Bahan Ajar Wasbang NILAI-NILAI KESAKTIAN TANTANGAN JAMAN?
PANCASILA:
MAMPUKAH
MENJAWAB
Oleh: Drs. Wardjito Soeharso, M.Sc.
Perjalanan hidup sebuah bangsa dan negara tergantung bagaimana bangsa itu bertahan dari berbagai tantangan yang dihadapinya, baik tantangan internal maupun eksternal. Bangsa-bangsa Eropa adalah bangsa-bangsa yang telah terbukti mampu bertahan dalam hitungan ratusan tahun. Eksistensi mereka, sebagai contoh bangsa Inggris dan Perancis, diakui dunia sejak berabad-abad lalu, dan sampai sekarang masih tetap mampu menunjukkan diri sebagai bangsa yang besar, punya identitas dan karakteristik yang dibanggakan dalam kancah pergaulan antar bangsa di dunia. Di asia kita mengenal Cina dan Jepang. Dua bangsa asia ini juga telah eksis sejak berabad-abad lalu, dan sampai sekarang keberadaan mereka cukup disegani. Di manapun mereka berada, dalam lingkaran pergaulan internasional, mereka mampu menampilkan diri mereka dengan karakteristik yang khas, setiap orang dengan cepat mengenali mereka sebagai bangsa Cina dan Jepang. Lalu di era informasi ini, kita mengenal bangsa Amerika. Bangsa yang terbentuk dari gabungan berbagai suku, agama, ras, dan kelompok, dengan paham liberalisme independennya, mampu membius dunia dengan ideologi barunya. Mereka menyebut dirinya pelopor demokrasi dan pemuja hak azasi manusia, dan dengan penuh semangat mengkampanyekan ideologi dan budaya globalnya (Toffler % Naisbitt: 1980 & 1982)) ke seluruh penjuru dunia. Mereka sangat bangga dengan dirinya, ”we are proud to be americans”, mereka sangat percaya diri, sangat yakin dengan eksistensinya. Ilustrasi ini sekedar memperlihatkan bahwa bangsa yang besar, bangsa yang kuat karakteristiknya adalah bangsa yang mampu mempertahankan "kekhasan" jati dirinya. Kekhasan yang mencirikan suatu bangsa berasal dari nilai-nilai yang dipercayainya, dan nilai-nilai itu nampak dalam manifestasi pola pikir, pola sikap, dan perilaku, yang secara utuh dapat disimpulkan sebagai "budaya" dari sebuah bangsa. Bagaimana dengan bangsa Indonesia? Sudahkah bangsa kita mampu menampilkan jati diri sesuai nilai-nilai dan budaya Indonesia, terutama bila dilihat dari sudut tata pergaulan antar bangsa? Cukup sulit menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Mochtar Lubis (1977) pernah membuat daftar panjang 10 ciri manusia Indonesia. Dari 10 ciri yang dilihat Mochtar Lubis, ternyata hampir semuanya bernuansa negatif. Memang, penilaian Mochtar Lubis boleh dianggap sangat subyektif, berupa persepsi
dan opini yang berangkat dari penglihatan dia dengan memakai kacamata "kecewa" terhadap perkembangan dan perjalanan budaya bangsa Indonesia. Nurdien HK (1983) melihat memang telah terjadi perubahan nilai-nilai di Indonesia. Menurutnya, Indonesia sejak era 70'an dan saya kira sampai sekarang, berada dalam kondisi "anomali", tidak pasti, serba kacau, karena begitu kuatnya penetrasi nilai-nilai dan budaya asing yang masuk ke Indonesia. Ibaratnya, kaki kiri kita masih berpijak pada nilai-nilai tradisi, tetapi kaki kanan kita sudah melangkah di dunia modern, dunia dengan sentuhan teknologi yang notabene adalah dunia milik bangsa-bangsa maju dari belahan bumi sebelah barat sana. Begitulah jadinya. Walaupun sudah 63 tahun merdeka, kita bangsa Indonesia masih belum selesai dengan pergulatan mencari identitas yang jelas. Seperti apa sebenarnya "wajah" bangsa kita ini. Yang jelas wajah kita sekarang ini adalah wajah yang belang-belang, sebagian masih berbentuk wajah tradisi, yang ditampilkan melalui pola pikir dan pola sikap lokal, tetapi sebagian wajah kita sudah berbentuk wajah modern, yang ditampilkan melalui gaya hidup yang cenderung materialistik dan hedonistik.
