NILAI-NILAI PENDIDIKAN TAUHID DALAM SERAT WIRID HIDAYAT JATI KARYA R. Ng RANGGAWARSITA
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh MISBAKHUL MUNIR NIM. 3103294
FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010 i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Misbakhul Munir (NIM :3103294). Nilai-nilai Pendidikan Tauhid Dalam Serat Wirid Hidayat Jati Karya Raden Ngabehi Ronggowarsito. Tauhid (pengesaan terhadap Allah SWT) merupakan hal yang paling mendasar dalam agama Islam, karena tauhid merupakan inti dari semua ajaran akidah maupun syari’ah Islam. Aplikasi dan Implementasi dari tauhid adalah akhlak. Maka terasa tepatlah ketika ada ayat “inna maa bu’itstu li utammia makarimal akhlaq”. Akhlak terpuji atau makarimal akhlak itu bisa terjadi atau terwujud andai ajaran tauhid itu sudah mampu tertanam dengan baik terhadap pribadi seseorang. Nilai-nilai pendidikan tauhid ini bisa ada dimana saja termasuk dalam cerita atau sastra. Ronggowarsito atau Bagus Burhan adalah seorang pujangga terkenal dari Surakarta. Darah bangsawan dan seni memang mengalir dari keluarganya. Sebagai seorang pujangga ia terkenal hingga negeri Belanda. Selain ‘Serat Kalatidha” yang merupakan jangka atau ramalan mengenai ‘zaman edan’, banyak karya sastranya yang terkenal. Salah satu diantaranya adalah “serat wirid hidayat jati” yang telah penulis teliti nilai-nilai pendidikan tauhid di dalamnya. Tentunya dalam melakukan penelitian ini, penulis terlebih dahulu membedah serat wirid itu sendiri untuk kemudian dipilah dengan berbagai metode, diantara metode hermeneutika hingga penelusuran unsur intrinsik. Setelah itu dianalisis berbagai pendidikan tauhid yang ada dalam serat tersebut. Setelah melakukan penelitian baru penulis ketahui bahwa Ronggowarsito dalam serat wirid yang berbentuk jarwa (prosa) ini, memakai dua sudut pandang (point of view) yaitu sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga. Sudut pandang orang pertama ini baru diketahui ketika ia memakai sandiasma (penyamaran nama) dalam candra sengkala : rong songga warga sinuta. Nama samaran yang dipakai dalam serat ini adalah Kiyahi Muhammad Sirollah Kedhung Kol. Kemudian setelah dianalisis ternyata dalam serat ini Ronngowarsito menjabarkan dengan cukup jelas mengenai pendidikan tauhid, proses pengajarannya serta penejelasannya. Hampir rata-rata keterangan dari berbagai sumber kitab salaf. Sedang nilai-nilai pendidikan tauhid yang terkandung dalam serat ini adalah nilai pendidikan tauhid rububiyah, nilai pendidikan tauhid uluhiyah dan nilai asma’ dan sifat. Mengenai tapa-laku atau ritual-ritual dalam serat ini, meski penulis belum bisa menilai atau mengkategorikan manekung, lelaku atau wirid yang ada didalamnya sebagai pendidikan tauhid ubudiyah, tetapi manekung itu pada dasarnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
v
MOTTO
:ﻢ ﴿ﻟﻘﻤﺎﻥ ﻴﻋﻈ ﻢ ﻙ ﹶﻟ ﹸﻈ ﹾﻠ ﺮ ﺸ ﻪ ﹺﺇﻥﱠ ﺍﻟ ﻙ ﺑﹺﺎﻟﻠﱠ ﺸ ﹺﺮ ﺗ ﹶﻻﻨﻲﺑ ﺎ ﻳﻌﻈﹸﻪ ﻳ ﻮ ﻭﻫ ﻪ ﺑﹺﻨﻻ ﺎ ﹸﻥﻭﹺﺇ ﹾﺫ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹸﻟ ﹾﻘﻤ ﴾13 Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS. Al Luqman: 13)
(163 :ﻢ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ﻴﺮﺣ ﻦ ﺍﻟ ﻤ ﺣ ﻮ ﺍﻟﺮ ﻪ ﹺﺇﻷﱠ ﻫ ﺪ ﹶﻻ ﹺﺇﹶﻟ ﺣ ﺍﻪ ﻭ ﻢ ﹺﺇﹶﻟ ﻜﹸﻭﹺﺇﹶﻟﻬ Adapun Tuhanmu itu adalah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan melainkan dia yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (QS. Al Baqarah : 163)
vi
PERSEMBAHAN Dengan tidak mengurangi rasa syukurku kepada Allah swt, Tuhan sumber segala muara esensi. Kupersembahkan totalitas usaha, karya, dan buah pikiran Skripsi ini untuk: Ayahanda M. Nurhadi & Ibunda Titik Sulastri tercinta, yang telah memberikan motivasi dan mengorbankan segalanya demi kesuksesan ananda. Robbighfir lii waaliwaalidayya warhamhuma kama Robbayaanii shoghiro Saudara-saudaraku tersayang : Mbak Qiswatun Nuriyah (alm), Dinda Yuli Nurrohmah dan keponakan tersayang Nur Muhammad Zawal al Falahi yang telah memberikan semangat pada diriku untuk mencapai cita-cita. Keluarga Kelompok Pekerja Teater beta. Kang Rofiurrutab, M.Si, Mbak Istrokhah, S.Ag, Teman- teman seperjuangan, Rois, Aisah, Taufiq, Ilham dan semua temanteman angkatan 2003 yang telah memberikan dorongan dan membantu dalam penyusunan skripsi ini. Almamaterku, IAIN Walisongo Semarang, Kampus yang berbasis, Diniyah, Ukhuwah dan Ilmiah.
vii
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 28 Juni 2010 Deklarator
Misbakhul Munir NIM. 3103294 (033111294)
viii
KATA PENGANTAR Alhamdulillâhilladzî nawwaranâ bi al’ilmi wa al’aqli. Segenap puja dan puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah swt yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, dan bimbingan serta kekuatan lahir batin kepada diri peneliti, sehingga skripsi ini yang merupakan hasil dari sebuah usaha ilmiah dan proses akademik yang cukup panjang dapat terselesaikan sebagaimana mestinya. Sholawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad saw, sosok historis yang membawa proses transformasi dari masa ”uncivilized” yang gelap gulita ke arah alam yang sangat terang benderang dan berperadaban ini, juga kepada para keluarga, sahabat serta semua pengikutnya yang setia disepanjang zaman. Penelitian yang berjudul ”NILAI-NILAI PENDIDIKAN TAUHID DALAM SERAT WIRID HIDAYAT JATI KARYA RADEN NGABEHI RONGGOWARSITO” ini pada dasarnya disusun untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Oleh karena itu, karya ilmiah ini merupakan kulminasiformal akademik yang sudah barang tentu tetap disertai akuntabilitas akademik juga dan bukan hanya untuk memenuhi kewajiban akademik (scholar duty) an sich tetapi juga sebagai media untuk memberikan wacana dan solusi dalam dunia kependidikan. Cukup terharu rasanya ketika penulis telah menyelesaikan proses akademik dan penyusunan skripsi ini. Karena dengan media ini penulis telah banyak belajar, berfikir, berimajinasi, mencurahkan segenap kemampuan dalam hal pemikiran, kreativitas dan ketelitian untuk memenuhi kebutuhan curiosity (rasa ingin tahu) penulis atas problematika hasil belajar peserta didik yang rendah dalam mengarungi suatu setting pertempuran intelektualitas yang cukup menantang sehingga dapat mencari dan menemukan identitas diri sebagai seorang manusia yang dianugerahi akal oleh Sang Kholiq. Oleh karenanya, penulis semakin sadar akan berbagai kelemahan, kebodohan dan keterbatasan yang ada dalam diri penulis, ”wamâ ûtîtum min al’ilmi illa qalîlan”.
ix
Dalam
proses
penyusunan
penelitian
tersebut,
peneliti
banyak
mendapatkan bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, oleh karena itu izinkan peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada hamba-hamba Allah yang telah membantu peneliti sehingga karya sederhana ini bisa menjadi kenyataan, bukan hanya angan dan keinginan semata. Peneliti ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Prof. DR. H. Abdul Jamil, MA., Rektor IAIN Walisongo Semarang. 2. Prof. DR. H. Ibnu Hadjar, M. ED., Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo. 3. Ahmad Muthohar, M.Ag, Ketua Jurusan PAI. 4. Nasiruddin, M.Ag., Sekretaris Jurusan PAI. 5. Ahmad Muthohar, M.Ag., selaku Pembimbing I (Bidang Materi), yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, dan fikirannya serta dengan tekun dan sabar memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 6. Drs. Sajid Iskandar, S, M.Pd., selaku Pembimbing II (Bidang Metodologi), yang juga telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, dan fikirannya serta dengan tekun dan sabar memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 7. Mufidah, M.Pd, selaku Wali Studi selama Penulis menuntut ilmu di IAIN Walisongo Semarang. 8. Bapak dan Ibu Dosen yang telah membimbing, mendidik dan memberikan pencerahan untuk selalu berpikir kritis-edukatif, transformatif-inovatif dalam menggali ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah selama berada di lingkungan Kampus IAIN Walisongo Semarang. 9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, namun tak terlupakan bantuannya, baik bantuan materiil maupun sprirtuil yang langsung maupun tak langsung turut serta dalam penyelesaian penelitian ini.
x
Akhirnya, semoga segala bantuannya yang tidak ternilai ini mendapatkan balasan dari Allah SWT dengan balasan yang sepantasnya, dan semoga penelitian ini bermanfaat khususnya bagi peneliti sendiri. Semarang, 28 Juni 2010
Penulis
xi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................ i PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................... ii PENGESAHAN ............................................................................................... iii ABSTRAK ....................................................................................................... iv DEKLARASI ................................................................................................... v MOTTO ........................................................................................................... vi PERSEMBAHAN ............................................................................................ vii KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii DAFTAR ISI .................................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang .......................................................................... 1 B. Penegasan Istilah ....................................................................... 5 C. Perumusan Masalah ................................................................... 7 D Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 8 E. Metodologi Penelitian................................................................ 9 F. Sistematika Penulisan Skripsi .................................................... 12
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PENDIDIKAN TAUHID A. Pendidikan Tauhid ...................................................................... 14 B. Materi Pendidikan Tauhid ........................................................... 18 C. Dasar dan Tujuan Pendidikan Tauhid ......................................... 23 1. Dasar Pendididkan Tauhid .................................................... 23 2. Tujuan Pendidikan Tauhid .................................................... 26 D. Metode Pendidikan Tauhid ......................................................... 29
xii
BAB III : BIOGRAFI DAN KARYA SASTRA R.NG RANGAWARSITA A. Biografi dan Karya-karya R. Ng. Ranggawarsita ....................... 33 B. Karya Sastra dan Tipologi Penulisan R. Ng. Ranggawarsita ...... 44 1. Karya Sastra R.NG Ranggawarsita .......................................... 44 2. Tipologi Tulisan R. NG Ranggawarsita ................................... 46 C. Posisi SWHJ dalam Sastra Jawa ................................................. 47 D. Isi SWHJ yang memuat Pendidikan Tauhid ............................... 50 BAB IV :
NILAI
PENDIDIKAN
TAUHID
DALAM
SERAT
WIRID
HIDAYATJATI KARYA R. NG. RANGGAWARSITA A. Muatan
Pendidikan
Tauhid
dalam
SWHJ
Karya
R.
Ng.
Ranggawasita .............................................................................. 60 B. Nilai Pendidikan Tauhid dalam SWHJ ....................................... 79 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................. 88 B. Saran............................................................................................ 89 C. Penutup........................................................................................ 89 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Agama adalah sebuah realitas yang senantiasa melingkupi manusia. Agama muncul dalam kehidupan manusia dalam berbagai dimensi dan sejarahnya. Maka memang tidak mudah mendefinisikan agama. Termasuk mengelompokkan seseorang apakah ia terlibat dalam suatu agama atau tidak. Agama (religion) dalam pengertian yang paling umum diartikan sebagai sistem orientasi dan obyek pengabdian.1 Dalam pengertian ini semua orang adalah makhluk religius, karena tak seorang pun dapat hidup tanpa sistem yang mengaturnya dan tetap dalam kondisi sehat. Kebudayaan yang berkembang adalah produk dari tingkah laku keberagamaan manusia. Sebuah agama biasanya melingkupi tiga persoalan pokok, yaitu: 1. Keyakinan (credial), yaitu keyakinan akan adanya sesuatu kekuatan supranatural yang diyakini mengatur dan mencipta alam. 2. Peribadatan (ritual), yaitu tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan kekuatan supranatural tersebut sebagai konsekuensi atau pengakuan dan ketundukannya. 3. Sistem nilai yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya atau alam semesta yang dikaitkan dengan keyakinannya tersebut.2 Dalam agama Islam keyakinan (credial) seseorang dijelaskan aturannya dalam syahadat (kesaksian) dan rukun iman. Kemudian peribadatan (ritual) dijelaskan aturannya dalam rukun islam. Sedangkan nilai-nilai keislamannya diaplikasikan dan diimplementasikan dalam akhlak. Kebulatan dari ketiganya disebut ihsan, dimana seseorang seperti merasa dapat melihat Allah atau merasa selalu dilihat (diawasi) oleh Allah. Manusia yang percaya kepada keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, akan selalu merasa dekat dan dilindungi oleh Tuhannya. Mereka yakin bahwa 1
Departemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, (2002), hlm.30 2 Ibid, hlm.31
1
2
tidak ada daya upaya dan kekuatan yang akan mempengaruhi kecuali hanya Tuhan semata. Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu disebut tauhid,3 Namun banyak anggota masyarakat belum memahami secara mendalam tentang tauhid, mereka hanya mengetahui tauhid sebatas pengakuan dan ucapan yang diwujudkan dalam bentuk penyembahan dan ritual. Padahal kepercayaan manusia kepada Yang Maha Esa itu berkembang sesuai dengan perkembangan pikiran dan peradaban manusia itu sendiri. Kepercayaan tentang adanya Tuhan yang amat mendalam dan sangat penting adalah tidak terdapat dalam kalangan orang-orang biasa. Keyakinan tentang adanya Tuhan tidak merupakan hasil pikiran seorang pujangga, akan tetapi merupakan hasil dari pengalaman bertahuntahun ketika manusia berjuang melampaui kegelapan spiritisme dan politisme sampai pada tingkatan yang tertinggi.4 Untuk mencapai ke tingkatan yang lebih tinggi ini, manusia terlebih dahulu melalui proses pendidikan yaitu seorang guru terlebih dahulu memberikan ajaran agama kepada murid terutama tentang ketauhidan. Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah saw, yang menanamkan akidah tauhid ke dalam jiwa umatnya dengan menundukkan pandangan, mengarahkan pikiran, membangkitkan rasio dan mengingatkan perilaku. Rasulullah saw. mereformasi dan menganjurkan penanaman akidah tauhid
dengan
pendidikan
dan
mengembangkannya
sehingga
dapat
mengantarkan pada puncak kesuksesan, dapat memalingkan umat dari menyembah berhala dan syirik pada akidah tauhid.5 Esensi peradaban Islam adalah Islam itu sendiri dan esensi Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan, yaitu tindakan yang menegaskan bahwa Allah sebagai Yang Maha Esa, Pencipta yang mutlak dan transenden, Penguasa segala yang ada.6 Dengan demikian, masalah pendidikan tauhid 3
Zainuddin, Ilmu Tauhid lengkap, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), hlm. 3. Dikutip dari bukunya M. Habib Mustopo, Ilmu Budaya Dasar, (Surabaya: Usaha Nasional, 1998), hlm. 32. 5 Sayid Sabiq, Akidah Islam : Suatu Kajian yang Memposisikan Akal sebagai Mitra Wahyu, (Surabaya: Al Ikhlas, 1996), hlm. 36. 6 Ismail Raji Al Faruqi, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1995), hlm. 16. 4
3
dalam Islam mendapat perhatian utama dan menjadi tugas terpenting para rasul. Tauhid itu sebagai misi yang dibawa oleh seluruh para Nabi Allah swt. untuk disampaikan kepada umatnya, kemudian misi tersebut dilanjutkan oleh para pewaris nabi (ulama) hingga sampai ke Indonesia, antara lain pulau Jawa, dan pelopornya antara lain Wali Sanga. Dalam sejarah penyebaran agama di Jawa, Islam mengalami perkembangan yang cukup unik. Suatu hal yang sangat menarik ditinjau dari sudut agama adalah pandangan yang bersifat sinkretis yang mempengaruhi watak dari kebudayaan dan kepustakaan Jawa. Dan kepustakaan Jawa sendiri terbagi menjadi dua bagian, yaitu kepustakaan Islam santri dan kepustakaan Islam kejawen.7Salah satu kepustakaan Islam kejawen yang dimaksud ialah Serat Wirid Hidayat Jati, yang untuk selanjutnya disingkat SWHJ. Karya sastra tersebut berisi ajaran ketauhidan (ilmu kemakrifatan) yang bersumber dari riwayatnya wiradat, ajaran wali di pulau Jawa. SWHJ merupakan salah satu karya sastra yang berbentuk prosa, yang disusun oleh R. Ng. Ranggawarsita, seorang pujangga Jawa Muslim, yang hidup dan berkarya pada pertengahan abad ke19.8 Karya sastra ini dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial, karena karya sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu berkaitan dengan kehidupan masyarakat, norma-norma dan adat istiadat zaman itu.9 Pengarang menggubah karyanya selaku anggota masyarakat sekaligus menyapa pembaca yang sama-sama merupakan anggota masyarakat tersebut. Pembahasan hubungan sastra dan masyarakat, biasanya bertolak dari frase, menurut De Bonald bahwa “literature is an expression of society “.10 Karya sastra yang unggul, kerap kali dipandang sebagai cerminan hidup masyarakat. Karya sastra tersebut dapat sampai kepada pembaca lewat perjalanan yang panjang dari generasi ke generasi. Hubungan sangat kuat antara karya sastra, pengarang dan pembaca telah membentuk ketiganya 7
Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, (Jakarta: Univesitas Indonesia Press, 1988), hlm. 2. 8 Ibid., hlm. 37. 9 Zulfahnur Z. F., dkk., Teori Sastra, (Jakarta: Depdikbud, 1998), hlm. 21. 10 Rene Wellek and Austin Warren, Theory of Literature, (New Zealand: Penguin Book, 1973), hlm. 95
4
menjadi satu kesatuan yang saling terkait dalam kehadirannya di jagad sastra. Sebagai hasil karya seorang pujangga, kehadirannya tidak bisa lepas dari fungsi penyaluran ide pribadi pengarangnya. Bagi masyarakat pembaca, karya sastra juga mempengaruhi pola tingkah laku mereka karena karya sastra mengandung unsur pendidikan dan ajaran yang bisa dianut.11 R. Ng. Ranggawarsita telah mampu membawa perubahan besar pada peta kesusastraan Jawa pada masa itu. Bahkan melalui karya-karyanya, akhirnya beliau mampu menciptakan suatu garis anutan bagi pembentukan watak pribadi suatu pola perilaku masyarakat Jawa secara luas. Ini bisa dipelajari melalui tulisan-tulisannya. Di antara karya sastranya yang paling terkenal hingga sekarang serat wirid hidayat jati.12 Serat inilah yang akan dibahas oleh peneliti karena isinya mengandung nilai pendidikan tauhid. Pujangga tersebut dalam menyusun karya sastra berupa SWHJ, memuat ajaran Islam dan tradisi budaya Jawa sehingga menimbulkan persinggungan antara nilai Islam dan nilai budaya Jawa. Persinggungan IslamJawa menjadi persoalan pelik dan telah menghasilkan sejumlah pemikiran yang patut dijadikan pertimbangan awal. Menurut Mark R. Wooward, Islam mengalami keberhasilan yang sempurna di Jawa karena Islam merupakan kekuatan dominan dalam ritus dan kepercayaan orang Jawa. Pertemuan Islam dan Jawa secara stereotype (berpandangan sebelah saja) digambarkan berjalan amat damai dan mulus. Islam yang universal dan Jawa yang akomodatif dianggap sebagai pilar penyangga utamanya.13 Sejarah Islam-Jawa tidak sekedar soal konversi (peralihan bentuk), tapi juga soal penegakan Islam sebagai agama kerajaan, suatu proses yang 11
Zulfahnur Z. F., dkk., op. cit., hlm. 12. Adapaun serat atau karya R. Ngabehi Ronggowarsito yang lain diantaranya: Pustakaradja (memuat cerita wayang Mahabarata), Tjemporet (cerita roman yang bahasanya indah), Kalatidha (yang terkenal dengan gambaran zaman edan), Jaka Lodhang (berisi ramalan tentang datangnya zaman baik atau bisa ditafsiri sebagai ramalan akan datangnya kemerdekaan negara Indonesia), Sabda tama (ramalan tentang sifat zaman makmur dan tingkah laku manusia yang loba tamak), Sabdajati (berisi tentang ramalan zaman hingga sang pujangga minta diri untuk memenuhi panggilan Tuhan), lihat R. M. Ng. Poerbatjaraka, Kapustakan Djawi, (Jakarta: Djambatan, 1954), hlm. 163. 13 Mark R. Woodward, Islam Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 4. 12
5
mengakibatkan
penghancuran
banyak
kebudayaan
Hindu-Budha
dan
subordinasi ulama atas kekuasaan keraton. Proses formulasi kerajaan Islam menguasai kehidupan keagamaan di Jawa sangat kompleks. Dalam kaitan itu R. Ng. Ranggawarsita melalui karya-karyanya terutama SWHJ yang telah menunjukkan hasil pendidikan yang ditempuhnya dengan ketajaman nalar dan wawasannya. Sebagai contoh dalam SWHJ terdapat suluk dan wedharan dari para wali, ada ajaran tentang “wisikan ananing dat”.14 Ini merupakan pengenalan terhadap Tuhan (Allah SWT), yang merupakan ajaran awal untuk melakukan persaksian. Kemudian dalam “panetep iman” diajarkan pembacaan syahadat (kesaksian) tetapi dalam bahasa jawa, yang syahadat atau persaksian itu merupakan tanda seseorang masuk Islam dan merupakan awal seorang muslim dikenakan hukum taklif. Selain itu pula diterangkan tata cara pelaksanaan peribadatan yang meski agak terkesan kejawen tetapi tidak menyalahi syaratrukun yang ada dalam aturan Islam.
B. Penegasan Istilah Untuk mengetahui lebih lanjut tentang masalah yang akan peneliti kemukakan dan agar tidak terjadi perbedaan persepsi perlu dijelaskan dan ditegaskan maksud serta batasan-batasan istilah yang digunakan. Adapun istilah-istilah yang perlu ditegaskan pengertiannya di sini adalah sebagai berikut: 1. Nilai-nilai pendidikan tauhid Pendidikan tauhid mempunyai arti suatu proses bimbingan untuk mengembangkan dan memantapkan kemampuan manusia dalam mengenal keesaan Allah. Pendidikan tauhid yang berarti membimbing atau mengembangkan potensi (fitrah) manusia dalam mengenal Allah ini, 14
Selain itu ada juga wedharan wahananing dat, gelaran kahananing dat, panetep iman dlsb, lihat Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, (Jakarta: Univesitas Indonesia Press, 1988), hlm. 174-175.
6
menurut pendapat Chabib Thoha, “supaya siswa dapat memiliki dan meningkatkan terus-menerus nilai iman dan taqwa kepada Allah Yang Maha Esa sehingga pemilikan dan peningkatan nilai tersebut dapat menjiwai tumbuhnya nilai kemanusiaan yang luhur”.15 Dengan kata-kata lain pendidikan tauhid adalah usaha mengubah tingkah laku manusia berdasarkan ajaran tauhid dalam kehidupan melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan dengan dilandasi oleh keyakinan kepada Allah semata. Dengan pendidikan tauhid, manusia akan menjadi manusia hamba bukan manusia yang dehumanis, kemudian timbul rasa saling mengasihi, menolong, memberikan hartanya yang lebih kepada mereka yang membutuhkan, selalu waspada terhadap tipu daya dunia dan manusia zalim, dapat belaku sederhana (zuhud) dan hati yang wara.16 Jadi nilai-nilai pendidikan tauhid adalah nilai atau esensi ketauhidan (ke-Esaan), aplikasi dan implementasinya yang dapat diambil dari suatu kajian dan ditransformasikan sebagai bahan pengajaran dan pendidikan. Nilai-nilai pendidikan tauhid adalah nilai atau esensi ketauhidan (ke-Esaan), aplikasi dan implementasinya yang dapat diambil dari suatu kajian dan ditransformasikan sebagai bahan pengajaran dan pendidikan. 2. Serat Wirid Hidayat Jati Karya Raden Ngabehi Ronggowarsito 15
M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996),hlm. 62 16 Pengalaman ketauhidan yang tercermin pada diri manusia disebabkan seseorang telah mengetahui dan menginsafi kebenaran kedudukan Allah, menyadari akan keagungan dan kebesaran-Nya sehingga dari sini segala apa yang dilakukan akan mengarahkasn tujuan pandangannya ke arah yang baik dan benar. Buah mengenal (ma’rifat) akan adanya Allah ini, di antaranya akan tersimpul dalam bentuk sikap sebagai berikut : a. Adanya perasaan merdeka dalam jiwa dari kekuasaan orang lain b. Adanya jiwa yang berani dan ingin terus maju membela kebenaran c. Adanya sikap yakin, bahwa hanya Allahlah yang Maha Kuasa memberi rizki d. Dapat menimbulkan kekuatan moral pada manusia (kekuatan Maknawiah) yang dapat menghubungkan manusia dengan sumber kebaikan dan kesempurnaan (Allah) e. Adanya ketetapan hati dan ketenangan jiwa. f. Allah memberikan kehidupan sejahtera kepada orang mukmin di dunia, lihat Sayyid Sabiq, Aqidah Islam, terj. Moh. Abdul Rahtomy, (Bandung : Diponegoro, 1996), hlm. 133-13
7
Serat adalah sebutan sebuah kitab kapustakaan Jawa, dan wirid ialah amalan ibadah yang dijalankan secara terus menerus untuk menyongsong datangnya anugerah Tuhan. Sedangkan kata hidayat berasal dari bahasa Arab berarti petunjuk dan kata Jati dalam bahasa Jawa berarti temen atau benar (nyata). Jadi wirid hidayat jati berarti amalan petunjuk yang sebenarnya.17 Jadi serat wirid hidayat jati berarti amalan petunjuk yang sebenarnya.18 Serat ini adalah karangan R. Ng. Ranggawarsita. Isinya membicarakan masalah kajian makrifat, yakni pandangan terhadap sifat Tuhan. Ajaran Hidayat Jati ini menerangkan tingkatan ilmu makrifat, bersumber dari riwayatnya wiradat, ajaran para wali di pulau Jawa.19 Karena nama Ranggawarsito adalah nama pemangku jabatan di bawah tumenggung yang turun temurun, maka perlu peneliti jelaskan bahwa yang dimaksud disini adalah Ranggawarsito III. Karena Ronggowarsito I adalah Yasadipuro II (kakek dari Ronggowarsito III), dan Ronggowarsito II adalah Suradimejo yang notabenenya adalah ayah dari Ronggowarsito III. Jadi yang dimaksud dengan Nilai Pendidikan Tauhid dalam SWHJ Karya R. Ng. Ranggawarsita di sini ialah hakikat suatu hal yang pantas diambil dari inti ajaran dengan upaya yang keras dan bersungguh-sungguh dalam mengembangkan, mengarahkan, membimbing akal pikiran, jiwa, qalbu dan ruh kepada pengenalan dan cinta kepada Allah dan melenyapkan segala sifat, af’al, asma dan zat yang negatif dengan positif serta mengekalkannya dalam suatu kondisi dan ruang.
