PENINGKATKAN KEMAMPUAN BACA-TULIS PERMULAAN MELALUI PENGGUNAAN MEDIA WAYANG ABJAD KONTEKSTUAL (Penelitian Tindakan di TK Dwi Jaya Marga, Tabanan-Bali, 2013) NI GUSTI AYU MADE YENI LESTARI1 ABSTRACT This research is aimed at analyzing and explaining the implementation of the activities play with contextual alphabet media puppets to improve literacy beginning child. This research was carried out at TK Dwi jaya Marga, Tabanan-Bali for student in group B. Literacy is necessary so that children can give an idea that was on his mind. The method used in this research was action research who developed by Kemmis and Tanggart. Actions taken in this research consisted of two cycles; each cycle consists of six treatments. For each cycles consisting of planning, action, monitoring and reflection. The subjects of this research were the kindergartners B2 Dwi Jaya Marga, Tabanan-Bali, totaled 29 children. Analysis of the data used in this research is done with quantitative and qualitative approaches. Analysis of quantitative data obtained based on increasing children literacy from pre-intervention to the second cycles, amounting to 23,69%. This exceeds the agreement between researchers and collaborators by 20%. Based on the percentage improvement obtained the action hypothesis is accepted. Qualitative data analysis is used based on the model analysis by Miles and Huberman by the steps: (1) data reduction, (2) display the data, and (3) verification by observation, interview, and documentation throughout the study. The results showed that the use of contextual alphabet media puppets can develop literacy beginning child. The child in mastering all aspects of early literacy using contextual alphabet media puppet will lead to the acquisition of early literacy.
Keywords: beginning literacy, contextual alphabet media puppet, early literation acquisition
Pondasi awal seseorang dalam memperoleh pendidikan dalam upaya mengembangkan potensi yang dimilikinya dimulai dari anak usia dini. Anak usia dini berada pada tahap pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat, baik fisik maupun mental. Jadi tepatlah bila dikatakan bahwa usia dini adalah usia emas (golden age), di mana anak sangat berpotensi mempelajari banyak hal dengan cepat. Salah satu bentuk kegiatan pengembangan untuk anak usia dini adalah mengembangkan kemampuan bahasa yakni kemampuan baca-tulis permulaan. Kegiatan baca-tulis permulaan memang tidak dipungkiri masih menjadi sebuah perdebatan dalam dunia pendidikan, khususnya di TK. Merujuk pada pendapat 1
Mahasiswa S2 PAUD PPs UNJ Angkatan 2011, E-mail:
[email protected]
1
Bruner melalui telaahnya menyatakan bahwa sebagian pembelajaran terpenting dalam kehidupan diperoleh dari masa kanak-kanak yang paling awal dan pembelajaran itu sebagian besar diperoleh melalui bermain (Suyadi, 2010: 198). Kritik yang ditujukan kepada sejumlah TK bukan karena mengajarkan membaca, menulis dan berhitung, melainkan cara yang digunakan salah, seakan-akan menjadikan TK sebagai miniatur SD. Anak usia dini memiliki sifat khas dalam pembelajarannya. Anak-anak usia tiga-empat tahun bermain dengan mengeskplorasi lingkungan dan memainkan benda-benda berdasarkan apa yang mereka temui sehari-hari. Secara umum anakanak belajar sambil bermain. Perkembangan anak pada tahap awal membaca dan menulis permulaan harus disajikan dengan bermain. Memahami
dan
menerapkan
dengan
sesungguhnya
karakteristik
perkembangan anak dalam proses pembelajaran di TK pada umumnya hanya terdapat di lembaga-lembaga tertentu dan hanya terdapat kota-kota besar. Untuk beberapa daerah perkotaan dan daerah perdesaan pada umumnya proses pembelajarannya cenderung lebih bersifat “akademik”. Hal ini juga disertai tuntutan orang tua dan di Sekolah Dasar yang mewajibkan siswa baru di kelas satu harus bisa membaca, menulis dan berhitung sehingga proses pembelajaran di TK menekankan pada hafalan konten yang kurang bermakna bagi diri anak. Salah satu contohnya adalah pada proses pembelajaran di TK Dwi Jaya Marga, Tabanan-Bali, anak mampu menghafalkan huruf vokal serta membaca abjad a-z. Anak diberi contoh beberapa abjad di papan tulis, dan anak diperintahkan untuk meniru membaca dan menuliskan kembali (CW. 2 p. 5 b. 1). Namun saat anak diberikan tugas untuk membaca abjad secara acak, anak menjadi bingung. Jika pembelajaran baca-tulis permulaan hanya didasarkan pada hafalan, maka kemampuan anak dalam mengembangkan kemampuannya menjadi kurang maksimal. Kemampuan baca-tulis permulaan seharusnya tidak diarahkan pada kemampuan akademik, melainkan diarahkan pada kegiatan bermain yang tentunya juga ditunjang oleh berbagai media bermain yang memadai. Berdasarkan gambaran tersebut, peranan guru sebagai fasilitator benar-benar dituntut untuk lebih kreatif
2
dalam menyiapkan media bermain yang dapat memfasilitasi anak belajar. Media bermain yang dimaksud adalah media yang digunakan untuk membangkitkan minat bermain anak dalam sentra bahasa, khususnya kegiatan baca tulis, yang mana melalui kegiatan bermain tersebut anak juga belajar untuk membaca dan menulis. Media bermain yang digunakan terbuat dari bahan yang sederhana, mudah didapat, mudah dibuat oleh guru, mudah digunakan untuk pembelajaran, menarik perhatian anak, dekat dengan lingkungan anak dan inovatif. Media bermain yang kontekstual juga dapat menjembatani kemampuan yang diperoleh anak TK dengan lingkungan sekitarnya. Dengan demikian kegiatan belajar melalui bermain akan lebih aplikatif, kontekstual dan lebih menyenangkan bagi anak. Hal tersebut di atas menjadi topik permasalahan yang menarik untuk dikaji, sehingga tesis ini mencoba membuat media wayang abjad kontekstual sebagai salah satu media yang dapat meningkatkan dan menunjang kemampuan anak dalam baca-tulis permulaan melalui kegiatan bermain di sentra bahasa. Kegiatan pembelajaran baca-tulis permulaan dilakukan dengan kegiatan yang menyenangkan dan memotivasi anak untuk mengulangnya kembali. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, penelitian ini mengidentifikasi masalah sebagai berikut: 1.
Faktor apa saja yang menyebabkan siswa kurang mampu dalam membuat membuat garis lengkung, miring, maupun lurus?
2.
Faktor apa saja yang menyebabkan siswa kurang dapat mengenal abjad dalam hal membaca dan menulis?
3.
Bagaimana cara siswa mengenal huruf awal pada kata dan menghubungkan dengan benda sekitarnya?
