Pendekatan Prosesual: Menjawab Tantangan dalam Mengkaji Dinamika Budaya 1

Pendekatan Prosesual: Menjawab Tantangan dalam Mengkaji Dinamika Budaya1 Yunita T. Winarto (Universitas Indonesia)

Abstract Non-processual approaches in anthropology have been heavily criticized for not providing an adequate framework for explaining the emergence of socio-cultural phenomena, and the processes and mechanisms of change. Socio-cultural life is undeniably dynamic and everchanging. In facing this matter many anthropologists have turned to a processual approach in studying the dynamics of culture in the last two decades. In this article the author shows how the a processual approach is applied to the study of cultural dynamics. The author begins by discussing the unit of analysis and focus of study in a processual approach. Following that, she discusses the implication of this upon the methods and strategies for uncovering, describing and explaining change. The author also shows how this approach can uncover the heterogeneous nature of a socio-cultural phenomenon and the extent to which that heterogeneity allows change to occur. Her arguments are based upon empirical cases of knowledge transmission and formation among farmers in several locations on the north coast of West Java and Central Lampung. Key words: change and continuity; variation and conformity; research strategy.

Pendekatan prosesual: mengkaji dinamika budaya Sebagaimana dikemukakan oleh Borofsky (1994b:468), munculnya penekanan kembali pada pendekatan prosesual dalam dua dekade terakhir tidaklah berlangsung secara revolusioner. Secara evolusioner dengan perubahanperubahan yang berlangsung tahap demi tahap, rintisan karya-karya para antropolog pada awal mula perkembangan ilmu antropologi menjadi landasan bagi perkembangan pendekatan ini. Karena itulah Borofsky (1994b:468) tidak 1

Tulisan ini merupakan penerbitan ulang artikel yang sama dari Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA vol. XXIII, no. 60, 1999, hlm. 25–35.

174

memandang pendekatan ini sebagai suatu pendekatan yang baru, tetapi sebagai ‘bagian’ dari yang ‘lama’. Apa yang terjadi adalah perubahan dalam pengutamaan. Beberapa penyebab utama menunjang berkembangnya pengutamaan pada pendekatan ini, yakni semakin kayanya data etnografi yang berhasil dihimpun dan disebarluaskan oleh para antropolog melalui karya-karya tulisnya. Data etnografi tersebut tidak hanya memfokus pada komunitas-komunitas lokal, tetapi juga meluas pada hubungan antara komunitas lokal dengan komunitas yang lebih luas, dalam konteks kawasan yang semakin mendunia. Perubahan yang semakin intens dan cepat pun terjadi

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006

dalam lingkup global dan regional, yang besar pula pengaruhnya pada komunitas-komunitas lokal. Di pihak lain, semakin dirasakan adanya keterbatasan dari berbagai pendekatan yang ada, khususnya yang a-historis dan aprosesual, serta yang mengutamakan pada pendekatan esensialisme (lihat Vayda 1994). Salah satu hal yang terkait dengan asumsi dasar dari pendekatan ini adalah karakter yang dinamis dari kebudayaan. Kebudayaan selalu mengalami perubahan. Bertolak dari aspek dinamis dari kebudayaan inilah, maka Borofsky (1994a) mengangkat kembali sebutan untuk kebudayaan yang pernah digagaskan oleh Keesing (1994), yakni the cultural. Secara tersurat ditegaskannya bahwa sebutan the cultural dinilainya lebih tepat daripada a culture yang cenderung menggambarkan aspek statis dari kebudayaan. Bila dialihbahasakan ke Indonesia, mungkinkah istilah ‘kultural’ lebih tepat mengacu pada the cultural, ataukah ‘budaya’ untuk menggantikan ‘kebudayaan’? Dalam tulisan ini saya akan menggunakan istilah ‘budaya’ untuk mengacu pada ‘kultural’ atau the cultural dengan penekanan pada karakternya yang dinamis, yang selalu dalam pembentukan, penciptaan kembali, pemodifikasian atau penyesuaian. Sejalan dengan penekanan pada karakter yang dinamis inilah maka seyogyanya para antropolog tidak hanya mempertanyakan halhal apa saja yang dimiliki bersama oleh warga suatu komunitas atau pendukung budaya tertentu, tetapi juga bagaimanakah mekanisme dan proses yang berlangsung hingga hal-hal tersebutlah yang dimiliki bersama dan tidak yang lain, vice versa. Demikian pula fokus kajian tidak hanya pada hal-hal apakah yang mengalami perubahan dan apa sajakah yang bertahan atau berlangsung terus, tetapi juga bagaimanakah mekanisme dan proses yang berlangsung hingga hal-hal tertentulah yang mengalami perubahan dan tidak yang lain.

