NILAI EKONOMI TOTAL SUMBERDAYA BAMBU Studi Kasus di Kecamatan Sajira Kabupaten Lebak, Banten
MOHAMAD IQBAL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Bambu (Bambuseae Sp) Studi Kasus di Kecamatan Sajira Kabupaten Lebak, Banten”, adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Mohamad Iqbal NRP H351100061
RINGKASAN
MOHAMAD IQBAL. Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Bambu Studi Kasus di Kecamatan Sajira Kabupaten Lebak, Banten. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI dan BAHRUNI.
Ketersediaan sumberdaya bambu yang berlimpah di Indonesia telah mendorong kemungkinan penggunaan bambu sebagai pengganti bahan baku konvensional (dalam hal ini kayu) yang saat ini cenderung menurun. Saat ini berbagai manfaat yang dihasilkan bambu masih dinilai rendah dari yang semestinya, sehingga menimbulkan terjadinya eksploitasi bambu secara tidak terkendali tanpa diimbangi dengan tindakan pembudidayaan. Belum membudayanya usaha pelestarian bambu disebabkan bambu masih dianggap sebagai tanaman yang kurang berguna. Disamping itu, kurangnya penelitian dan uji coba pengembangan teknologi budidaya, pemanenan, pengawetan, dan pemasaran bambu menjadi permasalahan lain dalam pemanfaatan bambu. Keterbatasan informasi tentang jenis bambu, manfaat bambu, dan teknologi pengolahannya serta banyaknya pihak yang belum memahami konsep nilai dari berbagai manfaat bambu secara komprehensif, khususnya manfaat intangible yang tidak memiliki harga pasar, maka perlu dilakukan penilaian terhadap semua manfaat yang dihasilkan sumberdaya bambu. Manfaat sumberdaya bambu sendiri tidak semuanya memiliki harga pasar, sehingga perlu digunakan pendekatan-pendekatan untuk mengkuantifikasi nilai ekonomi sumberdaya bambu dalam satuan moneter. Sebagai contoh manfaat bambu dalam menyerap karbon dan manfaat ekologis serta lingkungan lainnya. Karena sifatnya yang non market tersebut menyebabkan banyak manfaat sumberdaya bambu belum dinilai secara memuaskan dalam perhitungan ekonomi. Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung nilai ekonomi total sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira sebagai salah satu sentra utama areal bambu di Kabupaten Lebak. Nilai-nilai sumberdaya bambu yang diestimasi adalah nilai guna langsung (nilai tegakan bambu), nilai guna tidak langsung berupa nilai stok karbon dan nilai pencegahan erosi, serta nilai pilihan bambu surat (G. pseudoarundinacae). Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Sajira Kabupaten Lebak, Banten. Penelitian dimulai dari Januari sampai dengan Agustus 2013. Penelitian dilakukan terhadap petani maupun masyarakat yang memiliki kebun bambu atau memproduksi bambu selaku responden. Metode penelitian yang digunakan antara lain dengan pendekatan nilai sisa turunan (nilai tegakan bambu), penilaian berdasarkan harga pasar (nilai stok karbon), pendekatan biaya pengganti (nilai pencegahan erosi), serta Contingent Valuation Method (CVM) dan persamaan regresi tobit (nilai pilihan). Proses pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur, observasi, wawancara dan diskusi, dan pengambilan sampel tanah pada tiap tipe penutupan lahan. Pengolahan data dan analisis menggunakan program software Excel dan SAS. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah nilai guna langsung (nilai tegakan bambu) sebesar Rp 39 602 675 700. Nilai ini diperoleh dari penjumlahan
nilai stok bambu gelondongan (bambu non olahan) dan nilai stok anyaman bambu (bambu olahan) masing-masing dengan nilai sebesar Rp 31 972 145/ha dan Rp 250 904 110/ha. Nilai guna tidak langsung sumberdaya bambu dalam penelitian ini adalah nilai ekologi bambu sebagai stok karbon dan sebagai pencegah erosi. Nilai stok karbon (NSK) bambu merupakan besarnya cadangan karbon yang tersimpan pada sumberdaya bambu. NSK diperoleh dari hasil perkalian antara stok karbon bambu dengan harga karbon (US$/t C) yang diasumsikan saat penelitian sebesar 9.12/t C atau setara dengan Rp 100 320/ton. NSK sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira sebesar Rp 224 840 000. Apabila dikonversikan ke dalam hektar maka NSK yang dihasilkan sebesar Rp 1 605 190/ha. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pande et al. (2012), yaitu sebesar Rp 5 804 500-9 120 000/ha. Nilai pencegahan erosi (NPE) dipengaruhi oleh laju erosi yang dihasilkan oleh lahan bambu sebagai pengganti ladang dan lahan bambu/kebun campuran sebagai pengganti semak. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa NPE lahan bambu/kebun campuran sebagai ladang sebesar Rp 4 966 728/ha, sedangkan NPE lahan bambu/kebun campuran sebagai semak sebesar Rp 996 129/ha. Konversi kebun campuran menjadi ladang mungkin dilakukan namun konversi kebun campuran menjadi semak sangat kecil kemungkinannya, sehingga NPE sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira didekati dengan NPE pada lahan bambu sebagai ladang. Apabila luasan areal tegakan bambu di Kecamatan Sajira sebesar 140 ha, maka NPE lahan bambu sebesar Rp 695 341 881. Nilai kesediaan masyarakat untuk membayar pelestarian terhadap jenis bambu surat (G. pseudoarundinacae) yaitu sebesar Rp 82 014 259. Variasi nilai WTP pilihan tersebut dipengaruhi oleh asal daerah, pekerjaan sebagai wiraswasta, pekerjaan sebagai peternak, pekerjaan sebagai PNS, tingkat pendapatan, dan pengetahuan terhadap manfaat sumberdaya bambu. Dengan demikian, maka nilai ekonomi total sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak sebesar Rp 40 604 871 840. Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya bambu memiliki peranan penting bagi kehidupan masyarakat disekitarnya. Besarnya NET yang ada tersebut merupakan sebuah pendekatan untuk mengetahui potensi sumberdaya bambu yang terdapat di Kecamatan Sajira. NET yang telah didapatkan merupakan nilai yang ada saat penelitian dilakukan. Nilai tersebut belum termasuk nilai keberadaan sumberdaya bambu yang ada di Kecamatan Sajira. Kata Kunci : Sumberdaya bambu, nilai ekonomi total, nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, nilai pilihan
SUMMARY
MOHAMAD IQBAL. Total Economic Value of Bamboo Resources Case Study in Sajira subregency, Lebak Regency, Banten. Supervised by EKA INTAN KUMALA PUTRI and BAHRUNI.
The abundant availability of bamboos in Indonesia has prompted their possible uses as substitute for conventional raw materials (i.e. woods) which nowadays tend to be dwindling. Nowadays a variety of benefits generated bamboo is still considered low than necessary, causing the uncontrolled exploitation of bamboo are being offset by cultivation measures. Bamboo preservation efforts have not been entrenched so that the plant is still regarded as less useful. In addition, research and cultivation technology development trial, harvesting, preservation, and marketing of bamboo is rarely become another problem in the utilization of bamboo. Information about the species, benefits, and processing technology of bamboo is limited. In addition, many people who do not know the concept of value of bamboo in a comprehensive range of benefits, particularly intangible benefits that do not have a market price that needs to be assessed against all the resulting benefits of bamboo resources. Benefits of bamboo resources themselves do not all have the market price, so it is necessary to use these approaches to quantify the economic value of bamboo resources in monetary terms. As an example of the benefits of bamboo in absorbing carbon and other environmental and ecological benefits. Because of its non-market causes many benefits of bamboo resources have not been satisfactorily assessed in economic calculations. This research aims of this study was to calculate the total economic value of bamboo resources in Sajira subregency as one of the main centers of bamboo in Lebak regency. The values of bamboo resources is estimated direct use value (stumpage of value), indirect use value in the form of carbon stock value and erosion prevention value, and the option value of surat (Gigantochloa pseudoarundinacae). This research was conducted in Sajira subregency, Lebak regency, Banten. The study starts from January to August 2013. Research conducted on farmers and communities that have a garden of bamboo or bamboo producing as respondents. Research methods used include the derivative residual value approach (stumpage of value), market price (carbon stock value), replacement cost approach (erosion prevention value), and Contingent Valuation Method (CVM) and Tobit Regression (option value). The process of data collection is done through the study of literature, observation, interviews and discussions, and soil sampling on each type of land cover. Data processing and analysis using Excel and SAS software programs. Results from this study showed that direct use values (stumpage value of bamboo) is IDR 39 602 675 700. This value is derived from the sum of stock value of spindles bamboo (non-processed bamboo) and stock value of plaited bamboo (bamboo processed) each with a value of US$ 31 972 145/ha and US$ 250 904 110/ha.
Indirect use value of bamboo resources in this study is the ecological value of bamboo as carbon stocks and as erosion prevention. Carbon stock value (CSV) is the amount of bamboo carbon stocks stored in bamboo resources. CSV is obtained from the multiplication of bamboo carbon stock at a price of carbon (US$/t C) is assumed when the study was 9.12/t C, equivalent to IDR 100 320/ton. CSV bamboo resources in Sajira subregency is IDR 224 840 000. When converted to acres the CSV generated hectare of IDR 1 605 190/ha. This value is lower than the research conducted by Pande et al. (2012), which was IDR 5 804 500-9 120 000/ha. Erosion prevention value (EPV) is influenced by the rate of soil erosion by bamboo land as a substitute for fields and shrubs. The calculations show that the EPV of bamboo land as a field of IDR 4 966 728/ha, while the EPV of bamboo land as shrubs of IDR 996 129/ha. Conversion of bamboo land into fields may be done but the conversion into shrub is very unlikely, so the EPV of bamboo resources in the Sajira subregency approached with EPV of bamboo land as fields. If the areal extent of bamboo stands in Sajira subregency of 140 ha, the EPV of bamboo land is IDR 695 341 881. The value of people's willingness to pay (WTP) for preservation of species of surat (G. pseudoarundinacae) is IDR 82 014 259. Variations of option WTP values are influenced by the place of origin, occupation as entrepreneur, farmer, civil servant, income, and knowledge of the benefits bamboo resources. Total economic value (TEV) of bamboo resources in the Sajira subregency, Lebak regency is IDR 40 604 871 840. This indicates that the bamboo resources have an important role for the life of the surrounding community. TEV is an approach to determine the potential of bamboo resources in Sajira subregency. TEV is value that is obtained a current value of research conducted. This value does not include the exist value of bamboo resources in Sajira subregency, Lebak regency, Banten.
Keywords : Bamboo resources, total economic value, direct use value, indirect use value, option value
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan, karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar di IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB.
NILAI EKONOMI TOTAL SUMBERDAYA BAMBU Studi Kasus di Kecamatan Sajira Kabupaten Lebak, Banten
MOHAMAD IQBAL
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc
Judul Penelitian : Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Bambu Studi Kasus di Kecamatan Sajira Kabupaten Lebak, Banten Nama : Mohamad Iqbal NRP : H351100061
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.S Ketua
Dr. Ir. Bahruni, M.S Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 13 Februari 2014
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rakhmat-Nya penyusunan karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian ini berjudul: “Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Bambu Studi Kasus di Kecamatan Sajira Kabupaten Lebak, Banten”. Belum membudayanya usaha pelestarian bambu disebabkan karena bambu masih dianggap sebagai tanaman yang kurang berguna. Keterbatasan informasi tentang jenis bambu, manfaat bambu, dan teknologi pengelolaannya serta banyaknya pihak yang belum memahami konsep nilai dari berbagai manfaat bambu secara komprehensif, khususnya manfaat intangible yang tidak memiliki harga pasar, maka perlu dilakukan penilaian terhadap semua manfaat yang dihasilkan sumberdaya bambu. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.S (Ketua Komisi Pembimbing) dan Dr. Ir. Bahruni, M.S (Anggota Komisi Pembimbing), yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penyusunan karya ilmiah ini. Kepada Prof. Dr. Ir Akhmad Fauzi, M.Sc (Ketua PS-ESL, SPs IPB) penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan dorongan motivasi dalam rangka penyelesaian studi. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada para staf PS-ESL, Sps IPB atas dukungan dan bantuannya. Ucapan terima kasih yang setulusnya penulis sampaikan kepada istri tercinta (Meutia Esti Handini, S.Hut) dan anak tersayang (Fida Ismail Hamzi) serta kepada seluruh keluarga atas segala budi baik dan do’anya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya ilmiah yang disusun masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, diharapkan masukan, kritik, dan saran dari pembaca untuk memperlancar dan memperoleh hasil penelitian selanjutnya yang lebih baik. Semoga tesis ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangsih yang nyata bagi dunia pendidikan dan penelitian.
Bogor, Maret 2014
Mohamad Iqbal
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian 1.5 Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Bambu 2.2 Manfaat Tanaman Bambu 2.3 Produk Olahan Bambu 2.4 Nilai Ekonomi Hasil Hutan 2.5 Penelitian Terdahulu yang Relevan 3 KERANGKA PEMIKIRAN 4 METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Pengambilan Data 4.4 Metode Pengambilan Sampel 4.5 Identifikasi Data yang diperlukan dan Metode Analisis yang digunakan 4.6 Metode Analisis Data 4.6.1 Nilai Tegakan Sumberdaya Bambu 4.6.2 Nilai Pencegahan Erosi 4.6.3 Nilai Stok Karbon 4.6.4 Contingent Valuation Method (CVM) 4.6.5 Regresi Tobit 4.6.6 Nilai Ekonomi Total Bambu 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Umum Daerah 5.1.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah 5.1.2 Topografi, Iklim, dan Tataguna Lahan 5.1.3 Lahan Kritis 5.1.4 Jenis Tanah 5.1.5 Kependudukan 5.1.6 Mata Pencaharian 5.2 Karakteristik Responden 5.2.1 Jenis Kelamin Responden 5.2.2 Tingkat Usia 5.2.3 Tingkat Pendidikan 5.2.4 Jenis Pekerjaan 5.2.5 Tingkat Pendapatan 5.3 Pemanfaatan Sumberdaya Bambu di Kecamatan Sajira
x
x xi xii xii 1 2 4 4 5 6 6 7 8 10 13 15 15 16 17 18 18 18 19 20 20 22 24 25 25 26 26 26 26 26 27 27 28 28 29 30 31
5.4 Nilai Guna Langsung Sumberdaya Bambu 5.5 Nilai Guna Tidak Langsung Sumberdaya Bambu 5.5.1 Nilai Stok Karbon (NSK) 5.5.2 Nilai Pencegahan Erosi (NPE) 5.6 Nilai Pilihan 5.7 Nilai Ekonomi Total 5.8 Implementasi Nilai Ekonomi 6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan 6.2 Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
35 38 39 40 46 50 51 53 54 55 61
DAFTAR TABEL
1.1 2.1 4.1 4.2 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 5.10 5.11 5.12 5.13 5.14 5.15
Nilai Perdagangan Ekspor Bambu Indonesia Tahun 2007-2010 Matriks Hasil Penelitian Terdahulu Identifikasi Data yang diperlukan dan Metode Analisis yang digunakan Matriks Variabel Regresi Luas dan Jarak Desa ke Ibukota Kecamatan dan Kabupaten Terdekat di Kecamatan Sajira Tahun 2011 Distribusi Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Sajira Persentase Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Kecamatan Sajira Tingkat Rata-rata Pendapatan Pekerjaan Utama dan Pekerjaan Sampingan Responden di Kecamatan Sajira Rata-rata Kepemilikan Lahan Bambu di Kecamatan Sajira Rekapitulasi Produksi Bambu Berdasarkan Jenis di Kecamatan Sajira Nilai Tegakan Bambu dalam Bentuk Bambu Bulat (gelondongan) di Kecamatan Sajira Produk Akhir, Harga Bambu Olahan, dan Frekuensi Pengambilan Bambu di Kecamatan Sajira Nilai Tegakan Bambu dalam Bentuk Anyaman di Kecamatan Sajira Nilai Ekonomi Stok Karbon Lahan Bambu di Kecamatan Sajira Nilai Faktor Erosivitas (R) Rata-rata Curah Hujan Tahunan Kabupaten Lebak Jenis Tanah dan Nilai Faktor Erodibilitas Tanah (K) Kecamatan Sajira Nilai Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS) Kecamatan Sajira Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman dan Konservasi Tanah (CP) Pada Tipe Penutupan Lahan Kecamatan Sajira Laju Erosi Rata-rata Tiap Tipe Penutupan Lahan di Kecamatan Sajira
xi
2 12 18 23 25 27 29 30 31 32 35 36 37 39 41 41 42 42 43
5.16 Laju Erosi Tiap Tipe Penutupan Lahan pada Kondisi yang Disamakan di Kecamatan Sajira 5.17 Kandungan Unsur Hara yang Hilang Tiap Tipe Penutupan Lahan di Kecamatan Sajira pada Kondisi yang Disamakan 5.18 Nilai Pencegahan Erosi (NPE) Sumberdaya Bambu di Kecamatan Sajira 5.19 Analisis Regresi Tobit Nilai Pilihan Bambu Surat Kecamatan Sajira 5.20 Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Bambu di Kecamatan Sajira
44 45 46 48 50
DAFTAR GAMBAR
2.1 3.1 4.1 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9
Komponen Nilai Ekonomi Total Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian Peta Lokasi Penelitian di Kecamatan Sajira Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Usia Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Rumpun Bambu Mayan Rumpun Bambu Apus/tali Bambu Hitam Gelondongan Rumpun Bambu Ampel Hasil Kerajinan Bambu (a) Tampah; (b) Sumpit Diagram Nilai Sumberdaya Bambu Kecamatan Sajira
10 14 15 27 28 29 33 33 34 34 37 52
DAFTAR LAMPIRAN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Data Karakteristik Responden Beserta Luas Lahan Milik Produksi Bambu Non Olahan Responden Produksi Bambu Olahan Responden Data Curah Hujan Bulanan Tahun 1999-2011 Peta Topografi Wilayah Kecamatan Sajira Hasil Analisis Contoh Tanah Hasil Analisis Regresi Tobit WTP Pilihan
xii
62 67 71 79 80 81 82
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara pemilik hutan terbesar ketiga setelah Brazil dan Zaire yang memiliki luas kawasan hutan sebesar 130 786 014.98 ha (SK Menteri Kehutanan Tahun 2011). Akan tetapi, saat ini kawasan hutan Indonesia mengalami kerusakan yang serius akibat tekanan penduduk, bencana alam maupun konflik kepentingan yang tidak lagi mempertimbangkan kelestarian. Kondisi tersebut memiliki dampak besar terhadap ketersediaan kayu di Indonesia, sehingga perlu dilakukan upaya pengelolaan hutan salah satunya adalah dengan meningkatkan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Pemanfaatan HHBK berpeluang untuk dikembangkan dan diharapkan dapat mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan kayu. Menurut Permenhut No. 35 Tahun 2007, HHBK merupakan hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani dan turunannya yang berasal dari hutan kecuali kayu. Umumnya, produk HHBK yang menjadi komoditas penting perdagangan di Indonesia antara lain rotan, terpentin, gondorukem atau getah damar, jelutung, tengkawang, sutera alam, kemiri, sarang burung walet, gaharu dan berbagai jenis tanaman obat dan rempah, serta berbagai jenis komoditas perdagangan, baik di dalam negeri maupun ekspor. Namun, dari komoditas tersebut pemerintah menetapkan lima komoditas HHBK unggulan nasional yang diprioritaskan pengembangannya, yaitu lebah madu, sutera alam, gaharu, rotan, dan bambu (Lampiran Permenhut No. P.21/Menhut-II/2009). Diantara lima komoditas HHBK unggulan tersebut, bambu menjadi salah satu komoditas yang sangat penting untuk dikembangkan dan berpotensi untuk berbagai penggunaan dan sumber penghasilan masyarakat. Bambu tidak hanya dibutuhkan untuk benda kerajinan, tetapi juga digunakan untuk kebutuhan rumah tangga seperti bahan makanan (rebung atau tunas bambu), bahan industri, sampai kepada bahan konstruksi. Penggunaan bambu diharapkan dapat mengurangi tingkat penggunaan kayu, sehingga kegiatan penebangan hutan dapat diminimalisir. Menurut Astana (2001), bambu dapat ditanam pada lahan-lahan marginal, sehingga berkembangnya pengusahaan bambu dapat berperan mendorong upaya konservasi tanah dan air. Selain itu, berkembangnya pengusahaan bambu dapat memperkokoh stabilitas nilai ekspor non-migas, hal ini terlihat dari peranannya dalam menurunkan impor bahan baku industri yang disubstitusi seperti pulpkertas dan dalam menyumbang langsung nilai ekspor dari ekspor produk-produk bambu itu sendiri. Sebagai komoditi ekspor, menurut database INBAR (International Network for Bamboo and Rattan), perdagangan bambu internasional dalam kurun waktu empat tahun terakhir (2007-2010) masih dikuasai oleh Cina dengan nilai ekspor sebesar US$ 1 140 000 000-1 022 000 000. Sedangkan dalam kurun waktu yang sama, Indonesia berada di peringkat kedua dengan nilai ekspor sebesar US$ 411 000 000-485 000 000. Nilai ekspor bambu Indonesia pada tahun 2007-2010 secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 1.1.
2
Tabel 1.1 Nilai perdagangan ekspor bambu Indonesia tahun 2007-2010 Tahun
Nilai (US$ juta)
2007
411
2008
354
2009
269
2010
485
Sumber: www.inbar.int, 2013
Data pada Tabel 1.1 menunjukkan bahwa nilai ekspor bambu di Indonesia sempat mengalami penurunan pada tahun 2008 dan 2009. Hal ini disebabkan karena terjadinya krisis ekonomi di Amerika dan Eropa sebagai pangsa pasar ekspor bambu terbesar di Indonesia. Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara yang memperoleh devisa melalui ekspor bambu, dan sekitar kurang lebih 60 000 orang tenaga kerja Indonesia penghidupannya bergantung pada bambu (Suhardi, 1990). Berdasarkan data Global Forest Resources Assessment Update 2005 Indonesia Country Report On Bamboo Resources, luas tanaman bambu di Provinsi Banten sebesar 64 683 ha atau sekitar 4,6% dari luas tanaman bambu Indonesia (1 414 375 ha). Walaupun bukan merupakan salah satu sentra areal bambu terbesar di Indonesia, namun bambu sudah menjadi budaya yang mengakar di Provinsi Banten. Kabupaten Lebak merupakan daerah yang memiliki prospek pasar yang baik bagi pengembangan usaha bambu di Provinsi Banten, dengan luas tanaman sebesar 2 008 ha atau setara dengan 199 670 rumpun/10 744 900 batang, sedangkan produksinya sebesar 2 314 404 batang/tahun (Dishutbun Kab. Lebak, 2012). Namun demikian, belum ada penilaian menyeluruh mencakup nilai tangible (berwujud) dan nilai intangible (tidak berwujud) dari sumberdaya bambu di Provinsi Banten, khususnya Kabupaten Lebak. Berdasarkan hal di atas, perlu dilakukan penelitian yang komprehensif terhadap pengembangan usaha bambu di desa-desa penghasil bambu yang terdapat di kecamatan yang menjadi salah satu sentra utama areal bambu Kabupaten Lebak yakni Kecamatan Sajira. Penelitian ini dilakukan dengan mencari data kuantitatif mengenai nilai ekonomi total (total economic value) bambu yang dimanfaatkan masyarakat pedesaan yang nantinya dapat memberikan gambaran mengenai kontribusi manfaat bambu bagi perekonomian masyarakat desa.
1.2 Perumusan Masalah Sumberdaya bambu menghasilkan manfaat yang menyeluruh baik yang bersifat berwujud (tangible) maupun manfaat tidak berwujud (intangible). Saat ini berbagai manfaat yang dihasilkan bambu masih dinilai rendah dari yang semestinya, sehingga menimbulkan terjadinya eksploitasi bambu secara tidak terkendali tanpa diimbangi dengan tindakan pembudidayaan.