4.
Media apa saja yang dapat meningkatkan kemampuan baca-tulis pada anak TK B?
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah pengunaan media wayang abjad kontekstual untuk meningkatkan kemampuan baca-tulis permulaan di TK Dwi Jaya Marga, TabananBali. Selanjutnya, permasalahan dalam penelitian ini adalah:
3
1.
Apakah kemampuan baca-tulis permulaan dapat ditingkatkan melalui penggunaan media wayang abjad kontekstual?
2.
Bagaimanakan proses penggunaan media wayang abjad kontekstual dalam meningkatkan kemampuan baca-tulis permulaan?
Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk kepentingan teoritis dan praktis. Manfaat penelitian secara teoritis adalah mengetahui strategi, penerapan media bermain yang sesuai dengan perkembangan anak dalam melakukan proses pembelajaran pada Anak Usia Dini. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1. Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk perbaikan kegiatan pembelajaran sehingga guru dapat memberikan keputusan yang terbaik untuk memberikan bantuan secara optimal kepada anak dengan menggunakan strategi dan media bermain yang menarik dan kreatif. 2. Bagi orang tua, dengan mengkondisikan kepada anak bahwa belajar baca-tulis permulaan cukup mudah dan menyenangkan. Orang tua tidak lagi bergantung kepada guru dalam meningkatkan kemampuan baca-tulis permulaan. 3. Bagi mahasiswa, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi mahasiswa untuk terus melanjutkan penelitian tentang baca-tulis permulaan, baik yang dilaksanakan di TK maupun di jenjang pendidikan dasar seperti di tingkat SD kelas awal. 4. Bagi masyarakat, dengan penelitian ini diharapkan masyarakat lebih mengenal dan mengetahui bagaimana mengembangkan kemampuan anak usia dini serta pentingnya kerjasama berbagai pihak dalam mendukung program-program pendidikan untuk anak usia dini.
Pendidikan Anak Usia Dini Santoso (2011: 116) menyatakan bahwa “pendidikan anak usia dini merupakan
suatu disiplin ilmu pendidikan yang memiliki kosentrasi pada
pemahaman, pembinaan, dan pengembangan potensi anak sedini mungkin”. Sebagai suatu disiplin ilmu, PAUD memiliki sejumlah filosofi yang harus dijadikan acuan
oleh
seorang
ahli
atau
tenaga
kependidikan
dalam
memahami,
4
merencanakan, melaksanakan dan mengembangkan potensi anak secara optimal. Santoso (2011: 166) juga mengungkapkan PAUD merupakan landasan pendidikan yang menentukan kepribadian anak di masa mendatang, sehingga dikatakan anak pada usia dini adalah usia emas. Oleh karena itu pada usia dini wajib diberikan pendidikan, bimbingan dan pengalaman yang positif, sebab kesannya akan disimpan di otaknya sampai hari tuanya. Pendidikan anak usia dini pada dasarnya meliputi seluruh upaya dan tindakan yang dilakukan oleh pendidik dan orang tua dalam proses perawatan, pengasuhan, dan pendidikan pada anak dengan menciptakan aura dan lingkungan dimana anak dapat mengeksplorasi pengalaman yang memberikan kesempatan kepadanya
untuk
mengetahui
dan
memahami
pengelaman
belajar
yang
diperolehnya dari lingkungan, melalui cara mengamati, meniru dan bereksperimen yang berlangsung secara berulang-ulang dan melibatkan seluruh potensi dan kecerdasan anak (Sujiono, 2011: 7). Oleh karena itu anak merupakan pribadi yang unik dan melewati berbagai tahap perkembangan kepribadian, maka lingkungan yang diupayakan oleh pendidik dan orang tua yang dapat memberikan kesempatan pada anak untuk mengeksplorasi berbagai pengalaman dengan berbagai suasana, hendaklah memperhatikan keunikan anak-anak dan disesuaikan dengan tahap perkembangan kepribadian anak. Pentingnya PAUD telah menjadi perhatian dunia internasional. Hal ini telah dibicarakan dalam Forum Pendidikan Dunia tahun 2000 di Dakar Senegal menghasilkan enam kesepakatan sebagai kerangka aksi pendidikan untuk semua dan salah satu butirnya adalah memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung (Anwar & Arsyar, 2009: 6). Perhatian dunia internasional terhadap urgensi pendidikan anak usia dini diperkuat oleh berbagai penelitian terbaru tentang otak. National Asociation for the Education of Young Children (NAEYC) percaya bahwa program anak usia dini bermutu tinggi memberikan lingkungan yang aman dan penuh kasih yang meningkatkan perkembangan fisik, sosial, emosional dan kognitif anak-anak usia dini sambil memberikan respon terhadap berbagai
5
kebutuhan keluarga (Bredekamp, 1992: 2). Meskipun mutu program anak usia dini bisa jadi dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi faktor pokok mutu programnya adalah kondisi dimana pengetahuan perkembangan anak diterapkan oleh praktek program tersebut. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pemberian rangsangan dalam pendidikan, perawatan, pengasuhan yang ditujukan pada anak usia dini untuk mngembangkan seluruh potensi yang dimilikinya. PAUD dapat memberikan anak pengalaman-pengalaman belajar dalam rangka mencapai tahapan-tahapan perkembangan hidupnya dengan cara yang menyenangkan.
Karakteristik Anak TK B Anak usia dini dikatakan sebagai anak yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang unik. Semua aspek berkembang secara bersamaan dan terkait satu sama lain dalam diri anak. Aspek tersebut antara lain kognitif, motorik, sosial, dan bahasa. Perkembangan kognitif anak usia TK B tahun penurut Piaget masuk pada tahap pra-operasional. Ciri utama dari fase ini adalah berpikir simbolik dan berpikir intuitif, egosentris, dan animisme serta suka mendengarkan dongeng. Ginsburg dan Opper mengatakan bahwa pada tahap ini anak mulai menggunakan simbol-simbol
ketika
menggunakan
sebuah
objek
atau
tindakan
untuk
mempresentasikan sesuatu yang hadir (Crain, 2007: 182). Menurut
Hurlock
(2008:
150)
perkembangan
motorik
berarti
perkembangan pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat syaraf, urat syaraf, dan otot yang terkoordinasi. Dalam kaitannya dengan kematangan motorik, Johnson & Warner mengatakan skuensi kematangan dari gross motor skills ke fine motor skill harus menjadi pertimbangan bijak dalam mendesain aktivitas yang akan diprogramkan (Rasyid, dkk, 2009: 110). Antara usia 5-6 tahun sebagian besar anakanak sudah pandai melempar dan menangkap bola. Untuk perkembangan motorik halus, anak-anak sudah dapat menggunakan gunting, dapat membentuk tanah liat, bermain membuat kue dan menjahit, mewarnai, menggambar dengan pensil atau krayon.