Untuk membantu antropolog dalam mengkaji proses, Moore (1987, 1994) menyarankan pemfokusan kajian antropologi pada peristiwaperistiwa atau events yang melibatkan aktivitas atau tindakan manusia. Events untuk proses, menurut Moore (1987) sama dengan kategori untuk struktur. Rangkaian hubungan antara peristiwa-peristiwa dan tindakan-tindakan manusia inilah yang membentuk suatu proses. Secara lebih rinci, Vayda dkk. (1991) mengemukakan bahwa untuk membentuk suatu proses, peristiwa-peristiwa itu harus saling terkait satu sama lain secara berkesinambungan. Tanpa keterkaitan satu dengan yang lain, maka peristiwa-peristiwa itu belum tentu membentuk suatu proses. Karena itulah, sebagaimana diajukan oleh Barth (1981) serta Vayda dkk. (1991), merupakan hal yang penting bagi antropolog untuk dapat menunjukkan hubungan-hubungan empiris antara peristiwaperistiwa yang dikaji. Peristiwa itu sendiri tidak mengindikasikan suatu proses. Saya sepakat bahwa tanpa pembuktian bagaimana peristiwaperistiwa itu membentuk proses, atau bagaimana mereka terkait satu sama lain, kita tidak dapat mengklaim bahwa peristiwa-peristiwa itu adalah bagian dari suatu proses (lihat Winarto 1996). Saya pun sependapat dengan Barth (1981, 1994) dan Vayda dkk. (1991), bahwa suatu kajian tentang proses harus mampu menunjukkan hubungan yang berangkai dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain, dengan keterkaitannya satu sama lain. Suatu penjelasan sebab-akibat tentang proses itu pun harus dilaksanakan, tidak hanya: ‘…with respect to the events themselves, the linkages among events,…but also…to the conditions under which the linkages do or do not obtain (Vayda dkk. 1991:328).’ Pemahaman tentang kondisikondisi yang memungkinkan berlangsungnya hubungan-hubungan antara peristiwa-peristiwa itu harus pula merupakan bagian dari penjelasan yang dilakukan.

Winarto, Pendekatan Prosesual: Menjawab Tantangan dalam Mengkaji Dinamika Budaya

175

Rangkaian peristiwa yang dapat diamati, yang melibatkan tindakan manusia, dapat merupakan peristiwa yang menyumbang pada pengalihan, penciptaan, pemroduksian, atau pentransformasian budaya. Pengetahuan, nilainilai, norma-norma, persepsi dan lain-lain tidak hanya terwujud dalam, tetapi juga diwujudkan oleh praktik-praktik atau tindakan-tindakan manusia (lihat Lave 1996). Sejalan dengan ini, pemfokusan pada individu-individu pelaku dan tindakannya, sebagaimana dikemukakan oleh Ortner (1984:14) merupakan ‘…the reference point for understanding a particular unfolding of events, and/or understanding the processes involved in the reproduction or change of some set of structural features.’ Perhatian pada agen pelaku atau aktor beserta tindakantindakannya merupakan sarana untuk memahami bagaimana peristiwa-peristiwa itu terwujud. Bertolak dari pemahaman ini, maka kajian mengenai dinamika budaya tidak mungkin dilakukan hanya dengan upaya mendeskripsikan secara sederhana peristiwa-perisitwa yang muncul pada dua periode waktu yang berbeda, dan kemudian melakukan pendugaan atau peramalan tentang apa yang terjadi di antara kedua periode tersebut untuk mengindikasikan berlangsungnya perubahan, atau sebaliknya, dipertahankannya kontinyuitas (lihat Barth 1967). Bila hal ini dilakukan, maka mekanisme berlangsungnya perubahan dan proses perubahan itu tidaklah dapat diamati, dideskripsikan, dan dijelaskan. Dalam tulisan ini, saya akan mengemukakan bagaimana kajian prosesual itu dapat dilaksanakan dengan memperhatikan dimensi keragaman, suatu fenomena yang selama ini kurang memperoleh perhatian utama dalam kajian etnografi (lihat Vayda 1994). Bagaimana keragaman, dan juga konsensus, menyumbang pada terjadinya perubahan akan dikaji melalui kaitan berbagai peristiwa. Hal lain yang patut

176

disimak ialah perwujudan kontinyuitas di samping berlangsungnya perubahan. Kasus pembentukan pengetahuan di kalangan para petani merupakan salah satu kasus untuk menunjukkan bagaimana proses pembentukan itu berlangsung dari hari ke hari, musim ke musim melalui rangkaian peristiwa-peristiwa tindakan para petani dalam menyiasati berbagai kesempatan, kendala, dan ancaman dari lingkungan bagi kelangsungan hidupnya.