C. Perumusan Masalah Langkah selanjutnya setelah penegasan istilah adalah perumusan pokok permasalahan yang akan dikaji. Menurut Suharsimi Arikunto, 17
Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, (Jakarta: Univesitas Indonesia Press, 1988), hlm. 277. 18 Ibid 19 R. Ng. Ronggowarsito Wirid Hidayat Jati, (Semarang: Dahara Prize, 1974), hlm. 3.
8
“permasalahan yang paling baik apabila permasalahan itu datang dari diri sendiri, karena hal itu didorong oleh adanya kebutuhan untuk memperoleh jawabannya”.20 Pokok permasalahan pengkajian dalam hal ini sebagai berikut. 1. Apa yang dimaksud dengan pendidikan tauhid? 2. Bagaimana isi kitab SWHJ karya R. Ng. Ranggawarsita? 3. Unsur atau aspek pendidikan tauhid apa saja yang mungkin terdapat dalam SWHJ karya R. Ngabehi Ronggowarsito?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Sesuai dengan permasalahan yang diajukan, maka tujuan yang hendak diperoleh dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut. a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pendidikan tauhid. b. Untuk mengetahui isi kitab dalam SWHJ karya R. Ng. Ranggawarsita. c. Untuk mengetahui nilai, unsur atau aspek pendidikan tauhid apa saja yang mungkin terdapat dalam SWHJ karya R. Ng. Ranggawarsita. 2. Manfaat Setelah lingkup masalah berhasil dirumuskan, maka pada hakikatnya peneliti telah mengajukan inti dari tujuan penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian. Rumusan tentang kegunaan hasil penelitian adalah kelanjutan dari tujuan penelitian. Apabila peneliti telah selesai mengadakan penelitian dan memperoleh hasil, ia diharapkan dapat menyumbangkan hasil itu kepada negara, atau khususnya kepada bidang yang sedang diteliti. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: a. Hasil penelitian dapat dimanfaatkan sebagai referensi/acuan yang dapat dijadikan wacana bagi pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan agama Islam khususnya dalam masalah ketauhidan.
20
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm. 22.
9
b. Hasil penelitian dapat dimanfaatkan sebagai wacana untuk lebih mendalami pengetahuan tentang akulturasi dan sinkretisme antara Islam dan Jawa. c. Hasil penelitian dapat dimanfaatkan sebagai wacana agar para pembaca tidak mengalami keterjebakan pemahaman tentang IslamKejawen. d. Hasil penelitian dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar bagi pelaksanaan penelitian lebih lanjut.
E. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan pustaka (library research), yaitu suatu pendekatan yang mengkaji serta mengggunakan literature sebagai bahan acuan dan rujukan dalam mengelola data.21 Penelitian kualitatif ini sebagai prosedur penilaian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari seseorang yang dapat diamati.22 Dalam hal ini objeknya adalah pemikiran tauhid yang terkandung dalam SWHJ karya Pujangga R. Ng. Ranggawarsita. 2. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi pustaka. Dalam tahapan ini, peneliti berusaha menyeleksi data-data (buku) yang ada relevansinya dengan pendidikan tauhid dan SWHJ karya R.Ng. Ranggawarsita. a. Sumber Data Primer, yaitu data yang sangat mendukung dan pokok dalam penelitian. Dalam hal ini, peneliti menggunakan Transkripsi SWHJ 21
karya
R.
Ng.
Ranggawarsita
di
beberapa
museum
Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1999), hlm. 23 22 Sudarto M. Hum., Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Grafindo Persada, 1997), hlm. 62
10
(Radyapustaka
dan
Reksacipta
di
Surakarta
dan
museum
Ronggowarsito di Semarang). Serta membandingkannya dengan Serat Wirid Hidayat Jati yang telah diterbitkan oleh beberapa penerbit lain. b. Sumber Data Sekunder, yaitu data yang berorientasi pada data yang mendukung secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan subjek penelitian.23 Data sekunder yang dimaksud dalam hal ini adalah salinan naskah SWHJ terbitan Administrasi Jawi kandha Surakarta yang telah dikutip dan dialihbahasakan oleh Simuh dalam karyanya
yang
berjudul
“Mistik
Islam
Kejawen
R.
Ng.
Ranggawarsita”, Hidayat Jati Kawedhar Sinartan Wawasan Islam disusun oleh R. Ng. Honggopradoto dkk, Pengaruh Islam dalam Karya-karya R. Ng. Ranggawarsita disusun oleh Dhanu Priyo Prabowo, Pujangga Ranggawarsita disusun oleh Kamajaya, Babad Cariyos Lelampahanipun Suwargi R. Ng. Ranggawarsita disusun oleh Komite Ranggawarsita, Paramayoga Ranggawarsita : Mitos Asal Usul Manusia Jawa diterjemahkan oleh Otto Sukatno Cr, Filsafat Jawa disusun oleh Abdullah Ciptoprawiro, R. Ng. Ranggawarsita Apa yang Terjadi disusun oleh Anjar Any, Kapustakan Djawi disusun oleh R. M. Ng. Poerbatjaraka, Pendidikan Ketuhanan dalam Islam disusun oleh Hamdani, Risalah At Tauhid disusun oleh Syekh Muhammad Abduh, dan referensi lain yang berkaitan. 3. Analisis Data Data yang telah terkumpul diolah dengan Metode a. Hermeneutika Hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah sesuatu dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Karya tokoh diselami untuk
23
hlm. 91
Saifudin Anwar, MA., Metode Penelitian, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 1998),
11
menangkap arti dan suasana yang dimaksudkan tokoh secara khas.24 Langkah metode ini adalah sebagai berikut. 1) Hermeneutika teks. Menerjemahkan atau meneliti kembali teks SWHJ baik yang berupa bahasa jawa (teks asli), translitan SWHJ maupun terjemahan SWHJ dalam bahasa Indonesia. 2) Hermeneutika reader. Melakukan
telaah
dan
studi
terhadap
pembacaan-
pembacaan SWHJ, antara pembacaan SWHJ masa dulu dan sekarang. 3) Hermeneutika realita Melakukan
telaah
terhadap
realita
(sosiokultur,
keberagaman dan suasana politik) masa dulu (semasa hidup sang pujangga) dan realita masa sekarang.25 Semua langkah-langkah ini dimaksud untuk melakukan interpretasi guna menangkap arti, nilai dan maksud pendidikan tauhid yang terkandung dalam SWHJ. b. Analisis Sintesis Metode ini berarti “cara penanganan terhadap objek ilmiah tertentu dengan jalan menggabungkan pengertian yang satu dengan pengertian lain, yang pada akhirnya dapat diperoleh pengetahuan yang sifatnya baru”.26 Dengan metode ini akan dilakukan analisis tentang SWHJ yang mengajarkan
ilmu kasampurnan yang dengan menggabungkan
konseps ilmu kasampurnan menurut beberapa penulis muslim lain. c. Content Analysis Maksudnya
ialah
“penelitian
yang
dilakukan
terhadap
informasi yang didokumentasikan dalam rekaman, baik gambar, suara,
24
Sudarto M. Hum., op.cit., hlm. 84. Dikutip dari seni menerjemahkan karya A. Widyamartaya, hlm. 20 26 Sudarto M. Hum., op.cit.,., hlm. 61. 25
12
tulisan dan lain-lain”.27 Dengan metode ini akan dilakukan analisis data dan pengolahan secara ilmiah tentang isi tulisan dalam SWHJ tersebut. d. Intrinsik Metode penelitian sastra ini bertolak dari interpretasi dan analisis karya sastra itu sendiri.28 Maksudnya penelitian tersebut dilakukan terhadap sebuah karya sastra dalam hal ini SWHJ yang dilihat dari unsur dalamnya dengan cara telaah, kritik dan penilaian terhadap karya sastra. Dalam hal ini tema yang diusung, amanat (pesan moral), penokohan, alur atau plot, setting termasuk gaya bahasa dari SWHJ juga diteliti agar tidak terjadi missinterpretasi dalam pengkajian lebih lanjut.
F. Sistematika Penulisan Skripsi Untuk memudahkan pencarian dan penelaahan pokok-pokok masalah yang akan dibahas, sistematika penulisan skripsi sangat diperlukan. Sistematika di sini dimaksudkan sebagai gambaran umum yang menjadi isi pembahasan skripsi ini. Penulisan sistematika skripsi adalah suatu cara untuk menyusun dan mengolah hasil penelitian dari data-data dan bahan-bahan yang disusun menurut urutan tertentu sehingga menjadi kerangka skripsi. Skripsi ini terdiri dari tiga bagian besar yang merupakan rangkaian dari beberapa bab. Ketiga bagian besar tersebut adalah sebagai berikut. 1. BAGIAN MUKA Pada bagian ini memuat : Halaman Judul, Halaman Nota Pembimbing,
Halaman
Pengesahan,
Halaman
Motto,
Halaman
Persembahan, Halaman Kata Pengantar, Abtraksi dan Daftar isi.
27
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Bina Aksara, 2000), hlm. 321. Rene Wellek and Austin Warren, Theory of Literature, terj. Melani Budianta, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), hlm. 157. 28
13
2. BAGIAN ISI Bagian ini memuat beberapa bab sebagai berikut. BAB I : Pendahuluan Bab ini memuat : Latar Belakang Masalah, Alasan Pemilihan Judul,
Penegasan
Istilah,
Permasalahan
Penelitian,
Tujuan
Penelitian, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penelitian untuk Skripsi. BAB II : Tinjauan Umum Tentang Pendidikan Tauhid Bab ini membahas Pendidikan Tauhid meliputi: Pengertian Pendidikan Tauhid, Materi Pendidikan Tauhid, Dasar dan Tujuan Pendidikan Tauhid, Pentingnya Pendidikan Tauhid. BAB III: Biografi dan Karya R. Ng. Ranggawarsita Bab ini membahas tentang : Biografi R. Ng. Ranggawarsita, Beberapa
Karya
Sastra
dan
Tipologi
Penulisan
R.
Ng.
Ranggawarsita, Posisi SWHJ dalam Sastra Jawa dan Isi SWHJ yang Memuat Pendidikan Tauhid BAB IV : Analisis Pendidikan Tauhid Bab ini membahas muatan pendidikan tauhid dalam SWHJ dan Nilai Pendidikan Tauhid yang terkandung dalam SWHJ karya R. Ng. Ranggawarsita. BAB V: Penutup Bab ini berisi Simpulan, Saran-saran dan Penutup.
3. BAGIAN AKHIR Pada bagian ini memuat : Daftar pustaka, Lampiran-lampiran dan Daftar Riwayat Hidup Penyusun.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENDIDIKAN TAUHID
A. Pendidikan Tauhid 1. Pengertian Pendidikan Tauhid Pendidikan
merupakan
hal
yang
penting
bagi
kehidupan
manusia. Dengan pendidikan itulah manusia dapat maju dan berkembang dengan baik, melahirkan kebudayaan dan peradaban positif yang membawa kebahagian dan kesejateraan hidup mereka. Hal ini disebabkan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin tinggi pula tingkat kebudayaan dan peradabannya. Kata pendidikan berasal dari kata dasar didik atau mendidik, yang secara harfiah berarti memelihara dan memberi latihan.29 Dalam bahasa Arab kata pendidikan juga berasal dari kata rabba-yurabbi-tarbiyatan, berarti mendidik, mengasuh dan memelihara.30 Bahasa Arab pendidikan juga sering diambilkan dari kata ‘allama dan addaba. Kata allama berarti mengajar (menyampaikan pengetahuan), memberitahu, mendidik. sedang kata addaba lebih menekankan pada melatih, memperbaiki, penyempurnaan akhlak (sopan santun) dan berbudi baik.31
Namun
kedua
kata
tersebut
jarang
digunakan
untuk
diterapkan sebagai wakil dari kata pendidikan, sebab pendidikan itu harus mencakup keseluruhan,
baik
aspek
intelektual,
moralitas
atau
psikomotorik dan afektif. Dengan demikian, ada tiga istilah pendidikan dalam konteks Islam yang digunakan untuk mewakili kata pendidikan, yaitu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, kata tarbiyah dipandang tepat untuk mewakili kata pendidikan, karena kata tarbiyah
29
Muhibin Syah, M. Ed., Psikologi Pendidikan, Editor : Anang Solihin Wardan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm 32. 30 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawwir, (Yogyakarta : PP. Al Munawwir, 1989), hlm. 504 31 Ibid. hlm. 461 dan 1526
14
15
mengandung arti memelihara, mengasuh dan mendidik yang ke dalamnya
sudah termasuk
makna
mengajar
atau
‘allama
dan
menanamkan budi pekerti (addab).32 Walaupun demikian, baik tarbiyah, ta’lim dan ta’dib, semua merujuk kepada Allah. Tarbiyah ditengarai sebagai kata bentukan dari kata Rabb, yang mengacu kepada Allah sebagai Rabbal ‘alamiin. Ta’lim yang berasal dari kata ‘allama, juga menuju kepada Allah sebagai Zat Yang Maha Alim. Selanjutnya kata ta’dib memperjelas bahwa sumber utamapendidikan adalah Allah. Dalam Kamus Pendidikan, kata pendidikan diartikan sebagai “upaya membantu
peserta
didik
untuk
mengembangkan
dan
meningkatkan pengetahuan, kecakapan, nilai, sikap dan pola tingkah laku yang berguna bagi hidupnya”.33 Dalam kitab At Tarbiyah wa Thariq At Tadris dijelaskan bahwa
ﻓﺎﻟﺘﺮﺑﻴﺔ ﺍﺫﻥ. ﺇﻥ ﺍﻟﺘﺮﺑﻴﺔ ﻫﻲ ﺍﳌﺆﺛﺮﺍﺕ ﺍﳌﺨﺘﻠﻔﺔ ﺍﱃ ﺗﻮﺟﻪ ﻭﺗﺴﻴﻄﺮ ﳊﻴﺎﺓ ﺍﻟﻔﺮﺩ 34 ﺗﻮﺟﻴﻪ ﻟﻠﺤﻴﺎﺓ ﺍﻭ ﺗﺸﻜﻴﻞ ﻟﻄﺮﻳﻘﺔ ﻣﻌﻴﺸﺘﻨﺎ Pendidikan adalah berbagai macam pengaruh guna menghadapi hidup seseorang. Jadi pendidikan berarti menyongsong kehidupan atau pembentukan pola hidup seseorang. Adapun arti pendidikan menurut Al Ghazali yaitu Proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna.35
32
Abdul Halim (ed.), Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), hlm. 25 33 St. Vembriarto, dkk., Kamus Pendidikan, (Jakarta : Grasindo, 1994), hlm. 47 34 Shaleh Abdul Aziz, At Tarbiyyah wa Thariq At Tadris, (Lebanon : Daarul Ma’arif, 1979), hlm. 13 35 Dikutip dalam karya Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 56
16
Pengertian pendidikan dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I, pasal 1, ayat 1, dijelaskan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.36 dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pada hakikatnya pendidikan adalah ikhtiar manusia untuk membantu dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan fitrah (kemampuan dasar) atau potensi manusia agar berkembang sampai titik maksimal sesuai dengan tujuan yang dicitacitakan. Kata tauhid berasal dari kata kerja wahhada, yang berarti “mengesakan, menyatakan atau mengakui Yang Maha Esa”.37 Maksudnya ialah keyakinan atau pengakuan terhadap keesaan Allah, Zat Yang Maha Mutlak. Tauhid menurut pendapat Muhammad Abduh adalah “asal makna tauhid ialah meyakini bahwa Allah adalah satu, tidak ada syarikat bagiNya”.38 Keyakinan tentang satu atau Esanya Zat Allah, tidak hanya percaya bahwa Allah ada, yang menciptakan seluruh alam semesta beserta pengaturannya, tetapi haruslah percaya kepada Allah dengan segala ketentuan tentang Allah meliputi Sifat, Asma dan af’al-Nya”.39 Dengan demikian, tauhid adalah suatu bentuk pengakuan dan penegasan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, Zat Yang Maha Suci yang meliputi sifat, asma dan af’al-Nya.
36
UU RI. Tentang Sistem Pendidikan Nasional, tahun 2003, hlm. 3 Ahmad Warson Munawwir, op. cit., hlm. 164 38 Syekh Muhammad Abduh, Risalah At Tauhid, terj. H. Firdaus A. N., (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hlm. 3 39 Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hlm. 1 37
17
Secara sederhana pendidikan tauhid mempunyai arti suatu proses bimbingan untuk mengembangkan dan memantapkan kemampuan manusia dalam mengenal keesaan Allah. Menurut Hamdani pendidikan tauhid yang dimaksud di sini ialah suatu upaya yang keras dan bersungguh-sungguh dalam mengembangkan, mengarahkan, membimbing akal pikiran, jiwa, qalbu dan ruh kepada pengenalan (ma’rifat) dan cinta (mahabbah) kepada Allah SWT; dan melenyapkan segala sifat, af’al, asma dan dzat yang negatif dengan yang positif (fana’fillah) serta mengekalkannya dalam suatu kondisi dan ruang (baqa’billah).40 Pendidikan
yang
dimaksud
ialah
agar
manusia
dapat
memfungsikan instrumen-instrumen yang dipinjamkan Allah kepadanya, akal pikiran menjadi brilian di dalam memecahkan rahasia ciptaan-Nya, hati mampu menampilkan hakikat dari rahasia itu dan fisik pun menjadi indah penampilannya dengan menampakkan hak-hak-Nya.41 Pendidikan tauhid yang berarti membimbing atau mengembangkan potensi (fitrah) manusia dalam mengenal Allah. Chabib Thoha berpendapat, “supaya siswa dapat memiliki dan meningkatkan terusmenerus nilai iman dan taqwa kepada Allah Yang Maha Esa sehingga pemilikan dan peningkatan nilai tersebut dapat menjiwai tumbuhnya nilai kemanusiaan yang luhur”.42 Dengan pendidikan tauhid ini, manusia akan menjadi manusia hamba bukan manusia yang dehumanis, kemudian timbul rasa saling mengasihi, menolong, memberikan hartanya yang lebih kepada mereka yang membutuhkan, selalu waspada terhadap tipu daya dunia dan manusia zalim, dapat belaku sederhana (zuhud) dan hati yang wara. Dengan demikian pendidikan tauhid mempunyai makna yang dapat kita pahami sebagai upaya untuk menampakkan atau mengaktualisasikan
40
M. Hamdani B. DZ, Pendidikan Ketuhanan dalam Islam, (Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2001), hlm. 10 41 Ibid., hlm. 10 42 M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996),hlm. 62
18
potensi laten yang dimiliki oleh setiap manusia, yang dalam bahasa Islamnya potensi laten ini disebut dengan fitrah beragama. Oleh sebab itu pendidikan
tauhid
lebih
diarahkan
pada
pengembangan
fitrah
keberagamaan seseorang sebagai manusia tauhid. Dengan kata lain pendidikan tauhid adalah usaha mengubah tingkah laku manusia berdasarkan ajaran tauhid dalam kehidupan melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan dengan dilandasi oleh keyakinan kepada Allah semata. Hal ini sesuai dengan karakteristik ajaran Islam sendiri yaitu, mengesakan Allah dan menyerahkan diri kepada-Nya. Allahlah yang mengatur hidup dan kehidupan umat manusia dan seluruh alam. Dialah yang berhak ditaati dan dimintai pertolongan-Nya.43
B. Materi Pendidikan Tauhid Islam adalah agama wahdaniyah, yang meliputi beberapa agama samawi. Islam mendokumentasikan ajarannya dalam Al Qur’an, dan tauhid merupakan dasar dari beberapa agama samawi, seperti agama yang dibawa Nabi Ibrahim dan Nabi lainnya yang menegakkan ajaran tauhid.44 Ajaran tauhid bukanlah monopoli ajaran Nabi Muhammad akan tetapi ajaran tauhid ini merupakan prinsip dasar dari semua ajaran agama samawi. Para nabi dan rasul diutus oleh Allah untuk menyeru kepada pengesaan Allah dan meninggalkan dalam penyembahan selain Allah. Walaupun semua nabi dan rasul membawa ajaran tauhid, namun ada perbedaan dalam hal pemaparan tentang prinsip-prinsip tauhid. Hal ini dikarenakan tingkat kedewasaan berfikir masing-masing umat berbeda sehingga Allah menyesuaikan tuntunan yang dianugrahkan kepada para nabi- Nya sesuai dengan tingkat kedewasaan berfikir umat tersebut.45 Pemaparan tauhid mencapai puncaknya ketika Nabi Muhammad. diutus untuk melanjutkan perjuangan nabi sebelumnya. Pada masa itu uraian 43
Zaky Mubarok Latif, dkk., Akidah Islam, UI Press, Yogyakarta, 1998, hlm. 80 Syekh Muhammad Abu Zahra, Al ‘Aqidah Al Islamiyyah, (ttp : ‘Udhwal Majmu’, 1969), hlm. 18 45 M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, (Bandung : Mizan, 1996), hlm. 19 44
19
tentang Tuhan dimulai dengan pengenalan perbuatan dan sifat Tuhan yang terlihat dari wahyu pertama turun,46 yaitu yang diawali dengan kata iqra’(bacalah). Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai tauhid dalam pendidikan model Islam merupakan masalah pertama dan utama yang dikedepankan sehingga semua orientasi proses pendidikan akhirnya akan bermuara pada pengakuan akan kebesaran Allah. Adapun Materi pendidikan tauhid yaitu: 1. Adanya Wujud Allah Untuk membuktikan mengenai wujud Allah, yaitu dengan upaya mengingatkan akal pikiran manusia, mengarahkan pandangannya kepada fenomena alam semesta, melakukan perbandingan dengan dimensi yang hak, memperhatikan tatanan dan peraturan alam serta berlangsungnya hukum sebab akibat sehingga manusia dapat sampai kepada suatu konklusi yang meyakinkan bahwa alam semesta ini mempunyi pencipta dan pencipta ini pasti wajibul wujud lagi Maha mengetahui, Maha Bijaksana dan Maha Kuasa.47 Bila kita perhatikan alam ini maka timbul kesan adanya persesuaian dengan kehidupan manusia dan makhluk lain. Persesuaian ini bukanlah suatu yang kebetulan melainkan menunjukkan adanya penciptaan
yang
rapi
dan
teratur
yang
berdasarkan
ilmu
dan
kebijaksanaan; sebagaimana siang dan malam, matahari dan bulan, empat musim, hewan dan tumbuhan serta hujan. Semua ini sesuai dengan kehidupan manusia. Hal ini menampakkan kebijaksanaan Tuhan. Dengan memperhatikan penciptaan manusia, hewan dan lainnya, menunjukkan bahwa makhluk-makhluk tersebut tidak mungkin lahir dalam wujud dengan sendirinya. Gejala hidup pada beberapa makhluk juga berbedabeda. Misalnya tumbuh-tumbuhn hidup, berkembang dan berubah. Hewan juga hidup dengan mempunyai insting, dapat bergerak, bekembang, makan dan mengeluarkan keturunan. Manusia pun demikian, 46 47
Ibid., hlm 23 M. Hamdani B. Dz., op. cit., hlm 15
20
akan tetapi manusi mempunyai kelebihan yaitu dapat befikir. Hal ini menunjukkan adanya penciptaan yang mengehendaki supaya sebagian makhluk-Nya lebih tinggi daripada sebagian yang lain. Selain itu, seseorang bisa mengetahui keberadaan sesuatu tanpa harus melihatnya secara materi. Dalam kehidupan sehari-hari ini seseorang bisa mengakui bahwa untuk mengetahui adanya angin dapat dengan cara merasakannya dan melihat bekas-bekasnya. Seseorang mengakui adanya nyawa tanpa melihatnya sehingga hal ini cukup menguatkan asumsi bahwa untuk membuktikan adanya Tuhan tidak harus dengan pembuktian material. Dalam jiwa manusia sebenarnya telah tertanam suatu perasaan adanya Allah, suatu perasaan naluriah (fitrah) yang diciptakan oleh Allah pada diri manusia sendiri; sebagaimana Firman Allah dalam Surat Ar Ruum ayat 30:
ﻪ ﺨ ﹾﻠ ﹺﻖ ﺍﻟﻠﱠ ﻟ ﻳ ﹶﻞﺒﺪﺗ ﺎ ﹶﻻﻴﻬﻋﹶﻠ ﺱ ﺎﺮ ﺍﻟﻨ ﻲ ﹶﻓ ﹶﻄﻪ ﺍﱠﻟﺘ ﺮ ﹶﺓ ﺍﻟﻠﱠ ﻓ ﹾﻄ ﺣﻨﹺﻴﻔﹰﺎ ﻳ ﹺﻦﻠﺪﻚ ﻟ ﻬ ﺟ ﻭ ﻢ ﻗﹶﻓﹶﺄ (30 : ﻮ ﹶﻥ )ﺍﻟﺮﻭﻡﻌﹶﻠﻤ ﻳ ﺱ ﹶﻻ ﺎ ﹺﺮ ﺍﻟﻨ ﻦ ﹶﺃ ﹾﻛﹶﺜ ﻜ ﻭﹶﻟ ﻢ ﻦ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﻴ ﻳﻚ ﺍﻟﺪ ﻟﹶﺫ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) Agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Ar Ruum : 30).48
Dari beberapa uraian di atas dapat dipahami, bahwa untuk meyakinkan adanya Tuhan (wujud Allah.), akal pikiran hendaknya diarahkan pada fenomena alam, namun mata hati manusia jauh lebih tajam dan dapat lebih meyakinkan daripada pandangan kasat mata, karena dalam jiwa manusia sudah tertanam fitrah untuk mengakui adanya Tuhan.