6
Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Menurut Berk (2006: 416) selama berada pada usia taman kanak-kanak, anak sudah dapat beinteraksi dengan anak lainnya dalam kelompok bermain, dan dengan orang lain di sekitarnya, seperti mengeksplorasi lingkungan, mundur dari situasi yang dapat mengancam, dan membuat ikatan kelompok sebaya. Kemampuan yang ditunjukkan oleh anak tersebut merupakan suatu cerminan meningkatnya kemampuan anak untuk besosialisasi dengan orang lain. Perkembangan bahasa pada anak meliputi empat kemampuan yaitu kemampuan mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Menurut Kostelnik, et.al (2007: 307) tujuan pengembangan bahasa untuk anak usia dini adalah agar anak
mampu
mengkomunikasikan
ide
dan
perasaan
serta
mampu
mengintepretasikan komunikasi yang diterimanya. Dari pendapat tersebut dapat dinyatakan bahwa fungsi bahasa yang utama adalah sebagai alat komunikasi. Berdasarkan karakteristik aspek perkembangan yang telah dijabarkan tersebut, masing-masing aspek tidak dapat berdiri sendiri. Kognitif anak sangat berperan dalam pengembangan bahasa, motorik, dan sosial. Demikian pula aspek lain sangat berpengaruh satu sama lain. Keterlibatan pada masing-masing aspek mencetuskan bahwa pendidikan untuk anak usia dini tidak dapat dilakukan secara terpisah-pisah namun harus menjadi satu-kesatuan.
Kemampuan Baca-Tulis Permulaan Kemampuan baca-tulis permulaan untuk anak usia dini yang memerlukan dukungan berbagai dimensi berbahasa. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Kostelnik, et. al. (2007: 296) yang menyatakan bahwa semua komponen tersebut harus diberikan dengan bermakna dan berguna agar anak mampu membaca dan menulis.
Papalia
mendukung
keterkaitan
dalam
bahasa
tersebut
dalam
mengembangkan kemampuan baca-tulis permulaan. Dalam penelitian yang dilakukannya, Papalia (2008: 346) mengatakan, “Ayah yang sering menceritakan kisah dan kemudian anak berbicara tentang berbagai hal yang dilihat disekelilingnya, memberikan kontribusi terhadap kemunculan literasinya”. Anak
7
mampu membaca dan menulis diawali dengan kemampuan untuk mendengarkan dan berbicara dengan baik dan dilakukan terus-menerus. Merujuk pendapat beberapa para ahli, Seefeldt & Barbara (2008: 321-323) memberikan tiga aspek penting yang harus diketahui tentang baca-tulis. Pertama, baca-tulis adalah perkembangan dari keterampilan membaca dan menulis maupun tindakan-tindakan kreatif dan analitis dalam memproduksi dan memahami teks. Kedua, perkembangan baca-tulis telah dimulai sejak lama sebelum anak-anak memulai instruksi formal dalam membaca. Ketiga, belajar baca dan tulis penting bagi keberhasilan anak-anak di sekolah. Baca-tulis permulaan dapat dikatakan sebagai unsur yang menjadi dasar, landasan, atau bekal bagi anak untuk mencapai kemampuan membaca dan menulis yang baik. Menurut Musfiroh (2009: 65) baca-tulis permulaan meliputi koordinasi mata dan tangan, kemampuan motorik halus, kemampuan mengidentifikasi simbol (huruf), kemampuan menata simbol, kemampuan membuat coretan/menuliskan simbol-simbol, dan memahami arti dari simbol. Dalam kegiatan baca-tulis khususnya yang melibatkan motorik halus, menggambar dan menulis memiliki keterkaitan erat karena keduanya terkait dengan menuangkan ide atau gagasan dan keterampilan tangan. Ahli PAUD memberi prioritas tinggi pada baca-tulis dan kesuksesan membaca anak. Morrison (2012: 260) menyatakan, “kemampuan baca-tulis berarti kemampuan untuk membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan”. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Ferreiro dan Teberosky (Sudono, 2007: 12) “kemampuan baca-tulis permulaan berhubungan erat dengan perkembangan berbahasa seseorang, yaitu menerima (mendengar, membaca) dan mengungkapkan (berbicara, menulis)”. Anak mengeskpresikan diri dengan berbagai cara, yang terkait erat dengan harapan lingkungannya atau merespon lingkungan yang dipersiapkan untuknya. Menurut Brewer dan Bronson, dalam perkembangan membaca dan menulis, anak usia 5 tahun telah dapat mengidentifikasi huruf-huruf dan membuat sendiri huruf-huruf tersebut (Musfiroh, 2008: 79). Selain itu, anak juga dapat menikmati kegiatan membaca dan mengeja. Bredekamp (1992: 9) menyatakan bahwa beberapa anak umur 4 tahun dan kebanyak umur 5 tahun memperlihatkan
8
minat tinggi pada aspek-aspek fungsional bahasa tulisan, misalnya mengenali katakata bermakna dan berupaya menulis nama sendiri. Berbagai aktivitas didesain untuk mengajar abjad, fonik, dan penulisan dengan memberikan lingkungan kaya cetakan yang menstimulir perkembangan keterampilan bahasa dan literasi dalam konteks penuh makna. Montessori menyatakan bahwa membaca dan menulis saling berjalinan satu sama lain, biasanya menulis mendahului aktivitas membaca aktual (2010: 166). Keseimbangan antara membaca dan menulis akan sangat membantu anak-anak menuangkan ide dan gagasannya dalam bentuk tulisan, seperti surat, puisi, pantun, dan lain-lain. Sehingga, anak-anak tidak hanya pandai bercerita saja, tetapi juga pandai menulis. Pernyataan Montessori tersebut juga diperkuat oleh Morrow (1993: 232) yang menyatakan bahwa membaca dan menulis sangat berkaitan yaitu dihasilkan dengan proses pengalaman yang sama, sama-sama menggunakan simbol verbal. Anak yang belajar menulis pada kesempatan yang sama anak belajar membaca pula. Dengan demikian, kemampuan membaca dan menulis tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan baca-tulis permulaan adalah kemampuan yang dimiliki anak dalam hal berbahasa khususnya dalam pengucapan apa yang dilihat secara visual dan menerapkannya dalam sebuah tulisan. Kemampuan baca-tulis permulaan meliputi kemampuan yang menunjukkan ketertarikan terhadap bacaan dan tulisan, kemampuan
yang
menunjukkan
gerakan
motorik
halus,
kemampuan
mengidentifikasi simbol (huruf), kemampuan yang menunjukkan pemahaman antara nama dan gambar dan kemampuan memahami konsep serta tata bahasa cetakan.