3
Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lebak, luas areal lahan bambu di Kabupaten lebak pada periode tahun 2008-2012 sekitar 2 046-2 008 ha. Sedangkan produksi bambu pada periode tahun 2011-2012 sekitar 2 183 400-2 314 404 batang/tahun (Dishutbun Kab. Lebak, 2012). Data tersebut menunjukkan bahwa luas areal bambu mengalami penurunan yang diakibatkan oleh perubahan fungsi (misalnya: perumahan dan industri) atau dikonversikan menjadi tanaman lain. Disisi lain, produksi bambu yang semakin meningkat tiap tahunnya, sedangkan populasi bambu semakin terbatas dikhawatirkan dapat mengancam kelestarian bambu di Kabupaten Lebak. Belum membudayanya usaha pelestarian bambu disebabkan karena bambu masih dianggap sebagai tanaman yang kurang berguna. Disamping itu, kurangnya penelitian dan uji coba pengembangan teknologi budidaya, pemanenan, pengawetan, dan pemasaran bambu menjadi permasalahan lain dalam pemanfaatan bambu. Keterbatasan informasi tentang jenis bambu, manfaat bambu, dan teknologi pengelolaannya serta banyaknya pihak yang belum memahami konsep nilai dari berbagai manfaat bambu secara komprehensif, khususnya manfaat intangible yang tidak memiliki harga pasar, maka perlu dilakukan penilaian terhadap semua manfaat yang dihasilkan sumberdaya bambu. Pengetahuan mengenai manfaat sumberdaya bambu dapat menjadi rekomendasi bagi para pengambil kebijakan untuk mengalokasikan sumberdaya bambu yang semakin langka dan melakukan distribusi manfaat bambu yang adil. Terlebih dengan meningkatnya pertambahan penduduk saat ini yang menyebabkan timbulnya tekanan yang cukup serius terhadap sumberdaya bambu, menyebabkan perlunya penyempurnaan pengelolaan bambu melalui penilaian akurat terhadap nilai ekonomi sumberdaya bambu yang sesungguhnya. Manfaat sumberdaya bambu sendiri tidak semuanya memiliki harga pasar, sehingga perlu digunakan pendekatan-pendekatan untuk mengkuantifikasi nilai ekonomi sumberdaya bambu dalam satuan moneter. Sebagai contoh manfaat bambu dalam menyerap karbon dan manfaat ekologis serta lingkungan lainnya. Karena sifatnya yang non market tersebut menyebabkan banyak manfaat sumberdaya bambu belum dinilai secara memuaskan dalam perhitungan ekonomi. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sajira yang menjadi salah satu sentra utama areal bambu di Kabupaten Lebak (Dishutbun Kab. Lebak, 2008). Menurut Dishutbun Kab. Lebak Tahun 2011, luas lahan tidak produktif (lahan kritis) di Kecamatan Sajira sebesar 440.45 ha atau 38.65% dari luas hutan 1 139.62 ha (Data BP4K Kab. Lebak, 2013). Penanaman bambu diharapkan dapat memperbaiki lahan kritis dan meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. Bambu sudah sejak lama dikenal masyarakat sajira sebagai tanaman yang bernilai ekonomis. Namun hingga kini penelitian mengenai penghitungan nilai ekonomi dan pola pemanfaatan bambu di Kecamatan Sajira masih terbilang minim, dimana masyarakat sekitar masih belum optimal dalam memanfaatkan bambu yang ada. Oleh karena itu, perlu dilakukan penghitungan nilai manfaat bambu secara keseluruhan, baik tangible maupun intangible, sehingga dapat memberikan informasi kepada masyarakat akan pentingnya keberadaan dari sumberdaya bambu.
4
Berdasarkan hal tersebut, maka perumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Berapa besar nilai guna langsung (direct use value) sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak? 2. Berapa besar nilai guna tidak langsung (indirect use value) sumberdaya bambu untuk nilai stok karbon dan nilai pencegahan erosi di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak? 3. Berapa besar nilai pilihan (option value) sumberdaya bambu yang ada di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak? 4. Berapa besar nilai ekonomi total (total economic value) sumberdaya bambu yang ada di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan umum dari penelitian ini adalah menghitung nilai ekonomi total (total economic value) dari sumberdaya bambu yang ada di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak. Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menghitung nilai guna langsung (direct use value) sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak. 2. Menghitung nilai guna tidak langsung (indirect use value) sumberdaya bambu untuk nilai stok karbon dan nilai pencegahan erosi di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak. 3. Menghitung nilai pilihan (option value) sumberdaya bambu yang ada di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Sebagai referensi dan masukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak dan Pemerintah Provinsi Banten dalam pengambilan keputusan untuk menyusun kebijakan dalam pengembangan komoditas bambu. 2. Sebagai data dan informasi bagi pemerintah pusat khususnya Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah. 3. Sebagai bahan kajian dan studi pustaka bagi pihak-pihak yang berminat dalam bidang ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan. 4. Sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan wawasan peneliti dalam melakukan analisis masalah, khususnya dalam bidang ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan serta menerapkannya dalam kehidupan masyarakat. 5. Sebagai bahan informasi kepada masyarakat khususnya petani dan pengrajin di Kabupaten Lebak tentang keilmuan ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan.
5
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
1.
2. 3. 4.
5.
Ruang lingkup dari penelitian ini antara lain: Lokasi penelitian hanya dilakukan di lahan milik masyarakat baik dalam bentuk kebun campuran maupun hutan bambu di beberapa desa yang terdapat di Kecamatan Sajira sebagai salah satu sentra utama areal bambu Kabupaten Lebak (Dishutbun Kab. Lebak, 2008). Nilai guna langsung (direct use value) yang diestimasi dalam penelitian ini adalah nilai tegakan sumberdaya bambu. Nilai guna tidak langsung (indirect use value) yang diestimasi dalam penelitian ini adalah nilai stok karbon dan nilai pencegahan erosi. Nilai pilihan (option value) yang diestimasi dalam penelitian ini adalah kesediaan membayar masyarakat sebagai perwujudan keinginan terhadap kelestarian sumberdaya bambu lesser known species di Kecamatan Sajira pada masa yang akan datang. Nilai keberadaan dari nilai bukan guna sumberdaya bambu tidak dihitung karena keterbatasan waktu dan pendanaan penelitian.
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Potensi Bambu Bambu merupakan produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang telah dikenal bahkan sangat dekat dengan kehidupan masyarakat umum karena pertumbuhannya ada di sekeliling kehidupan masyarakat. Bambu termasuk tanaman Bamboidae anggota sub familia rumput, memiliki keanekaragam jenis bambu di dunia sekitar 1 250-1 500 jenis. Sekitar 1 250 jenis bambu di dunia, 140 jenis bambu atau 11% nya adalah asli Indonesia (Handayani, 2009). Adapun jenis bambu yang biasa digunakan di Indonesia adalah bambu tali, bambu petung, bambu andong, dan bambu hitam (Krisdianto et al., 2000). Dari keempat jenis ini, bambu hitam dipakai sebagai unsur dekorasi, sedangkan bambu tali dipakai sebagai bahan anyaman dinding dan langit-langit, reng, dan lis. Bambu memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi bahan bakar alternatif atau biofuel yang ramah lingkungan. Pohon bambu juga berfungsi sebagai penjernih air. Oleh karena itu, daerah bantaran sungai yang banyak pohon bambu, air sungai tersebut terlihat jernih. Bambu yang dimanfaatkan umumnya yang sudah masak tebang, kurang lebih berumur empat tahun dan pemanenannya dengan sistem tebang pilih. Setelah ditebang biasanya direndam dalam air mengalir, air tergenang, lumpur, air laut atau diasapkan. Kadang-kadang diawetkan juga dengan bahan kimia. Kegiatan selanjutnya adalah pengeringan (Batubara, 2002). Tanaman bambu juga berpotensi menjadi solusi alternatif bagi sejumlah permasalahan lingkungan terutama dalam mengatasi pemanasan global. Menurut Widjaja (2004), cepatnya pertumbuhan bambu dibanding dengan pohon kayu, membuat bambu dapat diunggulkan untuk deforestasi. Selain itu, bambu juga merupakan penghasil oksigen paling besar dibanding pohon lainnya. Bambu juga memiliki daya serap karbon yang cukup tinggi untuk mengatasi persoalan CO 2 di udara, selain juga merupakan tanaman yang cukup baik untuk memperbaiki lahan kritis. Selain itu, Indonesia memiliki bambu sebagai sumberdaya lokal terbarukan dengan potensi yang luar biasa dari aspek lingkungan alam dan sosial ekonomi.
2.2 Manfaat Tanaman Bambu Manfaat bambu secara ekonomis dan ekologis jika dibandingkan dengan komoditas kayu, antara lain tanaman bambu mampu memberikan peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar hutan dalam waktu relatif cepat, yaitu 4-5 tahun. Dari sisi ekologisnya, bambu memiliki kemampuan menjaga keseimbangan lingkungan karena sistem perakarannya dapat mencegah erosi dan mengatur tata air serta dapat tumbuh pada lahan marginal. Selain itu, bambu juga memiliki kemampuan peredam suara yang baik dan menghasilkan banyak oksigen sehingga dapat ditanam dipusat pemukiman dan pembatas jalan raya (Diniaty dan Sofia, 2000). Dari sekilas gambaran manfaat tersebut, bambu dapat digolongkan ke dalam dua manfaat antara lain:
7
1. Manfaat sosial, ekonomi, dan budaya Tanaman bambu baik dalam skala kecil maupun besar mempunyai nilai ekonomi yang meyakinkan. Budaya masyarakat menggunakan bambu dalam berbagai aktivitas kehidupan sehingga bambu dapat dikategorikan sebagai Multipurpose Tree Species (MPTS = jenis pohon yang serbaguna). Menurut Bapedal (2010), pemanfaatan bambu secara tradisional masih terbatas sebagai bahan bangunan dan kebutuhan keluarga lainnya, misalnya bahan pembuatan rumah, jembatan, alat penangkapan ikan; bahan dasar kerajinan rakyat untuk pembuatan alat-alat rumah tangga seperti mebel, hiasan, dan alat-alat dapur; kebutuhan konsumen domestik dan mancanegara seperti alat bantu makan (sumpit dan pencukil gigi) dan sebagai bahan makanan seperti rebung, makanan ternak seperti pucuk muda, dan lain-lain. Pada umumnya jenis-jenis bambu yang diperdagangkan adalah jenis bambu berdiameter besar dan berdinding tebal. Jenis-jenis tersebut diwakili oleh warga Bambusa (tiga jenis), Dendrocalamus (dua jenis), dan Gigantochloa (delapan jenis). Berdasarkan jenis-jenis tersebut dapat dibudidayakan secara massal untuk menunjang industri kertas, chopstick, flowerstick, plybamboo, particle board, dan papan semen serat bambu serta kemungkinan dikembangkan bangunan dari bahan bambu yang tahan gempa, dan lain-lain. Kehidupan sosial budaya masyarakat bambu menjadi salah satu kelengkapan yang tidak bisa ditinggalkan, misalnya dalam upacara adat, upacara perkawinan, hajatan keluarga bahkan bahan baku bambu menjadi alat musik khas komunitas tertentu. Lebih dari itu, perkembangan sosial budaya masyarakat ditandai dengan perkembangan aksesori bambu dalam pembuatan perabot rumah tangga dan cinderamata yang bernilai seni tinggi. Di beberapa tempat spesies bambu tertentu menjadi bagian mitos dan kelengkapan ritual masyarakat yang bernilai magis. 2. Manfaat ekologi bambu Tanaman bambu memiliki sistem perakaran serabut yang sangat kuat, sehingga memungkinkan tanaman ini menjaga sistem hidrologis sebagai pengikat tanah dan air. Peranan ini memungkinkan bambu untuk dijadikan sebagai tanaman penghijauan pada lahan kritis yang selama ini masih didominasi oleh jenis tanaman kayu-kayuan. Penghijauan dengan memanfaatkan bambu lokal, bukan hanya penting demi kelestarian sumber mata air, tetapi juga dapat berdampak positif terhadap peningkatan perekonomian masyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang memanfaatkan batang bambu untuk dijadikan sebagai bahan kerajinan tangan (anyaman) yang memiliki nilai ekspor bernilai tinggi. Selain itu, bambu ternyata juga dimanfaatkan oleh masyarakat, dimana rebung bambu digunakan sebagai pelengkap makan sehari-hari.
2.3 Produk Olahan Bambu Bambu sampai saat ini sudah dimanfaatkan sangat luas di masyarakat mulai dari penggunaan teknologi yang paling sederhana sampai pemanfaatan teknologi tinggi pada skala industri. Pemanfaatan di masyarakat umumnya untuk
8
kebutuhan rumah tangga dengan teknologi sederhana, sedangkan di tingkat industri biasanya ditujukan untuk orientasi ekspor. Menurut Batubara (2002), bambu dapat menghasilkan beberapa produk olahan dari bambu antara lain bambu lapis, bambu lamina, papan semen, arang bambu, pulp, kerajinan tangan (pulpen, gantungan kunci, cup lampu, keranjang, tas, dan topi), sumpit, furniture (kursi, meja, lemari pakaian, dan tempat tidur), komponen bangunan rumah, dan alat musik tradisional (angklung).
2.4 Nilai Ekonomi Hasil Hutan Nilai merupakan persepsi terhadap suatu objek (sumberdaya hutan) tertentu pada tempat dan waktu tertentu. Sedangkan persepsi merupakan pandangan, ungkapan, perspektif seseorang (individu) tentang atau terhadap suatu benda dengan proses pemahaman melalui panca indera yang diteruskan ke otak untuk proses pemikiran, dan disini berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat tersebut. Nilai sumber daya hutan sendiri bersumber dari berbagai manfaat yang diperoleh masyarakat. Masyarakat yang menerima manfaat secara langsung akan memiliki persepsi positif terhadap nilai sumber daya hutan tersebut. Hal ini akan berbeda dengan persepsi masyarakat yang tinggal jauh dari hutan dan tidak menerima manfaat secara langsung (Bahruni, 1999). Manfaat sumberdaya hutan sendiri tidak semuanya memiliki harga pasar, sehingga perlu digunakan pendekatan-pendekatan untuk mengkuantifikasi nilai ekonomi sumberdaya hutan dalam satuan moneter, sebagai contoh manfaat hutan dalam menyerap karbon dan manfaat ekologisnya. Sifatnya yang non market tersebut menyebabkan banyak manfaat sumberdaya hutan belum dinilai secara memuaskan dalam perhitungan ekonomi. Tetapi saat ini, kepedulian akan pentingnya manfaat lingkungan semakin meningkat dengan melihat kondisi sumberdaya alam yang semakin terdegradasi. Oleh karena itu, perlu dikembangkan berbagai metode dan teknik penilaian manfaat sumberdaya hutan, baik untuk manfaat sumberdaya hutan yang memiliki harga pasar ataupun tidak dalam satuan moneter. Nilai sumberdaya hutan yang dinyatakan oleh suatu masyarakat di tempat tertentu akan beragam, tergantung persepsi setiap anggota masyarakat tersebut, demikian juga keragaman nilai akan terjadi antar masyarakat yang berbeda. Nilai yang dimiliki oleh sumberdaya hutan tidak saja nilai ekonomi, tetapi juga nilai ekologis dan nilai sosial (Suparmoko dan Ratnaningsih, 2006). Menurut Fauzi (2010), penggunaan metode analisis biaya dan manfaat (cost-benefit analysis) yang konvensional sering tidak mampu menjawab permasalahan dalam menentukan nilai ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan karena konsep biaya dan manfaat tersebut sering tidak memasukkan manfaat ekologis di dalam analisisnya. Oleh karena itu, lahirlah konsep analisis valuasi ekonomi, khususnya valuasi non-pasar (non market valuation). Pengukuran valuasi ekonomi pada bambu dapat menggunakan model pengukuran dari nilai ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan (SDAL) yaitu dengan nilai ekonomi total. Nilai ekonomi total (total economic value) merupakan kombinasi dari nilai guna (use value) dan nilai bukan guna (non-use value).
9
Terminologi “total” dalam total economic value bukan menunjukkan nilai keseluruhan dari SDAL, tetapi lebih menunjukkan penjumlahan dua komponen utama yaitu nilai guna dan nilai bukan guna (Fauzi, 2014). Masih menurut Fauzi (2014), pengukuran nilai guna sering dilakukan melalui proksi dari komoditas atau jasa yang dipasarkan yang menjadi komplemen SDAL, dan penilaiannya didasarkan pada jumlah pembelian terhadap barang komplemen tersebut. Sebagai contoh, jika layanan dari sumber daya alam seperti hasil hutan yang dikonsumsi langsung maka proksi harga pasar dari komoditas tersebut juga dapat dijadikan instrumen pengukuran nilai ekonomi pemanfaatan langsung tersebut. Menurut Pearce dan Moran (1994), nilai guna (use value) merupakan nilai yang timbul dari penggunaan secara aktual terhadap sumber daya, seperti penggunaan kayu dari hutan, atau lahan basah untuk rekreasi atau memancing, dan sebagainya. Nilai guna (use value) itu sendiri terbagi atas nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tidak langsung (indirect use value), dan nilai pilihan (option value) (Pearce dan Warford, 1993). Nilai guna langsung (direct use value) secara konseptual cukup sederhana, tetapi tidak selalu mudah diukur dalam istilah ekonomi, misalnya output hasil hutan seperti kacangkacangan, rotan, karet, dan lain sebagainya harus dapat diukur dari data survei dan pasar, tetapi nilai tumbuhan obat lebih sulit dalam pengukurannya (Pearce, 1992). Menurut Munasinghe (1993), nilai guna tidak langsung (indirect use value) ditentukan oleh manfaat yang berasal dari jasa-jasa lingkungan dalam mendukung aliran produksi dan konsumsi, sedangkan nilai pilihan (option value) pada dasarnya bersifat bonus dimana konsumen mau membayar untuk aset yang tidak digunakan dengan alasan untuk menghindari resiko karena tidak memilikinya di masa mendatang. Dengan demikian nilai guna pilihan (option value) meliputi manfaat SDAL yang tidak dieksploitasi saat ini, tetapi disimpan untuk kepentingan yang akan datang. Menurut Pagiola et al. (2004), nilai pilihan (option value) berasal dari keinginan untuk melestarikan barang dan jasa ekosistem dimasa mendatang yang mungkin tidak digunakan pada saat ini, baik oleh diri sendiri (nilai pilihan) atau oleh orang lain/ahli waris (nilai warisan). Nilai bukan guna (non-use value) adalah nilai-nilai ekonomi yang tidak diperdagangkan di pasar, sehingga sulit mengungkapkannya dari segi harga, misalnya banyak kualitas digambarkan sebagai nilai-nilai sosial budaya adalah nilai bukan guna juga. Nilai bukan guna (non-use value) dapat digolongkan sebagai nilai-nilai ekonomi karena seseorang akan bersedia untuk mengalokasikan (menghabiskan uang) untuk mendapatkan dan/atau melindungi sumber daya (Mason, 2002). Menurut Pearce et al. (2002), nilai keberadaan (existence value) adalah bagian dari nilai bukan guna (non-use value) yang timbul dalam konteks dimana seorang individu bersedia membayar untuk sebuah barang/sumber daya alam meskipun dia tidak menggunakannya secara langsung, bahkan mungkin tidak bermanfaat secara tidak langsung, dan mungkin tidak berencana menggunakannya di masa yang akan datang, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Berikut ini adalah konsep nilai ekonomi total (total economic value) secara skematis yang dapat dilihat pada Gambar 2.1.
10
Nilai ekonomi total
Nilai guna
Nilai bukan guna
Penggunaan aktual (langsung dan tidak langsung)
Nilai pilihan
Untuk diri sendiri/pribadi
Untuk orang lain (altruisme)
Nilai keberadaan
Nilai warisan (untuk generasi yang akan datang)
Sumber : Pearce et al. (2002)
Gambar 2.1 Komponen nilai ekonomi total (total economic value)
2.5 Penelitian Terdahulu yang Relevan Penelitian terdahulu yang relevan mengenai pemanfaatan dan pengembangan komoditas bambu cukup banyak dilakukan, namun khusus mengenai valuasi ekonomi terhadap sumberdaya bambu belum pernah dilakukan. Penelitian ini merujuk dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya secara umum tentang pemanfaatan bambu dan penilaian ekonomi hasil hutan non kayu di beberapa daerah. Hal ini bertujuan untuk memberikan pedoman dalam melakukan penelitian mengenai: “Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Bambu Studi Kasus di Kecamatan Sajira Kabupaten Lebak, Banten”. Berikut adalah hasil penelitian terdahulu secara umum tentang pemanfaatan dan pengembangan komoditas bambu yang menjadi salah satu bahan rujukan dalam penelitian ini: 1. Analisis Sosial Ekonomi Pemanfaatan dan Potensi Tanaman Bambu (Studi Kasus: Kelurahan Berngam, Kec. Binjai Kota, Kotamadya Binjai, 2011). Adapun hasil penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: • Potensi bambu yang terdapat di Kelurahan Berngam, Kecamatan Binjai Kota, Kotamadya Binjai sebesar 50.5 ha, dimana luas wilayah Kelurahan Berngam adalah seluas 179.5 ha. Jenis tanaman bambu yang terdapat di Kelurahan Berngam ada tujuh yaitu Bambu Hitam, Bambu Apus, Bambu
11
Kuning, Bambu Betung, Bambu Rengen, Bambu Pagar, dan Bambu Tamiang. • Peningkatan ekonomi petani bambu lebih besar diperoleh dari hasil pertanian atau perkebunan dibandingkan dengan hasil tanaman bambu. Hal ini dikarenakan nilai jual bambu yang rendah. Pendapatan petani bambu dari tanaman bambu adalah sebesar Rp 13 168 000,- sedangkan pendapatan dari hasil selain bambu yaitu Rp 21 288 000,• Distribusi pemasaran bambu di Kelurahan Berngam terdiri dari enam tingkat yaitu produsen (petani bambu), pengumpul I, pengumpul II, pengrajin, pedagang panglong, dan yang terakhir konsumen. Margin Keuntungan (Profit Margin) yang terbesar pada pengrajin bambu yakni sebesar Rp 122 400 000,- sedangkan Margin Keuntungan (Profit Margin) yang terkecil pada pengumpul I dan pengumpul II yaitu Rp 4 900 000,2. Potensi Ekonomi dan Pengusahaan Hutan Rakyat Bambu di Desa Pondok Buluh, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, 2011. Adapun hasil penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: • Sistem pengelolaan hutan rakyat bambu di Desa Pondok Buluh yaitu tidak melakukan persiapan lahan pada penanaman, penanaman dilakukan pada tahun 80-an dengan tunas dan jarak tanam 3x3 m, pembersihan dilakukan dari tumbuhan pengganggu tanaman bambu seperti rumput dan tumbuhan yang melilit pada batang bambu, pemanenan bambu pertama kali dilakukan pada saat umur bambu tiga tahun dan pemanenan selanjutnya dilakukan jika umur bambu 3-5 bulan. • Potensi bambu yang terdapat di Desa Pondok Buluh sebesar 117 rumpun/ha, dimana terdapat 5 449 batang/ha, banyaknya tanaman non bambu yaitu 34 batang/ha dan untuk bambu permudaan ada 19 batang/ha. Jumlah batang tiap rumpun (KR) pada hutan rakyat bambu di Desa Pondok Buluh sebesar 46 batang/ha dengan produksi bambu 115 030 batang/tahun. • Produk utama yang dihasilkan oleh masyarakat Desa Pondok Buluh yaitu bambu belah. Saluran pemasaran produk Hutan rakyat bambu yang berupa bambu belah terdiri dari lima pola distribusi. Dimana lembaga pemasarannya terdiri dari petani, pengumpul 1 (petani sekaligus agen lokal), pengumpul II (agen yang datang dari luar desa), pengumpul III (pengusaha/panglong), dan konsumen akhir (masyarakat). Pola distribusi yang paling efisien adalah pola distribusi 5. Matriks hasil penelitian terdahulu tentang pemanfaatan dan pengembangan bambu dapat dilihat pada Tabel 2.1. Adapun yang membedakan antara penelitian terdahulu mengenai pemanfaatan bambu hanya merupakan kajian faktor-faktor produksi, inventarisasi, potensi ekonomi maupun teknologi pengolahannya. Penelitian mengenai valuasi ekonomi terhadap sumberdaya bambu belum pernah dilakukan. Sementara pada penelitian ini, akan dilakukan valuasi ekonomi sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak, Banten sehingga nilai ekonomi tangible dan intangible sumberdaya bambu dapat diketahui.