48
371
Mahmud Junus, Tarjamah Al Qur’an Al Karim, (Bandung : Al Ma’arif, 1990), hlm.
21
Dengan demikian segala sesuatu itu ada pasti ada yang menciptakan, yaitu Allah Zat Yang Maha Pencipta.49 2. Keesaan Allah Pendidikan tauhid berikutnya yaitu tentang keesaan Allah. Ajaran mengenai keesaan Allah ini, sudah diterangkan oleh para rasul Allah sebelum Nabi Muhammad. Hal ini telihat dari beberapa keterangan yang terdapat dalam Al Qur’an, misalnya seruan Nabi Shaleh, (QS. 11 : 61), ajaran Nabi Syu’aib (QS. 11 : 84), ajaran Nabi Musa (QS. 20 : 13-14), ajaran Nabi Isa (QS. 5 : 72) dan Nabi lainnya semua mengajak kepada keesan Allah. Keesaan Allah menurut R. Ng. Ranggawarsita adalah Allah itu Zat yang pertama kali ada, Maha Awal, Maha Esa dan Maha Suci yang meliputi sifat, asma dan af’al-Nya.50 Sementara menurut Quraish Shihab yang menganalisa kata ahad (Esa), ia menggolongkan keesaan Allah menjadi empat yaitu : keesaan Zat, keesan sifat, keesaan perbuatan dan keesaan dalam beribadah kepada-Nya.51 Yang dimaksud dengan esa pada Zat ialah Zat Allah itu tidak tersusun dari beberapa bagian dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Esa pada sifat berarti sifat Allah tidak sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk- Nya. Esa pada af’al berarti tidak seorang pun yang memiliki perbuatan sebagaimana pebuatan Allah. Ia Maha Esa dan tidak ada sesembahan yang patut disembah kecuali Allah.52 Dengan demikian dapat dipahami bahwa mulai rasul pertama sampai generasi terakhir Nabi Muhammad hingga pewaris nabi (ulama), telah mengajarkan tauhid yang seragam. Yang dinamakan Esa dalam ajaran Islam adalah tidak atau bukan terdiri dari oknum ganda baik pada
49
Sayid Sabiq, Anshirul Quwwah fil Islam, terj. Haryono S. Yusuf, Unsur-unsur Dinamika dalam Islam, (Jakarta : PT. Intermasa, 1981), hlm. 7 50 R. Ng. Ranggawarsita, Wirid Hidayat Jati, (Semarang : Dahara Prize, t.t), hlm. 17 51 M Quraish Shihab, op cit., hlm 33 52 M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), hln. 17
22
nama, sifat maupun zat-Nya. Allah adalah Maha Esa, Zat Yang Maha Suci yang meliputi nama, sifat dan af’al-Nya, tidak ada Tuhan selain Allah. 3. Hikmah Mengenal Allah Seseorang yang mengenal sesuatu yang telah memberikan manfaat pada dirinya maka akan mempunyai kesan atau hikmah terhadap sesuatu itu. demikian juga apabila seseorang mengenal Tuhan melalui akal dan hatinya maka ia akan merasakan buah kenikmatan dan keindahan yang tercermin dalam dirinya. s Mengenal (ma’rifat) kepada Allah adalah ma’rifat yang paling agung. Ma’rifat ini menurut Sayid Sabiq adalah asas yang dijadikan standar dalam kehidupan rohani dan untuk mengenal Allah dengan melalui cara : berfikir dan menganalisis makhluk Allah, dan mengenal terhadap namanama dan sifat-sifat Allah.53 Sifat berkenalan dengan Tuhan menurut penjelasan Sutan Mansur yaitu seseorang merasa berhadapan dengan Tuhan. Keadaan itu terasa benar-benar dalam diri bukan lagi berupa kira-kira atau meraba-raba. seseorang merasakan dalam dirinya dan alam semesta dibawah pengawasan Tuhan dan Tuhan itu memanggilnya supaya berdoa, mengabdikan diri serta mendekatkan diri kepada-Nya. Seseorang datang kepada-Nya dengan mengenal siapa Dia, Zat Yang Maha Kuasa.54 Pengalaman ketauhidan yang tercermin pada diri manusia disebabkan seseorang telah mengetahui dan menginsafi kebenaran kedudukan Allah, menyadari akan keagungan dan kebesaran-Nya sehingga dari sini segala apa yang dilkukan akan mengarahkasn tujuan pandangannya ke arah yang baik dan benar. Buah mengenal (ma’rifat) akan adanya Allah ini, di antaranya akan tersimpul dalam bentuk sikap sebagai berikut : a. 53
Adanya perasaan merdeka dalam jiwa dari kekuasaan orang lain
Sayid Sabiq, Aqidah Islam : Suatu Kajian yang Memposisikan Akal sebagai Mitra Wahyu, (Surabaya : Al Ikhlas, 1996), hlm. 41 54 A.R. Sutan Mansur, Tauhid Membentuk Pribadi Muslim, (Jakarta : Yayasan Nurul Islam, 1981), hlm 14
23
b.
Adanya jiwa yang berani dan ingin terus maju membela kebenaran
c.
Adanya sikap yakin, bahwa hanya Allahlah yang Maha Kuasa memberi rizki
d.
Dapat menimbulkan kekuatan moral pada manusia (kekuatan Maknawiah) yang dapat menghubungkan manusia dengan sumber kebaikan dan kesempurnaan (Allah)
e.
Adanya ketetapan hati dan ketenangan jiwa.
f.
Allah memberikan kehidupan sejahtera kepada orang mukmin di dunia.55 Dengan demikian seorang yang yakin akan keesaan Allah,
mempunyai sikap hidup optimis yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan orang kafir yang menyekutukan Allah, sebagai satu-satunya Rabb, pencipta alam semesta beserta isinya ini. Keimanan akan hal ini apabila sudah menjadi kenyatan yang hebat maka akan dapat mengubah dan beralih, yang merupakan suatu tenaga dan kekuatan tanpa dicari akan datang dengan sendirinya dalam kehidupan sehigga keimanan dapat mengubah manusia yang asalnya lemah menjadi kuat, baik dalam sikap, kemauan, maupun keputusan menjadai penuh harap dan harapan ini akan dibuktikan dengan perbuatan nyata.
C. Dasar dan Tujuan Pendidikan Tauhid 1. Dasar Pendidikan Tauhid Dasar merupakan fundamental dari suatu bangunan atau bagian yang menjadi sumber kekuatan. Ibarat pohon, dasarnya adalah akar. Maksud dari dasar pendidikan di sini ialah pandangan yang mendasari seluruh aspek aktivitas pendidikan, karena pendidikan merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan. Dasar pendidikan yang dimaksud di sini adalah nilai-nilai tertinggi yang dijadikan pandangan oleh suatu
55
Sayyid Sabiq, Aqidah Islam, terj. Moh. Abdul Rahtomy, (Bandung : Diponegoro, 1996), hlm. 133-139
24
masyarakat itu berlaku sehingga dapat diketahui betapa penting keberadaan dasar pendidikan sebagai tempat pijakan. Dengan demikian setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai landasan tempat berpijak yang baik dan mapan. Pendidikan tauhid sebagai suatu usaha membentuk insan kamil harus mempunyai landasan ke mana semua kegiatan pendidikan dikaitkan dan diorientasikan. Dasar pendidikan tauhid adalah sama dengan pendidikan Islam, karena pendidikan tauhid merupakan salah satu aspek dari pendidikan Islam, sehingga dasar dari pendidikan ini tidak lain adalah pandangan hidup yang Islami, yang pada hakikatnya merupakan nilai-nilai luhur yang bersifat transendental dan universal yaitu Al Qur’an dan Hadis. Adapun uraian dasar pendidikan tauhid adalah sebagai berikut . a. Al Qur’an Di dalam Al Qur’an terdapat banyak ajaran yang berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan tauhid. Misalnya dalam surat Luqman ayat 13, menerangkan kisah Luqman yang mengajari anaknya tentang tauhid,
(13 :ﻢ )ﻟﻘﻤﺎﻥ ﻴﻋﻈ ﻢ ﻙ ﹶﻟ ﹸﻈ ﹾﻠ ﺮ ﺸ ﻪ ﹺﺇﻥﱠ ﺍﻟ ﻙ ﺑﹺﺎﻟﻠﱠ ﺸ ﹺﺮ ﺗ ﹶﻻﻨﻲﺑ ﻳﺎ Hai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah itu adalah aniaya yang besar. (QS. Luqman : 13).56 Pengajaran yang disampaikan Luqman kepada anaknya, merupakan dasar pendidikan tauhid yang melarang berbuat syirik, karena pada hakikatnya pendidikan tauhid adalah pendidikan yang berhubungan dengan kepercayaan akan adanya Allah dengan keesaanNya, sehingga timbul dalam ketetapan dalam hati untuk tidak mempercayai selain Allah. Kepercayaan itu dianut karena kebutuhan (fitrah) dan harus merupakan kebenaran yang ditetapkan dalam hati sanubarinya. 56
Mahmud Junus, op. cit., hlm. 371
25
Dengan demikian, memberikan pendidikan tauhid kepada anak didik (orang yang belum tahu) sebagai dasar hidupnya dan dasar pendidikan sebelum memberikan pengetahuan lain agar terhindar dari azab Allah. Pada dasarnya semua rasul yang diutus oleh Allah adalah untuk menegakkan kalimat tauhid. Sebagaimana Firman Allah SWT
ﻥ ﻭﺒﺪﻋ ﺎ ﻓﹶﺎﻪ ﹺﺇﻻﱠ ﹶﺃﻧ ﻪ ﻻ ﹺﺇﹶﻟ ﻪ ﹶﺃﻧ ﻴﻲ ﹺﺇﹶﻟﻮﺣﻮ ﹴﻝ ﹺﺇﻻﱠ ﻧﺭﺳ ﻦ ﻣ ﻚ ﻠﺒﻦ ﹶﻗ ﻣ ﺎﺳ ﹾﻠﻨ ﺭ ﺎ ﹶﺃﻭﻣ (25: )اﻷﻧﺒﻴﺎء Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. (QS. An Biya’ : 25).57 Ayat ini menjelaskan bahwa semua rasul itu diutus oleh Allah untuk menegakkan kalimat tauhid. Tugas mereka yang paling pokok dan utama adalah menyeru manusia untuk bertauhid kepada Allah, dengan menyatakan bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah. Seruan para rasul itu tentu dengan melalui proses pendidikan, yaitu dengan memberikan pengajaran tentang ketauhidan. Pemberian pengajaran tauhid pada diri manusia, pada hakikatnya adalah menumbuhkan dan mengembangkan pengetahuan manusia dalam memahami tauhid tersebut sebab setiap manusia sudah dibekali fitrah tauhid oleh Allah. Sebagaimana Firman Allah
ﺨ ﹾﻠ ﹺﻖ ﻟ ﻳ ﹶﻞﺒﺪﺗ ﺎ ﹶﻻﻴﻬﻋﹶﻠ ﺱ ﺎﺮ ﺍﻟﻨ ﻲ ﹶﻓ ﹶﻄﻪ ﺍﱠﻟﺘ ﺮ ﹶﺓ ﺍﻟﻠﱠ ﻓ ﹾﻄ ﺣﻨﹺﻴﻔﹰﺎ ﻳ ﹺﻦﻠﺪﻚ ﻟ ﻬ ﺟ ﻭ ﻢ ﻗﹶﻓﹶﺄ ( 30:ﻮ ﹶﻥ) ﺍﻟﺮﻭﻡﻌﹶﻠﻤ ﻳ ﺱ ﹶﻻ ﺎ ﹺﺮ ﺍﻟﻨ ﻦ ﹶﺃ ﹾﻛﹶﺜ ﻜ ﻭﹶﻟ ﻢ ﻦ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﻴ ﻳﻚ ﺍﻟﺪ ﻟﻪ ﹶﺫ ﺍﻟﻠﱠ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Ar-Ruum : 30)58
57 58
Ibid., hlm. 292 Ibid., hlm. 325
26
Ayat di atas menegaskan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan dibekali fitrah tauhid, yaitu fitrah untuk selalu mengakui dan meyakini bahwa Allah itu Maha Esa, yang menciptakan alam semesta beserta pengaturannya dan wajib untuk disembah. Oleh karena itu, untuk mejadikan fitrah ini tetap eksis dan kuat, maka diperlukan suatu upaya
untuk
selalu
menumbuhkembangkan
dalam
kehidupan
pemiliknya dengan melaui pendidikan tauhid, agar manusia selalu ingat dan dekat kepada Tuhannya. b. Hadis Hadis merupakan dasar kedua setelah Al_Qur’an. Hadis berisi petunjuk untuk kemaslahatan hidup manusia dan untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertaqwa. Inilah tujuan pendidikan yang dicanangkan dalam Islam. Dalam sejarah pendidikan Islam, Nabi Muhammad telah memberikan pendidikan secara menyeluruh di rumah-rumah dan di masjid-masjid. Salah satu rumah sahabat yang dijadikan tempat berlangsungnya pendidikan yang pertama adalah rumahnya Arkam di Mekkah, sedang masjid yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran adalah masjid Nabawi di Madinah. Adanya kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan dilanjutkan oleh pengikutnya, merupakan realisasi sunnah Nabi Muhammad sendiri. Adapun hadis yang berkaitan dengan pendidikan tauhid ialah
ﻣﺎﻣﻦ: ﻋﻦ ﺃﰉ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺍﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻮﻟﻮﺩ ﺍﻻ ﻳﻮﻟﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﻄﺮﺓ ﻓﺄﺑﻮﺍﻩ ﻳﻬﻮﺩﺍﻧﻪ ﻭﻳﻨﺼﺮ ﺍﻧـﻪ ﻭﳝﺠﺴـﺎﻧﻪ) ﺭﻭﻩ ( 59ﻣﺴﻠﻢ Dari Abu Huraira, ia berkata : Rasulullah saw. bersabda tidak ada seorang anak pun kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah 59
Muslim, Shahih Muslim, juz II, ( Bairut : Darul Kutub, Al Alamiah, tt), hlm. 458
27
(suci), maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi. (HR. Muslim). 2. Tujuan Pendidikan Tauhid Suatu usaha atau kegiatan dapat terarah dan mencapai sasaran sesuai dengan yang diharapkan maka harus ada tujuannya, demikian pula dengan pendidikan. Suatu usaha apabila tidak mempunyai tujuan tentu usaha tersebut dapat dikatakan sia-sia belaka. Tujuan, menurut Zakiah Daradjat ialah “suatu yang diharapkan tercapai setelah usaha atau kegiatan itu selesai”.60 Apabila pendidikan dipandang sebagai suatu usaha melalui proses yang betahap dan bertingkat maka usaha atau proses itu akan berakhir manakala tujuan akhir pendidikan sudah tercapai. Namun demikin tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang berbentuk tetap dan statis tetapi ia merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang, berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya. Tujuan pendidikan secara umum menurut pendapat Hasan Langgulung adalah “maksud atau perubahan-perubahan yang dikehendaki dan diusahakan oleh pendidik untuk mencapainya”.61 Pendapat ini bila dianalisis, pada dasarnya tujuan pendidikan adalah maksud belajar yang dikomunikasikan secara jelas, meliputi tingkah laku dan kondisi-kondisi tertentu yang diharapkan muncul di dalamnya setelah dilaksanakannya proses belajar mengajar. Sedangkan tujuan pendidikan menurut UU Pendidikan ialah Untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.62
60
Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), hlm. 29 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan : Suatu Analisia Psikologi, Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1986), hlm. 59 62 UU RI, No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, hln. 6 61
28
Tujuan pendidikan menurut UU Pendidikan pada hakikatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia yang diinginkan, yang mempengaruhi dalam perilaku lahiriah. Tujuan pendidikan menurut pendapat Al Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh Abidin Ibnu Rusn ialah Pendidikan dalam prosesnya haruslah
mengarah
kepada
pendekatan
diri
kepada
Allah
dan
kesempurnaan insani, mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu bahagia dunia dan akhirat, karena hasil dari ilmu sesungguhnya adalah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam.63 Sedang menurut Abdul Fattah Jalal, tujuan pendidikan ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Oleh karena itu pendidikan haruslah meliputi seluruh aspek manusia, untuk menjadi manusia yang menghambakan
diri
kepada
Allah,
yang
dimaksudkan
dengan
menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.64 Secara khusus tujuan pendidikan tauhid menurut Chabib Thoha adalah untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah Yang Maha Esa dan untuk menginternalisasikan nilai ketuhanan sehingga dapat menjiwai lahirnya nilai etika insani.65 Tujuan pendidikan menurut ketiga pendapat di atas, pada dasarnya adalah tujuan yang berkaitan dengan pendidikan yang bercorak Islam. Dalam hal ini Islam menghendaki agar manusia didik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang digariskan oleh Allah. Tujuan hidup manusia dalam Islam ialah beribadah. Pendidikan tauhid sebagai salah satu aspek pendidikan Islam mempunyai andil yang sangat penting dalam mencapai tujuan pendidikan Islam. Menurut
63
Abidin Ibnu Rusn, op. cit., hlm. 57 Ahmad Tafsir, Ilmu pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : Rosda Karya, 2000), hlm. 46 65 M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 72 64
29
Zainuddin, tujuan dari hasil pendidikan tauhid dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Agar manusia memperoleh kepuasan batin, keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, sebagaimana yang dicitacitakan. Dengan tertanamnya tauhid dalam jiwa manusia maka manusia akan mampu mengikuti petunjuk Allah yang tidak mungkin salah sehingga tujuan mencari kebahagiaan bisa tercapai. 2. Agar
manusia
terhindar
dari
pengaruh
akidah-akidah
yang
menyesatkan (musyrik), yang sebenarnya hanya hasil pikiran atau kebudayaan semata. 3. Agar terhindar dari pengaruh faham yang dasarnya hanya teori kebendaan (materi) semata. Misalnya kapitalisme, komunisme, materialisme, kolonialisme dan lain sebainya.66 Dengan
demikian,
tujuan
dari
pendidikan
tauhid
adalah
tertanamnya akidah tauhid dalam jiwa manusia secara kuat, sehingga nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran Islam. Dengan kata lain, tujuan dari pendidikan tauhid pada hakikatnya adalah untuk membentuk manusia tauhid. Manusia tauhid diartikan sebgai manusia yang memiliki jiwa tauhid yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari melalui perilaku yang sesuai dengan realitas kemanusianya dan realitas alam semesta, atau manusia yang dapat mengaktualisasikan nilai-nilai Ilahiah.
D. Metode Pendidikan Tauhid Tauhid merupakan masalah yang paling mendasar dan utama dalam Islam. Namun demikian masih banyak dari kalangan awam yang belum mengerti, memahami dan menghayati sebenarnya akan makna dan hakikat dari tauhid yang dikehendaki Islam, sehingga tidak sedikit dari mereka secara tidak dasar telah terjerumus ke dalam pemahaman tentang keyakinan yang 66
Zainuddin, op. cit., hln. 8-9
30
keliru atau salah diartikan.Umat Islam harus memahami dan mengerti risalah yang dibawah Rasulullah saw. Dalam pembahasan metodologi pengajaran, yang perlu diperhatikan adalah pengertian metodologi pengajaran itu sendiri. Metodologompengajaran dapat diartikan sebagai ilmu yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan tetentu. Dalam konteks pengajaran maka yang dimaksud adalah proses penyajian bahan pengajaran; proses komunikasi edukatif dengan siswa untuk mencapai tujuan pengajaran.67 Dilihat dari jenisnya ada beberapa metode pengajaran yang dapat diterapkan sesuai dewngan materi dan tujuan yang akan dicapai. Beberapa metode itu antara lain: 1. Metode ceramah, 2. Metode tanya jawab dan diskusi, 3. Metode drill, 4. Metode demonstrasi dan eksperimen, 5. Metode pemberian tugas (resitasi) 6. Metode kerja kelompok, 7. Metode bermain peranan/ sosio drama, dan 8. Metode karya wisata.68 Pelaksanaan berbagai pengajaran atau pendidikan itu bersifat fleksibel dan sangat bergantung pada berbagai faktor. Memang tidak dapat dikatakan ada satu metode tertentu yang selalu terbaik (no single methode is the best), namun dalam konteks pendidikan Islam, apalagi pendidikan tauhid, perlu diajarkan dengan metode keteladanan, baik saat di kelas maupun dalam sikap dan perilaku sehari-hari, karena agama Islam sebaagi sunber nilai dan sebagai sumber tatanan kehidupan masih bersifat abstrak. Untuk itu nilai-nilai Islam perlu ditampakkan dalam wujud konkrit yang berupa keteladanan dan pembiasaan.