Keragaman, kesepakatan, dan perubahan Salah satu dari tiga dimensi kultural atau budaya seperti yang dikemukakan oleh Borofsky (1994a), adalah dimensi keragaman individual. Dimensi ini menjadi semakin penting dalam berbagai kajian antropologi dalam dua dekade terakhir. Dua dimensi yang lain adalah dimensi waktu dan ruang. Dalam kaitannya dengan dinamika budaya, Borofsky (1994a:313) mengemukakan bahwa ‘The cultural,…, is not only moving along all these dimensions at once, but the dimensions are, at the same time, in motion—interacting with and adapting to one another .’ Borofsky (1994a) sendiri mengakui bahwa hal ini tidaklah mudah untuk dikaji. Namun, dengan suatu analisis yang rinci dan mendalam tentang berbagai rangkaian peristiwa, dapat disimak bagaimana keragaman itu terwujud dalam dimensi waktu dan ruang, dan menunjang pada terjadinya perubahan dalam dua dimensi tersebut. Demikian pula halnya dengan pencapaian kesepakatan atau konsensus di antara warga suatu komunitas, di samping adanya keragaman yang besar. Dalam pendekatan prosesual, analisis tentang konsensus dan hal-hal yang dimiliki bersama dapat difokuskan pada cara bagaimanakah hal-hal yang disepakati itu ditangani untuk menanggulangi berbagai masalah sehari-hari; dan pada proses bagaimanakah kesepakatan serta hal-hal yang dimiliki


bersama itu terwujud. Barth (1994) sebenarnya telah mengemukakan pentingnya hal ini dikaji sejak pertengahan tahun 60-an. Sekali lagi Barth (1994:360) menekankan tentang argumentasinya bahwa antropolog perlu mengalihkan perhatian ‘…from totalizing cultural models to generative models of processes’. Sejalan dengan argumentasinya ini, maka Barth pun mengemukakan bahwa tugas utama antropolog pada masa kini adalah melakukan kajian tentang bagaimana, dalam kondisi bervariasinya budaya, orang-orang mencapai dan mereproduksi suatu kesamaan konseptual dan premis-premis yang dimiliki bersama. Merupakan hal yang belum banyak pula dikaji adalah bagaimana keragaman dan konsensus itu menyumbang pada dinamika budaya. Bertolak dari pendekatan prosesual, saya mencoba mengikuti rangkaian peristiwa yang terwujud dari aktivitas-aktivitas warga petani dari beberapa komunitas petani di Pantai Utara Jawa Barat pada tahun 1990-92, dan di tahun 1998-99 di Lampung Tengah.2 Di kedua lokasi dalam kurun waktu berbeda, keragaman yang besar di antara para petani merupakan suatu fenomena yang amat lazim. Dalam tulisan saya sebelumnya (Winarto 1997a:173-174, 186-187), telah saya ungkapkan dalam hal-hal apa sajakah terdapat keragaman yang besar di antara para petani; dan dalam hal-hal apa pula para petani itu mencapai kesepakatan. Keragaman dijumpai 2

Terima kasih saya sampaikan pada Ezra M. Choesin dan para asisten peneliti: A. Sri Handayani Ningsih, Fadli dan S. Darmono yang telah membantu pelaksanaan penelitian tentang pelaksanaan program Pengendalian Hama Terpadu di Lampung Tengah pada tahun 1998-99 dan pada Indonesian FAO Intercountry Program yang telah mendanai kegiatan penelitian ini. Pihak FAO dan the Ford Foundation juga telah membantu penelitian saya di Subang tahun 1990-92 sebagai bagian dari program Ph.D. dalam bidang antropologi di The Australian National University, Canberra. Terima kasih pada mereka dan asisten peneliti saya di Subang, Chamiyatus Sidqiyah, Sri Widyastuti, dan Haryono.

tidak hanya pada pilihan varietas dan jenis tanaman (Winarto 1997b), tetapi juga formula pupuk, jenis pestisida atau strategi pengendalian hama non-pestisida yang digunakan (Winarto 1996). Kebebasan individual dalam memilih jenis padi dan mengelola lahannya merupakan suatu hal yang sangat dihargai oleh setiap petani. Dalam hal inilah terdapat kesepakatan bahwa setiap petani adalah ‘manajer’ di lahannya sendiri dan berhak menentukan segala sesuatu yang dinilainya tepat dan bermanfaat. Karena itu keragaman strategi cocok tanam tetap tinggi, sekalipun mereka telah dikondisikan untuk patuh pada rekomendasi pemerintah sejak diperkenalkannya program BIMAS/INMAS pada akhir tahun 60-an. Keragaman ini menyajikan kemungkinan bagi setiap petani untuk melakukan pengamatan dan perbandingan atas perlakuan yang tidak sama atas setiap lahan serta hasilnya. Dua contoh akan saya ketengahkan di sini untuk menyimak bagaimanakah keragaman itu menghasilkan kesepakatan atau tidak, dan bagaimanakah hal itu menyebabkan perubahan. Pertama tentang pemilihan varietas padi dan kedua tentang strategi pengendalian hama. Pemilihan varietas padi Salah satu fenomena menarik yang dijumpai sesaat setelah petani mengalami musibah serangan hama penggerek batang pada awal tahun 1990-an adalah tingginya keragaman varietas padi yang ditanam petani (lihat Winarto 1996, 1997a). Salah satu varietas padi unggul, IR64, yang sangat dominan ditanam petani mengikuti rekomendasi pemerintah tahun 1987 untuk menghindari serangan hama wereng, ternyata merupakan varietas yang mengalami serangan hama terparah. Kepercayaan mereka atas ketangguhan varietas ini pun tergoyahkan dan masing-masing petani mulai melirik mencari alternatif varietas yang lain. Sejumlah varietas


