik seorang hamba menuju kehadirat-Nya. Mencintai Allah, mustahil adanya tanpa didahului pengetahuan dan pengenalan atas-Nya.
RUMI DAN SYA’IR-SYA’IR CINTANYA Biografi Singkat Jalaluddin Rumi Jalaluddin Rumi (selanjutnya disebut Rumi) dilahirkan di Balkh, tahun 1207. Balkh adalah sebuah kota di provinsi Khurasan, Afghanistan. Latar belakang keluarga Rumi sangat terhormat. Dimulai dari kakeknya yang terkenal sebagai seorang Arab, yang garis keturunannya sampai pada Abu Bakar al-Shiddiq. Sedang dari garis Ibu sampai pada Ali bin Abi Thalib (Depag. RI, 1993:503). Pada tahun 1219, ketika Rumi berusia 12 tahun, ayahnya Baha’uddin Walad, secara tiba-tiba bersama keluarganya meninggalkan Balkh dan melakukan perjalanan ke Barat. Hal ini dilakukan karena menghindari serbuan tentara Mongol yang sangat mengerikan itu. Dalam perjalanan itu, mereka bertemu dengan seorang sufi ternama, Fariruddin al-Attar yang lebih dikenal dengan nama Mulla Shadra. 19
Didaktika Jurnal Kependidikan Vol 5 No. 1 Juni 2010
Al-Attar memberi mereka sebuah buku ”Asrar Namah” (Buku Tentang Misteri-Misteri). Dalam pertemuan itu al-Attar berkata kepada ayah Rumi: “Anakmu tidak lama lagi akan menjadi api yang akan membakar para pecinta Tuhan di seluruh dunia” (Jamnia, 1997:140). Selain ayahnya, sosok yang secara langsung mendidik Rumi sejak kecil, ada beberapa orang yang sangat berpengaruh dalam kehidupan kesufian Rumi, yakni Sayyid Burhanuddin, Muhaqqiq alTirmidzi, Shalahuddin Fardu Zarkub, Husamuddin Khalabi, dan Syamsuddin al-Tabrizy (Jazil, 2000:12). Di antara nama-nama tersebut, Syamsuddin al-Tabrizy-lah yang paling berpengaruh pada diri Rumi. Dialah yang memberikan insprirasi pada Rumi dalam melahirkan sebuah buku “Diwani Syams-e-Tabriz” (Lirik-Lirik Syamsuddin al-Tabriz), sebuah kumpulan ide yang digubah Rumi atas nama sahabat/gurunya itu. Ia adalah seorang darwisy (guru spritual) pengelana. Pada tahun 1244, ia tinggal di rumah seorang saudagar gula (Makied, 2000:11-12). Pertemuan Rumi dengan Tabrizy sebenarnya hanya secara kebetulan. Suatu saat, Rumi pulang sehabis mengajar dengan mengendarai kuda. Rumi kebetulan lewat di depan rumah saudagar itu. Tiba-tiba Syamsuddin Tabrizy muncul dan langsung memegang kendali kuda yang dikendarai Rumi. Tabrizy lalu memberikan sebuah pertanyaan. Tak diduga, justru pertemuan itulah yang membuat Rumi terkesima, hingga mulai saat itu, Rumi tidak bisa lepas dari Syamsuddin Tabrizy. Selama tiga bulan, mereka mengasingkan diri dari keramaian, siang dan malam. Dalam merasakan manisnya pertemuan itu, tidak seorangpun yang melihat keduanya. Rumi merasa bahwa ia telah menemukan “kekasih” sempurna. Orang yang di dalam dirinya memiliki cahaya ilahi dengan sempurna. Rumi tergila-gila pada sosok pribadi itu. Dalam kebersamaan yang indah itu, tiba-tiba Syamsuddin menghilang secara misterius. Kepergiannya membuat Rumi benar-benar merasa kehilangan dan hampir putus asa. Tapi, dalam kondisi tersebut justru memberikan inspirasi bagi Rumi dalam melahirkan karya-karya besarnya kelak di kemudian hari (Jazil, 2000:12).