Media Pendidikan Untuk Anak Usia Dini Dalam proses pembelajaran hadirnya media sangat diperlukan. Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti “tengah”, “perantara” atau “pengantar” (Arsyad, 2009: 3). Media dapat dikatakan sebagai berbagai jenis komponen yang ada di lingkungan baik berbentuk visual maupun audiovisual yang
9
dapat digunakan untuk menyampaikan informasi pembelajaran kepada anak didik. Beberapa ahli telah mengidentifikasi media secara berbeda-beda seperti dalam lingkup pendidikan, Miarso (2004: 458) menjelaskan media sebagai segala sesuatu yang digunakan untuk menyalurkan pesan serta dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan anak sehingga dapat mendorong terjadinya proses
belajar
yang
disengaja,
bertujuan,
dan
terkendali.
Jadi,
media
pembelajaran dapat dikatakan sebagai segala sesuatu yang dapat merangsang terjadinya proses belajar. Hal serupa juga disampaikan oleh Gagne yang menyatakan media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar. Pendapat yang serupa juga disampaikan oleh Briggs yang menyatakan bahwa media adalah “segala alat fisik yang dapat menyajikan peran serta merangsang siswa untuk belajar” (Sadiman, 2009: 6). Selanjutnya menurut Syukur (2008: 117) “media pendidikan merupakan alat atau perantara yang berguna untuk memudahkan proses belajar mengajar, dalam rangka mengefektifkan komunikasi antara guru dan murid”. Hal ini sangat membantu guru dalam mengajar dan memudahkan anak menerima dan memahami pelajaran. Anak usia dini belajar melalui bermain, sehingga setiap kegiatan yang dilakukan juga memerlukan media bermain. Kegiatan bermain dengan media bertujuan untuk menunjang anak agar lebih mudah memainkan dan merangsangnya menjadi lebih semangat. Kegunaan media bermain menurut psikolog Elizabeth (Hoorn, 1999: 43-56) diantaranya: pertama, supaya anak menjadi jelas menerima pesan yang terkandung dalam esensi mainan tersebut, Kedua, mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera anak untuk menggunakan mainan tersebut. Ketiga, sebagai faktor pendorong atau motivasi agar anak lebih tertantang lagi. Dan keempat, sebagai alat ukur sejauh mana mainan tersebut dapat digunakan. Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan media pendidikan merupakan wahana dari pesan yang oleh sumber pesan (guru) ingin diteruskan kepada penerima pesan (anak). Pesan yang disampaikan adalah isi kegiatan belajar dalam bentuk kegiatan yang disesuaikan dengan tema atau topik kegiatan. Tujuan yang ingin dicapai adalah terjadinya proses belajar pada diri anak.
10
Media Wayang Kontekstual Wayang merupakan boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dipertunjukkan drama tradisional, (Bali, Jawa, Sunda, dan sebagainya) biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang. Selanjutnya menurut Wikipedia, Wayang adalah seni pertunjukkan asli Indonesia yang berkembang pesat di Pulau Jawa dan Bali. Selain itu beberapa daerah seperti Sumatera dan Semenanjung Malaya juga memiliki beberapa budaya wayang yang terpengaruh oleh kebudayaan Jawa dan Hindu (http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang). Wayang bisa mengajar, menghibur, dan anak-anak senang dan orang dewasa. Secara historis, wayang telah digambarkan sebagai seni rakyat, yang diproduksi oleh dan untuk rakyat. Raines and Isbell (Jackman, 2009: 326) menyatakan bahwa: Storytelling and puppetry are ancient forms of oral expression that developed historically in similar ways. The story told was passed from generation to generation and became a binding link for families and cultures. The puppeteer often augmented the storytelling by providing visualization and surprise elements to the story's presentation. Wayang menyenangkan anak-anak dan menyentuh hati orang dewasa. Wayang adalah cara yang unik dan inovatif untuk menjangkau orang-orang dari segala usia. Wayang bisa menghibur, menginformasikan, membujuk dan menarik. Hal tersebut adalah bagian dari sejarah kuno, dan pada saat yang sama juga merupakan bagian dari imajinasi modern di dunia. Fraser (1980: 9) memaparkan mengenai boneka gagang (wayang) adalah boneka yang digunakan untuk tontonan di ruangan gelap, terdapat pegangan atau gagang dari bawah boneka, dimainkan dengan ditempelkan pada layar datar semi transparansi dengan menggunakan cahaya dari belakang. Wayang seperti yang dimaksud oleh Fraser pada saat ini dapat disajikan dalam bentuk pertunjukan wayang kulit tradisional. Selanjutnya, Cheryl Henson menjelaskan, boneka atau wayang adalah sebuah objek yang tampaknya hidup ketika itu dimanipulasi oleh tangan manusia (Jackman, 2009: 328). Untuk anak-anak dalam pendidikan anak usia dini, penemuan diri sebagai dalang bisa menjadi penemuan yang indah dari diri
11
mereka sendiri. Kegembiraan, antusiasme, dan imajinasi dalam menciptakan dan berbagi wayang akan menjadi menular kepada orang lain, orang dewasa maupun anak-anak. Jalongo (2007: 122) berpendapat bahwa permainan wayang memiliki empat alasan yang akan dikembangkan yaitu: (a) puppets improve communication skills, (b) puppets speak a universal language, (c) puppets encourage cooperation, (d) puppets help to integrate curriculum. Sesuai dengan alasan yang telah dikemukakan di atas tentang dipergunakannya wayang dalam kelas ternyata memang tepat bahwa media wayang dapat mengembangkan keterampilan anak dalam berbahasa. Melalui wayang anak dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya ketika anak tidak dapat mengungkapkannya kepada orang lain. Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat Herr & Yvonne (2004: 517) yang menyatakan bahwa keterampilan bahasa ekspresif anak-anak akan dirangsang dengan berinteraksi dengan boneka (wayang). Selain itu, kegiatan baca-tulis permulaan sebagai subjek area dalam kurikulum dapat dieksplorasi dalam wayang. Selanjutnya, wayang abjad menurut Oberlander (2005: 279) adalah bermacam-macam bentuk alfabet dari a sampai z yang ditulis pada karton berbentuk segi empat dan diberi tangkai agar anak bisa memegang seperti wayang. Selanjutnya, disebut kontekstual karena wayang abjad ini disesuaikan dengan pembelajaran kontekstual yaitu pembelajaran mengutamakan keaktifan anak untuk turut serta dan menghubungkannya dengan lingkungan sekitar. Berdasarkan paparan diatas, wayang abjad kontekstual adalah salah satu media sederhana yang mengandung huruf/abjad a sampai z yang dapat dibuat dengan bahan-bahan yang mudah didapatkan dan bersifat kontekstual karena dalam penggunaannya dihubungan dengan lingkungan sekitar anak. Media wayang ini dapat menginformasikan sesuatu kepada anak terkait dengan baca-tulis permulaan dengan cara yang menyenangkan.