12
12
Tabel 2.1 Matriks hasil penelitian terdahulu Judul penelitian Analisis Sosial Ekonomi Pemanfaatan dan Potensi Tanaman Bambu (Studi Kasus: Kelurahan Berngam, Kec. Binjai Kota, Kotamadya Binjai)
Potensi Ekonomi dan Pengusahaan Hutan Rakyat Bambu di Desa Pondok Buluh, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun
Hasil penelitian Peningkatan ekonomi petani bambu lebih besar diperoleh dari hasil pertanian atau perkebunan dibandingkan dengan hasil tanaman bambu. Hal ini dikarenakan nilai jual bambu yang rendah. Distribusi pemasaran bambu di Kelurahan Berngam terdiri dari enam tingkat yaitu produsen (petani bambu), pengumpul I, pengumpul II, pengrajin, pedagang panglong, dan yang terakhir konsumen. Sistem pengelolaan Hutan Rakyat Bambu di Desa Pondok Buluh yaitu tidak melakukan persiapan lahan pada penanaman. Produk utama yang dihasilkan oleh masyarakat Desa Pondok Buluh yaitu bambu belah. Saluran pemasaran produk Hutan rakyat bambu yang berupa bambu belah terdiri dari lima pola distribusi. Dimana lembaga pemasarannya terdiri dari petani, pengumpul 1 (petani sekaligus agen lokal), pengumpul II (agen yang datang dari luar desa), pengumpul III (pengusaha/panglong), dan konsumen akhir (masyarakat). Pola distribusi yang paling efisien adalah pola distribusi 5.
Alat analisis Analisis deskriptif, pendapatan total (I total ), marjin keuntungan, dan marjin pemasaran
Peneliti Sihotang (2011)
Analisis deskriptif, pendapatan total (I total ), marjin keuntungan, dan marjin pemasaran
Ritonga (2010)
13
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kabupaten Lebak merupakan daerah yang memiliki prospek pasar yang baik bagi pengembangan usaha bambu di Provinsi Banten, dengan luas tanaman sebesar 2 008 ha atau setara dengan 199 670 rumpun/10 744 900 batang. Sedangkan produksinya sebesar 2 314 404 batang/tahun (Dishutbun Kab. Lebak, 2012). Bambu sudah sejak lama dikenal masyarakat Kabupaten Lebak sebagai tanaman yang bernilai ekonomis. Namun hingga kini pola pemanfaatan bambu yang ada di desa penelitian masih sangat minim, dimana masyarakat sekitar masih belum optimal dalam memanfaatkan bambu yang ada. Selain itu, masyarakat desa memanfaatkan bambu dengan mengambilnya di kawasan hutan. Hal ini perlu perhatian secara serius supaya tidak terjadi kepunahan pada tanaman bambu di desa penelitian. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya penyelamatan hutan khususnya untuk tanaman bambu yang diambil masyarakat di kawasan hutan dengan mengembangkan tanaman bambu di lahan sendiri serta memberikan informasi mengenai nilai manfaat bambu secara keseluruhan. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sajira sebagai salah satu sentra utama areal bambu di Kabupaten Lebak (Dishutbun Kab. Lebak, 2008). Nilai guna langsung yang dievaluasi dalam penelitian ini berupa nilai tegakan sumberdaya bambu, sedangkan nilai guna tidak langsung berupa nilai ekologi bambu sebagai stok karbon dan pencegah erosi. Selain itu, dilakukan juga evaluasi terhadap nilai pilihan berupa nilai pelestarian bambu lesser known species. Metode analisis yang digunakan dalam melakukan valuasi ekonomi sumberdaya bambu yaitu pendekatan nilai sisa turunan (nilai tegakan sumberdaya bambu), penilaian berdasarkan harga pasar (nilai stok karbon), pendekatan biaya pengganti (nilai pencegahan erosi), serta Contingent Valuation Method (CVM) dan persamaan regresi tobit (nilai pilihan). Penelitian ini pada akhirnya, diharapkan dapat menjadi bahan rekomendasi bagi pemerintah pusat maupun daerah setempat untuk mengambil kebijakan dalam melakukan konservasi, pengelolaan, dan pengawasan di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak, Banten. Diagram alir kerangka pikir penelitian nilai ekonomi total sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak, Banten dapat dilihat pada Gambar 3.1.
14
Sumberdaya bambu di Kec. Sajira, Kab. Lebak, Banten
Perumusan Masalah : 1. Berapa besar nilai guna langsung (direct use value) sumberdaya bambu di Kec. Sajira, Kab. Lebak? 2. Berapa besar nilai guna tidak langsung (indirect use value) sumberdaya bambu untuk nilai stok karbon dan nilai pencegahan erosi di Kec. Sajira, Kab. Lebak? 3. Berapa besar nilai pilihan (option value) sumberdaya bambu di Kec. Sajira, Kab. Lebak? 4. Berapa besar nilai ekonomi total (total economic value) sumberdaya bambu di Kec. Sajira, Kab. Lebak?
Nilai guna langsung
Nilai guna tidak langsung
Nilai pilihan
Nilai tegakan bambu
Nilai stok karbon dan nilai pencegahan erosi
Nilai pelestarian bambu lesser known species
Pendekatan nilai sisa turunan
Penilaian harga pasar dan biaya pengganti
CVM dan regresi tobit
Nilai ekonomi total sumberdaya bambu di Kec. Sajira, Kab. Lebak, Banten
Rekomendasi kepada Pemerintah Daerah dan Pusat di Kec. Sajira, Kab. Lebak, Banten
Keterangan: : Metode Analisis
Gambar 3.1 Diagram alir kerangka pikir penelitian
15
4 METODE PENELITIAN
4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di 15 desa Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak. Penelitan dimulai dari Januari sampai dengan Agustus 2013. Peta lokasi penelitian terdapat pada Gambar 4.1. Berdasarkan data rekapitulasi potensi dan produksi bambu dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lebak tahun 2012, luasan areal tegakan bambu secara keseluruhan di Kecamatan Sajira sebesar 140 ha.
Gambar 4.1 Peta lokasi penelitian di Kecamatan Sajira
4.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan dua macam data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan terdiri dari:
16
1. Data sosial ekonomi masyarakat, meliputi: umur, mata pencaharian, jumlah anggota keluarga, tingkat pendapatan, dan tingkat pendidikan masyarakat. 2. Data nilai ekonomi sumberdaya bambu, meliputi: 1) Nilai guna langsung (nilai sisa turunan) a. Data umum kebun bambu: luas pemilikan lahan, status lahan, jenis tanaman bambu, jumlah rumpun bambu, dan jumlah batang per rumpun. b. Data pemungutan produksi hasil kebun bambu: usia panen, frekuensi panen, jumlah/banyaknya produksi (dikonsumsi atau dijual). c. Data kegiatan pemungutan produksi hasil kebun bambu dan biayanya: biaya pemanenan, biaya bahan, biaya penyusutan peralatan, biaya transportasi (biaya pengangkutan), dan biaya lainnya. 2) Nilai guna tidak langsung (nilai stok karbon dan nilai pencegahan erosi) a. Nilai stok karbon: pendugaan stok karbon (jumlah bambu per rumpun, jumlah bambu per rumpun yang dipanen), dan harga karbon. b. Nilai pencegahan erosi: pendugaan laju erosi kebun bambu dan lahan non bambu (sawah, ladang, dan semak), kandungan unsur hara tanah daerah penelitian pada kebun bambu dan harga pupuk. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran pustaka melalui buku, jurnal ilmiah, dokumen, internet, dan tulisan-tulisan yang relevan dengan topik penelitian ini. Data sekunder yang dikumpulkan terdiri dari: 1. Kondisi wilayah: letak dan luas, ketinggian, keadaan iklim, penggunaan lahan, keadaan topografi, jenis tanah, luas tanah, curah hujan, kelerengan lahan. 2. Keadaan penduduk: jumlah penduduk dan keluarga, luas desa, komposisi umur penduduk, jenis kelamin, pendidikan, dan mata pencaharian. 3. Rekapitulasi potensi dan produksi bambu: luas lahan, jenis bambu, jumlah rumpun dan batang bambu, produksi bambu per tahun.
4.3. Metode Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan secara langsung pada lokasi penelitian sebagai berikut: 1. Studi literatur, dilakukan untuk mendapatkan data mengenai keadaan umum lokasi penelitian, iklim, keadaan tanah, curah hujan, jenis penutupan tanah, topografi, kelerengan lahan serta jumlah penduduk dan keluarga secara keseluruhan. 2. Melakukan observasi dan analisis pengelolaan bambu yang ada di lapangan. 3. Wawancara dan diskusi dilakukan secara terstruktur dan bebas. Secara terstruktur dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan, sedangkan bebas dilakukan tanpa menggunakan kuesioner mengenai hal-hal terkait dengan penelitian. 4. Pengambilan sampel tanah pada penutupan lahan kebun bambu untuk memperoleh data mengenai kandungan unsur hara tanah sebagai data pendukung nilai guna tidak langsung (nilai pencegahan erosi). 5. Keselurahan data, baik data primer maupun sekunder selanjutnya ditabulasikan sesuai dengan kebutuhan sebelum dilakukan analisis data.
17
4.4 Metode Pengambilan Sampel Penentuan sampel responden menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria memiliki kebun bambu atau memproduksi bambu. Identifikasi responden dengan kriteria tersebut menggunakan snowball technique, pertamatama dipilih satu atau dua orang petani yang memiliki kebun bambu sebagai responden, kemudian dari informasi responden tersebut dipilih responden lain yang juga memiliki kebun bambu dan informasi terkait penelitian ini. Hal ini dilakukan sampai jumlah responden setiap desa terpenuhi. Besarnya sampel responden dihitung menggunakan formula Slovin (Cochran, 1977), pada jumlah penduduk Kecamatan Sajira: z2
N
n=
= 2
z
2
+ Ne
………………………………………….(1) 2
1 + Ne
Keterangan: n = ukuran sampel z = deviasi normal standar pada (α = 5%) diasumsikan 2 = proporsi populasi diasumsikan 0,5 e = presisi relatif (10%) N = jumlah populasi Data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Lebak Tahun 2012, menunjukkan jumlah kepala keluarga (KK) di Kecamatan Sajira sebanyak 13 120 KK. Berdasarkan formula di atas maka sampel responden yang diambil sebanyak 99 KK dari 15 desa. Jumlah responden tiap desa ditentukan secara proporsional terhadap jumlah penduduk desa dengan rincian sebagai berikut. 1. Desa Maraya = 1 072/13 120 x 99 = 9 KK 2. Desa Margaluyu = 1 056/13 120 x 99 = 8 KK 3. Desa Sukamarga = 867/13 120 x 99 = 7 KK 4. Desa Sindangsari = 812/13 120 x 99 = 6 KK 5. Desa Sajira Mekar = 728/13 120 x 99 = 6 KK 6. Desa Sajira = 698/13 120 x 99 = 6 KK 7. Desa Sukarame = 819/13 120 x 99 = 6 KK 8. Desa Calungbungur = 786/13 120 x 99 = 6 KK 9. Desa Sukajaya = 685/13 120 x 99 = 6 KK 10. Desa Paja = 496/13 120 x 99 = 4 KK 11. Desa Mekarsari = 764/13 120 x 99 = 6 KK 12. Desa Pajagan = 944/13 120 x 99 = 7 KK 13. Desa Parungsari = 1 012/13 120 x 99 = 8 KK 14. Desa Bungur Mekar = 587/13 120 x 99 = 5 KK 15. Desa Ciuyah = 1 071/13 120 x 99 = 9 KK Metode bertanya kepada responden yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan pendekatan pertanyaan langsung atau terbuka (direct open ended). Pendekatan pertanyaan langsung (direct open ended) digunakan dengan cara memberikan pertanyaan langsung berapa nilai atau harga maksimum yang
18
sanggup dibayarkan (Willingness to Pay/WTP) responden untuk melindungi jenis bambu lesser known species tersebut. Menurut Tresnadi (2000), keuntungan metode ini adalah tidak adanya petunjuk pemberian harga tawaran awal terhadap barang lingkungan yang diberikan dalam kuesioner, yang mungkin dapat menyatakan nilai barang lingkungan. Selain itu, metode ini dapat dipergunakan dalam survei surat, telepon dan wawancara. 4.5 Identifikasi Data yang diperlukan dan Metode Analisis yang digunakan Tabel 4.1 menunjukkan identifikasi data yang diperlukan dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian “Nilai ekonomi total sumberdaya bambu studi kasus di Kecamatan Sajira Kabupaten Lebak, Banten”. Tabel 4.1 Identifikasi data yang diperlukan dan metode analisis yang digunakan Penilaian - NT
Data Metode analisis Sumber data Produksi bambu, jumlah Nilai sisa turunan Data primer barang, biaya pengeluaran dan data dan harga pasar produk sekunder akhir - NPE Laju erosi tanah, Biaya pengganti Data primer kandungan unsur hara dan data tanah erosi, dan harga sekunder pupuk - NSK Luas areal bambu, tinggi Harga pasar Data primer bambu, jumlah rumpun & dan data batang, dan harga karbon sekunder - NP Kelestarian sumberdaya Metode kontingensi Data primer bambu lesser known (CVM) dan analisis species di masa yang akan regresi tobit datang Keterangan: NET: Nilai ekonomi total, NT: Nilai tegakan, NPE: Nilai pencegahan erosi, NSK: Nilai stok karbon, NP: Nilai pilihan
4.6 Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan pendekatan nilai sisa turunan, pendekatan biaya pengganti, penilaian harga pasar, CVM, dan regresi tobit. Sedangkan proses pengolahan data menggunakan program SAS. 4.6.1 Nilai Tegakan Sumberdaya Bambu Nilai tegakan bambu merupakan nilai potensial batang bambu yang dipanen dari rumpun bambu (sering disebut nilai tegakan bambu). Metode analisis sangat sering digunakan untuk menentukan nilai tegakan melalui pendekatan nilai sisa turunan atau investasi (Noor et al., 2007b). Pada pendekatan nilai sisa turunan, nilai keberadaan bambu dijumlahkan secara berbeda antara harga jual produk yang terbuat dari bambu dan cabutan
19
untuk biaya pengolahan pasar (termasuk batas keuntungan dan resiko). Parameterparameter ini mengharuskan untuk menghitung nilai termasuk harga jual, jumlah rumpun bambu yang potensial dipanen, harga perubahan, dan batas keuntungan. Menurut Davis dan Johnson (1987), untuk memperkirakan nilai tegakan bambu (stumpage value) adalah: NT = HP - (Bp + Bo + S) - BKR ..........................................................................(2) Keterangan: NT = Nilai tegakan sumberdaya bambu (Rp/tahun) HP = Harga jual produk akhir (Rp/tahun) Bp = Biaya pemanenan (Rp/tahun) Bo = Biaya pengolahan (Rp/tahun) S = Penyusutan (Rp/tahun) BKR = Batas keuntungan dan resiko usaha (Rp/tahun) dengan rumus sebagai berikut: BKR =
...................................................................................................(3)
Rk = Rasio keuntungan (%) 4.6.2 Nilai Pencegahan Erosi (NPE) Menurut penelitian yang telah dilakukan Sutono et al. (2003), Rasyid (2005), Supriatna (2006), dan Irawan (2007), metode biaya pengganti (replacement cost method) dapat digunakan untuk menilai sumberdaya atau lahan sebagai pencegah erosi. Tahapan dalam menentukan NPE sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira adalah sebagai berikut. 1. ∆ erosi = Kemampuan lahan bambu menahan laju erosi (ton/ha/thn) = Laju erosi lahan non bambu - laju erosi areal bambu 2. Kandungan unsur hara yang hilang = ∆ erosi x kandungan unsur hara awal 3. Menghitung jumlah pupuk yang ekivalen dengan kandungan unsur hara yang hilang 4. Nilai pencegahan erosi didekati dengan biaya pengganti yaitu harga pupuk yang dibutuhkan untuk mengembalikan kandungan unsur hara yang hilang 5. Nilai pencegahan erosi total (NPET) = NPE x luas areal bambu Menurut Wischmeier dan Smith (1978), pendugaan laju erosi dapat dihitung dengan model USLE (Universal Soil Loss Equation sebagai berikut: A = R x K x L x S x C x P ....................................................................................(4) Keterangan: A = Banyaknya tanah tererosi (ton/ha/tahun); R = Faktor curah hujan, yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30 ); K = Faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per unit indeks erosi untuk suatu tanah yang diperoleh dari petak homogen percobaan standar, dengan panjang 72.6 kaki (22 m) terletak pada lereng 9% tanpa tanaman; L = Faktor panjang lereng 9%, yaitu nisbah erosi dari tanah dengan panjang lereng tertentu dan erosi dari tanah dengan panjang lereng 72.6 kaki (22 m) di bawah keadaan yang identik;
20
S
C
P
= Faktor kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu tanah dengan kecuraman lereng tertentu, terhadap besarnya erosi dari tanah dengan lereng 9% di bawah keadaan yang identik; = Faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identik tanpa tanaman; = Faktor tindakan konservasi tanah, yaitu nisbah antara besarnya erosi tanah yang diberi perlakuan tindakan konservasi tanah seperti pengelolaan menurut kontur, penanaman dalam strip atau teras terhadap besarnya erosi dari tanah yang diolah searah lereng dalam keadaan yang identik.
4.6.3 Nilai Stok Karbon (NSK) Penentuan nilai stok karbon menggunakan pendekatan harga karbon yang berlaku di pasar internasional, menggunakan formula sebagai berikut: NSK = Skb x Hk ...................................................................................................(5) Keterangan: NSK = Nilai stok karbon (Rp) Hk = Harga karbon (Rp/t C) Skb = Stok karbon bambu (g C/batang) Harga karbon diasumsikan sebesar US$ 9.12/t C (Asmani et al., 2010) atau apabila nilai US$ 1 setara dengan Rp 11 000, maka harga karbon sekitar Rp 100 320/ton. Menurut Suprihatno et al. (2012), pendugaan stok karbon bambu (Skb) didapat dari model alometrik berbentuk polinomial pada persamaan sebagai berikut: Y = -274.64 + 362.45X – 59.81X2 + 3.1595X3.....................................................(6) Keterangan: Y (Skb) = Stok karbon bambu (g C/batang) X = Tinggi tanaman (m) Persamaan ini dipilih karena memiliki nilai korelasi (R2) tinggi yaitu 0.87% yang artinya dengan peningkatan tinggi tanaman maka akan semakin meningkatkan stok karbon bambu (Skb). Persamaan ini menghasilkan besaran Skb yang kemudian dikalikan dengan jumlah bambu keseluruhan (Skbt) dan jumlah bambu masak tebang (Skbmt). Besarnya stok karbon bambu sisa (Skbs) diperoleh dari selisih antara Skbt dengan Skbmt. 4.6.4 Contingent Valuation Method (CVM) Contingent valuation method (CVM) merupakan metode valuasi sumber daya alam dan lingkungan (SDAL) dengan cara menanyakan secara langsung kepada konsumen tentang nilai manfaat SDAL yang mereka rasakan. Metode ini dilakukan dengan survei untuk menanyakan masyarakat tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditas yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan. Asumsi dasar dari metode ini adalah nilai suatu barang dan jasa merupakan fungsi dari karakteristiknya.
21
Menurut Hanley dan Spash (1993), tahapan-tahapan dalam penggunaan CVM, yaitu: a. Membuat pasar hipotetik Pasar hipotetik yang dibentuk adalah suatu pasar untuk mengetahui nilai pilihan sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira, dengan mengidentifikasi jenis bambu yang kurang dikenal (lesser known species) atau tidak memiliki harga pasar. Identifikasi dilakukan dengan mewawancarai responden mengenai keberadaan jenis bambu lesser known species. Apabila terdapat jenis bambu yang dimaksud, selanjutnya responden diminta mendengarkan atau membaca pernyataan tentang potensi dan kondisi sumberdaya bambu serta dampak yang ditimbulkan apabila bambu dieksplorasi besar-besaran tanpa disertai dengan tindakan budidaya. Kemudian, pasar hipotetik CVM yang ditawarkan dibentuk dalam sebuah skenario sebagai berikut: Nilai Pilihan “Apabila ada jenis bambu yang anda miliki, yang saat ini belum memiliki harga
pasar, namun anda berkeyakinan atau berharap bahwa suatu saat nanti bambu tersebut akan bernilai jual sehingga anda tetap memeliharanya sampai sekarang. Apabila ada jenis bambu tersebut, apa jenis bambu itu? dan berapakah jumlah yang bersedia anda bayarkan untuk melestarikan jenis bambu tersebut?” Berdasarkan pernyataan tersebut akan diperoleh ukuran perilaku konsumen dalam situasi hipotesis bukan dalam situasi riil. Pasar hipotesis yang dibentuk dalam penelitian ini menggambarkan potensi dan kondisi pemanfaatan jenis bambu lesser known species di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak. b. Mendapatkan penawaran besarnya nilai WTP Responden diberikan nilai tawaran kesediaan membayar dan meminta responden untuk memilih nilai tertinggi yang bersedia dibayarkan untuk melindungi jenis bambu lesser known species secara optimal. Besarnya nilai WTP yang diajukan kepada responden dalam penelitian ini ditetapkan acuan nilai/harga dari jenis bambu lain. c. Penentuan nilai pilihan Nilai pilihan ditentukan dengan menggunakan formula sebagai berikut: TWTP = EWTP x Kb............................................................................................(7) Keterangan: TWTP : Total WTP EWTP : Dugaan rataan WTP Kb : Kepadatan bambu (batang/ha) d. Mengevaluasi penggunaan CVM Tahap ini dilakukan untuk menilai sejauh mana penerapan CVM berhasil dilakukan. Penilaian tersebut dilakukan dengan memberikan pertanyaanpertanyaan seperti apakah responden benar-benar mengerti mengenai pasar hipotetik, berapa banyak kepemilikan responden terhadap barang/jasa lingkungan yang terdapat dalam pasar hipotetik, seberapa baik pasar hipotetik yang dibuat dapat mencakup semua aspek barang/jasa lingkungan, seberapa besar tingkat kesalahan responden dalam menjawab pertanyaan yang diajukan, dan pertanyaan sejenis lainnya.
22
4.6.5 Regresi Tobit Regresi tersensor atau model Tobit merupakan analisis regresi yang digunakan untuk variabel tak bebas yang akibat sifat terbatasnya menjadi bernilai nol untuk beberapa pengamatan dan bernilai positif untuk selainnya. Menurut Greene (1997), variabel respon yang bersifat mixture (campuran) memiliki struktur data dengan skala diskrit untuk yang bernilai nol dan berskala kontinyu untuk tidak bernilai nol, maka dikategorikan data tersensor. Disebut data tersensor jika pada variabel respon terdapat nilai yang dibatasi (Suhardi dan Llewelyn, 2001). Pendugaan parameter regresi tobit menggunakan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE) yang memaksimalkan nilai dari likelihood function dengan mencari parameter-parameter regresi yang memberikan nilai tertinggi untuk likelihood function tersebut. Menurut Hosmer dan Lemeshow (2000), dengan metode ini diperoleh penduga yang konsisten dan efisien untuk sampel yang berukuran besar. Penelitian ini terdiri dari delapan variabel independen dan satu variabel dependen dalam bentuk model matematis sebagai berikut: WTP = β 0 + β 1 U + β 2 AD + β 3 JP + β 4 TP + β 5 P + β 6 AK + β 7 JK + β 8 PB + ei …..(8) Keterangan : WTP : Nilai WTP responden (Rp/orang) β0 : Intersep β 1 ,.., β n : Koefisien regresi U : Usia responden (tahun) AD : Asal daerah/lokasi responden (dummy) JP : Jenis pekerjaan responden (dummy) TP : Tingkat pendidikan responden P : Pendapatan responden (Rp/bulan) AK : Anggota keluarga responden JK : Jenis kelamin responden (dummy) PB : Pengetahuan manfaat sumberdaya bambu (dummy) e : Error i : Responden ke-i (i = 1, 2, 3,..., n) Variabel independen pada persamaan regresi diperoleh dari kondisi aktual di lapangan. Urutan pertanyaan disusun dengan menggunakan skala ordinal, interval, dan nominal. Adapun matriks variabel regresi dapat dilihat pada Tabel 4.2.