20
Nilai Pendidikan Tauhid dalam Sya’ir Cinta Jalaluddin Rumi (M. Amir Langko), h. 15-30
Syamsuddin al-Tabrizy sebenarnya sempat kembali ke kota Konya dan bertemu dengan Rumi, namun tidak berapa lama kemudian ia kembali menghilang untuk selamanya. Rumi memang gagal menemukan kembali Syamsuddin Tabrizy, namun Rumi justru menemukan sesuatu yang lebih besar, yaitu “pencarian mistik yang abadi” Rumi menemukan kembali Syamsuddin yang telah lenyap itu, justru dalam dirinya sendiri (Jazil, 2000:28). Karya tulis Rumi hampir tak terhitung jumlahnya. Lebih dari 30.000 baris sajak-sajak lirih. Sedangkan karya terbesarnya adalah Mastnawi yang dipuji sebagai Alquran berbahasa Persia dan kitab suci kedua setelah Alquran al-Karim. Karya ini terdiri dari 2.500 lirih. Dalam enam jilid Mastnawi, terdapat sekitar 25.000 bait sya’ir dan Rubayyat (sya’ir empat baris), dan terdapat sekitar 1.600 barisnya adalah asli. Secara rinci, karya-karya Rumi dapat diklarifikasi menjadi enam buah karya. Tiga karya utama dan tiga lainnya relatif lebih kecil dan kurang populer. Sebagai karya utama yaitu (1) Maqalat-1-Syams-1-Tabriz (Wejangan-Wejangan Syamsuddin Tabriz), (2) Diwan-1-Syams-1- Tabriz (Lirik-lirik Syamsuddin Tabriz), dan (3) Matsnav-1 Manavi atau Matsnawi Jalaluddin Rumi. Karya terakhir ini yang paling besar dan populer. Sedangkan tiga karya lainnya yang kurang populer adalah (1) Rubayyat (Sya’ir Empat Baris), (2) Fihi Ma fihi, (Di Dalam Apa Yang Di Dalam), dan (3) Maktubat (Korespondensi) (Kertanegara, 1986:28-30), Akhirnya, pada 5 Jumad al-Tsani 672 H/7 (Desember 1273 M), Jalaluddin Rumi wafat di kota Konya dalam usia 68 tahun. Bukan hanya orang-orang Islam yang hadir dalam pemakamannya itu, tapi juga hadir orang-orang Yahudi dan Kristen, sehingga hampir terjadi keributan. Ketika Mu’inuddin Parnama, gubenur kota Konya pada saat itu, bertanya pada mereka mengapa ikut dalam pemakaman Rumi. Mereka menjawab, “Kami menemukan dalam diri Rumi suatu tanda dan keajaiban para Nabi, seperti yang telah diceritakan dalam kitab suci kami” (Kertanegara, 1986:32).
Cinta Dalam Pandangan Jalaluddin Rumi Kesulitan Mencari Makna dam Hakekat Cinta 21
Didaktika Jurnal Kependidikan Vol 5 No. 1 Juni 2010
Bagi Rumi, cinta adalah sesuatu yang universal dan hampir tak terbayangkan serta sesuatu yang luar biasa. Penuturan Rumi tentang makna cinta tidak dalam bentuk etimologi dan terminologi. Gaya tuturnya tak dapat diduga dan terkadang menukik, membelok, datar dan yang paling umum selalu berlindung di balik perumpamaan-perumpamaan. Dalam syairnya yang bergaya dialogis, Rumi dalam (Shimmel, 1993:204) menjelaskan makna cinta: Suatu malam kutanya cinta: ”Katakan siapa sesungguhnya dirimu?” Cinta menjawab: “Aku ini kehidupan abadi, aku memperbanyak kehidupan itu”. Aku bertanya lagi: “Duhai yang di luar tempat, di manakah rumahmu?” Cinta menjawab: “Aku ini bersama api hati, dan di luar mata yang basah, karena akulah setiap pipi, aku ini tukang cat, berubah jadi warna kuning, akulah utusan yang riang, sedang pecinta adalah kuda kurusku, akulah manisnya meratap menyibak segala yang tertabiri”. Dalam syair lirihnya yang lain, Rumi dalam (al-Nadwi, 1997:38-39) berdendang: Sungguh … Cinta dapat mengubah yang pahit menjadi manis. Debu menjadi emas, keras menjadi bening, Sakit menjadi sembuh, penjara menjadi singgasana, Derita menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang mampu melunakkan besi, Menghancurleburkan batu karang, Membangkitkan yang mati, Dan meniupkan kehidupan padanya, Serta membuat budak menjadi raja. Rumi menggambarkan cinta sebagai sayap yang sanggup menerbangkan manusia yang membawa beban berat ke angkasa raya, dan dari kedalaman mengangkat ke ketinggian, dan dari bumi ke bintang tsurayyah (gejora). Bila cinta ini berjalan di atas gunung 22