67
Djamaludin darwis, Dinamika Pendidikan Islam: Sejarah Ragam Dan Kelembagaan, (Semarang RasAil,2006), hlm. 107 68 Ibid, hlm 107
BAB III BIOGRAFI DAN KARYA SASTRA R. NG. RANGGAWARSITA
A. Biografi dan Karya-karya R. Ng. Ranggawarsita 1
Biografi R. Ng. Ranggawarsita Lahirnya sebuah karya sastra disebabkan oleh penciptanya sendiri. Dengan sebab, penjelasan tentang kepribadian dan kehidupan pengarang adalah metode tertua dan paling mapan dalam studi sastra. Karya sastra bisa terbentuk berangkat dari gagasan pengarangnya, dengan melalui proses kreasi yang bersifat unik dan rumit. Gagasan tersebut ditafsirkan diolah dan diulas si pengarang. Penafsiran gagasan tersebut dipengaruhi pengalaman pribadi, sistem norma atau kaidah, tata nilai dan faktor lain di sekitar pengarang. Pengalaman pribadi si pengarang pada dasarnya merupakan penggalan riwayat hidup pengarang tersebut sehingga riwayat hidup pengarang sedikit banyak ikut mempengaruhi karya sastranya. Riwayat hidup pengarang sangatlah penting, yaitu sebagai bahan bantu studi atas karya sastra. Menurut Rene Wellek, “Biografi can be judged in relation to the light it throws on the actual production of poetry…”.69 Riwayat hidup pengarang hanya merupakan bahan bantu untuk mengetahui proses penciptaan karya sastranya bukan merupakan pedoman pokok untuk menerangkan atau menganalisis karya sastra itu sendiri. Penggunaan
biografi
pengarang
sebagai
pedoman
untuk
menerangkan karya sastranya bisa menyesatkan, sebab suatu karya sastra mungkin terwujud dari impian pengarang terhadap dunia ideal yang diidamkannya, dan mungkin merupakan kedok untuk mengingkari diri sendiri. Atau dengan kata lain, proses terciptanya karya sastra tersebut mungkin merupakan propaganda pengarang mengenai paham atau ajaran tertentu (pembelaan dan penyanjungan terhadap karyanya). Berpijak pada 69
Rene Wellek and Austin Warren, Theory of literature, (New Zealand : Penguin Book, 1976), cet. VII, hlm. 75
31
32
uraian tersebut, berikut ini dibicarakan riwayat hidup R. Ng. Ranggawarsita dan hasil karyanya. R. Ng. Ranggawarsita dilahirkan pada Senin Legi, 10 Zulkaidah tahun Be 1728 (Jawa) atau 15 Maret 1802 M, Pukul 12.00, Wuku Sungsang, Dewi Sri, Wurukung Huwas, Musim Jita.70 Para penyusun silsilah menceritakan bahwa “leluhur R. Ng. Ranggawarsita masih keturunan bangsawan”. Hal ini diterangkan dalam manuskrip susunan Padmawasita.71 Dari pihak ayahnya, ia keturunan ke-13 dari Sultan Hadiwijaya yang bertahta di pajang (Jawa Tengah) pada tahun 1568 – 1576 M. Dari pihak ibunya, ia keturunan ke-10 dari Sultan trenggana (Demak), atau keturunan ke-8 dari RT. Sujanapura yang terkenal disebut Pangeran Karangayam, pujangga kraton Pajang, pengarang kitab Nitisruti.72 R. Ng. Ranggawarsita nama kecilnya adalah Bagus Burhan. Bagus adalah gelar bangsawan untuk keturunan yang ke tujuh sedang Burhan berarti bukti nyata. Bagus Burhan atau R. Ng. Ranggawarsita ini dikenal dengan sebutan R. Ng. Ranggawarsita III. Ia adalah putra sulung M. Ng. Pajangswara atau M. Ng. Ranggawarsita II dengan Mas Ajeng Ranggawarsita, putri R. Ng. Sudiradirja Gantang yang mahir dalam bidang seni, terutama Sekar Macapat “Cengkok” Lagu Palaran (dari desa Palar).73 Darah seninya mengalir baik dari pihak ayah maupun ibu. Dari pihak ayah, darah seninya berasal dari kakeknya yaitu R. Ng. Ranggawarsita I atau R. Ng. Yasadipura II atau disebut juga RT. Sastranegara, pujangga Surakarta dengan pangkat Bupati Anom, juga kakek piutnya bernama R. Ng. Yasadipura I adalah pujangga dengan
70
Komite Ranggawarsita, Babad Cariyos Lelambahanipun Suwargi, (Jakarta: Depdikbud, 1979), hlm. 11 71 Simuh, Mistik Islam Kejawen R. Ng. Ranggawarsita, (Jakarta: UI Press, 1988), Hlm. 36 72 Kamajaya, Pujangga Ranggawarsita, (Jakarta: Depdikbud, 1980), hlm. 14 73 Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Jawa Tengah, Sejarah Singkat Raden Ngabehi Ranggawarsita, (Semarang: Depdikbud, 1988), hlm. 2
33
pangkat Kliwon.74 Menurut keterangan Komite Ranggawarsita, ketika RT. Sastranegara sedang mendekati ajalnya, ia memberi tahu kepada ayah Burhan, bahwa Bagus Burhan kelak menjadi pujangga penutup di Surakarta dan kemasyhuran namanya akan melebihi kakeknya.75 Pada usia 2 tahun sampai 12 tahun Bagus Burhan ikut kakeknya dan diasuh oleh Ki Tanujaya, pelayan RT. Sastranegara yang paling setia.76 Pada tahun 1740 Jawa atau 1813 Masehi, ketika Bagus Burhan berusia 12 tahun, ia dikirim ke Panaraga untuk berguru dan belajar mengaji kepada Kanjeng Kyai Imam Basari di Pondok Pesantren Gerbang Tinatar. Kanjeng Kyai Imam Basari adalah menantu Sri Paduka Pakubuwana IV (1788 - 1820) dan juga teman seperguruan RT. Sastranegara (kakek Bagus Burhan). Pondok Pesantren Gerbang Tinatar yang diasuh Kanjeng Kyai Imam Besari pada saat itu tergolong pesantren besar dan terkenal. Gurugurunya pada umumnya adalah priyayi (ulama kerajaan) yang tingkat kedudukannya sama dengan penghulu sehingga guru-gurunya diberi gelar Kyai Sepuh atau Kanjeng Kyai.77 Kitab-kitab yang diajarkan ialah kitab berbahasa Arab karangan ulama terdahulu dan pada umumnya pelajaran yang diberikan di Pondok Pesantren ini berbentuk syarah dan hasyiyah dalam bermacam-macam cabang ilmu agama seperti Fiqih, Tafsir Hadist, Ilmu Kalam, Tasawuf, Nahwu Sharaf dan lain-lain.78 Tangguing jawab terhadap diri Bagus Burhan selama berguru di Panaraga sepenuhnya diserahkan kepada Ki Tanujaya. Pada masa awal belajar di pondok pesantren tersebut, agaknya Bagus Burhan belum sepenuhnya menunjukkan niat untuk berguru dan belajar (mengaji agama Islam) sehingga ia tidak mendapat kemajun apaapa. Ia sangat malas mengikuti pelajaran di Pondok Pesantren Gerbang
74
Ibid., hlm. 2 Komite Ranggawarsita, op. cit., hlm. 12 76 Andjar Any, Rahasia Ramalan Jayabaya Ranggawarsita dan Sabdopalon, (Semarang: Aneka Ilmu, 1989), hlm. 9 77 Marwan Saridjo, dkk., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta : Dharma Bhakti, 1979), hlm. 34 78 Ibid., hlm. 34 75
34
Tinatar, bahkan sifatnya yang pemboros dan suka judi sangat menjengkelkan gurunya. Kegemaran Bagus Burhan yang lain yaitu mengganggu santrisantri lain dalam hal belajar. Semua kejadian itu merupakan akibat dari pengaruh Ki Tanujaya. Oleh karena itu, Kanjeng Kyai Imam Basari lalu menegur Ki Tanujaya karena merasa tidak senang dengan cara-cara Ki Tanujaya dalam mengasuh Bagus Burhan. Melihat kelakuan Bagus Burhan dan Ki Tanujaya tersebut, akibatnya keduanya disarankan untuk meninggalkan Pondok Pesantren Gerbang Tinatar Panaraga. Kemudian Ki Tanujaya dan Bagus Burhan meninggalkan Gerbang Tinatar menuju ke Desa Mara, tempat tinggal Ki Kasan Ngali (sepupu Ki Tanujaya). Mereka berencana akan melanjutkan perjalanan ke Kediri, tempat tinggal Pangeran Adipati Cakraningrat. Atas petunjuk Ki Kasan Ngali, mereka tidak jadi ke Kediri karena Pangeran Adipati Cakraningrat akan ke Surakarta. Mereka berdua hanya menunggu di Madiun. Untuk menyambung hidupnya, mereka berjualan klitikan di pasar Madiun. Di sinilah Bagus Burhan bertemu dengan Raden Ajeng Gombak, putrid Pangeran Adipati Cakraningrat dari Kediri yang kelak menjadi istrinya. Pertemuan ini terjadi pada waktu Raden Ajeng Gombak akan membeli cincin yang dipakai oleh Bagus Burhan.79 Pada sisi lain, kepergian Bagus Burhan yang diiringi Ki Tanujaya membuat gelisah Kanjeng Kyai Imam Basari. Oleh karena itu Kanjeng Kyai Imam Basari melaporkan kepergian Bagus Burhan dan Ki Tanujaya kepada ayah dan kakek Bagus Burhan. Kemudian kakeknya, RT. Sastranegara menyuruh Ki Jasana dan Ki Kramaleya untuk mencari Bagus Burhan dan Ki Tanujaya untuk diajak kembali ke Pondok Pesantren Gerbang Tinatar. Baru beberapa bulan, mereka berdua dapat ditemukan dan diminta kembali ke Gerbang Tinatar.
79
Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Jawa Tengah, Sejarah Singkat Raden Ngabehi Ranggawarsita, op. cit., hlm. 6
35
Akhirnya Bagus Burhan dan Ki Tanujaya kembali ke Pondok Pesantren Gerbang Tinatar. Namun dengan kembalinya kedua orang tersebut, keduanya tidak menunjukkan adanya perubahan sikap, kenakalan Bagus Burhan tetap belum berkurang. Tingkah laku yang tidak terpuji itu masih dilakukan hingga membuat Kanjeng Kyai marah. Namun Kanjeng Kyai Imam Basari tetap menasehatinya dengan hati-hati dan sabar, hingga Bagus Burhan menyadari kesalahannya dan menyesali perbuatannya yang tidak terpuji itu. Mulai saat itulah Bagus Burhan menyatakan keinsafannya dan mulai belajar agama Islam dengan sungguh-sungguh dan menyatakan setia kepada Kanjeng Kyai Imam Basari. Dengan penuh kesadaran, Bagus Burhan yang memiliki kemauan keras tadi akhirnya berusaha dengan sekuat
tenaga
untuk
menebus
kesalahan-kesalahannya.
Ia
mulai
memperhatikan sekelilingnya dan bertekad untuk berbuat kebaikan. Selanjutnya Bagus Burhan mulai mempelajari berbagai hal ilmu yang bersangkut paut dengan keutamaan. Ia menjalani berbagai pantangan, bertapa (bersemedi) atau bertirakat dengan bimbingan Kanjeng Kyai dan petunjuk dari Ki Tanujaya. Bertapa atau bersemedi adalah cara yang lazim dilakukan pada masa itu untuk mendapatkan suatu penerangan batin dan keteguhan iman. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga waktu berguru kepada Sunan Bonang, yaitu bertapa dan bertirakat dalam menuntut ilmu dengan cara puasa, bertafakur dan sebagainya dengan segala syaratnya.80 Dengan kemauan yang keras itulah Bagus Burhan mendapatkan hasil dan dapat menunjukkan kelebihannya dibandingkan dengan temanteman seperguruannya. Bahkan oleh Kanjeng Kyai Imam Basari dikatakan bahwa Bagus Burhan telah mendapatkan ilham, yaitu penerangan batin dari Yang Maha Kuasa. Selanjutnya Bagus Burhan diangkat sebagai Wali Guru oleh Kanjeng Kyai Imam Basari untuk membantu tugasnya dalam proses belajar di pesantren. Ketika dianggap cukup dalam belajar ilmu 80
Umar Hasyim, Sunan Kalijaga, (Kudus : Menara, 1974), hlm. 61
36
agama (Islam) dan ilmu-ilmu lainnya, Bagus Burhan diizinkan untuk meninggalkan Pondok Pesantren Gerbang Tinatar Panaraga. Bagus Burhan dengan diiringi abdi setianya menuju ke Surakarta kemudian ia menetap kembali di rumah RT. Sastranegara. Di tempat itu Ia menambah berbagai ilmu yang tidak diajarkan di Gerbang Tinatar. Bagus Burhan dididik langsung oleh kakeknya RT. Sastranegara, terutama di bidang sastra karena saat itu RT. Sastranegara sebagai Pujangga Kraton Surakarta Pada 12 Mei 1815 atau 12 Jumadil akhir 1742, Bagus Burhan dikhitankan kemudian diserahkan kepada Panembahan Buminata (ayah angkat Raden Ajeng Gombak) oleh RT. Sastranegara untuk berguru dan mencari ilmu. Di tempat yang baru itu Bagus Burhan diberi pelajaran tentang ilmu Jaya-kawijayan (kepandaian untuk menolak perbuatan jahat atau membuat diri seseorang memiliki sesuatu kemampuan yang melebihi orang
banyak),
Kadigdayaan
(kekebalan),
Kagunan
Kanuragan
(kecerdasan dan kemampuan batin).81 Dengan demikian, pembentukan jiwa dan kepribadian Bagus Burhan mengalami tiga tingkatan, yaitu: a. Pembentukan jiwa dasar Pendidikan dan pembentukan jiwa dasar (kepribadian) untuk mengatasi masa puber ini diberikan oleh Kanjeng Kyai Imam Basari. Beliau adalah seorang rohaniwan dan pendidik. Pembentukan cinta kasih dari Kanjeng Kyai Imam Basari dan ditunjang oleh Ki Tanujaya, mengakibatkan Bagus Burhan memiliki jiwa halus, tegas dan berkemauan keras. b. Pembentukan jiwa sastra Pembentukan ini diberikan oleh kakeknya sendiri RT. Sastranegara, seorang pendidik dan sastrawan yang berpengetahuan luas. Selain sebagai seorang pendidik RT. Sastranegara terkenal dengan gubahannya “Sasana Sunu“ dan “Dasanama Djarwa”. 81
Dhanu Priyo Prabowo, Pengaruh Islam dalam Karya-karya R. Ng. Ranggawarsita, (Yogyakarta : Narasi, 2003), hlm 42
37
c. Pembentukan rasa harga diri Didikan ini didapatkan dari Gusti Panembahan Buminata, sehingga Bagus Burhan mendapatkan pendidikan mental yang kuat dan kekuatan batin terhadap gangguan jahat dari pihak luar. Dasar-dasar pendidikan yang kuat tersebut ditambah dengan pengalaman-pengalaman semasa merantau ke Desa Ngadiluwih, Ragajampi dan Tabanan Bali mengakibatkan Bagus Burhan menjadi dewasa jiwanya. Ia siap menghadapi hidup di masyarakat luas dengan segala peristiwanya. Setelah tamat berguru, pada 28 Oktober 1819 atau Hari Senin Pahing 8 Sura tahun Alif 1747, Gusti Panembahan Buminata memohon kepada Sri Paduka Pakubuwana IV agar Bagus Burhan ditempatkan menjadi Panewu Mantri Jaksa dan Mantri Emban. Akan tetapi permohonan Gusti Panembahan Buminata belum dapat dikabulkan walaupun pejabat pada kedudukan yang diminta itu telah wafat. Menurut peraturan Keraton Surakarta, keturunan dari pejabat yang memangku jabatan tersebut, yang berhak meneruskan jabatannya bukan orang lain. Namun, Gusti Panembahan Buminata tetap mendesak agar Sri Paduka Pakubuwana IV dapat merealisasikan permintaannya itu.82 Akhirnya, Raja Keraton Surakarta tersebut memberikan restu dan Bagus Burhan dipanggil oleh Sri Paduka Pakubuwana IV dan dianugerahi restu dengan sengkalan “ Amuji Suci Panditaning Ratu”. Bagus Burhan diangkat menjadi abdi dalem Carik Kadipaten Anom dengan sebutan Mas Rangga Pujangga Anom. Mas (gelar kebangsawanan untuk tingkat keenam), Rangga (gelar untuk pangkat di bawah Mantri atau dibawah Ngabehi), Pujangga Anom (untuk memberi penghormatan, sebab ia masih muda tetapi sudah memiliki kepandaian setingkat dengan pujangga). Namun jabatan itu 82
Ibid., hlm. 43
38
tidak diberikan dengan cuma-cuma, Bagus Burhan harus melalui sebuah ujian terlebih dahulu. Ujian itu berupa kurungan di dalam genta selama dua hari. Bagus Burhan dapat melaksanakan dan ia dinyatakan berhak menerima jabatan tersebut.83 Pada tahun itu juga, Bagus Burhan atau Mas Rangga Pujangga Anom yang berumur 20 tahun melaksanakan pernikahnnya dengan Raden Ajeng Gombak di Buminatan. Tiga puluh lima hari setelah pernikahan, keduanya berkunjung ke Kediri bersama-sama dengan Ki Tanujaya, sambil memohon diri untuk pergi ke Surabaya dan Bali dengan maksud berguru kepada Kyai Tunggulwulung di Ngadiluwih, Kyai Ajar Wirakanta di Ragajampi, dan Kyai Ajar Sidalaku di Tabanan Bali. Dari ketiga guru tersebut hanya Kyai Ajar Sidalakulah yang banyak memberi kesan. Setelah kembali dari Kediri, pada tahun 1822 Masehi atau 1749 Jawa, Mas Rangga Pujangga Anom diangkat menjadi Mantri Carik dengan gelar Mas Ngabehi Sarataka, dengan sengkalan “Terus Dadi Panditaning Ratu”. Ngabehi adalah gelar abdi dalem yang berpangkat Panewu Kliwon atau Mantri. Bersamaan dengan kenaikan pangkat tersebut, suasana di tanah Jawa (Surakarta dan Yogyakarta) sedang diwarnai perang, yaitu perang Dipanegara,84 maka Mas Ngabehi Sarataka diberi tugas oleh Sri Paduka Pakubuwana IV untuk mempertahankan Desa Nusupan dari serangan penjajah Belanda dan akhirnya mendapatkan kemenangan. Pada
usia
23
tahun,
Mas
Ngabehi
Sarataka
sudah
menampakkan bakatnya dalam menulis sastra Jawa. Tulisan-tulisannya mendapat perhatian dari abdi dalem lainnya. Ketika Sri Paduka Pakubuwana V mengetahui hal tersebut, beliau memerintahkan kepada para abdi dalem, apabila ingin menulis meniru gaya bahasa yang digunakan oleh Mas Ngabehi Sarataka. Di samping itu, kemampuan 83 84
–1830 M).
Ibid., hlm. 45 Perang Dipanegara terjadi pada jaman pemerintahan Sri Paduka Pakubuwana IV (1823
39
Mas Ngabehi Sarataka dalam bidang ilmu Keislaman semakin meneguhkan kedudukannya sebagai seorang pujangga. Karyakaryanya meliputi berbagai bidang seperti filsafat, kesusasteraan, sejarah, dongeng, adat dan pewayangan sehingga tulisannya menjadi model bagi para penulis Jawa.85 Pada 13 Juni 1830 M atau 23 Besar tahun 1757 Jawa, Mas Ngabehi Sarataka diangkat menjadi abdi dalem Panewu Carik Kadipaten Anom dengan gelar Raden Ngabehi Ranggawarsita. Arti nama Raden Ngabehi Ranggawarsita yaitu: Raden adalah gelar untuk keturunan raja. Pengangkatan Raden bagi beliau merupakan anugerah yang telah disesuaikan dengan pangkatnya, sedang Ranggawarsita adalah dua sebutan dari kata rangga dan warsita. Rangga yaitu gelar untuk pangkat di bawah Mantri (Ngabehi) dan warsita berarti ucap, petuah atau mencipta (Jawa: nganggit). Jadi kata “warsita” dapat berarti pembicaraan, penilaian dalam bidang kepujanggaan.86 Seiring dengan itu kemampuannya dalam berolah sastra Jawa yang semakin meningkat, sejak itulah beliau dipandang sebagai ahli atau
guru
kesusasteraan
Jawa.
Menurut
Kamajaya,
R.
Ng.
Ranggawarsita mempunyai murid dari kalangan para bangsawan dan juga dari kalangan orang bangsa Belanda, misalnya: CF. Winter, Jonas Portier, Dowing, Jansen dan lainnya.87 Setelah RT. Sastranegara wafat,88 R. Ng. Ranggawarsita diangkat menjadi Kliwon Kadipaten Anom dan menggantikan kedudukan kakeknya sebagai Pujangga Kraton Surakarta Hadiningrat pada 14 September 1845, yang ditandai dengan sengkalan “Katon
85 86
hlm. 8.
87
Dhanu Priyo Prabowo, op. cit, hlm. 45 Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Jawa Tengah, op. cit.,
Kamajaya, op. cit., hlm. 18 RT. Sastranegara wafat pada tanggal 21 April 1844 dan dimakamkan di lingkungan Keraton Surakarta Hadiningrat. 88
40
Pandita Sabdaning Ratu”.89 Dalam kedudukannyaa sebagai pujangga istana, tugas utama R. Ng. Ranggawarsita adalah menyusun dan mengembangkan kebudayaan dan kepustakaan Jawa. R. Ng. Ranggawarsita amat berjasa dalam menyusun karya-karya baru. Dalam berbagai karyanya, ia tampak melanjutkan upaya sastrawan atau para pujangga sebelumnya. Usaha R. Ng. Ranggawarsita itu adalah mempertemukan tradisi kejawen dengan unsur-unsur ajaran Islam. Hal ini tampak dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Maklumat Jati dan lainnya karena pada jaman tersebut (jaman Surakarta awal), karya sastra Jawa mengalami pembaruan dan kebangkitan rohani.90 Hal ini dikarenakan Ilmu ketuhanan dan ajaran tentang kedekatan Allah dengan manusia (kemanunggalan kawula gusti) merupakan ilmu kesempurnaan pada masa tersebut. Hidup dan ilmu yang dimiliki manusia dipandang masih pada taraf kekanak-kanakan dan belum dikatakan sempurna jika belum mengenal hakikat Tuhan dan menghayati keberadaan Allah SWT. Filsafat mistik Islam inilah yang mendasari karya-karya R. Ng. Raggawarsita.91 Sebagai seorang pujanga, R. Ng. Ranggawarsita sangat memperhatikan
perkembangan
yang
terjadi
di
lingkungan
masyarakatnya. Rakyat hidup dalam kemiskinan sebagai akibat dari penjajahan hingga timbulnya perang Diponegoro. Pada masa tersebut terjadi transisi dan kegelisahan yang hebat karena beberapa faktor, di antara tumbuhnya perekonomian perdagangan yang mengurangi lahan petanian, raja mulai merasa kehilangan kewibawaannya karena sebagian besar wewenang atau wilayahnya sudah jatuh ke tangan Belanda, dan para pemimpin banyak yang mencari keuntungan pribadi dan melupakan tugasnya kepada Tuhan, masyarakat, dan negara. Akibatnya, masyarakat cenderung bersikap masa bodoh dan melarikan
hlm. 7.
89
Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Jawa Tengah, op. cit.,
90
Dhanu Priyo Prabowo, op. cit., hlm. 47 Ibid., hlm. 48.
91
41
diri dari kenyataan hidup. R. Ng. Ranggawarsita sebagai pribadi yang hidup di dua lingkungan (keraton dan luar keraton) menyaksikannya dengan penuh keprihatinan. R. Ng. Ranggawarsita adalah seorang yang abdi negara yang setia pada rajanya. Hal ini terlihat pada penolakannya atas tawaran C. F. Winter untuk menjadi guru besar, pengajar bahasa dan sastra Jawa di negeri Belanda dengan imbalan gaji sebesar f. 1.000,00 perbulan dan jaminan hak pensiun sebesar f. 500,00 per bulan. Dengan adanya penolakan itu maka sebagai gantinya diambilah R. M. Puspawilaga yang kemudian ke negeri Belanda hingga meninggal di sana.92 R. Ng. Ranggawarsita memanglah pengikut raja, cendekiawan dan juga rohaniwan. Sejak pemerintahan Pakubuwana IV, V, VI, VII, VIII dan IX, beliau terus mengabdi dan mengikuti raja, meskipun ada pasang surutnya. Seperti pada pemerintahan Raja Pakubuwana IV, beliau belum mendapat perhatian dari raja, dan baru mencapai puncak pada masa Raja Pakubuwana VII di mana ia menggantikan kedudukan kakeknya RT. Sastranegara yang telah wafat. R. Ng. Ranggawarsita kemudian
juga
menjabat
pujangga
keraton.
Karier
R.
Ng.
93
Ranggawarsita memudar pada masa PB IX naik tahta.
R. Ng. Ranggawarsita mempunyai empat orang istri yaitu Raden Ayu Ranggawarsita atau Raden Ajeng Gombak, Raden Ajeng Panji Jayengmarjaya, Raden Ajeng Pujadewata, Raden Ajeng Maradewata. Pada 19 Desember 1848, Raden Ayu Ranggawarsita (Istri pertama Ranggawarsita) meninggal dan dimakamkan di Palar Kecamatan Trucuk Kabupaten Klaten. R. Ng. Ranggawarsita wafat pada 24 Desember 1873, dalam usia 71 tahun, dengan meninggalkan tiga orang istri yaitu : Raden Ajeng Panji Jayengmarjaya, Raden Ajeng Pujadewata, Raden Ajeng Maradewata, dan meninggalkan enam anak yaitu : Raden Ajeng Sudinah, Raden Ajeng Ranakusuma, Raden Mas 92
Andjar Any, Raden Ngabehi Ronggowarsito Apa yang Terjadi, (Semarang: Aneka Ilmu, 1980), hlm. 85 93 Ibid., hlm. 106
42
Ranakusuma, Raden Mas Sembada, Raden Mas Sutama, Rara mumpuni.94
B. Karya Sastra dan Tipologi Penulisan R. Ng. Ranggawarsita 1
Karya Sastra R. Ng. Ranggawarsita Ranggawarsita adalah pujangga penutup. Setelah kematiannya tidak ada lagi pujangga, yang ada hanyalah penulis. Itulah pendapat yang lazim di dalam tradisi kepustakaan Jawa. Pujangga memang sebuah sebutan yang mengandung kebebasan karena selain kemampuan menggubah karya sastra, seorang pujangga dituntut untuk mempunyai kemampuan penalaran dan intelektualitas yang tinggi, sambegana atau cerdas. Selain itu, ia juga harus peka untuk menangkap dan memahami tanda-tanda zaman atau nawungkrida, dan Ranggawarsitalah yang memenuhi syarat menyandang sebutan pujangga besar.95 Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh C. F. Winter bahwa “Ranggawarsita adalah gurunya yang tidak tergantikan. Karya-karyanya, baik prosa maupun puisi mengandung bobot literer yang tinggi. Sebagian besar dari karya-karyanya merupakan dokumen budaya yang sangat penting”.96 Konteks penulisan karya sastra R. Ng. Ranggawarsita secara umum adalah dilatarbelakangi oleh kondisi keberagamaan masyarakat Jawa yang sinkretis dan penderitaan rakyat akibat kolonialisme, di mana posisi kerajaan Surakarta sebagai simbol kedaulatan sosial selalu dirongrong oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda.97 Sebagai Pujangga keraton Surakarta yang terakhir, R. Ng. Ranggawarsita meninggalkan karya-karya yang monumental. Karya-karya R. Ng. Ranggawarsita tersebut ditulis dalam bentuk prosa, puisi dan prosa 94
hlm. 9
95
Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Jawa Tengah, op. cit.,
Otto Sukanto Cr, Paramayoga Mitos Asal Usul Manusia, (Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya 2001), hlm. 1 96 Ibid., hlm. 1 97 Andjar Any, Raden Ngabehi Ronggowarsito Apa Yang Terjadi, op. cit., hlm. 119
43
lirik. Adapun bidang yang ditulis terdiri atas sejarah, pendidikan, seni, jangka, biografi, politik, filsafat dan ilmu pengetahuan. Karya-karya tersebut banyak sekali jumlahnya dan dapat dikategorikan menjadi tujuh kategori: Karya yang ditulis sendiri, Karya Ranggawarsita yang ditulis bersama orang lain, Karya orang lain yang pernah disalin oleh Ranggawarsita, Karya almarhum yang ditulis orang lain, Karya orang lain yang diakui sebagai karya Ranggawarsita, Karya Rangggawarsita yang digubah bentuknya oleh orang lain dan Karya Ranggawarsita yang diubah bentuknya oleh orang lain: a. Karya yang ditulis sendiri meliputi : Serat Wirid Hidayat Jati, Babad Itih, Serat Pustakaraja Purwa, Serat Mardawa Lagu, Serat Paramasastra, Serat Pawukon, Rerepen Sekar Trengahan, Sejarah Pari
Sawuli,
Serat
Iber-Iber,
Uran-Iran
Sekar
Gambuh,
Widyapradana. b. Karya Ranggawarsita yang ditulis bersama orang lain (C. F. Winter) meliputi : Kawi Javaansche Woordenboek, Serat Saloka Akaliyan Paribasan, Serat Saridin, Serat Sidin. c. Karya orang lain yang pernah disalin oleh Ranggawarsita yaitu : Serat Bharatayuda, Serat Jayabaya dan Serat Panitisastra.98 d. Karya almarhum yang ditulis orang lain adalah Serat Aji Darma, Ajinirmala,
Aji
Pamasa,
Budayana,
Cakrawati,
Cemporet,
Darmasarana, Jakalodang, Jayengbaya, Kalatidha, Nyatnyanaparta, Pambeganing Nata Binhatara, Panji Jayengtilam, Pamoring Kawula Gusti,
Paramayoga,
Partakaraja,
Pawarsakan,
Purwangkara,
Purwangyana, Purwasana, Sari Wahana, Sidawakya, Wahana Sampatra, Wedharaga, Wedhasatya, Wirid Sopanalaya, Witaradya, Yudhayana, Kridamaya, Wirid Maklumat Jati.99 e. Karya orang lain yang diakukan sebagai karya Ranggawarsita yaitu Serat Kalatidha Piningit. 98 99
Ketiga Serat tersebut asli dari Yasadipura I Bidang Permuseuman dan Kepurbakalan Kanwil Depdikbud Jateng, op. cit., hlm.8
44
f. Karya Rangggawarsita yang digubah bentuknya oleh orang lain atas perintah Sri Mangkunagara IV, Serat Pustakaraja karya R. Ng. Ranggawarsita itu digubah kembali menjadi empat jenis Pakem Pustakaraja. Pakem tersebut disimpan di Museum Reksapustaka Mangkunegaran. Adapun keempat pakem itu sebagai berikut. a. Pakem Pustakaraja Purwa, untuk pedalangan wayang purwa b. Pakem Pustakaraja Madya, untuk pedalangan wayang madya c. Pakem Pustakaraja Antara, untuk pedalangan wayang gedhog d. Pakem Pustakaraja Wasana, untuk pedalangan wayang klitik e. Karya Ranggawarsita yang diubah bentuknya oleh orang lain yaitu : Jaman Cacat, Serat Paramayoga.100 Menurut Kamajaya di antara karya-karya Ranggawarsita yang paling terkenal sampai sekarang adalah : a. Kalatidha yang terkenal dengan gambaran “zaman edan”. b. Jaka Lodhang yang berisi ramalan akan datangnya zaman baik. c. Cemporet berisi cerita roman yang bahasanya sangat indah. d. Pustaka Purwa memuat cerita wayang Mahabharata. e. Sabdatama berisi ramalan tentang sifat zaman makmur dan tingkah laku manusia yang tamak dan loba. f. Sabdajati memuat ramalan zaman hingga sang pujangga meminta diri untuk memenuhi panggilan Tuhan (wafat). g. Wirid Hidayat Jati berisi ilmu kesempurnaan.101 2
Tipologi Tulisan R. NG. Ranggawarsita Beberapa karya R. NG. Ranggawarsita telah menunjukkan hasil pendidikan yang ditempuhnya ini dengan ketajaman nalar dan wawasannya. Hal ini ditunjukkan oleh karakteristik beberapa karyanya yang merupakan warisan sastra Jawa, dalam bukunya Kamajaya yang
100 101
Dhanu Priyo Prabowo, op. cit., hlm. 56-57 Kamajaya, op. cit., hlm. 19
45
berjudul Pujangga Ranggawarsita, karakteristik secara umum itu disebutkan sebagai berikut. a. “Purwakanthi”, akhiran kata atau kalimat bersambung dengan awalan kata atau kalimat berikutnya yang menjalin irama mengasyikkan. Misalnya : korup kareping ngaurip, riptane si Jayengbaya.(Serat Jayengbaya). b. “Sandiasma”, nama pengarang yang dirahasiakan dalam berbagai sisipan dalam kalimat atau “gatra” (bagian/bait) atau dalam pada (pupuh bait Sang Pujangga adalah perintis gaya seperti ini. Contoh : borong angga suwarga mesi martaya (Serat Kalatiha). c. “Sengkalan” atau “Candrasangkala”, yaitu angka tahun (Jawa) yang dijelmakan dalam kalimat-kalimat yang sesuai dengan soal atau tujuan yang ditulis dalam karangannya. Contoh : nir sad esthining urip = 1860 Jw. (Serat Jaka Lodhang). d. “Gancaran” atau “Jarwa”, yaitu prosa yang susunannya indah, bergairah dan mengasyikkan. Contoh : Wahyu iku sayekti tuniba marang wong kang gawe ayu, akeh wong keturunan pulung dene sok atetulung; singa taberi anglakoni kangelan , bakal antuk pahalan. (Serat Pustakaraja Purwa). e. Menjalin nasehat bermutu dalam uraiannya. Contoh : “Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti “ (angkara murka menguasai dunia, namun hancur lebur oleh panembah dengan taqwa kepada Tuhan).102
C. Posisi SWHJ dalam Sastra Jawa Keberadaan R. Ng. Ranggawarsita dalam kesastraan Jawa merupakan sosok yang tetap dikenang bayak orang. Berbagai kelebihannya, khususnya dalam menulis sastra Jawa sudah tidak dapat dipungkiri lagi. Beberapa karyanya terus dibaca dan dikaji oleh banyak orang untuk keperluan berbagai 102
Ibid., hlm. 20 – 22.