23
Tabel 4.2 Matriks variabel regresi Variabel
Keterangan
Kriteria penyusunan
Nilai yang didapat dari kesediaan membayar (Willingness to pay/WTP) responden
a. Ya = 1 b. Tidak = 0
U
Usia responden yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat usia dalam karir pekerjaan
Skala Nominal
AD
Asal daerah/lokasi responden yang diklasifikasikan berdasarkan penduduk asli atau pendatang dari luar daerah (dummy)
a. Asli = 1, b. Pendatang = 0
TP
Tingkat pendidikan responden yang diklasifikasikan berdasarkan lamanya jenjang pendidikan
JP
Jenis pekerjaan utama responden sehari-hari (dummy)
WTP
P
AK
Pendapatan responden yang diklasifikasikan berdasarkan jumlah pendapatan rata-rata per bulan Jumlah anggota keluarga responden yang diklasifikasikan berdasarkan banyaknya tanggungan dalam keluarga
JK
Jenis kelamin responden (dummy)
PS
Pengetahuan masyarakat tentang manfaat sumberdaya bambu (dummy)
a. SD = 1 b. SMP = 2 c. SMA = 3 d. S1/Diploma = 4 a. Petani = 1, Lainnya = 0 b. Wiraswasta = 1, Lainnya =0 c. Peternak =1, Lainnya = 0 d. PNS =1, Lainnya = 0 e. Buruh tani = 1, Lainnya =0 f. Supir = 1, Lainnya = 0 g. Swasta = 1, Lainnya = 0 a. (< 1 juta) = 1 b. (1.1-3 juta) = 2 c. (> 3 juta) = 3 Skala Nominal a. Laki-laki = 1 b. Perempuan = 0 a. Ya = 1 b. Tidak = 0
Penggunaan analisis tobit tidak memerlukan uji asumsi klasik (normalitas, multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas) seperti pada uji regresi berganda. Hal ini dikarenakan dalam penggunaan analisis tobit variabel dependennya kualitatif. Selain itu, perhitungan tobit memiliki keunggulan dibandingkan analisis regresi berganda (OLS) karena penggunaan OLS dalam suatu model matematis akan menyebabkan perhitungan parameter akan cenderung mendekati nol, hubungan variabel menjadi tidak signifikan atau ketika hubungan tersebut signifikan maka nilainya akan bias serta tidak konsisten karena hasil penelitian yang baru tidak sesuai dengan hasil sebelumnya (Tobin, 1958).
24
4.6.6 Nilai Ekonomi Total Bambu Nilai total dari sumberdaya bambu merupakan penjumlahan seluruh nilai ekonomi dari manfaat sumberdaya bambu yang telah diidentifikasi dan dikuantifikasi ke dalam nilai uang. Nilai manfaat total tersebut dirumuskan sebagai berikut: NET = NGL + NGTL + NP .................................................................................(9) Keterangan NET : Nilai ekonomi total NGL : Nilai guna langsung NGTL : Nilai guna tidak langsung NP : Nilai pilihan
25
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Keadaan Umum Daerah 5.1.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah Menurut data Bappeda Kabupaten Lebak (2012), Kecamatan Sajira merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten yang memiliki luas wilayah sebesar 11 098 ha atau setara 110.98 km2. Secara administrasi Kecamatan Sajira meliputi 15 desa yaitu Desa Maraya, Desa Margaluyu, Desa Sukamarga, Desa Sindangsari, Desa Sajira Mekar, Desa Sajira, Desa Sukarame, Desa Calungbungur, Desa Sukajaya, Desa Paja, Desa Mekarsari, Desa Pajagan, Desa Parungsari, Desa Bungur Mekar, dan Desa Ciuyah. Jarak tempuh rata-rata dari desa ke ibukota kecamatan 6.7 km dan dari desa ke ibukota kabupaten 22.8 km. Secara geografis Kecamatan Sajira terletak antara 105° 25’-106° 30’ BT dan 6° 18’-7° 00’ LS dengan ketinggian 165 m di atas permukaan laut. Adapun batas wilayah administratif Kecamatan Sajira sebagai berikut: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Curugbitung, 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Muncang, 3. Sebelah Timur dengan Cipanas, 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Cimarga. Luas desa beserta jarak ke ibukota kecamatan dan kabupaten di Kecamatan Sajira dapat dilihat pada Tabel 5.1 (Kantor Kecamatan Sajira, 2011). Tabel 5.1 Luas dan jarak desa ke ibukota kecamatan dan kabupaten terdekat di Kecamatan Sajira tahun 2011 No.
Desa
Luas desa (ha)
1 Maraya 510 2 Margaluyu 510 3 Sukamarga 1 050 4 Sindangsari 661 5 Sajira Mekar 682 6 Sajira 1 467 7 Sukarame 615 8 Calungbungur 552 9 Sukajaya 960 10 Paja 557 11 Mekarsari 530 12 Pajagan 1 221 13 Parungsari 628 14 Bungur Mekar 548 15 Ciuyah 795 Sumber: Kantor Kecamatan Sajira Tahun 2011
Jarak ke ibukota kecamatan (km)
Jarak ke ibukota kabupaten (km)
15 6 4 2 1 0 2 7 2 6 8 14 15 6 12
41 32 30 28 27 26 24 19 24 20 18 12 11 16 14
26
5.1.2 Topografi, Iklim, dan Tataguna Lahan Menurut data Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Lebak Tahun 2013, topografi wilayah Kecamatan Sajira berupa dataran rendah dengan topografi rata-rata 10% dan pegunungan dengan topografi rata-rata 90%. Keadaan iklim di Kecamatan Sajira memiliki tipe iklim D2 yaitu bulan basah tiga bulan berturut-turut dan bulan kering dua bulan berturut-turut dengan ketentuan agroklimat tipe D2 dapat digunakan untuk menanam padi satu kali dan palawija satu kali, tanam padi dua kali apabila persediaan air irigasi mencukupi dalam satu tahun. Curah hujan tahunan di Kecamatan Sajira rata-rata 2 275.5 mm/tahun dengan jumlah hari hujan 164 hari. Penggunaan lahan di Kecamatan Sajira dikelompokkan menjadi penggunaan untuk lahan bukan sawah, lahan sawah, dan lahan non pertanian. Alokasi penggunaan lahan secara berurutan dari yang terbesar adalah untuk lahan bukan sawah dengan luas 8.354 ha (74.02%), lahan sawah seluas 2 045 ha (18.12%), dan lahan non pertanian seluas 887 ha (7.86%). 5.1.3 Lahan Kritis Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lebak (Dishutbun Kab. Lebak) pada tahun 2011, keadaan lahan hutan di Kecamatan Sajira seluas 1 139.62 ha dengan tingkat kekritisan lahan sebesar 440.45 ha. Data tersebut menunjukkan bahwa upaya untuk melakukan rehabilitasi lahan kritis di Kecamatan Sajira sebesar 179.11 ha (40.67%). 5.1.4 Jenis Tanah Berdasarkan hasil pengukuran planimetris Dishutbun Kab. Lebak tahun 2011, Kecamatan Sajira memiliki jenis tanah yang terdiri tanah aluvial seluas 19 101 ha, latosol seluas 141 489 ha, dan podsolik merah kuning seluas 114 719 ha (Data BP4K Kab. Lebak, 2013). Banyaknya jenis tanah latosol di Kecamatan Sajira menunjukkan bahwa sumberdaya bambu dapat tumbuh dengan baik pada jenis tanah tersebut, hal ini sesuai dengan pernyataan Sutiyono et al. (1996), yang mengatakan bahwa jenis-jenis tanah yang ditumbuhi oleh pusat bambu adalah jenis tanah asosiasi latosol merah, latosol merah kecoklatan, dan laterit. 5.1.5 Kependudukan Berdasarkan data kependudukan dari instansi terkait, diketahui bahwa jumlah penduduk di Kecamatan Sajira pada tahun 2012 tercatat 47 739 jiwa (13 120 kepala keluarga) yang terdiri atas 24 470 laki-laki dan 23 269 perempuan. Kepadatan penduduk sebesar 430 jiwa/km2 dengan luas wilayah kecamatan 11 098 ha. Secara khusus, kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Desa Maraya dengan kepadatan 829 jiwa per km2 dan kepadatan penduduk terendah terdapat di Desa Sajira dengan kepadatan 174 jiwa/km2. 5.1.6 Mata Pencaharian Sumber mata pencaharian penduduk di Kecamatan Sajira sebagian besar dari sektor pertanian baik sebagai petani maupun buruh tani dengan persentase sebesar 76.28%. Selain itu, ada juga yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan TNI/POLRI, perdagangan, home industri, dan lainnya. Distribusi
27
jumlah penduduk menurut jenis pekerjaan di Kecamatan Sajira dapat dilihat pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Distribusi mata pencaharian penduduk Kecamatan Sajira No.
Jenis mata pencaharian
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1.
PNS Sipil dan TNI/POLRI
571
1.93
2.
Home industri
265
0.89
3.
Pedagang
983
3.32
4.
Petani
8 655
29.23
5.
Buruh tani
13 930
47.05
6.
Lainnya
5 203
17.57
29 607
100
Total Sumber: BPS Kabupaten Lebak, 2011
5.2 Karakteristik Responden Karakteristik responden di Kecamatan Sajira diperoleh berdasarkan survei terhadap 99 responden. Karakteristik umum responden ini dijelaskan dari beberapa kriteria seperti yang dijelaskan sebagai berikut. 5.2.1 Jenis Kelamin Responden Responden dalam penelitian ini sebagian besar adalah laki-laki dengan jumlah 78 orang (78.79%) dan perempuan berjumlah 21 orang (21.21%). Banyaknya responden laki-laki disebabkan karena laki-laki sebagai kepala keluarga yang mengambil keputusan dalam menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Perbandingan persentase jenis kelamin responden disajikan pada Gambar 5.1.
21.21%
Laki-laki Perempuan 78.79%
Gambar 5.1 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
28
5.2.2 Tingkat Usia Tingkat usia responden di Kecamatan Sajira cukup bervariasi dengan distribusi usia antara 22-79 tahun. Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa usia responden yang paling dominan berada pada kisaran usia antara 28-35 tahun (32.32%). Sedangkan usia responden paling sedikit berada pada kisaran usia 76-83 tahun (2.02%). Menurut Tjiptoherijanto (2001), kelompok umur produktif berada pada kisaran usia 15-64 tahun, sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar umur responden di Kecamatan Sajira masih termasuk kelompok umur produktif. Berikut adalah diagram persentase tingkat usia responden pada 15 desa di Kecamatan Sajira (Gambar 5.2).
3.03% 2.02% 12.12%
13.13%
4.04%
20-27 28-35 36-43 32.32%
18.19%
44-51 52-59
15.15%
60-67 68-75 76-83
Gambar 5.2 Karakteristik responden berdasarkan tingkat usia 5.2.3 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan tertinggi responden di Kecamatan Sajira adalah perguruan tinggi (Sarjana dan Diploma), namun pada umumnya tingkat pendidikan di kecamatan tersebut masih sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari persentase lulusan tingkat pendidikan sekolah dasar (SD) sebesar 83.84% dan hanya 4.04% yang mencapai tingkat pendidikan perguruan tinggi (Sarjana dan Diploma). Rendahnya tingkat pendidikan di Kecamatan Sajira disebabkan karena masih langkanya sarana pendidikan, pertimbangan biaya, dan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Latar belakang pendidikan yang sangat minim tersebut, akan menyulitkan seseorang untuk meningkatkan potensi ekonominya sehingga pendapatan yang diperoleh hanya sedikit. Perbandingan persentase tingkat pendidikan terakhir responden dapat dilihat pada Gambar 5.3.
29
1.01% 5.05%
3.03%
7.07%
SD SMP SMA 83.84%
Diploma S1
Gambar 5.3 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan 5.2.4 Jenis Pekerjaan Pekerjaan utama. Secara umum jenis pekerjaan utama kepala keluarga responden dalam penelitian ini adalah dari sektor pertanian (Tabel 5.3). Bentuk kegiatan yang dilakukan antara lain mengolah kebun, mengolah sawah, buruh tani, dan pekerja pada perkebunan swasta. Sedangkan pada sektor non-pertanian, kepala keluarga bekerja sebagai pegawai negeri sipil (guru atau penyuluh kehutanan), pedagang/wiraswasta, supir, peternak, dan satpam. Tabel 5.3 Persentase responden berdasarkan jenis pekerjaan di Kecamatan Sajira Jenis pekerjaan Petani PNS Wiraswasta/pedagang Buruh tani Pegawai swasta Supir Ojek Pengrajin Kuli Tengkulak Peternak Satpam Total
Utama 82 5 7 1 1 1 1 1 99
Persentase (%) 82.83 5.05 7.07 1.01 1.01 1.01 1.01 1.01 100
Sampingan 8 10 10 1 2 8 36 11 1 87
Persentase (%) 9.19 11.49 11.49 1.15 2.30 9.19 41.40 12.64 1.15 100
Banyaknya masyarakat yang bermatapencaharian sebagai petani disebabkan karena tradisi bertani ini merupakan warisan nenek moyang yang keberadaannya harus tetap dijaga dan dipertahankan untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Selain itu, terbatasnya lapangan pekerjaan di luar sektor pertanian juga menjadi salah satu faktor terbatasnya jumlah masyarakat yang bekerja di luar sektor pertanian.
30
Pekerjaan sampingan. Disamping pekerjaan utama/pokok, terdapat juga pekerjaan sampingan yang dilakukan masyarakat di Kecamatan Sajira. Bentukbentuk pekerjaan tersebut antara lain membuat kerajinan tangan, dinding dan atap rumah bambu, berdagang, ojek, buruh tani, kuli, dan tengkulak. 5.2.5 Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan per bulan responden di Kecamatan Sajira terbagi atas pendapatan rata-rata pekerjaan utama dan pendapatan rata-rata pekerjaan sampingan. Tingkat pendapatan rata-rata per bulan untuk pekerjaan utama berada pada kisaran Rp 300 000-Rp 4 000 000. Sedangkan tingkat pendapatan rata-rata per bulan untuk pekerjaan sampingan berada pada kisaran Rp 100 000-Rp 2 500 000. Adapun tingkat rata-rata pendapatan per bulan untuk setiap jenis pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan responden di Kecamatan Sajira dapat dilihat pada Tabel 5.4. Tabel 5.4 Tingkat rata-rata pendapatan pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan responden di Kecamatan Sajira Pekerjaan utama Petani Wiraswasta Buruh tani Supir PNS Pegawai swasta Satpam Peternak
Rata-rata pendapatan (Rp) 962 988 3 857 143 300 000 850 000 1 920 000 3 700 000 1 000 000 2 000 000
Pekerjaan sampingan Petani Wiraswasta Buruh tani Tengkulak Kuli Pegawai swasta Pengrajin Peternak Ojek
Rata-rata pendapatan (Rp) 981 250 2 260 000 162 500 344 545 253 611 770 000 1 006 250 1 300 000 650 000
Tabel 5.4 menunjukkan terdapat delapan jenis pekerjaan utama yang dimiliki responden di Kecamatan Sajira, dimana tingkat pendapatan rata-rata per bulan paling tinggi adalah Rp 3 857 143 dengan pekerjaan sebagai wiraswasta. Sedangkan buruh tani memiliki pendapatan rata-rata per bulan paling rendah yaitu sebesar Rp 300 000. Pendapatan rata-rata per bulan untuk pekerjaan utama responden yang lain seperti petani sebesar Rp 962 988, supir sebesar Rp 850 000, PNS sebesar Rp 1 920 000, pegawai swasta sebesar Rp 3 700 000, satpam sebesar Rp 1 000 000, dan peternak sebesar Rp 2 000 000. Pada jenis pekerjaan sampingan terdapat sembilan profesi yang dimiliki responden di Kecamatan Sajira, dimana tingkat pendapatan paling tinggi adalah wiraswasta dengan pendapatan rata-rata per bulan sebesar Rp 2 260 000. Sedangkan buruh tani memiliki pendapatan rata-rata per bulan paling rendah yaitu sebesar Rp 162 500. Pendapatan rata-rata per bulan untuk pekerjaan sampingan responden yang lain seperti petani sebesar Rp 981 250, tengkulak sebesar Rp 344 545, kuli sebesar Rp 253 611, pegawai swasta sebesar Rp 770 000, pengrajin sebesar Rp 1 006 250, peternak sebesar Rp 1 300 000, dan ojek sebesar Rp 650 000.
31
Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan, dapat diketahui bahwa responden yang berprofesi sebagai petani adalah pemilik yang sekaligus menggarap lahan pertanian mereka dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap lahan mereka sendiri. Sedangkan responden yang berprofesi sebagai buruh tani adalah petani yang tidak memiliki lahan sawah dan modal, dimana mereka menanam padi atas dasar bagi hasil dengan pemilik lahan. Biasanya penghasilan yang mereka terima kurang dari 40% dari penghasilan petani pemilik lahan. Hal inilah yang menyebabkan rendahnya pendapatan yang diperoleh oleh buruh tani, selain juga karena faktor-faktor lain yang mempengaruhinya seperti rendahnya tingkat pendidikan, kurangnya keterampilan buruh tani dalam bidang pertanian, dan lain-lain. Hal yang saat ini bisa dilakukan agar pendapatan buruh tani meningkat adalah dengan meningkatkan upah sesuai dengan usaha yang mereka lakukan.
5.3 Pemanfaatan Sumberdaya Bambu di Kecamatan Sajira Berdasarkan hasil survei dan wawancara yang telah dilakukan terhadap 99 kepala keluarga (KK) menunjukkan bahwa luas rata-rata kepemilikan lahan bambu (kebun campuran) di Kecamatan Sajira sebesar 1.33 ha/orang (Lampiran 1). Adapun data kelas luas lahan bambu responden di Kecamatan Sajira dapat dilihat pada Tabel 5.5. Tabel 5.5 Rata-rata kepemilikan lahan bambu di Kecamatan Sajira Kelas luas lahan (ha)
Jumlah responden Jumlah KK
Persentase (%)
I (< 0.5)
24
24.24
II (0.5-1.0)
39
39.40
III (> 1.0)
36
36.36
Total
99
100
Data luas kepemilikan lahan didapatkan dari hasil wawancara langsung dengan responden terpilih. Hal ini disebabkan karena tidak tersedianya data yang akurat terhadap perubahan kepemilikan lahan warga desa. Konsep dari kepemilikan lahan yang dipakai adalah bahwa lahan milik merupakan lahan yang benar-benar dimiliki oleh seorang kepala keluarga yang berasal dari warisan turun menurun, jual beli, pemberian orang lain, atau karena adanya perluasan lahan akibat pembukaan lahan baru yang dilakukan sendiri. Kecamatan Sajira sebagai salah satu sentra areal bambu di Kabupaten Lebak memiliki beberapa jenis bambu yang dimanfaatkan masyarakat, baik dalam bentuk bambu bulat (gelondongan) maupun kerajinan tangan (anyaman). Berikut ini adalah data rekapitulasi produksi bambu berdasarkan jenis yang disajikan pada Tabel 5.6.
32
Tabel 5.6 Rekapitulasi produksi bambu berdasarkan jenis di Kecamatan Sajira Jenis Bambu Bambu apus (Gigantochloa apus) Bambu mayan (Gigantochloa robusta) Bambu hitam (Gigantochloa atter) Bambu betung (Gigantochloa asper) Bambu ampel (Bambusa vulgaris) Total
Produksi (batang/tahun)
Persentase (%)
84 987
53
43 376
27
4 327
3
23 540
15
2 769
2
159 000
100
Tabel 5.6 menunjukkan total produksi bambu di Kecamatan Sajira sebesar 159 000 batang/tahun. Hasil ini diperoleh dari data Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Lebak tahun 2012, sedangkan produksi bambu berdasarkan jenisnya diperoleh dari hasil wawancara dengan responden terpilih, sehingga dari hasil wawancara tersebut dapat diduga distribusi produksi bambu tiap jenis di Kecamatan Sajira. Seperti yang dihasilkan pada Tabel 5.6, dapat diketahui bahwa jenis bambu yang paling sering dimanfaatkan/diproduksi oleh masyarakat di Kecamatan Sajira adalah bambu apus (Gigantochloa apus) sebanyak 84 987 batang/tahun (53%), sedangkan produksi bambu paling sedikit adalah bambu ampel (Bambusa vulgaris) yaitu sebanyak 2 769 batang/tahun (2%). Berikut ini adalah beberapa jenis bambu yang terdapat di Kecamatan Sajira. 1. Bambu mayan (Gigantochloa robusta) Pada umumnya bambu mayan yang terdapat di Kecamatan Sajira digunakan buluhnya sebagai tempat air dan bahan kerajinan sumpit. Saat ini produksi bambu mayan di Kecamatan Sajira diperkirakan sekitar 43 376 batang/tahun (Tabel 10). Walaupun bukan merupakan jenis bambu yang paling sering diproduksi, namun bambu mayan memberikan kontribusi yang cukup besar dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat di Kecamatan Sajira. Adapun rumpun bambu mayan dapat dilihat pada Gambar 5.4.
33
Gambar 5.4 Rumpun bambu mayan
2. Bambu apus/tali (Gigantochloa apus) Bambu apus merupakan jenis bambu yang paling sering diproduksi oleh masyarakat di Kecamatan Sajira. Hal ini terlihat dari data yang disajikan pada Tabel 5.6 yaitu sebanyak 84 987 batang/tahun. Jenis ini paling banyak dimanfaatkan karena kegunaannya paling luas yaitu sebagai kerajinan tangan (anyaman) seperti kipas sate, aseupan (pengukus nasi), tampah, boboko (tempat nasi), dan sumpit. Bambu apus sangat baik dijadikan bahan baku kerajinan anyaman karena memiliki serat yang panjang, kuat, dan lentur (Nafed, 2011). Menurut Widjaja (2001), pada musim kemarau bambu apus dapat dipanen enam buluh/hari/ha atau setahun 1 000 buluh/ha. Rumpun bambu apus/tali dapat dilihat pada Gambar 5.5.
Gambar 5.5 Rumpun bambu apus/tali 3. Bambu hitam (Gigantochloa atter) Menurut Nafed (2011), bambu hitam sangat baik untuk pembuatan alat musik seperti angklung, gambang, atau calung dan juga dapat digunakan untuk furniture dan bahan kerajinan tangan. Masyarakat Kecamatan Sajira biasa
34
memanfaatkan bambu ini sebagai bahan kerajinan tangan (anyaman). Berdasarkan data pada Tabel 5.6, dapat diketahui bahwa produksi bambu hitam sebanyak 4 327 batang/tahun. Bambu hitam dalam bentuk gelondongan dapat dilihat pada Gambar 5.6.
Gambar 5.6 Bambu hitam gelondongan 4. Bambu ampel (Bambusa vulgaris) Bambu ampel merupakan jenis bambu yang paling sedikit diproduksi di Kecamatan Sajira yaitu sekitar 2 769 batang/tahun. Walaupun demikian, bambu ampel sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan baku sumpit dan bilik. Rumpun bambu ini mempunyai kemampuan cepat tumbuh, akarnya dapat mengawetkan tanah dan mengurangi erosi, sehingga berpotensi dalam melestarikan lingkungan. Tanaman ini dapat tumbuh sampai ketinggian 700 m dpl (Widjaja, 2001). Rumpun bambu ampel dapat dilihat pada Gambar 5.7.
Gambar 5.7 Rumpun bambu ampel
35
5.4 Nilai Guna Langsung Sumberdaya Bambu Nilai guna langsung (direct use value) sumberdaya bambu berupa nilai tegakan bambu yang diperoleh dari harga produk akhir dikurangi dengan biaya input (biaya pemanenan, biaya pengolahan, biaya penyusutan, dll) dan margin keuntungan pada masing-masing komoditas bambu. Produk akhir bambu yang dihasilkan dari masing-masing responden dibedakan menjadi dua kategori, yaitu produk akhir dalam bentuk bambu gelondongan (bambu bulat) dan produk akhir dalam bentuk kerajinan tangan (anyaman) bambu. Nilai tegakan sumberdaya bambu dibagi kedalam dua bentuk nilai yaitu nilai stok (aset) (Rp/ha) dan nilai flow (diproduksi) (Rp/tahun). Nilai tegakan bambu berdasarkan nilai flow dan nilai stok dalam bentuk bambu bulat (gelondongan) di Kecamatan Sajira dapat dilihat pada Tabel 5.7. Tabel 5.7 Nilai tegakan bambu dalam bentuk bambu bulat (gelondongan) di Kecamatan Sajira Produksi bambu (batang/tahun)
Harga bambu rata-rata (Rp/batang)
Total biaya rata-rata (Rp/tahun)
Bambu apus
72 919
3 727
242 273
242 408 028
3 844 227
Bambu mayan
37 217
6 000
248 333
199 127 385
3 230 910
Jenis bambu
Nilai flow (Rp/tahun)
Nilai stok (Rp/ha)
Bambu hitam
3 713
5 000
275 000
16 299 864
1 829 257
Bambu betung
20 197
9 250
190 000
166 619 427
22 438 698
Bambu ampel
2 376
2 250
102 500
4 671 061
629 053
629 125 765
31 972 145
Total
136 422
Nilai tegakan bambu di Kecamatan Sajira = Rp 31 972 145/ha x 140 ha = Rp 4 476 100 300
Tabel 5.7 menunjukkan bahwa nilai tegakan bambu bulat (gelondongan) memiliki nilai flow (diproduksi) dan nilai stok (aset) rata-rata berdasarkan responden masing-masing sebesar Rp 629 125 765/tahun dan Rp 31 972 145/ha. Nilai flow bambu diperoleh dari volume produksi bambu atau banyaknya bambu yang dipanen dalam setahun, sedangkan nilai stok bambu diperoleh dari kepadatan bambu yang terdapat dalam satu hektar lahan tiap responden. Bambu dengan nilai flow dan nilai stok paling tinggi diantara jenis bambu lainnya adalah bambu apus dan bambu betung masing-masing dengan nilai sebesar Rp 242 408 028/tahun dan Rp 22 438 698/ha, sedangkan nilai flow dan nilai stok paling rendah adalah bambu ampel dan bambu hitam masing-masing dengan nilai sebesar Rp 4 671 061/tahun dan Rp 629 053/ha. Secara keseluruhan nilai tegakan berupa nilai stok bambu bulat (gelondongan) di Kecamatan Sajira sebesar Rp 31 972 145/ha. Apabila luas areal tegakan bambu Kecamatan Sajira sebesar 140 ha, maka nilai tegakan stok bambu bulat (gelondongan) yang dihasilkan sebesar Rp 4 476 100 300. Berdasarkan wawancara terhadap responden diketahui bahwa produk akhir bambu berupa kerajinan tangan (anyaman) terdiri dari tampah (nyiru, ayakan), pengukus nasi (aseupan), kipas sate (hihid), tempat nasi (boboko), dan sumpit.