Nilai Pendidikan Tauhid dalam Sya’ir Cinta Jalaluddin Rumi (M. Amir Langko), h. 15-30
yang tegar, maka gunungpun akan bergoyang dan menari serta berlenggang riang (al-Nadwi, 1997:39). Dari makna-makna literal dan apa yang dikemukakan sendiri oleh Rumi, jelas bahwa sangat sulit untuk mengambil garis definitif yang dapat meliputi semua gambaran yang tercakup dalam makna cinta. Hal ini disebabkan karena kata dan kalimat yang digunakan Rumi dalam menggambarkan cinta tidak mampu mewakili dan menyipati makna cinta itu sendiri, sebagaimana cahaya tidak mampu menyipati kecuali cahaya itu sendiri, atau rindu tidak mampu menggambarkan kerinduan kecuali rasa rindu itu sendiri. Kesulitan mendefinisikan cinta diakui sendiri oleh Rumi. Nicholson (1993:18) mengutip sebuah syair Rumi: Perih cinta inilah yang membuka tabir hasrat pecinta Tiada penyakit menyamai duka cinta hati Cinta adalah sebuah penyakit karena berpisah, isyarat dan astralabium(?) Rahasia-rahasia Ilahi apakah dari jamur laut atau jamur bumi Cintalah yang menimbang kita kesama pada akhirnya akal akan sia-sia, bahkan mengelepar untuk menerangkan cinta, bagai keledai dalam lumpur Cinta adalah sang pemeran cinta itu sendiri Bukankah matahari yang meyatakan dirinya matahari? Perhatikanlah ia! Seluruh bukti yang kamu cari, ada di sana. Kemustahilan mendefenisikan cinta, bagi Rumi, karena cinta itu sendiri adalah salah satu bagian dari rahasia-rahasia Ilahi. Itu sebabnya, dalam syair di atas, pada akhirnya akal akan sia-sia, bahkan menggelepar ketika mencoba mendekati makna cinta. Cinta Universal Cinta bagi Rumi tidak hanya dimiliki oleh manusia, tapi juga pada alam. Cinta alam pada Tuhan disebut “cinta semesta”. Cinta Tuhan sebagai wujud menampakkan kecantikan Tuhan kepada alam, yang pada saat itu, masih berupa realitas potensial (Adam). Kata Rumi “engkau telah menjadi sebab ia jadikan cinta kepada-mu (Kertanegara, 1996:78).
23
Didaktika Jurnal Kependidikan Vol 5 No. 1 Juni 2010
Dalam pandangan Rumi, cinta bersifat universal. Ia ada dalam semua potensi dan realitas alam, dalam wujud manusia, hewan dan tumbuhan merupakan manifestasi cinta Tuhan. Ia menggerakkan segala potensi dan merasuk ke dalam semua realitas. Ia adalah ruh hidup dan menghidupkan. Ia adalah kekuatan yang mampu merubah dari yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dari yang mati menjadi hidup. Dari yang terpendam menjadi bercahaya. Inilah makna lirik Rumi “cinta adalah suatu kenyakinan yang tidak akan pernah mati dan senantiasa melimpahkan kepada setiap yang ada (al-Nadwi, 1997:42). Dari sudut pandang inilah mengapa Rumi mengatakan bahwa cinta bukan untuk selain Tuhan, sebab selain dia (makhluk) tidak pantas untuk mendapatkan cinta. Makhluk justru dalam posisi yang mencintai, sedangkan Tuhan hanya pantas untuk dicintai. Inilah makna kata Rumi dalam (al-Nadwi, 1997): Untuk siapa cinta itu? Sungguh cinta itu kekal Harus diberikan kepada yang kekal pula Ia tidak pantas diberikan kepada yang ditakdirkan menjadi fana dan binasa. Dalam kaitan ini, Rumi sengaja menunjuk pada kisah Nabi Ibrahim a.s. Kisah Nabi Ibrahim yang dimaksud adalah ketika ia (Nabi Ibrahim) gelisah dan ragu dalam proses pencarian Tuhan. Ia melihat bintang, bulan, dan matahari dan menganggap semua itu adalah Tuhan, tetapi ketika menghilang, ia mengatakan ”Tuhan tidak mungkin bisa menghilang atau tenggelam”. Cinta Sebagai Jalan Pembebasan Menuju Tauhid Murni Suatu ketika Rumi dalam (Hasymi, 1991:73) ditanya oleh gurunya, Syamsuddin Tabriz: “Apakah kesembuhan berarti bagi para penderita sakit cinta? ”Tidak” kata Rumi. Mereka justru merindukan sakitnya bertambah, dan hasrat agar sakitnya itu berlipat ganda. Cinta adalah penyakit, tapi ia dapat membebaskan penderitaan dari segala penyakit lain. Apabila penyakit ruhania menjadi