Metode Penelitian dan Prosedur Penelitian Tindakan Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan yang bersifat partisipatif dan kolaboratif. Pendekatan kualitatif menjelaskan peristiwa yang
12
dilakukan dalam penelitian ini sehingga mendapatkan gambaran dan penjelasan yang lengkap dalam pelaksanaan penelitian tindakan. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menganalisis data hasil proses belajar mengajar atau membandingkan nilai peserta didik sebelum dan sesudah penelitian tindakan dilakukan. Penelitian ini menggunakan desain Kemmis dan Mc Taggart. Desain dan prosedur pada penelitian tindakan ini meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Sebelum membuat perencanaan program kegiatan, dilakukan tes awal terlebih dahulu. Tes awal dilakukan dengan maksud untuk mengetahui kemampuan baca-tulis permulaan yang dimiliki anak. Hasil tes tersebut digunakan untuk membandingkan hasil tes pada akhir tindakan untuk melihat apakah tindakan yang dilakukan sudah menunjukkan peningkatan atau belum. Dalam proses perencanaan, dirancang kegiatan yang memadukan kegiatan pengembangan kemampuan baca-tulis permulaan dengan menggunakan media wayang abjad kontekstual. Rancangan kegiatan dilakukan bertahap sesuai dengan tahapan baca-tulis permulaan dan kegiatan dengan media wayang abjad kontekstual. Tindakan dilakukan berdasarkan pada skenario pembelajaran yang telah dirancang pada tahap pertama. Pada saat proses pelaksanaan tindakan sedang berlangsung, peneliti melakukan pengamatan detail tentang kegiatan belajar mengajar. Peneliti mencatat dan merekam permasalahan yang timbul pada saat kegiatan belajar berlangsung. Tahap refleksi dilakukan untuk melihat keberhasilan atau kegagalan yang terjadi pada saat tindakan dilakukan. Keberhasilan dan kegagalan tersebut kemudian
didiskusikan
bersama
peneliti
dan
guru.
Selanjutnya
peneliti
berkolaborasi dengan guru untuk merancang dan memperbaiki rencana selanjutnya. Kriteria
keberhasilan
tindakan
didasarkan
pada
hasil
kesepakatan
kolaborator dengan melihat perkembangan kemampuan baca-tulis permulaan masing-masing anak. Masing-masing kemampuan anak dianalisis dan dinilai tingkat kemampuannya. Pada hal ini, peneliti bersama kolaborator menetapkan prosentase peningkatan 20% dari hasil pra-intervensi. Jika belum mencapai rata-
13
rata perkembangan kemampuan baca-tulis permulaan sebesar 20%, maka penelitian ini dilanjutkan ke siklus II. Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif berupa skor pra-intervensi dan skor siklus sedangkan data kualitatif dari perkembangan anak saat kegiatan belajar mengajar berlangsung, rencana pembelajaran dalam bentuk program kegiatan bermain dan lesson plan, dan data hasil observasi tahap pelaksanaan. Sumber data dalam penelitian ini adalah anak TK B Dwi Jaya Marga, Tabanan-Bali Kelas B2 yang merupakan sumber data primer, orang tua anak dan kolaborator yang terlibat dalam penelitian yaitu guru kelas dan kepala sekolah sebagai pendamping. Pengumpulan
data
dalam
penilitian
ini
menggunakan
instrumen
pengamatan. Jenis instrumen yang digunakan sebagai alat pengambil data dalam penelitian tindakan ini adalah instrumen yang mengacu pada baca-tulis permulaan. Untuk melihat kemampuan baca-tulis permulaan dilakukan observasi dengan menggunakan instrumen berbentuk lembar penilaian. Instrumen dikembangkan dalam bentuk ceklis dengan pola jawaban berskala Likert yang dimodifikasi. Rentang skor yang digunakan dari satu sampai tiga. Selain itu, Instrumen penunjang pengumpulan data yang digunakan adalah catatan lapangan dan catatan wawancara. Sebelum instrumen digunakan, instrumen tersebut dikonsultasikan terlebih dahulu kepada dosen ahli untuk melihat keterhandalan instrumen lalu diujicobakan. Untuk meyakinkan bahwa instrumen yang dibuat tepat guna maka dilakukan uji validitas instrumen. Uji validitas menggunakan product moment dari Pearson dan uji reliabilitas dengan menggunakan Alpha (Riduwan, 2010: 111 & 125). Validasi data dalam penelitian ini dilakukan dengan kriteria teknik pemeriksaan
kepercayaan
(trustworthiness).