177

lain pun diadopsi oleh petani, di antaranya adalah varietas lokal, Sido Muncul yang belum tergolong sebagai benih unggul tahan wereng. Pada musim pertama setelah ledakan hama penggerek batang, hanya sejumlah kecil petani menanam varietas ini. Namun, keragaman pilihan petani memungkinkan mereka mengenali beragam penampilan dari varietas yang berbeda-beda itu, baik dari segi produksi malai dan bulir padi, maupun dari ketahanannya terhadap serangan hama dan penyakit. Merupakan suatu hal yang menarik bahwa dalam musim berikutnya, pilihan sebagian besar petani ternyata kembali ke varietas IR64 yang— menurut sebagian besar petani—ternyata masih tetap lebih unggul dalam produktivitas, harga dan citarasa. Bagaimana ketahanannya terhadap hama dan penyakit? Karena petani masih menganggap serangan hama pada musim sebelumnya merupakan ‘musibah’, maka keyakinan mereka masih ada bahwa hanya suatu kebetulan belakalah padi mereka mengalami kegagalan panen (lihat Winarto 1996, 1997b). Menyimak proses pengambilan keputusan yang berlangsung dari hari ke hari semenjak masa panen hingga saat menanam padi tiba, terlihat bagaimana masing-masing petani itu belajar dari pengalamannya. Berdasarkan pengamatan dan perbandingan, mereka dapat tiba pada pilihan dan minat tersendiri atas varietas tertentu dengan alasan-alasannya. Tetapi, pada saat mengambil keputusan, perhatian dan pengetahuan yang cukup akurat atas pilihan dan keputusan ‘tetangga sawahnya’, merupakan hal yang signifikan. Bertani bukanlah pekerjaan terisolasi. Sawah mereka hanyalah sepetak lahan di hamparan sawah yang luasnya berhektar-hektar. Umur padi yang tidak sama, merupakan salah satu kendala untuk menghindari serangan hama, termasuk tikus, pada masa pertumbuhan, dan walang sangit pada masa primordia. Namun, sekalipun pilihan

178

utama tetap pada varietas benih unggul IR64, terselip pula di sana sini varietas yang berbeda. Tetap terdapat sejumlah petani yang berkukuh pada pilihan, minat dan ketetapan hatinya yang mengembangkan siasat tersendiri untuk menghindari serangan hama. Misalnya, dengan menanam lebih awal atau lebih lambat agar panen dapat tetap berlangsung pada periode waktu yang sama dengan para ‘tetangga sawahnya’. Akibatnya, keragaman varietas tetap terwujud yang kemudian, menyajikan lagi kesempatan bagi petani untuk melakukan pengamatan, evaluasi dan perbandingan. Melalui mekanisme belajar inilah, petani menjatuhkan pilihan-pilihan lagi pada musimmusim berikutnya. Melalui rangkaian peristiwa ini: menjatuhkan pilihan, mengamati pertumbuhan padi, menilai hasil panen, membandingkan satu dengan yang lain, mencari tahu atas pilihan sesama dan tetangganya, terpilihlah varietas-varietas tertentu yang dominan dan yang tidak. Setelah sekian musim dan tahun berlalu, saat saya kembali menginjakkan kaki di lahan-lahan sawah mereka enam tahun berselang (1996), ternyata varietas IR64 mulai banyak ditinggalkan petani, terutama pada musim kemarau. Varietas padi lokal yang pada tahun 1990 hanya ditanam oleh sejumlah kecil petani, kini menjadi varietas yang dominan dan terhampar pada sebagian besar petak-petak sawah. Sekilas lintas, hanya jenis varietas berbedalah yang dominan ditanam petani. Tetapi, mengingat bahwa varietas ini tidaklah tergolong benih unggul tahan wereng yang direkomendasi pemerintah dan melalui proses sertifikasi benih, maka apa yang tersirat dari fenomena ini adalah keberanian petani menjatuhkan pilihan menyimpang dari harapan dan keinginan pemerintah. Keyakinan mereka pun tumbuh atas varietas yang berdasarkan pengetahuannya, memang tidak direkayasa secara genetika untuk tahan terhadap serangan