24
Nilai Pendidikan Tauhid dalam Sya’ir Cinta Jalaluddin Rumi (M. Amir Langko), h. 15-30
sehat, bahkan nyawanya adalah kesehatan yang semua orang ingin membelinya. Rumi dalam (al-Nadwi, 1997:44) memandang cinta sebagai jalan satu-satunya untuk dapat menghilangkan berbagai penyakit jiwa, seperti bangga dan sombong. Cinta juga dapat mengobati segala kekurangan diri. Cinta seperti bara api yang siap menyala dan membakar segalanya, selain yang dicinta. Tauhid adalah pedang yang jika diayunkan oleh pemiliknya akan dapat membabat semuanya, selain dari Allah swt. Mencintai Allah bukanlah sekedar pengakuan formal dari seorang hamba. Ia membutuhkan kerja keras, kesungguhan, dan keikhlasan. Pernyataan cinta kepada Allah harus dimaknai sebagai sebuah proses pendakian. Rumi memandang bahwa puncak Tauhid adalah “ma’rifat al-Allah”. Tentang ma’rifat, Rumi dalam (Nicholson, 1993:107) berkata: Ahli ma’rifat adalah jiwa agama dalam kehidupan Ma’rifat adalah hasil dari berlakunya asketisme Asketisme adalah pekerjaan menabur benih Ma’rifat adalah pertumbuhan dan hasil penanam benih Ahli ma’rifat adalah perintah untuk berbuat benar, dan kebenaran itu sendiri. Dialah sang raja kita hari ini dan esok Sekan adalah hamba untuk benihnya yang baik. Ma’rifat adalah puncak tauhid. Ma’rifat berarti ketersingkapan tirai atau dinding pemisah yang mengantarai seorang hamba dengan Khalik-nya. Dalam ketersingkapan tersebut segala rahasia dan pengetahuan Tuhan dapat disaksikan. Ma’rifat-lah memungkinkan terjadinya persekutuan dan perpaduan mistik. Ketika mengomentari syair-syair cinta Rumi yang berkaitan dengan ma’rifat, Kertanegara (1996) mengungkapkan, “Ketika terjadi puncak ekstase cinta terjadilah suatu perpaduan jiwa yang mengambarkan persatuan mistik, di mana sintesa pecinta dan yang dicintai teratasi oleh perubahan bentuk mereka ke dalam esensi
25
Didaktika Jurnal Kependidikan Vol 5 No. 1 Juni 2010
“cinta universal”. Cinta universal agaknya sebutan lain dari ma’rifat itu sendiri. Rumi bercerita tentang kondisi ketika ekstase cinta itu terjadi: Bahagia pada saat itu Ketika ia duduk bersanding di pelataran istana Kau dan aku dalam dua bentuk, dalam dua tubuh, tapi satu jiwa Kau dan aku … Kau dan aku yang tak lagi saling menyendiri Kau hanyut dalam ekstase tiada bandingnya lagi Di suatu tempat di mana kita bergerak mesra kau dan aku… Sungguh menakjubkan bahwa kau dan aku duduk di sini pada sudut taman yang sama.... Berada pada saat yang sama, berada di Iraq dan Khurasan jua Kau dan aku. Di sinilah keunikan Rumi dalam mengungkapkan ekspresi kesufiannya. Ketika ia sedang berada dalam puncak-puncak ekstasenya, Rumi tidak larut bersama Tuhan di alam eksistensi murni, tapi justru ia bergegas turun ke bumi dan berbicara tentang Iraq dan Khurasan, atau di sudut sebuah taman, namun tetap dalam kemanunggalan dengan Tuhan. Dari sisi ini pula dapat dijawab keraguan atau bahkan tuduhan sebagian orang yang mengatakan bahwa ajaran cinta Rumi mengarah kepada panteisme, atau serba Tuhan dan karenanya jatuh ke dalam kemusyrikan. Padahal, dengan ajaran terebut Rumi justru ingin membebaskan diri dari perilaku tersebut. Mahabbah bagi Rumi adalah jalan pembebasan dan pemerdekaan manusia dari sifatsifat rendah menuju ke alam tauhid murni. Manusia, bahkan alam semesta diangkat derajatnya menuju alam maha tinggi dengan jalan meleburkan dan menyatukan dengan Tuhan. Proses penyatuan ini tentu saja tidak dapat dijelaskan dengan logika materialistik, akan tetapi harus dijelaskan dalam rana filosofis- mistis.