*** Sumpah Pemuda 28 November 1928 adalah titik tolak bangunnya bangsa Indonesia. Mengaku berbangsa satu, bertumpah darah satu, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, telah dicanangkan sebagai komitmen sebuah bangsa yaitu bangsa Indonesia. Komitmen ini kemudian dengan gamblang diterjemahkan dalam konstitusi ketika bangsa Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945. Pembukaan UUD 1945, yang berisi visi, misi, dan filosofi bangsa, untuk mengintepretasikan Sumpah Pemuda, adalah bagian dari model pembentukan jati diri bangsa Indonesia yang kita inginkan bersama. Filosofi bangsa yang kita kenal sebagai Pancasila, dengan kelima sila yang ada di dalamnya, merupakan nilai-nilai yang harus kita percayai dan mewarnai budaya kita dalam bentuk pola pikir, pola sikap, dan perilaku dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita harus percaya, apabila kita memegang kuat nilai-nilai Pancasila, niscaya daya tahan kita akan kuat dan tidak mudah terpengaruh atau tergeser oleh nilai-nilai dan budaya asing yang gencar menerpa. Nilai-nilai Pancasila yang dikatakan "sakti", untuk menekankan betapa pentingnya kita memeliharanya sebagai "komitmen", semestinya dimengerti, dipahami, dijiwai, dan terus digenggam erat sebagai pedoman hidup. Masalah mendasar yang menjadi pertanyaan sekarang adalah: bagaimana kita mampu menjaga, memelihara nilai-nilai Pancasila yang sakti dan mulia itu tetap tumbuh dan berkembang dalam diri kita. Bagaimana kita menjaga nilainilai itu tetap utuh sebagai “komitmen” yang menjadi dasar pijakan kita dalam meniti kehidupan?
Tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Justru fakta yang kita temui sekarang ini memperlihatkan kondisi yang kontradiktif, berkebalikan, bertabrakan secara frontal. Pancasila seolah-olah sudah kita lupakan. Kita hampir tidak pernah lagi menyebutnya, apalagi mengingatnya. Kita mendengar kata Pancasila hanya pada saat-saat upacara, kita diingatkan pada nilai-nilainya hanya pada saat ikut penataran, diklat, pembekalan, dan sejenisnya. Itupun dengan cara yang sangat verbal, normatif, tanpa mencoba mengusik penalaran menuju pemahaman dan pendalaman yang lebih jauh. Mengapa? Semua itu karena kita sekarang kehilangan “musuh” yang harus dihadapkan atau dipertentangkan dengan Pancasila. Pada masa Orde Baru, Pancasila menjadi sakti karena ada musuh yang harus dilibasnya, yaitu paham komunisme. Sudah menjadi hukum alam bahwa propaganda hanya akan berjalan efektif bila ada musuh yang harus dilawan. Amerika Serikat berhasil dengan propaganda demokrasinya hanya karena ada Uni Sovyet dengan paham komunisme sebagai lawannya. Tetapi lihat apa yang dilakukan Amerika Serikat ketika Uni Sovyet runtuh, dan komunisme tidak lagi menjadi ancaman baginya? Amerika Serikat mencari musuh baru sebagai lawan yang dipertentangkan dengan ideologinya. Bahkan musuh baru itu harus diciptakan, dikondisikan agar tepat untuk dipertentangkan dengan ideologinya. Israel dan Afghanistan hanyalah alat bagi Amerika Serikat untuk memancing sentimen kelompok muslim militan. Dengan begitu, kini dunia melihat, musuh baru Amerika Serikat adalah: Islam Garis Keras (Fundamentalisme), yang dilekatkan pada negara muslim miltan seperti Iran dan kelompok Al-Qaeda pimpinan Oshama Bin Ladeen. Itulah propaganda. Kalau tidak ada musuh, kalau perlu harus dicari musuh itu, walau dalam bentuk “artifisial” sekalipun. Baca buku George Orwell, “1984” yang fenomenal itu. Dalam buku itu Orwell dengan gamblang membuka rahasia bagaimana propaganda harus dilaksanakan, dengan menciptakan musuh artifisial itu. Maka tidak heran apabila saat ini “citra” Islam sebagai “teroris”, “antidemokrasi”, “pelanggar HAM” menjadi sangat populer di dunia, karena memang propaganda seperti itulah yang sengaja diciptakan oleh Amerika Serikat. Amerika Serikat pula yang memperkenalkan dikotomi Islam Garis Keras kepada dunia. Nah, kalau sudah jelas bahwa propaganda perlu “musuh” untuk berhasil, begitu pula Pancasila, harus dicarikan musuh untuk dipertentangkan apabila ingin tetap hidup dan dipelihara sebagai ideologi. Ketika komunisme di Indonesia mati, secara perlahan tapi pasti, Pancasila menjadi lemah, loyo, dilupakan. Berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia memasuki abad ke 21, seperti berbagai kasus separatisme di Aceh, Maluku, Papua, ternyata belum mampu mengingatkan kita terhadap saktinya nilai-nilai Pancasila.