wereng. Sejumlah alasan lain ternyata dapat mendominasi pilihan mereka, seperti citarasa, produktivitas yang tidak kalah tinggi dengan IR64, harga yang bersaing, serta ketahanannya terhadap hama tikus. Walau demikian, petani adalah manusia yang mengenal dengan baik kondisi lingkungannya. Untuk musim kemarau, varietas yang tidak tahan wereng tidak mengkhawatirkan, tetapi tidak demikian halnya untuk musim hujan yang lembab. Wereng dikenalinya sangat menyukai kelembaban. Karena itu, rotasi varietas menjadi strategi mereka, dan kembalilah pilihan pada IR64 pada musim hujan, selama belum ada alternatif benih unggul tahan wereng yang dapat mengganti supremasi IR64. Suatu perubahan strategi terjadi. Bila pada dekade 80-an kepatuhan petani untuk secara seragam hanya menanam satu jenis varietas pada satu musim terwujud, dan ternyata petani pun bertahan menanam varietas yang sama dari musim ke musim, kini hegemoni satu varietas tertentu untuk sejumlah musim berurutan tidaklah terjadi lagi. Pengetahuan petani pun berkembang terus dengan aneka ragam jenis varietas padi yang diperkenalkan pemerintah, atau pun yang mereka adopsi dari sesama petani. ‘Petani itu tidak pernah berhenti belajar…,’ adalah ungkapan mereka untuk mencerminkan situasi yang dinamis ini. Kasus ini menunjukkan bahwa bila penelitian hanya saya fokuskan pada dua periode waktu yang berbeda, yakni tahun 1990 dan 1996, saya dapat menyajikan perbedaan dan perubahan yang terjadi. Tetapi, tanpa meneliti secara seksama, melalui proses bagaimanakah perubahan itu terjadi, saya mungkin tidak dapat menjelaskan mengapa hal itu terwujud. Peristiwa pilihan petani atas varietas padi pada tahun 1990 dan 1996 dapat secara yakin saya nyatakan sebagai bagian dari satu proses, yakni rangkaian tanggapan atas kondisi ekologi, pasar, pilihan tetangga dan

lain-lain serta evaluasi atas hasil pilihannya sendiri dan petani-petani yang lain melalui perbandingan yang berlangsung terus menerus, dari musim ke musim. Keragaman dan kesepakatan, silih berganti, saling menjadi landasan pengambilan keputusan dan juga hasil dari keputusan. Strategi pengendalian hama Dalam beberapa tulisan terdahulu, telah saya ketengahkan bagaimana petani belajar dari strategi mereka mengendalikan hama (Winarto 1997a). Dengan secara seksama mengamati dan mengikuti perilaku dan pengambilan keputusan petani dari hari ke hari, musim ke musim, saya dapat memahami bagaimana keragaman dalam strategi pengendalian hama dapat, secara lambat laun, berkembang menjadi suatu kesepakatan. Keragaman yang besar dalam pengendalian hama penggerek batang padi putih, misalnya, mulai nampak setelah sebagian petani mengikuti pelatihan dalam ‘sekolah tanpa dinding’ (Sekolah Pengendalian Hama Terpadu, lihat Winarto 1997a, 1997b). Keseragaman dalam pengendalian hanya dengan pestisida mulai ditinggalkan setelah sejumlah petani memahami siklus hidup hama tersebut dan ketidaktepatan pengendalian dengan pestisida tanpa menghiraukan siklus hidup ini. Keragaman muncul ketika sejumlah petani alumni PHT mulai mengadopsi pengendalian secara mekanis, dengan menangkapi atau memerangkap kupu-kupu penggerek batang padi, mengumpulkan dan mematikan kelompok telurnya, atau menaburkan pestisida butiran di luar kebiasaan mencampurkannya dengan pupuk. Bagi petani yang tidak mengalami pelatihan yang sama, tentulah keragaman pengendalian tersebut merupakan suatu fenomena yang ‘tidak mudah dipahami’. Penangkapan kupu-kupu atau pengumpulan kelompok telur di sawah, misalnya, merupakan ‘tingkah laku yang tidak lazim dan yang tidak