Kriteria
teknik
pemeriksaan
kepercayaan (trustworthiness) menurut Guba terdiri dari credibility, transferability, dependeability, dan confirmability (Mills, 2003: 78). Analisis data dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif yang disajikan dalam bentuk tabel atau grafik. Untuk melihat hasil tindakan yang dilakukan, digunakan
14
studi proporsi nilai rata-rata anak sebelum mendapat perlakuan dan setelah mendapat perlakuan. Untuk analisis data kualitatif, Miles dan Hubermen (1989: 21) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktik dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.aktivitas dalam analisis data yaitu, data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Setelah diberikan tindakan berupa kegiatan bermain baca-tulis permulaan melalui penggunaan media wayang abjad kontekstual, terdapat peningkatan skor kemampuan baca-tulis permulaan dari pra-intervensi sampai pada akhir siklus II. Peningkatan kemampuan baca-tulis permulaan anak dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1 Peningkatan Kemampuan Baca-Tulis Permulaan dari Pra-Intervensi, Siklus I sampai Siklus I Pra-intervensi Siklus I Siklus II Peningkatan Responden (%) Skor % Skor % Skor % YP 31 51,67 36 60,00 46,5 77,50 25,83 WA 31,5 50,42 35,5 58,75 42,5 75,83 25,41 TG 38 63,33 44 72,50 51 84,17 20,84 SP 32,5 54,17 37.5 62,50 45 75,00 20,83 SD 27 45,00 33,5 55,83 43 71,67 26,67 NB 29 48,33 34 56,67 42 70,00 21,67 RV 30,5 50,83 37 61,67 43,5 72,50 21,67 RD 34,5 57,50 37.5 62,50 46,5 77,50 20,00 DP 31,5 52,50 38 63,33 45 75,00 22,50 NY 29 48,33 35 58,33 44 73,33 25,00 NW 30,5 50,83 39 65.00 43,5 72,50 21,67 KD 26,5 44,17 32,5 54,17 43,5 72,50 28,33 MP 28,5 47,50 33,5 55,83 43,5 72,50 25,00 LM 29 48,33 32 53,33 46,5 77,50 29,17 KG 28 46,67 36,5 60,83 44,5 74,17 27,50 GD 29,5 49,17 36 60,00 42 70,00 20,83 ES 25 41,67 33.5 55,83 39 64,17 22,50 DG 28,5 47,50 34 56,67 45 75,00 27,50 DA 37.5 62.50 44 73,33 50 83,33 20,83 DK 32 53,33 36 60,00 45 75,00 21,67 DPa 34.5 57.50 41.5 69,17 51,5 85,83 28,33 15
DI CP BA AP AD AR APa LD Rata-Rata Kelas
28,5 37,5 27 31 31 37,5 34,5 34,5
47,5 62,5 45,00 51,67 51,67 62,50 57,50 57,50
35 42 33,5 38 33,5 46 36,5 37
58,33 70,00 55,83 63,33 55,83 76,67 60,83 61,67
44 49,5 42,5 47 44 50,5 47 47,5
73,33 82,50 70,83 78,33 73,33 84,17 78,33 79,17
25,80 20,00 25,83 26,66 21,66 21,67 20,83 21,67
31,22
52,00 36,90 61,45 45,34 75,69
23,69
Berdasarkan data hasil peningkatan kemampuan baca-tulis permulaan anak TK B2 Dwi Jaya Marga, Tabanan-Bali yang berjumlah 29 orang dapat dilihat dari pra-intervensi dengan rata-rata hasil kemampuan baca-tulis permulaan sebesar 52,00% mengalami peningkatan kemampuan pada siklus I sebesar 9,45% menjadi 61,45%. Selanjutnya, dari siklus I ke siklus II peningkatan kemampuan baca-tulis permulaan anak mengalami peningkatan sebesar 14,24% dari 61,45% menjadi 75,69%. Data peningkatan kemampuan baca-tulis permulaan anak di atas pada masing-masing aspek dapat digambarkan pada grafik di bawah ini.
Gambar 1 Grafik Peningkatan Kemampuan Baca-Tulis Permulaan Aspek Kemampuan yang Menunjukkan Ketertarikan Terhadap Bacaan dan Tulisan pada Pra-Intervensi, Siklus I dan Siklus II Pada grafik terlihat pada siklus II semua anak telah mengalami peningkatan kemampuan yang menunjukkan ketertarikan terhadap bacaan dan tulisan. Anak telah memahami dasar-dasar baca-tulis permulaan sehingga anak memiliki ketertarikan untuk membaca buku dan memahami bagiannya serta menulis sederhana.
16
Gambar 2 Grafik Peningkatan Kemampuan Baca-Tulis Permulaan Aspek Kemampuan yang Menunjukkan Gerakan Motorik Halus pada PraIntervensi, Siklus I dan Siklus II Pada grafik terlihat bahwa kemampuan yang menunjukkan gerakan motorik halus anak sudah sangat baik, meskipun terdapat tiga orang anak yang masih memerlukan bimbingan untuk memaksimalkan kemampuan yang menunjukkan gerakan motorik halusnya dalam menulis permulaan, khususnya mencontoh bentuk atau huruf.
Gambar 3 Grafik Peningkatan Kemampuan Baca-Tulis Permulaan Aspek Kemampuan Mengidentifikasi Simbol (Huruf) pada Pra-Intervensi, Siklus I dan Siklus II Pada grafik terlihat kemampuan anak dalam mengidentifikasi simbol sudah mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan kemampuan anak pada pra-intervensi. Anak sudah dapat membaca maupun menuliskan huruf yang sama dalam kata dan pengenalannya terhadap huruf juga sudah baik.
17
Gambar 4 Grafik Peningkatan Kemampuan Baca-Tulis Permulaan Aspek Kemampuan yang Menunjukkan Pemahaman Antara Nama dan Gambar pada Pra-Intervensi, Siklus I dan Siklus II Pada grafik terlihat hanya beberapa orang anak saja yang mengalami peningkatan pada aspek ini meskipun kemampuan anak dalam membuat dan mengidentifikasi gambar tergolong cukup baik. Anak tidak mengalami peningkatan yang signifikan dalam aspek ini dikarenakan anak kurang mengikuti istruksi yang diberikan oleh guru. Anak tidak membuat gambar sesuai nama yang ditulis, melainkan membuat gambar sesuai keinginannya sendiri dan terkadang anak malas karena merasa capek.
Gambar 5 Grafik Peningkatan Kemampuan Baca-Tulis Permulaan Aspek Kemampuan Memahami Konsep Serta Tata Bahasa Cetakan pada Pra-Intervensi, Siklus I dan Siklus II Pada grafik terlihat seluruh anak mengalami peningkatan kemampuan dalam hal membaca tulisan yang dibuat sendiri maupun yang dibuat oleh guru. Kemampuan anak dalam aspek ini masih dapat ditingkatkan lagi dengan memberikan rangsangan yang lebih lama.