Masalah SARA (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan) ternyata tidak cukup kuat untuk dipertentangkan secara frontal dengan Pancasila. Oleh karenanya, harus dicari musuh yang layak untuk Pancasila, bila perlu mengikuti jejak Orwell, mencari “musuh artifisial”, walau keberadaannya hanya dalam “khayalan” belaka. Apakah kita akan meniru Amerika Serikat dengan menempatkan Islam Garis Keras sebagai musuh Pancasila? Pengalaman menunjukkan, propaganda model Amerika Serikat itu ternyata tidak laku jual di Indonesia. Dengan banyaknya “teroris” yang ditangkap, ternyata tidak menimbulkan gelombang simpati pada publik, justru sebaliknya, banyak pihak mempertanyakan langkah yang dibuat Polri. *** Kalau kita cermati, nilai-nilai Pancasila yang sakti itu sebenarnya merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang mengandung makna: religiusitas (sila 1), keberadaban (sila 2), kebersamaan (sila 3), musyawarah (sila 4), dan keseimbangan (sila 5). Kelima nilai itu dalam budaya kita menjadi pegangan untuk hidup aman, tenteram, damai, dan sejahtera dalam konteks kehidupan personal maupun sosial. Kelima nilai itulah yang mampu menjaga dan menghadirkan pranata sosial yang sehat dan harmonis dalam masyarakat kita. Kelima nilai itulah yang seharusnya menjadi ciri khas, menjadi identitas budaya bangsa kita, terutama ketika kita berada di tengah-tengah pergaulan antar bangsa. Namun yang terjadi sekarang ini adalah: kelima nilai Pancasila itu perlahan luntur, menghilang dari diri kita, digantikan dengan nilai lain, nilai asing, yang dibungkus dengan budaya modern, budaya kontemporer, budaya global, budaya internasional, yang kita semua tahu, budaya itu sangat sekuler, sangat permisif terhadap berbagai hal yang menurut kita bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Pornografi, seks bebas, homoseksualitas, adalah nilai-nilai yang jelas bertentangan dengan religiusitas. Aborsi, eutanasia, adalah perilaku yang tak beradab. Pengembangan opini yang “stigmatik” cenderung stereotipe terhadap agama tertentu (Islam) sama sekali jauh dari sikap kebersamaan. Arogansi atas kekuatan yang menciptakan pertentangan superior-inferior bukanlah musyawarah. Demikian pula, kapitalisme yang menciptakan kesenjangan ekonomi, yang memperjauh jarak si kaya dan si miskin, tidak mencerminkan keseimbangan. Bukankah sermua itu sedang terjadi di Indonesia sekarang? Bangsa Indonesia saat ini sudah mengalami perubahan budaya yang semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila. Dapat dikatakan nilai-nilai “sakti” Pancasila telah dirongrong, digerogoti, oleh “virus” nilai-nilai asing yang dikemas dalam budaya global yang sekuler, permisif, materialistik dan hedonistik. Kita dengan sukacita, tangan terbuka, menyambut dan menerima nilai-nilai asing itu. Kita dengan kesadaran penuh, memoles wajah kita dengan kosmetika
globalisme, membungkus tubuh kita dengan baju internasionalisme, dan mengubah perilaku kita dengan hedonisme. Kalau situasinya sudah sedemikian jelas, masih mungkinkah kita mempertahankan nilai-nilai Pancasila yang sakti? Mampukah Pancasila terus bertahan menjawab tantangan jaman ke depan? Menjadi kewajiban kita bersama sebagai bangsa untuk mempertahankan ideologi. Kebanggaan sebagai bangsa harus ditanamkan secara dini kepada anak-anak kita. Melalui pendidikan dan sekolah kita tanamkan kepada anakanak kita bahwa nilai-nilai materialistik hedonistik adalah bertentangan dengan nilai-nilai budaya kita. Propaganda untuk menyatakan saktinya nilai-nilai Pancasila semacam itulah yang harus segera dilakukan kembali. Musuh Pancasila harus diidentifikasi. Musuh Pancasila yang nyata di depan kita ternyata bukanlah SARA, bukan pula separatisme, tetapi nilai-nilai asing yang telah mulai mengubah budaya kita, mengubah hidup kita. Nilai-nilai asing dalam bungkus budaya global itulah “musuh” sebenarnya Pancasila, karena nilai-nilai asing itu, nilai-nilai Pancasila mulai kita lupakan.
Referensi: 1. Toffler, Alvin: (1980), The Third Wave, New York, William Morrow and Co, Inc. 2. Naisbitt, John (1982), Megatrends, New York, Warner Books. 3. Kistanto, Nurdien H (1983), Perubahan Nilai-Nilai di Indonesia, Bandung, Penerbit Alumni. 4. Ellul (1962), Propaganda, Paris, Shellbourne Press,. 5. Damico, A.J. (1986), Liberals on Liberalism, New York, Rowman & Littlefield. 6. Laswell, et.all (1980), Propaganda and Communication in World History. Emergence of Public Opinion in the West, Honolulu, East-West Center Book. 7. Lubis, Mochtar (1977), Manusia Indonesia, Bandung, Penerbit Obor. 8. Orwell, George (1961) 1984, The New American Library of World Literature.