179

dikenali maknanya’, dan karenanya, merupakan suatu tingkah laku yang ‘aneh’. Serangan hama yang sama secara berurutan selama beberapa musim pada tahun 1990-1992 menyajikan kesempatan untuk mengevaluasi keefektifan strategi yang beragam tersebut. Terjadi pula alih pengetahuan dari para alumni PHT pada petani non-PHT. Sebaliknya, terwujud rangkaian peristiwa dalam upaya untuk memahami makna dan manfaat dari strategi yang sebelumnya, tidak dikenali. Ketidaktepatan penggunaan pestisida mulai dibuktikan oleh masing-masing petani melalui mekanisme belajar mereka, yakni melalui: pengamatan, evaluasi dan interpretasi, perbandingan, penarikan kesimpulan, pengambilan keputusan, modifikasi strategi, pengamatan lagi dan demikian seterusnya. Dalam rangkaian mekanisme belajar ini, percakapan dan diskusi dalam kelompokkelompok kecil merupakan sarana yang efektif, tidak hanya untuk mengalihkan interpretasi atas pengalaman dan pengamatan, tetapi juga untuk menunjang atau memodifikasi argumenargumen yang telah dirumuskan sebelumnya. Bila timbul keyakinan atas apa yang diinterpretasikan dan disampaikan kawan bicara, maka konsensus atau kesepakatan di antara mereka tentang arti, manfaat, dan keefektifan suatu strategi dapat tercapai. Melalui rangkaian peristiwa inilah maka lambat laun berkembang semacam kesepakatan dan kesepahaman di antara sejumlah besar petani, sekalipun tidak seluruhnya, tentang cara pengendalian yang harus mempertimbangkan siklus hidup hama dan saat-saat serta strategi yang tepat dalam melaksanakan pengendalian. Pengamatan yang saya laksanakan selama empat musim berturut-turut tidak hanya membantu saya dalam mengabstraksikan mekanisme yang berlangsung dalam perubahan tersebut, tetapi juga dalam memahami kondisi atau konteks dari perwujudan

180

rangkaian peristiwa itu. Hal ini memungkinkan saya untuk menjelaskan bagaimana dan mengapa perubahan itu terjadi, dan tidak hanya apa yang berubah. Satu manfaat lain yang terbetik dari pengamatan ini adalah pemahaman tentang apa yang berubah dan apa yang tidak, bagaimana kontinyuitas tetap berlangsung dalam kondisi perubahan, dan mengapa demikian.

Perubahan dan kontinyuitas Berkenaan dengan fokus kajian pada proses atau dinamika budaya, salah satu masalah yang signifikan untuk ditelaah secara lebih mendalam ialah: bagaimanakah kontinyuitas dan perubahan itu cenderung untuk saling tumpang tindih? Sebagaimana dikutip oleh Borofsky (1994a:318), Cohn (1980) menyatakan bahwa budaya itu secara terus menerus diciptakan atau dimodifikasi, tanpa seluruhnya ditransformasi. Pastilah ada komponenkomponen budaya yang tetap bertahan. Namun, sebagaimana dikemukakan oleh Moore (1994:364), perubahan dan kontinyuitas itu tidaklah secara mudah dapat dipisahkan satu dari yang lain. Mereka saling terkait erat. Karena itu, kontinyuitas tidaklah secara mudah dapat diidentifikasi dan dianalisis terpisah dari perubahan. Sekalipun demikian, melalui pendekatan prosesual, dapat diperhatikan: halhal apakah yang tetap bertahan dalam serangkaian peristiwa yang menyebabkan terjadinya perubahan. Bagaimanakah hal itu dapat dilakukan? Apabila secara detail dan seksama peneliti mengikuti rangkaian peristiwa dalam suatu rentang waktu tertentu, maka peneliti dapat memperoleh gambaran tentang hal-hal apakah yang muncul secara berulang, dan hal-hal apakah yang merupakan hasil dari kreasi atau pengambilan keputusan pelaku yang baru. Pemahaman ini tidak hanya memungkinkan peneliti untuk menyimak apa yang menjadi


tindakan berpola dan apa yang berubah, tetapi juga dalam mengikuti perubahan yang terjadi, hal-hal apakah yang tetap dipertahankan. Halhal ini dapat merupakan perwujudan tingkah laku atau strategi-strategi tindakan si pelaku dalam menanggapi kondisi lingkungannya, atau alasan-alasan, acuan-acuan skema untuk menginterpretasikan tindakan, pengetahuan, norma, nilai atau keyakinan. Melalui upaya untuk menelusuri konteks munculnya pengulangan, perubahan, atau bertahannya suatu tindakan atau unsur budaya tertentu, maka peneliti juga dapat menjelaskan mengapa pengulangan, perubahan atau kontinyuitas itu terjadi, dan mengapa terjadi dalam wujud demikian. Sudah tentu kemampuan peneliti untuk mengamati, mendeskripsikan dan menjelaskan hal-hal di atas tidak terlepas dari alokasi waktu yang cukup untuk melakukan penelitian. Suatu ‘snapshot’ singkat tentang rangkaian peristiwa tertentu tidak akan menunjang pencapaian pemahaman di atas, kecuali tersedia data pustaka yang cukup yang memungkinkan peneliti untuk mengacu dan membandingkan temuan lapangannya dengan temuan peneliti sebelumnya. Seberapa lamakah rentang waktu itu diperlukan, sangat relatif tergantung dari situasi dan kebutuhan penelitian. Suatu rentang waktu yang memadai untuk pelaksanaan penelitian prosesual ini seyogyanya memberikan kemungkinan bagi peneliti untuk mengenali—melalui studi pustaka, wawancara, atau pengamatan—apakah dan sejauhmanakah peristiwa-peristiwa yang diamatinya pada saat pelaksanaan penelitian itu merupakan peristiwa yang lazim dijumpai pada komunitas bersangkutan dalam konteks dan periode waktu tertentu, ataukah tidak. Selanjutnya, peneliti seyogyanya dapat pula memperoleh kesempatan untuk menarik kesimpulan pada akhir penelitiannya tentang perubahan dan kontinyuitas dari peristiwa-peristiwa yang diamati beserta penjelasannya.