36
Jumlah batang bambu yang digunakan, harga olahan bambu, dan frekuensi pengambilan bambu di Kecamatan Sajira dapat dilihat pada Tabel 5.8. Tabel 5.8 Produk akhir, harga bambu olahan, dan frekuensi pengambilan bambu di Kecamatan Sajira Produk Akhir
Bahan baku bambu (batang/tahun)
Harga bambu olahan (Rp/unit)
Frekuensi pengambilan bambu (per bulan)
Tampah
6 910
7 000-10 000
2-4 kali
Pengukus nasi
4 419
10 000-15 000
2-4 kali
Kipas sate
4 580
2 000-5 000
2-4 kali
15 000-20 000 1 000-2 000
2-4 kali 2-4 kali
Tempat nasi 2 812 Sumpit 3 857 Keterangan : 1 batang bambu menghasikan 3 tampah 1 batang bambu menghasilkan 5 pengukus nasi 1 batang bambu menghasilkan 7 kipas sate 1 batang bambu menghasilkan 5 tempat nasi 1 batang bambu menghasilkan 15 sumpit
Tabel 5.8 menunjukkan banyaknya bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan kerajinan tangan (anyaman) bambu dalam satu tahun. Data ini diperoleh melalui wawancara dengan responden pengrajin bambu. Dari wawancara tersebut diperoleh keterangan mengenai produksi bambu, harga bambu, dan frekuensi pengambilan bambu dalam setahun. Pada Tabel 5.8 diketahui bahwa dengan satu batang bambu dapat menghasilkan tiga tampah dengan frekuensi pengambilan bambu berkisar dua sampai empat kali per bulan sehingga dalam setahun bambu yang dipanen berkisar antara 24-48 batang, dan tampah yang dihasilkan per tahunnya sebanyak 72-144 unit. Selain itu, satu batang bambu juga dapat menghasilkan lima aseupan dan tujuh hihid sehingga dalam setahun aseupan maupun hihid yang dihasilkan masing-masing sebanyak 120-240 unit dan 168-336 unit. Demikian juga pada pembuatan boboko, dimana jumlah yang dihasilkan per tahunnya hampir sama dengan aseupan yaitu sekitar 120-240 unit. Sedangkan pada pembuatan sumpit dengan satu batang bambu dapat menghasilkan sekitar 15 sumpit sehingga dalam setahun sumpit yang dihasilkan berkisar antara 360-720 unit. Contoh hasil kerajinan anyaman bambu dapat dilihat pada Gambar 5.8.
37
(a)
(b)
Gambar 5.8 Hasil kerajinan bambu (a) tampah; (b) sumpit Berikut ini nilai tegakan bambu berdasarkan nilai flow dan nilai stok (Tabel 5.9) dalam bentuk kerajinan tangan (anyaman) bambu di Kecamatan Sajira. Tabel 5.9 Nilai tegakan bambu dalam bentuk anyaman di Kecamatan Sajira Produk akhir
Produksi barang (unit/tahun)
Harga barang rata-rata (Rp/unit)
Total biaya rata-rata (Rp/tahun)
Nilai flow (Rp/tahun)
Nilai stok (Rp/ha)
Tampah
20 730
8 500
192 020
157 133 873
33 624 783
Pengukus nasi
22 096
12 194
159 444
240 419 524
59 445 823
Kipas sate
32 060
3 060
107 080
87 485 420
27 295 522
Tempat nasi
14 061
17 050
214 500
213 839 116
80 626 172
Sumpit
57 852
1 414
108 429
72 944 480
49 911 810
771 822 413
250 904 110
Total
146 800
Nilai tegakan bambu di Kecamatan Sajira = Rp 250 904 110/ha x 140 ha = Rp 35 126 575 400
Tabel 5.9 menunjukkan total volume produksi barang kerajinan bambu di Kecamatan Sajira yaitu sebesar 146 800 unit/tahun, yang diperoleh dari data sentra Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kerajinan Bambu Kabupaten Lebak tahun 2011. Sedangkan produksi barang tiap hasil kerajinan bambu diperoleh melalui wawancara dengan responden terpilih, sehingga dari data tersebut dapat diduga besarnya distribusi produksi barang hasil kerajinan bambu di Kecamatan Sajira.
38
Setelah diketahui besarnya produksi barang tiap hasil kerajinan bambu, maka dapat dihitung besarnya nilai tegakan sumberdaya bambu dalam bentuk kerajinan tangan (anyaman) bambu. Perhitungan nilai tegakan secara lebih rinci terdapat pada Lampiran 2 dan 3. Dari hasil perhitungan, diketahui bahwa nilai tegakan kerajinan bambu memiliki nilai flow (yang dipanen) sebesar Rp 771 822 413/tahun. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan nilai flow bambu bulat (gelondongan) sebesar Rp 629 125 765/tahun. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa variabel diantaranya adalah volume produksi bambu bulat (batang/tahun), volume produksi produk olahan bambu (unit/tahun), dan harga produk olahan rata-rata (Rp/unit). Tabel 5.9 menunjukkan nilai stok (aset) kerajinan bambu paling tinggi adalah tempat nasi (boboko) dengan nilai sebesar Rp 80 626 172/ha, sedangkan nilai stok paling rendah adalah kipas sate (hihid) dengan nilai sebesar Rp 27 295 522/ha. Adapun secara keseluruhan nilai tegakan (nilai stok) kerajinan bambu di Kecamatan Sajira sebesar Rp 250 904 110/ha. Apabila luas areal tegakan bambu di Kecamatan Sajira sebesar 140 ha, maka nilai tegakan stok anyaman bambu yang dihasilkan sebesar Rp 35 126 575 400. Berdasarkan nilai stok tersebut, maka dapat diketahui total nilai tegakan sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira dengan menjumlahkan nilai stok bambu gelondongan (bambu non olahan) dengan nilai stok anyaman bambu (bambu olahan). Dari hasil perhitungan, diperoleh nilai tegakan total sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira yaitu sebesar Rp 39 602 675 700 (Rp39.60 milyar). Penilaian manfaat ekonomi bambu telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Satu diantaranya dilakukan oleh Mohamed et al. (2010) di Hutan Alam Pahang, Malaysia menghasilkan kesimpulan bahwa bambu G. scortechinii (buluh semantan atau buluh kapal) memiliki nilai tegakan sebesar RM 1,75 juta atau setara dengan Rp 6.29 milyar. Sedangkan S. zollingeri (buluh telor atau bambu lampar) dari batang yang potensial dipanen sebanyak 3.84 juta batang memiliki nilai tegakan sebesar RM 882 329 atau setara dengan Rp 3.18 milyar (produk akhir adalah keranjang buah/sayur) atau RM 1.61 juta atau setara dengan Rp 5.80 milyar (produk akhir adalah stik dupa). Jika ditotal maka nilai tegakan bambu Hutan Alam Pahang secara keseluruhan sebesar RM 2.26 juta atau setara dengan Rp 8.15 milyar. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai tegakan bambu yang terdapat di Hutan Alam Pahang, Malaysia memiliki nilai ekonomi lebih rendah dibandingkan dengan bambu yang terdapat di Kecamatan Sajira. Hal ini mungkin disebabkan karena luasan areal tegakan bambu di Hutan Alam Pahang lebih rendah dibandingkan dengan Kecamatan Sajira yang memiliki luas areal tegakan bambu sebesar 140 ha.
5.5 Nilai Guna Tidak Langsung Sumberdaya Bambu Nilai guna tidak langsung (indirect use value) merupakan bagian dari nilai ekonomi total (total economic value) pada sumberdaya alam. Nilai guna tidak langsung sumberdaya bambu dalam penelitian ini adalah nilai ekologi bambu sebagai stok karbon dan sebagai pencegah erosi.
39
5.5.1 Nilai Stok Karbon (NSK) Nilai stok karbon merupakan besarnya cadangan karbon yang tersimpan pada sumberdaya bambu. Menurut Suprihatno et al. (2012), pendugaan stok karbon diperoleh dari model persamaan alometrik. Penggunaan model alometrik ini diasumsikan bahwa jenis bambu tidak berpengaruh terhadap kandungan karbon yang dihasilkan, sehingga variabel yang digunakan adalah tinggi tanaman bambu. Adapun harga karbon yang digunakan, diasumsikan sebesar US$ 9.12/t C (Asmani et al., 2010) atau apabila disetarakan pada nilai US$ 1 sebesar Rp 11 000, maka harga karbon sekitar Rp 100 320/ton. Nilai stok karbon diperoleh dari hasil perkalian antara stok karbon bambu dengan harga karbon (US$/t C), sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5.10. Tabel 5.10 Nilai ekonomi stok karbon lahan bambu di Kecamatan Sajira Tinggi rata-rata bambu (m)
Skbs (t C)
Hk (US$/ t C)
17 788
16
85
9.12
775
8 528 912
1.83
29 528
15
59
9.12
538
5 921 263
Ciuyah
0.52
54 218
15
52
9.12
474
5 210 856
4
Calungbungur
1.71
8 821
13
18
9.12
168
1 851 065
5
Sukamarga
1.20
10 958
13
16
9.12
144
1 579 192
6
Sindangsari
1.04
8 592
11
6
9.12
50
554 926
7
Pajagan
1.06
9 886
13
10
9.12
91
1 006 117
8
Sajira
1.13
12 533
12
9
9.12
83
909 082
9
Mekarsari
0.96
12 968
12
9
9.12
79
863 713
10
Sajira Mekar
0.96
8 348
12
8
9.12
74
813 822
11
Parungsari
0.91
10 480
11
7
9.12
61
674 811
12
Sukarame
1.54
7 894
10
7
9.12
59
653 796
13
Bungur Mekar
0.62
15 669
9
4
9.12
39
432 290
14
Paja
2.43
11 131
10
7
9.12
63
697 175
15
Sukajaya
1.06
5 424
9
3
9.12
24
259 363
Total
18.66
Desa
Lr (ha)
Kepadatan (batang/ha)
1
Margaluyu
1.71
2
Maraya
3
No.
Rata-rata per hektar
NSK (US$)
(Rp)
299
2 717
29 956 382
16
146
1 605 190
Total luas areal bambu di Kecamatan Sajira = 140 ha NSK Total Kecamatan Sajira = 146 (US$/ha) x 140 ha = US$ 20.440 atau Rp 224 840 000 Keterangan: Lr = Luas lahan rata-rata (ha), Skbs = Stok karbon bambu sisa (g C), Hk = Harga karbon (US$/t C), kepadatan bambu (batang/ha), tinggi rata-rata bambu (m), NSK = Nilai stok karbon (US$)
Menurut Suprihatno et al. (2012), pendugaan stok karbon bambu (Skb) didapat dari model alometrik berbentuk polinomial pada persamaan (6). Dari model persamaan tersebut diperoleh besaran stok karbon bambu (g/batang) yang kemudian dikalikan dengan jumlah batang bambu keseluruhan (Skbt) dan jumlah
40
batang bambu masak tebang atau siap dipanen (Skbmt). Besarnya stok karbon bambu sisa (Skbs) diperoleh dari selisih antara Skbt dengan Skbmt. Berdasarkan hasil perhitungan nilai stok karbon (NSK) diketahui bahwa paling tinggi terdapat di Desa Margaluyu dengan nilai karbon sebesar US$ 775, apabila dinilai dalam uang rupiah maka nilai yang diperoleh adalah Rp 8 528 912. Sedangkan NSK paling rendah terdapat di Desa Sukajaya dengan nilai karbon sebesar US$ 24 atau setara dengan Rp 259 363. Tinggi rendahnya NSK pada tiap desa dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti tinggi rata-rata bambu (m) dan kepadatan rumpun bambu (batang/ha). Pada Tabel 5.10 dapat dilihat bahwa luas lahan rata-rata bambu di Desa Paja lebih besar dibandingkan dengan luas lahan rata-rata bambu di Desa Margaluyu namun NSK yang dihasilkan lebih rendah. Hal ini disebabkan kepadatan bambu di Desa Paja lebih rendah dibandingkan dengan Desa Margaluyu. Selain itu, tinggi rata-rata bambu pada tiap desa menjadi variabel yang paling menentukan terhadap besarnya kandungan karbon. Hal ini terlihat dari tinggi rata-rata bambu di Desa Margaluyu paling tinggi, sehingga NSK yang dihasilkanpun juga paling besar diantara desa lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa stok karbon bambu di Kecamatan Sajira sebesar 16 t C/ha masih lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aoyama et al. (2011), stok karbon bambu yang dihasilkan sebesar 215 t C/ha. Rendahnya stok karbon bambu pada penelitian ini diduga karena tinggi dan diameter bambu lebih kecil dan kemungkinan jumlah populasi bambu yang lebih sedikit dibandingkan dengan bambu pada penelitian Aoyama et al. (2011). Total nilai ekonomi stok karbon pada 15 desa di Kecamatan Sajira sebesar Rp 1 605 190/ha. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pande et al. (2012), yaitu nilai stok karbon bambu di tiga sistem lembah utama India sebesar IR 30 550-48 000/ha atau setara dengan Rp 5 804 500-9 120 000/ha. Hal ini diduga karena perbedaan kerapatan populasi maupun preferensi dan pemanfaatannya di tiga sistem lembah utama India lebih tinggi dibandingkan dengan di Kecamatan Sajira. Berdasarkan data Dishutbun Kab. Lebak tahun 2012, total luasan areal tegakan bambu di Kecamatan Sajira adalah 140 ha, sehingga nilai ekonomi stok karbon yang dihasilkan sebesar US$ 20 440 (Rp 224 840 000). 5.5.2 Nilai Pencegahan Erosi (NPE) Hasil perhitungan nilai erosi dengan menggunakan metode USLE (Universal Soil Loss Equation) dijelaskan dari beberapa parameter seperti sebagai berikut. 1. Faktor Erosivitas (R) Faktor erosivitas diperoleh dengan menggunakan data curah hujan ratarata per bulan dari bulan Januari 1999 sampai Desember 2011 yang diperoleh dari Kantor Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Lebak Tahun 2013 (Lampiran 4). Kecamatan Sajira merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Lebak, sehingga diasumsikan memiliki kondisi iklim yang sama dengan iklim Kabupaten Lebak. Nilai faktor erosivitas (R) rata-rata curah hujan tahunan di Kecamatan Sajira dapat dilihat pada Tabel 5.11.
41
Tabel 5.11 Nilai faktor erosivitas (R) rata-rata curah hujan tahunan Kabupaten Lebak Bulan
P (cm)
EI 30
Januari
25.1
176 990
Februari
29.4
219 455
Maret
20.3
132 613
April
18.7
118 603
Mei
16.8
102 521
Juni
11.5
61 227
Juli
5.4
21 900
Agustus
7.1
31 776
September
11.5
61 227
Oktober
14.6
84 706
November
16.3
98 394
Desember
18.6
117 742
Nilai R 1 227.153 Keterangan: P = Rataan curah hujan (cm), EI 30 = Indeks erosivitas bulanan Bols
2. Faktor Erodibilitas (K) Kecamatan Sajira didominasi oleh jenis tanah latosol (BP4K Kab. Lebak, 2013), sehingga memiliki nilai erodibilitas sebesar 0.31. Nilai faktor erodibilitas tanah (K) dapat dilihat pada Tabel 5.12. Tabel 5.12 Jenis tanah dan nilai faktor erodibilitas tanah (K) Kecamatan Sajira Jenis tanah
Nilai K
Latosol coklat kemerahan dan litosol
0.43
Latosol kuning kemerahan dan litosol
0.36
Komplek mediteran dan litosol
0.46
Latosol kuning kemerahan
0.56
Grumusol
0.20
Alluvial
0.47
Regosol
0.40
Latosol Sumber: Kironoto, 2000
0.31
42
3. Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS) Kementerian Kehutanan memberikan nilai faktor kemiringan lereng, yang ditetapkan berdasarkan kelas lereng, seperti pada Tabel 5.13. Tabel 5.13 Nilai faktor panjang dan kemiringan lereng (LS) Kecamatan Sajira Kelas lereng
Kemiringan lereng (%)
Nilai LS
I
0-8
0.40
II
8-15
1.40
III
15-25
3.10
IV
25-40
6.80
> 40
9.50
V Sumber: Kironoto, 2000
Berdasarkan bentuk topografi dan peta kontur Kecamatan Sajira (Lampiran 5), kelerengan tanah di Kecamatan Sajira dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelas, yaitu kelas I (0-8%), kelas II (8-15%), dan kelas III (1525%), sehingga nilai indeks LS yang dihasilkan berkisar antara 0.40 sampai 3.10. 4. Faktor Pengelolaan Tanaman dan Konservasi Tanah (CP) Berdasarkan hasil survei di lapangan, penggunaan lahan yang ada di Kecamatan Sajira dikelompokkan menjadi enam kategori. Tipe penutupan dan penggunaan lahan tersebut adalah kebun campuran (kebun bambu), semak, ladang, lahan terbuka, pemukiman, dan sawah. Menurut pengertiannya, kebun campuran merupakan lahan yang umumnya ditanami tanaman kehutanan seperti sengon, bambu, dan didampingi tanaman perkebunan atau sayuran. Sedangkan semak merupakan lahan berupa rumput, tanaman bawah (ilalang) yang tumbuh karena adanya pembukaan lahan atau lahan bekas garapan yang ditinggalkan. Adapun ladang adalah lahan pertanian kering yang ditanami padi, singkong, ubi kayu/kedelai, jagung, dan lain sebagainya. Usaha konservasi masing-masing areal penutupan lahan memiliki nilai yang hampir sama, dimana kebun campuran, ladang, dan semak sama-sama tanpa tindakan konservasi, sedangkan sawah menggunakan teknik konservasi teras bangku. Nilai faktor pengelolaan tanaman dan konservasi tanah (CP) tersebut disajikan pada Tabel 5.14. Tabel 5.14 Nilai faktor pengelolaan tanaman dan konservasi tanah (CP) pada tipe penutupan lahan Kecamatan Sajira Tipe penutupan lahan Lahan bambu/kebun campuran Ladang Semak Sawah
C (Faktor pengelolaan tanaman)
P (Faktor teknik konservasi tanah)
Nilai CP
0.20
1.00
0.20
0.70 0.30 0.05
1.00 1.00 0.20
0.70 0.30 0.01
43
Nilai faktor CP berbeda untuk tiap tipe penutupan lahan, dimana kebun campuran memiliki nilai CP 0.20, ladang dengan nilai 0.70, semak dengan nilai 0.30, dan sawah dengan nilai 0.01. Walaupun dalam satu tipe penutupan lahan memiliki kelas kelerengan yang berbeda, namun nilai CP nya tetap sama. 5. Laju Erosi tiap Tipe Penutupan Lahan Tingkat laju erosi dihitung berdasarkan perkalian faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi yaitu erosivitas (R), erodibilitas (K), kemiringan dan panjang lereng (LS), serta faktor pengelolaan tanaman dan teknik konservasi tanah (CP). Laju erosi rata-rata tiap tipe penutupan lahan di Kecamatan Sajira dapat dilihat pada Tabel 5.15. Tabel 5.15 Laju erosi rata-rata tiap tipe penutupan lahan di Kecamatan Sajira Tipe penutupan lahan Lahan bambu Ladang
Semak
Sawah
Lereng (%)
Luas (ha)
R
K
LS
CP
LE (ton/ha/ tahun)
0-8
80.05
1 227.153
0.31
0.40
0.20
30.43
8-15
41.00
1 227.153
0.31
1.40
0.20
106.52
0-8
20.11
1 227.153
0.31
0.40
0.70
106.52
8-15
47.97
1 227.153
0.31
1.40
0.70
372.81
0-8
7.14
1 227.153
0.31
0.40
0.12
45.65
8-15
5.42
1 227.153
0.31
1.40
0.12
159.78
0-8
20.33
1 227.153
0.31
0.40
0.01
1.52
8-15
38.16
1 227.153
0.31
1.40
0.01
5.33
LER (ton/ha/ tahun) 56.20
294.15
94.90
4.00
108.60 Laju erosi USLE rata-rata tertimbang (ton/ha/thn) Keterangan : LE = Laju erosi USLE, LER = Laju erosi USLE rata-rata tertimbang, R = faktor erosivitas, K = faktor erodibilitas, LS = faktor panjang dan kemiringan lereng, CP = faktor pengelolaan tanaman dan konservasi tanah
Tabel 5.15 menunjukkan pada hasil pendugaan erosi terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi besarnya tingkat laju erosi, seperti faktor erosivitas (R), erodibilitas (K), kemiringan dan panjang lereng (LS), serta faktor pengelolaan tanaman dan teknik konservasi tanah (CP). Faktor LS dan CP memiliki nilai yang beragam, sedangkan faktor R dan K memiliki nilai yang sama pada setiap tipe penutupan lahan. Faktor LS dan CP yang beragam sangat menentukan besarnya tingkat laju erosi, dimana semakin besarnya nilai LS dan CP maka semakin besar pula tingkat laju erosi, dan begitu juga sebaliknya. Tingkat laju erosi USLE rata-rata tertimbang pada setiap penutupan lahan di Kecamatan Sajira memiliki besaran erosi yang berbeda-beda. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa ladang dengan luas 68.08 ha memiliki laju erosi rata-rata tertimbang tertinggi yakni 294.15 ton/ha/tahun (65.23%). Sedangkan sawah dengan luas 58.49 ha memiliki laju erosi terendah yakni 4.00 ton/ha/tahun (0.89%). Adapun lahan bambu (kebun campuran) dengan luas lahan 140 ha memiliki laju erosi sebesar 56.20 ton/ha/tahun (12.83%). Selain itu, diketahui juga laju erosi pada semak dengan luas 12.56 ha yakni 94.90 ton/ha/tahun (21.05%).
44
Secara keseluruhan, besarnya laju erosi rata-rata tertimbang pada Kecamatan Sajira adalah 108.60 ton/ha/tahun. Nilai pencegahan erosi merupakan nilai kemampuan lahan bambu/kebun campuran dalam menahan laju erosi. Besarnya kemampuan lahan bambu menahan laju erosi (ton/ha/thn) di Kecamatan Sajira merupakan hasil pengurangan antara laju erosi lahan non bambu dan laju erosi lahan bambu/kebun campuran, dengan asumsi bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi erosi adalah sama dan hanya dibedakan oleh penutupan lahan. Hasil perhitungan laju erosi pada tiap tipe penutupan lahan di Kecamatan Sajira pada kondisi yang disamakan dapat dilihat pada Tabel 5.16. Tabel 5.16 Laju erosi tiap tipe penutupan lahan pada kondisi yang disamakan di Kecamatan Sajira Tipe penutupan lahan Kebun campuran (lahan bambu/lb) Lb sebagai ladang Lb sebagai semak
Lereng (%)
Luas (ha)
R
K
0-8
80.05
1 227.15
8-15
41.00
0-8
LE (ton/ha/ tahun)
LS
CP
0.31
0.40
0.20
30.43
1 227.15
0.31
1.40
0.20
106.52
80.05
1 227.15
0.31
0.40
0.70
106.52
8-15
41.00
1 227.15
0.31
1.40
0.70
372.81
0-8
80.05
1 227.15
0.31
0.40
0.30
45.65
8-15
41.00
1 227.15
0.31
1.40
0.30
159.78
LER (ton/ha/ tahun)
56.20
196.71 84.30
Keterangan : LE = Laju erosi USLE, LER = Laju erosi USLE rata-rata tertimbang, R = faktor erosivitas, K = faktor erodibilitas, LS = faktor panjang dan kemiringan lereng, CP = faktor pengelolaan tanaman dan konservasi tanah
Tabel 5.16 menunjukkan bahwa dalam kondisi yang sama, penutupan lahan bambu/kebun campuran dengan laju erosi rata-rata tertimbang sebesar 56.20 ton/ha/tahun dapat menahan laju erosi sebesar 140.51 ton/ha/tahun dibandingkan penutupan lahan pada ladang, dan mampu menahan laju erosi sebesar 28.10 ton/ha/tahun jika dibandingkan dengan penutupan lahan berupa semak. Banyaknya unsur hara yang hilang dapat dihitung dengan mengalikan kandungan unsur hara semula dengan banyaknya tanah yang tererosi. Lapisan tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah lapisan permukaan tanah (top soil) dengan kedalaman 0-20 cm. Berdasarkan hasil analisis kimia tanah (Lampiran 6) diketahui bahwa Kecamatan Sajira yang didominasi jenis tanah latosol mengandung bahan organik (1.25%), N (0.11%), P 2 O 5 (0.00117%), K 2 O (0.029%), dan Ca (0.4716%) pada lapisan atas tanah (top soil). Banyaknya kandungan unsur hara yang hilang pada setiap penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 5.17.