46
hal. R. Ng. Ranggawarsita hidup dan berkarya di dalam suatu jaman di mana minat terhadap kesusastraan Jawa sejak masa awal penyebaran Islam bangkit secara meluas. Menurut Simuh, kebangkitan rohani dan kesusastraan Jawa Baru ini bermula semenjak pusat kerajaan Mataram dipindahkan dari Kartasura ke Surakarta (1757) sampai wafatnya R. Ng. Ranggawarsita (1873).103 Beberapa Pujangga seperti Yasadipura, Sindusastra, Mangkunegara IV hidup sejaman dengan R. Ng. Ranggawarsita, yaitu jaman Surakarta awal (1750 –1850).104 Hal ini dapat dilihat dari beberapa cerita sekitar hubungan R. Ng. Ranggawarsita dengan Mangkunegara IV dan Yasadipura II, dan di dalam karya sastra mereka pun tampak gagasan, pengalaman dan penghayatan yang sama. Menurut Abdullah Ciptoprawiro dalam bukunya Filsafat Jawa dikatakan bahwa “beberapa karya R. Ng. Ranggawarsita kelihatan adanya jalur yang menghubungkan karyanya dengan kesusastraan jaman dahulu, seperti SWHJ ditemukan wawasan yang hidup sejak penyebaran agama Islam oleh para Walisanga dari jaman Demak“.105 Hal ini bisa dilihat dari isi ajaran SWHJ banyak dipengaruhi oleh karya sastra orang-orang sufi seperti dari bangsa arab (Hallaj, Bayazid), Sumatra (Abdullah Rauf pendiri Tarikat Satariyah), Jawa(Abdullah Muhyi dan Walisanga). Dalam perjalanan sejarah penyebaran Islam di Jawa, ada dua jenis kepustakaan atau kesusastraan, yaitu Kepustakaan Islam Santri dan Kepustakaan Islam Kejawen. Kepustakaan Islam Santri yaitu kepustakaan yang sangat terikat dengan syariat (agama) sedang Kepustakaan Islam Kejawen ialah salah satu Kepustakaan Jawa yang memuat perpaduan antara tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam. Unsur-unsur ajaran Islam yang ada dalam Kepustakaan Islam Kejawen memuat aspek ajaran tasawuf yang terdapat dalam perbendaharaan kitab-kitab tasawuf.
103
Simuh, Sufisme Jawa : Tranformasi Tasawuf Islam ke Mistik Islam, (Yogyakarta : Bentang Budaya, 1996), hlm. 151 104 R. M. Ng. Poerbatjaraka, Kepustakan Djawi, (Jakarta : Djambatan, 1954), hlm. 33 105 Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 1986), hlm. 53
47
Adapun ciri Kepustakaan Islam Kejawen yaitu mempergunakan bahasa Jawa dan sedikit mengungkapkan aspek syariat namun ungkapannya banyak mengandung aspek tasawuf falsafati Islam. Bentuk Kepustakaan ini termasuk dalam lingkungan Kepustakaan Islam karena ditulis oleh dan untuk orang-orang yang telah menerima Islam sebagai agama mereka.106 Menurut Simuh, nama yang sering dipergunakan untuk menyebut Kepustakaan Islam Kejawen ialah Wirid dan Suluk. Wirid dan Suluk tersebut isinya bekaitan dengan ajaran tasawuf yang sering disebut ajaran mistik Islam. Hal ini disebabkan kedua nama itu memang bersumber dari ajaran tasawuf.107 Sastra Jawa ini, bahasanya penuh dengan simbolisme dan kiasan karena karya mistik penuh simbolisme. Pada jaman itu ajaran-ajaran kejawen jarang disampaikan secara apa adanya. Hal ini dimungkinkan karena orang Jawa masa itu belum terbiasa berfikir abstrak, maka segala ide diungkapkan dalam simbol yang bersifat abstrak agak jarang.108 Dengan demikian dapat dipahami bahwa posisi SWHJ termasuk dalam Kepustakaan Islam Kejawen karena serat ini memuat perpaduan tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam, dan dalam penulisannya pun menggunakan bahasa Jawa. Isi ajaran dalam SWHJ terdapat unsur-unsur ajaran Islam yang dipengaruhi oleh ajaran tasawuf. SWHJ ini digubah oleh R. Ng. Ranggawarsita pada jaman Surakarta Awal. SWHJ tersebut, menurut Rasjid adalah kitab pelajaran yang dipakai oleh para pembesar di kraton Surakarta dan Yogyakarta. Salah satu ciri khas kitab tersebut adalah banyaknya istilah mistik Islam, yang sulit dimengerti oleh seseorang yang belum pernah membaca kitab-kitab mistik Islam Arab yang tinggi mutunya, seperti insan kamil, karangan Abdul Karim Al Jilli, Muhyiddin Ibnu Arabi dan lainnya.109 Selain itu SWHJ disusun dalam bentuk Jarwa atau Prosa, yang mana isi kandungannya cukup padat dan lengkap. Hal tersebut merangsang
106
Simuh, op. cit., hlm. 2 Ibid., hlm. 3 108 Sujamto, Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa, (Semarang : DaharaPrize, 1992), hlm. 73 109 M. Rasjid, Islam dan Kebatinan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), hlm.48 107
48
penyusun mengadakan pembahasan lebih lanjut terhadap SWHJ. Pembahasan ini terutama dipusatkan pada nilai pendidikan tauhidnya.
D. Isi SWHJ karya R Ngabehi Ronggowarsito 1. Isi SWHJ Secara Umum Serat wirid karangan R Ngabehi Ronggowarsito ini terbagi dalam lima bab. Wirid Bab I, berisi ringkasan ajaran para wali serta ajaran lain yang melengkapi. Sebelum Bab I, diterangkan ajaran para wali itu di ajarkan dalam tiga masa (angkatan) dan dalam tiap angkatan di ajarkan oleh delapan wali atau guru. Angkatan pertama yaitu, Sunan Giri Kedhaton yang mengajarkan petunjuk keelokan dzat (adanya dzat), Sunan Tandes yang mengajarkan keterangan tentang kejadian dzat, Sunan Majagung yang mengajarkan keadaan dzat, Sunan Bonang wejangannya tentang hal-hal mengenai susunan
dalam
singgasana
Baitul
Makmur,
Sunan
Wuryapada
wejangannya tentang hal-hal mengenai susunan dalam singgasana Baitul Muharram, Sunan Kalinyamat memberi wejangan berupa peneguh kesentosaan iman, Sunan Gunung Jati memberi wejangan tentang hal-hal mengenai susunan dalam singgasana Baitul muqaddas, dan Sunan Kajenar memberi wejangan tentang sasahidan. Angkatan kedua yaitu, Sunan Giri Prapen wejangannya berupa petunjuk tentang adanya dzat, Sunan Drajat wejangannya berupa penjelasannya tentang dzat, Sunan Ngatasangin wejangannya berupa penjelasan tentang keadaan dzat, Sunan Kalijaga wejangannya berupa halhal mengenai susunan dalam singgasana Baitul Makmur, Sunan Tembayat wejangannya berupa hal-hal mengenai susunan dalam singgasana Baitul Muharram, Sunan Kalinyamat wejangannya berupa hal-hal mengenai susunan dalam singgasana Baitul Muqaddas, Sunan gunung Jati wejangannya berupa peneguh kesentosaan iman, dan Sunan Kajenar wejangannya berupa pensaksian.
49
Angkatan ketiga, pada masa akhir masa Kerajaan Demak hingga Kerajaan Pajang, yaitu: Sunan Parapen wejangannya berupa petunjuk adanya dzat, Sunan Drajat wejangannya berupa penjelasan tentang Dzat, Sunan Ngatasangin wejangannya berupa uraian tentang keadaan dzat, Sunan Kalijaga wejangannya berupa hal-hal mengenai susunan dalam singgasana Baitul Makmur, Sunan Tembayat mengajarkan hal-hal mengenai susunan dalam singgasana Baitul Muharram, Sunan Padusan ajarannya mengenai susunan dalam singgasana Baitul Muqaddas, Sunan Kudus
wejangannya
paneguh
kesentosaan
iman,
Sunan
Geseng
wejangannya berupa pensaksian. Adapun wejangan-wejangan dari para wali itu di satukan atas kehendak Sultan Agung dari Mataram, akantetapi lama kelamaan ajaran itu di urai (dipisah-pisah) lagi. Hal ini disebabkan karena banyaknya orang arif yang menjadi guru dan mengajarkan ilmu dan wejangan itu sesuai dengan cara mereka. Pada permulaan Wirid Bab I, dijelaskan tata cara pengajaran wejangan itu yang dimulai dengan pemilihan waktu dan tempat. Kemudian menyiapkan bahan-bahan berupa wewangi dan sesaji, setelah itu guru dan calon murid mengambil air wudhu dan berniat. Adapun urutan-urutan ajaran atau wejangan itu adalah sebagai berikut: a. Ajaran adanya dzat. b. Keterangan tentang kejadian dzat. c. Uraian keadaan dzat. d. Susunan dalam singgasana baitul makmur. e. Susunan dalam singgasana baitul muharram. f. Susunan dalam singgasana baitul muqoddas. g. Peneguh keimanan. h. Sasahidan atau kesaksian. Sesudah demikian diajarkan tentang mengumpulkan manusia dengan Tuhan, mensucikan dzat, mengatur singgasana dzat, terbentangnya
50
alam semesta, kesejahteraan keturunan, daya kesaktian. Setelah selesai dianjurkan untuk berkenduri demi keselamatan jiwa raga. Dalam Bab I diterangkan pula orang-orang yang pantas menjadi guru, syarat orang menjadi guru, pedoman orang yang menjadi guru, dan keutamaan orang yang menjadi guru. Dalam bab ini pula diterangkan tentang syarat menjadi murid. Wirid Bab II merupakan penjelasan lebih terperinci dari ajaranajaran yang telah diuraikan pada Bab I. Pada permulaan wirid Bab II ini diterangkan sandaran serat wirid ini adalah Al-Qur'an, hadis, ijma' dan Qiyas. Dilanjutkan dengan penjelasan mengenai sangkan paraning dumadi dalam istilah tasawuf islam disebut al mabda’ dan al ma’ad. Mula-mula di terangkan asal-muasal penciptaan dan urutanurutannya. Dalam serat wirid dikatakan : Sejatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awing uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dingin iku Ingsun, ora ana Pangeran anging Ingsun, sejatine Dat kang Amaha Suci, anglimputi ing sipating-Sun, anartani ing asmaning-Sun, amaratandani ing apngaling-Sun. Kemudian dilanjut dengan keterangan urutan pencipataan kehidupan dan semesta. Sajatine Ingsun Dat kang amurba amisesa, kang kuwasa anitahake sawiji-wiji, dadi padha sanalika, sampurna saka kodrating-Sun, ing kono wis kanyatahan pratandani apngaling-Sun, minongko bubukaning iradating-Sun: kang dhingin Ingsun anitahake kayu, aran sajaratul yakin, tumuwuh iang sajroning ngalam (ng)adammakdum ajali abadi, nuli cahaya aran Nur Muhammad, nuli kaca aran miratul kayai, nuli nyowo aran roh ilapi, nuli sosotya aran darrah, nuli dhindhing jalal ran kijab, kang minangka warananing kalarating-Sun.
51
Dalam Bab II ini pula asal usul semesta (‘alam), konsepsi penciptaan manusia dan itu di terangkan secara terperinci. Penjelasan mengenai mikrokosmos dalam diri manusia juga dijelaskan dengan detail. Hal yang semacam ini ternyata juga ada dalam beberapa kitab sastra islam. Diantaranya , ada kitab Daqoiq Al Akhbar karya Imam Abdurrohim ibn Ahmad Al Qodhi, yang dalam bab awal juga menjelaskan tentang awal penciptaan, yaitu: sajaratul yaqin, Nur Muhammad, hijjab, mirratul haya’ dan sebagainya. Selanjutnya pada Bab III berisi tanda-tanda akan datangnya ajal setiap manusia yang sering dinamakan kiamat kecil. Diterangkan dalam, wirid bab ini tanda-tandanya yaitu: a. Yen sampun asring uninga ngkang boten nate ketingal, tandha kirang satahun. b. Yen sampun asring mireng ingkang boten nate kapiyarsa, kadosta mireng raraosaning jin, setan, sato kewan, tandha kirang setengah tahun. c.
Yen sampun asring malih paningalipun, kadosta wulan muharram, sapar, aningali langit katingal abrit. Mulud, Rabingulakhir, srengenge katingal cemeng. Rejeb, Ruwah, toya katingal abrit. Siyam, sawal, weayanganipun ketingal kalih. Dulkangidah, Besar, latu katingal cemeng. Sadhaya punika tandha kirang kalih wulan.
d. Yen dariji panunggul dipun bekuk kapetelaken dalak epek-epekipun, dariji manis kaangkat, yen sampun kaangkat anjunjung dariji nmanisipun wau, tandha kirang kawandasa dinten. e. Yen kawawas darijinipun sanpun katingal kurang, ugel-ugel sampun katingal pedhot, tandha kirang sawulan. f. Yen sampun katingal wananipun piyambak, tandha kirang setengah wulan. g. Yen sampun rumaos mboten ejng punapa-punapa, tandha kirang pendhak dinten.
52
h. Yen keteking asta sampun mboten wonten, tuwin garebenging talingan sampun kendel, punapa dene pramayaning kenaka sampun oncat, pramayaning tingal sampun sepen, anadadosaken rengating imba, ing wekasan pucuking parji sampun keraos asrep, punika tandha sampun puncading dinten kiyamat, jumeneng kaliyan pribadi. Dilanjut dengan penjelasan tentang tatacara manekung (semedi) dan wiridwirid yang harus dibaca ketika menghadapi datangnya syakaratul maut ataupun untuk mencapai penghayatan makrifat dan kesatuan dengan tuhan. Manekung dan wirid-wirid itu menggunakan bahasa jawa tapi nilai nilainya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Wirid Bab IV berisi wejangan tambahan dan penjelas mengenai bab kematian. Dalam bab ini, dijelaskan kematian itu ada bermacammacam, yaitu: a. Kang dhingin, kang mati iku napsune, kadi ta pangandhikaning Allah tangala,
tegese
:
sakehe
napsune
iku
padha
angrasani
(angerasakke)pati. b. Kang kaping pindho iku mati rohe, kadi ta pangandhikaning Allah tangala, tegese: sirnaning rahsane. c. Kang kaping telu iku, mati kaweruhekadi ta pangandhikaning Allah tangala, tegese: kang mati mau, utawa turun imane. d. Kaping pat patining ati, kadi ta pangandhikaning Allah tangala, tegese: sirna pangucape kelawan lesan. Dalam Wirid Bab IV ini dijelaskan tanda makrifat itu ada enam hal yaitu: a. Katingaling jaman ciptaning kahanan jati, warna ireng b. Aningali warna repta, tegesipun maksih ing pandamelan samar. c. Aningali warna kuning. Tegesipun angrencana nyanyamuringkang sejati. d. Aningali warna seta, tegesipun cahaya ingkang putih, sadaya wau sampun kumpul dados kahanan tunggal, gumilang-gilang tar (tanpa) wawayanganmaring kahanan jati.
53
e. Aningali sinamar jatining warna, tgesipun inggih punika sajatosing panunggaling-Sun, maring kahanan kang sejati, dadiya samarica binubut bali maring suksmaning-Sun. f. Jangkeping pemejangipun para waliyullah, kang wus anampani kanugrahananing Allah tangala wejangan ingkang maksih kineker kaawisan dening para wali, anuduhake panggonan kraton agung. Kemudian dijelaskan pula tata cara pengajaran guru, yaitu: a. Wonten wejanganipun guru ingkang amedharaken rahsaning ngelmu wisikaning ananing Dat, kikiyasan saking dalil sapisan. b. Wonten wejanganipun guru ingkang amedharaken rahsaning ngelmu wedharan wahananing Dat, kikiyasan saking dalil kapingkalih. c. Wonten wewejanganipun guru ingkang amedharaken rahsaning ngelmu gelaran kahananing Dat, kikiyasan saking dalil kaping tiga. d. Wonten wejangaingn guru ingkang amedharaken rahsaneng ngelmu kayektening kahana, kikiyasan saking dalill kaping sekawan. e. Wonten wejangan guru ingkang amedharaken rahsaning ngelmu saking santosaning iman abubuka sahadat jati, utawi saking sasahidan. Selain itu dalam bab ini di jelaskan idiom-idom atau sanepa yang berkaitan dengan pengajaran ilmu tauhid dan makrifat, yang tentu saja mengunakan bahasa jawa. Pada bab ini pula menjelaskan mengenai akibat murid yang tidak mengindahkan semua ajaran. Akibat dari perbantahan atau pengingkaran terhadap ajaran ini murid akan menjadi gila, sakit ayan (epilepsi), kadhengdheng (tebal telinga), gendheng (sinting), dan kodheng (kacau pikirannya). Dijelaskan pula mengenai tingkatan-tingkatan ilmu talek dan ilmu patah (ilmu membuat keajaiban) tetapi tidak diterangkan dalam serat ini bagaimana cara mendapatkan atau topo laku ilmu talek dan ilmu patah. Wirid Bab V berisi ulasan ulang, tetapi lebih detail mengenai penciptaan manusia yang dilanjutkan tentang penjelasan mengenai tujuh tingkat penghayatan yang akan dialami oleh orang yang meninggal dunia
54
atau yang ingin mencapai penghayatan kesatuan dengan Tuhan, dan godaan-godaan yang menyesatkan dalam tiap tingkat. Dalam wirid bab ini di jelaskan pula mengenai orang yang wenang (boleh) jadi murid itu mempunyai delapan syarat, yaitu: a. Nastiti (teliti) b. Nastapa(berani menderita) c. Kulina (membiasakan diri) d. Santosa(teguh) e. Diwasa(dewasa) f. Engetan(baik ingatan) g. Santika(terampil) h. Lana (tahan uji) Dalam wirid bab ini pula keadaan manusia setelah meninggal dijelaskan mulai dari pembusukan jasad atau raga (dalam serat ini disertai dengan gambar) sampai tingkatan-tingkatan alam dan penghayatan (sebelum datang kiamat kubra atau hari pembalasan). Dijelaskan pula dalam bab ini persyaratan untuk menghadapi syakaratul maut ada empat yaitu: ikhlas, rela pada hukum (kepastian) Allah, merasa tidak memiliki apa-apa dan yang terakhir harap berserah diri kepada kehendak Allah Ta’ala. Sedikit banyak disinggung mengenai alam ruhiyah, alam siriyah hingga alam uluhiyah. Secara singkat wirid Bab V ini menjadi pamungkas ajaran dari wirid Bab-bab sebelumnya. 2. Materi Pendidikan Tauhid dalam SWHJ Sebagaimana ajaran keagamaan yang ada, ajaran dalam SWHJ meliputi ajaran tentang ketuhanan, manusia dan alam semesta. Ajaran tersebut bersumber dari riwayatnya wiradat ajaran wali di Jawa. Namun yang dibahas dalam skripsi ini adalah yang berkaitan dengan pendidikan tauhid. Keseluruhan dari ajaran dalam Wirid Hidayat Jati adalah dijiwai oleh ajaran Tasawuf. Ajaran tersebut dipengaruhi oleh Tarekat Syatariyah
55
Syekh Abdul Rauf (ulama sufi dari Singkel Aceh) beserta muridnya Syekh Abdul Muhyi, yang terkenal sebagai wali negeri Priyangan.110 Gagasan tentang Allah sebagai Zat Yang Mutlak dan kedekatan Allah dalam diri manusia juga bersumber dari ajaran Tasawuf. Secara sepintas, ajaran ketuhanan dalam Wirid Hidayat Jati menjelaskan, bahwa manusia sebagai makhluk yang diciptakan-Nya, wajib mengetahui dan mengenal tentang keesaan Tuhan Yang Maha Esa, Zat, Sifat, Asma dan Af’al-Nya yang Agung. Pengenalan sifat-sifat Tuhan baik yang wajib maupun yang mukhal (mustahil). Ajaran ketuhanan yang terdapat dalam karya R. Ng. Ranggawarsita bukanlah ketuhanan sebagai pengetahuan atau ilmu saja, melainkan semata-mata sebagai kepercayaan kepada Tuhan (iman), sebuah kekuatan yang tiada taranya dan yang menjadi pusat segala kekuasaan. Adapun isi SWHJ yang memuat pendidikan tauhid yaitu: a. Ajaran adanya Tuhan, yang berbunyi : Sajatine ora ana apa-apa, awit maksih awang-uwung durung ana sawiji-sawiji, kang ana dingin iku Ingsun sajatining ora ana Pangeran nanging Ingsun, sajatining dad kang Maha Suci, angliputi ing sifatingsun, amartani ing asmaningsun, amratandhani ing apngalingsun.111 Sebenarnya tidak ada suatu apapun sebab ketika masih kosong (awang-uwung) belum ada sesuatu, yang pertama adalah Aku (Allah), tidak ada Tuhan kecuali Aku, hakikat Yang Maha Suci, meliputi segala sifat-Ku, memberitakan nama-Ku, menandai af’al- Ku (perbuatan-Ku). Ajaran yang terkandung pada ajaran pertama yaitu tentang wisikan ananing zat (ajaran tentang adanya zat), adalah bahwa sewaktu alam ini masih kosong belum ada apapun (belum ada sesuatu yang diciptakan), maka yang ada lebih dahulu adalah Aku (Allah) Zat Yang Maha Suci yang meliputi segala asma, sifat dan af’al-Nya (perbuatan). 110
MH. Ainun Nadjib, Suluk Pesisiran, (Bandung : Bandung, 1989), hlm. 7 R. Ng. Ranggawarsita, Serat Wirid Hidayat Jati, Transkripsi Suroyo, (Solo: Perpustakaan Reksapustaka Istana Mangkunagaran, 1980), hlm. 3 111
56
b. Ajaran tentang wahana zat, yang berbunyi : Sajatine Ingsun Dat kang Amurba Amisesa kang kawasa anitahaken sawiji-wiji, dadi padha sanalika, sampurna saka ing kodratingsun, Ing kono wus kanyatan pratandhaning apngalingsun kang minangka bebukaning Iradatingsun.112 Sesungguhnya
Aku
(Allah)
Zat
Yang
Maha
Kuasa
menciptakan segala sesuatunya, menjadikan seketika., sempurna atas kodrat-Ku. Disitulah kenyataan menunjukklan af’al-Ku (perbuatanKu) yang merupakan pembuka Iradat-Ku. Ajaran yang terkandung dalam ajaran kedua, tentang wedaran wahananing zat (ajaran tentang keadaan zat) yaitu, bahwa Aku (Allah) adalah Zat Yang Maha Kuasa, yang berkuasa untuk menciptakan barang apapun juga yang ada di alam semesta beserta isinya. Sesuatu itu bisa tercipta dengan cepat dan sempurna karena sudah menjadi kuasa dan kehendak Allah sendiri, selain Allah itu Maha Pencipta juga mempunyai sifat Maha Suci, Maha Luhur dan bersifat kekal. c. Ajaran Peneguh Keimanan, yang berbunyi : Ingsun anekseni, satuhune ora ana pangeran anging Ingsun, lan anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun.113 Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Aku (Allah), dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusanKu. Ajaran tersebut menerangkan tentang hakikat tauhid (kenyataan Allah Yang Maha Esa). Ajaran ini dalam Wirid Hidayat Jati disebut panetep santosaning iman (penguat sentosanya iman). Diawali dengan syahadad jati (kesaksian nyata) sebab mengajarkan dengan jalan memberi tahu secara batin tentang penguat keyakinan kita, dalam menghayati yang senyatanyatanya hidup kita pribadi. Bahwa kita adalah makhluk yang diciptakan oleh tuhan yaitu Allah Yang Maha Esa dan Allah mempunyai utusan untuk menyampaikan risalah-Nya yaitu yang bernama Muhammad saw. 112 113
Ibid., hlm. 5 Ibid., hlm. 15
57
d. Ajaran Sasahidan, berbunyi : Ingsun anekseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pengeran anging Ingsun, lan anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku cahyaningsun, iya Ingsun kang urip ora kena ing pati, iya Ingsun kang eling ora kena ing lali, iya Ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar sampurna padhang terawangan, ora karasa apa-apa, ora katon apa-apa, amung Ingsun kang angliputi ing alam kabeh kalawan kodratingsun.114 Aku (manusia) bersaksi kepada Zat-Ku (Zat Yang Maha Esa yaitu Allah) sendiri, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku (Allah), dan Aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku, sesungguhnya yang bernama Allah itu badan-Ku, Rasul Rahsa-Ku, Muhammad cahya-Ku. Akulah (Allah) yang hidup tidak akan mati. Akulah (Allah) yang selalu ingat tidak akan lupa. Akulah (Allah) yang kekal tidak ada perubahan dalam segala keadaan. Akulah Allah) yang bijaksana tiada kekurangannya di dalam pengertian, sempurna terang benderang, tidak terasa, tidak kelihatan, hanya Aku (Allah) yang meliputi alam semesta, karena kodrat-Ku. Ajaran di atas pada dasarnya merupakan penjabaran dari ajaran Sasahidan, yaitu sebagai penjelasannya. Kalimat tersebut setiap kali diulang di dalam segala ajaran dengan perubahan disana-sini. Ajaran ini diangkat atau diucapkan sesudah mengetahui arti syahadat jati yaitu tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, kemudian mengangkat saksi dari segala makhluk yang terbentang di alam dunia seperti: bumi, langit, matahari, bulan, bintang, api, angin, air dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar semuanya menjadi saksi, bahwa manusia telah mengakui Tuhan Yang Maha Suci pencipta alam semesta.