18
Data pada siklus II menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan baca-tulis permulaan anak TK B2 Dwi Jaya Marga, Tabanan-Bali sudah mencapai 23,69% dari pra-intervensi. Hal ini membuktikan bahwa peningkatan kemampuan baca-tulis permulaan anak mengalami peningkatan persentase melebihi standar yang telah disepakati peneliti bersama kolaborator yaitu sebesar 20%. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa penelitian ini sudah berhasil dan hipotesis tindakan diterima. Data kuantitatif tersebut diperkuat oleh data kualitatif yang dikemukakan berdasarkan analisis data model Miles dan Huberman. Temuan data kualitatif menunjukkan bahwa bermain baca-tulis permulaan melalui penggunaan media wayang abjad kontekstual telah memberikan kesempatan kepada anak usia dini untuk belajar baca-tulis permulaan dengan cara yang menyenangkan dan mudah diterima oleh anak. Secara konseptual teoritik, penelitian ini telah menemukan dan merumuskan konstruksi teori yaitu bagaimana anak usia dini belajar baca-tulis permulaan, bagaimana penggunaan media wayang abjad kontekstual serta bagaimana kemampuan baca-tulis permulaan terjadi pada mereka. Anak usia dini merupakan masa imitasi dan memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Proses imitasi dilakukan oleh anak usia dini melalui interaksi dengan lingkungannya. Penyediaan lingkungan yang kaya literasi akan menimbulkan kepekaan simbol bahasa pada anak. Proses pengalaman tersebut akan menjadi modal bagi anak untuk memiliki keterlibatan yang tinggi dalam kegiatan baca-tulis permulaan. Konstruksi teoritik ini diperkuat oleh Lerner yang mengungkapkan bahwa dasar utama perkembangan bahasa adalah melalui pengalaman-pengalaman berkomunikasi yang kaya. Pengalaman anak terkait dengan baca-tulis permulaan tidak dapat terlepas dari proses pembelajaran di dalamnya. Penelitian ini menemukan bagaimana penggunaan media wayang abjad kontekstual memberikan pengalaman yang menyenangkan dan membekas diingatan anak. Seperti yang diungkapkan oleh Nelson mengenai memori yang ada pada diri anak, bahwa memori akan tetap ada jika itu merupakan suatu keunikan dari suatu peristiwa dan ada partisipasi aktif didalamnya. Media wayang abjad kontekstual dapat memberikan kesempatan anak
19
untuk berpartisipasi aktif karena dapat dimainkan langsung oleh anak dengan memegang stik atau pegangannya dan terlihat menarik bagi anak-anak karena berisi tokoh-tokoh yang disukai anak. Dengan kegiatan bermain dan ketertarikan yang dimiliki anak terhadap media wayang abjad konteksual, anak akan mencoba melihat, membaca, dan mengkomunikasikan maupun menirukan kembali tulisan maupun gambar yang terdapat di dalam media wayang tersebut. Hal tersebut didukung oleh pendapat psikolog Elizabeth yang menyatakan media bermain memiliki empat kegunaan, yaitu: (1) anak akan jelas menerima pesan yang terkandung dalam esensi mainan tersebut, (2) mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan adaya indera untuk menggunakan mainan, (3) sebagai faktor pendorong atau motivasi agar anak lebih tertantang, dan (4) sebagai alat ukur sejauhmana media bermian tersebut dapat digunakan. Melalui penggunaan media bermain yang tepat seperti halnya media wayang abjad kontekstual yang memuat huruf, kata, dan gambar anak akan belajar membaca dan menulis dengan cara yang menyenangkan sehingga dapat meningkatkan kemampuan baca-tulis permulaannya. Huruf yang terdapat pada media wayang abjad kontekstual akan menjadi salah satu landasan bagi kemampuan baca-tulis permulaan anak. Seperti yang diungkapan oleh Brewer dan Bronson bahwa dalam perkembangan kemampuan membaca dan menulis, anak usia lima tahun telah dapat mengidentifikasi huruf-huruf dan membuat sendiri hurufhuruf tersebut. Kemampuan baca-tulis permulaan terjadi pada anak dimulai dengan ketertarikan anak terhadap bacaan dan tulisan. Ketertarikan anak tersebut terlihat dari kemampuan anak dalam memilih buku yang disukai dengan gambar dan warna yang menarik. Setelah anak tertarik dengan gambar dan warna buku maka anak akan mulai ingin mengetahui bagian buku dan tulisan di dalamnya. Hal tersebut didukung oleh pendapat yang diungkapkan oleh Essa, bahwa “many children have had happy experiences with books all of their lives. They approach book, reading activities anticipating enjoyment; they also have developed the concentration and attention required for full involvement.” Banyak anak-anak memiliki pengalaman yang senang dengan buku dalam kehidupan mereka. Mereka tertarik dengan buku,
20
menikmati kegiatan membaca, mereka juga telah mengembangkan konsentrasi dan perhatian yang diperlukan untuk keterlibatan penuh. Selain kemampuan yang menunjukkan ketertarikan terhadap bacaan dan tulisan, anak juga harus memiliki kemampuan yang menunjukkan gerakan motorik halus. Dalam hal mengidentifikasi simbol atau huruf anak TK B2 Dwi Jaya Marga, Tabanan-Bali sudah mampu membaca dan menulis abjad dengan cukup baik. Bahasa tulisan sangat berkaitan dengan motorik halus. Menulis setidaknya terkait dengan dua hal yaitu bahasa dan motorik halus. Anak-anak memerlukan kematangan motorik agar apa yang ditulis dapat dibaca oleh orang lain. Selanjutnya adalah kemampuan dalam mengidentifikasi huruf. Anak dengan mudah mempelajari huruf dan membedakan bentuk huruf. Namun, saat anak diminta membaca maupun menuliskan rangkaian huruf atau alphabet anak mengatakan tidak bisa atau lupa. Fenomena tersebut mengarah pada kajian teoritik yang diungkapkan oleh Seefeldt & Barbara (2008: 331) bahwa tidak sulit bagi anak belajar huruf untuk membedakan bentuk huruf, tetapi juga sulit untuk memecahkan masalah tentang bagaimana huruf tersebut berorientasi pada ruang. Kemampuan yang menunjukkan pemahaman antara nama dan gambar serta kemampuan memahami konsep serta tata bahasa cetakan adalah dua aspek terakhir kemampuan baca tulis yang harus dimiliki anak. Kemampuan anak TK Dwi Jaya Marga Tabanan-Bali dalam hal ini, terbilang cukup baik, walaupun masih beberapa anak memerlukan bimbingan lagi. Kemampuan mengambar akan berdampak pada kelenturan anak dalam menggerakkan tangan sebagai landasan untuk menulis dan kemampuan
mengidentifikasi
gambar
akan
berdampak
pada
kekayaan
perbendaharaan kata anak. Dengan demikian kemampuan yang menunjukkan pemahaman antara nama dan gambar akan berdampak pada kemampuan baca-tulis permulaan anak. Sedangkan untuk kemampuan memahami konsep serta tata bahasa cetakan merupakan sebuah rangkaian dari kemampuan-kemampuan dalam aspek baca-tulis permulaan. Seperti yang diungkapkan oleh Nelson dan Papalia bahwa kemampuan baca-tulis permulaan anak terbentu dari dukungan aspek lain dari bahasa karena kemampuan tersebut merupakan bentuk apresiasi dari mendengarkan
21
dan berbicara yang difasilitasi oleh kemampuan otak untuk mengembangkan kemampuan berbahasa secara alami. Kelima aspek baca-tulis permulaan tersebut masing-masing memiliki tujuan dan merupakan suatu rangkaian yang menjelaskan bagaimana anak memperoleh kemampuan baca-tulis permulaannya. Rangkaian dalam aspek kemampuan bacatulis permulaan tersebut pada akhirnya akan bermuara pada pemerolehan literasi awal anak (early literation acquisition).