45
Tabel 5.17 Kandungan unsur hara yang hilang tiap tipe penutupan lahan di Kecamatan Sajira pada kondisi yang disamakan Tipe penutupan lahan Kebun campuran (lahan bambu/lb) Lb sebagai ladang Lb sebagai semak
Laju erosi USLE rata-rata tertimbang (ton/ha/tahun)
Bahan organik (C)
N
P2O5
K2O
56.20
702.50
61.82
0.08
16.69 265.04
196.71
2 458.88
216.38
2.30
58.42 927.68
84.30
1 053.75
92.73
0.99
25.04 397.56
Kandungan unsur hara yang hilang (kg/ha) Ca
Tabel 5.17 menunjukkan bahwa hilangnya unsur hara pada penutupan lahan bambu/kebun campuran lebih sedikit dibandingkan hilangnya unsur hara pada penutupan lahan ladang dan semak. Hal ini berarti lahan bambu/kebun campuran dapat menahan bahan organik (1 756.38 kg/ha), N (154.56 kg/ha), P 2 O 5 (2.22 kg/ha), K 2 O (41.73 kg/ha), dan Ca (662.65 kg/ha) dibandingkan dengan ladang. Selain itu, lahan bambu/kebun campuran dapat menahan bahan organik (351.25 kg/ha), N (30.91 kg/ha), P 2 O 5 (0.90 kg/ha), K 2 O (8.35 kg/ha), dan Ca (132.52 kg/ha) jika dibandingkan dengan semak. Apabila pupuk urea yang tersedia dipasaran mengandung N (45%), pupuk TSP mengandung P 2 O 5 (45%), pupuk KCl mengandung K 2 O (50%), pupuk kompos mengandung bahan organik (60%), dan pupuk dolomit mengandung CaO (40%), maka kandungan unsur hara yang dapat ditahan oleh lahan bambu/kebun campuran dibandingkan dengan ladang ekivalen dengan 343 kg/ha urea; 5 kg/ha TSP; 83 kg/ha KCl, 2 927 kg/ha kompos, dan 1 657 kg/ha dolomit. Sedangkan pada semak, unsur hara yang dapat ditahan lahan bambu/kebun campuran ekivalen dengan 69 kg/ha urea; 2 kg/ha TSP, 17 kg/ha KCl, 585 kg/ha kompos, dan 331 kg/ha dolomit. Dari hasil tersebut, maka dapat ditentukan nilai pencegahan erosi sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira yang tersaji pada Tabel 5.18.
46
Tabel 5.18 Nilai pencegahan erosi (NPE) sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira Tipe penutupan lahan Lb sebagai ladang
Nilai pencegahan erosi (Rp/ha) Urea 1 030 407
TSP
KCl
13 797
166 926
Kompos 2 927 292
Lb sebagai 206 607 5 614 33 383 585 417 semak NPE Kecamatan Sajira = Rp 4 966 728/ha x 140 ha = Rp 695 341 881
Dolomit
NPE Total (Rp/ha)
828 306
4 966 728
165 650
996 129
Keterangan: Harga pupuk urea Rp 3 000/kg, harga pupuk TSP Rp 2 800/kg, harga pupuk KCl Rp 2 000/kg, harga pupuk kompos Rp 1 000/kg, harga pupuk dolomit Rp 500/kg
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa NPE lahan bambu sebagai ladang sebesar Rp 4 966 728/ha, sedangkan NPE lahan bambu sebagai semak sebesar Rp 996 129/ha. Penggunaan lahan di Kecamatan Sajira terdiri dari kebun campuran (lahan bambu), ladang, dan semak. Konversi kebun campuran menjadi ladang oleh petani mungkin dilakukan namun konversi kebun campuran menjadi semak sangat kecil kemungkinannya, sehingga NPE sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira didekati dengan NPE pada lahan bambu sebagai ladang. Apabila luasan areal tegakan bambu di Kecamatan Sajira sebesar 140 ha, maka NPE lahan bambu sebesar Rp 695 341 881. NPE di Kecamatan Sajira sedikit lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Supriatna (2006) di kebun campuran Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta yang menghasilkan NPE sebesar Rp 628 132 359. Hal ini diduga karena areal kebun campuran yang dihitung dalam penilaian ini lebih luas dibandingkan dengan areal kebun campuran di Kecamatan Wanayasa. Selain itu, terdapat juga faktor-faktor lain yang mungkin juga berpengaruh, seperti jenis dan jumlah pupuk yang digunakan sebagai variabel pembanding dalam menentukan NPE, serta harga pupuk yang berlaku pada saat penelitian maupun laju erosi yang dihasilkan.
5.6 Nilai Pilihan Nilai pilihan merupakan nilai harapan masa yang akan datang terhadap sumberdaya bambu yang digunakan (dikonsumsi) saat ini, maupun yang belum dimanfaatkan. Konsep nilai ini cenderung berkaitan dengan motif atau sifat dermawan, baik untuk lintas generasi atau warisan, atau pandangan bahwa sesuatu mempunyai hak untuk ada (Munasinghe, 1993). Analisis kesediaan membayar dari responden untuk nilai pilihan (option value) sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira didapat melalui sebuah skenario sehingga setiap responden bersedia untuk membayar. Adapun skenario yang ditawarkan dalam sebuah pasar hipotetik CVM sebagai berikut:
47
“Apabila ada jenis bambu yang anda miliki, yang saat ini belum memiliki harga pasar, namun anda berkeyakinan atau berharap bahwa suatu saat nanti bambu tersebut akan bernilai jual sehingga anda tetap memeliharanya sampai sekarang. Apabila ada jenis bambu tersebut, apa jenis bambu itu? dan berapakah jumlah yang bersedia anda bayarkan untuk melestarikan jenis bambu tersebut?” Jenis bambu lesser known species (kurang dikenal) di Kecamatan Sajira adalah bambu surat (G. pseudoarundinacae). Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, bambu surat merupakan jenis bambu yang dianggap sebagian masyarakat tidak menarik karena memiliki karakteristik batang yang bengkok, diameter relatif kecil, dan kurang kuat sehingga bambu surat sampai saat ini belum diminati masyarakat atau belum memiliki harga pasar. Namun bagi sebagian masyarakat lain menganggap bahwa bambu surat adalah jenis bambu yang perlu dilestarikan karena sudah ada sejak dahulu dan merupakan warisan dari nenek moyang yang perlu dipertahankan keberadaannya. Berdasarkan wawancara responden diperoleh keterangan bahwa bambu surat walaupun tidak diminati oleh masyarakat namun mereka meyakini bahwa bambu surat perlu dilestarikan, karena mereka berkeyakinan bahwa suatu saat nanti bambu tersebut dapat dimanfaatkan masyarakat sehingga bernilai jual. Wawancara tersebut menawarkan skenario yang mengandaikan apabila bambu surat di Kecamatan Sajira suatu saat nanti mengalami kepunahan, apakah mereka memiliki keinginan untuk mempertahankan keberadaan bambu surat dimasa yang akan datang. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah bambu surat memiliki nilai pilihan bagi masyarakat Kecamatan Sajira. Hasil wawancara menunjukkan bahwa terdapat 71 responden (71.71%) dari 99 responden yang bersedia membayar untuk mempertahankan keberadaan bambu surat, sedangkan sisanya (28.29%) tidak bersedia membayar. Kesediaan membayar untuk mempertahankan bambu surat di masa yang akan datang, digambarkan melalui biaya pengelolaan yang mereka keluarkan untuk memelihara dan mengelola lahan bambu/kebun campurannya. Besarnya kesediaan membayar dilakukan dengan menanyakan besarnya kesediaan menambahkan harga bambu Rp/batang dari harga awal yang mereka ketahui sebagai bentuk nilai kesediaan melestarikan bambu surat di masa yang akan datang. Adapun alasan responden tidak bersedia membayar disebabkan karena bambu surat yang terdapat di kebun mereka dianggap tidak memberikan manfaat ekonomi langsung, sehingga mereka lebih memilih untuk melestarikan jenis bambu lain. Besarnya kesediaan membayar (WTP) responden terhadap nilai pilihan bambu surat dari yang terendah yaitu Rp 500/batang hingga yang tertinggi yaitu Rp 4 000/batang. Sedangkan rata-rata nilai kesediaan membayar dari 71 responden sebesar Rp 2 048/batang. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, kepadatan bambu surat di Kecamatan Sajira sebanyak 286 batang/ha. Apabila luas areal tegakan bambu secara keseluruhan di Kecamatan Sajira sebesar 140 ha, maka nilai pilihan bambu surat (G. pseudoarundinacae) sebesar Rp 82 014 259. Analisis yang digunakan untuk mengetahui variabel-variabel yang mempengaruhi nilai WTP pilihan dalam penelitian ini, yaitu dengan menggunakan analisis regresi tobit. Adapun variabel yang dilibatkan mencakup: usia, asal daerah, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, pendapatan, anggota keluarga, jenis kelamin, dan pengetahuan responden terhadap manfaat
48
sumberdaya bambu. Variabel asal daerah, jenis pekerjaan, jenis kelamin, dan pengetahuan responden menggunakan peubah dummy. Seluruh variabel tersebut merupakan variabel independen yang mempengaruhi variabel dependen yaitu nilai WTP pilihan. Hasil analisis regresi tobit nilai WTP pilihan bambu surat tersaji pada Tabel 5.19. Tabel 5.19 Analisis regresi tobit WTP pilihan bambu surat Kecamatan Sajira Variable Konstanta Usia (U) Asal daerah (AD) Petani (JP_Petani) Wiraswasta (JP_Wiraswasta) Peternak (JP_Peternak) PNS (JP_PNS) Buruh_tani (JP_Buruh) Supir_angkot (JP_Supir) Pegawai_swasta (JP_Swasta) Tingkat pendidikan (TP) Pendapatan (P) Anggota keluarga (AK) Jenis kelamin (JK) Pengetahuan bambu (PB) Log Likehood function n R Square (R2) R Square (R2) Adjusted
Coefficient 0.001 0.001 0.102 -0.105 0.331 0.351 0.320 -0.100 -0.200 -0.166 0.016 0.168 0.005 0.200 0.084 35.621 99 0.619 0.556
Standard error 0.276 0.002 0.077 0.193 0.211 0.187 0.202 0.181 0.243 0.203 0.042 0.071 0.022 0.077 0.089
t-ratio 0.996 0.595 0.128**** 0.588 0.071*** 0.064*** 0.116**** 0.583 0.413 0.415 0.716 0.021** 0.813 0.347 0.001*
Keterangan : *Signifikan pada α = 99%, **signifikan pada α = 95%, ***signifikan pada α = 90%, ****signifikan pada α = 85%
Model yang dihasilkan dalam penelitian ini sudah cukup baik, hal ini terlihat dari angka determinasi (R2 = 0.619 atau 61.9%). Artinya, sebesar 61.9% keragaman WTP pilihan dapat diterangkan oleh keragaman variabel-variabel penjelas yang terdapat dalam model, sedangkan sisanya 38.1% diterangkan oleh variabel-variabel lain yang tidak terdapat dalam model. Hasil yang diperoleh dari analisis menggunakan regresi tobit, menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap besarnya nilai WTP pilihan bambu surat adalah asal daerah, pekerjaan sebagai wiraswasta, pekerjaan sebagai peternak, pekerjaan sebagai PNS, tingkat pendapatan, dan pengetahuan terhadap manfaat sumberdaya bambu. Persamaan regresi maksimum nilai WTP pilihan di Kecamatan Sajira dapat dibuat dari hasil analisis pada Tabel 5.19.
49
WTP Pilihan = 0.001 + 0.001 U + 0.102 AD – 0.105 JP_Petani + 0.331 JP_Wiraswasta + 0.351 JP_Peternak + 0.320 JP_PNS – 0.100 JP_Buruh – 0.200 JP_Supir – 0.166 JP_Swasta + 0.016 TP + 0.168 P + 0.005 AK + 0.200 JK + 0.084 PB Pada model ini variabel asal daerah berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 85%. Nilai koefisien regresi bertanda positif artinya semakin banyak responden yang merupakan penduduk asli maka kecenderungan responden untuk memberikan penilaian terhadap WTP pilihan akan semakin besar. Hal ini disebabkan penduduk asli yang tinggal dan sudah lama menetap di Kecamatan Sajira memiliki rasa kepemilikan yang tinggi terhadap sumberdaya bambu jika dibandingkan dengan masyarakat pendatang. Variabel pekerjaan sebagai wiraswasta berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 90% terhadap nilai WTP pilihan. Nilai koefisien regresi bertanda positif artinya semakin banyak responden sebagai wiraswasta maka kecenderungan untuk memberikan penilaian terhadap WTP pilihan akan semakin besar. Responden sebagai wiraswasta memiliki pendapatan relatif lebih besar dibandingkan responden dengan pekerjaan lain. Hal ini terlihat dari rata-rata pendapatan wiraswasta, baik sebagai pekerjaan utama maupun sampingan yaitu masing-masing sebesar Rp 3 857 143/bulan dan Rp 2 260 000/bulan (Tabel 5.4). Hal ini menunjukkan bahwa variabel pendapatan juga berpengaruh nyata terhadap besarnya nilai WTP pilihan dengan tingkat kepercayaan 95%. Artinya dengan pendapatan yang besar maka kebutuhan dasar responden semakin terpenuhi sehingga responden akan memiliki kecenderungan menyisihkan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan yang lain. Variabel pekerjaan sebagai peternak berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 90% terhadap nilai WTP pilihan. Nilai koefisien regresi bertanda positif artinya semakin banyak responden sebagai peternak maka kecenderungan untuk memberikan penilaian terhadap WTP pilihan akan semakin besar. Peternak sering menggunakan bambu baik untuk dijadikan bahan baku pembuatan kandang dan pagar maupun sebagai pakan bagi hewan ternak mereka. Alasan mereka karena bambu relatif lebih murah dan mudah didapat dibandingkan kayu atau bahan baku lainnya, sehingga kesediaan responden untuk memberikan penilaian terhadap WTP pilihan bambu akan semakin besar. Variabel pekerjaan sebagai PNS memberikan pengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 85% terhadap nilai WTP pilihan. Nilai koefisien regresi bertanda positif artinya semakin banyak responden sebagai PNS maka kecenderungan untuk memberikan penilaian terhadap WTP pilihan semakin besar. Hal ini disebabkan karena PNS merupakan aparatur negara yang diyakini telah dibekali oleh kesadaran, kepedulian, maupun tanggung jawab dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam khususnya hasil hutan sehingga keinginan untuk memberikan penilaian terhadap WTP pilihan akan semakin besar. Variabel pengetahuan responden tentang manfaat bambu juga berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99% terhadap nilai WTP pilihan. Nilai koefisien regresi bertanda positif artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan tentang manfaat sumberdaya bambu maka makin besar kecenderungan responden untuk memberikan penilaian terhadap WTP pilihan. Pengetahuan responden tentang
50
manfaat bambu berkorelasi positif terhadap keinginan untuk mempertahankan atau melestarikan bambu surat. Selain itu, terdapat juga variabel independen yang berpengaruh tidak nyata baik pada tingkat kepercayaan 99%, 95%, 90%, dan 85% yaitu usia, anggota keluarga, pekerjaan sebagai petani, buruh, supir, dan swasta, tingkat pendidikan, anggota keluarga, serta jenis kelamin. Variabel-variabel tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap nilai WTP pilihan artinya pengaruh dari variabel tersebut terhadap kecenderungan responden dalam memberikan penilaian WTP pilihan tidak terlalu signifikan.
5.7 Nilai Ekonomi Total Nilai ekonomi total sumberdaya bambu merupakan penjumlahan dari nilai guna langsung (nilai tegakan sumberdaya bambu), nilai guna tidak langsung (nilai stok karbon dan nilai pencegahan erosi), dan nilai pilihan. Berdasarkan hasil kuantifikasi nilai ekonomi sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira, maka nilai ekonomi total sumberdaya bambu tersebut diperoleh sebesar Rp 40 604 871 840. Nilai ekonomi total sumberdaya bambu Kecamatan Sajira dapat dilihat pada Tabel 5.20. Tabel 5.20 Nilai ekonomi total sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira No. 1 2
3
Jenis manfaat Nilai guna langsung Nilai tegakan sumberdaya bambu Nilai guna tidak langsung Nilai stok karbon Nilai pencegahan erosi Nilai pilihan Nilai ekonomi total
Nilai ekonomi (Rp)
Persentase (%)
39 602 675 700
97.53
224 840 000 695 341 881 82 014 259
0.55 1.71 0.20
40 604 871 840
100
Pada Tabel 5.20 menunjukkan bahwa nilai guna langsung berupa nilai tegakan sumberdaya bambu mempunyai nilai ekonomi per tahun paling tinggi diantara nilai manfaat lainnya, yaitu sebesar Rp 39 602 675 700 (97.53%). Selain itu, diketahui juga bahwa sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira memberikan manfaat tidak langsung berupa nilai stok karbon dan nilai pencegahan erosi yaitu sebesar Rp 920 181 881 (2.26%). Sedangkan nilai pilihan terhadap bambu lesser known species yakni bambu surat (G. pseudoarundinacae) sebesar Rp 82 014 259 (0.20%). Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup besar antara nilai ekonomi bambu yang dimanfaatkan secara langsung dibandingkan dengan manfaat bambu secara tidak langsung maupun nilai pilihannya. Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya bambu memiliki peranan penting dalam memberikan kontribusi ekonomi secara langsung dalam menopang kehidupan masyarakat di Kecamatan Sajira. Selain itu, dengan rendahnya nilai pilihan
51
menunjukkan masih kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan.
5.8 Implementasi Nilai Ekonomi Keberadaan bambu di Kecamatan Sajira telah memberikan manfaat yang penting bagi masyarakat, baik secara berwujud (tangible) maupun tidak berwujud (intangible). Berdasarkan nilai guna langsung (direct use value), sumberdaya bambu telah memberikan kontribusi pada perekonomian masyarakat Sajira. Hal ini dapat dilihat pada nilai ekonomi total tegakan bambu yang diperoleh dari hasil penjualan bambu, baik gelondongan maupun kerajinan tangan sebesar Rp 39.60 milyar. Besarnya nilai ekonomi ini mengindikasikan bahwa nilai ekonomi keberadaan tegakan bambu dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kecamatan Sajira. Apabila dilihat dari nilai guna tidak langsung, keberadaan tegakan bambu memiliki peranan penting terhadap lingkungan yaitu sebagai stok karbon dan pencegah erosi. Sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira memiliki stok karbon sebesar 16 ton/ha dengan nilai stok karbon yang dihasilkan sebesar dengan Rp 224 840 000. Besarnya stok karbon berpengaruh pada udara yang bersih yang dihasilkan di daerah sekitar tegakan bambu. Begitu juga dengan kemampuan bambu dalam mencegah erosi, dimana penutupan lahan bambu/kebun campuran dapat menahan laju erosi sebesar 140.51 ton/ha/tahun dibandingkan penutupan lahan berupa ladang, dan mampu menahan laju erosi sebesar 28.10 ton/ha/tahun jika dibandingkan dengan penutupan lahan berupa semak, sehingga dapat menghasilkan nilai pencegahan erosi sebesar Rp 695 341 881. Hasil ini menunjukkan bahwa keberadaan bambu memiliki peranan penting secara ekologis bagi wilayah Kecamatan Sajira. Mengingat salah satu tujuan program pengelolaan bambu nasional adalah memperbaiki lahan kritis, maka lokasi penanaman bambu diprioritaskan di daerah-daerah kritis dan marginal seperti daerah-daerah tandus dan sempadan sungai. Selain itu, penanaman bambu di pekarangan atau kebun campuran dianjurkan agar mensejahterakan masyarakat setempat serta dapat tetap mengkonservasikan tanah. Secara umum, nilai ekonomi total sumberdaya bambu di Kecamatan Sajira sebesar Rp 40 604 871 840 menunjukkan bahwa keberadaan bambu tidak hanya penting bagi kelangsungan perekonomian masyarakat Kecamatan Sajira, tetapi juga penting bagi lingkungan. Berdasarkan rujukan Pearce et al. (2002), nilai ekonomi total (total economic value) sumberdaya bambu Kecamatan Sajira dapat dilihat dalam bentuk skema yang terdapat pada Gambar 5.9 sebagai berikut:
52
Nilai ekonomi total sumberdaya bambu (Rp 40 604 871 840)
Nilai guna
Penggunaan aktual: • Langsung - Nilai tegakan (Rp 39 602 675 700) • Tidak langsung - Nilai stok karbon (Rp 224 840 000) - Nilai pencegahan erosi (Rp 695 341 881)
Nilai bukan guna
Nilai keberadaan Nilai pilihan • Pelestarian bambu surat (Rp 82 014 259)
Gambar 5.9 Diagram nilai sumberdaya bambu Kecamatan Sajira Pengelolaan bambu secara nasional yang mencakup aspek pelestarian dan pemanfaatan secara berkelanjutan adalah merupakan bagian dari implementasi UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH), UU No. 5/1994 tentang ratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang keanekaragaman hayati dan strategi nasional pengelolaan keanekaragaman hayati yang juga mencakup beberapa aspek yaitu mempertahankan pemanfaatan, melestarikan potensi, mempelajari ilmu dan pengetahuan serta menetapkan kebijakan pengelolaan keanekaragaman hayati bambu. Nilai ekonomi bambu berupa stok karbon dan pencegahan erosi juga selaras dengan pemikiran masyarakat untuk melestarikan keberadaan bambu. Hal ini terlihat pada nilai pilihan hasil wawancara responden. Masyarakat menginginkan keberadaan bambu akan terus berlanjut walaupun masyarakat hanya bersedia membayar dengan nilai yang cukup rendah untuk keberadaaan bambu tersebut. Perlu ada kebijakan pemerintah untuk mendukung upaya masyarakat dalam mengoptimalkan pemanfaatan tegakan bambu dengan menjaga kelestariannya agar dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan.
53
6 SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan Simpulan hasil penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Nilai guna langsung (NGL) berupa nilai tegakan sumberdaya bambu yaitu sebesar Rp 39 602 675 700 (97,53%). Besarnya NGL daripada nilai lainnya menunjukkan bahwa masyarakat masih menjadikan bambu sebagai komoditas hasil hutan yang sangat penting, sehingga mereka mengeksploitasi sumberdaya bambu semaksimal mungkin untuk kesejahteraan mereka. Hal ini tergambarkan dari nilai tegakan sumberdaya bambu (nilai produksi) dengan produk akhir bambu bulat (gelondongan) dan kerajinan tangan (anyaman) masing-masing dengan nilai sebesar Rp 629 125 765/tahun dan Rp 771 822 413/tahun. 2. Lahan bambu selain berfungsi sebagai penghasil komoditas bambu juga menghasilkan jasa lingkungan. Nilai jasa lingkungan yang dihasilkan berupa nilai pencegahan erosi (NPE) dan nilai stok karbon (NSK) masing-masing sebesar Rp 695 341 881 (1.71%) dan Rp 224 840 000 (0.55%) dari nilai ekonomi totalnya. Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya bambu sebagai stok karbon menghasilkan jasa lingkungan yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan sumberdaya bambu sebagai pencegah erosi. Besarnya NSK dipengaruhi oleh tinggi tanaman sebagai parameter yang digunakan dalam menentukan besarnya cadangan karbon yang tersimpan pada sumberdaya bambu. Sedangkan besarnya NPE lahan bambu dipengaruhi oleh laju erosi yang dihasilkan oleh lahan bambu sebagai pengganti ladang dan lahan bambu/kebun campuran sebagai pengganti semak. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa NPE lahan bambu/kebun campuran sebagai ladang sebesar Rp 4 966 728/ha, sedangkan NPE lahan bambu/kebun campuran sebagai semak sebesar Rp 996 129/ha. Mengingat salah satu tujuan program pengelolaan bambu nasional adalah memperbaiki lahan kritis, maka lokasi penanaman bambu diprioritaskan di daerah-daerah kritis dan marginal seperti daerah-daerah tandus dan sempadan sungai. Selain itu, penanaman bambu di pekarangan atau kebun campuran dianjurkan agar mensejahterakan masyarakat setempat serta dapat tetap mengkonservasikan tanah. 3. Nilai kesediaan masyarakat untuk membayar pelestarian terhadap jenis bambu surat (G. pseudoarundinacae) yaitu sebesar Rp 82 014 259. Variasi nilai WTP pilihan tersebut dipengaruhi oleh asal daerah, pekerjaan sebagai wiraswasta, pekerjaan sebagai peternak, pekerjaan sebagai PNS, tingkat pendapatan, dan pengetahuan terhadap manfaat sumberdaya bambu. Variabel pengetahuan terhadap manfaat sumberdaya bambu memiliki tingkat kepercayaan paling tinggi diantara variabel lainnya yaitu 99%.