114
Ibid., hlm. 16
BAB IV NILAI PENDIDIKAN TAUHID DALAM SERAT WIRID HIDAYAT JATI KARYA R. NG. RANGGAWARSITA Salah satu warisan budaya yang ada di Indonesia adalah warisan budaya Jawa. Warisan ini mengandung banyak nilai budaya yang terdapat dalam karya sastra Jawa. Dalam khasanah sastra Jawa, nilai pendidikan religius banyak tersimpan dalam sastra yang berbentuk wirid atau suluk. Nilai tersebut sangat bermanfaat bagi pembinaan dan pendidikan mental spritual, dalam hal ini disebut dengan pendidikan tauhid Pendidikan tauhid mempunyai arti suatu proses bimbingan untuk mengembangkan dan memantapkan kemampuan manusia dalam mengenal keesaan Allah. Dengan pendidikan tauhid ini, manusia akan menjadi manusia hamba bukan manusia yang dehumanis, kemudian timbul rasa saling mengasihi, tolong menolong, selalu waspada terhadap tipu daya dunia dan manusia zalim, dapat berlaku sederhana (zuhud) dan hati yang wara serta sebagainya. Dengan demikian, pendidikan tauhid mempunyai makna yang dapat dipahami sebagai upaya untuk menampakkan atau mengaktualisasikan potensi laten yang dimiliki oleh setiap manusia, yang dalam bahasa Islamnya potensi laten ini disebut dengan fitrah. Salah satu fitrah manusia adalah fitrah beragama, yaitu mengakui keesaan Allah, Pencipta alam semesta, maka dari itu pendidikan tauhid lebih diarahkan pada pengembangan fitrah keberagamaan seseorang sebagai manusia tauhid. Dalam dunia pendidikan, warisan budaya Jawa yang berbentuk SWHJ ini dapat digunakan sebagai media dalam pendidikan tauhid, sebab SWHJ ini banyak mengandung ajaran yang dapat diambil nilai pendidikan tauhidnya. Untuk dapat mengambil nilai pendidikan tauhid dalam SWHJ, terlebih dahulu mengetahui muatan pendidikan tauhid yang ada dalam serat tersebut. A. Muatan Pendidikan Tauhid dalam SWHJ Karya R. Ng. Ranggawarsita Ajaran keagamaan yang ada dalam SWHJ meliputi ajaran tentang ketuhanan, manusia dan alam semesta. Ajaran tersebut bersumber pada
58
59
riwayatnya wiradat ajaran wali di Jawa, namun yang dibahas dalam skripsi ini adalah yang berkaitan dengan pendidikan tauhid. Keyakinan tentang Allah sebagai Zat Yang Maha Suci dan kedekatan Allah dalam diri manusia juga bersumber dari ajaran Tasawuf. Secara sepintas, ajaran ketuhanan dalam Wirid Hidayat Jati menjelaskan, bahwa manusia sebagai makhluk yang diciptakan-Nya, wajib mengetahui dan meyakini keesaan Allah Yang Maha Esa, tentang Zat, Sifat, Asma dan Af’alNya yang Agung. Pengenalan sifat-sifat Tuhan baik yang wajib maupun yang mukhal (mustahil). Ajaran ketuhanan yang terdapat dalam karya R. Ng. Ranggawarsita bukanlah ketuhanan sebagai pengetahuan atau ilmu saja, melainkan sematamata sebagai kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (iman), sebuah kekuatan yang tiada taranya dan yang menjadi pusat segala kekuasaan. Menurut Simuh, “bentuk ajaran Wirid Hidayat Jati adalah bukan Hindu-Budha; sebagaimana yang dituduhkan oleh Harun Hadiwijono, bahwa ajaran Wirid Hidayat Jati adalah “a Hinduistic doctrine with a Muslim garment”, tetapi Islam Kejawen.115 Sebelum menganalisis lebih lanjut mengenai muatan pendidikan tauhid dalam SWHJ ini, perlu diingat lagi bajwa pendidikan merupakan sebuah proses yang berkesinambungan. Jadi pendidikan bukan merupakan sesuatu yang langsung jadi. Meskipun manusia dibekali potensi, tetapi manusia dilahirkan tanpa memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki manusia merupakan hasil perolehan (proses pendidikan). Setelah mengetahui bahwa pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan, tentunya dalam proses pendidikan tersebut ada tahapan yang harus ditempuh. Tahapan-tahapan itu bisa berupa materinya, jenjang pendidikannya atau pemahaman dalam proses pendidikan itu sendiri.
115
375
Simuh, Mistik Islam Kejawen R. Ng. Ranggawarsita, (Jakarta: UI Press, 1988), hlm.
60
Dalam SWHJ karya R Ngabehi Ronggowarsito ini, sebelum membahas tentag pendidikan tauhidnya, sebaiknya dibahas dulu mengenai sudut pandang (point of view) R Ngabehi Rongowrsito dalam penulisan SWHJ ini. Raden Ngabehi Ronggowarsito, memakai sudut pandang (point of view) sebagai orang pertama dan orang ketiga. Sudut pandang sebagai orang pertama ini Memang agak disamarkan oleh Ronggowarsito sendiri dengan memakai nama "Kyai Ageng Muhammad Sirullah Kedung Kol". Hal ini diungkap sendiri oeh Ronggowarsito dalam Bab awal sebelum membahas ajaran tauhid, ia menyatakan : "…mila samangke dipun persudi dhateng Kiyai Ageng Muhammad Sirrollah ing kedhung kol, inggih punika sakiduling kedhung kol penganten, mawi tinengeran ing tahun punika: Rong songga warga sinuta salebeting alip = 1779, kadhawahan ilham, rinilan dening Pangeran Kang Amaha Suci, Anat (anata) urut-uruting patraping ngelmu makrifat, sarta andunungaken murad maksudipun pisan..." … oleh sebab itu kemudian diusahakan oleh kyai ageng Muhammad sirrollahkedhung kol, yakni di sebelah selatan kedhung kol penganten dengn cir-ciri tahun : rong songga warga sinuta dalam tahun alif 1779 jawa, seeorang yang mendapat ilham, diizinkan Tuhan untuk menyusun
pengamalan
ilmu
makrifat
serat
menjelaskan
arti
maksudnya… Dalam candara sengkala di atas (rong songga warga sinuta) ternyata merupakan sandiasma dari nama Ronggowarsito sendiri. Dalam hal ini Tanaya menerangkan sebagai berikut. Demikian pula sang pujangga, pada karangannya tentang ilmu kewalian, sering mengunakan nama Kyai Ageng Muhammad Sirrullah dari kedhung kol. Adapaun yang dinamakan kedhung kol itu, kini termasuk wilayah kampong Yasadipuran, sebelah timur Pasr Kliwon, di kota Sala; karena dulu pernah didiami oleh Pujangga Yasadipura I dan Yasadipura II, hingga pujangga Ranggawarsita.116 Maka bisa dikatakan, Ronggowarsito juga menjadi pendidik atau guru dalam pendidikan tauhid dalam SWHJ yang ia karang. 116 Ibid., hlm. 270
61
Sudut pandang (point of view) kedua yang dipakai oleh Ronggowarsito adalah sudut pandang orang ketiga aktif. Ini seperti gabungan antara sudut pandang orang pertama dan orang ketiga. Hal ini tampak dalam beberapa tulisannya yang masih menggunakan kata "guru". Padahal jika dirunut, dalam SWHJ ini, dia adalah guru atau pendidik ajaran tauhidnya. Bahkan Rangowarsito sendiri telah membuat kriteria orang yang pantas menjadi guru dan murid. Tentang kriteria guru Ronggowarsito menjelaskan sebagai berikut. a. Syarat orang yang pantas jadi guru, ada delapan, yaitu: 1) Bangsaning ngawirya, tegesipun bangsa luhur, ingkang taksih kadrajatan ( golongan wirya, yaitu golongan yang luhur dan mempunyai derajat) 2) Bangasaning ngagama, tegese kang bangsa ngulama kang ngalim ing kitab (golongan agama yaitu ulama yang alim, menguasai kitab agama) 3) Bangsaning ngatapa tegesipun bangsa pandhita ingkang taksih ulah lampah ( yaitu pendeta yang masih ahli riyalat) 4) Bangsaning sujana, tegesipun bangsa linuwih ingkang dados tiyang sae (golongan sujana yaitu golongan yang mempunyai kelebihan dan menjadi orang baik) 5) Bangasaning ngaguna, tegesipun bangas saged ingkang ngulah kasagedan (golongan aguna, yaitu yang mempunyai kepandaian dan menekuni ilmu) 6) Bangsaning prawira, tegesipun bangsa prajurit ingkang taksih kasub kaprawiranipun (golongan
perwira,
yaitu
golongan
prajurit
yang
tersohor
keperwiraannya) 7) Bangsaning supunya, tegesipun bangsa sugih ingkang taksih kabegjan (golongan berada, yaitu golongan orang kaya yang masih berharta)
62
8) Bangsaning supatya, tegesipun bangsa tani ingkang temen (golongan supatya yaitu dari golongan petani yang jujur) b. Pedoman orang yang menjadi guru, ada delapan, yaitu: 1) Asih ing murid, den anggep putra wayah (kasih kepada murid, dianggap anak-cucu sendiri) 2) Telaten pamulangipun, mboten mawi wigah-wigih (telaten mengajar, tanpa rasa kikuk) 3) Lumuh ing pamrih, boten darbe pangangkah punopo-punopo (tanpa pamrih, tidak mengharap apa-apa) 4) Tanggap ing sasmita, saged anampeni pasemoning muri (tajam perasan, dapat menangkap gelagat murid) 5) Sepen ing panggrayangan, boten dados kinten-kintening murid (tidak menambil apapun, sehingga tidak menimbulkan prasangka dari murid) 6) Boten ambaekaken pitaken (tidak menolak pertanyaan) 7) Boten angendhak kagunan (tidak menolak kecakapan) 8) Boten amburu aleman, angunggul-ngunggulaken kasagedanipun. (tidak mencari pujian, tidak menyombongkan kepandaian) c. Keutamaan orang yang menjadi guru, ada delapan, yaitu: 1) Mulus ing sarira (baik keadaan tubuhnya, tidak cacat) 2) Alus ing wicara, boten asring mimisuh miwah supaos (halus kata-katanya, tidak sering berkata kotor dan tidak sering bersumpah) 3) Jatmika ing solah (sopan tingkah-lakunya) 4) Antepan bubudenipun (teguh pendiriannya) 5) Paramarta lalabuhanipun
63
(baik pengorbanannya) 6) Patitis ing nalariun (tajam pemikirannya) 7) Sae lalabetanipun (baik rasa pengabdiannya) 8) Boten darbe pakareman (tidak punya kesenangan khusus) Meskipun
tidak
sedetail
dalam
taksonomi
Bloom
mengenai
profesionalisme guru (personal, sosial, profesi dan peadagogik), setidaknya kriteria dan syarat-syarat yang dijelaskan Ronggowarsito diatas cukup mewakili. Karena menurut menurut peneliti, dalam SWHJ mengenai profesionalisme guru itu hanya kurang kecakapan dalam bidang profesi. Selanjutnya kriteria murid (peserta didik), Ronggowarsito menjelaskan dalam SWHJ Bab I, sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tedhak turun (keturunan orang baik) Tunggil bangsa (sebangsa dengan gurunya) Tunggil agami (seagama dengan gurunya) Tunggil basa (sebahasa dengan gurunya) Sumerep ing sastra (dapat tulis-baca) Sampun kalangkung tengah tuwuh (sudah lewat setengah usia) Tanpa sesakit (tidak berpenyakit) Tanpa kuciwa (tidak bercacat) Dalam syarat-syarat diatas memang ada syarat yang sebenarnya
ditujukan untuk murid tharikat yaitu pada syarat yang keenam. Selain pada syarat, yang kedua dan ketiga sebenarnya hanya untuk meneguhkan pentingnya penguasaan bahasa. Boleh saja guru dan murid itu beda bangsa tetapi keduanya (khusunya murid) haruslah mengetahui dan memahami bahasa gurunya. Setelah mengetahui kriteria guru dan murid, dilanjutkan dalam SWHJ pada permulaan Bab I, tentang permulaan proses belajar mengajar (tauhid). Ronggowarsito sebagai pujangga sekaligus guru menulis demikian,
64
Ingkang rumiyin wiwiting patrap ingkang dados kuwajiban, punika guru akaliyan badhe murid sami angambil toya wulu117 sarta niyat ingkang maksud kados mekaten : Nawetu rapngal kadasi, sohirota wal kabirata, parlan lillahi tangala Allahu akbar. Niayatngsun amek banyu kadas, karana angilangake kadas cilik lan kang gedhe, parlu karana Allah. Sic)118 Adapun tata-cara pertama yang wajib dilakukan adalah : guru dan calon murid mengambil air wudhu, dan mengucapkan lafal niat seperti di bawah ini : "nawaitu raf'al hadasi shaghirata wal kabirata fardlan lillahi ta'ala, Allahu Akbar (saya berniat untuk menghilangkan dosa kecil dan dosa besar, karena Allah)" Berdasar pada tulisan diatas, hendaknya pendidik (guru) ataupun peserta didik sebelum memulai sebuah proses belajar mengajar dalam keadaan bersih dan suci sehingga dapat mudah memberi dan menerima pelajaran karena kondisi fisik terasa nyaman dan segar. Pelajaran lain yang dapat diambil adalah pentingnya penanaman niat dalam proses belajar mengajar. Karena dengan niat kita bisa melihat tujuan yang akan kita tempuh. Sehingga guru bisa memilih Metode apa yang ingin digunakan. Dalam hal ini, para ahli pendidikan mengidentifikasi ada empat elemen yang perlu diperhatikan: 1. Identifikasi tujuan yang akan dicapai. 2. Pertimbangan dan penentuan pendekatan yang dipakai untuk mencapai tujuan. 3. Pertimbangan dan penetapan langkah-langkah yang ditempuh sejak dimulainya proses pendidikan samapi tercapainya tujuan 4. Pertimbnagan dan penetapan tolok ukur untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan.119
117 Wulu disini yang dimaksudkan adalah wudhu'.,peneliti 118 Peneliti kurang setuju dengan niyat ini, karena dalam berbagai keterangan kitab-kitab salaf, berwudlu hanya untuk menghilangkan hadas kecil, sedang untuk menghilangkan hadas besar dengan cara mandi (besar).
65
Kemudian Ranggawarsito menuliskan lagi, Nunten sami dandos busana sarwi suci, boten kenging ingkang mawi emas: utaminipun menawi kersa ngagem kuluk. Lajeng angliga sarira, akokonyoh gandawida, sarta lingan kiwa, akalian sekar oncenoncen usus ayam karangkep tiga, wangun marga supana, utawi gombyok wakingan kados penganten enggal. Nunten ing pamejangan katata dipun pasangi tutuwuhan maju sekawan, sarta kadekekan lampit ingkang resik, lajeng ktumpangan gelaran pasir ingkang tigas, ing nginggil pisan katumpangan sinjang pethak (mori), saules lapis pitu, apesipun lapis tiga, mawi kasebaran sekar campur bawur. Dalam serat diatas Ronggowarsito menjelaskan bahwa, dalam belajar agama khususnya tauhid, setelah memperoleh niat yang benar maka dilanjutkan dengan tata-caranya. Sebagai guru, Ronggowarsito yang juga bernama Kyai Ageng Muhammad Sirrullah, dengan cerdas memilih strategi dan pendekatan yang tepat dengan memberi sentuhan budaya jawa agar murid tidak merasa asing dengan Metode ataupun tata-cara yang akan ditempuh. Dengan memakai sesaji dan wewangi yang memang lekat dengan budaya jawa diharapkan murid atau peserta didik merasa nyaman sehingga proses belajar mengajar bisa berjalan dengan nyaman pula. Selanjutnya, dalam serat diatas pula, ronggowarsito sudah memulai proses belajar dengan tidak boleh bermewah-mewah (cenderung bersikap sederhana dan zuhud) dalam proses belajar mengajar. Ronggowarsito menuliskan disitu tidak boleh menggunakan pakaian yang berbahan dari emas (boten kenging ingkang mawi emas). Beliau juga memilih tikar yang sederhana dan alas yang berbahan kain mori. Ini merupakan pelajaran yang diberikan Ronggowarsito kepada muridnya bahwa hidup itu harus berani lorolopo (laku tirakat). Pemakaian kain mori bisa diartikan Ronggowarsito (pendidik) ingin memberi pelajaran secara tidak langsung kepada peserta didik untuk tidak berlebih-lebihan dalam menjalani hidup karena yang akan dibawa dari dunia ini hanya kain mori dan amal semasa hidup, karena hidup itu sesaat ibarat mampir ngombe.
119 Dikutip dari Dinamika Pendidikan Islam: Sejarah, Ragam Dan Kelembagaan karya Dr. jamaludin Darwis (Semarang: RaSAIL, 2006). Baca lengkapnya di halaman 88.