26
Nilai Pendidikan Tauhid dalam Sya’ir Cinta Jalaluddin Rumi (M. Amir Langko), h. 15-30
PENUTUP Rumi adalah seorang sufi besar sepanjang sejarah spritual Islam. Ia mengungkapkan gagasan kesufianya lebih bersifat mistikfilosofis. Karena itu, sangat sulit menemukan apa makna definitif cinta dari Rumi. Ia hanya bermain dengan logika bahasa dengan berbagai metafora di seputar fungsi, kekuatan, keperkasaan, dan begaimana cinta dapat mengantarkan manusia mencapai tingkat penyatuan manusia dengan Tuhannya. Agar mampu menangkap, atau paling tidak mendekatkan pikiran, terhadap konsep cinta Jalaluddin Rumi, seperti konsep-konsep kesufian lainnya, harus difahami dengan nalar mistik-filosofis. Di sinilah signifikansi penguasaan dasar-dasar sufisme, filsafat, dan logika bahasa sastra sebagai media ekspresi cinta Rumi, mutlak diperlukan. Rumi mendasarkan konsepnya pada proses panjang dalam melihat dan seterusnya memahami realitas alam sebagai perwujudan cinta itu sendiri. Dialah sufi yang memandang realitas utama sebagai keindahan yang berwujud cinta, yakni sufi yang mengekspresikan ajarannya dalam cinta dan dengan bahasa cinta untuk mencapai iman yang murni dan sebenarnya, serta pengenalan diri (ma’rifat) yang sempurna kepada Tuhan sebagai realitas mutlak. Di sinilah keunikan sekaligus menunjukkan sisi lain dari sosok Rumi. Tidak sedikit di kalangan ulama mengkritik ajaran-ajarannya yang mereka anggap sudah terlalu jauh melenceng dari ajaran Islam. Padahal menurut penulis, justru di dalam syai’r-sya’irnya itu, terpancar sinar terang tentang nilai-nilai pendidikan tauhid sejati.
DAFTAR RUJUKAN Abdul Mahied, M. Yang Mengenal Dirinya Yang Mengenal Tuhannya: Aforisme-Aforisme Jalaluddin Rumi. (Terj.) Anwar Cholil, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000. Ali Al-Nadwi, Abu al-Hasan. Jalaluddin Rumi: Sufi Penyair Terbesar. (Terj) M. Adib Bitri, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
27
Didaktika Jurnal Kependidikan Vol 5 No. 1 Juni 2010
Ali Jamnia, Muhammad dan Mojdes Bayat. Negeri Sufi: KisahKisah Terbaik. (Terj.) Nasarullah, Jakarta: Lentera, 1997. Cannon, Dale. Enam Cara Beragama. Jakarta: Depatemen Agama RI, 2002. Schimmel, Annemarie. Akulah Angin Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi. (Terj.) Alwiyah Abdurrahman dan Iliyas Hasan, Bandung: Mizan, 1993. Departemen Agama RI. Ensiklopedi Islam di Indonesia. Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam PTA/IAIN, 1992/1993. Hasymi, A. “Perjalanan Spritual Rumi dan Ajaran Mistik Tarekat Maulawiyah”. Ulumul Qur’an. No. 9 Vol. II Tahun 1991. Ibn Faris, Abu Husain Ahmad. Al-Maqayiz Fi Al-Lughah. Beirut: Dar Al-Fikr, 1993. Jazil, Saiful. Senandung Cinta Jalaluddin Rumi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Kertanegara, Mulyadi. Renungan Sufistik Jalaluddin Rumi. Jakarta: Pustaka Jaya, 1996. Ma’luf, Louis. al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam. Beirut: Dar AlMasyrir, 1973. Mulkhan, Abdul Munir. “Kata Pengantar” dalam Jalaluddin Rumi. Kearifan Cinta: Renungan Sufistik Sehari-Hari: Kutipan Fihi ma fihi. Disusun oleh Ashad Kusuma Djaya, Yogyakarta: Kreasi Kencana, 2001. Nicholson, RA. Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi. (Terj.) Sutejo, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. Nurbakhsy, Javad. Psikologi Sufi. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 1998. Piliang, Yasraf Amir. Fenomena Sufisme di Tengah Masyarakat Posmodern. Jurnal Al-Huda Vol. I.2, 2000.
28
Nilai Pendidikan Tauhid dalam Sya’ir Cinta Jalaluddin Rumi (M. Amir Langko), h. 15-30
Rakhmat, Jalaluddin. Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik. Cet. V; Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000. Sukardi (ed.). Kuliah-Kuliah Tasawuf. Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 2000. Zaini, M. Padhali. Seputar Sastra Sufi: Tokoh dan Pemikirannya. Surabaya: Risalah Gusti, 2000.
29
Didaktika Jurnal Kependidikan Vol 5 No. 1 Juni 2010
30