54
4. Nilai ekonomi total (NET) yang dihasilkan sumberdaya bambu yaitu sebesar Rp 40 604 871 840. Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya bambu memiliki peranan penting bagi kehidupan masyarakat disekitarnya. Besarnya NET yang ada tersebut merupakan sebuah pendekatan untuk mengetahui potensi sumberdaya bambu yang terdapat di Kecamatan Sajira. NET yang telah didapatkan merupakan nilai yang ada saat penelitian dilakukan. Nilai tersebut belum termasuk nilai keberadaan sumberdaya bambu yang ada di Kecamatan Sajira. Dengan NET tersebut pemerintah seharusnya dapat menjaga kelestarian sumberdaya bambu dan meningkatkan produktivitasnya tanpa merusak lingkungan.
6.2 Saran 1. Perlu dilakukan penelitian dan pengembangan terhadap produk akhir bambu, sehingga nantinya dapat memberikan nilai tambah sumberdaya bambu. 2. Perlu adanya bantuan modal dari pemerintah kepada masyarakat pemilik dan pengrajin bambu, sehingga dapat meningkatkan kapasitas hasil produksi atau produk kerajinan bambu. 3. Pemerintah perlu turut serta memasarkan produk bambu yang dihasilkan masyarakat agar pemasaran produk bambu lebih meluas dan berkembang di daerah lain. 4. Perlu peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia agar masyarakat sadar dan mampu mengelola secara mandiri sumberdaya bambu yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan kelestarian lingkungan hidup.
55
DAFTAR PUSTAKA
Aoyama, K., Yoshida, T., Harada, A., Noguchi, M., Miya, H dan Shibata, H. 2011. Changes in Carbon Stock Following Soil Scarification of Nonwooded Stands in Hokkaido, Northern Japan. Citation Journal of Forest Research, 16 (1): 35-45. Asmani, N., Sjarkowi., Fachrurrozie, Susanto, Robiyanto H., Hanafiah, Kemas A., Soewarso., Siregar, Chairil Anwar. 2010. Analisis Serapan dan Harga Karbon Tanaman Akasia (Acacia crassicarpa). Jurnal Teknologi Lingkungan Edisi Khusus Global Warming, November 2010 ISSN 1441318X. BPPT. Jakarta. Astana, S. 2001. Kebijakan Pengembangan Agribisnis Bambu. Majalah Info Sosial Ekonomi, 2 (1) : 11-28. Awang Noor, A. G., Norini, H., Khamurudin, M.N., Ahmad Ainuddin, N. & Thorsen, B. J. 2007b. Valuing the Rain Forest: The Economic Values of Selected Forest Goods and Services in Ayer Hitam Forest Reserve, Puchong, Selangor. Pertanika Journal of Tropical Agricultural Science, 30 (2) : 83-96. Bahruni. 1999. Diktat Penilaian Sumberdaya Hutan dan Lingkungan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bapedal, 2010. Pelestarian Bambu dan Manfaatnya Terhadap Lingkungan Hidup. http://members.fortunecity.com/, [Diakses pada tanggal 20 Januari 2014]. Bappeda Kabupaten Lebak. 2008. Publikasi Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2007. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Lebak. Banten. Batubara, R. 2002. Pemanfaatan Bambu di Indonesia. USU Digital Library. Medan. Berlian dan Estu Rahayu. 1995. Jenis dan Prospek Bisnis Bambu. Penebar Swadaya. Jakarta. [BPPPPK Lebak]. 2013. Program Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Lebak. Banten. [BPS] . 2013. Kabupaten Lebak Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lebak. Banten. [BPS]. 2013. Kecamatan Sajira Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lebak. Banten.
56
Cochran, W. G. 1977. Sampling techniques (3rd Ed.), New York: John Wiley & Sons. Davis L. S. dan Johnson, K.N. 1987. Forest Management. 3rd Edition. Mc GrawHill. 790p. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lebak. 2008. Portal Dinas Kehutanan Kabupaten Lebak. http://www.lebakkab.go.id/index.php?, [Diakses pada tanggal 16 Januari 2013]. Diniaty, D. dan Rachmawati, S. 2000. Potensi Ekonomi Pengusahaan Bambu Rakyat di Desa Telagan, Sumatera Utara. [Dishutbun]. 2012. Rekapitulasi Potensi dan Produksi Bambu. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lebak. Banten. Fauzi, A. 2010. Ekonomi Sumberdaya Alam: Teori dan Aplikasi. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Fauzi, A. 2014. Valuasi Ekonomi dan Penilaian Kerusakan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. IPB press. Bogor. Greene, W.H. 2000. Econometrics Analysis, 4th edition. New Jersey: Prentice Hall. Hanley, N dan Spash, C. 1993. Preferences, Information and Biodiversity Preservation. Discussion Papers in Economics 93/12, Department of Economics, University of Stirling. Hosmer, D.W., dan Lemeshow, S. 2000. Applied Logistic Regression. John Wiley and Sons, Inc. New York. INBAR. 2005. Global Forest Resources Assessment Update 2005. Indonesia. Country Report on Bamboo Resources. Forest Resources Assessment Working Paper (Bamboo). Food and Agriculture Organization of the United Nations, Forestry Department and International Network for Bamboo and Rattan (INBAR), Jakarta, May, 2005. Irawan. 2007. Valuasi Ekonomi Lahan Pertanian Pendekatan Nilai Manfaat Multifungsi Lahan Sawah dan Lahan Kering (Studi Kasus di Sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat) [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB. [Kantor Kecamatan Sajira]. 2012. Daftar Laporan Penduduk Warga Negara Indonesia Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak. Banten.
57
Kementerian Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.21/Menhut-II. 2009 tentang Kriteria dan Indikator Penetapan Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan. Jakarta. Kironoto, B.A. 2006. Transport Sedimen, Diktat Mata Kuliah, Program Studi Teknik Sipil, Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta. Krisdianto, Sumarni G, Ismanto A. 2000. Sari Hasil Penelitian Bambu. Himpunan Sari Hasil Penelitian Rotan dan Bambu. Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan Bogor. Mason, R. 2002. Assessing values in conservation planning’ in de la Torre (2002) Assessing the value of cultural heritage Los Angeles: The Getty Conservation Institute pp 5-31. Mohamed, S., Awang Noor, A.G., Mohd Hakimi, M.H. 2010. Estimating the Economic Value of Natural Bamboo Stands: A Case Study in Pahang, Malaysia. Journal of the Malaysian Forester, 73 (1): 53-61. Munasinghe, M. 1993. Enviromental Economics and Sustainable Development. World Bank Environment Paper Number 3. The World Bank. Washington, D.C. Nafed, K. 2011. Menggali peluang ekspor untuk produk dari bambu. Warta ekspor. Edisi Desember: 3-13. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Jakarta. Pagiola, S., K. von Ritter, dan J. Bishop. 2004. Assessing the Economic Value of Ecosystem Conservation. Environment Department Paper No. 101. World Bank Environment Department (Washington, DC) in collaboration with the Nature Conservancy and International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Pande, V.C., Kurothe, R.S., Rao, B.K, Kumar, G., Parandiyal, A.K., Singh, A.K., Kumar, A. 2012. Economics Analysis of Bamboo Plantation in Three Major Ravine Systems India. Journal of Agricultural Economics Research, 25 (1): 49-59. Pearce, D. 1992. Economic Valuation and the Natural World. World Bank Working Papers. The World Bank. New York. Pearce, D.W., J.J. Warford. 1993. World Without End: Economics, Environment, and Sustainable Development. Oxford: Oxford University Press. Pearce, D.W., Moran, D. 1994. The Economic Value of Biodiversity. Journal The World Conservation Union Earthscan Publications Ltd, London.
58
Pearce, D.W., Ozdemiroglu et al, E. 2002. Economic Valuation With Stated Preference Techniques. Summary Guide London: Department for Transport, Local Government and the Regions. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P 21/Menhut-II/2009 tentang Kriteria dan Indikator Penetapan Jenis Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan. Jakarta. Rasyid I. 2005. Pemodelan Spasial Zonasi Erosi Menggunakan Pendekatan Morgan (Studi Kasus di Sub DAS Cikapundung Hulu) [Tesis]. Departemen Teknik Lingkungan, ITB. Bandung. Suhardi, I. Y. dan Llewlyn, R. 2001. Penggunaan Model Regresi Tobit untuk Menganalisa Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kepuasan Konsumen untuk Jasa Pengangkutan Barang. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, 3 (2) : 106-112. Suhardi, T. 1990. Pengarahan Kebijaksanaan Pengembangan Industri dan Kerajinan Bambu. Dalam Rifai, M. A. & Widjaja, E. A. (penyunting). Gatra Pengembangan Industri dan Kerajinan Bambu: 2-3. Suparmoko, M dan Ratnaningsih, M. 2000. Ekonomika Lingkungan. Edisi Pertama BPFE. Yogyakarta. Supriatna, I.S. 2006. Nilai Ekonomi Sistem Agroforestry Kebun Campuran (Studi Kasus Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Suprihatno, B., Hamidy, R., Amin, B. 2012. Analisis Biomassa dan Cadangan Karbon Tanaman Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens). Jurnal Ilmu Lingkungan, 6 (1): 82-92. Sutiyono, Hendromono, Marfu’ah, Ihak. 1996. Teknik Budidaya Tanaman Bambu. Bogor: Pusat Litbang Hasil Hutan. Sutono, S., Tala’ohu, S.H., Sopandi, O., dan Agus, F. 2003. Erosi pada Berbagai Penggunaan Lahan di DAS Citarum. Di dalam U. Kurnia, F. Agus, D. Setyorini dan A. Setiyanto (Penyunting). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hlm 113-133. Tjiptoherijanto, P. 2001. Proyeksi Penduduk, Angkatan Kerja, Tenaga Kerja dan Peran Serikat Pekerja dalam Peningkatan Kesejahteraan. Majalah Perencanaan Pembangunan, Edisi 23. Tobin, J. 1958. Estimation of Relationship for Limited Dependent Variables. Econometrica, 26 (1) : 24-36.
59
Tresnadi, H. 2000. Valuasi Komoditas Lingkungan Berdasarkan Contingent Valuation Method. Jurnal Teknologi Lingkungan, 1 (1) : 38-53. Wahyudin. 2008. Pelestarian Hutan Bambu untuk Menanggulangi Illegal Logging dan Global Warming. Widjaja, E. A. 2004. Jenis-Jenis Bambu Endemik dan Konservasinya di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Biologi XV. Wischmeier, W.H., dan D.D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses-A Guide to Conservation Planning. Agriculture Handbook No. 537. U.S. Department of Agriculture, Washington DC. 58p.
60
61
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data karakteristik responden beserta luas lahan milik No
Nama
Umur (Tahun)
Jenis kelamin (L/P)
Pendidikan
Asal
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Marjuki Muhidin Adna Ahdar Arta Artuki Sodiq Aryadi Bading Bakri Dedih Dulhadi Juari Juhana Jumanta Jumhira Mardan Marhidi Marhudin Maryono
59 26 79 26 61 33 35 77 41 29 47 39 67 63 35 35 42 39 31 41
L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L
SD SD SD SD SD SD SMA SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD
Ds. Maraya Ds. Maraya Ds. Maraya Ds. Maraya Ds. Maraya Ds. Maraya Ds. Maraya Ds. Maraya Ds. Maraya Ds. Margaluyu Ds. Margaluyu Ds. Margaluyu Ds. Margaluyu Ds. Margaluyu Ds. Margaluyu Ds. Margaluyu Ds. Margaluyu Ds. Sukamarga Ds. Sukamarga Ds. Sukamarga
Pekerjaan utama
Pekerjaan sampingan
Petani
-
Petani Petani Petani Petani Petani
Kuli Kuli Wiraswasta Pegawai swasta
Petani Petani Petani Petani Wiraswasta Petani Petani Petani Petani Wiraswasta Petani Petani Petani Petani
Kuli Kuli Kuli Pengrajin Pengrajin bambu Tengkulak Tengkulak Wiraswasta Kuli
Luas kebun (ha)
Luas sawah (ha)
Luas ladang (ha)
3.00 1.50 3.00 0.20 0.25 1.50 5.00 1.00 1.00 1.50 2.40 0.50 0.25 2.50 1.00 1.00 4.50 2.00 2.00 2.00
1.00 0.50 0.50 0.80 0.25 0.90 0.80 0.50 0.25 0.75 0.75 0.75 0.75 1.00 1.00 1.00 1.25 0.50
0.50 1.00 1.50 1.50 0.25 2.00 0.50 0.50 2.50 0.25 0.25 0.50 0.25 0.80 0.50 0.50 0.50 -
62
75
62
63
Lampiran 1. Data karakteristik responden beserta luas lahan milik (Lanjutan) No
Nama
Umur (Tahun)
Jenis kelamin (L/P)
Pendidikan
Asal
Pekerjaan utama
Pekerjaan sampingan
Luas kebun (ha)
Luas sawah (ha)
Luas ladang (ha)
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Misjaya Oman Narja Narya Misjani Parta Pulung Rohenda Saleh Sanuji Sarmanah Sari Sarnadi Sarnata Sapudi Sawari Sayuti Suberi Sudarwata Sudita
32 61 64 46 29 48 24 31 37 31 49 65 46 64 71 55 57 31 34 30
L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L
SD SD SD SD SD SD SMP SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SMA SD
Ds. Sukamarga Ds. Sukamarga Ds. Sukamarga Ds. Sukamarga Ds. Sindangsari Ds. Sindangsari Ds. Sindangsari Ds. Sindangsari Ds. Sindangsari Ds. Sindangsari Ds. Sajira Mekar Ds. Sajira Mekar Ds. Sajira Mekar Ds. Sajira Mekar Ds. Sajira Mekar Ds. Sajira Mekar Ds. Sajira Ds. Sajira Ds. Sajira Ds. Sajira
Petani Petani Petani Petani Petani Buruh tani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Buruh tani Petani Petani Petani Petani Petani Wiraswasta Petani
Buruh Buruh Buruh Kuli Kuli Kuli Tengkulak Pengrajin Kuli Kuli Satpam Kuli Pengrajin Kuli Kuli Buruh Petani Tengkulak
0.25 0.15 1.00 1.00 3.00 0.50 0.50 0.50 0.25 1.50 1.50 1.50 0.75 0.50 0.50 1.00 1.20 0.25 0.10 1.00
0.80 1.00 0.50 0.50 0.10 0.50 0.60 0.50 0.60 0.25 0.50 0.75 0.80 0.50 0.25 0.75 0.25 0.50 0.55
0.25 1.00 1.00 0.50 0.50 1.20 1.00 0.50 0.25 0.50 0.50 0.50 0.50 1.00 0.25 0.50 0.50
63
64
64
Lampiran 1. Data karakteristik responden beserta luas lahan milik (Lanjutan) No
Nama
Umur (Tahun)
Jenis kelamin (L/P)
Pendidikan
Asal
Pekerjaan utama
Pekerjaan sampingan
Luas kebun (ha)
Luas sawah (ha)
Luas ladang (ha)
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
Suganda Murhenah Umah Suharta Sujaya Sukanta Sukarya Sumardi Suparni Surta Sutami Ujen Juari Artenah Edah Ahemi Sawari Subenah Suhesi Misjaya
48 32 49 45 47 55 32 48 47 39 44 39 50 25 30 70 35 40 41 45
L L P L L L L L L L L L L P P P L P P L
SMA SD SD SMP SD SD SD S1 SMP SD SD SD SD S1 SD SD SD SD SMA SD
Ds. Sajira Ds. Sajira Ds. Sukarame Ds. Sukarame Ds. Sukarame Ds. Sukarame Ds. Sukarame Ds. Sukarame Ds. Calungbungur Ds. Calungbungur Ds. Calungbungur Ds. Calungbungur Ds. Calungbungur Ds. Calungbungur Ds. Sukajaya Ds. Sukajaya Ds. Sukajaya Ds. Sukajaya Ds. Sukajaya Ds. Sukajaya
Wiraswasta Petani Petani Petani Supir angkot Petani Petani PNS Petani Petani Wiraswasta Petani Petani Wiraswasta Petani Petani Petani Petani Peternak Petani
Petani Tengkulak Wiraswasta Kuli Wiraswasta Kuli Buruh Petani Kuli Kuli Buruh Kuli Kuli Petani Tengkulak Kuli Kuli Tengkulak Ojeg
3.00 1.20 1.20 2.40 0.50 1.00 4.00 0.12 0.50 5.00 0.25 1.50 2.00 1.00 0.25 2.00 1.00 0.50 2.50 0.10
0.90 0.50 0.75 0.25 0.02 0.50 1.00 1.00 0.50 0.10 0.25 1.00 1.00 0.10 0.25 0.50 0.50 1.00 1.00 1.00
0.50 1.00 0.75 0.25 0.25 0.50 1.00 0.50 0.10 0.25 0.25 0.50 0.25 0.50 0.50 0.50 0.50 1.00
65
Lampiran 1. Data karakteristik responden beserta luas lahan milik (Lanjutan) No
Nama
Umur (Tahun)
Jenis kelamin (L/P)
61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80
Aswasih Sumardi Aryadi Dulhadi Sukanta Misjani Sudita Sariman Pulung Subari Maryati Aryani Udin Arniah Rohenda Eri Sanuji Sutini Khadija Maryono
30 40 40 41 32 34 28 48 60 30 30 30 60 25 28 37 32 50 27 25
P L L L L L L L L L P P L P L L P P P L
Pendidikan
Asal
SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD
Ds. Paja Ds. Paja Ds. Paja Ds. Paja Ds. Mekarsari Ds. Mekarsari Ds. Mekarsari Ds. Mekarsari Ds. Mekarsari Ds. Mekarsari Ds. Pajagan Ds. Pajagan Ds. Pajagan Ds. Pajagan Ds. Pajagan Ds. Pajagan Ds. Pajagan Ds. Parungsari Ds. Parungsari Ds. Parungsari
S1 SD SD SMP SD SMP SD
Pekerjaan utama
Pekerjaan sampingan
Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Wiraswasta
Kuli Wiraswasta
Petani Petani Petani PNS PNS Petani PNS Petani Petani Petani Petani
Tengkulak Kuli Peternak Kuli Kuli Tengkulak Kuli Wiraswasta Kuli Kuli Wiraswasta Petani Buruh Petani Wiraswasta Buruh Kuli
Luas kebun (ha)
Luas sawah (ha)
Luas ladang (ha)
6.00 1.50 1.20 1.00 1.00 0.50 0.25 1.50 1.50 1.00 0.25 1.50 1.20 1.00 0.50 2.00 1.00 1.00 1.50 0.50
0.50 1.00 0.50 1.00 0.50 0.25 0.50 0.50 0.50 0.25 0.50 1.00 0.70 0.50 0.50 1.00 0.50 0.50 0.50
1.00 0.50 1.00 1.00 0.50 0.50 0.25 0.25 0.25 0.50 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 0.50 0.50 1.00
65
66
66
Lampiran 1. Data karakteristik responden beserta luas lahan milik (Lanjutan) No 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99
Nama
Umur (Tahun)
Arta Sudir Herdi Rumi Surtini Artuki Juminah Juhariah Sudarwata Narja Sunarti Adna Jumhia Sukarya Susri Runasih Tiramasih Bading Surta Total luas lahan
30 26 40 35 75 35 50 26 60 28 60 35 65 22 26 24 60 45 31
Jenis kelamin (L/P) L L L P P L P P L L P L L L P P P L L
Pendidikan
Asal
Pekerjaan utama
Pekerjaan sampingan
SD SMA
Ds. Parungsari Ds. Parungsari Ds. Parungsari Ds. Parungsari Ds. Parungsari Ds. Bungur Mekar Ds. Bungur Mekar Ds. Bungur Mekar Ds. Bungur Mekar Ds. Bungur Mekar Ds. Ciuyah Ds. Ciuyah Ds. Ciuyah Ds. Ciuyah Ds. Ciuyah Ds. Ciuyah Ds. Ciuyah Ds. Ciuyah Ds. Ciuyah
Petani PNS Pegawai swasta Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani
Tengkulak Petani Petani Wiraswasta
D3 SMP SD SD SD SD SD SD SD SMP SD SD SD SD SD SD SD
Buruh Kuli Wiraswasta Tengkulak Kuli Pengrajin Kuli Kuli Pengrajin Ojeg Kuli Pengrajin Kuli Pengrajin
Luas kebun (ha)
Luas sawah (ha)
Luas ladang (ha)
2.00 0.08 1.00 0.20 1.00 0.50 1.00 0.50 0.10 1.00 0.25 0.50 0.10 0.80 0.05 0.50 1.00 1.00 0.50 121.05
0.25 0.50 1.00 0.82 0.50 1.00 0.50 0.25 0.50 1.00 1.00 1.00 0.90 1.00 1.00 0.50 58.49
1.00 2.00 0.50 1.25 1.00 0.50 3.00 2.00 2.50 0.50 0.50 1.00 0.50 0.81 0.92 1.00 1.00 1.00 1.00 68.08
67
Lampiran 2. Produksi bambu non olahan responden Bambu apus Biaya pengolahan (Rp/thn) No.
Luas lahan (ha)
Kepadatan bambu (btg/ha)
Produksi bambu (btg/thn)
Harga jual (Rp/btg)
Total penerimaan (Rp/thn)
Biaya pemanenan (Rp/thn )
Biaya bahan (tali,dll)
Biaya penyusutan peralatan
Biaya penjualan (angkut)
Total biaya (Rp/thn)
Margin keuntungan (Rp/thn)
1
3.00
450
675
5 000
3 375 000
250 000
0
25 000
100 000
375 000
361 607
2
1.50
2 333
1 750
2 500
4 375 000
250 000
0
25 000
50 000
325 000
468 750
3
3.00
800
1 200
3 000
3 600 000
200 000
0
25 000
60 000
285 000
385 714
4
0.20
12 000
1 200
3 000
3 600 000
180 000
0
25 000
100 000
305 000
385 714
5
0.25
8 000
1 000
2 500
2 500 000
150 000
0
25 000
-
175 000
267 857
6
5.00
280
700
3 000
2 100 000
35 000
0
25 000
50 000
110 000
225 000
7
1.00
5 400
2 700
2 000
5 400 000
55 000
0
25 000
50 000
130 000
578 571
8
1.00
1 500
750
3 000
2 250 000
60 000
0
25 000
50 000
135 000
241 071
9
1.20
667
400
5 000
2 000 000
180 000
0
25 000
50 000
255 000
214 285
10
5.00
360
900
7 000
6 300 000
170 000
0
25 000
50 000
245 000
675 000
11
0.08
25 000
1 000
5 000
5 000 000
300 000
0
25 000
-
325 000
535 714
Sample
21.23
1 156
12 275
3 727
21 748 504
166 364
0
25 000
50 909
242 273
2 330 197
72 919
3 727
271 768 336
166 364
0
25 000
50 909
242 273
29 118 036
Kecamatan
67
68
68
Bambu hitam Biaya pengolahan (Rp/thn) No.