Mengabstraksikan hal-hal manakah yang berubah dan yang tidak, merupakan hal yang tidak mudah. Hanya setelah mengamati rangkaian peristiwa tindakan para petani dalam berupaya mengendalikan hama dan melangsungkan strategi cocok tanamnya selama beberapa musim berturut-turut, barulah saya dapat menyimpulkan dalam hal-hal apakah budaya dan perilaku petani berubah setelah sejumlah kecil petani memperoleh pelatihan tentang pengendalian hama secara terpadu. Dengan menyimak proses belajar yang dialami petani dari waktu ke waktu, saya dapat mengikuti bagaimana evaluasi dilakukan petani secara terus menerus. Melalui evaluasi itulah, tersimak bagaimana mereka menginterpretasikan dan menjelaskan keberhasilan, kegagalan, atau kekurangefektifan strategi yang dilakukan masing-masing dan sesamanya, dan bagaimana mereka tiba pada kesimpulan yang baru. Lebih lanjut, teramati pula bagaimana evaluasi tersebut menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan ketika menghadapi lagi serangan hama pada kurun waktu kemudian. Melalui proses belajar yang dialami para petani, berkembanglah pengayaan pengetahuan tentang sifat-sifat serangan hama penggerek batang padi pada tanaman, fase-fase yang rentan dari pertumbuhan padi dalam menghadapi serangan hama, hubungan antara berbagai faktor seperti cuaca, jadwal tanam, umur padi, jenis varietas dan berat-ringannya serangan, siklus hidup hama serta strategi apa yang tepat untuk setiap tahapan dalam siklus hidup tersebut. Pemusatan perhatian pada penjelasan dan interpretasi yang dilakukan masing-masing pada saat melaksanakan evaluasi itulah yang memungkinkan saya untuk mengetahui apa yang berubah dan apa yang tidak. Ternyata, di samping pengayaan pengetahuan itu, cara petani melakukan penilaian atas keberhasilan dan kegagalan strategi cocok tanam seseorang tidaklah


181

mengalami perubahan mendasar. Sejak sebelum diperkenalkannya prinsip PHT hingga akhir penelitian saya, dua tahun setelah sejumlah kecil petani menerima pelatihan tentang prinsip tersebut, kriteria penilaian yang terutama digunakan oleh sejumlah besar petani untuk menentukan keberhasilan strategi cocok tanam seseorang tidak mengalami perubahan. Indikator dari keberhasilan strategi seorang petani ialah: pertumbuhan padi yang mulus, terbebas dari gangguan ‘penyakit’ (berlaku baik untuk penyakit maupun serangan hama) selama masa pertumbuhan, bermalai dan berbulir banyak, runduk dan berisi penuh bulir-bulir padinya, serta tinggi hasil timbangan gabah setelah panen. Analisis usaha tani ala PHT dengan keuntungan yang diperoleh dari semakin kecilnya biaya produksi tanpa menggunakan pestisida, dan sekaligus ‘melestarikan’ musuh alami serta mengurangi ‘pencemaran’, hanyalah menjadi bagian dari pengetahuan sejumlah kecil petani PHT. Pencapaian indikator keberhasilan berdasarkan penampilan pertumbuhan padi yang ‘mulus’ menjadi semacam pembenaran bagi strategi cocok tanam yang dikembangkan seseorang selama masa pertumbuhan padi. Terlepas dari dilakukan atau tidak dilakukannya ‘penyemprotan’ pestisida, terpenuhinya kriteria tersebut menjadi pendukung atau penguat keyakinan seseorang atas strategi yang ditempuh. Bila kriteria itu tidak atau kurang terpenuhi, evaluasi pun dilakukan atas apa kekurangan dan kelemahan dari strategi yang dilaksanakan. Di satu pihak, hal ini mendukung berkembangnya pengetahuan petani. Melalui mekanisme inilah, dinamika budaya petani berlangsung sepanjang masa. Namun, di pihak lain, kontinyuitas tetap berlangsung. Konsekuensinya, bila kriteria itu tidak terpenuhi sekalipun sang petani telah berupaya secara konsisten menerapkan prinsip PHT dalam pengendalian hama, strategi cocok tanamnya

182

tidaklah dinilai ‘berhasil’ oleh sesama petani (lihat Winarto 1997a). Dalam kondisi belum tersebarluasnya prinsip PHT itu pada sebagian besar petani, kriteria analisis usaha tani ala PHT belumlah menjadi bagian integral dari penilaian keberhasilan strategi cocok tanam. Ketidakberhasilan dicapainya kriteria penanaman padi yang ‘baik’ di mata petani, justru dapat menjadi kendala bagi pengintegrasian prinsip PHT itu dalam konteks budaya petani.