66
Kemudian setelah itu Ronggowarsito ataupun para pendidik lain segara bersama-sama dengan murid (peserta didik) menuju ke tempat pemejangan yang telah disiapkan sebagaimana diatas. Ronggowarsito menulis demikian: Nunten ing ngantawis menawi sampun sirep tiyang utawi wanci tengah dalu sami tindak dhateng enggan pamejangan, ingkag badhe kawejangan lenggah majeng mangilen, sarta dudupa ratus kaasapaken ing talingan kiwa, lajeng ing grana, wekasan ing jaja, punika kawit kawejang gurunipun, mawi saksi sekawan ingkang sampun tunggil ngelmu. Setelah tengah malam, semua orang telah tidur, bersama-sama (guru dan murid) ke tempat memberi wejangan. Orang yang akan diwejang duduk menghadap ke arah barat, lalu membakar kemenyan, diasapkan telinga kiri, hidung dan akhirnya dada dengan di saksikan empat orang yang seilmu. Pemilihan waktu malam hari dilakukan Ronggowarsito maupun juga guru-guuru sebelumnya karena waktu malam lebih tenang dan hening. Suasana tenang dan hening ini dipilih dan disesuaikan dengan pemilihan tempat. Selanjutnya, setelah persiapan selesai guru menjelaskan ajaran tauhid secara bertahap dan berurutan. Dalam SWHJ ini, Ronggowarsito yang juga seorang guru, menjelaskan urut-urutannya. Namun mulai serat yang mengajarkan wejangan tauhid ini Ronggowarsito memindah sudut pandang sebagai orang pertama (sebagai guru). Adapaun
urut-urutan
wejangan
tauhid
sebagaimana
tukisan
Ronggowarsito yaitu pertama adalah ajaran adanya Tuhan, yang berbunyi : Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhingin iki Ingsun sajatining ora ana Pangeran nanging Ingsun, sajatining dat kang Maha Suci, angliputi ing sifatingsun, anartani ing asmaningsun, amratandhani ing afngalingsun. Sebenarnya tidak ada suatu apa pun sebab ketika masih kosong (awang-uwung) belum ada sesuatu, yang pertama adalah Aku (Allah),
67
tidak ada Tuhan kecuali Aku (Allah), hakekat Yang Maha Suci, meliputi segala sifat-Ku, memberitakan nama-Ku, menandai perbuatan-Ku. Jadi pendidikan tauhid yang Ronggowarsito (sebagaimana para wali dan guru sebelumnya) ajarkan kepada murid atau peserta didik adalah ajaran tentang adanya Tuhan. Bahwa Tuhan itu yang pertama (yang Awal) sebelum semua kejadian dan semua penciptaan. Sebelum penciptaan alam semesta, Allah SWT, telah bersemayam dalam nukat ghaib, tidak sama dengan kosong seperti pendapat Hadiwijono yang mengatakan, “bahwa hakikat Allah adalah kekosongan yang kekal”.120 Pendapat ini adalah kurang tepat, sebab Allah adalah Zat Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir. Hal ini sesuai dengan Firman Allah yang berbunyi :
﴾3: ﻢ ﴿ ﺍﳊﺪﻳﺪ ﻴﻋﻠ ﻲ ٍﺀ ﺷ ﻮ ﹺﺑ ﹸﻜﻞﱢ ﻭﻫ ﻦ ﻃ ﺎﺍﹾﻟﺒﺮ ﻭ ﻫ ﺍﻟﻈﱠﺎ ﻭﺧﺮ ﻭﹾﺍ َﻷ ﹸﻝﻮﹾﺍ َﻷﻭ ﻫ Dialah yang awal dan yang akhir, yang lahir dan yang batin, dan Dia mengetahui segala sesuatu. (QS. Al Hadid : 3)121 Ayat yang menyatakan bahwa Allahlah Yang Maha Awal dan Dia pula Yang Maha Akhir. Bila ditinjau dari sini, kita dapat lihat bahwa awang-uwung yang dimaksud bukanlah Allah, akan tetapi keadaan sebelum penciptaan yang masih kosong. Selain itu ada ayat kedua dari surat Al-Fatihah :
☺ ☺ “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta Alam” Lafal Rabb (Tuhan) dimaknai
secara lebih luas, yaitu sebagai
Tuhan yang mencipta dan merawat, dalam sunnatullah-Nya, segala
hlm. 59 485
120
Harun Hadiwijono, Kebatinan Islam Abad Enambelas, (Jakarta: Gunung Mulia, 1989),
121
Mahmud Junus, Tarjamah Al Qur’an dan Al Karim, (Bandung: Al Maarif, 1990), hlm
68
cipataan-Nya yang meliputi alam manusia, alam hewan, alam tumbuhan, benda-benda mati, semesta dan alam gaib.122 Hendaknya seorang guru tidak hanya mengenalkan adanya Tuhan sebagai Pencipta dan Perawat alam semesta ini dalam dalam dalil naqli saja, tetapi juga dengan dalil aqli. Sehingga perimbangan antara wahyu dan otak atau rasio. Hal ini juga bisa dimaksudkan unuk menambah keyakinan peserta didik atau murid, karena dalil naqli yang diperoleh ternyata tidak bertentangan dengan rasio mereka. Misal saja dengan memberi contoh dengan pemakaian logika humanis yang simple saja, bahwa dunia ini ada tentunya ada yang membuat atau mencipta. Yang mencipta itulah yang bernama “Tuhan”. Dan Tuhan itu menjadi sebab segala sesuatu. Dalam hukum kausalitas disebut sebagai “causa prima” (sebab utama yang tidak menjadi akibat, karena tidak ada sebab lagi di atasnya). Maka terasa sesuailah, ketika Ronggowarsito mengatakan dalam SWHJ “Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung durungana sawiji-wiji kang ana dhingin iki Ingsun sajatining ora anaPangeran nanging Ingsun …” Tuhan (Allah)-lah yang menjadi causa prima segala kejadian dan penciptaan. Muatan pendidikan ketauhidan yang ada pada ajaran pertama ini, juga sama dengan dalam Serat Wirid Maklumat Jati karangan R. Ng. Ranggawarsita. Sebagaimana yang dikutip oleh Dhanu, ajarannya yaitu : Sadurunge ana apa-apa, kahananing alam kabir karo alam zahir saisen-isene durung padha dumadi kabeh, kang ana dhigin dhewe amung Zat Kang Amaha Suci. Sajatining Zat Kang Amaha Suci iku asifat Esa, dibasakake zat mutlak kang kadim azali abadi, tegese asifat sawiji, kang amasthi dhigin dhewe nalika isih awang uwung…. Sebelum ada apa-apa, keadaan alam besar dan alam zahir seisinya belum ada yang menjadi semua. Yang terlebih dahulu hanyalah Zat Yang Maha Suci. Sesungguhnya Zat Yang Maha 122
Dikutip dari Al-Jumanatul ‘Ali, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur’an, Rev. Terjemah Oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an DEPAG RI (CV. PENERBIT J-ART, 2005), hlm. 1
69
Suci itu bersifat Esa, yang dinyatakan sebagai Zat mutlak yang awal abadi, yang bersifat tunggal yang berdiri sendiri ketika masih kosong….123 Jadi, awang-uwung merupakan istilah yang digunakan oleh R. Ng. Ranggawarsita untuk menggambarkan keadaan sebelum terjadinya penciptaan. Hal tersebut sebagaimana pendapat Zainuddin Ibnu Abdul Aziz Al Malybari dalam kitab Irsyadul Ibad, bahwa Allah itu qadim (dahulu) tidak ada permulaannya dan kekal tidak ada batas akhirnya dan sesungguhnya Tuhan adalah Tunggal, Esa, tidak ada yang menyamai baik sifat, nama maupun Zat-Nya.124 Kalimat berikutnya yang berarti, hakekat Yang Maha Suci, meliputi segala sifat-Ku, menyertai nama-Ku, menandai af’al-Ku. Kalimat tersebut sering diungkapkan oleh Ranggawarsita dalam beberapa karyanya yang lain yang berkaitan dengan ajaran tasawuf. Istilah ini merupakan ungkapan tentang Tuhan, yang sudah biasa digunakan dalam dunia tasawuf secara universal. Secara singkat pengertian Zat, Sifat, asma dan Af’al dapat diterangkan sebagai berikut : a. Zat dapat ditafsirkan sebagai Zat Tuhan yang hakikatnya tidak bisa dilihat karena tidak kelihatan, tetapi keberadaannya meliputi segala yang ada. Oleh karena itu, Zat Tuhan sering dikatakan tan kena kinaya ngapa, yang berarti Tuhan tidak dapat digambarkan sebagai apa dan tidak dapat dikatakan bagaimana keadaan-Nya. Untuk membatasi pengertian tentang Zat Tuhan Yang Maha Esa diberikan sifat-sifat yang dapat mengesakannya dalam segala-galanya, yang dapat membedakan-Nya dari makhluk. b. Sifat, sebenarnya merupakan sebutan setelah adanya Zat. Dalam karya Ranggawarsita dikatakan bahwa Tuhan memiliki berbagai sifat,
123
Dhanu Priyo Prabowo, Pengaruh Islam dalam Karya-karya R. Ng. Ranggawarsita, (Yogyakarta: Narasi, 2003), hlm.120. 124 Zainuddin Ibnu Abdul Aziz Al Malybari, Irsyadul Ibad, terj. Mahrus Ali, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), hlm. 10
70
misalnya hayyu (hidup), Zat Kang Wisesa (Zat Yang Maha Kuasa), Zat Kang Sampurna. c. Asma dapat ditafsirkan sebagai nama Tuhan, sebagaimana yang terangkum dalam Asmaul Husna. d. Af’al merupakan kerja atau perbuatan Tuhan. Dalam berbuat Tuhan tidak membutuhkan bantuan sebab kekuasaan-Nya bersifat Mutlak.125 Dengan demikian, keempat istilah tersebut dapat dibedakan, namun keempatnya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, keempatnya saling berhubungan. Muatan pendidikan tauhid yang ada pada ajaran pertama ini mengandung pengertian bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Suci, Yang Maha Esa, Maha Awal, yang mencipatakan alam semesta. Alam semesta ini ada karena diciptan oleh Allah. Jadi Dia ada sebelum adanya alam semesta ini, dan Zat Allah itu ada meliputi Asma, Sifat dan Af’al-Nya. Sesudah mengajarkan peserta didik atau murid memperoleh pengetahuan bahwa alam semesta ini ada yang menciptakan, yaitu Tuhan, Allah SWT, Ronggowarsito mengajarkan dan menjelaskan ajaran tauhid tahap yang kedua yaitu : Ajaran tentang wahana zat, yang berbunyi : Sajatine Ingsun Dat kang Amurba Amisesa kang kawasa anitahaken sawiji-wiji, dadi padha sanalika, sampurna saka ing kodratingsun, Ing kene wus kanyatan pratandhaning apngalingsun kang minangka bebukaning iradatingsun.126 Sesungguhnya Aku (Allah) Zat Yang Maha Kuasa menciptakan segala sesuatunya, menjadikan seketika, sempurna atas kodratKu. Di situlah kenyataan menunjukklan af’al-Ku yang merupakan pembuka iradat-Ku. Ronggowarsito menjelaskan dalam ajaran kedua, tentang wedaran wahananing zat (ajaran tentang kejadian zat) ini, bahwa Aku (Allah) adalah Zat Yang Maha Kuasa, berkuasa untuk menciptakan barang apapun juga yang ada di alam semesta beserta isinya. Sesuatu itu bisa tercipta 125 126
Dhanu Priyo Prabowo, op. cit., hlm. 124-125 R. Ng. Ranggawarsita, op. cit., hlm. 5
71
dengan cepat dan sempurna karena sudah menjadi Kuasa dan kehendak Allah sendiri. Selain itu Ronggowarsito juga menerangkan melalui serat ini bahwa selain Allah itu Maha Pencipta juga mempunyai sifat Maha Suci, Maha Luhur dan bersifat kekal. Kata ‘Aku’ di sini, merujuk pada ‘Aku’ Tuhan (Allah) bukan ‘Aku’ manusia. Namun dalam serat ini, Ronggowarsito maupun guru-guru sebelumnya hanya menerangkan sedikit tentang 'af'al Allah yang juga meupaka sifat jaiz bagi Allah SWT. Hendaknya para pendidik setelah mengajarkan ajaran tentang adanya Tuhan (Allah SWT) langsung mengajarkan tentang sifat wajib, sifat muhal dan sifat jaiz bagi Allah SWT. Hal ini dimaksudkan untuk menambah pengenalan peserta didik kepada Allah SWT. Meskipun pada pengajaran dalam wirid di atas hanya disebutkan sedikit, mengenai sifat Allah (Dat kang amurba amisesa dan iradat) tetapi sebagai pendidik harus mengajarkan keseluruhan sifat, asma dan af’al Allah SWT secara keseluruhan. Adapun sifat wajib bagi Allah itu ada 20 dan sifat muhal Allah juga ada 20 diantara yaitu wujud yang berarti ada. Lawannya (yang menjadi sifat muhal bagi Allah) adalah ‘adam artinya tidak ada. Selanjutnya qidam artinya Allah itu dahulu dan tidak ada yang mendahului, lawannya adalah huduts artinya baru. Baqa’ artinya abadi, lawannya adalah fana’ artinya rusak. Mukholafatu li al-hawadits artinya tidak serupa (berbeda) dari seluruh makhluk, lawannya adalah mumatsalatu li alkhawadits artinya Allah itu meneyerupai makhluk. Sifat wajib yang selanjutnya adalah qiyamuhu binafsihi artinya Allah SWT ada (berdiri) dengan dzat dan kuasa-Nya sendiri, lawannya adalah ihtiyaj artinya Allah SWT membutuhkan sesuatu yang lain untuk ada. Wahdaniyat artinya Allah SWT itu Esa, lawannya adalah ta’addud artinya Allah itu berbilang. Sifat wajib Allah selanjutnya adalah qudrat artinya kuasa Allah untuk mewujudkan atau meniadakan segala sesuatu. Lawannya adalah ‘ajzu artinya Allah itu tidak mampu. Selanjutnya iradat
72
artinya
kemungkinan
Allah
untuk
menciptakan
sesuatu
atau
meniadakannya, lawannya adalah karahah. ‘ilmu artinya adalah Alla mengetahui segala sesuatu, lawannya adalah jahlu artinya Allah itu bodoh dan tidak mengetahui segala sesuatu. Selanjutnya hayat artinya Allah itu hidup dan pernah mati, lawannya adalah maut artinya Allah itu mati. Sama' artinya Allah mendengar segala sesuatu, lawannya adalah shummun artinya Allah itu tuli. Bashirun artinya Allah itu melihat segala sesuatu, baik yang jelas maupun yang samar, lawannya adalah ‘umyun artinya Allah itu buta tidak bisa melihat. Selanjutnya adalah kalam adalah Allah itu berbicara, akan tetapi kalam Allah tidak berhuruf dan tidak bersuara. Lawannya adalah bukmu artinya Allah itu bisu, dan seterusnya. Sedang sifat jaiz bagi Allah ada satu yang juga disebut sebagai ‘af’al Allah SWT, yaitu: Allah berhak menciptakan sesuatu atau tidak menciptakannya, tidak ada yang yang bagi Allah untuk menciptakan sesuatu atau meniadakan sesuatu.127 Jika ada yang mewajibkan Allah untuk mencipta atau meniadakan sesuatu berarti Allah bukan Tuhan yang “causa prima”, dan itu jelas muhal atau tidak mungkin. Pada ajaran ini, Ronggowarsito atau pendidik menjelaskan kepada peserda didik mengenai kejadian segala sesuatu. Af’al Allah SWT dalam menciptakan segala sesuatu. Jadi sesuai dengan Wirid di atas, ketika Allah SWT menghendaki segala sesuatu, Ia hanya tinggal mengucapkan maka akan terjadi (tercipta). Allah menciptakan segala sesuatunya menjadi seketika dengan sabda Ilahi kun fa yakun (ada lalu berada), yaitu sabda yang mengungkapkan penjadian alam semesta karena perintah Allah. Menurut Hamzah Fansuri, Allah menciptakan segala sesuatu menjadi seketika dengan sabda kun fa yakun. Maksudnya sesuatu bisa terjadi dengan melalui proses yaitu dari yang sudah ada menjadi berada, sebab sabda Ilahi ini ialah segala realitas akali yang masih terpendam itu keluar sebagai 127 Dikutip dari kitab Tijan Al-Darari karya Syekh Ibrahim Al-Bajuri (Jakarta:Karya Insan Indonesia, TT) hlm, 3-10
73
dunia gejala. Misalnya pohon itu berada karena sudah ada bijinya (perbendaharaannya).128 Dengan demikian alam seisinya bisa tercipta dengan sempurna karena perbuatan Allah, yang sudah menjadi kuasa Allah untuk berkehendak. Kehendak (iradah) Allah ini menurut ajaran Ahli sunnah wal Jamaah ada dua yaitu : a. Iradah Kauniyah, yaitu adanya kehendak Allah namun tidak harus disenangi-Nya, atau dalam istilah lain disebut masy’iyah. Sebagaimana Firman Allah, “Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka tebunuh. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendakinya”. (Al Baqarah : 253). b. Iradah Syar’iyah, yaitu kehendak yang tidak mesti harus terjadi namun kehendak ini disenangi oleh Allah. Kedua iradah tersebut adalah berdasarkan hikmah dan hikmah itu hanya Allah yang mengetahui dengan sebenarnya. Manusia mungkin tahu sebagian atau tidak sama sekali akan hikmah apa yang terjadi, karena jangkauan akal manusia yang sangat terbatas. Dalam terminologi syariat Islam, istilah tauhid ini disebut tauhid rubbubiyah, yang berarti percaya bahwa hanya Allahlah satu-satunya Pencipta, Penguasa, Pemilik, Pengendali makhluk dan alam raya dengan kehendak-Nya. Ia menghidupkan dan mematikan serta mengendalikan alam seisinya dengan sunnah-sunnah-Nya. Setelah itu Ronggowarsito melanjutkan materi pendidikan tauhid yang selanjutnya, yang ketiga, dalan SWHJ adalah ajaran Peneguh Keimanan, yang berbunyi : Ingsun anekseni, satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun, lan anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Aku (Allah), dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Ku. 128
Harun Hadiwijono, op. cit., hlm. 45
74
Dalam ajaran tersebut ronggowarsito menerangkan tentang hakikat tauhid (kenyataan Allah Yang Maha Esa). Ajaran ini dalam Wirid Hidayat Jati disebut panetep santosaning iman (penguat sentosanya iman). Ronggowarsito mengawali dengan syahadad jati (kesaksian nyata) sebab mengajarkan dengan jalan memberi tahu secara batin tentang penguat keyakinan manusia, dalam menghayati yang senyata-nyatanya hidupnya sendiri. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah Zat Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan yang patut disembah selain diri-Nya, maka manusia hidup dan tunduk hanya untuk Allah. Setelah mengetahui ajaran tentang adanya Tuhan (Allah SWT), dan wedharan wahananing dat, maka peserta didik bertambah keyakinannya dan melakukan kesaksian yang dalam Islam disebut dengan syahadat. Syahadat dalam islam sendiri terbagi menjadi dua yaitu: syahadat tauhid dan syahadat rasul. Syahadat tauhid adalah pengesaan terhadap Allah SWT, menyaksikan bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang wajib di taati dan disembah. Ini tertuang dalam lafal “asyhadu an laa ilaaha illa Allah”. Sedang syahadat rasul adalah persaksian bahwa Muhammad saw, benar-benar utusan-Nya yang membawa risalah dan ajaran agama islam. Ini tertuang dalam lafal “ wa asyhadu anna Muhammad rasulullah”. Setelah melakukan syahadat, seorang murid atau peserta didik secara umum sudah dianggap mukmin sehingga sudah terkena beban taklif, sehingga sudah bisa dikenai kewajiban dan segala hukum-hukum dalam Islam beserta resikonya (dosa dan pahala). Tauhid manusia tidak akan sempurna hingga dia bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah. Jadi dia meniadakan uluhiyyah dari apa saja selain Allah dan menetapkan uluhiyyah untuk Allah saja. Selanjutnya Kata ‘Aku’ pada kalimat kedua (Aku bersaksi) menunjukkan keakuan manusia dan kata ‘Aku’ berikutnya (Muhammad adalah utusan-Ku) menunjukkan keakuan Tuhan (Allah), sama dengan penjelasan di atas.
75
Dengan demikian ajaran ketauhidan yang ada dalam SWHJ ini, nampaknya merupakan kelanjutan dari paham tasawuf yang dibawa oleh Mansur Al Hallaj, yang mana menurut Muhammad Daud Ali ajaran itu disebut sebagai tasawuf falsafi yang menganut aliran fana, karena teoriteori yang dikemukakannya banyak mengandung unsur-unsur filsafat.129 Sedang tasawuf sendiri menurut Junaidi Al Bagdadi tidak bertentangan dengan syariat, karena tasawuf berdasarkan Al Qur’an dan Hadis. Tasawuf merupan bentuk pengalaman syariat secara sangat intensif atau bersungguh- sungguh dengan memberikan perhatian utama pada sikap hati atau batin.130 Pendidikan tauhid pada ajaran ini mengandug pengertian bahwa Allah itu Zat Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, yang diutus untuk menyampaikan risalah Islam kepada umatnya. Dengan demikian seseorang bisa dikatakan muslim manakala ia mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut. Selanjutnya, Ronggowarsito mengajarkan dan menjelaskan materi pendidikan tauhid dalam SWHJ, yang keempat, adalah ajaran Sasahidan, berbunyi :
Ingsun anekseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pengeran anging Ingsun, lan anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku cahyaningsun, iya Ingsun kang kang Urip tan kena ing pati, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kakurangan ing pangerti, byar sampurna padhang terawangan, ora karasa apa-apa, ora katon apa-apa, amung Ingsun kang angliputi ing ngalam kabeh kalawan kodratingsun. Aku bersaksi kepada Zat-Ku sendiri, bahwa sesungguhnya tidak 129
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), cet. IV, hlm. 161 130 Ibid, hlm. 159
76
ada Tuhan selain Aku (Allah), dan Aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku, sesungguhnya yang bernama Allah itu badan-Ku, Rasul Rahsa-Ku, Muhammad cahya-Ku. Akulah (Allah) yang hidup tidak akan mati. Akulah (Allah) yang selalu ingat tidak akan lupa. Akulah (Allah) yang kekal tidak ada perubahan dalam segala keadaan. Akulah (Allah) yang bijaksana tiada kekurangannya di dalam pengertian, sempurna terang benderang, tidak terasa, tidak kelihatan, hanya Aku (Allah) yang meliputi alam semesta, karena kodrat-Ku. Ajaran ini pada dasarnya merupakan penjabaran dari ajaran sebelumnya (Sasahidan), yaitu sebagai penjelasannya. Kata ‘Aku’ di sini adalah ‘Aku’ manusia, sebagaimana penjelasan di atas. Sedang kata “ZatKu sendiri” maksudnya adalah Zat Allah yang menciptakan manusia dan alam semesta ini beserta pengaturannya. Jadi maksud dari ajaran ini ialah aku (manusia) bersaksi kepada Zat Allah sendiri Yang Maha Esa dan Maha Suci yang menciptakan manusia dan alam semesta beserta pengaturannya. Pada bagian yang berbunyi “tiada Tuhan kecuali Aku” adalah kalimat pernyataan manusia tentang kemahaesaan Allah, sebagaimana yang ada dalam Al Qur’an Surat Al Anbiya’, ayat 25 yang berarti “Tidak ada Tuhan kecuali Aku (Allah)”.131 Kalimat tersebut setiap kali diulang di dalam segala ajaran dengan perubahan disana-sini. Menurut R. Ng. Ranggawarsita, ajaran ini diangkat atau diucapkan sesudah mengetahui arti syahadat jati, kemudian mengangkat saksi dari segala makhluk yang terbentang di alam dunia seperti : bumi, langit, matahari, bulan, bintang, api, angin, air dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar semuanya menjadi saksi, bahwa manusia telah mengakui Allah adalah Zat Yang Maha Esa dan semua yang ada di alam semesta adalah ciptaan-Nya. Kalimat tersebut diucapkan dalam batin.132
131 132
Mahmud Junus, op. cit., hlm 477 R. Ng. Ronggowarsito, op. cit., hlm. 41
77
Muatan pendidikan tauhid dalam SWHJ selanjutnya yaitu mengenai nama dan sifat yang dimiliki oleh Allah. Dalam SWHJ ini nama dan sifat yang dimiliki oleh Allah di antaranya yaitu Aku (Allah) yang hidup tidak kenal mati, yang ingat tidak kenal lupa, yang abadi tidak kenal perubahan keadaan sejati, yang waspada tidak samar kepada masingmasing, yang perkasa, yang kuasa dan bijaksana, tidak kekurangan pengertian, Allah Zat Yang Maha Kuasa yang meliputi semua alam dengan kehendak Allah sendiri. Sifat-sifat Allah dalam serat tersebut merupakan bagian dari beberapa sifat Allah yang ada dalam Al Qur’an. Sifat sifat Allah disebut dalam Al Qur’an dengan nama-nama yang indah (Asmaul Husna) yang berjumlah 99. Setelah itu Ronggowarsito juga menerangkan dalam tulisannya andaikata murid atau peserta didik masih kurang faham dengan ajaran yang telah disampaikan dan ingin menambah pengetahuan dan pemahaman dengan berguru pada orang lain, maka ia diperbolehkan dengan syarat meminta ijin dulu kepada guru sebelumnya. Dalam tulisannya ia mengatakan demikian : Kajawinipun saking mekaten, saumpami ingkang kawejang wau dereng anarimah, utawi taksih kirang padhang ing panampinipun, menawi badhe anggeguru ing sanesipun malih mboten dados punapa, angger anedha idining guru ingkang amejang ngelmu punika. B. Nilai Pendidikan Tauhid dalam SWHJ 1
Nilai Rububiyah Nilai pendidikan tauhid yang dapat diambil dalam serat tersebut adalah nilai rububiyah. Suatu kepercayaan bahwa yang menciptakan alam semesta beserta isinya ini, hanyalah Allah sendiri tanpa bantuan siapapun. Atau dengan kata lain, alam semesta ini ada, tidak berada dengan sendirinya tetapi ada yang menciptakan yaitu Allah, sebab sebelum alam semesta ini ada Allahlah yang pertama kali ada.