Luas lahan (ha)
Kepadatan bambu (btg/ha)
Produksi bambu (btg/thn)
Harga jual (Rp/btg)
Total penerimaan (Rp/thn)
Biaya pemanenan (Rp/thn )
Biaya bahan (tali,dll)
Biaya penyusutan peralatan
Biaya penjualan (angkut)
Total biaya (Rp/thn)
Margin keuntungan (Rp/thn)
1
3.00
417
625
5 000
3 125 000
150 000
0
25 000
100 000
275 000
334 821
Sample
3.00
417
625
5 000
3 125 000
150 000
0
25 000
100 000
275 000
334 821
3 713
5 000
18 563 847
150 000
0
25 000
100 000
275 000
1 988 984
Kepadatan bambu (btg/ha)
Produksi bambu (btg/thn)
Harga jual (Rp/btg)
Kecamatan
Bambu betung
No.
Luas lahan (ha)
Total penerimaan (Rp/thn)
Biaya pemanenan (Rp/thn )
Biaya pengolahan (Rp/thn) Biaya bahan (tali,dll)
Biaya penyusutan peralatan
Biaya penjualan (angkut)
Total biaya (Rp/thn)
Margin keuntungan (Rp/thn)
1
1.50
1 333
1 000
10 000
10 000 000
200 000
0
25 000
-
225 000
1 071 429
2
1.00
4 800
2 400
8 500
20 400 000
50 000
0
25 000
80 000
155 000
2 185 714
Sample
2.50
2 720
3 400
9 250
16 317 000
125 000
0
25 000
40 000
190 000
1 748 250
20 197
9 250
186 826 558
125 000
0
25 000
40 000
190 000
20 017 131
Kecamatan
69
Bambu mayan Biaya pengolahan (Rp/thn) No.
Luas lahan (ha)
Kepadatan bambu (btg/ha)
Produksi bambu (btg/thn)
Harga jual (Rp/btg)
Total penerimaan (Rp/thn)
Biaya pemanenan (Rp/thn )
Biaya bahan (tali,dll)
Biaya penyusutan peralatan
Biaya penjualan (angkut)
Total biaya (Rp/thn)
Margin keuntungan (Rp/thn)
1
3.00
400
600
8 000
4 800 000
100 000
0
25 000
100 000
225 000
514 286
2
3.00
360
540
4 000
2 160 000
200 000
0
25 000
60 000
285 000
231 429
3
5.00
280
700
4 500
3 150 000
40 000
0
25 000
50 000
115 000
337 500
4
1.00
3 200
1 600
1 500
2 400 000
45 000
0
25 000
50 000
120 000
257 143
5
1.50
1 333
1 000
5 000
5 000 000
250 000
0
25 000
-
275 000
535 714
6
0.25
1 200
150
8 000
1 200 000
125 000
0
30 000
-
155 000
128 571
7
1.00
300
150
5 000
750 000
170 000
0
25 000
50 000
245 000
80 357
8
5.00
160
400
10 000
4 000 000
165 000
0
25 000
50 000
240 000
428 571
9
1.00
2 250
1 125
8 000
9 000 000
400 000
0
25 000
150 000
575 000
964 286
20.75 Sample Kecamatan
604
6 265
6 000
37 590 000
166 111
0
25 556
56 667
248 333
4 027 500
37 217
6 000
223 300 805
166 111
0
25 556
56 667
248 333
23 925 086
69
70
70
Bambu ampel Biaya pengolahan (Rp/thn) No.
Luas lahan (ha)
Kepadatan bambu (btg/ha)
Produksi bambu (btg/thn)
Harga jual (Rp/btg)
Total penerimaan (Rp/thn)
Biaya pemanenan (Rp/thn )
Biaya bahan (tali,dll)
Biaya penyusutan peralatan
Biaya penjualan (angkut)
Total biaya (Rp/thn)
Margin keuntungan (Rp/thn)
1
1.50
133
100
2 500
250 000
55 000
0
25 000
-
80 000
26 786
2 Sample
1.00 2.50
600 320
300 400
2 000 2 250
600 000 900 000
50 000 52 500
0 0
25 000 25 000
50 000 25 000
125 000 102 500
64 286 96 429
2 376
2 250
5 346 388
52 500
0
25 000
25 000
102 500
572 827
Kecamatan
71
Lampiran 3. Produksi bambu olahan responden Tampah
No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Luas lahan (ha) 1.50 2.40 0.50 1.00 1.00 0.25 1.00 3.00 0.50 0.75 1.00 0.10 2.40 0.50 2.00 0.50 6.00 1.00 0.50
Kepadatan bambu (btg/ha)
Bahan baku bambu (btg/thn)
2 133 1 667 6 000 1 800 5 000 9 600 1 200 1 000 3 000 400 450 32 000 200 500 210 874 128 1 056 8 700
36 24 36 48 24 48 36 48 36 36 48 36 48 24 48 48 48 48 48
Biaya pengolahan (Rp/thn) Harga jual (Rp/btg) 7 000 7 000 7 000 10 000 7 000 8 000 10 000 8 000 7 500 10 000 10 000 10 000 9 000 10 000 9 000 8 000 9 000 8 000 7 000
Total penerimaan (Rp/thn) 756 000 504 000 756 000 1 440 000 504 000 1 152 000 1 080 000 1 152 000 810 000 1 080 000 1 440 000 1 080 000 1 296 000 720 000 1 296 000 1 152 000 1 296 000 1 152 000 1 008 000
Biaya pemanenan (Rp/thn ) 40 000 55 000 40 000 150 000 50 000 70 000 50 000 180 000 85 000 55 000 150 000 80 000 22 000 50 000 190 000 160 000 170 000 170 000 170 000
Biaya bahan (tali,dll) 2 500 2 500 2 500 2 500 2 500 2 500 3 000 2 000 2 000 2 500 2 500 2 500 2 500 2 500 2 500 2 500 2 500
Biaya penyusutan peralatan
Biaya penjualan (angkut)
25 000 20 000 20 000 25 000 25 000 25 000 25 000 25 000 25 000 10 000 10 000 10 000 25 000 25 000 25 000 25 000 25 000 25 000 25 000
50 000 100 000 100 000 50 000 50 000 50 000 100 000 50 000 50 000 50 000 50 000 40 000 50 000 50 000 80 000 60 000 100 000 100 000
Total biaya (Rp/thn) 117 500 177 500 162 500 227 500 127 500 147 500 175 000 255 000 163 000 117 000 212 000 132 500 99 500 127 500 297 500 187 500 257 500 297 500 297 500
Margin keuntungan (Rp/thn) 81 000 54 000 81 000 154 286 54 000 123 429 115 714 123 429 86 786 115 714 154 286 115 714 138 857 77 143 138 857 123 429 138 857 123 429 108 000
71
72
72
Tampah (Lanjutan)
No.
Luas lahan (ha)
Biaya pengolahan (Rp/thn)
Kepadatan bambu (btg/ha)
Bahan baku bambu (btg/thn)
Harga jual (Rp/btg)
Total penerimaan (Rp/thn)
Biaya pemanenan (Rp/thn )
Biaya bahan (tali,dll)
Biaya penyusutan peralatan
Biaya penjualan (angkut)
Total biaya (Rp/thn)
Margin keuntungan (Rp/thn)
20
1.00
306
36
10 000
1 080 000
200 000
2 500
25 000
100 000
327 500
115 714
21
1.50
1 246
48
10 000
1 440 000
180 000
2 500
25 000
-
207 500
154 286
22
1.00
891
48
9 000
1 296 000
170 000
-
25 000
50 000
245 000
138 857
23
0.10
17 500
48
8 000
1 152 000
120 000
2 000
25 000
30 000
177 000
123 429
24
0.05
4 800
48
7 000
1 008 000
120 000
2 000
25 000
-
147 000
108 000
25
1.00
3 306
36
7 000
756 000
90 000
2 500
25 000
-
117 500
81 000
Sample
30.55
1 479
1 032
8 500
26 316 000
112 680
2 140
22 800
54 400
192 020
2 819 571
6 910
8 500
176 205 000
112 680
2 140
22 800
54 400
192 020
18 879 107
Kecamatan
73
Tempat nasi (boboko) Biaya pengolahan (Rp/thn) Luas lahan (ha)
No.
Kepadatan bambu (btg/ha)
Bahan baku bambu (btg/thn)
Harga jual (Rp/btg)
Total penerimaan (Rp/thn)
Biaya pemanenan (Rp/thn )
Biaya bahan (tali,dll)
Biaya penyusutan peralatan
Biaya penjualan (angkut)
Total biaya (Rp/thn)
Margin keuntungan (Rp/thn)
1
4.50
667
48
17 000
4 080 000
160 000
2 500
25 000
50 000
237 500
437 143
2
2.00
1 200
48
15 000
3 600 000
150 000
2 500
25 000
100 000
277 500
385 714
3
2.00
1 200
36
20 000
3 600 000
160 000
3 000
25 000
-
188 000
385 714
4
0.50
2 000
48
15 000
3 600 000
190 000
2 500
25 000
-
217 500
385 714
5
1.50
300
24
20 000
2 400 000
55 000
2 500
30 000
50 000
137 500
257 143
6
1.20
1 333
48
15 000
3 600 000
152 000
2 500
10 000
50 000
214 500
385 714
7
2.40
200
48
15 500
3 720 000
170 000
2 500
25 000
50 000
247 500
398 571
8
1.00
3 200
36
16 000
2 880 000
165 000
2 500
25 000
60 000
252 500
308 571
9
0.25
1 664
36
17 000
3 060 000
90 000
-
25 000
150 000
265 000
327 857
10
0.50
3 720
48
20 000
4 800 000
80 000
2 500
25 000
-
107 500
514 286
15.85
1 060
420
17 050
35 805 000
137 200
2 300
24 000
51 000
214 500
3 836 250
2 812
17 050
239 740 050
137 200
2 300
24 000
51 000
214 500
25 686 434
Sample Kecamatan
73
74
74
Pengukus nasi (aseupan) Biaya pengolahan (Rp/thn) No.
Luas lahan (ha)
Kepadatan bambu (btg/ha)
Bahan baku bambu (btg/thn)
Harga jual (Rp/btg)
Total penerimaan (Rp/thn)
Biaya pemanenan (Rp/thn )
Biaya bahan (tali,dll)
Biaya penyusutan peralatan
Biaya penjualan (angkut)
Total biaya (Rp/thn)
Margin keuntungan (Rp/thn)
1
2.50
300
24
10 000
1 200 000
20 000
2 500
20 000
50 000
92 500
128 571
2
3.00
1 000
48
10 000
2 400 000
120 000
2 500
25 000
50 000
197 500
257 143
3
1.50
2 667
36
15 000
2 700 000
54 000
2 500
25 000
-
81 500
289 286
4
0.50
3 600
36
15 000
2 700 000
45 000
1 500
10 000
150 000
206 500
289 286
5
2.00
450
24
10 000
1 200 000
45 000
2 500
25 000
-
72 500
128 571
6
1.00
2 438
36
13 000
2 340 000
180 000
2 500
25 000
50 000
257 500
250 714
7 8
6.00 1.50
128 150
48 36
15 000 10 000
3 600 000 1 800 000
170 000 40 000
2 500 2 500
25 000 25 000
60 000 50 000
257 500 117 500
385 714 192 857
9
0.50
1 200
36
10 000
1 800 000
40 000
-
25 000
150 000
215 000
192 857
10
1.50
1 820
36
12 000
2 160 000
170 000
-
25 000
-
195 000
231 429
11
0.25
1 520
48
13 000
3 120 000
160 000
2 500
25 000
-
187 500
334 286
12
0.50
1 500
48
12 500
3 000 000
220 000
2 500
25 000
-
247 500
321 429
13
2.00
480
36
12 000
2 160 000
180 000
2 500
25 000
-
207 500
231 429
14 15 16 17
0.20 0.50 1.00 0.80
6 435 630 3 640 4 025
24 24 36 48
13 000 14 000 10 000 10 000
1 560 000 1 680 000 1 800 000 2 400 000
40 000 40 000 90 000 70 000
2 500 2 500 2 500
25 000 25 000 25 000 25 000
50 000 50 000 -
115 000 117 500 117 500 97 500
167 143 180 000 192 857 257 143
18
1.00
920
36
15 000
2 700 000
60 000
2 000
25 000
-
87 000
289 286
Sample
26.25
1 093
660
12 194
40 241 667
96 889
2 000
23 889
36 667
159 444
4 311 607
4 419
12 194
269 448 444
96 889
2
23 889
36 667
159 444
28 869 476
Kecamatan
75
Kipas sate (hihid) Biaya pengolahan (Rp/thn) No.
Luas lahan (ha)
Kepadatan bambu (btg/ha)
Bahan baku bambu (btg/thn)
Harga jual (Rp/btg)
Total penerimaan (Rp/thn)
Biaya pemanenan (Rp/thn )
Biaya bahan (tali,dll)
Biaya penyusutan peralatan
Biaya penjualan (angkut)
Total biaya (Rp/thn)
Margin keuntungan (Rp/thn)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
1.50 0.25 4.50 2.00 1.00 3.00 1.50 0.50 0.25 0.10 1.20 0.50 4.00 1.50 0.10
2 133 7 200 667 1 125 1 000 1 000 1 600 3 600 12 000 32 000 1 667 6 000 300 480 10 850
36 24 24 36 24 36 24 24 24 24 36 24 36 36 24
2 000 2 000 2 000 4 000 2 000 2 500 2 000 2 500 2 000 3 000 3 000 4 500 4 000 2 000 5 000
504 000 336 000 336 000 1 008 000 336 000 630 000 336 000 420 000 336 000 504 000 756 000 756 000 1 008 000 504 000 840 000
30 000 20 000 38 000 42 000 20 000 80 000 20 000 40 000 22 000 20 000 40 000 25 000 45 000 50 000 20 000
5 000 2 500 2 500 2 500 2 000 2 000 2 000 1 000 2 000 2 500 2 500 1 500 2 500 2 500 2 000
25 000 20 000 25 000 25 000 30 000 25 000 30 000 10 000 10 000 10 000 25 000 25 000 30 000 25 000 25 000
50 000 120 000 50 000 50 000 50 000 50 000 50 000 150 000 50 000 40 000 50 000 50 000 50 000 -
110 000 162 500 115 500 119 500 102 000 157 000 102 000 201 000 84 000 72 500 117 500 101 500 127 500 77 500 47 000
54 000 36 000 36 000 108 000 36 000 67 500 36 000 45 000 36 000 54 000 81 000 81 000 108 000 54 000 90 000
16 17 18 19
6.00 0.50 1.50 1.50
128 1 200 2 821 483
24 24 24 24
2 000 3 500 5 000 2 500
336 000 588 000 840 000 420 000
30 000 60 000 20 000 45 000
2 500 2 500
25 000 25 000 25 000 25 000
60 000 150 000 -
117 500 235 000 45 000 72 500
36 000 63 000 90 000 45 000
75
76
76
Kipas sate (Lanjutan)
No
Luas lahan (ha)
20 21 22 23 24 25 Sample
1.20 2.00 2.00 1.00 0.50 0.50 38.60
Kecamatan
Kepadatan bambu (btg/ha) 1 792 777 480 2 150 1 728 17 000 1 429
Bahan baku bambu (btg/thn)
Biaya pengolahan (Rp/thn) Harga jual (Rp/btg)
Total penerimaan (Rp/thn)
Biaya pemanenan (Rp/thn )
Biaya bahan (tali,dll)
Biaya penyusutan peralatan
Biaya penjualan (angkut)
Total biaya (Rp/thn)
Margin keuntungan (Rp/thn)
24 24 24 36 24 24 684
2 000 5 000 5 000 2 000 4 000 3 000 3 060
336 000 840 000 840 000 504 000 672 000 504 000 14 651 280
45 000 22 000 22 000 40 000 20 000 50 000 34 640
2 500 2 500 2 000 2 000 2 000 2 040
25 000 25 000 25 000 25 000 25 000 25 000 23 600
100 000 50 000 46 800
72 500 149 500 47 000 117 000 47 000 77 000 107 080
36 000 90 000 90 000 54 000 72 000 54 000 1 569 780
4 580
3 060
176 205 000
112 680
2 040
22 800
54 400
192 020
18 879 107
77
Sumpit No.
Luas lahan (ha)
Kepadatan bambu (btg/ha)
Bahan baku bambu (btg/thn)
Harga jual (Rp/btg)
Total penerimaan (Rp/thn)
Biaya pemanenan (Rp/thn )
1
1.00
5 000
24
1 000
360 000
30 000
2
4.50
667
48
1 000
720 000
45 000
Biaya pengolahan (Rp/thn) Biaya Biaya Biaya bahan penyusutan penjualan (tali,dll) peralatan (angkut) 2 500 25 000 50 000 2 500
25 000
50 000
Total biaya (Rp/thn)
Margin keuntungan (Rp/thn)
107 500
38 571
122 500
77 143
3
2.00
1 125
24
1 000
360 000
30 000
2 500
25 000
50 000
107 500
38 571
4
0.15
10 000
24
1 000
360 000
52 000
2 500
25 000
50 000
129 500
38 571
5
0.50
1 500
24
1 500
540 000
20 000
2 500
30 000
50 000
102 500
57 857
6
0.50
2 000
24
1 000
360 000
15 000
2 000
10 000
50 000
77 000
38 571
7
3.00
1 333
24
1 000
360 000
40 000
2 500
25 000
50 000
117 500
38 571
8
1.00
1 250
24
2 000
720 000
40 000
2 500
30 000
50 000
122 500
77 143
9
0.25
20 000
48
1 200
864 000
50 000
2 500
25 000
-
77 500
92 571
10
0.25
4 000
24
2 000
720 000
40 000
2 500
25 000
80 000
147 500
77 143
11
2.50
144
24
2 000
720 000
42 000
2 500
25 000
-
69 500
77 143
12
1.20
14 167
24
1 000
360 000
45 000
2 500
25 000
50,000
122 500
38 571
13
1.00
2 200
24
2 000
720 000
20 000
2 500
25 000
-
47 500
77 143
14
2.00
777
36
1 500
810 000
30 000
2 500
25 000
100 000
157 500
86 786
15
1.00
480
24
1 500
540 000
30 000
2 500
25 000
100 000
157 500
57 857
16
1.00
1 300
24
2 000
720 000
70 000
-
25 000
50 000
145 000
77 143
17
1.00
2 150
24
1 000
360 000
40 000
2 500
25 000
50 000
117 500
38 571
18
0.10
17 500
24
2 000
720 000
40 000
1 000
25 000
30 000
96 000
77 143
19
0.25
16 160
36
1 000
540 000
100 000
2 500
25 000
-
127 500
57 857
77
78 78
Sumpit (Lanjutan)
No
20 21 Sample Kecamatan
Luas lahan (ha)
Kepadatan bambu (btg/ha)
0.10 0.50 23.80
53 040 3 840 2 639
Biaya pengolahan (Rp/thn)
Bahan baku bambu (btg/thn)
Harga jual (Rp/btg)
Total penerimaan (Rp/thn)
24 24 576 3 857
1 000 2 000 1 414 1 414
360 000 720 000 12 219 429 81 819 257
Biaya pemanenan (Rp/thn ) 40 000 30 000 40 429 40 429
Biaya bahan (tali,dll) 2 500 2 500 2 286 2 286
Biaya penyusutan peralatan 25 000 25 000 24 762 24 762
Biaya penjualan (angkut) 40 952 40 952
Total biaya (Rp/thn) 67 500 57 500 108 429 108 429
Margin keuntungan (Rp/thn) 38 571 77 143 1 309 224 8 766 349
79
Lampiran 4. Data curah hujan bulanan tahun 1999-2011 Curah hujan (mm) bulan: Tahun
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
1999
574
328
163
140
143
56
63
79
106
189
134
299
2000
214
306
52
23
255
115
36
67
44
134
322
155
2001
516
490
265
264
194
172
94
194
234
152
268
59
2002
341
216
145
346
143
83
129
62
92
107
215
309
2003
88
230
127
245
0
0
0
0
0
0
0
0
2004
173
320
204
315
123
168
111
0
91
109
100
167
2005
312
254
282
104
195
248
156
49
134
235
248
173
2006
255
251
335
295
133
28
9
31
46
238
177
310
2007
231
193
191
141
144
65
79
53
64
279
40
341
2008
0
384
165
248
136
130
5
157
58
201
384
296
2009
280
211
170
120
214
213
0
25
193
141.5
233
50.5
2010
279
390
229
0
353
119
0
212
288
0
0
0
2011
0
244
315
192
150
104
22
0
139
113
0
262
251
294
203
187
168
115
54
71
115
146
163
186
Rata-rata
Sumber: Stasiun Meteorologi Pertanian Khusus (MPK) No. 37 H Bojongleles Kecamatan Cibadak Kabupaten Lebak
79
80
Lampiran 5. Peta topografi wilayah Kecamatan Sajira
81
78
Lampiran 6. Hasil analisis contoh tanah BALAI PENELITIAN TANAH LABORATORIUM TANAH Jl. Ir. H. Juanda No. 98 Bogor Telepon: (0251) 8322933, Fax: (0251) 8322933
HASIL ANALISIS CONTOH TANAH Nomor contoh Batas Horison
Seri No. 158
Terhadap contoh kering 105°C
Ekstrak 1:5 pH
Morgan DHL
Urut
Balitanah
Pengirim Atasbawah
1
13.09817
Sub Soil K Campuran
H2O
KCl
54
-
-
55
-
-
dS/m
Bahan organik Walkey & Black Kjeldahl C N C/N
Olsen P2O5
Bray 1 P2O5
K2O
Ca
Mg
4.17
0.37
11
-
12.8
343
4 968
566
1.25
0.11
11
-
11.7
297
4 716
560
cm 2
13.09818
Top Soil K Campuran
81
82 Lampiran 7. Hasil analisis regresi tobit WTP pilihan The SAS System The LIFEREG Procedure Model Information Data Set Dependent Variable Dependent Variable Number of Observations Noncensored Values Right Censored Values Left Censored Values Interval Censored Values Name of Distribution Log Likelihood
WORK.SUBSET Lower WTP 99 71 0 28 0 Normal 35.6215438
Number of Observations Read Number of Observations Used
99 99
Algorithm converged.
The regression equation is WTP Pilihan = 0.001 + 0.001 Usia + 0.102 Asal daerah – 0.105 Petani + 0.331 Wiraswasta + 0.351 Peternak + 0.320 PNS – 0.100 Buruh – 0.200 Supir – 0.166 Swasta + 0.016 Tingkat pendidikan + 0.168 Pendapatan + 0.005 Anggota keluarga + 0.200 Jenis kelamin + 0.084 Pengetahuan manfaat bambu
Analysis of Parameter Estimates
R 0.787a
Source
R-Square
R-Square(adj)
0.619
0.556
DF
Estimate
Standard Error
Std.Error of the Estimate 0.30165
95% Confidence Limits
Chi-Square
Pr > ChiSq
Constant
1
0.001
0.276
-0.547
0.550
0.005
0.996
Usia
1
0.001
0.002
-0.003
0.006
0.534
0.595
Asal daerah
1
0.102
0.077
-0.051
0.255
1.327
0.128
Petani
1
-0.105
0.193
-0.489
0.279
-0.544
0.588
Wiraswasta
1
0.331
0.211
-0.089
0.751
1.568
0.071
Peternak
1
0.351
0.187
-0.021
0.723
1.875
0.064
PNS
1
0.320
0.202
-0.081
0.721
1.586
0.116
Buruh tani
1
-0.100
0.181
-0.460
0.260
-0.551
0.583
Supir angkot
1
-0.200
0.243
-0.684
0.283
-0.823
0.413
Pegawai swasta
1
-0.166
0.203
-0.570
0.237
-0.818
0.415
Tingkat pendidikan
1
0.016
0.042
-0.069
0.100
0.366
0.716
Pendapatan
1
0.168
0.071
-0.093
0.262
0.945
0.021
Anggota keluarga
1
0.005
0.022
-0.039
0.049
0.238
0.813
Jenis kelamin
1
0.200
0.077
0.046
0.354
2.585
0.347
Pengetahuan bambu
1
0.084
0.089
0.026
0.309
2.359
0.001
83
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Samarinda pada tanggal 16 September 1987 sebagai anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak Ir. H. Gunawan K. Johar, MMT dan Ibu Hj. Latifah. Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis dimulai dari SD Negeri Teladan 009 Samarinda yang diselesaikan pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi ke SLTP Negeri 1 Samarinda dan diselesaikan pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan studi ke SMU Negeri 3 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2005. Ditahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan yang selanjutnya memilih bidang minat Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan pada tahun 2010, dan ditahun yang sama berkesempatan melanjutkan pendidikan pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saat ini penulis aktif sebagai peneliti pertama dan terlibat sebagai tim pelaksana kegiatan penelitian di Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Kementerian Kehutanan.
Bogor, Maret 2014
Mohamad Iqbal