Penutup Tulisan ini berupaya menunjukkan bahwa pendekatan prosesual dapat merupakan salah satu alternatif pendekatan yang menyajikan kemungkinan bagi peneliti untuk mendeskripsikan dan menjelaskan dinamika budaya. Melalui pengamatan yang terfokus pada rangkaian peristiwa dalam rentang waktu tertentu dengan perhatian pada hubungan yang saling terkait antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain, peneliti dapat memahami bagaimana perubahan dalam fenomena yang diamati itu berlangsung. Secara lebih rinci dan seksama, peneliti dapat pula memahami dan menjelaskan bagaimana keragaman dan kesepakatan terwujud, dan bagaimana keduanya menunjang pada perubahan yang terjadi. Hal lain yang patut dikaji pula secara mendalam adalah berlangsungnya kontinyuitas dalam konteks perubahan yang terjadi. Dinamika dan keberlanjutan adalah karakteristik budaya yang patut menjadi fokus kajian para antropolog, terutama dalam memasuki abad ke-21. Perubahan-perubahan akan berlangsung lebih intens dalam kurun waktu yang lebih singkat. Membekali diri dengan kemampuan pengamatan, pendeskripsian dan penjelasan aneka perubahan yang terjadi dalam pelbagai aspek kehidupan bangsa, merupakan suatu tantangan yang sepatutnya dicari jawabnya dan dikembangkan kemungkinannya oleh antropolog Indonesia pada masa-masa mendatang.


Referensi Barth, F. 1967 1981 1994

‘On the Study of Social Change’, American Anthropologist 69:661-669. Process and Form in Social Life: Selected Essays of Fredrik Barth Vol. 1. London: Routledge & Kegan Paul. ‘A Personal View of Present Tasks and Priorities in Cultural and Social Anthropology’, dalam R. Borofsky (peny.) Assessing Cultural Anthropology. New York: McGraw-Hill. Hlm. 349–361.

Borofsky, R. 1994a ‘The Cultural in Motion’, dalam R. Borofsky (peny.) Assessing Cultural Anthropology. New York: McGraw-Hill. Hlm. 313–319. 1994b ‘Assessing the Field’, dalam R. Borofsky (peny.) Assessing Cultural Anthropology. New York: McGraw-Hill. Hlm. 468–491. Cohn, B. 1980 “History and Anthropology: The State of Play”, Comparative Studies in Society and History 12(2):227–252. Keesing, R.H. 1994 ‘Theories of Culture Revisited’, dalam R. Borofsky (peny.) Assessing Cultural Anthropology. New York: McGraw-Hill. Hal.301-312. Lave, J. 1996

‘The Practice of Learning’, dalam S. Chaiklin dan J. Lave (peny.) Understanding Practice Perspectives on Activity and Context. University of California, Berkeley: Cambridge University Press. Hlm. 3-–32.

Moore, S.F. 1987 ‘Explaining the Present: Theoretical Dilemmas in Processual Ethnography’, American Ethnologist 14(4):727–736. 1994 ‘The Ethnography of the Present and the Analysis of Process’, dalam R. Borofsky (peny.) Assessing Cultural Anthropology. New York: McGraw-Hill. Hlm. 362–376. Ortner, S.B. 1984 ‘Theory in Anthropology Since the Sixties’, Comparative Studies in Society and History 26:126–166. Vayda, A.P., B.J. McCay and C. Eghenter 1991 ‘Concepts of Process in Social Science Explanation’, Philosophy of the Social Sciences 21(3):318–331. Vayda, A.P. 1994 ‘Actions, Variations, and Change: The Emerging Anti-essentialist View in Anthropology’, dalam R. Borofsky (peny.) Assessing Cultural Anthropology. New York: McGrawHill. Hlm. 320–330.


183

Winarto, Y.T. 1996 Seeds of Knowledge: The Consequences of Integrated Pest Management Schooling on a Rice Farming Community in West Java. Tesis Ph.D. tidak dipublikasikan. Canberra: The Australian National University. 1997a ‘Managing Seed Diversity during the Green Revolution’, Indigenous Knowledge and Development Monitor 5(3):3–6. 1997b ‘Pengendalian Hama Terpadu: Pembentukan dan Pengalihan Pengetahuan pada Petani Padi di Subang, Jawa Barat’, dalam E.K.M. Masinambouw (peny.) Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia. Jakarta: Asosiasi Antropologi Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia. Hlm. 165–189.

184


Pendekatan Prosesual: Menjawab Tantangan dalam Mengkaji Dinamika Budaya 1

Recommend Documents