Kesimpulan 1. a. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara kuantitatif terjadi peningkatan kemampuan baca-tulis permulaan anak pada setiap siklus sebagai akibat dari penggunaan media wayang abjad kontekstual. Data kuantitatif perubahan pada masing-masing siklus dilakukan dengan menggunakan prosentase ratarata pencapaian peningkatan baca-tulis permulaan anak kelompok B2 TK Dwi Jaya Marga, Tabanan-Bali. Pencapaian peningkatan kemampuan bacatulis permulaan anak sesuai dengan kesepakatan antara peneliti dan kolaborator, yaitu sebesar 20% dari pra-intervensi telah dicapai pada siklus kedua dengan rata-rata peningkatan kemampuan sebesar 23, 69%. b. Hasil secara kuantitatif tersebut diperkuat oleh deskripsi hasil kualitatif yang telah menemukan beberapa peristiwa yang terpola dan membentuk konsep teoritik seperti hubungan antara minat dan keterlibatan anak dengan kegiatan baca-tulis, motivasi dan kemampuan anak menulis, serta hubungan tokoh atau gambar dan nama gambar pada wayang dengan kemampuan membaca dan menulis. Pola-pola peristiwa tersebut memberikan indikasi bahwa anak usia dini telah memiliki kemampuan untuk mulai menyadari tentang setiap huruf yang membentuk kata maupun kalimat memberikannya sebuah informasi. 2. Secara konseptual teoritik, penelitian ini telah menemukan dan merumuskan konstruksi teori yaitu bagaimana anak usia dini belajar baca-tulis permulaan, bagaimana penggunaan media wayang abjad kontekstual serta bagaimana kemampuan baca-tulis permulaan terjadi pada mereka. Anak berkomunikasi
22
dengan orang dewasa, anak berpura-pura membaca buku seperti halnya orang dewasa yang membaca koran ataupun majalah, membuat coretan-coretan seolah-olah anak ingin menuliskan sesuatu yang ingin disampikan lewat bahasa tulisan ekspresif akan memberikan pengalaman langsung kepada anak tentang kemampuan baca-tulis permulaan. Penyediaan lingkungan yang kaya literasi akan menimbulkan kepekaan simbol bahasa pada anak. Proses pengalaman tersebut akan menjadi modal bagi anak untuk memiliki keterlibatan yang tinggi dalam kegiatan baca-tulis permulaan. Penelitian ini juga telah menemukan pola konstruksi teoritik tentang bagaimana media wayang abjad kontekstual digunakan secara nyata pada pembelajaran di anak TK. Rangkaian dalam aspek kemampuan baca-tulis permulaan tersebut pada akhirnya akan bermuara pada pemerolehan literasi awal anak (early literation acquisition).
Implikasi Hasil Penelitian Implikasi teoritis dari penelitian ini adalah bagi pegembangan keilmuan di program studi pendidikan anak usia dini, terutama dalam pengembangan keilmuan mengenai cara meningkatkan kemampua baca-tulis permulaan anak. Selain itu, hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi maupun sumbangan keilmuan tentang strategi permainan pada anak usia dini melalui penggunaan media wayang abjad kontekstual. Implikasi praktis dari penelitian ini adalah guru dapat memberikan beragam kegiatan bermain melalui penggunaan media wayang abjad kontekstual yang dapat meningkatkan kemampuan baca-tulis permulaan anak dengan memperhatikan langkah-langkah kegiatan bermain yang sesuai. Selain itu, bagi lembaga PAUD, penelitian ini dapat bermanfaat dalam rangka meningkatkan kemampuan baca-tulis permulaan
anak
dalam
rangka
merancang
kegiatan
pembelajaran
yang
menyenangkan dan menghindari kegiatan yang bersifat akademik.
23
Daftar Pustaka Anwar & Arsyad Ahmad. Pendidikan Anak Usia Dini: Panduan Praktis Bagi Ibu dan Calon Ibu. Bandung: Alfabeta, 2009. Arsyad, Azhar. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009. Berk, Laura E. Child Development: Seventh Edition. USA : Pearson, 2006. Bredekamp, Sue. Developmentally Appropriate Practise in Early Childhood Programs Serving Children From Birth Through Age 8. Washington: Ninth Printing, 1992. Crain, William. Teori Perkembangan: Konsep dan Aplikasi, Alih Bahasa oleh Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Fraser, Peter. Puppets and Puppetry. London: BT Batsford LTD, 1980. Herr, Judy & Yvonne Libby Larson. Creative Resources For The Early Childhood Classroom Fourth Edition. USA: Thomson, 2004. Hoorn, Judith Van et. al. Play at the Center of the Curriculum. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall, 1999. Jackman, Hilda L. Early Education Curriculum: A Child Connection To The World Fourth Edition. USA: Delmar, 2009. Jalongo, Mary Renk. Early Childhood Language Arts Fourth Edition. USA : Pearson Education, 2007. Kostelnik, Marjorie J., Anne K. Soderman, Alice P. Whiren. Developmentally Appropriate Curriculum. USA: Pearson, 2007. Marrow, Lesley Mandel. Literacy Development In Early Years Second Edition. USA: Allyn & Balcon, 1993. Miarso, Yusuf Hadi. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Grup, 2004. Miles, Matthew B. and A. Michael Huberman. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. USA: Ninth Printing, 1989. Mills, E. Action Research: A Guide for Teacher Researchers. USA: Pearson Education, 2003. Morrison, George S. Dasar-Dasar Pendidikan Anak usia Dini (PAUD) Alih Bahasa oleh Suci Romadhona & April Widiastuti . Jakarta: Indeks, 2012. 24
Musfiroh,Tadjiroatun. Menumbuhkembangkan Baca-Tulis Anak Usia Dini. Jakarta: Grasindo, 2009. Mutiah, Diana. Psikologi Bermain Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana, 2010. ________________. Cerdas Melalui Bermain. Yogyakarta: Grasindo, 2008. Oberlander, June R. Slow and Steady Get Me Ready. Jakarta: Pustaka, 2005. Papalia, Diane E. et.al. Human Development, Alih Bahasa oleh A. K. Anwar. Jakarta: Kencana, 2008. Rasyid, Harun dkk. Asesmen Perkembangan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Multi Pressindo, 2009. Riduwan. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alfabeta, 2010. Sadiman, dkk. Media Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009. Santoso, Soegeng. Konsep Pendidikan Anak Usia Dini Menurut Pendirinya 1. Jakarta: Prodi PAUD, 2011. _____________. Konsep Pendidikan Anak Usia Dini Menurut Pendirinya 2. Jakarta: Prodi PAUD, 2011. Seefeldt, Carol & Barbara A. Wasik. Pendidikan Anak Usia Dini, Alih Bahasa oleh Pius Nasar. Jakarta: Indeks, 2008. Sudono, Anggani dkk. Permainan Kreatif. Jakarta: PT Penerbitan Sarana Bobo, 2007. Sujiono, Yuliani Nurani. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Indeks, 2011. Suyadi. Psikologi Belajar PAUD. Yogyakarta: Pedagogia, 2010. Syukur, Fatah. Teknologi Pendidikan. Semarang: Rasail Media: 2008. Wikipedia, “Wayang”, http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang (diakses 30 September 2012).
25