78
R Ngabehi Ronggowarsito dalam SWHJ, menunjukkan bahwa hendaknya tauhid rububiyyah ini diajarkan atau dijelaskan kali pertama dalam pengajaran tauhid. Hal ini sebagaimana yang diajarkan dalam serat tersebut yaitu : Sajatine Ingsun Dat kang Amurba Amisesa kang kawasa anitahaken sawiji-wiji, dadi padha sanalika, sampurna saka ing kodrat Ingsun, Ing kana wus kanyatan pratandhaning apngal Ingsun kang minangka bebukaning Iradat Ingsun.133 Sesungguhnya Aku (Allah) Zat Yang Maha Kuasa menciptakan segala sesuatunya, menjadikan seketika, sempurna atas kodratKu. Disitulah kenyataan menunjukklan af’al-Ku (perbuatan-Ku) yang merupakan pembuka iradat-Ku. Dengan adanya Allah sebagai Zat pencipta alam semesta beserta isinya maka manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya harus mengakui dan mengagungkan Allah. Manusia harus bertuhan hanya kepada Allah, tidak kepada yang lain. Pengakuan akan kekuasaan Allah dalam penciptaan alam semesta beserta pengaturannya ini, sebagaimana yang diterangkan dalam Firman Allah
(16 : ﺭ )ﺍﻟﺮﻋﺪ ﺎﺪ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﻬ ﺣ ﺍﻮ ﺍﹾﻟﻮ ﻭﻫ ﻲ ٍﺀ ﺷ ﹸﻛﻞﱢﻟﻖﺎﻪ ﺧ ﻗﹸ ﹺﻞ ﺍﻟﱠﻠ katakanlah : “Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dialah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa”.(QS. Ar_Ra’du: 16).134 Pengertian rububiyah ialah “kepercayaan bahwa pencipta alam ini adalah Allah, tetapi ia tidak mengabdi kepada- Nya saja”. Pengertian ini jelas, kemutlakan Allah dalam segala sifat dan nama-Nya, tidak murni lagi. Dia masih terbatas pada lingkungan dan situasi, sehingga orang boleh saja suatu saat tunduk pada-Nya namun dilain waktu ia menghindarinya dan tunduk pada selain Allah misalnya menyembah berhala. Tauhid inilah yang pernah dilakukan oleh kaum kafir Quraisy yang menyembah berhala, mereka percaya adanya Tuhan Yang Maha Pencipta 133 134
R. Ng. Ronggowarsito, op. cit., hlm. 18 Mahmud Junus, op. cit., hlm. 227
79
namun ia tetap menyembah berhala.135 Dengan demikian, tauhid rububiyah akan rusak apabila ada pengakuan bahwa yang mengurus alam ini ada dua Tuhan atau lebih. Keyakinan akan banyaknya Tuhan akan merusak akal dalam memahami alam dan merusak paham terhadap tugastugas keagamaan, bahkan merusak pengetahuan manusia terhadap hakikat manusia, sebagaimana Firman Allah:
ﺼﻔﹸﻮ ﹶﻥ ﻳ ﺎﻋﻤ ﺵ ﺮ ﹺ ﻌ ﺏ ﺍﹾﻟ ﺭ ّﹺ ﷲ ِ ﻦ ﺍ ﺤﺴﺒ ﺎ ﹶﻓﺪﺗ ﺴ ﻪ ﹶﻟ ﹶﻔ ﻬ ﹲﺔ ﹺﺇﻟﱠﺎ ﺍﻟﱠﻠ ﻟﺎ َﺁﻴ ﹺﻬﻤﻮ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻓ ﹶﻟ (22 : )ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada 136 apa yang mereka sifatkan. (QS. Al_Anbiya’:22)
Islam mengajarkan bahwa adanya Tuhan Yang Maha Kuasa, Dialah Pencipta alam semesta dan seisinya. Inilah akidah yang harus diimani dalam hati setiap insan yang dibuktikan dalam pengalaman. Akal yang sehat tidaklah dapat memungkiri adanya Tuhan Yang Maha Pencipta karena setiap makhluk atau ciptaan pasti ada yang menciptakannya (khalik). Ketika akal fikiran manusia telah mencapai pengakuan terhadap adanya tuhan (Allah) maka kesadaran mengharuskan beriman, dan jika beriman maka keimanan itu akan berpindah kepada fase lain yaitu keyakinan bahwa seluruh alam semesta ini tercipta oleh Pencipta Yang Agung. Sesungguhnya orang yang beranggapan bahwa dirinya adalah ciptaan Allah dan kelangsungan hidupnya tergantung pada pengaturan daya Yang Bijaksana, tidak mungkin akan berbuat sesuatu tanpa memperdulikan perintah penciptanya. Dengan pandangan yang realistis ini 135
Abdurrahman An Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fil Baiti wal Madrasati wal Mujtama, terj. Shihabuddin, Pendidikan di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hlm. 87 136 Mahmud Junus, op. cit., hlm. 292
80
dia melihat bahwa jasad, ruh, akal dan nuraninya adalah ciptaan Allah._Oleh karena itu dia berkeyakinan bahwa Allah adalah penciptanya dan pemiliknya yang hakiki. 2
Nilai Uluhiyyah Nilai Uluhiyah yang dimaksud di sini ialah pengakuan dan keyakinan akan adanya Allah sebagai satu-satunya Tuhan, dengan kata lain meyakini bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Dengan keesaan Allah maka manusia hanya bersujud kepada Allah dan wajib mentaati perintahNya serta menjauhi larangan-Nya.137 Uluhiyah inilah yang dibawa oleh para rasul Allah di muka bumi ini. Ronggowarsito menjelaskan tentang tauhid pendidikan uluhiyyah ini dalam ajaran peneguh sentosaning iman dan sasahidan. Ia menulis dan mengajarkan peneguh sentosaning iman demikian : Ingsun anekseni, satuhune ora ana pangeran anging Ingsun, lan anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun. Setelah itu Ronggowarsito mengajarkan wejangan sasahidannya demikian: Ingsun anekseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pengeran anging Ingsun, lan anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku cahyaningsun, iya Ingsun kang urip ora kena ing pati, iya Ingsun kang eling ora kena ing lali, iya Ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar sampurna padhang terawangan, ora karasa apa-apa, ora katon apa-apa, amung Ingsun kang angliputi ing alam kabeh kalawan kodratingsun. Hal ini sesuai dengan berbagai dalil naqli dalam Al-Qur'an. Adapun di antara ayat yang menyatakan keesaan Allah ialah
(163 :ﻢ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ﻴﺮﺣ ﻦ ﺍﻟ ﻤ ﺣ ﻮ ﺍﻟﺮ ﻪ ﹺﺇﻷﱠ ﻫ ﺪ ﹶﻻ ﹺﺇﹶﻟ ﺣ ﺍﻪ ﻭ ﻢ ﹺﺇﹶﻟ ﻜﹸﻭﹺﺇﹶﻟﻬ Adapun Tuhanmu itu adalah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan melainkan dia yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (QS. Al Baqarah : 163).138 137 138
Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hlm. 17 Mahmud Junus, op. cit., hlm. 23
81
Menurut pendapat Muhammad Thahir Badrie, batasan uluhiyyah adalah “kepercayaan untuk menetapkan bahwa sifat ketuhanan itu hanyalah milik Allah belaka dengan penyaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang dilahirkan dengan mengucapkan kalimat Thayibah Laa ilaaha illallah”.139 Selain itu makhluk hanya berbakti kepada Allah saja. Jika ia mendapat musibah, ia lari, mengadu dan berserah diri hanya kepada Allah, kalau ia mengerjakan amalan maka tujuan utamanya hanya Allah semata. Hal ini sebagaimana keyakinan akan keesaan Allah dalam Wirid Hidayat Jati yang diajarkan dan tulis oleh Ronggowarsito, dalam serat disebut Panetep Santosaning Iman, yang berbunyi Ingsun anekseni, satuhune ora ana pangeran amung Ingsun, lan anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun.140 Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Aku (Allah), dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Ku. Ajaran tersebut menerangkan tentang kenyataan Allah adalah Zat Yang Maha Esa. Syahadat ini mengajarkan dengan jalan memberi tahu secara batin tentang penguat keyakinan manusia, dalam menghayati yang senyata-nyatanya hidup manusia pribadi bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah, manusia bisa hidup karena diberi kehidupan oleh Allah. Oleh karena itu manusia harus beri’tiqad bahwa Allah adalah Maha Esa dan wajib mentaati segala perintah dan larangan-Nya. Selanjutnya keyakinan akan keesaan Allah juga diajarkan oleh Ronggowarsito dalam ajaran Sasahidan yang berbunyi: Ingsun Anekseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pengeran amung Ingsun, lan nekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun. Ronggowarsito menerangkan bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku (Allah), dan Aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku. Kalimat yang mempunyai arti, Aku bersaksi, 139 140
Muhammad Thahir Badrie, op. cit., hlm. 25 Ronggowarsito, Wirid Hidayat Jati, terj. R. Tanojo, (Surakarta: t. p, 1954), hlm. 10
82
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Kalimat syahadat ini merupakan revolusi rohani yang Maha Dasyat, sebuah proklamasi kemerdekaan jiwa dari penjajahan ilahilah yang tercipta dalam sejarah; sebagaimana yang dialami Nabi Ibrahaim dalam masa pencarian Tuhan Yang Maha Benar. Apabila kalimat tersebut dianalis dengan arti kata “ilah” sebagai pelindung, yang menguasai aturan hukum alam, penguasa yang tunggal, yang ditaati, maka akan didapati implikasi yang dapat menimbulkan statemen bahwa tidak ada pelindung, tidak ada penguasa tunggal, tidak ada yang ditaati secara mutlak kecuali Allah SWT. Dengan mengetahui makna tersebut tanpa ada pengamalan dalam keseharian, manusia tidak akan pernah dapat menyadari pentingnya ajaran Islam. Perbedaan antara orang yang beriman dengan orang yang tidak beriman bukan hanya terletak pada kalimat tauhid (syahadat) saja, sebab beberapa kata tidak akan dapat membuat perbedaan yang begitu besar diantara manusia. Kekuatan yang sesungguhnya terletak pada penerimaan secara utuh dan mutlak terhadap ajaran Islam dan penerapannya di dalam kehidupan nyata. Hal ini disebabkan, tauhid dalam Islam diyakini sebagai tauhid i’tiqodi ilmi (keyakinan teoritis) dan tauhid amali suluki (tingka laku praktis). Syahadat yang benar adalah harus mendasarkan atas pengetahuan dan pengertian terhadap apa yang diyakini kebenarannya. Dalam hal ini syahadat yang benar yang harus dimulai dengan ilmu pengetahuan dan pengertian yang benar tentang Allah SWT. sehingga syahadat dapat dikatakan sebagai puncak klimak, titik kulminasi dan keseimbangan akhir dari pengetahuan, pengertian, kesadaran seseorang tentang wujud Allah dan ke-illahi-an-Nya. Hal ini sebagaimana dalam ajaran Wirid Hidayat Jati, sebelum mengajarkan tentang syahadat terlebih dahulu di mulai dengan pengetahuan dan pengertian tentang keesaan Allah beserta penciptaanNya, yaitu bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Esa dan Maha Awal
83
sebelum penciptaan alam semesta (ajaran adanya Zat), kemudian menyadari tentang penciptaan alam semesta (ajaran wahana Zat Yang Maha Kuasa) setelah mengetahui, mengerti dan menyadari tentang wujud Allah beserta keilahian-Nya, baru kemudian menegaskan kalimat syahadat la ilaaha ilallah. Dengan demikian penanaman tauhid ke dalam diri manusia akan membawa manusia pada kedudukannya yang mulia dan menghendaki manusia untuk memakai atribut manusia tauhid yang bertaqwa. Manusia tauhid ini merupakan manusia yang hidup dengan nilai-nilai ilahiyah, yaitu manusia yang mengaktualisasikan nilai-nilai ketuhanan. Misalnya Allah Maha Penyayang, maka manusia sebagai makhluk-Nya hendaknya dapat
mengimplementasikan
nilai
ketauhidannya
yaitu
dengan
menyayangi sesama manusia dan sesama makhluk lainnya, Allah Maha Penolong maka manusia hendaknya hidup saling menolong dengan sesama makhluk. 3
Nilai Asma dan Sifat Nilai Asma dan Sifat ini maksudnya adalah suatu kepercayaan dan keyakinan bahwa hanya Allah sendirilah yang berhak atas nama dan sifatsifat-Nya. Dari pengertian itu, jelaslah bahwa asma wa sifat Allah berdiri di atas tiga asas yaitu: a. Meyakini bahwa Allah Maha Suci dari kemiripan dengan makhluk dan dari segala kekurangan. b. Mengimani seluruh nama dan sifat Allah yang ada dalam Al Qur’an dan Hadis tanpa mengurangi atau menambahi, dan tanpa mengubah atau mengabaikan. c. Menutup keinginan untuk mengetahui kaifiyah (kondisi) sifat-sifat itu. Dalam SWHJ Ronggowarsito mengajarkannya dalam dalam sebagian wirid wejangan sasahidan yang berbunyi '.., iya Ingsun kang urip ora kena ing pati, iya Ingsun kang eling ora kena inglali, iya Ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawijiwiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora
84
kukurangan ing pangerti, byar sampurna padhang terawangan, ora karasa apa-apa, ora katon apa-apa, amung Ingsun kang angliputi ing alam kabeh kalawan kodratingsun. Untuk mentauhidkan nama dan sifat-Nya Ronggowarsito menerangkan dengan cara mensucikan dan mengagungkan Allah dalam kesempurnanNya. Dalam
pendidikan
ini,
Ronggowarsito
menegaskan
dan
menjelaskan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang tidak sama dalam subtansi dan kapasitasnya dengan makhluk. Perbedaan itupun mesti diyakini walaupun dari segi bahasa yang digunakan untuk merujuk sifat tersebut sama. Allah menyerukan kepada setiap muslim agar mensucikan-Nya dari sifat-sifat negatif, yaitu memiliki sifat yang tidak beristri, tidak bersekutu, tidak memiliki tandingan dan menyuruh manusia agar hanya berlindung kepada-Nya. Dia tidak memerlukan istirahat, tidak mengantuk dan lelah. Dia tidak mati, tidak bodoh, tidak lupa dan tidak memiliki sifatsifat kekurangan lainnya. Hal tersebut sebagaimana dalam ajaran SWHJ yang ada pada ajaran adanya Zat yang menerangkan bahwa, sesungguhnya Yang Maha suci itu meliputi sifat-Ku (Allah), menyertai nama-Ku (Allah), menunjukkan kepada perbuatan-Ku (Allah). Selain itu ajaran tentang mensucikan asma dan sifat Allah yaitu ada pada ajaran Sasahidan yang artinya ; Akulah (Allah) yang hidup tidak akan mati, Akulah yang selalu ingat tidak akan lupa, Akulah yang kekal tidak ada perubahan dalam segala keadaan, Akulah yang bijaksana tidak ada kekurangan di dalam pengertian, sempurna terang benderang tidak terasa tidak kelihatan, hanya Aku yang meliputi alam semesta karena kodrat-Ku.141 Ajaran tersebut mengajarkan bahwa nama dan sifat Allah itu suci dan sempurna, tidak ada kekurangan sedikitpun. Islam telah mengajarkan tentang
sembilan
puluh
sembilan
nama-nama
Tuhan,
untuk
mengungkapkan kekuasaan-Nya di dunia dan pemeliharaan atas-Nya, 141
R. Ng. Ronggowarsito, dkk., Hidayat Jati Kawedhar Sinartan Wawasan Islam, (Surabaya : Citra Jaya, 1984), hlm. 99
85
tetapi ia menekankan bahwa “Tiada sesuatupun yang serupa seperti Dia”. Firman Allah ﺝ
ﺎﺍﺟﺯﻭ ﺎ ﹺﻡ ﹶﺃﻧﻌﻦ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﻣ ﻭ ﺎﺍﺟﺯﻭ ﻢ ﹶﺃ ﺴﻜﹸ ِ ﻧﻔﹸﻦ ﹶﺃ ﻣ ﻢ ﻌ ﹶﻞ ﹶﻟ ﹸﻜ ﺟ ﺽ ﻁ ﺭ ﹺ ﻭﹾﺍ َﻷ ﺕ ﺍﺎﻭﺴﻤ ﺍﻟﻃﺮ ﻓﹶﺎ (11 : )ﺍﻟﺸﻮﺭﻯﺼﲑ ﺒﻊ ﺍﹾﻟ ﻴﺴﻤ ﻮ ﺍﻟ ﻭﻫ ﻲ ٌﺀ ﺷ ﻪ ﻠﻤﹾﺜ ﺲ ﹶﻛ ﻴﻪ ﻁ ﹶﻟ ﻴﻢ ﻓ ﻛﹸﺭﺅ ﻳ ﹾﺬ (Dia) Pencipta langit dan bumi. dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat. (Q.S. Asy Syura: 11).142 Dalam ayat kursi Allah SWT. telah mensifati diri-Nya sendiri dengan sifat Tuhan Yang Maha Tinggi, yang berhak disembah secara hakiki seperti Maha Hidup, Maha Berdiri Sendiri, Maha Memiliki, Maha Berilmu, Maha Kuasa dan sebagainya. Namun dalam ayat tersebut Allah juga merinci sifat-sifat kekurangan yang dinafikan, misalnya kalimat "
ﻡ ﻮ ﻧ ﻭ ﹶﻻ ﻨ ﹲﺔﺳ ﺬﹸﻩﺗ ﹾﺄﺧ " ﹶﻻyang berarti, “Dia tidak mengantuk dan tidak pula
tidur”.143 Ayat ini menegaskan bahwa sembahan yang hak, tidak bisa dikuasai oleh rasa kantuk dan tidak pernah jatuh ke dalam tidur. Dia suci dari sifat kekurangan dan sifat-sifat_yang serupa dengan makhluknya. Dengan demikian, walaupun sebutan dan kata asma wa sifat Tuhan menyerupai manusia, akan tetapi hakikat dari nama-nama itu tidaklah sama
dengan
apa
yang
berlaku
pada
makhluk
atau
manusia,
transendensinya selalu terjaga di dalam Al Qur’an. Kaitannya dengan pendidikan tauhid, dimensi asma dan sifat memegang peranan yang sangat penting. Diibaratkan seseorang tidak akan sayang kepada orang lain kalau dia sendiri tidak mengenal orang tersebut, begitu juga halnya jika dikaitkan dengan Allah. Seorang hamba akan lebih dekat dengan Tuhannya manakala ada suatu proses pengenalan dengan Tuhannya (Allah) yaitu pengenalan dengan nama dan sifat-Nya. Dengan 142 143
Mahmud Junus, op. cit.,, hlm. 436 Ibid, hlm. 39
86
mengenal nama dan sifat-Nya, seorang hamba akan mencoba memahami apa keinginan Tuhannya, yang disukai dan yang dibenci tuhannya sehingga pengenalan itu nantinya menimbulkan kecintaan pada Tuhan (Allah).
BAB V PENTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan analisis skripsi yang berjudul “Nilai Pendidikan Tauhid Dalam Serat Wirid Hidayat Jati Karya R. Ng. Ranggawarsita”, dapat ditarik beberapa kesimpulan 1
Dalam khasanah sastra Jawa, nilai pendidikan religius banyak tersimpan dalam sastra yang berbentuk wirid atau suluk. Nilai tersebut sangat bermanfaat bagi pembinaan dan pendidikan mental spritual, dalam hal ini disebut dengan pendidikan tauhid. Pendidikan tauhid adalah suatu proses bimbingan untuk mengembangkan dan memantapkan kemampuan manusia
(fitrah)
dalam
mengenal
keesaan
Allah,
dan
mengaktulisasikannya (nilai-nilai ilahiyah) dalam kehidupan sehari-hari. 2
Ajaran yang ada dalam SWHJ berisi tentang pendidikan tauhid yang dipengaruhi oleh ajaran tasawuf. Misalnya tasawufnya Al Hallaj, Abdul Rauf (Sumatra), Syeh Abdul Muhyi (Pamijahan, Jawa Barat) dan para wali di Jawa. Pengaruh ajarannya ialah manusia hendaknya berusaha mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Suci dengan cara pembersihan hati dan berperilaku luhur. Muatan pendidikan tauhid dalam SWHJ yaitu, bahwa sebelum ada alam semesta ini yang terlebih dahulu ada ialah Allah. Dialah yang menciptakan alam semesta beserta pengaturannya. Allah Yang Maha Esa, meliputi zat, nama, sifat dan af’al-Nya. Selain itu Allah juga Zat Yang Maha Suci dan Sempurna jauh dari segala kekurangan baik itu asma, sifat maupun af’al-Nya.
3
SWHJ mengandung nilai-nilai pendidikan tauhid di antaranya adalah nilai Rububiyah, nilai Uluhiyah dan nilai Asma wa Sifat. Nilai tersebut dapat diambil untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan tertanamnya tauhid dalam jiwa manusia secara kokoh dan kuat, akan merefleksikan dan mewarnai dalam kehidupan di masyarakat, karena
87
88
terpengaruh oleh keyakinan kepada Allah. Akibatnya peribadatan manusia kepada Allah tidak hanya sebatas menjalankan perintah ritual agama saja, namun dengan memahami hakikat manusia hidup di dunia.
B. Saran-saran 1. Dalam rangka mengantisipasi semakin gencarnya arus kehidupan yang mengarah kepada pengabaian atas pengakuan kepada keesaan Allah SWT, maka hendaknya pendidikan ketauhidan diberikan kepada peserta didik sedini mungkin dan secara continue agar terhindar dari perbuatan sesat (musyrik) dan terjangkitnya kekeringan jiwa spritual. 2. Untuk memberikan pendidikan tauhid kepada peserta didik, tidak hanya dengan melalui proses pembelajaran secara langsung antara guru dan murid, tetapi bisa melalui dengan menggunakan media. Dalam hal ini karya sastra bisa digunakan sebagai media pendidikan, untuk diambil nilai-nilai pendidikannya yang terkandung di dalamnya. 3. Dalam SWHJ terdapat ungkapan-ungkapan yang biasa diucapkan oleh seorang sufi, yang mengandung makna filsafati dan kata-kata itu sulit dipahami bagi orang yang belum mengerti tentang tasawuf atau ilmu filsafat. Oleh karena itu ajaran tersebut hendaknya diberikan kepada orang lain dengan hati-hati.
C. Penutup Sebagai kata terakhir, penyusun mengucapkan syukur alhamdulillah, skripsi ini dapat terselesaikan. Namun penyusun menyadari akan segala kekurangan dan kesalahan, yang masih jauh dari sempurna. Hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan dan minimnya pengalaman penyusun. Akhirnya, harapan penyusun atas segala kekurangan dan kesalahan yang ada dalam penyusunan skripsi ini, penyusun mohon maaf dan menerima saran dan kritik yang bersifat konstruktif dari semua pihak demi perbaikan selanjutnya.
89
Demikianlah kata penutup dari penyusun, dengan harapan semoga skripsi yang sangat sederhana ini dapat memberikan motivasi penyusun untuk melangkah lebih maju dan bermanfaat bagi penyusun serta pembaca pada umumnya. Amiin.
90
DAFTAR PUSTAKA Abduh, Syekh Muhammad., Risalah At Tauhid, terj. H. Firdaus A. N., Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Abu Zahrah, Syekh Muhammad, Al ‘Aqidah Al Islamiyyah, ttp : ‘Udhwal Majmu’, 1969. _______., Hakekat Aqidah Qur’ani: Kembali kepada Aqidah yang Benar di dalam Qur’an dan Hadis, Surabaya: Pustaka Progresif, 1991. Al Faruqi, Ismail Raji., Tauhid, Bandung: Pustaka, 1995. Al Malybari, Zainuddin Ibnu Abdul Aziz., Irsyadul Ibad, terj. Mahrus Ali, Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995. Al Ustmaini, Syaikh Muhammad bin Shalih., Majmu’ Fatawa Arkanil Islam,terj. Furqan Syuhada, dkk., Majmu’ Fatawa, Solo: Pustaka Arafah, 2002. _______., Apakah Yang Dimaksud Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, terj. Muslim Aboud Ma’ani, Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1985. Ali, Muhammad Daud., Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. IV. An Nahlawi, Abdurrahman., Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fil Baiti wal Madrasati wal Mujtama, terj. Shihabuddin, Pendidikan di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Anwar, Saifudin., Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 1998. Any, Andjar, Rahasia Ramalan Jayabaya Ranggawarsita dan Sabdopalon, Semarang: Aneka Ilmu, 1989. _______., Raden Ngabehi Ronggowarsito Apa yang Terjadi, Semarang: Aneka Ilmu, 1980. Arikunto, Suharsimi., Manajemen Penelitian, Jakarta: Bina Aksara, 200. _______., Prosedur Penelitian, Jakarta: Bina Aksara, 1985. Asmuni, M. Yusran., Ilmu Tauhid, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993 Aziz, Shaleh Abdul., At Tarbiyyah wa Thariq At Tadris, Lebanon: Daarul Ma’arif, 1979.
91
Badrie, Muhammad Thahir., Syarah Kitab Tauhid Muhammad bin Abdul Wahab, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984. Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Jawa Tengah, Sejarah Singkat Raden Ngabehi Ranggawarsita, Semarang: Depdikbud, 1988. Ciptoprawiro, Abdullah, Filsafat Jawa, Jakarta : Pustaka Pelajar, 1986. Cr, Otto Sukanto., Paramayoga Mitos Asal Usul Manusia, Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya 2001. Daradjat, Zakiah, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996. Departemen Agama RI., Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, 2002. DZ, M. Hamdani B., Pendidikan Ketuhanan dalam Islam, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001. Ernst, Carl W., Words Ectasy in Sufism, terj. Heppisi Rudatin, Ekspresi Ekstase dalam Sufisme, Yogyakarta: Putra Langit, 2003. Hadi, Sam., Gaya Kebatinan dan Watak Islam, Bandung: Al Ma’arif, 1983. Hadiwijono, Harun., Kebatinan Islam Abad Enambelas, Jakarta: Gunung Mulia, 1989. Halim, Abdul (ed.), Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Hasyim, Umar., Sunan Kalijaga, Kudus: Menara, 1974. Ibnu Rusn, Abidin, Pemikiran Al Ghazali tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Junus, Mahmud., Tarjamah Al Qur’an Al Karim, Bandung: Al Ma’arif, 1990. Kamajaya., Pujangga Ranggawarsita, Jakarta: Depdikbud, 1980. Komite Ranggawarsita, Babad Cariyos Lelambahanipun Suwargi, Jakarta: Depdikbud, 1979. Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan : Suatu Analisia Psikologi, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986. Latif, Zaky Mubarok, dkk., Akidah Islam, Yogyakarta: UI Press, 1998.
92
Mansur, A.R. Sutan., Tauhid Membentuk Pribadi Muslim, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1981. Muhammad Mar’i., Dengan Tauhid Kita Bangun Masyarakat yang Hanif, Jakarta: Al Azhar, 1996. Munawwir, Ahmad Warson., Kamus Al Munawwir, Yogyakarta: PP. Al Munawwir, 1989. Muslim, Shahih Muslim, juz II, Bairut: Darul Kutub, Al Alamiah, tt. Mustopo, M. Habib., Ilmu Budaya Dasar, Surabaya: Usaha Nasional, 1998. Nadjib, MH. Ainun., Suluk Pesisiran, Bandung: Bandung, 1989. Nawawi, Hadari dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1999. Nicholson, Reynold A., Aspect Rohaniah Peribadatan Islam di dalam Mencari Keridhaan Allah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Poerbatjaraka, R. M. Ng., Kepustakan Djawi, Jakarta: Djambatan, 1954. Prabowo, Dhanu Priyo, Pengaruh Islam dalam Ranggawarsita, Yogyakarta : Narasi, 2003.
Karya-karya
R.
Ng.
Prawiroatmodjo, S., Bausastra Jawa-Indonesia, Jakarta: Haji Masagung, 1989. Rahmad, Jalaluddin., Islam Alternatif, Bandung: Mizan, 1996. Rais, M. Amin., Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1991. Ranggawarsita, R. Ng., Serat Wirid Hidayat Jati, Transkripsi Suroyo, Solo: Perpustakaan Reksapustaka Istana Mangkunagaran, 1980. _______., Hidayat Jati Kawedhar Sinartan Wawasan Islam, Surabaya: Citra Jaya, 1984. _______., Wirid Hidayat Jati, Semarang: Dahara Prize, 1974. _______., Wirid Hidayat Jati, terj. R. Tanojo, Surakarta: t. p, 1954. Rasjid, M., Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1967. Sabiq, Sayid, Anshirul Quwwah fil Islam, terj. Haryono S. Yusuf, Unsur-unsur Dinamika dalam Islam, Jakarta: PT. Intermasa, 1981. _______., Akidah Islam: Suatu Kajian yang Memposisikan Akal sebagai Mitra Wahyu, Surabaya: Al Ikhlas, 1996
93
_______., Aqidah Islam, terj. Moh. Abdul Rahtomy, Bandung : Diponegoro, 1996 Saridjo, Marwan, dkk., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bhakti, 1979. Shihab, M. Quraish., Wawasan Al Qur’an, Bandung: Mizan, 1996. Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Jakarta: Univesitas Indonesia Press, 1988. _______., Sufisme Jawa : Tranformasi Tasawuf Islam ke Mistik Islam, Yogyakarta : Bentang Budaya, 1996. Sudarto., Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Grafindo Persada, 1997. Sujamto., Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa, Semarang: DaharaPrize, 1992. Syah, Muhibin., Psikologi Pendidikan, Editor: Anang Solihin Wardan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000. Tafsir, Ahmad., Ilmu pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosda Karya, 2000 Thoha, M. Chabib., Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996. UU RI, No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Vembriarto, St., dkk., Kamus Pendidikan, Jakarta: Grasindo, 1994. Wellek, Rene and Austin Warren, Theory of Literature, terj. Melani Budianta, Teori Kesusastraan, Jakarta: PT. Gramedia, 1989. Woodward, Mark R.., Islam Jawa, Yogyakarta: LKiS, 199. Yaasain, Muhammad Nu’aim., Al Iman: Arkanuhu, Haqiqatuhu, wa Nawaqidhuhu, terj. Tate Qomaruddin, Iman: Rukun, Hakikat, dan yang Membatalkannya, .(Bandung: Asy Syaamil Press, 2002. Zainuddin., Ilmu Tauhid lengkap, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992. Zoetmulder, P. J., Kamus Jawa Kuna-Indonesia, Jakarta: Gramedia Puataka Utama, 1995. Zulfahnur Z. F., dkk., Teori Sastra, Jakarta: Depdikbud, 1998.
94
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Misbakhul Munir
Tempat/Tgl Lahir : Grobogan, 8 Mei 1985 Alamat
: Tangungharjo Kecamatan Grobogan Kabupaten Grobogan
Pendidikan
: 1. SDN 04 Tangungharjo lulus tahun 1997 2. MTs Yarobi Grobogan lulus tahun 2000 3. MA Futuhiyyah 1 Mranggen Demak lulus tahun 2003 4. Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
Semarang, Juni 2010
Misbakhul Munir